LAMPIRAN |
KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL
PAJAK |
NOMOR : KEP-02/PJ./1995 |
TANGGAL
: 9 Januari 1995 |
CARA PENGHITUNGAN PEMOTONGAN
PAJAK PPh PASAL 21 DAN PASAL 26
I. |
UMUM |
||||
|
A. |
Penghitungan
PPh Pasal 21 Bulanan atau Penghasilan Teratur Pegawai Tetap dan Penerima
Pensiun. |
|||
|
|
1. |
Untuk
menghitung PPh Pasal 21 atas penghasilan pegawai tetap, terlebih dahulu
dicari penghasilan neto sebulan yang diperoleh dengan cara mengurangi
penghasilan brutonya dengan biaya jabatan, iuran pensiun, iuran Tabungan Hari
Tua atau Tunjangan Hari Tua uang dibayar oleh pegawai, kemudian disetahunkan |
||
|
|
2. |
a. |
Untuk
memperoleh penghasilan neto setahun, penghasilan neto sebulan dikalikan 12. |
|
|
|
|
b. |
Dalam
hal seorang pegawai tetap kewajiban pajak subyektifnya sebagai Wajib Pajak
dalam negeri sudah ada sejak awal tahun, tetapi mulai bekerja setelah bulan
Januari, maka penghasilan neto yang disetahunkan tersebut dihitung dengan
mengalikan penghasilan neto sebulan dengan banyaknya bulan sejak pegawai yang
bersangkutan mulai bekerja sampai dengan bulan Desember. |
|
|
|
|
c. |
Penghasilan
neto yang disetahunkan pada butir a atau b di atas, selanjutnya dikurangi
dengan PTKP untuk memperoleh Penghasilan Kena Pajak. Atas dasar Penghasilan
Kena Pajak tersebut kemudian dihitung PPh Pasal 21 setahun. |
|
|
|
|
d. |
Untuk
memperoleh jumlah PPh Pasal 21 sebulan, jumlah PPh Pasal 21 setahun atas
penghasilan sebagaimana dimaksud pada huruf a dibagi dengan 12. |
|
|
|
|
e. |
Untuk
memperoleh jumlah PPh Pasal 21 sebulan atas penghasilan sebagaimana dimaksud pada huruf b, jumlah PPh Pasal 21
setahun dibagi dengan banyaknya bulan pegawai yang bersangkutan bekerja. |
|
|
|
3. |
a. |
Apabila
pajak yang terutang oleh pemberi kerja tidak didasarkan atas masa gaji
sebulan, maka untuk penghitungan PPh Pasal 21, jumlah penghasilan tersebut
terlebih dahulu dijadikan penghasilan bulanan dengan mempergunakan faktor
perkalian sebagai berikut : |
|
|
|
|
|
1. |
Gaji
untuk masa seminggu dikalikan dengan 4; |
|
|
|
|
2. |
Gaji
untuk masa sehari dikalikan dengan 26; |
|
|
|
b. |
Selanjutnya
dilakukan penghitungan PPh Pasal 21 sebulan dengan cara seperti pada angka 2. |
|
|
|
|
c. |
PPh.
Pasal 21 atas penghasilan seminggu dihitung berdasarkan PPh Pasal 21 sebulan
pada huruf b dibagi 4, sedangkan PPh Pasal 21 atas penghasilan sehari
dihitung berdasarkan PPh Pasal 21 sebulan pada huruf b dibagi 26. |
|
|
|
4. |
Jika
kepada pegawai disamping dibayar gaji bulanan juga dibayar kenaikan gaji yang
berlaku surut (rapel), misalnya untuk 5 (lima) bulan, maka penghitungan PPh
Pasal 21 atas rapel tersebut sebagai berikut : |
||
|
|
|
a. |
rapel
dibagi dengan banyaknya bulan perolehan rapel tersebut (5 bulan); |
|
|
|
|
b. |
hasil
pembagian rapel tersebut ditambahkan pada gaji setiap bulan sebelum adanya
kenaikan gaji, yang sudah dikenakan pemotongan PPh Pasal 21; |
|
|
|
|
c. |
PPh
Pasal 21 atas gaji untuk bulan-bulan setelah ada kenaikan, dihitung kembali
atas dasar gaji baru setelah ada kenaikan; |
|
|
|
|
d. |
PPh
Pasal 21 terutang atas tambahan gaji untuk bulan-bulan dimaksud adalah
selisih antara jumlah pajak yang dihitung berdasarkan huruf c dikurangi
jumlah pajak yang telah dipotong berdasarkan huruf b. |
|
|
|
5. |
Apabila
kepada pegawai disamping dibayar gaji yang didasarkan masa gaji kurang dari
satu bulan juga dibayar gaji lain mengenai masa yang lebih lama dari satu
bulan (rapel) seperti tersebut pada angka 4, maka cara penghitungan PPh Pasal
21-nya adalah sesuai dengan yang telah ditetapkan pada angka 4 dengan
memperhatikan ketentuan pada angka 3. |
||
|
|
6. |
Pemotongan
PPh Pasal 21 atas uang lembur dan penghasilan lain yang sejenis yang diterima
atau diperoleh pegawai bersamaan dengan gaji bulanannya, yaitu dengan
menggabungkan pada gaji bulannya. |
||
|
|
7. |
Penghitungan
PPh Pasal 21 atas uang pensiun bulanan yang diterima atau diperoleh penerima
pensiun pada tahun pertama pensiun sebagai berikut : |
||
|
|
|
a. |
terlebih
dahulu dihitung penghasilan neto sebulan yang diperoleh dengan cara
mengurangi penghasilan bruto dengan biaya pensiun, kemudian dikalikan
banyaknya bulan sejak pegawai yang bersangkutan menerima pensiun sampai
dengan bulan Desember; |
|
|
|
|
b. |
penghasilan
neto yang disetahunkan tersebut ditambah dengan penghasilan neto dalam tahun
yang bersangkutan yang diterima atau diperoleh dari pemberi kerja sebelum
pegawai yang bersangkutan pensiun dengan yang tercantum dalam bukti
pemotongan PPh Pasal 21 sebelum pensiun; |
|
|
|
|
c. |
untuk
menghitung Penghasilan Kena Pajak, jumlah penghasilan pada huruf b tersebut
dikurangi dengan PTKP, dan selanjutnya dihitung PPh Pasal 21 atas Penghasilan
Kena Pajak tersebut; |
|
|
|
|
d. |
PPh
Pasal 21 atas uang pensiun dalam tahun yang bersangkutan dihitung dengan cara
mengurangi PPh Pasal 21 pada huruf c dengan PPh Pasal 21 yang terutang dari
pemberi kerja sebelum pegawai yang bersangkutan pensiun sesuai dengan yang
tercantum dalam bukti pemotongan PPh Pasal 21 sebelum pensiun; |
|
|
|
|
e. |
PPh
Pasal 21 atas uang pensiun bulanan adalah sebesar PPh Pasal 21 seperti
tersebut pada huruf d dibagi dengan banyaknya bulan sebagaimana dimaksud pada
huruf a. |
|
|
|
8. |
Penghitungan
PPh Pasal 21 atas uang pensiun bulanan untuk tahun kedua dan selanjutnya
sebagai berikut : |
||
|
|
|
a. |
terlebih
dahulu dihitung penghasilan neto sebulan yang diperoleh dengan cara
mengurangi penghasilan bruto dengan biaya pensiun; |
|
|
|
|
b. |
selanjutnya
PPh Pasal 21 dihitung dengan cara seperti tersebut pada angka 2 huruf a, c,
dan d. |
|
|
B. |
Penghitungan
PPh Pasal 21 atas Penghasilan Tidak Teratur |
|||
|
|
1. |
Apabila
kepada pegawai tetap diberikan jasa produksi, tantiem, gratifikasi, bonus,
premi, tunjangan hari raya, dan penghasilan lain semacam itu yang sifatnya
tidak tetap dan biasanya dibayarkan sekali setahun, maka PPh Pasal 21
dihitung dan dipotong menurut petunjuk sebagai berikut : |
||
|
|
|
a. |
dihitung
PPh Pasal 21 atas penghasilan teratur yang disetahunkan ditambah dengan
penghasilan tidak teratur berupa tantiem, jasa produksi, dan sebagainya. |
|
|
|
|
b. |
dihitung
PPh Pasal 21 atas penghasilan teratur yang disetahunkan tanpa tantiem, jasa
produksi, dan sebagainya. |
|
|
|
|
c. |
selisih
antara PPh Pasal 21 menurut penghitungan huruf a dan huruf b adalah PPh Pasal
21 atas penghasilan tidak teratur berupa tantiem, jasa produksi, dan
sebagainya. |
|
|
|
2. |
Dalam
hal penerima penghasilan tersebut pada angka 1 adalah mantan pegawai, maka
PPh Pasal 21 dihitung dengan menetapkan tarif Pasal 17 Undang-undang Nomor 7
Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 atas jumlah penghasilan bruto. |
||
|
|
3. |
Untuk
perusahaan yang masuk program Jamsostek, premi Asuransi Kecelakaan Kerja, dan
premi Asuransi Kematian yang dibayar oleh pemberi kerja merupakan penghasilan
bagi pegawai. Ketentuan yang sama diberlakukan juga bagi premi asuransi
kesehatan, kecelakaan kerja, jiwa, dwiguna, dan asuransi bea siswa yang
dibayar oleh pemberi kerja untuk pegawai kepada perusahaan asuransi lainnya.
