Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 18/PMK.03/2021

Kategori : KUP, PPh, PPN

Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja Di Bidang Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, Serta Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan


PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 18/PMK.03/2021

TENTANG

PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2020
TENTANG CIPTA KERJA DI BIDANG PAJAK PENGHASILAN,
PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH,
SERTA KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,


Menimbang :

  1. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 2 ayat (4), Pasal 4 ayat (1d), dan Pasal 4 ayat (3) huruf f, huruf o, dan huruf p Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, perlu mengatur lebih lanjut ketentuan di bidang Pajak Penghasilan untuk mendukung kemudahan berusaha;
  2. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 9 ayat (13) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf e, serta Pasal 13 ayat (5a) dan ayat (8) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, perlu mengatur ketentuan mengenai Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah untuk mendukung kemudahan berusaha;
  3. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 9 ayat (3a), Pasal 9 ayat (4), Pasal 13 ayat (6), Pasal 14 ayat (6), Pasal 15 ayat (5), Pasal 17B ayat (1a), Pasal 27B ayat (8), dan Pasal 44B ayat (3) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, perlu mengatur ketentuan mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan untuk mendukung kemudahan berusaha;
  4. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja di Bidang Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, serta Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;

Mengingat :

  1. Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573);
  3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573);
  4. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573);
  5. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916);
  6. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573);
  7. Peraturan Presiden Nomor 57 Tahun 2020 tentang Kementerian Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 98);
  8. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 145/PMK.03/2012 tentang Tata Cara Penerbitan Surat Ketetapan Pajak dan Surat Tagihan Pajak (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 902) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 183/PMK.03/2015 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 145/PMK.03/2012 tentang Tata Cara Penerbitan Surat Ketetapan Pajak dan Surat Tagihan Pajak (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 1467);
  9. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pemeriksaan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 47) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2015 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pemeriksaan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 1468);
  10. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 239/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Pemeriksaan Bukti Permulaan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 1951);
  11. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 242/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Pembayaran dan Penyetoran Pajak (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 1973);
  12. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 243/PMK.03/2014 tentang Surat Pemberitahuan (SPT) (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 1974) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 9/PMK.03/2018 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 243/PMK.03/2014 tentang Surat Pemberitahuan (SPT) (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 180);
  13. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 55/PMK.03/2016 tentang Tata Cara Permintaan Penghentian Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan untuk Kepentingan Penerimaan Negara (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 538);
  14. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 217/PMK.01/2018 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 1862) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 229/PMK.01/2019 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 217/PMK.01/2018 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 1745);


MEMUTUSKAN :


Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2020 TENTANG CIPTA KERJA DI BIDANG PAJAK PENGHASILAN, PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH, SERTA KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN.


BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1


Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan:
  1. Undang-Undang Pajak Penghasilan yang selanjutnya disebut Undang-Undang PPh adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
  2. Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai yang selanjutnya disebut Undang-Undang PPN adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
  3. Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang selanjutnya disebut Undang-Undang KUP adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
  4. Pajak Penghasilan yang selanjutnya disingkat PPh adalah Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang PPh.
  5. Pajak Pertambahan Nilai yang selanjutnya disingkat PPN adalah Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang PPN.
  6. Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang selanjutnya disingkat PPnBM adalah Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang PPN.
  7. Pajak Bumi dan Bangunan yang selanjutnya disingkat PBB adalah Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994.
  8. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan perpajakan.
  9. Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
  10. Masa Pajak adalah jangka waktu yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang dalam suatu jangka waktu tertentu sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang KUP.
  11. Nomor Pokok Wajib Pajak yang selanjutnya disingkat NPWP adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.
  12. Nomor Transaksi Penerimaan Negara yang selanjutnya disingkat NTPN adalah nomor tanda bukti pembayaran atau penyetoran ke kas negara yang diterbitkan melalui modul penerimaan negara atau oleh sistem penerimaan negara yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan.
  13. Warga Negara Indonesia yang selanjutnya disingkat WNI adalah orang bangsa Indonesia asli atau orang bangsa lain yang telah disahkan sebagai warga negara Indonesia berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kewarganegaraan Republik Indonesia.
  14. Warga Negara Asing yang selanjutnya disingkat WNA adalah setiap orang yang bukan WNI.
  15. Surat Keterangan WNI Memenuhi Persyaratan Menjadi Subjek Pajak Luar Negeri adalah surat yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak atas nama Direktur Jenderal Pajak yang menerangkan bahwa WNI memenuhi persyaratan menjadi subjek pajak luar negeri.
  16. Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang selanjutnya disingkat P3B adalah perjanjian antara Pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara mitra atau yurisdiksi mitra dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak.
  17. Pemberi Kerja adalah badan hukum atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan WNA dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
  18. Dividen adalah bagian laba yang diterima atau diperoleh pemegang saham.
  19. Laba Setelah Pajak adalah laba setelah pajak komprehensif.
  20. Laba Ditahan adalah akumulasi Laba Setelah Pajak yang tidak dibagikan kepada para pemegang saham dalam bentuk Dividen yang digunakan untuk membiayai berbagai kepentingan perusahaan.
  21. Badan Pengelola Keuangan Haji yang selanjutnya disingkat BPKH adalah lembaga yang melakukan pengelolaan keuangan haji sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pengelolaan keuangan haji.
  22. Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji yang selanjutnya disingkat BPIH adalah sejumlah dana yang harus dibayar oleh warga negara yang akan menunaikan ibadah haji.
  23. Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus yang selanjutnya disebut BPIH Khusus adalah sejumlah dana yang harus dibayar oleh warga negara yang akan menunaikan ibadah haji khusus.
  24. Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-Undang yang mengatur mengenai kepabeanan.
  25. Dasar Pengenaan Pajak adalah jumlah harga jual, penggantian, nilai impor, nilai ekspor, atau nilai lain yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang terutang.
  26. Barang Kena Pajak yang selanjutnya disingkat BKP adalah barang yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang PPN.
  27. Jasa Kena Pajak yang selanjutnya disingkat JKP adalah jasa yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang PPN.
  28. Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa termasuk mengekspor jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar Daerah Pabean.
  29. Pengusaha Kena Pajak yang selanjutnya disingkat PKP adalah Pengusaha yang melakukan penyerahan BKP dan/atau penyerahan JKP yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang PPN.
  30. PKP Belum Melakukan Penyerahan adalah PKP belum melakukan penyerahan BKP, penyerahan JKP, ekspor BKP, dan/atau ekspor JKP.
  31. Kantor Pelayanan Pajak yang selanjutnya disingkat KPP adalah kantor pelayanan di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar, tempat PKP dikukuhkan, dan/atau tempat objek pajak PBB diadministrasikan.
  32. Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara yang selanjutnya disingkat KPPN adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang memperoleh kuasa dari Bendahara Umum Negara untuk melaksanakan sebagian fungsi Kuasa Bendahara Umum Negara.
  33. Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh PKP yang melakukan penyerahan BKP atau penyerahan JKP.
  34. Pajak Masukan adalah PPN yang seharusnya sudah dibayar oleh PKP karena perolehan BKP dan/atau perolehan JKP dan/atau pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar Daerah Pabean dan/atau pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean dan/atau impor BKP.
  35. Pajak Keluaran adalah PPN terutang yang wajib dipungut oleh PKP yang melakukan penyerahan BKP, penyerahan JKP, ekspor BKP berwujud, ekspor BKP tidak berwujud, dan/atau ekspor JKP.
  36. Surat Setoran Pajak adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas negara melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.
  37. Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
  38. Tanda Tangan Elektronik adalah tanda tangan yang terdiri atas Informasi Elektronik yang dilekatkan, terasosiasi atau terkait dengan Informasi Elektronik lainnya yang digunakan sebagai alat verifikasi dan autentikasi.
  39. Perdagangan Melalui Sistem Elektronik adalah perdagangan yang transaksinya dilakukan melalui serangkaian perangkat dan prosedur elektronik.
  40. Utang Pajak adalah pajak yang masih harus dibayar termasuk sanksi administrasi berupa bunga, denda, atau kenaikan yang tercantum dalam surat ketetapan pajak atau surat sejenisnya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
  41. Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga yang selanjutnya disingkat SKPIB adalah surat keputusan yang menentukan besarnya imbalan bunga yang diberikan kepada Wajib Pajak.
  42. Surat Keputusan Perhitungan Pemberian Imbalan Bunga yang selanjutnya disingkat SKPPIB adalah surat keputusan yang digunakan sebagai dasar untuk memperhitungkan imbalan bunga dalam SKPIB dengan Utang Pajak dan/atau pajak yang akan terutang.
  43. Surat Perintah Membayar Imbalan Bunga yang selanjutnya disingkat SPMIB adalah surat yang diterbitkan oleh Kepala KPP atas nama Menteri Keuangan untuk membayar imbalan bunga kepada Wajib Pajak.
  44. Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak yang selanjutnya disingkat SKPKPP adalah surat keputusan yang digunakan sebagai dasar untuk menerbitkan Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak.
  45. Surat Perintah Pencairan Dana yang selanjutnya disingkat SP2D adalah surat yang diterbitkan oleh Kepala KPPN selaku Kuasa Bendahara Umum Negara untuk melaksanakan pengeluaran atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara berdasarkan SPMIB.
  46. Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan adalah pembahasan antara Wajib Pajak dan pemeriksa pajak atas temuan pemeriksaan yang hasilnya dituangkan dalam berita acara pembahasan akhir hasil pemeriksaan yang ditandatangani oleh kedua belah pihak dan berisi koreksi pokok pajak terutang baik yang disetujui maupun yang tidak disetujui dan perhitungan sanksi administrasi.
  47. Arsip Data Komputer yang selanjutnya disingkat ADK adalah arsip data dalam bentuk softcopy yang disimpan dalam media penyimpanan digital.


BAB II
PAJAK PENGHASILAN

Bagian Kesatu
Persyaratan Subjek Pajak Orang Pribadi

Pasal 2


(1) Orang pribadi yang menjadi subjek pajak dalam negeri merupakan orang pribadi WNI maupun WNA yang:
  1. bertempat tinggal di Indonesia;
  2. berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan; atau
  3. dalam suatu Tahun Pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.
(2) Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan orang pribadi yang:
  1. bermukim di suatu tempat di Indonesia yang:
    1. dikuasai atau dapat digunakan setiap saat;
    2. dimiliki, disewa, atau tersedia untuk digunakan; dan
    3. bukan sebagai tempat persinggahan oleh orang pribadi tersebut;
  2. memiliki pusat kegiatan utama di Indonesia yang digunakan oleh orang pribadi sebagai pusat kegiatan atau urusan pribadi, sosial, ekonomi, dan/atau keuangan di Indonesia; atau
  3. menjalankan kebiasaan atau kegiatan sehari-hari di Indonesia, antara lain aktivitas yang menjadi kegemaran atau hobi.
(3) Jangka waktu 183 (seratus delapan puluh tiga) hari sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ditentukan dengan menghitung lamanya subjek pajak orang pribadi berada di Indonesia dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, baik secara terus menerus atau terputus-putus dengan bagian dari hari dihitung penuh sebagai 1 (satu) hari.
(4) Subjek pajak orang pribadi dianggap mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat dibuktikan dengan dokumen berupa:
  1. Kartu Izin Tinggal Tetap (KITAP);
  2. Visa Tinggal Terbatas (VITAS) dengan masa berlaku lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari;
  3. Izin Tinggal Terbatas (ITAS) dengan masa berlaku lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari;
  4. kontrak atau perjanjian untuk melakukan pekerjaan, usaha, atau kegiatan yang dilakukan di Indonesia selama lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari; atau
  5. dokumen lain yang dapat menunjukkan niat untuk bertempat tinggal di Indonesia, seperti kontrak sewa tempat tinggal lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari atau dokumen yang menunjukkan pemindahan anggota keluarga.


Pasal 3


(1) Orang pribadi yang menjadi subjek pajak luar negeri merupakan:
a. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia;
b. WNA yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan; atau
c. WNI yang berada di luar Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan serta memenuhi persyaratan:
1. bertempat tinggal secara permanen di suatu tempat di luar Indonesia yang bukan merupakan tempat persinggahan;
2. memiliki pusat kegiatan utama yang menunjukkan keterikatan pribadi, ekonomi, dan/atau sosial di luar Indonesia, yang dapat dibuktikan dengan:
a) suami atau isteri, anak-anak, dan/atau keluarga terdekat bertempat tinggal di luar Indonesia;
b) sumber penghasilan berasal dari luar Indonesia; dan/atau
c) menjadi anggota organisasi keagamaan, pendidikan, sosial, dan/atau kemasyarakatan yang diakui oleh pemerintah negara setempat;
3. memiliki tempat menjalankan kebiasaan atau kegiatan sehari-hari di luar Indonesia;
4. menjadi subjek pajak dalam negeri negara atau yurisdiksi lain; dan/atau
5. persyaratan tertentu lainnya.
(2) Pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c angka 1, angka 2, dan angka 3 dipenuhi secara berjenjang dengan ketentuan:
  1. pemenuhan persyaratan bertempat tinggal di luar Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c angka 1 merupakan persyaratan yang harus dipenuhi;
  2. dalam hal WNI yang berada di luar Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada huruf a, pemenuhan persyaratan pusat kegiatan utama dan tempat menjalankan kebiasaan di luar Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c angka 2 dan angka 3 tidak harus dipenuhi sepanjang WNI yang bersangkutan tidak lagi memenuhi persyaratan bertempat tinggal atau bermukim di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a;
  3. dalam hal yang bersangkutan memenuhi persyaratan bertempat tinggal di luar Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c angka 1 maupun bertempat tinggal atau bermukim di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a, ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf b tidak berlaku dan pemenuhan persyaratan dilanjutkan berdasarkan persyaratan pusat kegiatan utama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c angka 2;
  4. dalam hal pemenuhan persyaratan dilanjutkan sebagaimana dimaksud pada huruf c, dan WNI yang bersangkutan hanya memiliki pusat kegiatan utama di luar Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c angka 2, pemenuhan persyaratan tempat menjalankan kebiasaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c angka 3 tidak harus dipenuhi; dan
  5. dalam hal yang bersangkutan memenuhi persyaratan bertempat tinggal dan pusat kegiatan utama di luar Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c angka 1 dan angka 2 sekaligus memenuhi persyaratan bertempat tinggal dan pusat kegiatan utama di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a dan huruf b, ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf d tidak berlaku dan pemenuhan persyaratan dilanjutkan berdasarkan persyaratan tempat menjalankan kebiasaan di luar Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c angka 3.
(3) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c angka 4 dan angka 5 merupakan persyaratan yang harus dipenuhi.
(4) Persyaratan status subjek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c angka 4 terpenuhi dalam hal WNI menjadi subjek pajak dalam negeri negara atau yurisdiksi lain yang dapat dibuktikan dengan surat keterangan domisili atau dokumen lain yang menunjukkan status subjek pajak dari otoritas pajak negara atau yurisdiksi lain tersebut dengan ketentuan:
  1. menggunakan bahasa Inggris;
  2. paling sedikit mencantumkan informasi mengenai:
    1. nama WNI tersebut;
    2. tanggal penerbitan;
    3. periode berlakunya; dan
    4. nama dan ditandatangani atau diberi tanda setara dengan tanda tangan oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan kelaziman di negara atau yurisdiksi yang bersangkutan; dan
  3. periode sebagaimana dimaksud pada huruf b angka 3 berakhir paling lama 6 (enam) bulan sebelum permohonan penetapan status subjek pajak kepada Direktur Jenderal Pajak.
(5) Persyaratan tertentu lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c angka 5 yaitu:
  1. telah menyelesaikan kewajiban perpajakan atas seluruh penghasilan yang diterima atau diperoleh selama WNI tersebut menjadi subjek pajak dalam negeri; dan
  2. telah memperoleh Surat Keterangan WNI Memenuhi Persyaratan Menjadi Subjek Pajak Luar Negeri yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak.


Pasal 4


(1) Untuk memperoleh surat keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (5) huruf b, WNI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c harus:
  1. menyampaikan permohonan penetapan status subjek pajak yang menyatakan bahwa WNI tersebut memenuhi persyaratan sebagai subjek pajak luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c, ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) huruf a; dan
  2. melampirkan dokumen yang dapat membuktikan pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c, ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) huruf a.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mengajukan permohonan secara elektronik melalui saluran tertentu yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
(3) Dalam hal saluran tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) belum tersedia, permohonan dapat dilakukan secara tertulis dengan menyampaikan:
  1. secara langsung; atau
  2. melalui pos atau perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat, 
ke KPP tempat Wajib Pajak terdaftar.
(4) Kepala KPP atas nama Direktur Jenderal Pajak, berdasarkan hasil penelitian menerbitkan:
  1. Surat Keterangan WNI Memenuhi Persyaratan Menjadi Subjek Pajak Luar Negeri dalam hal WNI telah memenuhi ketentuan dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c, ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5); atau
  2. surat penolakan atas permohonan dalam hal WNI tidak memenuhi ketentuan dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c, ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5),
dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima lengkap.
(5) Dalam hal batas waktu 30 (tiga puluh) hari sebagaimana dimaksud pada ayat (4) telah terlewati dan Kepala KPP atas nama Direktur Jenderal Pajak belum memberikan keputusan, permohonan WNI dianggap diterima.
(6) Kepala KPP atas nama Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keterangan WNI Memenuhi Persyaratan Menjadi Subjek Pajak Luar Negeri dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari setelah batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) terlewati.
(7) Ketentuan mengenai bentuk dokumen berupa:
  1. permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a;
  2. Surat Keterangan WNI Memenuhi Persyaratan Menjadi Subjek Pajak Luar Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a; dan
  3. surat penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b,
tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(8) Dalam hal di kemudian hari ditemukan data dan/atau informasi bahwa kewajiban perpajakan belum atau belum sepenuhnya terpenuhi oleh WNI yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c, ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan ketetapan pajak berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.


Pasal 5


(1) WNI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c diperlakukan sebagai orang pribadi yang meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2A Undang-Undang PPh dan menjadi subjek pajak luar negeri sejak meninggalkan Indonesia.
(2) WNI yang pada saat akan meninggalkan Indonesia dapat menunjukkan bahwa yang bersangkutan memiliki niat untuk menjadi subjek pajak luar negeri berdasarkan ketentuan dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c, ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), dapat mengajukan permohonan untuk ditetapkan sebagai Wajib Pajak nonefektif pada saat akan meninggalkan Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang ketentuan umum dan tata cara perpajakan.
(3) Permohonan untuk ditetapkan sebagai Wajib Pajak nonefektif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan oleh Wajib Pajak melalui:
  1. KPP tempat Wajib Pajak terdaftar;
  2. Kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan yang berada di dalam wilayah kerja KPP tempat Wajib Pajak terdaftar; atau
  3. saluran tertentu yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
(4) Permohonan untuk ditetapkan sebagai Wajib Pajak nonefektif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dibuktikan dengan melampirkan dokumen pendukung yang dapat membuktikan niat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan kewajiban perpajakannya telah terpenuhi.
(5) WNI sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tetap harus melengkapi persyaratan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c, ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) dalam hal telah secara nyata berada di luar Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan dengan mengajukan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1).


Pasal 6


(1) WNI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c dan Pasal 5 ayat (2) yang tidak menerima atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia tidak dikenai PPh di Indonesia.
(2) Dalam hal WNI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menerima atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia, penghasilan tersebut dikenai PPh sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang berlaku bagi subjek pajak luar negeri.
(3) Dalam hal WNI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) di kemudian hari diketahui secara nyata tidak memenuhi persyaratan sebagai subjek pajak luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c, ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) atau tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (5), terhadap WNI dimaksud:
  1. penetapan sebagai Wajib Pajak nonefektif menjadi batal;
  2. tetap merupakan subjek pajak dalam negeri; dan
  3. dikenai pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang berlaku bagi subjek pajak dalam negeri.
(4) Dalam hal terhadap WNI sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdapat pemotongan PPh Pasal 26 Undang-Undang PPh sejak penetapan sebagai Wajib Pajak nonefektif hingga pembatalan sebagai Wajib Pajak nonefektif, PPh Pasal 26 dimaksud dapat dikreditkan dalam menghitung pajak terutang untuk Tahun Pajak yang bersangkutan.


Bagian Kedua
Kriteria Keahlian Tertentu serta Tata Cara Pengenaan
Pajak Penghasilan bagi Warga Negara Asing

Pasal 7


(1) Atas penghasilan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang PPh, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, dikenai PPh sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang PPh.
(2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), WNA yang telah menjadi subjek pajak dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dikenai PPh hanya atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dari Indonesia dengan ketentuan:
  1. memiliki keahlian tertentu; dan
  2. berlaku selama 4 (empat) Tahun Pajak yang dihitung sejak menjadi subjek pajak dalam negeri.
(3) Termasuk dalam pengertian penghasilan yang diterima atau diperoleh dari Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa penghasilan yang diterima atau diperoleh WNA sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan di Indonesia dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang dibayarkan di luar Indonesia.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku terhadap WNA yang memanfaatkan P3B antara Pemerintah Indonesia dan pemerintah negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B tempat WNA memperoleh penghasilan dari luar Indonesia.


Pasal 8


(1) WNA dengan keahlian tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf a meliputi tenaga kerja asing yang menduduki pos jabatan tertentu dan peneliti asing.
(2) WNA dengan keahlian tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dipekerjakan oleh Pemberi Kerja, wajib memenuhi persyaratan mengenai:
  1. penggunaan tenaga kerja asing yang dapat menduduki pos jabatan tertentu yang ditetapkan oleh menteri yang membidangi urusan pemerintah di bidang ketenagakerjaan; atau
  2. peneliti asing yang ditetapkan oleh menteri yang membidangi urusan pemerintah di bidang riset.
(3) Kriteria keahlian tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. berkewarganegaraan asing;
b memiliki keahlian di bidang ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau matematika, yang dibuktikan dengan:
  1. sertifikat keahlian yang diterbitkan oleh lembaga yang telah ditunjuk oleh Pemerintah Indonesia atau pemerintah negara asal tenaga kerja asing;
  2. ijazah pendidikan; dan/atau
  3. pengalaman kerja sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun, 
di bidang ilmu atau bidang kerja yang sesuai dengan bidang keahlian tersebut; dan
c. memiliki kewajiban untuk melakukan alih pengetahuan.
(4) Ketentuan mengenai pos jabatan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.


Pasal 9


(1) Jangka waktu 4 (empat) Tahun Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf b dihitung sejak WNA pertama kali menjadi subjek pajak dalam negeri.
(2) Dalam hal pada jangka waktu 4 (empat) Tahun Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) WNA meninggalkan Indonesia, batas akhir jangka waktu tersebut tetap dihitung sejak WNA pertama kali menjadi subjek pajak dalam negeri.


Pasal 10


WNA dapat memilih untuk dikenai PPh hanya atas penghasilan yang diterima atau diperoleh di Indonesia atau memanfaatkan P3B antara Pemerintah Indonesia dan pemerintah negara mitra atau yurisdiksi mitra tempat WNA memperoleh penghasilan dari luar Indonesia.


Pasal 11


(1) WNA yang memilih untuk dikenai PPh hanya atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dari Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) harus mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mengajukan permohonan secara elektronik melalui saluran tertentu yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
(4) Dalam hal saluran tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) belum tersedia, permohonan dapat dilakukan secara tertulis dengan menyampaikan:
  1. secara langsung; atau
  2. melalui pos atau perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat, 
ke KPP tempat Wajib Pajak terdaftar.
(5) Kepala KPP atas nama Direktur Jenderal Pajak, berdasarkan hasil penelitian menerbitkan:
  1. surat persetujuan atas permohonan pengenaan PPh hanya atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dari Indonesia, apabila persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 terpenuhi; atau
  2. surat penolakan atas permohonan pengenaan PPh hanya atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dari Indonesia, apabila persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 tidak terpenuhi,
dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima lengkap.
(6) Ketentuan mengenai bentuk dokumen berupa:
  1. surat persetujuan atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a; dan
  2. surat penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b,
tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.


