1.
|
KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR:
248/KMK.04/1995 TANGGAL 2 JUNI 1995 TENTANG PERLAKUAN PAJAK PENGHASILAN
TERHADAP PIHAK-PIHAK YANG MELAKUKAN KERJASAMA DALAM BENTUK PERJANJIAN BANGUN
GUNA SERAH ("BUILT OPERATE AND TRANSFER").
a.
|
Bangun Guna Serah ("Built
Operate and Transfer") adalah bentuk perjanjian kerjasama yang dilakukan
antara pemegang hak atas tanah dengan investor, yang menyatakan bahwa
pemegang hak atas tanah memberikan hak kepada investor untuk mendirikan
bangunan selama masa perjanjian bangun guna serah (BOT), dan mengalihkan
kepemilikan bangunan tersebut kepada pemegang hak atas tanah setelah masa
bangun guna serah berakhir.
|
b.
|
Biaya mendirikan bangunan
diatas tanah yang dikeluarkan oleh investor merupakan nilai perolehan
investor untuk mendapatkan hak menggunakan atau hak mengusahakan bangunan
tersebut. Jumlah biaya yang dikeluarkan tersebut oleh investor diamortisasi
dalam jumlah yang sama besar setiap tahun selama masa perjanjian BOT.
Amortisasi dimulai pada tahun bangunan tersebut mulai digunakan atau
diusahakan oleh investor.
b.1.
|
Apabila masa perjanjian BOT
menjadi lebih pendek dari masa yang telah ditentukan dalam perjanjian
maka sisa biaya pembangunan yang belum diamortisasi, diamortisasi
sekaligus oleh investor pada tahun berakhirnya masa BOT yang lebih pendek
tersebut. Bila diberikan penggantian atau imbalan kepada investor, maka
penggantian atau imbalan tersebut adalah penghasilan bagi investor dalam
tahun diterimanya hak penggantian atau imbalan tersebut.
|
b.2.
|
Apabila masa perjanjian BOT tersebut
menjadi lebih panjang karena adanya penambahan bangunan, maka biaya
penambahan bangunan tersebut ditambah-kan terhadap sisa biaya yang belum
diamortisasi dan diamortisasi oleh investor hingga berakhirnya masa BOT
yang lebih panjang tersebut.
|
|
c.
|
Bangunan yang diserahkan oleh
investor kepada pemegang hak atas tanah setelah masa perjanjian BOT
berakhir adalah merupakan penghasilan yang terutang PPh bagi pemegang hak
atas tanah. PPh terutang adalah sebesar 5% (lima persen) dari jumlah bruto
nilai yang tertinggi antara nilai pasar dengan Nilai Jual Objek Pajak
(NJOP) bangunan yang bersangkutan dan harus dilunasi selambat-lambatnya
tanggal 15 bulan berikutnya setelah masa BOT berakhir. Pembayaran PPh
tersebut bagi orang pribadi bersifat final dan bagi Wajib Pajak badan
adalah merupakan pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 25 yang dapat
diperhitungkan dengan Pajak Penghasilan yang terutang untuk tahun pajak
yang bersangkutan.
|
d.
|
Penghasilan lain yang diterima atau diperoleh pemegang
hak atas tanah selama masa BOT merupakan objek PPh.
|
e.
|
Perlakuan
PPh ini berlaku atas perjanjian BOT yang berakhir setelah tahun pajak 1994.
|
|
|
|
2.
|
KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK
INDONESIA NOMOR: 249/KMK.04/1995 TANGGAL 2 JUNI 1995 TENTANG PERUBAHAN
KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR: 637/KMK.04/1994 TENTANG PENGGUNAAN NILAI
BUKU ATAS PENGALIHAN HARTA DALAM RANGKA PENGGABUNGAN, PELEBURAN, ATAU
PEMEKARAN USAHA.
a.
|
Pengalihan harta dengan
menggunakan nilai buku dalam rangka penggabungan, peleburan atau pemekaran
usaha dapat dilakukan oleh :
a.1.
|
Wajib
Pajak yang bergerak dalam bidang usaha perbankan ;
|
a.2.
|
Wajib Pajak lain yang akan menjual sahamnya di bursa
efek, sepanjang badan-badan usaha yang terkait dalam rangka penggabungan,
peleburan, atau pemekaran usaha satu sama lain mempunyai hubungan
istimewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) UU PPh.
|
|
b.
|
Wajib Pajak dimaksud pada huruf
a.2. di atas yang akan menjual sahamnya di bursa efek selambat-lambatnya
satu tahun setelah memperoleh persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak
untuk melakukan penggabungan, peleburan atau pemekaran usaha dengan menggunakan
nilai buku telah mengajukan pernyataan pendaftaran kepada Badan Pengawas
Pasar Modal dalam rangka penawaran umum perdana ("Initial Public
Offering") dan pernyataan pendaftaran tersebut telah menjadi efektif.