Dalam menghitung PPh Pasal 21, premi tersebut digabungkan dengan penghasilan
bruto yang dibayarkan oleh pemberi kerja kepada pegawai. |
||
|
|
4. |
Atas
penarikan dana dari dana pensiun lembaga keuangan oleh peserta program
pensiun iuran pasti dipotong PPh Pasal 21 oleh dana pensiun lembaga kuangan
yang bersangkutan dari jumlah bruto yang dibayarkan tanpa memperhatikan
penghasilan lainnya dari peserta yang bersangkutan. |
II.
PENGHITUNGAN PEMOTONGAN PPh PASAL 21 TERHADAP PENGHASILAN PEGAWAI TETAP
1. DENGAN GAJI BULANAN
Contoh penghitungan :
1.1. A bekerja pada
perusahaan PT Bima dengan memperoleh gaji sebulan Rp. 650.000,00 dan membayar
iuran pensiun sebesar Rp. 25.000,00.
A sudah
beristri, tetapi belum mempunyai anak.
Penghitungan PPh Pasal 21
Gaji
sebulan = Rp. 650.000,00
Pengurangan
1. biaya jabatan
5 % x Rp. 650.000,00 = Rp. 32.500,00
2. iuran pensiun
Rp. 25.000,00
=
Rp. 57.500,00
Penghasilan
neto sebulan =
Rp. 592.500,00
Penghasilan
neto setahun = 12 x Rp. 592.500,00 = Rp. 7.110.000,00
3. PTKP setahun
Untuk WP sendiri Rp. 1.728.000,00
Tambahan WP kawin Rp. 864.000,00
=
Rp. 2.592.000,00
Penghasilan
Kena Pajak setahun = Rp. 4.518.000,00
PPh
Pasal 21 = 10 % x Rp. 4.518.000,00 =
Rp. 451.800,00
PPh
Pasal 21 sebulan = Rp. 451.800,00
12 = Rp. 37.650,00
Catatan :
Biaya jabatan adalah biaya yang dapat
dikurangi dari penghasilan setiap orang yang bekerja sebagai pegawai tetap
tanpa memandang mempunyai jabatan ataupun tidak.
1.2. A (kawin belum punya anak) pegawai pada
perusahaan PT Bima dengan memperoleh gaji sebulan Rp. 650.000,00.
Diterima masuk program Jamsostek, premi
Asuransi Kecelakaan Kerja dan premi Asuransi Kematian dibayar oleh pemberi
kerja dengan jumlah masing-masing
Rp. 20.000,00 dan Rp. 5.000,00 sebulan .
PT Bima menanggung iuran THT tiap-tiap
bulan sebesar Rp. 10.000,00, sedangkan A membayar iuran THT sebesar Rp.
6.500,00 setiap bulan. Disamping itu PT Bima juga masuk program pensiun untuk
pegawainya. PT Bima membayar iuran pensiun untuk A kedana pensiun yang
pendiriannya telah disahkan Menteri Keuangan setiap bulan sebesar
Rp. 40.000,00 sedangkan A
membayar iuran pensiun sebesar Rp.
25.000,00.
Penghitungan
PPh Pasal 21
Gaji
sebulan =
Rp. 650.000,00
Premi
asuransi kecelakaan kerja =
Rp. 20.000,00
Premi
asuransi kematian =
Rp. 5.000,00
Penghasilan
bruto =
Rp. 675.000,00
Pengurangan.
1. biaya jabatan
5 % x Rp. 675.000,00 = Rp. 33.750,00
2. iuran pensiun Rp. 25.000,00
3. iuran THT Rp. 6.500,00
=
Rp. 65.250,00
Penghasilan
neto sebulan =
Rp. 609.750,00
Penghasilan
neto setahun = 12 x Rp. 609.750,00 = Rp. 7.317.000,00
4. PTKP setahun
Untuk WP sendiri Rp. 1.728.000,00
Tambahan WP kawin Rp. 864.000,00
=
Rp. 2.592.000,00
Penghasilan
Kena Pajak setahun =
Rp. 4.725.000,00
PPh
Pasal 21 = 10 % Rp. 4.725.000,00 =
Rp. 472.500,00
PPh
Pasal 21 sebulan = Rp. 472.500,00
12
= Rp. 39.375,00
1.3. Penghitungan PPh Pasal 21 atas penghasilan
pegawai yang berkewajiban pajak subjektifnya sebagai Subjek Pajak dalam negeri sudah
ada sejak awal tahun takwim tetapi baru bekerja pada pertengahan tahun.
contoh penghitungan :
A (Kawin belum punya anak) bekerja pada
perusahaan PT Bima sebagai pegawai tetap sejak 1 September 1995. Gaji sebulan
Rp. 1.200.000,00 dan iuran pensiun yang dibayar tiap bulan sebesar Rp.
25.000,00.
Penghitungan
PPh Pasal 21 :
Gaji
sebulan =
Rp. 1.200.000,00
Pengurangan
:
1. biaya jabatan
5 % x Rp. 1.200.000,00 = Rp. 60.000,00
diperkenankan maksimum = Rp. 54.000,00
2. iuran pensiun Rp. 25.000,00
= Rp. 79.000,00
Penghasilan
neto sebulan =
Rp. 1.121.000,00
Penghasilan
neto setahun = 4 x Rp. 1.121.000,00 = Rp. 4.484.000,00
3. PTKP :
Untuk Wajib Pajak sendiri Rp. 1.728.000,00
Tambahan WP Kawin Rp. 864.000,00
=
Rp. 2.592.000,00
Penghasilan
Kena Pajak setahun =
Rp. 1.892.000,00
PPh
Pasal 21 = 10 % x Rp. 1.892.000,00 =
Rp. 189.200,00
PPh
Pasal 21 sebulan = Rp.
189.200,00
4 = Rp. 47.300,00
1.4. Penghitungan PPh Pasal 21 atas penghasilan
pegawai yang kewajiban pihak subjektifnya sebagai Subjek Pajak dalam negeri
dimulai setelah permulaan tahun pajak atau berakhir dalam tahun pajak.
1.4.1. Contoh
penghitungan PPh Pasal 21 atas penghasilan pegawai yang berkewajiban pajak subjektifnya
sebagai Subjek Pajak dalam negeri baru dimulai setelah permulaan tahun pajak.
Michael Cliff (K/3) mulai bekerja 1
September 1995.
Ia akan bekerja di Indonesia s/d
Agustus 1997.
Selama Tahun 1995 menerima gaji per
bulan Rp. 6.000.000,00
Penghitungan PPh Pasal 21 :
Gaji
sebulan =
Rp. 6.000.000,00
Pengurangan :
1. biaya jabatan
5 % x Rp.
6.000.000,00= Rp. 300.000,00
Maksimum
diperkenankan =
Rp. 54.000,00
Penghasilan
neto 1 bulan =
Rp. 5.946.000,00
Penghasilan
neto setahun = 12 x Rp. 5.946.000,00 = Rp. 71.352.000,00
2. PTKP (K/3) =
Rp. 5.184.000,00
Penghasilan
Kena Pajak =
Rp. 66.168.000,00
PPh Pasal
21 setahun =
Rp. 11.100.400,00
PPh Pasal
21 sebulan = Rp. 11.100.400,00
12 = Rp. 925.033,00
1.4.2. Contoh
penghitungan PPh Pasal 21 atas penghasilan pegawai yang kewajiban pajak
subjektifnya sebagai Subjek Pajak dalam negeri berakhir dalam tahun pajak.
Smith (K/3) mulai bekerja bulan Mei
1993 dan berhenti bekerja sejak 1 Mei 1995. Selama tahun 1995 menerima gaji per
bulan Rp. 6.000.000,00 dan pada bulan April 1995 menerima bonus sebesar Rp.
10.000.000,00.
Penghitungan PPh Pasal 21
tahun 1995 :
Gaji 4 bulan = 4 x Rp. 6.000.000,00 = Rp. 24.000.000,00
Bonus =
Rp.
10.000.000,00
Jumlah penghasilan bruto 4 bulan = Rp. 34.000.000,00
Pengurangan :
1. Biaya jabatan
5 % x Rp.
34.000.000,00 = Rp. 1.700.000,00
Maksimum
diperkenankan 4 x Rp. 54.000,00 = Rp. 216.000,00
Penghasilan
neto atas gaji dan bonus 4 bulan =
Rp.
33.784.000,00
Penghasilan
netto atas seluruh penghasilan setahun
12/4 x
Rp. 33.784.000,00 =
Rp. 101.352.000,00
2. PTKP =
Rp.