Pasal 12


(1) WNA melaporkan penghasilan melalui Surat Pemberitahuan Tahunan atas:
  1. penghasilan yang diterima atau diperoleh dari Indonesia, jika diterbitkan surat persetujuan atas permohonan pengenaan PPh hanya atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dari Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (5) huruf a; atau
  2. penghasilan yang diterima atau diperolehnya dari Indonesia dan dari luar Indonesia, jika diterbitkan surat penolakan atas permohonan pengenaan PPh hanya atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dari Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (5) huruf b.
(2) Sebelum melaporkan penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), WNA melakukan penghitungan penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Ketentuan mengenai penghitungan pengenaan PPh hanya atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dari Indonesia tercantum dalam Lampiran V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.


Pasal 13


(1) WNA dengan keahlian tertentu yang telah menjadi subjek pajak dalam negeri sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini, dapat dikenai PPh hanya atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dari Indonesia sepanjang memenuhi persyaratan:
  1. jangka waktu 4 (empat) Tahun Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf b belum terlampaui; dan
  2. mengajukan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1).
(2) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b disetujui, pengenaan PPh hanya atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dari Indonesia dihitung sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja sampai dengan berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf b.


Bagian Ketiga
Kriteria, Tata Cara, dan Jangka Waktu Tertentu untuk Investasi,
Tata Cara Pengecualian Pengenaan Pajak Penghasilan atas Dividen
atau Penghasilan Lain yang Dikecualikan dari Objek Pajak, serta
Perubahan Batasan Dividen yang Diinvestasikan

Paragraf 1
Dividen yang Dikecualikan dari Objek Pajak Penghasilan

Pasal 14


(1) Dividen yang dikecualikan dari objek PPh merupakan Dividen yang berasal dari:
  1. dalam negeri; atau
  2. luar negeri,
yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak.
(2) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Wajib Pajak dalam negeri.


Pasal 15


(1) Dividen yang berasal dari dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf a yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri dikecualikan dari objek PPh dengan syarat harus diinvestasikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam jangka waktu tertentu.
(2) Dividen yang berasal dari dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf a yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak badan dalam negeri dikecualikan dari objek PPh.


Pasal 16


(1) Dalam hal Dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf a diinvestasikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia kurang dari jumlah Dividen yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, Dividen yang diinvestasikan dikecualikan dari pengenaan PPh.
(2) Selisih dari Dividen yang diterima atau diperoleh dikurangi dengan Dividen yang diinvestasikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai PPh sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 17


(1) Dividen yang berasal dari luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf b yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dikecualikan dari objek PPh.
(2) Dividen yang berasal dari luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan dari objek PPh dengan syarat harus diinvestasikan atau digunakan untuk mendukung kegiatan usaha lainnya di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam jangka waktu tertentu.
(3) Dividen yang berasal dari luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan:
  1. Dividen yang dibagikan berasal dari badan usaha di luar negeri yang sahamnya diperdagangkan di bursa efek yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak; atau
  2. Dividen yang dibagikan berasal dari badan usaha di luar negeri yang sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek sesuai dengan proporsi kepemilikan saham.


Pasal 18


Dividen yang dibagikan berasal dari badan usaha di luar negeri yang sahamnya diperdagangkan di bursa efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3) huruf a dikecualikan dari objek PPh sebesar Dividen yang diinvestasikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam jangka waktu tertentu.


Pasal 19


Dalam hal Dividen yang dibagikan berasal dari badan usaha di luar negeri yang sahamnya diperdagangkan di bursa efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 diinvestasikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia kurang dari Dividen yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, Dividen yang diinvestasikan dikecualikan dari pengenaan PPh.


Pasal 20


Selisih dari Dividen yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dikurangi dengan Dividen yang diinvestasikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dikenai PPh sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 21


(1) Selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2), Dividen yang dibagikan berasal dari badan usaha di luar negeri yang sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3) huruf b, harus diinvestasikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam jangka waktu tertentu, paling sedikit sebesar 30% (tiga puluh persen) dari Laba Setelah Pajak.
(2) Dividen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diinvestasikan sebelum Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat ketetapan pajak atas Dividen tersebut sehubungan dengan penerapan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang PPh.
(3) Dividen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang diinvestasikan setelah Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat ketetapan pajak atas Dividen tersebut sehubungan dengan penerapan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang PPh, Dividen dimaksud tidak dikecualikan dari pengenaan PPh.
(4) Dividen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Dividen yang berasal dari Laba Setelah Pajak mulai Tahun Pajak 2020, yang diterima atau diperoleh sejak tanggal 2 November 2020.


Pasal 22


(1) Dalam hal Dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) diinvestasikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia kurang dari 30% (tiga puluh persen) dari jumlah Laba Setelah Pajak, Dividen yang diinvestasikan dikecualikan dari pengenaan PPh.
(2) Atas selisih dari 30% (tiga puluh persen) Laba Setelah Pajak dikurangi dengan Dividen yang diinvestasikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai PPh berdasarkan Pasal 17 Undang-Undang PPh.
(3) Atas sisa Laba Setelah Pajak dikurangi dengan Dividen yang diinvestasikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah dikurangi dengan selisih sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tidak dikenai PPh.


Pasal 23


(1) Dalam hal Dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) diinvestasikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia lebih dari 30% (tiga puluh persen) dari jumlah Laba Setelah Pajak, Dividen yang diinvestasikan dikecualikan dari pengenaan PPh.
(2) Sisa Laba Setelah Pajak dikurangi dengan Dividen yang diinvestasikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dikenai PPh.


Pasal 24


(1) Dividen yang dikecualikan dari objek PPh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) merupakan Dividen yang dibagikan berdasarkan:
  1. rapat umum pemegang saham; atau
  2. Dividen interim sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Rapat umum pemegang saham atau Dividen interim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk rapat sejenis dan mekanisme pembagian Dividen sejenis.


Paragraf 2
Penghasilan Lain yang Dikecualikan dari Objek Pajak Penghasilan

Pasal 25


(1) Penghasilan lain yang dikecualikan dari objek PPh merupakan penghasilan lain yang berasal dari luar negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak.
(2) Penghasilan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan:
  1. penghasilan setelah pajak dari suatu bentuk usaha tetap di luar negeri; atau
  2. penghasilan dari luar negeri tidak melalui bentuk usaha tetap.
(3) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Wajib Pajak dalam negeri.


Pasal 26


(1) Penghasilan setelah pajak dari suatu bentuk usaha tetap di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) huruf a yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dikecualikan dari objek PPh dengan syarat harus diinvestasikan atau digunakan untuk mendukung kegiatan usaha lainnya di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam jangka waktu tertentu.
(2) Selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penghasilan setelah pajak dari suatu bentuk usaha tetap di luar negeri harus diinvestasikan atau digunakan untuk mendukung kegiatan usaha lainnya di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam jangka waktu tertentu, paling sedikit sebesar 30% (tiga puluh persen) dari Laba Setelah Pajak.


Pasal 27


(1) Dalam hal penghasilan setelah pajak dari suatu bentuk usaha tetap di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) diinvestasikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia kurang dari 30% (tiga puluh persen) dari jumlah Laba Setelah Pajak, penghasilan setelah pajak dari suatu bentuk usaha tetap di luar negeri yang diinvestasikan dikecualikan dari pengenaan PPh.
(2) Selisih dari 30% (tiga puluh persen) Laba Setelah Pajak dikurangi dengan penghasilan setelah pajak dari suatu bentuk usaha tetap di luar negeri yang diinvestasikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai PPh berdasarkan Pasal 17 Undang-Undang PPh.
(3) Sisa Laba Setelah Pajak dikurangi dengan penghasilan setelah pajak dari suatu bentuk usaha tetap di luar negeri yang diinvestasikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan atas selisih sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dikenai PPh.


Pasal 28


(1) Dalam hal penghasilan setelah pajak dari suatu bentuk usaha tetap di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) diinvestasikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia lebih dari 30% (tiga puluh persen) dari jumlah Laba Setelah Pajak, penghasilan setelah pajak dari suatu bentuk usaha tetap di luar negeri yang diinvestasikan dikecualikan dari pengenaan PPh.
(2) Sisa Laba Setelah Pajak dikurangi dengan penghasilan setelah pajak dari suatu bentuk usaha tetap di luar negeri yang diinvestasikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dikenai PPh.


Pasal 29


(1) Penghasilan dari luar negeri tidak melalui bentuk usaha tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) huruf b yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dikecualikan dari objek PPh dengan syarat harus diinvestasikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam jangka waktu tertentu.
(2) Selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penghasilan dari luar negeri tidak melalui bentuk usaha tetap harus memenuhi syarat:
  1. penghasilan berasal dari usaha aktif di luar negeri; dan
  2. bukan penghasilan dari perusahaan yang dimiliki di luar negeri.
(3) Penghasilan dari luar negeri tidak melalui bentuk usaha tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penghasilan yang berasal dari luar negeri yang bersumber dari kegiatan usaha di luar negeri.


Pasal 30


(1) Dalam hal penghasilan dari luar negeri tidak melalui bentuk usaha tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) diinvestasikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia kurang dari jumlah penghasilan lain yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, penghasilan dari luar negeri tidak melalui bentuk usaha tetap yang diinvestasikan dikecualikan dari pengenaan PPh.
(2) Selisih dari penghasilan dari luar negeri tidak melalui bentuk usaha tetap yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dikurangi dengan penghasilan dari luar negeri tidak melalui bentuk usaha tetap yang diinvestasikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai PPh berdasarkan Pasal 17 Undang-Undang PPh.


Paragraf 3
Kredit Pajak Luar Negeri

Pasal 31


(1) Pajak atas penghasilan yang telah dibayar atau terutang di luar negeri atas Dividen yang berasal dari luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 atau penghasilan lain yang berasal dari luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 yang dikecualikan dari objek PPh, berlaku ketentuan:
  1. tidak dapat diperhitungkan dengan PPh yang terutang;
  2. tidak dapat dibebankan sebagai biaya atau pengurang penghasilan; dan/atau
  3. tidak dapat dimintakan pengembalian kelebihan pembayaran pajak.
(2) Dalam hal Dividen yang berasal dari luar negeri atau penghasilan lain yang berasal dari luar negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak tidak seluruhnya diinvestasikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, penghitungan kredit pajak atas pemotongan pajak di luar negeri dilakukan secara proporsional.


Pasal 32


Ketentuan mengenai penghitungan atas pengecualian dari objek PPh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, Pasal 19, Pasal 22, Pasal 27, dan Pasal 30 tercantum dalam Lampiran VI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.


Paragraf 4
Kriteria, Tata Cara, dan Jangka Waktu Tertentu
untuk Investasi

Pasal 33


Investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, Pasal 17, Pasal 26, dan/atau Pasal 29 harus memenuhi kriteria, tata cara, dan jangka waktu tertentu.


Pasal 34


Investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, Pasal 17, Pasal 26, dan/atau Pasal 29 dilakukan sesuai dengan kriteria bentuk investasi:
  1. surat berharga Negara Republik Indonesia dan surat berharga syariah Negara Republik Indonesia;
  2. obligasi atau sukuk Badan Usaha Milik Negara yang perdagangannya diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan;
  3. obligasi atau sukuk lembaga pembiayaan yang dimiliki oleh pemerintah yang perdagangannya diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan;
  4. investasi keuangan pada bank persepsi termasuk bank syariah;
  5. obligasi atau sukuk perusahaan swasta yang perdagangannya diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan;
  6. investasi infrastruktur melalui kerja sama pemerintah dengan badan usaha;
  7. investasi sektor riil berdasarkan prioritas yang ditentukan oleh pemerintah;
  8. penyertaan modal pada perusahaan yang baru didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pemegang saham;
  9. penyertaan modal pada perusahaan yang sudah didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pemegang saham;
  10. kerja sama dengan lembaga pengelola investasi;
  11. penggunaan untuk mendukung kegiatan usaha lainnya dalam bentuk penyaluran pinjaman bagi usaha mikro dan kecil di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang usaha mikro, kecil, dan menengah; dan/atau
  12. bentuk investasi lainnya yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 35


(1) Investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 huruf a sampai dengan huruf e dan huruf l, ditempatkan pada instrumen investasi di pasar keuangan:
  1. efek bersifat utang, termasuk medium term notes;
  2. sukuk;
  3. saham;
  4. unit penyertaan reksa dana;
  5. efek beragun aset;
  6. unit penyertaan dana investasi real estat;
  7. deposito;
  8. tabungan;
  9. giro;
  10. kontrak berjangka yang diperdagangkan di bursa berjangka di Indonesia; dan/atau
  11. instrumen investasi pasar keuangan lainnya termasuk produk asuransi yang dikaitkan dengan investasi, perusahaan pembiayaan, dana pensiun, atau modal ventura, yang mendapatkan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 huruf f sampai dengan huruf k, ditempatkan pada instrumen investasi di luar pasar keuangan:
  1. investasi infrastruktur melalui kerja sama pemerintah dengan badan usaha;
  2. investasi sektor riil berdasarkan prioritas yang ditentukan oleh pemerintah;
  3. investasi pada properti dalam bentuk tanah dan/atau bangunan yang didirikan di atasnya;
  4. investasi langsung pada perusahaan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
  5. investasi pada logam mulia berbentuk emas batangan atau lantakan;
  6. kerja sama dengan lembaga pengelola investasi;
  7. penggunaan untuk mendukung kegiatan usaha lainnya dalam bentuk penyaluran pinjaman bagi usaha mikro dan kecil di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang usaha mikro, kecil, dan menengah; dan/atau
  8. bentuk investasi lainnya di luar pasar keuangan yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan huruf d dilakukan melalui mekanisme penyertaan modal ke dalam perusahaan yang berbentuk perseroan terbatas.
(4) Sektor yang menjadi prioritas pemerintah dalam investasi sektor riil sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b meliputi sektor yang ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional.
(5) Properti sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c tidak termasuk properti yang mendapatkan subsidi dari pemerintah.
(6) Logam mulia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e merupakan emas batangan atau lantakan dengan kadar kemurnian 99,99% (sembilan puluh sembilan koma sembilan puluh sembilan persen).
(7) Emas batangan atau lantakan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) merupakan emas yang diproduksi di Indonesia, dan mendapatkan akreditasi dan sertifikat dari Standar Nasional Indonesia (SNI) dan/atau London Bullion Market Association (LBMA).


Pasal 36


(1) Investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dilakukan paling lambat:
  1. akhir bulan ketiga, untuk Wajib Pajak orang pribadi; atau
  2. akhir bulan keempat, untuk Wajib Pajak badan, 
setelah Tahun Pajak berakhir, untuk Tahun Pajak diterima atau diperolehnya Dividen atau penghasilan lain.
(2) Investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dilakukan paling singkat selama 3 (tiga) Tahun Pajak terhitung sejak Tahun Pajak Dividen atau penghasilan lain diterima atau diperoleh.
(3) Investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 tidak dapat dialihkan, kecuali ke dalam bentuk investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35.


Paragraf 5
Tata Cara Pengecualian Pengenaan Pajak Penghasilan atas Dividen
atau Penghasilan Lain

Pasal 37


(1) Pengecualian dari objek PPh atas Dividen yang berasal dari dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf a yang diterima atau diperoleh:
  1. Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1); atau
  2. Wajib Pajak badan dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2),
dilaksanakan dengan melaporkan Dividen yang berasal dari dalam negeri dalam Surat Pemberitahuan Tahunan sebagai penghasilan yang tidak termasuk objek pajak.
(2) Dividen yang berasal dari dalam negeri yang dikecualikan dari objek PPh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan pemotongan PPh oleh pemotong pajak tanpa Surat Keterangan Bebas.
(3) Pengecualian dari objek PPh atas Dividen yang berasal dari luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf b dilaksanakan dengan melaporkan Dividen yang berasal dari luar negeri dalam Surat Pemberitahuan Tahunan sebagai penghasilan yang tidak termasuk objek pajak.


Pasal 38


Pengecualian dari objek PPh atas penghasilan lain yang berasal dari luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dilaksanakan dengan melaporkan penghasilan lain yang berasal dari luar negeri dalam Surat Pemberitahuan Tahunan sebagai penghasilan yang tidak termasuk objek pajak.


Pasal 39


Dividen atau penghasilan lain yang tidak memenuhi kriteria bentuk investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, tata cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35, dan jangka waktu investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, terutang PPh saat Dividen atau penghasilan lain diterima atau diperoleh.


Pasal 40


(1) PPh yang terutang atas Dividen yang berasal dari dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) dan/atau Pasal 39, wajib disetor sendiri oleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri dengan tarif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) PPh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetor paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak Dividen diterima atau diperoleh.
(3) Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan pembayaran PPh yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan telah mendapat validasi dengan NTPN dianggap telah menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa PPh sesuai dengan tanggal validasi.


Pasal 41


(1) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1), Pasal 17 ayat (1), dan/atau Pasal 25 ayat (1) harus menyampaikan laporan realisasi investasi.
(2) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menyampaikan laporan secara elektronik melalui saluran tertentu yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
(3) Dalam hal saluran tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) belum tersedia, penyampaian laporan dapat dilakukan secara tertulis dengan menyampaikan:
  1. secara langsung; atau
  2. melalui pos atau perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat,
ke KPP tempat Wajib Pajak terdaftar.
(4) Wajib Pajak harus menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
  1. secara berkala paling lambat pada akhir bulan ketiga untuk Wajib Pajak orang pribadi atau akhir bulan keempat untuk Wajib Pajak badan setelah Tahun Pajak berakhir; dan
  2. disampaikan sampai dengan tahun ketiga sejak Tahun Pajak diterima atau diperolehnya Dividen atau penghasilan lain.
(5) Ketentuan mengenai bentuk dokumen berupa laporan realisasi investasi tercantum dalam Lampiran VII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(6) Ketentuan mengenai penyampaian laporan tercantum dalam Lampiran VIII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.


Paragraf 6
Perubahan Batasan Dividen yang Diinvestasikan

Pasal 42


Dalam hal terdapat kebutuhan perubahan batasan Dividen yang diinvestasikan, batasan Dividen yang diinvestasikan dapat diubah.


Pasal 43


Ketentuan mengenai perubahan batasan Dividen yang diinvestasikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.


Bagian Keempat
Dana Setoran Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji dan/atau Biaya
Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus dan Penghasilan dari
Pengembangan Keuangan Haji dalam Bidang atau Instrumen
Keuangan Tertentu yang Dikecualikan dari
Objek Pajak Penghasilan

Pasal 44


Penerimaan BPKH meliputi:
  1. setoran BPIH dan/atau BPIH Khusus;
  2. nilai manfaat keuangan haji berupa penghasilan dari pengembangan keuangan haji;
  3. dana efisiensi penyelenggaraan ibadah haji;
  4. dana abadi umat; dan/atau
  5. sumber lain yang sah dan tidak mengikat.


Pasal 45


(1) Dana setoran BPIH dan/atau BPIH khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 huruf a dan penghasilan dari pengembangan keuangan haji dalam bidang atau instrumen keuangan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 huruf b, yang diterima BPKH, dikecualikan dari objek PPh.
(2) Penghasilan dari pengembangan keuangan haji dalam bidang atau instrumen keuangan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
  1. imbal hasil dari giro, deposito, sertifikat deposito, dan tabungan, pada bank di Indonesia yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, serta surat berharga syariah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia;
  2. imbal hasil dari obligasi syariah (sukuk), Surat Berharga Syariah Negara, dan Surat Perbendaharaan Negara Syariah, yang diperdagangkan dan/atau dilaporkan perdagangannya pada bursa efek di Indonesia;
  3. Dividen yang berasal dari dalam maupun dari luar negeri atau penghasilan lain berupa penghasilan setelah pajak atau penghasilan yang pajaknya dikecualikan atau dikenakan pajak 0% (nol persen) dari suatu bentuk usaha tetap maupun tidak melalui bentuk usaha tetap di luar negeri;
  4. bagian laba yang diterima atau diperoleh dari pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif yang dapat berupa imbal hasil dari reksadana syariah, kontrak investasi kolektif efek beragun aset, kontrak investasi kolektif dana investasi real estat, kontrak investasi kolektif dana investasi infrastruktur, dan/atau kontrak investasi kolektif berdasarkan prinsip syariah sejenis; dan/atau
  5. penjualan investasi dalam bentuk emas batangan atau rekening emas yang dikelola lembaga keuangan syariah,
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan.
(3) Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, serta pembelian emas batangan atau rekening emas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e dikecualikan dari pemotongan dan/atau pemungutan PPh.
(4) Pengecualian dari pemotongan dan/atau pemungutan PPh sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberikan berdasarkan surat keterangan tidak dilakukan pemotongan dan/atau pemungutan PPh.
(5) Untuk memperoleh surat keterangan tidak dilakukan pemotongan dan/atau pemungutan PPh sebagaimana dimaksud pada ayat (4), BPKH harus menyampaikan permohonan kepada Kepala KPP tempat BPKH terdaftar.
(6) Ketentuan mengenai bentuk permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tercantum dalam Lampiran IX yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(7) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan dengan menyampaikan:
  1. secara langsung; atau
  2. melalui pos atau perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat,
ke KPP tempat BPKH terdaftar.
(8) Kepala KPP atas nama Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat keterangan tidak dilakukan pemotongan dan/atau pemungutan PPh dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja sejak permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diterima lengkap.
(9) Ketentuan mengenai bentuk dokumen berupa surat keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) tercantum dalam Lampiran X yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(10) Surat keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) menjadi dasar bagi pihak-pihak yang melakukan transaksi dengan BPKH untuk tidak melakukan pemotongan dan/atau pemungutan PPh sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(11) Penghasilan yang dikecualikan sebagai objek PPh sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak termasuk penghasilan dari pengembangan dana abadi umat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 huruf d.
(12) Dalam hal penghasilan dari pengembangan dana abadi umat sebagaimana dimaksud pada ayat (11) yang dikenai PPh bersifat final tidak dilakukan pemotongan dan/atau pemungutan PPh sebagaimana dimaksud pada ayat (3), BPKH menyetor sendiri PPh yang terutang.
(13) Penyetoran sendiri PPh yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (12) dilakukan paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak diterima atau diperolehnya penghasilan.
(14) Dalam hal PPh yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (13) telah disetorkan dan divalidasi dengan NTPN, BPKH dianggap telah menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa PPh sesuai dengan tanggal validasi.
(15) Penghasilan yang diterima atau diperoleh BPKH selain:
  1. dana setoran BPIH dan/atau BPIH Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1);
  2. penghasilan dari pengembangan keuangan haji sebagaimana dimaksud pada ayat (2); dan
  3. penghasilan dari pengembangan dana abadi umat yang PPh-nya disetor sendiri oleh BPKH sebagaimana dimaksud pada ayat (12),
dikenai PPh sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
     

Pasal 46


(1) BPKH harus menyelenggarakan pembukuan secara terpisah dalam hal:
  1. memiliki usaha yang penghasilannya dikenai PPh yang bersifat final dan tidak final; atau
  2. menerima atau memperoleh penghasilan yang merupakan objek pajak dan bukan objek pajak.
(2) Biaya terkait dengan penghasilan yang:
  1. dikecualikan dari objek PPh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1); dan/atau
  2. telah dikenai PPh yang bersifat final,
tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.
(3) Biaya bersama terkait dengan penghasilan yang dikecualikan dari objek PPh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1), penghasilan dari pengembangan dana abadi umat yang PPh-nya disetor sendiri oleh BPKH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (12), dan penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (15), yang tidak dapat dipisahkan dalam rangka penghitungan besarnya Penghasilan Kena Pajak, pembebanannya dialokasikan secara proporsional.