Jangka waktu ini dapat diperpanjang karena keadaan di luar kekuasaan Wajib
Pajak ("force majeur") dengan persetujuan Direktur Jenderal
Pajak.
|
c.
|
Apabila Wajib Pajak tidak dapat
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf b di atas, maka nilai
pengalihan harta atas penggabungan, peleburan atau pemekaran usaha yang
dilakukan berdasarkan nilai buku dihitung kembali berdasarkan nilai pasar.
|
d.
|
Ketentuan
ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1995.
|
|
|
|
3.
|
KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK
INDONESIA NOMOR: 250/KMK.04/1995 TANGGAL 2 JUNI 1995 TENTANG PERUSAHAAN KECIL
DAN MENENGAH PASANGAN USAHA DARI PERUSAHAAN MODAL VENTURA DAN PERLAKUAN
PERPAJAKAN ATAS PENYERTAAN MODAL PERUSAHAAN MODAL VENTURA.
a.
|
Perusahaan kecil dan menengah
pasangan usaha perusahaan modal ventura adalah perusahaan yang penjualan
bersihnya setahun tidak melebihi Rp. 5 Milyar.
|
b.
|
Penghasilan berupa bagian laba
yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura dari penyertaan modal
pada perusahaan pasangan usaha yang memenuhi ketentuan pada huruf a di atas
bukan merupakan Objek PPh. Penyertaan pada setiap perusahaan pasangan usaha
dilakukan selama perusahaan pasangan usaha tersebut belum menjual saham di
bursa efek dan untuk jangka waktu tidak melebihi 10 (sepuluh) tahun.
|
c.
|
Apabila perusahaan pasangan
usaha menjual sahamnya di bursa efek, perusahaan modal ventura harus
menjual sahamnya pada perusahaan pasangan usaha selambat-lambatnya 36 bulan
sejak perusahaan pasangan usaha tersebut diizinkan oleh Badan Pengawas
Pasar Modal menjual sahamnya di bursa efek.
|
d.
|
Penghasilan berupa bagian laba
yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura dari penyertaan modal
pada perusahaan pasangan usaha setelah lewat jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada huruf b atau huruf c di atas, merupakan Objek PPh, kecuali
apabila bagian laba tersebut memenuhi ketentuan Pasal 4 angka (3) huruf f
UU PPh.
|
e.
|
Perusahaan modal ventura wajib
membukukan secara terpisah penghasilan yang merupakan Objek Pajak
Penghasilan, dan penghasilan yang bukan merupakan Objek Pajak Penghasilan.
|
f.
|
Keputusan Menteri Keuangan ini
mencabut Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 227/KMK.01/1994 tanggal 9 Juni
1994 tentang Sektor-sektor Usaha Perusahaan Pasangan Usaha dari Perusahaan
Modal Ventura dan Perlakuan Perpajakan atas Penyertaan Modal dan/atau
Pengalihan Penyertaan Modal Perusahaan Modal Ventura.
|
g.
|
Ketentuan
ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1995.
|
|
|
|
4.
|
KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR:
251/KMK.04/1995 TANGGAL 2 JUNI 1995 TENTANG PERUBAHAN KEPUTUSAN MENTERI
KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 606/KMK.04/1994 TENTANG PENENTUAN TANGGAL JATUH
TEMPO PEMBAYARAN DAN PENYETORAN PAJAK, TEMPAT PEMBAYARAN PAJAK, TATA CARA
PEMBAYARAN, PENYETORAN, DAN PELAPORAN PAJAK, SERTA TATA CARA PENGANGSURAN DAN
PENUNDAAN PEMBAYARAN PAJAK.
a.
|
Tanggal
pembayaran adalah sebagai berikut :
1)
|
PPh Pasal 25.
