Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor : SE - 10/PJ.04/2008

Kategori : KUP

Kebijakan Pemeriksaan Untuk Menguji Kepatuhan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan


31 Desember 2008


SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR SE - 10/PJ.04/2008

TENTANG

KEBIJAKAN PEMERIKSAAN
UNTUK MENGUJI KEPATUHAN PEMENUHAN KEWAJIBAN PERPAJAKAN


DIREKTUR JENDERAL PAJAK,


Sehubungan dengan telah berlakunya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (selanjutnya disebut Undang-Undang KUP), dan ketentuan peraturan pelaksanaannya, terutama di bidang pemeriksaan, yaitu  Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Berdasarkan Undang-Undang KUP, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 199/PMK.03/2007 tentang Tata Cara Pemeriksaan, Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-19/PJ/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemeriksaan Lapangan, dan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-20/PJ/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemeriksaan Kantor, maka untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi pemeriksaan serta menciptakan tertib administrasi pemeriksaan, dipandang perlu untuk menetapkan kebijakan pemeriksaan sesuai dengan ketentuan-ketentuan tersebut.

Selain menyesuaikan dengan ketentuan-ketentuan baru tersebut diatas, kebijakan pemeriksaan juga disusun untuk menyelaraskan dengan proses modernisasi administrasi perpajakan yang telah dan sedang berlangsung hingga saat ini. Modernisasi administrasi perpajakan membawa akibat berupa pembubaran Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak (Karikpa) dan Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan. Selain itu, modernisasi juga berakibat pada berubahnya pelaksanaan pemeriksaan di Kantor Wilayah DJP, yaitu hanya melakukan pemeriksaan Bukti Permulaan dan Penyidikan.

Menurut Undang-Undang KUP, tujuan pemeriksaan meliputi untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Mengingat masing-masing tujuan pemeriksaan memiliki karakteristik yang spesifik, dan agar selaras dengan tujuan pemeriksaan tersebut, kebijakan pemeriksaan juga dibagi 2 (dua), yaitu :
  1. Kebijakan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan; dan
  2. Kebijakan pemeriksaan untuk tujuan lain.

Kebijakan pemeriksaan untuk tujuan lain akan ditetapkan dalam surat edaran tersendiri, sedangkan kebijakan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan adalah sebagai berikut :

I. KEBIJAKAN UMUM
A. Tujuan Pemeriksaan
  1. Tujuan pemeriksaan yang diatur dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini hanya meliputi tujuan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan.
  2. Pemeriksaan dalam rangka menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dilakukan dengan menguji kebenaran Surat Pemberitahuan, pembukuan atau pencatatan, dan/atau pemenuhan kewajiban perpajakan lainnya dibandingkan dengan kegiatan usaha, pekerjaan bebas, dan/atau keadaan, yang sebenarnya dari Wajib Pajak.
  3. Pelaksanaan dan hasil pemeriksaan dalam rangka menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dituangkan dalam bentuk Laporan Hasil Pemeriksaan yang diikuti dengan penerbitan surat ketetapan pajak dan Surat Tagihan Pajak.
   
B. Ruang Lingkup Pemeriksaan
  1. Ruang lingkup pemeriksaan merupakan cakupan dari jenis pajak dan periode dari pencatatan atau pembukuan yang menjadi objek untuk dilakukan pemeriksaan.
  2. Ruang lingkup pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan meliputi pemeriksaan atas satu, beberapa, atau seluruh jenis pajak, baik untuk satu atau beberapa Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak, baik tahun-tahun lalu maupun tahun berjalan.
   
C. Jenis Pemeriksaan
  1. Jenis pemeriksaan dipengaruhi oleh bobot risiko ketidakpatuhan dari Wajib Pajak yang diperiksa serta ruang lingkup pemeriksaan.
  2. Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dapat dilaksanakan melalui 2 (dua) jenis pemeriksaan, yaitu :
    1. Pemeriksaan Lapangan, yaitu pemeriksaan yang dilakukan di tempat kedudukan, tempat usaha atau pekerjaan bebas, tempat tinggal Wajib Pajak, atau tempat lain yang ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak; dan
    2. Pemeriksaan Kantor, yaitu pemeriksaan yang dilakukan di kantor Direktorat Jenderal Pajak.
  3. Semakin tinggi risiko ketidakpatuhan Wajib Pajak, pemeriksaannya dilaksanakan melalui Pemeriksaan Lapangan.
   
D. Kriteria Pemeriksaan
  1. Kriteria Pemeriksaan merupakan alasan atau dasar dilakukannya pemeriksaan terhadap Wajib Pajak.
  2. Terdapat 2 (dua) kriteria pemeriksaan yang mendasari dilakukannya pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak, yaitu :
    1. Pemeriksaan Rutin, merupakan pemeriksaan yang dilakukan terhadap Wajib Pajak sehubungan dengan pemenuhan hak dan/atau pelaksanaan kewajiban perpajakannya atau karena diwajibkan oleh Undang-Undang KUP;
    2. Pemeriksaan berdasarkan risiko (risk based audit) yang selanjutnya disebut dengan Pemeriksaan Khusus, merupakan pemeriksaan yang dilakukan berdasarkan hasil analisis risiko terhadap ketidakpatuhan Wajib Pajak. Analisis risiko terhadap ketidakpatuhan Wajib Pajak dapat dilakukan secara Komputerisasi atau secara manual.
  3. Pemeriksaan rutin yang pelaksanaannya diprioritaskan merupakan pemeriksaan yang dilakukan terhadap permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B Undang-Undang KUP.
  4. Pemeriksaan Khusus dibagi menjadi 2 (dua) kriteria, yaitu :
    1. Pemeriksaan Khusus dengan analisis risiko bersifat bottom up (dari bawah ke atas), yaitu Pemeriksaan Khusus berdasarkan hasil analisis risiko terhadap profil Wajib Pajak yang dilakukan secara manual oleh Kantor Pelayanan Pajak dan disampaikan kepada Kepala Kantor Wilayah DJP atasannya untuk mendapatkan persetujuan;
    2. Pemeriksaan Khusus dengan analisis risiko bersifat top down (dari atas kebawah),yaitu Pemeriksaan Khusus yang dilakukan berdasarkan :
      1) hasil analisis dan pengembangan atas informasi, data, laporan dan pengaduan yang dilakukan oleh Kepala Kanwil DJP atau Direktur Intelijen dan Penyidikan;
      2) hasil analisis risiko secara komputerisasi (selama ini disebut Kriteria Seleksi) yang berupa skor risiko ketidakpatuhan dengan memperhatikan variabel-variabel tertentu serta adanya data dan informasi; atau
      3) pertimbangan Direktur Jenderal Pajak.
   
E. Jangka Waktu Pemeriksaan
  1. Jangka waktu Pemeriksaan Lapangan dihitung sejak tanggal Surat Perintah Pemeriksaan (SP2) sampai dengan tanggal Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP).
  2. Jangka waktu Pemeriksaan Kantor dihitung sejak tanggal Wajib Pajak harus datang memenuhi surat panggilan dalam rangka Pemeriksaan Kantor sampai dengan tanggal Laporan Hasil Pemeriksaan.
  3. Jangka Waktu Pemeriksaan Lapangan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan adalah 4 (empat) bulan dan dapat diperpanjang menjadi paling lama 8 (delapan) bulan.
  4. Apabila ditemukan indikasi transaksi yang terkait dengan transfer pricing dan/atau transaksi khusus lain yang berindikasi adanya rekayasa transaksi keuangan, jangka waktu pemeriksaan dapat diperpanjang menjadi paling lama 2 (dua) tahun, kecuali pemeriksaan yang dilakukan terkait dengan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B Undang-Undang KUP, harus memperhatikan jangka waktu penyelesaian permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak.
  5. Jangka waktu Pemeriksaan Kantor untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan adalah 3 (tiga) bulan dan dapat diperpanjang menjadi paling lama 6 (enam) bulan.
  6. Apabila ditemukan indikasi transaksi yang terkait dengan transfer pricing dan/atau transaksi khusus lain yang berindikasi adanya rekayasa transaksi keuangan, Pemeriksaan Kantor diubah menjadi Pemeriksaan Lapangan.
  7. Jangka waktu maksimal setelah perpanjangan jangka waktu pemeriksaan tidak dapat diperpanjang lagi meskipun terjadi pergantian tim Pemeriksa Pajak.
  8. Terkait dengan pelaksanaan perpanjangan jangka waktu pemeriksaan harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut :
    1. Perpanjangan jangka waktu pemeriksaan dilakukan sepanjang tidak melewati jangka waktu maksimal yang ditetapkan.
    2. Dalam hal pemeriksaan dilakukan terkait dengan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B Undang-Undang KUP, perpanjangan jangka waktu pemeriksaan harus memperhatikan jangka waktu penyelesaian permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak.
    3. Pemberitahuan perpanjangan jangka waktu pemeriksaan hanya disampaikan 1 (satu) kali.
    4. Perpanjangan jangka waktu pemeriksaan dilakukan oleh Kepala Unit Pelaksana Pemeriksaan (UP2) dengan menyampaikan Surat Pemberitahuan Perpanjangan Jangka Waktu Pemeriksaan kepada :
      1) Kepala Kantor Wilayah DJP untuk instruksi/persetujuan/penugasan pemeriksaan yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Wilayah DJP;atau
      2) Direktur Pemeriksaan dan Penagihan (Direktur P2) untuk instruksi/persetujuan pemeriksaan yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak atau Direktur Pemeriksaan dan Penagihan.
    5. Surat Pemberitahuan Perpanjangan Jangka Waktu Pemeriksaan dapat disampaikan secara manual dan/atau elektronik melalui Modul Pemeriksaan pada SIDJP.  
    6. Surat Pemberitahuan Perpanjangan Jangka Waktu Pemeriksaan harus disampaikan paling lambat 1 (satu) minggu sebelum berakhirnya jangka waktu pemeriksaan.
    7. Apabila jangka waktu 4 (empat) bulan untuk jenis Pemeriksaan Lapangan atau jangka waktu 3 (tiga) bulan untuk jenis Pemeriksaan Kantor telah terlampaui dan Kepala Unit Pelaksana Pemeriksaan tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan Perpanjangan Jangka Waktu Pemeriksaan, maka Kepala Unit Pelaksana Pemeriksaan harus menentukan tindak lanjut pemeriksaan tersebut.
    8. Apabila jangka waktu pemeriksaan telah melewati jangka waktu maksimal setelah perpanjangan jangka waktu pemeriksaan tetapi pemeriksaan belum dapat diselesaikan, maka Kepala Unit Pelaksana Pemeriksaan harus menentukan tindak lanjut pemeriksaan tersebut.
    9. Tindak lanjut pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada huruf g dan huruf h dilakukan dengan cara :
      1) menerbitkan surat ketetapan pajak sesuai dengan temuan pemeriksaan setelah terlebih dahulu menyampaikan Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP) dan melakukan pembahasan akhir hasil pemeriksaan dengan Wajib Pajak;
      2) ditingkatkan ke pemeriksaan bukti permulaan apabila terdapat indikasi tindak pidana di bidang perpajakan;atau
      3) membuat laporan pemeriksaan sumir berdasarkan pertimbangan Kepala Unit Pelaksana Pemeriksaan.
   
F. Pelaksanaan Pemeriksaan
Pelaksanaan Pemeriksaan harus didahului dengan persiapan yang baik, sesuai dengan tujuan Pemeriksaan, dan mendapat pengawasan yang seksama.

