PENJELASAN

ATAS

 

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

NOMOR :          /KMK.   /1989

 

TANGGAL :

 

TENTANG

 

PENGKREDITAN PAJAK MASUKAN

 

 

UMUM

 

Dalam rangka memberikan kepastian dalam pelaksanaan penghitungan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 jo Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1988, perlu adanya pedoman pengkreditan Pajak Masukan. Pedoman pengkreditan Pajak Masukan ini mengatur baik ketentuan formil maupun materil secara rinci sehingga diharapkan dapat dihindarkan adanya keraguan dan ketidak pastian dalam rangka pengkreditan Pajak Masukan oleh Pengusaha Kena Pajak.

 

Pedoman Pengkreditan Pajak Masukan ini mengatur antara lain pokok-pokok mengenai :

a.

Ketentuan umum pengkreditan Pajak Masukan;

b.

Pembayaran kembali sebagian atau seluruh Pajak Masukan barang modal, dalam hal barang modal tersebut dipindahtangankan atau digunakan untuk kegiatan yang tidak ada hubungannya langsung dengan kegiatan usaha;

c.

Pengkreditan Pajak Masukan bagi Pengusaha Kena Pajak yang melakukan kegiatan usaha terpadu ("integrated"), dan melakukan kegiatan usaha menghasilkan barang dan jasa secara bersama-sama.

 

 

PASAL DEMI PASAL

 

Pasal 1

 

            ayat (1) dan (2)

 

Pajak Masukan yang dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak dapat digolongkan kedalam golongan :

a.

Pajak Masukan untuk pengeluaran yang langsung berhubungan dengan kegiatan usaha;

b.

Pajak Masukan untuk pengeluaran yang tidak langsung berhubungan dengan kegiatan usaha;

 

Yang dimaksud dengan pengeluaran yang langsung berhubungan dengan kegiatan usaha adalah pengeluaran-pengeluaran untuk produksi, distribusi dan manajemen dan yang sifatnya bukan untuk konsumsi pribadi.

 

Pengeluaran selain tersebut diatas, berdasarkan Keputusan ini dianggap bersifat konsumtif atau dengan kata lain dianggap tidak langsung berhubungan kegiatan usaha dengan demikian Pajak Masukan yang dibayar untuk pengeluaran tersebut tidak dapat dikreditkan.

 

                        Contoh pengeluaran yang sifatnya konsumtif untuk pribadi, direksi, komisaris, karyawan adalah :

-

pengeluaran untuk wisma (guest house), mess, bungalow, hotel dan sebagainya;

-

pengeluaran untuk perumahan, dan sarana lain seperti klinik, rumah sakit, sekolah, mesjid, dan yang sejenisnya;

-

pengeluaran jamuan kantor (entertaiment);

-

pengeluaran untuk sumbangan;

-

pengeluaran untuk perjalanan  dinas, misalnya untuk ticket pesawat, kendaraan didarat kecuali pengeluaran untuk truck/bus untuk angkutan karyawan yang digunakan secara masal;

-

pengeluaran untuk mensponsori kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apapun diluar kegiatan usahanya;

 

"Kaitan dengan penyerahan yang terutang Pajak Pertambahan Nilai" :

 

Sesuai dengan Pasal 9 ayat (5) dan ayat (6) Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai, agar Pajak Masukan yang dibayar dapat dikreditkan harus memenuhi syarat lain, yaitu bahwa pengeluaran yang bersangkutan berkaitan dengan penyerahan yang terutang Pajak Pertambahan Nilai.

 

Oleh karena itu meskipun sesuatu pengeluaran telah memenuhi syarat adanya hubungan langsung dengan kegiatan usaha masih mungkin Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan apabila pengeluaran tersebut tidak ada kaitan dengan penyerahan yang terutang Pajak Pertambahan Nilai.

 

Contoh :

Sebuah bengkel mobil yang sekaligus bertindak sebagai pedagang pengencer alat perbaikan mobil. Pajak Masukan untuk alat perbaikan mobil yang dijual eceran tidak boleh dikreditkan, karena atas penjualan eceran tersebut tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai, sedangkan Pajak Masukan untuk pembelian alat perbaikan mobil yang digunakan sebagai peralatan bengkel dapat dikreditkan.

 

Pasal 2

 

Persyaratan formal yang harus dipenuhi agar Pajak Masukan dapat dikreditkan adalah Pajak Masukan tersebut harus dalam bentuk Faktur Pajak (standard) yang sekurang-kurangnya mencantumkan persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal ini, kecuali Faktur Pajak yang berdasarkan ketentuan yang berlaku ditetapkan secara khusus seperti Faktur Pajak yang diterbitkan oleh PERTAMINA, Pemberitahuan Pemasukan Barang Untuk Dipakai (PPUD), DO BULOG, Airway Bill, dan lain-lain. Pajak Masukan dalam bentuk Faktur Pajak sederhana tidak boleh dikreditkan.