Harus dibayar selambat-lambatnya tanggal 15 bulan takwim berikutnya
setelah Masa Pajak berakhir.
|
2)
|
PPh Pasal 21.
Harus disetor selambat-lambatnya tanggal 10 bulan takwim berikutnya
setelah Masa Pajak berakhir.
|
3)
|
PPh Pasal 23 dan PPh Pasal 26.
Harus disetor selambat-lambatnya tanggal 10 bulan takwim berikutnya
setelah Masa Pajak berakhir.
|
4)
|
PPN dan PPn BM.
Harus disetor selambat-lambatnya tanggal 15 bulan takwim berikutnya
setelah Masa Pajak berakhir.
|
5).
|
PPh Pasal 22, PPN dan PPn BM
atas Impor.
Harus dilunasi sendiri oleh
Wajib Pajak bersamaan dengan saat pembayaran Bea Masuk (BM). Apabila
pembayaran BM ditunda atau dibebaskan, PPh Pasal 22, PPN dan PPn BM atas
impor harus dilunasi pada saat penyelesaian dokumen impor.
|
6).
|
PPh Pasal 22, PPN dan PPn BM
atas Impor yang pemungutannya dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan
Cukai.
Harus disetor dalam jangka
waktu sehari setelah pemungutan pajak dilakukan.
|
7).
|
PPh Pasal 22 yang
pemungutannya dilakukan oleh Bendaharawan.
Harus disetor pada hari yang
sama dengan pelaksanaan pembayaran atas penyerahan barang yang dibiayai
dari belanja negara, dengan menggunakan SSP yang telah diisi oleh dan
atas nama Rekanan serta ditandatangani oleh Bendaharawan.
|
8).
|
PPh Pasal 22 dari penyerahan
oleh Pertamina atas hasil produksinya, dari penyerahan bahan bakar minyak
dan gas oleh badan usaha lain, dan dari penyerahan gula pasir dan tepung
terigu oleh BULOG.
Harus dilunasi sendiri oleh
Wajib Pajak sebelum Surat Perintah Pengeluaran Barang (Delivery Order)
ditebus.
|
9).
|
PPh Pasal 22 yang pemungutannya dilakukan oleh badan
tertentu sebagai pemungut pajak.
Harus disetor selambat-lambatnya tanggal 15 bulan takwim berikutnya
setelah Masa Pajak berakhir.
|
10).
|
PPN dan PPn BM oleh Bendaharawan Pemerintah.
Harus disetor selambat-lambatnya tanggal 15 bulan
takwim berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
|
11).
|
PPN dan PPn BM oleh Pemungut PPN selain Bendaharawan
Pemerintah.
Harus disetor selambat-lambatnya tanggal 15 bulan
takwim berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
|
12).
|
PPN dari penyerahan gula
pasir dan tepung terigu oleh BULOG.
Harus dilunasi sendiri oleh
Pengusaha Kena Pajak sebelum Surat Perintah Pengeluaran Barang (Delivery
Order) ditebus.
|
|
b.
|
Pemotong dan Pemungut Pajak
Penghasilan harus memberikan tanda bukti pemotongan atau tanda bukti pemungutan
kepada orang pribadi atau badan yang dibebani membayar Pajak Penghasilan
yang dipotong atau dipungut. Khusus untuk karyawan atau pegawai tetap,
hanya diberikan bukti pemotongan tahunan selambat-lambatnya dua bulan
setelah tahun takwim berakhir.
|
c.
|
Batas
waktu pelaporan pajak adalah sebagai berikut :
1)
|
Orang Pribadi atau Badan
maupun Pemotong/Pemungut Pajak sebagaimana dimaksud dalam huruf a nomor
1), 2), 3) dan 4) diwajibkan menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa selambat-lambatnya
20 hari setelah Masa Pajak berakhir.
|
2)
|
Ditjen Bea dan Cukai sebagai Pemungut Pajak harus
melaporkan hasil pemungutannya secara mingguan, selambat-lambatnya 7 hari
setelah batas waktu penyetoran pajak berakhir.
|
3)
|
Bendaharawan sebagai Pemungut PPh Pasal 22, PPN/PPn
BM harus melaporkan hasil pemungutannya, selambat-lambatnya 14 hari
setelah Masa Pajak berakhir.