F.1. Persiapan Pemeriksaan
  1. Persiapan pemeriksaan merupakan kegiatan yang dilakukan oleh tim Pemeriksa Pajak sebelum melaksanakan tindakan pemeriksaan.
  2. Kepala Unit Pelaksana Pemeriksaan harus membentuk susunan tim Pemeriksa Pajak, yang terdiri dari Supervisor, Ketua Tim, dan Anggota Tim dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-31/PJ/2008 tentang Pedoman Penunjukan Supervisor dan Ketua Tim Pemeriksa Pajak dan perubahannya serta Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-08/PJ.04/2008 tentang Penegasan Atas Pelaksanaan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-31/PJ/2008.
  3. Pada tahap Persiapan Pemeriksaan harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut :
    1. Berdasarkan instruksi/persetujuan/penugasan pemeriksaan atau Lembar Penugasan Pemeriksaan (LP2), Kepala Unit Pelaksana Pemeriksaan harus mendistribusikan penugasan pemeriksaan kepada tim pemeriksa pajak yang telah dibentuk dengan membuat nota dinas kepada Supervisor yang ditunjuk melalui Kepala Seksi Pemeriksaan.
    2. Berdasarkan nota dinas Kepala Unit Pelaksana Pemeriksaan, tim Pemeriksa Pajak yang ditunjuk harus meminjam profil, dokumen, dan berkas Wajib Pajak yang akan diperiksa.
    3. Tim Pemeriksa Pajak yang ditunjuk harus mempelajari dan menelaah Profil Wajib Pajak termasuk hasil analisis risiko  yang telah dilakukan oleh Seksi Pengawasan dan Konsultasi, serta dokumen dan berkas Wajib Pajak sehingga tim Pemeriksa Pajak memperoleh gambaran yang lengkap tentang kegiatan usaha Wajib Pajak termasuk benchmark, data, dan informasi yang terkait dengan Wajib Pajak.
    4. Tim Pemeriksa Pajak harus membuat evaluasi terhadap kondisi Wajib Pajak berdasarkan hasil penelaahan profil Wajib Pajak terutama yang terkait dengan kondisi usahanya, operasi usahanya, atau struktur pembiayaan/permodalannya.
    5. Hasil penelaahan dan evaluasi terhadap Profil Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf c dan huruf d digunakan sebagai dasar untuk membuat perencanaan penyelesaian pemeriksaan (audit planning), merancang program pemeriksaan (audit program), prosedur pemeriksaan yang akan ditempuh serta untuk menentukan teknik pemeriksaan (metode pengujian) yang digunakan.
    6. Hasil penelaahan terhadap Profil Wajib Pajak harus didokumentasikan dalam Kertas Kerja Pemeriksaan (KKP).
    7. Dalam hal pemeriksaan dilakukan terhadap Wajib Pajak yang ternyata Profil Wajib Pajaknya tidak ada atau belum dibuat, maka pemeriksaan tidak boleh dilaksanakan (SP2 tidak boleh diterbitkan), kecuali pemeriksaan terhadap SPT Lebih Bayar restitusi dan pemeriksaan kewajiban perpajakan Wajib Pajak Lokasi karena adanya permintaan dari Unit Pelaksana Pemeriksaan Domisili. Untuk selanjutnya, Profil Wajib Pajak yang belum ada tersebut harus segera dibuat dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan.
    8. Apabila sampai dengan jangka waktu 1 (satu) bulan sebagaimana dimaksud pada huruf g profil Wajib Pajak belum dibuat, Pemeriksa Pajak diminta untuk melaporkan hal tersebut kepada Kepala Kantor Wilayah DJP melalui Kepala Unit Pelaksana Pemeriksaan dengan ditembuskan kepada Direktur Potensi, Kepatuhan dan Penerimaan dan kepada Direktur Pemeriksaan dan Penagihan dengan menggunakan formulir sebagaimana terdapat dalam Lampiran 1 dan pemeriksaan dapat dilaksanakan setelah profil Wajib Pajak dibuat.

F.2. Pelaksanaan Tindakan Pemeriksaan
  1. Tata cara pelaksanaan pemeriksaan harus dilakukan sesuai dengan :
    1. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 199/PMK.03/2007 tentang Tata Cara Pemeriksaan;
    2. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 19/PJ/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemeriksaan Lapangan; dan
    3. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 20/PJ/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemeriksaan Kantor.
  2. Pemeriksaan harus dilaksanakan sesuai dengan standar pemeriksaan yang meliputi standar umum, standar pelaksanaan pemeriksaan, dan standar pelaporan pemeriksaan.
  3. Tim Pemeriksa Pajak harus mencantumkan dasar hukum berupa ketentuan perundang-undangan perpajakan dan ketentuan pelaksanaannya serta bukti-bukti pendukungnya, atas setiap temuan pemeriksaan.
  4. Temuan pemeriksaan harus diberitahukan kepada Wajib Pajak melalui penyampaian Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP) yang penyampaiannya hanya dapat dilakukan 1 (satu) kali.
  5. Wajib Pajak harus diberi kesempatan hadir untuk melakukan pembahasan akhir hasil pemeriksaan. Pembahasan akhir harus dilakukan sesuai dengan jangka waktu yang ditentukan, yaitu 1 (satu) bulan untuk Pemeriksaan Lapangan dan 3 (tiga) minggu untuk Pemeriksaan Kantor.
  6. Dalam hal dilakukan pembahasan oleh Tim Pembahas, baik Tim Pembahas Tingkat Unit Pelaksana Pemeriksaan maupun Tingkat Kantor Wilayah, harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut :
    1. Tim Pembahas dibentuk oleh Kepala Unit Pelaksana Pemeriksaan atau Kepala Kantor Wilayah DJP atas nama Direktur Jenderal Pajak yang bertugas untuk membahas perbedaan antara pendapat Wajib Pajak dan Pemeriksa Pajak pada saat dilakukan Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dengan susunan sebagaimana dimaksud pada Lampiran 2.
    2. Tim Pembahas akan melaksanakan tugasnya dalam hal terdapat permohonan dari Wajib Pajak.
    3. Pembahasan oleh Tim Pembahas hanya dilakukan antara tim Pemeriksa Pajak dengan Tim Pembahas tanpa dihadiri oleh Wajib Pajak.
  7. Apabila hasil pemeriksaan ternyata berbeda dengan profil Wajib Pajak, tim Pemeriksa Pajak harus menjelaskan perbedaan tersebut dalam Kertas Kerja Pemeriksaan dan Laporan Hasil Pemeriksaan serta mengirimkan data perbedaan tersebut ke Seksi Pengawasan dan Konsultasi terkait.
  8. Dalam hal pemeriksaan dilaksanakan berdasarkan 1 (satu) Surat Perintah Pemeriksaan yang meliputi satu atau beberapa jenis pajak dan satu atau beberapa Masa Pajak, maka Nota Penghitungan dan surat ketetapan pajak harus diterbitkan untuk setiap Masa Pajak dan setiap Jenis Pajak.
   
G. Reviu atau Telaahan Sejawat (Peer Review)
  1. Dalam rangka melakukan pengawasan dan peningkatan kualitas hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh Unit Pelaksana Pemeriksaan, perlu dilakukan reviu terhadap konsep Laporan Hasil Pemeriksaan atau telaahan sejawat (peer review) terhadap Laporan Hasil Pemeriksaan.
  2. Reviu atau telaahan sejawat (peer review) dilaksanakan untuk menguji apakah pemeriksaan yang dilaksanakan oleh Unit Pelaksana Pemeriksaan telah sesuai dengan standar pemeriksaan.
  3. Reviu terhadap konsep Laporan Hasil Pemeriksaan terutama dilakukan terhadap pemeriksaan yang dilaksanakan karena adanya pengaduan atau laporan dari pihak eksternal atau karena terkait kasus-kasus tertentu.
  4. Reviu dilaksanakan oleh Direktur Pemeriksaan dan Penagihan atau Kepala Kantor Wilayah DJP sesuai dengan pejabat yang menerbitkan instruksi pemeriksaan.
  5. Telaahan sejawat (peer review) dapat dilaksanakan oleh Direktur Pemeriksaan dan Penagihan atau Kepala Kantor wilayah DJP.
   
H. Perluasan Pemeriksaan
  1. Pemeriksaan dapat diperluas ke tahun-tahun pajak yang belum dilakukan pemeriksaan, dalam hal :
    1. SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Orang Pribadi atau Badan untuk tahun-tahun pajak sebelumnya tersebut menyatakan rugi; atau
    2. berdasarkan data dan informasi, pemeriksaan perlu diperluas ke tahun-tahun pajak lainnya yang belum dilakukan pemeriksaan.
  2. Perluasan pemeriksaan yang disebabkan karena alasan sebagaimana dimaksud pada angka 1 huruf a dilakukan dengan menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada :
    a. Kepala Kantor Wilayah DJP dalam hal Unit Pelaksana Pemeriksaannya adalah Kantor Pelayanan Pajak;atau
    b. Direktur Pemeriksaan dan Penagihan dalam hal Unit Pelaksana Pemeriksaannya adalah Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan.
    dengan menggunakan formulir seperti terdapat pada Lampiran 3.
  3. Apabila perluasan pemeriksaan yang disebabkan karena kriteria sebagaimana dimaksud pada angka 1 huruf a mencakup periode lebih dari 1 (satu) tahun pajak, pemberitahuan perluasan pemeriksaan harus dilakukan dengan menggunakan satu surat pemberitahuan untuk setiap tahun pajak.
  4. Berdasarkan pemberitahuan perluasan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada angka 2, Kepala Kantor Wilayah DJP atau Direktur Pemeriksaan dan Penagihan memberikan penugasan pemeriksaan dengan menggunakan formulir seperti terdapat pada Lampiran 4.
  5. Kode pemeriksaan atas perluasan pemeriksaan yang disebabkan karena kriteria sebagaimana dimaksud pada angka 1 huruf a menggunakan kriteria pemeriksaan rutin dengan kode pemeriksaan SPT Tahunan PPh Rugi Tidak Lebih Bayar.
  6. Dalam hal perluasan pemeriksaan disebabkan karena alasan sebagaimana dimaksud pada angka 1 huruf b, usul perluasan pemeriksaannnya harus dilakukan dengan mengikuti prosedur Pemeriksaan Khusus.
   
I. Pemeriksaan SPT Masa PPN Lebih Bayar.
  1. Pemeriksaan harus dilakukan apabila Wajib Pajak menyampaikan SPT Masa PPN yang menyatakan Lebih Bayar Restitusi, kecuali SPT Masa PPN yang menyatakan Lebih Bayar Restitusi tersebut disampaikan oleh Wajib Pajak dengan Kriteria Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C Undang-Undang KUP dan Wajib Pajak yang memenuhi Persyaratan Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17D Undang-Undang KUP.
  2. Pemeriksaan terhadap SPT Masa PPN Lebih Bayar ditentukan sebagai berikut :
    1. Apabila Wajib Pajak menyampaikan SPT Masa PPN yang menyatakan Lebih Bayar Kompensasi, pemeriksaannya ditunda sampai dengan kompensasi tersebut direstitusi atau ditunda sampai dengan akhir Tahun Pajak apabila sampai dengan akhir Tahun Pajak Wajib Pajak tetap tidak mengajukan restitusi. Dengan demikian, ruang lingkup pemeriksaan untuk SPT Masa PPN yang menyatakan Lebih Bayar Kompensasi dalam suatu Tahun Pajak tidak boleh lebih dari 12 (dua belas) Masa Pajak.
    2. Dalam hal pemeriksaan terhadap SPT Masa PPN yang menyatakan Lebih Bayar Restitusi terdapat kompensasi dari Masa Pajak-Masa Pajak sebelumnya, maka pemeriksaan harus mencakup seluruh Masa Pajak yang menyatakan Lebih Bayar Kompensasi tersebut dengan menerbitkan 2 (dua) Surat Perintah Pemeriksaan, yaitu 1 (satu) Surat Perintah Pemeriksaan untuk Masa Pajak yang menyatakan Lebih Bayar Restitusi dan 1 (satu) Surat Perintah Pemeriksaan untuk Masa Pajak-Masa Pajak lainnya yang menyatakan Lebih Bayar Kompensasi.
  3. Pelaksanaan Pemeriksaan atas SPT Masa PPN Lebih Bayar harus dilakukan dengan memperhatikan ketentuan terkait.
   
