I.
|
UMUM
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 (Undang-undang Pajak Penghasilan)
menentukan bahwa Wajib Pajak dalam Negeri dikenakan Pajak Penghasilan atas
seluruh penghasilan di manapun penghasilan tersebut diterima atau diperoleh,
baik di Indonesia maupun di luar Indonesia. Untuk menghindari pengenaan pajak
ganda maka sesuai dengan ketentuan Pasal 24, pajak yang dibayar atau yang
terutang di luar negeri boleh dikreditkan terhadap pajak yang terutang di
Indonesia, tetapi tidak melebihi penghitungan pajak yang terutang berdasarkan
Undang-undang Pajak penghasilan.
Metode kredit pajak yang
demikian disebut metode pengkreditan terbatas ("ordinary credit
Method").
|
II.
|
Tata Cara Penghitungan Kredit
Pajak Luar Negeri
|
|
A.
|
Penghitungan Kredit Pajak Luar
Negeri dilakukan sebagai berikut:
|
|
|
1.
|
Pajak Penghasilan dikenakan
atas Penghasilan Kena Pajak yang dihitung berdasarkan seluruh penghasilan
yang diterima dan diperoleh oleh Wajib Pajak, baik penghasilan tersebut
berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Dalam menghitung Pajak
Penghasilan, maka seluruh penghasilan tersebut digabungkan dalam tahun pajak
di peroleh atau diterimanya penghasilan, atau dalam tahun pajak sesuai dengan
Keputusan Menteri Keuangan untuk penghasilan berupa dividen sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan.
Contoh :
PT. A di Jakarta dalam tahun pajak
2001 menerima dan memperoleh penghasilan neto dari sumber luar negeri sebagai
berikut:
a.
|
Hasil usaha di Singapura
dalam tahun pajak 2001 sebesar Rp 800.000.000,00;
|
b.
|
Dividen atas pemilikan saham pada "X
Ltd." di Australia sebesar Rp 200.000.000,00 yaitu berasal dari
keuntungan tahun 1998 yang ditetapkan dalam rapat pemegang saham tahun 2000
dan baru dibayar dalam tahun 2001;
|
c.
|
Dividen atas penyertaan
saham sebanyak 70% pada "Y Corporation" di Hongkong yang sahamnya
tidak diperdagangkan di bursa efek sebesar Rp 75.000.000,00 yaitu berasal
dari keuntungan saham 1999 yang berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan
ditetapkan diperoleh tahun 2001; Rp 75.000.000,00 yaitu berasal dari
keuntungan saham 1999 yang berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan
ditetapkan diperoleh tahun 2001
|
d.
|
Bunga kwartal IV tahun 2001
sebesar Rp 100.000.000,00 dari "Z Sdn Bhd" di Kuala Lumpur
yang baru akan diterima bulan Juli 2002.
|
|
|
|
|
Penghasilan dari sumber luar negeri
yang digabungkan dengan penghasilan dalam negeri dalam tahun pajak 2001
adalah penghasilan pada huruf a, b, dan c, sedangkan penghasilan pada huruf d
digabungkan dengan penghasilan dalam negeri dalam tahun pajak 2002.
|
|
|
2.
|
Dalam menghitung Penghasilan
Kena Pajak, kerugian yang diderita oleh Wajib Pajak di luar negeri tidak
dapat dikompensasikan dengan penghasilan yang diterima atau diperoleh dari
Indonesia.