|
4)
|
Pertamina dan BULOG sebagai pihak yang melakukan
penyerahan, dan badan tertentu sebagai Pemungut Pajak harus menyampaikan
SPT Masa selambat-lambatnya 20 hari setelah Masa Pajak berakhir.
|
5)
|
Pemungut PPN selain Bendaharawan Pemerintah harus
melaporkan hasil pemungutannya selambat-lambatnya 20 hari setelah Masa
Pajak berakhir.
|
|
d.
|
SPT Masa atau Laporan Hasil
Pemungutan Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf c ini disampaikan ke
Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak, Pemotong Pajak atau Pemungut
Pajak terdaftar dan/atau dikukuhkan.
|
|
|
|
5.
|
SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL
PAJAK NOMOR: SE-28/PJ.43/ 1995 TANGGAL 22 MEI 1995 TENTANG PAJAK PENGHASILAN
PASAL 23 ATAS BUNGA OBLIGASI DAN DIVIDEN YANG DITERIMA WAJIB PAJAK ORANG
PRIBADI.
a.
|
Dengan berlakunya Undang-undang
Nomor 10 Tahun 1994, maka ketentuan dalam Pasal 23 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983 mengenai bunga dan dividen tertentu yang tidak melampaui
batas jumlah tertentu yang dikecualikan dari pemotongan PPh Pasal 23, telah
dihapus.
|
b.
|
Melalui Surat Edaran Direktur Jenderal
Pajak ini, ditegaskan bahwa bunga obligasi dan dividen baik yang berasal
dari saham atau sekuritas, yang diperdagangkan di pasar modal maupun yang
tidak, yang terutang atau dibayarkan kepada Wajib Pajak dalam negeri orang
pribadi dalam tahun 1995 dan seterusnya, dipotong PPh Pasal 23 sebesar 15%
dari jumlah bruto.
|
c.
|
Dengan demikian atas bunga
obligasi dan dividen (interim atau final) dari saham atau sekuritas baik
yang diperdagangkan di pasar modal ataupun tidak, yang dibayarkan atau
terutang pada tanggal 1 Januari 1995 dan seterusnya oleh badan pemberi
hasil (emiten) kepada Wajib Pajak orang pribadi, wajib dipotong PPh Pasal
23 tanpa memperhatikan tahun obligasi diterbitkan, tahun laba sesudah pajak
yang dibagikan, ataupun besar kecilnya jumlah bunga atau dividen yang
dibayarkan/ terutang.
|
d.
|
Penghasilan berupa bunga
obligasi atau dividen yang diterima dalam tahun 1994 atau sebelumnya
meskipun tidak dipotong PPh Pasal 23 karena di bawah batas pengecualian
dari pemotongan, tetap wajib digabungkan dengan penghasilan lainnya dan
dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh.
|
|
|
|
6.
|
SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL
PAJAK NOMOR: SE-29/PJ.4/1995 TANGGAL 5 JUNI 1995 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN
KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR: 633/KMK.04/1994 TANGGAL 29 DESEMBER 1994
TENTANG PENGGANTIAN ATAU IMBALAN SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN ATAU JASA YANG
DIBERIKAN DALAM BENTUK NATURA DAN KENIKMATAN DI DAERAH TERTENTU SERTA YANG
BERKAITAN DENGAN PELAKSANAAN PEKERJAAN YANG DAPAT DIKURANGKAN DARI
PENGHASILAN BRUTO PEMBERI KERJA.
a.
|
Yang
dimaksud dengan daerah tertentu adalah daerah terpencil, yaitu :
a.1.
|
Daerah yang mempunyai potensi
ekonomi yang layak dikembangkan, namun daerah tersebut sulit dijangkau
karena sangat terbatasnya sarana angkutan umum baik melalui darat, laut
maupun udara, serta prasarana dan sarana sosial ekonomi yang tersedia
tidak ada, sehingga untuk menjalankan usahanya para penanam modal harus
menyediakan sendiri prasarana dan sarana sosial ekonomi dimaksud,
misalnya fasilitas jalan, perumahan, listrik, dan air bersih ;
|
a.2.
|
Daerah perairan laut dengan kedalaman lebih dari 50 meter
yang dasar lautnya memiliki cadangan mineral.
