Peraturan Pemerintah Nomor : 96 TAHUN 2021
Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral Dan Batubara
Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 96 TAHUN 2021
TENTANG
PELAKSANAAN KEGIATAN USAHA PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 5 ayat (3), Pasal 34 ayat (3), Pasal 40 ayat (8), Pasal 42A ayat (2), Pasal 46 ayat (3), Pasal 49, Pasal 51 ayat (3), Pasal 60 ayat (3), Pasal 62A ayat (2), Pasal 65 ayat (2), Pasal 71 ayat (2), Pasal 72, Pasal 75 ayat (6), Pasal 76 ayat (3), Pasal 83A ayat (2), Pasal 83B ayat (2), Pasal 84, Pasal 86 ayat (2), Pasal 86A ayat (3), Pasal 86H, Pasal 91 ayat (5), Pasal 93B, Pasal 102 ayat (4), Pasal 109, Pasal 111 ayat (2), Pasal 112 ayat (4), Pasal 112A ayat (3), Pasal 116, Pasal 123B ayat (3), Pasal 124 ayat (4), Pasal 137A ayat (2), dan Pasal 156 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara;
Mengingat :
- Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik indonesia Tahun 1945:
- Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573)
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PELAKSANAAN KEGIATAN USAHA PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA.
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1. | Pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan/atau pemurnian atau pengembangan dan/atau pemanfaatan, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pascatambang. |
2. | Mineral adalah senyawa anorganik yang terbentuk di alam, yang memiliki sifat fisik dan kimia tertentu serta susunan kristal teratur atau gabungannya yang membentuk batuan, baik dalam bentuk lepas atau padu. |
3. | Batubara adalah endapan senyawa organik karbonan yang terbentuk secara alamiah dari sisa tumbuh-tumbuhan. |
4. | Pertambangan Mineral adalah Pertambangan kumpulan Mineral yang berupa bijih atau batuan, di luar panas bumi, minyak dan gas bumi, serta air tanah. |
5. | Pertambangan Batubara adalah Pertambangan endapan karbon yang terdapat di dalam bumi, termasuk bitumen padat, gambut, dan batuan aspal. |
6. | Usaha Pertambangan adalah kegiatan dalam rangka pengusahaan Mineral atau Batubara yang meliputi tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan/atau pemurnian atau pengembangan dan/atau pemanfaatan, pengangkutan dan penjualan, serta pascatambang. |
7. | Kontrak Karya yang selanjutnya disebut KK adalah perjanjian antara pemerintah dengan perusahaan berbadan hukum Indonesia untuk melakukan kegiatan Usaha Pertambangan Mineral. |
8. | Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara yang selanjutnya disebut PKP2B adalah perjanjian antara pemerintah dengan perusahaan berbadan hukum Indonesia untuk melakukan kegiatan Usaha Pertambangan Batubara. |
9. | Perizinan Berusaha adalah legalitas yang diberikan kepada pelaku usaha untuk memulai dan menjalankan usaha dan/atau kegiatannya. |
10. | Izin Usaha Pertambangan, yang selanjutnya disebut IUP, adalah izin untuk melaksanakan Usaha Pertambangan. |
11. | Izin Pertambangan Rakyat, yang selanjutnya disebut IPR, adalah izin untuk melaksanakan Usaha Pertambangan dalam wilayah pertambangan rakyat dengan luas wilayah dan investasi terbatas. |
12. | Izin Usaha Pertambangan Khusus, yang selanjutnya disebut IUPK, adalah izin untuk melaksanakan Usaha Pertambangan di wilayah izin usaha pertambangan khusus. |
13. | Surat Izin Penambangan Batuan, yang selanjutnya disebut SIPB, adalah izin yang diberikan untuk melaksanakan kegiatan Usaha Pertambangan batuan jenis tertentu atau untuk keperluan tertentu. |
14. | IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian adalah izin usaha yang diberikan sebagai perpanjangan setelah selesainya pelaksanaan Kontrak Karya atau Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara. |
15. | Izin Pengangkutan dan Penjualan adalah izin usaha yang diberikan kepada perusahaan untuk membeli, mengangkut, dan menjual komoditas tambang Mineral atau Batubara. |
