Daftar Isi
Daftar
Isi
............................................................................................................................................. |
i |
Daftar
Tabel
......................................................................................................................................... |
ii |
Daftar
Gambar
.....................................................................................................................................
|
iii |
Bab
I Pendahuluan
............................................................................................................................... |
1 |
1. Latar Belakang
.......................................................................................................................
|
1 |
2. Tujuan Total
Benchmarking
.....................................................................................................
|
2 |
3. Manfaat Total
Benchmarking
....................................................................................................
|
2 |
4. Proses dan metode
penetapan benchmark
................................................................................
|
2 |
Bab
II Rasio‐Rasio Benchmark dan Hubungan Antar Rasio
........................................................................
|
5 |
1. Rasio‐rasio Benchmark
.............................................................................................................. |
5 |
Rasio
Kinerja Operasional
.........................................................................................................
|
6 |
Rasio PPN
................................................................................................................................
|
9 |
Rasio
Input
..............................................................................................................................
|
9 |
Rasio
aktivitas luar usaha
.........................................................................................................
|
11 |
2. Hubungan Antar Rasio
..............................................................................................................
|
11 |
Bab
III Pemanfaatan Persamaan Hubungan antar Rasio
..........................................................................
|
14 |
Bab
IV Pemanfaatan Rasio Benchmark
.................................................................................................. |
17 |
Bab
V Penutup
..................................................................................................................................... |
24 |
Daftar
Pustaka
.....................................................................................................................................
|
25 |
Lampiran
I : Diagram Alur Pemanfaatan Total Benchmarking
................................................................... |
26 |
Lampiran
II : Format Kertas Kerja Pemanfaatan Total Benchmarking
........................................................ |
27 |
Daftar Tabel
Tabel 1 : Elemen‐Elemen Data untuk Penetapan Benchmark
........................................................................................................
4
Daftar Gambar
Gambar 1 : Contoh Laporan Laba ‐ Rugi
....................................................................................................................................
6
Bab I Pendahuluan
- Latar Belakang
Benchmarking
merupakan suatu proses yang telah secara umum diterapkan dalam dunia
usaha. Benchmarking dalam dunia bisnis merupakan suatu proses
sistematik dalam membandingkan produk, jasa atau praktik suatu
organisasi terhadap kompetitor atau pemimpin industri untuk menentukan
apa yang harus dilakukan dalam mencapai tingkat kinerja yang tinggi
1.
Dalam melakukan
benchmarking,
suatu organisasi membandingkan nilai-nilai tertentu (dari dalam
organisasi) dengan suatu titik referensi atau standar keunggulan yang
sebanding
2. Dengan melakukan pembandingan
tersebut,
perusahaan dapat melakukan evaluasi dan kemudian menentukan langkah
yang sistematik dan terarah untuk mencapai tujuan yang diharapkan.
Model di atas diadopsi pula oleh Direktorat Jenderal Pajak dalam rangka
melaksanakan fungsinya memberikan bimbingan dan pengawasan terhadap
wajib pajak. Dengan berasumsi bahwa wajib pajak dengan karakteristik
yang sama akan cenderung memiliki perilaku bisnis yang sama, kondisi
keuangan dan perpajakan masing-masing wajib pajak dapat dibandingkan
dengan suatu benchmark yang mewakili karakeristik wajib pajak yang
bersangkutan. Dengan melakukan pembandingan tersebut, diharapkan
Direktorat Jenderal Pajak dapat secara sistematis mendeteksi wajib
pajak dengan risiko ketidakpatuhan yang tinggi, untuk kemudian dapat
dilakukan tindak lanjut yang sesuai.
Benchmarking yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak disusun
dalam suatu konsep yang disebut Total Benchmarking. Total Benchmarking
didefinisikan sebagai proses membandingkan rasio-rasio yang terkait
dengan tingkat laba perusahaan dan berbagai input dalam kegiatan usaha
dengan rasio-rasio yang sama yang dianggap standar untuk kelompok usaha
tertentu, serta melihat hubungan keterkaitan antar rasio untuk menilai
kewajaran kinerja keuangan dan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib
Pajak. Dengan demikian total benchmarking memiliki karakteristik:
- |
Benchmark
disusun berdasarkan kelompok usaha. |
- |
Benchmarking
dilakukan atas rasio-rasio berkaitan dengan tingkat laba dan
input-input perusahaan. |
- |
Hubungan
keterkaitan antar rasio-rasio diperhatikan. |
- |
Fokus
pada penilaian kewajaran kinerja keuangan dan pemenuhan kewajiban
perpajakan. |
__________________________________
1 Society for Human Resource Management n.d.,
Business
Literacy Glossary of Terms , accessed 25/09/2009,
http://moss07.shrm.org/TemplatesTools/Glossaries/
BusinessTerms/Pages/b.aspx.
2 Barker, RL 2003, The social work dictionary
(5th ed.), NASW Press, Washington, DC, p41.
Wajib Pajak yang memiliki
kinerja
keuangan yang lebih rendah daripada benchmark, tidak selalu berarti
bahwa wajib pajak tersebut tidak melakukan kewajiban pajaknya dengan
benar. Perlu diagnosa lebih mendalam untuk dapat menentukan apakah
wajib pajak tersebut benar-benar tidak patuh atau terdapat
faktor-faktor lain yang menyebabkan wajib pajak memiliki kinerja yang
berbeda dengan benchmark. Total benchmarking bukan merupakan suatu
proses enforcement di mana wajib pajak diharuskan untuk mengikuti
standar yang ditetapkan, melainkan suatu alat bantu (supporting tools)
yang dapat digunakan oleh aparat pajak dalam membina wajib pajak dan
menilai kepatuhan perpajakannya.
- Tujuan Total Benchmarking
- Menjadi pedoman dan sebagai pembanding dengan kondisi SPT
Tahunan yang dilaporkan WP;
- Membantu pengawasan kepatuhan WP, terutama menyangkut
kepatuhan materialnya.
- Manfaat Total Benchmarking
- Supporting tools bagi program intensifikasi / penggalian
potensi pajak;
- Alat bantu dalam penghitungan tax gap.
- Proses dan metode penetapan benchmark
Total benchmarking
merupakan salah satu
dari langkah strategis yang berkaitan dengan upaya penggalian potensi
penerimaan pajak untuk mengamankan penerimaan pajak tahun 2009 dan
tahun-tahun selanjutnya. Program ini merupakan bagian dari program
penggalian potensi pajak melalui program mapping, profilling,
benchmarking, pertukaran data dan perekaman. Pelaksanaan program
tersebut secara teknis dituangkan dalam dalam Keputusan Direktur
Jenderal Pajak No. KEP-71/PJ/2009 tentang Pembentukan Tim Pembakuan
Disain dan Sistem Aplikasi Mapping, Profilling, Benchmarking,
Perekaman, dan Pertukaran Data Perpajakan.
