Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 155/PMK.02/2021

Kategori : Lainnya

Tata Cara Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak


PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 155/PMK.02/2021

TENTANG

TATA CARA PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,


Menimbang :

bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 14, Pasal 59, Pasal 70, Pasal 81, dan Pasal 89 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak dan Pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pemeriksaan Penerimaan Negara Bukan Pajak, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata Cara Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak;

Mengingat :

  1. Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008, Nomor 156 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916);
  3. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2018 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6245);
  4. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 230, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6563);
  5. Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pemeriksaan Penerimaan Negara Bukan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6613);
  6. Peraturan Presiden Nomor 57 Tahun 2020 tentang Kementerian Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 98);
  7. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.01/2021 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 1031);

 


MEMUTUSKAN :


Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK.


BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1


Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
  1. Penerimaan Negara Bukan Pajak yang selanjutnya disingkat PNBP adalah pungutan yang dibayar oleh orang pribadi atau badan dengan memperoleh manfaat langsung maupun tidak langsung atas layanan atau pemanfaatan sumber daya dan hak yang diperoleh negara, berdasarkan peraturan perundang-undangan, yang menjadi penerimaan Pemerintah Pusat di luar penerimaan perpajakan dan hibah dan dikelola dalam mekanisme Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
  2. Wajib Bayar adalah orang pribadi atau badan dari dalam negeri atau luar negeri, yang mempunyai kewajiban membayar PNBP, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  3. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  4. Instansi Pengelola PNBP adalah instansi yang menyelenggarakan pengelolaan PNBP.
  5. Kementerian Negara yang selanjutnya disebut dengan Kementerian adalah perangkat Pemerintah yang membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan.
  6. Lembaga adalah organisasi non-Kementerian dan instansi lain pengguna anggaran yang dibentuk untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 atau peraturan perundang-undangan lain.
  7. Pimpinan Instansi Pengelola PNBP adalah Bendahara Umum Negara atau Pimpinan Kementerian/Lembaga yang memegang kewenangan sebagai Pengguna Anggaran.
  8. Pejabat Kuasa Pengelola PNBP adalah pejabat yang diberi kuasa untuk melaksanakan sebagian tugas dan fungsi Pimpinan Instansi Pengelola PNBP dalam Pengelolaan PNBP yang menjadi tanggungjawabnya dan tugas lain terkait PNBP sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  9. Menteri/Pimpinan Lembaga adalah pejabat yang bertanggung jawab atas pengelolaan keuangan Kementerian/Lembaga yang bersangkutan.
  10. Mitra Instansi Pengelola PNBP adalah Badan yang membantu Instansi Pengelola PNBP melaksanakan sebagian kegiatan pengelolaan PNBP yang menjadi tugas Instansi Pengelola PNBP berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  11. Instansi Pemeriksa adalah badan yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan keuangan negara dan pembangunan nasional.
  12. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
  13. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, yang selanjutnya disingkat APBN, adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
  14. Rencana PNBP adalah hasil penghitungan dan/atau penetapan target PNBP dan pagu penggunaan dana PNBP yang diperkirakan dalami satu tahun anggaran.
  15. Target PNBP adalah perkiraan PNBP yang akan diterima dalam satu tahun anggaran untuk tahun yang direncanakan.
  16. Pagu Penggunaan Dana PNBP adalah batas tertinggi anggaran yang bersumber dari PNBP yang akan dialokasikan kepada Kementerian/Lembaga untuk tahun yang direncanakan.
  17. Bagian Anggaran adalah kelompok anggaran menurut nomenklatur Kementerian/Lembaga dan menurut fungsi Bendahara Umum Negara.
  18. Tahun Anggaran adalah periode dari 1 Januari sampai dengan 31 Desember.
  19. Collecting Agent adalah agen penerimaan meliputi bank persepsi, pos persepsi, bank persepsi Valas, lembaga persepsi lainnya, atau lembaga persepsi lainnya Valas yang ditunjuk oleh Kuasa BUN Pusat untuk menerima setoran Penerimaan Negara.
  20. Pengelolaan PNBP adalah pemanfaatan sumber daya dalam rangka tata kelola yang meliputi kegiatan perencanaan, pelaksanaan, pertanggungjawaban, dan pengawasan untuk meningkatkan pelayanan, akuntabilitas, dan optimalisasi penerimaan negara yang berasal dari PNBP.
  21. Kas Negara adalah tempat penyimpanan uang negara yang ditentukan oleh Menteri selaku Bendahara Umum Negara untuk menampung seluruh penerimaan negara dan membayar seluruh pengeluaran negara.
  22. PNBP Terutang adalah kewajiban PNBP dari Wajib Bayar kepada Pemerintah yang wajib dibayar pada waktu tertentu sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
  23. Piutang PNBP adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada Pemerintah dan/atau hak Pemerintah yang dapat dinilai dengan uang sebagai akibat perjanjian atau akibat lainnya berdasarkan suatu peraturan, perjanjian atau sebab apapun dari pemanfaatan sumber daya alam, pelayanan, pengelolaan kekayaan negara dipisahkan, pengelolaan barang milik negara, pengelolaan dana, dan hak negara lainnya.
  24. Surat Tagihan PNBP adalah surat dan/atau dokumen yang digunakan untuk melakukan tagihan PNBP Terutang, baik berupa pokok maupun sanksi administrasif berupa denda.
  25. Surat Ketetapan PNBP adalah surat dan/atau dokumen yang menetapkan jumlah PNBP Terutang yang meliputi Surat Ketetapan PNBP Kurang Bayar, Surat Ketetapan PNBP Nihil, dan Surat Ketetapan PNBP Lebih Bayar.
  26. Nomor Transaksi Penerimaan Negara yang selanjutnya disingkat NTPN adalah nomor tanda bukti pembayaran atau penyetoran ke Kas Negara yang tertera pada Bukti Penerimaan Negara dan diterbitkan oleh sistem settlement yang dikelola Direktorat Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan.
  27. Aparat Pengawasan Intern Pemerintah Kementerian/Lembaga adalah instansi Pemerintah yang dibentuk dengan tugas melaksanakan pengawasan intern di lingkungan Kementerian/Lembaga meliputi inspektorat jenderal/inspektorat utama/inspektorat/unit lain yang menjalankan peran pengawasan internal Kementerian/Lembaga.
  28. Pengawasan Intern adalah seluruh proses kegiatan audit, reviu, evaluasi, pemantauan, dan kegiatan pengawasan lain terhadap penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi dalam rangka memberikan keyakinan yang memadai bahwa kegiatan telah dilaksanakan sesuai dengan tolok ukur yang telah ditetapkan secara efektif dan efisien untuk kepentingan pimpinan dalam mewujudkan tata kepemerintahan yang baik.


BAB II
PENGELOLA PNBP

Pasal 2


Pengelola PNBP terdiri atas:
  1. Menteri selaku pengelola fiskal; dan
  2. Pimpinan Instansi Pengelola PNBP.


Pasal 3


(1) Instansi Pengelola PNBP terdiri atas:
  1. Kementerian/Lembaga; dan
  2. Kementerian yang menjalankan fungsi sebagai Bendahara Umum Negara.
(2) Instansi Pengelola PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dipimpin oleh Menteri/Pimpinan Lembaga selaku pengguna anggaran/pengguna barang.
(3) Instansi Pengelola PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dipimpin oleh Menteri selaku Bendahara Umum Negara.
(4) Pimpinan Instansi Pengelola PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dapat menunjuk Pejabat Kuasa Pengelola PNBP untuk melaksanakan tugas pengelolaan PNBP.
(5) Pimpinan instansi Pengelola PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dapat dibantu oleh Mitra Instansi Pengelola PNBP untuk melaksanakan sebagian tugas pengelolaan PNBP.


Pasal 4


Menteri selaku pengelola fiskal dalam mengelola PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a berwenang:
  1. menyusun kebijakan umum Pengelolaan PNBP;
  2. mengevaluasi, menyusun, dan/atau menetapkan jenis dan tarif PNBP pada Instansi Pengelola PNBP berdasarkan usulan dari Instansi Pengelola PNBP;
  3. menetapkan Rencana PNBP dalam rangka penyusunan rancangan APBN dan/atau rancangan APBN perubahan;
  4. menetapkan persetujuan penggunaan dana PNBP;
  5. melakukan pengawasan terhadap perencanaan, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban PNBP;
  6. meminta instansi pemeriksa untuk melakukan Pemeriksaan PNBP terhadap Instansi Pengelola PNBP, Wajib Bayar, dan/atau Mitra Instansi Pengelola PNBP;
  7. menetapkan Pengelolaan PNBP lintas Instansi Pengelola PNBP; dan
  8. melaksanakan kewenangan lain di. bidang PNBP sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 5


(1) Pimpinan Instansi Pengelola PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) mempunyai kewenangan untuk mengelola PNBP pada Instansi Pengelola yang dipimpinnya.
(2) Dalam mengelola PNBP sebagairmanan dimaksud pada ayat (1), Pimpinan Instansi Pengelola PNBP bertugas:
  1. menyusun dan menyampaikan usulan jenis dan tarif PNBP;
  2. menyusun dan menyampaikan Rencana PNBP dalam rangka penyusunan rancangan APBN dan/atau rancangan APBN perubahan;
  3. melaksanakan penentuan PNBP Terutang;
  4. memungut dan menyetorkan PNBP ke Kas Negara;
  5. melaksanakan penetapan dan penagihan PNBP Terutang;
  6. mengelola piutang PNBP;
  7. mengusulkan penggunaan dana PNBP;
  8. melaksanakan anggaran yang bersumber dari pagu penggunaan dana PNBP;
  9. menyusun dan menyampaikan laporan pertanggungjawaban PNBP;
  10. melaksanakan monitoring atas pelaksanaan PNBP;
  11. meminta instansi pemeriksa untuk melakukan Pemeriksaan PNBP terhadap Wajib Bayar dan/atau Mitra instansi Pengelola PNBP;
  12. menyelesaikan permohonan keberatan, keringanan dan pengembalian yang diajukan Wajib Bayar; dan
  13. melaksanakan tugas lain di bidang PNBP pada Instansi Pengelola PNBP yang dipimpinnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang PNBP.
(3) Tugas Pimpinan Instansi Pengelola PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diserahkan kepada Pejabat Kuasa Pengelola PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4), kecuali tugas:
  1. menyampaikan usulan jenis dan tarif PNBP kepada Menteri; dan
  2. mengusulkan penggunaan dana PNBP.
(4) Dengan pertimbangan percepatan layanan dan/atau karakteristik PNBP pada Instansi Pengelola PNBP, Pimpinan Instansi Pengelola PNBP dapat menyerahkan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada Sekretaris Jenderal/Sekretaris Utama/Sekretaris/Pejabat Eselon I yang setingkat.


Pasal 6


(1) Penunjukan Pejabat Kuasa Pengelola PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) bersifat ex officio yang melekat pada jabatan Kuasa Pengguna Anggaran.
(2) Dalam menjalankan tugas pengelolaan PNBP, Pejabat Kuasa Pengelola PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibantu oleh:
  1. pejabat perbendaharaan lainnya untuk melaksanakan sebagian tugas pengelolaan PNBP yang melekat dengan tanggung jawab perbendaharaan; dan/atau
  2. pengelola PNBP lainnya sesuai kebutuhan untuk melaksanakan tugas-tugas teknis dan administrasi dalam rangka pengelolaan PNBP.
(3) Tanggung jawab perbendaharaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dapat berupa penagihan atas PNBP denda keterlambatan penyelesaian pekerjaan.
(4) Tugas-tugas teknis dan administrasi dalam rangka pengelolaan PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dapat berupa pengadministrasian loket pemungutan PNBP dan/atau melaksanakan penelitian dokumen terkait pengelolaan PNBP.
(5) Penunjukan Pejabat Kuasa Pengelola PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak terikat tahun anggaran.
(6) Dalam hal tidak terdapat perubahan pejabat yang ditunjuk sebagai Pejabat Kuasa Pengelola PNBP pada saat pergantian tahun anggaran, penunjukan Pejabat Kuasa Pengelola PNBP tahun anggaran yang lalu masih tetap berlaku.
(7) Penjelasan mengenai Pejabat Kuasa Pengelola PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tercantum dalam Lampiran Huruf B angka 1 yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.


Pasal 7


(1) Dalam hal diperlukan untuk menunjang pelaksanaan kewenangan Pengelolaan PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2), Pimpinan instansi Pengelola PNBP atau Kuasa Pengguna Anggaran pada unit eselon I atau pada unit eselon II yang diberikan kewenangan dapat menunjuk dan menetapkan tersendiri jumlah, susunan dan kewenangan Pejabat Kuasa Pengelola PNBP dengan tetap mempertimbangkan aspek efektivitas dan efisiensi.
(2) Pejabat yang ditunjuk sebagai Pejabat Kuasa Pengelola PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat bersifat ex officio yang melekat pada jabatan sesuai organisasi dan tata kerja instansi Pengelola PNBP.
(3) Pejabat Kuasa Pengelola PNBP menatausahakan penunjukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2).
(4) Penjelasan mengenai kewenangan Pimpinan instansi Pengelola PNBP atau Pejabat Kuasa Pengelola PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran Huruf B angka 2 yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.


Pasal 8


(1) Mitra Instansi Pengelola PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (5) dapat berbentuk:
  1. badan usaha milik negara;
  2. badan usaha milik daerah;
  3. badan usaha milik swasta; atau
  4. badan lain sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
(2) Mitra Instansi Pengelola PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai tugas termasuk namun tidak terbatas pada:
  1. melakukan penentuan PNBP Terutang;
  2. melakukan pemungutan PNBP;
  3. melakukan penyetoran PNBP;
  4. melakukan monitoring atau verifikasi atas PNBP Terutang;
  5. melakukan pencatatan Piutang PNBP;
  6. melakukan penagihan PNBP Terutang;
  7. menyelesaikan koreksi atas Surat Tagihan PNBP;
  8. melaksanakan pelaporan dan pertanggungjawaban PNBP;
  9. melaksanakan administrasi penerimaan atas permohonan pengembalian PNBP; dan/atau
  10. melaksanakan tugas lain di bidang PNBP sesuai penugasan dalam perjanjian/kontrak atau perikatan dalam bentuk lain.
(3) Mitra Instansi Pengelola PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditunjuk berdasarkan:
  1. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah/Peraturan Presiden; dan/ atau
  2. penugasan dari Pimpinan Instansi Pengelola PNBP dalam melaksanakan Pengelolaan PNBP dengan tetap memperhatikan tanggung jawab Instansi Pengelola PNBP.
(4) Penugasan dari Pimpinan Instansi Pengelola PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dapat berupa kontrak/perjanjian atau perikatan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan setelah mendapat persetujuan Menteri.
(5) Materi kontrak/perjanjian atau perikatan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (4) memuat paling sedikit:
  1. hak dan kewajiban berkenaan dengan pelaksanaan tugas sebagian pengelolaan PNBP;
  2. jangka waktu perjanjian;
  3. bentuk dan tata cara pengenaan sanksi;
  4. keadaan kahar; dan
  5. tata cara penyelesaian perselisihan.
(6) Penjelasan mengenai materi kontrak/perjanjian atau perikatan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tercantum dalam Lampiran Huruf C angka 3 yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.


Pasal 9


(1) Penunjukan Mitra Instansi Pengelola PNBP oleh Pimpinan Instansi Pengelola PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dilaksanakan dengan memperhatikan:
  1. kesesuaian dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
  2. pertimbangan biaya-manfaat berupa analisis besaran tambahan beban terhadap APBN dan peningkatan layanan/manfaat yang didapatkan melalui penunjukan Mitra Instansi Pengelola PNBP dibandingkan dengan beban APBN untuk pengelolaan sendiri oleh Instansi Pengelola PNBP; dan/atau
  3. kesiapan tata kelola dan persyaratan badan yang akan ditunjuk sebagai Mitra Instansi Pengelola PNBP berupa rencana strategis atau proposal badan berkenaan.
(2) Penunjukan Mitra Instansi Pengelola PNBP berdasarkan Undang-Undang/Peraturan Pemerintah/PeraturanPresiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf a dilaksanakan oleh Pimpinan Instansi Pengelola PNBP sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Penunjukan Mitra Instansi Pengelola PNBP berdasarkan penugasan Pimpinan Instansi Pengelola PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf b dilaksanakan secara efisien, efektif, terbuka dan bersaing, transparan, adil atau tidak diskriminatif, dan akuntabel.
(4) Penunjukan Mitra Instansi Pengelola PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan penunjukan Mitra Instansi Pengelola PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dapat didelegasikan kepada Pejabat Eselon I atas nama Pimpinan Instansi Pengelola PNBP.
(5) Penjelasan lebih lanjut penunjukan Mitra Instansi Pengelola PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam Lampiran Huruf C angka 1 yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.


Pasal 10


(1) Dalam hal seluruh kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (5) huruf a telah dilaksanakan, Mitra Instansi Pengelola PNBP dapat diberikan imbal jasa berupa:
  1. pembagian pendapatan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai jenis dan tarif atas jenis PNBP;
  2. pemberian kewenangan untuk memberikan sebagian layanan Instansi Pengelola PNBP dan mendapatkan pendapatan atas layanan tersebut;
  3. pembayaran biaya jasa layanan sebagaimana ketentuan peraturan perundang-undangan; dan/atau
  4. dukungan sarana prasarana untuk pelayanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Dalam hal suatu badan telah membantu sebagian pelaksanaan pengelolaan PNBP sebelum ditetapkan sebagai Mitra Instansi Pengelola PNBP, bentuk imbal jasa yang selama ini telah menjadi hak badan dimaksud tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Penjelasan lebih lanjut mengenai imbal jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran Huruf C angka 2 yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.


BAB III
TATA CARA PERENCANAAN PNBP

Bagian Kesatu
Tata Cara Penyusunan dan Penyampaian Rencana PNBP

Pasal 11


(1) Dalam rangka penyusunan rancangan APBN dan/atau rancangan perubahan APBN, Instansi Pengelola PNBP wajib menyusuri dan menyampaikan Rencana PNBP atas Bagian Anggaran yang menjadi tugas dan kewenangannya kepada Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Anggaran dengan  mengikuti siklus APBN.
(2) Instansi Pengelola PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyusun Rencana PNBP untuk tahun anggaran yang direncanakan dan perkiraan maju Rencana PNBP untuk 3 (tiga) tahun anggaran setelah tahun anggaran yang direncanakan.


Pasal 12


(1) Rencana PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2) disusun dalam bentuk:
  1. Target PNBP; atau
  2. Target dan Pagu Penggunaan Dana PNBP.
(2) Penyusunan Rencana PNBP dalam bentuk Target PNBP dan Pagu Penggunaan Dana PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dilaksanakan oleh Instansi Pengelola PNBP yang dalam hal telah memperoleh persetujuan penggunaan dana PNBP.


Pasal 13


(1) Rencana PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2) disusun secara realistis, optimal, dan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
(2) Realistis dalam Rencana PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk mempertimbangkan data, historis, potensi, asumsi, dan informasi yang dapat dipertanggungjawabkan.
(3) Optimal dalam Rencana PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jumlah PNBP yang paling baik yang bisa dicapai dalam suatu kondisi pada saat, menyusun Rencana PNBP.
(4) Rencana PNBP disusun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk memperhatikan rencana jangka pendek dan jangka menengah.


Pasal 14


(1) Target PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2) disusun dengan menggunakan dasar berupa :
  1. jenis PNBP dan tarif atas jenis PNBP;
  2. perkiraan jumlah/volume yang menjadi dasar perhitungan PNBP dari masing-masing jenis PNBP;
  3. asumsi dasar ekonomi makro dan/atau parameter lainnya untuk jenis PNBP tertentu;
  4. Piutang PNBP yang diperkirakan akan tertagih pada tahun anggaran yang direncanakan; dan/atau
  5. hasil pengawasan PNBP yang dapat berupa adanya PNBP kurang bayar atau PNBP lebih bayar.
(2) Pagu Penggunaan Dana PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) disusun dengan mengacu pada persetujuan penggunaan dana PNBP.
(3) Persetujuan penggunaan dana PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan pagu tertinggi yang dapat diajukan pada Rencana PNBP.


Pasal 15


(1) Rencana PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2) disusun dan disampaikan secara berjenjang untuk setiap Bagian Anggaran yang terdiri atas:
  1. Rencana PNBP tingkat Satuan Kerja;
  2. Rencana PNBP tingkat Unit Eselon I; dan/atau
  3. Rencana PNBP tingkat Instansi Pengelola PNBP atau Bagian Anggaran.
(2) Rencana PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan dalam bentuk proposal yang paling sedikit memuat:
  1. pokok-pokok kebijakan PNBP;
  2. perkiraan realisasi PNBP tahun anggaran berjalan;
  3. Target PNBP untuk tahun anggaran yang direncanakan dan perkiraan maju untuk 3 (tiga) tahun anggaran berikutnya;
  4. justifikasi atas peningkatan atau penurunan target PNBP tahun anggaran yang direncanakan terhadap target PNBP tahun anggaran berjalan;
  5. perkiraan realisasi penggunaan dana PNBP tahun anggaran berjalan untuk Instansi Pengelola PNBP yang telah memiliki persetujuan penggunaan dana PNBP;
  6. Pagu Penggunaan Dana PNBP untuk tahun anggaran yang direncanakan dan perkiraan maju untuk 3 (tiga) tahun anggaran berikutnya untuk Instansi Pengelola PNBP yang telah memiliki persetujuan penggunaan dana PNBP; dan
  7. penjelasan capaian realisasi kinerja PNBP dalam 3 (tiga) tahun terakhir.
(3) Penyampaian proposal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilampiri dengan arsip data komputer (ADK) Rencana PNBP.


