Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 189/PMK.03/2020
Tata Cara Pelaksanaan Penagihan Pajak Atas Jumlah Pajak Yang Masih Harus Dibayar
Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.
PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 189/PMK.03/2020
TENTANG
TATA CARA PELAKSANAAN PENAGIHAN PAJAK
ATAS JUMLAH PAJAK YANG MASIH HARUS DIBAYAR
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
- bahwa untuk menjamin pemenuhan hak dan kewajiban bagi penanggung pajak dan Direktorat Jenderal Pajak guna pelaksanaan penagihan pajak, diperlukan pengaturan mengenai tata cara penagihan pajak yang tepat dan berimbang;
- bahwa untuk meningkatkan kemudahan, keseragaman pelaksanaan tindakan penagihan pajak, diperlukan penyederhanaan administrasi tindakan penagihan pajak bagi Direktorat Jenderal Pajak dan penanggung pajak;
- bahwa untuk memberikan kepastian hukum dalam pelaksanaan tindakan penagihan pajak dan simplifikasi peraturan perundang-undangan di bidang penagihan pajak, diperlukan pengaturan baru mengenai tata cara penagihan pajak;
- bahwa ketentuan mengenai tata cara pemblokiran dan penyitaan harta kekayaan penanggung pajak yang tersimpan pada bank untuk penagihan pajak dengan surat paksa sebagaimana telah diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 563/KMK.04/2000 tentang Pemblokiran dan Penyitaan Harta Kekayaan Penanggung Pajak yang Tersimpan pada Bank dalam rangka Penagihan Pajak dengan Surat Paksa, dan ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan penagihan dengan surat paksa dan pelaksanaan penagihan seketika dan sekaligus, telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 24/PMK.03/2008 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penagihan dengan Surat Paksa dan Pelaksanaan Penagihan Seketika dan Sekaligus sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 85/PMK.03/2010 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 24/PMK.03/2008 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penagihan dengan Surat Paksa dan Pelaksanaan Penagihan Seketika dan Sekaligus, sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan administrasi perpajakan sehingga perlu diganti;
- bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf d, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 10A Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa, dan ketentuan Pasal 48 ayat (11) Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata Cara Pelaksanaan Penagihan Pajak atas Jumlah Pajak yang Masih Harus Dibayar;
Mengingat :
- Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
- Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
- Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3686) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 129, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3987);
- Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916);
- Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573);
- Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 162, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5268);
- Peraturan Presiden Nomor 57 Tahun 2020 tentang Kementerian Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 98);
- Peraturan Menteri Keuangan Nomor 217/PMK.01/2018 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 1862) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 229/PMK.01/2019 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 217/PMK.01/2018 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan (Berita Negara Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 1745);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN PENAGIHAN PAJAK ATAS JUMLAH PAJAK YANG MASIH HARUS DIBAYAR.
Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan:
- Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang selanjutnya disebut Undang-Undang KUP adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
- Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
- Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara, atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
- Wajib Pajak adalah orang pribadi atau Badan, meliputi pembayar Pajak, pemotong Pajak, dan pemungut Pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
- Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau Badan yang bertanggung jawab atas pembayaran Pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
- Pemegang Saham Mayoritas adalah pemegang saham yang memiliki saham lebih dari 50% (lima puluh persen) dari keseluruhan saham perusahaan.
- Pemegang Saham Pengendali adalah pemegang saham yang baik langsung maupun tidak langsung memiliki wewenang dalam menentukan kebijaksanaan dan/atau mengambil keputusan dalam rangka menjalankan kegiatan perusahaan.
- Pejabat adalah pejabat yang berwenang mengangkat dan memberhentikan jurusita pajak, menerbitkan surat perintah penagihan seketika dan sekaligus, surat paksa, surat perintah melaksanakan penyitaan, surat pencabutan sita, pengumuman lelang, surat penentuan harga limit, pembatalan lelang, surat perintah penyanderaan, dan surat lain yang diperlukan untuk penagihan Pajak sehubungan dengan Penanggung Pajak tidak melunasi sebagian atau seluruh utang Pajak menurut undang-undang.
- Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak yang selanjutnya disebut Kantor Wilayah adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Pajak yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Direktur Jenderal Pajak.
- Kantor Pelayanan Pajak adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Pajak yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala Kantor Wilayah.
- Jurusita Pajak adalah pelaksana tindakan penagihan Pajak yang meliputi penagihan seketika dan sekaligus, pemberitahuan surat paksa, penyitaan, dan penyanderaan.
- Utang Pajak adalah Pajak yang masih harus dibayar termasuk sanksi administrasi berupa bunga, denda, atau kenaikan yang tercantum dalam surat ketetapan pajak atau surat sejenisnya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
- Biaya Penagihan Pajak adalah biaya pelaksanaan surat paksa, surat perintah melaksanakan penyitaan, pengumuman lelang, pembatalan lelang, jasa penilai, dan biaya lainnya sehubungan dengan penagihan Pajak.
- Surat Teguran, Surat Peringatan, atau surat lain yang sejenis adalah surat yang diterbitkan oleh Pejabat untuk menegur atau memperingatkan kepada Wajib Pajak untuk melunasi utang pajaknya.
- Surat Paksa adalah surat perintah membayar Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak.
- Penagihan Seketika dan Sekaligus adalah tindakan penagihan Pajak yang dilaksanakan oleh Jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran yang meliputi seluruh Utang Pajak dari semua jenis Pajak, masa Pajak, dan tahun Pajak.
- Penyitaan adalah tindakan Jurusita Pajak untuk menguasai barang Penanggung Pajak, guna dijadikan jaminan untuk melunasi Utang Pajak menurut peraturan perundang-undangan.
- Objek Sita adalah barang Penanggung Pajak yang dapat dijadikan jaminan Utang Pajak.
- Barang adalah tiap benda atau hak yang dapat dijadikan Objek Sita.
- Pencegahan adalah larangan yang bersifat sementara terhadap Penanggung Pajak tertentu untuk keluar dari wilayah Negara Republik Indonesia berdasarkan alasan tertentu sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
- Penyanderaan adalah pengekangan sementara waktu kebebasan Penanggung Pajak dengan menempatkannya di tempat tertentu.
- Lembaga Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat LJK adalah lembaga yang melaksanakan kegiatan di sektor perbankan, pasar modal, dan perasuransian sebagaimana diatur dalam Undang-Undang mengenai Otoritas Jasa Keuangan.
- Lembaga Jasa Keuangan Lainnya yang selanjutnya disebut LJK Lainnya adalah lembaga jasa keuangan lainnya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang mengenai Otoritas Jasa Keuangan.
- Entitas Lain adalah badan hukum seperti perseroan terbatas atau yayasan, atau non-badan hukum seperti persekutuan atau trust, yang melaksanakan kegiatan selain di sektor perbankan, pasar modal, dan perasuransian, yang dikategorikan sebagai lembaga keuangan sesuai standar pertukaran informasi berdasarkan perjanjian internasional.
- Rekening Keuangan adalah rekening yang dikelola oleh LJK, LJK Lainnya, dan/atau Entitas Lain, yang meliputi rekening bagi bank, rekening efek dan sub rekening efek bagi perusahaan efek dan bank kustodian, polis asuransi bagi perusahaan asuransi, dan/atau aset keuangan lain bagi LJK Lainnya dan/atau Entitas Lain.
- Pemblokiran adalah tindakan pengamanan Barang milik Penanggung Pajak yang dikelola oleh LJK, LJK Lainnya, dan/atau Entitas Lain, yang meliputi rekening bagi bank, sub rekening efek bagi perusahaan efek dan bank kustodian, polis asuransi bagi perusahaan asuransi, dan/atau aset keuangan lain bagi LJK Lainnya dan/atau Entitas Lain, dengan tujuan agar terhadap Barang dimaksud tidak terdapat perubahan apapun, selain penambahan jumlah atau nilai.
- Bantuan Penagihan Pajak adalah fasilitas bantuan penagihan Pajak yang terdapat di dalam perjanjian internasional yang dapat dimanfaatkan oleh pemerintah Indonesia dan pemerintah negara mitra untuk melakukan penagihan Pajak yang dikenakan oleh negara mitra atau yurisdiksi mitra.
- Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra adalah negara atau yurisdiksi yang terikat dengan pemerintah Indonesia dalam perjanjian internasional.