Penetapan rasio-rasio
benchmark secara teknis dilakukan sebagai berikut:
- Nilai rasio-rasio benchmark ditetapkan untuk masing-masing
kelompok usaha berdasarkan 5 (lima) digit kode Klasifikasi Lapangan
Usaha (KLU) Wajib Pajak. Klasifikasi Lapangan Usaha dimaksud adalah KLU
sesuai Keputusan Direktur Jenderal Pajak nomor KEP-34/PJ/2003 tanggal
14 Februari 2003.
- Penetapan rasio-rasio benchmark untuk keseluruhan kelompok
usaha
dilakukan secara bertahap oleh Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak.
- Penetapan rasio benchmark menggunakan data perpajakan tahun
2005 sd. 2007.
- Sumber data yang digunakan dalam tahap awal pembentukan
benchmark
adalah data internal dalam sistem informasi perpajakan DJP, yang
terdiri dari :
- |
Elemen-elemen
Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh Badan; |
- |
Elemen-elemen
Surat Pemberitahuan Masa PPN; |
- |
Elemen-elemen
transkrip Laporan Keuangan. |
Penghitungan semua rasio
selain rasio
PPN menggunakan elemen data hasil perekaman Surat Pemberitahuan (SPT)
Tahunan PPh Badan. Data penjualan, HPP, Laba bersih dari Operasi, Laba
Sebelum Pajak diambil dari formulir 1771 Lampiran I, sedangkan data PPh
terutang diambil dari hasil perekaman induk formulir 1771. Data-data
gaji, sewa, bunga, penyusutan, dan biaya-biaya lain diambil dari
perekaman formulir 1771 Lampiran II. Apabila data perekaman formulir
1771 Lampiran II tidak lengkap, maka data tersebut dilengkapi
menggunakan data perekaman transkrip Laporan Keuangan. Data Pajak
Masukan diperoleh dari perekaman SPT PPN baik formulir 1195 maupun 1107.
Elemen-elemen data yang diperlukan untuk penghitungan rasio tersebut
dijabarkan dalam Tabel 1.
Tabel 1 : Elemen-Elemen Data
untuk Penetapan Benchmark
- Beberapa wajib pajak dipilih sebagai sampel dari populasi
masing-masing
kelompok usaha. Pemilihan dilakukan secara judgemental dengan
mempertimbangkan sampel tersebut harus memiliki nilai rasio-rasio yang
dianggap baik dan wajar dalam kelompok usahanya.
- Penentuan nilai rasio benchmark dilakukan dengan menghitung
rata-rata
rasio-rasio keuangan perusahaan-perusahaan yang diambil sebagai sampel,
dengan menggunakan metode penghitungan rata-rata tertimbang (weighted
average).
Bab II
Rasio-Rasio Benchmark dan Hubungan Antar Rasio
- Rasio-rasio Benchmark
Rasio-rasio yang digunakan
dalam total
benchmarking meliputi 14 rasio yang terdiri dari rasio-rasio yang
mengukur kinerja operasional, rasio input, rasio PPN dan rasio
aktivitas luar usaha. Pemilihan 14 rasio tersebut didasarkan pada
pertimbangan bahwa rasio yang digunakan sedapat mungkin mampu
memberikan gambaran secara menyeluruh atas kegiatan operasional
perusahaan dalam suatu periode dan berkaitan dengan semua jenis pajak
yang menjadi kewajiban wajib pajak. Rasio-rasio tersebut meliputi:
- Gross Profit Margin (GPM)
- Operating Profit Margin (OPM)
- Pretax Profit Margin (PPM)
- Corporate Tax to Turn Over Ratio (CTTOR)
- Net Profit Margin (NPM)
- Dividend Payout Ratio (DPR)
- Rasio PPN (pn)
- Rasio Gaji/Penjualan (g)
- Rasio Bunga/Penjualan (b)
- Rasio Sewa/Penjualan (s)
- Rasio Penyusutan/Penjualan (py)
- Rasio Penghasilan Luar Usaha/Penjualan (pl)
- Rasio Biaya Luar Usaha/Penjualan (bl)
- Rasio Input Lainnya/Penjualan (x)
Dengan mengukur rasio GPM, OPM, PPM, CTTOR, NPM, pl, dan bl didapatkan
gambaran yang utuh mengenai kegiatan/operasi perusahaan dalam suatu
tahun pajak sebagaimana tercermin dalam Penghitungan Laba Rugi (income
statement) perusahaan. Pengukuran secara utuh tersebut diperlukan agar
aparat pajak dapat melakukan diagnosa secara tepat dalam menentukan
elemen apa dari penghitungan rugi laba perusahaan tersebut yang
mengindikasikan ketidakwajaran. Pada prinsipnya, rasio-rasio tersebut
merupakan rasio yang dihasilkan dari analisis vertikal suatu
Penghitungan Laba Rugi Perusahaan (Lihat Gambar 1).
Rasio-rasio input juga diukur sebagai benchmark karena rasio-rasio
tersebut memberikan gambaran mengenai seberapa besar input yang diserap
oleh suatu usaha untuk menghasilkan output yang dihasilkannya.
Disamping besaran deviasi rasio input wajib pajak terhadap benchmark
dapat memberikan indikasi adanya ketidakwajaran dalam pembebanan biaya,
nilai rasio input yang ditunjukkan oleh wajib pajak juga memberikan
gambaran mengenai potensi withholding tax yang mungkin masih dapat
digali. Rasio Pajak Masukan/Penjualan dilakukan benchmark untuk menilai
kewajaran pengkreditan pajak masukan yang dilakukan wajib pajak,
disamping memberikan gambaran seberapa besar input perusahaan yang
merupakan objek PPN.
Keseluruhan rasio yang digunakan dalam total benchmarking dapat
dijelaskan masing-masing sebagai berikut:
Rasio Kinerja Operasional
- Gross Profit Margin (GPM)
Gross Profit Margin (GPM)
merupakan perbandingan antara laba kotor terhadap Penjualan. Nilai GPM
dihitung sebagai berikut:
GPM = kotor Laba x
100%, atau Penjualan
- Harga Pokok Penjualan x 100%
Penjualan
Penjualan
Laba kotor adalah selisih antara penjualan dan harga pokok penjualan.
Nilai GPM menunjukkan seberapa besar proporsi penjualan perusahaan yang
tersisa setelah digunakan untuk menutup ongkos untuk menghasilkan atau
memperoleh produk yang dijual.
- Operating Profit Margin (OPM)
Operating Profit Margin
(OPM) merupakan
perbandingan antara laba bersih dari operasi terhadap Penjualan. Nilai
OPM dihitung sebagai berikut:
OPM = Laba bersih dari
operasi x 100%
Penjualan
Laba bersih dari operasi adalah selisih antara penjualan dengan nilai
total biaya perusahaan untuk kegiatan operasional. Laba bersih dari
operasi pada umumnya diperoleh dengan mengurangi nilai penjualan dengan
harga pokok penjualan, beban umum dan beban administrasi. Laba bersih
dari operasi menunjukkan nilai laba bersih perusahaan yang diperoleh
semata-mata dari kegiatan operasional perusahaan.
Nilai OPM menunjukkan seberapa besar proporsi penjualan perusahaan
masih tersisa setelah digunakan untuk menutup seluruh biaya operasional
perusahaan. Makin besar nilai OPM menunjukkan bahwa perusahaan makin
efisien dalam memanfaatkan biaya-biaya yang dikeluarkannya untuk
menghasilkan penjualan.
