Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.
(1) | Undang-Undang ini diselenggarakan berdasarkan asas:
|
(2) | Selain berdasarkan asas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelenggaraan Cipta Kerja dilaksanakan berdasarkan asas lain sesuai dengan bidang hukum yang diatur dalam undang-undang yang bersangkutan. |
(1) | Perizinan Berusaha berbasis risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a dilakukan berdasarkan penetapan tingkat risiko dan peringkat skala usaha kegiatan usaha. |
(2) | Penetapan tingkat risiko dan peringkat skala usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh berdasarkan penilaian tingkat bahaya dan potensi terjadinya bahaya. |
(3) | Penilaian tingkat bahaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan terhadap aspek:
|
(4) | Untuk kegiatan tertentu, penilaian tingkat bahaya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat mencakup aspek lainnya sesuai dengan sifat kegiatan usaha. |
(5) | Penilaian tingkat bahaya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) dilakukan dengan memperhitungkan:
|
(6) | Penilaian potensi terjadinya bahaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
|
(7) | Berdasarkan penilaian tingkat bahaya sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), serta penilaian potensi terjadinya bahaya sebagaimana dimaksud pada ayat (6), tingkat risiko dan peringkat skala usaha kegiatan usaha ditetapkan menjadi:
|
(1) | Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha berisiko rendah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (7) huruf a berupa pemberian nomor induk berusaha yang merupakan legalitas pelaksanaan kegiatan berusaha. |
(2) | Nomor induk berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bukti registrasi/pendaftaran Pelaku Usaha untuk melakukan kegiatan usaha dan sebagai identitas bagi Pelaku Usaha dalam pelaksanaan kegiatan usahanya. |
(1) | Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha berisiko menengah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (7) huruf b meliputi:
|
(2) | Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha berisiko menengah rendah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berupa pemberian:
|
(3) | Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha berisiko menengah tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berupa pemberian:
|
(4) | Sertifikat standar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b merupakan pernyataan Pelaku Usaha untuk memenuhi standar usaha dalam rangka melakukan kegiatan usaha. |
(5) | Sertifikat standar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b merupakan sertifikat standar usaha yang diterbitkan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya berdasarkan hasil verifikasi pemenuhan standar pelaksanaan kegiatan usaha oleh Pelaku Usaha. |
(6) | Dalam hal kegiatan usaha berisiko menengah memerlukan standardisasi produk sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan ayat (3) huruf b, Pemerintah Pusat menerbitkan sertifikat standar produk berdasarkan hasil verifikasi pemenuhan standar yang wajib dipenuhi oleh Pelaku Usaha sebelum melakukan kegiatan komersialisasi produk. |
(1) | Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha berisiko tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (7) huruf c berupa pemberian:
|
(2) | Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan persetujuan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah untuk pelaksanaan kegiatan usaha yang wajib dipenuhi oleh Pelaku Usaha sebelum melaksanakan kegiatan usahanya. |
(3) | Dalam hal kegiatan usaha berisiko tinggi memerlukan pemenuhan standar usaha dan standar produk, Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah menerbitkan sertifikat standar usaha dan sertifikat standar produk berdasarkan hasil verifikasi pemenuhan standar. |
(1) | Kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf a merupakan kesesuaian rencana lokasi kegiatan dan/atau usahanya dengan RDTR. |
(2) | Pemerintah Daerah wajib menyusun dan menyediakan RDTR dalam bentuk digital dan sesuai standar. |
(3) | Penyediaan RDTR dalam bentuk digital sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan sesuai dengan standar dan dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat untuk mendapatkan informasi mengenai kesesuaian rencana lokasi kegiatan dan/atau usahanya dengan RDTR. |
(4) | Pemerintah Pusat wajib mengintegrasikan RDTR dalam bentuk digital sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ke dalam sistem Perizinan Berusaha secara elektronik. |
(5) | Dalam hal Pelaku Usaha mendapatkan informasi rencana lokasi kegiatan usahanya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) telah sesuai dengan RDTR, Pelaku Usaha mengajukan permohonan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang untuk kegiatan usahanya melalui sistem Perizinan Berusaha secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dengan mengisi koordinat lokasi yang diinginkan untuk memperoleh konfirmasi kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang. |
(6) | Setelah memperoleh konfirmasi kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Pelaku Usaha mengajukan permohonan Perizinan Berusaha. |
(1) | Dalam hal Pemerintah Daerah belum menyusun dan menyediakan RDTR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), Pelaku Usaha mengajukan permohonan persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang untuk kegiatan usahanya kepada Pemerintah Pusat melalui sistem Perizinan Berusaha secara elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(2) | Pemerintah Pusat memberikan persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan rencana tata ruang. |
(3) | Rencana tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:
|
1. | Ketentuan Pasal 1 angka 7, angka 8, dan angka 32 diubah sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut: Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
|
||||||||||||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 6
|
||||||||||||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 8 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 8
|
||||||||||||||||||||
4. | Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 9
|
||||||||||||||||||||
5. | Ketentuan Pasal 10 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 10
Wewenang Pemerintah Daerah provinsi dilaksanakan sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dalam penyelenggaraan penataan ruang meliputi:
|
||||||||||||||||||||
6. | Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 11
Wewenang Pemerintah Daerah kabupaten/kota dilaksanakan sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dalam penyelenggaraan penataan ruang meliputi:
|
||||||||||||||||||||
7. | Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 14
|
||||||||||||||||||||
8. | Di antara Pasal 14 dan Pasal 15 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 14A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 14A
|
||||||||||||||||||||
9. | Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 17
|
||||||||||||||||||||
10. | Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 18
|
||||||||||||||||||||
11. | Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 20
|
||||||||||||||||||||
12. | Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 22
|
||||||||||||||||||||
13. | Ketentuan Pasal 23 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 23
|
||||||||||||||||||||
14. | Pasal 24 dihapus. | ||||||||||||||||||||
15. | Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 25
|
||||||||||||||||||||
16. | Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 26
|
||||||||||||||||||||
17. | Pasal 27 dihapus. | ||||||||||||||||||||
18. | Di antara Pasal 34 dan Pasal 35 ditambah 1 (satu) pasal, yakni Pasal 34A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 34A
|
||||||||||||||||||||
19. | Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 35
Pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan melalui:
|
||||||||||||||||||||
20. | Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 37
|
||||||||||||||||||||
21. | Ketentuan Pasal 48 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 48
|
||||||||||||||||||||
22. | Pasal 49 dihapus. | ||||||||||||||||||||
23. | Pasal 50 dihapus. | ||||||||||||||||||||
24. | Pasal 51 dihapus. | ||||||||||||||||||||
25. | Pasal 52 dihapus. | ||||||||||||||||||||
26. | Pasal 53 dihapus. | ||||||||||||||||||||
27. | Pasal 54 dihapus. | ||||||||||||||||||||
28. | Ketentuan Pasal 60 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 60
Dalam penataan ruang, setiap orang berhak untuk:
|
||||||||||||||||||||
29. | Ketentuan Pasal 61 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 61
Dalam pemanfaatan ruang, setiap orang wajib:
|
||||||||||||||||||||
30. | Ketentuan Pasal 62 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 62
Setiap orang yang tidak menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan yang mengakibatkan perubahan fungsi ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 dikenai sanksi administratif. |
||||||||||||||||||||
31. | Ketentuan Pasal 65 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 65
|
||||||||||||||||||||
32. | Ketentuan Pasal 69 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 69
|
||||||||||||||||||||
33. | Ketentuan Pasal 70 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 70
|
||||||||||||||||||||
34. | Ketentuan Pasal 71 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 71
Setiap orang yang tidak mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 huruf c yang mengakibatkan perubahan fungsi ruang dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). |
||||||||||||||||||||
35. | Pasal 72 dihapus. | ||||||||||||||||||||
36. | Ketentuan Pasal 74 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 74
|
||||||||||||||||||||
37. | Ketentuan Pasal 75 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 75
|
1. | Ketentuan Pasal 1 angka 14, angka 40, dan angka 41 diubah, di antara angka 14 dan angka 15 disisipkan satu angka yakni angka 14A, serta angka 17, angka 18, dan angka 18A dihapus sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut: Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 7
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
3. | Di antara Pasal 7 dan 8 disisipkan 3 (tiga) pasal yakni Pasal 7A, Pasal 7B, dan Pasal 7C sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 7A
Pasal 7B Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dilakukan dengan mempertimbangkan:
Pasal 7C
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 7A, dan Pasal 7B diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
4. | Pasal 8 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
5. | Pasal 9 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
6. | Pasal 10 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
7. | Pasal 11 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
8. | Pasal 12 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
9. | Pasal 13 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
10. | Pasal 14 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
11. | Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 16
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
12. | Di antara Pasal 16 dan Pasal 17 disisipkan satu pasal yakni Pasal 16A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 16A
Setiap Orang yang memanfaatkan ruang dari Perairan Pesisir yang tidak memiliki Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan di laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2), dikenai sanksi administratif. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
13. | Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 17
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
14. | Di antara Pasal 17 dan Pasal 18 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 17A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 17A
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
15. | Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 18
Dalam hal pemegang Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan di laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) tidak merealisasikan kegiatannya dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan di laut diterbitkan, pemegang Perizinan Berusaha dikenai sanksi administratif berupa pencabutan perizinan berusahanya. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
16. | Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 19
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
17. | Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 20
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
18. | Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 22
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
19. | Ketentuan Pasal 22A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 22A
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
20. | Ketentuan Pasal 22B diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 22B
Orang perseorangan warga Negara Indonesia atau korporasi yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia dan koperasi yang dibentuk oleh Masyarakat yang mengajukan pemanfaatan laut wajib memenuhi Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan di laut dari Pemerintah Pusat. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
21. | Ketentuan Pasal 22C diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 22C
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan di laut diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
22. | Ketentuan Pasal 26A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 26A
Dalam rangka penanaman modal asing, pemanfaatan pulau-pulau kecil dan pemanfaatan perairan di sekitarnya harus memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
23. | Di antara Pasal 26A dan Pasal 27 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 26B yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 26B
Setiap Orang yang tidak memiliki Perizinan Berusaha dalam memanfaatkan pulau-pulau kecil dan pemanfaatan perairan disekitarnya dalam rangka penanaman modal asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26A dikenai sanksi administratif. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
24. | Ketentuan Pasal 50 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 50
Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya memberikan dan mencabut Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan di laut di wilayah Perairan Pesisir. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
25. | Ketentuan Pasal 51 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 51
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
26. | Ketentuan Pasal 60 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 60
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
27. | Ketentuan Pasal 71 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 71
Pemanfaatan ruang perairan dan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil yang tidak memenuhi Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan di laut yang diberikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) dan Pasal 19 ayat (1) dikenai sanksi administratif. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
28. | Di antara Pasal 71 dan Pasal 72 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 71A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 71A
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
29. | Di antara Pasal 73 dan Pasal 74 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 73A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 73A
Setiap Orang yang memanfaatkan pulau kecil dan perairan di sekitarnya dalam rangka penanaman modal asing yang tidak memiliki Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26A yang mengakibatkan perubahan fungsi ruang dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
30. | Ketentuan Pasal 75 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 75
Setiap Orang yang memanfaatkan ruang dari perairan yang tidak memiliki Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan di laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) yang mengakibatkan perubahan fungsi ruang dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
31. | Pasal 75A dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
32. | Ketentuan Pasal 78A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 78A
Kawasan konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang telah ditetapkan melalui peraturan perundang-undangan sebelum Undang-Undang tentang Cipta Kerja ini berlaku adalah menjadi kewenangan Pemerintah Pusat. |
1. | Ketentuan Pasal 1 angka 9 dan angka 12 diubah sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut: Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
|
||||||||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 32
|
||||||||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 42 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 42
|
||||||||||||||||
4. | Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 43
|
||||||||||||||||
5. | Di antara Pasal 43 dan Pasal 44 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 43A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 43A
|
||||||||||||||||
6. | Ketentuan Pasal 47 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 47
|
||||||||||||||||
7. | Di antara Pasal 47 dan Pasal 48 ditambah 1 (satu) pasal yakni Pasal 47A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 47A
|
||||||||||||||||
8. | Ketentuan Pasal 48 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 48
Setiap orang yang melakukan pemanfaatan sumber daya kelautan sesuai dengan rencana tata ruang dan/atau rencana zonasi dapat diberi insentif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
||||||||||||||||
9. | Ketentuan Pasal 49 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 49
Setiap orang yang melakukan pemanfaatan ruang Laut secara menetap yang tidak memiliki Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan di Laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (3) dikenai sanksi administratif. |
||||||||||||||||
10. | Di antara Pasal 49 dan Pasal 50 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 49A dan Pasal 49B yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 49A
|
1. | Ketentuan Pasal 1 angka 14 dan angka 15 diubah serta angka 13 dihapus sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut: Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
|
||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 7
|
||||||||||
3. | Pasal 12 dihapus. | ||||||||||
4. | Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 13
|
||||||||||
5. | Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 17
|
||||||||||
6. | Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 18
|
||||||||||
7. | Di antara Pasal 22 dan Pasal 23 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 22A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 22A
|
||||||||||
8. | Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 28
|
||||||||||
9. | Ketentuan Pasal 55 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 55
|
||||||||||
10. | Pasal 56 dihapus. |
1. | Ketentuan Pasal 1 angka 11, angka 12, angka 35, angka 36, angka 37, dan angka 38 diubah sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut: Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
|
||||||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 20
|
||||||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 24
|
||||||||||||||
4. | Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 25
Dokumen Amdal memuat:
|
||||||||||||||
5. | Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 26
|
||||||||||||||
6. | Ketentuan Pasal 27 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 27
Dalam menyusun dokumen Amdal, pemrakarsa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dapat menunjuk pihak lain. |
||||||||||||||
7. | Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 28
|
||||||||||||||
8. | Pasal 29 dihapus. | ||||||||||||||
9. | Pasal 30 dihapus. | ||||||||||||||
10. | Pasal 31 dihapus. | ||||||||||||||
11. | Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 32
|
||||||||||||||
12. | Ketentuan Pasal 34 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 34
|
||||||||||||||
13. | Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 35
|
||||||||||||||
14. | Pasal 36 dihapus. | ||||||||||||||
15. | Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 37
Perizinan Berusaha dapat dibatalkan apabila:
|
||||||||||||||
16. | Pasal 38 dihapus. | ||||||||||||||
17. | Ketentuan Pasal 39 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 39
|
||||||||||||||
18. | Pasal 40 dihapus. | ||||||||||||||
19. | Ketentuan Pasal 55 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 55
|
||||||||||||||
20. | Ketentuan Pasal 59 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 59
|
||||||||||||||
21. | Ketentuan Pasal 61 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 61
|
||||||||||||||
22. | Di antara Pasal 61 dan Pasal 62 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 61A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 61A
Dalam hal penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan:
yang merupakan bagian dari kegiatan usaha, pengelolaan tersebut dinyatakan dalam Amdal atau UKL-UPL.
|
||||||||||||||
23. | Ketentuan Pasal 63 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 63
|
||||||||||||||
24. | Ketentuan Pasal 69 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 69
|
||||||||||||||
25. | Ketentuan Pasal 71 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 71
|
||||||||||||||
26. | Ketentuan Pasal 72 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 72
Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat wajib melakukan pengawasan ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap Perizinan Berusaha, atau persetujuan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah.
|
||||||||||||||
27. | Ketentuan Pasal 73 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 73
Menteri dapat melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang Perizinan Berusaha atau persetujuan Pemerintah Daerah diterbitkan oleh Pemerintah Daerah jika Menteri menganggap terjadi pelanggaran yang serius di bidang pelindungan dan pengelolaan lingkungan hidup berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
|
||||||||||||||
28. | Ketentuan Pasal 76 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 76
|
||||||||||||||
29. | Ketentuan Pasal 77 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 77
Menteri dapat menerapkan sanksi administratif terhadap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dalam hal Menteri menganggap Pemerintah Daerah secara sengaja tidak menerapkan sanksi administratif terhadap pelanggaran yang serius di bidang pelindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
|
||||||||||||||
30. | Pasal 79 dihapus. | ||||||||||||||
31. | Ketentuan Pasal 82 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 82
|
||||||||||||||
32. | Di antara Pasal 82 dan Pasal 83 disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal 82A, Pasal 82B, dan Pasal 82C sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 82A
Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki:
Pasal 82B
Pasal 82C
|
||||||||||||||
33. | Ketentuan Pasal 88 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 88
Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi dari usaha dan/atau kegiatannya. |
||||||||||||||
34. | Pasal 93 dihapus. | ||||||||||||||
35. | Pasal 102 dihapus. | ||||||||||||||
36. | Ketentuan Pasal 109 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 109
Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki:
|
||||||||||||||
37. | Pasal 110 dihapus. | ||||||||||||||
38. | Ketentuan Pasal 111 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 111
Pejabat pemberi persetujuan lingkungan yang menerbitkan persetujuan lingkungan tanpa dilengkapi dengan Amdal atau UKL-UPL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). |
||||||||||||||
39. | Ketentuan Pasal 112 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 112
Setiap pejabat berwenang yang dengan sengaja tidak melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap peraturan perundang-undangan dan Perizinan Berusaha, atau persetujuan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 yang mengakibatkan terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan yang mengakibatkan hilangnya nyawa manusia dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). |
1. | Ketentuan Pasal 1 angka 11, angka 14, dan angka 15 diubah dan disisipkan 3 (tiga) angka baru, yakni angka 16, angka 17, dan angka 18 sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut: Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
|
||||||||||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 5
|
||||||||||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 6
|
||||||||||||||||||
4. | Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 7
|
||||||||||||||||||
5. | Pasal 8 dihapus. | ||||||||||||||||||
6. | Pasal 9 dihapus. | ||||||||||||||||||
7. | Pasal 10 dihapus. | ||||||||||||||||||
8. | Pasal 11 dihapus. | ||||||||||||||||||
9. | Pasal 12 dihapus. | ||||||||||||||||||
10. | Pasal 13 dihapus. | ||||||||||||||||||
11. | Pasal 14 dihapus. | ||||||||||||||||||
12. | Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 15
|
||||||||||||||||||
13. | Pasal 16 dihapus. | ||||||||||||||||||
14. | Pasal 17 dihapus. | ||||||||||||||||||
15. | Pasal 18 dihapus. | ||||||||||||||||||
16. | Pasal 19 dihapus. | ||||||||||||||||||
17. | Pasal 20 dihapus. | ||||||||||||||||||
18. | Pasal 21 dihapus. | ||||||||||||||||||
19. | Pasal 22 dihapus. | ||||||||||||||||||
20. | Pasal 23 dihapus. | ||||||||||||||||||
21. | Pasal 24 dihapus. | ||||||||||||||||||
22. | Pasal 25 dihapus. | ||||||||||||||||||
23. | Pasal 26 dihapus. | ||||||||||||||||||
24. | Pasal 27 dihapus. | ||||||||||||||||||
25. | Pasal 28 dihapus. | ||||||||||||||||||
26. | Pasal 29 dihapus. | ||||||||||||||||||
27. | Pasal 30 dihapus. | ||||||||||||||||||
28. | Pasal 31 dihapus. | ||||||||||||||||||
29. | Pasal 32 dihapus. | ||||||||||||||||||
30. | Pasal 33 dihapus. | ||||||||||||||||||
31. | Ketentuan Pasal 34 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 34
|
||||||||||||||||||
32. | Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 35
|
||||||||||||||||||
33. | Pasal 36 dihapus. | ||||||||||||||||||
34. |
Di antara Pasal 36 dan Pasal 37 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 36A dan Pasal 36B yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 36A
Pasal 36B
|
||||||||||||||||||
35. | Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 37
|
||||||||||||||||||
36. | Di antara pasal 37 dan Pasal 38 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 37A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 37A
Ketentuan lebih lanjut mengenai perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan pemanfaatan bangunan gedung diatur dalam Peraturan Pemerintah.
|
||||||||||||||||||
37. | Ketentuan Pasal 39 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 39
|
||||||||||||||||||
38. | Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 40
|
||||||||||||||||||
39. | Ketentuan Pasal 41 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 41
|
||||||||||||||||||
40. | Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 43
|
||||||||||||||||||
41. | Ketentuan Pasal 44 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 44
Setiap pemilik bangunan gedung, Penyedia Jasa Konstruksi, Profesi Ahli, Penilik, pengkaji teknis, dan/atau pengguna bangunan gedung pemilik dan/atau pengguna yang tidak memenuhi kewajiban pemenuhan fungsi, dan/atau persyaratan, dan/atau penyelenggaraan bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini dikenai sanksi administratif.
|
||||||||||||||||||
42. | Ketentuan Pasal 45 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 45
|
||||||||||||||||||
43. | Ketentuan Pasal 46 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 46
|
||||||||||||||||||
44. |
Di antara Pasal 47 dan Pasal 48 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 47A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 47A
|
1. | Ketentuan Pasal 1 angka 3 diubah, serta disisipkan 1 (satu) angka, yakni angka 14 sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut: Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
|
||||||||
2. | Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 5
|
||||||||
3. | Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 6
Untuk melakukan Praktik Arsitek, seseorang wajib memiliki Surat Tanda Registrasi Arsitek. |
||||||||
4. |
Di antara Pasal 6 dan Pasal 7 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 6A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 6A
Dalam hal penyelenggaraan kegiatan untuk menghasilkan karya Arsitektur berupa bangunan gedung sederhana dan bangunan gedung adat, penyelenggaraan kegiatan tidak wajib dilakukan oleh Arsitek.
|
||||||||
5. | Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 13
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penerbitan dan pencabutan Surat Tanda Registrasi Arsitek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 12 diatur dalam Peraturan Pemerintah.
|
||||||||
6. | Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 14
|
||||||||
7. | Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 19
|
||||||||
8. | Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 28
Organisasi Profesi bertugas:
|
||||||||
9. | Ketentuan Pasal 34 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 34
|
||||||||
10. | Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 35
|
||||||||
11. | Pasal 36 dihapus. | ||||||||
12. | Pasal 37 dihapus. | ||||||||
13. | Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 38
|
||||||||
14. | Pasal 39 dihapus. | ||||||||
15. | Pasal 40 dihapus. | ||||||||
16. | Pasal 41 dihapus. |
1. | Ketentuan Pasal 1 angka 11, angka 24, angka 25, dan angka 26 diubah serta angka 16, angka 17, dan angka 18 dihapus sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut: Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
|
||||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 7
|
||||||||||||
3. | Di antara Pasal 20 dan Pasal 21 disisipkan 1 (satu) pasal baru, yakni Pasal 20A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 20A
|
||||||||||||
4. | Ketentuan Pasal 25A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 25A
|
||||||||||||
5. | Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 26
|
||||||||||||
6. | Ketentuan Pasal 27 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 27
|
||||||||||||
7. |
Di antara Pasal 27 dan Pasal 28 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 27A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 27A
|
||||||||||||
8. | Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 28
|
||||||||||||
9. | Ketentuan Pasal 28A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 28A
Setiap orang dilarang:
|
||||||||||||
10. | Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 30
|
||||||||||||
11. | Ketentuan Pasal 31 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 31
|
||||||||||||
12. | Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 32
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||
13. | Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 33
|
||||||||||||
14. | Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 35
|
||||||||||||
15. | Ketentuan Pasal 35A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 35A
|
||||||||||||
16. | Ketentuan Pasal 36 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 36
|
||||||||||||
17. | Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 38
|
||||||||||||
18. | Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 40
Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan membangun, mengimpor, memodifikasi kapal, pendaftaran, pengukuran kapal perikanan, pemberian tanda pengenal kapal perikanan, serta penggunaan 2 (dua) jenis alat penangkapan ikan secara bergantian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38, dan Pasal 39 diatur dalam Peraturan Pemerintah.
|
||||||||||||
19. | Ketentuan Pasal 41 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 41
|
||||||||||||
20. | Ketentuan Pasal 42 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 42
|
||||||||||||
21. | Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 43
Setiap kapal perikanan yang melakukan kegiatan perikanan wajib memenuhi standar laik operasi kapal perikanan dari pengawas perikanan tanpa dikenai biaya.
|
||||||||||||
22. | Ketentuan Pasal 44 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 44
|
||||||||||||
23. | Ketentuan Pasal 45 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 45
Dalam hal kapal perikanan berada dan/atau berpangkalan di luar pelabuhan perikanan, persetujuan berlayar diterbitkan oleh syahbandar setempat setelah memenuhi standar laik operasi dari pengawas perikanan yang ditugaskan pada pelabuhan setempat.
|
||||||||||||
24. | Ketentuan Pasal 49 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 49
Setiap orang asing yang mendapat Perizinan Berusaha untuk melakukan penangkapan ikan di ZEEI dikenai pungutan perikanan.
|
||||||||||||
25. | Ketentuan Pasal 89 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 89
Setiap orang yang melakukan penanganan dan pengolahan ikan yang tidak memenuhi dan tidak menerapkan persyaratan kelayakan pengolahan ikan, sistem jaminan mutu, dan keamanan hasil perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) yang menimbulkan korban terhadap kesehatan manusia dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).
|
||||||||||||
26. | Ketentuan Pasal 92 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 92
Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia melakukan usaha perikanan yang tidak memenuhi Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan denda paling banyak Rpl.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).
|
||||||||||||
27. | Ketentuan Pasal 93 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 93
|
||||||||||||
28. | Ketentuan Pasal 94 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 94
Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal pengangkut ikan yang berbendera Indonesia atau berbendera asing di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia yang melakukan pengangkutan ikan atau kegiatan yang terkait yang tidak memiliki Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah). |
||||||||||||
29. | Ketentuan Pasal 94A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 94A
Setiap orang yang memalsukan dokumen Perizinan Berusaha, menggunakan Perizinan Berusaha palsu, menggunakan Perizinan Berusaha milik kapal lain atau orang lain, dan/atau menggandakan Perizinan Berusaha untuk digunakan oleh kapal lain dan/atau kapal milik sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28A dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). |
||||||||||||
30. | Pasal 95 dihapus. | ||||||||||||
31. | Pasal 96 dihapus. | ||||||||||||
32. | Ketentuan Pasal 97 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 97
|
||||||||||||
33. | Ketentuan Pasal 98 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 98
Nakhoda kapal perikanan yang tidak memiliki persetujuan berlayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). |
||||||||||||
34. | Ketentuan Pasal 100B diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 100B
Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 12, Pasal 14 ayat (4), Pasal 16 ayat (1), Pasal 21, Pasal 23 ayat (1), Pasal 26 ayat (1), Pasal 38, Pasal 42 ayat (3), atau Pasal 55 ayat (1) yang dilakukan oleh Nelayan Kecil dan/atau Pembudi Daya-Ikan Kecil dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah). |
||||||||||||
35. | Ketentuan Pasal 100C diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 100C
Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf f, huruf g, huruf h, huruf i, huruf j, huruf k, huruf 1, atau huruf m dilakukan oleh Nelayan Kecil dan/atau Pembudidaya Ikan Kecil dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). |
||||||||||||
36. | Ketentuan Pasal 101 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 101
Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (1), Pasal 85, Pasal 86, Pasal 87, Pasal 88, Pasal 90, Pasal 91, Pasal 93 atau Pasal 94 dilakukan oleh Korporasi, tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya dan terhadap korporasi dipidana denda dengan tambahan pemberatan 1/3 (sepertiga) dari pidana denda yang dijatuhkan. |
1. | Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 14
|
||||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 15
Perusahaan Perkebunan yang melakukan kegiatan kemitraan atau inti plasma dilarang memindahkan hak atas tanah Usaha Perkebunan yang mengakibatkan terjadinya satuan usaha yang kurang dari luas minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14. |
||||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 16
|
||||||||||||
4. | Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 17
|
||||||||||||
5. | Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 18
|
||||||||||||
6. | Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 24
|
||||||||||||
7. | Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 30
|
||||||||||||
8. | Pasal 31 dihapus. | ||||||||||||
9. | Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 35
|
||||||||||||
10. | Ketentuan Pasal 39 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 39
Pelaku Usaha Perkebunan dapat melakukan Usaha Perkebunan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal. |
||||||||||||
11. | Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 40
Pengalihan kepemilikan Perusahaan Perkebunan kepada penanam modal asing dapat dilakukan setelah memperoleh persetujuan Pemerintah Pusat. |
||||||||||||
12. | Ketentuan Pasal 42 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 42
|
||||||||||||
13. | Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 43
Kegiatan usaha Pengolahan Hasil Perkebunan dapat didirikan pada wilayah Perkebunan swadaya masyarakat yang belum ada usaha Pengolahan Hasil Perkebunan setelah memperoleh hak atas tanah dan Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. |
||||||||||||
14. | Pasal 45 dihapus. | ||||||||||||
15. | Ketentuan Pasal 47 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 47
|
||||||||||||
16. | Ketentuan Pasal 48 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 48
|
||||||||||||
17. | Pasal 49 dihapus. | ||||||||||||
18. | Pasal 50 dihapus. | ||||||||||||
19. | Ketentuan Pasal 58 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 58
|
||||||||||||
20. | Ketentuan Pasal 60 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 60
|
||||||||||||
21. | Ketentuan Pasal 67 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 67
|
||||||||||||
22. | Pasal 68 dihapus. | ||||||||||||
23. | Ketentuan Pasal 70 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 70
|
||||||||||||
24. | Ketentuan Pasal 74 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 74
|
||||||||||||
25. | Ketentuan Pasal 75 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 75
|
||||||||||||
26. | Ketentuan Pasal 93 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 93
|
||||||||||||
27. | Ketentuan Pasal 95 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 95
|
||||||||||||
28. | Ketentuan Pasal 96 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 96
|
||||||||||||
29. | Ketentuan Pasal 97 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 97
|
||||||||||||
30. | Ketentuan Pasal 99 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 99
|
||||||||||||
31. | Ketentuan Pasal 103 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 103
Setiap pejabat yang menerbitkan Perizinan Berusaha terkait Perkebunan di atas Tanah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). |
||||||||||||
32. | Pasal 105 dihapus. | ||||||||||||
33. | Pasal 109 dihapus. |
1. | Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 11
|
||||||||
2. | Ketentuan Pasal 29 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 29
|
||||||||
3. | Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 40
|
||||||||
4. | Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 43
|
||||||||
5. | Ketentuan Pasal 63 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 63
|
1. | Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 19
|
||||||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 22
|
||||||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 32
|
||||||||||||||
4. | Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 43
Pengeluaran Tanaman, Benih Tanaman, Benih Hewan, Bibit Hewan, dan hewan dari wilayah Negara Republik Indonesia oleh Setiap Orang dapat dilakukan jika keperluan dalam negeri telah terpenuhi setelah mendapat Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. |
||||||||||||||
5. | Ketentuan Pasal 44 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 44
|
||||||||||||||
6. | Ketentuan Pasal 86 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 86
|
||||||||||||||
7. | Ketentuan Pasal 102 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 102
|
||||||||||||||
8. | Ketentuan Pasal 108 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 108
|
||||||||||||||
9. | Pasal 111 dihapus. |
1. | Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 15
|
||||||
2. | Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 30
|
||||||
3. | Pasal 101 dihapus. |
1. | Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 15
|
||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 33
|
||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 35
|
||||||||||
4. | Di antara Pasal 35 dan Pasal 36 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 35A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 35A
|
||||||||||
5. | Pasal 48 dihapus. | ||||||||||
6. | Ketentuan Pasal 49 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 49
|
||||||||||
7. | Pasal 51 dihapus. | ||||||||||
8. | Ketentuan Pasal 52 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 52
|
||||||||||
9. | Ketentuan Pasal 54 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 54
|
||||||||||
10. | Ketentuan Pasal 56 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 56
|
||||||||||
11. | Ketentuan Pasal 57 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 57
|
||||||||||
12. | Pasal 63 dihapus. | ||||||||||
13. | Ketentuan Pasal 68 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 68
Ketentuan lebih lanjut mengenai usaha budi daya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65, tata cara pendataan dan pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66, serta izin khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||
14. | Ketentuan Pasal 73 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 73
|
||||||||||
15. | Ketentuan Pasal 88 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 88
|
||||||||||
16. | Ketentuan Pasal 90 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 90
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya dalam meningkatkan pemasaran hortikultura memberikan informasi pasar. |
||||||||||
17. | Ketentuan Pasal 92 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 92
|
||||||||||
18. | Ketentuan Pasal 100 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 100
|
||||||||||
19. | Ketentuan Pasal 101 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 101
Pelaku usaha hortikultura menengah dan besar wajib memberikan kesempatan pemagangan dan alih teknologi. |
||||||||||
20. | Ketentuan Pasal 122 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 122
|
||||||||||
21. | Pasal 126 dihapus. | ||||||||||
22. | Pasal 131 dihapus. |
1. | Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 6
|
||||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 13
|
||||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 15
|
||||||||||||
4. | Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 16
|
||||||||||||
5. | Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 22
|
||||||||||||
6. | Ketentuan Pasal 29 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 29
|
||||||||||||
7. | Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 30
|
||||||||||||
8. | Ketentuan Pasal 36B diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 36B
|
||||||||||||
9. | Ketentuan Pasal 36C diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 36C
|
||||||||||||
10. | Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 37
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat membina dan memfasilitasi berkembangnya industri pengolahan Produk Hewan. |
||||||||||||
11. | Ketentuan Pasal 52 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 52
|
||||||||||||
12. | Ketentuan Pasal 54 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 54
|
||||||||||||
13. | Ketentuan Pasal 59 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 59
|
||||||||||||
14. | Ketentuan Pasal 60 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 60
|
||||||||||||
15. | Ketentuan Pasal 62 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 62
|
||||||||||||
16. | Ketentuan Pasal 69 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 69
|
||||||||||||
17. | Ketentuan Pasal 72 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 72
|
||||||||||||
18. | Ketentuan Pasal 85 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 85
|
||||||||||||
19. | Ketentuan Pasal 88 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 88
Setiap orang yang memproduksi dan/atau mengedarkan alat dan mesin yang belum diuji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3) yang mengakibatkan kerusakan fungsi lingkungan atau membahayakan nyawa orang, dipidana dengan pidana kurungan paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 11 (sebelas) bulan dan denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). |
1. | Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 15
|
||||||||||||||||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 18
|
||||||||||||||||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 19
|
||||||||||||||||||||||||
4. | Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 26
|
||||||||||||||||||||||||
5. | Ketentuan Pasal 27 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 27
Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) dapat diberikan kepada:
|
||||||||||||||||||||||||
6. | Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 28
|
||||||||||||||||||||||||
7. | Ketentuan Pasal 29 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 29
Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dapat diberikan kepada:
|
||||||||||||||||||||||||
8. | Di antara Pasal 29 dan Pasal 30 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 29A dan Pasal 29B sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 29A
Pasal 29B
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha pemanfaatan hutan dan kegiatan perhutanan sosial diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||||||||||||||
9. | Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 30
Dalam rangka pemberdayaan ekonomi masyarakat, setiap badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan badan usaha milik swasta yang memperoleh Perizinan Berusaha pemanfaatan hutan, wajib bekerja sama dengan koperasi masyarakat setempat. |
||||||||||||||||||||||||
10. | Ketentuan Pasal 31 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 31
|
||||||||||||||||||||||||
11. | Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 32
Pemegang Perizinan Berusaha wajib untuk menjaga, memelihara, dan melestarikan hutan yang dikelolanya. |
||||||||||||||||||||||||
12. | Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 33
|
||||||||||||||||||||||||
13. | Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 35
|
||||||||||||||||||||||||
14. | Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 38
|
||||||||||||||||||||||||
15. | Ketentuan Pasal 48 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 48
|
||||||||||||||||||||||||
16. | Ketentuan Pasal 49 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 49
|
||||||||||||||||||||||||
17. | Ketentuan Pasal 50 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 50
|
||||||||||||||||||||||||
18. | Di antara Pasal 50 dan Pasal 51 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 50A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 50A
|
||||||||||||||||||||||||
19. | Ketentuan Pasal 78 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 78
|
||||||||||||||||||||||||
20. | Ketentuan Pasal 80 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 80
|
1. | Ketentuan Pasal 1 angka 3, angka 5, angka 23, dan angka 24 diubah sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut: Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
|
||||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 7
Pencegahan perusakan hutan dilakukan oleh masyarakat, badan hukum, dan/atau korporasi yang memperoleh Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan hutan. |
||||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 12 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 12
Setiap orang dilarang:
|
||||||||||||
4. | Di antara Pasal 12 dan Pasal 13 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 12A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 12A
|
||||||||||||
5. | Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 17
|
||||||||||||
6. | Di antara Pasal 17 dan Pasal 18 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 17A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 17A
|
||||||||||||
7. | Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 18
|
||||||||||||
8. | Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 24
Setiap orang dilarang:
|
||||||||||||
9. | Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 28
Setiap pejabat dilarang:
|
||||||||||||
10. | Pasal 53 dihapus. | ||||||||||||
11. | Pasal 54 dihapus. | ||||||||||||
12. | Ketentuan Pasal 82 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 82
|
||||||||||||
13. | Ketentuan Pasal 83 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 83
|
||||||||||||
14. | Ketentuan Pasal 84 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 84
|
||||||||||||
15. | Ketentuan Pasal 85 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 85
|
||||||||||||
16. | Ketentuan Pasal 92 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 92
|
||||||||||||
17. | Ketentuan Pasal 93 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 93
|
||||||||||||
18. | Ketentuan Pasal 96 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 96
|
||||||||||||
19. | Ketentuan Pasal 105 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 105
Setiap pejabat yang:
|
||||||||||||
20. | Di antara Pasal 110 dan Pasal 111 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 110A dan Pasal 110B sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 110A
Pasal 110B
|
||||||||||||
21. | Pasal 111 dihapus. | ||||||||||||
22. | Pasal 112 dihapus. |
1. | Di antara Pasal 128 dan 129 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 128A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 128A
|
||||||
2. | Ketentuan Pasal 162 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 162
Setiap orang yang merintangi atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan dari pemegang IUP, IUPK, IPR atau SIPB yang telah memenuhi syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86F huruf b dan Pasal 136 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). |
1. | Ketentuan Pasal 1 angka 21 dan angka 22 diubah, dan angka 23 dihapus sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut: Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
|
||||||||
2. | Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 4
|
||||||||
3. | Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 5
|
||||||||
4. | Ketentuan Pasal 23 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 23
|
||||||||
5. | Di antara Pasal 23 dan Pasal 24 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 23A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 23A
|
||||||||
6. | Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 25
|
||||||||
7. | Ketentuan Pasal 52 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 52
Setiap orang yang melakukan Eksplorasi dan/atau Eksploitasi tanpa memiliki Perizinan Berusaha atau Kontrak Kerja Sama dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling tinggi Rp60.000.000.000,00 (enam puluh miliar rupiah). |
||||||||
8. | Ketentuan Pasal 53 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 53
Jika tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23A mengakibatkan timbulnya korban/kerusakan terhadap kesehatan, keselamatan, dan/atau lingkungan, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling tinggi Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah). |
||||||||
9. | Ketentuan Pasal 55 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 55
Setiap orang yang menyalahgunakan Pengangkutan dan/atau Niaga Bahan Bakar Minyak, bahan bakar gas, dan/atau liquefied petroleum gas yang disubsidi Pemerintah dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling tinggi Rp60.000.000.000,00 (enam puluh miliar rupiah). |
1. | Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 4
|
||||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 5
|
||||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 6
Kewenangan Pemerintah Pusat dalam penyelenggaraan Panas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) meliputi:
|
||||||||||||
4. | Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 7
Kewenangan Pemerintah Daerah provinsi dalam penyelenggaraan Panas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat meliputi:
|
||||||||||||
5. | Ketentuan Pasal 8 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 8
Kewenangan Pemerintah Daerah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan Panas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat, meliputi:
|
||||||||||||
6. | Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 11
|
||||||||||||
7. | Pasal 12 dihapus. | ||||||||||||
8. | Pasal 13 dihapus. | ||||||||||||
9. | Pasal 14 dihapus. | ||||||||||||
10. | Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 15
Ketentuan lebih lanjut mengenai norma, standar, prosedur dan kriteria pengusahaan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, termasuk harga energi Panas Bumi, diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||
11. | Ketentuan Pasal 23 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 23
|
||||||||||||
12. | Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 24
Dalam hal kegiatan pengusahaan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Tidak Langsung berada di Kawasan Hutan, pemegang Perizinan Berusaha terkait Panas Bumi wajib memenuhi Perizinan Berusaha di bidang kehutanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
||||||||||||
13. | Pasal 25 dihapus. | ||||||||||||
14. | Ketentuan Pasal 36 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 36
|
||||||||||||
15. | Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 37
Pemerintah Pusat dapat membatalkan Perizinan Berusaha di bidang Panas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf d jika :
|
||||||||||||
16. | Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 38
|
||||||||||||
17. | Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 40
|
||||||||||||
18. | Ketentuan Pasal 42 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 42
|
||||||||||||
19. | Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 43
|
||||||||||||
20. | Ketentuan Pasal 46 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 46
Setiap Orang dilarang menghalangi atau merintangi pengusahaan Panas Bumi yang telah memegang Perizinan Berusaha terkait Panas Bumi dan telah menyelesaikan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42. |
||||||||||||
21. | Ketentuan Pasal 47 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 47
Pelaku usaha Pemanfaatan Langsung berhak melakukan pengusahaan Panas Bumi sesuai dengan Perizinan Berusaha yang diberikan. |
||||||||||||
22. | Ketentuan Pasal 48 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 48
Pelaku usaha Pemanfaatan Langsung wajib:
|
||||||||||||
23. | Ketentuan Pasal 49 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 49
Pelaku usaha Pemanfaatan Langsung wajib memenuhi kewajiban berupa:
|
||||||||||||
24. | Ketentuan Pasal 50 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 50
|
||||||||||||
25. | Ketentuan Pasal 56 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 56
|
||||||||||||
26. | Ketentuan Pasal 59 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 59
|
||||||||||||
27. | Pasal 60 dihapus. | ||||||||||||
28. | Ketentuan Pasal 67 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 67
Setiap Orang yang dengan sengaja melakukan pengusahaan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Langsung tanpa Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) yang mengakibatkan timbulnya korban/kerusakan kesehatan, keselamatan, dan/atau lingkungan dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah). |
||||||||||||
29. | Ketentuan Pasal 68 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 68
Setiap Orang yang memiliki Perizinan Berusaha terkait Pemanfaatan Langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) yang dengan sengaja melakukan pengusahaan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Langsung tidak pada lokasi yang ditetapkan dalam Perizinan Berusaha yang mengakibatkan timbulnya korban/kerusakan kesehatan, keselamatan, dan/atau lingkungan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Rp7.000.000.000,00 (tujuh miliar rupiah). |
||||||||||||
30. | Ketentuan Pasal 69 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 69
Setiap Orang yang dengan sengaja melakukan pengusahaan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Langsung yang tidak sesuai dengan peruntukannya, yang mengakibatkan timbulnya korban/kerusakan terhadap kesehatan, keselamatan, dan/atau lingkungan dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). |
||||||||||||
31. | Ketentuan Pasal 70 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 70
Badan Usaha pemilik Perizinan Berusaha di bidang Panas Bumi yang dengan sengaja melakukan Eksplorasi, Eksploitasi, dan/atau pemanfaatan bukan pada Wilayah Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) dipidana dengan denda paling banyak Rp70.000.000.000,00 (tujuh puluh miliar rupiah). |
||||||||||||
32. | Ketentuan Pasal 71 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 71
Badan Usaha yang dengan sengaja melakukan pengusahaan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Tidak Langsung tanpa Perizinan Berusaha di bidang Panas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) yang mengakibatkan timbulnya korban/kerusakan terhadap kesehatan, keselamatan, dan/atau lingkungan dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah). |
||||||||||||
33. | Ketentuan Pasal 72 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 72
Badan Usaha pemilik Perizinan Berusaha di bidang Panas Bumi yang dengan sengaja menggunakan Perizinan Berusaha di bidang Panas Bumi tidak sesuai dengan peruntukannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah). |
||||||||||||
34. | Ketentuan Pasal 73 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 73
Setiap Orang yang dengan sengaja menghalangi atau merintangi pengusahaan Panas Bumi terhadap pemegang Perizinan Berusaha di bidang Panas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun atau pidana denda paling banyak Rp70.000.000.000,00 (tujuh puluh miliar rupiah). |
||||||||||||
35. | Pasal 74 dihapus. |
1. | Ketentuan Pasal 1 angka 10, angka 12, angka 15, dan angka 16 diubah, serta angka 11 dihapus sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut: Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
|
||||||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 3 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 3
|
||||||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 4
|
||||||||||||||
4. | Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 5
|
||||||||||||||
5. | Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 7
|
||||||||||||||
6. | Ketentuan Pasal 10 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 10
|
||||||||||||||
7. | Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 11
|
||||||||||||||
8. | Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 13
|
||||||||||||||
9. | Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 16
|
||||||||||||||
10. | Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 18
Usaha penyediaan tenaga listrik dan usaha penunjang tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dilaksanakan setelah mendapatkan Perizinan Berusaha. |
||||||||||||||
11. | Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 19
|
||||||||||||||
12. | Pasal 20 dihapus. | ||||||||||||||
13. | Ketentuan Pasal 21 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 21
|
||||||||||||||
14. | Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 22
Perizinan Berusaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) huruf b diwajibkan untuk pembangkit tenaga listrik dengan kapasitas tertentu yang diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||||
15. | Ketentuan Pasal 23 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 23
|
||||||||||||||
16. | Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 24
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum dan usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan sendiri diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||||
17. | Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 25
Penetapan Perizinan Berusaha industri penunjang tenaga listrik untuk industri dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perindustrian. |
||||||||||||||
18. | Ketentuan Pasal 27 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 27
|
||||||||||||||
19. | Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 28
Pemegang Perizinan Berusaha untuk kegiatan penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum wajib:
|
||||||||||||||
20. | Ketentuan Pasal 29 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 29
|
||||||||||||||
21. | Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 30
|
||||||||||||||
22. | Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 32
|
||||||||||||||
23. | Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 33
|
||||||||||||||
24. | Ketentuan Pasal 34 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 34
|
||||||||||||||
25. | Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 35
Pemegang Perizinan Berusaha untuk kegiatan penyediaan tenaga listrik dilarang menerapkan tarif tenaga listrik untuk konsumen yang tidak sesuai dengan penetapan Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34. |
||||||||||||||
26. | Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 37
Jual beli tenaga listrik lintas negara dilakukan oleh pemegang Perizinan Berusaha untuk kegiatan penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum berdasarkan Perizinan Berusaha. |
||||||||||||||
27. | Ketentuan Pasal 44 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 44
|
||||||||||||||
28. | Ketentuan Pasal 45 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 45
|
||||||||||||||
29. | Ketentuan Pasal 46 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 46
|
||||||||||||||
30. | Ketentuan Pasal 48 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 48
|
||||||||||||||
31. | Ketentuan Pasal 49 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 49
|
||||||||||||||
32. | Ketentuan Pasal 50 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 50
|
||||||||||||||
33. | Di antara Pasal 50 dan Pasal 51 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 51A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 51A
Setiap orang yang mendirikan bangunan atau membiarkan bangunan dan/atau menanam kembali tanaman yang telah:
|
||||||||||||||
34. | Pasal 52 dihapus. | ||||||||||||||
35. | Ketentuan Pasal 54 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 54
|
1. | Di antara Pasal 2 dan Pasal 3 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 2A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 2A
Pemerintah Pusat berwenang memberikan Perizinan Berusaha terkait ketenaganukliran. |
||||||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 4
|
||||||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 9
|
||||||||||||||
4. | Di antara Pasal 9 dan Pasal 10 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 9A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 9A
|
||||||||||||||
5. | Pasal 10 dihapus. | ||||||||||||||
6. | Penjelasan Pasal 14 diubah sebagaimana tercantum dalam penjelasan. | ||||||||||||||
7. | Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 17
|
||||||||||||||
8. | Pasal 18 dihapus. | ||||||||||||||
9. | Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 20
|
||||||||||||||
10. | Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 25
|
||||||||||||||
11. | Ketentuan Pasal 41 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 41
|
1. | Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 15
Pembangunan sumber daya Industri meliputi:
|
||||||||||||||||||
2. | Di antara Pasal 48 dan Pasal 49 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 48A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 48A
|
||||||||||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 50 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 50
|
||||||||||||||||||
4. | Ketentuan Pasal 53 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 53
|
||||||||||||||||||
5. | Ketentuan Pasal 57 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 57
|
||||||||||||||||||
6. | Ketentuan Pasal 59 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 59
|
||||||||||||||||||
7. | Ketentuan Pasal 84 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 84
|
||||||||||||||||||
8. | Ketentuan Pasal 101 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 101
|
||||||||||||||||||
9. | Pasal 102 dihapus. | ||||||||||||||||||
10. | Ketentuan Pasal 104 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 104
Setiap Perusahaan Industri yang memenuhi Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 ayat (3) dapat melakukan perluasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
||||||||||||||||||
11. | Ketentuan Pasal 105 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 105
|
||||||||||||||||||
12 | Di antara Pasal 105 dan Pasal 106 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 105A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 105A
Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha Kawasan Industri yang berada di kawasan ekonomi khusus dilakukan sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang kawasan ekonomi khusus yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. |
||||||||||||||||||
13. | Ketentuan Pasal 106 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 106
|
||||||||||||||||||
14. | Ketentuan Pasal 108 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 108
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101, Pasal 104, Pasal 105 dan kewajiban berlokasi di Kawasan Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 serta tata cara pengenaan sanksi administratif dan besaran denda administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 107 diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||||||||
15. | Ketentuan Pasal 115 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 115
|
||||||||||||||||||
16. | Ketentuan Pasal 117 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 117
|
1. | Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 6
|
||||||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 11
Ketentuan lebih lanjut mengenai Distribusi Barang diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 14
|
||||||||||||||
4. | Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 15
|
||||||||||||||
5. | Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 17
|
||||||||||||||
6. | Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 24
|
||||||||||||||
7. | Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 30
|
||||||||||||||
8. | Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 33
|
||||||||||||||
9. | Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 37
|
||||||||||||||
10. | Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 38
|
||||||||||||||
11. | Ketentuan Pasal 42 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 42
|
||||||||||||||
12. | Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 43
|
||||||||||||||
13. | Ketentuan Pasal 45 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 45
|
||||||||||||||
14. | Ketentuan Pasal 46 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 46
|
||||||||||||||
15. | Ketentuan Pasal 47 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 47
|
||||||||||||||
16. | Pasal 49 dihapus. | ||||||||||||||
17. | Ketentuan Pasal 51 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 51
|
||||||||||||||
18. | Ketentuan Pasal 52 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 52
|
||||||||||||||
19. | Ketentuan Pasal 53 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 53
|
||||||||||||||
20. | Ketentuan Pasal 57 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 57
|
||||||||||||||
21. | Ketentuan Pasal 60 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 60
|
||||||||||||||
22. | Ketentuan Pasal 61 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 61
|
||||||||||||||
23. | Ketentuan Pasal 63 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 63
Penyedia Jasa yang memperdagangkan Jasa yang tidak dilengkapi dengan sertifikat kesesuaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (4) dikenai sanksi administratif.
|
||||||||||||||
24. | Ketentuan Pasal 65 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 65
|
||||||||||||||
25. | Ketentuan Pasal 74 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 74
|
||||||||||||||
26. | Ketentuan Pasal 77 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 77
|
||||||||||||||
27. | Di antara Pasal 77 dan Pasal 78 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 77A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 77A
|
||||||||||||||
28. |
Ketentuan Pasal 81 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 81
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelenggaraan, kemudahan dan keikutsertaan dalam Promosi Dagang dalam rangka kegiatan pencitraan Indonesia diatur dalam Peraturan Pemerintah.