Pasal 16


(1) Dalam rangka penyusunan Rencana PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1), Pejabat Kuasa Pengelola PNBP wajib:
  1. melakukan penyusunan rencana PNBP tingkat Satuan Kerja; dan
  2. menyampaikan rencana PNBP kepada Sekretaris Direktorat Jenderal/Sekretaris Badan/Pejabat Eselon II setingkat.
(2) Sekretaris Direktorat Jenderal/Sekretaris Badan/Pejabat Eselon II setingkat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b bertugas:
  1. melakukan penelitian, konfirmasi dan konsolidasi penyusunan rencana PNBP tingkat unit organisasi/unit eselon I; dan
  2. menyampaikan rencana PNBP kepada Kepala Biro Perencanaan/Kepala Biro Keuangan/Pejabat Eselon II setingkat terkait perencanaan lingkup Instansi Pengelola PNBP atau mengembalikan kepada Pejabat Kuasa Pengelola PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam hal terdapat perbaikan atau penyesuaian berdasarkan penelitian sebagaimana dimaksud pada huruf a.
(3) Kepala Biro Perencanaan/Kepala Biro Keuangan/Pejabat Eselon II setingkat bertugas melakukan penelitian, konfirmasi dan konsolidasi penyusunan rencana PNBP tingkat instansi Pengelola PNBP atau mengembalikan kepada Sekretaris Direktorat Jenderal/Sekretaris Badan/Pejabat Eselon II setingkat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam hal terdapat perbaikan atau penyesuaian berdasarkan penelitian.
(4) Dalam hal Sekretaris Direktorat Jenderal/Sekretaris Badan/Kepala Biro Perencanaan/Kepala Biro Keuangan/Pejabat Eselon II setingkat bertindak selaku Pejabat Kuasa Pengelola PNBP tingkat satuan kerja, pelaksanaan penelitian, konfirmasi dan konsolidasi rencana PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan ayat (3) dilakukan bersamaan dengan pelaksanaan penyusunan rencana PNBP tingkat satuan kerja yang bersangkutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.


Pasal 17


Sekretaris Jenderal/Sekretaris Utama/Sekretaris/Pejabat Eselon I setingkat menyampaikan rencana PNBP tingkat Instansi Pengelola PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 kepada Menteri c.q. Direktur Jenderal Anggaran.


Pasal 18


Dalam hal pimpinan Instansi Pengelola PNBP menunjuk Pejabat Kuasa Pengelola PNBP selain Kuasa Pengguna Anggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), Pimpinan Instansi Pengelola PNBP atau Kuasa Pengguna Anggaran pada unit eselon I atau pada unit eselon II yang diberikan kewenangan dapat menetapkan tersendiri mekanisme penyusunan, konsolidasi, dan penyampaian Rencana PNBP.


Pasal 19


Penyusunan dan penyampaian Rencana PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 sampai dengan Pasal 18 dapat dilakukan melalui sistem informasi yang dikelola Kementerian Keuangan atau sistem, informasi yang dikelola Instansi Pengelola PNBP yang terintegrasi dan/atau terkoneksi dengan sistem informasi yang dikelola Kementerian Keuangan.


Bagian Kedua
Penelaahan Rencana PNBP

Pasal 20


(1) Direktorat Jenderal Anggaran melakukan penelaahan terhadap Rencana PNBP tingkat Instansi Pengelola PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17.
(2) Proses penelaahan berupa penilaian Rencana PNBP dilakukan sesuai kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan dapat didasarkan pada data atau informasi berupa:
  1. perkiraan asumsi dasar ekonomi makro dan/atau parameter lainnya;
  2. pokok kebijakan PNBP Instansi Pengelola PNBP;
  3. data historis; dan
  4. mitigasi risiko.
(3) Penelahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan dengan menggunakan sistem informasi yang dikelola Kementerian Keuangan.


Pasal 21


(1) Dalam hal satuan kerja pada Instansi Pengelola PNBP telah ditetapkan sebagai satuan kerja Badan Layanan Umum, analisis Rencana PNBP berupa Target PNBP dilaksanakan bersamaan dengan analisis rencana bisnis dan anggaran Badan Layanan Umum sesuai dengan Peraturan Menteri mengenai Pedoman Pengelolaan Badan Layanan Umum.
(2) Dalam hal terdapat perbedaan antara Rencana PNBP yang disampaikan Instansi Pengelola PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dengan hasil analisis rencana bisnis dan anggaran Badan Layanan Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau dengan Rencana PNBP yang akan dituangkan dalam rangka penyusunan kapasitas fiskal atau dalam rangka penyusunan postur Rancangan Undang-Undang APBN, Direktorat Jenderal Anggaran melakukan koordinasi dengan Direktorat Jenderal Perbendaharaan dan Instansi Pengelola PNBP.


Pasal 22


(1) Dalam hal berdasarkan penelaahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) Rencana PNBP yang disampaikan Instansi Pengelola PNBP tidak sesuai dengan kriteria, Direktorat Jenderal Anggaran dapat melakukan penyesuaian atas Rencana PNBP.
(2) Direktorat Jenderal Anggaran dapat melakukan koordinasi dengan Instansi Pengelola PNBP terkait untuk melakukan penyesuaian atas Rencana PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Dalam hal terdapat kekurangan dokumen pendukung Rencana PNBP berdasarkan penelaahan  sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1), Kepala Biro Perencanaan/Kepala Biro Keuangan/Pejabat Eselon II atas nama Sekretaris Jenderal/Sekretaris Utama/Sekretaris/Pejabat Eselon I pada  Instansi Pengelola PNBP harus menyampaikan perbaikan dan/atau kelengkapan dokumen pendukung  dimaksud kepada Menteri c.q. Direktur Jenderal Anggaran.


Bagian Ketiga
Siklus Penyampaian dan Penetapan Rencana PNBP

Paragraf 1
Penyusunan Rencana PNBP dalam rangka Penyusunan
Kapasitas Fiskal

Pasal 23


(1) Sekretaris Jenderal/Sekretaris Utama/Sekretaris/Pejabat Eselon I setingkat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 menyampaikan rencana PNBP tingkat Instansi Pengelola PNBP kepada Menteri c.q. Direktur Jenderal Anggaran paling lambat pada bulan Januari tahun anggaran berjalan.
(2) Direktorat Jenderal Anggaran melakukan penelaahan atas Rencana PNBP tingkat Instansi Pengelola PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Hasil penelaahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dituangkan ke dalam lembar rekomendasi hasil  penelaahan.


Pasal 24


(1) Hasil penelaahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3) menjadi salah satu bahan penetapan Menteri terhadap postur sementara dalam rangka penyusunan kapasitas fiskal dan bahan Direktorat Jenderal Anggaran dalam melakukan reviu angka dasar.
(2) Penetapan Menteri terhadap postur sementara dalam rangka penyusunan kapasitas fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup penetapan Rencana PNBP berupa Target PNBP.
(3) Rencana PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan rencana yang bersifat dinamis sampai dengan penyusunan kerangka, ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal atau sampai hasil kesepakatan Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat dalam pembicaraan pendahuluan rancangan APBN.
(4) Rencana PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat disampaikan kepada Instansi Pengelola  PNBP bersamaan dengan penyampaian pagu indikatif.


Paragraf 2
Penyesuaian Rencana PNBP dalam rangka Penyusunan
Rancangan Undang-Undang APBN

Pasal 25


(1) Dalam hal hasil kesepakatan Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat dalam pembicaraan pendahuluan rancangan APBN dan/atau adanya perubahan kebijakan Pemerintah mengakibatkan perubahan Rencana PNBP, Pimpinan Instansi Pengelola PNBP atau Pejabat Kuasa Pengelola PNBP melakukan penyesuaian atas Rencana PNBP secara berjenjang.
(2) Mekanisme penyusunan dan penelitian Rencana PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, Pasal 17, dan Pasal 18 berlaku secara mutatis mutandis terhadap penyesuaian Rencana PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Sekretaris Jenderal/Sekretaris Utama/Sekretaris/Pejabat Eselon I setingkat pada Instansi Pengelola PNBP menyampaikan penyesuaian atas Rencana PNBP tingkat Instansi Pengelola PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Menteri c.q. Direktur Jenderal Anggaran dengan dilengkapi paling sedikit penjelasan atas perubahan Rencana PNBP berdasarkan hasil kesepakatan Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat dan/atau adanya perubahan kebijakan Pemerintah.
(4) Direktorat Jenderal Anggaran melakukan penelaahan atas penyesuaian Rencana PNBP tingkat Instansi Pengelola PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(5) Hasil penelaahan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dituangkan ke dalam lembar rekomendasi hasil penelaahan.
(6) Hasil penelaahan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) menjadi salah satu bahan dalam rangka penetapan Menteri terhadap penyusunan pagu anggaran dan postur Rancangan Undang-Undang APBN.
(7) Penetapan Menteri terhadap penyusunan pagu anggaran dan postur Rancangan Undang-Undang APBN sebagaimana dimaksud pada ayat (6) mencakup penetapan Rencana PNBP berupa Target PNBP.
(8) Rencana PNBP berupa target PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (7) merupakan rencana yang bersifat dinamis sampai dengan penyampaian Rancangan Undang-Undang APBN oleh Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat.


Paragraf 3
Pemutakhiran Rencana PNBP dalam rangka Penetapan
Undang-Undang APBN

Pasal 26


(1) Instansi Pengelola PNBP melakukan pemutakhiran Rencana PNBP berdasarkan Rencana PNBP yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang APBN.
(2) Sekretaris Jenderal/Sekretaris Utama/Sekretaris/Pejabat Eselon I setingkat menyampaikan hasil pemutakhiran Rencana PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Menteri c.q. Direktur Jenderal Anggaran paling lambat 1 (satu) minggu setelah Undang-Undang APBN ditetapkan.
(3) Direktorat Jenderal Anggaran melakukan penelitian atas pemutakhiran Rencana PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Hasil penelitian atas pemutakhiran Rencana PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) digunakan sebagai penetapan Target PNBP yang dituangkan dalam rincian pendapatan dalam Peraturan Presiden mengenai rincian APBN dan menjadi salah satu bahan penetapan dokumen penganggaran tahun anggaran berikutnya.


Paragraf 4
Revisi Perkiraan Penerimaan dalam Dokumen Penganggaran
Tahun Berjalan

Pasal 27


(1) Instansi Pengelola PNBP dapat mengusulkan revisi perkiraan penerimaan yang bersumber dari PNBP dalam dokumen penganggaran tahun berjalan sesuai kewenangan.
(2) Revisi perkiraan penerimaan yang bersumber dari PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menjadi dasar perubahan pagu penggunaan PNBP dalam dokumen penganggaran.
(3) Dalam hal revisi perkiraan penerimaan yang bersumber dari PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetujui, Instansi Pengelola PNBP harus melakukan pemutakhiran perkiraan penerimaan yang bersumber dari PNBP per satker dalam dokumen penganggaran.
(4) Revisi perkiraan penerimaan yang bersumber dari PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pemutakhiran perkiraan penerimaan yang bersumber dari PNBP per satker dalam dokumen penganggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan melalui mekanisme revisi anggaran sesuai Peraturan Menteri mengenai Tata Cara Revisi Anggaran.


Paragraf 5
Perubahan Rencana PNBP dalam rangka Rancangan
Perubahan APBN

Pasal 28


(1) Dalam rangka penyusunan rancangan perubahan APBN, Instansi Pengelola PNBP dapat menyampaikan perubahan Rencana PNBP kepada Menteri c.q. Direktur Jenderal Anggaran.
(2) Perubahan rencana PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan dengan surat pengantar yang ditandatangani oleh Sekretaris Jenderal/Sekretaris Utama/Sekretaris/Pejabat Eselon I setingkat dalam bentuk proposal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2).
(3) Penyusunan dan penelitian Rencana PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, Pasal 17, dan Pasal 18 berlaku secara mutatis mutandis terhadap perubahan Rencana PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Direktorat Jenderal Anggaran melakukan penelaahan atas perubahan Rencana PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(5) Hasil penelaahan Direktorat Jenderal Anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dituangkan ke dalam lembar rekomendasi hasil penelaahan.
(6) Hasil penelaahan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan salah satu bahan dalam rangka penyusunan postur perubahan APBN untuk mendapatkan penetapan Menteri Keuangan.
(7) Penetapan Menteri terhadap postur perubahan APBN sebagaimana dimaksud pada ayat (6) mencakup penetapan Rencana PNBP berupa Target PNBP.
(8) Rencana PNBP berupa Target PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (7) merupakan rencana yang bersifat dinamis sampai dengan Rancangan Undang-Undang Perubahan APBN disampaikan Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
(9) Rencana PNBP dalam bentuk Target PNBP dituangkan dalam rincian Rancangan Undang-Uudang Perubahan APBN.


Pasal 29


(1) Pimpinan Instansi Pengelola PNBP atau Pejabat Kuasa Pengelola PNBP melakukan pemutakhiran rencana PNBP berdasarkan Rencana PNBP yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Perubahan APBN.
(2) Sekretaris Jenderal/Sekretaris Utama/Sekretaris/Pejabat Eselon I setingkat menyampaikan hasil pemutakhiran atas Rencana PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Menteri c.q. Direktur Jenderal Anggaran paling lambat 1 (satu) minggu setelah Undang-Undang Perubahan APBN ditetapkan.
(3) Direktorat Jenderal Anggaran melakukan penelitian atas pemutakhiran Rencana PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Hasil pemutakhiran Rencana PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) digunakan sebagai bahan penyusunan rincian pendapatan dalam Peraturan Presiden mengenai rincian Perubahan APBN dan menjadi salah satu bahan penetapan dokumen penganggaran.


Pasal 30


(1) Dalam hal Instansi Pengelola PNBP tidak menyampaikan Rencana PNBP dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1), Pasal 25 ayat (3), Pasal 26 ayat (2), Pasal 28 ayat (1), dan Pasal 29 ayat (2), Direktorat Jenderal Anggaran dapat melakukan perhitungan Rencana PNBP berdasarkan data historis PNBP dan kebijakan fiskal Pemerintah.
(2) Dalam hal Rencana PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun oleh Direktorat Jenderal Anggaran, Rencana PNBP disusun untuk tingkat Instansi Pengelola PNBP.
(3) Berdasarkan Rencana PNBP yang disusun untuk tingkat instansi Pengelola PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Instansi Pengelola PNBP melakukan perincian Rencana PNBP sampai dengan tingkat Satuan Kerja.
(4) Dalam hal tertentu, Instansi Pengelola PNBP tidak diharuskan untuk menyampaikan penyesuaian Rencana PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (3) dan pemutakhiran Rencana PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2).
(5) Hal tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi:
  1. hasil kesepakatan Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat dalam pembicaraan pendahuluan rancangan APBN dan/atau adanya perubahan kebijakan Pemerintah tidak mengakibatkan perubahan Rencana PNBP; dan/atau
  2. penetapan Undang-Undang tidak mengakibatkan pembahan Rencana PNBP.


Pasal 31


Ketentuan mengenai tata cara perencanaan PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 sampai dengan Pasal 30 tercantum dalam Lampiran Huruf D sampai dengan Huruf I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.


BAB IV
PELAKSANAAN PNBP

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 32


Pelaksanaan PNBP dalam Peraturan Menteri ini meliputi:
  1. Tata Cara Penentuan PNBP Terutang;
  2. Tata Cara Pemungutan PNBP;
  3. Tata Cara Pembayaran dan Penyetoran PNBP;
  4. Tata Cara Penetapan PNBP Terutang;
  5. Tata Cara Penagihan PNBP Terutang; dan
  6. Tata Cara Penggunaan dana PNBP.


Bagian Kedua
Tata Cara Penentuan PNBP Terutang

Paragraf 1
Penentuan PNBP Terutang

Pasal 33


(1) Penentuan PNBP Terutang merupakan penentuan jenis PNBP dan penghitungan atas besaran kewajiban PNBP yang harus dibayarkan oleh Wajib Bayar.
(2) Penentuan PNBP Terutang sebagaimana, dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh:
  1. Pejabat Kuasa Pengelola PNBP;
  2. pimpinan Mitra Instansi Pengelola PNBP; atau
  3. Wajib Bayar.
(3) Penentuan PNBP Terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat disebabkan dasar berupa:
  1. pemanfaatan sumber daya alam;
  2. pelayanan;
  3. pengelolaan kekayaan negara dipisahkan;
  4. pengelolaan barang milik negara;
  5. pengelolaan dana; dan/atau
  6. hak negara lainnya.


Paragraf 2
Penghitungan PNBP terutang

Pasal 34


(1) Pejabat Kuasa Pengelola PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) huruf a menentukan besaran PNBP Terutang berdasarkan jenis dan tarif atas jenis PNBP sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Dalam hal tarif PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk tarif spesifik, penentuan PNBP Terutang menggunakan unsur pembentuk perhitungan yang meliputi:
  1. volume jenis produk/layanan yang diberikan dan/atau diminta oleh Wajib Bayar; dan
  2. tarif atas jenis PNBP.
(3) Penghitungan PNBP Terutang dilakukan dengan mengalikan volume sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dengan tarif atas jenis PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b.
(4) Dalam hal tarif PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk tarif ad valorem atau formula, penentuan PNBP terutang dihitung dengan menerapkan formula beserta unsur pembentuk perhitungan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 35


Dalam hal Pimpinan instansi Pengelola PNBP menunjuk Mitra Instansi Pengelola PNBP untuk melaksanakan penentuan PNBP Terutang, ketentuan penentuan PNBP Terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 berlaku secara mutatis mutandis terhadap pimpinan Mitra Instansi Pengelola PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) huruf b.


Pasal 36


(1) Berdasarkan pertimbangan tertentu, mekanisme penentuan PNBP Terutang yang dilakukan oleh Wajib Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) huruf c sesuai karakteristik jenis PNBP yang dikelola diatur oleh Instansi Pengelola PNBP.
(2) Pertimbangan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
  1. untuk menyegerakan pemenuhan kewajiban PNBP;
  2. peningkatan kelancaran usaha Wajib Bayar; dan/atau
  3. kepastian waktu dan besaran PNBP Terutang yang harus dibayar oleh Wajib Bayar.
(3) Wajib Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menghitung besaran PNBP Terutang berdasarkan jenis dan tarif PNBP sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan dan tata cara penghitungan yang diatur lebih lanjut oleh Instansi Pengelola PNBP.
 

Pasal 37


Proses penentuan PNBP Terutang oleh Pejabat Kuasa Pengelola PNBP, Mitra Instansi Pengelola PNBP, atau Wajib Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) dapat menggunakan sistem informasi.

 

Pasal 38


Tata cara penentuan PNBP Terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 sampai dengari Pasal 37 tercantum dalam Lampiran Huruf J yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.


Bagian Ketiga
Tata Cara Pemungutan PNBP

Pasal 39


(1) Pemungutan PNBP merupakan mekanisme penarikan atau pemenuhan hak negara yang menjadi kewajiban Wajib Bayar atas PNBP Terutang.
(2) Pemungutan PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaksanakan oleh Pejabat Kuasa Pengelola PNBP berdasarkan penghitungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 atau oleh pimpinan Mitra Instansi Pengelola PNBP berdasarkan penghitungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35.
(3) Dalam hal jenis PNBP tertentu yang jumlah terutangnya dihitung oleh Wajib Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1), pemungutan PNBP diwujudkan dalam bentuk pengaturan tata cara penghitungan, pembayaran, dan penyetoran PNBP Terutang.


Pasal 40


(1) Pemungutan PNBP Terutang oleh Pejabat Kuasa Pengelola PNBP atau pimpinan Mitra Instansi Pengelola PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (2) dapat dilakukan dengan menggunakan dokumen pemungutan atau sarana lain.
(2) Dokumen pemungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa surat pemberitahuan, invoice, dan/atau dokumen elektronik yang dipersamakan dengan dokumen pemungutan.
(3) Sarana lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengaturan tata cara pembayaran oleh Wajib Bayar.
(4) Dalam hal terdapat kesalahan dalam dokumen pemungutan atau sarana lain sebagaimana dimaksud  pada ayat (1), Pejabat Kuasa Pengelola PNBP atau pimpinan Mitra Instansi Pengelola PNBP dapat melakukan pembetulan atas dokumen pemungutan atau sarana lain.


Bagian Keempat
Tata Cara Pembayaran dan Penyetoran PNBP

Paragraf 1
Jatuh Tempo Pembayaran PNBP Terutang

Pasal 41


(1) Wajib Bayar wajib melakukan pembayaran PNBP Terutang paling lambat pada saat jatuh tempo sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Jatuh tempo pembayaran PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh Instansi Pengelola PNBP sepanjang belum diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 42


Dalam hal Wajib Bayar tidak melakukan pembayaran PNBP Terutang sampai dengan jatuh tempo sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1), Pejabat Kuasa Pengelola PNBP atau pimpinan Mitra Instansi Pengelola PNBP mencatat sebagai Piutang PNBP sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai piutang negara dan mengenakan sanksi administratif kepada Wajib Bayar.


Paragraf 2
Tempat Pembayaran PNBP Terutang

Pasal 43


(1) Wajib Bayar wajib membayar PNBP Terutang ke Kas Negara melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Menteri.
(2) Tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berapa bank persepsi, pos persepsi, atau lembaga lain yang ditunjuk oleh Menteri.
(3) Bank persepsi, pos persepsi atau lembaga lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berfungsi sebagai Collecting Agent.
(4) Penunjukan Collecting Agent sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Menteri tersendiri.


Pasal 44


Dalam hal PNBP Terutang dihitung oleh Wajib Bayar, Wajib Bayar melaporkan pembayaran PNBP Terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1) kepada Pejabat Kuasa Pengelola PNBP atau pimpinan Mitra Instansi Pengelola PNBP sesuai pengaturan tata cara penghitungan, pembayaran dan penyetoran PNBP Terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (3).


Pasal 45


(1) Dalam hal tertentu, Wajib Bayar dapat melakukan pembayaran PNBP Terutang melalui Instansi Pengelola PNBP atau Mitra Instansi Pengelola PNBP.
(2) Mekanisme pembayaran PNBP Terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan setelah mendapatkan persetujuan Direktur Jenderal Perbendaharan.
(3) Hal tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disebabkan kondisi termasuk namun tidak terbatas pada:
  1. kondisi geografis yang tidak memungkinkan dilakukannya pembayaran langsung oleh Wajib Bayar ke Kas Negara;
  2. jumlah nominal PNBP yang dibayarkan tidak signifikan sehingga biaya yang dikeluarkan untuk menyetorkan ke Kas Negara lebih tinggi daripada jumlah nominal PNBP;
  3. kurangnya sarana dan prasarana; dan/atau
  4. pertimbangan efektivitas atas karakteristik jenis PNBP.
(4) Pejabat Kuasa Pengelola PNBP dapat menunjuk Bendahara Penerimaan untuk menerima pembayaran PNBP dari Wajib Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 46


Dalam hal Instansi Pengelola PNBP dibantu oleh Mitra Instansi Pengelola PNBP untuk menerima pembayaran PNBP dari Wajib Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1), tata cara penerimaan pembayaran melalui Mitra Instansi Pengelola PNBP diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pimpinan Instansi Pengelola PNBP, kontrak/perjanjian kerjasama atau nota kesepahaman Mitra Instansi Pengelola PNBP dengan Instansi Pengelola PNBP.