- Pretax Profit Margin (PPM)
Pretax Profit Margin (PPM)
merupakan
perbandingan antara laba bersih sebelum pajak terhadap Penjualan. Nilai
PPM dihitung sebagai berikut:
PPM = Laba bersih
sebelum pajak x 100%
Penjualan
Laba bersih sebelum pajak adalah laba bersih yang diperoleh perusahaan
baik dari kegiatan operasional perusahaan maupun dari penghasilan
lainnya, sebelum memperhitungkan Pajak Penghasilan yang terutang. Laba
bersih sebelum pajak dapat diperoleh dari menambahkan Laba Bersih dari
Operasi dengan Penghasilan dari Luar Usaha, dikurangi Biaya dari luar
Usaha.
Nilai PPM menunjukkan besarnya laba bersih perusahaan relatif terhadap
nilai penjualan. Makin besar PPM menunjukkan makin tingginya tingkat
laba bersih yang dihasilkan baik dari kegiatan operasional maupun dari
kegiatan lainnya.
- Corporate Tax to Turn Over Ratio (CTTOR)
Corporate Tax to Turn Over
Ratio
(CTTOR) merupakan rasio Pajak Penghasilan terutang terhadap Penjualan.
Nilai CTTOR dihitung sebagai berikut:
CTTOR = PPh terutang x
100%
Penjualan
Nilai CTTOR menunjukkan besarnya PPh yang terutang dalam suatu tahun
relatif terhadap Penjualan yang dilakukan oleh perusahaan. Makin besar
CTTOR menunjukkan makin besar proporsi hasil penjualan perusahaan yang
digunakan untuk membayar Pajak Penghasilan.
- Net Profit Margin (NPM)
Net Profit Margin (NPM)
merupakan
perbandingan antara laba bersih setelah pajak terhadap Penjualan. Nilai
NPM dihitung sebagai berikut:
NPM = Laba bersih
setelah pajak x 100%
Penjualan
Laba bersih setelah pajak adalah laba bersih perusahaan setelah
memperhitungkan Pajak Penghasilan yang terutang menurut ketentuan
perundang-undangan yang berlaku. Nilai NPM menunjukkan besarnya Laba
Bersih yang dihasilkan perusahaan setelah memperhitungkan PPh yang
terutang. Makin besar NPM menunjukkan makin tingginya kemampuan
perusahaan dalam menghasilkan laba bagi pemilik (pemegang saham).
- Dividend Payout Ratio (DPR)
Dividend Payout Ratio
(DPR) merupakan rasio nilai pembayaran dividen terhadap laba bersih.
Nilai DPR dihitung sebagai berikut:
DPR = Pembayaran
Dividen Tunai x 100%
Laba
bersih setelah pajak
Nilai DPR menunjukkan seberapa besar proporsi laba bersih yang
dibagikan kepada pemegang saham dalam bentuk dividen tunai.
Rasio PPN
- Rasio PPN (pn)
Rasio PPN merupakan rasio
total pajak
masukan yang dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak dalam satu tahun
pajak terhadap Penjualan, tidak termasuk pajak masukan yang dikreditkan
dari transaksi antar cabang.Nilai Rasio PPN dihitung sebagai berikut:
pn = Jumlah Pajak
Masukan Januari - Desember x 100%
Penjualan
Rasio Input
Biaya-biaya yang digunakan dalam menghitung rasio-rasio input-- yaitu
biaya gaji, upah dan tunjangan, biaya bunga, biaya sewa dan royalti,
biaya penyusutan dan amortisasi dan biaya-biaya lain-- meliputi
biaya-biaya baik yang termasuk dalam komponen Harga Pokok Penjualan
maupun biaya-biaya yang termasuk dalam Beban Usaha Lain, misalnya dalam
komponen Beban Umum, Beban Penjualan, dan/atau Beban Administrasi.
Biaya-biaya yang merupakan komponen Beban luar usaha/Beban Lain-lain,
atau biaya yang dikapitalisasi tidak termasuk dalam penghitungan Rasio
Gaji/Penjualan, Rasio Bunga/Penjualan, Rasio Sewa/Penjualan atau Rasio
Penyusutan/Penjualan. Contohnya, biaya bunga yang dibebankan dalam
Biaya Luar Usaha merupakan bagian dari rasio Biaya Luar Usaha/Penjualan
(bl), bukan merupakan bagian dari Rasio Bunga/Penjualan.
- Rasio Gaji/Penjualan (g)
Rasio Gaji/Penjualan
merupakan rasio
antara jumlah biaya gaji, upah dan tunjangan atau yang sejenisnya yang
dibebankan dalam suatu tahun terhadap Penjualan. Nilai Rasio
Gaji/Penjualan dihitung sebagai berikut:
g = Jumlah
Biaya Gaji x 100%
Penjualan
Nilai g menunjukkan besarnya proporsi hasil penjualan yang digunakan
untuk membayar biaya tenaga kerja seperti gaji, upah, tunjangan
dan/atau pembayaran lainnya yang berhubungan dengan penggunaan tenaga
kerja. Makin tinggi nilai g menunjukkan bahwa suatu perusahaan
membutuhkan biaya tenaga kerja yang lebih tinggi. Sebagai contoh,
perusahaan dengan nilai g yang tinggi dapat berarti bahwa perusahaan
tersebut merupakan perusahaan yang mengandalkan keahlian pekerjanya,
misalnya perusahaan yang bergerak dalam bidang jasa profesional.
- Rasio Bunga/Penjualan (b)
Rasio Bunga/Penjualan
merupakan rasio
antara total beban bunga terhadap Penjualan, tidak termasuk bunga yang
dibebankan sebagai biaya di luar usaha (other expense). Nilai Rasio
Bunga/Penjualan dihitung sebagai berikut:
b = Jumlah
Beban Bunga x 100%
Penjualan
- Rasio Sewa/Penjualan (b)
Rasio Sewa/Penjualan
merupakan rasio
antara total beban sewa dan royalti terhadap Penjualan. Nilai Rasio
Sewa/Penjualan dihitung sebagai berikut:
s = Jumlah
Beban Sewa x 100%
Penjualan
- Rasio Penyusutan/Penjualan (py)
Rasio Penyusutan/Penjualan
merupakan
rasio antara total beban penyusutan dan amortisasi terhadap Penjualan.