16. | Izin Usaha Jasa Pertambangan, yang selanjutnya disebut IUJP, adalah izin yang diberikan untuk melakukan kegiatan usaha jasa pertambangan inti yang berkaitan dengan tahapan dan/atau bagian kegiatan Usaha Pertambangan. |
17. | Penyelidikan Umum adalah tahapan kegiatan Pertambangan untuk mengetahui kondisi geologi regional dan indikasi adanya mineralisasi. |
18. | Eksplorasi adalah tahapan kegiatan Usaha Pertambangan untuk memperoleh informasi secara terperinci dan teliti tentang lokasi, bentuk, dimensi, sebaran, kualitas dan sumber daya terukur dari bahan galian, serta informasi mengenai lingkungan sosial dan lingkungan hidup. |
19. | Studi Kelayakan adalah tahapan kegiatan Usaha Pertambangan untuk memperoleh informasi secara rinci seluruh aspek yang berkaitan untuk menentukan kelayakan ekonomis dan teknis Usaha Pertambangan, termasuk analisis mengenai dampak lingkungan serta perencanaan pascatambang. |
20. | Operasi Produksi adalah tahapan kegiatan Usaha Perta.mbangan yang meliputi konstruksi, penambangan, pengolahan dan/atau pemurnian atau pengembangan dan/atau pemanfaatan, termasuk pengangkutan dan penjualan, serta sarana pengendalian dampak lingkungan sesuai dengan hasil studi kelayakan. |
21. | Konstruksi adalah kegiatan Usaha Pertambangan untuk melakukan pembangunan seluruh fasilitas operasi produksi, termasuk pengendalian dampak lingkungan. |
22. | Penambangan adalah kegiatan untuk memproduksi Mineral dan/atau Batubara dan Mineral ikutannya. |
23. | Pengolahan adalah upaya meningkatkan mutu komoditas tambang Mineral untuk menghasilkan produk dengan sifat fisik dan kimia yang tidak berubah dari sifat komoditas tambang asal untuk dilakukan pemurnian atau menjadi bahan baku industri. |
24. | Pemurnian adalah upaya untuk meningkatkan mutu komoditas tambang Mineral melalui proses fisika maupun kimia serta proses peningkatan kemurnian lebih lanjut untuk menghasilkan produk dengan sifat fisik dan kimia yang berbeda dari komoditas tambang asal sampai dengan produk logam sebagai bahan baku industri. |
25. | Pengembangan dan/atau Pemanfaatan adalah upaya untuk meningkatkan mutu Batubara dengan atau tanpa mengubah sifat fisik atau kimia Batubara asal. |
26. | Pengangkutan adalah kegiatan Usaha Pertambangan untuk memindahkan Mineral dan/atau Batubara dari daerah tambang dan/atau tempat Pengolahan dan/atau Pemurnian sampai tempat penyerahan. |
27. | Penjualan adalah kegiatan Usaha Pertambangan untuk menjual hasil Pertambangan Mineral atau Batubara. |
28. | Badan Usaha adalah setiap badan hukum yang bergerak di bidang Pertambangan yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. |
29. | Badan Usaha Milik Negara, yang selanjutnya disebut BUMN, adalah BUMN yang bergerak di bidang Pertambangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
30. | Badan Usaha Swasta Nasional adalah badan usaha yang berbadan hukum Indonesia yang kepemilikan sahamnya 100% (seratus persen) dalam negeri. |
31. | Badan Usaha Milik Daerah yang selanjutnya disebut BUMD, adalah BUMD yang bergerak di bidang Pertambangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
32. | Jasa Pertambangan adalah jasa penunjang yang berkaitan dengan kegiatan Usaha Pertambangan. |
33. | Wilayah Izin Usaha Pertambangan, yang selanjutnya disebut WIUP, adalah wilayah yang diberikan kepada pemegang IUP atau pemegang SIPB. |
34. | Wilayah Pertambangan, yang selanjutnya disebut WP, adalah wilayah yang memiliki potensi Mineral dan/atau Batubara dan tidak terikat dengan batasan administrasi pemerintahan yang merupakan bagian dari tata ruang nasional. |
35. | Wilayah Pertambangan Rakyat, yang selanjutnya disebut WPR, adalah bagian dari WP tempat dilakukan kegiatan Usaha Pertambangan rakyat. |
36. | Wilayah Usaha Pertambangan Khusus, yang selanjutnya disebut WUPK, adalah wilayah yang telah memiliki ketersediaan data, potensi, dan/atau informasi geologi yang dapat diusahakan untuk kepentingan strategis nasional. |