- Perjanjian Internasional adalah perjanjian bilateral atau multilateral, yang antara lain menyatakan bahwa pemerintah Indonesia telah mengikatkan dirinya dengan Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra, yang mengatur kerja sama mengenai hal-hal yang berkaitan dengan bantuan penagihan perpajakan, meliputi:
- persetujuan penghindaran Pajak berganda; atau
- perjanjian bilateral atau multilateral lainnya.
- Penggabungan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu Badan atau lebih untuk menggabungkan diri dengan Badan lain yang telah ada yang mengakibatkan aktiva dan pasiva dari Badan yang menggabungkan diri beralih karena hukum kepada Badan yang menerima penggabungan dan selanjutnya status Badan yang menggabungkan diri berakhir karena hukum.
- Peleburan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua Badan atau lebih untuk meleburkan diri dengan cara mendirikan satu Badan baru yang karena hukum memperoleh aktiva dan pasiva dari Badan yang meleburkan diri dan status Badan yang meleburkan diri berakhir karena hukum.
- Pemisahan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh Badan untuk memisahkan usaha yang mengakibatkan seluruh aktiva dan pasiva Badan beralih karena hukum kepada dua Badan atau lebih atau sebagian aktiva dan pasiva Badan beralih karena hukum kepada satu Badan atau lebih.
- Pemerintah Daerah adalah pemerintah daerah yang wilayah hukumnya meliputi tempat tindakan penagihan Pajak dilaksanakan.
- Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
- Pengadilan Negeri adalah pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat tindakan penagihan Pajak dilaksanakan.
BAB II
PEJABAT DAN TINDAKAN PENAGIHAN
Bagian Kesatu
Pejabat dan Jurusita Pajak
Pasal 2
(1) | Menteri berwenang menunjuk Pejabat untuk penagihan Pajak pusat. |
(2) | Pejabat yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
|
(3) | Pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berwenang mengangkat dan memberhentikan Jurusita Pajak. |
(4) | Jurusita Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bertugas:
|
Bagian Kedua
Tindakan Penagihan
Pasal 3
(1) | Setiap Wajib Pajak wajib membayar Utang Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. |
(2) | Utang Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi jenis Pajak:
|
(3) | Atas Utang Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wajib Pajak dapat mengangsur atau menunda pembayaran Utang Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tata cara pengangsuran dan penundaan pembayaran Pajak. |
(4) | Dalam hal Wajib Pajak tidak melunasi Utang Pajak yang masih harus dibayar setelah lewat jatuh tempo pelunasan, dilakukan tindakan penagihan Pajak. |
(1) | Tindakan penagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) meliputi:
|
(2) | Pejabat menerbitkan Surat Teguran setelah lewat waktu 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo pembayaran Utang Pajak, dalam hal Wajib Pajak tidak melunasi Utang Pajak. |
(3) | Apabila setelah lewat waktu 21 (dua puluh satu) hari terhitung sejak tanggal Surat Teguran disampaikan, Penanggung Pajak belum melunasi Utang Pajak, Surat Paksa diterbitkan oleh Pejabat dan diberitahukan secara langsung oleh Jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak. |
(4) | Apabila setelah lewat waktu 2 (dua) kali 24 (dua puluh empat) jam sejak tanggal Surat Paksa diberitahukan, Penanggung Pajak belum melunasi Utang Pajak, Pejabat menerbitkan surat perintah melaksanakan Penyitaan dan Jurusita Pajak melaksanakan Penyitaan terhadap Barang milik Penanggung Pajak. |
(5) | Dalam hal Penyitaan dilakukan terhadap harta kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada LJK, LJK Lainnya, dan/atau Entitas Lain, Pejabat melakukan permintaan Pemblokiran terlebih dahulu. |
(6) | Apabila setelah lewat waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal pelaksanaan Penyitaan, Penanggung Pajak belum melunasi Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak, Pejabat melakukan pengumuman lelang atas Barang sitaan yang akan dilelang. |
(7) | Apabila setelah lewat waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal pengumuman lelang, Penanggung Pajak belum melunasi Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak, Pejabat melakukan penjualan Barang sitaan Penanggung Pajak melalui kantor lelang negara. |
(8) | Apabila setelah lewat waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal pelaksanaan Penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) terhadap Barang sitaan yang penjualannya dikecualikan dari penjualan secara lelang, Penanggung Pajak belum melunasi Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak, Pejabat segera menggunakan, menjual, dan/atau memindahbukukan Barang sitaan. |
(9) | Dalam hal telah dilakukan upaya:
|
(10) | Pengusulan Pencegahan dapat dilakukan setelah tanggal Surat Paksa diberitahukan tanpa didahului penerbitan surat perintah melaksanakan Penyitaan, pelaksanaan Penyitaan, atau penjualan Barang sitaan, dalam hal:
|
(11) | Dalam hal terhadap Penanggung Pajak telah dilakukan Pencegahan, Penyanderaan dapat dilakukan terhadap Penanggung Pajak dalam jangka waktu paling cepat 30 (tiga puluh) hari sebelum berakhirnya masa Pencegahan atau berakhirnya masa perpanjangan Pencegahan. |
(12) | Penyanderaan dapat dilakukan setelah lewat waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal Surat Paksa diberitahukan, dalam hal:
|
BAB III
PENANGGUNG PAJAK
Pasal 5
Penagihan Pajak dilakukan terhadap:
- Penanggung Pajak atas Wajib Pajak orang pribadi; atau
- Penanggung Pajak atas Wajib Pajak Badan.
Pelaksanaan tindakan penagihan Pajak terhadap Penanggung Pajak atas Wajib Pajak orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dilakukan terhadap:
- orang pribadi bersangkutan yang bertanggung jawab atas seluruh Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak;
- istri dari Wajib Pajak orang pribadi bersangkutan yang bertanggung jawab atas seluruh Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak, dalam hal pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakannya digabungkan sebagai satu kesatuan;
- salah seorang ahli waris, pelaksana wasiat, atau pihak yang mengurus harta peninggalan, yang bertanggung jawab atas Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak paling banyak sebesar jumlah harta warisan yang belum terbagi, dalam hal Wajib Pajak telah meninggal dunia dan harta warisan belum terbagi;
- para ahli waris yang bertanggung jawab atas Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak paling banyak sebesar porsi harta warisan yang diterima oleh masing-masing ahli waris, dalam hal Wajib Pajak telah meninggal dunia dan harta warisan telah dibagi;
- wali bagi anak yang belum dewasa yang bertanggung jawab atas Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak sebesar:
- paling banyak sebesar jumlah harta anak yang belum dewasa yang berada dalam perwaliannya; atau
- seluruh Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak, dalam hal Pejabat dapat membuktikan bahwa wali yang bersangkutan mendapat manfaat dari pelaksanaan kepengurusan harta tersebut;
- pengampu bagi orang yang berada dalam pengampuan yang bertanggung jawab atas Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak sebesar:
- paling banyak sebesar jumlah harta orang yang berada dalam pengampuannya; atau
- seluruh Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak, dalam hal Pejabat dapat membuktikan bahwa pengampu yang bersangkutan mendapat manfaat dari pelaksanaan kepengurusan harta tersebut.
(1) | Pelaksanaan tindakan penagihan Pajak terhadap Penanggung Pajak atas Wajib Pajak Badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b dilakukan terhadap:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
(2) | Pelaksanaan tindakan penagihan Pajak terhadap pengurus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan terhadap:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
(3) | Termasuk pengertian orang yang nyata-nyata sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a sampai dengan huruf i adalah:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
(4) | Pelaksanaan tindakan penagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dilakukan terhadap Penanggung Pajak atas Wajib Pajak Badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) secara berurutan. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
(5) | Urutan Penanggung Pajak atas Wajib Pajak Badan untuk dilakukan tindakan penagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4), tidak berlaku dalam hal:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
(6) | Dalam hal terdapat perubahan atau penggantian pengurus sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penagihan Pajak dilakukan terlebih dahulu terhadap:
|
BAB IV
SURAT PERINTAH PENAGIHAN SEKETIKA DAN SEKALIGUS,
SURAT TEGURAN, SURAT PAKSA, DAN
SURAT PERINTAH MELAKSANAKAN PENYITAAN
Bagian Kesatu
Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus
Pasal 8
Jurusita Pajak melaksanakan Penagihan Seketika dan Sekaligus berdasarkan surat perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf h, dalam hal:
- Penanggung Pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya atau berniat untuk itu;
- Penanggung Pajak memindahtangankan Barang yang dimiliki atau yang dikuasai untuk menghentikan atau mengecilkan kegiatan perusahaan atau pekerjaan yang dilakukan di Indonesia;
- terdapat tanda-tanda bahwa Badan akan dibubarkan, digabungkan, dimekarkan, dipindahtangankan, atau dilakukan perubahan bentuk lainnya;
- Badan akan dibubarkan oleh negara;
- terjadi Penyitaan atas Barang Penanggung Pajak oleh pihak ketiga; atau
- terdapat tanda-tanda kepailitan.