Contoh :
PT B di Jakarta memperoleh
penghasilan neto dalam tahun 2001 sebagai berikut :
a.
|
di negara X, memperoleh
penghasilan (laba) Rp. 1.000.000.000,00, dengan tarif pajak sebesar 40%
(Rp. 400.000.000,00);
|
b.
|
di negara Y, memperoleh penghasilan (laba) Rp. 3.000.000.000,00,
dengan tarif pajak sebesar 25% (Rp. 750.000.000,00);
|
c.
|
di negara Z, menderita
kerugian Rp. 2.500.000.000,00,
|
d.
|
Penghasilan usaha di dalam
negeri Rp. 4.000.000.000,00.
|
|
|
|
|
Penghitungan
kredit pajak luar negeri adalah sebagai berikut :
1.
|
Penghasilan Luar negeri :
|
|
a.
|
laba di negara X
|
=
|
Rp. 1.000.000.000,00
|
|
b.
|
laba di negara Y
|
=
|
Rp. 3.000.000.000,00
|
|
c.
|
laba di negara Z
|
=
|
Rp. - - - - - - - - -
- - - - (+)
|
|
d.
|
Jumlah penghasilan luar
negeri
|
=
|
Rp. 4.000.000.000,00
|
2.
|
Penghasilan dalam negeri
|
=
|
Rp. 4.000.000.000,00
|
3.
|
Jumlah penghasilan neto
adalah :
|
|
Rp. 4.000.000.000,00 + Rp.
4.000.000.000,00 = Rp. 8.000.000.000,00
|
4.
|
PPh terutang (menurut tarif
Pasal 17) = Rp. 2.382.500.000,00
|
5.
|
Batas maksimum kredit pajak
luar negeri untuk masing-masing negara adalah :
|
|
a.
|
Untuk negara X =
|
|
|
Rp. 1.000.000.000,00
Rp. 8.000.000.000,00
|
X Rp. 2.382.500.000,00 = Rp. 297.812.500,00
|
|
|
|
Pajak yang terutang di
negara X sebesar Rp. 400.000.000,00, namun maksimum kredit pajak yang dapat
dikreditkan adalah Rp.297.812.500,00.
|
|
b.
|
Untuk negara Y =
|
|
|
Rp. 3.000.000.000,00
Rp. 8.000.000.000,00
|
X Rp. 2.382.500.000,00 = Rp. 893.437.500,00
|
|
|
|
Pajak
yang terutang di negara Y sebesar Rp. 750.000.000,00, maka maksimum kredit
pajak yang dapat dikreditkan adalah Rp.750.000.000,00.
Jumlah
kredit pajak luar negeri yang diperkenankan adalah :
Rp.297.812.500,00 + Rp.
750.000.000,00 = Rp. 1.047.812.500,00
|
|
|
|
|
|
|
Dari
contoh diatas jelas bahwa dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak, kerugian
yang diderita di luar negeri ( di negara Z sebesar Rp. 2.500.000.000,00)
tidak dikompensasikan.
|
|
|
3.
|
Penghitungan
batas maksimum kredit pajak luar negeri yang diperbolehkan adalah sebagai
berikut :
Contoh
:
a.
|
PT A di Jakarta
memperoleh penghasilan neto dalam tahun 2001 sebagai berikut:
Penghasilan
dalam negeri
Penghasilan
luar negeri
(dengan
tarif pajak 20%)
|
Rp.
1.000.000.000,00
Rp.
1.000.000.000,00
|
Penghitungan
jumlah maksimum kredit pajak luar negeri adalah sebagai berikut:
1. Penghasilan
luar negeri
Penghasilan dalam
negeri
Jumlah penghasilan
neto
|
Rp.1.000.000.000,00
Rp.1.000.000.000,00
(+)
Rp.2.000.000.000,00
|
2. Apabila
jumlah Penghasilan neto sama dengan Penghasilan Kena Pajak, maka sesuai
tarif Pasal 17, Pajak Penghasilan yang terutang sebesar Rp.582.500.000,00
3.
Batas maksimum kredit pajak luar negeri adalah :
Rp.
