PENJELASAN
ATAS
KEPUTUSAN
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR
: 1238/KMK.04/1984
TENTANG
PENINJAUAN KEMBALI BESARNYA TARIP,
BATAS KEKAYAAN MINIMUM KENA PAJAK
DAN
BATAS-BATAS NILAI LAINNYA DALAM ORDONANSI PAJAK KEKAYAAN 1932
I. |
UMUM Dikeluarkannya Keputusan Presiden Republik Indonesia
Nomor 26 Tahun 1984 tentang Pengampunan Pajak adalah dengan tujuan utama agar
masyarakat akan lebih terbuka dengan melaporkan jumlah kekayaannya yang
sebenarnya, sebagai pangkal tolak yang bersih berlandaskan kejujuran untuk
melaksanakan sistem perpajakan baru, guna meningkatkan peran serta masyarakat
dalam pembiayaan penyelenggaraan negara dan pembangunan. Agar
keterbukaan dan kejujuran masyarakat tersebut diikuti dengan penegasan Pajak
Kekayaan yang wajar, maka dipandang perlu untuk meninjau kembali besarnya
tarip dan batas minimum kena pajak serta batas-batas nilai lainnya dalam
Ordonansi Pajak Kekayaan 1932, sebagaimana diatur dalam Surat Keputusan
Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor KEP-958/MK/II/9/1973 tanggal 18
September 1973 dan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
280/KMK.04/1982 tanggal 1 Mei 1982. Dengan demikian, maka diharapkan masyarakat tidak akan
ragu-ragu untuk menggunakan kekayaannya guna memperbesar modalnya atau melakukan
penanaman baru. Hal ini sejalan dengan kebijaksanaan pemerintah
mendorong pembangunan ekonomi dari sektor swasta. |
|||||||
II. |
PASAL DEMI PASAL |
|||||||
|
Pasal 1 |
|
||||||
|
|
Ayat (1) Tarip Pajak Kekayaan diturunkan dari Rp. 10,- (sepuluh
rupiah) untuk setiap jumlah Rp. 1.000,- (seribu rupiah) menjadi Rp. 5,- (lima
rupiah) untuk setiap Rp. 1.000,- (seribu rupiah) penuh, sedangkan batas
minimum kena pajak dinaikkan dari Rp. 14.000.000,- (empat
belas juta rupiah) menjadi Rp. 80.000.000,- (delapan puluh juta rupiah). Dengan demikian, maka seorang Wajib Pajak yang pada
tanggal 1 Januari 1985 memiliki kekayaan sampai sebesar Rp. 80.000.000,- (delapan
puluh juta rupiah) tidak terhutang Pajak Kekayaan. Seorang
Wajib Pajak baru terhutang Pajak Kekayaan apabila pada tanggal 1 Januari 1985
memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp. 80.000.000,- (delapan puluh juta
rupiah). Pajak yang terhutang adalah sebesar Rp. 5,- (lima rupiah) untuk setiap jumlah Rp. 1.000,- (seribu rupiah) penuh,
atas jumlah setelah dikurangi batas minimum kena pajak Rp. 80.000.000,-
(delapan puluh juta rupiah). Contoh : |
||||||
|
|
Wajib Pajak A pada tanggal 1 Januari 1985 |
|
|||||
|
|
memiliki kekayaan bersih sejumlah |
Rp. 80.153.750,- |
|||||
|
|
Batas minimum kena pajak |
Rp. 80.000.000,-
|
|||||
|
|
Sisa |
Rp. 153.750,- |
|||||
|
|
Kekayaan bersih kena pajak |
Rp. 153.000,- |
|||||
|
|
Pajak Kekayaan 5/1.000 x Rp. 153.000,- |
Rp. 765,-
|
|||||
|
|
Ayat (2) Perhiasan berupa logam mulia, mutiara dan batu permata
yang nilainya tidak melebihi Rp.12.000.000,- (dua belas juta rupiah)
dibebaskan dari pengenaan Pajak Kekayaan. Apabila nilainya di atas
Rp.12.000.000,- (dua belas juta rupiah) maka seluruhnya menjadi obyek
pengenaan Pajak Kekayaan tanpa dikurangi batas Rp.12.000.000,- (dua belas
juta rupiah). Contoh : |
||||||
|
|
1. |
Wajib Pajak B pada tanggal 1 Januari 1985 memiliki
kekayaan bersih sejumlah Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) termasuk
kekayaan berupa perhiasan sejumlah Rp.20.000.000,- (dua puluh juta rupiah).