 

Pasal 3

 

            ayat (1)

 

Ketentuan ini untuk menampung masalah yang disebabkan oleh terlambatnya penerimaan Faktur Pajak untuk Pengusaha Kena Pajak yang berhak mengkreditkan Pajak Masukan.

 

Contoh :

Faktur Pajak diterbitkan oleh Pengusaha Kena Pajak penjual bulan Juni 1989, diterima Pengusaha Kena Pajak pembeli bulan Oktober 1989.

-

Apabila Pengusaha Kena Pajak memilih cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a, maka Pengusaha Kena Pajak pembeli harus membetulkan SPT Masa Pajak Juni 1989.

-

Apabila Pengusaha Kena Pajak memilih cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b, maka Pengusaha Kena Pajak pembeli mengkreditkan Pajak Masukan yang seharusnya dikreditkan untuk Masa Pajak bulan Juni 1989 pada SPT Masa Pajak bulan Oktober 1989, atau Masa Pajak sesudahnya asalkan masih dalam tahun pajak/tahun buku yang berjalan.

 

Pelaporan dalam SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, berfungsi sebagai ijin pengkreditan Pajak Masukan dalam Masa Pajak yang tidak sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1985.

 

Apabila pengkreditan tersebut dilakukan setelah lewat tahun pajak/tahun buku berjalan, maka Pengusaha Kena Pajak harus menggunakan cara pembetulan SPT Masa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a.

 

Contoh :

Apabila Faktur Pajak diterbitkan oleh penjual pada bulan Juni 1989, maka cara yang dapat ditempuh hanya cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a, jika pembetulannya dilakukan pada tahun 1990.

 

            ayat (2)

 

                        Cukup jelas.

 

Pasal 4

 

            ayat (1), dan ayat (2),

 

Barang modal sebagai alat produksi pemakaiannya bersifat terus menerus. Apabila barang modal tersebut dipindahtangankan oleh Pengusaha Kena Pajak yang bersangkutan, hal tersebut diartikan sebagai penyimpangan dari tujuan semula perolehan barang modal. Sesuai ketentuan Pasal 1 jo Pasal 4 Keputusan ini, maka bagian Pajak Masukan untuk masa sejak terjadinya pemindahtanganan yang semula telah dikreditkan, harus dibayar kembali.

 

Pajak Masukan yang harus dibayar kembali terhadap barang modal yang dipindahtangankan tersebut dihitung berdasarkan perbandingan antara harga sisa buku dengan nilai perolehan yang dinyatakan dalam bentuk prosentase harga sisa buku.

 

Untuk keperluan penghitungan besarnya Pajak Masukan yang harus dibayar kembali berdasarkan Keputusan ini, maka tahun perolehan barang modal tersebut dianggap sebagai tahun dimulainya penyusutan, kecuali pemindahtanganan barang modal tersebut terjadi kurang dari satu tahun sebagaimana dimaksud dalam ayat (3).

 

                        Contoh :                      

-

barang modal berupa mesin dibeli 1 Nopember 1989 dengan harga Rp. 100.000.000,00;

-

Pajak Masukan yang dibayar dan dikreditkan untuk masa Nopember 1989 Rp. 10.000.000,00;

-

Mesin tersebut dijual pada bulan Oktober 1991;

-

Mesin tersebut digolongkan pada Golongan I yang dihapuskan dengan tarif penyusutan 50%;

-

Harga sisa buku pada awal 1991 = Rp.25.000.000,00 atau prosentase harga sisa buku 25%. Jadi Pajak Masukan yang harus dikembalikan/dibayar kembali 25% x Rp.10.000.000,00-Rp.2.500.000,00.

 

            ayat (3)

 

Andaikata penjualan barang modal terjadi kurang dari satu tahun sejak perolehan, maka semua Pajak Masukan yang telah dikreditkan harus dibayar kembali seluruhnya.

 

                        Contoh :

Mesin sebagaimana contoh pada ayat (2) dijual sebelum tanggal 31 Oktober 1990, maka seluruh Pajak Masukan sebesar Rp.10.000.000,00,- yang telah dikreditkan harus dibayar kembali seluruhnya.

 

            ayat (4)

 

Dalam hal terjadi pengalihan hak atas barang modal oleh Pengusaha Kena Pajak/lessee kepada lessor secara "sale and lease back", Pajak Masukan yang telah dikreditkan oleh lessee tidak ditagih kembali sepanjang barang modal tersebut tetap digunakan oleh Pengusaha Kena Pajak/lessee dalam rangka usahanya.

 

Pasal 5

 

Dasar pertimbangan dari Pasal ini adalah sama dengan pertimbangan dalam ketentuan Pasal 4. Apabila barang modal tidak digunakan lagi secara langsung untuk kegiatan usaha, maka Pajak Masukan yang telah dikreditkan ditagih kembali.