1.000.000.000,00
Rp. 2.000.000.000,00
|
X Rp. 582.500.000,00
= Rp. 291.250.000,00
|
Oleh karena batas
maksimum kredit pajak luar negeri sebesar Rp 291.250.000,00 lebih besar dari
jumlah pajak luar negeri yang terutang atau dibayar di luar negeri yaitu
sebesar Rp. 200.000.000,00 maka jumlah kredit pajak luar negeri yang di
perkenankan adalah sebesar Rp. 200.000.000,00.
|
b.
|
PT B di Jakarta memperoleh
penghasilan neto dalam tahun 2001 sebagai berikut :
Penghasilan
dari usaha diluar negeri
Rugi
usaha di dalam negeri
|
Rp.1.000.000.000,00
(Rp.
200.000.000,00)
|
Pajak
atas Penghasilan di luar negeri misalnya 40% = Rp.400.000.000,00
Penghitungan maksimum kredit pajak luar negeri serta pajak terutang adalah
sebagai berikut :
1.
Penghasilan usaha luar negeri
Rugi usaha dalam
negeri
Jumlah penghasilan
neto
|
Rp.1.000.000.000,00
(Rp.
200.000.000,00)
Rp.
800.000.000,00
|
2. Apabila
jumlah Penghasilan neto sama dengan Penghasilan Kena Pajak, maka sesuai
tarif Pasal 17, Pajak Penghasilan yang terutang sebesar Rp.222.500.000,00.
3.
Batas maksimum kredit pajak luar negeri adalah :
Rp.
1.000.000.000,00
Rp. 800.000.000,00
|
X Rp. 222.500.000,00
= Rp. 278.125.000,00
|
Oleh karena pajak yang
dibayar diluar negeri dan batas maksimum kredit pajak luar negeri yang
dapat dikreditkan masih lebih besar dari jumlah pajak yang terutang, maka
kredit pajak luar negeri yang diperkenankan untuk dikreditkan dalam
penghitungan Pajak Penghasilan adalah sebesar Pajak Penghasilan yang
terutang yaitu Rp.222.500.000,00.
|
|
|
|
4.
|
Dalam hal penghasilan luar negeri
bersumber dari beberapa negara, maka jumlah maksimum kredit pajak luar negeri
dihitung untuk masing-masing negara dengan menerapkan cara penghitungan
sebagai berikut:
Contoh
:
PT C di
Jakarta dalam tahun 2001 memperoleh penghasilan neto sebagai berikut:
-
Penghasilan dalam negeri
-
Penghasilan dari negara X (dengan tarif pajak 40%)
-
Penghasilan dari negara Y (dengan tarif pajak 30%)
Jumlah
penghasilan neto
|
= Rp.
2.000.000.000,00
= Rp.
1.000.000.000,00
= Rp.
2.000.000.000,00 (+)
= Rp.
5.000.000.000,00
|
Apabila
penghasilan neto sama dengan Penghasilan Kena Pajak, maka Pajak Penghasilan
terutang menurut tarif Pasal 17 sebesar Rp.1.482.500.000,00.
Batas
maksimum kredit pajak luar negeri setiap negara adalah :
a.
|
Untuk
negara X =
Rp.
1.000.000.000,00
Rp.
5.000.000.000,00
|
X
Rp.1.482.500.000,00 = Rp. 296.500.000,00
|
Pajak
yang terutang diluar negeri sebesar Rp.400.000.000,00 lebih besar dari
batas maksimum kredit pajak yang dapat dikreditkan, maka jumlah kredit yang
diperkenankan hanya sebesar Rp.296.500.000,00.
|
b.
|
Untuk negara Y =
Rp. 2.000.000.000,00
Rp. 5.000.000.000,00
|
X
Rp.1.482.500.000,00 = Rp.593.000.000,00
|
Pajak
yang terutang diluar negeri sebesar Rp.600.000.000,00 lebih besar dari
batas maksimum kredit pajak yang dapat dikreditkan, maka jumlah kredit
pajak yang diperkenankan adalah Rp.593.000.000,00.
|
|
|
|
5.
|
Dalam hal Wajib Pajak
memperoleh penghasilan yang dikenakan Pajak yang bersifat final sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dan atau penghasilan yang dikenakan pajak
tersendiri sebagaimana dimaksud Pasal 8 ayat (1) dan ayat (4) Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah
terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000, maka atas penghasilan
tersebut bukan merupakan faktor penambahan penghasilan pada saat menghitung
Penghasilan Kena Pajak.