37. | Koperasi adalah badan hukum yang didirikan oleh' orang perseorangan atau badan hukum Koperasi, dengan pemisahan kekayaan para anggotanya sebagai modal untuk menjalankan usaha, yang memenuhi aspirasi dan kebutuhan bersama di bidang ekonomi, sosial, dan budaya sesuai dengan nilai dan prinsip Koperasi. |
38. | Masyarakat adalah masyarakat yang terkena dampak langsung dari kegiatan Usaha Pertambangan. |
39. | Rencana Kerja dan Anggaran Biaya Tahunan yang selanjutnya disebut RKAB Tahunan adalah rencana kerja dan anggaran biaya tahun berjalan pada kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara yang meliputi aspek pengusahaan, aspek teknik, dan aspek lingkungan. |
40. | Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. |
41. | Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom. |
42. | Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Pertambangan Mineral dan Batubara. |
(1) | Pertambangan Mineral dan Batubara dikelompokkan ke dalam 5 (lima) golongan sebagai berikut:
|
||||||||||
(2) | Selain golongan mineral bukan logam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terdapat Mineral bukan logam jenis tertentu meliputi ametis, akuamarin, intan, korundum, rubi, safir, topas, turmalin, serta batu gamping, clay, dan pasir kuarsa untuk industri semen dan/atau bukan semen. | ||||||||||
(3) | Perubahan atas penggolongan dan/atau penambahan komoditas tambang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan oleh Menteri. |
BAB II
RENCANA PENGELOLAAN
MINERAL DAN BATUBARA NASIONAL
Bagian Kesatu
Penyusunan Rencana Pengelolaan
Mineral dan Batubara Nasional
Pasal 3
(1) | Rencana pengelolaan Mineral dan Batubara nasional disusun dengan mempertimbangkan:
|
||||||||||||||||||||
(2) | Rencana pengelolaan Mineral dan Batubara nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat:
|
Bagian Kedua
Penetapan Rencana Pengelolaan
Mineral dan Batubara Nasional
Pasal 4
(1) | Rencana pengelolaan Mineral dan Batubara nasional ditetapkan oleh Menteri untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan dapat ditinjau kembali 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun. | ||||||||||||
(2) | Rencana pengelolaan Mineral dan Batubara nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan sebagai pedoman dalam penyelenggaraan pengelolaan Mineral dan Batubara dalam rangka:
|
Peninjauan rencana pengelolaan Mineral dan Batubara nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dapat dilakukan dalam hal terdapat perubahan:
a. | kebijakan nasional di bidang Pertambangan Mineral dan Batubara; dan/atau |
b. | rencana pembangunan jangka panjang dan rencana pembangunan jangka menengah nasional. |
BAB III
PERIZINAN BERUSAHA DI BIDANG PERTAMBANGAN
(1) | Usaha Pertambangan dilaksanakan berdasarkan Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. | ||||||||||||||||||
(2) | Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui pemberian:
|
||||||||||||||||||
(3) | Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. | ||||||||||||||||||
(4) | Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c terdiri atas:
|
||||||||||||||||||
(5) | Perizinan Berusaha dalam bentuk pemberian sertifikat standar dan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan huruf c dapat didelegasikan kepada Pemerintah Daerah provinsi berdasarkan prinsip:
|
Selain berdasarkan prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (5), pendelegasian kewenangan pemberian sertifikat standar dan izin harus mempertimbangkan sifat strategis komoditas Pertambangan untuk:
a. | penyediaan bahan baku industri dalam negeri; dan/atau |
b. | penyediaan energi dalam negeri. |
Pendelegasian Perizinan Berusaha dalam bentuk pemberian sertifikat standar dan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (5) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Presiden.