5.184.000,00
Penghasilan
Kena Pajak =
Rp.
96.168.000,00
Pph Pasal
21 setahun =
Rp
20.100.400,00
Pph Pasal
21 terutang tahun 1995
4/12 x
Rp. 20.100.400,00 =
Rp. 6.700.133,00
Catatan :
Cara penghitungan di atas
berlaku juga bagi pegawai yang meninggal dunia dalam tahun berjalan, dengan
demikian terdapat pula bagian tahun takwim.
2. DENGAN GAJI MINGGUAN
Contoh penghitungan :
2.1. A (telah
beristri mempunyai satu anak) bekerja pada perusahaan PT C menerima gaji
mingguan sebesar Rp. 200.000,00.
Penghitungan PPh Pasal 21
Gaji
mingguan sebesar =
Rp.
200.000,00
Gaji sebulan
4 x Rp. 200.000,00 =
Rp.
800.000,00
Pengurangan
:
1. biaya jabatan 5 % x Rp. 800.000,00 =
Rp. 40.000,00
Penghasilan
neto sebulan = Rp. 760.000,00
Penghasilan
neto setahun 12 x Rp. 760.000,00 =
Rp. 9.120.000,00
2. PTKP
Untuk WP
sendiri Rp.
1.728.000,00
Tambahan
untuk WP kawin Rp. 864.000,00
Tambahan
untuk 1 anak Rp. 864.000,00
=
Rp. 3.456.000,00
Penghasilan
Kena Pajak setahun =
Rp. 5.664.000,00
PPh Pasal
21 = 10 % Rp. 5.664.000,00 =
Rp.
566.400,00
PPh Pasal
21 sebulan = Rp. 566.400,00
12
= Rp.
47.200,00
PPh Pasal
21 atas gaji atau upah mingguan sebesar
Rp.
200.000,00 = Rp.
47.200,00
4
= Rp.
11.800,00
2.2. A pegawai
pada perusahaan PT C dengan memperoleh gaji mingguan sebesar Rp. 150.000,00. A
kawin mempunyai satu anak. PT C masuk program Jamsostek, premi Asuransi
Kecelakaan dan premi Asuransi Kematian dibayar oleh pemberi kerja dengan jumlah
masing-masing Rp. 10.000,00 dan Rp. 5.000,00 sebulan.
PT C membayar iuran THT
tiap-tiap bulan sebesar Rp. 9.000,00. Karyawan membayar iuran pensiun sebesar
Rp. 6.000,00.
Penghasilan
sebulan 4 x Rp. 150.000,00 =
Rp.
600.000,00
Premi
asuransi kecelakaan kerja =
Rp.
10.000,00
Premi
asuransi kematian =
Rp. 5.000,00
Penghasilan
bruto =
Rp.
615.000,00
Pengurangan.
1. biaya jabatan
5 % x Rp.
615.000,00 = Rp. 30.750,00
2. iuran pensiun Rp. 1.000,00
3. iuran THT Rp. 60.000,00
=
Rp. 37.750,00
Penghasilan
neto sebulan =
Rp.
577.250,00
Penghasilan
neto setahun = 12 x Rp. 577.250,00 =
Rp. 6.927.000,00
4. PTKP :
Untuk
Wajib Pajak Rp.
1.728.000,00
Tambahan
WP kawin Rp. 864.000,00
Tambahan
untuk 1 orang anak = Rp. 864.000,00
= Rp. 3.456.000,00
Penghasilan
Kena Pajak (PKP) setahun =
Rp. 3.471.000,00
PPh Pasal
21 = 10 % x Rp. 3.471.000,00 =
Rp.
347.100,00
PPh Pasal
21 sebulan = Rp.
347.100,00
12
= Rp.
28.925,00
PPh Pasal
21 mingguan = Rp. 28.925,00
4
= Rp.
7.231,00
Catatan :
Dalam hal A tersebut menerima
gaji harian, untuk menghitung PPh Pasal 21-nya dicari terlebih dahulu gaji
sebulan yakni gaji sehari dikalikan dengan 26.
3. PENGHITUNGAN PPh PASAL 21 ATAS PEMBAYARAN
UANG RAPEL
A sebagaimana tersebut dalam
contoh 1.1 pada bulan Juni 1995 menerima kenaikan gaji, menjadi 750.000,00
sebulan yang berlaku surut sejak 1 Januari 1995. Dengan adanya kenaikan gaji
yang berlaku surut tersebut A menerima uang rapel sebesar Rp. 500.000,00 yang
merupakan kekurangan pembayaran gaji untuk bulan Januari sampai dengan Mei
1995. Untuk menghitung PPh Pasal 21 atas uang rapel tersebut terlebih dahulu
dihitung kembali PPh Pasal 21 untuk bulan Januari sampai dengan Mei 1995 atas
dasar penghasilan setelah ada kenaikan gaji. Dengan asumsi penghasilan A untuk
Januari s/d. Mei 1995 setiap bulannya sama, maka PPh Pasal 21 setiap bulan
untuk bulan-bulan tersebut adalah sebagai berikut :
Gaji = Rp. 750.000,00
Pengurangan.
1. biaya jabatan 5 % Rp. 750.000,00 = Rp. 37.500,00
2. iuran pensiun =
Rp. 25.000,00
=
Rp.
62.500,00
Penghasilan neto sebulan = Rp. 687.500,00
Penghasilan neto setahun = Rp. 8.250.000,00
3. PTKP (K/-) =
Rp. 2.592.000,00
Penghasilan Kena Pajak = Rp. 5.658.000,00
PPh Pasal 21 setahun = Rp. 565.800,00
PPh Pasal 21 sebulan = Rp. 565.800,00
12
= Rp.
47.150,00
PPh Pasal 21 Januari s.d. Mei 1995 seharusnya
5 x Rp. 47.150,00 =
Rp.
233.750,00
PPh Pasal 21 Januari s.d. Mei 1995 yang telah
dipotong
5 x Rp. 37.650,00 =
Rp. 188.250,00
PPh Pasal 21 uang rapel = Rp.
47.500,00
III. PENGHITUNGAN PEMOTONGAN PPh PASAL 21 TERHADAP
PENGHASILAN PEGAWAI HARIAN, TENAGA HARIAN LEPAS, PENERIMA UPAH SATUAN, DAN
PENERIMA UPAH BORONGAN.
1. DENGAN UPAH HARIAN
Contoh penghitungan :
A (tidak kawin) pada bulan Maret
1995 bekerja pada perusahaan PT D menerima upah sebesar Rp. 20.000,00 per hari.
Penghitungan PPh Pasal 21.
Upah sehari =
Rp. 20.000,00
Upah sehari diatas Rp. 14.400,00
Rp. 20.000,00 - Rp. 14.400,00 =
Rp. 5.600,00
PPh Pasal 21 = 10 % Rp. 5.600,00 = Rp. 560,00 (harian)
Pada hari kerja ke-8 dalam bulan
takwim yang bersangkutan, A telah menerima penghasilan sebesar Rp. 160.000,00
sehingga telah melebihi Rp. 144.000,00. Dengan demikian PPh Pasal 21 atas
penghasilan A dalam bulan Maret dihitung sebagai berikut:
Upah 8 hari kerja =
Rp. 160.000,00
PTKP : 8 x 1.728.000
360
=
Rp. 38.400,00
Upah harian terutang pajak = Rp. 121.600,00
PPh Pasal 21 terutang
10 % x Rp. 121.600,00 = Rp. 12.160,00
PPh Pasal 21 yang telah dipotong
7 x Rp. 560,00 =
Rp. 3.920,00
PPh Pasal 21 kurang dipotong =
Rp. 8.240,00
Jumlah Rp. 8.240,00 dipotong
dari upah harian sebesar Rp. 20.000,00 sehingga upah yang diterima A pada hari
kerja ke-8 adalah Rp. 20.000,00 - Rp. 8.240,00 = Rp. 11.760,00.
Pada hari kerja ke-9 dan seterusnya dalam bulan
takwim yang bersangkutan, jumlah PPh Pasal 21 per hari yang harus dipotong
adalah :
Upah sehari =
Rp. 20.000,00
PTKP Rp. 1.728.000,00
360
=
Rp. 4.800,00
Upah harian terutang pajak = Rp. 15.200,00
PPh Pasal 21 per hari
10 % x Rp. 15.200,00 = Rp. 1.520,00
2. UPAH SATUAN
Contoh penghitungan :
Pegawai B status tidak kawin
bekerja sebagai perakit televisi pada perusahaan televisi. Upah dibayar
berdasarkan atas jumlah satuan yang dihasilkan, yaitu Rp. 10.000,00 per buah
televisi dan dibayarkan tiap minggu. Dalam waktu 1 minggu/6 (enam) hari
dihasilkan sebanyak 12 televisi dengan upah Rp. 120.000,00.
Penghitungan PPh Pasal 12.