Pasal 47


(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) berlaku sejak tanggal diundangkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
(2) Atas penghasilan sebagaimana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) yang telah dikenai pemotongan dan/atau pemungutan PPh yang bersifat final sejak tanggal diundangkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, BPKH dapat mengajukan permohonan pengembalian pajak yang seharusnya tidak terutang.
(3) Tata cara permohonan pengembalian pajak yang seharusnya tidak terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan mengenai tata cara pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang.


Bagian Kelima
Sisa Lebih yang Diterima atau Diperoleh Badan atau Lembaga
Sosial dan/atau Keagamaan yang Dikecualikan dari
Objek Pajak Penghasilan

Pasal 48


(1) Sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga sosial dan/atau keagamaan yang terdaftar pada instansi yang membidanginya, dikecualikan dari objek PPh dengan syarat sebesar jumlah sisa lebih digunakan untuk pembangunan dan/atau pengadaan sarana dan prasarana sosial dan/atau keagamaan paling sedikit sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah sisa lebih.
(2) Dalam hal terdapat sisa atas penggunaan sisa lebih untuk pembangunan dan/atau pengadaan sarana dan prasarana sosial dan/atau keagamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sisa lebih ditempatkan sebagai dana abadi.
(3) Pembangunan dan/atau pengadaan sarana dan prasarana serta pengalokasian dalam bentuk dana abadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan paling lama dalam jangka waktu 4 (empat) tahun sejak sisa lebih diterima atau diperoleh.
(4) Ketentuan mengenai penggunaan jumlah sisa lebih sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tercantum dalam Lampiran XI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(5) Badan atau lembaga sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan badan atau lembaga kesejahteraan sosial yang berbadan hukum sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang kesejahteraan sosial yang tidak mencari keuntungan dengan kegiatan utamanya menyelenggarakan:
  1. pemeliharaan kesehatan yang tidak dipungut biaya;
  2. pemeliharaan orang lanjut usia atau panti jompo;
  3. pemeliharaan anak yatim dan/atau piatu, anak atau orang telantar, dan anak atau orang cacat;
  4. santunan dan/atau pertolongan kepada korban bencana alam, kecelakaan, kemiskinan, keterpencilan, ketunaan sosial dan penyimpangan perilaku, tindak kekerasan, dan sejenisnya;
  5. pemberian beasiswa; dan/atau
  6. pelestarian lingkungan hidup.
(6) Badan atau lembaga keagamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan badan yang tidak mencari keuntungan dengan kegiatan utamanya mengurus tempat-tempat ibadah dan/atau menyelenggarakan kegiatan di bidang keagamaan.
(7) Instansi yang membidangi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan:
  1. instansi pemerintah di tingkat pusat, tingkat provinsi, atau tingkat kabupaten/kota yang membidangi urusan sosial untuk badan atau lembaga sosial; dan
  2. instansi pemerintah di tingkat pusat, tingkat provinsi, atau tingkat kabupaten/kota yang membidangi urusan agama untuk badan atau lembaga keagamaan.
(8) Sisa lebih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan selisih lebih dari penghitungan seluruh penghasilan yang diterima atau diperoleh selain penghasilan yang dikenai PPh yang bersifat final dan/atau bukan objek PPh, dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan tersebut.
(9) Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (8), termasuk:
  1. bantuan, sumbangan, atau harta hibahan;
  2. biaya operasional penyelenggaraan kegiatan sosial dan/atau keagamaan; dan/atau
  3. biaya pengadaan barang dan/atau jasa yang digunakan untuk mendukung kegiatan sosial dan/atau keagamaan.
(10) Bantuan, sumbangan, atau harta hibahan sebagaimana dimaksud pada ayat (9) huruf a dapat dikurangkan dari penghasilan bruto sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, sepanjang tidak ada hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang PPh.
(11) Tidak termasuk hubungan istimewa berupa hubungan kepemilikan dan penguasaan sebagaimana dimaksud pada ayat (10) apabila pemberi dan penerima bantuan, sumbangan, atau harta hibahan merupakan badan atau lembaga sosial dan/atau keagamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6).

     

Pasal 49


(1) Sarana dan prasarana sosial dan/atau keagamaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1) meliputi:
  1. pengadaan sarana sosial dan/atau keagamaan;
  2. pembangunan dan pengadaan prasarana sosial dan/atau keagamaan, termasuk gedung, tanah, kantor, rumah ibadah; dan/atau
  3. pengadaan sarana dan prasarana untuk fasilitas umum, 
yang berada di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(2) Penggunaan sisa lebih dapat dialokasikan dalam bentuk dana abadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (2) dengan syarat:
  1. telah terdapat pengaturan terkait dana abadi di badan atau lembaga sosial dan/atau keagamaan dalam bentuk Peraturan Presiden dan/atau Peraturan Menteri yang membidangi urusan sosial atau keagamaan; dan
  2. disetujui oleh:
    1. pimpinan badan atau lembaga sosial dan/atau keagamaan; dan
    2. pejabat instansi pemerintah di tingkat pusat, tingkat provinsi, atau kabupaten/kota yang membidangi urusan sosial atau keagamaan.
(3) Penggunaan sisa lebih dalam bentuk pembangunan dan/atau pengadaan sarana dan prasarana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b dapat diberikan kepada badan atau lembaga sosial dan/atau keagamaan lain yang terdaftar pada instansi yang membidanginya sepanjang sarana dan prasarana dimaksud berada di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(4) Penggunaan sisa lebih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan ayat (3) tidak dapat menjadi pengurang penghasilan bruto bagi badan atau lembaga sosial dan/atau keagamaan yang memberikan.
(5) Sarana dan prasarana sosial dan/atau keagamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun dibebankan melalui penyusutan atau amortisasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang PPh.


Pasal 50


(1) Badan atau lembaga sosial dan/atau keagamaan harus membuat laporan jumlah sisa lebih yang digunakan untuk pembangunan dan/atau pengadaan sarana dan prasarana dan/atau yang dialokasikan dalam bentuk dana abadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1) dan ayat (2).
(2) Laporan jumlah sisa lebih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan setiap tahun kepada Kepala KPP tempat badan atau lembaga sosial dan/atau keagamaan terdaftar sebagai lampiran Surat Pemberitahuan Tahunan.
(3) Ketentuan mengenai pelaporan jumlah sisa lebih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran XII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(4) Selain laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), badan atau lembaga sosial dan/atau keagamaan harus membuat catatan mengenai rincian penggunaan sisa lebih yang dilengkapi dengan bukti pendukung.


Pasal 51


(1) Jumlah sisa lebih yang tidak digunakan untuk pembangunan dan/atau pengadaan sarana dan prasarana atau dana abadi dalam jangka waktu 4 (empat) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (3) diakui sebagai objek PPh pada akhir Tahun Pajak setelah jangka waktu 4 (empat) tahun tersebut berakhir.
(2) Jumlah sisa lebih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan sebagai tambahan objek PPh dalam Surat Pemberitahuan Tahunan PPh Tahun Pajak diakuinya sisa lebih tersebut sebagai koreksi fiskal.
(3) Ketentuan mengenai penghitungan jumlah sisa lebih yang tidak digunakan untuk pembangunan dan/atau pengadaan sarana dan prasarana atau dana abadi dalam jangka waktu 4 (empat) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran XIII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.


Pasal 52


(1) Dana abadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (2) dapat dikembangkan berdasarkan praktik bisnis yang sehat dan risiko yang terkelola, dengan memperhatikan prinsip-prinsip tata kelola yang baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Hasil pengembangan dana abadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
  1. dikenai pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan; dan
  2. dapat digunakan untuk kegiatan operasional terutama untuk pengadaan sarana dan prasarana sosial dan/atau keagamaan.
(3) Dalam hal penggunaan dana abadi yang berasal dari sisa lebih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (2) tidak sesuai dengan ketentuan ayat (1), dana abadi tersebut menjadi objek PPh pada Tahun Pajak ditemukan dan diperlakukan sebagai koreksi fiskal.


Pasal 53


Dalam hal kegiatan utama badan atau lembaga sosial dan/atau keagamaan bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan, perlakuan sisa lebih atas badan atau lembaga sosial dan/atau keagamaan dimaksud dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan mengenai perlakuan PPh atas beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu dan sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan.


BAB III
PAJAK PERTAMBAHAN NILAI
DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH

Bagian Kesatu
Kriteria Belum Melakukan Penyerahan Barang Kena Pajak
 dan/atau Jasa Kena Pajak dan/atau Ekspor Barang Kena Pajak
dan/atau Jasa Kena Pajak, Penentuan Sektor Usaha Tertentu,
serta Tata Cara Pembayaran Kembali Pajak Masukan

Pasal 54


(1) PKP Belum Melakukan Penyerahan dapat mengkreditkan Pajak Masukan atas perolehan BKP dan/atau JKP, impor BKP, serta pemanfaatan BKP tidak berwujud dan/atau pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
(2) Pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(3) PKP Belum Melakukan Penyerahan dapat mengajukan permohonan pengembalian atas kelebihan Pajak Masukan pada akhir tahun buku.


Pasal 55


(1) Pajak Masukan yang dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1) menjadi tidak dapat dikreditkan, apabila dalam jangka waktu tertentu:
  1. PKP Belum Melakukan Penyerahan; atau
  2. PKP Belum Melakukan Penyerahan dan melakukan pembubaran (pengakhiran) usaha atau dilakukan pencabutan pengukuhan PKP berdasarkan permohonan atau secara jabatan.
(2) Kriteria belum melakukan penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan suatu keadaan PKP dengan kegiatan usaha utama pada sektor:
a. perdagangan, apabila dalam jangka waktu tertentu tidak melakukan kegiatan:
  1. penyerahan BKP; dan/atau
  2. ekspor BKP;
b. jasa, apabila dalam jangka waktu tertentu tidak melakukan kegiatan:
  1. penyerahan JKP; dan/atau
  2. ekspor JKP;
atau
c. yang menghasilkan BKP, apabila dalam jangka waktu tertentu tidak melakukan kegiatan:
  1. penyerahan BKP yang dihasilkan sendiri; dan/atau
  2. ekspor BKP yang dihasilkan sendiri.
(3) Termasuk dalam kriteria belum melakukan penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yaitu apabila dalam jangka waktu tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) PKP semata-mata melakukan kegiatan:
  1. pemakaian sendiri dan/atau pemberian cuma-cuma BKP dan/atau JKP;
  2. penyerahan dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau penyerahan antarcabang;
  3. penyerahan BKP berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan; dan/atau
  4. penyerahan BKP dan/atau JKP yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha utama PKP.


Pasal 56


(1) Jangka waktu tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) merupakan jangka waktu sampai dengan 3 (tiga) tahun sejak Masa Pajak pengkreditan pertama kali Pajak Masukan.
(2) Jangka waktu tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi sektor usaha tertentu dapat ditetapkan lebih dari 3 (tiga) tahun.
(3) Penetapan jangka waktu tertentu bagi sektor usaha tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibatasi terhadap:
  1. sektor usaha yang menghasilkan BKP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2) huruf c, ditetapkan sampai dengan 5 (lima) tahun sejak Masa Pajak pengkreditan pertama kali Pajak Masukan; atau
  2. sektor usaha yang termasuk dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai percepatan pelaksanaan proyek strategis nasional yang mendapatkan penugasan pemerintah, ditetapkan sampai dengan 6 (enam) tahun sejak Masa Pajak pengkreditan pertama kali Pajak Masukan.


Pasal 57


(1) Dalam hal PKP Belum Melakukan Penyerahan melakukan perubahan kegiatan usaha dalam jangka waktu tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) atau ayat (3) huruf a dan Pajak Masukan atas perolehan BKP dan/atau JKP, impor BKP, serta pemanfaatan BKP tidak berwujud dan/atau pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean yang telah dikreditkan mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha yang baru, Pajak Masukan yang telah dikreditkan dan belum diajukan permohonan pengembalian dapat dikreditkan.
(2) Dalam hal PKP Belum Melakukan Penyerahan melakukan perubahan kegiatan usaha dalam jangka waktu tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) atau ayat (3) huruf a dan Pajak Masukan atas perolehan BKP dan/atau JKP, impor BKP, serta pemanfaatan BKP tidak berwujud dan/atau pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean yang telah dikreditkan tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha yang baru, Pajak Masukan yang telah dikreditkan dan belum diajukan permohonan pengembalian menjadi tidak dapat dikreditkan.
(3) PKP Belum Melakukan Penyerahan yang melakukan perubahan kegiatan usaha dalam jangka waktu tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) atau ayat (3) huruf a wajib membayar kembali Pajak Masukan atas perolehan BKP dan/atau JKP, impor BKP, serta pemanfaatan BKP tidak berwujud dan/atau pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean dalam hal:
  1. Pajak Masukan tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha yang baru; dan
  2. PKP telah menerima pengembalian kelebihan pembayaran pajak atas Pajak Masukan dan/atau telah mengkreditkan Pajak Masukan dimaksud dengan Pajak Keluaran yang terutang dalam suatu Masa Pajak.
(4) PKP harus melakukan pembetulan Surat Pemberitahuan Masa PPN dalam hal Pajak Masukan menjadi tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).


Pasal 58


(1) Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1), setelah jangka waktu tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) atau ayat (3) berakhir:
  1. wajib dibayar kembali ke kas negara oleh PKP; dan/atau
  2. tidak dapat dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya dan tidak dapat diajukan permohonan pengembalian.
(2) Kewajiban pembayaran kembali Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan dalam hal PKP telah menerima pengembalian kelebihan pembayaran pajak atas Pajak Masukan dimaksud dan/atau telah mengkreditkan Pajak Masukan dimaksud dengan Pajak Keluaran yang terutang dalam suatu Masa Pajak.
(3) Pajak Masukan tidak dapat dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya dan tidak dapat diajukan permohonan pengembalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dalam hal atas kelebihan pembayaran pajak dimaksud telah dikompensasikan dan belum dimintakan pengembalian.
(4) Pajak Keluaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi Pajak Keluaran atas kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (3).


Pasal 59


(1) Pembayaran kembali Pajak Masukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (2) sebesar Pajak Masukan yang telah diberikan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dan/atau telah dikreditkan dengan Pajak Keluaran yang terutang dalam suatu Masa Pajak.
(2) Pembayaran kembali Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terutang pada saat:
  1. jangka waktu tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) atau ayat (3) berakhir;
  2. tanggal pembubaran (pengakhiran) usaha atau pencabutan PKP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) huruf b; atau
  3. Masa Pajak dilakukannya perubahan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (3).
(3) Pembayaran kembali Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan paling lambat:
  1. akhir bulan berikutnya setelah tanggal berakhirnya jangka waktu tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1);
  2. akhir bulan berikutnya setelah tanggal berakhirnya jangka waktu tertentu bagi sektor usaha tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (3); atau
  3. akhir bulan berikutnya setelah tanggal pembubaran (pengakhiran) usaha atau pencabutan PKP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) huruf b.
(4) Dalam hal PKP melakukan perubahan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (3), pembayaran kembali Pajak Masukan dilakukan paling lama akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak dilakukannya perubahan kegiatan usaha.
(5) Pembayaran kembali Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan menggunakan Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dengan mencantumkan keterangan "Pembayaran kembali Pajak Masukan" pada kolom uraian.
(6) Pembayaran kembali Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) menggunakan kode akun pajak 411219 untuk jenis pajak PPN lainnya dan kode jenis setoran 100 untuk pembayaran PPN lainnya yang terutang.
(7) Pembayaran kembali Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), tidak dapat dikreditkan sebagai Pajak Masukan.
(8) Pembayaran kembali Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa PPN pada Masa Pajak dilakukan pembayaran oleh PKP.
(9) Ketentuan mengenai pembayaran kembali Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pelaporan dalam Surat Pemberitahuan Masa PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (8) tercantum dalam Lampiran XIV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

    

Pasal 60


(1) Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan terhadap PKP Belum Melakukan Penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(2) PKP yang tidak atau kurang melakukan pembayaran kembali Pajak Masukan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (3) atau ayat (4), diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(3) Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterbitkan atas jumlah pembayaran kembali Pajak Masukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) ditambah sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2a) Undang-Undang KUP.
(4) PKP yang melakukan pembayaran kembali Pajak Masukan setelah tanggal jatuh tempo pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (3) atau ayat (4), dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2a) Undang-Undang KUP.
(5) Pembayaran kembali Pajak Masukan yang tercantum dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (3), tidak termasuk dalam Pajak Masukan yang dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (9c) Undang-Undang PPN.
(6) Direktur Jenderal Pajak melakukan pencabutan pengukuhan PKP secara jabatan terhadap PKP Belum Melakukan Penyerahan setelah melewati jangka waktu tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) atau ayat (3).


Pasal 61


Dalam hal PKP Belum Melakukan Penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) huruf a disebabkan oleh bencana (keadaan kahar atau force majeure) dengan status bencana nasional yang harus dinyatakan oleh pejabat/instansi yang berwenang, PKP tidak wajib membayar kembali Pajak Masukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1).


Bagian Kedua
Tata Cara Pengkreditan Pajak Masukan

Pasal 62


(1) Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran dalam Masa Pajak yang sama.
(2) Bagi PKP yang telah melakukan penyerahan BKP, penyerahan JKP, ekspor BKP, dan/atau ekspor JKP namun dalam suatu Masa Pajak tidak terdapat penyerahan dan/atau ekspor dimaksud, Pajak Masukan dalam Masa Pajak dimaksud dapat dikreditkan oleh PKP sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(3) PPN yang tercantum dalam Faktur Pajak yang memenuhi ketentuan Pasal 13 ayat (5) dan ayat (9) Undang-Undang PPN merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh PKP dalam suatu Masa Pajak sejak Pengusaha dikukuhkan sebagai PKP sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(4) PPN yang tercantum dalam dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak yang memenuhi ketentuan Pasal 13 ayat (6) dan ayat (9) Undang-Undang PPN merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh PKP dalam suatu Masa Pajak sejak Pengusaha dikukuhkan sebagai PKP sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.


Pasal 63


(1) Pajak Masukan yang dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1), tetapi belum dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak yang sama, dapat dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya paling lama 3 (tiga) Masa Pajak setelah berakhirnya Masa Pajak saat Faktur Pajak dibuat.
(2) Pajak Masukan yang dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus merupakan Pajak Masukan yang belum dibebankan sebagai biaya atau belum ditambahkan (dikapitalisasi) dalam harga perolehan BKP atau JKP, dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(3) Pengkreditan Pajak Masukan pada Masa Pajak berikutnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh PKP melalui penyampaian atau pembetulan Surat Pemberitahuan Masa PPN.
(4) Ketentuan mengenai pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran XV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.


Pasal 64


(1) Faktur Pajak yang dibuat dengan mencantumkan identitas pembeli BKP atau penerima JKP berupa nama, alamat, dan nomor induk kependudukan bagi subjek pajak dalam negeri orang pribadi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan merupakan Faktur Pajak yang memenuhi ketentuan Pasal 13 ayat (5) huruf b angka 1 Undang-Undang PPN.
(2) PPN yang tercantum dalam Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh PKP pembeli BKP atau penerima JKP sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(3) Ketentuan mengenai pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam Lampiran XVI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.


Pasal 65


(1) Pajak Masukan atas perolehan BKP dan/atau JKP, impor BKP, serta pemanfaatan BKP tidak berwujud dan/atau pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai PKP, dapat dikreditkan oleh PKP.
(2) Ketentuan pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku untuk Masa Pajak sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai PKP yaitu Masa Pajak sebelum tanggal pengukuhan Pengusaha sebagai PKP sebagaimana tercantum dalam surat pengukuhan PKP.
(3) Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikreditkan dengan Pajak Keluaran yang seharusnya dipungut oleh PKP atas penyerahan BKP dan/atau JKP terhitung sejak Pengusaha seharusnya dikukuhkan sebagai PKP sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan sampai dengan sebelum Pengusaha dimaksud dikukuhkan sebagai PKP.
(4) Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan menggunakan pedoman pengkreditan Pajak Masukan sebesar 80% (delapan puluh persen) dari Pajak Keluaran yang seharusnya dipungut sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(5) Pedoman pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diberlakukan untuk Masa Pajak sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai PKP, yang dilakukan melalui:
  1. penyampaian Surat Pemberitahuan Masa PPN; dan/atau
  2. penetapan kewajiban PPN melalui pemeriksaan.
(6) PPN yang tercantum dalam Faktur Pajak dan dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak untuk suatu Masa Pajak sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai PKP, merupakan Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan.
(7) Untuk menggunakan pedoman pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), PKP tidak dapat menggunakan:
  1. nilai lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8A Undang-Undang PPN untuk menghitung Pajak Keluaran yang seharusnya dipungut atas penyerahan BKP dan/atau JKP; dan
  2. pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan bagi PKP yang peredaran usahanya dalam 1 (satu) tahun tidak melebihi jumlah tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (7) Undang-Undang PPN atau yang melakukan kegiatan usaha tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (7a) Undang-Undang PPN untuk menghitung besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan.
(8) Surat Pemberitahuan Masa PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a, yaitu:
  1. Surat Pemberitahuan Masa PPN, untuk PKP yang tidak menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (7) dan ayat (7a) Undang-Undang PPN; atau
  2. Surat Pemberitahuan Masa PPN bagi PKP yang menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan, untuk PKP yang menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (7) dan ayat (7a) Undang-Undang PPN.
(9) Surat Pemberitahuan Masa PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (8) disampaikan oleh PKP sejak Pengusaha seharusnya dikukuhkan sebagai PKP pada:
  1. Masa Pajak terakhir dalam tahun buku sebelum tahun buku saat Pengusaha dikukuhkan sebagai PKP, yang meliputi Pajak Keluaran atas penyerahan BKP dan/atau JKP untuk periode tahun buku yang bersangkutan; dan/atau
  2. Masa Pajak terakhir sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai PKP dalam tahun buku saat Pengusaha dikukuhkan sebagai PKP, yang meliputi Pajak Keluaran atas penyerahan BKP dan/atau JKP sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai PKP untuk periode tahun buku yang bersangkutan.
(10) Ketentuan mengenai pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan penyampaian Surat Pemberitahuan Masa PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (9) tercantum dalam Lampiran XVII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
     
    

Pasal 66


(1) Pengusaha yang tidak membuat Faktur Pajak atas penyerahan BKP dan/atau JKP sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai PKP tidak memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (1) huruf d Undang-Undang KUP dan tidak dikenai sanksi administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (4) Undang-Undang KUP.
(2) PKP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (3), dikenai sanksi administrasi berupa:
  1. denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang KUP;
  2. bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2a) Undang-Undang KUP atau Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang KUP; dan/atau
  3. kenaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 Undang-Undang KUP.
(3) Penghitungan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b yaitu:
  1. untuk bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2a) Undang-Undang KUP, dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran untuk Masa Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (9) sampai dengan tanggal pembayaran, dan dikenakan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan; atau
  2. untuk bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang KUP, dihitung sejak berakhirnya Masa Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (9) sampai dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, dan dikenakan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
(4) Pajak Masukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (6) tidak dapat dibebankan sebagai biaya atau ditambahkan (dikapitalisasi) dalam harga perolehan BKP atau JKP oleh PKP yang mengkreditkan Pajak Masukan dengan menggunakan pedoman pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (4).
(5) Dalam hal Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) telah dibebankan sebagai biaya atau telah ditambahkan (dikapitalisasi) dalam harga perolehan BKP atau JKP:
  1. PKP wajib melakukan pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan pada Tahun Pajak saat Pajak Masukan dimaksud telah dibebankan sebagai biaya atau telah ditambahkan (dikapitalisasi) dalam harga perolehan BKP atau JKP; atau
  2. Direktur Jenderal Pajak atas permohonan PKP atau karena jabatannya melakukan pembetulan atas ketetapan atau keputusan sesuai dengan ketentuan Pasal 16 Undang-Undang KUP.