Oleh karena jumlah seluruh kekayaan bersih (termasuk kekayaan berupa
perhiasan) masih di bawah batas minimum kena pajak Rp.80.000.000,- (delapan
puluh juta rupiah), maka kekayaan berupa perhiasan tersebut, sekalipun
jumlahnya di atas Rp.12.000.000,- (dua belas juta rupiah) tidak dikenakan
pajak. |
|||||
|
|
2. |
Wajib Pajak C pada tanggal 1 Januari 1985 memiliki
kekayaan bersih sejumlah Rp.150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah)
termasuk kekayaan berupa perhiasan sejumlah Rp.20.000.000,- (dua pulu juta
rupiah). Oleh karena jumlah seluruh kekayaan bersih Rp.150.000.000,- (seratus
lima puluh juta rupiah) di atas batas minimum kena pajak, maka perhiasan
sejumlah Rp.20.000.000,- (dua puluh juta rupiah) karena nilainya melebihi
yang dibebaskan yaitu sebesar Rp.12.000.000,- (dua belas juta rupiah),
seluruhnya dikenakan pajak. Jumlah Pajak Kekayaan adalah : 5/1.000 x (Rp.150.000.000,- -
Rp.80.000.000,-) = 5/1.000 x Rp.70.000.000,- = Rp.350.000,- |
|||||
|
|
3. |
Wajib Pajak D pada tanggal 1 Januari 1985 memiliki kekayaan
bersih sejumlah Rp.150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah) termasuk
kekayaan berupa perhiasan sejumlah Rp.10.000.000,- (sepuluh juta rupiah).
Oleh karena nilai perhiasan belum melebihi jumlah yang dibebaskan dari
pengenaan pajak Rp.12.000.000,-, maka kekayaan berupa perhiasan tersebut
dibebaskan dari pengenaan pajak, sehingga nilai kekayaan yang menjadi obyek
pengenaan pajak adalah Rp.150.000.000,-
- Rp.10.000.000 =
Rp.140.000.000,- (seratus empat puluh juta rupiah). Pajak Kekayaan yang terhutang = 5/1.000 x (Rp.140.000.000,- -
Rp.80.000.000,-) = 5/1.000 x Rp.60.000.000,- = Rp.300.000,- |
|||||
|
|
Ayat (3) Cukup jelas |
||||||
|
|
Ayat (4) Setiap Wajib Pajak dari Pajak Kekayaan yang memiliki kekayaan
bersih yang melebihi Rp.80.000.000,- (delapan puluh juta rupiah), sekalipun
tidak diberikan Surat Pemberitahuan Pajak Kekayaan wajib melakukan
pemberitahuan. |
||||||
|
Pasal 2 |
|
||||||
|
|
Untuk pengenaan Pajak Kekayaan penghitungan nilai jual
rumah berikut tanahnya yang dimiliki dan didiami oleh Wajib Pajak, dilakukan
berdasarkan prosentasi-prosentasi sebagai berikut : |
||||||
|
|
- |
Sampai dengan Rp.50.000.000,- dinilai 10%. |
|||||
|
|
- |
Di atas Rp.50.000.000,- s/d Rp.100.000.000,- dinilai
20%. |
|||||
|
|
- |
Di atas Rp.100.000.000,- dinilai 50%. |
|||||
|
|
Contoh : Nilai jual satu rumah beserta tanah yang dimiliki dan didiami
sendiri oleh Wajib Pajak sebesar Rp.250.000.000,- |
||||||
|
|
atas Rp.50.000.000,- pertama |
= |
Rp. 50.000.000,- x 10% |
= |
Rp. 5.000.000,- |
||
|
|
atas Rp.50.000.000,- berikutnya |
= |
Rp. 50.000.000,- x 20% |
= |
Rp.10.000.000,- |
||
|
|
atas sisanya Rp.150.000.000,- |
= |
Rp.150.000.000,- x 50% |
= |
Rp.75.000.000,-
|
||
|
|
Nilai jual untuk pengenaan Pajak Kekayaan |
= |
Rp.90.000.000,-
|
||||
|
Pasal 3 |
|
||||||
|
|
Cukup jelas. |
||||||