Upah sehari Rp. 120.000,00
6
=
Rp. 20.000,00
Upah sehari diatas Rp. 14.400,00
Rp. 20.000,00 - Rp. 14.400,00 =
Rp. 5.600,00
Upah seminggu terutang pajak 6 x Rp. 5.600,00 = Rp. 33.600,00
PPh Pasal 21 = 10 % x Rp. 5.600,00 = Rp. 3.360,00 (mingguan)
3. UPAH BORONGAN
Contoh penghitungan :
a.
A mengerjakan dekorasi rumah dengan upah borongan sebesar Rp. 100.000,00.
Pekerjaan diselesaikan selama 2 hari.
Penghitungan
PPh Pasal 21
Upah
borongan sehari Rp. 100.000,00
2
=
Rp. 50.000,00
Upah
sehari diatas Rp. 14.400,00
Rp.
50.000,00 - Rp. 14.400,00 =
Rp. 35.600,00
Upah
borongan terutang pajak :
2 x Rp.
35.600,00 =
Rp. 71.200,00
PPh Pasal
21 = 10 % x Rp. 15.200,00 =
Rp. 7.1200,00
b. PT A memberikan pekerjaan dekorasi gedung
secara borongan kepada Alim dengan upah sebesar Rp. 2.000.000,00. Alim
mempergunakan 5 orang tenaga dengan mendapat upah harian masing-masing sebesar
Rp. 20.000,00. Upah harian yang dibayarkan untuk 5 orang selama melakukan
pekerjaan sebesar Rp. 1.000.000,00.
Penghitungan PPh Pasal 21
I. Atas bagian upah yang diterima Alim wajib
dipotong PPh Pasal 21 oleh PT A sebesar 10 % x (Rp. 2.000.000,00 - Rp. Rp.
1.000.000,00) = Rp. 1.000.000,00
II. Sedangkan untuk pembayaran upah harian kepada
masing-masing pembantu wajib dipotong PPh Pasal 21 oleh Alim sebagai berikut :
a.
Atas pembayaran upah harian sampai dengan jumlah Rp. 144.000,00 dalam 1 bulan
takwim.
Penghitungan
PPh Pasal 21 :
Upah
sehari Rp. 20.000,00
Upah
sehari diatas Rp.14.400,00 =
Rp.
20.000,00 - Rp. 14.400,00 =
Rp. 5.600,00
PPh Pasal
21 = 10 % x Rp. 5.600,00 =
Rp. 560,00
b.
Apabila pembayaran upah harian kepada masing-masing tenaga pembantu Alim dalam
1 bulan takwim telah melampaui Rp. 144.000,00, maka penghitungan PPh Pasal 21
untuk masing-masing pembantu Alim dilakukan seperti contoh butir III.1.
Catatan :
Penghitungan PPh Pasal 21 atas
honorarium atau pembayaran lain yang jumlahnya dihitung atas dasar banyaknya
hari yang dipakai untuk menyelesaikan jasa yang diberikan, misalnya uang saku
harian bagi pemagang sama dengan contoh penghitungan pada angka 1 di atas.
4. Upah harian, upah satuan, dan upah borongan
maupun honorarium yang diterima oleh tenaga harian lepas dalam hal penghasilan
tersebut dibayarkan secara bulanan.
Contoh penghitungan :
D bekerja pada perusahaan tenun
dengan dasar upah harian yang dibayarkan bulanan. Dalam bulan Januari 1995 D
hanya bekerja 20 hari kerja dan upah seharinya adalah Rp. 18.000,00. D kawin
belum punya anak.
Penghitungan PPh Pasal 21.
Upah bulan Januari = 20 x Rp. 18.000,00 = Rp. 360.000,00
Penghasilan neto setahun
12 x Rp. 360.000,00 = Rp. 4.320.000,00
PTKP =
Rp. 2.592.000,00
PKP =
Rp. 1.728.000,00
PPh Pasal 21 setahun
10 % Rp. 1.728.000,00 = Rp. 172.800,00
PPh Pasal 21 sebulan = Rp. 172.800,00
12
= Rp. 14.400,00
IV. PENGHITUNGAN PEMOTONGAN PPh PASAL 21 ATAS HONORARIUM
YANG JUMLAHNYA TIDAK DIHITUNG ATAS DASAR BANYAKNYA HARI YANG DIPERLUKAN UNTUK
MENYELESAIKAN JASA YANG DIBERIKAN, TERMASUK YANG DITERIMA OLEH WAJIB PAJAK
DALAM NEGERI SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM PASAL 5 AYAT (1) HURUF E KE 1 S/D 12,
KOMISI AGEN WAJIB PAJAK PERSEORANGAN, DAN JASA PRODUKSI YANG DITERIMA MANTAN
PEGAWAI
1. Contoh penghitungan PPh Pasal 21 atas
honorarium penceramah :
A seorang penceramah memberikan
ceramah pada suatu lokakarya sehari yang diadakan oleh suatu yayasan, dengan
menerima honorarium sebesar Rp. 1.000.000,00
Penghitungan PPh Pasal 21
:
10 x Rp. 1.000.000,00 = Rp. 100.000,00
2.
Contoh penghitungan PPh Pasal 21 atas honorarium komisaris yang bukan pegawai
tetap:
B seorang PT Makmur, yang bukan
pegawai tetap. Dalam bulan Desember 1995 menerima honorarium sebesar Rp.
60.000.000,00.
penghitungan PPh Pasal 21
:
10 % Rp. 25.000.000,00 = Rp. 2.500.000,00
15 % Rp. 25.000.000,00 = Rp. 3.750.000,00
30 % Rp. 25.000.000,00 = Rp. 3.000.000,00
PPh Pasal 21 yang harus dipotong Rp.
9.250.000,00
3. Contoh penghitungan PPh Pasal 21 atas
honorarium tenaga ahli :
Heri seorang arsitek, pada bulan
Maret 1995 menerima honorarium sebesar Rp. 30.000.000,00 dari PT Lancar sebagai
imbalan jasa teknik yang dilakukannya.
Penghitungan PPh Pasal 21
:
15 % x 40 % x Rp. 30.000.000,00 = Rp. 1.800.000,00
4.
Contoh penghitungan PPh Pasal 21 atas komisi yang dibayarkan kepada penjaja
barang dagangan atau petugas dinas luar asuransi :
E seorang penjaja barang
dagangan hasil produksi PT Jaya, dalam bulan Januari 1995 menerima komisi
sebesar Rp. 5.000.000,00
PPh Pasal 21 = 10 % x Rp. 500.000,00 = Rp. 50.000,00
5.
Contoh penghitungan PPh Pasal 21 atas komisi yang dibayarkan kepada agen Wajib
Pajak Perseorangan :
Herman, pemilik Toko Laris
merupakan agen tunggal dari hasil produksi PT Bahagia. Dalam bulan Februari
1995 Herman menerima komisi sebesar Rp. 30.000.000,00.
Penghitungan PPh Pasal 21
:
10 % x Rp. 25.000.000,00 = Rp. 2.500.000,00
15 % x Rp.
5.000.000,00 =
Rp. 750.000,00
Rp.
3.250.000,00
6. Contoh
penghitungan PPh Pasal 21 atas pembayaran kepada mantan pegawai :
Budi bekerja pada PT Subur. Pada
tanggal 1 Januari 1995 Budi telah berhenti bekerja pada PT Subur karena
pensiun. Pada bulan Maret 1995 Budi menerima jasa produk tahun 1994 dari PT
Subur sebesar Rp. 30.000.000,00.
Penghitungan PPh Pasal 21
:
10 % x Rp. 25.000.000,00 = Rp. 2.500.000,00
15 % x Rp.
5.000.000,00 =
Rp. 750.000,00
Rp.
3.250.000,00
V. PENGHITUNGAN PEMOTONGAN PPh PASAL 21 TERHADAP PENGHASILAN
KARYAWATI KAWIN
Contoh penghitungan :
1. A seorang
karyawati (status kawin belum punya anak) bekerja pada perusahaan PT B dengan
memperoleh gaji sebulan Rp. 600.000,00. A membayar iuran pensiun ke dana
pensiun yang pendiriannya disahkan Menteri Keuangan sebesar Rp. 40.000,00
sebulan. Berdasarkan surat keterangan dari Pemerintah Daerah tempat tinggal
karyawati tersebut yang diserahkan kepada pemberi kerja, diperoleh keterangan
bahwa suaminya tidak mempunyai penghasilan apapun.
Gaji
sebulan =
Rp. 600.000,00
Pengurangan.
1. biaya jabatan
5 % x Rp.
600.000,00 = Rp. 30.000,00
2. iuran pensiun Rp. 40.000,00
Rp.
70.000,00
Penghasilan
neto sebulan =
Rp. 530.000,00
Penghasilan
neto setahun
12 x Rp.