J. Pembatalan, Pengalihan, atau Penghentian Pemeriksaan
1. Pembatalan Pemeriksaan
  1. Pembatalan pemeriksaan dapat meliputi pembatalan penugasan pemeriksaan atau pembatalan hasil pemeriksaan.
  2. Pembatalan penugasan pemeriksaan pada prinsipnya dilakukan dengan alasan sebagai berikut :
    1) terdapat kesalahan administrasi yang bersifat manusiawi (human error) seperti kesalahan tahun pajak atau nama Wajib Pajak yang akan diperiksa, kesalahan kriteria/alasan pemeriksaan;atau
    2) berdasarkan pertimbangan Direktur Jenderal Pajak.
  3. Pembatalan penugasan pemeriksaan yang dilakukan karena kesalahan administrasi sebagaimana dimaksud pada huruf b angka 1) dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut :
    1) pembatalan dapat dilakukan sepanjang Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP) belum disampaikan kepada Wajib Pajak;
    2) terhadap instruksi/persetujuan/penugasan pemeriksaan yang diterbitkan Kepala Kantor Wilayah DJP, pembatalan penugasan pemeriksaannya harus dilakukan oleh Kepala Kantor Wilayah DJP;
    3) terhadap instruksi/persetujuan pemeriksaan yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak atau Direktur Pemeriksaan dan Penagihan, pembatalan penugasan pemeriksaannya harus dilakukan oleh Direktur Pemeriksaan dan Penagihan;
    4) usul pembatalan penugasan pemeriksaan oleh Kepala Unit Pelaksana Pemeriksaan kepada Kepala Kantor Wilayah DJP atau Direktur Pemeriksaan dan Penagihan dilakukan dengan menggunakan formulir seperti terdapat pada Lampiran 5;
    5) persetujuan atau penolakan pembatalan penugasan pemeriksaan atas usulan sebagaimana dimaksud pada angka 4) disampaikan oleh Kepala Kantor Wilayah DJP atau Direktur Pemeriksaan dan Penagihan kepada Kepala Unit Pelaksana Pemeriksaan dengan menggunakan formulir seperti terdapat pada Lampiran 6 atau Lampiran 6.1;
    6) surat persetujuan pembatalan penugasan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada angka 5) digunakan sebagai dasar untuk melakukan pembatalan Lembar Penugasan Pemeriksaan melalui aplikasi SIMPP/Modul Pemeriksaan pada SIDJP.
  4. Pembatalan penugasan pemeriksaan berdasarkan pertimbangan Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf b angka 2) merupakan kewenangan Direktur Jenderal Pajak yang dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut :
    1) pembatalan dapat dilakukan sepanjang surat ketetapan pajak hasil pemeriksaan belum diterbitkan;
    2) pembatalan dilakukan dengan menerbitkan surat Direktur Jenderal Pajak mengenai pembatalan penugasan pemeriksaan;
    3) pembatalan dapat dilakukan terhadap instruksi/persetujuan/penugasan pemeriksaan, Surat Perintah Pemeriksaan, Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan, Laporan Hasil Pemeriksaan, dan/atau Nota Penghitungan;
    4) pembatalan dilakukan dengan prosedur sebagai berikut :
    1. Direktur Jenderal Pajak memberikan perintah kepada Direktur Pemeriksaan dan Penagihan untuk membatalkan penugasan pemeriksaan;
    2. Direktur Pemeriksaan dan Penagihan membuat konsep surat Direktur Jenderal Pajak tentang Pembatalan Penugasan Pemeriksaan;
    3. Direktur Jenderal Pajak menandatangani surat Direktur Jenderal Pajak tentang Pembatalan Penugasan Pemeriksaan dan disampaikan kepada Kepala Unit Pelaksanaan Pemeriksaan;
    4. Kepala Unit Pelaksana Pemeriksaan memberitahukan kepada Wajib Pajak mengenai pembatalan penugasan pemeriksaan;
    5. Tembusan surat Direktur Jenderal Pajak tentang Pembatalan Penugasan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada huruf c) digunakan sebagai dasar untuk melakukan pembatalan Lembar Penugasan Pemeriksaan melalui aplikasi SIMPP/Modul Pemeriksaan pada SIDJP;
  5. Dalam hal pemeriksaan yang dibatalkan sebagaimana dimaksud pada huruf c dan huruf d terdapat permintaan Pemeriksaan Wajib Pajak Lokasi, berlaku ketentuan sebagai berikut :
    1) berdasarkan surat pembatalan penugasan pemeriksaan, Kepala Unit Pelaksana Pemeriksaan Domisili mengirimkan Surat Pemberitahuan Pembatalan Penugasan Pemeriksaan kepada Kepala Unit Pelaksana Pemeriksaan Lokasi dengan menggunakan formulir seperti terdapat pada Lampiran 7;
    2) berdasarkan Surat Pemberitahuan Pembatalan Penugasan Pemeriksaan dari Unit Pelaksana Pemeriksaan Domisili, Kepala Unit Pelaksana Pemeriksaan Lokasi membatalkan penugasan pemeriksaan dan menyampaikan pembatalan penugasan tersebut kepada Kepala Kantor Wilayah DJP atasannya dan Kepala Unit Pelaksana Pemeriksaan Domisili sepanjang Unit Pelaksana Pemeriksaan Lokasi belum menerbitkan Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan terkait dengan pembatalan pemeriksaan pada huruf c atau belum menerbitkan surat ketetapan pajak terkait dengan pembatalan pemeriksaan pada huruf d, menggunakan formulir seperti terdapat pada Lampiran 8;
    3) Surat pembatalan penugasan pemeriksaan dari Unit Pelaksana Pemeriksaan Lokasi sebagaimana dimaksud pada angka 2), digunakan oleh Kepala Kantor Wilayah DJP atasan Unit Pelaksana Pemeriksaan Lokasi untuk melakukan pembatalan Lembar Penugasan Pemeriksaan pada aplikasi SIMPP/Modul Pemeriksaan pada SIDJP.
  6. Pembatalan hasil pemeriksaan dilakukan dengan alasan pemeriksaan dilaksanakan tanpa ada Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan atau Pemeriksaan yang dilaksanakan tanpa ada pemberian hak hadir kepada Wajib Pajak untuk melakukan pembahasan akhir hasil pemeriksaan, yang meliputi :
    1) pembatalan hasil pemeriksaan terkait dengan Pasal 36 ayat (1) huruf d Undang-Undang KUP; atau
    2) pembatalan surat ketetapan pajak hasil pemeriksaan terkait dengan Pasal 36 ayat (1) huruf d Undang-Undang KUP.
  7. Pembatalan hasil pemeriksaan terkait dengan Pasal 36 ayat (1) huruf d Undang-Undang KUP sebagaimana dimaksud pada huruf f angka 1) dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut :
    1) pembatalan dilakukan sebelum surat ketetapan pajak diterbitkan dan dilakukan secara jabatan;
    2) pembatalan hasil pemeriksaannya dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak atau sesuai dengan pelimpahan wewenang atas ketentuan Pasal 36 Undang-Undang KUP yang dilakukan berdasarkan usul dari Kepala Unit Pelaksana Pemeriksaan ;
    3) pembatalan dilakukan dengan menerbitkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak sebagaimana diatur dalam ketentuan pelaksanaan Pasal 36 Undang-Undang KUP;
    4) pembatalan dilakukan terhadap Laporan Hasil Pemeriksaan dan/atau Nota Penghitungan;
    5) pembatalan dilakukan dengan prosedur sebagai berikut :
    a) Kepala Unit Pelaksana Pemeriksaan membuat surat usulan pembatalan hasil pemeriksaan kepada Direktur Jenderal Pajak atau pejabat yang memperoleh pelimpahan wewenang dari Direktur Jenderal Pajak;
    b) Direktur Jenderal Pajak atau pejabat yang memperoleh pelimpahan wewenang memerintahkan kepada pejabat tertentu untuk melakukan penelitian atas usul dari Kepala Unit Pelaksana Pemeriksaan;
    c) hasil penelitian dituangkan dalam nota dinas untuk disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak atau pejabat yang memperoleh pelimpahan wewenang berikut menyiapkan konsep Keputusan Direktur Jenderal Pajak; dan
    d) Direktur Jenderal Pajak atau pejabat yang memperoleh pelimpahan wewenang menandatangani Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
  8. Pembatalan surat ketetapan pajak hasil pemeriksaan terkait dengan Pasal 36 ayat (1) huruf d Undang-Undang KUP sebagaimana dimaksud pada huruf f angka 2) dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut :
    1) pembatalan dilakukan setelah surat ketetapan pajak diterbitkan dan dapat dilakukan secara jabatan atau berdasarkan permohonan Wajib Pajak;
    2) pembatalan surat ketetapan pajak dari hasil pemeriksaan dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak atau sesuai dengan pelimpahan wewenang atas ketentuan Pasal 36 Undang-Undang KUP yang dilakukan berdasarkan usul dari Kepala Unit Pelaksana Pemeriksaan;
    3) pembatalan dilakukan dengan menerbitkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak sebagaimana diatur dalam ketentuan pelaksanaan Pasal 36 Undang-Undang KUP;
    4) pembatalan dilakukan terhadap Laporan Hasil Pemeriksaan, Nota Penghitungan, dan/atau surat ketetapan pajak;
    5) pembatalan dilakukan dengan prosedur sebagaimana diatur dalam ketentuan pelaksanaan Pasal 36 Undang-Undang KUP.
  9. Hasil Pemeriksaan atau surat ketetapan pajak, yang dibatalkan sebagaimana dimaksud pada huruf g dan huruf h, dapat dilanjutkan dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana diatur dalam :
    1) Pasal 25 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 199/PMK.03/2007 tentang Tata Cara Pemeriksaan Pajak;
    2) Pasal 25 Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 19/PJ/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemeriksaan Lapangan;
    3) Pasal 23 Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 20/PJ/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemeriksaan Kantor.
2. Pengalihan Pemeriksaan
  1. Pengalihan pemeriksaan pada prinsipnya dilakukan karena Wajib Pajak pindah tempat terdaftar (domisili) dari satu Kantor Pelayanan Pajak ke Kantor Pelayanan Pajak lain sepanjang Lembar Penugasan Pemeriksaannya telah diterbitkan pada aplikasi SIMPP/Modul Pemeriksaan pada SIDJP dan Surat Perintah Pemeriksaannya belum diterbitkan atau Surat Perintah Pemeriksaan telah diterbitkan tetapi pemberitahuan pemeriksaan atau panggilan dalam rangka pemeriksaan belum disampaikan kepada Wajib Pajak.
  2. Pengalihan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak yang pindah domisili ke Kantor Pelayanan Pajak lain tetapi masih dalam wilayah kerja Kantor Wilayah DJP yang sama, dilakukan oleh :
    1) Direktur Pemeriksaan dan Penagihan untuk pemeriksaan yang instruksi/persetujuannya diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak atau Direktur Pemeriksaan dan Penagihan;
    2) Kepala Kantor Wilayah DJP untuk pemeriksaan yang instruksi/persetujuan/penugasannya diterbitkan oleh Kepala Kantor Wilayah DJP; atau
    3) Kepala Kantor Wilayah DJP atasan Unit Pelaksana Pemeriksaan Lokasi untuk Pemeriksaan Lokasi karena adanya Permintaan Unit Pelaksana Pemeriksaan Domisili.
  3. Pengalihan Pemeriksaan terhadap Wajib Pajak yang pindah domisili ke Kantor Pelayanan Pajak lain di luar wilayah kerja Kantor Wilayah DJP atasan Kantor Pelayanan Pajak lama, dilakukan oleh Direktur Pemeriksaan dan Penagihan.
  4. Usul pengalihan pemeriksaan disampaikan oleh Kepala Unit Pelaksana Pemeriksaan lama kepada Kepala Kantor Wilayah DJP atau Direktur Pemeriksaan dan Penagihan dengan menggunakan formulir seperti terdapat pada Lampiran 9.
  5. Persetujuan pengalihan pemeriksaan diberikan oleh Kepala Kantor Wilayah DJP terkait dengan pengalihan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada huruf b angka 2) dan angka 3) atau Direktur Pemeriksaan dan Penagihan kepada Kepala Unit Pelaksana Pemeriksaan yang baru apabila disetujui pengalihan pemeriksaannya, atau kepada Kepala Unit Pelaksana Pemeriksaan yang lama apabila ditolak pengalihan pemeriksaannya dengan menggunakan formulir seperti terdapat pada Lampiran 10 atau Lampiran 10.1.
  6. Surat Persetujuan pengalihan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada huruf e digunakan sebagai dasar untuk mengalihkan Lembar Penugasan Pemeriksaan melalui aplikasi SIMPP/Modul Pemeriksaan pada SIDJP.
  7. Terhadap pemeriksaan yang tidak disetujui untuk dialihkan, maka berlaku ketentuan sebagai berikut :
    1) Pemeriksaan tetap diselesaikan oleh Unit Pelaksana Pemeriksaan lama sampai dengan penerbitan Nota Penghitungan;
    2) Laporan Hasil Pemeriksaan dan Nota Penghitungan atas Wajib Pajak yang diperiksa harus menggunakan identitas baru;
    3) untuk pemeriksaan yang terkait dengan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B Undang-Undang KUP maka Laporan Hasil Pemeriksaan dan Nota Penghitungan sudah harus dikirim ke Kantor Pelayanan Pajak (baru) tempat Wajib Pajak terdaftar paling lambat 1 (satu) bulan sebelum jatuh tempo penyelesaian permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak; dan
    4) terhadap pemeriksaan selain sebagaimana dimaksud pada angka 3) Laporan hasil Pemeriksaan dan Nota Penghitungan harus disampaikan ke Kantor  Pelayanan Pajak (baru) tempat Wajib Pajak terdaftar paling lambat 3 (tiga) hari kerja setelah tanggal Laporan Hasil Pemeriksaan.
  8. Pengalihan pemeriksaan untuk hal-hal di luar ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf a hanya dapat dilakukan setelah mendapat persetujuan dari Direktur  Pemeriksaan dan Penagihan.
3. Penghentian Pemeriksaan
  1. Penghentian pemeriksaan pada prinsipnya dilakukan apabila Wajib Pajak yang diperiksa atau Wakil Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 Undang-Undang KUP ternyata tidak ditemukan berdasarkan berita acara dari pejabat kelurahan/RT/RW setempat.
  2. Dalam hal pemeriksaan dihentikan karena kondisi sebagaimana dimaksud pada huruf a, tim Pemeriksa Pajak membuat Laporan Hasil Pemeriksaan Sumir dan melakukan perekaman Laporan Hasil Pemeriksaan tersebut ke SIMPP/Modul Pemeriksaan pada SIDJP.
  3. Berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan Sumir, tim Pemeriksa Pajak mengirimkan fotokopi Laporan Hasil Pemeriksaan Sumir kepada Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi terkait untuk ditindaklanjuti sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
   