(1) | Surat perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus dapat diterbitkan:
|
(2) | Surat perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus paling sedikit memuat:
|
Bagian Kedua
Surat Teguran
Pasal 10
(1) | Penagihan Pajak dilakukan dengan terlebih dahulu menerbitkan Surat Teguran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2). |
(2) | Surat Teguran tidak diterbitkan terhadap Penanggung Pajak yang telah mendapat persetujuan untuk mengangsur atau menunda pembayaran Utang Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3). |
Penyampaian Surat Teguran kepada Penanggung Pajak dilakukan:
- secara langsung;
- melalui pos dengan bukti pengiriman surat;
- melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat; atau
- melalui saluran lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
Bagian Ketiga
Surat Paksa
Pasal 12
Surat Paksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) paling sedikit memuat:
- nama Wajib Pajak, atau nama Wajib Pajak dan Penanggung Pajak;
- dasar penagihan Pajak;
- besarnya Utang Pajak; dan
- perintah untuk membayar.
(1) | Surat Paksa diberitahukan oleh Jurusita Pajak dengan pernyataan dan penyerahan salinan Surat Paksa kepada Penanggung Pajak. |
(2) | Pemberitahuan Surat Paksa atas Wajib Pajak orang pribadi dilakukan kepada:
|
(3) | Pemberitahuan Surat Paksa atas Wajib Pajak Badan dilakukan kepada:
|
(4) | Pemberitahuan Surat Paksa atas Wajib Pajak yang dinyatakan pailit dilakukan kepada kurator, hakim pengawas, atau balai harta peninggalan. |
(5) | Pemberitahuan Surat Paksa atas Wajib Pajak yang dinyatakan bubar atau dalam likuidasi, dilakukan kepada orang atau Badan yang dibebani untuk melakukan pemberesan atau likuidator. |
(6) | Pemberitahuan Surat Paksa atas Wajib Pajak yang menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakan, dapat dilakukan kepada penerima kuasa. |
Dalam hal Penanggung Pajak telah diterbitkan Surat Penagihan Seketika dan Sekaligus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf h atau Penanggung Pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana tercantum dalam keputusan persetujuan pengangsuran atau penundaan pembayaran Utang Pajak, Surat Paksa dapat diterbitkan langsung tanpa didahului Surat Teguran.
(1) | Pemberitahuan Surat Paksa kepada pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dilaksanakan dengan cara membacakan isi Surat Paksa oleh Jurusita Pajak. |
(2) | Pemberitahuan Surat Paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam berita acara pemberitahuan Surat Paksa sebagai pernyataan bahwa Surat Paksa telah diberitahukan. |
(3) | Berita acara pemberitahuan Surat Paksa paling sedikit memuat:
|
Dalam rangka mendukung pelaksanaan tindakan penagihan Pajak, Pejabat dapat menerbitkan surat keterangan Penanggung Pajak yang memuat nama yang berkedudukan sebagai Penanggung Pajak pada Surat Paksa, bagi pihak ketiga yang memerlukan.
(1) | Dalam hal pemberitahuan Surat Paksa kepada pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 tidak dapat dilaksanakan, Surat Paksa disampaikan melalui Pemerintah Daerah setempat. |
(2) | Dalam hal Penanggung Pajak tidak diketahui tempat tinggalnya, tempat usaha, atau tempat kedudukannya, penyampaian Surat Paksa dilaksanakan dengan menempelkan Surat Paksa pada papan pengumuman di kantor Pejabat yang menerbitkannya, mengumumkan melalui media massa, atau cara lain. |
(3) | Dalam hal pihak yang dimaksud dalam Pasal 13 menolak untuk menerima Surat Paksa, Jurusita Pajak meninggalkan Surat Paksa dimaksud dan mencatatnya dalam berita acara bahwa Penanggung Pajak menolak untuk menerima Surat Paksa, dan Surat Paksa dianggap telah diberitahukan. |
(1) | Dalam hal pemberitahuan Surat Paksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dilaksanakan di luar wilayah kerja Kantor Wilayah atau Kantor Pelayanan Pajak, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Pajak meminta bantuan kepada Pejabat yang wilayah kerjanya meliputi tempat pemberitahuan Surat Paksa. |
(2) | Dalam hal di 1 (satu) kota terdapat lebih dari 1 (satu) Kantor Wilayah atau Kantor Pelayanan Pajak, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang menerbitkan Surat Paksa dapat memerintahkan Jurusita Pajaknya untuk memberitahukan Surat Paksa di luar wilayah kerjanya sepanjang masih berada di kota setempat. |
(3) | Dalam hal pemberitahuan Surat Paksa harus dilakukan di luar kota tempat kedudukan kantor Pejabat tetapi masih dalam wilayah kerjanya, Pejabat yang menerbitkan Surat Paksa:
|
(4) | Pejabat yang diminta bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) huruf a menyampaikan informasi mengenai pelaksanaan pemberitahuan Surat Paksa kepada Pejabat yang meminta bantuan. |
(5) | Penyampaian informasi mengenai pelaksanaan pemberitahuan Surat Paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilampiri dengan berita acara pelaksanaan Surat Paksa. |
Bagian Keempat
Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan
Pasal 19
(1) | Jurusita Pajak melaksanakan Penyitaan terhadap Objek Sita berdasarkan surat perintah melaksanakan Penyitaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4). |
(2) | Dalam hal Objek Sita berada di luar wilayah kerja Kantor Wilayah atau Kantor Pelayanan Pajak yang menerbitkan Surat Paksa, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Pajak meminta bantuan kepada Pejabat yang wilayah kerjanya meliputi tempat Objek Sita berada untuk melakukan Penyitaan dengan terlebih dahulu menerbitkan surat perintah melaksanakan Penyitaan. |
(3) | Dalam hal di 1 (satu) kota terdapat lebih dari 1 (satu) Kantor Wilayah atau Kantor Pelayanan Pajak, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang menerbitkan Surat Paksa dapat memerintahkan Jurusita Pajaknya untuk melaksanakan Penyitaan terhadap Objek Sita yang berada di luar wilayah kerjanya sepanjang masih berada di kota setempat. |
(4) | Dalam hal Objek Sita berada di luar kota tempat kedudukan kantor Pejabat yang menerbitkan Surat Paksa tetapi masih dalam wilayah kerjanya, Pejabat yang menerbitkan Surat Paksa:
|
(5) | Pejabat yang diminta bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) huruf a memberitahukan pelaksanaan surat perintah melaksanakan Penyitaan kepada Pejabat yang meminta bantuan segera setelah Penyitaan dilaksanakan dengan mengirimkan berita acara pelaksanaan sita. |
BAB V
PENYITAAN DAN PENJUALAN BARANG SITAAN
Bagian Kesatu
Dasar Penyitaan
Pasal 20
(1) | Dalam pelaksanaan Penyitaan, Jurusita Pajak harus:
|
(2) | Jurusita Pajak membuat berita acara pelaksanaan sita atas setiap pelaksanaan Penyitaan. |
(3) | Berita acara pelaksanaan sita ditandatangani oleh Jurusita Pajak, Penanggung Pajak, dan paling sedikit 2 (dua) orang saksi yang telah dewasa, penduduk Indonesia, dikenal oleh Jurusita Pajak, dan dapat dipercaya. |
(4) | Dalam hal Penanggung Pajak menolak untuk menandatangani berita acara pelaksanaan sita, Jurusita Pajak:
|
(5) | Berita acara pelaksanaan sita sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tetap sah serta mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. |
(6) | Dalam hal pelaksanaan Penyitaan tidak dihadiri oleh Penanggung Pajak atau Penanggung Pajak tidak diketahui tempat tinggal, tempat usaha, atau tempat kedudukannya, berita acara pelaksanaan sita ditandatangani oleh Jurusita Pajak dan saksi, dengan syarat salah seorang saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berasal dari Pemerintah Daerah setempat. |
(7) | Berita acara pelaksanaan sita sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tetap sah serta mempunyai kekuatan hukum mengikat. |
(8) | Salinan berita acara pelaksanaan sita dapat ditempelkan pada Barang bergerak dan/atau Barang tidak bergerak yang disita atau di tempat Barang bergerak dan/atau Barang tidak bergerak yang disita berada atau di tempat umum. |
(9) | Salinan berita acara pelaksanaan sita disampaikan kepada Penanggung Pajak dan pihak terkait meliputi:
|
Bagian Kedua
Objek Sita
Pasal 21
(1) | Objek Sita meliputi:
|
||||
(2) | Penyitaan dilakukan terhadap:
|
(1) | Penyitaan dilaksanakan dengan mendahulukan Barang bergerak, kecuali dalam keadaan tertentu dapat dilaksanakan langsung terhadap Barang tidak bergerak. |
(2) | Urutan Barang bergerak dan/atau Barang tidak bergerak yang disita ditentukan oleh Jurusita Pajak dengan memperhatikan jumlah Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak serta kemudahan penjualan atau pencairannya. |
(3) | Penyitaan dilaksanakan sampai dengan jumlah nilai Barang sitaan diperkirakan cukup untuk melunasi Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak. |
Penyitaan tambahan dapat dilaksanakan dalam hal:
- nilai Barang sitaan tidak cukup untuk melunasi Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak; atau
- hasil lelang, penggunaan, penjualan, dan/atau pemindahbukuan Barang sitaan tidak cukup untuk melunasi Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak.
