Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 40/PMK.03/2017

Kategori : PPh

Tata Cara Pelaporan Dan Penghitungan Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 Atas Penghasilan Pegawai Dari Pemberi Kerja Dengan Kriteria Tertentu


PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 40/PMK.03/2017

TENTANG

TATA CARA PELAPORAN DAN PENGHITUNGAN PEMOTONGAN
PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 ATAS PENGHASILAN PEGAWAI
DARI PEMBERI KERJA DENGAN KRITERIA TERTENTU

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,


Menimbang :

bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2016 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Pegawai dari Pemberi Kerja dengan Kriteria Tertentu, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata Cara Pelaporan dan Penghitungan Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Pegawai dari Pemberi Kerja dengan Kriteria Tertentu;

Mengingat :

Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2016 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Pegawai dari Pemberi Kerja dengan Kriteria Tertentu (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 201, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5937);


MEMUTUSKAN:


Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PELAPORAN DAN PENGHITUNGAN PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 ATAS PENGHASILAN PEGAWAI DARI PEMBERI KERJA DENGAN KRITERIA TERTENTU.


Pasal 1


Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
  1. Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
  2. Perjanjian Kerja Bersama adalah suatu kesepakatan secara tertulis dengan huruf latin dan menggunakan bahasa Indonesia yang dibuat secara bersama-sama antara perusahaan dengan organisasi serikat pekerja/gabungan organisasi serikat pekerja yang sudah terdaftar pada instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.


Pasal 2


(1) Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai yang merupakan orang pribadi dalam negeri berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan, dikenai pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21.
(2) Pegawai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan orang pribadi yang bekerja pada pemberi kerja, untuk melaksanakan suatu pekerjaan dalam jabatan atau kegiatan tertentu dengan memperoleh imbalan yang dibayarkan berdasarkan periode tertentu, penyelesaian pekerjaan, atau ketentuan lain yang ditetapkan pemberi kerja.
(3) Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pemotongan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sebagaimana diatur dalam Pasal 21 Undang-Undang Pajak Penghasilan.


Pasal 3


(1) Pegawai yang menerima penghasilan dari pemberi kerja dengan kriteria tertentu dengan jumlah Penghasilan Kena Pajak dalam 1 (satu) tahun paling banyak sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), dikenai Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang bersifat final.  
(2) Penghasilan Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penghasilan neto dikurangi dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).


Pasal 4


(1) Pemberi kerja dengan kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. merupakan Wajib Pajak Badan yang melakukan kegiatan usaha pada bidang industri:
  1. alas kaki; dan/atau
  2. tekstil dan produk tekstil,
sebagaimana dimaksud dalam Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia;
b. mempekerjakan pegawai langsung paling sedikit 2.000 (dua ribu) pegawai, sebagaimana dilaporkan pada:
  1. Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26 Masa Pajak Juli 2016 untuk tahun pajak 2016; atau
  2. Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26 Masa Pajak Januari 2017 untuk tahun pajak 2017;
c. menanggung seluruh Pajak Penghasilan Pasal 21 atas pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1);
d. pada tahun sebelumnya melakukan ekspor paling sedikit 50% (lima puluh persen) dari total nilai penjualan tahunan;
e. memiliki Perjanjian Kerja Bersama;
f. mengikutsertakan pegawainya dalam program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan dan program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan; dan
g. tidak mendapatkan atau sedang memanfaatkan:
  1. fasilitas Pajak Penghasilan berdasarkan Pasal 31A Undang-Undang Pajak Penghasilan; atau
  2. fasilitas Pajak Penghasilan berdasarkan Pasal 29 Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan.
(2) Rincian industri alas kaki dan/atau industri tekstil dan produk tekstil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a tercantum dalam Lampiran Huruf A yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(3) Pegawai langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan pegawai yang dipekerjakan langsung oleh perusahaan atau yang menjadi pembebanan perusahaan, tidak termasuk pegawai yang dipekerjakan dari perusahaan alih daya (outsourcing).