K. Pemeriksaan Lokasi
  1. Pemeriksaan terhadap kewajiban perpajakan Wajib Pajak Lokasi dapat dilakukan oleh Unit Pelaksana Pemeriksaan Lokasi berdasarkan permintaan dari Unit Pelaksana Pemeriksaan Domisili atau karena memenuhi kriteria Pemeriksaan Rutin atau Pemeriksaan Khusus.
  2. Pemeriksaan terhadap kewajiban perpajakan Wajib Pajak Lokasi karena permintaan Unit Pelaksana Pemeriksaan Domisili dilakukan terhadap lokasi yang mempunyai pengaruh dominan terhadap kegiatan usaha Wajib Pajak dan/atau kewajiban perpajakan Wajib Pajak (seperti pabrik atau tempat penjualan).
  3. Pemeriksaan terhadap kewajiban perpajakan Wajib Pajak Lokasi karena permintaan Unit Pelaksana Pemeriksaan Domisili dilakukan dengan mengacu pada kriteria pemeriksaan yang dilakukan oleh Unit Pelaksana Pemeriksaan Domisili, yaitu Pemeriksaan Rutin atau Pemeriksaan Khusus.
  4. Kepala Unit Pelaksana Pemeriksaan Domisili dapat meminta Pemeriksaan terhadap kewajiban perpajakan Wajib Pajak Lokasi apabila pemeriksaan yang dilakukan oleh Unit Pelaksana Pemeriksaan Domisili meliputi pemeriksaan untuk seluruh jenis pajak (all taxes) dan dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan.
  5. Apabila Lembar Penugasan Pemeriksaan (LP2) all taxes telah diterbitkan untuk Unit Pelaksana Pemeriksaan Domisili, Lembar Penugasan Pemeriksaan (LP2) untuk pemeriksaan kewajiban perpajakan Wajib Pajak Lokasi dapat diterbitkan jika Unit Pelaksana Pemeriksaan Domisili telah mengirimkan surat permintaan pemeriksaan terhadap kewajiban perpajakan Wajib Pajak Lokasi kepada Unit Pelaksana Pemeriksaan Lokasi dan surat permintaan tersebut direkam ke dalam SIMPP/Modul Pemeriksaan pada SIDJP dan di validasi oleh Unit Pelaksana Pemeriksaan Domisili.
  6. Dalam hal Unit Pelaksana Pemeriksaan Domisili melakukan Pemeriksaan Khusus all taxes terkait dengan adanya usulan dari Unit Pelaksana Pemeriksaan Lokasi sebagaimana diatur dalam Kebijakan Pemeriksaan Khusus, Unit Pelaksana Pemeriksaan Domisili harus meminta kepada Kepala Unit Pelaksana Pemeriksaan Lokasi untuk melakukan pemeriksaan terhadap kewajiban perpajakan Wajib Pajak Lokasi.
  7. Surat permintaan pemeriksaan terhadap kewajiban perpajakan Wajib Pajak Lokasi harus dibuat dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari sejak Surat Pemberitahuan Pemeriksaan disampaikan kepada Wajib Pajak Domisili dengan menggunakan formulir seperti terdapat pada Lampiran 11.
  8. Pemeriksaan Lokasi karena permintaan Unit Pelaksana Pemeriksaan Domisili harus diselesaikan oleh Unit Pelaksana Pemeriksaan Lokasi sesuai dengan jangka waktu yang ditentukan dalam surat permintaan pemeriksaan lokasi.
  9. Setelah pelaksanaan pemeriksaan oleh Unit Pelaksana Pemeriksaan Lokasi selesai, Kepala Unit Pelaksana Pemeriksaan Lokasi harus mengirimkan fotokopi Laporan Hasil Pemeriksaan kepada Kepala Unit Pelaksana Pemeriksaan Domisili paling lama 3 hari kerja setelah tanggal Laporan Hasil Pemeriksaan.
  10. Dalam hal terdapat permintaan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak Lokasi, maka Laporan Hasil Pemeriksaan Wajib Pajak Domisili harus mencakup hasil pemeriksaan Wajib Pajak Lokasi, kecuali :
    1. SPT Tahunan Wajib Pajak Domisili menunjukan lebih bayar dan akan segera jatuh tempo; atau
    2. Wajib Pajak lokasi dalam kondisi force majeur, seperti kebakaran atau kebanjiran sehingga Unit Pelaksana Pemeriksaan Lokasi tidak dapat melakukan pemeriksaan.
  11. Dalam hal pemeriksaan dilakukan oleh Unit Pelaksana Pemeriksaan Domisili yang wilayah kerjanya seluruh Indonesia yaitu Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan, Unit Pelaksana Pemeriksaan di lingkungan Kantor Wilayah DJP Wajib Pajak Besar, dan Unit Pelaksana Pemeriksaan di lingkungan Kanwil DJP Jakarta Khusus, pemeriksaan terhadap kewajiban perpajakan Wajib Pajak Lokasi harus dilakukan oleh Unit Pelaksana Pemeriksaan Domisili tanpa melakukan permintaan pemeriksaan kepada Kepala Unit Pelaksana Pemeriksaan Lokasi.
  12. Dalam hal pemeriksaan dilakukan oleh Unit Pelaksana Pemeriksaan Domisili yang wilayah kerjanya meliputi satu Kantor Wilayah DJP, yaitu Kantor Pelayanan Pajak Madya, pemeriksaan terhadap kewajiban perpajakan Wajib Lokasi di dalam wilayah kerjanya harus dilakukan oleh Unit Pelaksana Pemeriksaan Domisili tanpa melakukan permintaan kepada Kepala Unit Pelaksana Pemeriksaan Lokasi.
  13. Penentuan lokasi yang akan diperiksa oleh Unit Pelaksana Pemeriksaan Domisili sebagaimana dimaksud pada angka 11 dan angka 12 dapat mengacu pada ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 2, yaitu terutama untuk lokasi yang mempunyai pengaruh dominan terhadap kegiatan usaha Wajib Pajak dan/atau kewajiban perpajakan Wajib Pajak Domisili (seperti pabrik atau tempat penjualan).
  14. Dalam hal pemeriksaan dilakukan oleh Unit Pelaksana Pemeriksaan Domisili selain Unit Pelaksanaan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada angka 11, permintaan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak Lokasi (untuk KPP Madya adalah lokasi yang berada di luar wilayah kerjanya) dapat dilakukan oleh Unit Pelaksanaan Pemeriksaan Domisili, terutama dalam hal  lokasi kegiatan usaha mempunyai pengaruh dominan sebagaimana dimaksud pada angka 2.
  15. Unit Pelaksana Pemeriksaan Domisili sebagaimana dimaksud pada angka 14 dapat melakukan pemeriksaan di lokasi kegiatan usaha di wilayah Unit Pelaksana Pemeriksaan Lokasi dengan mengajukan izin kepada Kepala Kantor Wilayah DJP atasannya dengan menggunakan formulir seperti terdapat pada Lampiran 12 dan pemberian izin oleh Kepala Kantor Wilayah DJP dilakukan dengan menggunakan formulir seperti terdapat pada Lampiran 13.    
  16. Dalam hal Unit Pelaksana Pemeriksaan Domisili melakukan pemeriksaan di lokasi kegiatan usaha di wilayah Unit Pelaksana Pemeriksaan Lokasi, surat permintaan pemeriksaan terhadap kewajiban perpajakan Wajib Pajak Lokasi harus disampaikan kepada Kepala Unit Pelaksana Pemeriksaan Lokasi setelah Kepala Unit Pelaksana Pemeriksaan Domisili memperoleh izin dari Kepala Kantor Wilayah DJP atasannya.
  17. Setelah mendapatkan izin dari Kepala Kantor Wilayah DJP atasannya, pemeriksaan di lokasi kegiatan usaha di wilayah Unit Pelaksana Pemeriksaan Lokasi oleh tim Pemeriksa Pajak Unit Pelaksana Pemeriksaan Domisili harus dilakukan secara bersamaan dengan tim pemeriksa Pajak dari Unit Pelaksana Pemeriksaan Lokasi.
  18. Unit Pelaksana Pemeriksaan Domisili sebagaimana dimaksud pada angka 11 dan angka 12 harus menyampaikan fotokopi Laporan Hasil Pemeriksaan beserta Nota Penghitungan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak Lokasi paling lama 3 (tiga) hari kerja setelah tanggal Laporan Hasil Pemeriksaan.
  19. Dalam hal pemeriksaan terhadap kewajiban perpajakan Wajib Pajak Lokasi dilakukan oleh Unit Pelaksana Pemeriksaan Lokasi karena memenuhi kriteria Pemeriksaan Rutin atau Pemeriksaan Khusus, pemeriksaan harus dilakukan sesuai dengan Kebijakan Pemeriksaan Rutin atau Kebijakan Pemeriksaan Khusus.
  20. Fotokopi Laporan Hasil Pemeriksaan Lokasi karena memenuhi kriteria Pemeriksaan Khusus sebagaimana dimaksud pada angka 19, harus dikirimkan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak Domisili paling lama 3 (tiga) hari kerja setelah tangggal Laporan Hasil Pemeriksaan.
   
L. Ketentuan Lain-Lain
  1. Untuk menjamin agar pelaksanaan pemeriksaan dapat berjalan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan untuk memastikan bahwa pemeriksaan dapat memberikan efek jera serta memberikan konstribusi terhadap penerimaan, tugas pengawasan pelaksanaan pemeriksaan oleh Unit Pelaksana Pemeriksaan dilakukan oleh Kepala Kantor Wilayah DJP.
  2. Dalam setiap pengajuan Usul Pemeriksaan Khusus, Kepala Unit Pelaksana Pemeriksaan harus melengkapi usulan pemeriksaannya dengan jumlah tunggakan pemeriksaan yang ada pada Unit Pelaksana Pemeriksaannya. Persetujuan pemeriksaan hanya diberikan apabila tunggakan pemeriksaan pada Unit Pelaksana Pemeriksaan tersebut tidak lebih dari 30% (tiga puluh persen) dari rencana penyelesaian pemeriksaan selama 1 (satu) tahun (saldo LP2 awal tahun + LP2 terbit - LP2 selesai = 30% dari rencana penyelesaian pemeriksaan selama satu tahun).
  3. Untuk membantu pelaksanaan penagihan aktif, segera setelah dilakukan pemeriksaan, Pemeriksa Pajak harus membuat Daftar Harta Kekayaan Wajib Pajak/Penanggung Pajak dengan prioritas berupa monetary assets seperti deposito berjangka, tabungan, giro, piutang atau tagihan, saham, obligasi, dan surat berharga lainnya dan daftar harta tersebut agar disampaikan kepada Kepala Seksi Penagihan.
   
   
II. KEBIJAKAN PEMERIKSAAN RUTIN
A. Umum
  1. Perencanaan dan penugasan Pemeriksaan Rutin sepenuhnya dilakukan oleh Kepala Kantor Wilayah DJP dengan mempertimbangkan :
    1. Rencana Pemeriksaan Nasional;
    2. saldo tunggakan pada masing-masing Unit Pelaksana Pemeriksaan;
    3. jenis pemeriksaan;
    4. frekuensi pemeriksaan sebelumnya;
    5. jangka waktu penyelesaian pemeriksaan; dan
    6. pola kepatuhan Wajib Pajak.
  2. Pemeriksaan Rutin dapat dilakukan melalui jenis Pemeriksaan Lapangan atau Pemeriksaan Kantor.
  3. Lembar Penugasan Pemeriksaan Rutin diterbitkan secara elektronik oleh Kepala Kantor Wilayah DJP melalui aplikasi SIMPP/Modul Pemeriksaan pada SIDJP berdasarkan surat instruksi/penugasan pemeriksaan Kepala Kantor Wilayah DJP terhadap daftar nominatif yang dikirim oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak.
   
