Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 7/PMK.03/2015
Tata Cara Pembentukan Dan Pelaksanaan Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement)
Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.
PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 7/PMK.03/2015
TENTANG
TATA CARA PEMBENTUKAN DAN PELAKSANAAN KESEPAKATAN
HARGA TRANSFER (ADVANCE PRICING AGREEMENT)
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
- bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 18 ayat (3a) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 diatur bahwa Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk melakukan perjanjian dengan Wajib Pajak dan bekerja sama dengan pihak otoritas pajak negara lain untuk menentukan harga transaksi antar pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa yang berlaku selama suatu periode tertentu dan mengawasi pelaksanaannya serta melakukan renegosiasi setelah periode tertentu tersebut berakhir;
- bahwa perjanjian antara Direktur Jenderal Pajak dengan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam huruf a dimaksudkan untuk memberikan kepastian dan menghindari terjadinya kesalahan dalam rangka penentuan harga transaksi antar pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa;
- bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 59 Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata Cara Pembentukan dan Pelaksanaan Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement);
Mengingat :
- Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
- Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
- Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 162, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5268);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN DAN PELAKSANAAN KESEPAKATAN HARGA TRANSFER (ADVANCE PRICING AGREEMENT).
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. | Undang-Undang adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang. |
2. | Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra adalah negara atau yurisdiksi yang terikat dengan Pemerintah Indonesia dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda. |
3. | Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang selanjutnya disebut P3B adalah perjanjian antara Pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara mitra atau yurisdiksi mitra untuk mencegah terjadinya pengenaan pajak berganda dan pengelakan pajak. |
4. | Otoritas Pajak Negara Mitra atau Otoritas Pajak Yurisdiksi Mitra yang selanjutnya disebut Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra adalah otoritas perpajakan pada Negara Mitra atau otoritas perpajakan pada Yurisdiksi Mitra yang berwenang melaksanakan ketentuan dalam P3B. |
5. | Prosedur Persetujuan Bersama (Mutual Agreement Procedure) yang selanjutnya disebut MAP adalah prosedur administratif yang diatur dalam P3B untuk menyelesaikan permasalahan yang timbul dalam penerapan P3B. |
6. | Persetujuan Bersama adalah hasil yang telah disepakati dalam penerapan P3B oleh pejabat yang berwenang dari Pemerintah Indonesia dan pemerintah Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra sehubungan dengan MAP yang telah dilaksanakan. |
7. | Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement) yang selanjutnya disebut APA adalah perjanjian tertulis antara:
|
8. | Hubungan Istimewa adalah hubungan istimewa sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 dan perubahannya atau Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya. |
9. | Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (arm’s length principle (ALP)) yang selanjutnya disebut Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha adalah prinsip yang menyatakan bahwa apabila kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa sama atau sebanding dengan kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa yang dijadikan sebagai pembanding, harga atau laba dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dimaksud harus sama dengan atau berada dalam rentang harga atau rentang laba dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa yang dijadikan sebagai pembanding. |
10. | Harga Wajar atau Laba Wajar adalah harga atau laba yang terjadi atas transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa dalam kondisi yang sebanding atau harga atau laba yang ditentukan sebagai harga atau laba yang memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha. |
11. | Penentuan Harga Transfer atau Transfer Pricing yang selanjutnya disebut Transfer Pricing adalah penentuan harga dalam transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa. |
12. | Analisis Kesebandingan adalah analisis yang dilakukan oleh Wajib Pajak atau Direktur Jenderal Pajak atas kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa untuk diperbandingkan dengan kondisi yang sebanding dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa, dan analisis untuk mengidentifikasi atas perbedaan kondisi dalam kedua jenis transaksi dimaksud. |
13. | Naskah APA adalah dokumen yang berisi kesepakatan antara Direktur Jenderal Pajak dengan Wajib Pajak di Indonesia mengenai penentuan harga transfer dan kriteria-kriteria dalam penentuan harga transfer untuk tahun pajak selama jangka waktu APA. |
(1) | Pengajuan APA dapat dilakukan oleh:
|
(2) | Wajib Pajak dalam negeri Indonesia dan Wajib Pajak luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat mengajukan APA sepanjang telah beroperasi atau melakukan kegiatan usaha di Indonesia paling singkat selama 3 (tiga) tahun. |
(3) | Pengajuan APA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan melalui Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra. |
(4) | Pengajuan APA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi seluruh atau sebagian transaksi yang dilakukan oleh Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa. |
(1) | APA berlaku dan mengikat bagi:
|
(2) | APA paling sedikit memuat:
|
Jangka waktu pemberlakuan APA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dapat diberikan:
- paling lama 3 (tiga) tahun pajak; atau
- paling lama 4 (empat) tahun pajak, untuk APA yang pembahasannya melibatkan Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2).