|
||||||||||||||
29. | Ketentuan Pasal 98 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 98
|
||||||||||||||
30. | Ketentuan Pasal 99 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 99
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (1) mempunyai wewenang melakukan:
|
||||||||||||||
31. | Ketentuan Pasal 100 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 100
|
||||||||||||||
32. | Ketentuan Pasal 102 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 102
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pengawasan kegiatan Perdagangan dan pengawasan terhadap Barang yang ditetapkan sebagai Barang dalam pengawasan diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||||
33. | Ketentuan Pasal 104 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 104
|
||||||||||||||
34. | Ketentuan Pasal 106 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 106
|
||||||||||||||
35. | Ketentuan Pasal 109 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 109
Produsen atau Importir yang memperdagangkan Barang terkait dengan keamanan, keselamatan, kesehatan, dan/atau lingkungan hidup yang tidak didaftarkan kepada Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) yang mengakibatkan timbulnya korban/kerusakan terhadap keamanan, keselamatan, kesehatan, dan/atau lingkungan hidup dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
|
||||||||||||||
36. | Ketentuan Pasal 116 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 116
Setiap Pelaku Usaha yang menyelenggarakan pameran dagang dengan mengikutsertakan peserta dan/atau produk yang dipromosikan berasal dari luar negeri yang tidak mendapatkan Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). |
1. | Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 13
Pemerintah Pusat mengatur tentang:
|
||||
2. | Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 17
|
||||
3. | Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 18
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||
4. | Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 24
Ketentuan lebih lanjut mengenai barang dalam keadaan terbungkus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dan Pasal 23 diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
1. | Di antara Pasal 4 dan Pasal 5 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 4A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 4A
|
||||||||||||
2. | Penjelasan Pasal 7 diubah sebagaimana tercantum dalam Penjelasan. | ||||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 10 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 10
|
||||||||||||
4. | Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 13
|
||||||||||||
5. | Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 14
|
||||||||||||
6. | Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 16
Ketentuan lebih lanjut mengenai LPH dan Auditor Halal diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||
7. | Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 22
|
||||||||||||
8. | Ketentuan Pasal 27 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 27
|
||||||||||||
9. | Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 28
|
||||||||||||
10. | Ketentuan Pasal 29 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 29
|
||||||||||||
11. | Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 30
|
||||||||||||
12. | Ketentuan Pasal 31 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 31
|
||||||||||||
13. | Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 32
|
||||||||||||
14. | Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 33
|
||||||||||||
15. | Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 35
Sertifikat Halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) diterbitkan oleh BPJPH paling lama 1 (satu) hari kerja terhitung sejak fatwa kehalalan Produk. |
||||||||||||
16. | Di antara Pasal 35 dan Pasal 36 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 35A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 35A
Apabila LPH tidak dapat memenuhi batas waktu yang telah ditetapkan dalam proses sertifikasi halal, LPH tersebut akan dievaluasi dan/atau dikenai sanksi administratif. |
||||||||||||
17. | Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 40
Ketentuan lebih lanjut mengenai Label Halal diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||
18. | Ketentuan Pasal 41 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 41
|
||||||||||||
19. | Ketentuan Pasal 42 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 42
|
||||||||||||
20. | Ketentuan Pasal 44 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 44
|
||||||||||||
21. | Ketentuan Pasal 48 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 48
|
||||||||||||
22. | Ketentuan Pasal 53 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 53
|
||||||||||||
23. | Ketentuan Pasal 55 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 55
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara peran serta masyarakat dan pemberian penghargaan diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||
24. | Ketentuan Pasal 56 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 56
Pelaku Usaha yang tidak menjaga kehalalan Produk yang telah memperoleh Sertifikat Halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). |
1. | Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 26
|
||||||||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 29 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 29
|
||||||||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 33
|
||||||||||||||||
4. | Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 35
Pembangunan perumahan skala besar dengan hunian berimbang meliputi rumah sederhana, rumah menengah, dan rumah mewah. |
||||||||||||||||
5. | Ketentuan Pasal 36 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 36
|
||||||||||||||||
6. | Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 40
|
||||||||||||||||
7. | Ketentuan Pasal 42 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 42
|
||||||||||||||||
8. | Ketentuan Pasal 53 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 53
|
||||||||||||||||
9. | Ketentuan Pasal 55 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 55
|
||||||||||||||||
10. | Ketentuan Pasal 107 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 107
|
||||||||||||||||
11. | Ketentuan Pasal 109 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 109
|
||||||||||||||||
12. | Ketentuan Pasal 114 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 114
|
||||||||||||||||
13. | Di antara BAB IX dan BAB X disisipkan 1 (satu) BAB, yakni BAB IXA sehingga berbunyi sebagai berikut: BAB IXA
BADAN PERCEPATAN PENYELENGGARAAN PERUMAHAN Pasal 117A
Pasal 117B
|
||||||||||||||||
14. | Ketentuan Pasal 134 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 134
Setiap orang dilarang menyelenggarakan pembangunan perumahan yang tidak sesuai dengan kriteria, spesifikasi, persyaratan, prasana, sarana, utilitas umum yang diperjanjikan, dan standar. |
||||||||||||||||
15. | Ketentuan Pasal 150 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 150
|
||||||||||||||||
16. | Ketentuan Pasal 151 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 151
Setiap orang yang menyelenggarakan pembangunan perumahan yang membangun perumahan tidak sesuai dengan kriteria, spesifikasi, persyaratan, prasarana, sarana, dan utilitas umum yang diperjanjikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134 yang mengakibatkan timbulnya korban/kerusakan terhadap kesehatan, keselamatan, dan/atau lingkungan dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). |
||||||||||||||||
17. | Ketentuan Pasal 153 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 153
|
1. | Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 16
|
||||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 24
|
||||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 26
|
||||||||||||
4. | Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 28
Dalam melakukan pembangunan rumah susun, pelaku pembangunan harus memenuhi ketentuan administratif yang meliputi:
|
||||||||||||
5. | Ketentuan Pasal 29 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 29
|
||||||||||||
6. | Pasal 30 dihapus. | ||||||||||||
7. | Ketentuan Pasal 31 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 31
|
||||||||||||
8. | Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 32
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha terkait rencana fungsi dan pemanfaatan serta pengubahannya diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||
9. | Pasal 33 dihapus. | ||||||||||||
10. | Ketentuan Pasal 39 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 39
|
||||||||||||
11. | Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 40
|
||||||||||||
12. | Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 43
|
||||||||||||
13. | Ketentuan Pasal 54 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 54
|
||||||||||||
14. | Ketentuan Pasal 56 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 56
|
||||||||||||
15. | Ketentuan Pasal 67 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 67
|
||||||||||||
16. | Pasal 72 dihapus. | ||||||||||||
17. | Pasal 73 dihapus. | ||||||||||||
18. | Ketentuan Pasal 107 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 107
Setiap orang yang menyelenggarakan rumah susun tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2), Pasal 22 ayat (3), Pasal 25 ayat (1), Pasal 26 ayat (1), Pasal 39 ayat (1), Pasal 40 ayat (1), Pasal 51 ayat (3), Pasal 52, Pasal 59 ayat (1), Pasal 61 ayat (1), Pasal 66, Pasal 74 ayat (1), Pasal 98, Pasal 100, atau Pasal 101 dikenai sanksi administratif. |
||||||||||||
19. | Ketentuan Pasal 108 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 108
|
||||||||||||
20. | Pasal 110 dihapus. | ||||||||||||
21. | Pasal 112 dihapus. | ||||||||||||
22. | Ketentuan Pasal 113 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 113
Setiap orang yang:
|
||||||||||||
23. | Ketentuan Pasal 114 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 114
Setiap pejabat yang:
|
||||||||||||
24. | Ketentuan Pasal 117 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 117
|
1. | Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 5
|
||||||||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 6
|
||||||||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 7
Kewenangan Pemerintah Daerah provinsi dilaksanakan sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat pada sub-urusan Jasa Konstruksi meliputi:
|
||||||||||||||||
4. | Ketentuan Pasal 8 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 8
Kewenangan Pemerintah Daerah kabupaten/kota dilaksanakan sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat pada sub-urusan Jasa Konstruksi meliputi:
|
||||||||||||||||
5. | Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 9
Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 8, Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dapat melibatkan masyarakat Jasa Konstruksi. |
||||||||||||||||
6. | Ketentuan Pasal 10 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 10
Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab dan kewenangan serta Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 9 diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||||||
7. | Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 20
|
||||||||||||||||
8. | Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 26
|
||||||||||||||||
9. | Ketentuan Pasal 27 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 27
Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) diberikan oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat kepada usaha orang perseorangan yang berdomisili di wilayahnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
||||||||||||||||
10. | Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 28
Perizinan Berusaha sebagaimana dimasud dalam Pasal 26 ayat (1) diberikan oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat kepada badan usaha yang berdomisili di wilayahnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
||||||||||||||||
11. | Ketentuan Pasal 29 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 29
|
||||||||||||||||
12. | Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 30
|
||||||||||||||||
13. | Pasal 31 dihapus. | ||||||||||||||||
14. | Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 33
|
||||||||||||||||
15. | Ketentuan Pasal 34 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 34
|
||||||||||||||||
16. | Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 35
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian Perizinan Berusaha, tata cara kerja sama operasi, dan penggunaan lebih banyak tenaga kerja Indonesia, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, dan pemberian Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||||||
17. | Pasal 36 dihapus. | ||||||||||||||||
18. | Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 38
|
||||||||||||||||
19. | Pasal 42 dihapus. | ||||||||||||||||
20. | Ketentuan Pasal 44 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 44
Pengguna Jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (2) dilarang menggunakan Penyedia Jasa yang terafiliasi pada pembangunan untuk kepentingan umum tanpa melalui tender, seleksi, atau katalog elektronik. |
||||||||||||||||
21. | Pasal 57 dihapus. | ||||||||||||||||
22. | Pasal 58 dihapus. | ||||||||||||||||
23. | Ketentuan Pasal 59 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 59
|
||||||||||||||||
24. | Ketentuan Pasal 69 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 69
|
||||||||||||||||
25. | Ketentuan Pasal 72 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 72
|
||||||||||||||||
26. | Pasal 74 dihapus. | ||||||||||||||||
27. | Ketentuan Pasal 84 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 84
|
||||||||||||||||
28. | Ketentuan Pasal 89 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 89
Setiap usaha orang perseorangan dan badan usaha yang tidak memiliki Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa:
|
||||||||||||||||
29. | Pasal 92 dihapus. | ||||||||||||||||
30. | Ketentuan Pasal 96 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 96
|
||||||||||||||||
31. | Ketentuan Pasal 99 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 99
|
||||||||||||||||
32. | Pasal 101 dihapus. | ||||||||||||||||
33. | Ketentuan Pasal 102 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 102
Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89, Pasal 90, Pasal 91, Pasal 93, Pasal 94, Pasal 95, Pasal 96, Pasal 97, Pasal 98, Pasal 99, dan Pasal 100 diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
1. | Ketentuan Pasal 8 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 8
|
||||||||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 9
|
||||||||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 12 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 12
Tugas dan wewenang Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) meliputi tugas dan wewenang Pemerintah Daerah provinsi dan/atau Pemerintah Daerah kabupaten/ kota sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. |
||||||||||||||||
4. | Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 17
Pemerintah desa atau yang disebut dengan nama lain sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat memiliki tugas:
|
||||||||||||||||
5. | Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 19
|
||||||||||||||||
6. | Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 40
|
||||||||||||||||
7. | Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 43
|
||||||||||||||||
8. | Ketentuan Pasal 44 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 44
|
||||||||||||||||
9. | Ketentuan Pasal 45 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 45
|
||||||||||||||||
10. | Ketentuan Pasal 49 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 49
|
||||||||||||||||
11. | Ketentuan Pasal 50 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 50
Perizinan Berusaha penggunaan Sumber Daya Air untuk kebutuhan usaha dengan menggunakan Air dan Daya Air sebagai materi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1) huruf b yang menghasilkan produk berupa Air minum untuk kebutuhan pokok sehari-hari diberikan kepada badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan usaha milik desa penyelenggara Sistem Penyediaan Air Minum. |
||||||||||||||||
12. | Ketentuan Pasal 51 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 51
|
||||||||||||||||
13. | Ketentuan Pasal 52 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 52
|
||||||||||||||||
14. | Ketentuan Pasal 56 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 56
|
||||||||||||||||
15. | Ketentuan Pasal 70 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 70
Setiap Orang yang dengan sengaja:
|
||||||||||||||||
16. | Ketentuan Pasal 73 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 73
Setiap Orang yang karena kelalaiannya:
|
1. | Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 19
|
||||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 36 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 36
Setiap Kendaraan Bermotor Umum dalam trayek wajib singgah di Terminal yang sudah ditentukan, kecuali ditetapkan lain dalam trayek yang telah disetujui dalam Perizinan Berusaha. |
||||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 38
|
||||||||||||
4. | Ketentuan Pasal 39 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 39
|
||||||||||||
5. | Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 40
|
||||||||||||
6. | Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 43
|
||||||||||||
7. | Ketentuan Pasal 50 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 50
|
||||||||||||
8. | Ketentuan Pasal 53 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 53
|
||||||||||||
9. | Ketentuan Pasal 60 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 60
|
||||||||||||
10. | Ketentuan Pasal 78 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 78
|
||||||||||||
11. | Ketentuan Pasal 99 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 99
|
||||||||||||
12. | Pasal 100 dihapus. | ||||||||||||
13. | Pasal 101 dihapus. | ||||||||||||
14. | Ketentuan Pasal 126 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 126
Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum angkutan orang dilarang:
|
||||||||||||
15. | Ketentuan Pasal 162 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 162
|
||||||||||||
16. | Ketentuan Pasal 165 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 165
|
||||||||||||
17. | Ketentuan Pasal 170 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 170
|
||||||||||||
18. | Ketentuan Pasal 173 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 173
|
||||||||||||
19. | Pasal 174 dihapus. | ||||||||||||
20. | Pasal 175 dihapus. | ||||||||||||
21. | Pasal 176 dihapus. | ||||||||||||
22. | Pasal 177 dihapus. | ||||||||||||
23. | Pasal 178 dihapus. | ||||||||||||
24. | Ketentuan Pasal 179 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 179
|
||||||||||||
25. | Pasal 180 dihapus. | ||||||||||||
26.. | Ketentuan Pasal 185 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 185
|
||||||||||||
27. | Ketentuan Pasal 199 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 199
|
||||||||||||
28 | Ketentuan Pasal 220 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 220
|
||||||||||||
29. | Ketentuan Pasal 222 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 222
|
||||||||||||
30. | Pasal 308 dihapus. |
1. | Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 24
|
||||||||
2. | Di antara Pasal 24 dan Pasal 25 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 24A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 24A
Badan Usaha yang menyelenggarakan prasarana perkeretaapian umum yang tidak memenuhi Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) dikenai sanksi administratif. |
||||||||
3. | Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 28
Penyelenggara Sarana Perkeretaapian yang mengoperasikan sarana perkeretaapian tidak memenuhi standar kelaikan operasi sarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dikenai sanksi administratif. |
||||||||
4. | Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 32
|
||||||||
5. | Di antara Pasal 32 dan Pasal 33 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 32A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 32A
Badan Usaha yang menyelenggarakan sarana perkeretaapian umum yang tidak memenuhi Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dikenai sanksi administratif. |
||||||||
6. | Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 33
|
||||||||
7. | Di antara Pasal 33 dan Pasal 34 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 33A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 33A
Penyelenggara perkeretaapian khusus yang tidak memenuhi Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2), dikenai sanksi administratif. |
||||||||
8. | Ketentuan Pasal 77 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 77
Setiap badan hukum atau lembaga yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 dikenai sanksi administratif. |
||||||||
9. | Di antara Pasal 80 dan Pasal 81 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 80A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 80A
Petugas prasarana perkeretaapian yang mengoperasikan Prasarana Perkeretaapian tidak memiliki sertifikat kecakapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (1) dikenai sanksi administratif. |
||||||||
10. | Ketentuan Pasal 82 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 82
Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 dikenai sanksi administratif. |
||||||||
11. | Ketentuan Pasal 107 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 107
Setiap badan hukum atau lembaga yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 dikenai sanksi administratif. |
||||||||
12. | Ketentuan Pasal 112 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 112
Apabila penyelenggara sarana perkeretaapian dalam melaksanakan pemeriksaan tidak menggunakan tenaga yang memiliki kualifikasi keahlian dan tidak sesuai dengan tata cara yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111, dikenai sanksi administratif. |
||||||||
13. | Di antara Pasal 116 dan Pasal 117 disisipkan 2 (dua) pasal yakni Pasal 116A dan Pasal 116B sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 116A
Awak Sarana Perkeretaapian yang mengoperasikan sarana Perkeretaapian tidak memiliki sertifikat kecakapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) dikenai sanksi administratif. Pasal 116B
Penyelenggara Sarana Perkeretaapian yang mengoperasikan Sarana Perkeretaapian dengan Awak Sarana Perkeretaapian yang tidak memiliki sertifikat tanda kecakapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) dikenai sanksi administratif. |
||||||||
14. | Ketentuan Pasal 135 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 135
Penyelenggara Sarana Perkeretaapian yang tidak menyediakan angkutan dengan kereta api lain atau moda transportasi lain sampai stasiun tujuan atau tidak memberi ganti rugi senilai harga karcis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134 ayat (4) dikenai sanksi administratif. |
||||||||
15. | Ketentuan Pasal 168 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 168
Penyelenggara Sarana Perkeretaapian yang tidak mengasuransikan tanggung jawabnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 167 ayat (1) dikenai sanksi administratif. |
||||||||
16. | Di antara Pasal 185 dan Pasal 186 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 185A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 185A
|
||||||||
17. | Ketentuan Pasal 188 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 188
Badan Usaha yang menyelenggarakan prasarana perkeretaapian umum yang tidak memiliki Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) yang mengakibatkan timbulnya korban terhadap manusia dan/atau kerusakan terhadap kesehatan, keselamatan, dan/atau lingkungan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun atau pidana denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). |
||||||||
18. | Ketentuan Pasal 190 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 190
Badan Usaha yang menyelenggarakan sarana perkeretaapian umum yang tidak memenuhi Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) yang mengakibatkan timbulnya korban terhadap manusia dan/atau kerusakan terhadap kesehatan, keselamatan, dan/atau lingkungan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun atau pidana denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). |
||||||||
19. | Ketentuan Pasal 191 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 191
Jika tindakan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33A mengakibatkan timbulnya kecelakaan kereta api dan/atau kerugian bagi harta benda, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan 6 (enam) bulan dan pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). |
||||||||
20. | Ketentuan Pasal 195 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 195
Petugas prasarana perkeretaapian yang mengoperasikan Prasarana Perkeretaapian tidak memiliki sertifikat kecakapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (1) yang mengakibatkan terjadinya kecelakaan dan/atau menimbulkan korban dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun. |
||||||||
21. | Ketentuan Pasal 196 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 196
|
||||||||
22. | Ketentuan Pasal 203 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 203
|
||||||||
23. | Ketentuan Pasal 204 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 204
|
||||||||
24. | Ketentuan Pasal 210 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 210
|
1. | Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 5
|
||||||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 9
|
||||||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 13
|
||||||||||||||
4. | Di antara Pasal 14 dan Pasal 15 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 14A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 14A
|
||||||||||||||
5. | Ketentuan Pasal 27 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 27
Untuk melakukan kegiatan angkutan di perairan, orang perseorangan warga negara Indonesia atau Badan Usaha wajib memenuhi Perizinan Berusaha. |
||||||||||||||
6. | Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 28
|
||||||||||||||
7. | Pasal 30 dihapus. | ||||||||||||||
8. | Ketentuan Pasal 31 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 31
|
||||||||||||||
9. | Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 32
|
||||||||||||||
10. | Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 33
Badan Usaha yang didirikan khusus untuk usaha jasa terkait dengan angkutan di perairan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1), wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. |
||||||||||||||
11. | Ketentuan Pasal 34 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 34
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan Perizinan Berusaha jasa terkait dengan angkutan di perairan diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||||
12. | Ketentuan Pasal 51 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 51
|
||||||||||||||
13. | Ketentuan Pasal 52 diubah sehinga berbunyi sebagai berikut: Pasal 52
|
||||||||||||||
14. | Ketentuan Pasal 59 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 59
|
||||||||||||||
15. | Ketentuan Pasal 90 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 90
|
||||||||||||||
16. | Ketentuan Pasal 91 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 91
|
||||||||||||||
17. | Ketentuan Pasal 96 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 96
|
||||||||||||||
18. | Ketentuan Pasal 97 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 97
|
||||||||||||||
19. | Ketentuan Pasal 98 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 98
|
||||||||||||||
20. | Ketentuan Pasal 99 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 99
Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis kegiatan pengusahaan di pelabuhan serta Perizinan Berusaha terkait pembangunan dan pengoperasian pelabuhan diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||||
21. | Pasal 103 dihapus. | ||||||||||||||
22. | Ketentuan Pasal 104 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 104
|
||||||||||||||
23. | Ketentuan Pasal 106 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 106
Terminal khusus yang sudah tidak dioperasikan sesuai dengan Perizinan Berusaha yang telah diberikan dapat diserahkan kepada Pemerintah Pusat atau dikembalikan seperti keadaan semula atau diusulkan untuk perubahan status menjadi terminal khusus untuk menunjang usaha pokok yang lain atau menjadi pelabuhan. |
||||||||||||||
24. | Pasal 107 dihapus. | ||||||||||||||
25. | Ketentuan Pasal 111 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 111
|
||||||||||||||
26. | Ketentuan Pasal 124 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 124
Setiap pengadaan, pembangunan, dan pengerjaan kapal termasuk perlengkapannya serta pengoperasian kapal di perairan Indonesia harus memenuhi persyaratan keselamatan kapal yang sesuai dengan ketentuan standar internasional. |
||||||||||||||
27. | Ketentuan Pasal 125 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 125
|
||||||||||||||
28. | Ketentuan Pasal 126 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 126
|
||||||||||||||
29. | Ketentuan Pasal 127 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 127
|
||||||||||||||
30. | Ketentuan Pasal 129 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 129
|
||||||||||||||
31. | Ketentuan Pasal 130 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 130
|
||||||||||||||
32. | Ketentuan Pasal 133 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 133
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengesahan gambar dan pembangunan kapal serta pemeriksaan dan sertifikasi keselamatan kapal diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||||
33. | Penjelasan Pasal 154 diubah sebagaimana tercantum dalam Penjelasan. | ||||||||||||||
34. | Ketentuan Pasal 155 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 155
|
||||||||||||||
35. | Ketentuan Pasal 157 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 157
|
||||||||||||||
36. | Ketentuan Pasal 158 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 158
|
||||||||||||||
37. | Ketentuan Pasal 159 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 159
|
||||||||||||||
38. | Ketentuan Pasal 163 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 163
|
||||||||||||||
39. | Ketentuan Pasal 168 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 168
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengukuran dan penerbitan surat ukur, tata cara, persyaratan, dan dokumentasi pendaftaran kapal serta tata cara dan persyaratan penerbitan Surat Tanda Kebangsaan Kapal diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||||
40. | Ketentuan Pasal 169 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 169
|
||||||||||||||
41. | Ketentuan Pasal 170 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 170
|
||||||||||||||
42. | Ketentuan Pasal 171 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 171
|
||||||||||||||
43. | Ketentuan Pasal 197 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 197
|
||||||||||||||
44. | Ketentuan Pasal 204 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 204
|
||||||||||||||
45. | Ketentuan Pasal 213 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 213
|
||||||||||||||
46. | Ketentuan Pasal 225 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 225
|
||||||||||||||
47. | Ketentuan Pasal 243 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 243
|
||||||||||||||
48. | Ketentuan Pasal 273 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 273
|
||||||||||||||
49. | Ketentuan Pasal 288 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 288
Setiap orang yang mengoperasikan kapal pada angkutan sungai dan danau tanpa memenuhi Perizinan Berusaha untuk trayek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (4) yang menimbulkan kecelakaan kapal, korban manusia, atau kerugian harta benda dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). |
||||||||||||||
50. | Ketentuan Pasal 289 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 289
Setiap orang yang mengoperasikan kapal pada angkutan penyeberangan tanpa memenuhi Perizinan Berusaha terkait persetujuan pengoperasian kapal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (6) yang menimbulkan kecelakaan kapal, korban manusia, atau kerugian harta benda dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). |
||||||||||||||
51. | Ketentuan Pasal 290 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 290
Setiap orang yang menyelenggarakan usaha jasa terkait dengan angkutan di perairan tanpa memenuhi Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 yang menimbulkan korban manusia atau kerugian harta benda dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). |
||||||||||||||
52. | Ketentuan Pasal 291 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 291
Setiap orang yang tidak melaksanakan kewajibannya untuk mengangkut penumpang dan/atau barang terutama angkutan pos sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) yang mengakibatkan timbulnya kerugian pihak lain dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah). |
||||||||||||||
53. | Ketentuan Pasal 292 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 292
Setiap orang yang tidak mengasuransikan tanggung jawabnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3) yang mengakibatkan timbulnya kerugian pihak lain dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan dan denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). |
||||||||||||||
54. | Ketentuan Pasal 293 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 293
Setiap orang yang tidak memberikan fasilitas khusus dan kemudahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) yang menimbulkan kecelakaan dan/atau korban manusia dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan dan denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). |
||||||||||||||
55. | Ketentuan Pasal 294 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 294
|
||||||||||||||
56. | Ketentuan Pasal 295 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 295
Setiap orang yang mengangkut barang berbahaya dan barang khusus yang tidak menyampaikan pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 yang mengakibatkan timbulnya korban dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan dan denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). |
||||||||||||||
57. | Ketentuan Pasal 296 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 296
Setiap orang yang tidak mengasuransikan tanggung jawabnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 yang mengakibatkan timbulnya kerugian pihak lain dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah). |
||||||||||||||
58. | Ketentuan Pasal 297 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 297
|
||||||||||||||
59. | Ketentuan Pasal 298 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 298
Setiap orang yang tidak memberikan jaminan atas pelaksanaan tanggung jawab ganti rugi dalam melaksanakan kegiatan di pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 ayat (3) yang mengakibatkan timbulnya korban dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan dan denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). |
||||||||||||||
60. | Ketentuan Pasal 299 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 299
Setiap orang yang membangun dan mengoperasikan terminal khusus tanpa memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 ayat (2) yang mengakibatkan timbulnya korban/kerusakan kesehatan, keselamatan, dan/atau lingkungan dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). |
||||||||||||||
61. | Ketentuan Pasal 307 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 307
Setiap orang yang mengoperasikan kapal tanpa dilengkapi dengan perangkat komunikasi radio dan kelengkapannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 131 ayat (2) yang mengakibatkan timbulnya kecelakaan kapal, korban manusia, atau kerugian barang dan harta benda dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). |
||||||||||||||
62. | Ketentuan Pasal 308 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 308
Setiap orang yang mengoperasikan kapal tidak dilengkapi dengan peralatan meteorologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 132 ayat (1) yang mengakibatkan timbulnya kecelakaan kapal, korban manusia, atau kerugian barang dan harta benda dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). |
||||||||||||||
63. | Ketentuan Pasal 310 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 310
Setiap orang yang mempekerjakan Awak Kapal tanpa memenuhi persyaratan kualifikasi dan kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 135 yang mengakibatkan timbulnya korban atau kerugian harta benda dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). |
||||||||||||||
64. | Ketentuan Pasal 313 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 313
Setiap orang yang menggunakan peti kemas sebagai bagian dari alat angkut tanpa memenuhi persyaratan kelaikan peti kemas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 149 ayat (1) yang mengakibatkan timbulnya korban atau kerugian harta benda dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). |
||||||||||||||
65. | Ketentuan Pasal 314 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 314
Setiap orang yang tidak memasang tanda pendaftaran pada kapal yang telah terdaftar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158 ayat (5) yang mengakibatkan timbulnya korban atau kerugian harta benda dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). |
||||||||||||||
66. | Ketentuan Pasal 321 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 321
Pemilik kapal yang tidak menyingkirkan kerangka kapal dan/atau muatannya yang mengganggu keselamatan dan keamanan pelayaran dalam batas waktu yang ditetapkan pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 203 ayat (1) yang mengakibatkan timbulnya korban/kecelakaan kapal dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). |
||||||||||||||
67. | Ketentuan Pasal 322 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 322
Nakhoda yang melakukan kegiatan perbaikan, percobaan berlayar, kegiatan alih muat di kolam pelabuhan, menunda, dan bongkar muat barang berbahaya tanpa persetujuan dari Syahbandar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 216 ayat (1) yang mengakibatkan timbulnya korban atau terjadinya kecelakaan kapal dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). |
||||||||||||||
68. | Ketentuan Pasal 336 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 336
|
1. | Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 13
|
||||||||||||
2. | Pasal 14 dihapus. | ||||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 15
Pesawat udara, mesin pesawat udara, atau baling-baling pesawat terbang yang dibuat berdasarkan rancang bangun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 untuk diproduksi harus memiliki sertifikat tipe. |
||||||||||||
4. | Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 16
|
||||||||||||
5. | Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 17
Setiap perubahan terhadap rancang bangun pesawat udara, mesin pesawat udara, atau baling-baling pesawat terbang yang telah mendapat sertifikat tipe sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 harus mendapat persetujuan dari Pemerintah Pusat. |
||||||||||||
6. | Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 18
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur mendapatkan persetujuan rancang bangun, kegiatan rancang bangun, perubahan rancang bangun pesawat udara, sertifikat validasi tipe, dan sertifikat tipe diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||
7. | Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 19
|
||||||||||||
8. | Pasal 20 dihapus. | ||||||||||||
9. | Pasal 21 dihapus. | ||||||||||||
10. | Pasal 22 dihapus. | ||||||||||||
11. | Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 26
Pesawat udara yang telah didaftarkan dan memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 diterbitkan sertifikat pendaftaran. |
||||||||||||
12. | Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 30
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pendaftaran dan penghapusan tanda pendaftaran dan tanda kebangsaan Indonesia serta kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||
13. | Pasal 31 dihapus. | ||||||||||||
14. | Pasal 32 dihapus. | ||||||||||||
15. | Pasal 33 dihapus. | ||||||||||||
16. | Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 37
Sertifikat kelaikudaraan standar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 terdiri atas:
|
||||||||||||
17. | Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 40
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur untuk memperoleh sertifikat kelaikudaraan dan kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||
18. | Ketentuan Pasal 41 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 41
|
||||||||||||
19. | Pasal 42 dihapus. | ||||||||||||
20. | Pasal 43 dihapus. | ||||||||||||
21. | Ketentuan Pasal 45 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 45
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur memperoleh sertifikat operator pesawat udara atau sertifikat pengoperasian pesawat udara dan kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||
22. | Ketentuan Pasal 46 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 46
|
||||||||||||
23. | Ketentuan Pasal 47 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 47
Perawatan pesawat udara, mesin pesawat udara, serta baling-baling pesawat terbang dan komponennya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 hanya dapat dilakukan oleh:
|
||||||||||||
24. | Pasal 48 dihapus. | ||||||||||||
25. | Ketentuan Pasal 49 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 49
Sertifikat organisasi perawatan pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 huruf b dapat diberikan kepada organisasi perawatan pesawat udara di luar negeri yang memenuhi persyaratan setelah memiliki sertifikat organisasi perawatan pesawat udara yang diterbitkan oleh otoritas penerbangan negara yang bersangkutan. |
||||||||||||
26. | Ketentuan Pasal 50 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 50
Setiap orang yang melanggar ketentuan perawatan pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dikenai sanksi administratif. |
||||||||||||
27. | Ketentuan Pasal 51 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 51
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara, prosedur, dan pemberian sertifikat organisasi perawatan pesawat udara dan lisensi ahli perawatan pesawat udara dan kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||
28. | Ketentuan Pasal 58 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 58
|
||||||||||||
29. | Ketentuan Pasal 60 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 60
Lisensi personel pesawat udara yang diberikan oleh negara lain dapat diakui melalui pengesahan oleh Pemerintah Pusat. |
||||||||||||
30. | Ketentuan Pasal 61 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 61
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, tata cara dan prosedur memperoleh lisensi, atau sertifikat kompetensi dan lembaga pendidikan dan/atau sertifikat pelatihan diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||
31. | Ketentuan Pasal 63 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 63
|
||||||||||||
32. | Pasal 64 dihapus. | ||||||||||||
33. | Ketentuan Pasal 66 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 66
Ketentuan lebih lanjut mengenai proses dan biaya sertifikasi diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||
34. | Ketentuan Pasal 67 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 67
|
||||||||||||
35. | Ketentuan Pasal 84 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 84
Angkutan udara niaga dalam negeri hanya dapat dilakukan oleh badan usaha angkutan udara nasional yang telah memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. |
||||||||||||
36. | Ketentuan Pasal 85 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 85
|
||||||||||||
37. | Ketentuan Pasal 91 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 91
|
||||||||||||
38. | Ketentuan Pasal 93 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 93
|
||||||||||||
39. | Ketentuan Pasal 94 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 94
|
||||||||||||
40. | Ketentuan Pasal 95 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 95
|
||||||||||||
41. | Ketentuan Pasal 96 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 96
Ketentuan lebih lanjut mengenai angkutan udara niaga, kerja sama angkutan udara, dan sanksi administratif termasuk prosedur dan tata cara pengenaan, diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||
42. | Ketentuan Pasal 97 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 97
|
||||||||||||
43. | Pasal 99 dihapus. | ||||||||||||
44. | Ketentuan Pasal 100 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 100
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayanan badan usaha angkutan udara niaga berjadwal diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||
45. | Ketentuan Pasal 109 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 109
Kegiatan angkutan udara niaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 dilakukan oleh badan usaha di bidang angkutan udara niaga nasional setelah memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. |
||||||||||||
46. | Pasal 110 dihapus. | ||||||||||||
47. | Pasal 111 dihapus. | ||||||||||||
48. | Ketentuan Pasal 112 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 112
Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 berlaku selama pemegang Perizinan Berusaha masih menjalankan kegiatan angkutan udara secara nyata dengan terus menerus mengoperasikan pesawat udara sesuai dengan Perizinan Berusaha yang diberikan. |
||||||||||||
49. | Ketentuan Pasal 113 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 113
|
||||||||||||
50. | Ketentuan Pasal 114 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 114
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, tata cara, dan prosedur memperoleh Perizinan Berusaha terkait angkutan udara niaga diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||
51. | Ketentuan Pasal 118 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 118
|
||||||||||||
52. | Ketentuan Pasal 119 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 119
|
||||||||||||
53. | Ketentuan Pasal 120 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 120
Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban pemegang Perizinan Berusaha, persyaratan, dan sanksi administratif termasuk prosedur dan tata cara pengenaan sanksi diatur, dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||
54. | Ketentuan Pasal 130 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 130
Ketentuan lebih lanjut mengenai tarif angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri kelas ekonomi dan angkutan udara perintis serta sanksi administratif, termasuk prosedur dan tata cara pengenaan sanksi diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||
55. | Pasal 131 dihapus. | ||||||||||||
56. | Pasal 132 dihapus. | ||||||||||||
57. | Pasal 133 dihapus. | ||||||||||||
58. | Ketentuan Pasal 137 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 137
Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 ayat (5) diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||
59. | Ketentuan Pasal 138 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 138
|
||||||||||||
60. | Ketentuan Pasal 139 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 139
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengangkutan barang khusus dan barang berbahaya serta kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||
61. | Ketentuan Pasal 205 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 205
|
||||||||||||
62. | Pasal 215 dihapus. | ||||||||||||
63 | Ketentuan Pasal 218 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 218
Ketentuan lebih lanjut mengenai keselamatan dan keamanan penerbangan, pelayanan jasa bandar udara, serta tata cara dan prosedur untuk memperoleh sertifikat bandar udara atau register bandar udara dan kriteria, jenis, besaran denda, serta tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||
64. | Ketentuan Pasal 219 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 219
|
||||||||||||
65. | Ketentuan Pasal 221 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 221
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengoperasian fasilitas bandar udara serta kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||
66. | Ketentuan Pasal 222 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 222
|
||||||||||||
67. | Ketentuan Pasal 224 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 224
Lisensi personel bandar udara yang diberikan oleh negara lain dinyatakan sah melalui pengesahan atau validasi oleh Pemerintah Pusat. |
||||||||||||
68. | Ketentuan Pasal 225 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 225
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, tata cara dan prosedur memperoleh lisensi, lembaga pendidikan dan/atau pelatihan, serta kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||
69. | Ketentuan Pasal 233 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 233
|
||||||||||||
70. | Ketentuan Pasal 237 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 237
Pemerintah Pusat mengembangkan usaha kebandarudaraan melalui penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal. |
||||||||||||
71. | Ketentuan Pasal 238 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 238
Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan pengusahaan di bandar udara, serta kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||
72. | Ketentuan Pasal 242 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 242
Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab atas kerugian serta kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||
73. | Ketentuan Pasal 247 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 247
|
||||||||||||
74. | Ketentuan Pasal 249 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 249
Bandar udara khusus dilarang melayani penerbangan langsung dari dan/atau ke luar negeri kecuali dalam keadaan tertentu dan bersifat sementara setelah memperoleh persetujuan dari Pemerintah Pusat. |
||||||||||||
75. | Ketentuan Pasal 250 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 250
Bandar udara khusus dilarang digunakan untuk kepentingan umum, kecuali dalam keadaan tertentu dengan persetujuan dari Pemerintah Pusat. |
||||||||||||
76. | Ketentuan Pasal 252 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 252
Ketentuan lebih lanjut mengenai persetujuan pembangunan dan pengoperasian bandar udara khusus serta perubahan status menjadi bandar udara yang dapat melayani kepentingan umum diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||
77. | Ketentuan Pasal 253 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 253
Tempat pendaratan dan lepas landas helikopter terdiri atas:
|
||||||||||||
78. | Ketentuan Pasal 254 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 254
|
||||||||||||
79. | Ketentuan Pasal 255 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 255
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pemberian persetujuan pembangunan dan pengoperasian tempat pendaratan dan lepas landas helikopter (heliport) diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||
80. | Ketentuan Pasal 275 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 275
|
||||||||||||
81. | Ketentuan Pasal 277 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 277
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pembentukan dan sertifikasi lembaga penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan serta biaya pelayanan jasa navigasi penerbangan diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||
82. | Ketentuan Pasal 292 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 292
|
||||||||||||
83. | Ketentuan Pasal 294 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 294
Lisensi personel navigasi penerbangan yang diberikan oleh negara lain dinyatakan sah melalui pengesahan atau validasi oleh Pemerintah Pusat. |
||||||||||||
84. | Ketentuan Pasal 295 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 295
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, tata cara dan prosedur memperoleh lisensi, kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||
85. | Ketentuan Pasal 317 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 317
Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem manajemen keselamatan penyedia jasa penerbangan, kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||
86. | Ketentuan Pasal 389 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 389
Setiap personel di bidang penerbangan yang telah memiliki sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 388 dapat diberi lisensi oleh Pemerintah Pusat setelah memenuhi persyaratan. |
||||||||||||
87. | Ketentuan Pasal 392 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 392
Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikat kompetensi dan lisensi serta penyusunan program pelatihan diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||
88. | Ketentuan Pasal 418 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 418
Setiap orang yang melakukan kegiatan angkutan udara niaga tidak berjadwal luar negeri tanpa persetujuan terbang dari Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah). |
||||||||||||
89. | Ketentuan Pasal 423 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 423
|
||||||||||||
90. | Ketentuan Pasal 428 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 428
|
1. | Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 30
|
||||||||
2. | Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 35
Ketentuan lebih lanjut mengenai fasilitas pelayanan kesehatan dan Perizinan Berusaha diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||
3. | Ketentuan Pasal 60 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 60
|
||||||||
4. | Ketentuan Pasal 106 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 106
|
||||||||
5. | Ketentuan Pasal 111 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 111
|
||||||||
6. | Ketentuan Pasal 182 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 182
|
||||||||
7. | Ketentuan Pasal 183 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 183
Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 182 dalam melaksanakan tugasnya dapat mengangkat tenaga pengawas dengan tugas pokok untuk melakukan pengawasan terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan sumber daya di bidang kesehatan dan upaya kesehatan. |
||||||||
8. | Ketentuan Pasal 187 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 187
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan dalam penyelenggaraan upaya di bidang kesehatan diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||
9. | Ketentuan Pasal 188 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 188
Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dapat mengambil tindakan administratif terhadap tenaga kesehatan dan fasilitas pelayanan kesehatan yang melanggar ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. |
||||||||
10. | Ketentuan Pasal 197 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 197
Setiap Orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1), dan ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah). |
1. | Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 17
|
||||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 24
|
||||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 25
|
||||||||||||
4. | Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 26
|
||||||||||||
5. | Ketentuan Pasal 27 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 27
Perizinan Berusaha terkait Rumah Sakit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dapat dicabut jika:
|
||||||||||||
6. | Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 28
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha terkait Rumah Sakit diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||
7. | Ketentuan Pasal 29 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 29
|
||||||||||||
8. | Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 40
|
||||||||||||
9. | Ketentuan Pasal 54 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 54
|
||||||||||||
10. | Ketentuan Pasal 62 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 62
Setiap orang yang dengan sengaja menyelenggarakan Rumah Sakit tidak memiliki Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) yang mengakibatkan timbulnya korban/kerusakan terhadap kesehatan, keselamatan, dan/atau lingkungan dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp7.000.000.000,00 (tujuh miliar rupiah). |
1. | Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 5
Psikotropika hanya dapat diproduksi oleh industri farmasi yang telah memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. |
||||||||
2. | Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 9
|
||||||||
3. | Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 16
|
||||||||
4. | Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 18
|
||||||||
5. | Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 19
Pemerintah Pusat menyampaikan surat persetujuan impor terkait impor psikotropika kepada pemerintah negara pengekspor psikotropika. |
||||||||
6. | Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 20
Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan ekspor atau impor psikotropika diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||
7. | Ketentuan Pasal 21 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 21
|
||||||||
8. | Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 22
|
1. | Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 11
|
||||||||
2. | Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 15
|
||||||||
3. | Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 16
|
||||||||
4. | Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 18
|
||||||||
5. | Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 19
|
||||||||
6. | Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 22
Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara memperoleh Surat Persetujuan Impor dan Surat Persetujuan Ekspor diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||
7. | Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 24
|
||||||||
8. | Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 26
|
||||||||
9. | Ketentuan Pasal 36 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 36
|
||||||||
10. | Ketentuan Pasal 39 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 39
|
1. | Ketentuan Pasal 1 angka 7 diubah sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut: Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
|
||||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 14
|
||||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 15
|
||||||||||||
4. | Ketentuan Pasal 36 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 36
|
||||||||||||
5. | Ketentuan Pasal 39 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 39
Pemerintah Pusat menetapkan kebijakan dan peraturan Impor Pangan dalam rangka keberlanjutan usaha tani, peningkatan kesejahteraan petani, Nelayan, Pembudi Daya Ikan, serta Pelaku Usaha Pangan mikro dan kecil. |
||||||||||||
6. | Ketentuan Pasal 68 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 68
|
||||||||||||
7. | Ketentuan Pasal 72 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 72
|
||||||||||||
8. | Ketentuan Pasal 74 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 74
|
||||||||||||
9. | Ketentuan Pasal 77 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 77
|
||||||||||||
10. | Ketentuan Pasal 81 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 81
|
||||||||||||
11. | Pasal 87 dihapus. | ||||||||||||
12. | Ketentuan Pasal 88 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 88
|
||||||||||||
13. | Di antara Pasal 89 dan Pasal 90 disisipkan satu pasal, yakni Pasal 89A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 89A
|
||||||||||||
14. | Ketentuan Pasal 91 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 91
|
||||||||||||
15. | Ketentuan Pasal 133 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 133
Pelaku Usaha Pangan yang dengan sengaja menimbun atau menyimpan melebihi jumlah maksimal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 dengan maksud untuk memperoleh keuntungan yang mengakibatkan harga Pangan Pokok menjadi mahal atau melambung tinggi dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun atau denda paling banyak Rp150.000.000.000,00 (seratus lima puluh miliar rupiah). |
||||||||||||
16. | Ketentuan Pasal 134 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 134
|
||||||||||||
17. | Ketentuan Pasal 135 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 135
|
||||||||||||
18. | Ketentuan Pasal 139 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 139
|
||||||||||||
19. | Ketentuan Pasal 140 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 140
|
||||||||||||
20. | Ketentuan Pasal 141 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 141
|
||||||||||||
21. | Ketentuan Pasal 142 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 142
|
(1) | Pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan dapat dilakukan melalui Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini. |
(2) | Ketentuan lebih lanjut pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
1. | Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 14
|
||||||
2. | Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 17
|
||||||
3. | Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 22
|
||||||
4. | Ketentuan Pasal 78 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 78
|
||||||
5. | Pasal 79 dihapus. |
1. | Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 14
|
||||||
2. | Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 15
|
||||||
3. | Pasal 16 dihapus. | ||||||
4. | Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 26
|
||||||
5. | Ketentuan Pasal 29 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 29
|
||||||
6. | Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 30
|
||||||
7. | Ketentuan Pasal 54 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 54
|
||||||
8. | Pasal 56 dihapus. | ||||||
9. | Pasal 64 dihapus. |
1. | Ketentuan Pasal 1 angka 11 dan angka 19 diubah sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut: Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
|
||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 19
|
||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 20
Pemerintah Pusat melakukan pengawasan terhadap PIHK yang memberangkatkan warga negara Indonesia yang mendapatkan undangan visa haji mujamalah dari pemerintah Kerajaan Arab Saudi. |
||||||||||
4. | Ketentuan Pasal 58 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 58
Untuk mendapatkan Perizinan Berusaha menjadi PIHK, badan hukum harus memenuhi persyaratan:
|
||||||||||
5. | Ketentuan Pasal 59 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 59
|
||||||||||
6. | Ketentuan Pasal 61 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 61
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan PIHK dan pembukaan kantor cabang PIHK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 dan Pasal 60 diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||
7. | Ketentuan Pasal 63 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 63
|
||||||||||
8. | Ketentuan Pasal 83 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 83
|
||||||||||
9. | Ketentuan Pasal 84 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 84
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengawasan dan evaluasi oleh Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||
10. | Ketentuan Pasal 85 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 85
|
||||||||||
11. | Ketentuan Pasal 89 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 89
|
||||||||||
12. | Ketentuan Pasal 90 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 90
|
||||||||||
13. | Ketentuan Pasal 91 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 91
|
||||||||||
14. | Ketentuan Pasal 92 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 92
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha dan pembukaan kantor cabang PPIU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89, Pasal 90, dan Pasal 91 diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||
15. | Ketentuan Pasal 94 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 94
|
||||||||||
16. | Ketentuan Pasal 95 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 95
|
||||||||||
17. | Ketentuan Pasal 99 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 99
|
||||||||||
18. | Ketentuan Pasal 101 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 101
|
||||||||||
19. | Ketentuan Pasal 103 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 103
Pemerintah Pusat menetapkan standar akreditasi PPIU. |
||||||||||
20. | Ketentuan Pasal 104 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 104
|
||||||||||
21. | Ketentuan Pasal 106 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 106
Ketentuan lebih lanjut mengenai akreditasi terhadap PPIU diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||
22. | Di antara Pasal 118 dan Pasal 119 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 118A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 118A
|
||||||||||
23. | Di antara Pasal 119 dan Pasal 120 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 119A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 119A
|
||||||||||
24. | Ketentuan Pasal 125 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 125
Dalam hal PIHK yang melakukan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118A dalam waktu paling lama 5 (lima) hari tidak memulangkan Jemaah Haji Khusus ke tanah air, PIHK dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau pidana denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). |
||||||||||
25. | Ketentuan Pasal 126 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 126
Dalam hal PPIU yang melakukan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119A dalam waktu paling lama 5 (lima) hari tidak memulangkan Jemaah Umroh ke tanah air, PPIU dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau pidana denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). |
1. | Ketentuan Pasal 10 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 10
|
||||||
2. | Ketentuan Pasal 12 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 12
|
||||||
3. | Pasal 13 dihapus. | ||||||
4. | Ketentuan Pasal 39 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 39
|
1. | Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 11
|
||||||||||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 28
|
||||||||||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 30
|
||||||||||||||||||
4. | Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 32
|
||||||||||||||||||
5. | Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 33
|
||||||||||||||||||
6. | Ketentuan Pasal 34 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 34
|
||||||||||||||||||
7. | Di antara Pasal 34 dan Pasal 35 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 34A dan Pasal 34B sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 34A
Pasal 34B
|
||||||||||||||||||
8. | Ketentuan Pasal 45 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 45
|
||||||||||||||||||
9. | Pasal 46 dihapus. | ||||||||||||||||||
10. | Ketentuan Pasal 47 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 47
Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah). |
||||||||||||||||||
11. | Pasal 48 dihapus. |
1. | Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 16
|
||||||
2. | Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 25
|
||||||
3. | Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 33
|
||||||
4. | Pasal 34 dihapus. | ||||||
5. | Ketentuan Pasal 55 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 55
|
||||||
6. | Ketentuan Pasal 57 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 57
|
||||||
7. | Ketentuan Pasal 58 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 58
|
||||||
8. | Di antara Pasal 60 dan Pasal 61 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 60A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 60A
|
1. | Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 11
Industri alat utama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a merupakan:
|
||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 21 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 21
|
||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 38
|
||||||||||
4. | Ketentuan Pasal 52 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 52
|
||||||||||
5. | Ketentuan Pasal 55 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 55
Setiap Orang yang mengekspor dan/atau melakukan transfer alat peralatan yang digunakan untuk pertahanan dan keamanan negara lain wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. |
||||||||||
6. | Ketentuan Pasal 56 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 56
|
||||||||||
7. | Ketentuan Pasal 66 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 66
Setiap Orang dilarang membocorkan informasi yang bersifat rahasia mengenai formulasi rancang bangun teknologi Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan bagi pertahanan dan keamanan. |
||||||||||
8. | Ketentuan Pasal 67 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 67
Setiap Orang dilarang memproduksi Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan tanpa memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. |
||||||||||
9. | Ketentuan Pasal 68 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 68
Setiap Orang dilarang menjual, mengekspor, dan/atau melakukan transfer Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan tanpa memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. |
||||||||||
10. | Ketentuan Pasal 69 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 69
Setiap Orang dilarang membeli dan/atau mengimpor Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan tanpa memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. |
||||||||||
11. | Di antara Pasal 69 dan 70 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 69A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 69A
|
||||||||||
12. | Ketentuan Pasal 72 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 72
|
||||||||||
13. | Ketentuan Pasal 73 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 73
|
||||||||||
14. | Ketentuan Pasal 74 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 74
|
||||||||||
15. | Ketentuan Pasal 75 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 75
Setiap orang yang membeli dan/atau mengimpor Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan tanpa memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 dan persetujuan dari Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada Pasal 69A dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah). |
(1) | Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan Pasal 14, Kepolisian Negara Republik Indonesia secara umum berwenang:
|
(2) | Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan berwenang:
|
(3) | Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf d diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. |
1. | Ketentuan Pasal 2 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 2
Ketentuan dalam Undang-Undang ini berlaku dan menjadi acuan utama bagi penanaman modal di semua sektor di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. |
||||||||
2. | Ketentuan Pasal 12 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 12
|
||||||||
3. | Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 13
|
||||||||
4. | Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 18
|
||||||||
5. | Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 25
|
(1) | Bank Umum dapat didirikan oleh:
|
(2) | Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan pendirian yang wajib dipenuhi pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan. |
(1) | Bank Umum Syariah hanya dapat didirikan dan/atau dimiliki oleh:
|
(2) | Bank Pembiayaan Rakyat Syariah hanya dapat didirikan dan/atau dimiliki oleh:
|
(3) | Maksimum kepemilikan Bank Umum Syariah oleh badan hukum asing ditentukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal. |
1. | Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 13
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 14
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 37
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
4. | Ketentuan Pasal 42 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 42
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
5. | Pasal 43 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
6. | Pasal 44 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
7. | Ketentuan Pasal 45 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 45
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
8. | Pasal 46 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
9. | Ketentuan Pasal 47 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 47
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
10. | Pasal 48 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
11. | Ketentuan Pasal 49 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 49
Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan tenaga kerja asing diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
12. | Ketentuan Pasal 56 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 56
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
13. | Ketentuan Pasal 57 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 57
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
14. | Ketentuan Pasal 58 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 58
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
15. | Ketentuan Pasal 59 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 59
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
16. | Ketentuan Pasal 61 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 61
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
17. | Di antara Pasal 61 dan Pasal 62 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 61A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 61A
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
18. | Pasal 64 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
19. | Pasal 65 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
20. | Ketentuan Pasal 66 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 66
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
21. | Ketentuan Pasal 77 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 77
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
22. | Ketentuan Pasal 78 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 78
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
23. | Ketentuan Pasal 79 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 79
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
24. | Ketentuan Pasal 88 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 88
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
25. | Di antara Pasal 88 dan Pasal 89 disisipkan 5 (lima) pasal, yakni Pasal 88A, Pasal 88B, Pasal 88C, Pasal 88D, dan Pasal 88E sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 88A
Pasal 88B
Pasal 88C
Pasal 88D
Pasal 88E
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
26. | Pasal 89 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
27. | Pasal 90 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
28. | Di antara Pasal 90 dan Pasal 91 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 90A dan Pasal 90B sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 90A
Upah di atas upah minimum ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh di perusahaan.
Pasal 90B
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
29. | Pasal 91 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
30. | Ketentuan Pasal 92 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 92
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
31. | Di antara Pasal 92 dan Pasal 93 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 92A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 92A
Pengusaha melakukan peninjauan upah secara berkala dengan memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas.
