Lampiran I
Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia 

Nomor

:

164/KMK.03/2002

Tentang Kredit Pajak Luar Negeri.

 

 

TATA CARA PENGKREDITAN PAJAK LUAR NEGERI

 

I.

UMUM

Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 (Undang-undang Pajak Penghasilan) menentukan bahwa Wajib Pajak dalam Negeri dikenakan Pajak Penghasilan atas seluruh penghasilan di manapun penghasilan tersebut diterima atau diperoleh, baik di Indonesia maupun di luar Indonesia. Untuk menghindari pengenaan pajak ganda maka sesuai dengan ketentuan Pasal 24, pajak yang dibayar atau yang terutang di luar negeri boleh dikreditkan terhadap pajak yang terutang di Indonesia, tetapi tidak melebihi penghitungan pajak yang terutang berdasarkan Undang-undang Pajak penghasilan.

Metode kredit pajak yang demikian disebut metode pengkreditan terbatas ("ordinary credit Method"). 

 

II.

Tata Cara Penghitungan Kredit Pajak Luar Negeri

 

A.

Penghitungan Kredit Pajak Luar Negeri dilakukan sebagai berikut:

 

 

1.

Pajak Penghasilan dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak yang dihitung berdasarkan seluruh penghasilan yang diterima dan diperoleh oleh Wajib Pajak, baik penghasilan tersebut berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Dalam menghitung Pajak Penghasilan, maka seluruh penghasilan tersebut digabungkan dalam tahun pajak di peroleh atau diterimanya penghasilan, atau dalam tahun pajak sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan untuk penghasilan berupa dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan.

 

Contoh :

PT. A di Jakarta dalam tahun pajak 2001 menerima dan memperoleh penghasilan neto dari sumber luar negeri sebagai berikut:

a.

Hasil usaha di Singapura dalam tahun pajak 2001 sebesar Rp 800.000.000,00;

b.

Dividen atas pemilikan saham pada "X Ltd." di Australia sebesar Rp 200.000.000,00 yaitu berasal dari keuntungan tahun 1998 yang ditetapkan dalam rapat pemegang saham tahun 2000 dan baru dibayar dalam tahun 2001;

c.

Dividen atas penyertaan saham sebanyak 70% pada "Y Corporation" di Hongkong yang sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek sebesar Rp 75.000.000,00 yaitu berasal dari keuntungan saham 1999 yang berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan ditetapkan diperoleh tahun 2001; Rp 75.000.000,00 yaitu berasal dari keuntungan saham 1999 yang berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan ditetapkan diperoleh tahun 2001

d.

Bunga kwartal IV tahun 2001 sebesar Rp 100.000.000,00 dari "Z Sdn Bhd" di Kuala Lumpur  yang baru akan diterima bulan Juli 2002.

 

 

 

 

Penghasilan dari sumber luar negeri yang digabungkan dengan penghasilan dalam negeri dalam tahun pajak 2001 adalah penghasilan pada huruf a, b, dan c, sedangkan penghasilan pada huruf d digabungkan dengan penghasilan dalam negeri dalam tahun pajak 2002.

 

 

 

2.

Dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak, kerugian yang diderita oleh Wajib Pajak di luar negeri tidak dapat dikompensasikan dengan penghasilan yang diterima atau diperoleh dari Indonesia.

Contoh :

PT B di Jakarta memperoleh penghasilan neto dalam tahun 2001 sebagai berikut :

a.

di negara X, memperoleh penghasilan (laba) Rp. 1.000.000.000,00, dengan tarif pajak sebesar 40% (Rp. 400.000.000,00);

b.

di negara Y, memperoleh penghasilan (laba) Rp. 3.000.000.000,00, dengan tarif pajak sebesar 25% (Rp. 750.000.000,00);

c.

di negara Z, menderita kerugian Rp. 2.500.000.000,00,

d.

Penghasilan usaha di dalam negeri Rp. 4.000.000.000,00.

 

 

 

 

Penghitungan kredit pajak luar negeri adalah sebagai berikut :

1.

Penghasilan Luar negeri :

 

a.

laba di negara X

=

Rp. 1.000.000.000,00

 

b.

laba di negara Y

=

Rp. 3.000.000.000,00

 

c.

laba di negara Z

=

Rp. - - - - - - - - - - - - - (+)

 

d.

Jumlah penghasilan luar negeri

=

Rp. 4.000.000.000,00

2.

Penghasilan dalam negeri

=

Rp. 4.000.000.000,00

3.

Jumlah penghasilan neto adalah :

 

Rp. 4.000.000.000,00 + Rp. 4.000.000.000,00 = Rp. 8.000.000.000,00

4.