Nilai Rasio Penyusutan/Penjualan dihitung sebagai berikut:
py = Jumlah
Beban Penyusutan x 100%
Penjualan
- Rasio Input Lainnya (x)
Rasio Input Lainnya
merupakan rasio
antara total biaya-biaya yang dibebankan dalam suatu tahun buku selain
beban gaji/upah, sewa, bunga, penyusutan, dan beban luar usaha terhadap
Penjualan. Nilai Rasio Input Lainnya/Penjualan dihitung sebagai berikut:
x = Jumlah
beban - beban lain x 100%
Penjualan
Rasio aktivitas luar usaha
- Rasio Penghasilan Luar Usaha Penghasilan Luar
Usaha/Penjualan
(pl) Rasio Penghasilan Luar Usaha/Penjualan merupakan rasio antara
total penghasilan dari luar usaha terhadap Penjualan. Nilai Rasio
Penghasilan Luar Usaha/Penjualan dihitung sebagai berikut:
pl = Penghasilan dari
luar usaha x 100%
Penjualan
- Rasio Biaya Luar Usaha/Penjualan (bl)
Rasio Biaya dari luar
usaha/Penjualan
merupakan rasio antara total biaya luar usaha terhadap Penjualan. Nilai
Rasio Biaya Luar Usaha/Penjualan dihitung sebagai berikut:
bl = Beban Luar
Usaha x 100%
Penjualan
- Hubungan Antar Rasio
Pada dasarnya, nilai
output yang
dihasilkan oleh suatu perusahaan merupakan jumlah total input yang
digunakan ditambah dengan sejumlah keuntungan yang diharapkan oleh
pengusaha yang bersangkutan. Apabila dirumuskan dalam suatu persamaan,
maka:
Input Antara + Input Primer + Margin Perdagangan
= Output
Input Antara adalah seluruh biaya yang dikeluarkan untuk barang dan
jasa yang digunakan habis dalam proses produksi (BPS…).
Input
Antara dalam suatu perusahaan dapat berupa penggunaan bahan baik bahan
baku maupun bahan pembantu, konsumsi energi, pemakaian barang-barang
lain, sewa gedung, sewa mesin dan peralatan, pemanfaatan jasa-jasa
serta input-input Antara lainnya.
Input Primer adalah input atau biaya yang timbul sebagai akibat dari
pemakaian faktor produksi (tenaga kerja dan kapital) dalam suatu
kegiatan ekonomi (BPS…). Input primer meliputi:
- Gaji dan upah yang dibayarkan kepada pekerja,
- Penyusutan barang modal
- Bunga yang dibayarkan kepada pemilik modal pihak ketiga
(hutang).
Penjualan perusahaan
merupakan output
perusahaan yang diukur dalam harga konsumen. Harga tersebut merupakan
jumlah total input ditambah sejumlah laba yang diharapkan oleh
pengusaha.
Input-input Antara pada prinsipnya meliputi pemakaian Barang Kena Pajak
(BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP), dan/atau pemakaian barang dan jasa
yang bukan BKP atau JKP. Dengan demikian, Input Antara yang merupakan
BKP atau JKP dapat diukur dengan menggunakan nilai perolehan BKP atau
JKP tersebut, dimana:
Nilai perolehan BKP atau
JKP = 10 x Pajak Masukan
Input Primer berupa penyusutan merupakan biaya atas modal berupa aktiva
tetap. Namun demikian atas perolehan aktiva tetap juga dilakukan
pemungutan PPN. Dengan demikian biaya atas perolehan aktiva tetap
tersebut juga terukur dalam nilai perolehan BKP atau JKP diatas.
Apabila keseluruhan input dan output suatu perusahaan diukur dalam
bentuk rasio terhadap nilai penjualan, hubungan antar rasio dapat
dirumuskan dalam suatu persamaan:
10pn + g + b +OPM + x ≈
100%
.................................................................. (I)
dimana:
- OPM = Operating profit margin
- pn = Rasio PPN (Pajak
Masukan/Penjualan)
- g = Rasio Gaji/Penjualan
- b = Rasio Bunga/Penjualan
- x = Rasio input lainnya
Dengan asumsi bahwa:
- Biaya sewa dan pembelian barang modal sudah dikenakan PPN,
sehingga rasio Sewa/Penjualan dan Penyusutan/Penjualan tidak dimasukkan
dalam persamaan.
- Semua barang yang dibeli atau diproduksi terjual pada
periode akuntansi yang sama (tidak ada persediaan).
Karena OPM = PPM -
(pl-bl), maka didapat persamaan kedua:
10pn + g + b + x + PPM
– (pl – bl) ≈ 100%
................................................................( II )
dimana:
- PPM = Pretax profit margin
- pl = Rasio penghasilan luar usaha
- bl = Rasio biaya luar usaha.
Karena PPM –
CTTOR = NPM, maka didapat pula persamaan ketiga:
10pn + g + b + x + NPM
– (pl – bl) + CTTOR ≈ 100%
.................................................( III )
dimana:
- NPM = Net profit margin
- CTTOR = Corporate tax to turnover ratio
Bab III Pemanfaatan
Persamaan Hubungan antar Rasio
Pada bab II, telah dijelaskan bahwa rasio-rasio total benchmarking
dapat dirumuskan dalam tiga persamaan hubungan antar rasio yaitu:
- 10pn + g + b + x + OPM ≈ 100%
- 10pn + g + b + x + PPM – (pl – bl)
≈ 100%
- 10pn + g + b + x + NPM – (pl –bl) +
CTTOR ≈ 100%
Ketiga formula di atas menunjukkan adanya keterkaitan antara satu rasio
dengan rasio lain. Adanya keterkaitan tersebut berakibat bahwa
kewajaran input dan laba suatu perusahaan dapat dinilai dari besarnya
komposisi masing-masing rasio. Logikanya, tingginya suatu rasio input
akan diimbangi dengan rendahnya rasio input yang lain dan/atau
rendahnya tingkat laba. Lebih lanjut, dengan berasumsi bahwa wajib
pajak dalam kelompok usaha sejenis cenderung akan memiliki karakter
usaha yang sama, komposisi input dan laba suatu perusahaan juga akan
memiliki komposisi yang mirip. Dengan menilai suatu Wajib Pajak
berdasarkan komposisi masing-masing rasio-rasio dalam persamaan diatas,
kemudian membandingkan dengan rasio-rasio benchmark untuk jenis usaha
yang sama dengan wajib pajak, dapat diperoleh gambaran awal bagaimana
kemungkinan Wajib Pajak beroperasi, serta kinerja keuangan dan
kepatuhan perpajakannya.
Untuk dapat mengenali Wajib Pajak secara lebih baik, aparat pajak perlu
melakukan analisis usaha (business analysis) terhadap Wajib Pajak yang
akan didalami. Analisis usaha adalah proses menilai prospek ekonomis
dan risiko suatu perusahaan, yang meliputi analisis lingkungan usaha,
strategi, posisi keuangan dan kinerja perusahaan
3.
Langkah
awal yang diperlukan dalam melakukan analisis lingkungan usaha ialah
mengumpulkan informasiinformasi yang relevan terkait dengan sektor
usaha yang bersangkutan. Tujuannya adalah untuk memperoleh gambaran
yang cukup mengenai karakteristik usaha pada sektor tersebut, misalnya
bagaimana perusahaan-perusahaan tersebut pada umumnya beroperasi,
adakah regulasi tertentu yang mengatur secara spesifik usaha tersebut,
adakah perlakuan akuntansi yang khusus diterapkan pada sektor tersebut,
dan sebagainya. Tahap selanjutnya adalah mengumpulkan
informasi-informasi yang cukup berkaitan dengan kegiatan usaha Wajib
Pajak yang sedang didalami. Hal ini diperlukan untuk dapat memperoleh
gambaran yang menyeluruh mengenai usaha Wajib Pajak sehingga dapat
dengan lebih tepat dalam melakukan analisis benchmarking.
_________________________________
3 Wild, Subramanyam & Hasley 2003,
Financial Statement Analysis, McGrawHill, New York, p3.