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
32 | Ketentuan Pasal 94 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 94
Dalam hal komponen upah terdiri atas upah pokok dan tunjangan tetap, besarnya upah pokok paling sedikit 75% (tujuh puluh lima persen) dari jumlah upah pokok dan tunjangan tetap. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
33 | Ketentuan Pasal 95 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 95
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
34 | Pasal 96 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
35 | Pasal 97 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
36 | Ketentuan Pasal 98 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 98
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
37 | Ketentuan Pasal 151 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 151
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
38 | Di antara Pasal 151 dan Pasal 152 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 151A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 151A
Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (2) tidak perlu dilakukan oleh pengusaha dalam hal:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
39 | Pasal 152 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
40 | Ketentuan Pasal 153 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 153
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
41. | Pasal 154 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
42. | Di antara Pasal 154 dan Pasal 155 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 154A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 154A
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
43. | Pasal 155 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
44. | Ketentuan Pasal 156 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 156
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
45. | Ketentuan Pasal 157 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 157
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
46. | Di antara Pasal 157 dan Pasal 158 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 157A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 157A
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
47. | Pasal 158 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
48. | Pasal 159 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
49. | Ketentuan Pasal 160 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 160
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
50. | Pasal 161 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
51. | Pasal 162 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
52. | Pasal 163 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
53. | Pasal 164 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
54. | Pasal 165 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
55. | Pasal 166 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
56. | Pasal 167 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
57. | Pasal 168 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
58. | Pasal 169 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
59. | Pasal 170 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
60. | Pasal 171 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
61. | Pasal 172 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
62. | Pasal 184 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
63. | Ketentuan Pasal 185 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 185
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
64. | Ketentuan Pasal 186 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 186
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
65. | Ketentuan Pasal 187 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 187
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
66. | Ketentuan Pasal 188 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 188
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
67. | Ketentuan Pasal 190 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 190
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
68. | Di antara Pasal 191 dan Pasal 192 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 191A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 191A
Pada saat berlakunya Undang-Undang ini:
|
1. | Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 18
Jenis program jaminan sosial meliputi:
|
||||||||||||||||||||||||||
2. | Di antara Pasal 46 dan Pasal 47 disisipkan 1 (satu) Bagian yakni Bagian Ketujuh Jaminan Kehilangan Pekerjaan sehingga berbunyi sebagai berikut: Bagian Ketujuh
Jaminan Kehilangan Pekerjaan Pasal 46A
Pasal 46B
Pasal 46C
Pasal 46D
Pasal 46E
|
1. | Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 6
|
||||
2. | Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 9
|
||||
3. | Ketentuan Pasal 42 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 42
|
1. | Ketentuan Pasal 1 angka 9 dan angka 16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
|
||||||||
2. | Ketentuan Pasal 51 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 51
|
||||||||
3. | Ketentuan Pasal 53 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 53
|
||||||||
4. | Ketentuan Pasal 57 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 57
|
||||||||
5. | Di antara Pasal 89 dan Pasal 90 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 89A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 89A
Pada saat berlakunya Undang-Undang tentang Cipta Kerja, pengertian atau makna SIP3MI dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia menyesuaikan dengan ketentuan mengenai Perizinan Berusaha. |
1. | Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 6
|
||||||||||||
2. | Penjelasan Pasal 17 diubah sebagaimana tercantum dalam penjelasan. | ||||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 21 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 21
|
||||||||||||
4. | Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 22
|
||||||||||||
5. | Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 43
|
||||||||||||
6. | Di antara Pasal 44 dan Pasal 45 disisipan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 44A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 44A
|
1. | Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 6
|
||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 12 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 12
|
||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 21 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 21
|
||||||||||
4. | Pasal 25 dihapus. | ||||||||||
5. | Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 26
Kemitraan dilaksanakan dengan pola:
|
||||||||||
6. | Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 30
|
||||||||||
7. | Di antara Pasal 32 dan Pasal 33 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 32A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 32A
Dalam pelaksanaan kemitraan dengan pola rantai pasok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf f, dapat dilakukan melalui kegiatan dari Usaha Mikro dan Kecil oleh Usaha Menengah dan Usaha Besar paling sedikit meliputi:
|
||||||||||
8. | Penjelasan Pasal 35 diubah sebagaimana tercantum dalam penjelasan. |
(1) | Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah wajib menyelenggarakan sistem informasi dan pendataan UMK-M yang terintegrasi. |
(2) | Hasil pendataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai basis data tunggal UMK-M. |
(3) | Basis data tunggal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib digunakan sebagai pertimbangan untuk menentukan kebijakan mengenai UMK-M. |
(4) | Basis data tunggal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disajikan secara tepat waktu, akurat, dan tepat guna serta dapat diakses oleh masyarakat. |
(5) | Pemerintah Pusat melakukan pembaharuan sistem informasi dan basis data tunggal paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun. |
(6) | Basis data tunggal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibentuk dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak berlakunya Undang-Undang ini. |
(7) | Ketentuan lebih lanjut mengenai basis data tunggal UMK-M diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
(1) | Pemerintah Pusat mendorong implementasi pengelolaan terpadu Usaha Mikro dan Kecil dalam penataan klaster melalui sinergi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan pemangku kepentingan terkait. |
(2) | Pengelolaan terpadu Usaha Mikro dan Kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kumpulan kelompok Usaha Mikro dan Kecil yang terkait dalam:
|
(3) | Saling melengkapi secara terintegrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dilaksanakan di lokasi klaster dengan tahap pendirian/legalisasi, pembiayaan, penyediaan bahan baku, proses produksi, kurasi, dan pemasaran produk Usaha Mikro dan Kecil melalui perdagangan elektronik/non elektronik. |
(4) | Penentuan lokasi Klaster Usaha Mikro dan Kecil disusun dalam program Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dengan memperhatikan pemetaan potensi, keunggulan daerah, dan strategi penentuan lokasi usaha. |
(5) | Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah melaksanakan pendampingan sebagai upaya pengembangan Usaha Mikro dan Kecil untuk memberi dukungan manejemen, sumber daya manusia, anggaran, serta sarana dan prasarana. |
(6) | Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam menyediakan dukungan sumber daya manusia, anggaran, serta sarana dan prasarana sebagaimana dimaksud pada ayat (5) wajib memberikan fasilitas yang meliputi:
|
(7) | Pemerintah Pusat mengoordinasikan pengelolaan terpadu Usaha Mikro dan Kecil dalam penataan klaster. |
(8) | Pemerintah Pusat melakukan evaluasi pengelolaan terpadu Usaha Mikro dan Kecil dalam penataan klaster. |
(9) | Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan terpadu Usaha Mikro dan Kecil diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
(1) | Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya wajib memfasilitasi, mendukung, dan menstimulasi kegiatan kemitraan Usaha Menengah dan Usaha Besar dengan Koperasi, Usaha Mikro, dan Usaha Kecil yang bertujuan untuk meningkatkan kompetensi dan level usaha. |
(2) | Kemitraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup proses alih keterampilan di bidang produksi dan pengolahan, pemasaran, permodalan, sumber daya manusia, dan teknologi. |
(3) | Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memberikan insentif dan kemudahan berusaha dalam rangka kemitraan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(4) | Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap pelaksanaan kemitraan antara Usaha Menengah dan Usaha Besar dengan Koperasi, Usaha Mikro, dan Usaha Kecil. |
(5) | Pemerintah Pusat mengatur pemberian insentif kepada Usaha Menengah dan Usaha Besar yang melakukan kemitraan dengan Koperasi, Usaha Mikro, dan Usaha Kecil melalui inovasi dan pengembangan produk berorientasi ekspor, penyerapan tenaga kerja, penggunaan teknologi tepat guna dan ramah lingkungan, serta menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan. |
(6) | Ketentuan lebih lanjut mengenai kemitraan diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
(1) | Dalam rangka kemudahan Perizinan Berusaha, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya wajib melakukan pembinaan dan pendaftaran bagi Usaha Mikro dan Kecil berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. |
(2) | Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara daring atau luring dengan melampirkan:
|
(3) | Pendaftaran secara daring sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberi nomor induk berusaha melalui sistem Perizinan Berusaha secara elektronik. |
(4) | Nomor induk berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan perizinan tunggal yang berlaku untuk semua kegiatan usaha. |
(5) | Perizinan tunggal sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi Perizinan Berusaha, Standar Nasional Indonesia, dan sertifikasi jaminan produk halal. |
(6) | Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat wajib melakukan pembinaan terhadap Perizinan Berusaha, pemenuhan standar, Standar Nasional Indonesia, dan sertifikasi jaminan produk halal. |
(7) | Dalam hal kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4) memiliki risiko menengah atau tinggi terhadap kesehatan, keamanan, dan keselamatan serta lingkungan selain melakukan registrasi untuk mendapatkan nomor induk berusaha, Usaha Mikro dan Kecil wajib memiliki sertifikat sertifikasi standar dan/atau izin. |
(8) | Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat memfasilitasi sertifikasi standar dan/atau izin sebagaimana dimaksud pada ayat (5). |
(9) | Ketentuan lebih lanjut mengenai perizinan tunggal sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan fasilitasi sertifikasi standar dan/atau izin sebagaimana dimaksud pada ayat (8) diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
(1) | Usaha Mikro dan Kecil diberi kemudahan/penyederhanaan administrasi perpajakan dalam rangka pengajuan fasilitas pembiayaan dari Pemerintah Pusat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
(2) | Usaha Mikro dan Kecil yang mengajukan Perizinan Berusaha dapat diberi insentif berupa tidak dikenai biaya atau diberi keringanan biaya. |
(3) | Usaha Mikro dan Kecil yang berorientasi ekspor dapat diberi insentif kepabeanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan. |
(4) | Usaha Mikro dan Kecil tertentu dapat diberi insentif Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Penghasilan. |
(1) | Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya mempermudah dan menyederhanakan proses untuk Usaha Mikro dan Kecil dalam hal pendaftaran dan pembiayaan hak kekayaan intelektual, kemudahan impor bahan baku dan bahan penolong industri apabila tidak dapat dipenuhi dari dalam negeri, dan/atau fasilitasi ekspor. |
(2) | Ketentuan lebih lanjut mengenai kemudahan dan penyederhanaan pendaftaran dan pembiayaan hak kekayaan intelektual, kemudahan impor bahan baku dan bahan penolong industri apabila tidak dapat dipenuhi dari dalam negeri, dan/atau fasilitasi ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
(1) | Pemerintah Pusat mengalokasikan Dana Alokasi Khusus untuk mendukung pendanaan bagi Pemerintah Daerah dalam rangka kegiatan pemberdayaan dan pengembangan Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah. |
(2) | Pengalokasian Dana Alokasi Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Jalan Tol antarkota harus dilengkapi dengan Tempat Istirahat, Pelayanan untuk kepentingan pengguna Jalan Tol, serta menyediakan tempat promosi dan pengembangan Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah. |
(2) | Pengusahaan tempat promosi dan pengembangan Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah, Tempat Istirahat dan Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mengalokasikan lahan pada Jalan Tol paling sedikit 30% (tiga puluh persen) dari total luas lahan area komersial untuk Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah, baik untuk Jalan Tol yang telah beroperasi maupun untuk Jalan Tol yang masih dalam tahap perencanaan dan konstruksi. |
(3) | Penyediaan tempat promosi dan pengembangan Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan partisipasi Usaha Mikro dan Kecil melalui pola kemitraan. |
(4) | Penanaman dan pemeliharaan tanaman di Tempat Istirahat dan Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah. |
(1) | Dalam rangka pemberdayaan Usaha Mikro dan Kecil, Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah dan/atau badan usaha swasta wajib mengalokasikan penyediaan tempat promosi, tempat usaha, dan/atau pengembangan Usaha Mikro dan Kecil pada infrastruktur publik yang mencakup:
|
(2) | Alokasi penyediaan tempat promosi dan pengembangan Usaha Mikro dan Kecil pada infrastruktur publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit 30% (tiga puluh persen) dari luas tempat perbelanjaan dan/atau promosi yang strategis pada infrastruktur publik yang bersangkutan. |
(3) | Ketentuan mengenai penyediaan tempat promosi dan pengembangan Usaha Mikro dan Kecil pada infrastruktur publik pada ayat (1) dan besaran alokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
1. | Ketentuan Pasal 1 angka 14, angka 18, angka 21, dan angka 30 diubah sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut: Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
|
||||||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 38
Visa kunjungan diberikan kepada Orang Asing yang akan melakukan perjalanan ke Wilayah Indonesia dalam rangka kunjungan tugas pemerintahan, pendidikan, sosial budaya, pariwisata, prainvestasi, bisnis, keluarga, jurnalistik, atau singgah untuk meneruskan perjalanan ke negara lain. |
||||||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 39 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 39
|
||||||||||||||
4. | Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 40
|
||||||||||||||
5. | Ketentuan Pasal 46 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 46
|
||||||||||||||
6. | Ketentuan Pasal 54 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 54
|
||||||||||||||
7. | Ketentuan Pasal 63 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 63
|
||||||||||||||
8. | Ketentuan Pasal 71 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 71
|
1. | Ketentuan Pasal 3 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 3
|
||||||||
2. | Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 20
|
||||||||
3. | Ketentuan Pasal 82 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 82
|
||||||||
4. | Ketentuan Pasal 122 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 122
|
||||||||
5. | Ketentuan Pasal 123 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 123
|
||||||||
6. | Ketentuan Pasal 124 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 124
|
1. | Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 20
Merek tidak dapat didaftar jika:
|
||||||||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 23 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 23
|
||||||||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 25
|
1. | Ketentuan Pasal 1 angka 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 7
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 32
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
4. | Ketentuan Pasal 153 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 153
Ketentuan mengenai biaya Perseroan sebagai badan hukum diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penerimaan negara bukan pajak. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
5. | Di antara Pasal 153 dan Pasal 154 disisipkan 10 (sepuluh) pasal, yakni Pasal 153A, Pasal 152B, Pasal 153C, Pasal 153D, Pasal 153E, Pasal 153F, Pasal 153G, Pasal 153H, Pasal 153I, dan Pasal 153J sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 153A
Pasal 153B
Pasal 153C
Pasal 153D
Pasal 153E
Pasal 153F
Pasal 153G
Pasal 153H
Pasal 153I
Pasal 153J
|
1. | Ketentuan Pasal 2 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 2
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 4
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 26
|
1. | Ketentuan Pasal 1A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 1A
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 4A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 4A
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 9
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
4. | Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 13
|
1. | Ketentuan Pasal 8 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 8
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 9
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 11
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||
4. | Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 13
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||
5. | Pasal 13A dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||
6. | Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 14
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||
7. | Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 15
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||
8. | Ketentuan Pasal 17B diubah sehingga Pasal 17B berbunyi sebagai berikut: Pasal 17B
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||
9. | Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 19
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||
10. | Pasal 27A dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||
11. | Di antara Pasal 27A dan Pasal 28 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 27B sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 27B
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||
12. | Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 38
Setiap orang yang karena kealpaannya:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||
13. | Ketentuan Pasal 44B diubah sehingga Pasal 44B berbunyi sebagai berikut: Pasal 44B
|
1. | Ketentuan Pasal 141 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 141
Jenis Retribusi Perizinan Tertentu meliputi:
|
||||||||||||||||||||||
2. | Pasal 144 dihapus. | ||||||||||||||||||||||
3. | Di antara Bab VII dan Bab VIII disisipkan 1 (satu) bab, yakni Bab VIIA sehingga berbunyi sebagai berikut: BAB VIIA
KEBIJAKAN FISKAL NASIONAL YANG BERKAITAN DENGAN PAJAK DAN RETRIBUSI |
||||||||||||||||||||||
4. | Di antara Pasal 156 dan Pasal 157 disisipkan 2 (dua) pasal yaitu Pasal 156A dan Pasal 156B sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 156A
Pasal 156B
|
||||||||||||||||||||||
5. | Di antara Pasal 157 ayat (5) dan ayat (6) disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (5a) sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 157
|
||||||||||||||||||||||
6. | Ketentuan Pasal 158 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 158
|
||||||||||||||||||||||
7. | Ketentuan Pasal 159 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 159
|
||||||||||||||||||||||
8. | Di antara Pasal 159 dan Pasal 160 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 159A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 159A
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara:
|
1. | Ketentuan Pasal 1 angka 4 diubah sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut: Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
|
||||
2. | Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 37
|
||||
3. | Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 38
|
||||
4. | Di antara Pasal 38 dan Pasal 39 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 38A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 38A
|
||||
5. | Ketentuan Pasal 74 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 74
Setiap Orang yang melakukan impor Komoditas Perikanan dan Komoditas Pergaraman yang tidak sesuai dengan tempat pemasukan, jenis, waktu pemasukan, dan/atau standar mutu wajib yang ditetapkan oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 yang mengakibatkan timbulnya korban/kerusakan terhadap kesehatan, keselamatan, dan/atau lingkungan hidup dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah). |
1. | Ketentuan Pasal 1 angka 6 diubah sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut: Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
|
||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 87 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 87
|
1. | Ketentuan Pasal 44 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 44
|
||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 45 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 45
|
||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 47 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 47
|
||||||||||
4. | Ketentuan Pasal 48 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 48
Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 41 Undang-Undang ini dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) atau pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun sebagai pengganti pidana denda. |
||||||||||
5. | Pasal 49 dihapus. |
1. | Ketentuan judul BAB V diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: BAB V
KEWAJIBAN PELAYANAN UMUM, RISET, DAN INOVASI |
||||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 66 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 66
|
(1) | Untuk menjalankan Penelitian, Pengembangan, Pengkajian, dan Penerapan, serta Invensi dan Inovasi yang terintegrasi dibentuk badan riset dan inovasi nasional. |
(2) | Untuk menjalankan Penelitian, Pengembangan, Pengkajian, dan Penerapan, serta Invensi dan Inovasi yang terintegrasi di daerah, Pemerintah Daerah membentuk badan. |
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai badan riset dan inovasi nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Presiden. |
1. | Ketentuan Pasal 8 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 8
|
||||||||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 10 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 10
Tanah untuk Kepentingan Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) digunakan untuk pembangunan:
|
||||||||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 14
|
||||||||||||||||
4. | Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 19
|
||||||||||||||||
5. | Di antara Pasal 19 dan Pasal 20 disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal 19A, Pasal 19B, dan Pasal 19C sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 19A
Pasal 19B Dalam hal Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum yang luasnya kurang dari 5 (lima) hektare dilakukan langsung antara Pihak yang Berhak dan Instansi yang memerlukan tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19A ayat (1), penetapan lokasi dilakukan oleh bupati/wali kota. Pasal 19C
Setelah penetapan lokasi Pengadaan Tanah dilakukan, tidak diperlukan lagi persyaratan:
|
||||||||||||||||
6. | Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 24
|
||||||||||||||||
7. | Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 28
|
||||||||||||||||
8. | Ketentuan Pasal 34 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 34
|
||||||||||||||||
9. | Ketentuan Pasal 36 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 36
|
||||||||||||||||
10. | Penjelasan Pasal 40 diubah sebagaimana tercantum dalam Penjelasan. | ||||||||||||||||
11. | Ketentuan Pasal 42 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 42
|
||||||||||||||||
12. | Ketentuan Pasal 46 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 46
|
1. | Ketentuan Pasal 44 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 44
|
||||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 73 diubah sehingga berbunyi sebagai berkut: Pasal 73
Setiap pejabat Pemerintah yang menerbitkan persetujuan pengalihfungsian Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). |
(1) | Pemerintah Pusat membentuk badan bank tanah. |
(2) | Badan bank tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan badan khusus yang mengelola tanah. |
(3) | Kekayaan badan bank tanah merupakan kekayaan negara yang dipisahkan. |
(4) | Badan bank tanah berfungsi melaksanakan perencanaan, perolehan, pengadaan, pengelolaan, pemanfaatan, dan pendistribusian tanah. |
(1) | Badan bank tanah menjamin ketersediaan tanah dalam rangka ekonomi berkeadilan untuk:
|
(2) | Ketersediaan tanah untuk reforma agraria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f paling sedikit 30% (tiga puluh persen) dari tanah negara yang diperuntukkan bank tanah. |
(1) | Tanah yang dikelola badan bank tanah diberikan hak pengelolaan. |
(2) | Hak atas tanah di atas hak pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberi hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai. |
(3) | Jangka waktu hak guna bangunan di atas hak pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan perpanjangan dan pembaharuan hak apabila sudah digunakan dan/atau dimanfaatkan sesuai dengan tujuan pemberian haknya. |
(4) | Dalam rangka mendukung investasi, pemegang hak pengelolaan badan bank tanah diberi kewenangan untuk:
|
(5) | Pemerintah Pusat melakukan pengawasan dan pengendalian atas penggunaan dan/atau pemanfaatan tanah di atas hak pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Komite sebagaimana dimaksud dalam Pasal 130 huruf a diketuai oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanahan dan beranggotakan para menteri dan kepala yang terkait. |
(2) | Ketua dan anggota Komite ditetapkan dengan Keputusan Presiden berdasarkan usulan dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanahan. |
(1) | Dewan Pengawas berjumlah paling banyak 7 (tujuh) orang terdiri atas 4 (empat) orang unsur profesional dan 3 (tiga) orang yang dipilih oleh Pemerintah Pusat. |
(2) | Terhadap calon unsur profesional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan proses seleksi oleh Pemerintah Pusat yang selanjutnya disampaikan ke Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk dipilih dan disetujui. |
(3) | Calon unsur profesional yang diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2), paling sedikit berjumlah 2 (dua) kali jumlah yang dibutuhkan. |
(1) | Badan Pelaksana terdiri atas Kepala dan Deputi. |
(2) | Jumlah Deputi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Ketua Komite. |
(3) | Kepala dan Deputi diangkat dan diberhentikan oleh Ketua Komite. |
(4) | Pengangkatan dan pemberhentian Kepala dan Deputi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diusulkan oleh Dewan Pengawas. |
(1) | Sebagian kewenangan hak menguasai dari negara berupa tanah dapat diberikan hak pengelolaan kepada:
|
(2) | Hak pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberikan kewenangan untuk:
|
(3) | Pemberian hak pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan atas tanah negara dengan keputusan pemberian hak di atas tanah negara. |
(4) | Hak pengelolaan dapat dilepaskan kepada pihak yang memenuhi syarat. |
(1) | Penyerahan pemanfaatan bagian tanah hak pengelolaan kepada pihak ketiga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 137 ayat (2) huruf b dilakukan dengan perjanjian pemanfaatan tanah. |
(2) | Di atas tanah hak pengelolaan yang pemanfaatannya diserahkan kepada pihak ketiga baik sebagian atau seluruhnya, dapat diberikan hak guna usaha, hak guna bangunan, dan/atau hak pakai sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(3) | Jangka waktu hak guna bangunan di atas hak pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan perpanjangan dan pembaharuan hak apabila sudah digunakan dan/atau dimanfaatkan sesuai dengan tujuan pemberian haknya. |
(4) | Pemerintah Pusat melakukan pengawasan dan pengendalian atas penggunaan dan/atau pemanfaatan tanah di atas hak pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(5) | Dalam hal hak atas tanah yang berada di atas hak pengelolaan telah berakhir, tanahnya kembali menjadi tanah hak pengelolaan. |
(1) | Dalam keadaan tertentu, Pemerintah Pusat dapat membatalkan dan/atau mencabut hak pengelolaan sebagian atau seluruhnya. |
(2) | Tata cara pembatalan hak pengelolaan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan-perundang-undangan. |
(1) | Dalam hal bagian bidang tanah hak pengelolaan diberikan dengan hak milik, bagian bidang tanah hak pengelolaan tersebut hapus dengan sendirinya. |
(2) | Hak milik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya diberikan untuk keperluan rumah umum dan keperluan transmigrasi. |
(1) | Hak milik atas satuan rumah susun dapat diberikan kepada:
|
(2) | Hak milik atas satuan rumah susun dapat beralih atau dialihkan dan dijaminkan. |
(3) | Hak milik atas satuan rumah susun dapat dijaminkan dengan dibebani hak tanggungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Rumah susun dapat dibangun di atas Tanah:
|
(2) | Pemberian hak guna bangunan bagi rumah susun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diberikan sekaligus dengan perpanjangan haknya setelah mendapat sertifikat laik fungsi. |
(3) | Pemberian hak guna bangunan bagi rumah susun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat diberikan perpanjangan dan pembaharuan hak apabila sudah mendapat sertifikat laik fungsi. |
(1) | Tanah atau ruang yang terbentuk pada ruang atas dan/atau bawah tanah dan digunakan untuk kegiatan tertentu dapat diberikan hak guna bangunan, hak pakai, atau hak pengelolaan. |
(2) | Batas kepemilikan tanah pada ruang atas tanah oleh pemegang hak atas tanah diberikan sesuai dengan koefisien dasar bangunan, koefisien lantai bangunan, dan rencana tata ruang yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(3) | Batas kepemilikan tanah pada ruang bawah tanah oleh pemegang hak atas tanah diberikan sesuai dengan batas kedalaman pemanfaatan yang diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(4) | Penggunaan dan pemanfaatan tanah pada ruang atas dan/atau bawah tanah oleh pemegang hak yang berbeda dapat diberikan hak guna bangunan, hak pakai, atau hak pengelolaan. |
(5) | Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan tanah pada ruang atas tanah dan/atau ruang di bawah tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dalam Peraturan Presiden. |
1. | Ketentuan Pasal 1 angka 4, angka 5, angka 6, dan angka 7 diubah sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut: Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
|
||||||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 3 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 3
|
||||||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 4
Lokasi yang dapat diusulkan untuk menjadi KEK memenuhi kriteria:
|
||||||||||||||
4. | Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 5
|
||||||||||||||
5. | Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 6
|
||||||||||||||
6. | Di antara Pasal 8 dan Pasal 9 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 8A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 8A
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah wajib mendukung KEK yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan Pasal 8. |
||||||||||||||
7. | Ketentuan Pasal 10 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 10
Setelah KEK ditetapkan:
|
||||||||||||||
8. | Pasal 11 dihapus. | ||||||||||||||
9. | Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 13
|
||||||||||||||
10. | Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 16
|
||||||||||||||
11. | Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 17
Dewan Nasional bertugas:
|
||||||||||||||
12. | Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 19
|
||||||||||||||
13. | Pasal 20 dihapus. | ||||||||||||||
14. | Ketentuan Pasal 21 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 21
Dewan Kawasan bertugas:
|
||||||||||||||
15. | Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 22
|
||||||||||||||
16. | Ketentuan Pasal 23 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 23
|
||||||||||||||
17. | Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 24
Dalam melaksanakan pengawasan dan pengendalian pengoperasionalan KEK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c, Administrator berwenang untuk mendapatkan laporan atau penjelasan dari Badan Usaha dan/atau Pelaku Usaha mengenai kegiatannya. |
||||||||||||||
18. | Di antara Pasal 24 dan Pasal 25 disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal 24A, Pasal 24B, dan Pasal 24C sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 24A
Pasal 24B
Ketentuan lebih lanjut mengenai Administrator sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23, Pasal 24, dan Pasal 24A diatur dalam Peraturan Pemerintah. Pasal 24C
|
||||||||||||||
19. | Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 25
|
||||||||||||||
20. | Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 26
|
||||||||||||||
21. | Ketentuan Pasal 27 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 27
|
||||||||||||||
22. | Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 30
|
||||||||||||||
23. | Pasal 31 dihapus. | ||||||||||||||
24. | Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 32
|
||||||||||||||
25. | Di antara Pasal 32 dan Pasal 33 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 32A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 32A
|
||||||||||||||
26. | Di antara Pasal 33 dan Pasal 34 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 33A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 33A
|
||||||||||||||
27. | Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 35
|
||||||||||||||
28. | Ketentuan Pasal 36 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 36
|
||||||||||||||
29. | Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 38
|
||||||||||||||
30. | Di antara Pasal 38 dan Pasal 39 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 38A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 38A
Penetapan KEK yang menyelenggarakan kegiatan usaha yang terkait dengan perindustrian sekaligus sebagai penetapan kawasan industri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai Perindustrian. |
||||||||||||||
31. | Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 40
|
||||||||||||||
32. | Ketentuan Pasal 41 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 41
Pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing yang mempunyai jabatan sebagai direksi atau komisaris diberikan sekali dan berlaku selama tenaga kerja asing yang bersangkutan menjadi direksi atau komisaris. |
||||||||||||||
33. | Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 43
|
||||||||||||||
34. | Pasal 44 dihapus. | ||||||||||||||
35. | Pasal 45 dihapus. | ||||||||||||||
36. | Ketentuan Pasal 47 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 47
Pada perusahaan yang telah terbentuk serikat pekerja/serikat buruh dibuat perjanjian kerja bersama antara serikat pekerja/serikat buruh dan pengusaha. |
||||||||||||||
37. | Ketentuan Pasal 48 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 48
|
(1) | Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 huruf b terdiri atas:
|
(2) | Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas:
|
1. | Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 6
|
||||||||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 7
|
||||||||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 10 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 10
|
||||||||||||||||
4. | Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 11
|
(1) | Barang-barang yang terkena ketentuan larangan dilarang dimasukkan ke Kawasan Sabang. |
(2) | Pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari Kawasan Sabang hanya dapat dilakukan oleh pengusaha yang telah mendapat Perizinan Berusaha dari Badan Pengusahaan Kawasan Sabang. |
(3) | Pengusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat memasukan barang ke Kawasan Sabang yang berhubungan dengan kegiatan usahanya. |
(4) | Pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari Kawasan Sabang melalui pelabuhan dan bandar Udara yang ditunjuk dan berada di bawah pengawasan pabean diberi pembebasan bea masuk, pembebasan pajak pertambahan nilai, dan pembebasan pajak penjualan atas barang mewah. |
(5) | Fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (4) termasuk juga pembebasan cukai sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di bidang cukai. |
(6) | Pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari Kawasan Sabang ke Daerah Pabean diberlakukan tata laksana kepabeanan di bidang impor dan ekspor dan ketentuan di bidang cukai. |
(7) | Pemasukan barang konsumsi dari luar Daerah Pabean untuk kebutuhan penduduk di Kawasan Sabang diberikan pembebasan bea masuk, pajak pertambahan nilai, dan pajak penjualan atas barang mewah. |
(8) | Jumlah dan jenis barang yang diberi fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (7) ditetapkan oleh Badan Pengusahaan Kawasan Sabang. |
(1) | Investasi Pemerintah Pusat dilakukan dalam rangka meningkatkan investasi dan penguatan perekonomian untuk mendukung kebijakan strategis penciptaan kerja. |
(2) | Maksud dan tujuan investasi Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
(3) | Investasi Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh:
|
(4) | Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara dan Lembaga dalam melaksanakan investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berwenang untuk:
|
(1) | Dalam melaksanakan investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 154 ayat (3) huruf a, Menteri Keuangan dapat menetapkan dan/atau menunjuk badan layanan umum, badan usaha milik negara, dan/atau badan hukum lainnya. |
(2) | Menteri Keuangan membentuk Rekening Investasi Bendahara Umum Negara untuk menampung dana investasi Pemerintah Pusat. |
(3) | Dana yang ditampung dalam Rekening Investasi Bendahara Umum Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat digunakan kembali secara langsung untuk mendapatkan manfaat ekonomi, manfaat sosial, dan/atau manfaat lainnya. |
(4) | Tata kelola investasi Pemerintah Pusat oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara sepanjang tidak diatur secara khusus berdasarkan Undang-Undang ini dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Dalam melaksanakan investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 154 ayat (3) huruf b, Pemerintah Pusat membentuk Lembaga. |
(2) | Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan badan hukum Indonesia yang sepenuhnya dimiliki oleh Pemerintah Indonesia. |
(3) | Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab kepada Presiden. |
(1) | Investasi Pemerintah Pusat yang dilakukan oleh Lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 154 ayat (3) huruf b dapat bersumber dari aset negara, aset badan usaha milik negara, dan/atau sumber lain yang sah. |
(2) | Aset negara dan aset badan usaha milik negara yang dijadikan investasi Pemerintah Pusat pada Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipindah tangankan menjadi aset Lembaga yang selanjutnya menjadi milik dan tanggung jawab Lembaga. |
(3) | Aset negara dan aset badan usaha milik negara yang dijadikan investasi Pemerintah Pusat pada Lembaga, dengan persetujuan Lembaga dapat dipindahtangankan secara langsung kepada perusahaan patungan yang dibentuk oleh Lembaga. |
(4) | Pemindahtanganan aset sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dilakukan dengan cara jual beli, dijadikan penyertaan modal, atau cara lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(5) | Aset negara yang dipindahtangankan menjadi aset Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau menjadi aset perusahaan patungan yang dibentuk oleh Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dalam sengketa dan tidak terdapat kepemilikan atas hak istimewa pihak manapun. |
(6) | Aset badan usaha milik negara yang dipindahtangankan menjadi aset Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau menjadi aset perusahaan patungan yang dibentuk oleh Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dalam sengketa, tidak sedang dilakukan sita pidana atau perdata, dan tidak terdapat kepemilikan atas hak istimewa pihak manapun kecuali disepakati oleh pemilik hak. |
(7) | Ketentuan mengenai pemindahtanganan aset badan usaha milik negara kepada Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau kepada perusahaan patungan yang dibentuk oleh Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) untuk Perusahaan Perseroan (Persero) atau ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang badan usaha milik negara untuk Perusahaan Umum (Perum). |
(8) | Ketentuan lebih lanjut mengenai pemindahtanganan aset negara kepada Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau kepada perusahaan patungan yang dibentuk oleh Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
(1) | Modal Lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 154 ayat (3) huruf b berasal dari penyertaan modal negara dan/atau sumber lainnya. |
(2) | Setiap perubahan penyertaan modal negara pada Lembaga, baik berupa pengurangan maupun penambahan modal yang berasal dari sumber sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. |
(3) | Lembaga dapat melaksanakan investasi, baik secara langsung maupun tidak langsung, melakukan kerja sama dengan pihak ketiga, atau melalui pembentukan entitas khusus yang berbentuk badan hukum Indonesia atau badan hukum asing. |
(4) | Keuntungan atau kerugian yang dialami Lembaga dalam melaksanakan investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan keuntungan atau kerugian Lembaga. |
(5) | Dalam hal Lembaga mengalami keuntungan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), sebagian keuntungan ditetapkan sebagai laba bagian Pemerintah Pusat untuk disetorkan ke kas negara, setelah dilakukan pencadangan untuk menutup/menanggung risiko kerugian dalam berinvestasi dan/atau melakukan akumulasi modal. |
(6) | Penyertaan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) yang menjadi kekayaan Lembaga dicatat dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat. |
(7) | Ketentuan lebih lanjut mengenai pencadangan untuk menutup/menanggung risiko kerugian dalam berinvestasi dan/atau melakukan akumulasi modal sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. |
(1) | Untuk meningkatkan nilai aset, Lembaga dapat melakukan pengelolaan aset melalui kerja sama dengan pihak ketiga. |
(2) | Kerja sama dengan pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Lembaga melalui:
|
(3) | Dalam hal kerja sama dilakukan melalui pembentukan perusahaan patungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, aset Lembaga dapat dipindahtangankan untuk dijadikan penyertaan modal dalam perusahaan patungan. |
(4) | Penyertaan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(5) | Aset yang dijadikan penyertaan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak boleh berada dalam keadaan:
|
(6) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengelolaan aset Lembaga diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. |
(1) | Aset Lembaga dapat berasal dari:
|
(2) | Aset Lembaga dapat dijaminkan dalam rangka penarikan pinjaman. |
(3) | Pihak manapun dilarang melakukan penyitaan aset Lembaga, kecuali atas aset yang telah dijaminkan dalam rangka pinjaman. |
(4) | Pengelolaan aset Lembaga sepenuhnya dilakukan oleh organ Lembaga berdasarkan prinsip tata kelola yang baik, akuntabel, dan transparan. |
(1) | Organ dan pegawai Lembaga bukan merupakan penyelengara negara, kecuali yang berasal dari pejabat negara yang bersifat ex-officio. |
(2) | Lembaga menetapkan sistem kepegawaian, sistem penggajian, penghargaan, program pensiun dan tunjangan hari tua, serta penghasilan lainnya bagi pegawai Lembaga. |
(3) | Lembaga tidak dapat dipailitkan, kecuali dapat dibuktikan dalam kondisi insolven. |
(1) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata kelola Lembaga diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. |
(2) | Sepanjang diatur dalam Undang-Undang ini, ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengelolaan keuangan negara, kekayaan negara, dan/atau badan usaha milik negara tidak berlaku bagi Lembaga. |
(1) | Dalam rangka pengelolaan investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 154 ayat (3) huruf b, untuk pertama kali berdasarkan Undang-Undang ini dibentuk Lembaga Pengelola Investasi. |
(2) | Pembentukan Lembaga Pengelola Investasi dimaksudkan untuk meningkatkan dan mengoptimalisasi nilai aset secara jangka panjang dalam rangka mendukung pembangunan secara berkelanjutan. |
(3) | Organ Lembaga Pengelola Investasi terdiri atas:
|
(1) | Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 165 ayat (3) huruf a terdiri atas:
|
(2) | Anggota Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. |
(3) | Untuk memilih anggota Dewan Pengawas dari unsur profesional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, Presiden membentuk panitia seleksi. |
(4) | Panitia seleksi melakukan:
|
(5) | Penyampaian nama calon kepada Presiden dilakukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak pembentukan panitia seleksi. |
(6) | Presiden menyampaikan nama calon untuk dikonsultasikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak diterimanya daftar nama calon dari panitia seleksi. |
(7) | Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia menyelenggarakan sesi konsultasi dengan Presiden paling lama 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak diterimanya daftar nama calon dari Presiden. |
(8) | Presiden menetapkan dan mengangkat anggota Dewan Pengawas dari unsur profesional dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak konsultasi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) selesai dilaksanakan. |
(9) | Dalam hal sesi konsultasi tidak terlaksana sesuai jangka waktu yang ditentukan sebagaimana dimaksud pada ayat (7), Presiden menetapkan dan mengangkat anggota Dewan Pengawas dari unsur profesional dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (8). |
(10) | Ketentuan lebih lanjut mengenai seleksi anggota Dewan Pengawas dari unsur profesional diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
(11) | Sesama anggota Dewan Pengawas dilarang saling memiliki hubungan keluarga sampai derajat kedua atau besan dengan sesama anggota Dewan Pengawas dan/atau dengan anggota Dewan Direktur. |
(12) | Anggota Dewan Pengawas dari unsur profesional diangkat untuk masa jabatan 5 (lima) tahun dan hanya dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya. |
(13) | Dalam rangka pengangkatan anggota Dewan Pengawas dari unsur profesional untuk pertama kali, Presiden menetapkan masa jabatan 3 (tiga) anggota Dewan Pengawas sebagai berikut:
|
(14) | Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas melakukan pengawasan atas penyelenggaraan Lembaga Pengelola Investasi oleh Dewan Direktur. |
(15) | Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (14) Dewan Pengawas berwenang:
|
(16) | Untuk membantu Dewan Pengawas dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Dewan Pengawas dapat membentuk komite. |
(1) | Dewan Direktur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 165 ayat (3) huruf b berjumlah 5 (lima) orang dari unsur profesional. |
(2) | Anggota Dewan Direktur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh Dewan Pengawas. |
(3) | Sesama anggota Dewan Direktur dilarang saling memiliki hubungan keluarga sampai derajat kedua atau besan dengan sesama anggota Dewan Direktur dan/atau dengan anggota Dewan Pengawas. |
(4) | Anggota Dewan Direktur diangkat untuk masa jabatan 5 (lima) tahun dan hanya dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya. |
(5) | Dalam rangka pengangkatan anggota Dewan Direktur untuk pertama kali, Dewan Pengawas menetapkan masa jabatan 5 (lima) anggota Dewan Direktur sebagai berikut:
|
(6) | Dewan Direktur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas untuk menyelenggarakan pengurusan operasional Lembaga Pengelola Investasi. |
(7) | Dalam menjalankan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Dewan Direktur berwenang:
|
(8) | Dewan Direktur dapat mendelegasikan tugas dan/atau wewenang pelaksanaan operasional Lembaga Pengelola Investasi kepada pegawai Lembaga Pengelola Investasi dan/atau pihak lain yang khusus itunjuk untuk itu. |
(9) | Pembidangan setiap anggota Dewan Direktur ditetapkan oleh Dewan Direktur. |
(1) | Dalam hal diperlukan, Lembaga Pengelola Investasi dapat membentuk Dewan Penasihat untuk memberikan saran dan bimbingan kepada Lembaga Pengelola Investasi dalam hal terkait investasi. |
(2) | Anggota Dewan Penasihat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh Dewan Pengawas. |
(1) | Modal awal Lembaga Pengelola Investasi dapat berupa:
|
(2) | Modal awal Lembaga Pengelola Investasi ditetapkan paling sedikit Rp 15.000.000.000.000,00 (lima belas triliun rupiah) berupa dana tunai. |
(3) | Dalam hal modal Lembaga Pengelola Investasi berkurang secara signifikan, Pemerintah dapat menambah kembali modal Lembaga Pengelola Investasi. |
(4) | Penyertaan modal awal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. |
(1) | Lembaga Pengelola Investasi yang dibentuk dengan Undang-Undang ini hanya dapat dibubarkan dengan Undang-Undang. |
(2) | Pembinaan Lembaga Pengelola Investasi dilaksanakan oleh Menteri Keuangan. |
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai Lembaga Pengelola Investasi diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
(1) | Lembaga Pengelola Investasi dapat melakukan transaksi baik langsung maupun tidak langsung dengan entitas yang dimilikinya. |
(2) | Perlakuan perpajakan atas transaksi yang melibatkan Lembaga Pengelola Investasi dan/atau entitas yang dimilikinya, termasuk transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. |
(1) | Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat bertanggung jawab dalam menyediakan lahan dan Perizinan Berusaha bagi proyek strategis nasional dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah. |
(2) | Dalam hal pengadaan tanah belum dapat dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat, pengadaan tanah untuk proyek strategis nasional dapat dilakukan oleh badan usaha. |
(3) | Pengadaan tanah untuk proyek strategis nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan dengan mempertimbangkan prinsip kemampuan keuangan negara dan kesinambungan fiskal. |
(4) | Dalam hal pengadaan tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh badan usaha, mekanisme pengadaan tanah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengadaan tanah untuk kepentingan umum. |
(5) | Ketentuan lebih lanjut mengenai pengadaan tanah dan Perizinan Berusaha bagi proyek strategis nasional diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
1. | Di antara Pasal 1 angka 19 dan Pasal 1 angka 20 disisipkan 1 (satu) angka baru, yakni angka 19a sehingga berbunyi: Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
|
||||||||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 24
Pejabat Pemerintahan yang menggunakan Diskresi harus memenuhi syarat:
|
||||||||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 38
|
||||||||||||||||
4. | Bagian kelima diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Bagian Kelima
Izin, Standar, Dispensasi, dan Konsesi Pasal 39
|
||||||||||||||||
5. | Di antara Pasal 39 dan Pasal 40 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 39A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 39A
|
||||||||||||||||
6. | Ketentuan Pasal 53 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 53
|
1. | Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 16
|
||||||||||||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 250 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 250
Perda dan Perkada sebagaimana dimaksud dalam Pasal 249 ayat (1) dan ayat (3) dilarang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, asas materi muatan peraturan perundang-undangan, dan putusan pengadilan. |
||||||||||||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 251 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 251
Agar tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, asas materi muatan peraturan perundang- undangan, dan putusan pengadilan, penyusunan Perda dan Perkada berkoordinasi dengan kementerian yang membidangi urusan pemerintahan dalam negeri dan melibatkan ahli dan/atau instansi vertikal di daerah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pembentukan peraturan perundang-undangan. |
||||||||||||||||||||
4. | Ketentuan Pasal 252 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 252
|
||||||||||||||||||||
5. | Ketentuan Pasal 260 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 260
|
||||||||||||||||||||
6. | Di antara Pasal 292 dan Pasal 293 disisipkan 1 (satu) Pasal yakni Pasal 292A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 292A
|
||||||||||||||||||||
7. | Ketentuan Pasal 300 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 300
|
||||||||||||||||||||
8. | Ketentuan Pasal 349 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 349
|
||||||||||||||||||||
9. | Ketentuan Pasal 350 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 350
|
||||||||||||||||||||
10. | Di antara Pasal 402 dan 403 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 402A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 402A
Pembagian urusan pemerintahan konkuren antara Pemerintah Pusat dan Daerah Provinsi serta Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana tercantum dalam Lampiran Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah harus dibaca dan dimaknai sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang tentang Cipta Kerja. |
(1) | Pemerintah Pusat wajib melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap setiap pelaksanaan Perizinan Berusaha yang dilakukan oleh pemegang Perizinan Berusaha. |
(2) | Pelaksanaan pengawasan dan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Aparatur Sipil Negara sesuai dengan kewenangannya. |
(3) | Aparatur Sipil Negara dalam melaksanakan tugas pengawasan dan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat bekerja sama dengan profesi bersertifikat sesuai dengan bidang pengawasan dan pembinaan yang dilakukan. |
(4) | Dalam hal Aparatur Sipil Negara dan profesi bersertifikat dalam melaksanakan tugasnya menemukan pelanggaran terhadap ketentuan yang tertuang dalam setiap Perizinan Berusaha yang dilakukan oleh pemegang Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Aparatur Sipil Negara sesuai dengan kewenangannya dapat memberikan sanksi administratif kepada pemegang Perizinan Berusaha. |
(5) | Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat berupa:
|
(6) | Kewenangan Pemerintah Pusat dalam melaksanakan pengawasan dan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(7) | Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi administratif lainnya dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
(1) | Pemerintah Pusat wajib melakukan pengawasan terhadap Aparatur Sipil Negara dan/atau profesi bersertifikat yang melaksanakan tugas dan tanggung jawab pengawasan dan pembinaan. |
(2) | Aparatur Sipil Negara dan/atau profesi bersertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang tidak melaksanakan tugas dan fungsi pengawasan dan pembinaan terhadap pelaksanaan Perizinan Berusaha dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(3) | Kewenangan pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(4) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan pengawasan oleh Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
(1) | Hak, izin, atau konsesi atas tanah dan/atau kawasan yang dengan sengaja tidak diusahakan atau ditelantarkan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak diberikan dicabut dan dikembalikan kepada negara. |
(2) | Dalam pelaksanaan pengembalian kepada negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Pusat dapat menetapkan hak, izin, atau konsesi tersebut sebagai aset Bank Tanah. |
(3) | Ketentuan lebih lanjut pencabutan hak, izin, atau konsesi dan penetapannya sebagai aset Bank Tanah diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
(1) | Pada saat berlakunya Undang-Undang ini, setiap peraturan perundang-undangan di bawah Undang- Undang yang berlaku dan bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang ini atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, atau bertentangan dengan putusan pengadilan harus dilakukan harmonisasi dan sinkronisasi yang dikoordinasikan oleh kementerian atau lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pembentukan peraturan perundang-undangan. |
(2) | Harmonisasi dan sinkronisasi yang berkaitan dengan peraturan daerah dan/atau peraturan kepala daerah, dilaksanakan oleh kementerian atau lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pembentukan peraturan perundang-undangan bersama dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri. |
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai harmonisasi dan sinkronisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 2 November 2020 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. JOKO WIDODO |
I. | UMUM Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan bahwa tujuan pembentukan Negara Republik Indonesia adalah mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, makmur, yang merata, baik materiel maupun spiritual. Sejalan dengan tujuan tersebut, Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 menentukan bahwa "Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan", oleh karena itu negara perlu melakukan berbagai upaya atau tindakan untuk memenuhi hak-hak warga negara untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak. Pemenuhan hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak pada prinsipnya merupakan salah satu aspek penting dalam pembangunan nasional yang dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Pemerintah Pusat telah melakukan berbagai upaya untuk menciptakan dan memperluas lapangan kerja dalam rangka penurunan jumlah pengangguran dan menampung pekerja baru serta mendorong pengembangan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dengan tujuan untuk meningkatkan perekonomian nasional yang akan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Meski tingkat pengangguran terbuka terus turun, Indonesia masih membutuhkan penciptaan kerja yang berkualitas karena:
Pemerintah Pusat telah berupaya untuk perluasan program jaminan dan bantuan sosial yang merupakan komitmen dalam rangka meningkatkan daya saing dan penguatan kualitas sumber daya manusia, serta untuk mempercepat penanggulangan kemiskinan dan ketimpangan pendapatan. Dengan demikian melalui dukungan jaminan dan bantuan sosial, total manfaat tidak hanya diterima oleh pekerja, namun juga dirasakan oleh keluarga pekerja. Terhadap hal tersebut Pemerintah Pusat perlu mengambil kebijakan strategis untuk menciptakan dan memperluas kerja melalui peningkatan investasi, mendorong pengembangan dan peningkatan kualitas Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Untuk dapat meningkatkan penciptaan dan perluasan kerja, diperlukan pertumbuhan ekonomi stabil dan konsisten naik setiap tahunnya. Namun upaya tersebut dihadapkan dengan kondisi saat ini, terutama yang menyangkut:
Indonesia masih menghadapi berbagai hambatan dan kemudahan dalam berusaha, termasuk untuk Koperasi dan UMK-M. Saat ini terjadi kompleksitas dan obesitas regulasi, dimana saat ini terdapat 4.451 peraturan Pemerintah Pusat dan 15.965 peraturan Pemerintah Daerah. Regulasi dan institusi menjadi hambatan paling utama disamping hambatan terhadap fiskal, infrastruktur dan sumber daya manusia. Regulasi tidak mendukung penciptaan dan pengembangan usaha bahkan cenderung membatasi. Dengan kondisi yang ada pada saat ini, pendapatan perkapita baru sebesar Rp4,6 juta per bulan. Dengan memperhitungkan potensi perekonomian dan sumber daya manusia ke depan, maka Indonesia akan dapat masuk ke dalam 5 besar ekonomi dunia pada Tahun 2045 dengan produk domestik bruto sebesar $7 triliun dolar Amerika Serikat dengan pendapatan perkapita sebesar Rp27 juta per bulan. Untuk itu diperlukan kebijakan dan langkah-langkah strategis Cipta Kerja yang memerlukan keterlibatan semua pihak yang terkait, dan terhadap hal tersebut perlu menyusun dan menetapkan Undang-Undang tentang Cipta Kerja dengan tujuan untuk menciptakan kerja yang seluas-luasnya bagi rakyat Indonesia secara merata di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia dalam rangka memenuhi hak atas penghidupan yang layak. Undang-Undang tentang Cipta Kerja mencakup yang terkait dengan:
Penciptaan lapangan kerja yang dilakukan melalui pengaturan terkait dengan peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha paling sedikit memuat pengaturan mengenai: penyederhanaan Perizinan Berusaha, persyaratan investasi, kemudahan berusaha, riset dan inovasi, pengadaan lahan, dan kawasan ekonomi. Penyederhanaan Perizinan Berusaha melalui penerapan Perizinan Berusaha berbasis risiko merupakan metode standar berdasarkan tingkat risiko suatu kegiatan usaha dalam menentukan jenis Perizinan Berusaha dan kualitas/frekuensi pengawasan. Perizinan Berusaha dan pengawasan merupakan instrumen Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam mengendalikan suatu kegiatan usaha. Penerapan pendekatan berbasis risiko memerlukan perubahan pola pikir (change management) dan penyesuaian tata kerja penyelenggaraan layanan Perizinan Berusaha (business process re-engineering) serta memerlukan pengaturan (re-design) proses bisnis Perizinan Berusaha di dalam sistem Perizinan Berusaha secara elektronik. Melalui penerapan konsep ini, pelaksanaan penerbitan Perizinan Berusaha dapat lebih efektif dan sederhana karena tidak seluruh kegiatan usaha wajib memiliki izin, di samping itu melalui penerapan konsep ini kegiatan pengawasan menjadi lebih terstruktur baik dari periode maupun substansi yang harus dilakukan pengawasan. Penciptaan lapangan kerja yang dilakukan melalui pengaturan terkait dengan peningkatan perlindungan dan kesejahteraan pekerja paling sedikit memuat pengaturan mengenai: perlindungan pekerja untuk pekerja dengan perjanjian waktu kerja tertentu, perlindungan hubungan kerja atas pekerjaan yang didasarkan alih daya, perlindungan kebutuhan layak kerja melalui upah minimum, perlindungan pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja, dan kemudahan perizinan bagi tenaga kerja asing yang memiliki keahlian tertentu yang masih diperlukan untuk proses produksi barang atau jasa. Penciptaan lapangan kerja yang dilakukan melalui pengaturan terkait dengan kemudahan, pemberdayaan, dan perlindungan UMK-M paling sedikit memuat pengaturan mengenai: kemudahan pendirian, rapat anggota, dan kegiatan usaha koperasi, dan kriteria UMK-M, basis data tunggal UMK-M, pengelolaan terpadu UMK-M, kemudahan Perizinan Berusaha UMK-M, kemitraan, insentif, dan pembiayaan UMK-M. Penciptaan lapangan kerja yang dilakukan melalui pengaturan terkait dengan peningkatan investasi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dan percepatan proyek strategis nasional paling sedikit memuat pengaturan mengenai: pelaksanaan investasi Pemerintah Pusat melalui pembentukan lembaga pengelola investasi dan penyediaan lahan dan perizinan untuk percepatan proyek strategis nasional. Dalam rangka mendukung kebijakan strategis Cipta Kerja tersebut diperlukan pengaturan mengenai penataan administrasi pemerintahan dan pengenaan sanksi. Untuk mendukung pelaksanaan kebijakan strategis penciptaan kerja beserta pengaturannya, diperlukan perubahan dan penyempurnaan berbagai Undang-Undang terkait. Perubahan Undang-Undang tersebut tidak dapat dilakukan melalui cara konvensional dengan cara mengubah satu persatu Undang-Undang seperti yang selama ini dilakukan, cara demikian tentu sangat tidak efektif dan efisien serta membutuhkan waktu yang lama. Ruang lingkup Undang-Undang ini meliputi: a. peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha; b. ketenagakerjaan; c. kemudahan, perlindungan, serta pemberdayaan Koperasi dan UMK-M; d. kemudahan berusaha; e. dukungan riset dan inovasi; f. pengadaan tanah; g- kawasan ekonomi; h. investasi Pemerintah Pusat dan percepatan proyek strategis nasional; i. pelaksanaan administrasi pemerintahan; dan j. pengenaan sanksi. |
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
II. | PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas.
Pasal 2 Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan "pemerataan hak" adalah bahwa penciptaan kerja untuk memenuhi hak warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi rakyat Indonesia dilakukan secara merata di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "kepastian hukum" adalah bahwa penciptaan kerja dilakukan sejalan dengan penciptaan iklim usaha kondusif yang dibentuk melalui sistem hukum yang menjamin konsistensi antara peraturan perundang-undangan dengan pelaksanaannya.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "kemudahan berusaha" adalah bahwa penciptaan kerja yang didukung dengan proses berusaha yang sederhana, mudah, dan cepat akan mendorong peningkatan investasi, pemberdayaan usaha mikro, kecil, dan menengah untuk memperkuat perekonomian yang mampu membuka seluas-luasnya lapangan kerja bagi rakyat Indonesia.
Huruf d
Yang dimaksud dengan "kebersamaan" adalah bahwa penciptaan kerja dengan mendorong peran seluruh dunia usaha dan usaha mikro, kecil, dan menengah termasuk koperasi secara bersama-sama dalam kegiatannya untuk kesejahteraan rakyat.
Huruf e
Yang dimaksud dengan "kemandirian" adalah bahwa pemberdayaan usaha mikro, kecil, dan menengah termasuk koperasi dilakukan dengan tetap mendorong, menjaga, dan mengedepankan potensi dirinya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 3 Cukup jelas.
Pasal 4 Cukup jelas.
Pasal 5 Cukup jelas.
Pasal 6 Cukup jelas.
Pasal 7 Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "Perizinan Berusaha Berbasis Risiko" adalah pemberian Perizinan Berusaha dan pelaksanaan pengawasan berdasarkan tingkat risiko usaha dan/atau kegiatan.
Yang dimaksud dengan "tingkat risiko" adalah potensi terjadinya suatu bahaya terhadap kesehatan, keselamatan, lingkungan, pemanfaatan sumber daya alam dan/atau bahaya lainnya yang masuk ke dalam kategori rendah, menengah, atau tinggi. Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan "pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya" termasuk di dalamnya penggunaan frekuensi radio.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan "aspek lainnya" termasuk aspek keamanan atau pertahanan sesuai dengan kegiatan usaha.
Ayat (5)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan "risiko volatilitas" yaitu risiko yang memiliki kecenderungan untuk mudah berubah.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 8 Cukup jelas.
Pasal 9 Ayat (1)
Huruf a
Contoh kegiatan usaha berisiko menengah rendah antara lain wisata agro dan jasa manajemen hotel.
Huruf b
Contoh kegiatan usaha berisiko menengah tinggi antara lain industri mesin pendingin dan industri konstruksi berat siap pasang dari baja untuk bangunan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 10 Cukup jelas.
Pasal 11 Cukup jelas.
Pasal 12 Cukup jelas.
Pasal 13 Cukup jelas.
Pasal 14 Cukup jelas.
Pasal 15 Cukup jelas.
Pasal 16 Cukup jelas.
Pasal 17 Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 6
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 8
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Kerja sama penataan ruang antarnegara melibatkan negara lain sehingga terdapat aspek hubungan antarnegara yang merupakan wewenang Pemerintah. Yang termasuk kerja sama penataan ruang antarnegara adalah kerja sama penataan ruang di kawasan perbatasan negara. Pemberian wewenang kepada Pemerintah dalam memfasilitasi kerja sama penataan ruang antarprovinsi dimaksudkan agar kerja sama penataan ruang memberikan manfaat yang optimal bagi seluruh provinsi yang bekerja sama.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Huruf a
Penyebarluasan informasi dilakukan antara lain melalui media elektronik, media cetak, dan media komunikasi lain, sebagai bentuk perwujudan asas keterbukaan dalam penyelenggaraan penataan ruang.
Huruf b
Standar pelayanan minimal merupakan hak dan kewajiban penerima dan pemberi layanan yang disusun sebagai alat Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk menjamin akses dan mutu pelayanan dasar kepada masyarakat secara merata.
Standar pelayanan minimal bidang penataan ruang disusun oleh Pemerintah Pusat dan diberlakukan untuk seluruh Pemerintah Daerah provinsi dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota untuk menjamin mutu pelayanan dasar kepada masyarakat secara merata dalam rangka penyelenggaraan penataan ruang. Ayat (6)
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 9
Ayat (1)
Penyelenggaraan penataan ruang oleh Pemerintah Pusat mencakup antara lain pengaturan, pembinaan, pengawasan penataan ruang lintas sektor, lintas wilayah dan lintas pemangku kepentingan yang dapat dilakukan dengan pendekatan partisipatif melalui komite atau forum.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 10
Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 11
Cukup jelas.
Angka 7
Pasal 14
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Rencana rinci tata ruang merupakan penjabaran rencana umum tata ruang yang dapat berupa rencana tata ruang kawasan strategis yang penetapan kawasannya tercakup di dalam rencana tata ruang wilayah.
Rencana rinci tata ruang merupakan operasionalisasi rencana umum tata ruang yang dalam pelaksanaannya tetap memperhatikan aspirasi masyarakat sehingga muatan rencana masih dapat disempurnakan dengan tetap mematuhi batasan yang telah diatur dalam rencana rinci dan peraturan zonasi. Ayat (2)
Rencana umum tata ruang dibedakan menurut wilayah administrasi pemerintahan karena kewenangan mengatur pemanfaatan ruang dibagi sesuai dengan pembagian administrasi pemerintahan.
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Secara administrasi pemerintahan, rencana tata ruang wilayah kabupaten dan rencana tata ruang wilayah kota memiliki kedudukan yang setara.
Ayat (3)
Huruf a
Rencana tata ruang pulau/kepulauan dan rencana tata ruang kawasan strategis nasional merupakan rencana rinci untuk Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.
Huruf b
RDTR kabupaten/kota merupakan rencana rinci untuk rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota yang dilengkapi dengan peraturan zonasi kabupaten/kota.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Efektivitas penerapan rencana tata ruang sangat dipengaruhi oleh tingkat ketelitian atau kedalaman pengaturan dan skala peta dalam rencana tata ruang. Perencanaan tata ruang yang mencakup wilayah yang luas pada umumnya memiliki tingkat ketelitian atau kedalaman pengaturan dan skala peta yang tidak rinci. Oleh karena itu, dalam penerapannya masih diperlukan perencanaan yang lebih rinci. Apabila perencanaan tata ruang yang mencakup wilayah yang luasnya memungkinkan pengaturan dan penyediaan peta dengan tingkat ketelitian tinggi, rencana rinci tidak diperlukan.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Angka 8
Pasal 14A
Cukup jelas.
Angka 9
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Dalam sistem wilayah, pusat permukiman adalah kawasan perkotaan yang merupakan pusat kegiatan sosial ekonomi masyarakat, baik pada kawasan perkotaan maupun pada kawasan perdesaan. Dalam sistem internal perkotaan, pusat permukiman adalah pusat pelayanan kegiatan perkotaan.
Sistem jaringan prasarana, antara lain, mencakup sistem jaringan transportasi, sistem jaringan energi dan kelistrikan, sistem jaringan telekomunikasi, sistem persampahan dan sanitasi, serta sistem jaringan sumber daya air. Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Penetapan proporsi luas kawasan hutan terhadap luas daerah aliran sungai dimaksudkan untuk menjaga keseimbangan tata air, karena sebagian besar wilayah Indonesia mempunyai curah dan intensitas hujan yang tinggi, serta mempunyai konfigurasi daratan yang bergelombang, berbukit dan bergunung yang peka akan gangguan keseimbangan tata air seperti banjir, erosi, sedimentasi, serta kekurangan air.
Distribusi luas kawasan hutan disesuaikan dengan kondisi daerah aliran sungai yang, antara lain, meliputi morfologi, jenis batuan, serta bentuk pengaliran sungai dan anak sungai. Dengan demikian kawasan hutan tidak harus terdistribusi secara merata pada setiap wilayah administrasi yang ada di dalam daerah aliran sungai. Ayat (6)
Keterkaitan antarwilayah merupakan wujud keterpaduan dan sinergi antarwilayah, yaitu wilayah nasional, wilayah provinsi, dan wilayah kabupaten/kota.
Keterkaitan antarfungsi kawasan merupakan wujud keterpaduan dan sinergi antarkawasan, antara lain, meliputi keterkaitan antara kawasan lindung dan kawasan budi daya. Keterkaitan antarkegiatan kawasan merupakan wujud keterpaduan dan sinergi antarkawasan, antara lain, meliputi keterkaitan antara kawasan perkotaan dan kawasan perdesaan. Ayat (7)
Rencana tata ruang untuk fungsi pertahanan dan keamanan karena sifatnya yang khusus memerlukan pengaturan tersendiri. Sifat khusus tersebut terkait dengan adanya kebutuhan untuk menjaga kerahasiaan sebagian informasi untuk kepentingan pertahanan dan keamanan negara.