BAB IV
IZIN USAHA PERTAMBANGAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 9
(1) | IUP diberikan oleh Menteri berdasarkan permohonan yang diajukan oleh:
|
||||||
(2) | Badan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas BUMN, BUMD, atau Badan Usaha swasta. | ||||||
(3) | Perusahaan perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi perusahaan firma dan perusahaan komanditer. | ||||||
(4) | Badan Usaha swasta sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi Badan Usaha Swasta Nasional dan Badan Usaha swasta dalam rangka penanaman modal asing. | ||||||
(5) | IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah mendapatkan WIUP. | ||||||
(6) | Ketentuan mengenai penetapan WIUP sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dalam Peraturan Pemerintah tersendiri. |
(1) | Pemegang IUP dilarang memindahtangankan IUP kepada pihak lain tanpa persetujuan dari Menteri. | ||||||
(2) | Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan setelah pemegang IUP memenuhi persyaratan:
|
||||||
(3) | Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b paling sedikit meliputi:
|
||||||
(4) | Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan terintegrasi secara elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. | ||||||
(5) | Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b paling sedikit meliputi:
|
||||||
(6) | Data sumber daya dan cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b harus dilengkapi dengan surat pernyataan sumber daya dan cadangan. | ||||||
(7) | Persyaratan lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b paling sedikit meliputi:
|
||||||
(8) | Persyaratan finansial sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b paling sedikit meliputi:
|
(1) | Dokumen terkait pihak lain yang menerima pemindahtanganan IUP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf c meliputi dokumen administratif, teknis, lingkungan, dan finansial. | ||||
(2) | Dokumen administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
||||
(3) | Dokumen teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
|
||||
(4) | Dokumen lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa surat pernyataan kesanggupan untuk mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. | ||||
(5) | Dokumen finansial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
|
(1) | IUP yang diberikan kepada BUMN, sebagian WIUP tahap kegiatan Operasi Produksi dapat dialihkan kepada Badan Usaha lain yang 51% (lima puluh satu persen) atau lebih kepemilikan sahamnya dimiliki oleh BUMN pemegang IUP yang WIUP-nya akan dialihkan. |
(2) | Kepemilikan saham BUMN pada Badan Usaha lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat terdilusi menjadi kurang dari 51% (lima puluh satu persen). |
(3) | Pengalihan sebagian WIUP tahap kegiatan Operasi Produksi sebagaimana dimaksud ayat (1) dilakukan setelah mendapatkan persetujuan Menteri. |
(1) | Badan Usaha pemegang IUP dilarang mengalihkan kepemilikan saham tanpa persetujuan Menteri. | ||||||
(2) | Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan setelah memenuhi persyaratan paling sedikit:
|
||||||
(3) | Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b paling sedikit meliputi:
|
||||||
(4) | Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan terintegrasi secara elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. | ||||||
(5) | Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, paling sedikit meliputi:
|
||||||
(6) | Data sumber daya dan cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b harus dilengkapi dengan surat pernyataan sumber daya dan cadangan. | ||||||
(7) | Persyaratan lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, berupa surat pernyataan kesanggupan untuk mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. | ||||||
(8) | Persyaratan finansial sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, paling sedikit meliputi:
|
||||||
(9) | Dalam hal pengalihan saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui penawaran umum perdana di bursa saham Indonesia, Badan Usaha pemegang UJP wajib melaporkan kepada Menteri. |
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemindahtanganan IUP, pengalihan sebagian WIUP, dan pengalihan kepemilikan saham Badan Usaha pemegang IUP diatur dalam Peraturan Menteri.