Paragraf 3
Mekanisme Pembayaran dan Penyetoran PNBP Terutang ke
Kas Negara

Pasal 47


(1) Pembayaran dan penyetoran PNBP Terutang ke Kas Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1) dan Pasal 45 ayat (1) menggunakan sarana lain berupa sistem informasi yang dikelola oleh Kementerian Keuangan dan/atau sistem informasi yang dikembangkan Instansi Pengelola PNBP yang terintegrasi atau terkoneksi dengan sistem informasi yang dikelola oleh Kementerian Keuangan.
(2) Dalam hal terjadi gangguan pada sistem informasi yang dikelola oleh Kementerian Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kementerian Keuangan menerbitkan surat pernyataan gangguan pada sistem informasi.
(3) Wajib Bayar, instansi Pengelola PNBP, atau Mitra Instansi Pengelola PNBP yang tidak dapat melakukan pembayaran atau penyetoran pada saat jatuh tempo akibat gangguan sistem yang dikelola oleh Kementerian Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), harus melakukan pembayaran atau penyetoran pada hari kerja berikutnya.
(4) Wajib Bayar yang melakukan pembayaran pada hari kerja berikutnya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dikenakan tambahan sanksi keterlambatan berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1).
(5) Penyelesaian mekanisme pembayaran dan penyetoran PNBP Terutang ke Kas Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mengikuti Peraturan Menteri mengenai sistem penerimaan negara secara elektronik.


Pasal 48


(1) Pembayaran PNBP Terutang melalui Instansi Pengelola PNBP atau Mitra Instansi Pengelola PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) dengan menggunakan dokumen atau sarana lain.
(2) Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
  1. Invoice; atau
  2. Dokumen pembayaran lain yang dipersamakan dengan invoice.
(3) Sarana lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain berupa billing yang dicetak dari sistem informasi yang dikelola oleh Kementerian Keuangan dan/atau sistem informasi yang dikembangkan Instansi Pengelola PNBP yang terintegrasi atau terkoneksi dengan sistem informasi yang dikelola oleh Kementerian Keuangan.
(4) Dokumen atau sarana lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) menjadi dasar pembayaran PNBP Terutang oleh Wajib Bayar.


Pasal 49


(1) Instansi Pengelola PNBP dan/atau Mitra Instansi Pengelola PNBP yang menerima pembayaran PNBP dari Wajib Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) wajib menyetorkan seluruh PNBP ke Kas Negara paling lambat :
  1. pada akhir hari kerja yang sama dalam hal pembayaran PNBP dari Wajib Bayar diterima sampai dengan pukul 12.00 waktu setempat; atau
  2. pada hari kerja berikutaya dalam hal pembayaran PNBP dari Wajib Bayar diterima setelah pukul 12.00 waktu setempat atau dalam hal diterima pada hari libur/hari yang diliburkan.
(2) Dalam kondisi tertentu, Instansi Pengelola PNBP dan/atau Mitra Instansi Pengelola PNBP dapat menyetorkan PNBP ke Kas Negara di luar jadwal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah  mendapatkan persetujuan Direktur Jenderal Perbendaharaan.
(3) Kondisi tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa:
  1. kondisi geografis yang tidak memungkinkan melakukan penyetoran setiap hari;
  2. biaya yang dibutuhkan untuk melakukan penyetoran PNBP lebih besar daripada penerimaan yang diperoleh;
  3.  komplikasi perhitungan PNBP yang berkaitan dengan hak dan kewajiban pihak lain; dan/atau
  4. rekomendasi hasil pengawasan PNBP, pemeriksaan PNBP dan/atau hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan.
(4) Tata cara pembayaran dan penyetoran PNBP pada Perwakilan Republik Indonesia, di luar negeri diatur dengan Peraturan Menteri tersendiri.


Pasal 50


(1) Dalam hal Pejabat Kuasa Pengelola PNBP atau pimpinan Mitra instansi Pengelola PNBP tidak dapat memberikan sebagian atau seluruh pelayanan setelah Wajib Bayar melakukan pembayaran PNBP Terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1), Pejabat Kuasa Pengelola PNBP atau pimpinan Mitra Instansi Pengelola PNBP menyampaikan surat pemberitahuan tidak dapat memberikan sebagian atau seluruh pelayanan kepada Wajib Bayar.
(2) Berdasarkan surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wajib Bayar dapat mengajukan pengembalian PNBP sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai keberatan, keringanan dan pengembalian PNBP.


Pasal 51


(1) Selain melalui mekanisme pembayaran dan penyetoran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 dan Pasal 45, terdapat mekanisme lain untuk pembayaran dan penyetoran PNBP.
(2) Mekanisme lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
  1. pemindahbukuan;
  2. potongan SPM;
  3. pencatatan jurnal akuntansi; atau
  4. perhitungan terlebih dahulu atas kewajiban Pemerintah sesuai kontrak dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan
(3) Mekanisme lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri tersendiri.


Paragraf 4
Monitoring atas Pembayaran dan Penyetoran PNBP Terutang
yang Dihitung oleh Instansi Pengelola PNBP atau Mitra
Instansi Pengelola PNBP

Pasal 52


(1) Dalam hal PNBP Terutang dihitung oleh Pejabat Kuasa Pengelola PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) atau pimpinan Mitra Instansi Pengelola PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35, Pejabat Kuasa Pengelola PNBP atau pimpinan Mitra Instansi Pengelola PNBP wajib melakukan monitoring atas pembayaran dan penyetoran PNBP Terutang.
(2) Monitoring sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
  1. monitoring atas pembayaran PNBP Terutang oleh Wajib Bayar langsung ke Kas Negara;
  2. monitoring atas pembayaran PNBP Terutang oleh Wajib Bayar melalui pimpinan Mitra Instansi Pengelola PNBP;
  3. monitoring atas pembayaran PNBP Terutang oleh Wajib Bayar melalui Bendahara Penerimaan;
  4. monitoring atas kesesuaian jumlah PNBP Terutang berdasarkan kontrak kerjasama dengan pembayaran; dan/atau
  5. monitoring atas terpenuhinya layanan PNBP utama oleh Instansi Pengelola PNBP atau Mitra Instansi Pengelola PNBP.
(3) Monitoring sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit berupa penelitian atas kesesuaian waktu, jenis dan tarif atas jenis PNBP, volume layanan/manfaat PNBP, dan jumlah nominal pembayaran PNBP.
(4) Dalam hal monitoring dilaksanakan oleh Pejabat Kuasa Pengelola PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1), periode dan mekanisme pelaksanaan monitoring dapat mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai tanggung jawab bendahara sebagai pengelola APBN.
(5) Pelaksanaan monitoring sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) dapat dilaksanakan dengan menggunakan sistem informasi Instansi Pengelola PNBP yang memiliki integrasi data dengan sistem informasi yang dikelola Kementerian Keuangan.


Paragraf 5
Verifikasi atas Pembayaran dan Penyetoran PNBP Terutang
yang Dihitung oleh Wajib Bayar

Pasal 53


(1) Pejabat Kuasa Pengelola PNBP atau pimpinan Mitra Instansi Pengelola PNBP wajib melakukan verifikasi atas pembayaran dan penyetoran PNBP Terutang yang dihitung oleh Wajib Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36.
(2) Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk menguji pemenuhan kewajiban pembayaran PNBP Terutang berdasarkan data yang dimiliki Pejabat Kuasa Pengelola PNBP atau pimpinan Mitra Instansi Pengelola PNBP, laporan dan/atau dokumen pendukung yang disampaikan oleh Wajib Bayar.
(3) Pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan terhadap:
  1. kesesuaian variabel pembentuk kewajiban PNBP;
  2. ketepatan waktu pembayaran;
  3. ketepatan nominal PNBP yang dibayarkan; dan/atau
  4. kebenaran data dukung.
(4) Pejabat Kuasa Pengelola PNBP atau pimpinan Mitra Instansi Pengelola PNBP dalam melaksanakan verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berwenang meminta laporan dan/atau dokumen pendukung kepada Wajib Bayar dalam hal:
  1. Wajib Bayar tidak menyampaikan laporan dan/atau dokumen pendukung; atau
  2. laporan dan/atau dokumen pendukung yang disampaikan Wajib Bayar tidak lengkap dan/atau tidak benar.
(5) Wajib Bayar harus menyampaikan laporan dan/atau dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (4) kepada Pejabat Kuasa Pengelola PNBP atau pimpinan Mitra instansi Pengelola PNBP paling lambat sesuai waktu yang ditetapkan oleh Pejabat Kuasa Pengelola PNBP atau pimpinan Mitra Instansi Pengelola PNBP.


Pasal 54


(1) Dalam hal Wajib Bayar tidak menyampaikan laporan dan/atau dokumen pendukung dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (5) atau menyampaikan laporan dan/atau dokumen pendukung yang tidak lengkap atau tidak benar, Pejabat Kuasa Pengelola PNBP dapat melakukan kebijakan yang meliputi:
  1. penundaan layanan;
  2. penghentian layanan; dan/atau
  3. permintaan penghentian layanan negara lainnya kepada instansi lain, termasuk namun tidak terbatas pada layanan kepabeanan dan cukai.
(2) Kebijakan yang dilakukan oleh Pejabat Kuasa Pengelola PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan kepada Direktorat Jenderal Anggaran sebagai bahan pengawasan atas pengelolaan PNBP dan sebagai bahan koordinasi untuk meminta penghentian layanan kepada instansi lainnya.


Pasal 55


Pejabat Kuasa Pengelola PNBP atau pimpinan Mitra Instansi Pengelola PNBP dapat melakukan verifikasi secara spesifik selain verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (3) dengan melakukan pengujian kebenaran data berupa:
  1. kebenaran data kualitas;
  2. kebenaran data kuantitas;
  3. data pembayaran PNBP; dan/atau
  4. data harga.


Pasal 56


(1) Dalam hal verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 dan verifikasi secara spesifik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 telah dilakukan dengan menggunakan sistem informasi, Pejabat Kuasa Pengelola PNBP atau pimpinan Mitra Instansi Pengelola PNBP memastikan keandalan sistem informasi dimaksud.
(2) Direktorat Jenderal Anggaran melakukan penilaian atas:
  1. ketersediaan fasilitas pertukaran data dengan sistem informasi yang dikelola Kementerian Keuangan; dan
  2. keandalan sistem informasi yang digunakan Pejabat Kuasa Pengelola PNBP atau pimpinan Mitra Instansi Pengelola PNBP dalam mendukung verifikasi pembayaran dan penyetoran PNBP.
(3) Penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Anggaran:
  1. sebelum sistem informasi digunakan oleh Pejabat Kuasa Pengelola PNBP atau pimpinan Mitra Instansi Pengelola PNBP; dan
  2. secara berkala sebagai evaluasi atas penggunaan sistem informasi.
(4) Penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) didasarkan pada hasil monitoring dan/atau pengawasan atas pelaksanaan PNBP pada Instansi Pengelola PNBP.
(5) Dalam hal berdasarkan penilaian Direktorat Jenderal Anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditemukan ketidakandalan pada sistem informasi, Pejabat Kuasa Pengelola PNBP atau pimpinan Mitra Instansi Pengelola PNBP melakukan penyempurnaan sistem informasi sesuai rekomendasi penilaian Direktorat Jenderal Anggaran yang disampaikan kepada Pejabat Kuasa Pengelola PNBP.
(6) Pembayaran dan penyetoran PNBP yang dilakukan sebelum sistem informasi hasil penyempurnaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dijalankan, Pejabat Kuasa Pengelola PNBP dan pimpinan Mitra Instansi Pengelola PNBP melaksanakan verifikasi dengan menggunakan metode dan jangka waktu sesuai rekomendasi penilaian Direktorat Jenderal Anggaran yang disampaikan kepada Pejabat Kuasa Pengelola PNBP.


Pasal 57


(1) Dalam hal Pimpinan Instansi Pengelola PNBP menunjuk Mitra Instansi Pengelola PNBP untuk melaksanakan sebagian tugas pengelolaan PNBP, Pejabat Kuasa Pengelola PNBP melakukan monitoring atas pelaksanaan verifikasi yang dilakukan oleh pimpinan Mitra Instansi Pengelola PNBP atas pembayaran dan penyetoran PNBP Terutang yang dihitung oleh Wajib Bayar.
(2) Dalam hal pimpinan Mitra instansi Pengelola PNBP menemukan indikasi pelanggaran ketentuan di bidang PNBP oleh Wajib Bayar pada saat melakukan verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pimpinan Mitra Instansi Pengelola PNBP wajib memberitahukan kepada Pejabat Kuasa Pengelola PNBP.


Bagian Kelima
Tata Cara Penetapan PNBP Terutang

Paragraf 1
Penetapan PNBP Kurang Bayar

Pasal 58


(1) Dalam hal terjadi kurang bayar PNBP Terutang, Pejabat Kuasa Pengelola PNBP atau pimpinan Mitra Instansi Pengelola PNBP menetapkan PNBP Terutang berdasarkan:
  1. hasil monitoring oleh Instansi Pengelola PNBP atau Mitra Instansi Pengelola PNBP;
  2. hasil verifikasi oleh instansi Pengelola PNBP atau Mitra Instansi Pengelola PNBP;
  3. laporan hasil pemeriksaan terhadap Wajib Bayar;
  4. putusan peradilan tata usaha negara yang berkekuatan hukum tetap;
  5. putusan peradilan selain peradilan tata usaha negara yang berkekuatan hukum tetap; dan/atau
  6. sumber lainnya.
(2) Sumber lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f dapat berupa:
  1. laporan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan;
  2. hasil pengawasan Direktorat Jenderal Anggaran yang merekomendasikan penagihan PNBP Terutang;
  3. hasil pengawasan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah;
  4. putusan tuntutan ganti rugi non bendahara; dan/atau
  5. dokumen/laporan/informasi tertulis lainnya sesuai peraturan perundang-undangan.
(3) Dokumen yang menjadi dasar penetapan PNBP Terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dihasilkan dari sistem informasi.
(4) Dalam hal terdapat perbedaan nilai penetapan PNBP Terutang antara dua atau lebih dasar penetapan PNBP Terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pejabat Kuasa Pengelola PNBP atau pimpinan Mitra Instansi Pengelola PNBP melakukan evaluasi dasar penetapan PNBP Terutang sebelum menetapkan PNBP Terutang.


Pasal 59


(1) Penetapan PNBP Terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) diterbitkan dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) tahun sejak saat terutangnya PNBP.
(2) Penetapan PNBP Terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap dapat diterbitkan setelah jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) tahun, dalam hal Wajib Bayar melakukan tindak pidana di bidang PNBP.
(3) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jatuh pada hari libur/hari yang diliburkan, penetapan PNBP Terutang dilaksanakan selambat-lambatnya pada hari kerja terakhir sebelum hari libur nasional.


Paragraf 2
Penetapan PNBP Kurang Bayar Berdasarkan Hasil Monitoring
dan/atau Hasil Verifikasi

Pasal 60


(1) Dalam hal berdasarkan hasil monitoring dan/atau hasil verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) huruf a dan huruf b terdapat adanya PNBP Kurang Bayar, Pejabat Kuasa Pengelola PNBP atau pimpinan Mitra Instansi Pengelola PNBP menetapkan PNBP Terutang dengan menerbitkan dan menyampaikan Surat Tagihan PNBP kepada Wajib Bayar dan mencatat sebagai Piutang PNBP sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Besaran nominal PNBP Kurang Bayar dalam Surat Tagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah memperhitungkan sanksi administratif.


Paragraf 3
Penetapan PNBP Kurang Bayar Berdasarkan Laporan Hasil
Pemeriksaan PNBP terhadap Wajib Bayar

Pasal 61


(1) Dalam hal berdasarkan laporan hasil pemeriksaan PNBP terhadap Wajib Bayar sesuai ketentuan perundang-undangan mengenai pemeriksaan PNBP terdapat PNBP Kurang Bayar, Pejabat Kuasa Pengelola PNBP menetapkan PNBP Terutang dengan menerbitkan dan menyampaikan Surat Ketetapan PNBP Kurang Bayar dan Surat Tagihan PNBP kepada Wajib Bayar dan mencatat sebagai Piutang PNBP sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Besaran nominal PNBP Kurang Bayar dalam laporan hasil pemeriksaan, Surat Ketetapan PNBP Kurang Bayar, dan Surat Tagihan PNBP kepada Wajib Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah memperhitungkan sanksi administratif.
(3) Surat Ketetapan PNBP Kurang Bayar dan Surat Tagihan PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi:
  1. nilai nominal PNBP yang kurang dibayar sebagaimana dimaksud pada ayat (2); dan
  2. batas waktu pembayaran.


Pasal 62


(1) Dalam hal berdasarkan laporan hasil pemeriksaan PNBP terhadap Wajib Bayar sesuai ketentuan perundang-undangan mengenai pemeriksaan PNBP terdapat PNBP Kurang Bayar yang dihitung secara jabatan, Pejabat Kuasa Pengelola PNBP menetapkan PNBP Kurang Bayar dengan menerbitkan dan menyampaikan Surat Ketetapan PNBP Kurang Bayar dan Surat Tagihan PNBP kepada Wajib Bayar dan mencatat sebagai Piutang PNBP sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Surat Ketetapan PNBP Kurang Bayar dan Surat Tagihan PNBP kepada Wajib Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah memperhitungkan sanksi administratif berupa denda sebesar 2 (dua) kali jumlah PNBP Terutang yang tidak dibayar atau kurang bayar.
(3) Dalam hal Wajib Bayar tidak melunasi PNBP Kurang Bayar dalam batas waktu pembayaran sebagaimana tercantum dalam Surat Tagihan PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikenakan sanksi administratif.


Pasal 63


(1) Dalam hal Pimpinan Instansi Pengelola PNBP menunjuk Mitra Instansi Pengelola PNBP untuk melaksanakan penetapan PNBP Terutang, Pejabat Kuasa Pengelola PNBP meneruskan laporan hasil pemeriksaan PNBP terhadap Wajib Bayar kepada Mitra instansi Pengelola PNBP.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 dan Pasal 62 berlaku secara mutatis mutandis terhadap pimpinan Mitra Instansi Pengelola PNBP.


Paragraf 4
Penetapan PNBP Kurang Bayar Berdasarkan Putusan
Peradilan

Pasal 64


(1) Dalam hal terdapat putusan peradilan tata usaha negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) huruf d yang menetapkan adanya jumlah PNBP Terutang kurang bayar oleh Wajib Bayar, Pejabat Kuasa Pengelola PNBP menetapkan PNBP Terutang dengan menerbitkan dan menyampaikan Surat Tagihan PNBP kepada Wajib Bayar serta mencatatnya sebagai piutang PNBP sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Dalam hal terdapat putusan peradilan tata usaha negara sebagaimana dimaksud, dalam Pasal 58 ayat (1) huruf d yang menguatkan Surat Tagihan PNBP kurang bayar yang diterbitkan oleh Pejabat Kuasa Pengelola PNBP, Pejabat Kuasa Pengelola PNBP menetapkan PNBP Terutang dengan menerbitkan dan menyampaikan kembali Surat Tagihan PNBP kepada Wajib Bayar serta mencatatnya sebagai piutang PNBP sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Besaran nominal PNBP Kurang Bayar dalam Surat Tagihan PNBP kepada Wajib Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah memperhitungkan sanksi administratif berupa denda sebesar 2% (dua persen) per bulan dari jumlah PNBP Terutang dan bagian dari bulan dihitung satu bulan penuh terhitung sejak tanggal jatuh tempo semula.
(4) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenakan untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.
(5) Dalam hal terdapat putusan peradilan selain putusan peradilan tata usaha negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) huruf e yang menetapkan adanya jumlah PNBP Terutang kurang bayar oleh Wajib Bayar, mekanisme penetapan dan penagihan PNBP Kurang Bayar oleh Pejabat Kuasa Pengelola PNBP dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(6) Dalam hal penetapan dan penagihan PNBP Terutang atas pelaksanaan putusan peradilan dilaksanakan sesuai hasil kesepakatan eksekusi yang dilaksanakan berdasarkan hukum acara perdata, proses penetapan penagihan dimaksud mengikuti proses negosiasi terkait pelaksanaan putusan eksekusi.
(7) Contoh perhitungan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) tercantum dalam Lampiran Huruf K yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.


Pasal 65


(1) Dalam hal Pimpinan Instansi Pengelola PNBP menunjuk Mitra Instansi Pengelola PNBP untuk melaksanakan penetapan PNBP Terutang, Pejabat Kuasa Pengelola PNBP meneruskan putusan pengadilan tata usaha negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) huruf d kepada Mitra Instansi Pengelola PNBP.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 berlaku secara mutatis mutandis terhadap pimpinan Mitra Instansi Pengelola PNBP.


Paragraf 5
Penetapan PNBP Kurang Bayar Berdasarkan Sumber Lainnya

Pasal 66


(1) Dalam hal berdasarkan sumber lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (2) terdapat PNBP Kurang Bayar, Pejabat Kuasa Pengelola PNBP menetapkan PNBP Terutang dengan menerbitkan dan menyampaikan Surat Tagihan PNBP kepada Wajib Bayar dan mencatatnya sebagai Piutang PNBP sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Besaran nominal PNBP Kurang Bayar dalam Surat Tagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah memperhitungkan sanksi administratif.


