POKOK-POKOK KETERANGAN PERS DIRJEN PAJAK
MENGENAI PENEGASAN PERLAKUAN PPH ATAS PEMINDAHTANGANAN HARTA

 

Disampaikan di Jakarta pada tanggal 11 September 1992.

1.

Agar terdapat kepastian dalam perlakuan perpajakan atas pemindahtanganan harta baik antar perseorangan, antara perseorangan dengan badan usaha maupun antar badan usaha, DIRJEN PAJAK dengan Surat Edaran No. 18/PJ.31/1992 tanggal 10 September 1992 telah mengeluarkan penegasan mengenai perlakuan PPh-nya.

Pemindahtanganan harta dapat dilakukan dalam bentuk : penjualan, pengalihan/tukar menukar, hibah, warisan dan penyertaan dalam bentuk harta (inbreng atau in-kind participation).

2.

Perlakuan PPh atas pemindahtanganan harta sesungguhnya telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang PPh, yaitu dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d, Pasal 4 ayat (3) huruf a, huruf b, huruf e dan huruf f, Pasal 6 ayat (1) huruf d, Pasal 9 ayat (1) huruf f, Pasal 10 ayat (1), Pasal 11 ayat (7) dan ayat (8) serta dalam Pasal 3 ayat (4), ayat (5) dan ayat (6) Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1985.

Oleh karena itu SE ini merupakan penegasan dan penjelasan atas ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal tersebut.

3.

UU PPh 1984 menggunakan prinsip broad income concept dan world-wide income concept. Hal ini tercermin dalam Pasal 4 ayat (1) UU PPh 1984 yang menetapkan bahwa setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak dengan nama dan dalam bentuk apapun, baik yang berasal dari Indonesia maupun yang berasal dari luar Indonesia, merupakan obyek PPh.

Pengecualian atas hal itu hanya jika undang-undang secara eksplisit menetapkan bahwa atas jenis-jenis penghasilan tertentu tidak termasuk obyek PPh sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (3) Undang-undang Pajak Penghasilan 1984.

4.

Keuntungan karena pengalihan harta yang tidak dipergunakan dalam usaha dan harta yang tidak boleh disusutkan (misalnya: saham, tanah), merupakan obyek PPh dan harus digabungkan dengan penghasilan lainnya dalam penghitungan penghasilan kena pajak (lihat Pasal 4 ayat (1) huruf d Undang-undang Pajak Penghasilan 1984, Pasal 7 dan Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1985).

5.

Keuntungan karena pengalihan harta yang dipergunakan dalam usaha dan atas harta yang boleh disusutkan, pengenaan PPh-nya dilakukan dengan cara mengurangi dasar penyusutan yang mengakibatkan menurunnya biaya penyusutan (lihat Pasal 11 ayat (7) dan ayat (8) Undang-undang Pajak Penghasilan 1984).

6.

Mengenai perlakuan PPh atas hibah, warisan dan bantuan diluar pekerjaan dan usaha, pengenaan PPh-nya diatur sebagai berikut :

 

a.

bagi si pemberi tidak dapat mengurangkan dari penghasilan bruto (non-deductible);

 

b.

bagi si penerima tidak merupakan obyek PPh (non-taxable).

7.

Dalam hal terdapat hubungan istimewa yang mengakibatkan nilai/harga yang menjadi dasar pengalihan harta tidak/kurang wajar maka sesuai dengan Pasal 18 ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan 1984, dapat dilakukan koreksi fiskal oleh DIRJEN PAJAK.

8.

Mengenai transaksi yang dalam dunia usaha dikenal dengan istilah akuisisi baik akuisisi harta maupun akuisisi saham maka atas transaksi tersebut diberlakukan ketentuan-ketentuan dalam Pasal 11 ayat (7) dan ayat (8), Pasal 10 ayat (1), Pasal 4 ayat (1) huruf d, Pasal 4 ayat (3) huruf e dan huruf f, Undang-undang Pajak Penghasilan 1984, serta Pasal 3 ayat (5), dan ayat (6) Peraturan Pemerintah Nomor 42 tahun 1985.

Ketentuan-ketentuan ini mengatur tentang transaksi jual beli, tukar menukar dan penyertaan dalam bentuk harta (inbreng atau in-kind participation).

 

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ketentuan perundang-undangan telah cukup mengatur transaksi-transaksi yang dikenal dengan istilah akuisisi.

 

Rincian selanjutnya lihat Surat Edaran terlampir.