(1) | Barang sitaan dititipkan kepada Penanggung Pajak, kecuali dalam hal menurut Jurusita Pajak Barang sitaan perlu disimpan di kantor Pejabat atau di tempat lain. |
(2) | Dasar pertimbangan Jurusita Pajak untuk menentukan tempat penitipan atau penyimpanan Barang sitaan, diantaranya:
|
(3) | Tempat lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
|
Bagian Ketiga
Pencabutan Sita
Pasal 25
(1) | Pencabutan sita dilaksanakan dalam hal:
|
||||||||||||||||||||||||||
(2) | Kondisi tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi:
|
||||||||||||||||||||||||||
(3) | Barang lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c sampai dengan huruf h merupakan milik Penanggung Pajak dan tidak sedang dijaminkan atas pelunasan utang tertentu. | ||||||||||||||||||||||||||
(4) | Terhadap pelaksanaan pencabutan sita sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c sampai dengan huruf h, Pejabat melakukan Penyitaan terlebih dahulu atas Barang yang diserahkan. | ||||||||||||||||||||||||||
(5) | Pencabutan sita sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan surat pencabutan sita yang diterbitkan oleh Pejabat dan disampaikan oleh Jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak dan instansi yang terkait. |
Bagian Keempat
Penyitaan Harta Kekayaan Penanggung Pajak yang Tersimpan
pada LJK Sektor Perbankan, LJK Sektor Perasuransian, LJK
Lainnya, dan/atau Entitas Lain
(1) | Jurusita Pajak melaksanakan Penyitaan terhadap harta kekayaan Penanggung Pajak yang disimpan pada LJK sektor perbankan, LJK sektor perasuransian, LJK Lainnya, dan/atau Entitas Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf a angka 3 dan angka 4, dengan melakukan Pemblokiran terlebih dahulu. |
(2) | Untuk melaksanakan Pemblokiran, Pejabat menyampaikan permintaan Pemblokiran kepada:
|
(1) | Permintaan Pemblokiran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) dilampiri dengan:
|
(2) | Pejabat melakukan permintaan Pemblokiran sebesar jumlah Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak sebagaimana tercantum dalam daftar Surat Paksa. |
(3) | Dalam hal terdapat perbedaan mengenai identitas Penanggung Pajak yang terdapat pada data LJK sektor perbankan, LJK sektor perasuransian, LJK Lainnya, dan/atau Entitas Lain dengan permintaan Pemblokiran, informasi identitas yang digunakan berdasarkan dokumen:
|
(1) | Permintaan Pemblokiran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) dilakukan secara tertulis. |
(2) | Permintaan Pemblokiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sekaligus dengan permintaan pemberitahuan secara tertulis atas:
|
(1) | Penyampaian permintaan Pemblokiran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dan permintaan pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dilakukan melalui saluran elektronik pada sistem yang terhubung antara Direktorat Jenderal Pajak dengan sistem pada LJK sektor perbankan, LJK sektor perasuransian, LJK Lainnya, dan/atau Entitas Lain. |
(2) | Dalam hal sistem sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum tersedia atau terdapat gangguan teknis pada sistem, permintaan Pemblokiran disampaikan:
|
(1) | Atas permintaan Pemblokiran dan permintaan pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, pihak LJK sektor perbankan, LJK sektor perasuransian, LJK Lainnya, dan/atau Entitas Lain, wajib:
|
(2) | Pemblokiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan secara seketika setelah permintaan Pemblokiran diterima oleh pihak LJK sektor perbankan, LJK sektor perasuransian, LJK Lainnya, dan/atau Entitas Lain. |
(3) | Pihak LJK sektor perbankan, LJK sektor perasuransian, LJK Lainnya, dan/atau Entitas Lain wajib memberitahukan seluruh nomor Rekening Keuangan Penanggung Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan saldo harta kekayaan Penanggung Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2). |
(4) | Jurusita Pajak memberikan bukti penerimaan atas pemberitahuan seluruh nomor Rekening Keuangan dan saldo harta kekayaan Penanggung Pajak kepada pihak LJK sektor perbankan, LJK sektor perasuransian, LJK Lainnya, dan/atau Entitas Lain. |
(1) | Atas pelaksanaan Pemblokiran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2), pihak LJK sektor perbankan, LJK sektor perasuransian, LJK Lainnya, dan/atau Entitas Lain membuat berita acara Pemblokiran atau dokumen yang dipersamakan. |
(2) | Berita acara Pemblokiran atau dokumen yang dipersamakan, paling sedikit memuat:
|
(3) | Berita acara Pemblokiran atau dokumen yang dipersamakan disampaikan kepada Pejabat dan Penanggung Pajak segera setelah dilaksanakan Pemblokiran. |
(1) | Sejak saat diterimanya permintaan Pemblokiran, pihak LJK sektor perbankan, LJK sektor perasuransian, LJK Lainnya, dan/atau Entitas Lain tidak diizinkan melakukan pemindahbukuan dan/atau penarikan atas saldo dalam Rekening Keuangan Penanggung Pajak yang telah diblokir, kecuali terdapat permintaan dari Pejabat. |
(2) | Dalam hal terdapat informasi dan/atau data yang menunjukkan:
|
(3) | LJK sektor perbankan, LJK sektor perasuransian, LJK Lainnya, dan/atau Entitas Lain wajib memberikan jawaban paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan pemberitahuan rincian transaksi. |
(1) | Pencabutan blokir sebelum dilaksanakan Penyitaan, hanya dapat dilakukan dalam hal:
|
||||||||||||||||||||||||||
(2) | Barang lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d sampai dengan huruf i merupakan milik Penanggung Pajak dan tidak sedang dijaminkan atas pelunasan utang tertentu. | ||||||||||||||||||||||||||
(3) | Terhadap pelaksanaan pencabutan blokir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d sampai dengan huruf i, Pejabat melakukan Penyitaan terlebih dahulu atas Barang yang diserahkan. |
Penanggung Pajak dapat membayar Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak dengan menggunakan harta kekayaan yang telah diblokir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) huruf a dengan mengajukan permohonan penggunaan harta kekayaan yang diblokir untuk membayar Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak kepada Pejabat, yang dilampiri dengan:
- cetakan bukti pembuatan tagihan penerimaan negara bukan Pajak atau yang dipersamakan untuk pembayaran Biaya Penagihan Pajak;
- cetakan kode billing untuk pembayaran Utang Pajak; dan
- surat permintaan pemindahbukuan kepada pihak LJK sektor perbankan, LJK sektor perasuransian, LJK Lainnya, dan/atau Entitas Lain sebagai pelunasan Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak dengan menggunakan harta kekayaan yang telah diblokir.