Rasio-rasio total benchmarking, yang di formulasikan dalam
bentuk persamaan hubungan antar rasio dapat digunakan sebagai alat
bantu
(supporting tools) dalam melakukan analisis lingkungan usaha maupun
dalam melakukan analisis posisi keuangan dan kinerja perusahaan.
Analisis lingkungan usaha dilakukan dengan membaca rasio-rasio
benchmark dalam suatu persamaan, sehingga diperoleh gambaran sekilas
bagaimana perusahaan dalam sektor usaha tertentu beroperasi sebelum
kita melakukan analisis pada suatu Wajib Pajak. Namun demikian, sebagai
supporting tools, analisis ini tak dapat dilakukan dengan baik tanpa
adanya pemahaman secukupnya mengenai sektor usaha yang sedang
dianalisis.
Contoh:
Hubungan antar rasio
benchmark jenis usaha Pertambangan Batubara adalah sebagai berikut:
10pn + g + b + x + NPM – ( pl – bl ) + CTTOR
≈ 100%
0.15% + 8.30% + 0.00% +
37.56% + 13.24% -(1.88% - 0.92%) + 6.20% = 64.49%
Dari persamaan diatas terlihat bahwa jumlah total persamaan adalah
64.49%, cukup jauh dibawah 100%. Hal ini karena input berupa bahan baku
dari pertambangan batubara merupakan barang yang tidak dikenakan PPN
atau PPN-nya tidak dapat dikreditkan sehingga tidak dapat terwakili
dengan nilai 10pn. Nilai pn yang sangat rendah ini menunjukkan bahwa
bahan baku dari usaha ini merupakan barang yang tidak dikenakan PPN
atau PPN-nya tidak dapat dikreditkan.
Dalam sektor usaha pertambangan, industri dan perdagangan, nilai pn
yang rendah, dibarengi nilai total persamaan yang rendah menunjukkan
bahwa input bahan baku atau barang dagangan yang dibeli tersebut
sebagian besar berupa non BKP atau mendapat fasilitas dibidang PPN. Hal
ini berbeda untuk perusahaan di sektor jasa. Nilai pn yang rendah
seharusnya tidak menyebabkan rendahnya jumlah persamaan jauh dibawah
100% karena pada sektor jasa hanya terdapat sedikit komponen
bahan/barang dagangan sedangkan input-input lainnya selain gaji, bunga,
penyusutan dan sewa akan terserap pada nilai x.
Input berupa biaya tenaga kerja adalah sebesar 8.30%, cukup tinggi
mengingat pertambangan batubara bukan tergolong industri padat karya.
Hal ini menunjukkan bahwa standar gaji/upah tenaga kerja dalam jenis
usaha ini tergolong tinggi.
Input berupa biaya bunga adalah sebesar 0%, menunjukkan usaha ini lebih
mengandalkan modal sendiri daripada modal pinjaman pihak ketiga. Rasio
input lainnya (x) adalah sebesar 37.56%. Nilai rasio ini tinggi karena
adanya jasa-jasa subkontrak pertambangan yang cukup besar digunakan
oleh usaha ini.
Dalam rangka analisis posisi keuangan perusahaan, rasio-rasio wajib
pajak yang akan dianalisis disajikan dalam bentuk persamaan di atas dan
kemudian dilakukan analisis individual terhadap masing-masing
komponennya. Analisis ini dilakukan tanpa proses pembandingan dengan
benchmark. Proses analisis dilakukan dengan cara yang sama dengan
proses analisis lingkungan usaha di atas.
Untuk dapat menilai kewajaran kinerja keuangan dan kepatuhan wajib
pajak, yang perlu dilakukan adalah membandingkan analisis posisi
keuangan (analisis individual) tersebut dengan analisis lingkungan
usaha berdasarkan persamaan benchmark di atas. Pembandingan ini
diarahkan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut ini:
- |
Mengapa
terdapat perbedaan antara persamaan hubungan antara rasio Wajib Pajak
dengan persamaan benchmarknya? |
- |
Apakah
perbedaan tersebut mengindikasikan adanya ketidakwajaran dalam kinerja
keuangan dan/atau ketidakpatuhan perpajakan? |
Pembandingan rasio-rasio keuangan Wajib Pajak dengan benchmarknya dapat
dilakukan secara lebih mendalam melalui analisis dalam rangka
pemanfaatan rasio-rasio benchmark, sebagaimana disajikan dalam Bab IV.
Bab IV Pemanfaatan Rasio
Benchmark
Dibawah ini disajikan panduan penggunaan rasio-rasio benchmark untuk
melakukan pengujian kepatuhan terhadap suatu Wajib Pajak. Panduan yang
disajikan ini sekedar merupakan ilustrasi bagaimana rasio-rasio dalam
total benchmarking ini dapat dimanfaatkan. Pengguna dapat mengembangkan
sendiri cara-cara pemanfaatan yang dianggap lebih tepat dan lebih
efisien sesuai kebutuhan masing-masing pengguna. Dalam ilustrasi ini,
aspek yang dapat diuji menggunakan benchmark meliputi:
- Biaya Usaha
- Koreksi Fiskal
- Penghasilan dan Biaya Luar Usaha
- Objek Pemotongan dan Pemungutan PPh
- Kewajaran Pajak Masukan
Contoh kertas kerja yang digunakan dalam pengujian ini adalah
sebagaimana disajikan dalam
Lampiran.
Biaya Usaha
Biaya Usaha meliputi Harga Pokok Penjualan dan Beban Usaha Lainnya.
Istilah yang digunakan maupun cara penggolongan jenis-jenis beban
mungkin berbeda-beda tergantung jenis usaha maupun model pembukuan yang
digunakan oleh wajib pajak.
Biaya usaha Wajib Pajak dapat dibandingkan dengan
Benchmark dengan
langkahlangkah sebagai berikut:
- Membandingkan rasio HPP/Penjualan terhadap rasio benchmark,
dimana rasio HPP/Penjualan = 100% - GPM;
- Membandingkan rasio Biaya Usaha Lain/Penjualan terhadap
rasio benchmark, dimana rasio Biaya Usaha Lain/Penjualan = GPM
– OPM.
- Membandingkan hasil penjumlahan rasio HPP/Penjualan dan
Biaya Usaha Lain/Penjualan diatas dengan rasio benchmarknya.
- Melakukan analisis terhadap hasil pembandingan tersebut.
Contoh 1:
PT A, dengan KLU 32300 memiliki GPM = 18.74% dan OPM=1.76%. Rasio
Benchmark untuk KLU tersebut adalah GPM=16.43% dan OPM=3.15%. Pengujian
Biaya Usaha PT A dapat dilakukan sebagai berikut:
Biaya
Usaha |
WP |
Benchmark |
Selisih |
1
Harga Pokok Penjualan (100% - GPM) |
81.26% |
83.57% |
-2.31% |
2
Biaya Usaha Lain (GPM - OPM) |
16.98% |
13.27% |
3.71% |
|
|
3
Jumlah ( 1 + 2 ) |
98.24% |
96.85% |
1.39% |
|
|
Berdasarkan pembandingan
diatas diketahui bahwa kinerja operasional perusahaan masih di bawah
benchmark karena Beban Usaha Wajib Pajak berada 1.39% diatas benchmark.