Pasal 67


(1) Pajak Masukan atas perolehan BKP dan/atau JKP, impor BKP, serta pemanfaatan BKP tidak berwujud dan/atau pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, yang tidak dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa PPN yang diberitahukan dan/atau ditemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan, dapat dikreditkan oleh PKP sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(2) Pajak Masukan yang tidak dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa PPN yang diberitahukan dan/atau ditemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu PPN yang tercantum dalam:
  1. Faktur Pajak; dan/atau
  2. dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak.
(3) Pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada saat pemeriksaan untuk diperhitungkan dalam ketetapan pajak yang akan diterbitkan berdasarkan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang:
  1. diberitahukan oleh PKP dengan memperlihatkan dan/atau meminjamkan dokumen dimaksud sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri Keuangan mengenai tata cara pemeriksaan; dan/atau
  2. ditemukan oleh Direktur Jenderal Pajak.
(4) Pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan sepanjang surat pemberitahuan hasil pemeriksaan belum disampaikan kepada PKP.
(5) Ketentuan mengenai pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran XVIII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.


Pasal 68


(1) Pajak Masukan atas perolehan BKP dan/atau JKP, impor BKP, serta pemanfaatan BKP tidak berwujud dan/atau pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, yang ditagih dengan penerbitan ketetapan pajak, dapat dikreditkan oleh PKP sebesar jumlah pokok pajak yang tercantum dalam ketetapan pajak, dengan ketentuan:
  1. ketetapan pajak dimaksud merupakan surat ketetapan pajak yang diterbitkan hanya untuk menagih Pajak Masukan atas perolehan BKP dan/atau JKP, impor BKP, serta pemanfaatan BKP tidak berwujud dan/ataup emanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
  2. PKP menyetujui seluruh hasil pemeriksaan atas ketetapan pajak;
  3. jumlah PPN yang masih harus dibayar meliputi pokok pajak dan sanksi sebagaimana tercantum dalam ketetapan pajak telah dilakukan pelunasan;
  4. tidak dilakukan upaya hukum atas ketetapan pajak; dan
  5. sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(2) Pelunasan atas jumlah PPN yang masih harus dibayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan oleh PKP dengan menggunakan Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak.
(3) Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa:
  1. bukti penerimaan negara sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai sistem penerimaan negara secara elektronik;
  2. bukti pemindahbukuan yang telah ditandatangani oleh pejabat yang berwenang sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai tata cara pembayaran dan penyetoran pajak; dan/atau
  3. SP2D atau bukti penerimaan negara sebagai bukti kompensasi atas Utang Pajak sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai tata cara penghitungan dan pengembalian kelebihan pembayaran pajak.
(4) Tidak dilakukan upaya hukum atas ketetapan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d meliputi tidak diajukan permohonan:
  1. keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 Undang-Undang KUP;
  2. banding sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 Undang-Undang KUP;
  3. pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf a Undang-Undang KUP;
  4. pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf b Undang-Undang KUP;
  5. pembatalan hasil pemeriksaan pajak atau ketetapan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf d Undang-Undang KUP; dan/atau
  6. peninjauan kembali sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengadilan pajak.
(5) Termasuk tidak dilakukan upaya hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (4) yaitu tidak diajukan gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 Undang-Undang KUP.
(6) Ketetapan pajak yang dilampiri dengan seluruh Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak atas pelunasan jumlah PPN yang masih harus dibayar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak.
(7) Pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan cara melaporkan dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dalam Surat Pemberitahuan Masa PPN pada Masa Pajak dilakukannya pelunasan ketetapan pajak atau pada Masa Pajak berikutnya paling lama 3 (tiga) Masa Pajak setelah berakhirnya Masa Pajak saat pelunasan ketetapan pajak.
(8) Ketentuan mengenai pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pelaporan dalam Surat Pemberitahuan Masa PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (7) tercantum dalam Lampiran XIX yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.


Bagian Ketiga
Tata Cara Pembuatan Faktur Pajak dan
Tata Cara Pembetulan atau Penggantian Faktur Pajak

Pasal 69


(1) PKP wajib membuat Faktur Pajak untuk setiap:
  1. penyerahan BKP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a dan/atau Pasal 16D Undang-Undang PPN;
  2. penyerahan JKP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf c Undang-Undang PPN;
  3. ekspor BKP berwujud sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf f Undang-Undang PPN;
  4. ekspor BKP tidak berwujud sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf g Undang-Undang PPN; dan/atau
  5. ekspor JKP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf h Undang-Undang PPN.
(2) Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dibuat pada:
  1. saat penyerahan BKP dan/atau penyerahan JKP;
  2. saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan BKP dan/atau sebelum penyerahan JKP;
  3. saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan;
  4. saat ekspor BKP berwujud, ekspor BKP tidak berwujud, dan/atau ekspor JKP; atau
  5. saat lain yang diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang PPN.


Pasal 70


(1) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1), PKP dapat membuat 1 (satu) Faktur Pajak yang meliputi seluruh penyerahan yang dilakukan kepada pembeli BKP dan/atau penerima JKP yang sama selama 1 (satu) bulan kalender.
(2) Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disebut Faktur Pajak gabungan.
(3) Faktur Pajak gabungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dibuat paling lama pada akhir bulan penyerahan BKP dan/atau penyerahan JKP.


Pasal 71


(1) Faktur Pajak yang dibuat oleh PKP setelah melewati jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak saat Faktur Pajak seharusnya dibuat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (2) dan Pasal 70 ayat (3) tidak diperlakukan sebagai Faktur Pajak.
(2) PKP yang membuat Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap tidak membuat Faktur Pajak.
(3) PKP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(4) PPN yang tercantum dalam Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan.


Pasal 72


(1) Dalam Faktur Pajak harus dicantumkan keterangan tentang penyerahan BKP dan/atau penyerahan JKP yang paling sedikit memuat:
  1. nama, alamat, dan NPWP yang menyerahkan BKP atau JKP;
  2. identitas pembeli BKP atau penerima JKP yang meliputi:
    1. nama, alamat, dan NPWP, bagi Wajib Pajak dalam negeri badan dan instansi pemerintah;
    2. nama, alamat, dan NPWP atau nomor induk kependudukan, bagi subjek pajak dalam negeri orang pribadi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
    3. nama, alamat, dan nomor paspor, bagi subjek pajak luar negeri orang pribadi; atau
    4. nama dan alamat, bagi subjek pajak luar negeri badan atau bukan merupakan subjek pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 Undang-Undang PPh;
  3. jenis barang atau jasa, jumlah harga jual atau penggantian, dan potongan harga;
  4. PPN yang dipungut;
  5. PPnBM yang dipungut;
  6. kode, nomor seri, dan tanggal pembuatan Faktur Pajak; dan
  7. nama dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak.
(2) Nomor induk kependudukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b angka 2 mempunyai kedudukan yang sama dengan NPWP dalam rangka pembuatan Faktur Pajak dan pengkreditan Pajak Masukan.


Pasal 73


(1) Faktur Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (1):
  1. berbentuk elektronik;
  2. dibuat dengan menggunakan aplikasi atau sistem yang disediakan dan/atau ditentukan oleh Direktorat Jenderal Pajak; dan
  3. dicantumkan tanda tangan berbentuk Tanda Tangan Elektronik.
(2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Faktur Pajak atas:
  1. penyerahan BKP kepada orang pribadi pemegang paspor luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16E Undang-Undang PPN, dibuat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang mengatur mengenai tata cara pengajuan dan penyelesaian permintaan kembali barang bawaan orang pribadi pemegang paspor luar negeri;
  2. penyerahan BKP dan/atau JKP kepada pembeli BKP dan/atau penerima JKP dengan karakteristik konsumen akhir, dibuat sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (5a) Undang-Undang PPN; dan
  3. penyerahan BKP, penyerahan JKP, ekspor BKP, ekspor BKP tidak berwujud, dan/atau ekspor JKP, yang bukti pungutan PPN-nya berupa dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak, dibuat sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (6) Undang-Undang PPN.


Pasal 74


(1) Faktur Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (1) wajib:
  1. diunggah oleh PKP dengan menggunakan aplikasi atau sistem yang disediakan dan/atau ditentukan oleh Direktorat Jenderal Pajak; dan
  2. memperoleh persetujuan Direktorat Jenderal Pajak.
(2) Faktur Pajak berbentuk elektronik yang tidak memperoleh persetujuan Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b bukan merupakan Faktur Pajak.
(3) PPN yang tercantum dalam Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan.


Pasal 75


Faktur penjualan yang diterbitkan oleh PKP termasuk dalam pengertian Faktur Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (1) sepanjang:
  1. dicantumkan keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (1);
  2. diunggah dengan menggunakan aplikasi atau sistem yang disediakan dan/atau ditentukan oleh Direktorat Jenderal Pajak; dan
  3. memperoleh persetujuan Direktorat Jenderal Pajak.


Pasal 76


(1) PKP dapat membuat Faktur Pajak pengganti atas Faktur Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (1) jika terdapat kesalahan dalam pengisian atau penulisan Faktur Pajak sehingga tidak memuat keterangan yang benar, lengkap, dan jelas.
(2) PKP dapat melakukan cetak ulang Faktur Pajak jika hasil cetak Faktur Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (1) rusak atau hilang.
(3) PKP dapat mengajukan permintaan data Faktur Pajak berbentuk elektronik kepada Direktorat Jenderal Pajak jika data Faktur Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (1) rusak atau hilang.
(4) PKP harus melakukan pembatalan Faktur Pajak yang telah dibuat atas penyerahan:
  1. BKP dan/atau JKP yang transaksinya dibatalkan; atau
  2. barang dan/atau jasa yang seharusnya tidak dibuatkan Faktur Pajak.


Pasal 77


(1) Dalam hal terjadi keadaan tertentu yang menyebabkan PKP tidak dapat membuat Faktur Pajak berbentuk elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (1), PKP diperkenankan untuk membuat Faktur Pajak tidak dalam bentuk elektronik.
(2) Keadaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu keadaan yang disebabkan oleh peperangan, kerusuhan, revolusi, bencana alam, pemogokan, kebakaran, dan sebab lainnya di luar kuasa PKP, yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.


Pasal 78


(1) Faktur Pajak wajib diisi secara benar, lengkap, dan jelas.
(2) PKP yang membuat Faktur Pajak tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(3) PPN yang tercantum dalam Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan.


Bagian Keempat
Faktur Pajak bagi Pengusaha Kena Pajak Pedagang Eceran yang
Melakukan Penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena
Pajak kepada Pembeli dengan Karakteristik Konsumen Akhir

Pasal 79


(1) Penyerahan BKP dan/atau JKP kepada pembeli BKP dan/atau penerima JKP dengan karakteristik konsumen akhir merupakan penyerahan yang dilakukan secara eceran.
(2) Karakteristik konsumen akhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
  1. pembeli barang dan/atau penerima jasa mengonsumsi secara langsung barang dan/atau jasa yang dibeli atau diterima; dan
  2. pembeli barang dan/atau penerima jasa tidak menggunakan atau memanfaatkan barang dan/atau jasa yang dibeli atau diterima untuk kegiatan usaha.
(3) PKP yang seluruh atau sebagian kegiatan usahanya melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP kepada pembeli BKP dan/atau penerima JKP dengan karakteristik konsumen akhir sebagaimana dimaksud pada ayat (2), termasuk yang dilakukan melalui Perdagangan Melalui Sistem Elektronik, merupakan PKP pedagang eceran.


Pasal 80


(1) PKP pedagang eceran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (3) dapat membuat Faktur Pajak untuk setiap penyerahan BKP dan/atau JKP tanpa mencantumkan keterangan mengenai identitas pembeli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (1) huruf b serta nama dan tanda tangan penjual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (1) huruf g.
(2) Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas penyerahan BKP dan/atau JKP kepada pembeli BKP dan/atau penerima JKP dengan karakteristik konsumen akhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (2) harus dibuat dengan mencantumkan keterangan yang paling sedikit memuat:
  1. nama, alamat, dan NPWP yang melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP;
  2. jenis barang atau jasa, jumlah harga jual atau penggantian, dan potongan harga;
  3. PPN atau PPN dan PPnBM yang dipungut; dan
  4. kode, nomor seri, dan tanggal pembuatan Faktur Pajak.
(3) Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa bon kontan, faktur penjualan, segi cash register, karcis, kuitansi, atau tanda bukti penyerahan atau pembayaran lain yang sejenis.
(4) PPN atau PPN dan PPnBM sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dapat termasuk dalam harga jual atau penggantian, atau dicantumkan secara terpisah.
(5) Kode dan nomor seri Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d dapat ditentukan sendiri sesuai dengan kelaziman usaha PKP pedagang eceran.
(6) Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuat paling sedikit untuk:
  1. pembeli BKP dan/atau penerima JKP; dan
  2. arsip PKP pedagang eceran.
(7) Arsip PKP pedagang eceran sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf b dapat berupa rekaman Faktur Pajak dalam bentuk media elektronik sebagai sarana penyimpanan data.
(8) PKP dapat membuat Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atas:
  1. pemakaian sendiri BKP dan/atau JKP yang tidak berkaitan dengan kegiatan produksi selanjutnya atau digunakan untuk kegiatan yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha PKP yang bersangkutan; dan
  2. pemberian cuma-cuma atas BKP dan/atau JKP kepada pembeli BKP dan/atau penerima JKP dengan karakteristik konsumen akhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (2).
(9) PKP pedagang eceran dapat membuat Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk penyerahan BKP dan/atau JKP yang mendapatkan fasilitas tidak dipungut PPN atau dibebaskan dari pengenaan PPN.
(10) PPN yang tercantum dalam Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan.

     

Pasal 81


(1) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (2), Faktur Pajak atas penyerahan BKP tertentu dan/atau JKP tertentu kepada pembeli BKP dan/atau penerima JKP dengan karakteristik konsumen akhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (2) dibuat sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (1).
(2) BKP tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
  1. angkutan darat berupa kendaraan bermotor;
  2. angkutan air berupa kapal pesiar, kapal ekskursi, kapal feri, dan/atau yacht,
  3. angkutan udara berupa pesawat terbang, helikopter, dan/atau balon udara;
  4. tanah dan/atau bangunan; dan
  5. senjata api dan/atau peluru senjata api.
(3) JKP tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
  1. jasa penyewaan angkutan darat berupa kendaraan bermotor;
  2. jasa penyewaan angkutan air berupa kapal pesiar, kapal ekskursi, kapal feri, dan/atau yacht;
  3. jasa penyewaan angkutan udara berupa pesawat terbang, helikopter, dan/atau balon udara; dan
  4. jasa penyewaan tanah dan/atau bangunan.


Pasal 82


(1) Faktur Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (2) wajib diisi secara benar, lengkap, dan jelas.
(2) PKP pedagang eceran yang membuat Faktur Pajak tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.


BAB IV
KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN

Bagian Kesatu
Tata Cara Pemberian Imbalan Bunga

Pasal 83


(1) Imbalan bunga yang terkait dengan PPh, PPN, dan PPnBM diberikan kepada Wajib Pajak dalam hal terdapat:
  1. keterlambatan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) Undang-Undang KUP;
  2. keterlambatan penerbitan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B ayat (3) Undang-Undang KUP;
  3. keterlambatan penerbitan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B ayat (4) Undang-Undang KUP;
  4. kelebihan pembayaran pajak karena pengajuan keberatan, permohonan banding, atau permohonan peninjauan kembali, dikabulkan sebagian atau seluruhnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27B ayat (1) Undang-Undang KUP; atau
  5. kelebihan pembayaran pajak karena Surat Keputusan Pembetulan, surat keputusan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak, atau surat keputusan pengurangan atau pembatalan Surat Tagihan Pajak yang mengabulkan sebagian atau seluruh permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27B ayat (3) Undang-Undang KUP, kecuali:
    1. kelebihan  pembayaran pajak karena Surat Keputusan Pembetulan yang terkait dengan Persetujuan Bersama; atau
    2. kelebihan pembayaran pajak karena surat keputusan pembatalan surat ketetapan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf d Undang-Undang KUP.
(2) Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d diberikan terhadap kelebihan pembayaran pajak paling banyak sebesar jumlah lebih bayar yang disetujui Wajib Pajak dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan atas Surat Pemberitahuan yang menyatakan lebih bayar yang telah diterbitkan:
  1. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar;
  2. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan;
  3. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar; atau
  4. Surat Ketetapan Pajak Nihil.
(3) Jumlah lebih bayar yang disetujui Wajib Pajak dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan jumlah lebih bayar menurut Wajib Pajak yang disampaikan oleh Wajib Pajak pada saat Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan.
(4) Surat Pemberitahuan yang menyatakan lebih bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan Surat Pemberitahuan yang menyatakan lebih bayar dengan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak.
(5) Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d tidak diberikan terhadap kelebihan pembayaran pajak karena diterbitkannya Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali, yang berasal dari pembayaran atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, baik yang disetujui maupun tidak disetujui Wajib Pajak dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan.


Pasal 84


(1) Dalam hal terdapat keterlambatan pengembalian kelebihan pembayaran PBB sektor perkebunan, sektor perhutanan, sektor pertambangan, dan sektor lainnya, imbalan bunga yang terkait dengan PBB diberikan kepada Wajib Pajak.
(2) Keterlambatan pengembalian kelebihan pembayaran PBB sebagaimana dimaksud pada ayat (1), merupakan akibat penerbitan:
  1. Surat Keputusan Kelebihan Pembayaran PBB;
  2. Keputusan Keberatan;
  3. Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali;
  4. Surat Keputusan Pembetulan;
  5. Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi PBB atau Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi PBB;
  6. Surat Keputusan Pengurangan Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang atau Surat Keputusan Pembatalan Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang;
  7. Surat Keputusan Pengurangan Surat Ketetapan Pajak PBB atau Surat Keputusan Pembatalan Surat Ketetapan Pajak PBB; atau
  8. Surat Keputusan Pengurangan Surat Tagihan Pajak PBB atau Surat Keputusan Pembatalan Surat Tagihan Pajak PBB.


Pasal 85


(1) Imbalan bunga karena keterlambatan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (1) huruf a diberikan dengan tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dari jumlah kelebihan pembayaran pajak.
(2) Jumlah bulan sebagai dasar pemberian imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak batas waktu penerbitan SKPKPP atau SKPPIB berakhir sampai dengan tanggal penerbitan SKPKPP atau SKPPIB.
(3) Batas waktu penerbitan SKPKPP atau SKPPIB sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 1 (satu) bulan sejak:
  1. permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak diterima sehubungan dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang KUP;
  2. diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) atau Pasal 17B Undang-Undang KUP;
  3. diterbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak untuk Wajib Pajak dengan kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C Undang-Undang KUP, Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17D Undang-Undang KUP, dan PKP berisiko rendah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4c) Undang- Undang PPN;
  4. diterbitkan Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi, surat keputusan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak, surat keputusan pengurangan atau pembatalan Surat Tagihan Pajak, atau SKPIB, yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak; atau
  5. diterima Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali oleh kantor Direktorat Jenderal Pajak yang berwenang melaksanakan Putusan Pengadilan, yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak.
(4) Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
(5) Tarif bunga per bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tarif bunga yang berlaku pada tanggal dimulainya penghitungan imbalan bunga.


Pasal 86


(1) Imbalan bunga karena keterlambatan penerbitan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (1) huruf b diberikan dengan tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dari jumlah kelebihan pembayaran pajak.
(2) Jumlah bulan sebagai dasar pemberian imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak jangka waktu 1 (satu) bulan untuk penerbitan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 17B ayat (2) Undang-Undang KUP berakhir sampai dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.
(3) Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
(4) Tarif bunga per bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tarif bunga yang berlaku pada tanggal dimulainya penghitungan imbalan bunga.


Pasal 87


(1) Imbalan bunga karena keterlambatan penerbitan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (1) huruf c diberikan dengan tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dari jumlah kelebihan pembayaran pajak.
(2) Jumlah bulan sebagai dasar pemberian imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak tanggal surat permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak diterima secara lengkap berakhir sampai dengan saat diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.
(3) Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
(4) Tarif bunga per bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tarif bunga yang berlaku pada tanggal dimulainya penghitungan imbalan bunga.


Pasal 88


(1) Imbalan bunga atas kelebihan pembayaran pajak karena pengajuan keberatan, permohonan banding, atau permohonan peninjauan kembali yang terkait dengan Surat Pemberitahuan yang menyatakan lebih bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (1) huruf d diberikan dengan tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dari jumlah kelebihan pembayaran pajak.
(2) Jumlah bulan sebagai dasar pemberian imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak tanggal penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, atau Surat Ketetapan Pajak Nihil sampai dengan diterbitkannya Surat Keputusan Keberatan atau diucapkannya Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali.
(3) Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
(4) Tarif bunga per bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tarif bunga yang berlaku pada tanggal dimulainya penghitungan imbalan bunga.


Pasal 89


(1) Imbalan bunga atas kelebihan pembayaran pajak karena Surat Keputusan Pembetulan, surat keputusan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak, atau surat keputusan pengurangan atau pembatalan Surat Tagihan Pajak, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (1) huruf e diberikan dengan tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dari jumlah kelebihan pembayaran pajak.
(2) Jumlah bulan sebagai dasar pemberian imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak:
  1. tanggal pembayaran Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan sampai dengan tanggal diterbitkannya Surat Keputusan Pembetulan, atau surat keputusan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak;
  2. tanggal penerbitan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Nihil sampai dengan tanggal diterbitkannya Surat Keputusan Pembetulan, atau surat keputusan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak; atau
  3. tanggal pembayaran Surat Tagihan Pajak sampai dengan tanggal diterbitkannya Surat Keputusan Pembetulan, atau surat keputusan pengurangan atau pembatalan Surat Tagihan Pajak.
(3) Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
(4) Tarif bunga per bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tarif bunga yang berlaku pada tanggal dimulainya penghitungan imbalan bunga.


Pasal 90


(1) Imbalan bunga karena keterlambatan pengembalian kelebihan pembayaran PBB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 diberikan dengan tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dari jumlah kelebihan pembayaran pajak.
(2) Jumlah bulan sebagai dasar pemberian imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak batas waktu penerbitan SKPKPP PBB berakhir sampai dengan tanggal penerbitan SKPKPP PBB.
(3) Batas waktu penerbitan SKPKPP PBB sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 1 (satu) bulan sejak:
  1. diterbitkannya Surat Keputusan Kelebihan Pembayaran PBB;
  2. diterbitkannya Keputusan Keberatan;
  3. Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali diterima kantor Direktorat Jenderal Pajak yang berwenang melaksanakan Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali;
  4. diterbitkannya Surat Keputusan Pembetulan;
  5. diterbitkannya Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi PBB atau Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi PBB;
  6. diterbitkannya Surat Keputusan Pengurangan Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang atau Surat Keputusan Pembatalan Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang;
  7. diterbitkannya Surat Keputusan Pengurangan Surat Ketetapan Pajak PBB atau Surat Keputusan Pembatalan Surat Ketetapan Pajak PBB; atau
  8. diterbitkannya Surat Keputusan Pengurangan Surat Tagihan Pajak PBB atau Surat Keputusan Pembatalan Surat Tagihan Pajak PBB.
(4) Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
(5) Tarif bunga per bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tarif bunga yang berlaku pada tanggal dimulainya penghitungan imbalan bunga.


Pasal 91


(1) Dalam hal terdapat imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83, Wajib Pajak mengajukan permohonan pemberian imbalan bunga kepada Kepala KPP tempat Wajib Pajak terdaftar atau tempat PKP dikukuhkan.
(2) Dalam hal terdapat imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84, Wajib Pajak mengajukan permohonan pemberian imbalan bunga kepada Kepala KPP tempat objek pajak PBB diadministrasikan.
(3) Penyampaian permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2) dilakukan secara:
  1. elektronik, melalui saluran tertentu yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak; atau
  2. tertulis,
dengan mencantumkan nomor rekening dalam negeri Wajib Pajak.
(4) Permohonan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b disampaikan:
  1. secara langsung;
  2. melalui pos dengan bukti pengiriman surat; atau
  3. melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat.