(1) | Tahapan pembentukan APA meliputi:
|
(2) | Dalam hal APA diajukan oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b, tahapan pembentukan APA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap harus dipenuhi oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a yang terkait dengan permohonan APA. |
Bagian Kesatu
Pembicaraan Awal
Pasal 6
(1) | Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a mengajukan permohonan pembicaraan awal secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak dengan mencantumkan transaksi dan tahun pajak yang akan dicakup dalam APA. |
(2) | Wajib Pajak yang mengajukan permohonan pembicaraan awal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menyampaikan pernyataan kesediaan secara tertulis untuk menyediakan seluruh dokumen yang diperlukan dalam proses permohonan APA, dan melengkapi dokumen pendukung sebagai berikut:
|
(3) | Permohonan pembicaraan awal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus:
|
(4) | Permohonan pembicaraan awal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diajukan paling lambat 6 (enam) bulan sebelum dimulainya tahun pajak yang akan dicakup dalam APA. |
(1) | Dalam hal pengajuan APA dilakukan oleh Wajib Pajak dalam negeri Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b melalui Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3), Direktur Jenderal Pajak menyampaikan surat pemberitahuan kepada Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a yang terkait dengan permohonan APA. |
(2) | Dalam hal Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a yang terkait dengan permohonan APA menyetujui permohonan APA yang diajukan oleh Wajib Pajak dalam negeri Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a yang terkait dengan permohonan APA mengajukan permohonan pembicaraan awal sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6. |
(3) | Direktur Jenderal Pajak menolak permohonan APA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam hal Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a yang terkait dengan permohonan APA tidak menyetujui permohonan APA yang diajukan oleh Wajib Pajak dalam negeri Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra. |
(1) | Direktur Jenderal Pajak melakukan pembicaraan awal dengan Wajib Pajak untuk:
|
(2) | Atas permohonan pembicaraan awal dari Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), Direktur Jenderal Pajak melakukan evaluasi dan menentukan jadwal pembicaraan awal dengan Wajib Pajak. |
(3) | Pembicaraan awal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan lebih dari 1 (satu) kali. |
(4) | Dalam rangka pembicaraan awal, Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan peninjauan ke tempat kegiatan usaha Wajib Pajak untuk melengkapi data atau informasi yang diperlukan. |
(1) | Pembicaraan awal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 digunakan sebagai dasar pertimbangan dalam pembahasan APA. |
(2) | Pembicaraan awal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengikat Direktur Jenderal Pajak atau Wajib Pajak untuk menindaklanjuti ke tahap pembahasan APA. |
Bagian Kedua
Undangan Pengajuan Permohonan APA
Pasal 10
(1) | Dalam hal berdasarkan hasil pembicaraan awal sebagaimana dimaksud dalam Pasal Pasal 8 Direktur Jenderal Pajak memutuskan bahwa pembicaraan awal dapat ditindaklanjuti ke tahap pembahasan APA, Direktur Jenderal Pajak menyampaikan surat undangan kepada Wajib Pajak untuk mengajukan permohonan APA. |
(2) | Surat undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan dalam jangka waktu paling lambat 1 (satu) bulan sebelum dimulainya tahun pajak yang akan dicakup dalam APA. |
(3) | Dalam hal berdasarkan hasil pembicaraan awal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 Direktur Jenderal Pajak memutuskan bahwa pembicaraan awal dengan Wajib Pajak tidak dapat ditindaklanjuti ke tahap pembahasan APA, Direktur Jenderal Pajak menyampaikan surat pemberitahuan kepada Wajib Pajak yang menyatakan bahwa Wajib Pajak tidak dapat mengajukan permohonan APA. |