B. Alasan Dilakukan Pemeriksaan Rutin
Pemeriksaan Rutin dilakukan dalam hal :
  1. Wajib Pajak Orang Pribadi atau Wajib Pajak Badan menyampaikan SPT Tahunan PPh atau SPT Masa PPN yang menyatakan lebih bayar, dengan ketentuan sebagai berikut :
    1. terhadap SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Badan yang menyatakan Lebih Bayar, jenis pemeriksaannya dilakukan melalui :
      1) Pemeriksaan Kantor, apabila SPT Tahunan PPh yang menyatakan Lebih Bayar disampaikan oleh Wajib Pajak Badan yang pendaftaran emisi sahamnya telah dinyatakan efektif oleh Badan Pengawas Pasar Modal (go public) dan menyampaikan SPT Tahunan dengan dilampiri Laporan Keuangan yang telah diaudit oleh Akuntan Publik dengan Pendapat Wajar Tanpa Pengecualian sebagaimana diatur dalam Pasal 29A Undang-Undang KUP, kecuali berdasarkan pertimbangan Kepala Unit Pelaksana Pemeriksaan perlu dilakukan Pemeriksaan Lapangan.
      2) Pemeriksaan Lapangan, apabila SPT Tahunan PPh yang menyatakan Lebih Bayar disampaikan oleh Wajib Pajak Badan selain sebagaimana dimaksud pada angka 1).
    2. Terhadap SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Orang Pribadi yang menyatakan Lebih Bayar yang disampaikan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang menyelenggarakan pembukuan, pemeriksaannya dilakukan melalui Pemeriksaan Lapangan.
    3. Terhadap SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Orang Pribadi yang menyatakan Lebih Bayar yang disampaikan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas atau melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas tetapi memilih menggunakan norma penghitungan penghasilan neto, pemeriksaannya dilakukan melalui Pemeriksaan Kantor.
    4. Terhadap SPT Masa PPN yang menyatakan Lebih Bayar, pemeriksaannya dapat dilakukan melalui Pemeriksaan Lapangan atau Pemeriksaan Kantor tergantung pada hasil analisis risiko dalam rangka pemeriksaan atas Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai Lebih Bayar.
  2. Wajib Pajak Orang Pribadi atau Badan menyampaikan SPT Tahunan PPh yang menyatakan Rugi Tidak Lebih Bayar, dengan ketentuan sebagai berikut :
    1. Terutama diprioritaskan terhadap SPT Tahunan PPh yang menyatakan rugi tersebut akan segera daluwarsa penetapan pajaknya.
    2. SPT Tahunan PPh yang menyatakan rugi tersebut diperiksa sebagai akibat adanya perluasan pemeriksaan sebagaimana diatur pada Romawi I huruf H angka 1 huruf a.
    3. Jenis pemeriksaan atas SPT Tahunan PPh yang menyatakan rugi :
      (1) Pemeriksaan Kantor, apabila SPT Tahunan PPh yang menyatakan rugi disampaikan oleh Wajib Pajak Badan yang pendaftaran emisi sahamnya telah dinyatakan efektif oleh Badan Pengawas Pasar Modal (go public) dan menyampaikan SPT Tahunan dengan dilampiri Laporan Keuangan yang telah diaudit oleh Akuntan Publik dengan Pendapat Wajar Tanpa Pengecualian sebagaimana diatur dalam Pasal 29A Undang-Undang KUP, kecuali berdasarkan pertimbangan Kepala Unit Pelaksana Pemeriksaan perlu dilakukan Pemeriksaan Lapangan.
      (2) Pemeriksaan Lapangan, apabila SPT Tahunan PPh yang menyatakan rugi disampaikan oleh Wajib Pajak selain sebagaimana dimaksud pada angka 1).
  3. Wajib Pajak Orang Pribadi atau Badan menyampaikan SPT Tahunan PPh untuk bagian tahun pajak atau tahun pajak sebagai akibat adanya perubahan tahun buku atau metode pembukuan atau karena dilakukannya penilaian kembali aktiva tetap yang telah mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak, dengan ketentuan sebagai berikut :
    1. Jenis pemeriksaan yang digunakan adalah Pemeriksaan Lapangan, kecuali terhadap Wajib Pajak Badan yang pendaftaran emisi sahamnya telah dinyatakan efektif oleh Badan Pengawas Pasar Modal (go public) dan menyampaikan SPT Tahunan dengan dilampiri Laporan Keuangan  yang telah diaudit oleh Akuntan Publik dengan Pendapat Wajar Tanpa Pengecualian sebagaimana diatur dalam Pasal 29A Undang-Undang KUP, dapat dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Kantor.
    2. Dalam hal pemeriksaan dilakukan karena Wajib Pajak mengajukan permohonan perubahan tahun buku, maka pemeriksaannya dilakukan atas bagian tahun pajak sampai dengan perubahan tahun buku dilakukan. Misalnya, tahun buku Wajib Pajak adalah Januari sampai dengan Desember 2008 diubah menjadi Oktober 2008 sampai dengan September 2009, maka pemeriksaannya dilakukan untuk bagian tahun  pajak Januari sampai dengan September 2008.
  4. Wajib Pajak Badan melakukan penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, pemecahan usaha, likuidasi/penutupan usaha, pengambilalihan usaha atau Wajib Pajak Orang Pribadi akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya, dengan ketentuan sebagai berikut:
    1. Pemeriksaan dapat dilakukan terhadap Wajib Pajak berdasarkan informasi dari media masa atau pihak lain atau karena Wajib Pajak mengajukan permohonan sehubungan dengan penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, pemecahan usaha, likuidasi/penutupan usaha, pengambilalihan usaha atau Wajib Pajak Orang Pribadi akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya.
    2. Pemeriksaan dilakukan untuk bagian tahun pajak atau tahun pajak dilakukannya penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, pemecahan usaha, likuidasi/penutupan usaha, pengambilalihan usaha, atau akan meninggalkan Indonesia  untuk selama-lamanya, namun dapat diperluas ke tahun-tahun pajak sebelumnya sepanjang terdapat potensi berdasarkan hasil analisis risiko Wajib Pajak dan Wajib Pajak belum pernah dilakukan pemeriksaan untuk tahun-tahun sebelumnya.
    3. Perluasan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada huruf b dilakukan dengan prosedur Pemeriksaan Khusus.
    4. Jenis Pemeriksaan yang digunakan adalah Pemeriksaan Lapangan, kecuali terhadap Wajib Pajak Badan yang pendafataran emisi sahamnya telah dinyatakan efektif oleh Badan Pengawas Pasar Modal (go public) dan menyampaikan SPT Tahunan dengan dilampiri Laporan Keuangan yang telah diaudit oleh Akuntan Publik dengan Pendapat Wajar Tanpa Pengecualian sebagaimana diatur dalam Pasal 29A Undang-Undang KUP, dapat dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Kantor.
    5. Dalam hal pemeriksaan rutin terhadap Wajib Pajak Badan yang melakukan penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, pemecahan usaha, likuidasi/penutupan usaha, pengambilalihan usaha, atau Wajib Pajak Orang Pribadi yang akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya disertai dengan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dan pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, Tim Pemeriksa Pajak harus membuat usulan tentang penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak/pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (Bab Kesimpulan dan Usul Pemeriksa).
    6. Dalam hal Pemeriksa rutin terhadap Wajib Pajak Badan yang melakukan penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, pemecahan usaha, likuidasi/penutupan usaha, pengambilalihan usaha, atau Wajib Pajak Orang Pribadi yang akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya terkait juga dengan permohonan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dan pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, tim Pemeriksa Pajak harus memperhatikan jangka waktu penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (7) dan ayat (9) Undang-Undang KUP.
    7. Berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan, Tim Pemeriksa Pajak harus mengirimkan usulan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak atau pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak c.q. Kepala Seksi Pelayanan dengan menggunakan formulir sebagaimana terdapat dalam Lampiran 14.
   
C. Prosedur Usulan dan Penugasan Pemeriksaan Rutin
  1. Daftar Nominatif Wajib Pajak
    1. Setiap bulan Kepala Kantor Pelayanan Pajak membuat Daftar Nominatif Wajib Pajak yang akan diperiksa dengan kriteria Pemeriksaan Rutin paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya dan mengirimkan kepada Kepala Kantor Wilayah DJP atasannya dengan menggunakan formulir seperti terdapat pada Lampiran 15 dan Lampiran 15.1.
    2. Terhadap SPT Tahunan PPh atau SPT Masa PPN yang menyatakan lebih bayar, Daftar Nominatif dapat dibuat dan dikirimkan kepada Kepala Kantor Wilayah DJP setiap saat.
    3. Pembuatan Daftar Nominatif harus dilakukan setelah SPT Tahunan PPh atau SPT Masa PPN direkam pada aplikasi yang tersedia.
    4. Terhadap Pemeriksaan Rutin yang dilakukan karena perluasan pemeriksaan terkait dengan SPT Tahunan PPh Rugi Tidak Lebih Bayar yang dikompensasikan, maka pengajuan usul dan persetujuan pemeriksaannya mengikuti prosedur sebagaimana dimaksud pada Romawi I huruf H angka 2 sampai dengan angka 5.
  2. Penugasan Pemeriksaan Rutin
    1. Berdasarkan Daftar Nominatif dari Kepala Kantor Pelayanan Pajak, Kepala Kantor Wilayah DJP membuat Surat Penugasan Pemeriksaan Rutin dan mengirimkan surat penugasan tersebut kepada Kepala Unit Pelaksana Pemeriksaan yang bersangkutan dengan menggunakan formulir seperti terdapat pada Lampiran 16 dan Lampiran 16.1 
    2. Apabila dalam Daftar Nominatif yang disampaikan oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak, terdapat nominatif pemeriksaan yang tidak memenuhi syarat atau alasan untuk dilakukan Pemeriksaan Rutin, Kepala kantor Wilayah DJP membuat Surat Penolakan Pemeriksaan Rutin dan mengirimkan surat penolakan tersebut kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak dengan menggunakan formulir seperti terdapat pada Lampiran 17 dan Lampiran 17.1.
    3. Dalam hal Kepala Kantor Wilayah DJP mengetahui informasi mengenai penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, pemecahan usaha, likuidasi/penutupan usaha, atau pengambilalihan usaha dari media masa, penugasan pemeriksaan rutin dapat diberikan secara langsung tanpa melalui Daftar Nominatif.
   
   
III. KEBIJAKAN PEMERIKSAAN KHUSUS
A. Umum
  1. Pemeriksaan Khusus (risk based audit) dilakukan berdasarkan hasil analisis risiko.
  2. Analisis risiko adalah kegiatan yang dilakukan untuk menilai tingkat ketidakpatuhan Wajib Pajak yang berisiko menimbulkan kerugian penerimaan pajak terutama pada Wajib Pajak dengan risiko tinggi (high risk) yang dihitung dari potensi pajak yang masih dapat digali (tax revenue at risk).
  3. Analisis risiko harus dibuat dengan mendasarkan pada profil Wajib Pajak termasuk aktivitas himbauan dan konseling yang telah dilakukan atas profil Wajib Pajak sebagaimana diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-170/PJ/2007, serta memanfaatkan data eksternal seperti informasi dari media massa atau lembaga/instansi terkait.
  4. Ruang lingkup Pemeriksaan Khusus ditentukan sebagai berikut :
    1. Untuk Kantor Pelayanan Pajak Domisili :
      1) Pemeriksaan Khusus untuk tahun-tahun pajak yang lalu harus meliputi seluruh jenis pajak (all taxes).
      2) Pemeriksaan Khusus untuk tahun berjalan dapat meliputi satu atau beberapa jenis pajak.
    2. Untuk Kantor Pelayanan Pajak Lokasi, dapat meliputi satu atau beberapa jenis pajak baik untuk tahun pajak berjalan maupun untuk tahun-tahun pajak sebelumnya.
    3. Dalam hal Pemeriksaan Khusus dilakukan dalam rangka pemeriksaan ulang, ruang lingkup pemeriksaannya dapat meliputi satu, beberapa, atau seluruh jenis pajak untuk tahun berjalan atau tahun-tahun pajak sebelumnya.
  5. Pemeriksaan Khusus dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan.
  6. Pemeriksaan Khusus dilakukan berdasarkan instruksi Direktur Pemeriksaan dan Penagihan atau instruksi Kepala Kantor Wilayah DJP atau persetujuan Kepala Kantor Wilayah DJP.
  7. Pemeriksaan Ulang melalui Pemeriksaan Khusus dilakukan berdasarkan persetujuan atau instruksi Direktur Jenderal Pajak.
   