530.000,00 =
Rp. 6.360.000,00
3. PTKP
untuk
Wajib Pajak sendiri Rp. 1.728.000,00
tambahan
untuk WP yang kawin Rp. 864.000,00 = Rp. 2.592.000,00
Penghasilan
Kena Pajak setahun =
Rp. 3.768.000,00
PPh Pasal
21 = 10 % Rp. 3.768.000,00 =
Rp. 376.800,00
PPh Pasal
21 sebulan sebesar Rp. 376.800,00
12
= Rp. 31.400,00
2. A seorang
karyawati (status kawin belum punya anak) bekerja pada perusahaan PT H dengan
gaji sebulan Rp. 600.000,00 dan PT H masuk program pensiun dan program
Jamsostek. PT H membayar untuk A iuran pensiun ke Dana pensiun yang
pendiriannya telah disahkan Menteri Keuangan sebesar Rp. 40.000,00 sebulan
sedangkan A membayar iuran pensiun sebulan
Rp. 30.000,00 A membayar iuran THT sebesar Rp. 6.000,00 sebulan.
Berdasarkan surat keterangan dari Pemerintah Daerah tempat tinggal karyawati
tersebut yang diserahkan kepada pemberi kerja, diperoleh keterangan bahwa
suaminya tidak mempunyai penghasilan apapun. Premi Asuransi Kecelakaan kerja
Rp. 15.000,00 dan Asuransi Kematian sebulan Rp. 5.000,00 dibayar oleh pemberi
kerja.
Penghasilan PPh Pasal 21
Gaji sebulan =
Rp. 600.000,00
Premi Asuransi Kecelakaan Kerja = Rp. 15.000,00
Premi Asuransi Kematian = Rp. 5.000,00
Penghasilan bruto sebulan = Rp. 620.000,00
Pengurangan
1.
biaya jabatan
5 % x Rp.
620.000,00 = Rp. 31.000,00
2.
iuran pensiun Rp.
30.000,00
3.
iuran THT Rp.
6.000,00
Rp.
67.000,00
Penghasilan
neto sebulan = Rp. 553.000,00
Penghasilan
neto setahun
12 x Rp.
533.000,00 =
Rp. 6.636.000,00
4.
PTKP
Untuk
Wajib Pajak sendiri Rp. 1.728.000,00
Tambahan untuk
WP yang kawin Rp. 864.000,00
=
Rp. 2.592.000,00
Penghasilan
Kena Pajak = Rp. 4.044.000,00
PPh Pasal
21 setahun =
10 % x
Rp. 4.044.000,00 = Rp. 404.400,00
PPh Pasal
21 sebulan sebesar = Rp 404.400,00
12
= Rp. 33.700,00
3. A seorang
karyawati (status kawin belum punya anak) bekerja pada perusahaan PT H dengan
baji sebulan Rp 600.000,00 dan PT H masuk program pensiun dan program
Jamsostek. PT H membayar untuk A iuran ke Dana Pensiun yang pendiriannya telah
disahkan Menteri Keuangan sebesar Rp 40.000,00 sebulan sedangkan A membayar
iuran pensiun sebulan Rp 30.000,00. Disamping itu PT H membayar untuk A iuran
THT sebesar Rp 9.000,00 sebulan, sedangkan A membayar iuran sebesar Rp 6.000,00
sebulan. Suami A bekerja pada PT I.
Penghasilan PPh pasal 21
Gaji sebulan =
Rp. 600.000,00
Premi Asuransi Kecelakaan Kerja = Rp. 15.000,00
Premi Asuransi Kematian = Rp. 5.000,00
Penghasilan bruto sebulan = Rp. 620.000,00
Pengurangan.
1. Biaya jabatan
5 % x Rp.
600.000,00 = Rp. 31.000,00
2.
iuran pensiun Rp.
30.000,00
3.
iuran THT Rp.
6000,00
Rp.
67.000,00
Penghasilan
neto sebulan =
Rp. 553.000,00
Penghasilan
neto setahun
12 x Rp.
533.000,00 =
Rp. 6.636.000,00
4.
PTKP
untuk WP
sendiri =
Rp. 1.728.000,00
Penghasilan
Kena Pajak =
Rp. 4.908.000,00
PPh Pasal
21 setahun = 10 % x Rp. 4908.000,00 =
Rp. 490.800,00
PPh pasal
21 sebulan sebesar = Rp. 490.800,00
12
= Rp. 40.900,00
VI. PENGHITUNGAN
PEMOTONGAN PPh PASAL 21 TERHADAP PENGHASILAN BERUPA : JASA PRODUKSI, TANTIEM, GRATIFIKASI,
TUNJANGAN HARI RAYA ATAU TAHUN BARU, BONUS, PREMI, DAN PENGHASILAN SEJENIS
LAINNYA YANG SIFATNYA TIDAK TETAP DAN PADA UMUMNYA DIBERIKAN SEKALI SAJA ATAU
SEKALI SETAHUN.
Contoh penghitungan :
1. Pegawai E
(tidak kawin) bekerja pada PT S dengan memperoleh gaji sebesar Rp. 2.000.000,00
sebulan. Dalam tahun yang bersangkutan pegawai E juga menerima bonus sebesar
Rp. 5.000.000,00. Tiap bulan E membayar iuran pensiun ke Dana Pensiun yang
pendiriannya telah disahkan Menteri Keuangan sebesar Rp. 60.000,00.
Cara menghitung PPh Pasal 21
atas bonus sebagai berikut :
A.
PPh Pasal 21 atas gaji dan bonus
Gaji setahun (12 x Rp. 2.000.000,00) = Rp. 24.000.000,00
Bonus =
Rp. 5.000.000,00
Penghasilan bruto =
Rp. 29.000.000,00
Pengurangan.
1.
biaya jabatan
5 % x Rp.
29.000.000,00 = Rp. 1.450.000,00
maksimum
diperkenankan = Rp. 648.000,00
2.
iuran pensiun setahun
12 x Rp.
60.000,00 = Rp. 720.000,00
=
Rp. 1.368.000,00
Penghasilan
neto setahun = Rp. 27.632.000,00
3.
PTKP setahun
untuk Wajib
Pajak sendiri =
Rp. 1.728.000,00
Penghasilan
Kena Pajak setahun =
Rp. 25.904.000,00
PPh Pasal
21 = 10 % x Rp. 25.000.000,00 = Rp. 2.500.000,00
15 % x Rp. 904.000,00 = Rp. 135.600,00
=
Rp. 2.635.600,00
B.
PPh Pasal 21 atas gaji
Gaji setahun (12 x Rp. 2.000.000,00) = Rp. 24.000.000,00
Pengurangan.
1.
Biaya jabatan
5 % x Rp.
24.000.000,00 = Rp. 1.200.000,00
maksimum
diperkenankan = Rp. 648.000,00
2.
iuran pensiun setahun
12 x Rp.
60.000,00 = Rp. 720.000,00
=
Rp. 1.368.000,00
Penghasilan
neto setahun =
Rp. 22.632.000,00
3.
PTKP
Untuk
Wajib Pajak sendiri =
Rp. 1.728.000,00
Penghasilan
Kena Pajak =
Rp. 20.904.000,00
PPh pasal
21 = 10 % x Rp. 20.904.000,00 =
Rp. 2.090.400,00
C. PPh Pasal 21 atas bonus
PPh Pasal 21 atas bonus Rp.
5.000.000,00 tersebut adalah :
Rp. 2.635.600,00 - Rp. 2.090.400,00 = Rp. 545.200,00
2. Karyawati
R (tidak kawin) bekerja pada perusahaan PT S dengan memperoleh gaji sebesar Rp.
600.000,00 sebulan. PT S masuk program Jamsostek. Premi asuransi kecelakaan
kerja dan iuran asuransi kematian dibayar oleh pemberi kerja dengan jumlah
masing-masing Rp. 15.000,00 dan Rp. 5.000,00 sebulan. PT S membayar iuran THT
tiap-tiap bulan sebesar Rp. 10.000,00.
Karyawati R membayar iuran
pensiun sebesar Rp. 30.000,00 dan iuran THT Rp. 6.000,00 setiap bulan. Dalam
tahun yang bersangkutan karyawati R menerima bonus sebesar Rp. 2.000.000,00.
Cara menghitung PPh Pasal 21
atas bonus sebagai berikut :
A.
PPh Pasal 21 atas gaji dan bonus
Gaji setahun 12 x Rp. 600.000,00 = Rp. 7.200.000,00
Premi Asuransi Kecelakaan Kerja
12 x Rp. 15.000,00 = Rp.
18.000,00
Premi Asuransi Kematian
12 x Rp. 5.000,00 = Rp.
60.000,00
=
Rp. 7.440.000,00
Bonus =
Rp. 2.000.000,00
Penghasilan bruto setahun = Rp. 9.440.000,00
Pengurangan.
1.
biaya jabatan
5 % x Rp.
9.440.000,00 = Rp. 472.000,00
2.
iuran pensiun
12 x Rp.
30.000,00 = Rp. 360.000,00
3.
iuran THT
12 x Rp.
6.000,00 = Rp. 72.000,00
=
Rp. 904.000,00
Penghasilan
neto setahun = Rp. 8.536.000,00
PTKP :
Untuk
Wajib Pajak sendiri = Rp. 1.728.000,00
Penghasilan
Kena Pajak =
Rp.
6.808.000,00
PPh Pasal
21 = 10 % x Rp. 6.808.000,00 =
Rp.