PPh terutang (menurut tarif Pasal 17) = Rp. 2.382.500.000,00

5.

Batas maksimum kredit pajak luar negeri untuk masing-masing negara adalah :

 

a.

Untuk negara X = 

 

 

Rp. 1.000.000.000,00

Rp. 8.000.000.000,00

X Rp. 2.382.500.000,00 = Rp. 297.812.500,00

 

 

Pajak yang terutang di negara X sebesar Rp. 400.000.000,00, namun maksimum kredit pajak yang dapat dikreditkan adalah Rp.297.812.500,00.

 

b.

Untuk negara Y = 

 

 

Rp. 3.000.000.000,00

Rp. 8.000.000.000,00

X Rp. 2.382.500.000,00 = Rp. 893.437.500,00

 

 

Pajak yang terutang di negara Y sebesar Rp. 750.000.000,00, maka maksimum kredit pajak yang dapat dikreditkan adalah Rp.750.000.000,00.

Jumlah kredit pajak luar negeri yang diperkenankan adalah : 

Rp.297.812.500,00 + Rp. 750.000.000,00 = Rp. 1.047.812.500,00

 

Dari contoh diatas jelas bahwa dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak, kerugian yang diderita di luar negeri ( di negara Z sebesar Rp. 2.500.000.000,00) tidak dikompensasikan.

 

 

 

3.

Penghitungan batas maksimum kredit pajak luar negeri yang diperbolehkan adalah sebagai berikut : 

Contoh : 

a.

PT A di Jakarta memperoleh penghasilan neto dalam tahun 2001 sebagai berikut: 

Penghasilan dalam negeri 

Penghasilan luar negeri 

(dengan tarif pajak 20%)

Rp. 1.000.000.000,00

Rp. 1.000.000.000,00

 

Penghitungan jumlah maksimum kredit pajak luar negeri adalah sebagai berikut:

1.      Penghasilan luar negeri 

Penghasilan dalam negeri 

Jumlah penghasilan neto 

Rp.1.000.000.000,00

Rp.1.000.000.000,00 (+)

Rp.2.000.000.000,00

2.      Apabila jumlah Penghasilan neto sama dengan Penghasilan Kena Pajak, maka sesuai tarif Pasal 17, Pajak Penghasilan yang terutang sebesar Rp.582.500.000,00

3.       Batas maksimum kredit pajak luar negeri adalah : 

Rp. 1.000.000.000,00

Rp. 2.000.000.000,00

X Rp. 582.500.000,00 = Rp. 291.250.000,00

Oleh karena batas maksimum kredit pajak luar negeri sebesar Rp 291.250.000,00 lebih besar dari jumlah pajak luar negeri yang terutang atau dibayar di luar negeri yaitu sebesar Rp. 200.000.000,00 maka jumlah kredit pajak luar negeri yang di perkenankan adalah sebesar Rp. 200.000.000,00.

 

b.

PT B di Jakarta memperoleh penghasilan neto dalam tahun 2001 sebagai berikut : 

Penghasilan dari usaha diluar negeri 

Rugi usaha di dalam negeri 

Rp.1.000.000.000,00

(Rp.  200.000.000,00)

Pajak atas Penghasilan di luar negeri misalnya 40% = Rp.400.000.000,00
Penghitungan maksimum kredit pajak luar negeri serta pajak terutang adalah sebagai berikut : 

1.      Penghasilan usaha luar negeri 

Rugi usaha dalam negeri 

Jumlah penghasilan neto 

Rp.1.000.000.000,00

(Rp.  200.000.000,00)

Rp.   800.000.000,00

2.      Apabila jumlah Penghasilan neto sama dengan Penghasilan Kena Pajak, maka sesuai tarif Pasal 17, Pajak Penghasilan yang terutang sebesar Rp.222.500.000,00.

3.       Batas maksimum kredit pajak luar negeri adalah : 

Rp. 1.000.000.000,00

Rp.   800.000.000,00

X Rp. 222.500.000,00 = Rp. 278.125.000,00

Oleh karena pajak yang dibayar diluar negeri dan batas maksimum kredit pajak luar negeri yang dapat dikreditkan masih lebih besar dari jumlah pajak yang terutang, maka kredit pajak luar negeri yang diperkenankan untuk dikreditkan dalam penghitungan Pajak Penghasilan adalah sebesar Pajak Penghasilan yang terutang yaitu Rp.222.500.000,00.

 

 

 

4.