B. Alasan Pemeriksaan Khusus
  1. Pada prinsipnya terdapat 2 (dua) kriteria Pemeriksaan Khusus sebagaimana telah diuraikan pada romawi I huruf D, yaitu :
    1. Pemeriksaan Khusus yang dilakukan berdasarkan persetujuan Kepala Kantor Wilayah DJP yang analisis risikonya dibuat secara manual dan bersifat bottom up (dari bawah ke atas); dan
    2. Pemeriksaan Khusus yang dilakukan berdasarkan instruksi Kepala Kanwil DJP atau Direktur Pemeriksaan dan Penagihan yang analisis risikonya dibuat secara manual atau komputerisasi dan bersifat top down (dari atas ke bawah).
  2. Pemeriksaan Khusus berdasarkan persetujuan Kepala Kantor Wilayah DJP dilakukan dalam hal terdapat hasil analisis risiko atas profil Wajib Pajak yang telah dilakukan oleh Seksi Pengawasan dan Konsultasi yang menunjukkan bahwa Wajib Pajak, termasuk Wajib Pajak yang telah menerima pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak (Wajib Pajak Kriteria Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C Undang-Undang KUP dan Persyaratan Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17D Undang-Undang KUP), belum sepenuhnya memenuhi kewajiban perpajakan dan telah ditindaklanjuti dengan aktivitas himbauan dan konseling sebagaimana diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-170/PJ/2007.
  3. Pemeriksaan Khusus berdasarkan instruksi dari Kepala Kantor Wilayah DJP dilakukan apabila terdapat hasil analisis dan pengembangan atas informasi, data, laporan, dan pengaduan yang dilakukan oleh Kepala Kanwil DJP yang perlu ditindaklanjuti dengan Pemeriksaan Khusus.
  4. Pemeriksaan Khusus berdasarkan instruksi dari Direktur Pemeriksaan dan Penagihan dilakukan dengan alasan sebagai berikut :
    1. Terdapat hasil analisis dan pengembangan atas informasi, data, laporan, dan pengaduan yang dilakukan oleh Direktorat Intelijen dan Penyidikan yang perlu ditindaklanjuti dengan Pemeriksaan Khusus.
    2. Sebab lain berdasarkan pertimbangan Direktur Jenderal Pajak yang antara lain karena adanya permintaan dari Wajib Pajak tertentu, antara lain :
      1) Wajib Pajak Badan Usaha Milik Negara;
      2) Wajib Pajak yang akan melakukan Rapat Umum Pemegang Saham;
      3) Wajib Pajak yang kepemilikannya akan dialihkan;atau
      4) Wajib Pajak akan melakukan IPO atau Emisi Saham/Obligasi.
    3. Terdapat hasil analisis risiko secara komputerisasi (selama ini disebut Kriteria Seleksi) yang berupa skor risiko ketidakpatuhan dengan memperhatikan variabel-variabel tertentu serta adanya data dan informasi.
   
C. Tata Cara Usul Pemeriksaan Khusus
  1. Berdasarkan hasil analisis risiko atas profil Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf B angka 2, Kepala Kantor Pelayanan Pajak dapat mengajukan usul Pemeriksaan Khusus yang disertai dengan analisis risiko kepada Kepala Kantor Wilayah DJP atasannya.
  2. Untuk usulan Pemeriksaan Khusus terhadap Wajib Pajak yang telah menerima pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak (Wajib Pajak Kriteria Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C Undang-Undang KUP dan Persyaratan Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17D Undang-Undang KUP), selain membuat analisis risiko, Kepala Kantor Pelayanan Pajak juga harus melampirkan data konkrit atau bukti pendukung yang memperkuat alasan pemeriksaan.
  3. Dalam hal data dan/atau informasi baik dari hasil analisis risiko atas profil Wajib Pajak maupun dari pihak eksternal yang dimiliki hanya mencakup satu atau beberapa jenis pajak, maka ditentukan sebagai berikut :
    1. Apabila data dan/atau informasi tersebut merupakan keterangan lain yang konkrit  sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 Undang-Undang KUP, maka dan/atau informasi tersebut tidak perlu diusulkan Pemeriksaan Khusus, namun dapat langsung ditindaklanjuti dengan penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) berdasarkan penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 Peraturan Pemerintah  Nomor 80 Tahun 2007.
    2. Apabila data dan/atau informasi tersebut tidak termasuk keterangan lain sebagaimana dimaksud pada huruf a dan perlu ditindaklanjuti dengan Pemeriksaan Khusus, maka usul Pemeriksaan Khusus dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut :
      (1) dalam hal data dan/atau informasi tersebut terdapat pada Kantor Pelayanan Pajak Domisili, berlaku ketentuan :
      a) apabila data dan/informasi tersebut merupakan data dan/atau informasi untuk tahun berjalan, maka dapat diusulkan Pemeriksaan Khusus beberapa jenis pajak untuk tahun berjalan;atau
      b) apabila data dan/atau informasi tersebut merupakan data dan/atau informasi untuk tahun-tahun pajak sebelumnya, maka harus diusulkan Pemeriksaan Khusus all taxes.
      (2) dalam hal data dan/atau informasi tersebut terdapat pada Kantor Pelayanan Pajak Lokasi, maka Kepala Kantor Pelayanan Pajak Lokasi dapat mengusulkan Pemeriksaan Khusus beberapa jenis pajak untuk tahun pajak berjalan maupun untuk tahun-tahun pajak sebelumnya.
  4. Dalam hal Kantor Pelayanan Pajak Lokasi mengusulkan Pemeriksaan Khusus beberapa jenis pajak sebagaimana dimaksud pada angka 3 huruf b butir 2), berlaku ketentuan sebagai berikut :
    1. Dalam hal usulan Pemeriksaan Khusus oleh Kantor Pelayanan Pajak Lokasi dilakukan atas beberapa jenis pajak untuk tahun pajak berjalan, setelah usulan tersebut disetujui oleh Kepala Kantor Wilayah DJP atasannya, maka Kepala Kantor Pelayanan Pajak Lokasi harus mengirimkan fotokopi hasil analisis data dan/atau informasi yang menyebabkan dilakukannya Pemeriksaan Khusus kepada Kantor Pelayanan Pajak Domisili.
    2. Dalam hal usulan Pemeriksaan Khusus oleh Kantor Pelayanan Pajak Lokasi dilakukan atas beberapa jenis pajak untuk tahun-tahun pajak sebelumnya, maka pada saat usulan tersebut dikirim kepada Kepala Kantor Wilayah DJP atasannya, Kepala Kantor Pelayanan Pajak Lokasi harus mengirimkan fotokopi hasil analisis data dan/atau informasi yang menyebabkan usulan Pemeriksaan Khusus tersebut kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak Domisili.
  5. Dalam hal Kantor Pelayanan Pajak Domisili menerima data dan/atau informasi dari Kantor Pelayanan Pajak Lokasi sebagaimana dimaksud pada angka 4, berlaku ketentuan sebagai berikut :
    1. Apabila data dan/atau informasi yang diterima merupakan data dan/atau informasi untuk tahun pajak berjalan, maka tindak lanjutnya ditentukan sebagai berikut :
      1) data dan/atau informasi tersebut harus disimpan (sebagai bahan masukan untuk profil Wajib Pajak) sampai dengan Wajib Pajak menyampaikan SPT Tahunan PPh untuk tahun pajak yang terkait dengan data dan/atau informasi dimaksud.
      2) setelah Wajib Pajak menyampaikan SPT Tahunan PPh untuk tahun pajak dimaksud, Kantor Pelayanan Pajak Domisili harus melakukan analisis risiko antara data dan/atau informasi tersebut dengan SPT Tahunan PPh Wajib Pajak.
      3) apabila hasil analisis risiko mengindikasikan bahwa Wajib Pajak tidak patuh dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya, Kantor Pelayanan Pajak Domisili dapat mengusulkan Pemeriksaan Khusus all taxes atas tahun pajak dimaksud setelah melakukan aktivitas himbauan dan konseling sebagaimana diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-170/PJ/2007.
    2. Apabila data dan/atau informasi yang diterima merupakan data dan/atau informasi untuk tahun-tahun pajak sebelumnya, maka tindak lanjutnya ditentukan sebagai berikut:
      1) Kantor Pelayanan Pajak Domisili harus melakukan analisis risiko atas profil Wajib Pajak dan SPT Tahunan PPh-nya terkait dengan adanya data dan/atau informasi tersebut.
      2) apabila hasil analisis risiko menunjukkan bahwa Wajib Pajak tidak patuh dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya, Kantor Pelayanan Pajak Domisili dapat mengusulkan Pemeriksaan Khusus all taxes atas tahun pajak dimaksud setelah dilakukan aktivitas himbauan dan konseling sebagaimana diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-170/PJ/2007.
    3. Dalam hal Kantor Pelayanan Pajak Domisili melakukan Pemeriksaan Khusus all taxes terkait dengan adanya data dan/atau informasi dari Kantor Pelayanan Pajak Lokasi sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, Kepala Kantor Pelayanan Pajak Domisili harus meminta kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak Lokasi untuk melakukan pemeriksaan terhadap kewajiban perpajakan Wajib Pajak Lokasi sepanjang Kantor Pelayanan Pajak Lokasi belum melakukan pemeriksaan.
  6. Usul Pemeriksaan Khusus dilakukan dengan menggunakan formulir usul Pemeriksaan Khusus dan Analisis Risiko seperti terdapat pada Lampiran 18 dan Lampiran 18.1.
   
D. Tata Cara Persetujuan Pemeriksaan Khusus
  1. Persetujuan Pemeriksaan Khusus diberikan oleh Kepala Kantor Wilayah DJP.
  2. Sebelum memberikan persetujuan Pemeriksaan Khusus, Kepala Kantor Wilayah DJP harus  melakukan penelitian, evaluasi dan seleksi atas usulan Pemeriksaan Khusus terutama menyangkut hal-hal sebagai berikut :
    a. Penelitian atas persyaratan formal usulan pemeriksaan seperti :
    1) ada atau tidaknya analisis risiko;
    2) apakah analisis risiko telah sesuai dengan ketentuan; dan
    3) kesesuaian kode pemeriksaan dengan alasan pemeriksaan dan ruang lingkup pemeriksaan;
    b. Evaluasi terhadap potensi penerimaan yang ada dalam analisis risiko;
    c. Penelitian atas tunggakan pemeriksaan;
    d. Penelitian atas history pemeriksaan;dan
    e. Penelitian terhadap hal-hal lainnya yang terdapat dalam analisis risiko.
  3. Hasil penelitian dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada angka 2 dituangkan dalam Lembar Hasil Penelitian dan Evaluasi Analisis Risiko dengan formulir seperti terdapat pada Lampiran 19.
  4. Berdasarkan hasil penelitian dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada angka 2, Kepala Kantor Wilayah DJP harus menentukan apakah usulan Pemeriksaan Khusus ditolak atau disetujui.
  5. Persetujuan atas usulan Pemeriksaan Khusus diterbitkan dengan menggunakan formulir seperti terdapat pada Lampiran 20.
  6. Penolakan atas usulan Pemeriksaan Khusus diterbitkan dengan menggunakan formulir seperti terdapat pada Lampiran 20.1.
   
E. Tata Cara Instruksi Pemeriksaan Khusus
  1. Instruksi Pemeriksaan Khusus dapat diterbitkan oleh Kepala Kanwil DJP atau Direktur Pemeriksaan dan Penagihan dan dilakukan dengan alasan sebagaimana dimaksud pada huruf B angka 3 dan angka 4.
  2. Instruksi Pemeriksaan Khusus dengan alasan pertimbangan Direktur Jenderal Pajak, diterbitkan berdasarkan usulan dari Kepala Sub Direktorat di lingkungan Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan atau berdasarkan perintah dari Direktur Pemeriksaan dan Penagihan.
  3. Instruksi Pemeriksaan Khusus dari Kepala Kanwil DJP dengan alasan sebagaimana dimaksud pada huruf B angka 3 diterbitkan dengan menggunakan formulir seperti terdapat pada Lampiran 21.
  4. Instruksi Pemeriksaan Khusus dari Direktur Pemeriksaan dan Penagihan dengan alasan sebagaimana dimaksud pada huruf B angka 4 butir a dan butir b diterbitkan dengan menggunakan formulir seperti  terdapat pada Lampiran 22.
  5. Instruksi Pemeriksaan Khusus dari Direktur Pemeriksaan dan Penagihan dengan alasan sebagaimana dimakasud pada huruf B angka 4 butir c dilakukan dengan menggunakan formulir seperti terdapat pada Lampiran 23 dan Lampiran 23.1.
   