680.800,00
B.
PPh Pasal 21 atas gaji
Gaji setahun =
Rp.
7.200.000,00
premi Asuransi Kecelakaan Kerja =
Rp.
180.000,00
Premi Asuransi Kematian = Rp.
60.000,00
Penghasilan bruto setahun = Rp.
7.440.000,00
Pengurangan.
1.
biaya jabatan
5 % x Rp. 7.440.000,00 = Rp. 372.000,00
2. iuran pensiun
12 x Rp. 30.000,00 = Rp. 360.000,00
3. iuran THT
12 x Rp. 6.000,00 = Rp. 72.000,00
=
Rp.
804.000,00
Penghasilan neto setahun = Rp.
6.636.000,00
PTKP :
Untuk Wajib Pajak sendiri = Rp. 1.728.000,00
Penghasilan Kena Pajak setahun = Rp. 4.908.000,00
PPh Pasal 21 = 10 % x Rp. 4.908.000,00 = Rp.
490.800,00
C. PPh Pasal 21 atas bonus
PPh Pasal 21 atas bonus sebesar
Rp. 2.000.000,00 adalah :
Rp. 680.800,00 - Rp. 490.800,00
= Rp. 190.000,00
VII. PENGHITUNGAN PEMOTONGAN PPh PASAL 21 ATAS PENGHASILAN
YANG SEBAGIAN/SELURUHNYA DIPEROLEH DALAM MATA UANG ASING.
Pegawai Van Raad status kawin
mempunyai 1 orang anak, memperoleh gaji bulan Maret 1995 dalam mata uang asing
sebesar US.$. 2,000 sebulan. Kurs yang berlaku untuk bulan Maret 1995 berdasarkan
Keputusan Menteri Keuangan adalah Rp. 2.200,00 per US.$. 1.00.
Penghitungan PPh Pasal 21
Penghasilan
sebulan US.$. 2,000
2,000 x
Rp. 2.200,00 =
Rp.
4.400.000,00
Pengurangan.
1. biaya
jabatan
5 % x Rp. 4.4000.000,00 = Rp. 220.000,00
maksimum diperkenankan Rp. 54.000,00
=
Rp.
54.000,00
Penghasilan neto sebulan = Rp.
4.346.000,00
Penghasilan neto setahun = 12 x Rp. 4.346.000,00 = Rp. 52.152.000,00
2. PTKP
Untuk WP sendiri Rp. 1.728.000,00
Tambahan untuk WP yang kawin Rp. 864.000,00
Tambahan untuk 1 orang anak Rp.
864.000,00
=
Rp.
3.456.000,00
Penghasilan Kena Pajak = Rp.
48.696000,00
Penerapan tarif :
10 % x
Rp. 25.000.000,00 = Rp. 2.500.000,00
15 % x
Rp. 23.696.000,00 = Rp. 3.554.400,00
PPh Pasal 21 setahun = Rp.
6.054.400,00
PPh Pasal 21 sebulan = Rp. 6.054.400,00
12
=
Rp.
504.533,00
VIII. PENGHITUNGAN PEMOTONGAN PPh PASAL 26 ATAS
PENGHASILAN PEGAWAI DENGAN STATUS WAJIB PAJAK LUAR NEGERI YANG MEMPEROLEH GAJI
SEBAGIAN DALAM MATA UANG ASING.
a. Dalam hal pegawai dengan status Wajib Pajak
luar negeri memperoleh gaji sebagian atau seluruhnya dalam mata uang asing
sebelum PPh dihitung terlebih dahulu dikurs kedalam mata uang rupiah.
b. Untuk keperluan penghitungan PPh-nya, tidak
dapat diperhitungkan pengurangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1)
dan ayat (3).
Contoh :
Sahota adalah pegawai asing yang
berada di Indonesia kurang dari 183 hari, status kawin mempunyai dua orang
anak. Ia memperoleh gaji pada bulan Maret 1995 sebesar US.$ 2,500 sebulan. Kurs
yang berlaku adalah Rp. 2.200,00 per US.$.1.00.
Penghitungan PPh Pasal 26
Penghasilan bruto berupa gaji
sebulan
2500 x
Rp. 2.200,00 =
Rp.
5.500.000,00
Penerapan
tarif :
20 % x
Rp. 5.500.000,00 =
Rp.
1.100.000,00
PPh Pasal
26 atas gaji US.$. 2,500 =
Rp. 1.100.000,00
IX. PPh PASAL 21 SELURUH ATAU SEBAGIAN DITANGGUNG
OLEH PEMBERI KERJA.
Dalam hal PPh Pasal 21 atas gaji
pegawai ditanggung oleh pemberi kerja, pajak yang ditanggung pemberi kerja
tersebut termasuk dalam pengertian kenikmatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
7 ayat (1) huruf e dan tidak merupakan penghasilan bagi pegawai yang
bersangkutan.
Contoh penghitungan :
1.
Pegawai C status kawin mempunyai 3 orang
anak, bekerja pada PT X dengan memperoleh gaji sebesar Rp. 800.000,00 sebulan
dan PPh ditanggung oleh pemberi kerja. Tiap bulan ia membayar iuran pensiun ke
Dana Pensiun yang pendiriannya telah disahkan Menteri Keuangan sebesar Rp.
40.000,00.
Penghitungan PPh Pasal 21
Penghasilan sebulan = Rp.
800.000,00
Pengurangan.
1. biaya jabatan
5 % x Rp. 800.000,00 = Rp. 40.000,00
2. Iuran pensiun Rp. 40.000,00
=
Rp.
80.000,00
Penghasilan neto sebulan = Rp.
720.000,00
Penghasilan neto setahun = 12 x Rp. 720.000,00 = Rp. 8.640.000,00
3. PTKP
Untuk WP sendiri Rp. 1.728.000,00
Tambahan untuk WP yang kawin Rp. 864.000,00
Tambahan untuk 3 orang anak Rp.
2.592.000,00
=
Rp.
5.184.000,00
Penghasilan Kena Pajak = Rp.
3.456.000,00
PPh Pasal 21 setahun
10 % x Rp. 3.456.000,00 = Rp. 345.600,00
PPh Pasal 21 sebulan = Rp. 345.600,00
12
= Rp.
28.800,00
PPh Pasal 21 Rp. 28.800,00
ditanggung dan dibayar oleh pemberi kerja. Jumlah sebesar Rp. 28.800,00 tidak
boleh mengurangi Penghasilan Kena Pajak dari pemberi kerja dan tidak dikenakan
pajak kepada pegawai C sebagai Wajib pajak PPh Pasal 21.
Namun apabila pemberi kerja
bukan Wajib Pajak atau pemerintah seperti halnya perwakilan organisasi internasional
yang ditentukan oleh Menteri Keuangan, maka kenikmatan berupa pajak ditambahkan
kedalam penghasilan dari pegawai yang bersangkutan, penghitungan pajaknya
dilakukan sesuai dengan contoh angka X.
2.
Pegawai R kawin mempunyai 3 orang anak
bekerja pada PT X dengan gaji sebesar Rp. 800.000,00 sebulan, PPh-nya
ditanggung oleh pemberi kerja.
PT X masuk program Jamsostek.
Premi Asuransi Kecelakaan Kerja dan premi Asuransi Kematian dibayar pemberi
kerja dengan jumlah masing-masing Rp. 15.000,00 dan Rp. 7.500,00
setiap bulan.
PT X membayar iuran THT setiap
bulan sebesar Rp. 12.000,00 untuk R dan R membayar iuran pensiun setiap bulan
sebesar Rp. 12.000,00 kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan
Menteri Keuangan dan iuran THT Rp. 8.000,00.
Penghitungan PPh Pasal 21
Gaji sebulan =
Rp.
800.000,00
Premi Asuransi Kecelakaan Kerja =
Rp.
15.000,00
Premi Asuransi Kematian = Rp.
7.500,00
Penghasilan bruto sebulan = Rp. 822.500,00
Pengurangan.
1. biaya jabatan
5 % x Rp. 822.500,00 = Rp.
41.125,00
2. iuran pensiun = Rp. 12.000,00
3. iuran THT = Rp. 8.000,00
=
Rp.
61.125,00
Penghasilan neto sebulan = Rp.
761.375,00
Penghasilan neto setahun
12 x Rp. 761.375,00 = Rp.
9.136.500,00
4. PTKP
Untuk WP sendiri Rp. 1.728.000,00
Tambahan untuk WP yang kawin Rp.
864.000,00
Tambahan untuk 3 orang anak Rp.
2.592.000,00
=
Rp.
5.184.000,00
Penghasilan Kena Pajak setahun = Rp. 3.952.500,00
Dibulatkan ke bawah = Rp.
3.952.000,00
PPh Pasal 21 setahun
10. % Rp. 3.592.200,00
PPh Pasal 21 setahun
10 % x Rp. 3.592.000,00 = Rp.
359.200,00
PPh Pasal 21 sebulan = Rp.
359.200,00
12
= Rp.
32.933,00
PPh Pasal 21 sebesar Rp.