(1) | Berdasarkan permohonan penggunaan harta kekayaan yang diblokir untuk membayar Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak, Pejabat menyampaikan permintaan pencabutan blokir dan pemindahbukuan harta kekayaan Penanggung Pajak kepada pihak LJK sektor perbankan, LJK sektor perasuransian, LJK Lainnya, dan/atau Entitas Lain dengan tembusan kepada Penanggung Pajak, yang dilampiri dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34. |
(2) | Berdasarkan permintaan pencabutan blokir dan pemindahbukuan harta kekayaan Penanggung Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pihak LJK sektor perbankan, LJK sektor perasuransian, LJK Lainnya, dan/atau Entitas Lain secara seketika melakukan pencabutan blokir dan secara serta merta melakukan pemindahbukuan sebesar jumlah yang diminta oleh Pejabat. |
Pencabutan blokir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) huruf b sampai dengan huruf m dilakukan berdasarkan permintaan pencabutan blokir yang diajukan oleh Pejabat kepada pihak LJK sektor perbankan, LJK sektor perasuransian, LJK Lainnya, dan/atau Entitas Lain dengan tembusan kepada Penanggung Pajak.
(1) | Dalam hal setelah saldo harta kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada LJK sektor perbankan, LJK sektor perasuransian, LJK Lainnya, dan/atau Entitas Lain diketahui dan Penanggung Pajak tidak melunasi Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak, Jurusita Pajak melaksanakan Penyitaan. | ||||
(2) | Penyitaan terhadap saldo harta kekayaan Penanggung Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sampai dengan jumlah yang mencukupi untuk melunasi Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak. | ||||
(3) | Atas Penyitaan terhadap saldo harta kekayaan Penanggung Pajak, Jurusita Pajak:
|
(1) | Setelah dilaksanakannya Penyitaan tetapi belum dilakukan pemindahbukuan, pencabutan sita dapat dilakukan dalam hal:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
(2) | Kondisi tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
(3) | Barang lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d sampai dengan huruf i merupakan milik Penanggung Pajak dan tidak sedang dijaminkan atas pelunasan utang tertentu. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
(4) | Terhadap pelaksanaan pencabutan sita sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d sampai dengan huruf i, Pejabat melakukan Penyitaan terlebih dahulu atas Barang yang diserahkan. |
Penanggung Pajak dapat membayar Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak dengan menggunakan harta kekayaan yang telah disita sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) huruf a dengan mengajukan permohonan penggunaan harta kekayaan yang disita untuk membayar Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak kepada Pejabat, yang dilampiri dengan:
- cetakan bukti pembuatan tagihan penerimaan negara bukan Pajak atau yang dipersamakan untuk pembayaran Biaya Penagihan Pajak; dan
- cetakan kode billing untuk pembayaran Utang Pajak.
(1) | Berdasarkan permohonan penggunaan harta kekayaan yang disita untuk membayar Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak, Pejabat menyampaikan permintaan pencabutan blokir dan pemindahbukuan harta kekayaan Penanggung Pajak kepada pihak LJK sektor perbankan, LJK sektor perasuransian, LJK Lainnya, dan/atau Entitas Lain dengan tembusan kepada Penanggung Pajak, yang dilampiri dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39. |
(2) | Berdasarkan permintaan pencabutan blokir dan pemindahbukuan harta kekayaan Penanggung Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pihak LJK sektor perbankan, LJK sektor perasuransian, LJK Lainnya, dan/atau Entitas Lain secara seketika melakukan pencabutan blokir dan secara serta merta melakukan pemindahbukuan sebesar jumlah yang diminta oleh Pejabat. |
(3) | Permintaan pencabutan blokir dan pemindahbukuan harta kekayaan Penanggung Pajak dilakukan sekaligus dengan penyampaian surat pencabutan sita oleh Pejabat kepada Penanggung Pajak dengan tembusan kepada pihak LJK sektor perbankan, LJK sektor perasuransian, LJK Lainnya, dan/atau Entitas Lain. |
Pelaksanaan pencabutan sita sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) huruf a dan huruf b serta ayat (2) huruf b sampai dengan huruf m dilakukan oleh Pejabat dengan menyampaikan:
- permintaan pencabutan blokir kepada pihak LJK sektor perbankan, LJK sektor perasuransian, LJK Lainnya, dan/atau Entitas Lain dengan tembusan kepada Penanggung Pajak; dan
- surat pencabutan sita kepada Penanggung Pajak dengan tembusan kepada pihak LJK sektor perbankan, LJK sektor perasuransian, LJK Lainnya, dan/atau Entitas Lain.
(1) | Apabila setelah lewat waktu 14 (empat belas) hari sejak Penyitaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1), Penanggung Pajak tidak melunasi Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak, Pejabat meminta kepada pihak LJK sektor perbankan, LJK sektor perasuransian, LJK Lainnya, dan/atau Entitas Lain untuk melakukan pemindahbukuan harta kekayaan Penanggung Pajak. |
(2) | Pelaksanaan pemindahbukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menyampaikan:
|
(3) | Pelaksanaan pemindahbukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling banyak sebesar jumlah yang tercantum dalam berita acara pelaksanaan sita. |
(4) | Permintaan pencabutan blokir dan pemindahbukuan harta kekayaan Penanggung Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilampiri dengan:
|
(5) | Berdasarkan permintaan pencabutan blokir dan pemindahbukuan harta kekayaan Penanggung Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, pihak LJK sektor perbankan, LJK sektor perasuransian, LJK Lainnya, dan/atau Entitas Lain secara seketika melakukan pencabutan blokir dan secara serta merta melakukan pemindahbukuan sebesar jumlah yang diminta oleh Pejabat. |
(6) | Pejabat dapat melakukan permintaan Pemblokiran kembali terhadap harta kekayaan Penanggung Pajak yang telah dilakukan pencabutan blokir dengan menyampaikan kembali permintaan Pemblokiran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2). |
Bagian Kelima
Penyitaan Surat Berharga yang Diperdagangkan
di LJK Sektor Pasar Modal
Pasal 43
(1) | Jurusita Pajak melaksanakan Penyitaan terhadap surat berharga yang diperdagangkan di LJK sektor pasar modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf a angka 5, dengan melakukan Pemblokiran terlebih dahulu. |
(2) | Terhadap pelaksanaan Pemblokiran bagi Penanggung Pajak, didahului dengan menyampaikan permintaan:
|
(3) | Pihak LJK sektor pasar modal wajib memberitahukan nomor Rekening Keuangan dan saldo harta kekayaan Penanggung Pajak paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan pemberitahuan. |
(4) | Setelah mengetahui nomor Rekening Keuangan dan saldo harta kekayaan Penanggung Pajak, Pejabat menyampaikan permintaan Pemblokiran Rekening Keuangan yang terdapat pada LJK sektor pasar modal yang ditujukan kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan menyebutkan:
|
(5) | Ketentuan mengenai permintaan Pemblokiran dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal. |
(6) | Penyampaian permintaan pemberitahuan nomor Rekening Keuangan Penanggung Pajak dan permintaan pemberitahuan atas saldo harta kekayaan Penanggung Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui saluran elektronik pada sistem yang terhubung antara Direktorat Jenderal Pajak dengan sistem pada LJK sektor pasar modal. |
(7) | Dalam hal sistem sebagaimana dimaksud pada ayat (6) belum tersedia atau adanya gangguan teknis pada sistem, penyampaian permintaan pemberitahuan nomor Rekening Keuangan Penanggung Pajak dan permintaan pemberitahuan atas saldo harta kekayaan Penanggung Pajak dilakukan:
|
(1) | Dalam hal saldo harta kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada LJK sektor pasar modal telah diketahui dan Penanggung Pajak tidak melunasi Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak, Jurusita Pajak melaksanakan Penyitaan. |
(2) | Penyitaan terhadap harta kekayaan Penanggung Pajak dilaksanakan sampai dengan jumlah yang mencukupi untuk melunasi Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak. |
(3) | Atas Penyitaan terhadap harta kekayaan Penanggung Pajak, Jurusita Pajak:
|
(1) | Setelah dilaksanakan Penyitaan tetapi belum dilakukan penjualan di bursa efek, pencabutan sita dapat dilakukan dalam hal:
|
||||||||||||||||||||||||
(2) | Kondisi tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi:
|
||||||||||||||||||||||||
(3) | Barang lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c sampai dengan huruf h merupakan milik Penanggung Pajak dan tidak sedang dijaminkan atas pelunasan utang tertentu. | ||||||||||||||||||||||||
(4) | Terhadap pelaksanaan pencabutan sita sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c sampai dengan huruf h, Pejabat melakukan Penyitaan terlebih dahulu atas Barang yang diserahkan. | ||||||||||||||||||||||||
(5) | Pelaksanaan pencabutan sita sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pejabat dengan menyampaikan:
|
Apabila setelah lewat waktu 14 (empat belas) hari sejak Penyitaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1), Penanggung Pajak tidak melunasi Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak, Jurusita Pajak atas permintaan Pejabat melakukan penjualan harta kekayaan Penanggung Pajak di bursa efek sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.