Rencana tata ruang yang berkaitan dengan fungsi pertahanan dan keamanan sebagai subsistem rencana tata ruang wilayah mengandung pengertian bahwa penataan ruang kawasan pertahanan dan keamanan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari upaya keseluruhan penataan ruang wilayah. Angka 10
Pasal 18
Ayat (1)
Persetujuan substansi dari Pemerintah dimaksudkan agar peraturan daerah tentang rencana tata ruang mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan kebijakan nasional, sedangkan rencana rinci tata ruang mengacu pada rencana umum tata ruang. Selain itu, persetujuan tersebut dimaksudkan pula untuk menjamin kesesuaian muatan peraturan daerah, baik dengan ketentuan peraturan perundang-undangan maupun dengan pedoman bidang penataan ruang.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Angka 11
Pasal 20
Ayat (1)
Huruf a
Tujuan penataan ruang wilayah nasional mencerminkan keterpaduan pembangunan antarsektor, antarwilayah, dan antarpemangku kepentingan. Kebijakan dan strategi penataan ruang wilayah nasional merupakan landasan bagi pembangunan nasional yang memanfaatkan ruang.
Kebijakan dan strategi penataan ruang wilayah nasional dirumuskan dengan mempertimbangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, ketersediaan data dan informasi, serta pembiayaan pembangunan. Kebijakan dan strategi penataan ruang wilayah nasional, antara lain, dimaksudkan untuk meningkatkan daya saing nasional dalam menghadapi tantangan global, serta mewujudkan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional. Huruf b
Sistem perkotaan nasional dibentuk dari kawasan perkotaan dengan skala pelayanan yang berhierarki yang meliputi pusat kegiatan skala nasional, pusat kegiatan skala wilayah, dan pusat kegiatan skala lokal. Pusat kegiatan tersebut didukung dan dilengkapi dengan jaringan prasarana wilayah yang tingkat pelayanannya disesuaikan dengan hierarki kegiatan dan kebutuhan pelayanan.
Jaringan prasarana utama merupakan sistem primer yang dikembangkan untuk mengintegrasikan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia selain untuk melayani kegiatan berskala nasional yang meliputi sistem jaringan transportasi, sistem jaringan energi dan kelistrikan, sistem jaringan telekomunikasi, dan sistem jaringan sumber daya air. Yang termasuk dalam sistem jaringan primer yang direncanakan adalah jaringan transportasi untuk menyediakan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) bagi lalu lintas damai sesuai dengan ketentuan hukum internasional. Huruf c
Pola ruang wilayah nasional merupakan gambaran pemanfaatan ruang wilayah nasional, baik untuk pemanfaatan yang berfungsi lindung maupun budi daya yang bersifat strategis nasional, yang ditinjau dari berbagai sudut pandang akan lebih berdaya guna dan berhasil guna dalam mendukung pencapaian tujuan pembangunan nasional.
Kawasan lindung nasional, antara lain, adalah kawasan lindung yang secara ekologis merupakan satu ekosistem yang terletak lebih dari satu wilayah provinsi, kawasan lindung yang memberikan pelindungan terhadap kawasan bawahannya yang terletak di wilayah provinsi lain, kawasan lindung yang dimaksudkan untuk melindungi warisan kebudayaan nasional, kawasan hulu daerah aliran sungai suatu bendungan atau waduk, dan kawasan lindung lain yang menurut peraturan perundang-undangan pengelolaannya merupakan kewenangan Pemerintah. Kawasan lindung nasional adalah kawasan yang tidak diperkenankan dan/atau dibatasi pemanfaatan ruangnya dengan fungsi utama untuk melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan, warisan budaya dan sejarah, serta untuk mengurangi dampak dari bencana alam. Kawasan budi daya yang mempunyai nilai strategis nasional, antara lain, adalah kawasan yang dikembangkan untuk mendukung fungsi pertahanan dan keamanan nasional, kawasan industri strategis, kawasan pertambangan sumber daya alam strategis, kawasan perkotaan metropolitan, dan kawasan budi daya lain yang menurut peraturan perundang-undangan perizinan dan/atau pengelolaannya merupakan kewenangan Pemerintah. Huruf d
Yang termasuk kawasan strategis nasional adalah kawasan yang menurut peraturan perundang-undangan ditetapkan sebagai kawasan khusus.
Huruf e
Indikasi program utama merupakan petunjuk yang memuat usulan program utama, perkiraan pendanaan beserta sumbernya, instansi pelaksana, dan waktu pelaksanaan dalam rangka mewujudkan pemanfaatan ruang yang sesuai dengan rencana tata ruang. Indikasi program utama merupakan acuan utama dalam penyusunan program pemanfaatan ruang yang merupakan kunci dalam pencapaian tujuan penataan ruang, serta acuan sektor dalam menyusun rencana strategis beserta besaran investasi. Indikasi program utama lima tahunan disusun untuk jangka waktu rencana 20 (dua puluh) tahun.
Huruf f
Cukup jelas.
Ayat (2)
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional menjadi acuan bagi instansi pemerintah tingkat pusat dan daerah serta masyarakat untuk mengarahkan lokasi dan memanfaatkan ruang dalam menyusun program pembangunan yang berkaitan dengan pemanfaatan ruang.
Ayat (3)
Rencana tata ruang disusun untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun dengan visi yang lebih jauh ke depan yang merupakan matra spasial dari rencana pembangunan jangka panjang.
Apabila jangka waktu 20 (dua puluh) tahun rencana tata ruang berakhir, dalam penyusunan rencana tata ruang yang baru, hak yang telah dimiliki orang yang jangka waktunya melebihi jangka waktu rencana tata ruang tetap diakui. Ayat (4)
Peninjauan kembali rencana tata ruang merupakan upaya untuk melihat kesesuaian antara rencana tata ruang dan kebutuhan pembangunan yang memperhatikan perkembangan lingkungan strategis dan dinamika internal, serta pelaksanaan pemanfaatan ruang.
Hasil peninjauan kembali Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional berisi rekomendasi tindak lanjut sebagai berikut:
Ayat (5)
Peninjauan kembali dan revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dapat dilakukan lebih dari 1 (satu) dalam periode 5 (lima) tahun hanya apabila memenuhi syarat terjadinya perubahan lingkungan strategis.
Peninjauan kembali dilakukan bukan untuk pemutihan penyimpangan pemanfaatan ruang. Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Termasuk kebijakan nasional yang bersifat strategis antara lain pengembangan infrastruktur, pengembangan wilayah, dan pengembangan ekonomi.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Angka 12
Pasal 22
Cukup jelas.
Angka 13
Pasal 23
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Rencana struktur ruang wilayah provinsi merupakan arahan perwujudan sistem perkotaan dalam wilayah provinsi dan jaringan prasarana wilayah provinsi yang dikembangkan untuk mengintegrasikan wilayah provinsi selain untuk melayani kegiatan skala provinsi yang meliputi sistem jaringan transportasi, sistem jaringan energi dan kelistrikan, sistem jaringan telekomunikasi, dan sistem jaringan sumber daya air, termasuk seluruh daerah hulu bendungan/waduk dari daerah aliran sungai.
Dalam rencana tata ruang wilayah provinsi digambarkan sistem perkotaan dalam wilayah provinsi dan peletakan jaringan prasarana wilayah yang menurut peraturan perundang-undangan pengembangan dan pengelolaannya merupakan kewenangan pemerintah daerah provinsi dengan sepenuhnya memperhatikan struktur ruang yang telah ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Rencana struktur ruang wilayah provinsi memuat rencana struktur ruang yang ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Huruf c
Pola ruang wilayah provinsi merupakan gambaran pemanfaatan ruang wilayah provinsi, baik untuk pemanfaatan yang berfungsi lindung maupun budi daya, yang ditinjau dari berbagai sudut pandang akan lebih berdaya guna dan berhasil guna dalam mendukung pencapaian tujuan pembangunan provinsi apabila dikelola oleh Pemerintah Daerah provinsi dengan sepenuhnya memperhatikan pola ruang yang telah ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Kawasan lindung provinsi adalah kawasan lindung yang secara ekologis merupakan satu ekosistem yang terletak lebih dari satu wilayah kabupaten/kota, kawasan lindung yang memberikan pelindungan terhadap kawasan bawahannya yang terletak di wilayah kabupaten/kota lain, dan kawasan-kawasan lindung lain yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan pengelolaannya merupakan kewenangan Pemerintah Daerah provinsi.
Kawasan budi daya yang mempunyai nilai strategis provinsi merupakan kawasan budi daya yang dipandang sangat penting bagi upaya pencapaian pembangunan provinsi dan/atau menurut peraturan perundang-undangan perizinan dan/atau pengelolaannya merupakan kewenangan Pemerintah Daerah provinsi. Kawasan budi daya yang memiliki nilai strategis provinsi dapat berupa kawasan permukiman, kawasan kehutanan, kawasan pertanian, kawasan pertambangan, kawasan perindustrian, dan kawasan pariwisata. Rencana pola ruang wilayah Kabupaten memuat rencana pola ruang yang ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Huruf d
Indikasi program utama adalah petunjuk yang memuat usulan program utama, perkiraan pendanaan beserta sumbernya, instansi pelaksana, dan waktu pelaksanaan, dalam rangka mewujudkan pemanfaatan ruang yang sesuai dengan rencana tata ruang. Indikasi program utama merupakan acuan utama dalam penyusunan program pemanfaatan ruang yang merupakan kunci dalam pencapaian tujuan penataan ruang, serta acuan sektor dalam menyusun rencana strategis beserta besaran investasi. Indikasi program utama lima tahunan disusun untuk jangka waktu rencana 20 (dua puluh) tahun.
Huruf e
Cukup jelas. Ayat (2)
Rencana tata ruang wilayah provinsi menjadi acuan bagi instansi Pemerintah Daerah serta masyarakat untuk mengarahkan lokasi dan memanfaatkan ruang dalam menyusun program pembangunan yang berkaitan dengan pemanfaatan ruang di daerah yang bersangkutan. Selain itu, rencana tersebut menjadi dasar dalam memberikan rekomendasi pengarahan pemanfaatan ruang.
Rencana tata ruang wilayah provinsi dan rencana pembangunan jangka panjang provinsi serta rencana pembangunan jangka menengah provinsi merupakan kebijakan daerah yang saling mengacu.
Ayat (3)
Rencana tata ruang disusun untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun dengan visi yang lebih jauh ke depan yang merupakan matra spasial dari rencana pembangunan jangka panjang daerah.
Apabila jangka waktu 20 (dua puluh) tahun rencana tata ruang berakhir, maka dalam penyusunan rencana tata ruang yang baru hak yang telah dimiliki orang yang jangka waktunya melebihi jangka waktu rencana tata ruang tetap diakui. Ayat (4)
Peninjauan kembali rencana tata ruang merupakan upaya untuk melihat kesesuaian antara rencana tata ruang dan kebutuhan pembangunan yang memperhatikan perkembangan lingkungan strategis dan dinamika internal, serta pelaksanaan pemanfaatan ruang.
Hasil peninjauan kembali rencana tata ruang wilayah provinsi berisi rekomendasi tindak lanjut sebagai berikut:
Ayat (5)
Peninjauan kembali dan revisi dalam waktu kurang dari 5 (lima) tahun dilakukan apabila dinamika internal provinsi yang mempengaruhi pemanfaatan ruang provinsi secara mendasar diakibatkan terjadinya perubahan lingkungan strategis yang antara lain dikarenakan adanya bencana alam, perubahan batas teritorial, perubahan batas wilayah dan/atau perubahan kebijakan nasional yang bersifat strategis yang mempengaruhi pemanfaatan ruang provinsi dan/atau dinamika internal provinsi yang tidak mengubah kebijakan dan strategi pemanfaatan ruang wilayah nasional.
Peninjauan kembali dilakukan bukan untuk pemutihan penyimpangan pemanfaatan ruang. Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Termasuk kebijakan nasional yang bersifat strategis antara lain pengembangan infrastruktur, pengembangan wilayah, dan pengembangan ekonomi.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Angka 14
Pasal 24
Dihapus.
Angka 15
Pasal 25
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Daya dukung dan daya tampung wilayah kabupaten diatur berdasarkan peraturan perundang-undangan yang penyusunannya dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Angka 16
Pasal 26
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Struktur ruang wilayah kabupaten merupakan gambaran sistem perkotaan wilayah kabupaten dan jaringan prasarana wilayah kabupaten yang dikembangkan untuk mengintegrasikan wilayah kabupaten selain untuk melayani kegiatan skala kabupaten yang meliputi sistem jaringan transportasi, sistem jaringan energi dan kelistrikan, sistem jaringan telekomunikasi, dan sistem jaringan sumber daya air, termasuk seluruh daerah hulu bendungan atau waduk dari daerah aliran sungai.
Dalam rencana tata ruang wilayah kabupaten digambarkan sistem pusat kegiatan wilayah kabupaten dan perletakan jaringan prasarana wilayah yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan pengembangan dan pengelolaannya merupakan kewenangan pemerintah daerah kabupaten. Rencana struktur ruang wilayah kabupaten memuat rencana struktur ruang yang ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan rencana tata ruang wilayah provinsi yang terkait dengan wilayah kabupaten yang bersangkutan. Huruf c
Pola ruang wilayah kabupaten merupakan gambaran pemanfaatan ruang wilayah kabupaten, baik untuk pemanfaatan yang berfungsi lindung maupun budi daya yang belum ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan rencana tata ruang wilayah provinsi. Pola ruang wilayah kabupaten dikembangkan dengan sepenuhnya memperhatikan pola ruang wilayah yang ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan rencana tata ruang wilayah provinsi. Rencana pola ruang wilayah kabupaten memuat rencana pola ruang yang ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan rencana tata ruang wilayah provinsi yang terkait dengan wilayah kabupaten yang bersangkutan.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (2)
Rencana tata ruang wilayah kabupaten menjadi pedoman bagi Pemerintah Daerah untuk menetapkan lokasi kegiatan pembangunan dalam memanfaatkan ruang serta dalam menyusun program pembangunan yang berkaitan dengan pemanfaatan ruang di daerah tersebut dan sekaligus menjadi dasar dalam pemberian rekomendasi pengarahan pemanfaatan ruang, sehingga pemanfaatan ruang dalam pelaksanaan pembangunan selalu sesuai dengan rencana tata ruang wilayah kabupaten.
Rencana tata ruang kawasan perdesaan merupakan bagian dari rencana tata ruang wilayah kabupaten yang dapat disusun sebagai instrumen pemanfaatan ruang untuk mengoptimalkan kegiatan pertanian yang dapat berbentuk kawasan agropolitan. Rencana tata ruang wilayah kabupaten dan rencana pembangunan jangka panjang daerah merupakan kebijakan daerah yang saling mengacu. Penyusunan rencana tata ruang wilayah kabupaten mengacu pada rencana pembangunan jangka panjang kabupaten begitu juga sebaliknya. Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Peninjauan kembali rencana tata ruang merupakan upaya untuk melihat kesesuaian antara rencana tata ruang dan kebutuhan pembangunan yang memperhatikan perkembangan lingkungan strategis dan dinamika internal serta pelaksanaan pemanfaatan ruang.
Hasil peninjauan kembali rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota berisi rekomendasi tindak lanjut sebagai berikut:
Ayat (6)
Peninjauan kembali dan revisi dalam waktu kurang dari 5 (lima) tahun atau lebih dari 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun dilakukan apabila strategi pemanfaatan ruang dan struktur ruang wilayah kabupaten yang bersangkutan menuntut adanya suatu perubahan yang mendasar sebagai akibat dari adanya perubahan lingkungan strategis.
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Termasuk kebijakan nasional yang bersifat strategis antara lain pengembangan infrastruktur, pengembangan wilayah, dan pengembangan ekonomi.
Ayat (7) Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Ayat (10)
Cukup jelas.
Angka 17
Pasal 27
Dihapus.
Angka 18
Pasal 34A
Yang dimaksud dengan rencana zonasi adalah rencana pengelolaan ruang laut yang telah ditetapkan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sebelum Undang-Undang ini berlaku.
Angka 19
Pasal 35
Pengendalian pemanfaatan ruang dimaksudkan agar pemanfaatan ruang dilakukan sesuai dengan rencana tata ruang.
Angka 20
Pasal 37
Cukup jelas.
Angka 21
Pasal 48
Cukup jelas.
Angka 22
Pasal 49 Dihapus.
Angka 23
Pasal 50 Dihapus.
Angka 24
Pasal 51 Dihapus.
Angka 25
Pasal 52
Dihapus.
Angka 26
Pasal 53
Dihapus.
Angka 27
Pasal 54
Dihapus.
Angka 28
Pasal 60
Huruf a
Masyarakat dapat mengetahui rencana tata ruang melalui Lembaran Negara atau Lembaran Daerah, pengumuman, dan/atau penyebarluasan oleh pemerintah.
Pengumuman atau penyebarluasan tersebut dapat diketahui masyarakat, antara lain, adalah dari pemasangan peta rencana tata ruang wilayah yang bersangkutan pada tempat umum, kantor kelurahan, dan/atau kantor yang secara fungsional menangani rencana tata ruang tersebut. Huruf b
Pertambahan nilai ruang dapat dilihat dari sudut pandang ekonomi, sosial, budaya, dan kualitas lingkungan yang dapat berupa dampak langsung terhadap peningkatan ekonomi masyarakat, sosial, budaya, dan kualitas lingkungan.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "penggantian yang layak" adalah bahwa nilai atau besarnya penggantian tidak menurunkan tingkat kesejahteraan orang yang diberi penggantian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Angka 29 Pasal 61 Huruf a
Menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan dimaksudkan sebagai kewajiban setiap orang untuk memiliki izin pemanfaatan ruang dari pejabat yang berwenang sebelum pelaksanaan pemanfaatan ruang.
Huruf b
Memanfaatkan ruang sesuai dengan rencana tata ruang dimaksudkan sebagai kewajiban setiap orang untuk melaksanakan pemanfaatan ruang sesuai dengan fungsi ruang.
Huruf c
Mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan izin pemanfaatan ruang dimaksudkan sebagai kewajiban setiap orang untuk memenuhi ketentuan amplop ruang dan kualitas ruang.
Huruf d
Pemberian akses dimaksudkan untuk menjamin agar masyarakat dapat mencapai kawasan yang dinyatakan dalam peraturan perundang-undangan sebagai milik umum. Kewajiban memberikan akses dilakukan apabila memenuhi syarat berikut:
Yang termasuk dalam kawasan yang dinyatakan sebagai milik umum, antara lain, adalah sumber air dan pesisir pantai.
Angka 30 Pasal 62 Cukup jelas.
Angka 31
Pasal 65 Cukup jelas.
Angka 32
Pasal 69 Cukup jelas.
Angka 33
Pasal 70 Cukup jelas.
Angka 34
Pasal 71 Cukup jelas.
Angka 35
Pasal 72 Dihapus.
Angka 36
Pasal 74 Cukup jelas.
Angka 37
Pasal 75 Cukup jelas.
Pasal 18 Angka 1
Pasal 1 Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 7 Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 7A Cukup jelas.
Pasal 7B Cukup jelas.
Pasal 7C
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 8 Dihapus.
Angka 5
Pasal 9
Dihapus.
Angka 6
Pasal 10 Dihapus.
Angka 7
Pasal 11 Dihapus.
Angka 8
Pasal 12 Dihapus.
Angka 9
Pasal 13 Dihapus.
Angka 10
Pasal 14 Dihapus.
Angka 11
Pasal 16 Cukup jelas.
Angka 12
Pasal 16A Cukup jelas.
Angka 13
Pasal 17 Cukup jelas.
Angka 14
Pasal 17A Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "kebijakan nasional yang bersifat strategis" antara lain proyek strategis nasional atau kegiatan strategis nasional lainnya yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 15
Pasal 18 Cukup jelas.
Angka 16
Pasal 19 Cukup jelas.
Angka 17
Pasal 20 Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "memfasilitasi", antara lain, dapat berupa kemudahan persyaratan dan pelayanan cepat.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 18
Pasal 22 Cukup jelas.
Angka 19
Pasal 22A Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Termasuk kebijakan nasional yang bersifat strategis antara lain pengembangan infrastruktur, pengembangan wilayah, dan pengembangan ekonomi.
Angka 20
Pasal 22B Cukup jelas.
Angka 21
Pasal 22C Cukup jelas.
Angka 22
Pasal 26A Cukup jelas.
Angka 23
Pasal 26B Cukup jelas.
Angka 24
Pasal 50 Cukup jelas.
Angka 25
Pasal 51 Cukup jelas.
Angka 26
Pasal 60 Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "wilayah penangkapan ikan secara tradisional" adalah wilayah penangkapan ikan untuk kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan tradisional.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 27
Pasal 71 Cukup jelas.
Angka 28
Pasal 71A Cukup jelas.
Angka 29
Pasal 73A Cukup jelas.
Angka 30
Pasal 75 Cukup jelas.
Angka 31
Pasal 75A Dihapus.
Angka 32
Pasal 78A Cukup jelas.
Pasal 19 Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 32
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 42
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 43
Ayat (1)
Perencanaan ruang Laut merupakan suatu proses untuk menghasilkan rencana tata ruang Laut dan/atau rencana zonasi untuk menentukan struktur ruang Laut dan pola ruang Laut.
Struktur ruang Laut merupakan susunan pusat pertumbuhan Kelautan dan sistem jaringan prasarana dan sarana Laut yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarkis memiliki hubungan fungsional. Pola ruang Laut meliputi kawasan pemanfaatan umum, kawasan konservasi, alur laut, dan kawasan strategis nasional tertentu. Perencanaan ruang Laut dipergunakan untuk menentukan kawasan yang dipergunakan untuk kepentingan ekonomi, sosial budaya, misalnya, kegiatan perikanan, prasarana perhubungan Laut, industri maritim, pariwisata, permukiman, dan pertambangan; untuk melindungi kelestarian sumber daya Kelautan; serta untuk menentukan perairan yang dimanfaatkan untuk alur pelayaran, pipa/kabel bawah Laut, dan migrasi biota Laut. Huruf a
Perencanaan tata ruang laut nasional mencakup wilayah perairan dan wilayah yurisdiksi.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Rencana zonasi kawasan strategis nasional (KSN) merupakan rencana yang disusun untuk menentukan arahan pemanfaatan ruang kawasan strategis nasional.
Rencana zonasi kawasan strategis nasional tertentu (KSNT) merupakan rencana yang disusun untuk menentukan arahan pemanfaatan ruang di kawasan strategis nasional tertentu. Yang dimaksud dengan "kawasan antarwilayah" antara lain meliputi:
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 43A Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Perencanaan ruang Laut menggunakan sifat komplementer antar hasil perencanaan ruang. Apabila dalam dokumen perencanaan ruang yang lebih rinci tidak terdapat alokasi ruang atau pola ruang untuk suatu kegiatan pemanfaatan ruang laut, maka menggunakan rencana tata ruang atau rencana zonasi Kawasan Antarwilayah.
Angka 6
Pasal 47
Cukup jelas.
Angka 7
Pasal 47A Cukup jelas.
Angka 8
Pasal 48
Cukup jelas.
Angka 9
Pasal 49 Cukup jelas.
Angka 10
Pasal 49A Cukup jelas.
Pasal 49B
Cukup jelas.
Pasal 20 Angka 1
Pasal 1 Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 7 Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 12 Dihapus.
Angka 4
Pasal 13 Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "pasang surut air laut" adalah naik turunnya posisi muka air laut yang disebabkan pengaruh gaya gravitasi bulan dan matahari.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "garis pantai ditentukan dengan mengacu pada JKVN" adalah garis pantai dan JKVN membentuk suatu kesatuan, karena pengamatan pasang surut diperlukan dalam membangun JKVN dan JKVN diperlukan dalam menentukan garis pantai.
Angka 5
Pasal 17 Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "bertahap" adalah diselenggarakan secara berjenjang, wilayah demi wilayah, skala demi skala, atau berselang waktu sesuai dengan prioritas kepentingan.
Yang dimaksud dengan "sistematis" adalah diselenggarakan secara teratur sesuai dengan sistem dan teknis pemetaan. Yang dimaksud dengan "wilayah yurisdiksi" adalah wilayah di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas Zona Ekonomi Eksklusif, Landas Kontinen, dan Zona Tambahan dimana negara memiliki hak-hak berdaulat dan kewenangan tertentu lainnya sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan dan hukum internasional. Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "jangka waktu tertentu" adalah jangka waktu untuk memutakhirkan IG yang ditentukan berdasarkan kondisi, teknologi, kebutuhan, prioritas, dan anggaran yang tersedia.
Yang dimaksud dengan "periodik" adalah kurun waktu tertentu, misalnya setiap 3 (tiga) tahun, 5 (lima) tahun, atau 10 (sepuluh) tahun. Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 18 Cukup jelas.
Angka 7
Pasal 22A Cukup jelas.
Angka 8
Pasal 28 Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan "daerah terlarang" adalah daerah yang oleh instansi yang berwenang dinyatakan terlarang pada kurun waktu tertentu.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 9
Pasal 55 Cukup jelas.
Angka 10
Pasal 56 Dihapus.
Pasal 21 Cukup jelas.
Pasal 22 Angka 1
Pasal 1 Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan "baku mutu air" adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada, dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya di dalam air.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "baku mutu air limbah" adalah ukuran batas atau kadar polutan yang ditenggang untuk dimasukkan ke media air. Huruf c
Yang dimaksud dengan "baku mutu air laut" adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya di dalam air laut. Huruf d
Yang dimaksud dengan "baku mutu udara ambien" adalah ukuran batas atau kadar zat, energi, dan/atau komponen yang seharusnya ada, dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam udara ambien.
Huruf e
Yang dimaksud dengan "baku mutu emisi" adalah ukuran batas atau kadar polutan yang ditenggang untuk dimasukkan ke media udara. Huruf f
Yang dimaksud dengan "baku mutu gangguan" adalah ukuran batas unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya yang meliputi unsur getaran, kebisingan, dan kebauan. Huruf g
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 24 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan "Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup" adalah keputusan yang menyatakan kelayakan lingkungan hidup dari suatu rencana usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan Amdal.
Yang dimaksud dengan "persetujuan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah" adalah bentuk keputusan yang diterbitkan oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sebagai dasar pelaksanaan kegiatan yang dilakukan oleh instansi Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah. Ayat (6)
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 25 Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup dimaksudkan untuk menghindari, meminimalkan, memitigasi, dan/atau mengompensasikan dampak suatu usaha dan/atau kegiatan.
Angka 5
Pasal 26 Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 27 Yang dimaksud dengan "pihak lain" antara lain lembaga penyusun amdal atau konsultan.
Angka 7
Pasal 28 Cukup jelas.
Angka 8
Pasal 29 Dihapus.
Angka 9
Pasal 30 Dihapus.
Angka 10
Pasal 31 Dihapus.
Angka 11
Pasal 32 Cukup jelas.
Angka 12
Pasal 34 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan Lingkungan Hidup" adalah standar pengelolaan lingkungan hidup dan pemantauan lingkungan hidup dari penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang telah disahkan oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah bagi usaha dan/atau kegiatan yang wajib UKL-UPL.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Angka 13
Pasal 35 Cukup jelas.
Angka 14
Pasal 36 Dihapus.
Angka 15
Pasal 37 Cukup jelas.
Angka 16
Pasal 38 Dihapus.
Angka 17
Pasal 39 Cukup jelas.
Angka 18
Pasal 40 Dihapus.
Angka 19
Pasal 55 Cukup jelas.
Angka 20
Pasal 59 Ayat (1)
Pengelolaan limbah B3 merupakan rangkaian kegiatan yang mencakup pengurangan, penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, dan/atau pengolahan, termasuk penimbunan limbah B3.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "pihak lain" adalah badan usaha yang melakukan pengelolaan Limbah B3 dan telah mendapatkan izin.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Angka 21
Pasal 61 Cukup jelas.
Angka 22
Pasal 61A Cukup jelas.
Angka 23
Pasal 63 Cukup jelas.
Angka 24
Pasal 69 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Kearifan lokal yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah melakukan pembakaran lahan dengan luas maksimal 2 (dua) hektar per kepala keluarga untuk ditanami tanaman jenis varietas lokal dan dikelilingi oleh sekat bakar sebagai pencegahan penjalaran api ke wilayah sekelilingnya.
Angka 25
Pasal 71 Cukup jelas.
Angka 26
Pasal 72 Cukup jelas.
Angka 27
Pasal 73 Cukup jelas.
Angka 28
Pasal 76 Cukup jelas.
Angka 29
Pasal 77 Cukup jelas.
Angka 30
Pasal 79 Dihapus.
Angka 31
Pasal 82 Cukup jelas.
Angka 32
Pasal 82A Cukup jelas.
Pasal 82B
Cukup jelas.
Pasal 82C
Cukup jelas.
Angka 33
Pasal 88 Yang dimaksud dengan "bertanggung jawab mutlak (strict liability)" adalah unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti rugi. Ketentuan Pasal ini merupakan ketentuan khusus (lex spesialis) dalam gugatan mengenai perbuatan melawan hukum pada umumnya. Besarnya nilai ganti rugi yang dapat dibebankan terhadap pencemar atau perusak lingkungan hidup menurut Pasal ini dapat ditetapkan sampai batas tertentu.
Yang dimaksud sebagai "batas waktu tertentu adalah" jika menurut penetapan peraturan perundang-undangan ditentukan keharusan asuransi bagi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan atau telah tersedia dana lingkungan hidup. Angka 34
Pasal 93 Dihapus.
Angka 35
Pasal 102 Dihapus.
Angka 36
Pasal 109 Cukup jelas.
Angka 37
Pasal 110 Dihapus.
Angka 38
Pasal 111 Cukup jelas.
Angka 39
Pasal 112 Cukup jelas.
Pasal 23 Cukup jelas.
Pasal 24 Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 5
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 6
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "bangunan gedung adat" adalah bangunan gedung yang didirikan berdasarkan kaidah-kaidah adat atau tradisi masyarakat sesuai budayanya, misalnya bangunan rumah adat.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 8
Dihapus.
Angka 6
Pasal 9
Dihapus.
Angka 7
Pasal 10
Dihapus.
Angka 8
Pasal 11
Dihapus.
Angka 9
Pasal 12
Dihapus.
Angka 10
Pasal 13
Dihapus.
Angka 11
Pasal 14
Dihapus.
Angka 12
Pasal 15
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "dampak penting" adalah perubahan yang sangat mendasar pada suatu lingkungan yang diakibatkan oleh suatu kegiatan. Bangunan gedung yang menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan adalah bangunan gedung yang dapat menyebabkan:
Ayat (2)
Cukup jelas
Angka 13
Pasal 16
Dihapus.
Angka 14
Pasal 17
Dihapus.
Angka 15
Pasal 18
Dihapus.
Angka 16
Pasal 19
Dihapus.
Angka 17
Pasal 20
Dihapus.
Angka 18
Pasal 21
Dihapus.
Angka 19
Pasal 22
Dihapus.
Angka 20
Pasal 23
Dihapus.
Angka 21
Pasal 24
Dihapus.
Angka 22
Pasal 25
Dihapus.
Angka 23
Pasal 26
Dihapus.
Angka 24
Pasal 27
Dihapus.
Angka 25
Pasal 28
Dihapus.
Angka 26
Pasal 29
Dihapus.
Angka 27
Pasal 30
Dihapus.
Angka 28
Pasal 31
Dihapus.
Angka 29
Pasal 32
Dihapus.
Angka 30
Pasal 33
Dihapus.
Angka 31
Pasal 34
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Ketentuan mengenai Penyedia Jasa Konstruksi mengikuti peraturan perundang-undangan tentang jasa konstruksi.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 32
Pasal 35
Ayat (1)
Perencanaan pembangunan bangunan gedung adalah kegiatan penyusunan rencana teknis bangunan gedung sesuai dengan fungsi dan persyaratan teknis yang ditetapkan, sebagai pedoman dalam pelaksanaan dan pengawasan pembangunan.
Pelaksanaan pembangunan bangunan gedung adalah kegiatan pendirian, perbaikan, penambahan, perubahan, atau pemugaran konstruksi bangunan gedung dan/atau instalasi dan/atau perlengkapan bangunan gedung sesuai dengan rencana teknis yang telah disusun. Pengawasan pembangunan bangunan gedung adalah kegiatan pengawasan pelaksanaan konstruksi mulai dari penyiapan lapangan sampai dengan penyerahan hasil akhir pekerjaan atau kegiatan manajemen konstruksi pembangunan gedung. Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "perjanjian tertulis" adalah akta otentik yang memuat ketentuan mengenai hak dan kewajiban setiap pihak, jangka waktu berlakunya perjanjian, dan ketentuan lain yang dibuat dihadapan pejabat yang berwenang.
Kesepakatan perjanjian sebagaimana dimaksud di atas harus memperhatikan fungsi bangunan gedung dan bentuk pemanfaatannya, baik keseluruhan maupun sebagian. Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan "penyedia jasa perencana konstruksi" antara lain Arsitek, Ahli Struktur dan Ahli Mechanical, Electrical and Plumbing.
Ayat (6)
Yang dimaksud dengan "pengujian" antara lain berupa hasil uji laboratorium, simulasi, dan/atau analisis.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Prototipe telah menyesuaikan dengan kondisi geografis pada rencana lokasi bangunan gedung.
Angka 33
Pasal 36
Dihapus.
Angka 34
Pasal 36A
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "sistem elektronik yang diselenggarakan oleh Pemerintah" merupakan Sistem Informasi Manajemen Bangunan Gedung yang diperuntukkan bagi bangunan gedung non-berusaha, dan pelayanan Perizinan Berusaha terintegrasi secara elektronik yang diperuntukkan bagi bangunan gedung berusaha.
Pasal 36B
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Yang dimaksud dengan "pengujian" adalah pelaksanaan pengetesan instalasi mekanis dan elektrik bangunan gedung.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Angka 35
Pasal 37
Ayat (1)
Yang dimaksud "laik fungsi" yaitu berfungsinya seluruh atau sebagian dari bangunan gedung yang dapat menjamin dipenuhinya persyaratan tata bangunan, serta persyaratan keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kemudahan bangunan gedung sesuai dengan fungsi yang ditetapkan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Angka 36
Pasal 37A
Cukup jelas.
Angka 37
Pasal 39
Ayat (1)
Huruf a
Bangunan gedung yang tidak laik fungsi dan tidak dapat diperbaiki lagi berarti akan membahayakan keselamatan pemilik dan/atau pengguna apabila bangunan gedung tersebut terus digunakan.
Dalam hal bangunan gedung dinyatakan tidak laik fungsi tetapi masih dapat diperbaiki, pemilik dan/atau pengguna diberikan kesempatan untuk memperbaikinya sampai dengan dinyatakan laik fungsi. Dalam hal pemilik tidak mampu, untuk rumah tinggal apabila tidak laik fungsi dan tidak dapat diperbaiki serta membahayakan keselamatan penghuni atau lingkungan, bangunan tersebut harus dikosongkan. Apabila bangunan tersebut membahayakan kepentingan umum, pelaksanaan pembongkarannya dapat dilakukan oleh Pemerintah Daerah. Huruf b
Yang dimaksud "menimbulkan bahaya" adalah ketika dalam pemanfaatan bangunan gedung dan/atau lingkungannya dapat membahayakan keselamatan masyarakat dan lingkungan.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah menetapkan status bangunan gedung dapat dibongkar setelah mendapatkan hasil pengkajian teknis bangunan gedung yang dilaksanakan secara profesional, independen dan objektif.
Ayat (3)
Dikecualikan bagi rumah tinggal tunggal, khususnya rumah inti tumbuh dan rumah sederhana sehat. Kedalaman dan keluasan tingkatan pengkajian teknis sangat bergantung pada kompleksitas dan fungsi bangunan gedung.
Ayat (4)
Rencana teknis pembongkaran bangunan gedung termasuk gambar-gambar rencana, gambar detail, rencana kerja dan syarat-syarat pelaksanaan pembongkaran, jadwal pelaksanaan, serta rencana pengamanan lingkungan.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Angka 38
Pasal 40
Cukup jelas.
Angka 39
Pasal 41
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Tidak dibenarkan memanfaatkan bangunan gedung yang tidak sesuai dengan fungsi yang telah ditetapkan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Pemeriksaan secara berkala atas kelaikan fungsi bangunan gedung meliputi pemeriksaan terhadap pemenuhan persyaratan administratif dan teknis bangunan gedung sesuai dengan fungsinya, dengan tingkatan pemeriksaan berkala disesuaikan dengan jenis konstruksi, mekanikal dan elektrikal, serta kelengkapan bangunan gedung.
Pemeriksaan secara berkala dilakukan pada periode tertentu, atau karena adanya perubahan fungsi bangunan gedung, atau karena adanya bencana yang berdampak penting pada keandalan bangunan gedung, seperti kebakaran dan gempa. Pemeriksaan kelaikan fungsi bangunan gedung dilakukan oleh pengkaji teknis yang kompeten dan memiliki sertifikat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Huruf e
Perbaikan dilakukan terhadap seluruh, bagian, komponen, atau bahan bangunan gedung yang dinyatakan tidak laik fungsi dari hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh pengkaji teknis, sampai dengan dinyatakan telah laik fungsi.
Huruf f
Selain pemilik, pengguna juga dapat diwajibkan membongkar bangunan gedung dalam hal yang bersangkutan terikat dalam perjanjian menggunakan bangunan yang tidak laik fungsi.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 40
Pasal 43
Ayat (1)
Pembinaan dilakukan dalam rangka tata pemerintahan yang baik melalui kegiatan pengaturan, pemberdayaan, dan pengawasan sehingga setiap penyelenggaraan bangunan gedung dapat berlangsung tertib dan tercapai keandalan bangunan gedung yang sesuai dengan fungsinya, serta terwujudnya kepastian hukum.
Pengaturan dilakukan dengan pelembagaan peraturan perundang-undangan, pedoman, petunjuk, dan standar teknis bangunan gedung sampai dengan di daerah dan operasionalisasinya di masyarakat. Pemberdayaan dilakukan terhadap para penyelenggara bangunan gedung dan aparat Pemerintah Daerah untuk menumbuhkembangkan kesadaran akan hak, kewajiban, dan perannya dalam penyelenggaraan bangunan gedung. Pengawasan dilakukan melalui pemantauan terhadap pelaksanaan penerapan peraturan perundang-undangan bidang bangunan gedung dan upaya penegakan hukum. Ayat (2)
Masyarakat yang terkait dengan bangunan gedung seperti masyarakat ahli, asosiasi profesi, asosiasi perusahaan, masyarakat pemilik dan pengguna bangunan gedung, dan aparat pemerintah.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 41
Pasal 44 Pengenaan sanksi tidak berarti membebaskan pemilik dan/atau pengguna bangunan gedung dari kewajibannya memenuhi ketentuan yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini.
Yang dimaksud dengan "sanksi administratif" adalah sanksi yang diberikan oleh administrator (pemerintah) kepada pemilik dan/atau pengguna bangunan gedung tanpa melalui proses peradilan karena tidak terpenuhinya ketentuan Undang-Undang ini. Sanksi administratif meliputi beberapa jenis, yang pengenaannya bergantung pada tingkat kesalahan yang dilakukan oleh pemilik dan/atau pengguna bangunan gedung. Yang dimaksud dengan "nilai bangunan gedung" dalam ketentuan sanksi adalah nilai keseluruhan suatu bangunan pada saat sedang dibangun bagi yang sedang dalam proses pelaksanaan konstruksi, atau nilai keseluruhan suatu bangunan gedung yang ditetapkan pada saat sanksi dikenakan bagi bangunan gedung yang telah berdiri. Angka 42
Pasal 45 Cukup jelas.
Angka 43
Pasal 46 Cukup jelas.
Angka 44
Pasal 47A Cukup jelas.
Pasal 25 Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 5 Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 6 Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 6A Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 13 Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 14 Cukup jelas.
Angka 7
Pasal 19 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "lembaga pendidikan, lembaga penelitian, dan/atau lembaga pengembangan" adalah lembaga Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan/atau swasta.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 8
Pasal 28 Cukup jelas.
Angka 9
Pasal 34 Cukup jelas.
Angka 10
Pasal 35 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "pengaturan" antara lain peraturan terkait penyelenggaraan profesi Arsitek.
Yang dimaksud dengan "pemberdayaan" antara lain berupa penetapan gelar profesi Arsitek (Ar.), penetapan standar pendidikan Arsitektur, dan penetapan standar Praktik Arsitek. Yang dimaksud dengan "pengawasan" antara lain pengendalian Praktik Arsitek. Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 11
Pasal 36 Dihapus.
Angka 12
Pasal 37 Dihapus.
Angka 13
Pasal 38 Cukup jelas.
Angka 14
Pasal 39 Dihapus.
Angka 15
Pasal 40
Dihapus.
Angka 16
Pasal 41 Dihapus.
Pasal 26 Cukup jelas.
Angka 1
Pasal 1 Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 7 Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Yang dimaksud dengan "sistem pemantauan kapal perikanan" adalah salah satu bentuk sistem pengawasan di bidang penangkapan ikan dengan menggunakan peralatan pemantauan kapal perikanan yang telah ditentukan, seperti sistem pemantauan kapal perikanan (vessel monitoring system/VMS).
Huruf l
Dalam usaha meningkatkan produktivitas suatu perairan dapat dilakukan penebaran ikan jenis baru, yang kemungkinan menimbulkan efek negatif bagi kelestarian sumber daya ikan setempat sehingga perlu dipertimbangkan agar penebaran ikan jenis baru dapat beradaptasi dengan lingkungan sumber daya ikan setempat dan/atau tidak merusak keaslian sumber daya ikan. Huruf m
Yang dimaksud dengan "penangkapan ikan berbasis budi daya" adalah penangkapan sumber daya ikan yang berkembang biak dari hasil penebaran kembali. Huruf n
Cukup jelas.
Huruf o
Cukup jelas.
Huruf p
Ada beberapa cara yang dapat ditempuh dalam melaksanakan rehabilitasi dan peningkatan sumber daya ikan dan lingkungannya, antara lain, dengan penanaman atau reboisasi hutan bakau, pemasangan terumbu karang buatan, pembuatan tempat berlindung atau berkembang biak ikan, peningkatan kesuburan perairan dengan jalan pemupukan atau penambahan jenis makanan, pembuatan saluran ruaya ikan, atau pengerukan dasar perairan.
Huruf q
Cukup jelas.
Huruf r
Yang dimaksud dengan "kawasan konservasi perairan" adalah kawasan perairan yang dilindungi, dikelola dengan sistem zonasi, untuk mewujudkan pengelolaan sumber daya ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan.
Penetapan wabah dan wilayah wabah penyakit ikan bertujuan agar masyarakat mengetahui bahwa dalam wilayah tersebut terjangkit wabah, dan ditetapkan langkah pencegahan terjadinya penyebaran wabah penyakit ikan dari satu wilayah ke wilayah lainnya. Huruf s
Penetapan wabah dan wilayah wabah penyakit ikan bertujuan agar masyarakat mengetahui bahwa dalam wilayah tersebut terjangkit wabah, dan ditetapkan langkah pencegahan terjadinya penyebaran wabah penyakit ikan dari 1 (satu) wilayah ke wilayah lainnya.
Huruf t
Cukup jelas.
Huruf u
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 20A Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 25A Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 26 Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 27 Cukup jelas.
Angka 7
Pasal 27A Cukup jelas.
Angka 8
Pasal 28 Cukup jelas.
Angka 9
Pasal 28A Cukup jelas.
Angka 10
Pasal 30 Cukup jelas.
Angka 11
Pasal 31 Cukup jelas.
Angka 12
Pasal 32 Cukup jelas.
Angka 13
Pasal 33 Cukup jelas.
Angka 14
Pasal 35 Ayat (1)
Dalam rangka pengendalian pemanfaatan sumber daya ikan, penataan dan pengendalian terhadap pengadaan kapal baru dan/atau bekas perlu dikendalikan agar sesuai dengan daya dukung sumber daya ikan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 15
Pasal 35A
Cukup jelas. Angka 16
Pasal 36 Cukup jelas.
Angka 17
Pasal 38 Ayat (1)
Kewajiban menyimpan alat penangkapan ikan di dalam palka diberlakukan bagi setiap kapal perikanan berbendera asing yang melintasi perairan Indonesia, Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI), dan ZEEI.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 18
Pasal 40
Cukup jelas. Angka 19
Pasal 41
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Klasifikasi pelabuhan perikanan termasuk diantaranya pelabuhan perikanan samudera, pelabuhan perikanan nusantara dan pelabuhan perikanan pantai.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Untuk mendukung dan menjamin kelancaran operasional pelabuhan perikanan, ditetapkan batas-batas wilayah kerja dan pengoperasian dalam koordinat geografis.
Dalam hal wilayah kerja dan pengoperasian pelabuhan perikanan berbatasan dan/atau mempunyai kesamaan kepentingan dengan instansi lain, penetapan batasnya dilakukan melalui koordinasi dengan instansi yang bersangkutan. Huruf f
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas. Ayat (4)
Yang dimaksud dengan "bongkar muat ikan" adalah termasuk juga pendaratan ikan. Ayat (5)
Cukup jelas.
Angka 20
Pasal 42
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan 'syahbandar di pelabuhan perikanan" adalah syahbandar yang ditempatkan secara khusus di pelabuhan perikanan untuk pengurusan administratif dan menjalankan fungsi menjaga keselamatan pelayaran. Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Yang dimaksud dengan "log booK" adalah laporan harian nakhoda mengenai kegiatan penangkapan ikan atau pengangkutan ikan.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Cukup jelas.
Huruf m
Cukup jelas.
Huruf n
Cukup jelas.
Huruf o
Cukup jelas.
Huruf p
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas. Ayat (4)
Syahbandar yang akan diangkat dimaksudkan pengusulannya terlebih dahulu dikoordinasikan dengan Menteri.
Ayat (5)
Cukup jelas. Ayat (6)
Cukup jelas. Angka 21
Pasal 43
Cukup jelas.
Angka 22
Pasal 44
Cukup jelas.
Angka 23
Pasal 45
Kapal perikanan yang berlayar tidak dari pelabuhan perikanan termasuk dari pelabuhan yang dibangun pihak swasta hanya dimungkinkan apabila di tempat tersebut tidak ada pelabuhan perikanan.
Termasuk kapal perikanan yang berlayar tidak dari pelabuhan perikanan di antaranya kapal-kapal yang berlayar dari pelabuhan tangkahan, pelabuhan rakyat, dan pelabuhan lainnya wajib memenuhi standar laik operasi dari pengawas perikanan. Ketentuan ini hanya dimungkinkan berlaku bagi kapal perikanan yang pada daerah tersebut memang tidak ada pelabuhan perikanan dan/atau pelabuhan umum, dan fasilitas lainnya. Dalam hubungan ini, maka Persetujuan Berlayar dimungkinkan untuk diterbitkan oleh syahbandar setempat. Angka 24
Pasal 49
Cukup jelas.
Angka 25
Pasal 89
Cukup jelas.
Angka 26
Pasal 92
Cukup jelas.
Angka 27
Pasal 93
Cukup jelas.
Angka 28
Pasal 94 Cukup jelas.
Angka 29
Pasal 94A
Cukup jelas. Angka 30
Pasal 95
Dihapus.
Angka 31
Pasal 96
Dihapus.
Angka 32
Pasal 97
Cukup jelas.
Angka 33
Pasal 98
Cukup jelas.
Angka 34
Pasal 100B
Cukup jelas.
Angka 35
Pasal 100C
Cukup jelas.
Angka 36
Pasal 101
Cukup jelas.
Pasal 28 Cukup jelas.
Pasal 29 Angka 1
Pasal 14
Cukup jelas. Angka 2
Pasal 15
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 16 Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 17 Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 18 Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 24 Cukup jelas.
Angka 7
Pasal 30
Cukup jelas.
Angka 8
Pasal 31 Dihapus.
Angka 9
Pasal 35 Cukup jelas.
Angka 10
Pasal 39 Cukup jelas.
Angka 11
Pasal 40 Cukup jelas.
Angka 12
Pasal 42 Cukup jelas.
Angka 13
Pasal 43 Cukup jelas.
Angka 14
Pasal 45 Dihapus.
Angka 15
Pasal 47 Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "skala tertentu" adalah Usaha Perkebunan yang dilakukan oleh Perusahaan Perkebunan sesuai dengan skala usaha yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
Yang dimaksud dengan "kapasitas pabrik tertentu" adalah kapasitas minimal unit pengolahan Hasil Perkebunan yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. Ayat (2)
Cukup jelas. Ayat (3)
Cukup jelas. Angka 16
Pasal 48
Cukup jelas.
Angka 17
Pasal 49
Dihapus.
Angka 18
Pasal 50
Dihapus.
Angka 19
Pasal 58
Ayat (1)
Kewajiban memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar seluas 20% hanya ditujukan kepada pekebun yang mendapatkan lahan untuk perkebunan yang berasal dari areal penggunaan lain yang berada di luar hak guna usaha dan/atau yang berasal dari areal lahan dari pelepasan hutan. Kewajiban tersebut timbul atas lahan perkebunan yang bersumber dari lahan negara.
Dalam hal perolehan lahan perkebunan dilakukan langsung kepada masyarakat yang diberikan hak guna usaha, maka pekebun tersebut tidak diwajibkan untuk memberikan fasilitasi. Kewajiban fasilitasi perkebunan masyarakat tersebut diintegrasikan dengan kewajiban lainnya yang timbul dalam perolehan lahan perkebunan, antara lain dalam hal lahan berasal dari kawasan hutan yang memberikan kewajiban untuk 20% lahan kepada masyarakat dan telah dilaksanakan, maka kewajiban tersebut sudah selesai. Namun pekebun tetap didorong memberikan fasilitasi kepada masyarakat yang bersifat sukarela agar masyarakat dapat mengembangkan pengelolaan kebunnya. Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 20
Pasal 60 Cukup jelas.
Angka 21
Pasal 67 Ayat (1)
Memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup di dalamnya termasuk mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup yang ditimbulkan oleh kegiatan usaha dari Pelaku Usaha Perkebunan. Dalam hal ini Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah provinsi, dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota wajib membina dan memfasilitasi pemeliharaan kelestarian fungsi lingkungan hidup tersebut, khususnya kepada Pekebun.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 22
Pasal 68 Dihapus.
Angka 23
Pasal 70
Cukup jelas.
Angka 24
Pasal 74 Ayat (1)
Hasil Perkebunan tertentu yang berbahan baku impor antara lain gula tebu.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 25
Pasal 75
Cukup jelas.
Angka 26
Pasal 93 Cukup jelas.
Angka 27
Pasal 95 Cukup jelas.
Angka 28
Pasal 96 Cukup jelas.
Angka 29
Pasal 97 Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "pembinaan teknis" adalah penerapan budi daya yang baik (good agricultural practices), penerapan pascapanen dan pengolahan yang baik (good handling practices) dan good manufacturing practices, dan penerapan pengembangan Perkebunan berkelanjutan.
Ayat (2)
Cukup jelas. Ayat (3)
Cukup jelas. Angka 30
Pasal 99
Cukup jelas.
Angka 31
Pasal 103
Cukup jelas.
Angka 32
Pasal 105
Dihapus.
Angka 33
Pasal 109
Dihapus.
Pasal 30 Angka 1
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas. Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Ketentuan yang diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah antara lain mengatur mengenai bentuk formulir permohonan dan tata cara pengisiannya, serta komponen dan besarnya biaya pemrosesan permohonan, contoh surat kuasa khusus, dan bentuk surat pernyataan aman untuk varietas transgenik. Angka 2
Pasal 29 Ayat (1)
Apabila dalam jangka waktu 1 (satu) bulan setelah berakhirnya pengumuman, Kantor PVT belum menerima permohonan pemeriksaan tersebut, maka permohonan PVT dianggap ditarik kembali.
Ayat (2)
Cukup jelas. Angka 3
Pasal 40
Ayat (1)
Hak PVT pada dasarnya dapat beralih dari, atau dialihkan oleh pemegang hak PVT kepada perorangan atau badan hukum lain.
Yang dimaksud dengan "sebab lain yang dibenarkan oleh Undang-Undang" misalnya pengalihan hak PVT melalui putusan pengadilan. Ayat (2)
Cukup jelas. Ayat (3)
Cukup jelas. Ayat (4)
Ketentuan yang diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah antara lain mengatur mengenai persyaratan pengalihan, formulir permohonan pengalihan dan dokumen kelengkapannya, serta komponen dan besarnya biaya pencatatan pengalihan hak PVT. Angka 4
Pasal 43
Ayat (1)
Cukup jelas. Ayat (2)
Cukup jelas. Ayat (3)
Hal-hal yang diatur dalam Peraturan Pemerintah mengenai perjanjian lisensi meliputi hak dan kewajiban pemberi dan penerima lisensi termasuk bagian-bagian dari pelaksanaan hak PVT yang dilisensikan, jangka waktu serta bentuk perjanjian lisensi tersebut.
Angka 5
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 31 Angka 1
Pasal 19
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 22
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 32
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 43
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 44
Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 86
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "skala tertentu" adalah batasan atau persentase yang ditentukan oleh Pemerintah Pusat kepada Pelaku Usaha dalam melakukan Usaha Budi Daya Pertanian tertentu. Ayat (2)
Cukup jelas. Ayat (3)
Cukup jelas. Angka 7
Pasal 102
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas. Ayat (3)
Cukup jelas. Ayat (4)
Pusat data dan informasi paling sedikit menyampaikan data dan informasi mengenai Varietas Tanaman, letak dan luas wilayah, kawasan, dan unit Usaha Budi Daya Pertanian, permintaan pasar, peluang dan tantangan pasar, perkiraan produksi, perkiraan harga, perkiraan pasokan, perkiraan musim tanam dan musim panen, prakiraan iklim, Organisme pengganggu Tumbuhan serta hama dan penyakit hewan, ketersediaan Prasarana Budi Daya Pertanian, dan ketersediaan Sarana Budi Daya Pertanian. Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas. Ayat (7)
Cukup jelas. Angka 8
Pasal 108
Cukup jelas.
Angka 9
Pasal 111
Dihapus.
Pasal 32 Angka 1
Pasal 15
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 30
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "kebutuhan konsumsi" adalah besarnya rata-rata tingkat konsumsi langsung ataupun tidak langsung perkapita (termasuk kebutuhan industri) dikalikan jumlah penduduk pada waktu tertentu. Ayat (2)
Cukup jelas. Ayat (3)
Cukup jelas. Angka 3
Pasal 101
Dihapus.
Pasal 33 Angka 1
Pasal 15
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 33
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 35
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 35A
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 48
Dihapus.
Angka 6
Pasal 49
Ayat (1)
Pendataan dilakukan dalam rangka pembinaan dan pemberdayaan. Ayat (2)
Cukup jelas. Angka 7
Pasal 51
Dihapus.
Angka 8
Pasal 52
Cukup jelas.
Angka 9
Pasal 54
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "persyaratan teknis minimal" adalah batasan terendah dari spesifikasi teknis yang diterapkan agar usaha hortikultura terlaksana dengan baik, jika standar baku belum ditetapkan. Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "keamanan pangan produk hortikultura" adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan produk hortikultura dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia. Ayat (3)
Cukup jelas. Ayat (4)
Cukup jelas. Angka 10
Pasal 56
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "kemitraan" adalah kerja sama dalam keterkaitan usaha baik langsung maupun tidak langsung antara usaha mikro dan/atau usaha kecil dengan usaha menengah dan/atau usaha besar disertai pembinaan dan pengembangan oleh usaha menengah dan/atau usaha besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling mempercayai, saling memperkuat, dan saling menguntungkan. Ayat (2)
Cukup jelas. Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Yang dimaksud dengan "bentuk kemitraan lainnya" seperti kontrak budi daya, bagi hasil, kerja sama operasional, usaha patungan (joint venture), dan penyumberluaran (outsourcing). Kontrak budi daya merupakan perjanjian jual beli dengan pemesanan pada awal penanaman. Kerja sama operasional meliputi kerja sama pembiayaan, penyediaan sarana produksi, teknis budi daya, manajemen, sampai dengan pemasaran.
Ayat (4)
Cukup jelas. Angka 11
Pasal 57
Ayat (1)
Cukup jelas. Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "introduksi dalam bentuk Benih atau materi induk" adalah pemasukan Benih atau materi induk dari luar negeri untuk pertama kali dan tidak diedarkan atau diperdagangkan, melainkan untuk keperluan pemuliaan tanaman. Ayat (3)
Cukup jelas. Ayat (4)
Yang dimaksud dengan "kelompok" adalah kumpulan pelaku usaha yang menyepakati suatu kegiatan, tanggung jawab atau penanganan risiko secara bersama berdasarkan kesamaan jenis usaha, kesamaan komoditas, dan/atau kesamaan ekosistem. Ayat (5)
Cukup jelas. Angka 12
Pasal 63
Dihapus.