(4) | Surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan dalam jangka waktu paling lambat 1 (satu) bulan sebelum berakhirnya tahun pajak yaitu tahun diajukannya permohonan pembicaraan awal APA oleh Wajib Pajak. |
Bagian Ketiga
Permohonan APA
Pasal 11
(1) | Berdasarkan undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1), Wajib Pajak dapat menyampaikan permohonan APA kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Direktur Peraturan Perpajakan II dengan mencantumkan informasi sebagai berikut:
|
(2) | Permohonan APA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
|
(3) | Permohonan APA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilengkapi dengan dokumen pendukung meliputi:
|
(4) | Permohonan APA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus diterima oleh Direktur Peraturan Perpajakan II paling lambat pada akhir tahun pajak sebelum dimulainya tahun pajak yang dicakup dalam APA. |
(5) | Dalam hal batas waktu diterimanya permohonan APA dan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (4) terlampaui sampai dengan paling lama 1 (satu) tahun, tahun pajak yang dicakup dalam APA menjadi berkurang 1 (satu) tahun pajak. |
(6) | Dalam hal batas waktu diterimanya permohonan APA dan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (5) terlampaui, permohonan APA tidak dapat ditindaklanjuti ke tahap pembahasan APA. |
Bagian Keempat
Pembahasan APA
Pasal 12
(1) | Berdasarkan permohonan APA, Direktur Jenderal Pajak membentuk tim pembahas APA. |
(2) | Tim pembahas APA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal dari unsur-unsur pegawai negeri sipil di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak, dan/atau tenaga ahli yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak. |
(3) | Tim pembahas APA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain mempunyai tugas:
|
(4) | Pembahasan APA dengan Wajib Pajak meliputi:
|
(5) | Pembahasan APA sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan dengan memenuhi standar analisis dan evaluasi yang meliputi standar umum analisis dan evaluasi, standar pelaksanaan analisis dan evaluasi, dan standar pelaporan hasil analisis dan evaluasi. |
(1) | Dalam hal berdasarkan pembahasan APA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (4) diketahui dapat menyebabkan terjadinya pengenaan pajak berganda, Direktur Jenderal Pajak dapat:
|
(2) | Dalam hal pembahasan APA melibatkan Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra, pembahasan APA dilakukan sesuai dengan perundang-undangan yang mengatur mengenai MAP. |
(1) | Terhadap hasil analisis dan evaluasi permohonan APA, tim pembahas APA menyampaikan usulan rekomendasi APA kepada Direktur Jenderal Pajak. |
(2) | Direktur Jenderal Pajak membahas usulan rekomendasi APA dari tim pembahas APA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersama dengan tim quality assurance. |
(3) | Tim quality assurance sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan tim yang dibentuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk membahas usulan rekomendasi APA sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
(4) | Berdasarkan hasil pembahasan usulan rekomendasi APA antara Direktur Jenderal Pajak dengan tim quality assurance, Direktur Jenderal Pajak memutuskan untuk menyetujui atau tidaknya usulan rekomendasi APA dimaksud. |
(5) | Dalam hal pembahasan APA melibatkan Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra, hasil pembahasan Direktur Jenderal Pajak dengan tim quality assurance sebagaimana dimaksud pada ayat (4) digunakan sebagai posisi runding Direktorat Jenderal Pajak dalam melakukan MAP. |
(1) | Pembahasan APA dilaksanakan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak permohonan APA diterima. |
(2) | Dalam hal pembahasan APA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memerlukan perpanjangan waktu mengingat adanya pengajuan pemeriksaan tujuan lain dalam rangka analisis dan evaluasi atas permohonan APA, perpanjangan waktu pembahasan APA dimaksud dapat dilakukan paling lama 1 (satu) tahun sejak berakhirnya jangka waktu pembahasan APA sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