32.933,00 ditanggung dan dibayar oleh pemberi kerja tidak boleh dikurangkan
dari Penghasilan Kena Pajak pemberi kerja, dan bukan sebagai penghasilan yang
dikenakan pajak bagi pegawai.
X. PENGHITUNGAN PEMOTONGAN PPh PASAL 21 TERHADAP
PEGAWAI TETAP YANG MENERIMA TUNJANGAN PAJAK.
Dalam hal kepada pegawai diberikan
tunjangan pajak, maka tunjangan pajak tersebut merupakan penghasilan pegawai
yang bersangkutan dan ditambahkan pada penghasilan yang diterimanya.
Contoh penghitungan :
Pegawai Y (status kawin)
mempunyai tanggungan 3 orang anak, bekerja pada PT X dengan menerima gaji
sebesar Rp. 800.000,00 sebulan. Kepada pegawai tersebut diberikan tunjangan
pajak sebesar Rp. 30.000,00. Iuran pensiun yang dibayar oleh pagawai Y
sebesar Rp.
12.000,00.
Penghitungan PPh Pasal 21
Gaji
sebulan =
Rp. 800.000,00
Tunjangan
pajak =
Rp. 30.000,00
Penghasilan
bruto sebulan =
Rp. 830.000,00
Pengurangan.
1. biaya jabatan
5 % x Rp.
830.000,00 Rp. 41.500,00
2. Iuran pensiun Rp.
12.000,00
=
Rp. 53.500,00
Penghasilan
neto sebulan =
Rp.
776.500,00
Penghasilan
neto setahun = 12 x Rp. 776.500,00 =
Rp.
9.318.000,00
3. PTKP
Untuk WP
sendiri Rp. 1.728.000,00
Tambahan
WP kawin Rp. 864.000,00
Tambahan
untuk 3 orang anak Rp. 2.592.000,00
=
Rp.
5.184.000,00
Penghasilan
Kena Pajak =
Rp.
4.134.000,00
PPh Pasal
21 setahun 10 % x Rp. 4.134.000,00 =
Rp.
413.400,00
PPh Pasal
21 sebulan = Rp. 413.400,00
12
=
Rp.
34.450,00
Selisih pajak terutang dengan
tunjangan pajak sebesar Rp. 34.450,00 - Rp. 30.000 = Rp.4.450,00 dapat ditanggung
oleh pagawai tersebut dengan dipotongkan dari penghasilan bulan yang
bersangkutan atau ditanggung oleh pemotong pajak. Apabila selisih tersebut
bukan merupakan biaya dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak dari pemotong
pajak.
XI. PENGHITUNGAN PPh 21 ATAS PENERIMAAN DALAM BENTUK NATURA DAN KENIKMATAN LAINNYA
YANG DIKENAKAN PEMOTONGAN PPh PASAL 21 MENURUT KETENTUAN PASAL 5 AYAT (2).
Contoh penghitungan :
A status kawin mempunyai
tanggungan seorang anak, warga negara RI karyawan Perwakilan Dagang Asing yang
bukan Wajib Pajak, memperoleh gaji sebulan Rp. 800.000,00 dan beras serta gula
30 Kg dan 15 Kg.
Untuk menentukan nilai uang dari
natura (beras dan gula) dihitung berdasarkan harga pasar.
Penghitungan PPh Pasal 21
Gaji = Rp.
800.000,00
Harga
beras/kg dan gula Rp. 1.200,00/kg.
Beras = 30kg x Rp. 900,00 = Rp. 27.000,00
Gula = 15kg x Rp. 1.200,00 = Rp.
18.000,00
Penghasilan
neto setahun = Rp. 845.000,00
Pengurangan.
1.
biaya jabatan
5% x Rp. 845.000,00 = Rp.
42.250,00
Penghasilan
neto sebulan =
Rp.
802.750,00
Penghasilan neto setahun = 12 x Rp. 802.750,00 = Rp. 9.633.000,00
2.
PTKP
Untuk WP sendiri Rp. 1.728.000,00
Tambahan WP kawin Rp. 864.000,00
Tambahan 1 anak Rp. 864.000,00
= Rp. 3.456.000,00
Penghasilan Kena Pajak setahun = Rp. 6.177.000,00
PPh Pasal 21 setahun = 10% x Rp. 6.177.000,00 = Rp. 617.700,00
PPh Pasal 21 sebulan = Rp. 617.700,00
12 = Rp.
51475,00
XII. PENGHITUNGAN PPh PASAL 21 ATAS UANG PESANGON, UANG
TEBUSAN PENSIUN, DAN TUNJANGAN HARI TUA ATAU TABUNGAN HARI TUA YANG DIBAYAR
SEKALIGUS.
1. Contoh penghitungan PPh Pasal 21 atas uang
pesangon.
1. 1. A telah bekerja pada PT. Sukses selama 5 tahun.
Pada bulan Juni 1995 ia berhenti bekerja karena pengurangan pegawai dan
menerima pesangon untuk 5 bulan gaji sebesar Rp 5.000.000,00.
PPh Pasal
21 atas uang pesangon = 15% x Rp. 5.000.000,00 = Rp. 750.000,00
1. 2. B telah bekerja pada PT Perkasa selama 20
tahun. Pada bulan Mei 1995 berhenti bekerja karena telah mencapai usia pensiun
dan memperoleh pesangon yang besarnya sama dengan 20 bulan gaji terakhir.
Jumlah pesangon yang diterima Rp 60.000.000,00.
PPh Pasal
21 atas uang pesangon = 15% x Rp. 60.000.000,00 = Rp. 9.000.000,00
2.
Contoh
penghitungan uang tebusan pensiun.
C dalam bulam Oktober 1995
menerima tebusan dari Dana Pensiun Purna Karya sebesar Rp 75.000.000,00.
PPh Pasal 21 atas uang tebusan
pensiun = 15% x Rp. 75.000.000,00 =
Rp.1.250.000,00.
3.
Contoh
penghitungan Tunjangan Hari Tua (THT) yang dibayar sekaligus.
D dalam bulan Agustus 1995
menerima Tunjangan Hari Tua yang dibayar sekaligus sebesar Rp 25.000.000,00.
PPh Pasal 21 atas THT = 15% x Rp. 25.000.000,00 = Rp.
3.750.000,00
XIII. PENGHITUNGAN
PPh PASAL 21 ATAS UANG PENSIUN YANG DIBAYAR SECARA BERKALA (BULANAN).
1. Penghitungan
PPh Pasal 21 pada tahun pertama dibayarkannya uang pensiun secara bulanan.
A status kawin mempunyai tanggungan
2 orang anak, adalah pegawai pada PT Mulia, pada tanggal 1 Juli 1995 berhenti
bekerja karena pensiun. Penghasilan A dari PT Mulia berupa gaji setiap bulan
Rp. 5.000.000,00. A membayar iuran pensiun ke Dana Pensiun Purna Karya yang
pendiriannya telah disahkan Menteri Keuangan setiap bulan sebesar Rp.
250.000,00.
Penghitungan kembali penghasilan
tahunan dan PPh Pasal 21 yang terutang oleh PT Mulia pada saat A berhenti
bekerja yang dituangkan dalam bukti pemotongan untuk masa Januari sampai dengan
Juni 1995 adalah sebagai berikut :
Gaji = Rp. 30.000.000,00
Pengurangan.
1.
biaya jabatan
5% x Rp
30.000.000,00 = Rp. 1.500.000,00
Maksimum
diperkenankan
6 x Rp
54.000,00 = Rp. 324.000,00
2.
Iuran pensiun = Rp. 1.500.000,00
=
Rp. 1.824.000,00
Penghasilan
neto =
Rp.
28.176.000,00
3.
PTKP (k/2) =
Rp. 4.320.000,00
Penghasilan
Kena Pajak =
Rp.
23.856.000,00
PPh Pasal
21 setahun terutang = 10% x Rp 23.856.000,00
= Rp. 2.385.600,00
PPh Pasal
21 dipotong =
Rp. 3.429.800,00
PPh Pasal
21 lebih dipotong dikembalikan kepada A =
Rp. 1.044.200,00
Pada bulan Juli 1995, A menerima pensiun. Yang
dibayarkan secara bulanan sebulan sebesar Rp 3.000.000,00 dari Dana Pensiun
Purna Karya.
Penghitungan PPh Pasal 21 atas uang pensiun bulanan
tersebut oleh Dana Pensiun Purna Karya adalah sebagai berikut :
Pensiun 1 bulan = Rp. 3.000.000,00
Pengurangan.
Biaya pensiun 5% x Rp. 3.000.000,00 = Rp.150.000,00
Maksimum diperkenankan = Rp. 18.000,00
Penghasilan neto 1 bulan = Rp. 2.982.000,00
Penghasilan neto berupa uang pensiun disetahunkan
(Juli s.d. Desember) = 6 x Rp. 2.982.000,00 = Rp.
17.892.000,00
Penghasilan neto dari PT Mulia, sesuai bukti
pemotongan PPh Pasal 21 = Rp.