Tingginya beban usaha tersebut karena Biaya Usaha lain yang berada
3.71% diatas benchmark. Dengan demikian penelitian perlu lebih
difokuskan pada komponen Beban Usaha Lain.
Untuk lebih mendalami komponen mana dalam Harga Pokok Penjualan
dan/atau Biaya Usaha Lain yang memerlukan penelitian lebih lanjut,
dapat diambil langkah-langkah sebagai berikut:
- Membandingkan nilai rasio Gaji/Penjualan (g),
Penyusutan/Penjualan (py), Sewa/Penjualan (s), Bunga/Penjualan (b), dan
Input Lain (x) Wajib Pajak dengan rasio benchmark.
- Menghitung rasio Pemakaian Bahan (Barang
Dagangan)/Penjualan Wajib Pajak dengan menggunakan formula : (1-OPM)
– (g + py + s + b + x) dan membandingkannya dengan nilai benchmark.
- Melakukan analisis terhadap hasil penghitungan dan
pembandingan pada langkah 1 dan 2 diatas, untuk menentukan komponen
biaya usaha mana yang memerlukan penelitian lebih mendalam.
Contoh 2:
Melanjutkan contoh 1, PT
A memiliki rasio g=5,42%, py=0,91%, s=1,87%, b=0,00% dan x=13,97%,
sedangkan rasio benchmark pada KLU 32300 adalah g=7,11%, py=5,41%,
s=0.23%, b=2,15% dan x=13,67%. Langkah 1 dan 2 diatas dapat disajikan
sebagai berikut:
Pembandingan antara rasio-rasio g, py, s, b dan x Wajib Pajak terhadap
benchmark menunjukkan bahwa proporsi beban gaji, beban penyusutan dan
beban bunga terhadap penjualan masih dibawah benchmark. Rasio beban
sewa terhadap penjualan sedikit diatas benchmark. Sedangkan rasio
pemakaian bahan (barang dagangan) terhadap penjualan menunjukkan
selisih yang cukup tinggi diatas benchmark. Untuk dapat melakukan
analisis secara tepat terhadap hasil pembandingan tersebut, diperlukan
pemahaman menyeluruh mengenai kondisi industri pada umumnya serta
pengetahuan mengenai kegiatan usaha wajib pajak. Hal-hal yang sekilas
dapat disimpulkan misalnya:
- |
Rasio
g Wajib Pajak lebih rendah dari benchmark mungkin disebabkan WP
menggunakan pekerja yang lebih sedikit dibanding perusahaan sejenis
(misalnya karena faktor pemanfaatan teknologi yang lebih intensif),
membayar dengan upah yang lebih murah (misalnya karena faktor lokasi)
atau karena peredaran usaha wajib pajak yang lebih besar dibanding
rata-rata perusahaan pada KLU yang sama. |
- |
Rasio
py Wajib Pajak lebih rendah dari benchmark mungkin disebabkan Wajib
Pajak tidak melakukan investasi dalam bentuk barang modal dalam
beberapa tahun terakhir. |
- |
Rasio
s Wajib Pajak lebih tinggi dari benchmark mungkin disebabkan perusahaan
lebih mengandalkan aktiva yang disewa dari pihak lain dalam operasional
perusahaan dibandingkan membeli sendiri. |
- |
Rasio
Pemakaian bahan terhadap Penjualan menunjukkan nilai 7,79% diatas
benchmark, yang dapat berarti bahwa Wajib Pajak lebih tidak efisien
dalam menggunakan bahan baku dan atau bahan pembantu dibandingkan
perusahaan lain yang sejenis. Penyebab lain adalah kemungkinan harga
perolehan bahan yang lebih tinggi dibanding perusahaan lain. |
Dari selisih-selisih
diatas terlihat bahwa selisih Pemakaian Bahan/Penjualan terhadap
benchmark memiliki tingkat risiko ketidakbenaran yang paling tinggi.
Untuk itu, penelitian perlu difokuskan pada akun-akun yang berkaitan
dengan pembelian dan penggunaan bahan.
Koreksi Fiskal
Dalam menghitung PPh terutang dalam suatu tahun pajak, Wajib Pajak
mengalikan tarif pajak yang berlaku dengan Penghasilan Kena Pajak.
Nilai Penghasilan Kena Pajak pada dasarnya merupakan nilai Laba
Komersial Perusahaan yang disesuaikan dengan sejumlah koreksi fiskal
baik berupa Koreksi Fiskal Positif maupun Koreksi Fiskal Negatif, serta
memperhitungkan sejumlah kompensasi kerugian tahun sebelumnya, jika ada.
Rasio-rasio benchmarking dapat dimanfaatkan pula untuk menguji apakah
nilai total koreksi fiskal suatu Wajib Pajak dapat dipandang wajar atau
tidak bila dibandingkan benchmark pada usaha sejenis. Kewajaran
tersebut dapat dinilai dengan membandingkan antara rasio PPh
terutang/Laba bersih Komersial Wajib Pajak dengan benchmarknya, dimana
rasio tersebut dapat dihitung dengan cara membagi CTTOR terhadap PPM.
Hasil pembandingan tersebut, apabila ternyata rasio WP lebih rendah
dibanding benchmark, harus dianalisis secara hati-hati apakah Wajib
Pajak yang bersangkutan juga melakukan kompensasi kerugian, sebelum
dapat menarik kesimpulan adanya indikasi bahwa Koreksi Fiskal
Positif/Negatif yang dilakukan ternyata lebih rendah/tinggi dari yang
seharusnya.
Contoh 3:
PT A, KLU 32300, memiliki PPM=2,53% dan CTTOR=1,78%, sedangkan rasio
benchmark pada KLU yang sama adalah PPM=2,96% dan CTTOR=1,30%. Tidak
ada kompensasi kerugian pada tahun yang bersangkutan.
|
WP |
Benchmark |
Selisih |
CTTOR/PPM |
70.37% |
43.96% |
26.41% |
CTTOR/PPM Wajib Pajak lebih tinggi daripada benchmark, yang berarti
koreksi fiskal yang dilakukan wajib pajak masih dibawah benchmark
perusahaan sejenis.
Penghasilan Luar Usaha
Pengujian atas penghasilan dan biaya luar usaha dilakukan dengan
membandingkan nilai Rasio Penghasilan Luar Usaha/Penjualan (pl) dan
Rasio Biaya Luar
Usaha/Penjualan (bl) Wajib Pajak terhadap rasio pl dan bl benchmark.
Analisis dilakukan
terhadap hasil pembandingan tersebut.