 

Pasal 92


(1) Direktur Jenderal Pajak menerbitkan SKPIB jika permohonan pemberian imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (1) atau Pasal 91 ayat (2):
  1. memenuhi ketentuan pemberian imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 atau Pasal 84; dan
  2. mencantumkan nomor rekening dalam negeri Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (3).
(2) Penerbitan SKPIB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang terkait dengan pemberian imbalan bunga atas kelebihan pembayaran pajak karena pengajuan keberatan, permohonan banding, atau permohonan peninjauan kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (1) huruf d, dapat dilakukan jika:
  1. Surat Keputusan Keberatan tidak diajukan permohonan banding ke Pengadilan Pajak;
  2. Putusan Banding telah diterima oleh kantor Direktorat Jenderal Pajak yang berwenang memberikan imbalan bunga; atau
  3. Putusan Peninjauan Kembali telah diterima oleh kantor Direktorat Jenderal Pajak yang berwenang memberikan imbalan bunga.
(3) Dalam hal SKPIB tidak diterbitkan karena permohonan pemberian imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (1) atau Pasal 91 ayat (2) tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Direktur Jenderal Pajak menerbitkan pemberitahuan SKPIB tidak diterbitkan kepada Wajib Pajak.
(4) SKPIB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau pemberitahuan SKPIB tidak diterbitkan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diterbitkan paling lama 1 (satu) bulan sejak permohonan pemberian imbalan bunga diterima secara lengkap oleh KPP.
(5) Ketentuan mengenai format SKPIB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran XX yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(6) Ketentuan mengenai format pemberitahuan SKPIB tidak diterbitkan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tercantum dalam Lampiran XXI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(7) SKPIB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan berdasarkan nota penghitungan pemberian imbalan bunga, yang memuat penghitungan besarnya imbalan bunga yang diberikan kepada Wajib Pajak.
(8) Ketentuan mengenai format nota penghitungan pemberian imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (7) tercantum dalam Lampiran XXII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(9) Bagi Wajib Pajak yang telah mendapatkan izin menyelenggarakan pembukuan dalam Bahasa Inggris dan mata uang Dolar Amerika Serikat, pemberian imbalan bunga terkait pajak yang terutang dalam mata uang Dolar Amerika Serikat diberikan dalam mata uang Rupiah, yang dihitung menggunakan nilai tukar atau kurs yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan yang berlaku pada saat:
  1. diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B Undang-Undang KUP;
  2. diterbitkannya Surat Keputusan Keberatan atau diucapkannya Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali;
  3. diterbitkannya Surat Keputusan Pembetulan;
  4. diterbitkannya surat keputusan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak; atau
  5. diterbitkannya surat keputusan pengurangan atau pembatalan Surat Tagihan Pajak.


Pasal 93


(1) Pemberian imbalan bunga kepada Wajib Pajak harus diperhitungkan terlebih dahulu dengan Utang Pajak yang diadministrasikan di KPP tempat Wajib Pajak terdaftar dan/atau tempat PKP dikukuhkan, termasuk di KPP tempat Wajib Pajak cabang terdaftar dan di KPP tempat objek pajak PBB diadministrasikan.
(2) Utang Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak 2007 dan sebelumnya adalah Utang Pajak PPh, PPN, dan PPnBM yang tercantum dalam:
  1. Surat Tagihan Pajak;
  2. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan;
  3. Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah; dan/atau
  4. Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan terjadinya pengembalian kelebihan pajak yang seharusnya tidak dikembalikan;
b. untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak 2008 dan sesudahnya adalah Utang Pajak PPh, PPN, dan PPnBM yang tercantum dalam:
1. Surat Tagihan Pajak;
2. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan atas jumlah yang telah disetujui oleh Wajib Pajak dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan;
3. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan atas jumlah yang tidak disetujui oleh Wajib Pajak dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan, yang:
a) tidak diajukan keberatan;
b) diajukan keberatan tetapi Surat Keputusan Keberatan mengabulkan sebagian, menolak, atau menambah jumlah pajak terutang dan atas Surat Keputusan Keberatan tersebut tidak diajukan banding; atau
c) diajukan keberatan dan atas Surat Keputusan Keberatan tersebut diajukan banding tetapi Putusan Banding mengabulkan sebagian, menambah jumlah pajak terutang, atau menolak;
4. Surat Keputusan Keberatan yang tidak diajukan banding;
5. Surat Keputusan Pembetulan yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah;
6. Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah; dan/atau
7. Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan terjadinya pengembalian kelebihan pajak yang seharusnya tidak dikembalikan;
c. Utang Pajak PBB yang tercantum dalam:
  1. Surat Tagihan Pajak PBB;
  2. Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang;
  3. Surat Ketetapan Pajak PBB;
  4. Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah;
  5. Surat Keputusan Pembetulan yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah; dan/atau
  6. Surat Keputusan Pembetulan, Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan terjadinya pengembalian kelebihan pajak yang seharusnya tidak dikembalikan.
(3) Dalam hal setelah dilakukan perhitungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) masih terdapat sisa imbalan bunga yang harus dibayarkan kepada Wajib Pajak, atas permohonan Wajib Pajak, sisa imbalan bunga tersebut dapat diperhitungkan dengan:
  1. pajak yang akan terutang atas nama Wajib Pajak; dan/atau
  2. Utang Pajak dan/atau pajak yang akan terutang atas nama Wajib Pajak lain.


Pasal 94


(1) Perhitungan pemberian imbalan bunga dengan Utang Pajak dan/atau pajak yang akan terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 dituangkan dalam nota penghitungan perhitungan pemberian imbalan bunga.
(2) Ketentuan mengenai format nota penghitungan perhitungan pemberian imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran XXIII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(3) SKPPIB diterbitkan berdasarkan nota penghitungan perhitungan pemberian imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Ketentuan mengenai format SKPPIB sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tercantum dalam Lampiran XXIV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(5) Pelunasan Utang Pajak dan/atau pajak yang akan terutang melalui perhitungan kelebihan imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 diakui pada saat diterbitkannya SKPPIB.


Pasal 95


(1) Perhitungan pemberian imbalan bunga dengan Utang Pajak dan/atau pajak yang akan terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ditindaklanjuti dengan kompensasi ke Utang Pajak dan/atau pajak yang akan terutang.
(2) Dalam hal tidak ada Utang Pajak dan/atau pajak yang akan terutang, seluruh imbalan bunga diberikan kepada Wajib Pajak bersangkutan.
(3) Kompensasi ke Utang Pajak dan/atau pajak yang akan terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui potongan SPMIB.
(4) Potongan SPMIB sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dianggap sah dalam hal telah mendapatkan NTPN atau nomor referensi penerimaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perbendaharaan.


Pasal 96


(1) Atas dasar SKPPIB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 ayat (3), Kepala KPP atas nama Menteri Keuangan menerbitkan SPMIB.
(2) Dalam hal terdapat kesalahan dalam penerbitan SPMIB sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala KPP atas nama Menteri Keuangan membetulkan SPMIB sepanjang belum diterbitkan SP2D.
(3) Ketentuan mengenai format SPMIB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran XXV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(4) SPMIB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dalam rangkap 4 (empat), dengan peruntukan:
  1. lembar ke-1 dan lembar ke-2 untuk KPPN;
  2. lembar ke-3 untuk Wajib Pajak; dan
  3. lembar ke-4 untuk arsip KPP.
(5) SKPPIB dan SPMIB beserta ADK disampaikan ke KPPN.


Pasal 97


(1) Berdasarkan SPMIB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat (1), Kepala KPPN atas nama Menteri Keuangan menerbitkan SP2D dengan ketentuan:
  1. dalam hal seluruh imbalan bunga dikompensasikan ke Utang Pajak dan/atau pajak yang akan terutang melalui potongan SPMIB, Kepala KPPN menerbitkan SP2D Nihil;
  2. dalam hal masih terdapat sisa imbalan bunga yang harus diberikan kepada Wajib Pajak setelah dikompensasikan ke Utang Pajak dan/atau pajak yang akan terutang melalui potongan SPMIB, Kepala KPPN menerbitkan SP2D sesuai dengan rekening Wajib Pajak yang tercantum dalam SPMIB; atau
  3. dalam hal seluruh imbalan bunga diberikan kepada Wajib Pajak, Kepala KPPN menerbitkan SP2D sesuai dengan rekening Wajib Pajak yang tercantum dalam SPMIB.
(2) Kepala KPPN menerbitkan bukti penerimaan negara dalam hal imbalan bunga dikompensasikan ke Utang Pajak dan/atau pajak yang akan terutang melalui potongan SPMIB.
(3) KPPN menyampaikan:
  1. daftar SP2D;
  2. SPMIB lembar ke-2; dan
  3. bukti penerimaan negara, dalam hal terdapat imbalan bunga yang dikompensasikan ke Utang Pajak dan/atau pajak yang akan terutang melalui potongan SPMIB,
ke KPP penerbit SPMIB.


Pasal 98


Bukti penerimaan negara atas potongan SPMIB disampaikan oleh KPP penerbit SPMIB kepada Wajib Pajak.


Pasal 99


(1) SKPPIB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 ayat (3) dan SPMIB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat (1) diterbitkan paling lama 1 (satu) bulan sejak penerbitan SKPIB.
(2) SP2D sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (1) diterbitkan oleh Kepala KPPN sesuai peraturan perundang-undangan di bidang perbendaharaan.


Pasal 100


(1) Pejabat yang diberi wewenang untuk menandatangani SKPPIB dan SPMIB menyampaikan spesimen tanda tangan kepada Kepala KPPN setiap awal tahun anggaran.
(2) Dalam hal terjadi perubahan pejabat yang berwenang menandatangani SKPPIB dan SPMIB, pejabat pengganti harus menyampaikan spesimen tanda tangan kepada Kepala KPPN sejak yang bersangkutan menjabat.


Pasal 101


Pembayaran imbalan bunga merupakan bagian dari pengurang penerimaan pajak.


Pasal 102


Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf h Undang-Undang KUP untuk menagih kembali imbalan bunga yang seharusnya tidak diberikan kepada Wajib Pajak dalam hal diterbitkan keputusan, diterima putusan, atau ditemukan data atau informasi, yang menunjukkan adanya imbalan bunga yang seharusnya tidak diberikan kepada Wajib Pajak.


Bagian Kedua
Tata Cara Pembayaran dan Penyetoran Pajak

Pasal 103


Beberapa ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 242/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Pembayaran dan Penyetoran Pajak (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 1973), diubah sebagai berikut:

1. Ketentuan angka 1, angka 2, angka 3, angka 4, angka 15, angka 16, angka 17, angka 21, angka 22, angka 23, dan angka 25 Pasal 1 diubah, sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 1


Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan:
  1. Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang selanjutnya disebut Undang-Undang KUP adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
  2. Undang-Undang Pajak Penghasilan yang selanjutnya disebut Undang-Undang PPh adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
  3. Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai yang selanjutnya disebut Undang-Undang PPN adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
  4. Undang-Undang Bea Meterai adalah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2020 tentang Bea Meterai.
  5. Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan yang selanjutnya disebut Undang-Undang PBB adalah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994.
  6. Pajak Penghasilan yang selanjutnya disingkat PPh adalah Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang PPh.
  7. Pajak Pertambahan Nilai yang selanjutnya disebut PPN adalah Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang PPN.
  8. Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang selanjutnya disebut PPnBM adalah Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang PPN.
  9. Bea Meterai adalah pajak atas dokumen sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Bea Meterai.
  10. Pajak Bumi dan Bangunan yang selanjutnya disingkat PBB adalah pajak sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang PBB.
  11. Nomor Pokok Wajib Pajak yang selanjutnya disingkat NPWP adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.
  12. Masa Pajak adalah jangka waktu yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang dalam suatu jangka waktu tertentu sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang KUP.
  13. Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
  14. Nomor Objek Pajak yang selanjutnya disingkat NOP adalah nomor identitas objek pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan.
  15. Kas Negara adalah tempat penyimpanan uang negara yang ditentukan oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara (BUN) untuk menampung seluruh penerimaan negara dan membayar pengeluaran negara.
  16. Modul Penerimaan Negara yang selanjutnya disingkat MPN adalah modul penerimaan yang memuat serangkaian prosedur mulai dari penerimaan, penyetoran, pengumpulan data, pencatatan, pengikhtisaran, sampai dengan pelaporan yang berhubungan dengan Penerimaan Negara dan merupakan sistem yang terintegrasi dengan Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara.
  17. Bank Persepsi adalah bank umum yang ditunjuk oleh Kuasa BUN Pusat untuk menerima setoran Penerimaan Negara.
  18. Bank Devisa Persepsi adalah bank umum yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk menerima setoran penerimaan negara dalam rangka ekspor dan impor.
  19. Bank Persepsi Mata Uang Asing adalah bank devisa yang ditunjuk oleh BUN/Kuasa BUN Pusat untuk menerima setoran Penerimaan Negara dalam mata uang asing.
  20. Pos Persepsi adalah Kantor Pos yang ditunjuk Kuasa BUN untuk menerima setoran Penerimaan Negara.
  21. Nomor Transaksi Penerimaan Negara yang selanjutnya disingkat NTPN adalah nomor tanda bukti pembayaran atau penyetoran ke kas negara yang diterbitkan melalui modul penerimaan negara atau oleh sistem penerimaan negara yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan.
  22. Nomor Transaksi Bank yang selanjutnya disingkat NTB adalah nomor bukti transaksi penyetoran Penerimaan Negara yang diterbitkan Bank Persepsi atau Bank Persepsi Valas.
  23. Nomor Transaksi Pos yang selanjutnya disingkat NTP adalah nomor bukti transaksi penyetoran Penerimaan Negara yang diterbitkan Pos Persepsi.
  24. Nomor Penerimaan Potongan yang selanjutnya disingkat NPP adalah nomor bukti transaksi penerimaan negara yang berasal dari potongan Surat Perintah Membayar (SPM).
  25. Bukti Penerimaan Negara yang selanjutnya disingkat BPN adalah dokumen yang diterbitkan oleh Collecting Agent atas transaksi Penerimaan Negara yang mencantumkan NTPN dan NTB/NTP/NTL sebagai sarana administrasi lain yang kedudukannya disamakan dengan surat setoran.
  26. Surat Setoran Pajak yang selanjutnya disingkat SSP adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas negara melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.
  27. Surat Setoran Pabean, Cukai, dan Pajak dalam rangka impor yang selanjutnya disebut SSPCP adalah surat setoran atas penerimaan negara dalam rangka impor berupa bea masuk, denda administrasi, penerimaan pabean lainnya, cukai, penerimaan cukai lainnya, jasa pekerjaan, bunga dan PPh Pasal 22 Impor, PPN Impor, serta PPnBM Impor.
  28. Pemindahbukuan adalah suatu proses memindahbukukan penerimaan pajak untuk dibukukan pada penerimaan pajak yang sesuai.
  29. Bukti Pemindahbukuan yang selanjutnya disebut Bukti Pbk adalah bukti yang menunjukkan bahwa telah dilakukan Pemindahbukuan.
   
2. Ketentuan ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan ayat (7) Pasal 7 diubah, serta ditambahkan 1 (satu) ayat dalam Pasal 7 yakni ayat (11), sehingga Pasal 7 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 7


(1) Bagi Wajib Pajak usaha kecil dan Wajib Pajak di daerah tertentu, jangka waktu pelunasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dapat diperpanjang menjadi paling lama 2 (dua) bulan.
(2) Wajib Pajak usaha kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari Wajib Pajak orang pribadi dan Wajib Pajak badan.
(3) Wajib Pajak orang pribadi usaha kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
  1. menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas; dan
  2. memiliki peredaran bruto tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak.
(4) Wajib Pajak badan usaha kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
  1. Wajib Pajak badan tidak termasuk BUT; dan
  2. menerima penghasilan dari usaha dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak.
(5) Untuk mendapatkan perpanjangan jangka waktu pelunasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wajib Pajak usaha kecil atau Wajib Pajak di daerah tertentu harus mengajukan permohonan perpanjangan jangka waktu pelunasan kepada Direktur Jenderal Pajak, paling lama 9 (sembilan) hari kerja sebelum tanggal jatuh tempo pembayaran dengan menggunakan surat permohonan perpanjangan jangka waktu pelunasan.
(6) Atas permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Direktur Jenderal Pajak menerbitkan keputusan dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah tanggal diterimanya permohonan.
(7) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) berupa:
  1. menyetujui; atau
  2. menolak permohonan Wajib Pajak.
(8) Dalam hal permohonan Wajib Pajak disetujui sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf a, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan keputusan persetujuan perpanjangan jangka waktu pelunasan pajak.
(9) Dalam hal permohonan Wajib Pajak ditolak sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf b, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan keputusan penolakan perpanjangan jangka waktu pelunasan pajak.
(10) Apabila jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (6) telah terlampaui dan Direktur Jenderal Pajak tidak menerbitkan suatu keputusan, permohonan Wajib Pajak dianggap diterima.
(11) Keputusan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (10) harus diterbitkan paling lama 5 (lima) hari kerja setelah jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja tersebut berakhir.
   
3. Di antara ayat (6) dan ayat (7) Pasal 14 disisipkan 2 (dua) ayat yakni ayat (6a) dan ayat (6b), sehingga Pasal 14 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 14


(1) Pembayaran dan penyetoran pajak dilakukan dalam mata uang Rupiah.
(2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bagi Wajib Pajak yang telah mendapatkan izin menyelenggarakan pembukuan dalam Bahasa Inggris dan mata uang Dolar Amerika Serikat melakukan pembayaran PPh Pasal 25, PPh Pasal 29, dan PPh Final yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak serta surat ketetapan pajak dan Surat Tagihan Pajak yang diterbitkan dalam mata uang Dolar Amerika Serikat, dengan menggunakan mata uang Dolar Amerika Serikat.
(3) Termasuk dalam pengertian Wajib Pajak yang telah mendapat izin menyelenggarakan pembukuan dalam Bahasa Inggris dan mata uang Dolar Amerika Serikat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yaitu Wajib Pajak yang menyampaikan pemberitahuan secara tertulis penyelenggaraan pembukuan dalam Bahasa Inggris dan mata uang Dolar Amerika Serikat sesuai yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(4) Pembayaran pajak dalam mata uang Dolar Amerika Serikat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan ke kas negara melalui Bank Persepsi Mata Uang Asing.
(5) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat melakukan pembayaran PPh Pasal 25, PPh Pasal 29, dan PPh Final yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak dalam mata uang Rupiah.
(6) Dalam hal pembayaran pajak dilakukan dalam satuan mata uang Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Wajib Pajak harus mengonversikan pembayaran dalam satuan mata uang Rupiah tersebut ke satuan mata uang Dolar Amerika Serikat dengan menggunakan kurs yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri Keuangan yang berlaku pada tanggal pembayaran.
(6a) Dalam hal pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui potongan Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak, pembayaran tersebut dilakukan dalam mata uang Rupiah dengan menggunakan kurs yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri Keuangan yang berlaku pada tanggal penerbitan SKPKPP.
(6b) Dalam hal pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui potongan SPMIB, pembayaran tersebut dilakukan dalam mata uang Rupiah dengan menggunakan kurs yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri Keuangan yang berlaku pada tanggal penerbitan SKPPIB.
(7) Ketentuan mengenai tata cara pembayaran PPh dalam mata uang Dolar Amerika Serikat diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak atau Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan, baik secara bersama- sama maupun secara sendiri-sendiri sesuai dengan kewenangannya.
   
4. Ketentuan Pasal 21 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 21


(1) Permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 harus diajukan menggunakan surat permohonan pengangsuran pembayaran pajak atau surat permohonan penundaan pembayaran pajak.
(2) Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh Wajib Pajak, dan dalam hal ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak harus dilampiri surat kuasa khusus sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(3) Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencantumkan:
  1. jumlah utang pajak yang pembayarannya dimohonkan untuk diangsur, masa angsuran, dan besarnya angsuran; atau
  2. jumlah utang pajak yang pembayarannya dimohonkan untuk ditunda dan jangka waktu penundaan.
(4) Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampiri alasan dan bukti kesulitan likuiditas atau keadaan di luar kekuasaan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 berupa laporan keuangan interim, laporan keuangan, atau catatan tentang peredaran atau penerimaan bruto dan/atau penghasilan bruto.
(5) Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan pengangsuran atau penundaan pembayaran PBB yang masih harus dibayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, selain harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), Wajib Pajak harus tidak memiliki tunggakan PBB tahun sebelumnya dan permohonan dimaksud juga harus dilampiri salinan Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang, Surat Ketetapan Pajak PBB, atau Surat Tagihan Pajak PBB yang dimohonkan pengangsuran atau penundaan.
(6) Surat permohonan pengangsuran pembayaran pajak atau surat permohonan penundaan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lama:
  1. pada saat Surat Pemberitahuan Tahunan disampaikan, untuk kekurangan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3; dan/atau
  2. sebelum Surat Paksa diberitahukan oleh Jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai penagihan pajak dengan surat paksa, untuk pajak yang terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan pajak yang masih harus dibayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1).
(7) Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara:
  1. elektronik, melalui saluran tertentu yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak; atau
  2. tertulis.
(8) Permohonan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf b disampaikan:
  1. secara langsung;
  2. melalui pos dengan bukti pengiriman surat; atau
  3. melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat.
   
5. Ketentuan Pasal 22 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 22


(1) Wajib Pajak yang mengajukan permohonan pengangsuran atau penundaan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, harus memberikan jaminan aset berwujud, dengan kriteria:
  1. aset berwujud merupakan milik Penanggung Pajak pemohon yang dibuktikan dengan bukti kepemilikan atas aset berwujud tersebut; dan
  2. aset berwujud tidak sedang dijadikan jaminan atas utang Penanggung Pajak pemohon.
(2) Wajib Pajak yang mengajukan permohonan pengangsuran pembayaran pajak setelah melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (6) harus memberikan jaminan aset berwujud sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebesar utang pajak yang diajukan permohonan pengangsuran pembayaran pajak.
   
6. Ketentuan ayat (1) Pasal 23 diubah, sehingga Pasal 23 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 23


(1) Setelah melakukan penelitian terhadap kelengkapan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan jangka waktu penyampaian permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (6), serta setelah mempertimbangkan jaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan keputusan dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah tanggal diterima permohonan.
(2) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
  1. menyetujui jumlah angsuran pajak dan/atau masa angsuran atau lamanya penundaan sesuai dengan permohonan Wajib Pajak;
  2. menyetujui sebagian jumlah angsuran pajak dan/atau masa angsuran atau lamanya penundaan yang dimohonkan Wajib Pajak; atau
  3. menolak permohonan Wajib Pajak.
(3) Dalam hal permohonan Wajib Pajak disetujui sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a atau disetujui sebagian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan keputusan persetujuan pengangsuran pembayaran pajak atau keputusan persetujuan penundaan pembayaran pajak.
(4) Dalam hal permohonan Wajib Pajak ditolak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan keputusan penolakan angsuran/penundaan pembayaran pajak.
(5) Apabila jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah terlampaui dan Direktur Jenderal Pajak tidak menerbitkan suatu keputusan, permohonan disetujui sesuai dengan permohonan Wajib Pajak, dan keputusan persetujuan pengangsuran pembayaran pajak atau keputusan persetujuan penundaan pembayaran pajak harus diterbitkan paling lama 5 (lima) hari kerja setelah jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja tersebut berakhir.
   
7. Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 25


(1) Pengangsuran atas kekurangan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, pajak yang terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, atau pajak yang masih harus dibayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), dapat diberikan untuk:
  1. paling lama 24 (dua puluh empat) bulan sejak diterbitkannya keputusan persetujuan pengangsuran pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3) atau ayat (5) dengan angsuran paling banyak 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan, untuk permohonan angsuran pajak yang masih harus dibayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1);
  2. paling lama 24 (dua puluh empat) bulan sejak diterbitkannya keputusan persetujuan pengangsuran pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3) atau ayat (5) dengan angsuran paling banyak 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan, untuk permohonan angsuran pajak yang terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5; atau
  3. paling lama sampai dengan batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak berikutnya, dengan angsuran paling banyak 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan, untuk permohonan pengangsuran atas kekurangan pembayaran pajak berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.
(2) Penundaan atas kekurangan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, pajak yang terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, atau pajak yang masih harus dibayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dapat diberikan untuk:
  1. paling lama 24 (dua puluh empat) bulan sejak diterbitkannya keputusan persetujuan penundaan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3) atau ayat (5), untuk permohonan penundaan pajak yang masih harus dibayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1);
  2. paling lama 24 (dua puluh empat) bulan sejak diterbitkannya keputusan persetujuan penundaan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3) atau ayat (5), untuk permohonan penundaan pajak yang terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5; atau
  3. paling lama sampai dengan batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak berikutnya, untuk permohonan penundaan atas kekurangan pembayaran pajak berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.
   
8. Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 30


(1) Dalam hal Wajib Pajak disetujui untuk mengangsur atau menunda pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) huruf a dan huruf b, serta persetujuan yang diberikan tersebut tidak berkaitan dengan Surat Tagihan Pajak, Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang, Surat Ketetapan Pajak PBB, dan Surat Tagihan Pajak PBB, Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dari jumlah pajak yang masih harus dibayar dan dikenakan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang KUP, yang dihitung sejak jatuh tempo pembayaran sampai dengan pembayaran angsuran/pelunasan.
(2) Dalam hal Wajib Pajak disetujui untuk mengangsur atau menunda pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) huruf a dan huruf b dan persetujuan yang diberikan tersebut berkaitan dengan Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang, Surat Ketetapan Pajak PBB, dan Surat Tagihan Pajak PBB, Wajib Pajak dikenai denda administrasi sebesar 2% (dua persen) sebulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) Undang-Undang PBB yang dihitung dari saat jatuh tempo sampai dengan hari pembayaran untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.
   
9. Lampiran III sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) diubah menjadi sebagaimana tercantum dalam Lampiran XXVI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.


Bagian Ketiga
Surat Pemberitahuan (SPT)

Pasal 104


Beberapa ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 243/PMK.03/2014 tentang Surat Pemberitahuan (SPT) (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 1974) sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 9/PMK.03/2018 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 243/PMK.03/2014 tentang Surat Pemberitahuan (SPT) (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 180), diubah sebagai berikut:

1. Ketentuan angka 1, angka 2, dan angka 3 Pasal 1 diubah, sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 1


Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
  1. Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang selanjutnya disebut Undang-Undang KUP adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
  2. Undang-Undang Pajak Penghasilan yang selanjutnya disebut Undang-Undang PPh adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
  3. Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai yang selanjutnya disebut Undang-Undang PPN adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
  4. Pajak Penghasilan yang selanjutnya disingkat PPh adalah Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang PPh.
  5. Pajak Pertambahan Nilai yang selanjutnya disingkat PPN adalah Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang PPN.
  6. Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang selanjutnya disingkat PPnBM adalah Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang PPN.
  7. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
  8. Surat Pemberitahuan yang selanjutnya disingkat SPT adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
  9. SPT Tahunan adalah SPT untuk suatu Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak.
  10. SPT Masa adalah SPT untuk suatu Masa Pajak.
  11. Perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir adalah perusahaan yang berbentuk badan hukum yang memberikan jasa pengiriman surat jenis tertentu termasuk pengiriman SPT ke Direktorat Jenderal Pajak.
  12. Penelitian dalam Penerimaan SPT yang selanjutnya disebut Penelitian SPT adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menilai kelengkapan pengisian SPT dan lampiran-lampirannya.
   
2. Ketentuan ayat (5) dan ayat (6) Pasal 20 diubah, sehingga Pasal 20 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 20


(1) Wajib Pajak dengan kemauan sendiri dapat membetulkan SPT yang telah disampaikan dengan menyampaikan pernyataan tertulis, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum menyampaikan:
  1. Surat Pemberitahuan Pemeriksaan; atau
  2. Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak.
(2) Pernyataan tertulis dalam pembetulan SPT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara memberi tanda pada tempat yang telah disediakan dalam SPT yang menyatakan bahwa Wajib Pajak yang bersangkutan membetulkan SPT.
(3) Dalam hal pembetulan SPT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyatakan rugi atau lebih bayar, pembetulan SPT harus disampaikan paling lama 2 (dua) tahun sebelum daluwarsa penetapan.
(4) Dalam hal Wajib Pajak menerima surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali Tahun Pajak sebelumnya atau beberapa Tahun Pajak sebelumnya, yang menyatakan rugi fiskal yang berbeda dengan rugi fiskal yang telah dikompensasikan dalam SPT Tahunan yang akan dibetulkan tersebut, Wajib Pajak dapat membetulkan SPT Tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan setelah menerima surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali.
(5) Dalam hal Wajib Pajak membetulkan sendiri SPT Tahunan yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar, kepadanya dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dari jumlah pajak yang masih harus dibayar dan dikenakan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang KUP.
(6) Dalam hal Wajib Pajak membetulkan sendiri SPT Masa yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar, kepadanya dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dari jumlah pajak yang masih harus dibayar dan dikenakan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2a) Undang-Undang KUP.


Bagian Keempat
Tata Cara Pemeriksaan

Pasal 105


Beberapa ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pemeriksaan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 47) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2015 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pemeriksaan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 1468), diubah sebagai berikut:

1. Ketentuan angka 1 Pasal 1 diubah, sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 1


Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan:
  1. Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang selanjutnya disebut Undang-Undang KUP adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
  2. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
  3. Pemeriksaan Lapangan adalah Pemeriksaan yang dilakukan di tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak, tempat kegiatan usaha atau pekerjaan bebas Wajib Pajak, dan/atau tempat lain yang dianggap perlu oleh pemeriksa pajak.
  4. Pemeriksaan Kantor adalah Pemeriksaan yang dilakukan di kantor Direktorat Jenderal Pajak.
  5. Pemeriksa Pajak adalah Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak atau tenaga ahli yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak, yang diberi tugas, wewenang, dan tanggung jawab untuk melaksanakan Pemeriksaan.
  6. Tanda Pengenal Pemeriksa Pajak adalah tanda pengenal yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak yang merupakan bukti bahwa orang yang namanya tercantum pada kartu tanda pengenal tersebut sebagai Pemeriksa Pajak.
  7. Surat Perintah Pemeriksaan yang selanjutnya disingkat SP2 adalah surat perintah untuk melakukan Pemeriksaan dalam rangka menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
  8. Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan adalah surat pemberitahuan mengenai dilakukannya Pemeriksaan Lapangan dalam rangka menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
  9. Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor adalah surat panggilan mengenai dilakukannya Pemeriksaan Kantor dalam rangka menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
  10. Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi untuk periode Tahun Pajak tersebut.
  11. Data yang dikelola secara elektronik adalah data yang bentuknya elektronik, yang dihasilkan oleh komputer dan/atau pengolah data elektronik lainnya dan disimpan dalam disket, compact disk, tape backup, hard disk, atau media penyimpanan elektronik lainnya.
  12. Tempat Penyimpanan Buku, Catatan, dan Dokumen adalah tempat yang diselenggarakan oleh Wajib Pajak, perusahaan penyimpan arsip atau dokumen dan/atau yang diselenggarakan oleh pihak lain.
  13. Penyegelan adalah tindakan menempatkan tanda segel pada tempat atau ruangan tertentu serta barang bergerak dan/atau tidak bergerak yang digunakan atau patut diduga digunakan sebagai tempat atau alat untuk menyimpan buku atau catatan, dokumen, termasuk data yang dikelola secara elektronik dan benda-benda lain.
  14. Kertas Kerja Pemeriksaan yang selanjutnya disingkat KKP adalah catatan secara rinci dan jelas yang dibuat oleh Pemeriksa Pajak mengenai prosedur Pemeriksaan yang ditempuh, data, keterangan, dan/atau bukti yang dikumpulkan, pengujian yang dilakukan dan simpulan yang diambil sehubungan dengan pelaksanaan Pemeriksaan.
  15. Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan yang selanjutnya disingkat SPHP adalah surat yang berisi tentang temuan Pemeriksaan yang meliputi pos-pos yang dikoreksi, nilai koreksi, dasar koreksi, perhitungan sementara dari jumlah pokok pajak terutang dan perhitungan sementara dari sanksi administrasi.
  16. Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan adalah pembahasan antara Wajib Pajak dan Pemeriksa Pajak atas temuan Pemeriksaan yang hasilnya dituangkan dalam berita acara pembahasan akhir hasil Pemeriksaan yang ditandatangani oleh kedua belah pihak dan berisi koreksi pokok pajak terutang baik yang disetujui maupun yang tidak disetujui dan perhitungan sanksi administrasi.
  17. Tim Quality Assurance Pemeriksaan adalah tim yang dibentuk oleh Direktur Jenderal Pajak dalam rangka membahas hasil Pemeriksaan yang terbatas pada dasar hukum koreksi yang belum disepakati antara Pemeriksa Pajak dan Wajib Pajak dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan guna menghasilkan Pemeriksaan yang berkualitas.
  18. Laporan Hasil Pemeriksaan yang selanjutnya disingkat LHP adalah laporan yang berisi tentang pelaksanaan dan hasil Pemeriksaan yang disusun oleh Pemeriksa Pajak secara ringkas dan jelas serta sesuai dengan ruang lingkup dan tujuan Pemeriksaan.
  19. Laporan Hasil Pemeriksaan Sumir yang selanjutnya disebut LHP Sumir adalah laporan tentang penghentian Pemeriksaan tanpa adanya usulan penerbitan surat ketetapan pajak.
  20. Pemeriksaan Bukti Permulaan adalah Pemeriksaan yang dilakukan untuk mendapatkan bukti permulaan tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana di bidang perpajakan.
  21. Pemeriksaan Ulang adalah Pemeriksaan yang dilakukan terhadap Wajib Pajak yang telah diterbitkan surat ketetapan pajak dari hasil Pemeriksaan sebelumnya untuk jenis pajak dan masa pajak, bagian tahun pajak, atau tahun pajak yang sama.
  22. Kuesioner Pemeriksaan adalah formulir yang berisikan sejumlah pertanyaan dan penilaian oleh Wajib Pajak yang terkait dengan pelaksanaan Pemeriksaan.
  23. Analisis Risiko adalah kegiatan yang dilakukan untuk menilai tingkat ketidakpatuhan Wajib Pajak yang berisiko menimbulkan hilangnya potensi penerimaan pajak.
   
2. Ketentuan ayat (1) Pasal 4 diubah dan di antara ayat (1) dan ayat (2) Pasal 4 disisipkan 1 (satu) ayat yakni ayat (la), sehingga Pasal 4 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 4


(1) Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, dilakukan dalam hal memenuhi kriteria:
  1. Wajib Pajak yang mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B Undang-Undang KUP;
  2. terdapat data konkret yang menyebabkan pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar;
  3. Wajib Pajak menyampaikan Surat Pemberitahuan yang menyatakan lebih bayar, selain yang mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada huruf a;
  4. Wajib Pajak yang telah diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak;
  5. Wajib Pajak menyampaikan Surat Pemberitahuan yang menyatakan rugi;
  6. Wajib Pajak melakukan penggabungan, peleburan, pemekaran, likuidasi, pembubaran, atau akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya;
  7. Wajib Pajak melakukan perubahan tahun buku atau metode pembukuan atau karena dilakukannya penilaian kembali aktiva tetap;
  8. Wajib Pajak tidak menyampaikan atau menyampaikan Surat Pemberitahuan tetapi melampaui jangka waktu yang telah ditetapkan dalam surat teguran yang terpilih untuk dilakukan Pemeriksaan berdasarkan Analisis Risiko;
  9. Wajib Pajak menyampaikan Surat Pemberitahuan yang terpilih untuk dilakukan Pemeriksaan berdasarkan Analisis Risiko; atau
  10. Pengusaha Kena Pajak tidak melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dan/atau ekspor Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dan telah diberikan pengembalian Pajak Masukan atau telah mengkreditkan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (6e) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya.
(1a) Data konkret sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan data yang diperoleh atau dimiliki oleh Direktur Jenderal Pajak yang berupa:
  1. hasil klarifikasi atau konfirmasi faktur pajak;
  2. bukti pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan;
  3. data perpajakan terkait dengan Wajib Pajak yang tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) Undang-Undang KUP dan setelah ditegur secara tertulis Surat Pemberitahuan tidak disampaikan pada waktunya sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran; dan/atau
  4. bukti transaksi atau data perpajakan yang dapat digunakan untuk menghitung kewajiban perpajakan Wajib Pajak.
(3) Ketentuan mengenai Analisis Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h dan huruf i dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
   
3. Ketentuan ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) Pasal 5 diubah, sehingga Pasal 5 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 5


(1) Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan atau Pemeriksaan Kantor.
(2) Pemeriksaan dengan kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a dilakukan dengan Pemeriksaan Kantor, dalam hal permohonan pengembalian kelebihan pembayaran tersebut diajukan oleh Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan:
  1. laporan keuangan Wajib Pajak untuk Tahun Pajak yang diperiksa diaudit oleh akuntan publik atau laporan keuangan salah satu Tahun Pajak dari 2 (dua) Tahun Pajak sebelum Tahun Pajak yang diperiksa telah diaudit oleh akuntan publik, dengan pendapat wajar tanpa pengecualian; dan
  2. Wajib Pajak tidak sedang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan, Penyidikan, atau Penuntutan Tindak Pidana Perpajakan, dan/atau Wajib Pajak dalam 5 (lima) tahun terakhir tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.
(3) Pemeriksaan dengan kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b dilakukan dengan Pemeriksaan Kantor.
(4) Pemeriksaan dengan kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf c sampai dengan huruf g dan huruf j dilakukan dengan Pemeriksaan Kantor atau Pemeriksaan Lapangan.
(5) Pemeriksaan dengan kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf h dan huruf i dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan.
(6) Dalam hal Pemeriksaan Kantor ditemukan indikasi transaksi yang terkait dengan transfer pricing dan/atau transaksi khusus lain yang berindikasi adanya rekayasa transaksi keuangan, pelaksanaan Pemeriksaan Kantor diubah menjadi Pemeriksaan Lapangan.
   
4. Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 11


Dalam melakukan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan, Pemeriksa Pajak wajib:
a. menyampaikan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan kepada Wajib Pajak dalam hal Pemeriksaan dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan atau Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor dalam hal Pemeriksaan dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Kantor;
b. memperlihatkan Tanda Pengenal Pemeriksa Pajak dan SP2 kepada Wajib Pajak pada waktu melakukan Pemeriksaan;
c. memperlihatkan surat  yang berisi perubahan tim Pemeriksa Pajak kepada Wajib Pajak apabila susunan keanggotaan tim Pemeriksa Pajak mengalami perubahan;
d. melakukan pertemuan dengan Wajib Pajak dalam rangka memberikan penjelasan mengenai:
1) alasan dan tujuan Pemeriksaan;
2) hak dan kewajiban Wajib Pajak selama dan setelah pelaksanaan Pemeriksaan;
3) hak Wajib Pajak mengajukan permohonan untuk dilakukan pembahasan dengan Tim Quality Assurance Pemeriksaan dalam hal terdapat hasil Pemeriksaan yang terbatas pada dasar hukum koreksi yang belum disepakati antara Pemeriksa Pajak dengan Wajib Pajak pada saat Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan, kecuali untuk Pemeriksaan atas data konkret yang dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3); dan
4) kewajiban dari Wajib Pajak untuk memenuhi permintaan buku, catatan, dan/atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dan dokumen lainnya, yang dipinjam dari Wajib Pajak;
e. menuangkan hasil pertemuan sebagaimana dimaksud pada huruf d dalam berita acara pertemuan dengan Wajib Pajak;
f. menyampaikan SPHP kepada Wajib Pajak;
g. memberikan hak untuk hadir kepada Wajib Pajak dalam rangka Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan pada waktu yang telah ditentukan;
h. menyampaikan Kuesioner Pemeriksaan kepada Wajib Pajak;
i. melakukan pembinaan kepada Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dengan menyampaikan saran secara tertulis;
j. mengembalikan buku, catatan, dan/atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dan dokumen lainnya yang dipinjam dari Wajib Pajak; dan
k. merahasiakan kepada pihak lain yang tidak berhak atas segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka Pemeriksaan.
   
5. Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 13


Dalam pelaksanaan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan, Wajib Pajak berhak:
  1. meminta kepada Pemeriksa Pajak untuk memperlihatkan Tanda Pengenal Pemeriksa Pajak dan SP2;
  2. meminta kepada Pemeriksa Pajak untuk memberikan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan dalam hal Pemeriksaan dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan;
  3. meminta kepada Pemeriksa Pajak untuk memperlihatkan surat yang berisi perubahan tim Pemeriksa Pajak apabila susunan keanggotaan tim Pemeriksa Pajak mengalami perubahan;
  4. meminta kepada Pemeriksa Pajak untuk memberikan penjelasan tentang alasan dan tujuan Pemeriksaan;
  5. menerima SPHP;
  6. menghadiri Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan pada waktu yang telah ditentukan;
  7. mengajukan permohonan untuk dilakukan pembahasan dengan Tim Quality Assurance Pemeriksaan, dalam hal masih terdapat hasil Pemeriksaan yang terbatas pada dasar hukum koreksi yang belum disepakati antara Pemeriksa Pajak dengan Wajib Pajak pada saat Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan, kecuali untuk Pemeriksaan atas data konkret yang dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3); dan
  8. memberikan pendapat atau penilaian atas pelaksanaan Pemeriksaan oleh Pemeriksa Pajak melalui pengisian Kuesioner Pemeriksaan.
   
6. Ketentuan ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) Pasal 15 diubah, sehingga Pasal 15 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 15


(1) Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dilakukan dalam jangka waktu Pemeriksaan yang meliputi:
  1. jangka waktu pengujian; dan
  2. jangka waktu Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dan pelaporan.
(2) Apabila Pemeriksaan dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan, jangka waktu pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a paling lama 6 (enam) bulan, yang dihitung sejak Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak, sampai dengan tanggal SPHP disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak.
(3) Apabila Pemeriksaan dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Kantor, jangka waktu pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a paling lama 4 (empat) bulan, yang dihitung sejak tanggal Wajib Pajak, wakil, kuasa dari Wajib Pajak, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak datang memenuhi Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor sampai dengan tanggal SPHP disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak.
(4) Apabila Pemeriksaan atas data konkret dilakukan dengan Pemeriksaan Kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3), jangka waktu pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a paling lama 1 (satu) bulan, yang dihitung sejak tanggal Wajib Pajak, wakil, atau kuasa Wajib Pajak datang memenuhi Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor sampai dengan tanggal SPHP disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak.
(5) Jangka waktu Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dan pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b paling lama 2 (dua) bulan, yang dihitung sejak tanggal SPHP disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak sampai dengan tanggal LHP.
(6) Apabila Pemeriksaan atas data konkret dilakukan dengan Pemeriksaan Kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3), jangka waktu Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dan pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b paling lama 10 (sepuluh) hari kerja, yang dihitung sejak tanggal SPHP disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak sampai dengan tanggal LHP.
   
7. Ketentuan ayat (1) Pasal 17 diubah, sehingga Pasal 17 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 17


(1) Jangka waktu pengujian Pemeriksaan Kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3), dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan, kecuali untuk Pemeriksaan atas data konkret yang dilakukan dengan Pemeriksaan Kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) tidak dapat diperpanjang.
(2) Perpanjangan jangka waktu pengujian Pemeriksaan Kantor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam hal:
  1. Pemeriksaan Kantor diperluas ke Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak lainnya;
  2. terdapat konfirmasi atau permintaan data dan/atau keterangan kepada pihak ketiga;
  3. ruang lingkup Pemeriksaan Kantor meliputi seluruh jenis pajak; dan/atau
  4. berdasarkan pertimbangan kepala unit pelaksana Pemeriksaan.
   
8. Ketentuan Pasal 21 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 21


Penyelesaian Pemeriksaan dengan membuat LHP Sumir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf a dilakukan dalam hal:
a. Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak yang diperiksa:
1) tidak ditemukan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan diterbitkan; atau
2) tidak memenuhi panggilan Pemeriksaan dalam jangka waktu 4 (empat) bulan sejak tanggal Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor diterbitkan;
b. Pemeriksaan Lapangan atau Pemeriksaan Kantor yang ditangguhkan karena ditindaklanjuti dengan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka dan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka tersebut:
1) tidak dilanjutkan dengan penyidikan karena Wajib Pajak mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang KUP;
2) dihapus;
3) dilanjutkan dengan penyidikan tetapi penyidikannya dihentikan karena tidak dilakukan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44B Undang-Undang KUP;
4) dilanjutkan dengan penyidikan tetapi penyidikannya dihentikan karena peristiwanya telah daluwarsa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44A Undang-Undang KUP; atau
5) dilanjutkan dengan penyidikan dan penuntutan serta telah terdapat Putusan Pengadilan mengenai tindak pidana di bidang perpajakan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang menyatakan bahwa Wajib Pajak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana di bidang perpajakan dan salinan Putusan Pengadilan tersebut telah diterima oleh Direktur Jenderal Pajak;
c. Pemeriksaan Lapangan atau Pemeriksaan Kantor yang ditangguhkan karena ditindaklanjuti dengan penyidikan sebagai tindak lanjut Pemeriksaan Bukti Permulaan secara tertutup dan penyidikan tersebut:
1) dihentikan karena memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44B Undang-Undang KUP; atau
2) dilanjutkan dengan penuntutan serta telah terdapat Putusan Pengadilan mengenai tindak pidana di bidang perpajakan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang menyatakan bahwa Wajib Pajak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana di bidang perpajakan dan salinan Putusan Pengadilan tersebut telah diterima oleh Direktur Jenderal Pajak;
atau
d. Pemeriksaan Ulang tidak mengakibatkan adanya tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan dalam surat ketetapan pajak sebelumnya.
   
9. Di antara Pasal 21 dan Pasal 22 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 21A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 21A


Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf b angka 1), huruf b angka 3), dan huruf c angka 1), penyelesaian Pemeriksaan dilakukan dengan cara membuat LHP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf b, dalam hal berdasarkan hasil Pemeriksaan Bukti Permulaan atau hasil penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, masih terdapat kelebihan pembayaran pajak.
   