Bagian Keenam
Penjualan Barang Sitaan
Pasal 47
(1) | Dalam hal Penanggung Pajak tidak melunasi Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak setelah dilakukan Penyitaan, Pejabat berwenang:
|
||||||
(2) | Barang sitaan yang dikecualikan dari penjualan secara lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
|
||||||
(3) | Pelaksanaan penjualan secara lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan oleh Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang yang berwenang melaksanakan lelang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai petunjuk pelaksanaan lelang. |
Pejabat atau Jurusita Pajak yang menerima hasil penjualan secara lelang atau penggunaan, penjualan, dan/atau pemindahbukuan Barang sitaan yang penjualannya dikecualikan dari penjualan secara lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1), harus menyetorkan hasil penjualan ke kas negara.
BAB VI
PENCEGAHAN
Bagian Kesatu
Permintaan Pencegahan
Pasal 49
(1) | Pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (9) dan ayat (10) dapat dilakukan terhadap Penanggung Pajak dalam hal:
|
(2) | Penanggung Pajak diragukan iktikad baiknya, dalam hal:
|
(1) | Pejabat mengajukan permintaan Pencegahan kepada Menteri. |
(2) | Atas permintaan Pencegahan, Menteri menetapkan keputusan Menteri mengenai Pencegahan. |
(3) | Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak atas nama Menteri. |
(4) | Keputusan Menteri mengenai Pencegahan paling sedikit memuat:
|
(5) | Jangka waktu Pencegahan diberikan paling lama 6 (enam) bulan. |
(6) | Permintaan Pencegahan sampai dengan penerbitan keputusan Menteri dilakukan secara:
|
Keputusan Menteri mengenai Pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (4) disampaikan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia paling lambat 3 (tiga) hari sejak tanggal keputusan Menteri ditetapkan dengan permintaan untuk dilaksanakan.
(1) | Dalam keadaan yang mendesak Direktur Jenderal Pajak dapat meminta secara langsung kepada pejabat imigrasi pada tempat pemeriksaan imigrasi atau unit pelaksana teknis yang membawahi tempat pemeriksaan imigrasi untuk melakukan Pencegahan. |
(2) | Permintaan Pencegahan secara langsung dalam keadaan mendesak dilakukan dalam hal terdapat tanda-tanda Penanggung Pajak akan meninggalkan Indonesia atau melarikan diri ke luar negeri. |
(3) | Direktur Jenderal Pajak wajib menyampaikan keputusan Menteri mengenai Pencegahan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia paling lama 20 (dua puluh) hari terhitung sejak tanggal permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan. |
Keputusan Menteri mengenai Pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 dan Pasal 52 ayat (3) disampaikan ke alamat domisili Penanggung Pajak, keluarga Penanggung Pajak, atau perwakilan negara Penanggung Pajak di Indonesia paling lambat 7 (tujuh) hari sejak tanggal keputusan Menteri ditetapkan.
Bagian Kedua
Permintaan Perpanjangan Masa Pencegahan
Pasal 54
(1) | Pejabat dapat mengajukan permintaan perpanjangan masa Pencegahan kepada Menteri dalam hal jangka waktu Pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (4) huruf c akan berakhir dan Penanggung Pajak belum melunasi Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak yang menjadi dasar dilakukan Pencegahan serta diragukan iktikad baiknya. |
(2) | Atas permintaan perpanjangan masa Pencegahan, Menteri menetapkan keputusan Menteri mengenai perpanjangan masa Pencegahan. |
(3) | Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak atas nama Menteri. |
(4) | Keputusan Menteri mengenai perpanjangan masa Pencegahan paling sedikit memuat:
|
(5) | Jangka waktu perpanjangan masa Pencegahan diberikan paling lama 6 (enam) bulan. |
Keputusan Menteri mengenai perpanjangan masa Pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (4) disampaikan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia paling lambat 3 (tiga) hari sebelum masa Pencegahan berakhir.
Bagian Ketiga
Permintaan Pencabutan Pencegahan
Pasal 56
(1) | Pencegahan berakhir karena:
|
||||||||||||||||||||||||
(2) | Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dengan pertimbangan sebagai berikut:
|
||||||||||||||||||||||||
(3) | Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c sampai dengan huruf h merupakan milik Penanggung Pajak dan tidak sedang dijaminkan atas pelunasan utang tertentu. | ||||||||||||||||||||||||
(4) | Terhadap pelaksanaan pencabutan Pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c sampai dengan huruf h, Pejabat melakukan Penyitaan terlebih dahulu atas Barang yang diserahkan. |
(1) | Dalam hal Penanggung Pajak memenuhi salah satu pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (2), Pejabat mengajukan permintaan pencabutan Pencegahan kepada Menteri. |
(2) | Atas permintaan pencabutan Pencegahan, Menteri menetapkan keputusan Menteri mengenai pencabutan Pencegahan. |
(3) | Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak atas nama Menteri. |
(4) | Keputusan Menteri mengenai pencabutan Pencegahan paling sedikit memuat:
|
(5) | Keputusan Menteri mengenai pencabutan Pencegahan disampaikan kepada:
|
BAB VII
PENYANDERAAN
Bagian Kesatu
Pengajuan Penyanderaan
Pasal 58
(1) | Penyanderaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (11) dan ayat (12) dapat dilakukan terhadap Penanggung Pajak dalam hal:
|
(2) | Penanggung Pajak diragukan iktikad baiknya, dalam hal:
|
(1) | Pejabat mengajukan permohonan izin Penyanderaan kepada Menteri. |
(2) | Berdasarkan permohonan izin Penyanderaan, Menteri menerbitkan izin Penyanderaan. |
(3) | Permohonan izin Penyanderaan paling sedikit memuat:
|
(4) | Izin Penyanderaan paling sedikit memuat:
|
(5) | Permohonan izin Penyanderaan sampai dengan penerbitan izin Penyanderaan dari Menteri dilakukan secara:
|
(1) | Pejabat menerbitkan surat perintah Penyanderaan seketika setelah menerima izin Penyanderaan dari Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2). |
(2) | Surat perintah Penyanderaan paling sedikit memuat:
|
(3) | Lamanya Penyanderaan diberikan paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak Penanggung Pajak ditempatkan atau dititipkan dalam tempat Penyanderaan. |
(4) | Tempat Penyanderaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan tempat pengekangan yang ditentukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
Bagian Kedua
Pelaksanaan Penyanderaan
Pasal 61
(1) | Jurusita Pajak menyampaikan surat perintah Penyanderaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) secara langsung kepada Penanggung Pajak dan salinannya disampaikan kepada kepala tempat Penyanderaan. |
(2) | Penyampaian surat perintah Penyanderaan disaksikan oleh 2 (dua) orang penduduk Indonesia yang telah dewasa, dikenal oleh Jurusita Pajak, dan dapat dipercaya. |
(3) | Dalam hal Penanggung Pajak yang akan disandera tidak dapat ditemukan, Jurusita Pajak melalui Pejabat dapat meminta bantuan Kepolisian Republik Indonesia atau Kejaksaan untuk menghadirkan Penanggung Pajak yang tidak dapat ditemukan tersebut. |
(4) | Jurusita Pajak membuat berita acara penyampaian surat perintah Penyanderaan yang ditandatangani oleh Jurusita Pajak, Penanggung Pajak, dan saksi-saksi pada saat surat perintah Penyanderaan disampaikan kepada Penanggung Pajak. |
(5) | Dalam hal Penanggung Pajak yang disandera menolak penyampaian surat perintah Penyanderaan, Jurusita Pajak:
|
(6) | Surat perintah Penyanderaan yang ditolak sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dinyatakan telah disampaikan. |
(7) | Jurusita Pajak membuat:
|
(8) | Berita acara pelaksanaan Penyanderaan dan berita acara penempatan atau penitipan sandera paling sedikit memuat:
|
Penyanderaan dapat dilaksanakan terhadap Penanggung Pajak yang telah atau sedang dilakukan Pencegahan.