Pasal 67


(1) Dalam hal Pimpinan Instansi Pengelola PNBP menunjuk Mitra Instansi Pengelola PNBP untuk melaksanakan penetapan PNBP Terutang, Pejabat Kuasa Pengelola PNBP meneruskan sumber lainnya kepada Mitra Instansi Pengelola PNBP.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 berlaku secara mutatis mutandis terhadap pimpinan Mitra Instansi Pengelola PNBP.


Paragraf 6
Penetapan PNBP Lebih Bayar Berdasarkan Laporan Hasil
Pemeriksaan PNBP terhadap Wajib Bayar

Pasal 68


(1) Dalam hal berdasarkan laporan hasil pemeriksaan terhadap Wajib Bayar sesuai ketentuan perundang-undangan mengenai pemeriksaan PNBP terdapat adanya PNBP lebih bayar, Pejabat Kuasa Pengelola PNBP wajib menerbitkan Surat Ketetapan PNBP Lebih Bayar dan menyampaikan surat pemberitahuan besaran PNBP lebih bayar kepada Wajib Bayar paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah laporan hasil pemeriksaan diterima dan melakukan pencatatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Berdasarkan Surat Ketetapan PNBP Lebih Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wajib Bayar dapat mengajukan permohonan pengembalian sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai tata cara pengajuan dan penyelesaian keberatan, keringanan, dan pengembalian PNBP.


Pasal 69


(1) Dalam hal Pimpinan Instansi Pengelola PNBP menunjuk Mitra Instansi Pengelola PNBP untuk melaksanakan penetapan PNBP Lebih Bayar, Pejabat Kuasa Pengelola PNBP meneruskan laporan hasil pemeriksaan PNBP terhadap Wajib Bayar kepada Mitra. Instansi Pengelola PNBP.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 berlaku secara mutatis mutandis terhadap pimpinan Mitra Instansi Pengelola PNBP.


Paragraf 7
Penetapan PNBP Lebih Bayar Berdasarkan Hasil Monitoring,
Hasil Verifikasi, atau Sumber Lainnya

Pasal 70


(1) Dalam hal berdasarkan hasil monitoring, hasil verifikasi atau sumber lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf f terdapat adanya PNBP lebih bayar, Pejabat Kuasa Pengelola PNBP atau pimpinan Mitra Instansi Pengelola PNBP wajib menindaklanjuti dengan:
  1. menerbitkan surat pemberitahuan besaran PNBP lebih bayar kepada Wajib Bayar paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah diterimanya hasil monitoring atau hasil verifikasi atau sumber lainnya; dan
  2. melakukan pencatatan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
(2) Berdasarkan surat pemberitahuan PNBP lebih bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wajib Bayar dapat mengajukan permohonan pengembalian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai tata cara pengajuan dan penyelesaian keberatan, keringanan, dan pengembalian PNBP.


Paragraf 8
Penetapan PNBP Lebih Bayar Berdasarkan Putusan Peradilan

Pasal 71


(1) Dalam hal berdasarkan putusan peradilan tata usaha negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) huruf d terdapat adanya PNBP lebih bayar, Pejabat Kuasa Pengelola PNBP menindaklanjuti dengan menerbitkan surat pemberitahuan besaran PNBP lebih bayar kepada Wajib Bayar paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah putusan peradilan diterima dan melakukan pencatatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Berdasarkan surat pemberitahuan PNBP Lebih Bayar sebagaimana dimaksud pada, ayat (1) Wajib Bayar dapat mengajukan permohonan pengembalian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai tata cara pengajuan dan penyelesaian keberatan, keringanan, dan pengembalian PNBP.


Pasal 72


(1) Dalam hal Pimpinan Instansi Pengelola PNBP menunjuk Mitra Instansi Pengelola PNBP untuk melaksanakan penetapan PNBP Lebih Bayar berdasarkan putusan peradilan tata, usaha negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) huruf d, Pejabat Kuasa Pengelola PNBP meneruskan putusan peradilan tata usaha negara kepada Mitra Instansi Pengelola PNBP.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 berlaku secara mutatis mutandis terhadap pimpinan Mitra Instansi Pengelola PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1).


Pasal 73


Dalam hal terdapat putusan peradilan selain putusan peradilan tata usaha negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) huruf e yang menetapkan adanya jumlah PNBP yang lebih dibayar, mekanisme pemberitahuan PNBP lebih bayar oleh Pejabat Kuasa Pengelola PNBP atau pimpinan Mitra Instansi Pengelola PNBP dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Paragraf 9
Penetapan PNBP Nihil Berdasarkan Laporan Hasil
Pemeriksaan

Pasal 74


Dalam hal berdasarkan laporan hasil pemeriksaan PNBP terhadap Wajib Bayar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pemeriksaan PNBP tidak terdapat PNBP Kurang Bayar dan PNBP lebih bayar, Pejabat Kuasa Pengelola PNBP wajib menerbitkan Surat Ketetapan PNBP Nihil dan menyampaikan surat pemberitahuan kepada Wajib Bayar paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah laporan hasil pemeriksaan PNBP diterima.


Pasal 75


(1) Dalam hal Pimpinan Instansi Pengelola PNBP menunjuk Mitra Instansi Pengelola PNBP untuk melaksanakan penetapan PNBP Nihil, Pejabat Kuasa Pengelola PNBP meneruskan laporan hasil pemeriksaan PNBP terhadap Wajib Bayar kepada Mitra Instansi Pengelola PNBP.
(2) Berdasarkan laporan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pimpinan Mitra Instansi Pengelola PNBP menerbitkan Surat Ketetapan PNBP Nihil dan menyampaikan surat pemberitahuan kepada Wajib Bayar paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah laporan hasil pemeriksaan PNBP diterima.


Bagian Keenam
Tata Cara Penagihan PNBP Terutang

Paragraf 1
Mekanisme Penerbitan Surat Tagihan PNBP Terutang
Berdasarkan Hasil Monitoring, Hasil Verifikasi, dan Sumber
Lainnya

Pasal 76


(1) Surat Tagihan PNBP berdasarkan hasil monitoring atau hasil verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60  ayat (1) dan berdasarkan sumber lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) terdiri atas:
  1. Surat Tagihan PNBP pertama;
  2. Surat Tagihan PNBP kedua; dan/atau
  3. Surat Tagihan PNBP ketiga.
(2) Contoh Surat Tagihan PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran Huruf K yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.


Pasal 77


(1) Surat Tagihan PNBP pertama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1) huruf a diterbitkan oleh Pejabat Kuasa Pengelola PNBP atau pimpinan Mitra Instansi Pengelola PNBP paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak hasil monitoring, hasil verifikasi atau sumber lainnya diterima.
(2) Surat Tagihan PNBP Pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat informasi berupa:
  1. identitas Wajib Bayar;
  2. nilai nominal pokok PNBP yang kurang dibayar;
  3. batas waktu pembayaran;
  4. besaran denda atas pokok PNBP yang kurang dibayar dihitung dari 1 (satu) hari setelah jatuh tempo pembayaran sampai dengan terbitnya Surat Tagihan PNBP pertama; dan
  5. besaran tambahan denda atas pokok PNBP yang kurang dibayar sesuai periode masa berlakunya Surat Tagihan PNBP pertama;
  6. kode tagihan.
 

Pasal 78


(1) Dalam hal Wajib Bayar tidak melunasi seluruh atau sebagian PNBP Terutang dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal Surat Tagihan PNBP pertama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1), Pejabat Kuasa Pengelola PNBP atau pimpinan Mitra Instansi Pengelola PNBP menerbitkan dan menyampaikan Surat Tagihan PNBP kedua kepada Wajib Bayar paling lambat pada hari kerja berikutnya setelah jangka waktu 1 (satu) bulan berakhir.
(2) Surat Tagihan PNBP kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat informasi berupa:
  1. identitas Wajib Bayar;
  2. nilai nominal pokok PNBP yang kurang dibayar;
  3. batas waktu pembayaran;
  4. besaran denda atas pokok PNBP yang kurang dibayar dihitung dari 1 (satu) hari setelah jatuh tempo pembayaran sampai dengan terbitnya Surat Tagihan PNBP kedua;
  5. tambahan besaran denda atas pokok PNBP yang kurang dibayar sesuai periode masa berlakunya Surat Tagihan kedua; dan
  6. kode tagihan.


Pasal 79


(1) Dalam hal Wajib Bayar tidak melunasi seluruh atau sebagian PNBP Terutang dalam jangka waktu 2 (dua) bulan sejak tanggal Surat Tagihan PNBP kedua sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (1), Pejabat Kuasa Pengelola PNBP atau pimpinan Mitra Instansi Pengelola PNBP menerbitkan dan menyampaikan Surat Tagihan PNBP ketiga kepada Wajib Bayar selambat-lambatnya pada hari kerja berikutnya setelah jangka waktu 2 (dua) bulan berakhir.
(2) Surat Tagihan PNBP ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat informasi berupa:
  1. identitas Wajib Bayar;
  2. nilai nominal pokok PNBP yang kurang dibayar;
  3. batas waktu pembayaran;
  4. besaran denda atas pokok PNBP yang kurang dibayar dihitung dari 1 (satu) hari setelah jatuh tempo pembayaran sampai dengan terbitnya Surat Tagihan PNBP ketiga;
  5. tambahan besaran denda atas pokok PNBP yang kurang dibayar sesuai periode masa berlakunya Surat Tagihan ketiga; dan
  6. kode tagihan.


Pasal 80


(1) Dalam hal Wajib Bayar tidak melunasi seluruh atau sebagian PNBP Terutang dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal Surat Tagihan PNBP ketiga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (1):
  1. Pejabat Kuasa Pengelola PNBP menerbitkan surat penyerahan tagihan PNBP kepada instansi yang berwenang mengurus piutang negara untuk diproses sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang piutang negara paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja berikutnya setelah jangka waktu 3 (tiga) bulan berakhir; atau
  2. pimpinan Mitra Instansi Pengelola PNBP menerbitkan surat penerusan tagihan PNBP kepada Instansi Pengelola PNBP paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja berikutnya setelah jangka waktu 3 (tiga) bulan berakhir.
(2) Berdasarkan surat penerusan tagihan PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, Pejabat Kuasa Pengelola PNBP menerbitkan surat penyerahan tagihan PNBP kepada instansi yang berwenang mengurus piutang negara untuk diproses sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang piutang negara paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja berikutnya setelah diterimanya surat penerusan tagihan PNBP.
(3) Surat penyerahan tagihan PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf (a) dan ayat (2) memuat informasi sebagaimana diatur dalam ketentuan perundang-undangan mengenai pengurusan piutang negara yang paling sedikit berupa :
  1. identitas Wajib Bayar;
  2. nilai nominal pokok PNBP yang kurang dibayar; dan
  3. besaran denda atas pokok PNBP yang kurang dibayar dihitung dari 1 (satu) hari setelah jatuh tempo pembayaran sampai dengan 3 (tiga) bulan sejak tanggal surat tagihan ketiga.
(4) Besaran denda atas pokok PNBP yang kurang dibayar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c merupakan nilai maksimal yang tercantum dalam surat penyerahan tagihan PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(5) PNBP Terutang yang telah diserahkan kepada instansi yang berwenang mengurus piutang negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tetap dicatat sebagai piutang PNBP pada Instansi Pengelola PNBP berdasarkan besaran PNBP pada saat diserahkan kepada instansi yang berwenang mengurus piutang negara sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(6) PNBP Terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diungkapkan secara memadai dalam catatan atas laporan keuangan.


Paragraf 2
Mekanisme Penerbitan Surat Tagihan PNBP Terutang
Berdasarkan Putusan Peradilan Tata Usaha Negara

Pasal 81


(1) Pejabat Kuasa Pengelola PNBP atau pimpinan Mitra Instansi Pengelola PNBP menerbitkan Surat Tagihan PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1) paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak putusan peradilan tata usaha negara diterima.
(2) Surat Tagihan PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat informasi berupa:
  1. identitas Wajib Bayar;
  2. nilai nominal pokok PNBP yang kurang dibayar;
  3. batas waktu pembayaran;
  4. besaran denda atas pokok PNBP yang kurang dibayar dihitung dari 1 (satu) hari setelah jatuh tempo pembayaran sampai dengan terbitnya Surat Tagihan PNBP;
  5. besaran tambahan denda atas pokok PNBP yang kurang dibayar sesuai periode masa berlakunya Surat Tagihan PNBP; dan
  6. kode tagihan.
(3) Wajib Bayar harus membayar PNBP Terutang paling lambat 1 (satu) bulan sejak tanggal Surat Tagihan PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sepanjang tidak ditentukan lain berdasarkan putusan peradilan tata usaha negara.
(4) Contoh Surat Tagihan PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran Huruf K yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.


Pasal 82


(1) Dalam hal Wajib Bayar tidak melunasi seluruh atau sebagian PNBP Terutang dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal Surat Tagihan PNBP diterbitkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (3):
  1. Pejabat Kuasa Pengelola PNBP menerbitkan surat penyerahan tagihan PNBP kepada instansi yang berwenang mengurus piutang negara untuk diproses sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang piutang negara paling lama 10 (sepuluh) hari kerja berikutnya setelah jangka waktu 1 (satu) bulan berakhir; atau
  2. pimpinan Mitra Instansi Pengelola PNBP menerbitkan surat penerusan tagihan PNBP kepada Instansi Pengelola PNBP paling lama 10 (sepuluh) hari kerja berikutnya setelah jangka waktu 1 (satu) bulan berakhir.
(2) Berdasarkan surat penerusan tagihan PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b Pejabat Kuasa Pengelola PNBP menerbitkan surat penyerahan tagihan PNBP kepada instansi yang berwenang mengurus piutang negara untuk diproses sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang piutang negara paling lama 10 (sepuluh) hari kerja berikutnya setelah diterimanya surat penerusan tagihan PNBP.
(3) Besaran nominal PNBP Terutang yang diserahkan sebagaimana dimaksud, pada ayat (1) huruf a dan ayat (2) merupakan nilai maksimal yang tercantum dalam lampiran Surat Tagihan PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (2).
(4) PNBP Terutang yang telah diserahkan kepada instansi yang berwenang mengurus piutang negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan ayat (2) tetap dicatat sebagai piutang PNBP pada instansi Pengelola PNBP berdasarkan besaran PNBP pada saat diserahkan kepada instansi yang berwenang mengurus piutang negara.
(5) PNBP Terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diungkapkan secara memadai dalam catatan atas laporan keuangan.


Paragraf 3
Mekanisme Penerbitan Surat Tagihan PNBP Terutang
Berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan PNBP terhadap
Wajib Bayar

Pasal 83


(1) Surat Ketetapan PNBP kurang bayar dan Surat Tagihan PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1) atau Pasal 63 diterbitkan oleh Pejabat Kuasa Pengelola PNBP atau pimpinan Mitra Instansi Pengelola PNBP paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak laporan hasil pemeriksaan PNBP diterima.
(2) Contoh Surat Tagihan PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran Huruf K yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.


Pasal 84


(1) Dalam hal Wajib Bayar tidak melunasi seluruh atau sebagian PNBP Terutang dan tidak mengajukan keberatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai tata cara pengajuan dan penyelesaian keberatan, keringanan, dan pengembalian PNBP dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal Surat Ketetapan PNBP Kurang Bayar dan Surat Tagihan PNBP diterbitkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83:
  1. Pejabat Kuasa Pengelola PNBP menerbitkan surat penyerahan tagihan PNBP kepada instansi yang berwenang mengurus piutang negara untuk diproses sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai piutang negara paling lama 10 (sepuluh) hari kerja berikutnya setelah jangka waktu 3 (tiga) bulan berakhir; atau
  2. pimpinan Mitra Instansi Pengelola PNBP menerbitkan surat penerusan tagihan PNBP kepada Instansi Pengelola PNBP paling lama 10 (sepuluh) hari kerja berikutnya setelah jangka waktu 3 (tiga) bulan berakhir.
(2) Berdasarkan surat penerusan tagihan PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, Pejabat Kuasa Pengelola PNBP menerbitkan surat penyerahan tagihan PNBP kepada instansi yang berwenang mengurus piutang negara untuk diproses sesuai dengan ketentuan peraturan pemndang-undangan di bidang piutang negara paling lama 10 (sepuluh) hari kerja berikutnya setelah diterimanya surat penerusan tagihan PNBP.
(3) Besaran nominal PNBP Terutang yang diserahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan ayat (2) merupakan nilai maksimal yang tercantum dalam lampiran Surat Tagihan PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83.
(4) PNBP Terutang yang telah diserahkan kepada instansi yang berwenang mengurus piutang negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan ayat (2) tetap dicatat sebagai piutang PNBP pada Instansi Pengelola PNBP berdasarkan besaran PNBP pada saat, diserahkan kepada instansi yang berwenang mengurus piutang negara.
(5) PNBP Terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diungkapkan secara memadai dalam catatan atas laporan keuangan.


Paragraf 4
Optimalisasi Penagihan Piutang PNBP dan Penyelesaian PNBP
Terutang yang Tidak Dapat Diserahkan atau Ditolak oleh
Instansi yang Berwenang Mengurus Piutang Negara

Pasal 85


(1) Penagihan secara tertulis oleh Pejabat Kuasa Pengelola PNBP atau pimpinan Mitra Instansi Pengelola PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76, Pasal 81, dan Pasal 83 dilaksanakan secara simultan dengan upaya penagihan melalui kegiatan optimalisasi penagihan piutang PNBP.
(2) Upaya penagihan melalui kegiatan optimalisasi penagihan piutang PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sebelum diserahkan kepada instansi yang berwenang mengurus piutang negara.
(3) Kegiatan optimalisasi penagihan piutang PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
a. memperkuat pemeliharaan data Wajib Bayar yang mempunyai utang PNBP;
b. meningkatkan upaya pemantauan dan penilaian PNBP Terutang kepada Wajib Bayar yang akan jatuh tempo;
c. melakukan kerja sama penagihan dan/atau koordinasi dalam rangka penghentian layanan dengan pihak ketiga yang dapat berupa:
1) aparat penegak hukum;
2) Direktorat Jenderal Kekayaan Negara;
3) Direktorat Jenderal Anggaran;
4) Direktorat Jenderal Pajak;
5) Direktorat Jenderal Bea dan Cukai;
6) Direktorat Jenderal Imigrasi;
7) Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum;
8) Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri; dan/atau
9) pihak ketiga lainnya;
d. crash program penyelesaian piutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang piutang negara;
e. melaksanakan analisis umur piutang;
f. menyiapkan rencana atau pilihan pembayaran untuk Wajib Bayar; dan/atau
g. memberikan himbauan Wajib Bayar untuk melunasi PNBP Terutang.
(4) Penjelasan mengenai optimalisasi penagihan Piutang PNBP tercantum dalam Lampiran Huruf L yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.


Pasal 86


(1) Dalam hal PNBP Terutang tidak dapat diserahkan atau ditolak oleh instansi yang berwenang mengurus piutang negara, Instansi Pengelola PNBP melanjutkan upaya penagihan dengan kegiatan optimalisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85.
(2) Besaran PNBP Terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah memperhitungkan sanksi administratif.
(3) Dalam hal setelah dilakukan upaya penagihan dengan kegiatan optimalisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 masih terdapat sisa PNBP Terutang, Instansi Pengelola PNBP menindaklanjuti dengan penyelesaian piutang negara yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di bidang pengelolaan piutang negara.


Paragraf 5
Mekanisme Koreksi atas Surat Tagihan PNBP

Pasal 87


(1) Dalam hal Wajib Bayar tidak setuju atas Surat Tagihan PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 dan Pasal 81, Wajib Bayar dapat mengajukan permohonan koreksi terhadap Surat Tagihan PNBP secara tertulis kepada Pejabat Kuasa Pengelola PNBP atau pimpinan Mitra Instansi Pengelola PNBP.
(2) Koreksi terhadap Surat Tagihan PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
  1. koreksi administratif atas Surat Tagihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 dan Pasal 81.
  2. koreksi substantif atas Surat Tagihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76.
(3) Batas waktu pengajuan koreksi administratif oleh Wajib Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sebelum diterbitkannya surat penyerahan tagihan PNBP kepada instansi yang berwenang mengurus piutang negara.
(4) Batas waktu pengajuan koreksi substantif oleh Wajib Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sebelum diterbitkannya surat penyerahan tagihan PNBP kepada instansi yang berwenang mengurus piutang negara.


Pasal 88


(1) Dalam hal terdapat perbedaan antara Surat Tagihan PNBP dan Surat Ketetapan PNBP Terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 yang bersifat administratif, Wajib Bayar dapat mengajukan pembetulan Surat Tagihan PNBP secara tertulis kepada Pejabat Kuasa Pengelola PNBP atau pimpinan Mitra Instansi Pengelola PNBP.
(2) Dalam hal Wajib Bayar tidak setuju atas Surat Tagihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83, Wajib Bayar dapat mengajukan keberatan PNBP sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai tata cara pengajuan dan penyelesaian keberatan, keringanan, dan pengembalian PNBP.


Paragraf 6
Pengajuan Koreksi oleh Wajib Bayar

Pasal 89


(1) Pengajuan permohonan koreksi terhadap Surat Tagihan PNBP oleh Wajib Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1) harus dilengkapi dengan dokumen pendukung paling sedikit berupa:
  1. surat permohonan secara tertulis; dan
  2. kopi Surat Tagihan PNBP.
(2) Dalam hal Wajib Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa badan usaha, pengajuan permohonan koreksi Surat Tagihan PNBP ditandatangani oleh pimpinan badan usaha.
(3) Wajib Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat menunjuk kuasa kepada pihak yang dikuasakan dalam pengajuan koreksi Surat Tagihan PNBP berdasarkan surat kuasa yang ditandatangani pimpinan badan usaha.
(4) Dalam hal Wajib Bayar berupa badan usaha telah dinyatakan pailit, pengajuan koreksi Surat Tagihan PNBP dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Dalam hal Wajib Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa orang pribadi telah meninggal dunia, pengajuan permohonan koreksi Surat Tagihan PNBP dapat dilakukan oleh ahli waris atau pihak lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 90


(1) Koreksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (2) huruf a merupakan kesalahan tulis yang dapat berupa kesalahan:
  1. penulisan identitas Wajib Bayar;
  2. jenis PNBP;
  3. kode akun;
  4. periode bayar;
  5. pencantuman jumlah nominal tagihan; dan/atau
  6. informasi administratif lainnya di dalam Surat Tagihan PNBP.
(2) Koreksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan terhadap Surat Tagihan atas PNBP Terutang yang ditetapkan oleh Pejabat Kuasa Pengelola PNBP atau pimpinan Mitra Instansi Pengelola PNBP.
(3) Pengajuan koreksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit dilengkapi dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (1) dan penjelasan atas bagian Surat Tagihan PNBP yang dimintakan koreksi.
(4) Pengajuan koreksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak memperpanjang waktu pemenuhan kewajiban pembayaran PNBP Terutang dalam Surat Tagihan PNBP.
(5) Dalam hal Wajib Bayar telah melakukan pembayaran paling sedikit sejumlah PNBP Terutang berdasarkan hasil perhitungan PNBP Terutang menurut Wajib Bayar pada saat pengajuan koreksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), perhitungan denda tidak dikenakan atas nilai PNBP Terutang yang telah dibayar.