 

Akan tetapi cara penghitungan besarnya Pajak Masukan yang harus dibayar kembali tidak didasarkan pada perbandingan antara harga sisa buku dengan harga perolehan, tetapi didasarkan pada perbandingan antara nilai penyusutan/amortisasi dengan nilai perolehan. Hal ini didasarkan

            pada pertimbangan bahwa :

-

barang modal itu masih berada diperusahaan yang bersangkutan;

-

bagian barang modal yang digunakan diluar kegiatan usaha besarnya dapat berubah-ubah sehingga harus dicari prosentase rata-rata penggunaan diluar usaha barang modal tersebut dalam satu tahun buku.

 

            Contoh :

 

Generator listrik dibeli Januari 1989 dengan maksud untuk digunakan seluruhnya untuk kegiatan pabrik.

 

Nilai perolehan (B)

Rp. 50 juta;

PPN

Rp.  5 juta;

 

            (PM sudah dikreditkan seluruhnya melalui SPT Masa Pajak Januari 1989).

 

            Selama tahun 1990 ternyata bahwa :

 

            Untuk masa 6 bulan I digunakan :

-

30% untuk perumahan karyawan dan direksi;

-

70% untuk kegiatan pabrik.

 

            Untuk masa 6 bulan II digunakan :

-

20% untuk perumahan karyawan dan direksi;

-

80% untuk kegiatan pabrik.

 

Rata-rata penggunaan diluar kegiatan usaha yang berhubungan langsung dengan usaha (p') adalah :

           

                                    30% + 20%

                                    --------------- = 25%

                                           2

Nilai penyusutan (D) untuk tahun pajak 1990 adalah :

50% x (50% x Rp. 50 juta) = Rp. 12,5 juta.

 

            Besarnya Pajak Masukan yang harus dibayar kembali untuk tahun 1990 :

 

                                     12,5 juta

                           25% x ----------- x 5 juta = Rp. 312.500,00

                                      50  juta

 

Untuk tahun selanjutnya dipakai rumus tersebut, dengan variabel pemakaian dalam kegiatan dan diluar kegiatan usaha yang berlaku untuk tahun yang bersangkutan.

 

Pasal 6

 

            ayat (1)

 

Contoh Pengusaha Kena Pajak yang dimaksud dalam ayat ini, misalnya :

a.

Pengusaha Kena Pajak yang melakukan usaha terpadu ("integrated") misalnya perkebunan kelapa sawit (kelapa sawit adalah bukan Barang Kena Pajak), yang juga mempunyai pabrik minyak kelapa sawit (minyak kelapa sawit adalah Barang Kena Pajak).

b.

Pengusaha Kena Pajak yang melakukan usaha jasa yang :

 

-

atas penyerahannya tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai, misalnya melakukan penyerahan bukan Jasa Kena Pajak atau melakukan penyerahan Jasa Kena Pajak diluar daerah pabean Republik Indonesia; dan

 

-

melakukan penyerahan Jasa Kena Pajak yang terutang Pajak Pertambahan Nilai, misalnya penyerahan Jasa Kena Pajak didalam daerah pabean Republik Indonesia.

c.

Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang dan Jasa yang atas penyerahannya terutang dan yang tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai, misalnya :

 

-

menghasilkan/menyerahkan hasil kosmetik tradisional. Penyerahan ini terutang Pajak Pertambahan Nilai;

 

-

menyerahkan formula kosmetik tradisional (hak paten) keluar negeri.

Penyerahan ini merupakan penyerahan Jasa Kena Pajak yang tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai karena dilakukan diluar daerah pabean Republik Indonesia.

 

Pajak Masukan yang dibayar atas perolehan Barang/Jasa Kena Pajak, yang Barang/Jasa Kena Pajak tersebut :

1).

nyata-nyata digunakan untuk unit/kegiatan yang atas penyerahannya tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai, tidak dapat dikreditkan :

 

Contoh :

Pajak Masukan atas pembelian :

 

-

pupuk, traktor untuk perkebunan kelapa sawit;

 

-

komputer yang nyata-nyata seluruhnya digunakan untuk penyerahan bukan Barang Kena Pajak atau untuk penyerahan Jasa Kena Pajak yang dilakukan diluar daerah pabean Republik Indonesia.

 

Perlakuan ini antara lain untuk menjaga keseimbangan perlakuan antara Pengusaha Kena Pajak yang melakukan usaha terpadu dengan Pengusaha yang memproduksi hasil yang sama yang melakukan kegiatan spesialisasi ("non integrated").