Dalam hal penghasilan luar negeri bersumber dari beberapa negara, maka jumlah maksimum kredit pajak luar negeri dihitung untuk masing-masing negara dengan menerapkan cara penghitungan sebagai berikut:

Contoh : 

PT C di Jakarta dalam tahun 2001 memperoleh penghasilan neto sebagai berikut: 

- Penghasilan dalam negeri 

- Penghasilan dari negara X (dengan tarif pajak 40%)

- Penghasilan dari negara Y (dengan tarif pajak 30%)

Jumlah penghasilan neto 

= Rp. 2.000.000.000,00

= Rp. 1.000.000.000,00

= Rp. 2.000.000.000,00 (+)

= Rp. 5.000.000.000,00

Apabila penghasilan neto sama dengan Penghasilan Kena Pajak, maka Pajak Penghasilan terutang menurut tarif Pasal 17 sebesar Rp.1.482.500.000,00.

Batas maksimum kredit pajak luar negeri setiap negara adalah : 

a.

Untuk negara X =  

Rp. 1.000.000.000,00

Rp. 5.000.000.000,00

X Rp.1.482.500.000,00 = Rp. 296.500.000,00

Pajak yang terutang diluar negeri sebesar Rp.400.000.000,00 lebih besar dari batas maksimum kredit pajak yang dapat dikreditkan, maka jumlah kredit yang diperkenankan hanya sebesar Rp.296.500.000,00.

 

b.

Untuk negara Y =  

Rp. 2.000.000.000,00

Rp. 5.000.000.000,00

X Rp.1.482.500.000,00 = Rp.593.000.000,00

Pajak yang terutang diluar negeri sebesar Rp.600.000.000,00 lebih besar dari batas maksimum kredit pajak yang dapat dikreditkan, maka jumlah kredit pajak yang diperkenankan adalah Rp.593.000.000,00.

 

 

 

5.

Dalam hal Wajib Pajak memperoleh penghasilan yang dikenakan Pajak yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dan atau penghasilan yang dikenakan pajak tersendiri sebagaimana dimaksud Pasal 8 ayat (1) dan ayat (4) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000, maka atas penghasilan tersebut bukan merupakan faktor penambahan penghasilan pada saat menghitung Penghasilan Kena Pajak. 

 

Contoh : 

PT "D" di Jakarta dalam tahun 2001 memperoleh penghasilan sebagai berikut: 

1.       Penghasilan dari Negara Z 

(dengan tarif pajak 30%)

Rp.2.000.000.000,00

2.       Penghasilan Dalam Negeri 

Rp.3.500.000.000,00

(Penghasilan Dalam Negeri ini termasuk penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan sebesar Rp 500.000.000,00)

3.      Penghasilan Kena Pajak PT "D" sebesar :

Rp. 2.000.000.000,00 + (Rp 3.500.000.000,00 - Rp. 500.000.000,00) = 

Rp. 5.000.000.000,00

4.       Sesuai tarif Pasal 17, Pajak Penghasilan yang terutang sebesar : Rp 1.482.500.000,-

5.       Batas maksimum kredit pajak luar negeri adalah : 

Rp. 2.000.000.000,00

Rp. 5.000.000.000,00

X Rp.1.482.500.000,00 = Rp.593.000.000,00

Pajak yang terutang di negara Z sebesar Rp 600.000.000,00, namun maksimum kredit pajak yang dapat dikreditkan sebesar Rp 593.000.000,00.

 

 

B.

Pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan karena perubahan penghasilan dari luar negeri, dilakukan sebagai berikut : 

 

 

1.

Dalam hal terjadi koreksi fiskal di luar negeri yang menyebabkan adanya tambahan penghasilan yang mengakibatkan pajak atas penghasilan terutang di luar negeri lebih besar dari yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan, sehingga pajak di luar negeri kurang dibayar, maka terdapat kemungkinan Pajak Penghasilan di Indonesia juga kurang dibayar. Sepanjang koreksi fiskal di luar negeri tersebut dilaporkan sendiri oleh Wajib Pajak melalui pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan, maka bunga yang terutang atas pajak yang kurang dibayar tersebut tidak ditagih. 

Contoh

1.

Penghasilan luar negeri (SPT) Rp. 1.000.000.000,00

2.

Penghasilan dalam negeri Rp. 2.000.000.000,00

3.

Penghasilan luar negeri (setelah dikoreksi di luar negeri) Rp. 2.000.000.000,00

4.

Pajak atas penghasilan yang terutang di luar negeri misalnya 40%

5.

PPh Pasal 25 yang dibayar Rp. 500.000.000,00

6.