Pasal 91


(1) Koreksi substantif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (2) huruf b merupakan kesalahan perhitungan yang dapat berupa kesalahan matematis perhitungan dan/atau formula.
(2) Pengajuan koreksi substantif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit dilengkapi dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (1) dan penjelasan atas bagian Surat Tagihan PNBP yang dimintakan koreksi.
(3) Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa:
  1. bagian Surat Tagihan PNBP yang dimintakan koreksi;
  2. metode perhitungan PNBP Terutang;
  3. hasil perhitungan PNBP Terutang menurut Wajib Bayar; dan/atau
  4. dokumen lain yang relevan dengan perhitungan PNBP Terutang.
(4) Pengajuan koreksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak memperpanjang waktu pemenuhan kewajiban pembayaran PNBP Terutang dalam Surat Tagihan PNBP.
(5) Dalam hal Wajib Bayar telah melakukan pembayaran paling sedikit sejumlah PNBP Terutang berdasarkan hasil perhitungan PNBP Terutang menurut Wajib Bayar pada saat pengajuan koreksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), perhitungan denda tidak dikenakan atas nilai PNBP Terutang yang telah dibayar.


Pasal 92


(1) Dalam hal menurut Wajib Bayar terdapat kesalahan administratif dan kesalahan substantif Wajib Bayar dapat mengajukan permohonan koreksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (2) huruf a bersamaan dengan permohonan koreksi substantif.
(2) Penyelesaian atas pengajuan permohonan koreksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan bersamaan dengan penyelesaian koreksi substantif.


Pasal 93


Pengajuan permohonan koreksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 dapat dilakukan dengan menggunakan sistem informasi.


Paragraf 7
Penyelesaian Koreksi Administratif oleh Instansi Pengelola
PNBP atau Mitra Instansi Pengelola PNBP

Pasal 94


(1) Pejabat Kuasa Pengelola PNBP atau pimpinan Mitra instansi Pengelola PNBP meneliti permohonan koreksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (2) huruf a dengan melakukan pengecekan dan penyandingan dokumen yang disampaikan Wajib Bayar dengan data yang dimiliki Instansi Pengelola PNBP atau Mitra Instansi Pengelola PNBP.
(2) Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pejabat Kuasa Pengelola PNBP atau pimpinan Mitra Instansi Pengelola PNBP dalam waktu paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah permohonan diterima secara lengkap dan benar menerbitkan:
  1. surat persetujuan beserta koreksi Surat Tagihan PNBP kepada Wajib Bayar; atau
  2. surat penolakan yang menegaskan Surat Tagihan PNBP kepada Wajib Bayar.


Paragraf 8
Penyelesaian Koreksi Substantif oleh Mitra Instansi Pengelola
PNBP

Pasal 95


(1) Pimpinan Mitra Instansi Pengelola PNBP meneliti permohonan koreksi substantif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (2) huruf b dengari melakukan pengecekan dan penyandingan dokumen yang disampaikan Wajib Bayar dengan data yang dimiliki oleh Mitra Instansi Pengelola PNBP.
(2) Dalam rangka penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pimpinan Mitra Instansi Pengelola PNBP dapat meminta tambahan dokumen, data atau keterangan yang relevan dengan permohonan koreksi substantif yang diajukan Wajib Bayar.
(3) Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pimpinan Mitra Instansi Pengelola PNBP dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah permohonan diterima secara lengkap dan benar menerbitkan:
  1. surat persetujuan beserta koreksi Surat Tagihan; atau
  2. surat penolakan yang menegaskan Surat Tagihan kepada Wajib Bayar.
(4) Dalam hal koreksi substantif mengakibatkan nilai tagihan PNBP berkurang melebihi Rp200.000,000,00 (dua ratus juta rupiah) atau memenuhi kriteria tertentu, pimpinan Mitra Instansi Pengelola PNBP terlebih dahulu meminta pertimbangan Pejabat Kuasa Pengelola PNBP.
(5) Kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat berupa kekhususan karakteristik PNBP yang diatur oleh Instansi Pengelola PNBP.


Pasal 96


(1) Dalam rangka penyelesaian koreksi substantif sebagaimana dimaksud dalam pasal 95 ayat (4), pimpinan Mitra Instansi Pengelola PNBP meminta pertimbangan atas penyelesaian koreksi substantif kepada Pejabat Kuasa Pengelola PNBP paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak permohonan koreksi diterima secara lengkap dan benar.
(2) Berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pimpinan Mitra instansi Pengelola PNBP dalam waktu paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah pertimbangan diterima menerbitkan:
  1. surat persetujuan beserta koreksi Surat Tagihan kepada Wajib Bayar; atau
  2. surat penolakan yang menegaskan Surat Tagihan kepada Wajib Bayar.
  

Paragraf 9
Pemberian Pertimbangan kepada Mitra Instansi Pengelola
PNBP dan Penyelesaian Koreksi Substantif oleh Instansi
Pengelola PNBP

Pasal 97

 
(1) Dalam rangka penyelesaian permohonan koreksi substantif yang diajukan Wajib Buyar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (2) huruf b atau permohonan pertimbangan atas penyelesaian koreksi substantif oleh pimpinan Mitra Instansi Pengelola PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat (1), Pejabat Kuasa Pengelola PNBP melaksanakan penelitian dengan melakukan pengecekan dan penyandingan dokumen yang disampaikan Wajib Bayar dengan data yang dimiliki oleh Instansi Pengelola PNBP.
(2) Dalam rangka penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pejabat Kuasa Pengelola PNBP dapat meminta tambahan dokumen, data, atau keterangan yang relevan dengan permohonan koreksi substantif yang diajukan Wajib Bayar.
(3) Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pejabat Kuasa Pengelola PNBP menerbitkan:
  1. surat persetujuan beserta koreksi Surat Tagihan kepada Wajib Bayar dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah permohonan diterima secara lengkap dan benar;
  2. surat penolakan yang menegaskan Surat Tagihan kepada Wajib Bayar dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah permohonan diterima secara lengkap dan benar; atau
  3. pertimbangan penyelesaian koreksi substantif kepada Mitra Instansi Pengelola PNBP dalam waktu paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah permohonan pertimbangan atas penyelesaian koreksi substantif diterima secara lengkap dan benar.


Pasal 98


(1) Dalam hal tertentu, Pejabat Kuasa Pengelola PNBP dapat meminta kepada Aparat Pengawasan Intern Pemerintah untuk dilakukan reviu dan/atau Instansi Pemeriksa untuk dilakukan pemeriksaan PNBP sebelum menerbitkan tanggapan atau pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (3).
(2) Hal tertentu yang dapat menjadi dasar permintaan kepada Aparat Pengawasan Intern Pemerintah untuk dilakukan reviu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk namun tidak terbatas pada:
  1. permohonan koreksi substantif yang diajukan Wajib Bayar atau permohonan pertimbangan atas penyelesaian koreksi substantif yang dimintakan pimpinan Mitra Instansi Pengelola PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan nilai tagihan PNBP berkurang melebihi Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah); dan/atau
  2. Pejabat Kuasa Pengelola PNBP belum memiliki tingkat keyakinan yang memadai atas permohonan koreksi substantif yang diajukan Wajib Bayar.
(3) Hal tertentu yang yang dapat menjadi dasar permintaan kepada instansi Pemeriksa untuk dilakukan pemeriksaan PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk namun tidak terbatas pada:
a. permohonan koreksi substantif yang diajukan Wajib Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (2) huruf b atau permohonan koreksi substantif yang dimintakan pertimbangan Mitra Instansi Pengelola PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1) mengakibatkan nilai tagihan PNBP berkurang melebihi Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah) dan Pejabat Kuasa Pengelola PNBP belum memiliki tingkat keyakinan yang memadai atas permohonan koreksi substantif yang diajukan Wajib Bayar;
b. rekomendasi hasil reviu Aparat Pengawasan Intern Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2); dan/atau
c. permohonan koreksi substantif diajukan oleh Wajib Bayar yang kewajiban PNBP terutangnya dihitung oleh Pejabat Kuasa Pengelola PNBP atau dihitung oleh pimpinan Mitra Instansi Pengelola PNBP dengan kriteria termasuk namun tidak terbatas pada:
  1. formula penghitungan PNBP Terutang tidak sederhana;
  2. berdimensi luas terhadap perhitungan kewajiban Wajib Bayar kepada negara di luar kewajiban PNBP; dan/atau
  3. berdimensi hukum.
(4) Kriteria lebih lanjut tentang tingkat keyakinan yang memadai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan ayat (3) huruf a dapat diatur lebih lanjut oleh Instansi Pengelola PNBP.


Pasal 99


(1) Dalam rangka penyelesaian koreksi substantif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2), Pejabat Kuasa Pengelola PNBP meminta Aparat Pengawasan Internal Pemerintah untuk dilaksanakan reviu paling lambat 5 (lima) hari kerja sejak permohonan koreksi substantif atau permohonan pertimbangan atas penyelesaian koreksi substantif diterima secara lengkap dan benar.
(2) Reviu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan salah satu bentuk pengawasan PNBP.
(3) Berdasarkan hasil reviu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pejabat Kuasa Pengelola PNBP menerbitkan:
  1. surat persetujuan beserta koreksi Surat Tagihan dalam waktu paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah hasil reviu diterima;
  2. surat penolakan beserta penegasan Surat Tagihan kepada Wajib Bayar dalam waktu paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah hasil reviu diterima; atau
  3. pertimbangan penyelesaian koreksi substantif kepada Mitra Instansi Pengelola PNBP dalam waktu paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah hasil reviu diterima.


Pasal 100


(1) Dalam rangka penyelesaian koreksi substantif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (3), Pejabat Kuasa Pengelola PNBP atas nama Pimpinan Instansi Pengelola PNBP mengajukan permohonan pemeriksaan Wajib Bayar kepada Instansi Pemeriksa paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak permohonan koreksi substantif atau permohonan pertimbangan penyelesaian koreksi substantif diterima secara lengkap dan benar.
(2) Instansi Pemeriksa melaksanakan pemeriksaan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pemeriksaan PNBP.
(3) Berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pejabat Kuasa Pengelola PNBP menerbitkan:
  1. surat persetujuan beserta koreksi Surat Tagihan dalam waktu paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah hasil pemeriksaan diterima;
  2. surat penolakan beserta penegasan Surat Tagihan kepada Wajib Bayar dalam waktu paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah basil pemeriksaan diterima; atau
  3. pertimbangan penyelesaian koreksi substantif kepada Mitra instansi Pengelola PNBP dalam waktu paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah hasil pemeriksaan diterima.


Paragraf 10
Tindak Lanjut atas Penyelesaian Koreksi Substantif

Pasal 101


(1) Dalam hal koreksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (3), Pasal 96 ayat (2), Pasal 97 ayat (3), Pasal 99 ayat (3), dan Pasal 100 ayat (3) disetujui dan mengakibatkan adanya kelebihan bayar PNBP, Wajib Bayar dapat mengajukan pengembalian PNBP sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Tata Cara Pengajuan dan Penyelesaian Keberatan, Keringanan, dan Pengembalian PNBP.
(2) Dalam hal koreksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (3), Pasal 96 ayat (2), Pasal 97 ayat (3), Pasal 99 ayat (3), dan Pasal 100 ayat (3) tidak disetujui atau disetujui namun tetap terdapat PNBP Kurang Bayar, Wajib Bayar membayar pokok PNBP sebesar nominal yang ditolak beserta denda terhitung sejak jatuh tempo semula paling lambat 1 (satu) hari kerja setelah jawaban diterima.
(3) Persetujuan koreksi substantif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) tidak mengubah jatuh tempo pembayaran dan periode waktu penerbitan Surat Tagihan PNBP.


Paragraf 11
Mekanisme koreksi atas Surat Tagihan PNBP dan Pengaturan
Lebih Lanjut Penyelesaian Permohonan Koreksi

Pasal 102


Mekanisme koreksi atas Surat Tagihan PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 sampai dengan Pasal 101 tercantum dalam Lampiran Huruf M yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.


Pasal 103


Dalam rangka peningkatan kualitas layanan, Pimpinan Instansi Pengelola PNBP dapat menentukan waktu penyelesaian permohonan koreksi administratif dan/atau koreksi substantif yang lebih cepat.


Bagian Ketujuh
Tata Cara Penggunaan PNBP

Paragraf 1
Ruang Lingkup, Batasan, dan Pola Penggunaan Dana PNBP

Pasal 104


Penggunaan dana PNBP oleh instansi Pengelola PNBP dapat ditujukan untuk unit-unit kerja di lingkungannya dalam rangka:
  1. penyelenggaraan Pengelolaan PNBP;
  2. peningkatan kualitas penyelenggaraan Pengelolaan PNBP;
  3. kegiatan lainnya; dan/atau
  4. optimalisasi PNBP.


Pasal 105


(1) Pimpinan Instansi Pengelola PNBP atau Sekretaris Jenderal/Sekretaris Utama/Sekretaris/Pejabat Eselon I setingkat atas nama Pimpinan Instansi Pengelola PNBP dapat mengusulkan penggunaan dana PNBP yang dikelolanya kepada Menteri.
(2) Penggunaan dana PNBP yang diusulkan oleh Pimpinan Instansi Pengelola PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan ketentuan:
  1. diprioritaskan untuk membiayai kegiatan pelayanan yang menghasilkan PNBP; dan
  2. diprioritaskan untuk satuan kerja atau unit eselon I penghasil PNBP.


Pasal 106


(1) Pola penggunaan dana PNBP pada Instansi Pengelola PNBP terdiri atas:
  1. penggunaan dana PNBP oleh satuan kerja penghasil PNBP;
  2. penggunaan dana PNBP oleh unit eselon I penghasil PNBP; dan/atau
  3. penggunaan dana PNBP oleh lintas unit eselon I pada Instansi Pengelola PNBP.
(2) Penghasil PNBP merupakan entitas yang memperoleh PNBP serta melakukan proses perencanaan, pelaksanaan, dan/atau pertanggungjawaban PNBP yang diterimanya.


Pasal 107


(1) Dalam hal usulan penggunaan dana PNBP dengan pola penggunaan dana PNBP dalam lingkup unit Eselon I penghasil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) huruf b, Sekretaris Direktorat Jenderal/Sekretaris Badan/Pejabat Eselon II setingkat memastikan ketersediaan anggaran bagi satuan kerja penghasil dalam rangka penyelenggaraan layanan PNBP, peningkatan kualitas pengelolaan PNBP serta optimalisasi PNBP.
(2) Dalam hal usulan penggunaan dana PNBP dengan pola penggunaan dana PNBP oleh lintas unit pada Instansi Pengelola PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) huruf c, Sekretaris Jenderal/Sekretaris Utama/Sekretaris/Pejabat Eselon I setingkat memastikan ketersediaan anggaran bagi unit Eselon I dan/atau satuan kerja penghasil dalam rangka penyelenggaraan layanan PNBP, peningkatan kualitas pengelolaan PNBP serta optimalisasi PNBP.


Paragraf 2
Penyusunan dan Pengajuan Usulan Penggunaan Dana PNBP

Pasal 108


(1) Pimpinan Instansi Pengelola PNBP menyusun usulan penggunaan dana PNBP dengan dasar pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 sampai dengan Pasal 107.
(2) Penyusunan usulan penggunaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam rangka:
  1. persetujuan penggunaan dana PNBP pada Instansi Pengelola PNBP yang belum memiliki dasar hukum penggunaan dana PNBP; atau
  2. perubahan persetujuan penggunaan dana PNBP bagi Instansi Pengelola PNBP yang telah memiliki dasar hukum penggunaan dana PNBP.
(3) Usulan penggunaan dana PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan melalui surat Pimpinan Instansi Pengelola PNBP kepada Menteri dengan melampirkan dokumen pendukung berupa:
  1. kerangka acuan kerja; dan
  2. rincian kegiatan yang akan didanai dan rincian anggaran biaya atau dokumen lain yang menunjukkan kebutuhan pendanaan kegiatan selama 3 (tiga) tahun ke depan.
(4) Kerangka acuan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a paling sedikit memuat:
  1. latar belakang;
  2. tujuan penggunaan dana PNBP;
  3. jenis PNBP yang diusulkan penggunaan dana PNBP;
  4. usulan besaran penggunaan dana PNBP; dan
  5. pola penggunaan dana PNBP.
(5) Dokumen lain sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dapat berupa nilai estimasi penggantian dari penanggung asuransi.
(6) Surat usulan beserta kelengkapan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat disampaikan dalam bentuk dokumen cetak dan/atau dokumen digital.


Pasal 109


(1) Direktorat Jenderal Anggaran melakukan penelitian atas surat usulan beserta kelengkapan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 ayat (3).
(2) Dalam hal pelaksanaan penelitian atas surat usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum disertai dokumen pendukung sesuai persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 ayat (3), Direktur Penerimaan Negara Bukan Pajak Kementerian Lembaga atau Direktur Penerimaan Negara Bukan Pajak Sumber Daya Alam dan Kekayaan Negara Dipisahkan dapat meminta tambahan kelengkapan dokumen pendukung kepada Instansi Pengelola PNBP.
(3) Berdasarkan permintaan tambahan kelengkapan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kepala Biro Perencanaan/Kepala Biro Keuangan/Pejabat Eselon II atas nama Sekretaris Jenderal/Sekretaris Utama/Sekretaris/Pejabat Eselon I setingkat menyampaikan surat untuk melengkapi dokumen pendukung.


Paragraf 3
Penelaahan Usulan Penggunaan Dana PNBP

Pasal 110


(1) Dalam hal hasil penelitian dokumen atas usulan penggunaan dana PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 ayat (1) telah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang PNBP, Direktorat Jenderal Anggaran melaksanakan penelaahan dengan dasar pertimbangan:
  1. kondisi keuangan negara;
  2. kebijakan fiskal; dan/atau
  3. kebutuhan pendanaan Instansi Pengelola PNBP.
(2) Penelaahan dengan dasar pertimbangan kondisi keuangan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a paling sedikit dilakukan terhadap:
  1. usulan besaran penggunaan dana; dan
  2. rincian kegiatan yang akan dibiayai.
(3) Penelaahan dengan dasar pertimbangan kebijakan fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b paling sedikit dilakukan terhadap:
  1. tujuan penggunaan dana PNBP; dan
  2. prioritas pengalokasian belanja pada bidang tertentu atau sektor tertentu.
(4) Penelaahan dengan dasar pertimbangan kebutuhan pendanaan Instansi Pengelola PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c paling sedikit dilakukan terhadap:
  1. latar belakang pengusulan penggunaan dana PNBP;
  2. jenis PNBP yang diusulkan; dan
  3. pola penggunaan dana PNBP.


Paragraf 4
Persetujuan atau Penolakan Usulan Penggunaan Dana PNBP

Pasal 111


(1) Direktur Jenderal Anggaran menyampaikan konsep persetujuan atau penolakan atas usulan penggunaan dana PNBP yang diajukan oleh instansi Pengelola PNBP kepada Menteri.
(2) Dalam hal usulan penggunaan dana PNBP pada Instansi Pengelola PNBP disetujui, Menteri menerbitkan surat persetujuan penggunaan dana PNBP yang paling sedikit berisi:
  1. jenis PNBP yang dapat digunakan;
  2. besaran penggunaan dana PNBP; dan
  3. tujuan penggunaan dana PNBP.
(3) Dalam hal usulan penggunaan dana PNBP pada Instansi Pengelola PNBP ditolak, Menteri menerbitkan surat penolakan penggunaan dana PNBP yang disertai dengan dasar atau alasan penolakan penggunaan dana PNBP.


Paragraf 5
Peninjauan Kembali, Perubahan, dan Pencabutan Persetujuan
Penggunaan Dana PNBP

Pasal 112


(1) Persetujuan penggunaan dana PNBP yang berlaku pada Instansi Pengelola PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 ayat (2) dapat dilakukan peninjauan kembali secara periodik oleh Menteri paling lama 3 (tiga) tahun setelah diterbitkannya surat persetujuan penggunaan dana PNBP.
(2) Peninjauan kembali secara periodik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Anggaran.
(3) Peninjauan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilaksanakan berdasarkan:
  1. data historis capaian PNBP dan realisasi belanja dari sumber dana PNBP;
  2. perubahan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai jenis dan tarif atas jenis PNBP;
  3. hasil evaluasi kinerja anggaran dan reviu alokasi belanja pada Instansi Pengelola PNBP;
  4. hasil pengawasan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah;
  5. hasil pengawasan Menteri;
  6. hasil temuan Badan Pemeriksa Keuangan; dan/atau
  7. hasil pemeriksaan PNBP.
(4) Dalam rangka pelaksanaan Peraturan Menteri ini, peninjauan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan paling lambat 3 (tiga) tahun sejak Peraturan Menteri ini diundangkan terhadap Surat Menteri Keuangan yang materi muatannya mengatur dan/atau menetapkan penggunaan dana PNBP.
(5) Berdasarkan hasil peninjauan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3), Menteri dapat memberikan perubahan atau pencabutan persetujuan penggunaan dana PNBP.