Pasal 5


(1) Pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) yaitu pegawai yang diperkirakan dalam 1 (satu) tahun memperoleh Penghasilan Kena Pajak paling banyak sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), berdasarkan daftar pegawai yang disampaikan pemberi kerja pada saat pelaporan:
  1. Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26 Masa Pajak Juli 2016 untuk tahun pajak 2016; dan
  2. Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26 Masa Pajak Januari 2017 untuk tahun pajak 2017.
(2) Termasuk dalam pengertian pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) yaitu pegawai yang mulai bekerja setelah bulan Juli 2016 dan diperkirakan dalam 1 (satu) tahun memperoleh Penghasilan Kena Pajak paling banyak sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), berdasarkan daftar pegawai yang disampaikan pemberi kerja pada saat pelaporan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26 Masa Pajak saat pegawai tersebut mulai bekerja.
(3) Laporan daftar pegawai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah sesuai dengan contoh format laporan tercantum dalam Lampiran Huruf B yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.


Pasal 6


(1) Besarnya Pajak Penghasilan Pasal 21 yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) yaitu sebesar 2,5% (dua koma lima persen) atas Penghasilan Kena Pajak.
(2) Dalam hal realisasi jumlah Penghasilan Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah melebihi Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dalam 1 (satu) tahun, atas Penghasilan Kena Pajak yang melebihi Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) tersebut dikenai pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dengan tarif 15% (lima belas persen) dan bersifat final.
(3) Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan pada Masa Pajak saat realisasi jumlah Penghasilan Kena Pajak telah melebihi Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dalam 1 (satu) tahun sampai dengan Masa Pajak Desember tahun bersangkutan.
(4) Terhadap pegawai yang telah memperoleh Penghasilan Kena Pajak melebihi Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk tahun berikutnya dikenai pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dengan tarif berdasarkan Pasal 17 Undang-Undang Pajak Penghasilan.

 

Pasal 7


(1) Pemberi kerja dengan kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) wajib menghitung, memotong, menyetorkan, dan melaporkan Pajak Penghasilan Pasal 21 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) untuk setiap bulan kalender.
(2) Pemberi kerja dengan kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) wajib memberikan tanda bukti pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 kepada pegawainya yang dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21 setiap melakukan pemotongan.


Pasal 8


Contoh penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan pegawai dari pemberi kerja dengan kriteria tertentu tercantum dalam Lampiran Huruf C yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.


Pasal 9


Ketentuan mengenai tarif Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 berlaku untuk Masa Pajak Juli 2016 sampai dengan Masa Pajak Desember 2017.


Pasal 10


Perhitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang terutang bagi pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) untuk Masa Pajak Januari 2016 sampai dengan Masa Pajak Juni 2016 dihitung berdasarkan Penghasilan Kena Pajak yang disetahunkan, sebanding dengan jumlah bulan pegawai dimaksud bekerja dari Masa Pajak Januari 2016 sampai dengan Masa Pajak Juni 2016.


Pasal 11


(1) Pajak Penghasilan Pasal 21 untuk Masa Pajak Juli 2016 sampai dengan Masa Pajak sebelum diundangkannya Peraturan Menteri ini yang seharusnya dihitung, disetor dan dilaporkan dengan menggunakan tarif yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) namun dihitung, disetor dan dilaporkan dengan menggunakan tarif Pasal 17 Undang-Undang Pajak Penghasilan, dilakukan pembetulan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26.
(2) Dalam hal setelah dilakukan pembetulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdapat kelebihan penyetoran, atas kelebihan penyetoran tersebut dikompensasikan ke masa pajak berikutnya.


Pasal 12


Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.




  Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 10 Maret 2017
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

SRI MULYANI INDRAWATI


Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 13 Maret 2017
DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

WIDODO EKATJAHJANA



BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 398