(3) | Dalam hal pembahasan APA melibatkan Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra, jangka waktu pembahasan APA dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam MAP. |
(1) | Hasil pembahasan APA berupa kesepakatan antara Direktur Jenderal Pajak dengan Wajib Pajak atau tidak dicapai kesepakatan antara Direktur Jenderal Pajak dengan Wajib Pajak. |
(2) | Dalam hal APA melibatkan Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra, kesepakatan yang dicapai sebagai hasil pembahasan APA dituangkan dalam Persetujuan Bersama. |
(3) | Dalam hal hasil pembahasan APA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa tidak dicapai kesepakatan, permohonan APA dianggap batal. |
(4) | Dalam hal APA yang melibatkan Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra tidak menghasilkan Persetujuan Bersama, tindak lanjut pembahasan APA berupa:
|
Bagian Kelima
Naskah APA
Pasal 17
(1) | Hasil pembahasan APA yang berupa kesepakatan antara Direktur Jenderal Pajak dengan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) ditindaklanjuti dengan penyusunan Naskah APA. |
(2) | Naskah APA ditandatangani oleh Direktur Jenderal Pajak dan Wajib Pajak. |
(3) | Naskah APA paling sedikit memuat:
|
Direktur Jenderal Pajak menerbitkan keputusan yang berisi mengenai Naskah APA dan pelaksanaan Naskah APA tersebut.
BAB IV
PELAKSANAAN, EVALUASI, DAN PEMBARUAN (RENEWAL) APA
Bagian Kesatu
Pelaksanaan APA
Pasal 19
(1) | APA diberlakukan terhitung sejak tahun pajak saat Naskah APA disepakati. |
(2) | Dalam hal APA melibatkan Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra, APA diberlakukan sesuai dengan hasil Persetujuan Bersama. |
Bagian Kedua
Evaluasi APA
Pasal 20
(1) | Wajib Pajak wajib menyampaikan laporan kepatuhan tahunan (annual compliance report) kepada Direktur Jenderal paling lambat 4 (empat) bulan setelah berakhirnya tahun pajak. |
(2) | Dalam hal Naskah APA yang disusun berdasarkan Persetujuan Bersama menyepakati cakupan tahun pajak sebelum ditandatanganinya Naskah APA, penyampaian laporan kepatuhan tahunan yang meliputi tahun pajak sebelum tahun pajak ditandatanganinya Naskah APA disampaikan paling lambat 4 (empat) bulan setelah bulan ditandatanganinya Naskah APA. |
(3) | Laporan kepatuhan tahunan (annual compliance report) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berisi kesesuaian pelaksanaan APA dalam kegiatan atau usaha Wajib Pajak kepada Direktur Jenderal Pajak untuk seluruh tahun pajak yang dicakup dalam APA, dan harus memuat:
|
(4) | Faktor-faktor yang mempengaruhi asumsi kritikal (critical assumptions) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c antara lain:
|
(5) | Dalam hal terjadi faktor-faktor yang mempengaruhi asumsi kritikal (critical assumptions) sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Wajib Pajak harus menyampaikan pemberitahuan kepada Direktur Jenderal Pajak. |
(6) | Wajib Pajak dapat menyampaikan permohonan peninjauan ulang atau permohonan pembatalan APA dalam hal terjadi faktor-faktor sebagaimana dimaksud pada ayat (4), paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak timbulnya faktor-faktor dimaksud. |
(1) | Direktur Jenderal Pajak melakukan evaluasi atas laporan kepatuhan tahunan (annual compliance report) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20. |
(2) | Direktur Jenderal Pajak dapat meninjau kembali atau membatalkan APA dalam hal:
|
(3) | Dalam hal Direktur Jenderal Pajak meninjau kembali atau membatalkan APA sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Direktur Jenderal Pajak mengirimkan surat pemberitahuan peninjauan kembali atau pembatalan kepada Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a atau kepada Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra. |
(4) | Dalam hal Direktur Jenderal Pajak dan Wajib Pajak melakukan peninjauan kembali Naskah APA, hasil peninjauan kembali dimaksud dituangkan dalam perubahan Naskah APA dan ditandatangani oleh Direktur Jenderal Pajak dan Wajib Pajak. |