Contoh
:
PT
"D" di Jakarta dalam tahun 2001 memperoleh penghasilan sebagai
berikut:
1.
Penghasilan dari Negara Z
(dengan tarif pajak
30%)
|
Rp.2.000.000.000,00
|
2.
Penghasilan Dalam Negeri
|
Rp.3.500.000.000,00
|
(Penghasilan Dalam Negeri ini
termasuk penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2)
Undang-undang Pajak Penghasilan sebesar Rp 500.000.000,00)
3. Penghasilan
Kena Pajak PT "D" sebesar :
Rp. 2.000.000.000,00 + (Rp
3.500.000.000,00 - Rp. 500.000.000,00) =
Rp. 5.000.000.000,00
4.
Sesuai tarif Pasal 17, Pajak Penghasilan yang terutang sebesar : Rp
1.482.500.000,-
5.
Batas maksimum kredit pajak luar negeri adalah :
Rp. 2.000.000.000,00
Rp. 5.000.000.000,00
|
X Rp.1.482.500.000,00 =
Rp.593.000.000,00
|
Pajak yang terutang di negara
Z sebesar Rp 600.000.000,00, namun maksimum kredit pajak yang dapat
dikreditkan sebesar Rp 593.000.000,00.
|
|
B.
|
Pembetulan Surat Pemberitahuan
Tahunan karena perubahan penghasilan dari luar negeri, dilakukan sebagai berikut
:
|
|
|
1.
|
Dalam
hal terjadi koreksi fiskal di luar negeri yang menyebabkan adanya tambahan
penghasilan yang mengakibatkan pajak atas penghasilan terutang di luar negeri
lebih besar dari yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan, sehingga
pajak di luar negeri kurang dibayar, maka terdapat kemungkinan Pajak
Penghasilan di Indonesia juga kurang dibayar. Sepanjang koreksi fiskal di
luar negeri tersebut dilaporkan sendiri oleh Wajib Pajak melalui pembetulan
Surat Pemberitahuan Tahunan, maka bunga yang terutang atas pajak yang kurang
dibayar tersebut tidak ditagih.
Contoh
:
1.
|
Penghasilan luar negeri
(SPT) Rp. 1.000.000.000,00
|
2.
|
Penghasilan dalam negeri Rp. 2.000.000.000,00
|
3.
|
Penghasilan luar negeri
(setelah dikoreksi di luar negeri) Rp. 2.000.000.000,00
|
4.
|
Pajak atas penghasilan yang
terutang di luar negeri misalnya 40%
|
5.
|
PPh Pasal 25 yang dibayar Rp.
500.000.000,00
|
6.