Paragraf 6
Penggunaan Dana PNBP atas Jenis PNBP Tertentu

Pasal 113


(1) Dalam hal tertentu, Menteri dapat menerbitkan surat persetujuan penggunaan dana PNBP atas jenis PNBP tertentu.
(2) Jenis PNBP tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
  1. PNBP yang dikelola oleh Menteri selaku Bendahara Umum Negara; atau
  2. jenis PNBP yang sama pada beberapa Instansi Pengelola PNBP.
(3) Penyusunan penggunaan dana PNBP untuk jenis PNBP yang sama pada beberapa instansi Pengelola PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, dilaksanakan dengan berdasarkan, namun tidak terbatas pada:
  1. ketentuan peraturan perundang-undangan;
  2. arahan Presiden; dan/atau
  3. kondisi mendesak.


Pasal 114


(1) Penggunaan dana PNBP untuk jenis PNBP yang dikelola oleh Menteri selaku Bendahara Umum Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 ayat (2) huruf a merupakan PNBP yang berasal dari pelaksanaan kewenangan Menteri selaku Bendahara Umum Negara sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Penggunaan dana PNBP untuk jenis PNBP yang dikelola oleh Menteri selaku Bendahara Umum Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam rangka:
  1. penyelenggaraan Pengelolaan PNBP Bendahara Umum Negara;
  2. peningkatan kualitas penyelenggaraan Pengelolaan PNBP Bendahara Umum Negara; dan/atau
  3. optimalisasi PNBP Bendahara Umum Negara.
(3) Pejabat Eselon I yang melaksanakan kewenangan Bendahara Umum Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyampaikan usulan penggunaan dana PNBP kepada Menteri c.q Direktur Jenderal Anggaran selaku pengelola fiskal.
(4) Dalam hal terdapat Satuan Kerja sementara pada Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara yang ditetapkan sebagai PNBP yang dikelola oleh Bendahara Umum Negara, Kepala Satuan Kerja sementara menyampaikan usulan penggunaan dana PNBP kepada Menteri c.q Direktur Jenderal Anggaran selaku pengelola fiskal.
(5) Usulan penggunaan dana PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) disampaikan kepada Menteri c.q Direktur Jenderal Anggaran dengan dilengkapi dokumen yang paling sedikit berisi:
  1. kerangka acuan kerja; dan
  2. rincian kegiatan yang akan didanai dan rincian anggaran biaya atau dokumen lain yang menunjukkan kebutuhan pendanaan kegiatan selama 3 (tiga) tahun kedepan.
(6) Penelaahan usulan penggunaan dana PNBP yang dikelola oleh Bendahara Umum Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) dilakukan berdasarkan penilaian atas efektivitas rencana pengalokasian penggunaan.
(7) Persetujuan penggunaan dana PNBP yang dikelola oleh Menteri selaku Bendahara Umum Negara ditetapkan dengan surat Menteri yang paling sedikit berisi:
  1. jenis PNBP yang dapat digunakan;
  2. besaran penggunaan dana PNBP; dan
  3. rincian kegiatan dalam rangka peningkatan layanan dalam rangka pengelolaan PNBP Bendahara Umum Negara.
(8) Dalam hal usulan penggunaan dana PNBP yang dikelola oleh Menteri selaku Bendahara Umum Negara ditolak, Menteri menerbitkan surat penolakan penggunaan dana PNBP yang disertai dengan dasar atau alasan penolakan.
(9) Direktur Jenderal Anggaran dapat melakukan peninjauan kembali persetujuan penggunaan dana PNBP yang dikelola oleh Menteri selaku Bendahara Umum Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (7).
(10) Tata cara pelaksanaan peninjauan kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 berlaku secara mutatis mutandis terhadap penggunaan dana PNBP yang dikelola oleh Menteri selaku Bendahara Umum Negara.


Pasal 115


(1) Menteri dapat memberikan persetujuan penggunaan dana PNBP atas jenis PNBP yang sama pada beberapa instansi Pengelola PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 ayat (2) huruf b berdasarkan usulan Menteri/Pimpinan Lembaga selaku Pimpinan Instansi Pengelola PNBP atau Sekretaris Jenderal/Sekretaris Utama/Sekretaris/Pejabat Eselon I setingkat atas nama Pimpinan Instansi Pengelola PNBP.
(2) Usulan Menteri/Pimpinan Lembaga selaku Pimpinan Instansi Pengelola PNBP atau Sekretaris Jenderal/Sekretaris Utama/Sekretaris/Pejabat Eselon I setingkat atas nama Pimpinan Instansi Pengelola PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai tata cara pengelolaan jenis PNBP yang sama pada Instansi Pengelola PNBP.
(3) Usulan penggunaan dana PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Menteri dengan dilengkapi dokumen yang paling sedikit berisi:
  1. kerangka acuan kerja; dan
  2. rincian kegiatan yang akan didanai dan rincian anggaran biaya atau dokumen lain yang menunjukkan kebutuhan pendanaan kegiatan selama 3 (tiga) tahun ke depan.
(4) Persetujuan penggunaan dana PNBP jenis PNBP yang sama pada beberapa Instansi Pengelola PNBP paling sedikit berisi:
  1. jenis PNBP yang dapat digunakan;
  2. besaran penggunaan dana PNBP;
  3. rincian kegiatan dalam rangka peningkatan layanan pengelolaan PNBP; dan
  4. Instansi Pengelola PNBP yang dapat menggunakan dana PNBP.
(5) Dalam hal usulan penggunaan dana PNBP atas jenis PNBP yang sama pada beberapa Instansi Pengelola PNBP yang disampaikan oleh Menteri/Pimpinan Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditolak, Menteri menerbitkan surat penolakan penggunaan dana PNBP yang disertai dengan dasar atau alasan penolakan.
(6) Tata cara pelaksanaan penelaahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 dan peninjauan kembali persetujuan penggunaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 berlaku secara mutatis mutandis terhadap penggunaan dana PNBP atas jenis PNBP yang sama pada beberapa instansi Pengelola PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (4).


Paragraf 7
Ketentuan Lain-lain

Pasal 116


Dalam hal telah tersedia sistem informasi sebagal sarana untuk memfasilitasi tugas Menteri terkait penggunaan dana PNBP, pelaksanaan usulan penggunaan dana PNBP, penelitian, penelaahan, persetujuan atau penolakan penggunaan dana PNBP, dan/atau peninjauan kembali atas persetujuan penggunaan dana PNBP dilakukan dengan menggunakan sistem informasi yang dikelola Kementerian Keuangan.


Pasal 117


(1) Perhitungan realisasi PNBP yang menjadi dasar pencairan penggunaan dana PNBP yang diajukan oleh Pejabat Kuasa Pengelola PNBP mempertimbangkan besaran pengajuan pengembalian PNBP sejenis yang diajukan oleh Wajib Bayar.
(2) Mekanisme pencairan penggunaan dana PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pelaksanaan APBN.


Pasal 118


Penjelasan mengenai tata cara penggunaan dana PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 sampai dengan 115 tercantum dalam Lampiran Huruf N sampai dengan Huruf Q yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.


BAB V
TATA CARA PERTANGGUNGJAWABAN PNBP

Bagian Kesatu
Ruang Lingkup Pertanggungjawaban PNBP

Pasal 119


(1) Instansi Pengelola PNBP, Mitra Instansi Pengelola PNBP, dan Wajib Bayar yang menghitung sendiri kewajiban PNBP terutang, menyusun pertanggungjawaban atas pengelolaan PNBP.
(2) Pertanggungjawaban PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :
  1. penatausahaan PNBP; dan
  2. pelaporan PNBP.
 

Bagian Kedua
Penatausahaan PNBP

Pasal 120


(1) Instansi Pengelola PNBP, Mitra Instansi Pengelola PNBP, dan Wajib Bayar yang menghitung sendiri PNBP Terutang wajib menatausahakan PNBP.
(2) Penatausahaan PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan di wilayah yurisdiksi Indonesia dan disusun dalam:
  1. bahasa Indonesia dengan menggunakan satuan mata uang Rupiah; dan/atau
  2. bahasa asing dengan menggunakan satuan mata uang asing yang diizinkan oleh Menteri.
(3) Dokumen yang menjadi dasar penatausahaan PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disimpan selama 10 (sepuluh) tahun.
(4) Tata cara dan mekanisme penyimpanan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mengikuti ketentuan dan mekanisme yang berlaku bagi instansi Pengelola PNBP, Mitra Instansi Pengelola PNBP, dan Wajib Bayar yang menghitung sendiri PNBP Terutang.


Pasal 121


(1) Penatausahaan PNBP yang dilakukan oleh Instansi Pengelola PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 120 ayat (1) dilakukan terhadap Pengelolaan PNBP.
(2) Penatausahaan PNBP yang dilakukan oleh Mitra Instansi Pengelola PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 120 ayat (1) dilakukan terhadap sebagian pengelolaan PNBP berupa pencatatan dan pengelolaan dokumen atas penugasan kepada Mitra Instansi pengelola PNBP sesuai dengan penugasan Instansi Pengelola PNBP kepada Mitra Instansi Pengelola PNBP atau kontrak/perjanjian antara Instansi Pengelola PNBP dan Mitra Instansi Pengelola PNBP.
(3) Penatausahaan PNBP yang dilakukan oleh Wajib Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 120 ayat (1) meliputi:
  1. pencatatan transaksi keuangan yang berkaitan dengan kewajiban pembayaran PNBP; dan
  2. penyimpanan bukti setor dan dokumen pendukung terkait PNBP.


Pasal 122


(1) Penatausahaan PNBP yang dilakukan oleh Instansi Pengelola PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121 ayat (1) mengacu pada standar akuntansi dan mekanisme penatausahaan penerimaan negara yang berlaku bagi Instansi Pengelola PNBP.
(2) Ketentuan penatausahaan PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku secara mutatis mutandis terhadap Mitra Instansi Pengelola PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121 ayat (2).


Pasal 123


Pencatatan transaksi keuangan yang berkaitan dengan kewajiban pembayaran PNBP oleh Wajib Bayar sebagaimana dimaksud pada Pasal 121 ayat (3) huruf a mengacu pada standar akuntansi keuangan dan/atau mekanisme yang berlaku bagi Wajib Bayar yang menghitung sendiri kewajiban PNBP terutang.


Bagian Ketiga
Pelaporan PNBP

Pasal 124


(1) Dalam rangka pertanggungjawaban pelaksanaan APBN, Sekretaris Jenderal/Sekretaris Utama/Sekretaris/Pejabat Eselon I yang setingkat wajib menyusun laporan pelaksanaan PNBP berupa:
  1. laporan realisasi PNBP;
  2. laporan penggunaan dana PNBP; dan
  3. laporan piutang PNBP.
(2) Penyusunan laporan pelaksanaan PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara berjenjang dari tingkat satuan kerja sampai dengan tingkat Instansi Pengelola PNBP.
(3) Laporan realisasi PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a paling sedikit memuat informasi berupa:
  1. periode laporan;
  2. jenis PNBP; dan
  3. jumlah realisasi PNBP.
(4) Jumlah realisasi PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c termasuk realisasi jenis PNBP yang dikenakan tarif Rp0,00 (nol rupiah) atau 0% (nol persen) dalam hal terdapat kebijakan pemberian tarif Rp0,00 (nol rupiah) atau 0% (nol persen) pada Instansi Pengelola PNBP.
(5) Laporan penggunaan dana PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b paling sedikit memuat informasi berupa:
  1. periode laporan;
  2. pagu penggunaan dana PNBP; dan
  3. jumlah realisasi penggunaan dana PNBP.
(6) Laporan piutang PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c paling sedikit memuat informasi berupa:
  1. periode laporan;
  2. saldo awal piutang PNBP;
  3. mutasi piutang PNBP; dan
  4. saldo akhir piutang PNBP.
  

Bagian Keempat
Ketentuan Pelaporan Lain

Pasal 125


(1) Dalam hal terdapat informasi penyelesaian keberatan PNBP, keringanan PNBP, pengembalian PNBP, tindak lanjut pengawasan PNBP, dan/atau tindak lanjut hasil pemeriksaan PNBP, Sekretaris Jenderal/Sekretaris Utama/Sekretaris/Pejabat Eselon I yang setingkat wajib menatausahakan dan menyusun laporan perkembangan:
  1. penyelesaian keberatan, keringanan, dan pengembalian PNBP; dan/atau
  2. tindak lanjut/penyelesaian hasil pemeriksaan PNBP dan/atau pengawasan PNBP.
(2) Penyusunan laporan perkembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara berjenjang dari tingkat satuan kerja sampai dengan tingkat Instansi Pengelola PNBP.
(3) Laporan perkembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi bagian dari informasi yang disajikan dalam laporan pelaksanaan PNBP pada Instansi Pengelola PNBP.


Pasal 126


(1) Laporan pelaksanaan PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 ayat (1) dan Pasal 125 ayat (1) disampaikan kepada Menteri c.q. Direktur Jenderal Anggaran dengan tembusan kepada Pimpinan Instansi Pengelola PNBP dan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah.
(2) Laporan pelaksanaan PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan setiap semester paling lama 1 (satu) bulan setelah periode laporan berakhir dengan dilampiri surat pengantar yang telah ditandatangani Sekretaris Jenderal/Sekretaris Utama/Sekretaris/Pejabat Eselon I yang setingkat.
(3) Dalam hal hari terakhir periode penyampaian laporan pelaksanaan PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bertepatan dengan hari libur, penyampaian laporan pelaksanaan PNBP dilakukan paling lambat pada hari kerja sebelumnya.


Pasal 127


(1) Dalam rangka penyusunan proyeksi dan mengamati perkembangan realisasi penerimaan negara, Sekretaris Jenderal/Sekretaris Utama/Sekretaris/Pejabat Eselon I yang setingkat melakukan pemutakhiran atau menyampaikan informasi proyeksi dan perkembangan PNBP yang dapat berupa:
  1. proyeksi PNBP;
  2. realisasi PNBP;
  3. deviasi antara proyeksi dan realisasi PNBP; dan/atau
  4. penjelasan atas deviasi tersebut.
(2) Sekretaris Jenderal/Sekretaris Utama/Sekretaris/Pejabat Eselon I yang setingkat dapat melimpahkan kewenangan pelaksanaan pemutakhiran dan penyampaian informasi proyeksi dan perkembangan PNBP kepada Kepala Biro Perencanaan/Kepala Biro Keuangan/Pejabat Eselon II setingkat yang mengelola PNBP.
(3) Informasi proyeksi dan perkembangan PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dirinci setiap bulan untuk proyeksi PNBP selama satu tahun anggaran.
(4) Informasi proyeksi dan perkembangan PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimutakhirkan atau disampaikan kepada Direktur Jenderal Anggaran paling lambat minggu kedua setiap bulannya.
(5) Dalam hal hari terakhir periode penyampaian informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) bertepatan dengan hari libur, penyampaian informasi dilakukan paling lambat pada hari kerja sebelumnya.
(6) Dalam kondisi tertentu, Direktur Jenderal Anggaran dapat meminta Sekretaris Jenderal/Sekretaris Utama/Sekretaris/Pejabat Eselon I yang setingkat melakukan pemutakhiran atau menyampaikan informasi proyeksi dan perkembangan PNBP di luar periode sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
(7) Kondisi tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat berupa perkembangan kebijakan fiskal atau kebijakan Pemerintah lainnya.


Pasal 128


Penyusunan dan penyampaian laporan pelaksanaan PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 sampai dengari Pasal 126 serta informasi proyeksi dan perkembangan PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127 dapat dilaksanakan melalui sistem informasi yang dikelola Kementerian Keuangan.


Pasal 129


(1) Dalam rangka pertanggungjawaban pengelolaan PNBP sebagai bagian dalam pelaksanaan APBN, pimpinan Mitra Instansi Pengelola PNBP wajib menyusun dan menyampaikan laporan realisasi PNBP dan PNBP Terutang kepada Pejabat Kuasa Pengelola PNBP setiap semester.
(2) Laporan realisasi PNBP dan PNBP terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat informasi berupa:
  1. periode laporan;
  2. jumlah realisasi penyetoran PNBP; dan
  3. jumlah PNBP terutang.
(3) Laporan realisasi PNBP dan PNBP Terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lama 20 (dua puluh) hari setelah periode laporan berakhir.
(4) Dalam hal hari terakhir periode penyampaian laporan realisasi PNBP dan PNBP Terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bertepatan dengan hari libur, penyampaian laporan realisasi PNBP dan PNBP Terutang dilakukan paling lambat pada hari kerja sebelumnya.


Pasal 130


(1) Dalam rangka pertanggungjawaban PNBP, Wajib Bayar yang menghitung sendiri PNBP Terutang dan memiliki transaksi terkait PNBP, menyusun dan menyampaikan laporan realisasi PNBP dan PNBP Terutang kepada Pejabat Kuasa Pengelola PNBP setiap semester.
(2) Laporan realisasi PNBP dan PNBP Terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan laporan realisasi atas penyetoran PNBP dan jumlah PNBP Terutang dari Wajib Bayar yang menghitung sendiri PNBP Terutang pada periode laporan.
(3) Laporan realisasi PNBP dan PNBP Terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat informasi berupa:
  1. identitas Wajib Bayar antara lain berupa nama Wajib Bayar dan/atau nama penanggung dalam hal Wajib Bayar berbentuk badan, alamat, dan nomor pokok wajib pajak;
  2. periode laporan;
  3. jenis PNBP; dan
  4. jumlah yang telah disetor dan masih terutang pada periode laporan.
(4) Pimpinan instansi Pengelola PNBP dapat mengatur lebih lanjut mengenai mekanisme dan bentuk laporan realisasi PNBP dan PNBP Terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(5) Laporan realisasi PNBP dan PNBP Terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan paling lama 20 (dua puluh) hari setelah periode laporan berakhir.
(6) Dalam hal hari terakhir periode penyampaian laporan realisasi PNBP dan PNBP Terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (5) bertepatan dengan hari libur, penyampaian laporan realisasi PNBP dan PNBP Terutang dilakukan paling lambat pada hari kerja sebelumnya.
(7) Dalam rangka mendukung efektivitas penyusunan dan pelaporan PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Instansi Pengelola PNBP dapat mengembangkan sistem informasi pelaporan PNBP oleh Wajib Bayar yang menghitung sendiri PNBP Terutang.


Bagian Kelima
Ketentuan Lain-lain

Pasal 131


Penjelasan mengenai tata cara pertanggungjawaban PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 sampai dengan Pasal 130 tercantum dalam Lampiran Huruf R yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.


BAB VI
TATA CARA MONITORING PNBP

Pasal 132


(1) Monitoring PNBP dilakukan oleh:
  1. Instansi Pengelola PNBP; dan/atau
  2. Kementerian Keuangan.
(2) Monitoring PNBP oleh Instansi Pengelola PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan secara berjenjang dari tingkat satuan kerja dan/atau Mitra Instansi Pengelola PNBP sampai dengan tingkat Instansi Pengelola PNBP.
(3) Monitoring PNBP oleh Kementerian Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilaksanakan oleh:
  1. Direktorat Jenderal Anggaran; dan/atau
  2. Direktorat Jenderal Perbendaharaan.


Pasal 133


(1) Monitoring PNBP oleh Direktorat Jenderal Anggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 132 ayat (3)huruf a dilakukan terhadap pengelolaan PNBP yang dilakukan oleh Unit Eselon I pada Instansi Pengelola PNBP.
(2) Monitoring PNBP oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 132 ayat (3) huruf b dilakukan terhadap pengelolaan PNBP yang dilakukan secara berjenjang dari tingkat satuan kerja pada Instansi Pengelola PNBP.


Pasal 134


(1) Monitoring PNBP yang dilakukan oleh Instansi Pengelola PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 132 ayat (2) dan Direktorat Jenderal Anggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 132 ayat (3) huruf a terdiri atas:
  1. monitoring realisasi atas target yang ditetapkan dalam APBN/Perubahan APBN;
  2. monitoring penggunaan dana PNBP;
  3. monitoring pengelolaan piutang PNBP;
  4. monitoring perkembangan penyelesaian keberatan, keringanan, dan pengembalian PNBP;
  5. monitoring perkembangan tindak lanjut/penyelesaian hasil pemeriksaan PNBP dan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan serta hasil pengawasan PNBP:
  6. monitoring proyeksi dan perkembangan realisasi PNBP; dan/atau
  7. monitoring atas terpenuhinya pelayanan oleh Instansi Pengelola PNBP atau Mitra Instansi Pengelola PNBP.
(2) Monitoring PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan pelaporan PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 125 ayat (1), Pasal 126 ayat (1), dan Pasal 128 ayat (1), dan/atau sumber lainnya.
(3) Sumber lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berasal dari Kementerian Keuangan, Instansi Pengelola PNBP dan/atau pihak lainnya.
(4) Selain monitoring sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Instansi Pengelola PNBP dan Direktorat Jenderal Anggaran dapat melakukan monitoring atas pengelolaan PNBP sesuai kebutuhan.


Pasal 135


(1) Monitoring PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134 ayat (1) dilakukan secara berkelanjutan oleh Instansi Pengelola PNBP dan Direktorat Jenderal Anggaran.
(2) Direktorat Jenderal Anggaran bersama dengan Instansi Pengelola PNBP melaksanakan rekonsiliasi hasil monitoring PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara triwulanan paling lama 1 (satu) bulan setelah periode berakhir.
(3) Pelaksanaan rekonsiliasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan bersamaan dengan monitoring dan evaluasi belanja.


Pasal 136


Hasil monitoring sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134 dan Pasal 135 dapat ditindaklanjuti dengan Pengawasan PNBP oleh Aparat Pengawasan Intern Pemerintah atau Direktorat Jenderal Anggaran.


Pasal 137


(1) Direktorat Jenderal Perbendaharaan melakukan monitoring PNBP secara berjenjang sesuai tugas dan kewenangannya.
(2) Monitoring PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara periodik pada tahun anggaran berjalan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan monitoring oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan.


Pasal 138


Pelaksanaan monitoring PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134 dan Pasal 137 dilaksanakan dalam satu kesatuan sistem yang dikembangkan antara Direktorat Jenderal Anggaran dan Direktorat Jenderal Perbendaharaan.