Angka 13
Pasal 68
Cukup jelas.
Angka 14
Pasal 73
Cukup jelas.
Angka 15
Pasal 88
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Ketentuan mengenai keamanan dan perlindungan terhadap kesehatan manusia, hewan, tumbuhan, dan lingkungan mengacu pada perjanjian internasional Sanitary and Phitosanitary dari Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Penetapan "pintu masuk" bagi impor produk hortikultura dimaksudkan untuk memudahkan pengawasan terkait dengan masuknya OPT Karantina, keamanan hayati, spesies asing yang invasif, dan keamanan pangan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 16
Pasal 90
Cukup jelas.
Angka 17
Pasal 92
Cukup jelas.
Angka 18
Pasal 100
Cukup jelas.
Angka 19
Pasal 101
Cukup jelas.
Angka 20
Pasal 122
Cukup jelas.
Angka 21
Pasal 126 Dihapus.
Angka 22
Pasal 131
Dihapus. Angka 1
Pasal 6
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "dipertahankan keberadaan dan kemanfaatannya secara keberlanjutan", adalah upaya yang perlu dilakukan oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota untuk memasukkan kawasan penggembalaan umum dalam program pembangunan daerah.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "kastrasi" adalah tindakan mencegah berfungsinya testis dengan jalan menghilangkannya atau menghambat fungsinya.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (3) Yang dimaksud dengan "penetapan lahan sebagai kawasan penggembalaan umum" yaitu upaya yang harus dilakukan oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota untuk menyediakan lahan penggembalaan umum, antara lain, misalnya tanah pangonan, tanah titisara atau tanah kas desa.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 13
Cukup jelas. Angka 3
Pasal 15
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan "mutu genetik" adalah ekspresi keunggulan sifat individu.
Yang dimaksud dengan "keragaman genetik" adalah ekspresi keunggulan variasi genetik antarindividu. Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "kekurangan Benih" yaitu ketidak cukupan jumlah Benih (semen atau embrio) Ternak bukan asli atau lokal (eksotik) yang digunakan untuk kebutuhan pemuliaan dalam rangka meningkatkan produktivitas dan/atau mutu genetik.
Yang dimaksud dengan "kekurangan Bibit" yaitu ketidakcukupan jumlah Bibit Ternak eksotik yang sebelumnya telah dikembangkan atau beradaptasi di Indonesia dalam rangka meningkatkan mutu genetik Ternak eksotik. Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 16
Ayat (1) Yang dimaksud dengan "Ternak lokal" adalah hasil persilangan antara Ternak asli luar negeri dan Ternak asli Indonesia, yang telah dikembangbiakkan di Indonesia sampai generasi kelima atau lebih yang teradaptasi pada lingkungan dan/atau manajemen setempat.
Ayat (2)
Ketentuan larangan terhadap pengeluaran Benih dan Bibit terbaik dimaksudkan untuk mempertahankan populasi dan mutu genetik Ternak asli dan lokal.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 22
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2)
Cara pembuatan pakan yang baik, misalnya dalam hal proses produksi, dan pembuatan pakan harus menjamin pakan mengandung cemaran biologi, fisik, kimia di atas ambang batas maksimal yang diperbolehkan, serta memperhatikan dampak sosial akibat buangan bahan baku dan bahan ikutan yang digunakan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Yang dimaksud dengan "pakan yang tidak layak dikonsumsi" diantaranya yaitu pakan yang:
Huruf b
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah timbulnya penyakit sapi gila (bovine spongiform encephalopathy) atau scrapie pada domba/kambing. Yang dimaksud dengan "ruminansia" adalah hewan yang memamah biak. Huruf c
Yang dimaksud dengan "hormon tertentu" adalah hormon sintetik. Yang dimaksud dengan "antibiotik", antara lain, chloramphenicol dan tetracyclin. Ayat (5)
Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 29
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "pihak tertentu", antara lain, Tentara Nasional Indonesia, kepolisian, lembaga kepabeanan, lembaga penelitian, dan lembaga pendidikan.
Yang dimaksud dengan "kepentingan khusus", antara lain, kuda untuk kavaleri, anjing untuk hewan pelacak pelaku kriminal, kelinci untuk penelitian. Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan "tidak mengganggu ketertiban umum" antara lain adalah kegiatan budi daya Ternak dilakukan dengan memerhatikan kaidah agama dan/atau kepercayaan serta sistem nilai yang dianut oleh masyarakat setempat serta ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Angka 7
Pasal 30
Cukup jelas.
Angka 8
Pasal 36B
Cukup jelas.
Angka 9
Pasal 36C
Cukup jelas.
Angka 10
Pasal 37
Yang dimaksud dengan "Industri pengolahan Produk Hewan" adalah industri yang melakukan kegiatan penanganan dan pemrosesan hasil hewan yang ditujukan untuk mencapai nilai tambah yang lebih tinggi, denganmemperhatikan aspek produk yang aman, sehat, utuh, dan halal bagi yang dipersyaratkan.
Angka 11
Pasal 52
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan "tidak memenuhi standar mutu", yaitu, antara lain, kedaluwarsa dan/atau telah rusak atau mengalami perubahan fisik, kimiawi, dan biologik.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 12
Pasal 54
Cukup jelas.
Angka 13
Pasal 59
Cukup jelas.
Angka 14
Pasal 60
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "nomor kontrol veteriner" atau NKV adalah nomor registrasi unit usaha Produk Hewan sebagai bukti telah dipenuhinya persyaratan higiene dan sanitasi sebagai kelayakan dasar jaminan keamanan Produk Hewan. Bagi unit usaha Produk Hewan yang mengedarkan Produk Hewan segar di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau memasukkan dari dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan/atau mengeluarkan ke luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib memiliki NKV. Ayat (2)
Cukup jelas. Ayat (3)
Cukup jelas. Angka 15
Pasal 62
Ayat (1)
Kewajiban Pemerintah Daerah kabupaten/kota memiliki rumah potong hewan dimaksudkan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat dalam penyediaan pangan asal hewan yang aman, sehat, utuh dan/atau halal.
Ayat (2)
Cukup jelas. Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 16
Pasal 69
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "pelayanan kesehatan hewan" yaitu serangkaian tindakan yang diperlukan, antara lain, untuk:
Yang dimaksud dengan "pelayanan jasa laboratorium veteriner" adalah layanan jasa diagnostik dan/atau penelitian dan pengembangan dalam rangka pelayanan kesehatan hewan.
Yang dimaksud dengan "pelayanan jasa laboratorium pemeriksaan dan pengujian veteriner" adalah layanan jasa diagnostik dan/atau penelitian dan pengembangan dalam rangka pengendalian dan penanggulangan penyakit hewan atau zoonosis, pelaksanaan kesehatan masyarakat veteriner, dan/atau pengujian mutu obat, residu/cemaran, mutu pakan, mutu Bibit/ Benih, dan/atau mutu produk hewan. Yang dimaksud dengan "pelayanan jasa medik veteriner" adalah layanan jasa yang berkaitan dengan kompetensi dokter hewan yang diberikan kepada masyarakat dalam rangka praktik kedokteran hewan, seperti rumah sakit hewan, klinik hewan, klinik praktik bersama, klinik rehabilitasi reproduksi hewan, ambulatori, praktik dokter hewan, dan praktik konsultasi kesehatan hewan. Yang dimaksud dengan "pelayanan jasa di pusat kesehatan hewan (puskeswan)" adalah layanan jasa medik veteriner yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah. Pelayanan ini dapat bersifat rujukan dan/atau terintegrasi dengan laboratorium veteriner dan/atau laboratorium pemeriksaan dan pengujian veteriner. Ayat (2)
Kualifikasi Perizinan Berusaha antara lain meliputi:
Ayat (3) Cukup jelas.
Angka 17
Pasal 72 Cukup jelas.
Angka 18
Pasal 85 Cukup jelas.
Angka 19
Pasal 88
Cukup jelas.
Pasal 35 Cukup jelas.
Pasal 36 Angka 1
Pasal 15
Ayat (1)
Huruf a Penunjukan kawasan hutan adalah kegiatan persiapan pengukuhan kawasan hutan yang dilakukan secara digital, antara lain berupa:
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas. Ayat (3)
Cukup jelas. Ayat (4)
Cukup jelas. Ayat (5)
Cukup jelas. Angka 2
Pasal 18
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "penutupan hutan" atau forest coverage adalah penutupan lahan oleh vegetasi dengan komposisi dan kerapatan tertentu, sehingga dapat tercipta fungsi hutan antara lain iklim mikro, tata air, dan tempat hidup satwa sebagai satu ekosistem hutan.
Yang dimaksud dengan "pengoptimalan manfaat" adalah kesinambungan antara manfaat lingkungan, manfaat sosial dan manfaat ekosistem secara lestari. Ayat (2)
Cukup jelas. Ayat (3)
Cukup jelas. Angka 3
Pasal 19
Ayat (1)
Penelitian terpadu dilaksanakan untuk menjamin objektivitas dan kualitas hasil penelitian, maka kegiatan penelitian diselenggarakan oleh lembaga Pemerintah yang mempunyai kompetensi dan memiliki otoritas ilmiah (scientific authority) bersama-sama dengan pihak lain yang terkait. Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 26
Ayat (1)
Pemanfaatan kawasan pada hutan lindung adalah segala bentuk usaha yang menggunakan kawasan dengan tidak mengurangi fungsi utama kawasan, seperti:
Pemanfaatan jasa lingkungan pada hutan lindung adalah bentuk usaha yang memanfaatkan potensi jasa lingkungan dengan tidak merusak lingkungan dan mengurangi fungsi utamanya, seperti:
Pemungutan hasil hutan bukan kayu pada hutan lindung adalah segala bentuk kegiatan untuk mengambil hasil hutan bukan kayu dengan tidak merusak fungsi utama kawasan, seperti:
Usaha pemanfaatan dan pemungutan pada hutan lindung dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekaligus menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk menjaga dan meningkatkan fungsi lindung, sebagai amanah untuk mewujudkan keberlanjutan sumber daya alam dan lingkungan bagi generasi sekarang dan generasi yang akan datang.
Ayat (2)
Cukup jelas. Angka 5
Pasal 27
Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 28
Cukup jelas.
Angka 7
Pasal 29
Cukup jelas.
Angka 8
Pasal 29A
Cukup jelas.
Pasal 29B
Cukup jelas.
Angka 9
Pasal 30
Kerja sama dengan koperasi masyarakat setempat dimaksudkan agar masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan merasakan dan mendapatkan manfaat hutan secara langsung, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup mereka, serta sekaligus dapat menumbuhkan rasa ikut memiliki. Dalam kerjasama tersebut kearifan tradisional dan nilai-nilai keutamaan, yang terkandung dalam budaya masyarakat dan sudah mengakar, dapat dijadikan aturan yang disepakati bersama. Kewajiban badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan badan usaha milik swastabekerja sama dengan koperasi bertujuan untuk memberdayakan koperasi masyarakat setempat agar secara bertahap dapat menjadi koperasi yang tangguh, mandiri, dan profesional. Koperasi masyarakat setempat yang telah menjadi koperasi tangguh, mandiri, dan profesional diperlakukan setara dengan badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan badan usaha milik swasta. Dalam hal koperasi masyarakat setempat belum terbentuk, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan badan usaha milik swasta turut mendorong segera terbentuknya koperasi tersebut.
Angka 10
Pasal 31
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "aspek kelestarian hutan" antara lain:
Yang dimaksud dengan "aspek kepastian usaha" antara lain:
Ayat (2)
Peraturan Pemerintah memuat aturan antara lain:
Angka 11
Pasal 32
Khusus bagi pemegang Perizinan Berusaha berskala besar, kewajiban untuk menjaga, memelihara, dan melestarikan hutan tempat usahanya, mencakup juga pengertian untuk memberdayakan masyarakat di dalam dan di sekitar hutan tempat usahanya.
Angka 12
Pasal 33
Ayat (1)
Cukup jelas. Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "pengolahan hasil hutan" adalah pengolahan hulu hasil hutan.
Ayat (3) Cukup jelas.
Angka 13
Pasal 35
Cukup jelas.
Angka 14
Pasal 38
Ayat (1)
Kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan yang dapat dilaksanakan di dalam kawasan hutan lindung dan hutan produksi ditetapkan secara selektif. Kegiatan-kegiatan yang dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan serius dan mengakibatkan hilangnya fungsi hutan yang bersangkutan dilarang.
Kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan adalah kegiatan untuk tujuan strategis yang tidak dapat dielakan, antara lain kegiatan pertambangan, pembangunan jaringan listrik, telepon, dan instalasi air, kepentingan religi, serta kepentingan pertahanan keamanan. Ayat (2)
Cukup jelas. Ayat (3)
Cukup jelas. Ayat (4)
Cukup jelas. Angka 15
Pasal 48
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "pelindungan hutan" termasuk di dalamnya melindungi, menghormati, dan memenuhi hak masyarakat hukum adat yang berada di dalam maupun di luar kawasan hutan, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya. Hak masyarakat hukum adat diberikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Ayat (2)
Cukup jelas. Ayat (3)
Kewajiban melindungi hutan oleh pemegang Perizinan Berusaha meliputi pengamanan hutan dari kerusakan akibat perbuatan manusia, ternak, dan kebakaran. Ayat (4)
Cukup jelas. Ayat (5)
Cukup jelas. Ayat (6)
Peraturan Pemerintah memuat aturan antara lain:
Angka 16 Pasal 49
Cukup jelas.
Angka 17
Pasal 50
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "orang" adalah subjek hukum baik orang pribadi, badan hukum, maupun badan usaha.
Yang dimaksud dengan "kerusakan hutan" adalah terjadinya perubahan fisik, sifat fisik, atau hayatinya, yang menyebabkan hutan tersebut terganggu atau tidak dapat berperan sesuai dengan fungsinya. Ayat (2)
Huruf a Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan "pejabat yang berwenang" adalah pejabat pemerintah yang diberi wewenang oleh peraturan perundang-undangan dalam pemberian Perizinan Berusaha.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas. Angka 18
Pasal 50A
Cukup jelas.
Angka 19
Pasal 78
Cukup jelas.
Angka 20
Pasal 80
Cukup jelas.
Pasal 37 Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 7
Yang dimaksud dengan "masyarakat" adalah masyarakat setempat, masyarakat hukum adat, dan masyarakat umum. Masyarakat setempat merupakan masyarakat yang tinggal di dalam dan/atau sekitar hutan yang merupakan kesatuan komunitas sosial berdasarkan mata pencaharian yang bergantung pada hutan, kesejarahan, keterikatan tempat tinggal, serta pengaturan tata tertib kehidupan bersama dalam wadah kelembagaan.Masyarakat hukum adat adalah masyarakat tradisional yang masih terkait dalam bentuk paguyuban, memiliki kelembagaan dalam bentuk pranata dan perangkat hukum adat yang masih ditaati, dan masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya yang keberadaannya dikukuhkan dengan Peraturan Daerah. Masyarakat umum adalah masyarakat di luar masyarakat setempat dan masyarakat hukum adat. Badan hukum yang dimaksud dalam Undang-Undang ini adalah badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, badan usaha milik swasta, dan koperasi.
Angka 3
Pasal 12
Huruf a
Yang dimaksud dengan "Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan hutan" adalah perizinan untuk memanfaatkan hutan dalam kawasan hutan produksi yang meliputi kegiatan berupa: pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu, pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, pemungutan hasil hutan kayu, dan/atau pemungutan hasil hutan bukan kayu.
Huruf b
Yang dimaksud dengan 'penebangan pohon dalam kawasan hutan tanpa memiliki Perizinan Berusaha" adalah penebangan pohon yang dilakukan berdasarkan Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan hutan yang diperoleh secara tidak sah. Huruf c
Cukup jelas. Huruf d
Yang dimaksud dengan 'memuat" adalah memasukkan ke dalam alat angkut.
Huruf e
Cukup jelas. Huruf f
Yang dimaksud dengan "alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau membelah pohon", tidak termasuk dalam ketentuan ini adalah alat seperti parang, mandau, golok atau alat sejenis lainnya yang dibawa oleh masyarakat setempat sesuai dengan tradisi budaya serta karakteristik daerah setempat. Huruf g
Cukup jelas. Huruf h
Cukup jelas. Huruf i
Cukup jelas. Huruf j
Cukup jelas. Huruf k
Cukup jelas. Huruf l
Cukup jelas. Huruf m
Cukup jelas. Angka 4
Pasal 12A
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 17
Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 17A
Cukup jelas.
Angka 7
Pasal 18
Cukup jelas.
Angka 8
Pasal 24
Huruf a
Cukup jelas. Huruf b
Cukup jelas. Huruf c
Yang dimaksud dengan "memindahtangankan" atau "menjual Perizinan Berusaha" adalah terbatas pada pengalihan Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan dari pemegang Perizinan Berusaha kepada pihak lain yang dilakukan melalui jual beli, tetapi tidak termasuk akuisisi. Angka 9
Pasal 28
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas. Huruf c
Yang dimaksud dengan "melindungi" adalah kegiatan yang dapat menghambat berlangsungnya proses penyidikan terhadap pelaku yang telah diketahui sebagai daftar pencarian orang (DPO), seperti menyembunyikan pelaku.
Huruf d
Yang dimaksud dengan "membantu" adalah mereka yang dengan sengaja membantu dilakukannya kejahatan dan/atau yang dengan sengaja memberi kesempatan dan sarana untuk melakukan kejahatan pembalakan liar. Huruf e
Cukup jelas. Huruf f
Cukup jelas. Huruf g
Cukup jelas. Huruf h
Cukup jelas. Angka 10
Pasal 53
Dihapus.
Angka 11
Pasal 54
Dihapus.
Angka 12
Pasal 82
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar kawasan hutan" adalah orang perseorangan yang bermukim di dalam dan/atau di sekitar kawasan hutan yang memiliki mata pencaharian yang bergantung pada kawasan hutan. Ayat (3)
Cukup jelas. Angka 13
Pasal 83
Cukup jelas.
Angka 14
Pasal 84
Cukup jelas.
Angka 15
Pasal 85
Cukup jelas.
Angka 16
Pasal 92
Cukup jelas.
Angka 17
Pasal 93
Cukup jelas.
Angka 18
Pasal 96
Cukup jelas.
Angka 19
Pasal 105
Cukup jelas.
Angka 20
Pasal 110A
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "memiliki Perizinan Berusaha" dalam ayat ini adalah setiap orang yang memiliki izin lokasi dan/atau izin usaha di bidang perkebunan yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang sebelum Undang-Undang ini berlaku. Ayat (2)
Cukup jelas. Ayat (3)
Cukup jelas. Pasal 110B
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "tanpa memiliki Perizinan Berusaha" dalam ayat ini adalah setiap orang yang melakukan kegiatan usaha tanpa perizinan di bidang kehutanan yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang sebelum Undang-Undang ini berlaku. Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Contoh penghitungan pembayaran denda administratif pada usaha perkebunan kelapa sawit yang berada di dalam kawasan hutan, antara lain dilakukan berdasarkan kriteria sebagai berikut:
Rumus perhitungan denda pada kegiatan perkebunan kelapa sawit sebagai berikut:
Denda sama dengan luas perkebunan kelapa sawit dikalikan dengan jangka waktu kegiatan perkebunan berada dalam kawasan hutan (tahun) dikalikan dengan tarif denda dari persentase keuntungan pertahun (Rupiah).
Keterangan:
L = Luas Perkebunan Kelapa Sawit dalam kawasan hutan (Hektar) J = Jangka waktu kegiatan perkebunan berada dalam kawasan hutan (Tahun) TD = Tarif Denda dari persentase keuntungan per tahun (Rupiah). Contoh Asumsi Perhitungan Denda (D) yang digunakan adalah:
Huruf c
Untuk memberikan efek eksekutorial sanksi administratif pada ayat (1) huruf a dan huruf b, perlu diatur sanksi paksaan oleh Pemerintah Pusat termasuk pemberlakuan paksa badan (gizelling) bagi orang yang tidak melaksanakan sanksi administratif.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas. Angka 21
Pasal 111
Dihapus.
Angka 22
Pasal 112
Dihapus.
Pasal 38 Cukup jelas.
Pasal 39 Angka 1
Pasal 128A
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 162
Cukup jelas.
Pasal 40 Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 4
Ayat (1)
Berdasarkan jiwa Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Minyak dan Gas Bumi sebagai sumber daya alam strategis yang terkandung di dalam bumi Wilayah Hukum Pertambangan Indonesia merupakan kekayaan nasional yang dikuasai negara. Penguasaan oleh negara sebagaimana dimaksud di atas adalah agar kekayaan nasional tersebut dimanfaatkan bagi sebesar-besar kemakmuran seluruh rakyat Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 5
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 23
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 23A
Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 25
Cukup jelas.
Angka 7
Pasal 52
Cukup jelas.
Angka 8 Pasal 53
Cukup jelas.
Angka 9
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 41 Angka 1
Pasal 4
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 5
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 6
Huruf a
Pembuatan kebijakan nasional, antara lain berupa:
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Pendorongan dilakukan dalam rangka untuk meningkatkan nilai tambah produksi kegiatan penyelenggaraan Panas Bumi.
Angka 4
Pasal 7
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 8
Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 11
Cukup jelas.
Angka 7
Pasal 12
Dihapus.
Angka 8
Pasal 13
Dihapus.
Angka 9
Pasal 14
Dihapus.
Angka 10
Pasal 15
Cukup jelas.
Angka 11
Pasal 23
Cukup jelas.
Angka 12
Pasal 24
Cukup jelas.
Angka 13
Pasal 25
Dihapus.
Angka 14
Pasal 36
Cukup jelas.
Angka 15
Pasal 37
Cukup jelas.
Angka 16
Pasal 38
Cukup jelas.
Angka 17
Pasal 40
Cukup jelas.
Angka 18
Pasal 42
Cukup jelas.
Angka 19
Pasal 43
Cukup jelas.
Angka 20
Pasal 46
Yang dimaksud dengan "menghalangi atau merintangi pengusahaan Panas Bumi" adalah segala bentuk tindakan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang dapat menimbulkan kerugian secara materiil.
Angka 21
Pasal 47
Cukup jelas.
Angka 22
Pasal 48
Cukup jelas.
Angka 23
Pasal 49
Cukup jelas.
Angka 24
Pasal 50
Cukup jelas.
Angka 25
Pasal 56
Cukup jelas.
Angka 26
Pasal 59
Cukup jelas.
Angka 27
Pasal 60
Dihapus.
Angka 28
Pasal 67
Cukup jelas.
Angka 29
Pasal 68
Cukup jelas.
Angka 30
Pasal 69
Cukup jelas.
Angka 31
Pasal 70
Cukup jelas.
Angka 32
Pasal 71
Cukup jelas.
Angka 33
Pasal 72
Cukup jelas.
Angka 34
Pasal 73
Cukup jelas.
Angka 35
Pasal 74
Dihapus.
Pasal 42 Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 3
Ayat (1)
Mengingat tenaga listrik merupakan salah satu cabang produksi yang penting dan strategis dalam kehidupan nasional, usaha penyediaan tenaga listrik dikuasai oleh negara yang dalam penyelenggaraannya ditujukan untuk sebesar-besarnya bagi kepentingan dan kemakmuran rakyat. Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 4
Ayat (1)
Badan usaha milik negara dalam ketentuan ini adalah yang berusaha di bidang penyediaan tenaga listrik.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 5 Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 7 Ayat (1)
Yang dimaksud dengan 'kebijakan energi nasional" adalah kebijakan energi nasional sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Energi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 10 Cukup jelas.
Angka 7
Pasal 11 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pemberian prioritas kepada badan usaha milik negara merupakan perwujudan penguasaan negara terhadap penyediaan tenaga listrik. Badan usaha milik negara adalah badan usaha yang semata-mata berusaha di bidang penyediaan tenaga listrik.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Angka 8
Pasal 13 Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "kepentingan sendiri" adalah penyediaan tenaga listrik untuk digunakan sendiri dan tidak untuk diperjualbelikan.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan 'lembaga/badan usaha lainnya" adalahperwakilan lembaga asing atau badan usaha asing.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 9
Pasal 16
Cukup jelas.
Angka 10
Pasal 18
Cukup jelas.
Angka 11
Pasal 19
Cukup jelas.
Angka 12
Pasal 20
Dihapus.
Angka 13
Pasal 21
Dalam penetapan Perizinan Berusaha, Pemerintah memperhatikan kemampuan dalam penyediaan tenaga listrik pemegang Perizinan Berusaha penyediaan tenaga listrik yang memiliki wilayah usaha setempat.
Perizinan berusaha penyediaan tenaga listrik memuat, antara lain, nama dan alamat badan usaha, jenis usaha yang diberikan, kewajiban dalam penyelenggaraan usaha, syarat teknis, dan ketentuan sanksi. Angka 14
Pasal 22
Cukup jelas.
Angka 15
Pasal 23
Cukup jelas.
Angka 16
Pasal 24
Cukup jelas.
Angka 17
Pasal 25
Cukup jelas.
Angka 18
Pasal 27
Cukup jelas.
Angka 19
Pasal 28
Huruf a
Cukup jelas. Huruf b
Cukup jelas. Huruf c
Cukup jelas. Huruf d
Penggunaan produk dan potensi luar negeri dapat digunakan apabila produk dan potensi dalam negeri tidak tersedia. Angka 20
Pasal 29
Ayat (1)
Cukup jelas. Ayat (2)
Huruf a Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan 'instalasi tenaga listrik milik konsumen" adalah instalasi tenaga listrik setelah alat pengukur atau alat pembatas penggunaan tenaga listrik.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas. Ayat (4)
Cukup jelas. Angka 21
Pasal 30
Ayat (1)
Cukup jelas. Ayat (2)
Ganti rugi hak atas tanah termasuk untuk sisa tanah yang tidak dapat digunakan oleh pemegang hak sebagai akibat dari penggunaan sebagian tanahnya oleh pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik. Yang dimaksud dengan 'secara langsung" adalah penggunaan tanah untuk pembangunan instalasi tenaga listrik, antara lain, pembangkitan, gardu induk, dan tapak menara transmisi. Ayat (3)
Secara tidak langsung dalam ketentuan ini antara lain penggunaan tanah untuk lintasan jalur transmisi. Ayat (4)
Cukup jelas. Ayat (5)
Cukup jelas. Ayat (6)
Cukup jelas. Angka 22
Pasal 32
Cukup jelas.
Angka 23
Pasal 33
Ayat (1)
Pengertian harga jual tenaga listrik meliputi semua biaya yang berkaitan dengan penjualan tenaga listrik dari pembangkit tenaga listrik. Pengertian harga sewa jaringan tenaga listrik meliputi semua biaya yang berkaitan dengan penyewaan jaringan transmisi dan/atau distribusi tenaga listrik. Ayat (2)
Dalam memberikan persetujuan harga jual tenaga listrik dan sewa jaringan tenaga listrik, Pemerintah memperhatikan kesepakatan di antara badan usaha. Angka 24
Pasal 34
Ayat (1)
Tarif tenaga listrik untuk konsumen meliputi semua biaya yang berkaitan dengan pemakaian tenaga listrik oleh konsumen, antara lain, biaya beban (Rp/kVA) dan biaya pemakaian (Rp/kWh), biaya pemakaian daya reaktif (Rp/kVArh), dan/atau biaya kVA maksimum yang dibayar berdasarkan harga langganan (Rp/bulan) sesuai dengan batasan daya yang dipakai atau bentuk lainnya.
Ayat (2)
Cukup jelas. Ayat (3)
Cukup jelas. Angka 25
Pasal 35
Cukup jelas.
Angka 26
Pasal 37
Cukup jelas.
Angka 27
Pasal 44
Cukup jelas.
Angka 28
Pasal 45
Cukup jelas.
Angka 29
Pasal 46
Cukup jelas.
Angka 30
Pasal 48
Cukup jelas.
Angka 31
Pasal 49
Cukup jelas.
Angka 32
Pasal 50
Cukup jelas.
Angka 33
Pasal 51A
Cukup jelas.
Angka 34
Pasal 52
Dihapus.
Angka 35
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 43 Angka 1
Pasal 2A Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 4 Ayat (1)
Yang di maksud dengan "Badan Pengawas" adalah lembaga pemerintah yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 9 Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 9A Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Kewajiban mengalihkan kepada negara atau badan usaha milik negara tidak berlaku bagi orang perseorangan atau badan usaha yang sudah memiliki izin sebelum Undang-Undang ini berlaku.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 10 Dihapus.
Angka 6
Pasal 14 Ayat (1)
Pengawasan ini perlu dilakukan mengingat bahwa tenaga nuklir itu selain bermanfaat juga mempunyai bahaya radiasi.
Pengawasan ini dimaksudkan agar bahaya itu tidak terjadi.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "peraturan" yaitu bahwa pemerintah dalam melakukan pengawasan mengeluarkan peraturan di bidang keselamatan nuklir agar tujuan pengawasan tercapai.
Yang dimaksud dengan "perizinan" yaitu bahwa Pemerintah mengeluarkan instrumen perizinan untuk mengendalikan kegiatan pemanfaatan tenaga nuklir. Yang dimaksud dengan "inspeksi" adalah kegiatan pemeriksaan baik secara berkala maupun sewaktu-waktu untuk mengetahui kesesuaian pemanfaatan tenaga nuklir dengan peraturan yang ditetapkan. Angka 7
Pasal 17
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "hal tertentu" adalah pemanfaatan zat, alat, atau benda yang pancaran radiasi dan aktivitasnya lebih kecil daripada pancaran radiasi dan aktivitas yang seharusnya memiliki izin, antara lain, alat navigasi, jam, kaos lampu petromaks, dan pendeteksi asap.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "pembangunan" adalah termasuk penentuan tapak dan konstruksi instalasi nuklir.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 8
Pasal 18 Dihapus.
Angka 9
Pasal 20 Ayat (1)
Inspeksi dilakukan dalam rangka pengawasan terhadap ditaatinya syarat-syarat dalam perizinan dan peraturan perundang-undangan di bidang keselamatan nuklir.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 10
Pasal 25 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Penentuan tempat penyimpanan lestari limbah radioaktif tingkat tinggi perlu ditetapkan oleh Pemerintah Pusat karena menyangkut perubahan suatu daerah yang semula dapat dimanfaatkan menjadi suatu daerah yang sama sekali tidak dapat dimanfaatkan untuk kepentingan lain. Limbah radioaktif yang berasal dari luar negeri tidak diizinkan disimpan di wilayah hukum Republik Indonesia.
Angka 11
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 44 Angka 1
Pasal 15 Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 48A Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 50 Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 53 Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 57 Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 59 Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "seluruh rangkaian" adalah kegiatan pengawasan di pabrik dan koordinasi pengawasan di pasar dengan kementerian dan lembaga pemerintah nonkementerian terkait.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 7
Pasal 84 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Usaha patungan antara Pemerintah Pusat dan swasta melalui kepemilikan modal mayoritas oleh Pemerintah Pusat.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "pembatasan kepemilikan" adalah tidak diperbolehkannya penanaman modal asing.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Penetapan jumlah produksi, distribusi, dan harga produk dilakukan dalam rangka memelihara kemantapan stabilitas ekonomi nasionalserta ketahanan nasional.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Angka 8
Pasal 101 Cukup jelas.
Angka 9
Pasal 102 Dihapus.
Angka 10
Pasal 104 Cukup jelas.
Angka 11
Pasal 105 Cukup jelas.
Angka 12
Pasal 105A Cukup jelas.
Angka 13
Pasal 106 Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "Perusahaan Industri yang akan menjalankan Industri" adalah Industri baru atau yang melakukan perluasan pada lokasi yang berbeda.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Angka 14
Pasal 108 Cukup jelas.
Angka 15
Pasal 115 Cukup jelas.
Angka 16
Pasal 117 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pengawasan dilakukan antara lain melalui audit, inspeksi, pengamatan intensif (surveillance), atau pemantauan (monitoring).
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 45 Cukup jelas.
Pasal 46 Angka 1
Pasal 6 Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "label berbahasa Indonesia" adalah setiap keterangan mengenai Barang yang berbentuk tulisan berbahasa Indonesia, kombinasi gambar dan tulisan berbahasa Indonesia, atau bentuk lain yang memuat informasi tentang Barang dan keterangan Pelaku Usaha, serta informasi lainnya yang disertakan pada Barang, dimasukkan ke dalam, ditempelkan/melekat pada Barang, tercetak pada Barang, dan/atau merupakan bagian kemasan Barang.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 11 Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 14 Ayat (1)
Pengaturan tentang pengembangan, penataan, dan pembinaan yang setara dan berkeadilan terhadap Pasar rakyat, pusat perbelanjaan, toko swalayan, dan perkulakan dimaksudkan untuk menyederhanakan dan kepastian proses Perizinan Berusaha yang diajukan oleh Pelaku Usaha. Penyederhanaan juga mencakup pengintegrasian dengan persyaratan lain yang diperlukan dan dilakukan menggunakan sistem elektronik.
Sebagai contoh Perizinan Berusaha untuk toko swalayan, selain memiliki Nomor Induk Berusaha (NIB) juga memerlukan berbagai perizinan lain antara lain izin prinsip, izin tetangga, Izin Mendirikan Bangunan, izin domisili, Izin Lingkungan, Izin Usaha Toko Modern, Surat Izin Toko Obat, Surat Tanda Pendaftaran Waralaba (khusus toko franchise) serta berbagai rekomendasi yang menyangkut aspek pemadam kebakaran. Persyaratan tersebut dapat berbeda-beda pada setiap daerah dan dengan jangka waktu tertentu. Hal ini akan menghambat pengembangan usaha oleh pelaku usaha terkait toko swalayan. Untuk itu melalui Undang-Undang tentang Cipta Kerja dilakukan penyederhanaan Perizinan Berusaha, antara lain Izin Prinsip, Izin Mendirikan Bangunan, Izin Usaha Toko Modern, Surat Izin Toko Obat, Surat Tanda Pendaftaran Waralaba, Izin Domisili, Izin Lingkungan serta berbagai rekomendasi yang dilakukan secara terpusat melalui sistem elektronik, sehingga tidak lagi memerlukan perizinan dan persetujuan dari masing-masing daerah. Dengan penerapan Perizinan Berusaha ini maka proses Perizinan Berusaha untuk toko swalayan lebih sederhana dan terstandar secara nasional. Selanjutnya Pelaku Usaha dapat melakukan proses Perizinan Berusaha melalui sistem Perizinan Berusaha secara elektronik (online system submission) untuk mendapat Nomor Induk Berusaha (NIB) dan penerapan standar atau izin yang diperlukan berupa standar toko swalayan. Yang dimaksud dengan "pemasok" adalah Pelaku Usaha yang secara teratur memasok Barang kepada pengecer dengan tujuan untuk dijual kembali melalui kerja sama usaha. Yang dimaksud dengan "pengecer" adalah perseorangan atau badan usaha yang kegiatan pokoknya melakukan penjualan secara langsung kepada konsumen akhir. Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "tata ruang" adalah wujud struktur ruang dan pola ruang dengan memperhatikan jarak dan lokasi pendirian sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Penataan Ruang.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 15 Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 17 Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 24 Cukup jelas.
Angka 7
Pasal 30 Cukup jelas.
Angka 8
Pasal 33 Cukup jelas.
Angka 9
Pasal 37 Cukup jelas.
Angka 10
Pasal 38 Cukup jelas.
Angka 11
Pasal 42 Cukup jelas.
Angka 12
Pasal 43 Cukup jelas.
Angka 13
Pasal 45 Ayat (1)
Permohonan impor barang diajukan langsung kepada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan, dan persetujuan Pemerintah Pusat diberikan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan setelah ada rekomendasi dari kementerian lain jika diperlukan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 14
Pasal 46 Cukup jelas.
Angka 15
Pasal 47 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "dalam hal tertentu" adalah dalam hal barang yang dibutuhkan oleh Pelaku Usaha berupa Barang modal bukan baru yang belum dapat dipenuhi dari sumber dalam negeri sehingga perlu diimpor dalam rangka proses produksi industri untuk tujuan pengembangan ekspor, peningkatan daya saing, efisiensi usaha, investasi dan relokasi industri, pembangunan infrastruktur, dan/atau diekspor kembali.
Selain itu, dalam hal terjadi bencana alam dibutuhkan barang atau peralatan dalam kondisi tidak baru dalam rangka pemulihan dan pembangunan kembali sebagai akibat bencana alam serta Barang bukan baru untuk keperluan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 16
Pasal 49 Dihapus.
Angka 17
Pasal 51 Cukup jelas.
Angka 18
Pasal 52 Cukup jelas.
Angka 19
Pasal 53
Cukup jelas.
Angka 20
Pasal 57 Cukup jelas.
Angka 21
Pasal 60 Cukup jelas.
Angka 22
Pasal 61 Cukup jelas.
Angka 23
Pasal 63 Cukup jelas.
Angka 24
Pasal 65 Cukup jelas.
Angka 25
Pasal 74 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan "pihak lain" adalah perguruan tinggi, dunia usaha, asosiasi usaha, dan pemangku kepentingan lainnya.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Angka 26
Pasal 77 Cukup jelas.
Angka 27
Pasal 77A Cukup jelas.
Angka 28
Pasal 81 Cukup jelas.
Angka 29
Pasal 98 Cukup jelas.
Angka 30
Pasal 99 Cukup jelas.
Angka 31
Pasal 100 Cukup jelas.
Angka 32
Pasal 102 Cukup jelas.
Angka 33
Pasal 104 Cukup jelas.
Angka 34
Pasal 106 Cukup jelas.
Angka 35
Pasal 109 Cukup jelas.
Angka 36
Pasal 116 Cukup jelas.
Pasal 47 Angka 1
Pasal 13 Huruf a
Jenis-jenis alat ukur, takar, timbang, dan perlengkapannya antara lain ialah meter air, meter gas, meter listrik, meter taxi, meter pulsa telpon, alat pengukur kelembaban (moisture tester) perlu ditunjuk tempat-tempat dan daerah-daerah di mana dilaksanakan tera dan tera ulang.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 17 Ayat (1)
Karena penggunaan alat ukur takar, timbang, dan perlengkapannya berada di bawah pengawasan instansi Pemerintah Pusat yang bertanggungjawab di bidang metrologi maka seharusnyalah pembuatan alat-alat tersebut dengan Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat supaya mudah mengawasi dan membina, sehingga alat-alat itu dibuat oleh orang-orang yang benar-benar mempunyai keahlian. Demikian pula untuk memperbaiki alat ukur, takar, timbang dan perlengkapannya misalnya memperbaiki timbangan perlu mendapat Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat, yaitu supaya mudah mengawasi dan membimbingnya.
Dengan demikian diharapkan bahwa pekerjaan memperbaiki timbangan dilakukan oleh orang-orang yang benar-benar mempunyai keahlian dalam bidang itu dan dengan rasa penuh tanggungjawab, sehingga para pemilik timbangan tidak akan terperdaya oleh orang-orang yang mengaku sebagai reparatir timbangan padahal tidak mempunyai keahlian dalam pekerjaan tersebut dan hanya semata-mata mencari keuntungan untuk dirinya saja. Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 18 Perizinan Berusaha diperlukan untuk menghindari masuk dan beredarnya alat ukur, takar, timbang dan perlengkapannya yang tidak memenuhi persyaratan, sebab jika ini terjadi akan menyulitkan dalam melaksanakan Undang-Undang ini.
Angka 4
Pasal 24 Cukup jelas.
Pasal 48 Angka 1
Pasal 4A Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 7 Huruf a
Kementerian dan/atau lembaga terkait antara lain kementerian dan/atau lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian, perdagangan, kesehatan, pertanian, standardisasi dan akreditasi, koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah, serta pengawasan obat dan makanan.
Huruf b
LPH bersifat mandiri.
Huruf c
Yang dimaksud dengan MUI termasuk MUI di provinsi dan MPU (Majelis Permusyawaratan Ulama) Aceh.
Angka 3
Pasal 10 Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 13 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "lembaga keagamaan Islam berbadan hukum" diantaranya organisasi bermasa Islam berbadan hukum dan yayasan Islam yang mengelola perguruan tinggi.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 14 Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 16 Cukup jelas.
Angka 7
Pasal 22 Cukup jelas.
Angka 8
Pasal 27 Cukup jelas.
Angka 9
Pasal 28 Cukup jelas.
Angka 10
Pasal 29
Cukup jelas.
Angka 11
Pasal 30 Cukup jelas.
Angka 12
Pasal 31
Cukup jelas.
Angka 13
Pasal 32 Cukup jelas.
Angka 14
Pasal 33 Cukup jelas.
Angka 15
Pasal 35 Cukup jelas.
Angka 16
Pasal 35A Cukup jelas.
Angka 17
Pasal 40 Cukup jelas.
Angka 18
Pasal 41 Cukup jelas.
Angka 19
Pasal 42 Cukup jelas.
Angka 20
Pasal 44 Cukup jelas.
Angka 21
Pasal 48 Cukup jelas.
Angka 22
Pasal 53 Cukup jelas.
Angka 23
Pasal 55 Cukup jelas.
Angka 24
Pasal 56 Cukup jelas.
Pasal 49 Cukup jelas.
Pasal 50 Angka 1
Pasal 26 Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 29 Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 33 Ayat (1)
Pemberian kemudahan Perizinan Berusaha bagi badan hukum yang mengajukan rencana pembangunan perumahan untuk MBR dimaksudkan untuk mendorong iklim berusaha bagi badan hukum di bidang perumahan dan permukiman sekaligus dalam upaya mewujudkan pemenuhan kebutuhan perumahan bagi MBR.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 35
Cukup jelas. Angka 5
Pasal 36
Cukup jelas. Angka 6
Pasal 40
Cukup jelas. Angka 7
Pasal 42
Ayat (1) Yang dimaksud dengan "perjanjian pendahuluan jual beli" adalah kesepakatan melakukan jual beli rumah yang masih dalam proses pembangunan antara calon pembeli rumah dengan penyedia rumah yang diketahui oleh pejabat yang berwenang.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "hal yang diperjanjikan" adalah kondisi rumah yang dibangun dan dijual kepada konsumen, yang dipasarkan melalui media promosi, meliputi lokasi rumah, kondisi tanah/kaveling, bentuk rumah, spesifikasi bangunan, harga rumah, prasarana, sarana, dana utilitas umum perumahan, fasilitas lain, waktu serah terima rumah, serta penyelesaian sengketa.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan "keterbangunan perumahan" adalah persentase telah terbangunnya rumah dari seluruh jumlah unit rumah serta ketersediaan prasarana, sarana, dan utilitas umum dalam suatu perumahan yang direncanakan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 8
Pasal 53
Ayat (1) Pengendalian perumahan dimaksudkan untuk menjaga dan meningkatkan kualitas perumahan agar dapat berfungsi sebagaimana mestinya, sekaligus mencegah terjadinya penurunan kualitas dan terjadinya pemanfaatan yang tidak sesuai.
Ayat (2)
Huruf a
Perizinan berusaha diberikan kepada pelaku usaha, sedangkan Persetujuan diberikan kepada non Pelaku Usaha.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "penertiban" adalah cara pengendalian yang dilakukan melalui tindakan penegakan hukum bagi perumahan yang dalam pembangunan dan pemanfaatannya tidak sesuai dengan rencana atau ketentuan peraturan perundang-undangan.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "penataan" adalah cara pengendalian yang dilakukan melalui perbaikan dalam penyelenggaraan agar sesuai dengan tujuan penyelenggaraan perumahan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 9
Pasal 55
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Pelaksanaan ketentuan ini hanya berlaku dalam kondisi normal, namun tidak berlaku dalam kondisi kahar, antara lain seperti: bencana alam, huru-hara, perang, dan pandemi.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Angka 10
Pasal 107
Cukup jelas. Angka 11
Pasal 109
Cukup jelas. Angka 12
Pasal 114
Cukup jelas. Angka 13
BAB IXA
Cukup jelas. Angka 14
Pasal 134
Cukup jelas. Angka 15
Pasal 150
Cukup jelas.
Angka 16
Pasal 151
Cukup jelas. Angka 17
Pasal 153
Cukup jelas. Angka 1
Pasal 16
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 24
Ayat (1) Huruf a
Yang dimaksud dengan "persyaratan administratif" adalah perizinan yang diperlukan sebagai syarat untuk melakukan pembangunan rumah susun.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "persyaratan teknis" adalah persyaratan yang berkaitan dengan struktur bangunan, keamanan dan keselamatan bangunan, kesehatan lingkungan, kenyamanan, dan lain-lain yang berhubungan dengan rancang bangun, termasuk kelengkapan prasarana dan fasilitas lingkungan.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "persyaratan ekologis" adalah persyaratan yang memenuhi analisis dampak lingkungan dalam hal pembangunan rumah susun.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 26
Cukup jelas. Angka 4
Pasal 28
Cukup jelas. Angka 5
Pasal 29
Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 30
Dihapus. Angka 7
Pasal 31
Cukup jelas.
Angka 8
Pasal 32
Cukup jelas. Angka 9
Pasal 33
Dihapus. Angka 10
Pasal 39
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "laik fungsi" adalah berfungsinya seluruh atau sebagian bangunan rumah susun yang dapat menjamin dipenuhinya persyaratan tata bangunan dan keandalan bangunan rumah susun sesuai dengan fungsi yang ditetapkan.
Yang dimaksud dengan "sebagian pembangunan rumah susun" adalah satu bangunan rumah susun atau lebih dari seluruh rencana bangunan rumah susun dalam satuan lingkungan. Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 11
Pasal 40
Ayat (1) Yang dimaksud dengan "lingkungan rumah susun" adalah sebidang tanah dengan batas-batas yang jelas yang di atasnya dibangun rumah susun, termasuk prasarana, sarana, dan utilitas umum yang secara keseluruhan merupakan kesatuan tempat permukiman.
Yang dimaksud dengan "prasarana" adalah kelengkapan dasar fisik lingkungan hunian rumah susun yang memenuhi standar tertentu untuk kebutuhan tempat tinggal yang layak, sehat, aman, dan nyaman meliputi jaringan jalan, drainase, sanitasi, air bersih, dan tempat sampah. Yang dimaksud dengan "sarana" adalah fasilitas dalam lingkungan hunian rumah susun yang berfungsi untuk mendukung penyelenggaraan dan pengembangan kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi meliputi sarana sosial ekonomi (pendidikan, kesehatan, peribadatan dan perniagaan) dan sarana umum (ruang terbuka hijau, tempat rekreasi, sarana olahraga, tempat pemakaman umum, sarana pemerintahan, dan lain-lain). Yang dimaksud dengan "utilitas umum" adalah kelengkapan penunjang untuk pelayanan lingkungan hunian rumah susun yang mencakup jaringan listrik, jaringan telepon, dan jaringan gas. Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 12
Pasal 43
Cukup jelas. Angka 13
Pasal 54
Cukup jelas. Angka 14
Pasal 56
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "pemeliharaan" adalah kegiatan menjaga keandalan bangunan gedung beserta prasarana dan sarananya agar selalu laik fungsi.
Yang dimaksud dengan "perawatan" adalah kegiatan memperbaiki dan/atau mengganti bagian bangunan gedung, komponen, bahan bangunan, dan/atau prasarana dan sarana agar bangunan gedung tetap laik fungsi. Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Angka 15
Pasal 67
Cukup jelas. Angka 16
Pasal 72
Dihapus. Angka 17
Pasal 73
Dihapus. Angka 18
Pasal 107
Cukup jelas. Angka 19
Pasal 108
Cukup jelas. Angka 20
Pasal 110
Dihapus. Angka 21
Pasal 112
Dihapus. Angka 22
Pasal 113
Cukup jelas.
Angka 23
Pasal 114
Cukup jelas.
Angka 24
Pasal 117
Cukup jelas.
Pasal 52 Angka 1
Pasal 5
Ayat (1) Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Yang dimaksud dengan "rantai pasok Jasa Konstruksi" adalah alur kegiatan produksi dan distribusi material, peralatan, dan teknologi yang digunakan dalam pelaksanaan Jasa Konstruksi.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Cukup jelas.
Huruf m
Cukup jelas.
Huruf n
Cukup jelas.
Huruf o
Cukup jelas.
Huruf p
Cukup jelas.
Huruf q
Cukup jelas.
Huruf r
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Pelatihan tenaga kerja konstruksi strategis dan percontohan antara lain pemberian pelatihan bagi penerapan teknologi, metode, dan standar kompetensi baru.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Standar remunerasi minimal ditetapkan dengan mempertimbangkan kompleksitas dari jenis layanan profesional, biaya, risiko, dan teknologi dari penyelenggaraan Jasa Konstruksi yang terkait dengan hasil layanan profesional, dan/atau harga pasar yang berlaku di provinsi tempat diselenggarakannya Jasa Konstruksi.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Ayat (5)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Teknologi prioritas meliputi:
Huruf d Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 6 Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 7 Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 8 Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 9 Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 10 Cukup jelas.
Angka 7
Pasal 20 Ayat (1)
Kualifikasi usaha menentukan batasan kemampuan suatu usaha Jasa Konstruksi dalam melaksanakan Jasa Konstruksi pada saat yang bersamaan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 8
Pasal 26 Cukup jelas.
Angka 9
Pasal 27 Cukup jelas.
Angka 10
Pasal 28 Cukup jelas.
Angka 11
Pasal 29 Cukup jelas.
Angka 12
Pasal 30 Cukup jelas.
Angka 13
Pasal 31 Dihapus.
Angka 14
Pasal 33 Cukup jelas.
Angka 15
Pasal 34 Cukup jelas.
Angka 16
Pasal 35 Cukup jelas.
Angka 17
Pasal 36 Dihapus.
Angka 18
Pasal 38 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Penyelenggaraan Usaha Jasa Konstruksi yang dikerjakan sendiri merupakan kegiatan yang pekerjaannya direncanakan, dikerjakan, dan/atau diawasi sendiri oleh pemerintah sebagai penanggung jawab anggaran, dan/atau kelompok masyarakat.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 19
Pasal 42 Dihapus.
Angka 20
Pasal 44
Cukup jelas. Angka 21
Pasal 57
Dihapus. Angka 22
Pasal 58
Dihapus. Angka 23
Pasal 59
Cukup jelas. Angka 24
Pasal 69
Cukup jelas. Angka 25
Pasal 72
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "tanda daftar pengalaman profesional" adalah dokumen yang memuat dan menjelaskan pengalaman tenaga kerja konstruksi yang telah didaftarkan secara resmi kepada pemerintah.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 26
Pasal 74
Dihapus. Angka 27
Pasal 84
Ayat (1) Penyelenggaraan sebagian kewenangan Pemerintah Pusat antara lain registrasi badan usaha Jasa Konstruksi, akreditasi bagi asosiasi perusahaan Jasa Konstruksi dan asosiasi terkait rantai pasok Jasa Konstruksi, registrasi pengalaman badan usaha, registrasi penilai ahli, menetapkan penilai ahli yang teregistrasi dalam hal terjadi Kegagalan Bangunan, akreditasi bagi asosiasi profesi dan lisensi bagi lembaga sertifikasi profesi, registrasi tenaga kerja, registrasi pengalaman profesional tenaga kerja serta lembaga pendidikan dan pelatihan kerja di bidang konstruksi, penyetaraan tenaga kerja asing, membentuk lembaga sertifikasi profesi untuk melaksanakan tugas sertifikasi kompetensi kerja yang belum dapat dilakukan lembaga sertifikasi profesi yang dibentuk oleh asosiasi profesi/lembaga pendidikan dan pelatihan.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "lembaga" adalah pengembangan Jasa Konstruksi.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Asosiasi terkait rantai pasok konstruksi antara lain asosiasi terkait material dan peralatan konstruksi.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Pengaturan pembentukan lembaga antara lain tata cara pemilihan pengurus, masa bakti, tugas pokok dan fungsi, mekanisme kerja lembaga.
Angka 28
Pasal 89
Cukup jelas. Angka 29
Pasal 92
Dihapus. Angka 30
Pasal 96
Cukup jelas. Angka 31
Pasal 99
Cukup jelas. Angka 32
Pasal 101
Dihapus. Angka 33
Pasal 102
Cukup jelas. Angka 1
Pasal 8
Cukup jelas. Angka 2
Pasal 9
Cukup jelas. Angka 3
Pasal 12
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 17
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 19
Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 40
Cukup jelas. Angka 7
Pasal 43
Cukup jelas.
Angka 8
Pasal 44
Cukup jelas. Angka 9
Pasal 45
Cukup jelas. Angka 10
Pasal 49
Cukup jelas. Angka 11
Pasal 50
Cukup jelas.
Angka 12
Pasal 51
Cukup jelas. Angka 13
Pasal 52
Cukup jelas.
Angka 14
Pasal 56
Cukup jelas.
Angka 15
Pasal 70
Cukup jelas. Angka 16
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal 54 Cukup jelas.
Pasal 55 Angka 1
Pasal 19
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 36
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 38
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "fasilitas utama" adalah jalur keberangkatan, jalur kedatangan, ruang tunggu penumpang, tempat naik turun penumpang, tempat parkir kendaraan, papan informasi, kantor pengendali terminal, dan loket.
Yang dimaksud dengan "fasilitas penunjang" antara lain adalah fasilitas untuk penyandang cacat, fasilitas kesehatan, fasilitas umum, fasilitas peribadatan, pos kesehatan, pos polisi, dan alat pemadam kebakaran. Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 39
Ayat (1) Yang dimaksud dengan "lingkungan kerja terminal" adalah lingkungan yang berkaitan langsung dengan fasilitas terminal dan dibatasi dengan pagar.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan swasta termasuk usaha mikro, kecil, dan menengah.
Angka 5
Pasal 40
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan swasta termasuk usaha mikro, kecil, dan menengah.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 43
Ayat (1) Yang dimaksud dengan "Parkir untuk umum" adalah tempat untuk memarkir kendaraan dengan dipungut biaya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 7
Pasal 50
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan swasta termasuk usaha mikro, kecil, dan menengah.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 8
Pasal 53
Cukup jelas. Angka 9
Pasal 60
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "mempunyai kualitas tertentu" adalah bengkel umum yang mampu melakukan jenis pekerjaan perawatan berkala, perbaikan kecil, perbaikan besar, serta perbaikan sasis dan bodi.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Angka 10
Pasal 78
Cukup jelas. Angka 11
Pasal 99
Ayat (1) Yang dimaksud dengan "pembangunan pusat kegiatan, permukiman, dan infrastruktur" adalah pembangunan baru, perubahan penggunaan lahan, perubahan intensitas tata guna lahan dan/atau perluasan lantai bangunan dan/atau perubahan intensitas penggunaan, perubahan kerapatan guna lahan tertentu, penggunaan lahan tertentu, antara lain Terminal, Parkir untuk umum di luar Ruang Milik Jalan, tempat pengisian bahan bakar minyak, dan fasilitas umum lain. Analisis dampak lalu lintas dalam implementasinya dapat diintegrasikan dengan analisis mengenai dampak lingkungan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 12
Pasal 100
Dihapus.
Angka 13
Pasal 101
Dihapus. Angka 14
Pasal 126
Cukup jelas. Angka 15
Pasal 162
Cukup jelas. Angka 16
Pasal 165
Ayat (1) Yang dimaksud dengan "angkutan multimoda" adalah angkutan barang dengan menggunakan paling sedikit 2 (dua) moda angkutan yang berbeda atas dasar 1 (satu) kontrak yang menggunakan dokumen angkutan multimoda dari 1 (satu) tempat penerimaan barang oleh operator angkutan multimoda ke suatu tempat yang ditentukan untuk penyerahan barang tersebut.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 17
Pasal 170
Ayat (1) Yang dimaksud dengan "lokasi tertentu" adalah tempat pengawasan angkutan barang yang dilakukan secara efektif dan efisien.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 18
Pasal 173
Cukup jelas. Angka 19
Pasal 174
Dihapus. Angka 20
Pasal 175
Dihapus. Angka 21
Pasal 176
Dihapus. Angka 22
Pasal 177
Dihapus. Angka 23
Pasal 178
Dihapus. Angka 24
Pasal 179
Cukup jelas. Angka 25
Pasal 180
Dihapus. Angka 26
Pasal 185
Ayat (1) Yang dimaksud dengan "trayek atau lintas tertentu" adalah trayek angkutan penumpang umum orang yang secara finansial belum menguntungkan, termasuk trayek angkutan perintis.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 27
Pasal 199
Cukup jelas.