|
PPh
terutang sebelum dan sesudah koreksi fiskal di luar negeri adalah sebagai
berikut:
|
|
SPT
|
SPT
PEMBETULAN
|
1. Penghasilan luar negeri
2. Penghasilan dalam negeri
3. Penghasilan Kena Pajak
|
Rp. 1.000.000.000,00
Rp. 2.000.000.000,00
Rp. 3.000.000.000,00
|
4. PPh terutang
5. Kredit Pajak Luar Negeri :
1.000.000.000,00
3.000.000.000,00
|
X882.500.000,00
|
|
Rp. 882.500.000,00
Rp. 294.166.667,00
|
6. PPh harus dibayar
7. PPh Pasal 25
8. PPh Pasal 29
|
Rp. 588.333.333,00
Rp. 500.000.000,00
Rp. 88.333.333,00
|
|
1. Penghasilan luar negeri
2. Penghasilan dalam negeri
3. Penghasilan Kena Pajak
|
Rp. 2.000.000.000,00
Rp. 2.000.000.000,00
Rp. 4.000.000.000,00
|
4. PPh terutang
5. Kredit Pajak Luar Negeri :
2.000.000.000,00
4.000.000.000,00
|
X1.182.500.000
|
|
Rp.1.182.500.000,00
Rp. 591.250.000,00
|
6. PPh harus dibayar
7. PPh Pasal 25
8. PPh Pasal 29
9. Masih harus dibayar
|
Rp. 591.250.000,00
Rp. 500.000.000,00
Rp. 88.333.333,00
Rp. 2.916.667,00
|
|
Terhadap PPh yang masih harus
dibayar sebesar Rp 2.916.667,00 tidak ditagih bunga
|
|
|
2.
|
Dalam
hal terjadi koreksi fiskal di luar negeri berupa koreksi yang menyebabkan
penghasilan dan pajak atas penghasilan terutang di luar negeri lebih kecil
dari yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan, sehingga pajak di
luar negeri lebih dibayar. Koreksi fiskal di luar negeri tersebut akan
mengakibatkan Pajak Penghasilan terutang di Indonesia juga menjadi lebih
kecil, sehingga Pajak Penghasilan menjadi lebih dibayar. Kelebihan bayar
pajak tersebut dapat dikembalikan kepada Wajib Pajak setelah diperhitungkan
dengan utang pajak yang lain.
Contoh
:
1.
|
Penghasilan luar negeri
(SPT) Rp. 1.000.000.000,00
|
2.
|
Penghasilan dalam negeri Rp. 2.000.000.000,00
|
3.
|
Penghasilan luar negeri
(setelah dikoreksi di luar negeri) Rp. 500.000.000,00
|
4.
|
Pajak atas penghasilan yang
terutang di luar negeri misalnya 40%
|
5.
|
PPh Pasal 25 yang dibayar
Rp. 500.000.000,00
|
6.
|
PPh
terutang sebelum dan sesudah koreksi fiskal di luar negeri adalah sebagai
berikut:
|
|
SPT
|
SPT
PEMBETULAN
|
1. Penghasilan luar negeri
2. Penghasilan dalam negeri
3. Penghasilan Kena Pajak
|
Rp. 1.000.000.000,00
Rp. 2.000.000.000,00
Rp. 3.000.000.000,00
|
4. PPh terutang
5. Kredit Pajak Luar Negeri :
1.000.000.000,00
3.000.000.000,00
|
X882.500.000,00
|
|
Rp. 882.500.000,00
Rp. 294.166.667,00
|
6. PPh harus dibayar
7. PPh Pasal 25
8. PPh Pasal 29
|
Rp. 588.333.333,00
Rp. 500.000.000,00
Rp. 88.333.333,00
|
|
1. Penghasilan luar negeri
2. Penghasilan dalam negeri
3. Penghasilan Kena Pajak
|
Rp. 500.000.000,00
Rp. 2.000.000.000,00
Rp. 2.500.000.000,00
|
4. PPh terutang
5. Kredit Pajak Luar Negeri :
500.000.000,00
2.500.000.000,00
|
X732.500.000
|
|
Rp. 732.500.000,00
Rp. 146.500.000,00
|
6. Harus dibayar di Indonesia
7. PPh Pasal 25
8. Kurang bayar
9. PPh Pasal 29 telah dibayar
10.Lebih bayar
|
Rp. 586.000.000,00
Rp. 500.000.000,00
Rp. 86.000.000,00
Rp. 88.333.333,00
Rp. 2.333.333,00
|
|
|
Pajak Penghasilan yang lebih dibayar
sebesar Rp.2.333.333,00 dapat diminta kembali setelah diperhitungkan dengan
utang pajak yang lain.
|