Contoh 4:
PT A, KLU 32300 memiliki pl=3,40% dan bl=2,63%, sedangkan rasio
benchmark untuk KLU tersebut adalah pl=3,09% dan bl=2,13%.
|
WP |
Benchmark |
Selisih |
pl
|
3.40% |
0.31% |
3.09% |
bl |
2.63% |
0.50% |
2.13% |
Netto
(pl-bl) |
0.77% |
-0.19% |
0.96% |
Hasil pembandingan menunjukkan bahwa Penghasilan Luar Usaha Netto Wajib
Pajak berada diatas benchmark, dengan nilai pl dan bl keduanya diatas
benchmark. Tingginya pl bisa terjadi karena adanya penghasilan luar
usaha yang bersifat
insidentil yang diterima oleh Wajib Pajak pada tahun yang bersangkutan,
atau
penghasilan lain yang diterima secara rutin oleh Wajib Pajak diluar
dari usaha pokok Wajib
Pajak yang tidak secara umum juga diterima oleh perusahaan lain dalam
usaha sejenis.
Karena rasio Penghasilan Luar Usaha diatas secara netto berada diatas
benchmark,
pendalaman lebih lanjut mengenai penghasilan luar usaha ini tidak perlu
menjadi
prioritas.
Objek Pemotongan dan
Pemungutan PPh
Pengujian dilakukan dengan membandingkan rasio-rasio yang berkaitan
dengan objek Pemotongan dan Pemungutan PPh terhadap benchmarknya.
Rasio-rasio
yang dibandingkan meliputi rasio Gaji/Penjualan (g) terkait objek PPh
pasal
21, rasio Bunga/Penjualan (b) terkait objek PPh Pasal 23, dan rasio
Sewa/Penjualan terkait objek PPh Pasal 23 dan Pasal 4 ayat (2).
Contoh 5:
Menggunakan data-data PT A, diperoleh perbandingan sebagai berikut:
|
WP |
Benchmark |
Selisih |
1
Gaji |
5.42% |
7.11% |
-1.69% |
2
Sewa |
1.87% |
0.23% |
1.64% |
3
Bunga |
0.00% |
2.15% |
-2.15% |
4
Input Lain |
13.97% |
13.67% |
0.30% |
Dalam melakukan analisis, perlu diperhatikan terlebih dahulu hasil
analisis kita terhadap gaji, sewa, bunga dan input lain tersebut
sebagai Biaya Usaha. Meskipun
Rasio Gaji/Penjualan dan Rasio Bunga/Penjualan terlihat berada dibawah
benchmark, perlu diteliti lebih dalam apakah masih terdapat potensi PPh
Pemotongan dan
Pemungutan yang masih dapat digali dengan memperhatikan alasan-alasan
yang mungkin
mengenai rendahnya rasio tersebut. Ekualisasi objek-objek pemotongan
dan
pemungutan PPh perlu dilakukan dan data diatas dapat digunakan sebagai
pelengkap
analisis.
Kewajaran Pajak Masukan
Pengujian kewajaran Pajak Masukan pada dasarnya dilakukan dengan
membandingkan rasio Pajak Masukan/Penjualan (pn) Wajib Pajak dengan
rasio benchmarknya, serta membandingkan penghitungan pembelian bahan
berdasarkan laporan keuangan dengan pembelian bahan (barang)
berdasarkan pengkreditan pajak
masukan. Langkah-langkah yang dilakukan meliputi:
- Menghitung rasio Pembelian Bahan (Barang Dagangan) /
Penjualan
dengan cara mengurangi Rasio Total Biaya Usaha/Penjualan dengan g, py,
s, b, x dan
rasio Selisih Persediaan/Penjualan.
- Menghitung rasio Jumlah Pembelian menurut PPN / Penjualan
dengan
cara menambah atau mengurang nilai 10pn dengan suatu penyesuaian akibat
perbedaan saat pengkreditan PM dengan saat pengakuan pembelian BKP/JKP.
- Menghitung selisih antara hasil penghitungan langkah 1 dan
hasil
langkah 2.
- Membandingkan hasil penghitungan langkah 1, 2 dan 3 dengan
hasil
penghitungan menggunakan angka-angka rasio benchmark.
- Melakukan analisis hasil langkah 1, 2, 3 dan 4 diatas.
Contoh 6:
PT A, KLU 32300 memiliki nilai 10pn=92,20%, sedangkan rasio benchmark
adalah 10pn=67,43%.
Dari perhitungan diatas
diketahui
bahwa Wajib Pajak melakukan Pembelian
Bahan sebesar 75,01% dari nilai Penjualan. Hal ini diketahui dari nilai
pemakaian bahan yang dibebankan dalam biaya usaha sebesar 76,07%
dikurangi dengan selisih
persediaan 1,06% (selisih persediaan=persediaan akhir-persediaan awal).
Sementara
itu nilai pembelian BKP/JKP menurut SPT PPN pada periode yang sama
adalah sebesar 92,20%. Dengan demikian terdapat selisih negatif sebesar
-17,19%.
Bila nilai selisih
positif,
kemungkinannya adalah bahwa terdapat
pemakaian bahan yang bukan merupakan objek PPN (Non BKP), Wajib Pajak
memperoleh fasilitas
dibidang PPN, atau terdapat Pajak Masukan WP yang tidak [dapat]
dikreditkan.
Bila selisih negatif seperti contoh diatas, kemungkinannya adalah
selisih tersebut adalah
Pajak Masukan atas perolehan JKP. Namun demikian bila dibandingkan
dengan x, ternyata
selisih tersebut lebih besar dari x, mengindikasikan adanya
pengkreditan Pajak
Masukan yang tidak seharusnya. (Biaya usaha berupa jasa-jasa yang
dibebankan Wajib
Pajak termasuk dalam Input Lain (x) ini disamping beban-beban lainnya
seperti
beban penghapusan piutang). Pembandingan antara pn WP dengan benchmark
juga menunjukkan angka pn WP diatas benchmark mengindikasikan bahwa
pengkreditan PM Wajib Pajak berada diatas kewajaran.
Bab V Penutup
Buku Petunjuk Teknis Pemanfaatan Total Benchmarking berisikan panduan
penggunaan rasio-rasio benchmark untuk melakukan pengujian kepatuhan
terhadap Wajib Pajak. Panduan yang disajikan ini merupakan ilustrasi
bagaimana
rasio-rasio dalam total benchmarking ini dapat dimanfaatkan. Pengguna
dapat mengembangkan
sendiri cara-cara pemanfaatan yang dianggap lebih tepat dan lebih
efisien sesuai dengan
kebutuhan masing-masing.
Rasio-rasio yang digunakan dalam total benchmarking meliputi 14 rasio
yang terdiri dari rasio-rasio yang mengukur kinerja operasional, rasio
input, rasio
PPN dan rasio aktivitas luar usaha. Pemilihan 14 rasio tersebut
didasarkan pada
pertimbangan bahwa rasio yang digunakan sedapat mungkin mampu
memberikan gambaran secara menyeluruh atas kegiatan operasional
perusahaan dalam suatu periode dan
berkaitan dengan semua jenis pajak yang menjadi kewajiban wajib pajak.
Penetapan
rasio-rasio benchmark untuk keseluruhan kelompok usaha dilakukan secara
bertahap
oleh Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak.
Wajib Pajak yang memiliki kinerja keuangan yang lebih rendah daripada
benchmark, tidak
selalu berarti bahwa wajib pajak tersebut tidak
melakukan kewajiban pajaknya dengan benar. Perlu diagnosa lebih
mendalam untuk dapat
menentukan apakah wajib pajak tersebut benar-benar tidak patuh atau
terdapat
faktor-faktor lain yang menyebabkan wajib pajak memiliki kinerja yang
berbeda dengan
benchmark.