Angka 28
Pasal 220
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "badan hukum" adalah badan (perkumpulan dan sebagainya) yang dalam hukum diakui sebagai subjek hukum yang dapat dilekatkan hak dan kewajiban hukum, seperti perseroan, yayasan, dan lembaga.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 29
Pasal 222
Cukup jelas. Angka 30
Pasal 308
Dihapus. Angka 1
Pasal 24
Cukup jelas. Angka 2
Pasal 24A
Cukup jelas. Angka 3
Pasal 28
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 32
Cukup jelas. Angka 5
Pasal 32A
Cukup jelas. Angka 6
Pasal 33
Cukup jelas. Angka 7
Pasal 33A
Cukup jelas. Angka 8
Pasal 77
Cukup jelas. Angka 9
Pasal 80A
Cukup jelas. Angka 10
Pasal 82
Cukup jelas. Angka 11
Pasal 107
Cukup jelas.
Angka 12
Pasal 112
Cukup jelas. Angka 13
Pasal 116A
Cukup jelas. Pasal 116B
Cukup jelas. Angka 14
Pasal 135
Cukup jelas. Angka 15
Pasal 168
Cukup jelas. Angka 16
Pasal 185A
Cukup jelas.
Angka 17
Pasal 188
Cukup jelas.
Angka 18
Pasal 190
Cukup jelas.
Angka 19
Pasal 191
Cukup jelas.
Angka 20
Pasal 195
Cukup jelas.
Angka 21
Pasal 196
Cukup jelas.
Angka 22
Pasal 203
Cukup jelas. Angka 23
Pasal 204
Cukup jelas.
Angka 24
Pasal 210
Cukup jelas.
Pasal 57 Angka 1 Pasal 5
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "dikuasai oleh negara" yaitu bahwa negara mempunyai hak penguasaan atas penyelenggaraan pelayaran yang perwujudannya meliputi aspek pengaturan, pengendalian, dan pengawasan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 9
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "intramoda" meliputi angkutan laut dalam negeri, angkutan laut luar negeri, angkutan laut khusus, dan angkutan pelayaran-rakyat.
Yang dimaksud dengan "antarmoda" adalah keterpaduan transportasi darat, transportasi laut, dan transportasi udara. Intra dan antarmoda tersebut merupakan satu kesatuan transportasi nasional. Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "trayek tetap dan teratur (liner) adalah pelayanan angkutan laut yang dilakukan secara tetap dan teratur dengan berjadwal dan menyebutkan pelabuhan singgah. Yang dimaksud dengan "trayek tidak tetap dan tidak teratur (tramper)" adalah pelayanan angkutan laut yang dilakukan secara tidak tetap dan tidak teratur. Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "jaringan trayek" adalah kumpulan dari trayek yang menjadi satu kesatuan pelayanan angkutan penumpang dan/atau barang dari satu pelabuhan ke pelabuhan lainnya.
Ayat (4)
Penyusunan jaringan trayek tetap dan teratur dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum dan usaha kepada pengguna jasa dan penyedia jasa angkutan laut.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 13 Ayat (1)
Termasuk dalam kegiatan angkutan laut khusus antara lain kegiatan angkutan yang dilakukan oleh usaha bidang industri, pariwisata, pertambangan, pertanian serta kegiatan khusus seperti penelitian, pengerukan, kegiatan sosial, dan sebagainya, serta tidak melayani pihak lain dan tidak mengangkut barang umum.
Angkutan laut khusus baik dalam negeri maupun luar negeri dapat diselenggarakan dalam rangka memenuhi kebutuhan yang karena sifat muatannya belum dapat diselenggarakan oleh penyedia jasa angkutan laut umum. Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 14A
Ayat (1) Yang dimaksud dengan "belum tersedia" adalah jumlah dan jadwal saat diperlukan kapal berbendera Indonesia tersebut tidak tersedia atau belum mencukupi kebutuhan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 27
Kewajiban pemenuhan Perizinan Berusaha dalam melakukan kegiatan angkutan di perairan dimaksudkan sebagai alat pembinaan, pengendalian, dan pengawasan angkutan di perairan untuk memberikan kepastian usaha dan perlindungan hukum bagi penyedia dan pengguna jasa. Angka 6
Pasal 28
Cukup jelas. Angka 7
Pasal 30
Dihapus. Angka 8
Pasal 31
Cukup jelas. Angka 9
Pasal 32
Cukup jelas.
Angka 10
Pasal 33
Cukup jelas. Angka 11
Pasal 34
Cukup jelas. Angka 12
Pasal 51
Cukup jelas.
Angka 13
Pasal 52
Cukup jelas. Angka 14
Pasal 59
Cukup jelas.
Angka 15
Pasal 90
Cukup jelas. Angka 16
Pasal 91
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan "dalam keadaan tertentu" adalah apabila ternyata terdapat Badan Usaha Pelabuhan yang mampu memanfaatkan terminal dan fasilitas pelabuhan lainnya untuk melayani kegiatan yang memberikan manfaat komersial.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Angka 17
Pasal 96
Cukup jelas.
Angka 18
Pasal 97
Cukup jelas.
Angka 19
Pasal 98
Cukup jelas.
Angka 20
Pasal 99
Cukup jelas.
Angka 21
Pasal 103
Dihapus. Angka 22
Pasal 104
Cukup jelas. Angka 23
Pasal 106
Cukup jelas. Angka 24
Pasal 107
Dihapus.
Angka 25
Pasal 111
Cukup jelas.
Angka 26
Pasal 124
Yang dimaksud dengan "pengadaan kapal" adalah kegiatan memasukkan kapal dari luar negeri, baik kapal bekas maupun kapal baru untuk didaftarkan dalam daftar kapal Indonesia. Yang dimaksud dengan "pembangunan kapal" adalah pembuatan kapal baru baik di dalam negeri maupun di luar negeri yang langsung berbendera Indonesia. Yang dimaksud dengan "pengerjaan kapal" adalah tahapan pekerjaan dan kegiatan pada saat dilakukan perombakan, perbaikan, dan perawatan kapal. Yang dimaksud dengan "perlengkapan kapal" adalah bagian yang termasuk dalam perlengkapan navigasi, alat penolong, penemu (smoke detector) dan pemadam kebakaran, radio dan elektronika kapal, dan peta serta publikasi nautika, serta perlengkapan pengamatan meteorologi untuk kapal dengan ukuran dan daerah pelayaran tertentu. Yang dimaksud dengan "ketentuan standar internasional" adalah berpedoman antara lain: Safety of Life at Sea (SOLAS) Convention, 1978 beserta peraturan pelaksanaan. Angka 27
Pasal 125
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "perombakan" adalah perombakan konstruksi dan memerlukan pengesahan gambar dan perhitungan konstruksi karena mengubah fungsi, stabilitas, struktur, dan dimensi kapal.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 28
Pasal 126
Ayat (1)
Sertifikat keselamatan diberikan kepada semua jenis kapal ukuran GT 7 (tujuh Gross Tonnage) atau lebih kecuali:
Ayat (2) Huruf a
Jenis sertifikat kapal penumpang antara lain:
Huruf b
Jenis-jenis sertifikat keselamatan kapal barang sesuai dengan SOLAS 1974 antara lain:
Huruf c
Sertifikasi kelaikan dan pengawakan kapal penangkap ikan dilaksanakan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan.
Angka 29
Pasal 127
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "ketentuan standar internasional" adalah berpedoman antara lain: Safety of Life at Sea (SOLAS) Convention, 1978 beserta peraturan pelaksanaan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 30
Pasal 129
Cukup jelas.
Angka 31
Pasal 130
Cukup jelas.
Angka 32
Pasal 133
Cukup jelas.
Angka 33
Pasal 154
Dalam rangka percepatan kemudahan berusaha, proses pengukuran, pendaftaran, dan penetapan kebangsaan kapal pada kapal penangkap ikan dilakukan secara terintegrasi melalui pelayanan 1 (satu) atap. Sarana dan Prasarana penyelenggaraan sistem 1 (satu) atap disediakan oleh Pemerintah Pusat.
Angka 34
Pasal 155
Ayat (1)
Pelaksanaan pengukuran kapal dapat dilakukan oleh kementerian yang menyelenggarakan pemerintahan di bidang perhubungan. Khusus untuk kapal perikanan, pelaksanaan pengukuran dapat dilakukan oleh kementerian yang menyelenggarakan pemerintahan di bidang perikanan berdasarkan kompetensi, standar, dan prosedur yang ditetapkan oleh kementerian yang menyelenggarakan pemerintahan di bidang perhubungan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 35
Pasal 157
Cukup jelas.
Angka 36
Pasal 158
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "pendaftaran kapal" adalah pendaftaran hak milik atas kapal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Selain memenuhi ketentuan pendaftaran kapal, yang merupakan persyaratan untuk menerbitkan surat tanda kebangsaan kapal Indonesia bagi kapal yang mengibarkan bendera Indonesia sebagai bendera kebangsaan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini, pemilik kapal perikanan wajib memenuhi ketentuan atau persyaratan pendaftaran kapal perikanan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai pendaftaran kapal perikanan. Ayat (4)
Yang dimaksud dengan "grosse akta pendaftaran" adalah salinan resmi dari minut (asli dari akta pendaftaran).
Bukti hak milik atas kapal merupakan dokumen kepemilikan yang disampaikan oleh pemilik kapal pada saat mendaftarkan kapalnya antara lain berupa:
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan "tanda pendaftaran" merupakan rangkaian angka dan huruf yang terdiri atas angka tahun pendaftaran, kode pengukuran dari tempat kapal didaftar, nomor urut akta pendaftaran, dan kode kategori kapal.
Contoh :
Angka 37
Pasal 159
Cukup jelas.
Angka 38
Pasal 163
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimakud dengan "perairan sungai dan danau" meliputi sungai, danau, waduk, kanal, terusan, dan rawa.
Angka 39
Pasal 168
Cukup jelas.
Angka 40
Pasal 169
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "kapal untuk jenis dan ukuran tertentu" adalah kapal barang dengan ukuran GT 500 (lima ratus Gross Tonnage) atau lebih dan kapal penumpang semua ukuran yang melakukan pelayaran internasional, sedangkan untuk kapal yang berlayar di dalam negeri jenis dan ukurannya akan ditetapkan tersendiri.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan "lembaga yang diberikan kewenangan oleh Pemerintah Pusat" adalah badan klasifikasi yang diakui Pemerintah.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Angka 41
Pasal 170
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "ukuran tertentu" adalah kapal barang dengan ukuran GT 500 (lima ratus Gross Tonnage) atau lebih dan kapal penumpang semua ukuran yang melakukan pelayaran internasional, sedangkan untuk kapal yang berlayar di dalam negeri jenis dan ukurannya akan ditetapkan tersendiri.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Untuk kapal yang berlayar di dalam negeri pengaturan mengenai sertifikat ditetapkan tersendiri.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Angka 42
Pasal 171
Cukup jelas.
Angka 43
Pasal 197
Cukup jelas.
Angka 44
Pasal 204
Cukup jelas.
Angka 45
Pasal 213
Cukup jelas.
Angka 46
Pasal 225
Cukup jelas.
Angka 47
Pasal 243
Cukup jelas.
Angka 48
Pasal 273
Cukup jelas.
Angka 49
Pasal 288
Cukup jelas.
Angka 50
Pasal 289
Cukup jelas.
Angka 51
Pasal 290
Cukup jelas.
Angka 52
Cukup jelas.
Angka 53
Pasal 292
Cukup jelas.
Angka 54
Pasal 293
Cukup jelas.
Angka 55
Pasal 294
Cukup jelas. Angka 56
Pasal 295
Cukup jelas. Angka 57
Pasal 296
Cukup jelas.
Angka 58
Pasal 297
Cukup jelas. Angka 59
Pasal 298
Cukup jelas. Angka 60
Pasal 299
Cukup jelas.
Angka 61
Pasal 307
Cukup jelas. Angka 62
Pasal 308
Cukup jelas. Angka 63
Pasal 310
Cukup jelas.
Angka 64
Pasal 313
Cukup jelas. Angka 65
Pasal 314
Cukup jelas. Angka 66
Pasal 321
Cukup jelas. Angka 67
Pasal 322
Cukup jelas. Angka 68
Pasal 336
Cukup jelas. Angka 1
Pasal 13
Cukup jelas. Angka 2
Pasal 14
Dihapus.
Angka 3
Pasal 15
Cukup jelas. Angka 4
Pasal 16
Cukup jelas. Angka 5
Pasal 17
Cukup jelas. Angka 6
Pasal 18
Cukup jelas. Angka 7
Pasal 19
Cukup jelas. Angka 8
Pasal 20
Dihapus. Angka 9
Pasal 21
Dihapus. Angka 10
Pasal 22
Dihapus.
Angka 11
Pasal 26
Cukup jelas. Angka 12
Pasal 30
Cukup jelas. Angka 13
Pasal 31
Dihapus. Angka 14
Pasal 32
Dihapus. Angka 15
Pasal 33
Dihapus. Angka 16
Pasal 37
Cukup jelas. Angka 17
Pasal 40
Cukup jelas. Angka 18
Pasal 41
Cukup jelas. Angka 19
Pasal 42
Dihapus. Angka 20
Pasal 43
Dihapus. Angka 21
Pasal 45
Cukup jelas. Angka 22
Pasal 46
Cukup jelas. Angka 23
Pasal 47
Huruf a Cukup jelas.
Huruf b Cukup jelas.
Huruf c
Personel pemegang lisensi ahli perawatan pesawat udara yang dimaksud dalam ketentuan ini hanya dapat melakukan perawatan pesawat udara untuk perusahaan angkutan udara bukan niaga yang berkapasitas penumpang kurang dari 9 (sembilan) orang.
Angka 24
Pasal 48
Dihapus. Angka 25
Pasal 49
Cukup jelas. Angka 26
Pasal 50
Cukup jelas. Angka 27
Pasal 51
Cukup jelas. Angka 28
Pasal 58
Ayat (1)
Personel pesawat udara meliputi personel operasi pesawat udara, personel penunjang operasi pesawat udara, dan personel perawatan pesawat udara.
Personel operasi pesawat udara meliputi:
Personel penunjang operasi pesawat udara meliputi:
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "sah" adalah dikeluarkan atau dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang.
Yang dimaksud dengan "masih berlaku" adalah lisensi yang diberikan memiliki batas waktu berlakunya sesuai dengan bidang pekerjaannya. Angka 29
Pasal 60
Cukup jelas.
Angka 30
Pasal 61
Cukup jelas. Angka 31
Pasal 63
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "keadaan tertentu" adalah:
Yang dimaksud dengan "dalam waktu yang terbatas" adalah waktu pengoperasian pesawat udara asing dibatasi sampai dapat ditanggulanginya keadaan tertentu oleh pesawat udara Indonesia.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "perjanjian antarnegara" adalah perjanjian pelimpahan kewenangan fungsi kelaikudaraan.
Ayat (4)
Yang dimaksud "persyaratan kelaikudaraan" adalah sesuai dengan ketentuan nasional dan internasional.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Angka 32
Pasal 64
Dihapus. Angka 33
Pasal 66
Cukup jelas. Angka 34
Pasal 67
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "tanda identitas" adalah tanda pendaftaran.
Angka 35
Pasal 84
Cukup jelas. Angka 36
Pasal 85
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "keadaan tertentu" adalah adanya kebutuhan kapasitas angkutan udara pada rute tertentu yang tidak dapat dipenuhi oleh kapasitas angkutan udara niaga berjadwal yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan angkutan udara niaga tidak berjadwal, antara lain paket wisata, MICE (meeting, insentive travel, convention, and exhibition), angkutan udara haji, bantuan bencana alam, kegiatan kemanusiaan, dan kegiatan yang bersifat nasional dan internasional.
Yang dimaksud dengan "bersifat sementara" adalah persetujuan yang diberikan terbatas untuk jangka waktu tertentu, paling lama 6 (enam) bulan dan hanya dapat diperpanjang untuk 1 (satu) kali pada rute yang sama.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 37
Pasal 91
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "keadaan tertentu" adalah keadaan tidak terpenuhi atau tidak terlayaninya permintaan jasa angkutan udara oleh badan usaha angkutan udara niaga berjadwal pada rute tertentu.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Angka 38
Pasal 93
Cukup jelas. Angka 39
Pasal 94
Cukup jelas. Angka 40
Pasal 95
Cukup jelas. Angka 41
Pasal 96
Cukup jelas. Angka 42
Pasal 97
Ayat (1) Huruf a
Yang dimaksud dengan "pelayanan standar maksimum" (full services) antara lain, pemberian makan dan minum, makanan ringan, dan fasilitas ruang tunggu eksekutif (lounge) untuk kelas bisnis (business class) dan kelas utama (first class).
Huruf b
Yang dimaksud dengan "pelayanan standar menengah" (medium Services) antara lain, pemberian makanan ringan, dan fasilitas lain ruang tunggu eksekutif untuk penumpang kelas ekonomi tertentu.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "pelayanan standar minimum" (no frills), antara lain, hanya ada 1 (satu) kelas pelayanan, tanpa pemberian makan dan minum, makanan ringan, fasilitas ruang tunggu eksekutif, dan dikenakan biaya untuk bagasi tercatat.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 43
Pasal 99
Dihapus. Angka 44
Pasal 100
Cukup jelas. Angka 45
Pasal 109
Cukup jelas. Angka 46
Pasal 110
Dihapus. Angka 47
Pasal 111
Dihapus. Angka 48
Pasal 112
Cukup jelas. Angka 49
Pasal 113
Ayat (1) Yang dimaksud dengan "dipindahtangankan" adalah perubahan kepemilikan sebagian atau seluruh saham badan usaha angkutan udara niaga berupa penggabungan (merger) atau pengambilalihan (akuisisi).
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 50
Pasal 114
Cukup jelas. Angka 51
Pasal 118
Cukup jelas. Angka 52
Pasal 119
Cukup jelas. Angka 53
Pasal 120
Cukup jelas. Angka 54
Pasal 130
Cukup jelas. Angka 55
Pasal 131
Dihapus. Angka 56
Pasal 132
Dihapus. Angka 57
Pasal 133
Dihapus. Angka 58
Pasal 137
Cukup jelas. Angka 59
Pasal 138
Cukup jelas. Angka 60
Pasal 139
Cukup jelas. Angka 61
Pasal 205
Cukup jelas. Angka 62
Pasal 215
Dihapus. Angka 63
Pasal 218
Cukup jelas. Angka 64
Pasal 219
Cukup jelas. Angka 65
Pasal 221
Cukup jelas. Angka 66
Pasal 222
Cukup jelas. Angka 67
Pasal 224
Cukup jelas. Angka 68
Pasal 225
Cukup jelas. Angka 69
Pasal 233
Cukup jelas. Angka 70
Pasal 237
Cukup jelas. Angka 71
Pasal 238
Cukup jelas. Angka 72
Pasal 242
Cukup jelas. Angka 73
Pasal 247
Cukup jelas. Angka 74
Pasal 249
Yang dimaksud dengan "keadaan tertentu", antara lain, untuk tujuan medical evacuation dan penanganan bencana. Angka 75
Pasal 250
Yang dimaksud dengan "keadaan tertentu", dapat berupa:
Angka 76
Pasal 252
Cukup jelas. Angka 77
Pasal 253.
Cukup jelas. Angka 78
Pasal 254
Ayat (1) Yang dimaksud dengan "memenuhi ketentuan keselamatan dan keamanan", antara lain, memiliki buku pedoman pengoperasian tempat pendaratan dan lepas landas helikopter (heliport manual).
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 79
Pasal 255
Cukup jelas. Angka 80
Pasal 275
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan "unit pelayanan navigasi penerbangan di bandar udara" terdiri atas pelayanan aerodrome oleh personel pemandu (aerodrome control), pelayanan komunikasi penerbangan (aeronautical flight information services), dan pelayanan aerodrome tanpa personel pemandu (un-attended).
Huruf b
Yang dimaksud dengan "unit pelayanan navigasi pendekatan" adalah unit pelayanan navigasi penerbangan pada kawasan pendekatan kedatangan (standard arrivai route) dan keberangkatan (standard instrument departure).
Huruf c
Yang dimaksud dengan "unit pelayanan navigasi penerbangan jelajah" adalah unit pelayanan lalu lintas penerbangan terkendali yang diberikan kepada pesawat udara yang mendapatkan persetujuan dari personel pemandu lalu lintas penerbangan (air traffic control clearance), pelayanan informasi penerbangan (flight information service), dan pelayanan kesiagaan (alerting service).
Angka 81
Pasal 277
Cukup jelas. Angka 82
Pasal 292
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "personel navigasi penerbangan yang terkait langsung dengan pelaksanaan pengoperasian dan/atau pemeliharaan fasilitas navigasi penerbangan" meliputi:
Angka 83
Pasal 294
Cukup jelas. Angka 84
Pasal 295
Cukup jelas. Angka 85
Pasal 317
Cukup jelas. Angka 86
Pasal 389
Cukup jelas. Angka 87
Pasal 392
Cukup jelas. Angka 88
Pasal 418
Cukup jelas. Angka 89
Pasal 423
Cukup jelas. Angka 90
Pasal 428
Cukup jelas. Cukup jelas.
Pasal 60 Angka 1
Pasal 30
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan "pelayanan kesehatan tingkat pertama" adalah pelayanan kesehatan yang diberikan oleh fasilitas pelayanan kesehatan dasar.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "pelayanan kesehatan tingkat kedua" adalah pelayanan kesehatan yang diberikan oleh fasilitas pelayanan kesehatan spesialistik.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "pelayanan kesehatan tingkat ketiga" adalah pelayanan kesehatan yang diberikan oleh fasilitas pelayanan kesehatan sub spesialistik.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 35
Cukup jelas. Angka 3
Pasal 60
Ayat (1) Yang dimaksud dengan "alat dan teknologi" dalam ketentuan ini adalah yang tidak bertentangan dengan tindakan pengobatan tradisional yang dilakukan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 106
Ayat (1) Yang dimaksud dengan "sediaan farmasi" adalah Obat, Bahan Obat, Obat Tradisional, dan Kosmetik. Termasuk dalam sediaan farmasi adalah suplemen kesehatan dan obat kuasi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 111
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "standar" antara lain terkait dengan pemberian tanda atau label yang berisi: a. Nama produk; b. Daftar bahan yang digunakan;
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 182
Cukup jelas. Angka 7
Pasal 183
Cukup jelas. Angka 8
Pasal 187
Cukup jelas. Angka 9
Pasal 188
Cukup jelas. Angka 10
Pasal 197
Cukup jelas. Angka 1
Pasal 17
Cukup jelas. Angka 2
Pasal 24
Ayat (1)
Kemampuan pelayanan antara lain ditentukan oleh sumber daya manusia, bangunan, sarana, dan peralatan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 25
Cukup jelas. Angka 4
Pasal 26
Cukup jelas. Angka 5
Pasal 27
Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 28
Cukup jelas. Angka 7
Pasal 29
Ayat (1) Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "standar pelayanan rumah sakit" adalah semua standar pelayanan yang berlaku di rumah sakit, antara lain Standar Prosedur Operasional, standar pelayanan medis, standar asuhan keperawatan.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Yang dimaksud dengan 'pasien tidak mampu/miskin" adalah pasien yang memenuhi persyaratan yang diatur dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Yang dimaksud dengan "penyelenggaraan rekam medis" dalam ayat ini adalah dilakukan sesuai dengan standar yang secara bertahap diupayakan mencapai standar internasional.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Cukup jelas.
Huruf m
Cukup jelas.
Huruf n
Cukup jelas.
Huruf o
Rumah Sakit dibangun serta dilengkapi dengan sarana, prasarana dan peralatan yang dapat difungsikan serta dipelihara sedemikian rupa untuk mendapatkan keamanan, mencegah kebakaran/bencana dengan terjaminnya keamanan, kesehatan dan keselamatan pasien, petugas, pengunjung, dan lingkungan Rumah Sakit.
Huruf p
Cukup jelas.
Huruf r
Yang dimaksud dengan "peraturan internal Rumah Sakit" (hospital by laws) adalah peraturan organisasi Rumah Sakit (corporate by laws) dan peraturan staf medis Rumah Sakit (medical staff by law) yang disusun dalam rangka menyelenggarakan tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance) dan tata kelola klinis yang baik (good clinical governance). Dalam peraturan staf medis Rumah Sakit (medical staff by law) antara lain diatur kewenangan klinis (Clinical Privilege).
Huruf s
Cukup jelas. Huruf t
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 8
Pasal 40
Cukup jelas. Angka 9
Pasal 54
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan "pengawasan yang bersifat teknis medis" adalah audit medis.
Yang dimaksud dengan "pengawasan yang bersifat teknis perumahsakitan" adalah audit kinerja rumah sakit.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Angka 10
Pasal 62
Cukup jelas. Angka 1
Pasal 5
Cukup jelas. Angka 2
Pasal 9 Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 16 Cukup jelas. Angka 4
Pasal 18 Ayat (1)
Surat persetujuan ekspor dari Pemerintah berisi keterangan tertulis antara lain mengenai nama, jenis, bentuk dan jumlah psikotropika yang disetujui untuk diekspor, nama dan alamat eksportir dan importir di negara pengimpor, jangka waktu pelaksanaan ekspor dan keterangan bahw ekspor tersebut untuk kepentingan pengobatan dan/atau ilmu pengetahuan.
Surat Persetujuan Impor dari Pemerintah berisi keterangan tertulis antara lain mengenai nama, jenis, bentuk dan jumlah psikotropika yang disetujui untuk diimpor, nama dan alamat importir dan eksportir di negara pengekspor, jangka waktu pelaksanaan impor dan keterangan bahwa impor tersebut untuk kepentingan pengobatan dan/atau ilmu pengetahuan. Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 19 Cukup jelas. Angka 6
Pasal 20 Cukup jelas. Angka 7
Pasal 21 Cukup jelas. Angka 8
Pasal 22 Cukup jelas. Angka 1
Pasal 11 Ayat (1)
Ketentuan ini membuka kemungkinan untuk memberikan Perizinan Berusaha kepada lebih dari satu industri farmasi yang berhak memproduksi obat Narkotika, tetapi dilakukan sangat selektif dengan maksud agar pengendalian dan pengawasan Narkotika dapat lebih mudah dilakukan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 15 Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "dalam keadaan tertentu" dalam ketentuan ini adalah apabila perusahaan besar farmasi milik negara dimaksud tidak dapat melaksanakan fungsinya dalam melakukan impor Narkotika karena bencana alam, kebakaran dan lain-lain.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 16 Cukup jelas. Angka 4
Pasal 18 Ayat (1) Perusahaan Pedagang Besar Farmasi dalam ketentuan ini adalah BUMN maupun swasta.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 19
Cukup jelas. Angka 6
Pasal 22 Cukup jelas. Angka 7
Pasal 24
Cukup jelas. Angka 8
Pasal 26 Cukup jelas. Angka 9
Pasal 36 Cukup jelas. Angka 10
Pasal 39 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "industri farmasi, dan pedagang besar farmasi" adalah industri farmasi, dan pedagang besar farmasi tertentu yang telah memiliki izin khusus untuk menyalurkan Narkotika. Ayat (2)
Ketentuan ini menegaskan bahwa Perizinan Berusaha bagi sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah diperlukan sepanjang surat keputusan pendirian sarana penyimpanan sediaan farmasi tersebut tidak dikeluarkan oleh Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan. Ayat (3)
Cukup jelas. Angka 1
Pasal 1 Cukup jelas. Angka 2
Pasal 14
Cukup jelas. Angka 3
Pasal 15 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "untuk keperluan lain" adalah penggunaan kelebihan Produksi Pangan selain untuk konsumsi, antara lain, untuk pakan, bahan baku energi, industri dan/atau ekspor.
Angka 4
Pasal 36
Cukup jelas. Angka 5
Pasal 39 Usaha tani meliputi peningkatan produksi, kesejahteraan Petani, Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Pelaku Usaha Pangan mikro dan kecil. Angka 6
Pasal 68 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "rantai Pangan" adalah urutan tahapan dan operasi di dalam produksi, pengolahan, distribusi, penyimpanan, dan penanganan suatu Pangan dan bahan bakunya mulai dari produksi hingga konsumsi, termasuk bahan yang berhubungan dengan Pangan hingga Pangan siap dikonsumsi. Yang dimaksud dengan "secara terpadu" adalah penyelenggaraan Keamanan Pangan harus dilaksanakan secara terpadu dan sinergis oleh semua pemangku kepentingan pada setiap rantai Pangan. Ayat (2)
Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria Keamanan Pangan dilakukan antara lain, dengan berbasis analisis risiko. Analisis risiko merupakan proses pengambilan keputusan yang dilakukan secara sistematis dan transparan berdasarkan informasi ilmiah yang meliputi manajemen risiko, kajian risiko, dan komunikasi risiko. Ayat (3)
Cukup jelas. Ayat (4)
Cukup jelas. Ayat (5)
Cukup jelas. Ayat (6)
Cukup jelas. Angka 7
Pasal 72 Cukup jelas. Angka 8
Pasal 74 Cukup jelas. Angka 9
Pasal 77 Ayat (1) Salah satu persyaratan yang harus dipenuhi dalam Perizinan Berusaha adalah dari aspek Keamanan Pangan.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "bahan baku" adalah bahan utama yang dipakai dalam kegiatan atau proses Produksi Pangan, yang dapat berupa bahan mentah, bahan setengah jadi, atau bahan jadi.
Yang dimaksud dengan "bahan lain" adalah bahan yang tidak termasuk bahan baku maupun bahan tambahan Pangan. Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 10
Pasal 81 Cukup jelas. Angka 11
Pasal 87 Dihapus. Angka 12
Pasal 88 Cukup jelas. Angka 13
Pasal 89A Cukup jelas. Angka 14
Pasal 91 Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Yang dimaksud dengan "Pangan Olahan tertentu" adalah pangan olahan yang dibuat oleh industri rumah tangga Pangan, yaitu industri Pangan yang memiliki tempat usaha di tempat tinggal dengan peralatan pengolahan manual hingga semi otomatis.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 15
Pasal 133 Cukup jelas.
Angka 16
Pasal 134 Cukup jelas. Angka 17
Pasal 135 Cukup jelas.
Angka 18
Pasal 139 Cukup jelas. Angka 19
Pasal 140 Cukup jelas. Angka 20
Pasal 141 Cukup jelas. Angka 21
Pasal 142 Cukup jelas. Ayat (1)
Yang dimaksud dengan kata "dapat" dalam ketentuan ini pada dasarnya kewajiban memenuhi Perizinan Berusaha tidak berlaku pada sektor Pendidikan kecuali lembaga pendidikan formal di kawasan ekonomi khusus yang diatur tersendiri. Undang-Undang ini menganut prinsip bahwa pengelolaan satuan Pendidikan bersifat nirlaba sehingga tidak dapat disamakan dengan pengelolaan kegiatan usaha. Dengan demikian perlakuan, persyaratan, dan proses izin yang diperlukan oleh satuan Pendidikan untuk kegiatan operasionalnya tidak dapat sama dengan perlakuan, persyaratan, dan proses Perizinan Berusaha untuk kegiatan yang dapat bersifat laba. Ketentuan izin untuk satuan Pendidikan tetap mengikuti ketentuan perundang-undangan di bidang Pendidikan:
Undang-Undang tersebut tidak diatur dalam Undang-Undang ini dan oleh karena itu tidak ada kewajiban bagi satuan Pendidikan tersebut termasuk satuan Pendidikan nonformal yang dikelola oleh masyarakat melakukan proses izin melalui sistem Perizinan Berusaha sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
Ketentuan pasal ini memberikan ruang bagi pengelola satuan Pendidikan secara suka rela untuk dapat menggunakan proses sistem Perizinan Berusaha antara lain untuk proses kesesuaian tata ruang, persetujuan lingkungan, dan standar bangunan Gedung. Untuk pengelolaan satuan Pendidikan cukup dengan proses yang telah ada sehingga tidak dilakukan melalui sistem Perizinan Berusaha yang diatur dalam Undang-Undang ini. Sebagai contoh bahwa untuk pendirian pesantren telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren yang mengatur bahwa pendirian pesantren hanya dengan mendaftarkan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama. Sehingga dengan demikian pendirian pesantren tidak berlaku kewajiban untuk menggunakan sistem Perizinan Berusaha dalam Undang-Undang ini. Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 66 Angka 1
Pasal 14 Cukup jelas. Angka 2
Pasal 17 Cukup jelas. Angka 3
Pasal 22 Cukup jelas. Angka 4
Pasal 78 Cukup jelas. Angka 5
Pasal 79 Dihapus. Angka 1 Pasal 14 Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan usaha "daya tarik wisata" adalah usaha yang kegiatannya mengelola daya tarik wisata alam, daya tarik wisata budaya, dan daya tarik wisata buatan/ binaan manusia.
Huruf b
Yang dimaksud dengan usaha "kawasan pariwisata" adalah usaha yang kegiatannya membangun dan/atau mengelola kawasan dengan luas tertentu untuk memenuhi kebutuhan pariwisata.
Huruf c
Yang dimaksud dengan usaha "jasa transportasi wisata" adalah usaha khusus yang menyediakan angkutan untuk kebutuhan dan kegiatan pariwisata, bukan angkutan transportasi reguler/umum.
Huruf d
Yang dimaksud dengan usaha "jasa perjalanan wisata" adalah usaha biro perjalanan wisata dan usaha agen perjalanan wisata. Usaha biro perjalanan wisata meliputi usaha penyediaan jasa perencanaan perjalanan dan/atau jasa pelayanan dan penyelenggaraan pariwisata, termasuk penyelenggaraan perjalanan ibadah. Usaha agen perjalanan wisata meliputi usaha jasa pemesanan sarana, seperti pemesanan tiket dan pemesanan akomodasi serta pengurusan dokumen perjalanan. Huruf e
Yang dimaksud dengan usaha "jasa makanan dan minuman" adalah usaha jasa penyediaan makanan dan minuman yang dilengkapi dengan peralatan dan perlengkapan untuk proses pembuatan dapat berupa restoran, kafe, jasa boga, dan bar/kedai minum. Huruf f
Yang dimaksud dengan usaha "penyediaan akomodasi" adalah usaha yang menyediakan pelayanan penginapan yang dapat dilengkapi dengan pelayanan pariwisata lainnya. Usaha penyediaan akomodasi dapat berupa hotel, vila, pondok wisata, bumi perkemahan, persinggahan karavan, dan akomodasi lainnya yang digunakan untuk tujuan pariwisata. Huruf g
Yang dimaksud dengan usaha "penyelenggaraan kegiatan hiburan dan rekreasi" merupakan usaha yang ruang lingkup kegiatannya berupa usaha seni pertunjukan, arena permainan, karaoke, bioskop, serta kegiatan hiburan dan rekreasi lainnya yang bertujuan untuk pariwisata. Huruf h
Yang dimaksud dengan usaha "penyelenggaraan pertemuan, perjalanan insentif, konferensi, dan pameran" adalah usaha yang memberikan jasa bagi suatu pertemuan sekelompok orang, menyelenggarakan perjalanan bagi karyawan dan mitra usaha sebagai imbalan atas prestasinya, serta menyelenggarakan pameran dalam rangka menyebarluaskan informasi dan promosi suatu barang dan jasa yang berskala nasional, regional, dan internasional. Huruf i
Yang dimaksud dengan usaha "jasa informasi pariwisata" adalah usaha yang menyediakan data, berita, feature, foto, video, dan hasil penelitian mengenai kepariwisataan yang disebarkan dalam bentuk bahan cetak dan/atau elektronik. Huruf j
Yang dimaksud dengan usaha "jasa konsultan pariwisata" adalah usaha yang menyediakan saran dan rekomendasi mengenai studi kelayakan, perencanaan, pengelolaan usaha, penelitian, dan pemasaran di bidang kepariwisataan. Huruf k
Cukup jelas. Huruf l
Yang dimaksud dengan "usaha wisata tirta" merupakan usaha yang menyelenggarakan wisata dan olahraga air, termasuk penyediaan sarana dan prasarana serta jasa lainnya yang dikelola secara komersial di perairan laut, pantai, sungai, danau, dan waduk. Huruf m
Yang dimaksud dengan "usaha spa" adalah usaha perawatan yang memberikan layanan dengan metode kombinasi terapi air, terapi aroma, pijat, rempah-rempah, layanan makanan/minuman sehat, dan olah aktivitas fisik dengan tujuan menyeimbangkan jiwa dan raga dengan tetap memperhatikan tradisi dan budaya bangsa Indonesia. Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 15
Cukup jelas. Angka 3
Pasal 16 Dihapus. Angka 4
Pasal 26 Ayat (1) Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan "usaha pariwisata dengan kegiatan yang berisiko tinggi" meliputi, antara lain wisata selam, arung jeram, panjat tebing, permainan jet coaster, dan mengunjungi objek wisata tertentu, seperti melihat satwa liar di alam bebas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Cukup jelas.
Huruf m
Cukup jelas.
Huruf n
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 29 Cukup jelas. Angka 6
Pasal 30 Cukup jelas.
Angka 7
Pasal 54
Cukup jelas. Angka 8
Pasal 56 Dihapus. Angka 9
Pasal 64 Dihapus. Angka 1
Pasal 1 Cukup jelas. Angka 2
Pasal 19 Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 20 Cukup jelas. Angka 4
Pasal 58 Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "jaminan bank" adalah garansi bank atau deposito atas nama biro perjalanan wisata.
Huruf d
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 59 Cukup jelas. Angka 6
Pasal 61 Cukup jelas. Angka 7
Pasal 63 Cukup jelas. Angka 8
Pasal 83 Cukup jelas. Angka 9
Pasal 84 Cukup jelas. Angka 10
Pasal 85 Cukup jelas. Angka 11
Pasal 89 Cukup jelas. Angka 12
Pasal 90 Cukup jelas. Angka 13
Pasal 91 Cukup jelas. Angka 14
Pasal 92
Cukup jelas. Angka 15
Pasal 94 Cukup jelas. Angka 16
Pasal 95 Cukup jelas. Angka 17
Pasal 99 Cukup jelas. Angka 18
Pasal 101 Cukup jelas. Angka 19
Pasal 103 Cukup jelas. Angka 20
Pasal 104 Cukup jelas. Angka 21
Pasal 106 Cukup jelas.
Angka 22
Pasal 118A Cukup jelas.
Angka 23
Pasal 119A Cukup jelas. Angka 24
Pasal 125
Cukup jelas. Angka 25
Pasal 126 Cukup jelas. Cukup jelas.
Pasal 70 Angka 1
Pasal 10 Cukup jelas. Angka 2
Pasal 12 Cukup jelas. Angka 3
Pasal 13 Dihapus. Angka 4
Pasal 39 Cukup jelas. Angka 1
Pasal 11 Ayat (1) Pemenuhan Perizinan Berusaha dalam penyelenggaraan telekomunikasi dimaksudkan sebagai upaya Pemerintah dalam rangka pembinaan untuk mendorong pertumbuhan penyelenggaraan telekomunikasi yang sehat.
Pemerintah memublikasikan secara berkala atas daerah/wilayah yang terbuka untuk penyelenggaraan jaringan dan atau jasa telekomunikasi. Penyelenggaraan telekomunikasi wajib memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Perizinan Berusaha.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 28 Ayat (1) Formula sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini merupakan pola perhitungan untuk menetapkan besaran tarif. Formula tarif terdiri atas formula tarif awal dan formula tarif perubahan. Dalam menetapkan formula tarif awal, yang harus diperhatikan adalah komponen biaya, sedangkan untuk menetapkan formula besaran tarif perubahan diperhatikan juga antara lain faktor inflasi, kemampuan masyarakat, dan kesinambungan pembangunan telekomunikasi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 30 Ayat (1) Ketentuan ini dimaksudkan untuk mengatasi masalah kebutuhan jasa telekomunikasi di suatu daerah yang karena keadaan tertentu belum dapat dijangkau oleh jasa telekomunikasi. Oleh karena itu Undang-Undang ini memandang perlu untuk memberikan kemungkinan kepada penyelenggara telekomunikasi khusus yang sebenarnya hanya bergerak untuk kepentingan sendiri, dapat memberikan pelayanan jasa telekomunikasi kepada masyarakat yang bertempat tinggal di daerah tersebut.
Ayat (2)
Peyelenggara telekomunikasi khusus yang menyelenggarakan jaringan dan atau jasa telekomunikasi dapat melanjutkan penyelenggaraan jaringan dan atau jasa telekomunikasi dengan pertimbangan investasi yang telah dilakukannya dan kesinambungan pelayanan kepada pengguna. Dalam hal ini penyelenggara telekomunikasi khusus yang bersangkutan wajib memenuhi seluruh ketentuan yang berlaku bagi penyelenggaraan jaringan dan/atau jasa telekomunikasi. Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 32 Cukup jelas. Angka 5
Pasal 33 Ayat (1) Pemberian Perizinan Berusaha terkait penggunaan spektrum frekuensi radio didasarkan pada ketersediaan spektrum frekuensi radio dan hasil analisis teknis.
Slot orbit satelit bukan merupakan aset nasional. Pemberian Perizinan Berusaha penggunaan spektrum frekuensi radio dilakukan melalui mekanisme seleksi atau evaluasi. Ayat (2)
Pemberian persetujuan terkait penggunaan spektrum frekuensi radio didasarkan pada ketersediaan spektrum frekuensi radio dan hasil analisis teknis. Pemberian persetujuan terkait penggunaan spektrum frekuensi radio dilakukan melalui mekanisme evaluasi. Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "sesuai dengan peruntukan" adalah penggunaan spektrum frekuensi radio wajib sesuai dengan perencanaan spektrum frekuensi radio dan ketentuan teknis penggunaan spektrum frekuensi radio yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. Yang dimaksud dengan "gangguan yang merugikan" adalah jenis gangguan/inteferensi yang memberikan dampak merugikan terhadap penggunaan spektrum frekuensi radio yang mendapatkan proteksi dari Pemerintah Pusat.
Ayat (4)
Cukup jelas. Ayat (5)
Cukup jelas. Ayat (6)
Cukup jelas. Ayat (7)
Cukup jelas. Ayat (8)
Cukup jelas. Ayat (9)
Cukup jelas. Angka 6
Pasal 34 Ayat (1) Biaya hak penggunaan spektrum frekuensi radio merupakan kompensasi atas penggunaan frekuensi sesuai dengan izin yang diterima. Di samping itu, biaya penggunaan frekuensi dimaksudkan juga sebagai sarana pengawasan dan pengendalian agar frekuensi radio sebagai sumber daya alam terbatas dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin. Besarnya biaya penggunaan frekuensi ditentukan berdasarkan jenis dan lebar pita frekuensi. Jenis frekuensi akan berpengaruh pada mutu penyelenggaraan, sedangkan lebar pita frekuensi akan berpengaruh pada kapasitas/jumlah informasi yang dapat dibawa/dikirimkan. Ayat (2)
Cukup jelas. Angka 7
Pasal 34A Cukup jelas. Pasal 34B
Ayat (1) Yang dimaksud dengan "infrastruktur pasif" termasuk tetapi tidak terbatas pada gorong-gorong (ducting), tiang telekomunikasi (tower), tiang (pole), dan lain-lain yang dapat digunakan untuk penggelaran jaringan telekomunikasi.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "infrastruktur" dalam ketentuan ini adalah infrastruktur aktif.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Angka 8
Pasal 45 Cukup jelas. Angka 9
Pasal 46 Dihapus.
Angka 10
Pasal 47 Cukup jelas. Angka 11
Pasal 48
Dihapus. Angka 1
Pasal 16 Cukup jelas. Angka 2
Pasal 25 Cukup jelas. Angka 3
Pasal 33 Cukup jelas. Angka 4
Pasal 34 Dihapus.
Angka 5
Pasal 55 Cukup jelas. Angka 6
Pasal 57 Cukup jelas. Angka 7
Pasal 58 Cukup jelas. Angka 8
Pasal 60A Ayat (1) Penyelenggaraan penyiaran harus mengikuti perkembangan teknologi untuk meningkatkan efisiensi pemanfaatan spektrum frekuensi radio dan spektrum elektromagnetik lainnya, kualitas penerimaan dan pilihan program siaran radio dan televisi bagi masyarakat, efisiensi dalam operasional penyelenggaraan jasa penyiaran radio dan televisi dan pertumbuhan industri-industri yang terkait dengan bidang penyiaran.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "migrasi penyiaran televisi terestrial dari teknologi analog ke teknologi digital" adalah proses yang dimulai dengan penerapan sistem penyiaran berteknologi digital untuk penyiaran televisi yang diselenggarakan melalui media transmisi terestrial dan dilakukan secara bertahap, serta diakhiri dengan penghentian penggunaan teknologi analog dalam lingkup nasional. Ayat (3)
Cukup jelas. Cukup jelas.
Pasal 74 Angka 1
Pasal 11
Cukup jelas. Angka 2
Pasal 21 Cukup jelas. Angka 3
Pasal 38 Cukup jelas. Angka 4
Pasal 52 Cukup jelas. Angka 5
Pasal 55 Cukup jelas. Angka 6
Pasal 56
Cukup jelas.
Angka 7
Pasal 66 Cukup jelas.
Angka 8
Pasal 67 Cukup jelas. Angka 9
Pasal 68 Cukup jelas. Angka 10
Pasal 69 Cukup jelas. Angka 11
Pasal 69A
Cukup jelas. Angka 12
Pasal 72 Cukup jelas. Angka 13
Pasal 73 Cukup jelas. Angka 14
Pasal 74 Cukup jelas. Angka 15
Pasal 75 Cukup jelas. Pasal 15
Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b
Cukup jelas. Huruf c
Yang dimaksud dengan "penyakit masyarakat" antara lain pengemisan dan pergelandangan, pelacuran, perjudian, penyalahgunaan obat dan narkotika, pemabukan, perdagangan manusia, penghisapan/praktik lintah darat, dan pungutan liar. Wewenang yang dimaksud dalam ayat (1) ini dilaksanakan secara terakomodasi dengan instansi terkait sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Huruf d
Yang dimaksud dengan "aliran" adalah semua aliran atau paham yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa antara lain aliran kepercayaan yang bertentangan dengan falsafah dasar Negara Republik Indonesia.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Yang dimaksud dengan "Tindakan kepolisian" adalah upaya paksa dan/atau tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab guna mewujudkan tertib dan tegaknya hukum serta terbinanya ketenteraman masyarakat.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Keterangan dan barang bukti dimaksud adalah yang berkaitan baik dengan proses pidana maupun dalam rangka tugas kepolisian pada umumnya.
Huruf j
Yang dimaksud dengan "Pusat Informasi Kriminal Nasional" adalah sistem jaringan dari dokumentasi kriminal yang memuat baik data kejahatan dan pelanggaran maupun kecelakaan dan pelanggaran lalu lintas serta registrasi dan identifikasi lalu lintas.
Huruf k
Surat izin dan/atau surat keterangan yang dimaksud dikeluarkan atas dasar permintaan yang berkepentingan.
Huruf l
Wewenang tersebut dilaksanakan berdasarkan permintaan instansi yang berkepentingan atau permintaan masyarakat. Huruf m
Yang dimaksud dengan "barang temuan" adalah barang yang tidak diketahui pemiliknya yang ditemukan oleh anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia atau masyarakat yang diserahkan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia. Barang temuan itu harus dilindungi oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan ketentuan apabila dalam jangka waktu tertentu tidak diambil oleh yang berhak akan diselesaikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kepolisian Negara Republik Indonesia setelah menerima barang temuan wajib segera mengumumkan melalui media cetak, media elektronik dan/atau media pengumuman lainnya. ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud "keramaian umum" dalam hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 510 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yaitu keramaian atau tontonan untuk umum dan mengadakan arak-arakan di jalan umum. Kegiatan masyarakat lainnya adalah kegiatan yang dapat membahayakan keamanan umum seperti diatur dalam Pasal 495 ayat (1), 496, 500, 501 ayat (2), dan 502 ayat (1) KUHP. Huruf b
Cukup jelas. Huruf c
Cukup jelas. Huruf d
Kegiatan politik yang memerlukan pemberitahuan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah kegiatan politik sebagaimana diatur dalam perundang-undangan di bidang politik, antara lain kegiatan kampanye pemilihan umum (pemilu), pawai politik, penyebaran pamflet, dan penampilan gambar/lukisan bermuatan politik yang disebarkan kepada umum. Huruf e
Yang dimaksud dengan "senjata tajam" dalam Undang-Undang ini adalah senjata penikam, senjata penusuk, dan senjata pemukul, tidak termasuk barang-barang yang nyata-nyata dipergunakan untuk pertanian, atau untuk pekerjaan rumah tangga, atau untuk kepentingan melakukan pekerjaan yang sah, atau nyata untuk tujuan barang pusaka, atau barang kuno, atau barang ajaib sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12/Drt/1951. Huruf f
Cukup jelas. Huruf g
Cukup jelas. Huruf h
Yang dimaksud dengan "kejahatan internasional" adalah kejahatan tertentu yang disepakati untuk ditanggulangi antarnegara, antara lain kejahatan narkotika, uang palsu, terorisme, dan perdagangan manusia. Huruf i
Cukup jelas. Huruf j
Dalam pelaksanaan tugas ini Kepolisian Negara Republik Indonesia terikat oleh ketentuan hukum internasional, baik perjanjian bilateral maupun perjanjian multilateral. Dalam hubungan tersebut Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat memberikan bantuan untuk melakukan tindakan kepolisian atas permintaan dari negara lain, sebaliknya Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat meminta bantuan untuk melakukan tindakan kepolisian dari negara lain sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan hukum dari kedua negara. Organisasi kepolisian internasional yang dimaksud, antara lain, International Criminal Police Organization (ICPO-Interpol). Fungsi National Central Bureau ICPO-Interpol Indonesia dilaksanakan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia. Huruf k
Cukup jelas. Ayat (3)
Cukup jelas. Cukup jelas.
Pasal 77 Angka 1
Pasal 2 Lingkup Penanaman Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini tidak termasuk Penanaman Modal tidak langsung atau portofolio. Angka 2
Pasal 12 Ayat (1)
Pelaksanaan kegiatan penanaman modal didasarkan atas kepentingan nasional yang mencakup antara lain pelindungan sumber daya alam, perlindungan, pengembangan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, pengawasan produksi dan distribusi, peningkatan kapasitas teknologi, partisipasi modal dalam negeri, serta kerja sama dengan badan usaha yang ditunjuk Pemerintah.
Kepentingan nasional tersebut dapat mencakup perlindungan atas kegiatan usaha yang dapat membahayakan kesehatan (seperti obat, minuman keras mengandung alkohol), pemberdayaan petani, nelayan, petambak ikan dan garam, usaha mikro dan kecil dengan pengaturan dan persyaratan tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah, namun tetap memperhatikan aspek peningkatan ekosistem penanaman modal. Kegiatan yang hanya dapat dilakukan oleh Pemerintah Pusat merupakan kegiatan yang bersifat pelayanan atau dalam rangka pertahanan dan keamanan, mencakup antara lain: alat utama sistem persenjataan, museum pemerintah, peninggalan sejarah dan purbakala, penyelenggaraan navigasi penerbangan, telekomunikasi/sarana bantu navigasi pelayaran dan vessel. Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Persyaratan penanaman modal ditujukan untuk bidang usaha yang diprioritaskan oleh Pemerintah yang dituangkan dalam bentuk daftar prioritas investasi yang diatur dalam Peraturan Presiden yang meliputi antara lain:
Angka 3
Pasal 13
Ayat (1) Dalam rangka perlindungan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah:
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan "industri pionir" adalah industri yang memiliki keterkaitan yang luas, memberi nilai tambah dan eksternalitas yang tinggi, memperkenalkan teknologi baru, serta memiliki nilai strategis bagi perekonomian nasional.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 22
Ayat (1) Huruf a Cukup jelas.
Huruf b
Yang termasuk dalam pengertian badan hukum Indonesia antara lain adalah Negara Republik Indonesia, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, Koperasi, dan badan usaha milik swasta.
Huruf c
Badan hukum asing yang mendirikan Bank Umum terlebih dahulu harus memperoleh rekomendasi dari otoritas moneter negara asal. Rekomendasi dimaksud sekurang-kurangnya memuat keterangan badan hukum asing yang bersangkutan mempunyai reputasi yang baik dan tidak pernah melakukan perbuatan tercela di bidang Perbankan. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 9
Ayat (1) Huruf a Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Badan hukum asing yang mendirikan Bank Umum Syariah terlebih dahulu harus memperoleh rekomendasi dari otoritas moneter negara asal. Rekomendasi dimaksud sekurang-kurangnya memuat keterangan badan hukum asing yang bersangkutan mempunyai reputasi yang baik dan tidak pernah melakukan perbuatan tercela di bidang Perbankan.
Ayat (2)
Cukup jelas. Ayat (3)
Persyaratan dan tata cara kepemilikan Bank Umum Syariah oleh badan hukum asing ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan. Cukup jelas.
Pasal 81 Angka 1
Pasal 13 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan "lembaga pelatihan kerja pemerintah" adalah lembaga pelatihan kerja yang dimiliki oleh pemerintah.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "lembaga pelatihan kerja swasta" adalah lembaga yang dimiliki oleh swasta. Huruf c
Yang dimaksud dengan "lembaga pelatihan kerja perusahaan" adalah unit pelatihan yang terdapat di dalam perusahaan. Ayat (2)
Cukup jelas. Ayat (3)
Cukup jelas. Ayat (4)
Cukup jelas. Angka 2
Pasal 14 Cukup jelas. Angka 3
Pasal 37 Cukup jelas. Angka 4
Pasal 42 Cukup jelas. Angka 5
Pasal 43 Dihapus. Angka 6
Pasal 44 Dihapus.
Angka 7
Pasal 45 Ayat (1) Huruf a
Tenaga kerja pendamping tenaga kerja asing tidak secara otomatis menggantikan atau menduduki jabatan tenaga kerja asing yang didampinginya. Pendampingan tersebut lebih dititiberatkan pada alih teknologi dan alih keahlian agar tenaga kerja pendamping tersebut dapat memiliki kemampuan sehingga pada waktunya diharapkan dapat mengganti tenaga kerja asing yang didampinginya.
Huruf b
Pendidikan dan pelatihan kerja oleh pemberi kerja tersebut dapat dilaksanakan baik di dalam negeri maupun dengan mengirimkan tenaga kerja Indonesia untuk berlatih ke luar negeri. Huruf c
Cukup jelas. Ayat (2)
Cukup jelas. Angka 8
Pasal 46 Dihapus. Angka 9
Pasal 47 Ayat (1) Kewajiban membayar kompensasi dimaksudkan dalam rangka menunjang upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Angka 10
Pasal 48 Dihapus. Angka 11
Pasal 49 Cukup jelas. Angka 12
Pasal 56 Cukup jelas. Angka 13
Pasal 57 Cukup jelas. Angka 14
Pasal 58 Cukup jelas. Angka 15
Pasal 59 Ayat (1)
Perjanjian kerja dalam ayat ini dicatatkan ke instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan pekerjaan yang bersifat tetap dalam ayat ini adalah pekerjaan yang sifatnya terus menerus, tidak terputus-putus, tidak dibatasi waktu dan merupakan bagian dari suatu proses produksi dalam satu perusahaan atau pekerjaan yang bukan musiman. Pekerjaan yang bukan musiman adalah pekerjaan yang tidak tergantung cuaca atau suatu kondisi tertentu. Apabila pekerjaan itu merupakan pekerjaan yang terus menerus, tidak terputus-putus, tidak dibatasi waktu, dan merupakan bagian dari suatu proses produksi, tetapi tergantung cuaca atau pekerjaan itu dibutuhkan karena adanya suatu kondisi tertentu maka pekerjaan tersebut merupakan pekerjaan musiman yang tidak termasuk pekerjaan tetap sehingga dapat menjadi objek perjanjian kerja waktu tertentu. Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 16
Pasal 61 Ayat (1) Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Keadaan atau kejadian tertentu seperti bencana alam, kerusuhan sosial, atau gangguan keamanan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud hak-hak yang sesuai dengan peraturan perundang- undangan atau hak-hak yang telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama adalah hak-hak yang harus diberikan yang lebih baik dan menguntungkan pekerja/buruh yang bersangkutan.