28.176.000,00
Jumlah penghasilan neto tahun 1995 = Rp.
46.068.000,00
PTKP (K/2) =
Rp. 4.320.000,00
Penghasilan Kena Pajak = Rp. 41.748.000,00
PPh Pasal 21 terutang :
10% x Rp. 25.000.000,00 = Rp. 2.500.000,00
15% x Rp. 16.748.000,00 = Rp. 2.512.200,00
=
Rp. 5.012.200,00
PPh Pasal 21 terutang di PT Mulia sesuai bukti
pemotongan
=
Rp. 2.385.600,00
PPh Pasal 21 terutang pada Dana pensiun Purna
Karya,
selama 6 bulan =
Rp. 2.626.600,00
PPh Pasal 21 yang harus dipotong dari pensiun
bulanan = Rp.
2.626.600,00
6
= Rp. 437.766,00
2. Penghitungan
PPh Pasal 21 atas pembayaran uang pensiun secara bulanan pada tahun kedua dan
seterusnya :
Penghitungan PPh Pasal 21 atas
pembayaran pensiun kepada A seperti contoh XIII.1 diatas, mulai Januari 1996
dilakukan sebagai berikut :
Pensiun 1 bulan =
Rp. 3.000.000,00
Pengurangan.
Biaya pensiun 5% x Rp. 3.000.000,00 = Rp.
150.000,00
Maksimum diperkenankan = Rp. 18.000,00
Penghasilan neto 1 bulan = Rp. 2.982.000,00
Penghasilan neto 1 tahun 12 x Rp. 2.982.000,00 =
Rp.
35.784.000,00
PTKP (K/2) = Rp. 4.320.000,00
Penghasilan Kena Pajak = Rp.
31.464.000,00
PPh Pasal 21 1 tahun = Rp. 3.469.600,00
PPh Pasal 21 1 bulan : = Rp. 3.469.600,00
12 = Rp. 289.133,00
XIV.
PENGHITUNGAN PEMOTONGAN PPh PASAL 21 ATAS PENGAMBILAN DAN
PENSIUN IURAN PASTI OLEH PESERTA PENSIUN YANG DIBAYARKAN OLEH PENYELENGGARA
PROGRAM PENSIUN IURAN PASTI.
Contoh penghitungan PPh Pasal 21
:
1. A pegawai PT Sejahtera menerima gaji Rp. 2.000.000,00
sebulan. PT Sejahtera mengikuti program Pensiun Iuran pasti untuk para
pegawainya. PT Sejahtera membayar Pensiun Iuran Dana pensiun Iuran Pasti untuk
A sebesar Rp. 100.000,00 sebulan ke Dana Pensiun Bahagia, yang pendiriannya
telah disahkan Menteri Keuangan. A membayar iuran serupa ke dana pensiun yang
sama sebesar Rp.50.000,00 sebulan. Karena memerlukan biaya untuk memperbaiki
rumah A mengambil Iuran Dana Pensiun Iuran pasti yang telah dibayar sendiri sebesar Rp.5.000.000,00 Pajak
Penghasilan Pasal 21 yang harus dipotong oleh Dana Pensiun Bahagia atas
pengambilan A tersebut sama dengan 15% x Rp. 5.000.000,00 = Rp.750.000,00.
2. L seorang
pengusaha yang berhasil. Dalam rangka memperoleh pensiun hari tua dia mengikuti
program Pensiun Iuran Pasti Dana pensiun bahagia tersebut pada angka 1, dengan
membayar iuran dana pensiun yang disetornya Rp. 12.000.000.000,00. Atas
pengambilan iuran pensiun iuran pasti tersebut, PT Bahagia harus memotong Pajak
Penghasilan Pasal 21 sebesar 15% x Rp. 12.000.000.000,00 = Rp.
1.800.000.000,00.
XV. PENGHITUNGAN PEMOTONGAN PPh PASAL 21 ATAS HADIAH
ATAU PENGHARGAAN.
Contoh :
YB seorang pemain tenis yang
bertempat tinggal di Indonesia, menjadi juara dalam suatu turnamen yang
diselanggarakan oleh panitia penyelenggara turnamen. Atas keikutsertaan sebagai
pemain YB menerima uang penghargaan sebesar Rp. 10.000.000,00.
Atas uang penghargaan yang
dibayarkan, panitia penyelenggara turnamen memotong Pajak Penghasilan 21
sebesar 15 % x Rp. 10.000.000,00 = Rp. 1.500.000,00
XVI. PENGHITUNGAN
PEMOTONGAN PPh PASAL 21 TAHUNAN TERHADAP PENGHASILAN PEGAWAI YANG DIPINDAH
TUGASKAN DALAM TAHUN BERJALAN.
Contoh :
Ali (belum kawin) pegawai pada
PT X di Jakarta sejak 1 Juni 1995 dipindah tugaskan ke kantor cabang di
Surabaya. Gaji Ali sebulan Rp. 700.000,00 dan pembayaran iuran pensiun sebulan
Rp. 15.000,00.
A. Penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 :
1. Kantor Pusat Jakarta
Gaji Januari s/d Mei 1995
5 x Rp.
700.000,00 =
Rp. 3.500.000,00
Pengurangan
:
1.
Biaya Jabatan
5% x Rp
700.000,00 = Rp. 175.000,00
2.
Iuran pensiun
5% x Rp
15.000,00 = Rp. 75.000,00
=
Rp.
250.000,00
Penghasilan
neto 5 bulan : =
Rp.
3.250.000,00
Penghasilan
neto setahun :
12/5 x Rp
3.250.000,00 = Rp.
7.800.000,00
3.
PTKP
Untuk Wajib
Pajak sendiri = Rp. 1.728.000,00
Penghasilan
Kena Pajak =
Rp.
6.072.000,00
Pajak
Penghasilan Pasal 21 terutang 1 tahun :
10% x Rp
6.072.000,00 = Rp 607.200,00
12 = Rp.
50.600,00
Pajak
Penghasilan Pasal 21 untuk Januari s/d Mei 1995 :
5/12 x
Rp. 607.200,00 =
Rp. 253.000,00
PPh Pasal 21 yang telah dipotong Januari s/d Mei
1995 :
5 x Rp.
50.600,00 = Rp. 253.000,00
Kurang
dipotong = NIHIL
2.
Kantor
Cabang Surabaya
a.
Penghasilan
neto di Kantor Cabang Surabaya
Gaji Juni s/d Desember 1995
7 x Rp.
700.000,00 = Rp.
4.900.000.00
Pengurangan :
1.
Biaya jabatan
5% x Rp.
4.900.000,00 =Rp. 245.000,00
2.
iuran pensiun
7 x Rp
15.000,00= Rp. 105.000,00
=
Rp.
350.000,00
Penghasilan
neto =
Rp.
4.550.000,00
b.
Penghasilan neto di Jakarta = Rp. 3.250.000,00
Jumlah
penghasilan neto 1 tahun =
Rp.
7.800.000,00
3. PTKP
Untuk
Wajib Pajak sendiri setahun =
Rp.
1.728.000,00
Penghasilan
Kena Pajak = Rp. 6.072.000,00
PPh Pasal
21 terutang tahun 1995 :
10% x Rp
6.072.000,00 =
Rp.
607.200,00
PPh Pasal
21 yang terutang di Jakarta
sesuai
dengan bukti pemotongan
(Formulir
1721 - A1) = Rp. 253.000.00
PPh Pasal
21 yang telah dipotong
untuk
masa Juni s/d Desember 1995
di
surabaya :
7 x Rp
50.600,00 = Rp. 354.200,00
=
Rp.
607.200,00
Kurang/lebih
dipotong =
NIHIL
B. Pengisian
bukti pemotongan (Formulir 1721 - A1) Surabaya
Penghasilan
Juni s.d. Desember 1995 :
7 x Rp. 700.000,00 =
Rp. 4.900.000,00
Pengurangan :
1. Biaya Jabatan
5% x Rp.
4.900.000,00 = Rp. 245.000,00
2. Iuran pensiun
7 x Rp.
15.000,00 = Rp. 105.000,00
=
Rp. 350.000,00
Penghasilan
neto di Surabaya = Rp.
4.550.000,00
Penghasilan
neto di Jakarta dan Surabaya =
Rp.
7.800.000,00
3. PTKP
Untuk Wajib
Pajak sendiri =
Rp. 1.728.000,00
Penghasilan
Kena Pajak =
Rp.
6.072.000,00
PPh Pasal
21 yang terutang untuk Kantor Pusat
Jakarta
dan cabang Surabaya :
10 % x
Rp. 6.072.000,00 =
Rp. 607.200,00
PPh Pasal
21 yang telah dipotong
a) di Jakarta =
Rp. 253.000,00
b) di Surabaya (Juni s.d. Desember 1995)
7 X Rp.
50.600,00 = Rp. 354.200,00
=
Rp. 607.200,00
PPh Pasal
21 yang harus dibayar =
NIHIL
DIREKTUR
JENDERAL PAJAK
FUAD
BAWAZIER
NIP
060041162