PPh terutang sebelum dan sesudah koreksi fiskal di luar negeri adalah sebagai berikut:  

 

SPT

SPT PEMBETULAN

1. Penghasilan luar negeri

2. Penghasilan dalam negeri

3. Penghasilan Kena Pajak 

 

Rp. 1.000.000.000,00

Rp. 2.000.000.000,00

Rp. 3.000.000.000,00

 

4. PPh terutang 

5. Kredit Pajak Luar Negeri : 

1.000.000.000,00

3.000.000.000,00

X882.500.000,00

Rp. 882.500.000,00


Rp. 294.166.667,00

6. PPh harus dibayar

7. PPh Pasal 25 

8. PPh Pasal 29 

 

Rp. 588.333.333,00

Rp. 500.000.000,00

Rp.  88.333.333,00

 

1. Penghasilan luar negeri

2. Penghasilan dalam negeri

3. Penghasilan Kena Pajak 

 

Rp. 2.000.000.000,00

Rp. 2.000.000.000,00

Rp. 4.000.000.000,00

 

4. PPh terutang 

5. Kredit Pajak Luar Negeri : 

2.000.000.000,00

4.000.000.000,00

X1.182.500.000

Rp.1.182.500.000,00


Rp.    591.250.000,00

6. PPh harus dibayar

7. PPh Pasal 25 

8. PPh Pasal 29 

9. Masih harus dibayar

 

Rp. 591.250.000,00

Rp. 500.000.000,00

Rp.  88.333.333,00

Rp.    2.916.667,00

 

Terhadap PPh yang masih harus dibayar sebesar Rp 2.916.667,00 tidak ditagih bunga

 

 

 

2.

Dalam hal terjadi koreksi fiskal di luar negeri berupa koreksi yang menyebabkan penghasilan dan pajak atas penghasilan terutang di luar negeri lebih kecil dari yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan, sehingga pajak di luar negeri lebih  dibayar. Koreksi fiskal di luar negeri tersebut akan mengakibatkan Pajak Penghasilan terutang di Indonesia juga menjadi lebih kecil, sehingga Pajak Penghasilan menjadi lebih dibayar. Kelebihan bayar pajak tersebut dapat dikembalikan kepada Wajib Pajak setelah diperhitungkan dengan utang pajak yang lain.  

Contoh

1.

Penghasilan luar negeri (SPT) Rp. 1.000.000.000,00

2.

Penghasilan dalam negeri Rp. 2.000.000.000,00

3.

Penghasilan luar negeri (setelah dikoreksi di luar negeri) Rp. 500.000.000,00

4.

Pajak atas penghasilan yang terutang di luar negeri misalnya 40%

5.

PPh Pasal 25 yang dibayar Rp. 500.000.000,00

6.

PPh terutang sebelum dan sesudah koreksi fiskal di luar negeri adalah sebagai berikut:  

 

SPT

SPT PEMBETULAN

1. Penghasilan luar negeri

2. Penghasilan dalam negeri

3. Penghasilan Kena Pajak 

 

Rp. 1.000.000.000,00

Rp. 2.000.000.000,00

Rp. 3.000.000.000,00

 

4. PPh terutang 

5. Kredit Pajak Luar Negeri : 

1.000.000.000,00

3.000.000.000,00

X882.500.000,00

Rp. 882.500.000,00


Rp. 294.166.667,00

6. PPh harus dibayar

7. PPh Pasal 25 

8. PPh Pasal 29 

 

Rp. 588.333.333,00

Rp. 500.000.000,00

Rp.  88.333.333,00

 

1. Penghasilan luar negeri

2. Penghasilan dalam negeri

3. Penghasilan Kena Pajak 

 

Rp.    500.000.000,00

Rp. 2.000.000.000,00

Rp. 2.500.000.000,00

 

4. PPh terutang 

5. Kredit Pajak Luar Negeri : 

   500.000.000,00

2.500.000.000,00

X732.500.000

Rp.   732.500.000,00


Rp.    146.500.000,00

6. Harus dibayar di Indonesia 

7. PPh Pasal 25 

8. Kurang bayar 

9. PPh Pasal 29 telah dibayar

10.Lebih bayar

Rp. 586.000.000,00

Rp. 500.000.000,00

Rp.  86.000.000,00

Rp.   88.333.333,00

Rp.     2.333.333,00

Pajak Penghasilan yang lebih dibayar sebesar Rp.2.333.333,00 dapat diminta kembali setelah diperhitungkan dengan utang pajak yang lain.  

 

 

 



Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Biro Umum
u.b.
Kepala Bagian Tata Usaha Departemen

Koemoro Warsito, S.H
NIP 060041898

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

ttd

BOEDIONO