Angka 17
Pasal 61A Cukup jelas. Angka 18
Pasal 64 Dihapus. Angka 19
Pasal 65 Dihapus. Angka 20
Pasal 66 Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh" yaitu perusahaan alih daya yang baru memberikan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh minimal sama dengan hak-hak yang diberikan oleh perusahaan alih daya sebelumnya.
Yang dimaksud "obyek pekerjaannya tetap ada" adalah pekerjaan yang ada pada 1 (satu) perusahaan pemberi pekerjaan yang sama. Ayat (4)
Cukup jelas. Ayat (5)
Cukup jelas. Ayat (6)
Cukup jelas. Angka 21
Pasal 77 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu dapat diberlakukan ketentuan waktu kerja yang kurang atau lebih dari 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu atau 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Angka 22
Pasal 78 Ayat (1) Mempekerjakan lebih dari waktu kerja sedapat mungkin harus dihindarkan karena pekerja/buruh harus mempunyai waktu yang cukup untuk istirahat dan memulihkan kebugarannya. Namun, dalam hal-hal tertentu terdapat kebutuhan yang mendesak yang harus diselesaikan segera dan tidak dapat dihindari sehingga pekerja/buruh harus bekerja melebihi waktu kerja.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 23
Pasal 79
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5) Bagi perusahaan yang telah memberlakukan istirahat panjang tidak boleh mengurangi dari ketentuan yang sudah ada.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Angka 24
Pasal 88
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan "alasan tertentu" antara lain alasan karena pekerja/buruh sedang berhalangan, melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya, atau menjalankan hak waktu istirahatnya.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Yang dimaksud dengan "hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah" antara lain berupa denda, ganti rugi, pemotongan upah untuk pihak ketiga, uang muka upah, sewa rumah dan/atau sewa barang-barang milik perusahaan yang disewakan oleh pengusaha kepada pekerja/buruh, hutang atau cicilan hutang pekerja/buruh kepada pengusaha, atau kelebihan pembayaran upah.
Huruf g
Yang dimaksud dengan "upah sebagai dasar perhitungan atau pembayaran hak dan kewajiban lainnya" antara lain upah untuk pembayaran pesangon atau upah untuk perhitungan pajak penghasilan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 25
Pasal 88A Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Pengusaha dilarang tidak membayar upah bagi pekerja/buruh.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Pasal 88B
Cukup jelas.
Pasal 88C
Cukup jelas. Pasal 88D
Cukup jelas. Pasal 88E
Cukup jelas. Angka 26
Pasal 89 Dihapus. Angka 27
Pasal 90 Dihapus. Angka 28
Pasal 90A Cukup jelas. Pasal 90B
Cukup jelas. Angka 29
Pasal 91 Dihapus. Angka 30
Pasal 92 Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2)
Penyusunan struktur dan skala upah dimaksudkan sebagai pedoman penetapan upah sehingga terdapat kepastian upah tiap pekerja/buruh serta mengurangi kesenjangan antara upah terendah dan tertinggi di perusahaan yang bersangkutan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 31
Pasal 92A Peninjauan upah dilakukan untuk penyesuaian harga kebutuhan hidup, prestasi kerja, perkembangan, dan kemampuan perusahaan. Angka 32
Pasal 94 Yang dimaksud dengan "tunjangan tetap" adalah pembayaran kepada pekerja/buruh yang dilakukan secara teratur dan tidak dikaitkan dengan kehadiran pekerja/buruh atau pencapaian prestasi kerja tertentu. Angka 33
Pasal 95 Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud "didahulukan pembayarannya" yaitu pembayaran upah pekerja/buruh didahulukan dari semua jenis kreditur termasuk kreditur separatis atau kreditur pemegang hak jaminan kebendaan, tagihan hak negara, kantor lelang dan badan umum yang dibentuk pemerintah.
Ayat (3)
Cukup jelas. Angka 34
Pasal 96 Dihapus. Angka 35
Pasal 97 Dihapus. Angka 36
Pasal 98 Cukup jelas. Angka 37
Pasal 151 Ayat (1) Yang dimaksud dengan mengupayakan adalah kegiatan-kegiatan yang positif yang pada akhirnya dapat menghindari terjadinya pemutusan hubungan kerja antara lain pengaturan waktu kerja, penghematan, pembenahan metode kerja, dan memberikan pembinaan kepada pekerja/buruh.
Ayat (2)
Cukup jelas. Ayat (3)
Cukup jelas. Ayat (4)
Cukup jelas. Angka 38
Pasal 151A Cukup jelas. Angka 39
Pasal 152 Dihapus. Angka 40
Pasal 153 Cukup jelas. Angka 41
Pasal 154 Dihapus. Angka 42
Pasal 154A Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2)
Perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atau mengatur lebih baik dari peraturan perundang-undangan.
Angka 43
Pasal 155 Dihapus. Angka 44
Pasal 156 Cukup jelas. Angka 45
Pasal 157
Cukup jelas. Angka 46
Pasal 157A Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "hak lainnya" yaitu hak-hak lain yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan dan perjanjian kerja bersama.
Contoh: hak cuti yang belum diambil dan belum gugur. Ayat (3)
Yang dimaksud "sesuai tingkatannya" adalah penyelesaian perselisihan di tingkat bipartit atau mediasi/konsiliasi/arbitrase atau pengadilan hubungan industrial.
Angka 47
Pasal 158 Dihapus. Angka 48
Pasal 159 Dihapus. Angka 49
Pasal 160 Ayat (1) Keluarga pekerja/buruh yang menjadi tanggungan adalah istri/suami, anak atau orang yang sah menjadi tanggungan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Ayat (2)
Cukup jelas. Ayat (3)
Cukup jelas. Ayat (4)
Cukup jelas. Ayat (5)
Cukup jelas. Angka 50
Pasal 161
Dihapus. Angka 51
Pasal 162 Dihapus. Angka 52
Pasal 163 Dihapus. Angka 53
Pasal 164 Dihapus. Angka 54
Pasal 165
Dihapus. Angka 55
Pasal 166 Dihapus. Angka 56
Pasal 167 Dihapus. Angka 57
Pasal 168 Dihapus.
Angka 58
Pasal 169 Dihapus.
Angka 59
Pasal 170
Dihapus. Angka 60
Pasal 171 Dihapus. Angka 61
Pasal 172 Dihapus. Angka 62
Pasal 184
Dihapus. Angka 63
Pasal 185 Cukup jelas. Angka 64
Pasal 186
Cukup jelas. Angka 65
Pasal 187 Cukup jelas. Angka 66
Pasal 188 Cukup jelas. Angka 67
Pasal 190 Cukup jelas.
Angka 68
Pasal 191A Cukup jelas.
Pasal 82Angka 1
Pasal 18 Cukup jelas. Angka 2
Pasal 46A Cukup jelas. Pasal 46B
Cukup jelas. Pasal 46C
Cukup jelas. Pasal 46D
Cukup jelas. Pasal 46E
Ayat (1) Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud "rekomposisi iuran" adalah rekomposisi iuran yang tidak berasal dari pekerja/buruh tanpa mengurangi manfaat program jaminan sosial lainnya yang menjadi hak pekerja/buruh.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 83 Angka 1
Pasal 6 Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 9 Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 42 Cukup jelas.
Pasal 84 Angka 1
Pasal 1 Cukup jelas. Angka 2
Pasal 51
Cukup jelas. Angka 3
Pasal 53 Cukup jelas. Angka 4
Pasal 57 Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 89A Cukup jelas. Cukup jelas.
Pasal 86 Angka 1
Pasal 6
Ayat (1) Persyaratan ini dimaksudkan untuk menjaga kelayakan usaha dan kehidupan Koperasi.
Orang seorang pembentuk Koperasi adalah mereka yang memenuhi persyaratan keanggotaan dan mempunyai kepentingan ekonomi yang sama. Ayat (2)
Cukup jelas. Angka 2
Pasal 17
Ayat (1)
Sebagai pemilik dan pengguna jasa Koperasi, anggota berpartisipasi aktif dalam kegiatan Koperasi. Sekalipun demikian, sepanjang tidak merugikan kepentingannya, Koperasi dapat pula memberikan pelayanan kepada bukan anggota sesuai dengan sifat kegiatan usahanya, dengan maksud untuk menarik yang bukan anggota menjadi anggota Koperasi. Ayat (2)
Buku daftar anggota koperasi dapat berbentuk dokumen tertulis atau dokumen elektronik. Angka 3
Pasal 21 Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 22 Cukup jelas. Angka 5
Pasal 43 Ayat (1) Usaha Koperasi terutama diarahkan pada bidang usaha yang berkaitan langsung dengan kepentingan anggota baik untuk menunjang usaha maupun kesejahteraannya. Dalam hubungan ini maka pengelolaan usaha Koperasi harus dilakukan secara produktif, efektif dan efisien dalam arti pelayanan usaha yang dapat meningkatkan nilai tambah dan manfaat yang sebesar-besarnya pada anggota dengan tetap mempertimbangkan untuk memperoleh sisa hasil usaha yang wajar. Untuk mencapai kemampuan usaha seperti tersebut diatas, maka Koperasi dapat berusaha secara luwes baik ke hulu maupun ke hilir serta berbagai jenis usaha lainnya yang terkait. Adapun mengenai pelaksanaan usaha Koperasi, dapat dilakukan dimana saja, baik di dalam maupun di luar negeri, dengan mempertimbangkan kelayakan usahanya. Ayat (2)
Cukup jelas. Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "kelebihan kemampuan pelayanan Koperasi" adalah kelebihan kapasitas dana dan daya yang dimiliki oleh Koperasi untuk melayani anggotanya. Kelebihan kapasitas tersebut oleh Koperasi dapat dimanfaatkan untuk berusaha dengan bukan anggota dengan tujuan untuk mengoptimalkan skala ekonomi dalam arti memperbesar volume usaha dan menekan biaya per unit yang memberikan manfaat sebesar-besarnya kepada anggotanya serta memasyarakatkan Koperasi. Ayat (4)
Agar Koperasi dapat mewujudkan fungsi dan peran seperti yang dimaksud dalam Pasal 4 maka Koperasi melaksanakan usaha di segala bidang kehidupan ekonomi dan berperan utama dalam kehidupan ekonomi rakyat. Yang dimaksud dengan "kehidupan ekonomi rakyat" adalah semua kegiatan ekonomi yang dilaksanakan dan menyangkut kepentingan orang banyak. Ayat (5)
Cukup jelas. Angka 6
Pasal 44A Cukup jelas. Angka 1
Pasal 6 Cukup jelas. Angka 2
Pasal 12 Ayat (1)
Huruf a Yang dimaksud dengan "menyederhanakan tata cara dan jenis perizinan" adalah memberikan kemudahan persyaratan dan tata cara perizinan serta informasi yang seluas-luasnya.
Yang dimaksud dengan "sistem pelayanan terpadu satu pintu" adalah proses pengelolaan perizinan usaha yang dimulai dari tahap permohonan sampai dengan tahap terbitnya dokumen, dilakukan dalam satu tempat berdasarkan prinsip pelayanan sebagai berikut:
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 21
Cukup jelas. Angka 4
Pasal 25 Dihapus. Angka 5
Pasal 26 Huruf a Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Yang dimaksud dengan "bentuk-bentuk kemitraan lain" seperti bagi hasil, kerja sama operasional, usaha patungan (joint venture), dan penyumberluaran (outsourcing).
Angka 6 Pasal 30 Cukup jelas. Angka 7
Pasal 32A Cukup jelas. Angka 8
Pasal 35 Ayat (1) Yang dimaksud "memiliki" adalah adanya peralihan kepemilikan secara yuridis atas badan usaha/perusahaan dan/atau aset atau kekayaan yang dimiliki Usaha Mikro, Kecil, dan/atau Menengah oleh Usaha Besar sebagai mitra usahanya dalam pelaksanaan hubungan kemitraan.
Ayat (2)
Yang dimaksud "menguasai" adalah adanya peralihan penguasaan secara yuridis atas kegiatan usaha yang dijalankan dan/atau aset atau kekayaan dimiliki Usaha Mikro, Kecil, dan/atau Menengah oleh Usaha Besar sebagai mitra usahanya dalam pelaksanaan hubungan kemitraan.
Pasal 88 Cukup jelas.
Pasal 89 Cukup jelas.
Pasal 90 Cukup jelas.
Pasal 91 Cukup jelas.
Pasal 92 Ayat (1)
Cukup jelas. Ayat (2)
Cukup jelas. Ayat (3)
Yang dimaksud dengan insentif kepabeanan antara lain pemberian keringanan atau pembebasan bea masuk. Ayat (4)
Pelaku usaha mikro perlu diberikan dukungan antara lain melalui pemberian insentif Pajak Penghasilan agar dapat meningkatkan kapasitas dan skala usahanya untuk berkembang.
Pemberian dukungan dukungan insentif Pajak Penghasilan tersebut juga ditujukan sebagai sarana pembelajaran bagi pelaku usaha mikro agar dapat lebih memahami hak dan kewajiban perpajakan. Insentif Pajak Penghasilan diberikan kepada pelaku usaha mikro tertentu berdasarkan basis data tunggal usaha mikro, kecil, dan menengah agar insentif yang diberikan tepat sasaran. Pasal 93 Cukup jelas.
Pasal 94 Cukup jelas.
Pasal 95 Cukup jelas.
Pasal 96 Cukup jelas.
Pasal 97 Cukup jelas.
Pasal 98 Cukup jelas.
Pasal 99 Cukup jelas.
Pasal 100 Cukup jelas.
Pasal 101 Cukup jelas.
Pasal 102 Huruf a
Yang dimaksud dengan pembiayaan alternatif untuk UMK-M antara lain meliputi:
Huruf b
Cukup jelas. Huruf c
Cukup jelas. Huruf d
Cukup jelas. Huruf e
Cukup jelas. Pasal 53A
Cukup jelas. Cukup jelas.
Pasal 105 Cukup jelas.
Pasal 106 Angka 1
Pasal 1 Cukup jelas. Angka 2
Pasal 38
Visa kunjungan dalam penerapannya dapat diberikan untuk melakukan kegiatan, antara lain:
Angka 3
Pasal 39 Ayat (1) Huruf a
Yang dimaksud dengan "Visa tinggal terbatas rumah kedua" adalah Visa yang diberikan kepada Orang Asing beserta keluarganya untuk tinggal menetap di Indonesia selama 5 (lima) tahun atau 10 (sepuluh) tahun setelah memenuhi persyaratan tertentu.
Huruf b
Cukup jelas. Ayat (2)
Cukup jelas. Angka 4
Pasal 40 Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 46 Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "bertempat tinggal di Wilayah Indonesia" adalah dalam rangka tugas penempatan di perwakilan negara setempat atau perwakilan organisasi internasional. Ayat (2)
Cukup jelas. Ayat (3)
Cukup jelas. Ayat (4)
Cukup jelas. Angka 6
Pasal 54 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan "rohaniwan" adalah pemuka agama yang diakui di Indonesia. Huruf b Yang dimaksud dengan "keluarga" adalah suami/istri, dan anak.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas. Ayat (3)
Cukup jelas. Ayat (4)
Cukup jelas. Angka 7
Pasal 63 Cukup jelas. Angka 8
Pasal 71
Cukup jelas. Angka 1
Pasal 3
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2)
Paten sederhana diberikan untuk Invensi yang berupa produk yang bukan sekadar berbeda ciri teknisnya, tetapi harus memiliki fungsi/kegunaan yang lebih praktis daripada Invensi sebelumnya yang disebabkan bentuk, konfigurasi, konstruksi, atau komponennya yang mencakup alat, barang, mesin, komposisi, formula, penggunaan, senyawa, atau sistem. Paten sederhana juga diberikan untuk Invensi yang berupa proses atau metode yang baru.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 20
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 82 Ayat (1) Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Keadaan ini biasanya terjadi dalam pelaksanaan Paten yang merupakan hasil penyempurnaan atau pengembangan Invensi yang lebih dahulu telah dilindung Paten. Oleh karenanya pelaksanaan Paten yang baru tersebut berarti melaksanakan sebagian atau seluruh Invensi yang telah dilindungi Paten yang dimiliki oleh pihak lain. Jika Pemegang Paten terdahulu memberi Lisensi kepada Pemegang Paten berikutnya, yang memungkinkan terlaksananya Paten berikutnya tersebut, maka dalam hal ini tidak ada masalah pelanggaran Paten. Tetapi kalau Lisensi untuk itu tidak diberikan, semestinya Undang-Undang ini menyediakan jalan keluarnya. Ketentuan ini dimaksudkan agar Paten yang diberikan belakangan dapat dilaksanakan tanpa melanggar Paten yang terdahulu melalui pemberian Lisensi-wajib oleh Menteri.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 122 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "satu Invensi" adalah Paten sederhana hanya diajukan untuk satu klaim mandiri produk atau satu klaim mandiri proses, tetapi dapat terdiri atas beberapa klaim turunan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 123
Cukup jelas. Angka 6
Pasal 124 Cukup jelas. Angka 1
Pasal 20 Huruf a Yang dimaksud dengan "bertentangan dengan ketertiban umum" adalah tidak sejalan dengan peraturan yang ada dalam masyarakat yang sifatnya menyeluruh seperti menyinggung perasaan masyarakat atau golongan, menyinggung kesopanan atau etika umum masyarakat, dan menyinggung ketentraman masyarakat atau golongan.
Huruf b
Merek tersebut berkaitan atau hanya menyebutkan barang dan/atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya. Huruf c
Yang dimaksud dengan "memuat unsur yang dapat menyesatkan" misalnya Merek "Kecap No.1" tidak dapat didaftarkan karena menyesatkan masyarakat terkait dengan kualitas barang, Merek "netto 100 gram" tidak dapat didaftarkan karena menyesatkan masyarakat terkait dengan ukuran barang. Huruf d
Yang dimaksud dengan "memuat keterangan yang tidak sesuai dengan kualitas, manfaat, atau khasiat dari barang dan/atau jasa yang diproduksi" adalah mencantumkan keterangan yang tidak sesuai dengan kualitas, manfaat, khasiat, dan/atau risiko dari produk dimaksud. Contohnya: obat yang dapat menyembuhkan seribu satu penyakit, rokok yang aman bagi kesehatan. Huruf e Tanda dianggap tidak memiliki daya pembeda apabila tanda tersebut terlalu sederhana seperti satu tanda garis atau satu tanda titik, ataupun terlalu rumit sehingga tidak jelas.
Huruf f
Yang dimaksud dengan "nama umum" antara lain Merek "rumah makan" untuk restoran, Merek "warung kopi" untuk kafe. Adapun "lambang milik umum" antara lain "lambang tengkorak" untuk barang berbahaya, lambang "tanda racun" untuk bahan kimia, "lambang sendok dan garpu" untuk jasa restoran. Huruf g
Cukup jelas. Angka 2
Pasal 23 Cukup jelas. Angka 3
Pasal 25 Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Yang dimaksud dengan "tanggal pendaftaran" adalah tanggal didaftarnya Merek.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Pasal 109 Angka 1
Pasal 1 Cukup jelas. Angka 2
Pasal 7
Ayat (1) Yang dimaksud dengan "orang" adalah orang perseorangan, baik warga negara Indonesia maupun asing atau badan hukum Indonesia atau asing. Ketentuan dalam ayat ini menegaskan prinsip yang berlaku berdasarkan undang-undang ini bahwa pada dasarnya sebagai badan hukum, Perseroan didirikan berdasarkan perjanjian, karena itu mempunyai lebih dari 1 (satu) orang pemegang saham. Ayat (2)
Cukup jelas. Ayat (3)
Dalam hal Peleburan seluruh aktiva dan pasiva Perseroan yang meleburkan diri masuk menjadi modal Perseroan hasil Peleburan dan pendiri tidak mengambil bagian saham sehingga pendiri dari Perseroan hasil Peleburan adalah Perseroan yang meleburkan diri dan nama pemegang saham dari Perseroan hasil Peleburan adalah nama pemegang saham dari Perseroan yang meleburkan diri. Ayat (4)
Cukup jelas. Ayat (5)
Cukup jelas. Ayat (6)
Perikatan dan kerugian Perseroan yang menjadi tanggung jawab pribadi pemegang saham adalah perikatan dan kerugian yang terjadi setelah lewat waktu 6 (enam) bulan tersebut. Yang dimaksud dengan "pihak yang berkepentingan" adalah kejaksaan untuk kepentingan umum, pemegang saham, Direksi, Dewan Komisaris, karyawan Perseroan, kreditor, dan/atau pemangku kepentingan (stakeholder) lainnya. Ayat (7)
Karena status dan karakteristik yang khusus, persyaratan jumlah pendiri bagi Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat ini diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri. Huruf a
Yang dimaksud dengan "persero" adalah badan usaha milik negara yang berbentuk Perseroan yang modalnya terbagi dalam saham yang diatur dalam undang-undang tentang badan usaha milik negara.
Huruf b
Cukup jelas. Huruf c
Cukup jelas. Huruf d
Cukup jelas. Huruf e
Cukup jelas. Ayat (8)
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 32
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Ketentuan pada ayat ini diperlukan untuk mengantisipasi perubahan keadaan perekonomian.
Angka 4
Pasal 153
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 153A
Cukup jelas.
Pasal 153B
Ayat (1)
Modal dasar perseroan untuk usaha mikro dan kecil berasal dari kekayaan pendiri yang dipisahkan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 153C
Cukup jelas.
Pasal 153D
Cukup jelas.
Pasal 153E
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "orang perseorangan" adalah orang yang cakap melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Ayat (2)
Cukup jelas. Pasal 153F
Cukup jelas.
Pasal 153G
Cukup jelas.
Pasal 153H
Cukup jelas.
Pasal 153I
Cukup jelas.
Pasal 153J
Cukup jelas.
Pasal 110 Dihapus.
Pasal 111 Angka 1
Pasal 2
Ayat (1)
Huruf a
Orang pribadi sebagai subjek pajak dapat bertempat tinggal atau berada di Indonesia ataupun di luar Indonesia. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan merupakan subjek pajak pengganti, menggantikan mereka yang berhak yaitu ahli waris. Penunjukan warisan yang belum terbagi sebagai subjek pajak pengganti dimaksudkan agar pengenaan pajak atas penghasilan yang berasal dari warisan tersebut tetap dapat dilaksanakan.
Huruf b
Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap. Badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah merupakan subjek pajak tanpa memperhatikan nama dan bentuknya sehingga setiap unit tertentu dari badan Pemerintah, misalnya lembaga, badan, dan sebagainya yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan untuk memperoleh penghasilan merupakan subjek pajak. Dalam pengertian perkumpulan termasuk pula asosiasi, persatuan, perhimpunan, atau ikatan dari pihak-pihak yang mempunyai kepentingan yang sama. Huruf c
Cukup jelas. Ayat (1a)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Subjek pajak dibedakan menjadi subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri. Subjek pajak orang pribadi dalam negeri menjadi Wajib Pajak apabila telah menerima atau memperoleh penghasilan yang besarnya melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak. Subjek pajak badan dalam negeri menjadi Wajib Pajak sejak saat didirikan, atau bertempat kedudukan di Indonesia. Subjek pajak luar negeri baik orang pribadi maupun badan sekaligus menjadi Wajib Pajak karena menerima dan/atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia atau menerima dan/atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia melalui bentuk usaha tetap di Indonesia. Dengan perkataan lain, Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang telah memenuhi kewajiban subjektif dan objektif. Sehubungan dengan pemilikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), Wajib Pajak orang pribadi yang menerima penghasilan di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) tidak wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP.
Perbedaan yang penting antara Wajib Pajak dalam negeri dan Wajib Pajak luar negeri terletak dalam pemenuhan kewajiban pajaknya, antara lain:
Bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia, pemenuhan kewajiban perpajakannya dipersamakan dengan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak badan dalam negeri sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini dan Undang-Undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan.
Ayat (3)
Huruf a Pada prinsipnya orang pribadi yang menjadi subjek pajak dalam negeri adalah orang pribadi yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia. Termasuk dalam pengertian orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia adalah mereka yang mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia. Apakah seseorang mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia ditimbang menurut keadaan.
Keberadaan orang pribadi di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari tidaklah harus berturut-turut, tetapi ditentukan oleh jumlah hari orang tersebut berada di Indonesia dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak kedatangannya di Indonesia. Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Warisan yang belum terbagi yang ditinggalkan oleh orang pribadi subjek pajak dalam negeri dianggap sebagai subjek pajak dalam negeri dalam pengertian Undang-Undang ini mengikuti status pewaris. Adapun untuk pelaksanaan pemenuhan kewajiban perpajakannya, warisan tersebut menggantikan kewajiban ahli waris yang berhak. Apabila warisan tersebut telah dibagi, kewajiban perpajakannya beralih kepada ahli waris.
Warisan yang belum terbagi yang ditinggalkan oleh orang pribadi sebagai subjek pajak luar negeri yang tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia, tidak dianggap sebagai subjek pajak pengganti karena pengenaan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi dimaksud melekat pada objeknya. Ayat (4)
Subjek pajak luar negeri adalah orang pribadi atau badan yang bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di luar Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia, baik melalui maupun tanpa melalui bentuk usaha tetap. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, tetapi berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan maka orang tersebut adalah subjek pajak luar negeri.
Apabila penghasilan diterima atau diperoleh melalui bentuk usaha tetap maka terhadap orang pribadi atau badan tersebut dikenai pajak melalui bentuk usaha tetap. Orang pribadi atau badan tersebut, statusnya tetap sebagai subjek pajak luar negeri. Dengan demikian, bentuk usaha tetap tersebut menggantikan orang pribadi atau badan sebagai subjek pajak luar negeri dalam memenuhi kewajiban perpajakannya di Indonesia. Dalam hal penghasilan tersebut diterima atau diperoleh tanpa melalui bentuk usaha tetap maka pengenaan pajaknya dilakukan langsung kepada subjek pajak luar negeri tersebut.
Ayat (5)
Suatu bentuk usaha tetap mengandung pengertian adanya suatu tempat usaha (place of business) yaitu fasilitas yang dapat berupa tanah dan gedung termasuk juga mesin-mesin, peralatan, gudang dan komputer atau agen elektronik atau peralatan otomatis (automated equipment) yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan aktivitas usaha melalui internet.
Tempat usaha tersebut bersifat permanen dan digunakan untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dari orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia.
Pengertian bentuk usaha tetap mencakup pula orang pribadi atau badan selaku agen yang kedudukannya tidak bebas yang bertindak untuk dan atas nama orang pribadi atau badan yang tidak bertempat tinggal atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia tidak dapat dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia apabila orang pribadi atau badan dalam menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia menggunakan agen, broker atau perantara yang mempunyai kedudukan bebas, asalkan agen atau perantara tersebut dalam kenyataannya bertindak sepenuhnya dalam rangka menjalankan perusahaannya sendiri. Perusahaan asuransi yang didirikan dan bertempat kedudukan di luar Indonesia dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia apabila perusahaan asuransi tersebut menerima pembayaran premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia melalui pegawai, perwakilan atau agennya di Indonesia. Menanggung risiko di Indonesia tidak berarti bahwa peristiwa yang mengakibatkan risiko tersebut terjadi di Indonesia. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa pihak tertanggung bertempat tinggal, berada, atau bertempat kedudukan di Indonesia. Ayat (6)
Penentuan tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan penting untuk menetapkan Kantor Pelayanan Pajak mana yang mempunyai yurisdiksi pemajakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan tersebut.
Pada dasarnya tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan ditentukan menurut keadaan yang sebenarnya. Dengan demikian penentuan tempat tinggal atau tempat kedudukan tidak hanya didasarkan pada pertimbangan yang bersifat formal, tetapi lebih didasarkan pada kenyataan. Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan oleh Direktur Jenderal Pajak dalam menentukan tempat tinggal seseorang atau tempat kedudukan badan tersebut, antara lain domisili, alamat tempat tinggal, tempat tinggal keluarga, tempat menjalankan usaha pokok atau hal-hal lain yang perlu dipertimbangkan untuk memudahkan pelaksanaan pemenuhan kewajiban pajak. Angka 2
Pasal 4 Ayat (1) Undang-Undang ini menganut prinsip pemajakan atas penghasilan dalam pengertian yang luas, yaitu bahwa pajak dikenakan atas setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dari manapun asalnya yang dapat dipergunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan Wajib Pajak tersebut.
Pengertian penghasilan dalam Undang-Undang ini tidak memperhatikan adanya penghasilan dari sumber tertentu, tetapi pada adanya tambahan kemampuan ekonomis. Tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak merupakan ukuran terbaik mengenai kemampuan Wajib Pajak tersebut untuk ikut bersama-sama memikul biaya yang diperlukan pemerintah untuk kegiatan rutin dan pembangunan. Dilihat dari mengalirnya tambahan kemampuan ekonomis kepada Wajib Pajak, penghasilan dapat dikelompokkan menjadi:
Dilihat dari penggunaannya, penghasilan dapat dipakai untuk konsumsi dan dapat pula ditabung untuk menambah kekayaan Wajib Pajak.
Karena Undang-Undang ini menganut pengertian penghasilan yang luas maka semua jenis penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu tahun pajak digabungkan untuk mendapatkan dasar pengenaan pajak. Dengan demikian, apabila dalam satu tahun pajak suatu usaha atau kegiatan menderita kerugian, kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan lainnya (kompensasi horizontal), kecuali kerugian yang diderita di luar negeri. Namun demikian, apabila suatu jenis penghasilan dikenai pajak dengan tarif yang bersifat final atau dikecualikan dari objek pajak, maka penghasilan tersebut tidak boleh digabungkan dengan penghasilan lain yang dikenai tarif umum. Contoh-contoh penghasilan yang disebut dalam ketentuan ini dimaksudkan untuk memperjelas pengertian tentang penghasilan yang luas yang tidak terbatas pada contoh-contoh dimaksud. Huruf a
Semua pembayaran atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan, seperti upah, gaji, premi asuransi jiwa, dan asuransi kesehatan yang dibayar oleh pemberi kerja, atau imbalan dalam bentuk lainnya adalah Objek Pajak. Pengertian imbalan dalam bentuk lainnya termasuk imbalan dalam bentuk natura yang pada hakikatnya merupakan penghasilan. Huruf b
Dalam pengertian hadiah termasuk hadiah dari undian, pekerjaan, dan kegiatan seperti hadiah undian tabungan, hadiah dari pertandingan olahraga dan lain sebagainya.
Yang dimaksud dengan penghargaan adalah imbalan yang diberikan sehubungan dengan kegiatan tertentu, misalnya imbalan yang diterima sehubungan dengan penemuan benda-benda purbakala. Huruf c
Cukup jelas. Huruf d
Apabila Wajib Pajak menjual harta dengan harga yang lebih tinggi dari nilai sisa buku atau lebih tinggi dari harga atau nilai perolehan, selisih harga tersebut merupakan keuntungan. Dalam hal penjualan harta tersebut terjadi antara badan usaha dan pemegang sahamnya, harga jual yang dipakai sebagai dasar untuk penghitungan keuntungan dari penjualan tersebut adalah harga pasar. Misalnya, PT S memiliki sebuah mobil yang digunakan dalam kegiatan usahanya dengan nilai sisa buku sebesar Rp40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah). Mobil tersebut dijual dengan harga Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). Dengan demikian, keuntungan PT S yang diperoleh karena penjualan mobil tersebut adalah Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah). Apabila mobil tersebut dijual kepada salah seorang pemegang sahamnya dengan harga Rp55.000.000,00 (lima puluh lima juta rupiah), nilai jual mobil tersebut tetap dihitung berdasarkan harga pasar sebesar Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). Selisih sebesar Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) merupakan keuntungan bagi PT S dan bagi pemegang saham yang membeli mobil tersebut selisih sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) merupakan penghasilan. Apabila suatu badan dilikuidasi, keuntungan dari penjualan harta, yaitu selisih antara harga jual berdasarkan harga pasar dan nilai sisa buku harta tersebut, merupakan objek pajak. Demikian juga selisih lebih antara harga pasar dan nilai sisa buku dalam hal terjadi penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha merupakan penghasilan. Dalam hal terjadi pengalihan harta sebagai pengganti saham atau penyertaan modal, keuntungan berupa selisih antara harga pasar dari harta yang diserahkan dan nilai bukunya merupakan penghasilan. Keuntungan berupa selisih antara harga pasar dan nilai perolehan atau nilai sisa buku atas pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan merupakan penghasilan bagi pihak yang mengalihkan kecuali harta tersebut dihibahkan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat. Demikian juga, keuntungan berupa selisih antara harga pasar dan nilai perolehan atau nilai sisa buku atas pengalihan harta berupa bantuan atau sumbangan dan hibah kepada badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan bukan merupakan penghasilan, sepanjang tidak ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan. Dalam hal Wajib Pajak pemilik hak penambangan mengalihkan sebagian atau seluruh hak tersebut kepada Wajib Pajak lain, keuntungan yang diperoleh merupakan objek pajak. Huruf e
Pengembalian pajak yang telah dibebankan sebagai biaya pada saat menghitung Penghasilan Kena Pajak merupakan objek pajak. Sebagai contoh, Pajak Bumi dan Bangunan yang sudah dibayar dan dibebankan sebagai biaya, yang karena sesuatu sebab dikembalikan, maka jumlah sebesar pengembalian tersebut merupakan penghasilan. Huruf f
Dalam pengertian bunga termasuk pula premium, diskonto dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang. Premium terjadi apabila misalnya surat obligasi dijual di atas nilai nominalnya sedangkan diskonto terjadi apabila surat obligasi dibeli di bawah nilai nominalnya. Premium tersebut merupakan penghasilan bagi yang menerbitkan obligasi dan diskonto merupakan penghasilan bagi yang membeli obligasi. Huruf g
Dividen merupakan bagian laba yang diperoleh pemegang saham atau pemegang polis asuransi. Termasuk dalam pengertian dividen adalah:
Dalam praktik sering dijumpai pembagian atau pembayaran dividen secara terselubung, misalnya dalam hal pemegang saham yang telah menyetor penuh modalnya dan memberikan pinjaman kepada perseroan dengan imbalan bunga yang melebihi kewajaran.
Apabila terjadi hal yang demikian maka selisih lebih antara bunga yang dibayarkan dan tingkat bunga yang berlaku di pasar, diperlakukan sebagai dividen. Bagian bunga yang diperlakukan sebagai dividen tersebut tidak boleh dibebankan sebagai biaya oleh perseroan yang bersangkutan. Huruf h
Royalti adalah suatu jumlah yang dibayarkan atau terutang dengan cara atau perhitungan apa pun, baik dilakukan secara berkala maupun tidak, sebagai imbalan atas:
Huruf i Dalam pengertian sewa termasuk imbalan yang diterima atau diperoleh dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan penggunaan harta gerak atau harta tak gerak, misalnya sewa mobil, sewa kantor, sewa rumah, dan sewa gudang.
Huruf j
Penerimaan berupa pembayaran berkala, misalnya "alimentasi" atau tunjangan seumur hidup yang dibayar secara berulang-ulang dalam waktu tertentu.
Huruf k
Pembebasan utang oleh pihak yang berpiutang dianggap sebagai penghasilan bagi pihak yang semula berutang, sedangkan bagi pihak yang berpiutang dapat dibebankan sebagai biaya. Namun, dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan bahwa pembebasan utang debitur kecil misalnya Kredit Usaha Keluarga Prasejahtera (Kukesra), Kredit Usaha Tani (KUT), Kredit Usaha Rakyat (KUR), kredit untuk perumahan sangat sederhana, serta kredit kecil lainnya sampai dengan jumlah tertentu dikecualikan sebagai objek pajak. Huruf l
Keuntungan yang diperoleh karena fluktuasi kurs mata uang asing diakui berdasarkan sistem pembukuan yang dianut dan dilakukan secara taat asas sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia. Huruf m
Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 merupakan penghasilan. Huruf n
Dalam pengertian premi asuransi termasuk premi reasuransi. Huruf o
Cukup jelas. Huruf p
Tambahan kekayaan neto pada hakekatnya merupakan akumulasi penghasilan baik yang telah dikenakan pajak dan yang bukan Objek Pajak serta yang belum dikenakan pajak. Apabila diketahui adanya tambahan kekayaan neto yang melebihi akumulasi penghasilan yang telah dikenakan pajak dan yang bukan Objek Pajak, maka tambahan kekayaan neto tersebut merupakan penghasilan. Huruf q
Kegiatan usaha berbasis syariah memiliki landasan filosofi yang berbeda dengan kegiatan usaha yang bersifat konvensional. Namun, penghasilan yang diterima atau diperoleh dari kegiatan usaha berbasis syariah tersebut tetap merupakan objek pajak menurut Undang-Undang ini. Huruf r
Cukup jelas. Huruf s
Cukup jelas. Ayat (1a)
Cukup jelas. Ayat (1b)
Cukup jelas. Ayat (1c)
Cukup jelas. Ayat (1d)
Cukup jelas. Ayat (2)
Sesuai dengan ketentuan pada ayat (1), penghasilan-penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat ini merupakan objek pajak. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan antara lain:
atas penghasilan-penghasilan tersebut perlu diberikan perlakuan tersendiri dalam pengenaan pajaknya. Perlakuan tersendiri dalam pengenaan pajak atas jenis penghasilan tersebut termasuk sifat, besarnya, dan tata cara pelaksanaan pembayaran, pemotongan, atau pemungutan diatur dalam Peraturan Pemerintah. Obligasi sebagaimana dimaksud pada ayat ini termasuk surat utang berjangka waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan, seperti Medium Term Note, Floating Rate Note yang berjangka waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan. Surat Utang Negara yang dimaksud pada ayat ini meliputi Obligasi Negara dan Surat Perbendaharaan Negara. Ayat (3)
Huruf a
Bantuan atau sumbangan bagi pihak yang menerima bukan merupakan objek pajak sepanjang diterima tidak dalam rangka hubungan kerja, hubungan usaha, hubungan kepemilikan, atau hubungan penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan. Zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan para penerima zakat yang berhak serta sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama lainnya yang diakui di Indonesia yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima sumbangan yang berhak diperlakukan sama seperti bantuan atau sumbangan. Yang dimaksud dengan "zakat" adalah zakat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai zakat.
Hubungan usaha antara pihak yang memberi dan yang menerima dapat terjadi, misalnya PT A sebagai produsen suatu jenis barang yang bahan baku utamanya diproduksi oleh PT B. Apabila PT B memberikan sumbangan bahan baku kepada PT A, sumbangan bahan baku yang diterima oleh PT A merupakan objek pajak. Harta hibahan bagi pihak yang menerima bukan merupakan objek pajak apabila diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan oleh badan keagamaan, badan pendidikan, atau badan sosial termasuk yayasan atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang diterima tidak dalam rangka hubungan kerja, hubungan usaha, hubungan kepemilikan, atau hubungan penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan. Huruf b
Cukup jelas. Huruf c
Pada prinsipnya harta, termasuk setoran tunai, yang diterima oleh badan merupakan tambahan kemampuan ekonomis bagi badan tersebut. Namun karena harta tersebut diterima sebagai pengganti saham atau penyertaan modal, maka berdasarkan ketentuan ini, harta yang diterima tersebut bukan merupakan objek pajak.
Huruf d
Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa merupakan tambahan kemampuan ekonomis yang diterima bukan dalam bentuk uang. Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura seperti beras, gula, dan sebagainya, dan imbalan dalam bentuk kenikmatan, seperti penggunaan mobil, rumah, dan fasilitas pengobatan bukan merupakan objek pajak. Apabila yang memberi imbalan berupa natura atau kenikmatan tersebut bukan Wajib Pajak atau Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dan Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan norma penghitungan khusus (deemed profit), imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan tersebut merupakan penghasilan bagi yang menerima atau memperolehnya. Misalnya, seorang penduduk Indonesia menjadi pegawai pada suatu perwakilan diplomatik asing di Jakarta. Pegawai tersebut memperoleh kenikmatan menempati rumah yang disewa oleh perwakilan diplomatik tersebut atau kenikmatan-kenikmatan lainnya. Kenikmatan-kenikmatan tersebut merupakan penghasilan bagi pegawai tersebut sebab perwakilan diplomatik yang bersangkutan bukan merupakan Wajib Pajak.
Huruf e
Penggantian atau santunan yang diterima oleh orang pribadi dari perusahaan asuransi sehubungan dengan polis asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa, bukan merupakan Objek Pajak. Hal ini selaras dengan ketentuan dalam Pasal 9 ayat (1) huruf d, yaitu bahwa premi asuransi yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi untuk kepentingan dirinya tidak boleh dikurangkan dalam penghitungan Penghasilan Kena Pajak. Huruf f
Cukup jelas. Huruf g
Pengecualian sebagai Objek Pajak berdasarkan ketentuan ini hanya berlaku bagi dana pensiun yang pendiriannya telah mendapat pengesahan dari Menteri Keuangan. Yang dikecualikan dari Objek Pajak adalah iuran yang diterima dari peserta pensiun, baik atas beban sendiri maupun yang ditanggung pemberi kerja. Pada dasarnya iuran yang diterima oleh dana pensiun tersebut merupakan dana milik dari peserta pensiun, yang akan dibayarkan kembali kepada mereka pada waktunya. Pengenaan pajak atas iuran tersebut berarti mengurangi hak para peserta pensiun, dan oleh karena itu iuran tersebut dikecualikan sebagai Objek Pajak. Huruf h
Sebagaimana tersebut dalam huruf g, pengecualian sebagai Objek Pajak berdasarkan ketentuan ini hanya berlaku bagi dana pensiun yang pendiriannya telah mendapat pengesahan dari Menteri Keuangan. Yang dikecualikan dari Objek Pajak dalam hal ini adalah penghasilan dari modal yang ditanamkan di bidang-bidang tertentu berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan. Penanaman modal oleh dana pensiun dimaksudkan untuk pengembangan dan merupakan dana untuk pembayaran kembali kepada peserta pensiun di kemudian hari, sehingga penanaman modal tersebut perlu diarahkan pada bidang-bidang yang tidak bersifat spekulatif atau yang berisiko tinggi. Oleh karena itu penentuan bidang-bidang tertentu dimaksud ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan. Huruf i
Untuk kepentingan pengenaan pajak, badan-badan sebagaimana disebut dalam ketentuan ini yang merupakan himpunan para anggotanya dikenai pajak sebagai satu kesatuan, yaitu pada tingkat badan tersebut. Oleh karena itu, bagian laba atau sisa hasil usaha yang diterima oleh para anggota badan tersebut bukan lagi merupakan objek pajak. Huruf j
Cukup jelas. Huruf k
Yang dimaksud dengan "perusahaan modal ventura" adalah suatu perusahaan yang kegiatan usahanya membiayai badan usaha (sebagai pasangan usaha) dalam bentuk penyertaan modal untuk suatu jangka waktu tertentu. Berdasarkan ketentuan ini, bagian laba yang diterima atau diperoleh dari perusahaan pasangan usaha tidak termasuk sebagai objek pajak, dengan syarat perusahaan pasangan usaha tersebut merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dalam sektor-sektor tertentu yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dan saham perusahaan tersebut tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia. Apabila pasangan usaha perusahaan modal ventura memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf f, dividen yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura bukan merupakan objek pajak. Agar kegiatan perusahaan modal ventura dapat diarahkan kepada sektor-sektor kegiatan ekonomi yang memperoleh prioritas untuk dikembangkan, misalnya untuk meningkatkan ekspor nonmigas, usaha atau kegiatan dari perusahaan pasangan usaha tersebut diatur oleh Menteri Keuangan. Mengingat perusahaan modal ventura merupakan alternatif pembiayaan dalam bentuk penyertaan modal, penyertaan modal yang akan dilakukan oleh perusahaan modal ventura diarahkan pada perusahaan-perusahaan yang belum mempunyai akses ke bursa efek. Huruf l
Cukup jelas. Huruf m
Bahwa dalam rangka mendukung usaha peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan diperlukan sarana dan prasarana yang memadai. Untuk itu dipandang perlu memberikan fasilitas perpajakan berupa pengecualian pengenaan pajak atas sisa lebih yang diterima atau diperoleh sepanjang sisa lebih tersebut ditanamkan kembali dalam bentuk pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan dimaksud. Penanaman kembali sisa lebih dimaksud harus direalisasikan paling lama dalam jangka waktu 4 (empat) tahun sejak sisa lebih tersebut diterima atau diperoleh. Untuk menjamin tercapainya tujuan pemberian fasilitas ini, maka lembaga atau badan yang menyelenggarakan pendidikan harus bersifat nirlaba. Pendidikan serta penelitian dan pengembangan yang diselenggarakan bersifat terbuka kepada siapa saja dan telah mendapat pengesahan dari instansi yang membidanginya.
Huruf n
Bantuan atau santunan yang diberikan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) kepada Wajib Pajak tertentu adalah bantuan sosial yang diberikan khusus kepada Wajib Pajak atau anggota masyarakat yang tidak mampu atau sedang mendapat bencana alam atau tertimpa musibah.
Huruf o
Cukup jelas. Huruf p
Cukup jelas. Angka 3
Pasal 26 Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri dari Indonesia, Undang-Undang ini menganut dua sistem pengenaan pajak, yaitu pemenuhan sendiri kewajiban perpajakannya bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia dan pemotongan oleh pihak yang wajib membayar bagi Wajib Pajak luar negeri lainnya.
Ketentuan ini mengatur tentang pemotongan atas penghasilan yang bersumber di Indonesia yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap. Ayat (1)
Pemotongan pajak berdasarkan ketentuan ini wajib dilakukan oleh badan pemerintah, subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya yang melakukan pembayaran kepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia dengan tarif sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto.
Jenis-jenis penghasilan yang wajib dilakukan pemotongan dapat digolongkan dalam:
Sesuai dengan ketentuan ini, misalnya suatu badan subjek pajak dalam negeri membayarkan royalti sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) kepada Wajib Pajak luar negeri, subjek pajak dalam negeri tersebut berkewajiban untuk memotong Pajak Penghasilan sebesar 20% (dua puluh persen) dari Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Sebagai contoh lain, seorang atlet dari luar negeri yang ikut mengambil bagian dalam perlombaan lari maraton di Indonesia kemudian merebut hadiah uang maka atas hadiah tersebut dikenai pemotongan Pajak Penghasilan sebesar 20% (dua puluh persen). Ayat (1a)
Negara domisili dari Wajib Pajak luar negeri selain yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan usaha melalui bentuk usaha tetap di Indonesia yang menerima penghasilan dari Indonesia ditentukan berdasarkan tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak yang sebenarnya menerima manfaat dari penghasilan tersebut (beneficial owner). Oleh karena itu, negara domisili tidak hanya ditentukan berdasarkan Surat Keterangan Domisili, tetapi juga tempat tinggal atau tempat kedudukan dari penerima manfaat dari penghasilan dimaksud. Dalam hal penerima manfaat adalah orang pribadi, negara domisilinya adalah negara tempat orang pribadi tersebut bertempat tinggal atau berada, sedangkan apabila penerima manfaat adalah badan, negara domisilinya adalah negara tempat pemilik atau lebih dari 50% (lima puluh persen) pemegang saham baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama berkedudukan atau efektif manajemennya berada. Ayat (1b)
Cukup jelas. Ayat (2)
Ketentuan ini mengatur tentang pemotongan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri yang bersumber di Indonesia, selain dari penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yaitu penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta, dan premi asuransi, termasuk premi reasuransi. Atas penghasilan tersebut dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan neto dan bersifat final. Menteri Keuangan diberikan wewenang untuk menetapkan besarnya perkiraan penghasilan neto dimaksud, serta hal-hal lain dalam rangka pelaksanaan pemotongan pajak tersebut. Ketentuan ini tidak diterapkan dalam hal Wajib Pajak luar negeri tersebut menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia atau apabila penghasilan dari penjualan harta tersebut telah dikenai pajak berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2). Ayat (2a)
Cukup jelas. Ayat (3)
Cukup jelas. Ayat (4)
Atas Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari bentuk usaha tetap di Indonesia dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen). Contoh: Penghasilan Kena Pajak bentuk usaha tetap di Indonesia dalam tahun 2021:
Apabila penghasilan setelah pajak sebesar Rp13.650.000.000,00 (tiga belas miliar enam ratus lima puluh juta rupiah) tersebut ditanamkan kembali di Indonesia sesuai dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan, atas penghasilan tersebut tidak dipotong pajak.
Ayat (5)
Pada prinsipnya pemotongan pajak atas Wajib Pajak luar negeri adalah bersifat final, tetapi atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b dan huruf c, dan atas penghasilan Wajib Pajak orang pribadi atau badan luar negeri yang berubah status menjadi Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, pemotongan pajaknya tidak bersifat final sehingga potongan pajak tersebut dapat dikreditkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan. Contoh: A sebagai tenaga asing orang pribadi membuat perjanjian kerja dengan PT B sebagai Wajib Pajak dalam negeri untuk bekerja di Indonesia untuk jangka waktu 5 (lima) bulan terhitung mulai tanggal 1 Januari 2021. Pada tanggal 20 April 2021 perjanjian kerja tersebut diperpanjang menjadi 8 (delapan) bulan sehingga akan berakhir pada tanggal 31 Agustus 2021. Jika perjanjian kerja tersebut tidak diperpanjang, status A adalah tetap sebagai Wajib Pajak luar negeri. Dengan diperpanjangnya perjanjian kerja tersebut, status A berubah dari Wajib Pajak luar negeri menjadi Wajib Pajak dalam negeri terhitung sejak tanggal 1 Januari 2021. Selama bulan Januari sampai dengan Maret 2021 atas penghasilan bruto A telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 26 oleh PT B. Berdasarkan ketentuan ini, maka untuk menghitung Pajak Penghasilan yang terutang atas penghasilan A untuk masa Januari sampai dengan Agustus 2021, Pajak Penghasilan Pasal 26 yang telah dipotong dan disetor PT B atas penghasilan A sampai dengan Maret tersebut, dapat dikreditkan terhadap pajak A sebagai Wajib Pajak dalam negeri. Pasal 112 Angka 1
Pasal 1A Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan "perjanjian" meliputi jual beli, tukar-menukar, jual beli dengan angsuran, atau perjanjian lain yang mengakibatkan penyerahan hak atas barang.
Huruf b
Penyerahan Barang Kena Pajak dapat terjadi karena perjanjian sewa beli dan/atau perjanjian sewa guna usaha (leasing). Yang dimaksud dengan "pengalihan Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian sewa guna usaha (leasing)" adalah penyerahan Barang Kena Pajak yang disebabkan oleh perjanjian sewa guna usaha (leasing) dengan hak opsi. Dalam hal penyerahan Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak dalam rangka perjanjian sewa guna usaha (leasing) dengan hak opsi, Barang Kena Pajak dianggap diserahkan langsung dari Pengusaha Kena Pajak pemasok (supplier) kepada pihak yang membutuhkan barang (lessee). Huruf c
Yang dimaksud dengan "pedagang perantara" adalah orang pribadi atau badan yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya dengan nama sendiri melakukan perjanjian atau perikatan atas dan untuk tanggungan orang lain dengan mendapat upah atau balas jasa tertentu, misalnya komisioner. Yang dimaksud dengan "juru lelang" adalah juru lelang Pemerintah atau yang ditunjuk oleh Pemerintah. Huruf d
Yang dimaksud dengan "pemakaian sendiri" adalah pemakaian untuk kepentingan pengusaha sendiri, pengurus, atau karyawan, baik barang produksi sendiri maupun bukan produksi sendiri. Yang dimaksud dengan "pemberian cuma-cuma" adalah pemberian yang diberikan tanpa pembayaran baik barang produksi sendiri maupun bukan produksi sendiri, seperti pemberian contoh barang untuk promosi kepada relasi atau pembeli. Huruf e
Barang Kena Pajak berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, disamakan dengan pemakaian sendiri sehingga dianggap sebagai penyerahan Barang Kena Pajak. Dikecualikan dari ketentuan pada huruf e ini adalah penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal IA ayat (2) huruf e. Huruf f
Dalam hal suatu perusahaan mempunyai lebih dari satu tempat pajak terutang baik sebagai pusat maupun sebagai cabang perusahaan, pemindahan Barang Kena Pajak antartempat tersebut merupakan penyerahan Barang Kena Pajak. Yang dimaksud dengan "pusat" adalah tempat tinggal atau tempat kedudukan. Yang dimaksud dengan "cabang" antara lain lokasi usaha, perwakilan, unit pemasaran, dan tempat kegiatan usaha sejenisnya. Huruf g
Dihapus. Huruf h
Contoh: Dalam transaksi murabahah, bank syariah bertindak sebagai penyedia dana untuk membeli sebuah kendaraan bermotor dari Pengusaha Kena Pajak A atas pesanan nasabah bank syariah (Tuan B). Meskipun berdasarkan prinsip syariah, bank syariah harus membeli dahulu kendaraan bermotor tersebut dan kemudian menjualnya kepada Tuan B, berdasarkan Undang-Undang ini, penyerahan kendaraan bermotor tersebut dianggap dilakukan langsung oleh Pengusaha Kena Pajak A kepada Tuan B. Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan 'makelar" adalah makelar sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, yaitu pedagang perantara yang diangkat oleh Presiden atau oleh pejabat yang oleh Presiden dinyatakan berwenang untuk itu. Mereka menyelenggarakan perusahaan mereka dengan melakukan pekerjaan dengan mendapat upah atau provisi tertentu, atas amanat dan atas nama orang-orang lain yang dengan mereka tidak terdapat hubungan kerja.
Huruf b
Cukup jelas. Huruf c
Dalam hal Pengusaha Kena Pajak mempunyai lebih dari satu tempat kegiatan usaha, baik sebagai pusat maupun cabang perusahaan, dan Pengusaha Kena Pajak tersebut telah menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak, pemindahan Barang Kena Pajak dari satu tempat kegiatan usaha ke tempat kegiatan usaha lainnya (pusat ke cabang atau sebaliknya atau antarcabang) dianggap tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak, kecuali pemindahan Barang Kena Pajak antartempat pajak terutang. Huruf d
Yang dimaksud dengan "pemecahan usaha" adalah pemisahan usaha sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai perseroan terbatas. Pengalihan Barang Kena Pajak dalam rangka penggabungan,peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha, serta pengalihan Barang Kena Pajak untuk tujuan setoran modal pengganti saham, yang dilakukan oleh:
Huruf e
Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, yang Pajak Masukan atas perolehannya tidak dapat dikreditkan karena tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan/atau aktiva berupa kendaraan bermotor sedan dan station wagon yang Pajak Masukan atas perolehannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf c tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak. Angka 2
Pasal 4A
Ayat (1)
Dihapus.
Ayat (2)
Huruf a
Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya meliputi:
Huruf b
Barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak meliputi:
Huruf c
Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghindari pengenaan pajak berganda karena sudah merupakan objek pengenaan Pajak Daerah. Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Jasa pelayanan kesehatan medis meliputi:
Huruf b
Jasa pelayanan sosial meliputi:
Huruf c
Jasa pengiriman surat dengan perangko meliputi jasa pengiriman surat dengan menggunakan perangko tempel dan menggunakan cara lain pengganti perangko tempel.