Bagian Ketiga
Hak dan Kewajiban Penanggung Pajak yang Disandera
Pasal 63
(1) | Selama dalam Penyanderaan Penanggung Pajak berhak:
|
||||||||||||
(2) | Penanggung Pajak yang disandera selama dalam tempat Penyanderaan wajib mematuhi tata tertib dan disiplin di tempat Penyanderaan. | ||||||||||||
(3) | Dalam hal Penanggung Pajak melakukan pelanggaran atas tata tertib dan disiplin di tempat Penyanderaan, kepala tempat Penyanderaan memberitahukan kepada:
|
(1) | Pejabat dapat memberikan surat izin keluar sementara dari tempat Penyanderaan dalam hal Penanggung Pajak yang disandera:
|
(2) | Jangka waktu yang tercantum dalam surat izin keluar sementara tidak dihitung sebagai masa Penyanderaan. |
(1) | Dalam hal Penanggung Pajak melarikan diri dalam masa:
|
(2) | Biaya dalam rangka penangkapan yang timbul karena Penanggung Pajak melarikan diri merupakan Biaya Penagihan Pajak yang dibebankan kepada Penanggung Pajak. |
(3) | Masa pelarian Penanggung Pajak tidak dihitung sebagai masa Penyanderaan. |
Bagian Keempat
Perpanjangan Penyanderaan
Pasal 66
(1) | Pejabat dapat mengajukan permohonan izin perpanjangan Penyanderaan kepada Menteri dalam hal Penyanderaan akan berakhir dan Penanggung Pajak belum melunasi Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak yang menjadi dasar dilakukan Penyanderaan. |
(2) | Berdasarkan permohonan izin perpanjangan Penyanderaan, Menteri menerbitkan izin perpanjangan Penyanderaan. |
(3) | Izin perpanjangan Penyanderaan paling sedikit memuat:
|
(4) | Perpanjangan Penyanderaan diberikan paling lama 6 (enam) bulan dan terhitung sejak Penyanderaan sebelumnya berakhir. |
(5) | Berdasarkan izin perpanjangan Penyanderaan dari Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pejabat menerbitkan kembali surat perintah Penyanderaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1). |
(6) | Mekanisme pengajuan permohonan izin Penyanderaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dan pelaksanaan Penyanderaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 berlaku secara mutatis mutandis terhadap perpanjangan Penyanderaan. |
Bagian Kelima
Pelepasan Penanggung Pajak yang Dilakukan Penyanderaan
Pasal 67
(1) | Penanggung Pajak yang dilakukan Penyanderaan dapat dilepas dalam hal memenuhi persyaratan sebagai berikut:
|
||||||||||||||||||||||||
(2) | Pertimbangan tertentu dari Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, meliputi:
|
||||||||||||||||||||||||
(3) | Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b sampai dengan huruf g merupakan milik Penanggung Pajak dan tidak sedang dijaminkan atas pelunasan utang tertentu. | ||||||||||||||||||||||||
(4) | Terhadap pelaksanaan pelepasan sandera sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b sampai dengan huruf g, Pejabat melakukan Penyitaan terlebih dahulu atas Barang yang diserahkan. |
(1) | Dalam hal Penanggung Pajak memenuhi salah satu persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1) huruf a sampai dengan huruf c, Pejabat menerbitkan surat pemberitahuan pelepasan sandera. |
(2) | Jurusita Pajak menyampaikan surat pemberitahuan pelepasan sandera kepada kepala tempat Penyanderaan. |
(3) | Dalam hal Penanggung Pajak memenuhi salah satu pertimbangan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (2), Pejabat menyampaikan usulan pelepasan sandera kepada Menteri. |
(4) | Mekanisme permohonan izin Penyanderaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 berlaku secara mutatis mutandis terhadap mekanisme penyampaian usulan pelepasan sandera. |
(5) | Berdasarkan usulan pelepasan sandera, Menteri menerbitkan surat rekomendasi pelepasan sandera. |
(6) | Pejabat menerbitkan surat pemberitahuan pelepasan sandera setelah menerima surat rekomendasi pelepasan sandera dari Menteri. |
(7) | Jurusita Pajak menyampaikan surat pemberitahuan pelepasan sandera kepada kepala tempat Penyanderaan paling lama 24 (dua puluh empat) jam terhitung sejak tanggal diterimanya surat rekomendasi pelepasan sandera dari Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (5). |
Dalam hal Penanggung Pajak yang disandera meninggal dunia di tempat Penyanderaan, kepala tempat Penyanderaan segera memberitahukan kepada Pejabat dan keluarga dari Penanggung Pajak yang disandera disertai berita acara kematian.
Bagian Keenam
Rehabilitasi Nama Baik Penanggung Pajak yang Disandera
dan Pemberian Ganti Rugi
Pasal 70
(1) | Penanggung Pajak yang disandera dapat mengajukan gugatan terhadap pelaksanaan Penyanderaan hanya kepada Pengadilan Negeri. |
(2) | Pengajuan gugatan terhadap pelaksanaan Penyanderaan tidak dapat diajukan setelah Penyanderaan berakhir. |
(3) | Dalam hal gugatan Penanggung Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikabulkan dan putusan pengadilan telah mempunyai kekuatan hukum tetap, Penanggung Pajak dapat mengajukan permohonan rehabilitasi nama baik dan ganti rugi atas Penyanderaan yang telah dijalaninya. |
(1) | Permohonan rehabilitasi nama baik dan ganti rugi atas masa Penyanderaan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia kepada Pejabat yang menerbitkan surat perintah Penyanderaan. |
(2) | Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:
|
(3) | Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan melampirkan:
|
(4) | Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pejabat yang menerbitkan surat perintah Penyanderaan, melaksanakan:
|
(1) | Pelaksanaan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (4) huruf a dilakukan dalam bentuk 1 (satu) kali pengumuman pada media cetak harian berskala nasional dengan ukuran yang memadai. |
(2) | Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (4) huruf b dilakukan dengan menerbitkan surat keputusan. |
(3) | Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan kepada Penanggung Pajak sebesar Rp 100.000,00 (seratus ribu rupiah) setiap hari selama masa Penyanderaan yang telah dijalani. |
BAB VIII
KETENTUAN LAIN-LAIN
Bagian Kesatu
Pembetulan, Penggantian, dan Pembatalan
Pasal 73
(1) | Atas permohonan Penanggung Pajak atau karena jabatannya, Pejabat dapat melakukan pembetulan Surat Teguran, Surat Peringatan, atau surat lain yang sejenis, surat perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus, Surat Paksa, surat perintah melaksanakan Penyitaan, surat perintah Penyanderaan, pengumuman lelang, surat penentuan harga limit, dan surat lain yang diperlukan untuk pelaksanaan penagihan Pajak. |
(2) | Pembetulan dilakukan dalam hal surat dan pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdapat kesalahan atau kekeliruan dalam penulisan nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), jumlah Utang Pajak, atau keterangan lain. |
(3) | Pembetulan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan menerbitkan surat pembetulan. |
(4) | Surat pembetulan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mempunyai kekuatan eksekutorial dan/atau kedudukan hukum yang sama dengan surat yang dibetulkan. |
(1) | Atas permohonan Penanggung Pajak atau karena jabatannya, Pejabat dapat melakukan penggantian Surat Teguran, Surat Peringatan, atau surat lain yang sejenis, surat perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus, Surat Paksa, surat perintah melaksanakan Penyitaan, surat perintah Penyanderaan, pengumuman lelang, surat penentuan harga limit, dan surat lain yang diperlukan untuk pelaksanaan penagihan Pajak. |
(2) | Penggantian dilakukan dalam hal surat dan pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hilang, rusak, atau karena alasan lain. |
(3) | Penggantian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan menerbitkan surat pengganti. |
(4) | Surat pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mempunyai kekuatan eksekutorial dan/atau kedudukan hukum yang sama dengan surat yang diganti. |
(1) | Atas permohonan Penanggung Pajak atau karena jabatannya, Pejabat dapat melakukan pembatalan Surat Teguran, Surat Peringatan, atau surat lain yang sejenis, surat perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus, Surat Paksa, surat perintah melaksanakan Penyitaan, surat perintah Penyanderaan, pengumuman lelang, surat penentuan harga limit, dan surat lain dalam pelaksanaan penagihan Pajak. |
(2) | Pembatalan dilakukan dalam hal surat dan pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) seharusnya tidak diterbitkan. |
(3) | Dalam hal telah dilakukan pembatalan, surat dan pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap tidak pernah diterbitkan. |
Bagian Kedua
Wajib Pajak yang Dinyatakan Pailit, Dibubarkan, Dilikuidasi,
atau Status Badan Hukumnya Berakhir, Dilakukan
Penggabungan, Peleburan, atau Pemisahan
Pasal 76
(1) | Penagihan Pajak dapat dilakukan terhadap Penanggung Pajak dari Wajib Pajak yang:
|
(2) | Dalam hal harta kekayaan Wajib Pajak yang dinyatakan pailit tidak mencukupi untuk melunasi Utang Pajak, tindakan penagihan Pajak dilakukan kepada Penanggung Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b. |
(3) | Setelah Wajib Pajak dibubarkan, dilikuidasi, atau status badan hukumnya berakhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, tindakan penagihan Pajak tetap dapat dilakukan kepada Penanggung Pajak. |
(4) | Dalam hal Wajib Pajak melakukan Penggabungan, Peleburan, atau Pemisahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c sampai dengan huruf e, tindakan penagihan Pajak dilakukan kepada Penanggung Pajak atas Wajib Pajak yang masih memiliki Utang Pajak sebelum dilakukan Penggabungan, Peleburan, atau Pemisahan, kecuali dapat meyakinkan Pejabat dengan membuktikan bahwa kedudukannya tidak dapat dibebani Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak. |
Bagian Ketiga
Bantuan Penagihan Pajak dengan Pemerintah Negara Mitra
atau Yurisdiksi Mitra
Pasal 77
Dalam rangka pelaksanaan Perjanjian Internasional dengan Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra, Pemerintah Indonesia dapat memberikan atau meminta Bantuan Penagihan Pajak kepada pemerintah Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra.