10. Ketentuan ayat (1) dan ayat (3) Pasal 22 diubah, sehingga Pasal 22 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 22


(1) Penyelesaian Pemeriksaan dengan membuat LHP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf b, dilakukan dalam hal:
a. Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak yang dilakukan Pemeriksaan ditemukan atau memenuhi panggilan Pemeriksaan, dan Pemeriksaan dapat diselesaikan dalam jangka waktu Pemeriksaan;
b. Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak yang dilakukan Pemeriksaan ditemukan atau memenuhi panggilan Pemeriksaan, dan pengujian kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan belum dapat diselesaikan sampai dengan:
1) berakhirnya perpanjangan jangka waktu pengujian Pemeriksaan Lapangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) atau ayat (3); atau
2) berakhirnya perpanjangan jangka waktu pengujian Pemeriksaan Kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1);
c. Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak yang dilakukan Pemeriksaan sehubungan dengan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B Undang-Undang KUP:
1) tidak ditemukan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan diterbitkan; atau
2) tidak memenuhi panggilan Pemeriksaan dalam jangka waktu 4 (empat) bulan sejak tanggal Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor diterbitkan;
d. Wajib Pajak, wakil, atau kuasa Wajib Pajak yang dilakukan Pemeriksaan atas data konkret dengan Pemeriksaan Kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) tidak memenuhi panggilan Pemeriksaan dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor diterbitkan;
e. Pemeriksaan Lapangan atau Pemeriksaan Kantor yang ditangguhkan karena ditindaklanjuti dengan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka dan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka tersebut:
1) dihentikan karena Wajib Pajak orang pribadi yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka meninggal dunia;
2) dihentikan karena tidak ditemukan adanya bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan;
3) dilanjutkan dengan penyidikan namun penyidikannya dihentikan karena tidak terdapat cukup bukti, atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana di bidang perpajakan, atau tersangka meninggal dunia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44A Undang-Undang KUP; atau
4) dilanjutkan dengan penyidikan dan penuntutan serta telah terdapat Putusan Pengadilan mengenai tindak pidana di bidang perpajakan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang memutus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dan salinan Putusan Pengadilan tersebut telah diterima oleh Direktur Jenderal Pajak;
atau
f. Pemeriksaan Lapangan atau Pemeriksaan Kantor yang ditangguhkan karena ditindaklanjuti dengan penyidikan sebagai tindak lanjut Pemeriksaan Bukti Permulaan secara tertutup dan penyidikan tersebut:
1) dihentikan karena tidak terdapat cukup bukti, atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana di bidang perpajakan, atau tersangka meninggal dunia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44A Undang-Undang KUP; atau
2) dilanjutkan dengan penuntutan serta telah terdapat Putusan Pengadilan mengenai tindak pidana di bidang perpajakan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang memutus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dan salinan Putusan Pengadilan tersebut telah diterima oleh Direktur Jenderal Pajak.
(2) Pemeriksaan Lapangan atau Pemeriksaan Kantor yang pengujiannya belum diselesaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, harus diselesaikan dengan menyampaikan SPHP dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak berakhirnya:
  1. perpanjangan jangka waktu pengujian Pemeriksaan Lapangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) atau ayat (3); atau
  2. perpanjangan jangka waktu pengujian Pemeriksaan Kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1),
dan dilanjutkan tahapan Pemeriksaan sampai dengan pembuatan LHP.
(3) Apabila Wajib Pajak, wakil, atau kuasa Wajib Pajak yang dilakukan Pemeriksaan atas data konkret dengan Pemeriksaan Kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) tidak memenuhi panggilan Pemeriksaan, Pemeriksaan harus diselesaikan dengan menyampaikan SPHP dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak berakhirnya jangka waktu 1 (satu) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d.
   
11. Ketentuan ayat (5) Pasal 41 diubah, sehingga Pasal 41 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 41


(1) Hasil Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan harus diberitahukan kepada Wajib Pajak melalui penyampaian SPHP yang dilampiri dengan daftar temuan hasil Pemeriksaan.
(2) SPHP dan daftar temuan hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh Pemeriksa Pajak secara langsung atau melalui faksimile.
(3) Dalam hal SPHP disampaikan secara langsung dan Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak menolak untuk menerima SPHP, Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak harus menandatangani surat penolakan menerima SPHP.
(4) Dalam hal Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak menolak menandatangani surat penolakan  menerima SPHP sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pemeriksa Pajak membuat berita acara penolakan menerima SPHP yang ditandatangani oleh tim Pemeriksa Pajak.
(5) Dalam hal Pemeriksaan atas data konkret dilakukan dengan Pemeriksaan Kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3), penyampaian SPHP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan bersamaan dengan penyampaian undangan tertulis untuk menghadiri Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan.
   
12. Ketentuan ayat (5) Pasal 42 diubah, sehingga Pasal 42 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 42


(1) Wajib Pajak wajib memberikan tanggapan tertulis atas SPHP dan daftar temuan hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) dalam bentuk:
  1. lembar pernyataan persetujuan hasil pemeriksaan dalam hal Wajib Pajak menyetujui seluruh hasil Pemeriksaan; atau
  2. surat sanggahan, dalam hal Wajib Pajak tidak menyetujui sebagian atau seluruh hasil Pemeriksaan.
(2) Tanggapan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal diterimanya SPHP oleh Wajib Pajak.
(3) Wajib Pajak dapat melakukan perpanjangan jangka waktu penyampaian tanggapan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berakhir.
(4) Untuk melakukan perpanjangan jangka waktu penyampaian tanggapan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Wajib Pajak harus menyampaikan pemberitahuan tertulis sebelum jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berakhir.
(5) Dalam hal Pemeriksaan atas data konkret dilakukan dengan Pemeriksaan Kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3), tanggapan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lama pada saat Wajib Pajak harus memenuhi undangan tertulis untuk menghadiri Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dan Wajib Pajak tidak dapat melakukan perpanjangan jangka waktu penyampaian tanggapan tertulis.
(6) Tanggapan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pemberitahuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan oleh Wajib Pajak secara langsung atau melalui faksimile.
(7)  Dalam hal Wajib Pajak tidak menyampaikan tanggapan tertulis atas SPHP, Pemeriksa Pajak membuat berita acara tidak disampaikannya tanggapan tertulis atas SPHP yang ditandatangani oleh tim Pemeriksa Pajak.
   
13. Ketentuan ayat (4) Pasal 43 diubah, sehingga Pasal 43 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 43


(1) Dalam rangka melaksanakan pembahasan atas hasil Pemeriksaan yang tercantum dalam SPHP dan daftar temuan hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) kepada Wajib Pajak harus diberikan hak hadir dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan.
(2) Hak hadir sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan melalui penyampaian undangan secara tertulis kepada Wajib Pajak dengan mencantumkan hari dan tanggal dilaksanakannya Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan.
(3) Undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus disampaikan kepada Wajib Pajak dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak:
  1. diterimanya tanggapan tertulis atas SPHP dari Wajib Pajak sesuai jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) atau ayat (3); atau
  2. berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (3), dalam hal Wajib Pajak tidak menyampaikan tanggapan tertulis atas SPHP.
(4) Apabila Pemeriksaan atas data konkret dilakukan dengan Pemeriksaan Kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3), undangan tertulis untuk menghadiri Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan disampaikan bersamaan dengan penyampaian SPHP.
(5) Undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat disampaikan oleh Pemeriksa Pajak secara langsung atau melalui faksimile.
   
14. Ketentuan ayat (1) dan ayat (3) Pasal 61 diubah, sehingga Pasal 61 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 61


(1) Wajib Pajak dapat mengungkapkan dalam laporan tersendiri secara tertulis mengenai ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) Undang Undang KUP dan Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 dan perubahannya, sepanjang Pemeriksa Pajak belum menyampaikan SPHP.
(2) Pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar.
(3) Laporan tersendiri secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ditandatangani oleh Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak dan dilampiri dengan:
  1. penghitungan pajak yang kurang dibayar sesuai dengan keadaan yang sebenarnya dalam format Surat Pemberitahuan;
  2. Surat Setoran Pajak atas pelunasan pajak yang kurang dibayar; dan
  3. Surat Setoran Pajak atas pembayaran sanksi administrasi berupa bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (5) Undang-Undang KUP.
(4) Apabila pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengakibatkan kekurangan pembayaran pajak maka pengungkapan tersebut tidak perlu dilampiri dengan Surat Setoran Pajak.
   
15. Ketentuan ayat (5) Pasal 62 diubah dan ayat (7) Pasal 62 dihapus, sehingga Pasal 62 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 62


(1) Untuk membuktikan pengungkapan ketidakbenaran dalam laporan tersendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1), Pemeriksaan tetap dilanjutkan dan atas hasil Pemeriksaan diterbitkan surat ketetapan pajak dengan mempertimbangkan laporan tersendiri tersebut serta memperhitungkan pokok pajak yang telah dibayar.
(2) Dalam hal hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membuktikan bahwa pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan oleh Wajib Pajak tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, surat ketetapan pajak diterbitkan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.
(3) Dalam hal hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membuktikan bahwa pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan oleh Wajib Pajak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, surat ketetapan pajak diterbitkan sesuai dengan pengungkapan Wajib Pajak.
(4) Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (3) huruf b diperhitungkan sebagai kredit pajak dalam surat ketetapan pajak yang diterbitkan berdasarkan hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3).
(5) Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (3) huruf c merupakan bukti pembayaran atas sanksi administrasi berupa bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (5) Undang-Undang KUP terkait dengan pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan.
(6) Surat ketetapan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditambah dengan sanksi administrasi sesuai dengan Pasal 13 Undang-Undang KUP.
(7) Dihapus.
   
16. Ketentuan ayat (1) dan ayat (5) Pasal 64 diubah, sehingga Pasal 64 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 64


(1) Dalam hal usulan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1) disetujui oleh pejabat yang berwenang, pelaksanaan Pemeriksaan ditangguhkan dengan membuat laporan kemajuan Pemeriksaan sampai dengan:
  1. Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka diselesaikan karena Wajib Pajak mengungkapkan ketidakbenaran perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang KUP;
  2. dihapus;
  3. Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka dihentikan karena Wajib Pajak orang pribadi yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka meninggal dunia;
  4. Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka dihentikan karena tidak ditemukan adanya bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan;
  5. penyidikan dihentikan sesuai dengan ketentuan Pasal 44A Undang-Undang KUP atau Pasal 44B Undang Undang KUP; atau
  6. Putusan Pengadilan atas tindak pidana di bidang perpajakan telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan salinan Putusan Pengadilan tersebut telah diterima oleh Direktur Jenderal Pajak.
(2) Penangguhan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diberitahukan secara tertulis kepada Wajib Pajak.
(3) Pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan bersamaan dengan disampaikannya surat pemberitahuan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka.
(4) Buku, catatan, dan dokumen yang terkait dengan Pemeriksaan yang ditangguhkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diserahkan kepada pemeriksa bukti permulaan dengan membuat berita acara yang ditandatangani Pemeriksa Pajak dan pemeriksa bukti permulaan.
(5) Salinan berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diserahkan kepada Wajib Pajak.
   
17. Ketentuan ayat (1) dan ayat (2) Pasal 65 diubah, serta menambahkan 1 (satu) ayat dalam Pasal 65, yakni ayat (3) sehingga Pasal 65 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 65


(1) Pemeriksaan yang ditangguhkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1) dilanjutkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, apabila:
  1. Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka dihentikan karena Wajib Pajak orang pribadi yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka meninggal dunia;
  2. Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka dihentikan karena tidak ditemukan adanya bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan;
  3. Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka dilanjutkan dengan penyidikan namun penyidikan dihentikan karena tidak terdapat cukup bukti, atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana di bidang perpajakan, atau tersangka meninggal dunia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44A Undang-Undang KUP; atau
  4. Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka dilanjutkan dengan penyidikan dan penuntutan serta telah terdapat Putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang memutus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dan salinan Putusan Pengadilan tersebut telah diterima oleh Direktur Jenderal Pajak.
(2) Pemeriksaan yang ditangguhkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1) dihentikan dengan membuat LHP Sumir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf b, apabila:
  1. Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka diselesaikan karena Wajib Pajak mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang KUP;
  2. dihapus;
  3. Pemeriksaan Bukti Permulaan secara  terbuka dilanjutkan dengan penyidikan tetapi penyidikannya dihentikan karena tidak dilakukan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44B Undang-Undang KUP;
  4. Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka dilanjutkan dengan penyidikan tetapi penyidikannya dihentikan karena peristiwanya telah daluwarsa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44A Undang-Undang KUP; dan
  5. Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka dilanjutkan dengan penyidikan dan penuntutan serta telah terdapat Putusan Pengadilan atas tindak pidana di bidang perpajakan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang menyatakan bahwa Wajib Pajak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana di bidang perpajakan dan salinan Putusan Pengadilan tersebut telah diterima oleh Direktur Jenderal Pajak.
(3) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf c, pemeriksaan yang ditangguhkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 dilanjutkan dalam hal masih terdapat kelebihan pembayaran pajak berdasarkan hasil pemeriksaan bukti permulaan atau hasil penyidikan.
   
18. Ketentuan ayat (4) dan ayat (5) Pasal 66 diubah, serta menambahkan 1 (satu) ayat dalam Pasal 66 yakni ayat (6), sehingga Pasal 66 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 66


(1) Dalam hal Wajib Pajak yang dilakukan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan juga dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara tertutup, Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan ditangguhkan dengan membuat laporan kemajuan Pemeriksaan apabila Pemeriksaan Bukti Permulaan secara tertutup ditindaklanjuti dengan penyidikan.
(2) Penangguhan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sampai dengan:
  1. penyidikan dihentikan sesuai dengan Pasal 44A atau Pasal 44B Undang-Undang KUP; atau
  2. Putusan Pengadilan atas tindak pidana di bidang perpajakan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap dan salinan atas keputusan tersebut telah diterima oleh Direktur Jenderal Pajak.
(3) Penangguhan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diberitahukan secara tertulis kepada Wajib Pajak.
(4) Pemeriksaan yang ditangguhkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilanjutkan apabila:
  1. penyidikan dihentikan karena tidak terdapat cukup bukti, atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana di bidang perpajakan, atau tersangka meninggal dunia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44A Undang-Undang KUP; atau
  2. penyidikan dilanjutkan dengan penuntutan dan Putusan Pengadilan atas tindak pidana di bidang perpajakan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang memutus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dan salinan Putusan Pengadilan tersebut telah diterima oleh Direktur Jenderal Pajak.
(5) Pemeriksaan yang ditangguhkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihentikan apabila:
  1. penyidikan dihentikan karena Pasal 44B Undang-Undang KUP;
  2. penyidikan dihentikan karena peristiwanya telah daluwarsa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44A Undang-Undang KUP; atau
  3. penyidikan dilanjutkan dengan penuntutan dan Putusan Pengadilan atas tindak pidana di bidang perpajakan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap selain sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b dan salinan Putusan Pengadilan tersebut telah diterima oleh Direktur Jenderal Pajak.
(6) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a, Pemeriksaan yang ditangguhkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 dilanjutkan dalam hal masih terdapat kelebihan pembayaran pajak berdasarkan hasil penyidikan.
   
19. Ketentuan ayat (1) Pasal 67 diubah, sehingga Pasal 67 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 67


(1) Dalam hal Pemeriksaan dilanjutkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) dan ayat (3) atau Pasal 66 ayat (4) dan ayat (6), jangka waktu pengujian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, atau jangka waktu perpanjangan pengujian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 atau Pasal 17 diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 4 (empat) bulan.
(2) Dalam hal Pemeriksaan dihentikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2) atau Pasal 66 ayat (5), Pemeriksa Pajak harus menyampaikan surat pemberitahuan penghentian Pemeriksaan kepada Wajib Pajak.
(3) Direktur Jenderal Pajak masih dapat melakukan Pemeriksaan apabila setelah Pemeriksaan dihentikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2) atau Pasal 66 ayat (5) terdapat data selain yang diungkapkan dalam Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang KUP atau Pasal 44B Undang-Undang KUP.
 

Bagian Kelima
Tata Cara Penerbitan Surat Ketetapan Pajak dan
Surat Tagihan Pajak

Pasal 106


Beberapa ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 145/PMK.03/2012 tentang Tata Cara Penerbitan Surat Ketetapan Pajak dan Surat Tagihan Pajak (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 902) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 183/PMK.03/2015 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 145/PMK.03/2012 tentang Tata Cara Penerbitan Surat Ketetapan Pajak dan Surat Tagihan Pajak (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 1467), diubah sebagai berikut:

1. Ketentuan angka 1 dan angka 2 Pasal 1 diubah, sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 1


Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan:
  1. Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang selanjutnya disebut Undang-Undang KUP adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
  2. Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai yang selanjutnya disebut Undang-Undang PPN adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
  3. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah pajak yang masih harus dibayar.
  4. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan adalah surat ketetapan pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan.
  5. Surat Ketetapan Pajak Nihil adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah pokok pajak sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.
  6. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar daripada pajak yang terutang atau seharusnya tidak terutang.
  7. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
  8. Pemeriksaan Ulang adalah Pemeriksaan yang dilakukan terhadap Wajib Pajak yang telah diterbitkan surat ketetapan pajak dari hasil Pemeriksaan sebelumnya untuk jenis pajak dan Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak yang sama.
  9. Pemeriksaan Bukti Permulaan adalah Pemeriksaan yang dilakukan untuk mendapatkan bukti permulaan tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana di bidang perpajakan.
   
2. Ketentuan ayat (2) dan ayat (3) Pasal 2 dihapus, ayat (4), ayat (5), ayat (6), dan ayat (9) Pasal 2 diubah, serta di antara ayat (8) dan ayat (9) disisipkan 1 (satu) ayat yakni ayat (8a), sehingga Pasal 2 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 2


(1) Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan:
  1. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar; atau
  2. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan.
(2) Dihapus.
(3) Dihapus.
(4) Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar diterbitkan dalam hal terdapat pajak yang tidak atau kurang dibayar berdasarkan:
a. Hasil Pemeriksaan terhadap:
  1. pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar;
  2. Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) Undang-Undang KUP dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan pada waktunya sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran;
  3. Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah ternyata tidak seharusnya dikompensasikan selisih lebih pajak atau tidak seharusnya dikenai tarif 0% (nol persen);
  4. kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 Undang-Undang KUP atau Pasal 29 Undang-Undang KUP tidak dipenuhi sehingga tidak dapat diketahui besarnya pajak yang terutang;
  5. Wajib Pajak diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4a) Undang-Undang KUP; atau
  6. Pengusaha Kena Pajak tidak melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dan/atau ekspor Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dan telah diberikan pengembalian Pajak Masukan atau telah mengkreditkan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (6e) Undang-Undang PPN; 
atau
b. dihapus.
(5) Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan diterbitkan berdasarkan hasil Pemeriksaan Ulang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(6) Pemeriksaan Ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan karena adanya:
  1. keterangan tertulis dari Wajib Pajak atas kehendak sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang KUP;
  2. dihapus;
  3. data baru yang mengakibatkan penambahan jumlah pajak yang terutang termasuk data yang semula belum terungkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang KUP; atau
  4. dihapus.
(7) Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Nihil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17A ayat (1) Undang-Undang KUP berdasarkan hasil Pemeriksaan terhadap Surat Pemberitahuan apabila jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar sama dengan jumlah pajak yang terutang, atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak atau tidak ada pembayaran pajak.
(8) Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar dalam hal berdasarkan:
  1. hasil penelitian kebenaran pembayaran pajak terhadap permohonan pengembalian kelebihan pajak yang seharusnya tidak terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) Undang-Undang KUP terdapat pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang; atau
  2. hasil Pemeriksaan terhadap:
    1. Surat Pemberitahuan terdapat jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang KUP; atau
    2. permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B Undang-Undang KUP terdapat jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang.
(8a) Termasuk kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (8) huruf b angka 2, dapat diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan yang dilanjutkan karena:
  1. Pemeriksaan Bukti Permulaan tidak ditindaklanjuti dengan penyidikan sebagai akibat pengungkapan ketidakbenaran perbuatan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang KUP yang telah sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, masih terdapat kelebihan pembayaran pajak; atau
  2. penyidikan dihentikan sebagai akibat permintaan penghentian penyidikan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44B Undang-Undang KUP diterima oleh Jaksa Agung, masih terdapat kelebihan pembayaran pajak.
(9) Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (8) atau ayat (8a) masih dapat diterbitkan apabila terdapat data baru, termasuk data yang semula belum terungkap, apabila ternyata pajak yang lebih dibayar jumlahnya lebih besar daripada kelebihan pembayaran pajak yang telah ditetapkan.
   
3. Ketentuan ayat (4) dan ayat (5) Pasal 3 diubah, sehingga Pasal 3 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 3


(1) Surat ketetapan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 diterbitkan untuk suatu Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak.
(2) Surat ketetapan pajak untuk Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan sesuai dengan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.
(3) Surat ketetapan pajak untuk Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan sesuai dengan Masa Pajak yang tercakup dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan atau Pajak Pertambahan Nilai.
(4) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), surat ketetapan pajak atas Pajak Penghasilan Pasal 21 diterbitkan 1 (satu) surat ketetapan pajak untuk seluruh Masa Pajak dalam 1 (satu) tahun kalender.
(5) Surat ketetapan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan sesuai dengan Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak yang dilakukan penelitian, Pemeriksaan, atau Pemeriksaan Ulang.
   
4. Ketentuan ayat (2) Pasal 4 diubah, sehingga Pasal 4 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 4


(1) Surat ketetapan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 harus diterbitkan berdasarkan nota penghitungan.
(2) Nota penghitungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat berdasarkan laporan hasil penelitian, laporan hasil Pemeriksaan, atau laporan hasil Pemeriksaan Ulang.
   
5. Di antara Pasal 4 dan Pasal 5 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 4A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 4A


(1) Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan surat ketetapan pajak dalam bentuk elektronik dan menandatanganinya secara elektronik atau menerbitkan surat ketetapan pajak dalam bentuk tertulis dan menandatanganinya secara biasa, yang semuanya mempunyai kekuatan hukum yang sama.
(2) Dalam hal surat ketetapan pajak dibuat dalam bentuk elektronik, maka tidak dibuat surat ketetapan pajak dalam bentuk tertulis.
   
6. Ketentuan ayat (2) Pasal 5 diubah, sehingga Pasal 5 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 5


(1) Surat ketetapan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 harus dikirimkan kepada Wajib Pajak.
(2) Pengiriman surat ketetapan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dilakukan:
  1. secara langsung;
  2. melalui pos dengan bukti pengiriman surat;
  3. melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat; atau
  4. secara elektronik dalam hal surat ketetapan pajak tersebut diterbitkan secara elektronik.
   
7. Pasal 6 dihapus.
   
8. Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 7


Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan Pajak untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak dalam hal:
  1. Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar;
  2. dari hasil penelitian terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis dan/atau salah hitung;
  3. Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa denda dan/atau bunga;
  4. pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, tetapi tidak membuat Faktur Pajak atau terlambat membuat Faktur Pajak;
  5. pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak yang tidak mengisi Faktur Pajak secara lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) dan ayat (6) Undang-Undang Pajak PPN, selain identitas pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak serta nama dan tanda tangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) huruf b dan huruf g Undang-Undang PPN dalam hal penyerahan dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak pedagang eceran;
  6. dihapus;
  7. dihapus; atau
  8. terdapat imbalan bunga yang seharusnya tidak diberikan kepada Wajib Pajak, dalam hal:
    1. diterbitkan keputusan;
    2. diterima putusan; atau
    3. ditemukan data atau informasi,

yang menunjukkan adanya imbalan bunga yang seharusnya tidak diberikan kepada Wajib Pajak.

   
9. Ketentuan Pasal 8 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 8


Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 setelah:
  1. meneliti data administrasi perpajakan;
  2. melakukan Pemeriksaan; atau
  3. melakukan Pemeriksaan Ulang.
   
10.  Pasal 9 dihapus.
   
11. Pasal 10 dihapus.
   
12. Pasal 11 dihapus.
   
13. Pasal 12 dihapus.
   
14. Di antara Pasal 12 dan Pasal 13 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 12A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 12A


(1) Surat Tagihan Pajak diterbitkan paling lama 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak.
(2) Surat Tagihan Pajak untuk PPh Pasal 25 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf a Undang-Undang KUP, diterbitkan atas PPh dalam tahun berjalan yang tidak atau kurang dibayar, beserta sanksi administratif terhadap Wajib Pajak yang belum menyampaikan SPT Tahunan PPh untuk Tahun Pajak dimaksud.
(3) Dikecualikan dari ketentuan jangka waktu penerbitan sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
  1. Surat Tagihan Pajak atas sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang KUP diterbitkan paling lama sesuai dengan daluwarsa penagihan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah;
  2. Surat Tagihan Pajak atas sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (9) Undang-Undang KUP dapat diterbitkan paling lama 5 (lima) tahun sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan, apabila Wajib Pajak tidak mengajukan upaya banding; dan
  3. Surat Tagihan Pajak atas sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (5d) Undang-Undang KUP dapat diterbitkan paling lama dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak tanggal Putusan Banding diucapkan oleh hakim Pengadilan Pajak dalam sidang terbuka untuk umum.
   