Huruf d
Jasa keuangan meliputi:
Huruf e
Yang dimaksud dengan "jasa asuransi" adalah jasa pertanggungan yang meliputi asuransi kerugian, asuransi jiwa, dan reasuransi, yang dilakukan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis asuransi, tidak termasuk jasa penunjang asuransi seperti agen asuransi, penilai kerugian asuransi, dan konsultan asuransi. Huruf f
Jasa keagamaan meliputi:
Huruf g
Jasa pendidikan meliputi:
Huruf h
Jasa kesenian dan hiburan meliputi semua jenis jasa yang dilakukan oleh pekerja seni dan hiburan. Huruf i
Jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan meliputi jasa penyiaran radio atau televisi yang dilakukan oleh instansi pemerintah atau swasta yang tidak bersifat iklan dan tidak dibiayai oleh sponsor yang bertujuan komersial. Huruf j
Cukup jelas. Huruf k
Jasa tenaga kerja meliputi:
Huruf l
Jasa perhotelan meliputi:
Huruf m
Jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum meliputi jenis-jenis jasa yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah, antara lain pemberian Izin Mendirikan Bangunan, pemberian Izin Usaha Perdagangan, pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak, dan pembuatan Kartu Tanda Penduduk. Huruf n
Yang dimaksud dengan "jasa penyediaan tempat parkir" adalah jasa penyediaan tempat parkir yang dilakukan oleh pemilik tempat parkir dan/atau pengusaha kepada pengguna tempat parkir dengan dipungut bayaran. Huruf o
Yang dimaksud dengan "jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam" adalah jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam atau koin, yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta.
Huruf p
Cukup jelas. Huruf q
Cukup jelas. Angka 3
Pasal 9
Ayat (1)
Dihapus.
Ayat (2)
Pembeli Barang Kena Pajak, penerima Jasa Kena Pajak, pengimpor Barang Kena Pajak, pihak yang memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean, atau pihak yang memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean wajib membayar Pajak Pertambahan Nilai dan berhak menerima bukti pungutan pajak. Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar tersebut merupakan Pajak Masukan bagi pembeli Barang Kena Pajak, penerima Jasa Kena Pajak, pengimpor Barang Kena Pajak,pihak yang memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean, atau pihak yang memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean, yang berstatus sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Pajak Masukan yang wajib dibayar tersebut oleh Pengusaha Kena Pajak dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran yang dipungutnya dalam Masa Pajak yang sama. Ayat (2a)
Cukup jelas.
Ayat (2b)
Untuk keperluan mengkreditkan Pajak Masukan, Pengusaha Kena Pajak menggunakan Faktur Pajak yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5).
Selain itu, Pajak Masukan yang akan dikreditkan juga harus memenuhi persyaratan kebenaran formal dan material sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (9). Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Pajak Masukan yang dimaksud pada ayat ini adalah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan.
Dalam suatu Masa Pajak dapat terjadi Pajak Masukan yang dapat dikreditkan lebih besar daripada Pajak Keluaran. Kelebihan Pajak Masukan tersebut tidak dapat diminta kembali pada Masa Pajak yang bersangkutan, tetapi dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya. Contoh: Masa Pajak Mei 2021
Pajak yang lebih dibayar tersebut dikompensasikan ke Masa Pajak Juni 2021.
Masa Pajak Juni 2021
Pajak yang lebih dibayar tersebut dikompensasikan ke Masa Pajak Juli 2021.
Ayat (4a)
Kelebihan Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak sesuai dengan ketentuan pada ayat (4) dikompensasikan pada Masa Pajak berikutnya.
Namun, apabila kelebihan Pajak Masukan terjadi pada Masa Pajak akhir tahun buku, kelebihan Pajak Masukan tersebut dapat diajukan permohonan pengembalian (restitusi). Termasuk dalam pengertian akhir tahun buku dalam ketentuan ini adalah Masa Pajak saat Wajib Pajak melakukan pengakhiran usaha (bubar). Ayat (4b)
Cukup jelas.
Ayat (4c)
Cukup jelas. Ayat (4d)
Cukup jelas. Ayat (4e)
Untuk mengurangi penyalahgunaan pemberian kemudahan percepatan pengembalian kelebihan pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan setelah memberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak. Ayat (4f)
Dalam hal Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, sanksi kenaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C ayat (5) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan perubahannya tidak diterapkan walaupun pada tahap sebelumnya sudah diterbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak. Sebaliknya, sanksi administrasi yang dikenakan sesuai dengan Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan perubahannya. Apabila dalam pemeriksaan dimaksud ditemukan adanya indikasi tindak pidana di bidang perpajakan, ketentuan ini tidak berlaku. Ayat (5)
Yang dimaksud dengan "penyerahan yang terutang pajak" adalah penyerahan barang atau jasa yang sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini dikenai Pajak Pertambahan Nilai. Yang dimaksud dengan "penyerahan yang tidak terutang pajak" adalah penyerahan barang dan jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4A dan yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16B. Pengusaha Kena Pajak yang dalam suatu Masa Pajak melakukan penyerahan yang terutang pajak dan penyerahan yang tidak terutang pajak hanya dapat mengkreditkan Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahan yang terutang pajak. Bagian penyerahan yang terutang pajak tersebut harus dapat diketahui dengan pasti dari pembukuan Pengusaha Kena Pajak. Contoh: Pengusaha Kena Pajak melakukan beberapa macam penyerahan, yaitu:
Pajak Keluaran = nihil
Pajak Masukan yang dibayar atas perolehan:
Menurut ketentuan ini, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan denganPajak Keluaran sebesar Rp2.500.000,00 hanya sebesar Rp1.500.000,00.
Ayat (6)
Dalam hal Pajak Masukan untuk penyerahan yang terutang pajak tidak dapat diketahui dengan pasti, cara pengkreditan Pajak Masukan dihitung berdasarkan pedoman yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan, yang dimaksudkan untuk memberikan kemudahan dan kepastian kepada Pengusaha Kena Pajak.
Contoh: Pengusaha Kena Pajak melakukan 2 (dua) macam penyerahan, yaitu:
Pajak Masukan yang dibayar atas perolehan Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak yang berkaitan dengan keseluruhan penyerahan sebesar Rp2.500.000,00, sedangkan Pajak Masukan yang berkaitan dengan penyerahan yang terutang pajak tidak dapat diketahui dengan pasti. Menurut ketentuan ini, Pajak Masukan sebesar Rp2.500.000,00 tidak seluruhnya dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran sebesar Rp3.500.000,00.
Besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dihitung berdasarkan pedoman yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. Ayat (6a)
Cukup jelas.
Ayat (6b)
Dihapus.
Ayat (6c)
Cukup jelas.
Ayat (6d)
Cukup jelas.
Ayat (6e)
Cukup jelas.
Ayat (6f)
Cukup jelas.
Ayat (6g)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Dalam rangka menyederhanakan penghitungan Pajak Pertambahan Nilai yang harus disetor, Pengusaha Kena Pajak yang peredaran usahanya dalam 1 (satu) tahun tidak melebihi jumlah tertentu dapat menghitung besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dengan menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan.
Ayat (7a)
Dalam rangka memberikan kemudahan dalam menghitung Pajak Pertambahan Nilai yang harus disetor, Pengusaha Kena Pajak yang melakukan kegiatan usaha tertentu menghitung besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dengan menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan. Ayat (7b)
Cukup jelas. Ayat (8)
Pajak Masukan pada dasarnya dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran. Akan tetapi, untuk pengeluaran yang dimaksud dalam ayat ini, Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan. Huruf a
Dihapus.
Huruf b Yang dimaksud dengan pengeluaran yang langsung berhubungan dengan kegiatan usaha adalah pengeluaran untuk kegiatan produksi, distribusi, pemasaran, dan manajemen.
Ketentuan ini berlaku untuk semua bidang usaha. Agar dapat dikreditkan, Pajak Masukan juga harus memenuhi syarat bahwa pengeluaran tersebut berkaitan dengan adanya penyerahan yang terutang Pajak Pertambahan Nilai. Oleh karena itu, meskipun suatu pengeluaran telah memenuhi syarat adanya hubungan langsung dengan kegiatan usaha, masih dimungkinkan Pajak Masukan tersebut tidak dapat dikreditkan, yaitu apabila pengeluaran dimaksud tidak ada kaitannya dengan penyerahan yang terutang Pajak Pertambahan Nilai. Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Dihapus.
Huruf e
Dihapus.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Dihapus.
Huruf i
Dihapus.
Huruf j
Dihapus.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Ayat (9a)
Cukup jelas.
Ayat (9b)
Cukup jelas.
Ayat (9c)
Cukup jelas.
Ayat (10)
Dihapus.
Ayat (11)
Dihapus.
Ayat (12)
Dihapus.
Ayat (13)
Cukup jelas.
Ayat (14)
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 13
Ayat (1)
Dalam hal terjadi penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak, Pengusaha Kena Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak dan/atau menyerahkan Jasa Kena Pajak itu wajib memungut Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dan memberikan Faktur Pajak sebagai bukti pungutan pajak. Faktur Pajak tidak perlu dibuat secara khusus atau berbeda dengan faktur penjualan. Faktur Pajak dapat berupa faktur penjualan atau dokumen tertentu yang ditetapkan sebagai Faktur Pajak oleh Direktur Jenderal Pajak.
Berdasarkan ketentuan ini, atas setiap penyerahan Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16D wajib dibuatkan Faktur Pajak.
Ayat (1a)
Pada prinsipnya Faktur Pajak harus dibuat pada saat penyerahan atau pada saat penerimaan pembayaran dalam hal pembayaran terjadi sebelum penyerahan. Dalam hal tertentu dimungkinkan saat pembuatan Faktur Pajak tidak sama dengan saat-saat tersebut, misalnya dalam hal terjadi penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada instansi pemerintah. Oleh karena itu, Menteri Keuangan berwenang untuk mengatur saat lain sebagai saat pembuatan Faktur Pajak. Ayat (2)
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk meringankan beban administrasi, kepada Pengusaha Kena Pajak diperkenankan untuk membuat 1 (satu) Faktur Pajak yang meliputi semua penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang terjadi selama 1 (satu) bulan kalender kepada pembeli Barang Kena Pajak yang sama atau penerima Jasa Kena Pajak yang sama, yang disebut Faktur Pajak gabungan. Ayat (2a)
Untuk meringankan beban administrasi, Pengusaha Kena Pajak diperkenankan membuat Faktur Pajak gabungan paling lama pada akhir bulan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak meskipun di dalam bulan penyerahan telah terjadi pembayaran baik sebagian maupun seluruhnya. Contoh 1: Dalam hal Pengusaha Kena Pajak A melakukan penyerahan Barang Kena Pajak kepada pengusaha B pada tanggal 1, 5, 10, 11, 12, 20, 25, 28, dan 31 Juli 2021, tetapi sampai dengan tanggal 31 Juli 2021 sama sekali belum ada pembayaran atas penyerahan tersebut, Pengusaha Kena Pajak A diperkenankan membuat 1 (satu) Faktur Pajak gabungan yang meliputi seluruh penyerahan yang dilakukan pada bulan Juli 2021, yaitu paling lama tanggal 31 Juli 2021. Contoh 2: Pengusaha Kena Pajak A melakukan penyerahan Barang Kena Pajak kepada pengusaha B pada tanggal 2, 7, 9, 10, 12, 20, 26, 28, 29, dan 30 September 2021. Pada tanggal 28 September 2021 terdapat pembayaran oleh pengusaha B atas penyerahan pada tanggal 2 September 2021. Dalam hal Pengusaha Kena Pajak A membuat Faktur Pajak gabungan, Faktur Pajak gabungan dibuat pada tanggal 30 September 2021 yang meliputi seluruh penyerahan yang terjadi pada bulan September 2021. Contoh 3: Pengusaha Kena Pajak A melakukan penyerahan Barang Kena Pajak kepada pengusaha B pada tanggal 2, 7, 8, 10, 12, 20, 26, 28, 29, dan 30 September 2021. Pada tanggal 28 September 2021 terdapat pembayaran atas penyerahan tanggal 2 September 2021 dan pembayaran uang muka untuk penyerahan yang akan dilakukan pada bulan Oktober 2021 oleh pengusaha B. Dalam hal Pengusaha Kena Pajak A membuat Faktur Pajak gabungan, Faktur Pajak gabungan dibuat pada tanggal 30 September 2021 yang meliputi seluruh penyerahan dan pembayaran uang muka yang dilakukan pada bulan September 2021. Ayat (3)
Dihapus. Ayat (4)
Dihapus.
Ayat (5)
Faktur Pajak merupakan bukti pungutan pajak dan dapat digunakan sebagai sarana untuk mengkreditkan Pajak Masukan. Faktur Pajak harus diisi secara benar, lengkap, dan jelas serta ditandatangani oleh pihak yang ditunjuk oleh Pengusaha Kena Pajak untuk menandatanganinya. Namun, keterangan mengenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah hanya diisi apabila atas penyerahan Barang Kena Pajak terutang Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Faktur Pajak yang tidak diisi sesuai dengan ketentuan dalam ayat ini mengakibatkan Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum di dalamnya tidak dapat dikreditkan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 9 ayat (8) huruf f.
Ayat (5a)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Direktur Jenderal Pajak dapat menentukan dokumen yang biasa digunakan dalam dunia usaha yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak.
Ketentuan ini diperlukan, antara lain, karena:
Ayat (7)
Dihapus. Ayat (8)
Faktur Pajak yang dibetulkan adalah, antara lain, Faktur Pajak yang salah dalam pengisian atau salah dalam penulisan. Termasuk dalam pengertian salah dalam pengisian atau salah dalam penulisan adalah antara lain, adanya penyesuaian Harga Jual akibat berkurangnya kuantitas atau kualitas Barang Kena Pajak yang wajar terjadi pada saat pengiriman. Ayat (9)
Faktur Pajak memenuhi persyaratan formal apabila diisi secara benar, lengkap, dan jelas sesuai dengan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) atau persyaratan yang diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (6). Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak memenuhi persyaratan material apabila berisi keterangan yang sebenarnya atau sesungguhnya mengenai penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, ekspor Jasa Kena Pajak, impor Barang Kena Pajak, atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean. Dengan demikian, walaupun Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak sudah memenuhi ketentuan formal dan sudah dibayar Pajak Pertambahan Nilainya, apabila keterangan yang tercantum dalam Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya mengenai penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, ekspor Jasa Kena Pajak, impor Barang Kena Pajak, atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak tersebut tidak memenuhi syarat material. Pasal 113 Angka 1
Pasal 8 Ayat (1) Terhadap kekeliruan dalam pengisian Surat Pemberitahuan yang dibuat oleh Wajib Pajak, Wajib Pajak masih berhak untuk melakukan pembetulan atas kemauan sendiri, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum mulai melakukan tindakan pemeriksaan. Yang dimaksud dengan "mulai melakukan tindakan pemeriksaan" adalah pada saat Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Pajak disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak.
Ayat (1a)
Yang dimaksud dengan daluwarsa penetapan adalah jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1).
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (2a)
Cukup jelas.
Ayat (2b)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (3a)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Walaupun Direktur Jenderal Pajak telah melakukan pemeriksaan tetapi belum menerbitkan surat ketetapan pajak, kepada Wajib Pajak baik yang telah maupun yang belum membetulkan Surat Pemberitahuan masih diberikan kesempatan untuk mengungkapkan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan, yang dapat berupa Surat Pemberitahuan Tahunan atau Surat Pemberitahuan Masa untuk tahun atau masa yang diperiksa. Pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan tersebut dilakukan dalam laporan tersendiri dan harus mencerminkan keadaan yang sebenarnya sehingga dapat diketahui jumlah pajak yang sesungguhnya terutang. Namun, untuk membuktikan kebenaran laporan Wajib Pajak tersebut, proses pemeriksaan tetap dilanjutkan sampai selesai.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (5a)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Sehubungan dengan diterbitkannya surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali atas suatu Tahun Pajak yang mengakibatkan rugi fiskal yang berbeda dengan rugi fiskal yang telah dikompensasikan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan tahun berikutnya atau tahun-tahun berikutnya, akan dilakukan penyesuaian rugi fiskal sesuai dengan surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali dalam penghitungan Pajak Penghasilan tahun-tahun berikutnya, pembatasan jangka waktu 3 (tiga) bulan tersebut dimaksudkan untuk tertib administrasi tanpa menghilangkan hak Wajib Pajak atas kompensasi kerugian.
Dalam hal Wajib Pajak membetulkan Surat Pemberitahuan lewat jangka waktu 3 (tiga) bulan atau Wajib Pajak tidak mengajukan pembetulan sebagai akibat adanya surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali Tahun Pajak sebelumnya atau beberapa Tahun Pajak sebelumnya, yang menyatakan rugi fiskal yang berbeda dengan rugi fiskal yang telah dikompensasikan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan, Direktur Jenderal Pajak akan memperhitungkannya dalam menetapkan kewajiban perpajakan Wajib Pajak.
Untuk jelasnya diberikan contoh sebagai berikut:
Contoh 1: PT A menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2021 yang menyatakan:
Terhadap Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2020 dilakukan pemeriksaan, dan pada tanggal 6 Januari 2023 diterbitkan surat ketetapan pajak yang menyatakan rugi fiskal sebesar Rp70.000.000,00. Berdasarkan surat ketetapan pajak tersebut Direktur Jenderal Pajak akan mengubah perhitungan Penghasilan Kena Pajak tahun 2021 menjadi sebagai berikut: Penghasilan Neto Rp200.000.000,00
Rugi menurut ketetapan pajak tahun 2020 Rp 70.000.000,00 (-) Penghasilan Kena Pajak Rp130.000.000,00 Dengan demikian Penghasilan Kena Pajak dari Surat Pemberitahuan yang semula Rp50.000.000,00 (Rp200.000.000,00 - Rp150.000.000,00) setelah pembetulan menjadi Rp130.000.000,00 (Rp200.000.000,00 - Rp70.000.000,00)
Contoh 2: PT B menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2021 yang menyatakan:
Terhadap Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2020 dilakukan pemeriksaan dan pada tanggal 6 Januari 2023 diterbitkan surat ketetapan paiak yang menyatakan rugi fiskal sebesar Rp250.000.000,00.
Berdasarkan surat ketetapan pajak tersebut Direktur Jenderal Pajak akan mengubah perhitungan Penghasilan Kena Pajak tahun 2021 menjadi sebagai berikut:
Dengan demikian Penghasilan Kena Pajak dari Surat Pemberitahuan yang semula Rp 100.000.000,00 (Rp300.000.000,00 - Rp200.000.000,00) setelah pembetulan menjadi Rp50.000.000,00 (Rp300.000.000,00 - Rp250.000.000,00).
Angka 2
Pasal 9 Ayat (1) Batas waktu pembayaran dan penyetoran pajak yang terutang untuk suatu saat atau Masa Pajak ditetapkan oleh Menteri Keuangan dengan batas waktu tidak melampaui 15 (lima belas) hari setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak. Keterlambatan dalam pembayaran dan penyetoran tersebut berakibat dikenai sanksi administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Ayat (2)
Cukup jelas. Ayat (2a)
Cukup jelas. Ayat (2b)
Cukup jelas. Ayat (2c)
Cukup jelas. Ayat (3)
Cukup jelas. Ayat (3a)
Cukup jelas. Ayat (4)
Cukup jelas. Angka 3
Pasal 11 Ayat (1) Jika setelah diadakan penghitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang dengan jumlah kredit pajak menunjukkan jumlah selisih lebih (jumlah kredit pajak lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang) atau telah dilakukan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang, Wajib Pajak berhak untuk meminta kembali kelebihan pembayaran pajak, dengan catatan Wajib Pajak tersebut tidak mempunyai utang pajak.
Dalam hal Wajib Pajak masih mempunyai utang pajak yang meliputi semua jenis pajak baik di pusat maupun cabang-cabangnya, kelebihan pembayaran tersebut harus diperhitungkan lebih dahulu dengan utang pajak tersebut dan jika masih terdapat sisa lebih, dikembalikan kepada Wajib Pajak. Ayat (1a)
Cukup jelas. Ayat (2)
Untuk menjamin kepastian hukum bagi Wajib Pajak dan ketertiban administrasi, batas waktu pengembalian kelebihan pembayaran pajak ditetapkan paling lama 1 (satu) bulan:
Ayat (3)
Cukup jelas. Ayat (3a)
Cukup jelas. Ayat (4)
Cukup jelas. Angka 4
Pasal 13 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (2a)
Cukup jelas.
Ayat (2b)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Ayat ini mengatur sanksi administrasi dari suatu ketetapan pajak karena melanggar kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d. Sanksi administrasi berupa kenaikan merupakan suatu jumlah proporsional yang harus ditambahkan pada pokok pajak yang kurang dibayar.
Besarnya sanksi administrasi berupa kenaikan berbeda-beda menurut jenis pajaknya, yaitu untuk jenis Pajak Penghasilan yang dibayar oleh Wajib Pajak sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 50% (lima puluh persen), untuk jenis Pajak Penghasilan yang dipotong oleh orang atau badan lain sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen), sedangkan untuk jenis Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen). Ayat (3a)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Dihapus.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 13A Dihapus. Angka 6
Pasal 14 Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2)
Surat Tagihan Pajak menurut ayat ini disamakan kekuatan hukumnya dengan surat ketetapan pajak sehingga dalam hal penagihannya dapat juga dilakukan dengan Surat Paksa.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Dihapus.
Ayat (5a)
Cukup jelas.
Ayat (5b)
Cukup jelas.
Ayat (5c)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Angka 7
Pasal 15 Ayat (1) Untuk menampung kemungkinan terjadinya suatu Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar yang ternyata telah ditetapkan lebih rendah atau pajak yang terutang dalam suatu Surat Ketetapan Pajak Nihil ditetapkan lebih rendah atau telah dilakukan pengembalian pajak yang tidak seharusnya sebagaimana telah ditetapkan dalam Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak.
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan merupakan koreksi atas surat ketetapan pajak sebelumnya. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan baru diterbitkan apabila sudah pernah diterbitkan surat ketetapan pajak. Pada prinsipnya untuk menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan perlu dilakukan pemeriksaan. Jika surat ketetapan pajak sebelumnya diterbitkan berdasarkan pemeriksaan, perlu dilakukan pemeriksaan ulang sebelum menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan. Dalam hal surat ketetapan pajak sebelumnya diterbitkan berdasarkan keterangan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf a, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan juga harus diterbitkan berdasarkan pemeriksaan, tetapi bukan pemeriksaan ulang.
Dengan demikian, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan tidak akan mungkin diterbitkan sebelum didahului dengan penerbitan surat ketetapan pajak. Penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dilakukan dengan syarat adanya data baru termasuk data yang semula belum terungkap yang menyebabkan penambahan pajak yang terutang dalam surat ketetapan pajak sebelumnya. Sejalan dengan itu, setelah Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar diterbitkan sebagai akibat telah lewat waktu 12 (dua belas) bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan diterbitkan hanya dalam hal ditemukan data baru termasuk data yang semula belum terungkap. Dalam hal masih ditemukan lagi data baru termasuk data yang semula belum terungkap pada saat diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan/atau data baru termasuk data yang semula belum terungkap yang diketahui kemudian oleh Direktur Jenderal Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan masih dapat diterbitkan lagi. Yang dimaksud dengan "data baru" adalah data atau keterangan mengenai segala sesuatu yang diperlukan untuk menghitung besarnya jumlah pajak yang terutang yang oleh Wajib Pajak belum diberitahukan pada waktu penetapan semula, baik dalam Surat Pemberitahuan dan lampiran-lampirannya maupun dalam pembukuan perusahaan yang diserahkan pada waktu pemeriksaan.
Selain itu, yang termasuk dalam data baru adalah data yang semula belum terungkap, yaitu data yang:
Walaupun Wajib Pajak telah memberitahukan data dalam Surat Pemberitahuan atau mengungkapkannya pada waktu pemeriksaan, tetapi apabila memberitahukannya atau mengungkapkannya dengan cara sedemikian rupa sehingga membuat fiskus tidak mungkin menghitung besarnya jumlah pajak yang terutang secara benar sehingga jumlah pajak yang terutang ditetapkan kurang dari yang seharusnya, hal tersebut termasuk dalam pengertian data yang semula belum terungkap.
Contoh:
Barang-barang tersebut sebagian digunakan untuk kegiatan yang mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usahanya, seperti pengeluaran untuk kegiatan produksi, distribusi, pemasaran, dan manajemen, dan sebagian lainnya tidak mempunyai hubungan langsung. Seluruh faktur pajak tersebut dikreditkan sebagai Pajak Masukan oleh Pengusaha Kena Pajak pembeli.
Apabila pada saat penetapan semula Pengusaha Kena Pajak tidak mengungkapkan rincian penggunaan barang tersebut dengan benar sehingga tidak dilakukan koreksi atas pengkreditan Pajak Masukan tersebut oleh fiskus, sebagai akibatnya Pajak Pertambahan Nilai yang terutang tidak dapat dihitung secara benar. Apabila setelah itu diketahui adanya data atau keterangan tentang kesalahan mengkreditkan Pajak Masukan yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha dimaksud, data atau keterangan tersebut merupakan data yang semula belum terungkap. Ayat (2)
Dalam hal setelah diterbitkan surat ketetapan pajak ternyata masih ditemukan data baru termasuk data yang semula belum terungkap yang belum diperhitungkan sebagai dasar penetapan tersebut, atas pajak yang kurang dibayar ditagih dengan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan ditambah sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari pajak yang kurang dibayar. Ayat (3)
Cukup jelas. Ayat (4)
Dihapus. Ayat (5)
Cukup jelas. Angka 8
Pasal 17B Ayat (1) Yang dimaksud dengan "surat permohonan telah diterima secara lengkap" adalah Surat Pemberitahuan yang telah diisi lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.
Surat ketetapan pajak yang diterbitkan berdasarkan hasil pemeriksaan atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dapat berupa Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Nihil atau Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar. Ayat (1a)
Yang dimaksud dengan "sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan" adalah dimulai sejak surat pemberitahuan pemeriksaan bukti permulaan disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak. Ayat (2)
Batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum terhadap permohonan Wajib Pajak atau Pengusaha Kena Pajak sehingga bila batas waktu tersebut dilampaui dan Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan suatu keputusan, permohonan tersebut dianggap dikabulkan. Selain itu, batas waktu tersebut dimaksudkan pula untuk kepentingan tertib administrasi perpajakan. Ayat (3)
Cukup jelas. Ayat (4)
Cukup jelas. Ayat (5)
Cukup jelas. Ayat (6)
Cukup jelas. Ayat (7)
Cukup jelas. Angka 9
Pasal 19 Cukup jelas. Angka 10
Pasal 27A Dihapus. Angka 11
Pasal 27B Cukup jelas. Angka 12
Pasal 38 Cukup jelas.
Angka 13
Pasal 44B
Ayat (1) Untuk kepentingan penerimaan negara, atas permintaan Menteri Keuangan, Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan tindak pidana perpajakan sepanjang perkara pidana tersebut belum dilimpahkan ke pengadilan. Ayat (2)
Cukup jelas. Ayat (3)
Cukup jelas. Angka 1
Pasal 141 Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 144 Dihapus.
Angka 3
BAB VIIA Cukup jelas. Angka 4
Pasal 156A Cukup jelas. Pasal 156B
Cukup jelas. Angka 5
Pasal 157 Ayat (1) Penyampaian Rancangan Peraturan Daerah kepada Menteri Keuangan dimaksudkan dalam rangka mempermudah dan mempercepat proses koordinasi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Dihapus.
Ayat (4)
Dihapus.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (5a)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Dihapus.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Ayat (10)
Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 158 Cukup jelas. Angka 7
Pasal 159 Cukup jelas.
Angka 8
Pasal 159A Cukup jelas. Angka 1
Pasal 1 Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 37 Cukup jelas. Angka 3
Pasal 38 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "standar mutu wajib" adalah standar nasional Indonesia (SNI) yang diberlakukan secara wajib pada Komoditas Perikanan dan Komoditas Pergaraman.
Ayat (2)
Cukup jelas. Angka 4
Pasal 38A Cukup jelas. Angka 5
Pasal 74 Cukup jelas. Dihapus.
Pasal 117 Angka 1
Pasal 1 Cukup jelas. Angka 2
Pasal 87 Ayat (1) BUM Desa dibentuk oleh Pemerintah Desa untuk mendayagunakan segala potensi ekonomi, kelembagaan perekonomian, serta potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa. BUM Desa secara spesifik tidak dapat disamakan dengan badan hukum seperti perseroan terbatas, atau koperasi. Oleh karena itu, BUM Desa merupakan suatu badan usaha bercirikan Desa yang dalam pelaksanaan kegiatannya di samping untuk membantu penyelenggaraan Pemerintahan Desa, juga untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Desa. BUM Desa juga dapat melaksanakan fungsi pelayanan jasa, perdagangan, dan pengembangan ekonomi lainnya. Dalam meningkatkan sumber pendapatan Desa, BUM Desa dapat menghimpun tabungan dalam skala lokal masyarakat Desa, antara lain melalui pengelolaan dana bergulir dan simpan pinjam. BUM Desa dalam kegiatannya tidak hanya berorientasi pada keuntungan keuangan, tetapi juga berorientasi untuk mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat Desa. BUM Desa diharapkan dapat mengembangkan unit usaha dalam mendayagunakan potensi ekonomi. Dalam hal kegiatan usaha dapat berjalan dan berkembang dengan baik, sangat dimungkinkan pada saatnya BUM Desa mengikuti badan hukum yang telah ditetapkan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Dalam rangka keterpaduan pembangunan daerah, BUM Desa dan unit usaha dibawahnya dalam menjalankan kegiatan usaha harus sesuai dengan rencana induk pembangunan daerah.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 118 Angka 1
Pasal 44
Ayat (1)
30 (tiga puluh) hari dihitung sejak diterimanya petikan putusan Komisi oleh pelaku usaha atau kuasa hukumnya.
Ayat (2)
Cukup jelas. Ayat (3)
Cukup jelas. Ayat (4)
Cukup jelas. Ayat (5)
Cukup jelas. Angka 2
Pasal 45 Cukup jelas. Angka 3
Pasal 47
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Penghentian integrasi vertikal antara lain dilaksanakan dengan pembatalan perjanjian, pengalihan sebagian perusahaan kepada pelaku usaha lain, atau perubahan bentuk rangkaian produksinya.
Huruf c
Yang diperintahkan untuk dihentikan adalah kegiatan atau tindakan tertentu dan bukan kegiatan usaha pelaku usaha secara keseluruhan.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas. Huruf f
Ganti rugi diberikan kepada pelaku usaha dan kepada pihak lain yang dirugikan.
Huruf g
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 48
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 49
Dihapus.
Pasal 119 Cukup jelas.
Pasal 120 Angka 1
BAB V
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 121 Pasal 48
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "terintegrasi" adalah upaya mengarahkan dan menyinergikan antara lain dalam penyusunan perencanaan, program, anggaran, dan Sumber Daya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi bidang Penelitian, Pengembangan, Pengkajian, dan Penerapan untuk menghasilkan Invensi dan Inovasi sebagai landasan ilmiah dalam perumusan dan penetapan kebijakan pembangunan nasional.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 122 Cukup jelas.
Pasal 123 Angka 1
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas Huruf b
Mekanisme pinjam pakai kawasan hutan digunakan khusus untuk proyek-proyek yang sifatnya tidak permanen.
Angka 2
Pasal 10
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "bendungan" adalah bangunan yang berupa urukan tanah, urukan batu, beton, dan/atau pasangan batu yang dibangun selain untuk menahan dan menampung air juga untuk menahan dan menampung limbah tambang (tailing) atau lumpur sehingga terbentuk waduk.
Yang dimaksud dengan "bendung" adalah tanggul untuk menahan air di sungai, tepi laut, dan sebagainya. Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Yang dimaksud dengan "sampah" adalah sampah sesuai dengan undang-undang yang mengatur pengelolaan sampah.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Yang dimaksud "fasilitas keselamatan umum" adalah semua fasilitas yang diperlukan untuk menanggulangi akibat suatu bencana, antara lain rumah sakit darurat, rumah penampungan darurat, serta tanggul penanggulangan bahaya banjir, lahar, dan longsor.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Yang dimaksud dengan "fasilitas sosial" digunakan antara lain untuk kepentingan keagamaan atau beribadah.
Yang dimaksud dengan "ruang terbuka hijau publik" adalah ruang terbuka hijau sesuai dengan undang-undang yang mengatur penataan ruang. Huruf m
Cukup jelas.
Huruf n
Yang dimaksud dengan "kantor Pemerintah/Pemerintah Daerah/desa" adalah sarana dan prasarana untuk menyelenggarakan fungsi pemerintahan, termasuk lembaga pemasyarakatan, rumah tahanan negara, dan unit pelaksana teknis lembaga pemasyarakatan lain.
Huruf o
Yang dimaksud dengan "perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah" adalah perumahan masyarakat yang dibangun di atas tanah Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah dan kepada penghuninya diberikan status rumah sewa.
Huruf p
Cukup jelas.
Huruf q
Cukup jelas.
Huruf r
Yang dimaksud dengan "pasar umum dan lapangan parkir umum" adalah pasar dan lapangan parkir yang direncanakan, dilaksanakan, dikelola, dan dimiliki oleh Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah dan pengelolaannya dapat dilakukan dengan bekerja sama dengan Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, atau Badan Usaha Swasta.
Huruf s
Cukup jelas.
Huruf t
Cukup jelas.
Huruf u
Cukup jelas.
Huruf v
Cukup jelas.
Huruf w
Cukup jelas.
Huruf x
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 14
Cukup jelas. Angka 4
Pasal 19 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "pengelola dan pengguna Barang Milik Negara/Barang Milik Daerah" adalah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perbendaharaan negara.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "masyarakat yang terkena dampak" misalnya masyarakat yang berbatasan langsung dengan lokasi Pengadaan Tanah.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "surat kuasa" adalah surat kuasa untuk mewakili Konsultasi Publik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Yang dimaksud dengan "dari dan oleh Pihak yang Berhak" adalah penerima kuasa dan pemberi kuasa sama-sama berasal dari Pihak yang Berhak. Ayat (4)
Cukup jelas. Ayat (5)
Cukup jelas. Ayat (6)
Cukup jelas Ayat (7)
Cukup jelas. Ayat (8)
Cukup jelas Angka 5
Pasal 19A Cukup jelas. Pasal 19B Cukup jelas. Pasal 19C
Cukup jelas. Angka 6
Pasal 24
Cukup jelas. Angka 7
Pasal 28
Ayat (1) Inventarisasi dan identifikasi dilaksanakan untuk mengetahui Pihak yang Berhak dan Objek Pengadaan Tanah. Hasil inventarisasi dan identifikasi tersebut memuat daftar nominasi Pihak yang Berhak dan Objek Pengadaan Tanah. Pihak yang Berhak meliputi nama, alamat, dan pekerjaan pihak yang menguasai/memiliki tanah. Objek Pengadaan Tanah meliputi letak, luas, status, serta jenis penggunaan dan pemanfaatan tanah. Ayat (2)
Cukup jelas Ayat (3)
Cukup jelas Angka 8
Pasal 34
Cukup jelas. Angka 9
Pasal 36 Ayat (1) Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "pemukiman kembali" adalah proses kegiatan penyediaan tanah pengganti kepada Pihak yang Berhak ke lokasi lain sesuai dengan kesepakatan dalam proses Pengadaan Tanah.
Huruf d
Yang dimaksud dengan 'Ganti Kerugian dalam bentuk kepemilikan saham" adalah penyertaan saham dalam kegiatan pembangunan untuk Kepentingan Umum terkait dan/atau pengelolaannya yang didasari kesepakatan antarpihak.
Huruf e
Bentuk lain yang disetujui oleh kedua belah pihak misalnya gabungan dari 2 (dua) atau lebih bentuk Ganti Kerugian sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d. Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 10
Pasal 40
Pemberian Ganti Kerugian pada prinsipnya harus diserahkan langsung kepada Pihak yang Berhak atas Ganti Kerugian. Apabila berhalangan, pihak yang Berhak karena hukum dapat memberikan kuasa kepada pihak lain atau ahli waris. Penerima kuasa hanya dapat menerima kuasa dari satu orang yang berhak atas Ganti Kerugian.
Yang berhak antara lain:
Yang dimaksud dengan "pihak yang menguasai tanah negara dengan iktikad baik" adalah:
Pada ketentuannya, Ganti Kerugian diberikan kepada pemegang Hak atas Tanah. Untuk hak guna bangunan atau hak pakai yang berada di atas tanah yang bukan miliknya, Ganti Kerugian diberikan kepada pemegang hak guna bangunan atau hak pakai atas bangunan, tanaman, atau benda lain yang berkaitan dengan tanah yang dimiliki atau dipunyainya, sedangkan Ganti Kerugian atas tanahnya diberikan kepada pemegang hak milik atau hak pengelolaan. Ganti Kerugian atas tanah hak ulayat diberikan dalam bentuk tanah pengganti, pemukiman kembali, atau bentuk lain yang disepakati oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Pihak yang menguasai tanah negara yang dapat diberikan Ganti Kerugian adalah pemakai tanah negara yang sesuai dengan atau tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan. Misalnya, bekas pemegang hak yang telah habis jangka waktunya yang masih menggunakan atau memanfaatkan tanah yang bersangkutan, pihak yang menguasai tanah negara berdasarkan sewa-menyewa, atau pihak lain yang menggunakan atau memanfaatkan tanah negara bebas dengan tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan.
Yang dimaksud dengan "pemegang dasar penguasaan atas tanah" adalah pihak yang memiliki alat bukti yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang yang membuktikan adanya penguasaan yang bersangkutan atas tanah yang bersangkutan, misalnya pemegang akta jual beli atas Hak atas Tanah yang belum dibalik nama, pemegang akta jual beli atas hak milik adat yang belum diterbitkan sertifikat, dan pemegang surat izin menghuni. Bangunan, tanaman, atau benda lain yang berkaitan dengan tanah yang belum atau tidak dipunyai dengan Hak atas Tanah, ganti rugi diberikan kepada pemilik bangunan, tanaman, atau benda lain yang berkaitan dengan tanah. Angka 11
Pasal 42 Cukup jelas. Angka 12
Pasal 46 Cukup jelas. Angka 1
Pasal 44 Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "kepentingan umum" adalah kepentingan sebagian besar masyarakat yang meliputi kepentingan untuk pembuatan jalan umum, waduk, bendungan, irigasi, saluran air minum atau air bersih, drainase dan sanitasi, bangunan pengairan, pelabuhan, bandar udara, stasiun dan jalan kereta api, terminal, fasilitas keselamatan umum, cagar alam, serta pembangkit dan jaringan listrik.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 73 Cukup jelas. Cukup jelas.
Pasal 126 Ayat (1)
Huruf a Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Reforma agraria dalam kerangka bank tanah tidak termasuk tanah dalam kawasan hutan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 127 Cukup jelas.
Pasal 128 Cukup jelas.
Pasal 129 Ayat (1)
Cukup jelas. Ayat (2)
Cukup jelas. Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "sudah digunakan dan/atau dimanfaatkan sesuai dengan tujuan pemberian haknya" adalah pemegang hak atas tanah sudah memiliki sertifikat laik fungsi. Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 130 Cukup jelas.
Pasal 131 Cukup jelas.
Pasal 132 Cukup jelas.
Pasal 133 Cukup jelas.
Pasal 134 Cukup jelas.
Pasal 135 Cukup jelas.
Pasal 136 Cukup jelas.
Pasal 137 Cukup jelas.
Pasal 138 Cukup jelas.
Pasal 139 Cukup jelas.
Pasal 140 Cukup jelas.
Pasal 141 Cukup jelas.
Pasal 142Cukup jelas. Cukup jelas. Ayat (1) Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Kepemilikan satuan rumah susun oleh warga negara asing hanya diberikan di Kawasan Ekonomi Khusus, Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, Kawasan Industri, dan kawasan ekonomi lainnya.
Huruf d
Kepemilikan satuan rumah susun oleh badan hukum asing hanya diberikan di Kawasan Ekonomi Khusus, Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, Kawasan Industri, dan kawasan ekonomi lainnya.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 145 Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Angka 1 Pasal 1
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 3
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "logistik dan distribusi" adalah kegiatan usaha yang meliputi antara lain: kegiatan penyimpanan, perakitan, penyortiran, pengepakan, pendistribusian, perbaikan dan perekondisian permesinan dari dalam negeri dan dari luar negeri.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "pengembangan teknologi" adalah kegiatan usaha yang meliputi antara lain: kegiatan riset dan teknologi, rancangan bangunan dan rekayasa, teknologi terapan, pengembangan perangkat lunak, serta jasa di bidang teknologi informasi.
Huruf d
Yang dimaksud dengan "pariwisata" adalah kegiatan usaha yang meliputi antara lain: kegiatan usaha pariwisata untuk mendukung penyelenggaraan hiburan dan rekreasi, pertemuan, perjalanan insentif dan pameran, serta kegiatan yang terkait.
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Cukup jelas
Huruf h
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas. Ayat (3)
Cukup jelas. Ayat (4)
Cukup jelas. Ayat (5)
Yang dimaksud dengan "perumahan bagi pekerja" adalah pembangunan perumahan terpisah dari kegiatan usaha yang ada di KEK. Ayat (6)
Cukup jelas. Ayat (7)
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 4 Huruf a Yang dimaksud dengan "kawasan lindung" adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "mempunyai batas yang jelas" adalah batas alam (sungai atau laut) atau batas buatan (pagar atau tembok).
Huruf c
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 5 Cukup jelas. Angka 5
Pasal 6 Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Lokasi pengembangan yang diusulkan dapat merupakan area baru atau perluasan KEK yang sudah ada.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "rencana tata ruang KEK" adalah rencana peruntukan ruang pada lokasi KEK.
Yang dimaksud dengan "pengaturan zonasi" adalah rencana pengembangan KEK yang ditetapkan oleh Badan Usaha, Pemerintah Daerah, Pemerintah Pusat atau Badan Usaha Pengelola KEK; Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 8A Cukup jelas. Angka 7
Pasal 10 Cukup jelas.
Angka 8
Pasal 11 Dihapus. Angka 9
Pasal 13 Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2)
Materi dan syarat kerja sama meliputi antara lain jangka waktu kerja sama, pertanggungjawaban terhadap aset yang berasal dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan swasta, serta hak kepemilikan setelah masa kerja sama berakhir.
Angka 10
Pasal 16 Cukup jelas. Angka 11
Pasal 17 Huruf a Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Standar pengelolaan di KEK mengatur antara lain standar infrastruktur dan pelayanan
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Yang dimaksud dengan "permasalahan strategis" antara lain permasalahan yang tidak dapat diselesaikan oleh Dewan Kawasan atau menyangkut kebijakan nasional dan/atau daerah yang memengaruhi pelaksanaan pengelolaan dan pengembangan KEK.
Huruf h
Cukup jelas.
Angka 12
Pasal 19 Cukup jelas. Angka 13
Pasal 20 Dihapus. Angka 14
Pasal 21 Cukup jelas. Angka 15
Pasal 22 Cukup jelas.
Angka 16
Pasal 23 Ayat (1) Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "pelayanan non perizinan" adalah segala bentuk kemudahan pelayanan fasilitas fiskal, fasilitas non-fiskal dan informasi mengenai penanaman modal, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Contoh pelayanan non perizinan antara lain: pajak, kepabeanan, cukai, lalu lintas barang dan keimigrasian. Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 17
Pasal 24 Cukup jelas. Angka 18
Pasal 24A Cukup jelas. Pasal 24B
Cukup jelas. Pasal 24C
Ayat (1) Yang dimaksud dengan "pola pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum", adalah pola pengelolaan keuangan yang memberikan fleksibilitas berupa keleluasaan untuk menerapkan praktik-praktik bisnis yang sehat untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 19
Pasal 25 Cukup jelas. Angka 20
Pasal 26
Cukup jelas. Angka 21
Pasal 27 Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2)
Pada wilayah yang tidak ditetapkan sebagai KEK, terdapat ketentuan mengenai pembatasan impor. Namun, ketentuan mengenai pembatasan impor tersebut tidak dapat diberlakukan bagi barang yang dimasukkan ke dalam KEK mengingat barang yang dimasukkan ke dalam KEK digunakan untuk pembangunan dan pengoperasian KEK. Apabila pembatasan impor diberlakukan di KEK maka dapat mengurangi daya saing KEK.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan "sistem elektronik yang terintegrasi secara nasional" adalah integrasi sistem secara nasional yang memungkinkan dilakukannya penyampaian data dan informasi secara tunggal, pemrosesan data dan informasi secara tunggal dan sinkron, dan penyampaian keputusan secara tunggal untuk pemberian perizinan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Angka 22
Pasal 30 Cukup jelas. Angka 23
Pasal 31 Dihapus. Angka 24
Pasal 32 Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud serta Jasa Kena Pajak di KEK" adalah pemanfaatan baik yang berasal dari dalam KEK sendiri ataupun yang berasal dari KEK lainnya, Luar Daerah Pabean, Tempat Lain Dalam Daerah Pabean, Kawasan Bebas, dan Tempat Penimbunan Berikat
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Angka 25
Pasal 32A Ayat (1) Yang dimaksud dengan "barang konsumsi" mencakup antara lain:
Jenis dan jumlahnya diusulkan oleh Administror dan disetujui oleh Dewan Nasional.
Ayat (2)
Cukup jelas. Angka 26
Pasal 33A
Ayat (1) Yang dimaksud dengan "pelayanan kepabeanan mandiri" meliputi antara lain pelekatan dan/atau pelepasan tanda pengaman, pelayanan pemasukan barang, pelayanan pembongkaran barang, pelayanan penimbunan barang, pelayanan pemuatan barang, pelayanan pengeluaran barang; dan/atau pelayanan lainnya. Ayat (2)
Cukup jelas. Angka 27
Pasal 35
Cukup jelas. Angka 28
Pasal 36
Cukup jelas. Angka 29
Pasal 38
Cukup jelas. Angka 30
Pasal 38A
Cukup jelas.
Angka 31
Pasal 40
Cukup jelas. Angka 32
Pasal 41 Yang dimaksud dengan "jabatan direksi atau komisaris" adalah jabatan direksi atau komisaris yang tercantum dalam akta pendirian perusahaan atau perubahannya.
Ketentuan ini diperlukan dalam rangka meningkatkan daya saing KEK. Angka 33
Pasal 43 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "Lembaga Kerja Sama Tripartit Khusus" adalah Lembaga Kerja Sama Tripartit yang berada di KEK.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 34
Pasal 44 Dihapus. Angka 35
Pasal 45 Dihapus. Angka 36
Pasal 47 Yang dimaksud dengan "perjanjian kerja bersama" adalah perjanjian kerja bersama yang dibuat oleh serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat buruh yang telah tercatat pada instansi yang bertangung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha. Angka 37
Pasal 48 Cukup jelas. Cukup jelas.
Pasal 152 Angka 1
Pasal 6 Cukup jelas. Angka 2
Pasal 7 Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 10
Cukup jelas. Angka 4
Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 154 Ayat (1)
Dalam melakukan investasi, pemerintah melakukan pengelolaan dan penempatan sejumlah dana dan/atau aset untuk memperoleh manfaat ekonomi, sosial, dan/atau manfaat lainnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas. Huruf b
Yang dimaksud dengan "kegiatan pengelolaan aset" adalah antara lain kegiatan akuisisi, pengelolaan, restrukturisasi perusahaan (saham) maupun aset tetap, divestasi, dan lain-lain yang dilakukan secara langsung maupun secara tidak langsung baik dilakukan sendiri atau melalui kerja sama dengan pihak ketiga atau melalui pembentukan entitas khusus baik berbentuk badan hukum Indonesia maupun badan hukum asing. Huruf c
Dalam melakukan kerja sama dengan entitas dana perwalian (trust fund), penyedia dana (settlor) harus memberikan kuasa kepada entitas dana perwalian (trust fund) dalam rangka melakukan pengelolaan investasi dengan Lembaga. Huruf d
Yang dimaksud dengan "berwenang menentukan calon mitra investasi" adalah menunjuk mitra secara langsung dengan pertimbangan antara lain mengikuti praktik bisnis yang berlaku secara internasional dan dalam rangka percepatan proses penentuan calon mitra, dengan tetap menjaga tata kelola yang baik. Kriteria bagi calon mitra yang dapat dipertimbangkan antara lain memiliki reputasi baik, memiliki kemampuan keuangan untuk dapat menunjang komitmen investasinya, dan/atau memiliki keahlian di bidang investasi yang akan dikerjasamakan. Huruf e
Cukup jelas Huruf f
Cukup jelas Cukup jelas.
Pasal 156 Cukup jelas.
Pasal 157 Ayat (1)
Cukup jelas. Ayat (2)
Aset negara yang berasal dari cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara dan tidak dapat dipindahtangankan kepada orang lain termasuk Lembaga. Aset negara yang berisikan atau mengelola bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya tetap dikuasai oleh negara dan tidak dipindahtangankan menjadi aset Lembaga. Ayat (3)
Cukup jelas. Ayat (4)
Yang dimaksud dengan "ketentuan perundang-undangan", misalnya: peralihan Hak Milik Atas Saham dilakukan dengan Akta Jual Beli atau Akta Hibah atas saham pengalihan hak milik atas tanah dan/atau bangunan dilakukan dengan Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah. Ayat (5)
Cukup jelas. Ayat (6)
Cukup jelas. Ayat (7)
Dalam putusan Rapat Umum Pemegang Saham untuk Persero dengan tetap mengacu ketentuan dan pengaturan dalam anggaran dasar badan usaha milik negara dimaksud atau memuat antara lain proses administrasi pengalihan aset termasuk cara pemindahtanganan. Ayat (8)
Peraturan Pemerintah antara lain mengatur mengenai mekanisme pembukuan aset yang dipindah tangankan, penentuan aset yang dipindahtangankan dan nilai pasar wajar aset tersebut, dan prosedur pemindahtanganan.
Pasal 158Mekanisme yang diatur tersebut memperhatikan praktik bisnis yang berlaku secara internasional dan memperhatikan prinsip independensi dan transparansi dari Lembaga. Ayat (1)
Cukup jelas. Ayat (2)
Cukup jelas. Ayat (3)
Kerja sama dengan pihak ketiga dimaksud antara lain dilakukan dengan mitra investasi, badan usaha milik negara, badan atau lembaga pemerintah atau melalui penunjukan manajer investasi berbadan hukum Indonesia atau asing.
Lembaga dalam kerja sama dengan pihak ketiga, tetap mempertahankan kedudukannya sebagai penentu utama kebijakan usaha dan penentu dalam pengambilan keputusan di badan usaha yang memenuhi kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. Ayat (4)
Modal dan kekayaan Lembaga merupakan milik Lembaga dan setiap kerugian yang dialami oleh Lembaga bukan merupakan kerugian negara.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Peraturan Pemerintah dimaksud mengatur antara lain pertimbangan untuk melakukan pencadangan dan penggunaan akumulasi modal untuk investasi kembali.
Pasal 159Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "pihak ketiga" mencakup mitra investasi, manajer investasi, badan usaha milik negara, badan atau lembaga pemerintah, dan/atau entitas lainnya baik di dalam maupun luar negeri. Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "bentuk kerja sama lainnya" dapat mencakup pendirian dana kelolaan investasi (fund) bersama pihak lain. Lembaga dalam kerja sama dengan pihak ketiga, tetap mempertahankan kedudukannya sebagai penentu utama kebijakan usaha dan penentu dalam pengambilan keputusan di badan usaha dengan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. Ayat (3)
Pemindah tanganan aset Lembaga untuk dijadikan penyertaan modal dengan memperhatikan tujuan pemindah tanganan, penilaian atas aset dan memperhatikan praktik bisnis yang berlaku secara internasional dan dilakukan dengan prinsip usaha yang sehat.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Peraturan Pemerintah dalam ayat ini sekurang-kurangnya mengatur:
Pengaturan di dalam Peraturan Pemerintah didasarkan pada praktik internasional yang baik.
Pasal 160 Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Hasil pengembangan usaha dan pengembangan aset Lembaga dapat berupa keuntungan atau aset tetap yang dibeli Lembaga selama masa operasional. Huruf c
Aset badan usaha milik negara dapat menjadi aset Lembaga antara lain melalui mekanisme transaksi jual beli. Huruf d
Cukup jelas. Huruf e
Sumber lain yang sah antara lain aset yang dibeli dari pinjaman atau aset yang berasal dari barang yang diperoleh sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang barang milik negara/daerah. Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 161Pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Lembaga oleh akuntan publik dilakukan dengan mengikuti standar akuntasi yang diakui secara internasional sebagai standar akuntansi yang berlaku untuk badan hukum pengelola investasi sejenisnya.
Pasal 162Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan kondisi insolven adalah kondisi di mana Lembaga kekurangan modal yang berdampak pada kesulitan untuk melakukan kegiatan usaha dalam jangka panjang.
Pasal 163 Cukup jelas. Ayat (1) Peraturan Pemerintah dimaksud mengatur antara lain kebijakan investasi, keterbukaan informasi, benturan kepentingan, kerahasiaan informasi, pengadministrasian dari data dan informasi yang berkaitan dengan aset yang dikelola, audit internal, tanggung jawab sosial dan lingkungan serta manajemen risiko dengan memperhatikan praktik bisnis yang berlaku secara internasional.
Ayat (2)
Ketidakberlakuan peraturan perundang-undangan terkait yang mengatur pengelolaan keuangan negara/kekayaan negara/badan usaha milik negara bagi Lembaga, karena kegiatan pengelolaan aset dan investasi telah diatur secara khusus dalam undang-undang ini dan peraturan pelaksanaannya.
Pasal 165 Ayat (1) Lembaga Pengelola Investasi dapat disebut dengan nama lain seperti: Indonesian Sovereign Wealth Fund atau Indonesia Investment Authority.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 166 Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "badan usaha" antara lain Badan Usaha Milik Negara dan/atau Badan Usaha Milik Daerah.
Ayat (3)
Cukup jelas. Ayat (4)
Cukup jelas. Ayat (5)
Cukup jelas. Cukup jelas.
Pasal 175 Angka 1
Pasal 1 Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 24
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "alasan-alasan objektif" adalah alasan-alasan yang diambil berdasarkan fakta dan kondisi faktual, tidak memihak, dan rasional serta berdasarkan AUPB.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan "iktikad baik" adalah Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan didasarkan atas motif kejujuran dan berdasarkan AUPB.
Angka 3
Pasal 38
Ayat (1)
Prosedur penggunaan Keputusan Berbentuk Elektronis berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang informasi dan transaksi elektronik.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 39 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "memerlukan perhatian khusus" adalah setiap usaha atau kegiatan yang dilakukan atau dikerjakan oleh Warga Masyarakat, dalam rangka menjaga ketertiban umum, maka Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan perlu memberikan perhatian dan pengawasan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "swasta" meliputi perorangan, korporasi yang berbadan hukum di Indonesia, dan asing.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 39A
Cukup jelas. Angka 6
Pasal 53
Cukup jelas. Angka 1
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "praktik yang baik (good practices)" adalah sesuai standar atau ketentuan yang berlaku secara internasional".
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 250
Yang dimaksud dengan "putusan pengadilan" adalah putusan pengadilan yang telah diikuti oleh putusan hakim berikutnya. Angka 3
Pasal 251
Cukup jelas. Angka 4
Pasal 252
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Pemotongan DAU dan/atau DBH bagi Daerah bersangkutan sebesar uang yang sudah dipungut oleh Daerah.
Angka 5
Pasal 260
Cukup jelas. Angka 6
Pasal 292A
Cukup jelas. Angka 7
Pasal 300
Cukup jelas. Angka 8
Pasal 349
Ayat (1) Yang dimaksud dengan "penyederhanaan jenis pelayanan publik" adalah menggabungkan beberapa jenis pelayanan publik yang diamanatkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan menjadi 1 (satu) jenis pelayanan yang di dalamnya menampung/memuat substansi pelayanan yang digabungkan tersebut.
Yang dimaksud dengan "penyederhanaan prosedur pelayanan publik" adalah mengurangi dan/atau mengintegrasikan persyaratan atau langkah-langkah pemberian layanan, sehingga mempermudah proses pemberian layanan kepada masyarakat.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 9
Pasal 350
Cukup jelas. Angka 10
Pasal 402A Cukup jelas.
Pasal 177 Cukup jelas.
Pasal 178 Cukup jelas.
Pasal 179 Cukup jelas.
Pasal 180 Cukup jelas.
Pasal 181 Cukup jelas.
Pasal 182 Cukup jelas.
Pasal 183 Cukup jelas.
Pasal 184 Cukup jelas.
Pasal 185 Cukup jelas.
Pasal 186 Cukup jelas.
|
Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.