(5) | Dalam hal Direktur Jenderal Pajak memutuskan dilakukan peninjauan kembali Naskah APA sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Direktur Jenderal Pajak menerbitkan keputusan mengenai perubahan atas keputusan penerbitan Naskah APA dan pelaksanaan Naskah APA. |
(6) | Dalam hal Direktur Jenderal Pajak memutuskan dilakukan pembatalan APA, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan keputusan mengenai pencabutan atas keputusan penerbitan Naskah APA dan pelaksanaan Naskah APA. |
Bagian Ketiga
Pembaruan (Renewal) APA
Pasal 22
(1) | Pembaruan (renewal) APA dapat dilakukan pada tahun pajak terakhir berlakunya APA. |
(2) | Pengajuan pembaruan (renewal) APA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperlakukan sama dengan pengajuan APA sesuai tahapan pembentukan APA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5. |
(3) | Dalam rangka melakukan pembaruan (renewal) APA, Direktur Jenderal Pajak mempertimbangkan kesepakatan-kesepakatan dalam APA yang dilakukan pembaruan (renewal). |
(1) | Direktur Jenderal Pajak melakukan dokumentasi atas seluruh tahapan dalam pelaksanaan pembentukan APA, termasuk:
|
(2) | Dokumen atau informasi yang disampaikan oleh Wajib Pajak dalam pembentukan APA merupakan kerahasiaan Wajib Pajak yang dilarang untuk diberitahukan kepada pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 Undang-Undang. |
(3) | Dalam hal proses pembentukan APA tidak dicapai kesepakatan antara Direktur Jenderal Pajak dengan Wajib Pajak atau Direktur Jenderal Pajak membatalkan APA, dokumen Wajib Pajak yang dipergunakan selama proses pembentukan APA harus dikembalikan kepada Wajib Pajak. |
(4) | Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat digunakan oleh Direktur Jenderal Pajak sebagai dasar untuk melakukan pemeriksaan, pemeriksaan bukti permulaan, atau penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan. |
BAB VI
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 24
(1) | APA tidak menghalangi Direktur Jenderal Pajak untuk melaksanakan pemeriksaan, pemeriksaan bukti permulaan, atau penyidikan pajak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
(2) | Dalam hal APA yang melibatkan Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra berakibat pada pembetulan surat ketetapan pajak atau surat keputusan keberatan, pembetulan surat ketetapan pajak atau surat keputusan keberatan dimaksud dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
(3) | Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (4), untuk permintaan dan/atau perolehan dokumen yang diperlukan oleh Direktur Jenderal Pajak pada saat melakukan pemeriksaan, pemeriksaan bukti permulaan, atau penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, permintaan dan/atau perolehan dokumen dimaksud dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
(1) | Dalam hal diperlukan, Direktur Jenderal Pajak dapat menghadirkan tenaga ahli di luar Direktorat Jenderal Pajak pada tahapan pembentukan APA. |
(2) | Dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak, Wajib Pajak dapat menghadirkan tenaga ahli pada tahapan pembentukan APA. |
BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 26
Dengan berlakunya Peraturan Menteri ini, terhadap pengajuan APA yang telah diterima oleh Direktur Jenderal Pajak sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini dan belum diterbitkan Naskah APA, dilakukan pemrosesan lebih lanjut berdasarkan Peraturan Menteri ini.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 27
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan tim pembahas dan tim quality assurance, dan tahap pembentukan APA, serta pelaksanaan, evaluasi, dan pembaruan (renewal) APA diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
Peraturan Menteri ini berlaku setelah 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 12 Januari 2015 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, ttd. BAMBANG P.S. BRODJONEGORO |
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 12 Januari 2015
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
YASONNA H. LAOLY
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 39
Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.