15. Ketentuan ayat (3) diubah dan ayat (5) Pasal 13 dihapus, sehingga Pasal 13 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 13


(1) Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan surat ketetapan pajak dan/atau Surat Tagihan Pajak untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sebelum Wajib Pajak diberikan atau diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, apabila diperoleh data dan/atau informasi yang menunjukkan adanya kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi oleh Wajib Pajak.
(2) Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan surat ketetapan pajak dan/atau Surat Tagihan Pajak untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sebelum dan/atau setelah penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak atau pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, apabila setelah penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak atau pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, diperoleh data dan/atau informasi yang menunjukkan adanya kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi oleh Wajib Pajak.
(3) Surat ketetapan pajak dan/atau Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2) diterbitkan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak, atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 12A.
(4) Surat ketetapan pajak dan/atau Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterbitkan dengan terlebih dahulu mengaktifkan kembali Nomor Pokok Wajib Pajak yang telah dihapus.
(5) Dihapus.
   
16. Di antara Pasal 14 dan Pasal 15 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 14A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 14A


(1) Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan Pajak dalam bentuk elektonik dan menandatanganinya secara elektronik atau dalam bentuk tertulis dan menandatanganinya secara biasa, yang semuanya mempunyai kekuatan hukum yang sama.
(2) Dalam hal Surat Tagihan Pajak dibuat dalam bentuk elektronik, maka tidak dibuat Surat Tagihan Pajak dalam bentuk tertulis.
(3) Surat Tagihan Pajak harus dikirimkan kepada Wajib Pajak.
(4) Pengiriman Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dapat dilakukan:
  1. secara langsung;
  2. melalui pos dengan bukti pengiriman surat;
  3. melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat; atau
  4. secara elektronik dalam hal Surat Tagihan Pajak tersebut diterbitkan secara elektronik.


Bagian Keenam
Tata Cara Pemeriksaan Bukti Permulaan Tindak Pidana di Bidang
Perpajakan

Pasal 107


Beberapa ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 239/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Pemeriksaan Bukti Permulaan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 1951), diubah sebagai berikut:

1. Ketentuan angka 1 dan angka 3 Pasal 1 diubah, angka 7 Pasal 1 dihapus, serta ditambah angka 24, sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 1


Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan:
  1. Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang selanjutnya disebut Undang-Undang KUP adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
  2. Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan yang selanjutnya disebut Undang-Undang PBB adalah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994.
  3. Undang-Undang Bea Meterai adalah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2020 tentang Bea Meterai.
  4. Undang-Undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa yang selanjutnya disebut Undang-Undang PPSP adalah Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000.
  5. Tindak Pidana di Bidang Perpajakan adalah perbuatan yang diancam sanksi pidana oleh undang-undang di bidang perpajakan yang meliputi Pasal 38, Pasal 39, Pasal 39A, Pasal 41, Pasal 41A, Pasal 41B, Pasal 41C, dan Pasal 43 Undang-Undang KUP, Pasal 24 dan Pasal 25 Undang-Undang PBB, Pasal 13 dan Pasal 14 Undang-Undang Bea Meterai, dan Pasal 41A Undang-Undang PPSP.
  6. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
  7. Dihapus.
  8. Bukti Permulaan adalah keadaan, perbuatan, dan/atau bukti berupa keterangan, tulisan, atau benda yang dapat memberikan petunjuk adanya dugaan kuat bahwa sedang atau telah terjadi suatu Tindak Pidana di Bidang Perpajakan yang dilakukan oleh siapa saja yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.
  9. Pemeriksaan Bukti Permulaan adalah Pemeriksaan yang dilakukan untuk mendapatkan Bukti Permulaan tentang adanya dugaan telah terjadi Tindak Pidana di Bidang Perpajakan.
  10. Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan yang selanjutnya disebut Penyidikan adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang Tindak Pidana di Bidang Perpajakan yang terjadi serta menemukan tersangkanya.
  11. Informasi adalah keterangan yang disampaikan secara lisan maupun tertulis yang dapat dikembangkan dan dianalisis untuk mengetahui ada tidaknya Bukti Permulaan.
  12. Data adalah kumpulan angka, huruf, kata, atau citra yang bentuknya dapat berupa surat, dokumen, buku, atau catatan, baik dalam bentuk elektronik maupun bukan elektronik, yang dapat dikembangkan dan dianalisis untuk mengetahui ada tidaknya Bukti Permulaan.
  13. Laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh orang atau institusi karena hak dan/atau kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang mengenai dugaan telah atau sedang atau akan terjadinya Tindak Pidana di Bidang Perpajakan.
  14. Pengaduan adalah pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang berwenang untuk menindak menurut hukum orang pribadi atau badan yang telah melakukan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan yang merugikannya.
  15. Peristiwa Pidana adalah peristiwa yang mengandung Tindak Pidana di Bidang Perpajakan.
  16. Bahan Bukti adalah buku, catatan, dokumen, keterangan, data yang dikelola secara elektronik, dan/atau benda lainnya, yang dapat digunakan untuk menemukan Bukti Permulaan.
  17. Unit Pelaksana Pemeriksaan Bukti Permulaan adalah unit yang berwenang melakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  18. Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan adalah surat perintah yang diterbitkan oleh kepala Unit Pelaksana Pemeriksaan Bukti Permulaan untuk melakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan.
  19. Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan Perubahan adalah Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan yang diterbitkan karena terjadi perubahan tim pemeriksa Bukti Permulaan dan/atau penggantian Unit Pelaksana Pemeriksaan Bukti Permulaan.
  20. Penyegelan adalah tindakan menempatkan tanda segel pada tempat atau ruangan tertentu serta barang bergerak dan/atau tidak bergerak yang digunakan atau patut diduga digunakan sebagai tempat atau alat untuk menyimpan Bahan Bukti.
  21. Kertas Kerja Pemeriksaan Bukti Permulaan adalah dokumentasi yang dibuat oleh pemeriksa Bukti Permulaan mengenai prosedur Pemeriksaan Bukti Permulaan yang ditempuh, Bahan Bukti yang dikumpulkan, analisis Tindak Pidana di Bidang Perpajakan yang dilakukan, serta simpulan yang diambil sehubungan dengan pelaksanaan Pemeriksaan Bukti Permulaan.
  22. Laporan Pemeriksaan Bukti Permulaan adalah laporan yang disusun oleh pemeriksa Bukti Permulaan yang mengungkapkan tentang pelaksanaan, simpulan, dan usul tindak lanjut Pemeriksaan Bukti Permulaan.
  23. Laporan Kejadian adalah laporan tertulis tentang adanya Peristiwa Pidana yang terdapat Bukti Permulaan yang cukup sebagai dasar dilakukan Penyidikan.
  24. Surat Setoran Pajak adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas negara melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.
   
2. Ketentuan Pasal 2 diubah dengan menambahkan 2 (dua) ayat yakni ayat (5) dan ayat (6), sehingga Pasal 2 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 2


(1) Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan berdasarkan Informasi, Data, Laporan, dan Pengaduan.
(2) Informasi, Data, Laporan, dan Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang diterima atau diperoleh Direktur Jenderal Pajak, dikembangkan dan dianalisis melalui kegiatan intelijen atau pengamatan.
(3) Informasi, Data, Laporan, dan Pengaduan dengan indikasi kuat adanya Tindak Pidana di Bidang Perpajakan yang ditemukan dari hasil pengembangan Pemeriksaan Bukti Permulaan atau Penyidikan dapat langsung ditindaklanjuti dengan Pemeriksaan Bukti Permulaan.
(4) Informasi, Data, Laporan, dan Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) yang berkaitan dengan Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak baik yang belum maupun telah diterbitkan surat ketetapan pajak ditindaklanjuti dengan Pemeriksaan Bukti Permulaan sepanjang terdapat indikasi Tindak Pidana di Bidang Perpajakan.
(5) Pemeriksaan Bukti Permulaan yang dilakukan setelah diterbitkan surat ketetapan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) hanya dilakukan atas data baru selain yang termuat dalam surat ketetapan pajak.
(6) Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan meskipun telah melewati jangka waktu 5 (lima) tahun sejak berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, sepanjang belum melampaui daluwarsa penuntutan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan.
   
3. Ketentuan ayat (4) dan ayat (5) Pasal 5 diubah, sehingga Pasal 5 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 5


(1) Pemeriksa Bukti Permulaan melaksanakan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal penyampaian surat pemberitahuan Pemeriksaan Bukti Permulaan sampai dengan tanggal Laporan Pemeriksaan Bukti Permulaan.
(2) Pemeriksa Bukti Permulaan melaksanakan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara tertutup dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan diterima oleh pemeriksa Bukti Permulaan sampai dengan tanggal Laporan Pemeriksaan Bukti Permulaan.
(3) Apabila pemeriksa Bukti Permulaan tidak dapat melaksanakan Pemeriksaan Bukti Permulaan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2), pemeriksa Bukti Permulaan dapat mengajukan permohonan perpanjangan jangka waktu kepada kepala Unit Pelaksana Pemeriksaan Bukti Permulaan.
(4) Kepala Unit Pelaksana Pemeriksaan Bukti Permulaan dapat memberikan perpanjangan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling lama 12 (dua belas) bulan sejak berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2).
(5) Kepala Unit Pelaksana Pemeriksaan Bukti Permulaan mempertimbangkan permohonan perpanjangan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan memperhatikan:
  1. dihapus;
  2. daluwarsa penuntutan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan; atau
  3. perkembangan penyelesaian Pemeriksaan Bukti Permulaan.
   
4. Ketentuan ayat (1) dan ayat (4) Pasal 15 diubah, sehingga Pasal 15 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 15


(1) Pemeriksa Bukti Permulaan wajib menyampaikan surat pemberitahuan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara langsung kepada orang pribadi atau badan yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan dalam hal Pemeriksaan Bukti Permulaan dilakukan secara terbuka.
(2) Dalam hal Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka dilakukan terhadap orang pribadi, pemeriksa Bukti Permulaan menyampaikan surat pemberitahuan Pemeriksaan Bukti Permulaan kepada orang pribadi yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan, keluarga yang telah dewasa, atau kuasa.
(3) Dalam hal Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka dilakukan terhadap badan, pemeriksa Bukti Permulaan menyampaikan surat pemberitahuan Pemeriksaan Bukti Permulaan kepada wakil, kuasa, atau pegawai dari badan yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan.
(4) Dalam hal penyampaian surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) tidak dapat dilaksanakan, pemeriksa Bukti Permulaan menyampaikan surat pemberitahuan Pemeriksaan Bukti Permulaan:
  1. melalui pos dengan bukti pengiriman surat;
  2. melalui faksimile;
  3. melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat; atau
  4. secara elektronik.
   
5. Ketentuan ayat (1), ayat (4), dan ayat (5) Pasal 23 diubah, ayat (3) dihapus, serta di antara ayat (5) dan ayat (6) disisipkan 1 (satu) ayat yakni ayat (5a), sehingga Pasal 23 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 23


(1) Orang pribadi atau badan selaku Wajib Pajak yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka dapat dengan kemauan sendiri mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya atas tindak pidana:
  1. tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan, sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara; atau
  2. menyampaikan Surat Pemberitahuan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar, sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 atau Pasal 39 ayat (1) huruf c dan huruf d Undang-Undang KUP.
(2) Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk:
  1. Surat Pemberitahuan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang KUP;
  2. Surat Pemberitahuan Masa sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang KUP; dan
  3. Surat Pemberitahuan Objek Pajak sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang PBB.
(3) Dihapus.
(4) Orang pribadi atau badan selaku Wajib Pajak yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka dapat menyampaikan pengungkapan ketidakbenaran perbuatan atas tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sepanjang surat pemberitahuan dimulainya Penyidikan belum disampaikan kepada penuntut umum melalui penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
(5) Dalam melakukan pengungkapan ketidakbenaran perbuatan atas tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), orang pribadi atau badan selaku Wajib Pajak yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka harus:
  1. menyampaikan pengungkapan ketidakbenaran perbuatannya secara tertulis dan ditandatangani; dan
  2. disertai dengan:
    1. penghitungan kekurangan pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya terutang;
    2. Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang dipersamakan sebagai bukti pelunasan kekurangan pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya terutang; dan
    3. Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang dipersamakan sebagai bukti pelunasan sanksi administrasi berupa denda sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 8 ayat (3a) Undang-Undang KUP.
(5a) Pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b angka 2 dan pembayaran sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b angka 3 merupakan pemulihan kerugian pada pendapatan negara.
(6) Orang pribadi atau badan selaku Wajib Pajak yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan menyampaikan pengungkapan ketidakbenaran perbuatan kepada kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau tempat Objek Pajak diadministrasikan dan tembusannya kepada kepala Unit Pelaksana Pemeriksaan Bukti Permulaan.
   
6. Ketentuan ayat (1) dan ayat (3) Pasal 25 diubah, serta ayat (2), ayat (4), dan ayat (5) Pasal 25 dihapus, sehingga Pasal 25 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 25


(1) Dalam hal Pemeriksaan Bukti Permulaan ditindaklanjuti dengan Penyidikan, pembayaran atas pengungkapan ketidakbenaran perbuatan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) dan/atau tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, diperhitungkan sebagai pengurang kerugian pada pendapatan negara pada tahap Penyidikan.
(2) Dihapus.
(3) Pembayaran atas pengungkapan ketidakbenaran perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dipindahbukukan atau diminta kembali oleh Wajib Pajak.
(4) Dihapus.
(5) Dihapus.
   
7. Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 28


Dalam hal orang pribadi atau badan selaku Wajib Pajak yang sedang dilakukan Pemeriksaan dalam rangka menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan:
  1. dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka; atau
  2. dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara tertutup yang ditindaklanjuti dengan Penyidikan,
Pemeriksaan ditangguhkan.
   
8. Ketentuan ayat (1) Pasal 30 diubah, sehingga Pasal 30 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 30


(1) Hasil Pemeriksaan Bukti Permulaan yang dituangkan dalam Laporan Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ditindaklanjuti dengan:
  1. Penyidikan dalam hal ditemukan Bukti Permulaan yang cukup;
  2. pemberitahuan secara tertulis oleh kepala Unit Pelaksana Pemeriksaan Bukti Permulaan kepada orang pribadi atau badan selaku Wajib Pajak yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka bahwa tidak dilakukan Penyidikan dalam hal pengungkapan ketidakbenaran perbuatan orang pribadi atau badan selaku Wajib Pajak telah sesuai dengan keadaan yang sebenarnya;
  3. dihapus;
  4. penghentian Pemeriksaan Bukti Permulaan oleh kepala Unit Pelaksana Pemeriksaan Bukti Permulaan dalam hal Wajib Pajak orang pribadi yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan meninggal dunia; atau
  5. penghentian Pemeriksaan Bukti Permulaan oleh kepala Unit Pelaksana Pemeriksaan Bukti Permulaan dalam hal tidak ditemukan adanya Bukti Permulaan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan.
(2) Dalam hal Pemeriksaan Bukti Permulaan dilakukan secara terbuka, penghentian Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dan huruf e diberitahukan secara tertulis oleh kepala Unit Pelaksana Pemeriksaan Bukti Permulaan kepada orang pribadi atau badan atau kuasa.
     

Bagian Ketujuh
Tata Cara Permintaan Penghentian Penyidikan Tindak Pidana di
Bidang Perpajakan untuk Kepentingan Penerimaan Negara

Pasal 108


Beberapa ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 55/PMK.03/2016 tentang Tata Cara Permintaan Penghentian Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan untuk Kepentingan Penerimaan Negara (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 538), diubah sebagai berikut:

1. Ketentuan angka 1 Pasal 1 diubah, sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 1


Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan:
  1. Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang selanjutnya disebut Undang-Undang KUP adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
  2. Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, yang selanjutnya disebut Penyidikan, adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana di bidang perpajakan yang terjadi serta menemukan tersangkanya.
   
2. Ketentuan ayat (1) Pasal 3 diubah, sehingga Pasal 3 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 3


(1) Permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dapat dilakukan setelah Wajib Pajak melunasi pajak yang tidak atau kurang dibayar atau yang tidak seharusnya dikembalikan dan ditambah dengan sanksi administrasi berupa denda sebesar 3 (tiga) kali jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar atau yang tidak seharusnya dikembalikan.
(2) Termasuk pajak yang dilunasi oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pajak yang tidak atau kurang dibayar atau yang tidak seharusnya dikembalikan sebagai akibat dari adanya:
  1. penerbitan dan/atau penggunaan Faktur Pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak, yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya; dan/atau
  2. penerbitan Faktur Pajak sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
   
3. Di antara Pasal 11 dan Pasal 12 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 11A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 11A


(1) Dokumen terkait penghentian Penyidikan dapat dibuat secara elektronik dan ditandatangani secara elektronik atau dibuat secara tertulis dan ditandatangani secara biasa, yang semuanya mempunyai kekuatan hukum yang sama.
(2) Penyampaian dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan:
  1. secara langsung;
  2. melalui pos atau jasa ekspedisi dengan bukti pengiriman surat; atau
  3. secara elektronik.
   
4. Lampiran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 diubah menjadi sebagaimana tercantum dalam Lampiran XXVII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.


BAB V
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 109


(1) Atas Dividen yang berasal dari dalam negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang dikecualikan dari objek PPh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 yang telah dilakukan pemotongan PPh, dapat diajukan permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang.
(2) Permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan mengenai tata cara pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang.


Pasal 110


(1) Jangka waktu tertentu bagi PKP Belum Melakukan Penyerahan dan telah melakukan pengkreditan Pajak Masukan atas perolehan barang modal sebelum tanggal 2 November 2020, ditetapkan sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri ini.
(2) Dalam hal PKP Belum Melakukan Penyerahan melakukan pembetulan Surat Pemberitahuan Masa PPN pada Masa Pajak sebelum tanggal 2 November 2020 yang menyebabkan Surat Pemberitahuan Masa PPN menjadi lebih bayar, ketentuan pengembalian atas kelebihan Pajak Masukan dilakukan berdasarkan ketentuan dalam Peraturan Menteri ini.
(3) PKP dapat mengajukan pengurangan atas jumlah pajak yang tercantum dalam surat ketetapan pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 36 ayat (1) huruf b Undang-Undang KUP atas surat ketetapan pajak yang diterbitkan sejak tanggal 2 November 2020 sampai dengan berlakunya Peraturan Menteri ini atas penyerahan BKP dan/atau JKP sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai PKP dengan ketentuan:
  1. hasil pemeriksaan tidak memperhitungkan Pajak Masukan dengan menggunakan pedoman pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65; dan
  2. PKP tidak menyetujui hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada huruf a.
(4) Pajak Masukan atas perolehan BKP dan/atau JKP, impor BKP, serta pemanfaatan BKP tidak berwujud dan/atau pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean yang ditagih dengan ketetapan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 yang diterbitkan sebelum tanggal 2 November 2020 dapat dikreditkan oleh PKP sepanjang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1) dan jumlah PPN yang masih harus dibayar meliputi pokok pajak dan sanksi sebagaimana tercantum dalam ketetapan pajak telah dilunasi sejak tanggal 2 November 2020.


Pasal 111


Pemberian imbalan bunga dan permohonan pemberian imbalan bunga yang belum diselesaikan sampai dengan Peraturan Menteri ini berlaku, yang didasarkan pada ketetapan, keputusan, atau putusan, yang diterbitkan atau diucapkan:
  1. sebelum tanggal 2 November 2020, diselesaikan sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 226/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Penghitungan dan Pemberian Imbalan Bunga sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 65/PMK.03/2018; atau
  2. sejak tanggal 2 November 2020, diselesaikan sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri ini,
dan jangka waktu penyelesaian pemberian imbalan bunga paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal permohonan yang diajukan sejak Peraturan Menteri ini berlaku, diterima secara lengkap oleh KPP.


Pasal 112


Permohonan pengangsuran atau penundaan pembayaran pajak yang belum diselesaikan sampai dengan Peraturan Menteri ini berlaku, diselesaikan berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 242/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Pembayaran dan Penyetoran Pajak.


Pasal 113


(1) Pajak Masukan yang telah dikembalikan atau telah dikreditkan oleh PKP yang tidak melakukan penyerahan BKP, penyerahan JKP, ekspor BKP, dan/atau ekspor JKP yang seharusnya dibayar kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (6e) Undang-Undang PPN:
  1. yang telah melewati batas waktu pembayaran kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (6f) Undang-Undang PPN; dan
  2. belum dilakukan pembayaran kembali sampai dengan tanggal 2 November 2020,
diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf f Undang-Undang KUP.
(2) Imbalan bunga yang seharusnya tidak diberikan dan belum dilakukan pembayaran kembali oleh Wajib Pajak sampai dengan tanggal 2 November 2020, ditagih dengan menerbitkan Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf h Undang-Undang KUP.


Pasal 114


Pemeriksaan Bukti Permulaan yang telah mendapat persetujuan perpanjangan jangka waktu Pemeriksaan Bukti Permulaan sebelum Peraturan Menteri ini berlaku, diselesaikan sesuai jangka waktu yang ditentukan dalam persetujuan perpanjangan dimaksud berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 239/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Pemeriksaan Bukti Permulaan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan.


Pasal 115


Permohonan penghentian Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan yang belum diselesaikan sampai dengan Peraturan Menteri ini berlaku, diselesaikan berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 55/PMK.03/2016 tentang Tata Cara Permintaan Penghentian Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan untuk Kepentingan Penerimaan Negara.


Pasal 116


(1) Pengenaan sanksi administratif terhadap:
  1. surat ketetapan pajak atau Surat Tagihan Pajak yang diterbitkan sejak tanggal 2 November 2020 yang memuat sanksi administratif berupa bunga, yang penghitungan sanksi administratifnya dimulai sebelum tanggal 2 November 2020; atau
  2. pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan yang diajukan sejak tanggal 2 November 2020,
dihitung menggunakan tarif bunga sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai tarif bunga sebagai dasar penghitungan sanksi administratif berupa bunga dan pemberian imbalan bunga yang berlaku untuk bulan November 2020;
(2) Pengajuan atas:
  1. pengungkapan ketidakbenaran perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang KUP; dan
  2. permintaan penghentian penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44B Undang-Undang KUP,
yang dilakukan oleh Wajib Pajak sejak tanggal 2 November 2020, pengenaan sanksi administrasinya sesuai dengan Undang-Undang KUP; dan
(3) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4) Undang-Undang KUP melalui Surat Tagihan Pajak yang diterbitkan sejak tanggal 2 November 2020, dilakukan sesuai dengan Undang-Undang KUP.


BAB VI
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 117


Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:
  1. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 111/PMK.03/2010 tentang Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan atas Dividen yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 278);
  2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.03/2017 tentang Penetapan Saat Diperolehnya Dividen dan Dasar Penghitungannya oleh Wajib Pajak Dalam Negeri atas Penyertaan Modal pada Badan Usaha di Luar Negeri Selain Badan Usaha yang Menjual Sahamnya di Bursa Efek (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 1043) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.03/2019 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.03/2017 tentang Penetapan Saat Diperolehnya Dividen dan Dasar Penghitungannya oleh Wajib Pajak Dalam Negeri atas Penyertaan Modal pada Badan Usaha di Luar Negeri Selain Badan Usaha yang Menjual Sahamnya di Bursa Efek (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 702); dan
  3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 192/PMK.03/2018 tentang Pelaksanaan Pengkreditan Pajak atas Penghasilan dari Luar Negeri (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 1837),
masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri ini.


Pasal 118


Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:
  1. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 151/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pembuatan dan Tata Cara Pembetulan atau Penggantian Faktur Pajak (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 1313);
  2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 226/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Penghitungan dan Pemberian Imbalan Bunga (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 1630) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 65/PMK.03/2018 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 226/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Penghitungan dan Pemberian Imbalan Bunga (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 820); dan
  3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 31/PMK.03/2014 tentang Saat Penghitungan dan Tata Cara Pembayaran Kembali Pajak Masukan yang Telah Dikreditkan dan Telah Diberikan Pengembalian bagi Pengusaha Kena Pajak yang Mengalami Keadaan Gagal Berproduksi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 199),
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.


Pasal 119


Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.




  Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 17 Februari 2021
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

SRI MULYANI INDRAWATI


Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 17 Februari 2021
DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

WIDODO EKATJAHJANA



BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2021 NOMOR 153