|
|
b.
|
Penggantian atau imbalan dalam
bentuk natura dan kenikmatan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang
diberikan di lokasi bekerja di daerah terpencil dapat dikurangkan dari
penghasilan bruto, dapat berupa :
b.1.
|
Tempat tinggal, termasuk
perumahan bagi pegawai dan keluarganya, sepanjang di lokasi bekerja
tersebut tidak ada tempat tinggal yang dapat disewa;
|
b.2.
|
Makanan dan minuman bagi pegawai, sepanjang di
lokasi bekerja tersebut tidak ada tempat penjualan makanan;
|
b.3
|
Pelayanan kesehatan, sepanjang di lokasi bekerja
tersebut tidak ada sarana kesehatan misalnya poliklinik atau rumah sakit;
|
b.4.
|
Pendidikan bagi pegawai dan
keluarganya, sepanjang di lokasi bekerja tersebut tidak ada sarana
pendidikan yang setara;
|
b.5.
|
Pengangkutan bagi pegawai di
lokasi bekerja, sedangkan pengangkutan anggota keluarga dari pegawai yang
bersangkutan terbatas pada pengangkutan sehubungan dengan kedatangan pertama
ke lokasi bekerja dan kepergian pegawai dan keluarganya karena
terhentinya hubungan kerja;
|
b.6.
|
Olah raga bagi pegawai dan
keluarganya sepanjang di lokasi bekerja tersebut tidak tersedia sarana
dimaksud. Sarana olah raga ini tidak termasuk golf, boating, dan pacuan
kuda.
|
|
c.
|
Pengeluaran-pengeluaran dalam
bentuk natura dan kenikmatan sebagaimana dimaksud pada butir b di atas
bukan merupakan penghasilan bagi pegawai dan dapat dibebankan sebagai biaya
bagi pemberi kerja pada tahun pajak dibayarnya atau terutangnya pengeluaran
tersebut.
Dalam hal pengeluaran tersebut digunakan untuk pembangunan sarana yang
mempunyai masa manfaat lebih dari 1 tahun, maka pembebanannya dilakukan
melalui penyusutan.
|
d.
|
Ketentuan sebagaimana dimaksud
pada butir b di atas diberikan untuk jangka waktu 10 tahun dan dapat
diperpanjang kembali, sedangkan atas pengeluaran untuk sarana yang terkait
yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun dapat disusutkan sesuai
dengan masa manfaatnya.
|
e.
|
Dalam hal sarana di daerah
terpencil telah dimiliki oleh Wajib Pajak sebelum tanggal 1 Januari 1995,
dan apabila permohonan Wajib Pajak disetujui pada tahun pajak 1995, maka penyusutannya
dilakukan mulai tahun pajak 1995 yang dihitung berdasarkan sisa masa
manfaat dan nilai sisa buku seandainya harta tersebut disusutkan secara
fiskal.
|
f.
|
Wajib Pajak yang melakukan
penanaman di daerah terpencil dapat mengajukan permohonan penetapan sebagai
daerah terpencil kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak
yang membawahi Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar.
|
g.
|
Pemberian kepada pegawai dalam
bentuk natura dan kenikmatan yang merupakan keharusan dalam rangka dan
berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan, untuk keamanan dan keselamatan
kerja atau yang berkenaan dengan situasi lingkungan kerja, boleh
dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi kerja, dan bukan merupakan
penghasilan bagi pegawai walaupun diberikan bukan di daerah terpencil.
Pengertian keharusan dalam pelaksanaan pekerjaan ini berkaitan dengan
keamanan atau keselamatan pekerjaan yang biasanya diwajibkan oleh
Departemen Tenaga Kerja atau Pemda setempat misalnya pakaian dan peralatan
bagi pegawai pemadam kebakaran, proyek, pakaian seragam pabrik,
hansip/satpam, penyediaan makanan dan minuman serta penginapan untuk awak
kapal/pesawat, serta antar jemput pegawai.
Pemberian dalam bentuk natura atau kenikmatan yang diberikan berkenaan
dengan situasi lingkungan kerja misalnya pakaian seragam pegawai hotel dan
penyiar TV, makanan tambahan bagi operator komputer/pengetik, makan minum
cuma - cuma bagi pegawai restoran.
|
|