Pemberian atau permintaan bantuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 dilakukan oleh perwakilan Pemerintah Indonesia dan perwakilan pemerintah Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra yang berwenang melaksanakan Perjanjian Internasional berdasarkan ketentuan Bantuan Penagihan Pajak yang terdapat dalam Perjanjian Internasional.
Dalam hal Penanggung Pajak yang dimintakan bantuan penagihan oleh pemerintah Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra juga mempunyai Utang Pajak di Indonesia, Pemerintah Indonesia memiliki hak mendahulu untuk menagih Utang Pajak di Indonesia.
Bagian Keempat
Daluwarsa Penagihan
Pasal 80
(1) | Hak untuk melakukan penagihan Pajak, termasuk bunga, denda, kenaikan, dan Biaya Penagihan Pajak, atas Utang Pajak tahun Pajak 2007 dan sebelumnya, daluwarsa setelah melampaui waktu 10 (sepuluh) tahun terhitung sejak saat terutangnya Pajak atau berakhirnya masa Pajak, bagian tahun Pajak, atau tahun Pajak yang bersangkutan. |
(2) | Daluwarsa penagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertangguh dalam hal:
|
(1) | Pengakuan Utang Pajak secara langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (2) huruf b, dalam hal Wajib Pajak:
|
(2) | Pengakuan Utang Pajak secara tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (2) huruf b, dalam hal Wajib Pajak:
|
(1) | Hak untuk melakukan penagihan Pajak, termasuk bunga, denda, kenaikan, dan Biaya Penagihan Pajak, atas Utang Pajak tahun Pajak 2008 dan setelahnya, daluwarsa setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak penerbitan surat tagihan pajak, surat ketetapan pajak kurang bayar, serta surat ketetapan pajak kurang bayar tambahan, dan surat keputusan pembetulan, surat keputusan keberatan, putusan banding, serta putusan peninjauan kembali. |
(2) | Daluwarsa penagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertangguh dalam hal:
|
(1) | Pengakuan Utang Pajak secara langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (2) huruf b, dalam hal Wajib Pajak:
|
(2) | Pengakuan Utang Pajak secara tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (2) huruf b, dalam hal Wajib Pajak:
|
(1) | Dalam hal terhadap Wajib Pajak diterbitkan Surat Paksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (2) huruf a dan Pasal 82 ayat (2) huruf a, daluwarsa penagihan Pajak dihitung sejak tanggal diberitahukannya Surat Paksa. |
(2) | Dalam hal Surat Paksa dilakukan pembetulan atau penggantian, daluwarsa penagihan Pajak dihitung sejak:
|
(3) | Dalam hal Wajib Pajak menyatakan pengakuan Utang Pajak secara langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (1) dan Pasal 83 ayat (1), daluwarsa penagihan Pajak dihitung sejak tanggal:
|
(4) | Dalam hal Wajib Pajak menyatakan pengakuan Utang Pajak secara tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (2), daluwarsa penagihan Pajak dihitung sejak tanggal:
|
(5) | Dalam hal Wajib Pajak menyatakan pengakuan Utang Pajak secara tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (2), daluwarsa penagihan Pajak dihitung sejak tanggal:
|
(6) | Dalam hal terhadap Wajib Pajak dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (2) huruf c, daluwarsa penagihan Pajak dihitung sejak tanggal penerbitan surat perintah penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan. |
(7) | Dalam hal suatu dasar penagihan Pajak terdapat lebih dari 1 (satu) kondisi yang menyebabkan daluwarsa penagihan Pajak tertangguh, penangguhan daluwarsa penagihan Pajak dihitung sejak tanggal terakhir penyebab tertangguhnya daluwarsa penagihan Pajak. |
Penagihan Pajak atas Surat Tagihan Pajak berdasarkan Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang KUP mengikuti daluwarsa atas surat ketetapan pajak yang menjadi dasar penagihan pajaknya.
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 86
Pada saat berlakunya Peraturan Menteri ini, terhadap:
- surat, daftar, formulir dan laporan yang telah diterbitkan dalam rangka penagihan Pajak sebelum berlakunya Peraturan Menteri dinyatakan tetap berlaku dan tetap dapat digunakan untuk tindakan penagihan Pajak selanjutnya;
- tindakan penagihan Pajak yang telah dilakukan sampai dengan pelaksanaan Pencegahan tetapi belum dilakukan upaya Penyitaan dan penjualan Barang sitaan secara lelang atau penggunaan, penjualan, dan/atau pemindahbukuan Barang sitaan yang dikecualikan dari penjualan secara lelang, ditindaklanjuti dengan tindakan penagihan yang belum dilakukan sesuai dengan urutan tindakan penagihan berdasarkan Peraturan Menteri ini; dan
- tindakan penagihan Pajak yang telah dilakukan sampai dengan pelaksanaan Penyanderaan tetapi belum dilakukan upaya Penyitaan dan penjualan Barang sitaan secara lelang atau penggunaan, penjualan, dan/atau pemindahbukuan Barang sitaan yang dikecualikan dari penjualan secara lelang, dan/atau Pencegahan, ditindaklanjuti dengan tindakan penagihan yang belum dilakukan sesuai dengan urutan tindakan penagihan berdasarkan Peraturan Menteri ini.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 87
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:
- Keputusan Menteri Keuangan Nomor 563/KMK.04/2000 tentang Pemblokiran dan Penyitaan Harta Kekayaan Penanggung Pajak yang Tersimpan pada Bank dalam rangka Penagihan Pajak dengan Surat Paksa;
- Peraturan Menteri Keuangan Nomor 24/PMK.03/2008 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penagihan dengan Surat Paksa dan Pelaksanaan Penagihan Seketika dan Sekaligus; dan
- Peraturan Menteri Keuangan Nomor 85/PMK.03/2010 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 24/PMK.03/2008 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penagihan dengan Surat Paksa dan Pelaksanaan Penagihan Seketika dan Sekaligus (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 189),
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 27 November 2020 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, ttd. SRI MULYANI INDRAWATI |
|
Diundangkan di Jakarta pada tanggal 27 November 2020 DIREKTUR JENDERAL PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd. WIDODO EKATJAHJANA |
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2020 NOMOR 1394
Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.