F. Pemeriksaan Khusus Dalam Rangka Pemeriksaan Ulang
  1. Pemeriksaan Khusus dalam rangka pemeriksaan ulang hanya dapat dilakukan berdasarkan instruksi atau persetujuan Direktur Jenderal Pajak;
  2. Pemeriksaan ulang dilakukan dengan alasan :
    1. terdapat data baru, termasuk data yang semula belum terungkap; atau
    2. sebab-sebab lain berdasarkan pertimbangan Direktur Jenderal Pajak.
  3. Ruang ligkup pemeriksaan ulang dapat meliputi seluruh jenis pajak (all taxes), beberapa jenis pajak atau satu jenis pajak (single tax);
  4. Prosedur usulan dan persetujuan Pemeriksaan Khusus dalam rangka pemeriksaan ulang adalah:
    1. Kepala Kantor Pelayanan Pajak/Kepala Kantor Wilayah DJP hanya dapat mengajukan usulan Pemeriksaan Khusus dalam rangka pemeriksaan ulang apabila alasan sebagaimana dimaksud pada angka 2 huruf a terpenuhi.
    2. Setiap usul untuk melakukan pemeriksaan ulang baik dari Kepala Kantor Pelayanan Pajak kepada Kepala Kantor Wilayah DJP maupun dari Kepala Kantor Wilayah DJP kepada Direktur Pemeriksaan dan Penagihan harus disertai dengan alasan yang jelas dan dilengkapi dengan bukti pendukung serta ringkasan hasil pemeriksaan yang telah dilakukan untuk masa pajak atau tahun pajak yang diusulkan dengan menggunakan   formulir seperti terdapat pada Lampiran 24 dan Lampiran 24.1.
    3. Kepala Kantor Pelayanan Pajak menyampaikan usulan untuk melakukan Pemeriksaan Khusus dalam rangka pemeriksaan ulang kepada Kepala Kantor Wilayah DJP atasannya.
    4. Setelah melakukan evaluasi, penelitian dan seleksi atas usulan dari Kepala Kantor Pelayanan Pajak, Kepala Kantor Wilayah DJP menyampaikan usulan untuk melakukan pemeriksaan ulang kepada Direktur Pemeriksaan dan Penagihan. Evaluasi dan penelitian yang dilakukan oleh Kantor Wilayah DJP meliputi :
      1) penelitian atas persyaratan formal usulan pemeriksaan ulang seperti :
      a) kebenaran bahwa wajib pajak sudah pernah diterbitkan SKP untuk masa pajak, tahun pajak dan jenis pajak yang akan dilakukan pemeriksaan ulang;
      b) kelengkapan bukti pendukung dari data baru termasuk data yang semula belum terungkap serta ringkasan hasil pemeriksaan yang telah dilakukan;dan
      c) Kesesuaian kode pemeriksaan dengan alasan pemeriksaan dan ruang lingkup pemeriksaan;
      2) evalusi terhadap potensi penerimaan;
      3) Penelitian atas tunggakan pemeriksaan;dan
      4) penelitian atas history pemeriksaan.
    5. Setelah melakukan evaluasi, penelitian dan seleksi atas usulan pemeriksaan ulang dari Kepala Kantor Wilayah DJP, Direktur Pemeriksaan dan Penagihan menyampaikan usulan untuk melakukan pemeriksaan ulang kepada Direktur Jenderal Pajak untuk memperoleh persetujuan atau penolakan. Evaluasi dan penelitian yang dilakukan oleh Direktur Pemeriksaan dan Penagihan meliputi :
      (1) Penelitian atas persyaratan formal usulan pemeriksaan ulang seperti :
      a) kebenaran bahwa wajib pajak sudah pernah diterbitkan SKP untuk masa pajak, tahun pajak dan jenis pajak yang akan dilakukan pemeriksaan ulang;
      b) kelengkapan bukti pendukung dari data baru termasuk data yang semula belum terungkap serta ringkasan hasil pemeriksaan yang telah dilakukan;dan
      c) kesesuaian kode pemeriksaan dengan alasan pemeriksaan dan ruang lingkup pemeriksaan;
      (2) evaluasi terhadap potensi penerimaan;
      (3) penelitian atas tunggakan pemeriksaan;dan
      (4) penelitian atas history pemeriksaan.
    6. Persetujuan pemeriksaan ulang oleh Direktur Jenderal Pajak diberikan dengan menggunakan formulir seperti terdapat pada Lampiran 25.
    7. Penolakan pemeriksaan ulang oleh Direktur Jenderal Pajak diberikan dengan menggunakan formulir seperti terdapat pada Lampiran 25.1.
  5. Prosedur instruksi Pemeriksaan Khusus dalam rangka pemeriksaan ulang adalah :
    1. Instruksi pemeriksaan ulang melalui Pemeriksaan Khusus diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak dan dilakukan dengan alasan terdapat data baru termasuk data yang semula belum terungkap atau terdapat sebab lain berdasarkan pertimbangan Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada angka 2 huruf a dan huruf b.
    2. Instruksi pemeriksaan ulang melalui Pemeriksaan Khusus oleh Direktur Jenderal Pajak diterbitkan dengan menggunakan formulir sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 26.
   
G. Ketentuan Lain-Lain
  1. Apabila dilakukan Pemeriksaan Khusus dalam rangka pemeriksaan ulang, maka pemberitahuan hasil pemeriksaan dan pembahasan akhir (Closing Conference) dilakukan setelah konsep Laporan Hasil Pemeriksaan ditelaah dan dikeluarkan surat tindak lanjut hasil pemeriksaan oleh Direktur Pemeriksaan dan Penagihan.
  2. Dalam hal Pemeriksaan Khusus mencakup SPT Masa PPN Lebih Bayar yang segera jatuh tempo, maka tim Pemeriksa Pajak dapat menerbitkan Laporan hasil Pemeriksaan Parsial untuk jenis pajak dimaksud dan harus digabung dengan Laporan Hasil Pemeriksaan keseluruhan setelah Pemeriksaan Khusus untuk jenis pajak lainnya diselesaikan.
  3. Kepala Kantor Wilayah DJP diminta untuk melakukan evaluasi atas hasil Pemeriksaan Khusus yang dilakukan berdasarkan usulan dari Kepala Kantor Pelayanan Pajak dengan membandingkan antara potensi pajak terutang menurut usulan Kantor Pelayanan Pajak dengan pajak terutang menurut surat ketetapan pajak hasil Pemeriksaan Khusus.
  4. Direktur Pemeriksaan dan Penagihan melakukan evaluasi atas hasil Pemeriksaan Khusus yang dilakukan berdasarkan instruksi Direktur Pemeriksaan dan Penagihan.
  5. Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada angka 3 disampaikan kepada Direktur Pemeriksaan dan Penagihan setiap 3 (tiga) bulan sekali yang selanjutnya oleh Direktur Pemeriksaan dan Penagihan akan digabungkan dengan hasil evaluasi Pemeriksaan Khusus berdasarkan instruksi Direktur Pemeriksaan dan Penagihan.
   
   
IV. TATA CARA USUL PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN DARI PEMERIKSAAN UNTUK MENGUJI KEPATUHAN PEMENUHAN KEWAJIBAN PERPAJAKAN WAJIB PAJAK    
Dalam hal pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan diusulkan menjadi Pemeriksaan Bukti Permulaan, berlaku ketentuan sebagai berikut :
  1. Usulan Pemeriksaan Bukti Permulaan harus dilakukan dengan memperhatikan ketentuan yang mengatur tentang Kebijakan Pemeriksaan Bukti Permulaan.
  2. Usulan Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud pada angka 1 harus ditembuskan kepada Direktur Pemeriksaan dan Penagihan sebagai bahan untuk monitoring dan evaluasi.
  3. Usulan Pemeriksaan Bukti Permulaan yang disebabkan karena selain Pasal 29 ayat (3a) dan ayat (3b) Undang-Undang KUP harus disampaikan setelah tim Pemeriksa Pajak meyakini bahwa Wajib Pajak diduga telah melakukan tindak pidana di bidang perpajakan dan :
    1. harus disampaikan paling lambat 2 (dua bulan) sebelum jangka waktu maksimal pemeriksaan berakhir; atau
    2. dalam hal pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan merupakan pemeriksaan atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B Undang-Undang KUP, harus disampaikan paling lambat 2 (dua) bulan sebelum jangka waktu maksimal pemeriksaan berakhir dan 5 (lima) bulan sebelum jangka waktu penyelesaian permohonan tersebut berakhir.
  4. Terhadap Usulan Pemeriksaan Bukti Permulaan yang terkait dengan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada angka 3 huruf b, harus diberikan keputusan persetujuan atau penolakan paling lambat 1 (satu) bulan sejak usulan Pemeriksaan Bukti Permulaan diterima oleh Pejabat yang berwenang sebagaimana diatur dalam Kebijakan Pemeriksaan Bukti Permulaan.
  5. Tindak lanjut atas pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan yang diusulkan menjadi Pemeriksaan Bukti Permulaan harus menunggu sampai dengan terdapat keputusan persetujuan atau penolakan dengan ketentuan sebagai berikut :
    1. Dalam hal usulan Pemeriksaan Bukti Permulaan tidak disetujui, maka pemeriksaan  untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan tetap dilanjutkan dengan memperhatikan jangka waktu penyelesaian pemeriksaan sampai dengan diterbitkannya Laporan Hasil Pemeriksaan.
    2. Dalam hal usulan Pemeriksaan Bukti Permulaan disetujui, pelaksanaan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dihentikan dengan membuat Laporan Hasil Pemeriksaan sumir, kecuali usulan Pemeriksaan Bukti Permulaan terkait dengan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B Undang-Undang KUP, penyelesaian pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan ditangguhkan.
    3. Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan yang ditangguhkan sebagaimana dimaksud pada huruf b dilanjutkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, apabila :
      1) Pemeriksaan Bukti Permulaan diselesaikan dan tidak dilanjutkan dengan penyidikan;
      2) dilanjutkan dengan penyidikan tetapi tidak dilakukan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44A Undang-Undang KUP;atau
      3) diterima putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang menyatakan Wajib Pajak bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum.
    4. Dalam hal pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dilanjutkan sebagaimana dimaksud pada huruf c, jangka waktu pemeriksaan diperpanjang dengan paling lama 3 (tiga) bulan.
    5. Dalam hal susunan tim Pemeriksa Pajak mengalami perubahan, pelaksanaan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada huruf d, dilakukan setelah diterbitkan Surat Tugas kepada Pemeriksa Pajak yang ditunjuk.
   
   
V. LEMBAR PENUGASAN PEMERIKSAAN (LP2) DAN KODE PEMERIKSAAN
A. Lembar Penugasan Pemeriksaan (LP2)
  1. LP2 diterbitkan berdasarkan :
    1. Penugasan pemeriksaan/persetujuan pemeriksaan/instruksi pemeriksaan;atau
    2. Surat Permintaan Pemeriksaan Lokasi.
  2. LP2 merupakan sarana untuk melakukan pengawasan pemeriksaan sehingga bukan merupakan dasar dilakukannya pemeriksaan. Dasar dilakukannya pemeriksaan adalah penugasan/persetujuan/instruksi pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada angka 1 huruf a dan huruf b.
  3. Untuk kepentingan pengawasan pemeriksaan, setiap Surat Perintah Pemeriksaan baik untuk seluruh jenis pajak maupun untuk satu atau beberapa jenis pajak harus memiliki LP2.
  4. Surat Perintah Pemeriksaan yang tidak harus memiliki LP2 hanya meliputi Surat Perintah Pemeriksaan atas Wajib Pajak yang belum memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
  5. Format LP2 terdiri dari tiga bagian yaitu Data Pemeriksaan, Data Penugasan, dan Data Pelaporan.
  6. Data Pemeriksaan adalah data yang tercantum dalam LP2 yang terkait dengan dasar dilakukannya pemeriksaan, yang meliputi :
    1. Nomor Pengawasan Pemeriksaan (Nomor LP2);
    2. Tahun Pajak Yang Diperiksa;
    3. Nama Wajib Pajak;
    4. Nomor Pokok Wajib Pajak;
    5. Kode Pemeriksaan dan;
    6. Unit Pelaksana Pemeriksaan.
  7. Data Penugasan adalah data yang termuat dalam LP2 yang menunjuk pihak yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pemeriksaan, yang meliputi :
    1. Nomor Surat Perintah Pemeriksaan (SP2);
    2. Tanggal Surat Perintah Pemeriksaan (SP2) dan;
    3. Susunan tim Pemeriksa Pajak yaitu Supervisor, Ketua Tim, dan Anggota Tim.
  8. Data Pelaporan adalah data yang tertulis dalam LP2 yang menunjukkan status dan hasil (kinerja) pemeriksaan, yang meliputi :
    1. Nomor dan Tanggal Laporan Hasil Pemeriksaan;
    2. Jumlah Jam Pemeriksaan dan;
    3. Hasil Pemeriksaan.
  9. Format LP2 secara terinci dapat dilihat pada Lampiran 27.
  10. Nomor Pengawasan Pemeriksaan atau Nomor LP2 terdiri dari 15 (lima belas) digit yang terbagi dalam 4 (empat) bagian dengan struktur sebagai berikut :

    0 0 0 . M M Y Y . 0 0 0 0 . 0 0 0 0
    -----   ---------    -------   -------
       A          B             C            D
            

    • Bagian A terdiri dari 3 (tiga) digit yang menjelaskan Kode Unit Pelaksana Pemeriksaan.
    • Bagian B terdiri dari 4 (empat) digit yang menjelaskan Kode Bulan dan Kode Tahun Penerbitan LP2 masing-masing 2 digit.
    • Bagian C terdiri dari 4 (empat) digit yang menjelaskan Kode Pemeriksaan.
    • Bagian D terdiri dari 4 (empat) digit yang menjelaskan nomor urut LP2 yang terbit di Unit Pelaksana Pemeriksaan yang bersangkutan dalam tahun penerbitan LP2.
   