Pasal 139


Penjelasan mengenai tata cara monitoring PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 132 sampai dengan Pasal 138 tercantum dalam Lampiran Huruf S yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.


BAB VII
TATA CARA PENGAWASAN PNBP

Bagian Kesatu
Ruang Lingkup pengawasan

Pasal 140


Pengawasan PNBP dilakukan oleh:
  1. Aparat Pengawasan Intern Pemerintah; dan/atau
  2. Menteri.


Pasal 141


Pengawasan PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 dilakukan terhadap:
  1. pemenuhan kewajiban PNBP; dan/atau
  2. kepatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang PNBP.


Bagian Kedua
Pengawasan PNBP oleh Aparat Pengawasan Intern Pemerintah

Pasal 142


(1) Instansi Pengelola PNBP melaksanakan pengawasan intern atas Pengelolaan PNBP sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Pengawasan intern atas Pengelolaan PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Aparat Pengawasan Intern Pemerintah yang bertanggung jawab langsung kepada Pimpinan instansi Pengelola PNBP.


Pasal 143


Jenis pengawasan oleh Aparat Pengawasan Intern Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 huruf a mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai sistem pengendalian intern pemerintah.


Pasal 144


(1) Aparat Pengawasan Intern Pemerintah dalam melaksanakan pengawasan PNBP menyusun perencanaan pengawasan PNBP yang merupakan bagian dari rencana pengawasan intern.
(2) Perencanaan pengawasan PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disusun dengan memperhatikan hasil monitoring sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134 dan Pasal 137.


Pasal 145


Selain pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 144, Aparat Pengawasan intern Pemerintah dapat melakukan pengawasan PNBP berdasarkan permintaan:
a. Pejabat Kuasa Pengelola PNBP berupa:
  1. reviu dalam rangka penyelesaian permohonan koreksi substantif atas Surat Tagihan PNBP; dan/atau;
  2. reviu dalam rangka penyelesaian permohonan keringanan PNBP dan pengembalian PNBP; atau
b. Menteri berupa pengawasan terhadap Instansi Pengelola PNBP dan/atau Mitra Instansi Pengelola PNBP.


Pasal 146


(1) Aparat Pengawasan Intern Pemerintah melakukan pelaksanaan pengawasan PNBP sesuai dengan perencanaan pengawasan PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 144 ayat (1) atau berdasarkan permintaan Pejabat Kuasa Pengelola PNBP dan/atau Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 145.
(2) Pengawasan PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan bersamaan dengan pengawasan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai sistem pengendalian intern pemerintah.


Pasal 147


(1) Setelah melaksanakan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 146 ayat (1), Aparat Pengawasan Intern Pemerintah membuat dan menyampaikan laporan hasil pengawasan kepada Instansi Pengelola PNBP.
(2) Laporan hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat kesimpulan dan/atau rekomendasi.
(3) Kesimpulan dan/atau rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa:
  1. perbaikan regulasi;
  2. perbaikan proses bisnis;
  3. perbaikan sistem;
  4. usulan permintaan pemeriksaan PNBP dalam hal memenuhi kriteria permintaan pemeriksaan;
  5. usulan penghentian layanan terhadap Wajib Bayar; dan/ atau
  6. pertimbangan terkait permohonan koreksi Surat Tagihan PNBP, keringanan PNBP, dan/atau pengembalian PNBP.
(4) Kesimpulan dan/atau rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus ditindaklanjuti oleh Pejabat Kuasa Pengelola PNBP dan/atau pimpinan Mitra Instansi Pengelola PNBP sesuai dengan tanggung jawab dan kewenangannya.
(5) Aparat Pengawasan Intern Pemerintah menyampaikan tindak lanjut rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) kepada Menteri c.q. Direktur Jenderal Anggaran paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) semester.
(6) Penyampaian tindak lanjut rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat dilaksanakan melalui sistem informasi.


Pasal 148


Dalam menyusun laporan hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 147, Aparat Pengawasan Intern Pemerintah mengelompokkan hasil pengawasan berdasarkan kodefikasi.


Pasal 149


(1) Aparat Pengawasan Intern Pemerintah menyampaikan laporan kepada Pimpinan Instansi Pengelola PNBP dan Menteri c.q. Direktur Jenderal Anggaran berdasarkan laporan hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 147.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah laporan hasil pengawasan diterbitkan.
(3) Penyampaian laporan oleh Aparat Pengawasan Intern Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan melalui sistem informasi.
(4) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri c.q. Direktur Jenderal Anggaran melakukan konsolidasi dan penelaahan.


Bagian Ketiga
Pengawasan oleh Menteri

Pasal 150


(1) Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 huruf b melakukan pengawasan terhadap Instansi Pengelola PNBP untuk meningkatkan kualitas perencanaan, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban PNBP.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dalam bentuk verifikasi, penilaian, dan/atau evaluasi.
(3) Pengawasan PNBP kepada Instansi Pengelola PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Anggaran.


Pasal 151


Pengawasan PNBP kepada Instansi Pengelola PNBP yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Anggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 150 ayat (3) terdiri atas:
  1. Pengawasan rutin; atau
  2. Pengawasan tematik/pendalaman.


Pasal 152


(1) Pengawasan rutin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 huruf a didasarkan pada data/informasi yang berasal dari:
  1. hasil monitoring Instansi Pengelola PNBP dan/atau Direktorat Jenderal Anggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134 dan hasil monitoring Direktorat Jenderal Perbendaharaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139;
  2. laporan hasil pengawasan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 147; dan/atau
  3. sumber lainnya.
(2) Sumber lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c termasuk berasal dari data internal Kementerian Keuangan, Instansi Pengelola PNBP, dan/atau pihak lain.
(3) Pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan pihak yang terkait dengan pengelolaan PNBP oleh Instansi Pengelola PNBP.


Pasal 153


Pengawasan rutin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 huruf a dilakukan dengan cara membandingkan data/informasi terkait pengelolaan PNBP dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang PNBP.


Pasal 154


Pengawasan tematik/pendalaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 huruf b dilakukan berdasarkan:
  1. analisis, kajian, dan data potensi PNBP;
  2. evaluasi atas jenis dan tarif PNBP;
  3. indikasi ketidakpatuhan pemenuhan kewajiban PNBP;
  4. indikasi ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang PNBP;
  5. arahan Direktur Jenderal Anggaran; dan/atau
  6. arahan Menteri Keuangan.


Pasal 155


(1) Pengawasan tematik/pendalaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 154 dilakukan melalui kegiatan:
  1. identifikasi data/informasi;
  2. analisis data/informasi; dan/atau
  3. pembahasan atas hasil analisis.
(2) Kegiatan identifikasi data/informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan untuk mengumpulkan dan meneliti data/informasi.
(3) Kegiatan analisis data/informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dengan cara mengolah data/informasi untuk memastikan kebenaran pemenuhan kewajiban PNBP atau ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Kegiatan pembahasan atas hasil analisis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat dilakukan bersama pihak terkait untuk memberikan keyakinan yang memadai atas analisis sebagaimana dimaksud pada ayat (3).


Pasal 156


(1) Dalam melaksanakan pengawasan tematik/pendalaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 155, Direktorat Jenderal Anggaran dapat:
  1. meminta dokumen, keterangan, dan/atau bukti lain kepada Instansi Pengelola PNBP;
  2. meminta dokumen, keterangan, dan/atau bukti lain kepada Mitra Instansi Pengelola PNBP, Wajib Bayar, dan/atau pihak lain melalui Instansi Pengelola PNBP;
  3. melakukan observasi kepada Instansi Pengelola PNBP; dan/atau
  4. melakukan observasi kepada Mitra Instansi Pengelola PNBP, Wajib Bayar, dan/atau pihak lain dengan melibatkan Instansi Pengelola PNBP.
(2) Pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d merupakan pihak yang terkait langsung maupun tidak langsung berkenaan dengan pemenuhan kewajiban PNBP.


Pasal 157


(1) Berdasarkan hasil pengawasan rutin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 153 atau pengawasan tematik/pendalaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 155, Direktorat Jenderal Anggaran menyusun laporan hasil pengawasan.
(2) Laporan hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat kesimpulan dan/atau rekomendasi.
(3) Penyusunan hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan melalui sistem informasi.


Pasal 158


(1) Dalam hal berdasarkan hasil pengawasan rutin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 153 atau pengawasan tematik/pendalaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 155 ditemukan potensi PNBP, Direktorat Jenderal Anggaran menyusun laporan hasil pengawasan.
(2) Laporan hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disusun sebagai satu kesatuan kesimpulan dan/atau rekomendasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 157 ayat (2).


Pasal 159


(1) Dalam hal laporan hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 157, terdapat rekomendasi atas pengelolaan PNBP pada Instansi Pengelola PNBP dan/atau potensi PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158, rekomendasi hasil pengawasan disampaikan kepada Instansi Pengelola PNBP.
(2) Rekomendasi hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh:
a. Menteri dalam hal rekomendasi bersifat strategis dan nasional;
b. Direktur Jenderal Anggaran dalam hal adanya rekomendasi antara lain berupa:
  1. perbaikan regulasi PNBP;
  2. perbaikan proses bisnis PNBP;
  3. perbaikan sistem pengelolaan PNBP;
  4. permintaan penagihan PNBP;
  5. usulan pemeriksaan PNBP;
  6. usulan penghentian layanan terhadap Wajib Bayar;
  7. usulan penghentian kerjasama dengan Mitra Instansi Pengelola PNBP; dan/atau
  8. data indikasi/data pemicu pemeriksaan perpajakan; atau
c. Direktur Penerimaan Negara Bukan Pajak Kementerian/Lembaga atau Direktur Penerimaan Negara Bukan Pajak Sumber Daya Alam dan Kekayaan Negara dipisahkan dalam hal kesimpulan dan/atau rekomendasi yang diberikan selain pada huruf a dan huruf b.


Pasal 160


(1) Instansi Pengelola PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 159 ayat (1) harus menyampaikan tindak lanjut hasil pengawasan PNBP kepada Direktur Jenderal Anggaran, paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) semester.
(2) Tindak lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lambat pada akhir bulan berikutnya.
(3) Tindak lanjut hasil pengawasan PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui sistem informasi yang dikelola oleh Kementerian Keuangan.


Pasal 161


(1) Dalam hal tertentu, laporan hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 159, dapat disampaikan kepada pihak lain di luar Instansi Pengelola PNBP.
(2) Hal tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
  1. adanya data indikasi/data pemicu;
  2. hasil pengawasan membutuhkan tindak lanjut dari pihak lain di luar Instansi Pengelola PNBP; dan/atau
  3. adanya pertimbangan Menteri atau Direktur Jenderal Anggaran untuk menyampaikan laporan hasil pengawasan kepada pihak lain.
(3) Pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain:
  1. Direktorat Jenderal Pajak,
  2. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, dan/atau
  3. aparat penegak hukum.


Bagian Keempat
Laporan Kepada Menteri

Pasal 162


(1) Direktur Jenderal Anggaran menyusun dan menyampaikan laporan rekapitulasi pengawasan PNBP kepada Menteri yang menjadi satu kesatuan dalam laporan kinerja Direktorat Jenderal Anggaran.
(2) Dalam hal tertentu, Direktur Jenderal Anggaran dapat, menyampaikan laporan hasil pengawasan kepada Menteri.
(3) Hal tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dapat berupa:
  1. arahan langsung dari Menteri;
  2. tindak lanjut berupa penyempurnaan kebijakan pengelolaan PNBP;
  3. tindak lanjut yang berdampak signifikan pada penerimaan PNBP; dan/atau
  4. tindak lanjut yang membutuhkan keterlibatan lintas unit internal Kementerian Keuangan dan/atau lintas Instansi Pengelola PNBP.


Bagian Kelima
Ketentuan Lain-lain
 
Pasal 163


Penjelasan mengenai tata cara pengawasan PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 sampai dengan Pasal 162 tercantum dalam Lampiran Huruf T yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.


BAB VIII
PENGELOLAAN PNBP OLEH BENDAHARA UMUM NEGARA

Pasal 164


(1) Menteri selaku Bendahara Umum Negara berwenang menetapkan PNBP tertentu yang dikelola oleh Bendahara Umum Negara.
(2) Penetapan PNBP tertentu sebagai PNBP yang dikelola oleh Bendahara Umum Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempertimbangkan:
  1. PNBP yang penghitungan dan/atau penetapannya membutuhkan earning process;
  2. bagian Pemerintah dari hasil pengelolaan kekayaan negara dipisahkan; atau
  3. berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan ditetapkan sebagai penerimaan Bendahara Umum Negara.


Pasal 165


(1) Penetapan PNBP BUN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 164 ayat (2) huruf c dilakukan berdasarkan dokumen yang antara lain berasal dari:
  1. hasil pengawasan Menteri;
  2. laporan hasil pemeriksaan PNBP; atau
  3. sumber lainnya yang sah dan dapat dipertanggungjawabkan.
(2) Berdasarkan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktorat Jenderal Anggaran melakukan koordinasi dengan instansi Pengelola PNBP terkait.
(3) Hasil koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Menteri sebagai pertimbangan penyusunan peraturan perundang-undangan sebagai dasar penetapan PNBP tertentu sebagai PNBP BUN.


Pasal 166


(1) Menteri dapat menetapkan PNBP BUN sebagai akibat pelaksanaan kewenangan Menteri selaku Bendahara Umum Negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Penetapan PNBP BUN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh Menteri.


Pasal 167


Dalam hal terdapat Satuan Kerja sementara pada Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara (BA 999), PNBP pada Satuan Kerja sementara ditetapkan sebagai PNBP yang dikelola oleh Bendahara Umum Negara.


Pasal 168


(1) PNBP yang selama ini telah dikelola Menteri selaku Bendahara Umum Negara ditetapkan sebagai PNBP tertentu yang dikelola oleh Bendahara Umum Negara.
(2) PNBP yang dikelola oleh Bendahara Umum Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:
  1. PNBP dari pengusahaan minyak bumi;
  2. PNBP dari pengusahaan gas bumi;
  3. PNBP dari pertambangan dan panas bumi;
  4. PNBP dari Kekayaan Negara Dipisahkan; dan
  5. PNBP BUN lain yang merupakan pelaksanaan kewenangan Menteri selaku Bendahara Umum Negara.


Pasal 169


(1) Terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 164, Pasal 166, dan Pasal 167, Menteri/Pimpinan Lembaga tetap menjalankan tugas dan fungsi yang meliputi perumusan kebijakan teknis, melaksanakan urusan teknis, pembinaan, dan pengawasan sesuai kewenangan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas dan fungsi Menteri/Pimpinan Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri tersendiri atau Peraturan Pimpinan Instansi Pengelola PNBP sepanjang bersinggungan dengan pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang dikelola oleh Bendahara Umum Negara.


Pasal 170


(1) Tata cara pengelolaan PNBP pada Instansi Pengelola PNBP Bendahara Umum Negara dapat mengacu pada ketentuan dalam Peraturan Menteri ini sepanjang belum diatur tersendiri.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Pengelolaan PNBP BUN dapat diatur dengan Peraturan Menteri tersendiri sesuai karakteristik PNBP BUN.


BAB IX
TATA CARA PERMINTAAN PEMERIKSAAN PNBP

Bagian Kesatu
Dasar Pemeriksaan PNBP

Paragraf 1
Umum


Pasal 171


(1) Dalam hal tertentu, Menteri dan/atau Pimpinan Instansi Pengelola PNBP dapat meminta Pemeriksaan PNBP kepada Instansi Pemeriksa.
(2) Menteri dapat meminta Instansi Pemeriksa untuk melakukan Pemeriksaan PNBP terhadap:
  1. Wajib Bayar;
  2. Instansi Pengelola PNBP; atau
  3. Mitra Instansi Pengelola PNBP.
(3) Instansi Pengelola PNBP dapat meminta Instansi Pemeriksa untuk melakukan Pemeriksaan PNBP terhadap:
  1. Wajib Bayar; atau
  2. Mitra instansi Pengelola PNBP.
(4) Wajib Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan ayat (3) huruf a, terdiri dari:
  1. Wajib Bayar yang menghitung sendiri PNBP Terutang; dan
  2. Wajib Bayar yang PNBP Terutangnya dihitung oleh Instansi Pengelola PNBP atau Mitra Instansi Pengelola PNBP.


Paragraf 2
Permintaan Pemeriksaan PNBP oleh Pimpinan Instansi
Pengelola PNBP dan/atau Menteri terhadap Wajib Bayar

Pasal 172


(1) Terhadap Wajib Bayar yang menghitung sendiri kewajiban PNBP Terutangnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 171 ayat (4) huruf a, Instansi Pemeriksa dapat melakukan pemeriksaan PNBP berdasarkan permintaan Pimpinan Instansi Pengelola PNBP.
(2) Permintaan Pimpinan Instansi Pengelola PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan berdasarkan:
  1. hasil pengawasan Instansi Pengelola PNBP terhadap Wajib Bayar yang bersangkutan;
  2. permohonan pengembalian kelebihan pembayaran PNBP; dan/atau
  3. permohonan keringanan PNBP Terutang.
(3) Hasil pengawasan Instansi Pengelola PNBP terhadap Wajib Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a merupakan hasil pengawasan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah yang dapat ditindaklanjuti dengan permintaan pemeriksaan termasuk:
  1. hasil pengawasan menemukan indikasi Wajib Bayar tidak menyampaikan laporan realisasi PNBP dan laporan PNBP Terutang selama dua periode berturut-turut dengan nilai potensi kurang bayar lebih dari Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah);
  2. hasil pengawasan menemukan adanya indikasi Wajib Bayar melakukan pemalsuan dokumen pembayaran PNBP;
  3. hasil pengawasan menemukan adanya indikasi Wajib Bayar menggunakan bukti pembayaran PNBP secara berulang; dan/atau
  4. hasil pengawasan berupa reviu terhadap permohonan atas koreksi substantif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2) huruf a.
(4) Permohonan pengembalian PNBP yang dapat dimintakan pemeriksaaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, merupakan permohonan pengembalian PNBP dengan nilai lebih dari Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah) dan besarannya belum diyakini oleh Pejabat Kuasa Pengelola PNBP.
(5) Permohonan keringanan PNBP Terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c merupakan permohonan keringanan dalam bentuk pengurangan atau pembebasan dengan nilai lebih dari Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah) sebagai akibat kondisi kesulitan likuiditas.


Pasal 173


(1) Dalam hal tertentu, Menteri dapat meminta Instansi Pemeriksa untuk melakukan Pemeriksaan PNBP terhadap Wajib Bayar yang menghitung sendiri kewajiban PNBP Terutangnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 171 ayat (4) huruf a.
(2) Hal tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), termasuk:
  1. adanya indikasi ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang PNBP;
  2. adanya indikasi kerugian negara dan/atau indikasi unsur tindak pidana; dan/atau
  3. adanya permohonan pengembalian kelebihan pembayaran PNBP secara tunai.
(3) Selain dasar permintaan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dalam hal diperlukan Menteri dapat meminta pemeriksaan terhadap Wajib Bayar yang menghitung sendiri kewajiban PNBP Terutangnya sebagai tindak lanjut atas:
  1. adanya permohonan keringanan PNBP;
  2. hasil pengawasan yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Anggaran; dan/atau
  3. pertimbangan Menteri lainnya.
(4) Permintaan pemeriksaan karena adanya permohonan pengembalian kelebihan pembayaran PNBP secara tunai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, merupakan permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran PNBP secara langsung melalui pemindahbukuan yang memerlukan pertimbangan Menteri, dalam hal:
  1. permohonan pengembalian kelebihan pembayaran PNBP tidak dipersyaratkan adanya rekomendasi dari Instansi Pemeriksa namun berdasarkan pertimbangan Menteri perlu dimintakan pemeriksaan PNBP; atau
  2. permohonan pengembalian kelebihan pembayaran PNBP telah disertai rekomendasi Instansi Pemeriksa, namun berdasarkan pertimbangan Menteri perlu dimintakan pemeriksaan PNBP kembali.
(5) Permohonan keringanan PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, merupakan permohonan keringanan yang memerlukan pertimbangan atau persetujuan Menteri, dalam hal:
  1. permohonan keringanan PNBP tidak dipersyaratkan adanya rekomendasi dari Instansi Pemeriksa namun berdasarkan pertimbangan Menteri perlu dimintakan pemeriksaan PNBP; atau
  2. permohonan keringanan PNBP telah disertai rekomendasi Instansi Pemeriksa, namun berdasarkan pertimbangan Menteri perlu dimintakan pemeriksaan PNBP kembali.
(6) Hasil pengawasan Direktorat Jenderal Anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat 3 huruf (b) merupakan hasil pengawasan yang dapat ditindaklanjuti dengan permintaan pemeriksaan, termasuk:
a. adanya tunggakan terhadap penerimaan negara lainnya;
b. berdasarkan hasil analisis profil risiko Wajib Bayar perlu ditindaklanjuti dengan permintaan pemeriksaan; dan/atau
c. Instansi Pengelola PNBP tidak menindaklanjuti hasil pengawasan yang menemukan adanya:
  1. indikasi ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang PNBP;
  2. indikasi kerugian negara; dan/atau
  3. unsur tindak pidana.
(7) Dalam rangka permintaan pemeriksaan PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri berkoordinasi dengan Instansi Pengelola PNBP.