 

2).

digunakan baik untuk unit/kegiatan yang atas penyerahannya tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai maupun untuk unit/kegiatan yang atas penyerahannya terutang Pajak Pertambahan Nilai, dapat dikreditkan. Ketentuan ini diberikan dengan pertimbangan karena dalam praktek sulit untuk memisahkan bagian Pajak Masukan yang dapat dan yang tidak dapat dikreditkan dalam masa pajak yang bersangkutan.

 

Contoh :

Pajak Masukan atas pembelian :

 

-

Truck yang digunakan baik untuk mengangkut kelapa sawit maupun minyak kelapa sawit;

 

-

komputer yang digunakan untuk penyerahan Jasa Kena Pajak yang dilakukan didalam daerah pabean Republik Indonesia dan untuk penyerahan Jasa Kena Pajak diluar daerah pabean Republik Indonesia.

 

3).

nyata-nyata digunakan untuk unit yang menghasilkan/memperdagangkan Barang Kena Pajak atau untuk usaha Jasa Kena Pajak yang terutang Pajak Pertambahan Nilai, dapat dikreditkan.

 

Contoh :

Pajak Masukan atas pembelian :

 

-

mesin untuk pabrik minyak kelapa sawit;

 

-

gedung kantor yang nyata-nyata dipakai untuk kegiatan manajemen, untuk penyerahan Jasa Kena Pajak yang dilakukan didalam daerah pabean Republik Indonesia.

 

            ayat (2)

 

Khusus untuk Pajak Masukan atas perolehan Barang/Jasa Kena Pajak yang digunakan untuk kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) angka 2) yang telah dikreditkan, harus dibayar kembali apabila terjadi penyerahan yang tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai.

 

Contoh :

 

Pajak Masukan atas pembelian truck sebagaimana contoh pada angka 2) harus dibayar kembali jika terdapat penyerahan kelapa sawit dalam tahun pajak yang bersangkutan. Dengan terjadinya penyerahan kelapa sawit maka terdapat bagian Pajak Masukan yang semula telah dikreditkan, seharusnya tidak dapat dikreditkan.

 

Contoh perhitungan Pajak Masukan yang harus dibayar kembali adalah sebagai berikut :

a.

Pajak Masukan untuk perolehan bukan barang modal :

 

-

Pajak Masukan untuk pembelian solar untuk truck-truck yang digunakan untuk dua tujuan, yaitu untuk sektor perkebunan dan distribusi kelapa sawit serta sektor pabrikasi dan distribusi minyak kelapa sawit =   Rp. 10 juta;

 

-

Total omzet (Y) 1989 Rp. 20 milyar diantaranya Rp 2 milyar berasal dari penjualan kelapa sawit (X).

 

 

Pajak Masukan atas pembelian solar tersebut yang harus dibayar kembali adalah :

            2 milyar

            ------------ x  Rp. 10 juta = Rp. 1 juta.

            20 milyar

 

b.

Pajak Masukan yang harus dibayar untuk barang modal :

 

-

Pajak Masukan atas perolehan truck-truck tersebut pada contoh diatas yang terjadi pada Januari 1989 Rp. 50 juta.

(sudah dikreditkan seluruhnya melalui SPT Masa Pajak Januari 1989).

 

-

Total omzet 1991 (Y) Rp. 20 milyar,  diantaranya Rp. 2 milyar  berasal dari penjualan kelapa sawit (X).

 

-

Nilai perolehan truck (B) = Rp. 500 juta.

 

-

Penyusutan atas truck-truck tersebut dalam tahun 1992 :

Harga perolehan                                  Rp 500 juta

Penyusutan :

Tahun 1989     50% x Rp 500 juta =   Rp 250   juta

Tahun 1990     50% x Rp 250 juta =   Rp 125   juta

Tahun 1991     50% x Rp 125 juta =   Rp   62,5 juta

Tahun 1992     50% x Rp 62,5 juta=   Rp   31,25 juta

 

                        31,25 juta

Persentase      ------------- x 100% = 6,25%

                        500 juta

 

 

-

Pajak Masukan atas truck yang harus dibayar kembali:

            2 milyar            31,25 juta

            ------------ x      ------------- x Rp 50 juta = Rp 312.500

            20 milyar          500 juta

 

 

atau :

 

 

            2 milyar

            ------------ x 6,25% x Rp 50 juta = Rp 312.500

            20 milyar

 

Untuk Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang/Jasa Kena Pajak, perhitungan Pajak Masukan yang telah dikreditkan dan yang harus dibayar kembali, dilakukan sesuai dengan contoh perhitungan diatas.

 

Pasal 7

 

            Ayat (1)

 

                        Cukup jelas.

 

            Ayat (2)

 

                        Cukup jelas.

 

Pasal 8

 

            Cukup jelas.

 

Pasal 9

 

            Cukup jelas.

 

Pasal 10

 

            Cukup jelas.

 

Pasal 11

 

            Cukup jelas.

 

Pasal 12

 

            Cukup jelas.