B. Daftar Kode Pemeriksaan
  1. Setiap usulan pemeriksaan harus dilakukan berdasarkan kriteria pemeriksaan dan alasan pemeriksaan  yang sesuai dan dikonversikan dalam bentuk Kode Pemeriksaan.
  2. Kode Pemeriksaan mencerminkan alasan dilakukannya pemeriksaan dan harus dicantumkan dalam setiap penugasan/persetujuan/instruksi pemeriksaan.
  3. Struktur Kode Pemeriksaan terdiri dari 4 (empat) digit dengan pengelompokkan sebagai berikut :
    • Digit pertama menunjukkan Jenis Pajak/Ruang Lingkup Pemeriksaan;
    • Digit kedua menunjukkan Kriteria dan Jenis Pemeriksaan;
    • Digit ketiga menunjukkan Alasan Pemeriksaan;dan
    • Digit keempat menunjukkan Jenis Wajib Pajak yang diperiksa.
  4. Digit pertama menunjukkan Jenis Pajak/Ruang Lingkup terdiri dari :
    • 1 --> Semua Jenis Pajak (All Taxes)
    • 2 --> Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
    • 3 --> Pajak Penghasilan Pemotongan dan Pemungutan
    • 4 --> Pajak Penghasilan Pasal 25/29
    • 5 --> Administrasi (Untuk Pemeriksaan Tujuan Lain)
    • 6 --> WP Lokasi
    • 7 --> Pajak Penghasilan Pasal 21/26
    • 8 --> Pajak Penghasilan Pasal 23/26
    • 9 --> Pajak Penghasilan Final
    • 0 --> Beberapa Jenis Pajak (kode ini digunakan jika yang diperiksa adalah PPN dan PPh Potput secara sekaligus atau seluruh kewajiban perpajakan cabang dilakukan pemeriksaan) 
  5. Digit kedua menunjukkan Kriteria dan Jenis Pemeriksaan terdiri dari :
    • 0 --> Pemeriksaan Rutin dengan Jenis Pemeriksaan Kantor
    • 1 --> Pemeriksaan Rutin dengan Jenis Pemeriksaan Lapangan
    • 2 --> Pemeriksaan Tujuan Lain dengan Jenis Pemeriksaan Lapangan
    • 4 --> Pemeriksaan Khusus berdasarkan Analisis Risiko Secara Komputerisasi dengan Jenis Pemeriksaan Lapangan    
    • 5 --> Pemeriksaan Tujuan Lain dengan Jenis Pemeriksaan Kantor
    • 9 --> Pemeriksaan Khusus berdasarkan Analisis Risiko secara Manual dengan Jenis Pemeriksaan Lapangan 
  6. Digit ketiga menunjukkan Alasan Pemeriksaan yang meliputi :
    1. Jika Kriteria dan Jenis Pemeriksaannya (digit kedua) adalah Pemeriksaan Rutin dengan Jenis Pemeriksaan Kantor (0), maka kode untuk digit ketiga ditentukan sebagai berikut:
      • 1 --> Perubahan Tahun Buku atau Metode Pembukuan oleh WP Go Public
      • 2 --> Likuidasi atau Penutupan Usaha oleh WP Go Public
      • 3 --> Penggabungan Usaha oleh WP Go Public
      • 4 --> Peleburan usaha atau Pengambilalihan usaha oleh WP Go Public
      • 5 --> Pemecahan usaha atau Pemekaran Usaha oleh WP Go Public
      • 7 --> SPT Tahunan PPh Rugi Tidak Lebih Bayar oleh WP Go Public
      • 8 --> SPT Lebih Bayar (LB) Restitusi/Kompensasi
      • 9 --> Revaluasi Aktiva Tetap oleh WP Go Public
    2. Jika Kriteria dan Jenis Pemeriksaannya (digit kedua) adalah Pemeriksaan Rutin dengan Jenis Pemeriksaan Lapangan (1), maka kode untuk digit ketiga ditentukan sebagai berikut :
      • 1 --> Perubahan Tahun Buku atau Metode Pembukuan
      • 2 --> Likuidasi, Penutupan Usaha atau Akan Meninggalkan Indonesia selama - lamanya
      • 3 --> Penggabungan Usaha
      • 4 --> Peleburan usaha atau Pengambilalihan usaha
      • 5 --> Pemecahan usaha atau Pemekaran usaha
      • 7 --> SPT Tahunan PPh Rugi Tidak Lebih Bayar (RTLB)
      • 8 --> SPT Lebih Bayar (LB) Restitusi/Kompensasi
      • 9 --> Revaluasi Aktiva Tetap
    3. Jika Kriteria dan Jenis Pemeriksaannya (digit kedua) adalah Pemeriksaan Khusus berdasarkan Analisis Risiko Secara Komputerisasi dengan Jenis Pemeriksaan Lapangan (4), kode digit ketiga ditentukan sebagai berikut :
      • 1 --> Wajib Pajak Besar
      • 2 --> Wajib Pajak Menengah
      • 3 --> Wajib Pajak Kecil
    4. Jika Kriteria dan Jenis Pemeriksaannya (digit kedua) adalah Pemeriksaan Khusus berdasarkan Analisis Risiko Secara Manual dengan Jenis Pemeriksaan Lapangan (9), kode digit ketiga ditentukan maka :
      • 1 --> terdapat data dan/atau informasi yang menunjukkan ketidakpatuhan Wajib Pajak (bottom up)
      • 2 --> pertimbangan Dirjen Pajak selain permintaan WP (top down)
      • 3 --> laporan dan/atau pengaduan masyarakat hasil analisis Direktorat Intelijen dan Penyidikan (top down)
      • 4 --> pertimbangan Dirjen Pajak karena Permintaan WP (top down)
      • 5 --> laporan dan/atau pengaduan masyarakat hasil analisis KPP/Kanwil (bottom up)
      • 6 --> terdapat data dan/atau informasi terkait dengan Wajib Pajak Kriteria Tertentu Pasal 17C UU KUP dan Wajib Pajak Persyaratan Tertentu Pasal 17 D UU KUP (bottom up)
      • 8 --> terdapat laporan dan/atau pengaduan Masyarakat terkait dengan Wajib Pajak Kriteria Tertentu Pasal 17C UU KUP dan Wajib Pajak Persyaratan Tertentu Pasal 17D UU KUP (bottom up)
      • 9 --> Pemeriksaan Khusus dalam rangka pemeriksaan ulang 
  7. Digit keempat menunjukkan Jenis Wajib Pajak yang meliputi :
    • 1 --> Orang Pribadi
    • 2 --> Badan
  8. Berdasarkan struktur tersebut di atas, Kode Pemeriksaan untuk masing-masing kriteria dan jenis pemeriksaan ditentukan sebagai berikut :

a. Kode Pemeriksaan Rutin :

No Alasan Pemeriksaan Jenis Pemeriksaan
Pemeriksaan 
Kantor 
Pemeriksaan
Lapangan
OP Badan OP Badan
1. Perubahan Tahun Buku/Metode Pembukuan   0012 0111 0112
2. Likuidasi atau Penutupan Usaha :
a. Domisili
b. Cabang
   
1022
0022
 
1121 
0121
 
1122
0122
3. WP OP Akan Meninggalkan Indonesia selama- lamanya     1121  
4. Penggabungan Usaha   1032 1131 1132
5. Peleburan usaha atau Pengambilalihan Usaha   1042 1141 1142
6. Pemecahan Usaha atau Pemekaran Usaha   1052 1151 1152
7. SPT Tahunan PPh Rugi Tidak Lebih Bayar   1072 1171 1172
8. SPT Lebih Bayar :
a. SPT Tahunan PPh Badan/OP (All Taxes)
b. Masa PPN

1081
2181

1082
2182 

1181
2181

1182
2182
9. Revaluasi Aktiva Tetap   1092 1191 1192

b. Kode Pemeriksaan Khusus berdasarkan Analisis Risiko Secara Komputerisasi
No Kriteria Pemeriksaan Jenis Pemeriksaan
Pemeriksaan 
Kantor 
Pemeriksaan
Lapangan
OP Badan OP Badan
1. WP Besar      1411 1412
2. WP Menengah     1421 1422
3. WP Kecil      1431 1432

c. Kode Pemeriksaan Khusus berdasarkan Analisis Risiko Secara Manual
No Alasan Pemeriksaan Jenis Pemeriksaan
Pemeriksaan 
Kantor 
Pemeriksaan
Lapangan
OP Badan OP Badan
1. Terdapat data dan informasi yang menunjukkan  ketidakpatuhan WP                
a. All Taxes                    
b. PPN                       
c. P2PPh                    
d. PPh Pasal 21/26                
e. PPh Pasal 23/26                
f. PPh final                    
g. Beberapa Jenis Pajak          
   
 
1911
2911
3911
7911
8911
9911
0911


1912
2912
3912
7912
8912
9912
0912
2. Pertimbangan Direktur Jenderal Pajak Selain karena Permintaan WP      1921 1922
3. Laporan dan Pengaduan Masyarakat hasil analisis Direktorat Intelijen dan Penyidikan     1931 1932 
4. Pertimbangan Direktur Jenderal Pajak karena Permintaan Wajib Pajak     1941 1942
5. Laporan dan Pengaduan Masyarakat hasil analisis KPP/Kanwil      1951 1952
6. Terdapat data dan/atau informasi terkait dengan Wajib Pajak Kriteria Tertentu Pasal 17C UU KUP dan Wajib Pajak Persyaratan Tertentu Pasal 17D UU KUP
a. All taxes
b. PPN
   


1961
2961



1962
2962
7. Terdapat laporan dan/atau pengaduan terkait dengan Wajib Pajak Kriteria Tertentu Pasal 17C UU KUP dan Wajib Pajak Persyaratan Tertentu Pasal 17D UU KUP
a. All taxes
b. PPN 
   


1981
2981



1982
2982
8. Pemeriksaan Pemsus dalam rangka pemeriksaan ulang
a. All Taxes 
b. PPN
c. P2PPh
d. PPh Pasal 21/26
e. PPh Pasal 23/26
f. PPh final
g. Beberapa Jenis Pajak
   
1991
2991
3991
7991
8991
9991
0991

1992
2992
3992
7992
8992
9992
0992

d. Kode Pemeriksaan WP Lokasi :
Kode Pemeriksaan WP Lokasi disesuaikan dengan Kriteria Pemeriksaan WP Domisili, namun digit pertama dari setiap kode pemeriksaan diganti dengan angka 6.
Contoh :
  1. Wajib Pajak Badan Domisili diperiksa dalam rangka Pemeriksaan Rutin-Pemeriksaan Lapangan Lebih Bayar (kode 1182), maka kode pemeriksaan WP Lokasi adalah 6182.
  2. Wajib Pajak Badan Domisili diperiksa dalam rangka Pemeriksaan Khusus-Pemeriksaan Lapangan karena Pertimbangan Direktur Jenderal Pajak (kode 1922), maka kode pemeriksaan WP Lokasi adalah 6922.



Dengan berlakunya Surat Edaran ini, Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak nomor :
  1. SE-02/PJ.7/2005 tentang Kebijakan Pemeriksaan Berdasar Kriteria Seleksi;
  2. SE-03/PJ.7/2005 tentang Kebijakan Pemeriksaan Rutin;
  3. SE-01/PJ.7/2006 tentang Kebijakan Umum Pemeriksaan;
  4. SE-10/PJ.7/2006 tentang Penegasan atas Pembahasan Hasil Pemeriksaan
  5. SE-02/PJ.04/2007 tentang Kebijakan Pemeriksaan Khusus; dan
  6. SE-04/PJ.04/2007 tentang Rencana Pemeriksaan Nasional dan Kebijakan Umum Pemeriksan Tahun 2007,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.


Demikian Surat Edaran ini disampaikan untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.




Direktur Jenderal

ttd.

Darmin Nasution
NIP 130605098


Tembusan :
  1. Sekretaris Direktorat Jenderal Pajak
  2. Para Direktur dan Tenaga Pengkaji
  3. Kepala Pusat Pengolahan Data dan Dokumen Perpajakan.