Pasal 174


(1) Dalam hal tertentu, Pimpinan Instansi Pengelola PNBP dapat meminta Instansi Pemeriksa untuk melakukan pemeriksaan PNBP terhadap Wajib Bayar yang kewajiban PNBP Terutang dihitung oleh Instansi Pengelola PNBP atau dihitung oleh Mitra Instansi Pengelola PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 171 ayat (4) huruf b.
(2) Hal tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), termasuk:
  1. adanya permohonan koreksi atas Surat Tagihan PNBP;
  2. adanya permohonan pengembalian kelebihan pembayaran PNBP secara tunai; dan/atau
  3. adanya permohonan keringanan PNBP.
(3) Selain dasar permintaan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pimpinan Instansi Pengelola PNBP dapat meminta pemeriksaan terhadap Wajib Bayar yang kewajiban PNBP Terutangnya dihitung oleh Instansi Pengelola PNBP atau Mitra Instansi Pengelola PNBP kepada Instansi Pemeriksa, termasuk sebagai tindak lanjut atas hasil pengawasan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah.
(4) Permohonan koreksi Surat Tagihan PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, merupakan permohonan koreksi yang bersifat substantif yang diajukan Wajib Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (3) huruf a.
(5) Permohonan pengembalian kelebihan pembayaran PNBP secara tunai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, merupakan pengembalian PNBP dengan nilai lebih dari Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah) dan yang besarannya belum diyakini oleh Pejabat Kuasa Pengelola PNBP.
(6) Permohonan keringanan PNBP Terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c merupakan permohonan keringanan dalam bentuk pengurangan atau pembebasan dengan nilai lebih dari Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah) sebagai akibat kondisi kesulitan likuiditas.
(7) Hasil pengawasan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dapat ditindaklanjuti dengan permintaan pemeriksaan, termasuk:
  1. hasil pengawasan menemukan indikasi Wajib Bayar melakukan pemalsuan dokumen pembayaran PNBP; dan/atau
  2. hasil pengawasan menemukan indikasi Wajib Bayar menggunakan bukti pembayaran PNBP secara berulang.


Pasal 175


(1) Dalam hal tertentu, Menteri dapat meminta Instansi Pemeriksa melakukan Pemeriksaan PNBP terhadap Wajib Bayar yang kewajiban PNBP Terutang dihitung oleh Instansi Pengelola PNBP atau dihitung oleh Mitra Instansi Pengelola PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 171 ayat (4) huruf b.
(2) Hal tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), termasuk:
  1. adanya permohonan pengembalian kelebihan pembayaran PNBP secara tunai; dan/atau
  2. adanya permohonan keringanan PNBP.
(3) Selain dasar permintaan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri dapat meminta pemeriksaan terhadap Wajib Bayar yang kewajiban PNBP Terutangnya dihitung oleh Instansi Pengelola PNBP atau Mitra Instansi Pengelola PNBP kepada Instansi Pemeriksa, antara lain:
  1. hasil pengawasan Direktorat Jenderal Anggaran; dan/atau
  2. adanya arahan Menteri untuk dimintakan pemeriksaan PNBP.
(4) Permintaan pemeriksaan berdasarkan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran PNBP secara tunai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilaksanakan dalam hal:
  1. permohonan pengembalian kelebihan pembayaran PNBP tidak dipersyaratkan adanya rekomendasi dari Instansi Pemeriksa, tetapi berdasarkan pertimbangan Menteri perlu dimintakan pemeriksaan PNBP; atau
  2. permohonan pengembalian kelebihan pembayaran PNBP secara tunai telah disertai rekomendasi Instansi Pemeriksa, namun berdasarkan pertimbangan Menteri perlu dimintakan pemeriksaan PNBP kembali.
(5) Permohonan keringanan PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, merupakan permohonan yang memerlukan pertimbangan atau persetujuan Menteri, dalam hal:
  1. permohonan keringanan PNBP tidak dipersyaratkan adanya rekomendasi dari Instansi Pemeriksa, tetapi berdasarkan pertimbangan Menteri perlu dimintakan pemeriksaan PNBP; atau
  2. permohonan keringanan PNBP telah disertai rekomendasi Instansi Pemeriksa, namun berdasarkan pertimbangan Menteri perlu dimintakan pemeriksaan PNBP kembali.
(6) Hasil pengawasan Direktorat Jenderal Anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat 3 huruf (a) merupakan hasil pengawasan yang dapat ditindaklanjuti dengan permintaan pemeriksaan, termasuk:
a. adanya tunggakan terhadap penerimaan negara lainnya;
b. berdasarkan hasil analisis profil risiko Wajib Bayar perlu ditindaklanjuti dengan permintaan pemeriksaan; dan/atau
c. hasil pengawasan Menteri menemukan adanya:
  1. indikasi ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang PNBP;
  2. indikasi kerugian negara; dan/atau
  3. unsur tindak pidana,
tetapi tidak segera ditindaklanjuti oleh Instansi Pengelola PNBP.
(7) Dalam rangka permintaan pemeriksaan PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri berkoordinasi dengan instansi Pengelola PNBP.


Paragraf 3
Permintaan Pemeriksaan PNBP oleh Menteri Terhadap
Instansi Pengelola PNBP

Pasal 176


(1) Menteri dapat meminta Instansi Pemeriksa untuk melakukan pemeriksaan PNBP terhadap Instansi Pengelola PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 171 ayat (2) huruf b.
(2) Permintaan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan:
  1. adanya indikasi pelanggaran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang PNBP;
  2. adanya indikasi kerugian negara dan/atau indikasi unsur tindak pidana;
  3. hasil pengawasan aparat pengawasan intern pemerintah; dan/atau
  4. hasil pengawasan Menteri.
(3) Hasil pengawasan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c yang dapat ditindaklanjuti dengan permintaan pemeriksaan, antara lain berupa temuan yang mengindikasikan Instansi Pengelola PNBP tidak melakukan perbaikan tata kelola PNBP:
  1. setelah berulang kali direkomendasikan oleh Aparat Pengawasan Intern Pemerintah; dan/atau
  2. setelah berulang kali diberikan bimbingan teknis oleh Menteri.
(4) Hasil pengawasan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d merupakan hasil pengawasan Direktorat Jenderal Anggaran yang dapat ditindaklanjuti dengan permintaan pemeriksaan, antara lain:
a. hasil pengawasan Direktorat Jenderal Anggaran yang berdasarkan arahan Menteri perlu ditindaklanjuti dengan pemeriksaan; dan/atau
b. hasil pengawasan Direktorat Jenderal Anggaran menemukan adanya:
  1. indikasi ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang PNBP;
  2. indikasi kerugian negara; dan/atau
  3. unsur tindak pidana.


Paragraf 4
Permintaan Pemeriksaan PNBP oleh Menteri dan/atau
Pimpinan Instansi Pengelola PNBP Terhadap Mitra Instansi
Pengelola PNBP

Pasal 177


(1) Menteri dan/atau Pimpinan Instansi Pengelola PNBP dapat meminta Instansi Pemeriksa untuk melakukan pemeriksaan PNBP terhadap Mitra Instansi Pengelola PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 171 ayat (2) huruf c dan ayat (3) huruf b.
(2) Permintaan Menteri dan/atau Pimpinan Instansi Pengelola PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan:
  1. indikasi pelanggaran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang PNBP;
  2. indikasi kerugian negara dan/atau indikasi unsur tindak pidana; dan/atau
  3. hasil pengawasan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah.
(3) Hasil pengawasan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, antara lain berupa temuan adanya indikasi bahwa Mitra Instansi Pengelola PNBP tidak melakukan perbaikan tata kelola PNBP:
  1. setelah berulang kali direkomendasikan oleh Aparat Pengawasan Intern Pemerintah; dan/atau
  2. setelah berulang kali diberikan bimbingan teknis oleh Menteri dan/atau Instansi Pengelola PNBP.
(4) Dalam hal permintaan pemeriksaan PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal dari Menteri, Menteri berkoordinasi dengan Instansi Pengelola PNBP.
 

Bagian Kedua
Tata Cara Permintaan Pemeriksaan PNBP

Paragraf 1
Surat Permintaan Pemeriksaan PNBP

Pasal 178


(1) Permintaan pemeriksaan PNBP disampaikan oleh Menteri dan/atau Pimpinan Instansi Pengelola PNBP kepada Pimpinan Instansi Pemeriksa melalui surat permintaan pemeriksaan PNBP.
(2) Permintaan pemeriksaan PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat didelegasikan kepada pejabat setingkat di bawah Menteri dan/atau Pimpinan Instansi Pengelola PNBP.
(3) Surat permintaan pemeriksaan PNBP yang disampaikan oleh Menteri dan/atau Pimpinan Instansi Pengelola PNBP kepada Instansi Pemeriksa, paling sedikit memuat keterangan:
  1. maksud dan tujuan pemeriksaan;
  2. identitas instansi atau Wajib Bayar yang diperiksa;
  3. dasar permintaan pemeriksaan;
  4. jenis PNBP yang akan diperiksa; dan
  5. periode tahun buku.


Paragraf 2
Tata Cara Permintaan Pemeriksaan PNBP oleh Instansi
Pengelola PNBP

Pasal 179


(1) Pimpinan Instansi Pengelola PNBP menyampaikan permintaan Pemeriksaan PNBP kepada Instansi Pemeriksa paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak diterimanya:
  1. permohonan pengembalian kelebihan pembayaran PNBP dari Wajib Bayar setelah dokumen diterima lengkap dan benar;
  2. permohonan keringanan PNBP Terutang setelah dokumen diterima lengkap dan benar;
  3. permohonan koreksi substantif atas Surat Tagihan PNBP setelah dokumen diterima lengkap dan benar;
  4. rekomendasi hasil pengawasan atau pertimbangan Aparat Pengawas Intern Pemerintah;
  5. laporan indikasi pelanggaran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang PNBP; atau
  6. laporan indikasi kerugian negara dan/atau indikasi unsur tindak pidana.
(2) Surat permintaan pemeriksaan PNBP ditandatangani oleh Pimpinan Instansi Pengelola PNBP atau pejabat setingkat Eselon I atas nama Pimpinan instansi Pengelola PNBP dan disampaikan kepada Pimpinan instansi Pemeriksa PNBP, dengan tembusan disampaikan kepada Menteri Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Anggaran dan Wajib Bayar atau Mitra Instansi Pengelola PNBP yang diperiksa.


Paragraf 3
Tata Cara Permintaan Pemeriksaan PNBP oleh Instansi
Pengelola PNBP Sebagai Tindak Lanjut atas Rekomendasi
Menteri

Pasal 180


(1) Menteri dapat melakukan koordinasi dengan Instansi Pengelola PNBP dalam rangka permintaan pemeriksaan PNBP.
(2) Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam rangka klarifikasi data dan informasi terkait objek dan dasar permintaan pemeriksaan PNBP.
(3) Dalam hal hasil koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disepakati untuk ditindaklanjuti dengan pemeriksaan, Instansi Pengelola PNBP menyampaikan permintaan pemeriksaan kepada Instansi Pemeriksa.
(4) Permintaan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), disampaikan oleh Pimpinan Instansi Pengelola PNBP atau pejabat setingkat Eselon I atas nama Pimpinan Instansi Pengelola PNBP.


Paragraf 4
Tata Cara Permintaan Pemeriksaan PNBP oleh Menteri

Pasal 181


(1) Pejabat setingkat Eselon I pada Kementerian Keuangan atas nama Menteri menyampaikan permintaan pemeriksaan PNBP kepada Instansi Pemeriksa paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak diterimanya:
  1. arahan Menteri terhadap penyelesaian pertimbangan atau persetujuan permohonan keringanan PNBP;
  2. arahan Menteri terhadap penyelesaian persetujuan permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran PNBP secara langsung melalui pemindahbukuan;
  3. persetujuan Menteri terhadap laporan hasil pengawasan Direktorat Jenderal Anggaran yang perlu ditindaklanjuti dengan permintaan pemeriksaan; dan/atau
  4. arahan Menteri terhadap hal atau kondisi tertentu yang perlu dimintakan pemeriksaan.
(2) Surat permintaan pemeriksaan PNBP ditandatangani oleh pejabat setingkat Eselon I pada Kementerian Keuangan atas nama Menteri dan disampaikan kepada Pimpinan Instansi Pemeriksa, dengan tembusan disampaikan kepada Pimpinan Instansi Pengelola PNBP dan Wajib Bayar atau Instansi Pengelola PNBP atau Mitra Instansi Pengelola PNBP yang diperiksa.


BAB X
PENGHENTIAN DAM PEMBUKAAN ATAS PENGHENTIAN
LAYANAN


Pasal 182


(1) Dalam hal tertentu, Pejabat Kuasa Pengelola PNBP dapat melakukan penghentian layanan pada Instansi Pengelola PNBP kepada Wajib Bayar.
(2) Hal tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa:
a. tidak dilaksanakannya kewajiban Wajib Bayar atas:
  1. pembayaran PNBP Terutang;
  2. pemenuhan dokumen yang diperlukan dalam rangka monitoring atau verifikasi pembayaran; atau
  3. pertanggungjawaban PNBP oleh Wajib Bayar;
dan/atau
b. adanya usulan penghentian layanan kepada Wajib Bayar berdasarkan hasil pengawasan PNBP.
(3) Dalam hal Instansi Pengelola PNBP telah memiliki sistem informasi PNBP yang terkoneksi dengan sistem informasi yang dikelola Kementerian Keuangan, penghentian layanan kepada Wajib Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui sistem informasi PNBP.
(4) Selain penghentian layanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3), Pejabat Kuasa Pengelola PNBP dapat menindaklanjuti dengan permintaan penghentian akses layanan kode billing pada sistem informasi yang dikembangkan Kementerian Keuangan kepada Direktorat Jenderal Anggaran.


Pasal 183


(1) Berdasarkan permintaan penghentian akses layanan kode billing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 174 ayat (4), Direktorat Jenderal Anggaran menghentikan akses layanan penerbitan kode billing pada sistem informasi yang dikelola Kementerian Keuangan.
(2) Penghentian akses layanan kode billing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan:
  1. Wajib Bayar sedang dalam proses pengajuan koreksi atas Surat Tagihan PNBP;
  2. Wajib Bayar sedang dalam proses pengajuan keringanan PNBP;
  3. Wajib Bayar sedang dalam proses pengajuan keberatan PNBP; dan/atau
  4. Wajib Bayar sedang dalam proses peradilan terkait kewajiban PNBP.
(3) Selain penghentian akses layanan penerbitan kode billing sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktorat Jenderal Anggaran dapat menyampaikan permintaan penghentian layanan-layanan pada instansi lain berkenaan kepada Wajib Bayar.
(4) Layanan-layanan pada instansi lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa layanan perpajakan, layanan kepabeanan dan cukai, layanan imigrasi, dan layanan administrasi hukum umum.


Pasal 184


Permintaan penghentian akses layanan kode billing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 174 ayat (4) dan permintaan penghentian layanan pada instansi lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 175 ayat (2) dapat dilakukan melalui sistem informasi.


Pasal 185


Dalam hal Wajib Bayar telah memenuhi kewajiban pengelolaan PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 174 ayat 2 huruf a, Pejabat Kuasa Pengelola PNBP melakukan pembukaan atas penghentian layanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 174 ayat (1) dan pembukaan atas penghentian akses layanan penerbitan kode billing pada sistem informasi yang dikelola Kementerian Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 175 ayat (1).


BAB XI
SANKSI ADMINISTRATIF

Bagian Kesatu
Sanksi Administratif karena Keterlambatan Pembayaran PNBP
oleh Wajib Bayar

Pasal 186


(1) Sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42, Pasal 60 ayat (2), Pasal 61 ayat (1), Pasal 62 ayat (3), Pasal 66 ayat (2), dan Pasal 86 ayat (2) berupa denda sebesar 2% (dua persen) per bulan dari jumlah pokok PNBP Terutang dan bagian dari bulan dihitung 1 (satu) bulan penuh.
(2) Sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenakan untuk waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.
(3) Contoh perhitungan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tercantum dalam Lampiran Huruf K yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.


Bagian Kedua
Sanksi Administratif Bagi Pejabat Kuasa Pengelola PNBP

Pasal 187


(1) Pejabat Kuasa Pengelola PNBP yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana diatur dalam peraturan ini dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Dalam hal berdasarkan hasil pengawasan dan/atau pemeriksaan ditemukan Pejabat Kuasa Pengelola PNBP tidak memenuhi kewajiban penatausahaan PNBP sebagaimana dimaksud pada Pasal 121 ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
(3) Ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan berdasarkan antara lain peraturan perundang-undangan di bidang disiplin untuk aparatur sipil negara dan peraturan perundang-undangan di bidang tindak pidana.


Bagian Ketiga
Sanksi Administratif Bagi Mitra Instansi Pengelola PNBP

Pasal 188


(1) Mitra Instansi Pengelola PNBP yang tidak melaksanakan kewajiban dalam rangka pelaksanaan tugas berupa:
  1. penentuan PNBP Terutang;
  2. pemungutan PNBP;
  3. penyetoran PNBP;
  4. monitoring atau verifikasi atas PNBP Terutang;
  5. pencatatan piutang PNBP;
  6. penagihan PNBP Terutang;
  7. penyelesaian koreksi atas Surat Tagihan PNBP;
  8. pelaporan dan pertanggungjawaban PNBP;
  9. pelaksanaan administrasi penerimaan atas permohonan pengembalian PNBP; dan/atau
  10. pelaksanaan tugas lain di bidang PNBP sesuai penugasan dalam perjanjian/kontrak atau perikatan dalam bentuk lain, dikenai sanksi administratif.
(2) Dalam hal berdasarkan hasil pengawasan dan/atau pemeriksaan ditemukan pimpinan Mitra Instansi Pengelola PNBP tidak memenuhi kewajiban penatausahaan PNBP sebagaimana dimaksud pada Pasal 121 ayat (2) dikenai sanksi administratif.
(3) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat berupa:
  1. teguran tertulis;
  2. denda administrasi;
  3. pemotongan imbal jasa dan bonus;
  4. penghapusan imbal jasa dan bonus;
  5. penambahan bagian pemerintah atas yang dikelola Mitra instansi Pengelola PNBP di atas tarif yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangan mengenai jenis dan tarif atas jenis PNBP; dan/atau
  6. pencabutan status sebagai Mitra Instansi Pengelola PNBP.
(4) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenakan oleh Instansi Pengelola PNBP kepada Mitra instansi Pengelola PNBP secara berjenjang.
(5) Pengenaan sanksi administratif secara berjenjang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenakan dari tingkat sanksi yang paling ringan sampai dengan tingkat sanksi yang paling berat.
(6) Dalam hal Mitra Instansi Pengelola PNBP melakukan pelanggaran secara berulang, sanksi administratif secara berjenjang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenakan sekurang-kurangnya sama dengan sanksi terakhir yang diberikan.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme pengenaan, bentuk dan jenis sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur oleh Instansi Pengelola PNBP dan/atau dalam kontrak/perjanjian kerja sama/nota kesepahaman Instansi Pengelola PNBP dengan Mitra Instansi Pengelola PNBP.


Bagian Keempat
Sanksi Administratif Bagi Wajib Bayar Yang Menghitung
Sendiri PNBP Terutang


Pasal 189


(1) Dalam hal berdasarkan pengawasan PNBP dan/atau pemeriksaan PNBP ditemukan Wajib Bayar yang menghitung sendiri PNBP Terutang tidak memenuhi kewajiban penatausahaan PNBP sebagaimana dimaksud pada Pasal 121 ayat (3) dikenai sanksi administratif berupa denda sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
(2) Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pejabat Kuasa Pengelola PNBP dengan menerbitkan Surat Tagihan PNBP sanksi administratif kepada Wajib Bayar yang menghitung sendiri PNBP Terutang.
(3) Mekanisme penerbitan Surat Tagihan PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengikuti mekanisme penerbitan Surat Tagihan PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 dan/atau Pasal 83.


Pasal 190


(1) Dalam hal Wajib Bayar yang menghitung sendiri PNBP Terutang tidak menyampaikan laporan realisasi penyetoran PNBP dan PNBP Terutang sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 130 ayat (5), dikenai sanksi administratif berupa denda sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
(2) Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Instansi Pengelola PNBP dengan menerbitkan surat, permintaan pembayaran sanksi administratif kepada Wajib Bayar yang menghitung sendiri PNBP Terutang.
(3) Surat permintaan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Wajib Bayar yang menghitung sendiri PNBP Terutang setelah batas waktu penyampaian laporan dimaksud berakhir.
(4) Wajib Bayar yang menghitung sendiri PNBP Terutang melakukan pembayaran sanksi administratif paling lambat 10 hari setelah menerima surat permintaan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3).


Pasal 191


(1) Dalam hal Wajib Bayar yang menghitung sendiri PNBP Terutang tidak melakukan pembayaran sanksi administratif sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 189 ayat (4), Pejabat Kuasa Pengelola PNBP menerbitkan Surat Tagihan PNBP sanksi administratif kepada Wajib Bayar yang menghitung sendiri PNBP Terutang.
(2) Mekanisme penerbitan Surat Tagihan PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengikuti mekanisme penerbitan Surat Tagihan PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76.


BAB XII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 192


Instansi Pengelola PNBP menyerahkan tagihan PNBP Terutang yang umur piutangnya lebih dari 6 (enam) bulan dan telah memenuhi persyaratan untuk diserahkan kepada instansi yang berwenang mengurus piutang negara paling lambat 2 (dua) bulan sejak Peraturan Menteri ini berlaku.


Pasal 193


(1) Instansi Pengelola PNBP menindaklanjuti PNBP Terutang yang umur piutangnya lebih dari 6 (enam) bulan dan sedang dalam proses penyelesaian keberatan, keringanan, koreksi atas surat tagihan, gugatan peradilan, atau pemeriksaan PNBP sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) PNBP Terutang yang umur piutangnya lebih dari 6 (enam) bulan dan tidak dapat diserahkan kepada instansi yang berwenang mengurus piutang negara, Instansi Pengelola PNBP menindaklanjuti sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36.


BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 194


Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, semua petunjuk teknis yang merupakan pelaksanaan dari:
  1. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 3/PMK.02/2013 tentang Tata Cara Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak oleh Bendahara Penerimaan; dan
  2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 152/PMK.02/2014 tentang Petunjuk Penyusunan Rencana Penerimaan Negara Bukan Pajak Kementerian/Lembaga,
dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri ini.


Pasal 195


Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:
  1. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 3/PMK.02/2013 tentang Tata Cara Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak oleh Bendahara Penerimaan; dan
  2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 152/PMK.02/2014 tentang Petunjuk Penyusunan Rencana Penerimaan Negara Bukan Pajak Kementerian/Lembaga,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.


Pasal 196


Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.




  Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 8 November 2021

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

SRI MULYANI INDRAWATI


Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 9 November 2021

DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

BENNY RIYANTO





BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2021 NOMOR 1235