Dengan adanya
Total
benchmarking, diharapkan Direktorat Jenderal Pajak
dapat secara sistematis menilai kewajaran kinerja keuangan dan
pemenuhan
kewajiban perpajakan Wajib Pajak serta mendeteksi wajib pajak dengan
risiko
ketidakpatuhan yang tinggi, untuk kemudian dapat dilakukan tindak
lanjut yang sesuai. Total
benchmarking bukanlah satu-satunya alat ukur yang sifatnya tidak dapat
berubah dan
statis. Tetap diperlukan suatu sikap kritis dan analitis dalam
menerapkan dan menggunakan rasio-rasio dalam
total benchmarking.
Diharapkan di masa yang akan datang dapat dilakukan penyempurnaan atas
Total Benchmarking ini dan masukan atas hal ini sangat diharapkan demi
kemajuan bersama Direktorat Jenderal Pajak.
Daftar Pustaka
Barker, RL 2003, The social work dictionary (5th ed.), NASW Press,
Washington, DC.
Society for Human Resource Management n.d., Business Literacy Glossary
of Terms, , accessed 25/09/2009,
http://moss07.shrm.org/TemplatesTools/Glossaries/
BusinessTerms/Pages/b.aspx.
Wild, Subramanyam & Hasley 2003, Financial Statement Analysis,
McGrawHill, New York.
Lampiran II : Format Kertas Kerja
Pemanfaatan Total
Benchmarking
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
KANTOR PELAYANAN PAJAK …………
KERTAS KERJA PEMANFAATAN TOTAL
BENCHMARKING
- IDENTITAS WAJIB PAJAK
1. Nama Wajib Pajak |
: |
2. NPWP |
: |
3. KLU –
Uraian KLU |
: |
4. Tahun pajak |
: |
5. Peredaran Usaha |
: Rp |
- PERBANDINGAN DENGAN RASIO BENCHMARK
No. |
Uraian |
Rasio-Rasio |
Keterangan |
Wajib Pajak |
Benchmark |
Selisih |
1 |
GPM |
|
|
|
|
2 |
OPM |
|
|
|
|
3 |
PPM |
|
|
|
|
4 |
CTTOR |
|
|
|
|
5 |
NPM |
|
|
|
|
6 |
Rasio Ph LU (pl) |
|
|
|
|
7 |
Rasio Biaya LU (bl) |
|
|
|
|
8 |
DPR |
|
|
|
|
9 |
Rasio PPN*10 (10 pn) |
|
|
|
|
10 |
Rasio Gaji (g) |
|
|
|
|
11 |
Rasio Penyusutan (py) |
|
|
|
|
12 |
Rasio Sewa(s) |
|
|
|
|
13 |
Rasio Bunga (b) |
|
|
|
|
14 |
Rasio Input Lainnya (x) |
|
|
|
|
15 |
Rasio Selisih Persediaan |
|
|
|
|
16 |
Formula I |
|
|
|
|
17 |
Formula II |
|
|
|
|
18 |
Formula III |
|
|
|
|
- ANALISIS
- Biaya Operasional
No. |
Uraian |
Rasio-rasio |
Keterangan |
Wajib Pajak |
Benchmark |
Selisih |
1 |
HPP (100% ‐
GPM) |
|
|
|
|
2 |
Biaya Usaha Lain (GPM ‐ OPM) |
|
|
|
|
3 |
Biaya Operasional |
|
|
|
|
4 |
Gaji |
|
|
|
|
5 |
Penyusutan |
|
|
|
|
6 |
Sewa |
|
|
|
|
7 |
Bunga |
|
|
|
|
8 |
Input Lain |
|
|
|
|
9 |
Jumlah 4 s.d. 8 |
|
|
|
|
10 |
Pemakaian Bahan / Barang Dagangan (3 ‐ 9) |
|
|
|
|
a. |
Analisis
Account Representative
…………………… |
b. |
Indikasi
………………. |
c. |
Fokus
Penelitian dan Hasil Penelitian
……………………. |
d. |
Rencana
Tindak Lanjut
………………………… |
- Penghasilan dan Biaya Luara Usaha
No. |
Uraian |
Rasio-rasio |
Keterangan |
Wajib Pajak |
Benchmark |
Selisih |
1 |
PPM‐OPM |
|
|
|
|
2 |
Penghasilan Luar Usaha (pl) |
|
|
|
|
3 |
Biaya Luara Usaha (bl) |
|
|
|
|
a. |
Analisis
Account Representative
…………………… |
b. |
Indikasi
………………. |
c. |
Fokus
Penelitian dan Hasil Penelitian
……………………. |
d. |
Rencana
Tindak Lanjut
………………………… |
- Koreksi Fiskal
No. |
Uraian |
Rasio-rasio |
Keterangan |
Wajib Pajak |
Benchmark |
Selisih |
1 |
CTTOR/PPM |
|
|
|
|
a. |
Analisis
Account Representative
…………………… |
b. |
Indikasi
………………. |
c. |
Fokus
Penelitian dan Hasil Penelitian
……………………. |
d. |
Rencana
Tindak Lanjut
………………………… |
- Pemotongan dan Pemungutan PPh
No. |
Uraian |
Rasio-rasio |
Keterangan |
Wajib Pajak |
Benchmark |
Selisih |
1 |
Gaji |
|
|
|
|
2 |
Sewa |
|
|
|
|
3 |
Bunga |
|
|
|
|
4 |
Input Lainnya |
|
|
|
|
a. |
Analisis
Account Representative
…………………… |
b. |
Indikasi
………………. |
c. |
Fokus
Penelitian dan Hasil Penelitian
……………………. |
d. |
Rencana
Tindak Lanjut
………………………… |
- PPN
No. |
Uraian |
Rasio-rasio |
Keterangan |
Wajib Pajak |
Benchmark |
Selisih |
1 |
Biaya
Operasional |
|
|
|
|
2 |
Jumlah g + py + s + b + x |
|
|
|
|
3 |
Pemakaian bahan/barang (1-2) |
|
|
|
|
4 |
Dikurangi: Selisih persediaan |
|
|
|
|
5 |
Pembelian barang/bahan (3-4) |
|
|
|
|
6 |
Pembelian terutang PPN (10*pn) |
|
|
|
|
7 |
Penyesuaian perbedaan saat
pengkreditan dgn pembelian BKP/JKP |
|
|
|
|
8 |
Jumlah pembelian menurut PPN (6+7) |
|
|
|
|
|
Selisih (5-8) |
|
|
|
|
|
Positif : Pembelian non BKP/JKP |
|
|
|
|
|
Negatif : Perolehan JKP |
|
|
|
|
9 |
Rasio Input Lainnya |
|
|
|
|
a. |
Analisis
Account Representative
…………………… |
b. |
Indikasi
………………. |
c. |
Fokus
Penelitian dan Hasil Penelitian
……………………. |
d. |
Rencana
Tindak Lanjut
………………………… |
- KESIMPULAN
……………….
Mengetahui,
Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi….
.........................
NIP |
……………………,……………………..
2009
Dibuat oleh,
.........................
NIP |