IUP untuk komoditas batuan hanya dapat diberikan kepada BUMN, BUMD, Badan Usaha Swasta Nasional, Koperasi, dan perusahaan perseorangan.
IUP diperoleh melalui tahapan:
a. | pemberian WIUP: dan |
b. | pemberian IUP. |
Bagian Kedua
Pemberian Wilayah Izin Usaha Pertambangan
Paragraf 1
Umum
Pasal 17
(1) | WIUP terdiri atas:
|
||||||||||||
(2) | WIUP Mineral radioaktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diperoleh sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. | ||||||||||||
(3) | WIUP Mineral logam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan WIUP Batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c diperoleh dengan cara lelang. | ||||||||||||
(4) | WIUP Mineral bukan logam, WIUP Mineral bukan logam jenis tertentu, dan WIUP batuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, huruf e, dan huruf f diperoleh dengan cara mengajukan permohonan wilayah. |
Pengusahaan dan pemanfaatan Mineral radioaktif dalam WIUP Mineral radioaktif dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dalam 1 (satu) WUP dapat terdiri atas 1 (satu) atau beberapa WIUP.
Paragraf 2
Tata Cara Pemberian
Wilayah Izin Usaha Pertambangan Mineral Logam
atau Wilayah Izin Usaha Pertambangan Batubara
Pasal 20
(1) | Sebelum dilakukan lelang WIUP Mineral logam atau WIUP Batubara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3), Menteri mengumumkan secara terbuka rencana pelaksanaan lelang dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kalender atau paling cepat 60 (enam puluh) hari kalender sebelum pelaksanaan lelang. | ||||||
(2) | Pengumuman rencana pelaksanaan lelang WIUP Mineral logam atau WIUP Batubara dilaksanakan secara terbuka dengan ketentuan paling sedikit:
|
(1) | Dalam pelaksanaan lelang WIUP Mineral logam atau WIUP Batubara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, Menteri membentuk panitia lelang WJUP Mineral logam atau WIUP Batubara. |
(2) | Panitia lelang WIUP Mineral logam atau WIUP Batubara yang dibentuk oleh Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beranggotakan gasal dan paling sedikit berjumlah 7 (tujuh) orang. |
(3) | Dalam keanggotaan panitia lelang WIUP Mineral logam atau WIUP Batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat mengikutsertakan Pemerintah Daerah. |
(1) | Dalam pelaksanaan lelang WIUP Mineral logam atau WIUP Batubara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, caIon peserta lelang harus memenuhi persyaratan:
|
||||||||||||||||||||||||
(2) | Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a untuk:
|
||||||||||||||||||||||||
(3) | Persyaratan teknis dan pengelolaan lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b paling sedikit meliputi:
|
||||||||||||||||||||||||
(4) | Persyaratan finansial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi:
|
(1) | Prosedur lelang WIUP Mineral logam atau WIUP Batubara dilakukan dengan 2 (dua) tahap yang terdiri atas:
|
||||
(2) | Dalam tahap prakualifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, panitia lelang WIUP Mineral logam atau WIUP Batubara melakukan evaluasi terhadap dokumen persyaratan administratif, teknis dan pengelolaan lingkungan, serta finansial. | ||||
(3) | Dalam tahap kualifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, panitia lelang WIUP Mineral logam atau WIUP Batubara melakukan evaluasi terhadap penawaran harga lelang WIUP Mineral logam atau WIUP Batubara. |
Panitia lelang WIUP Mineral logam atau WIUP Batubara harus melaksanakan prosedur lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat secara transparan dan akuntabel.
(1) | Hasil pelaksanaan lelang WIUP Mineral logam atau WIUP Batubara dilaporkan oleh panitia lelang WIUP Mineral logam atau WIUP Batubara kepada Menteri. |
(2) | Menteri berdasarkan laporan dari panitia lelang WIUP Mineral logam atau WIUP Batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menetapkan pemenang lelang WIUP Mineral logam atau WIUP Batubara. |
(3) | Menteri memberitahukan secara tertulis penetapan pemenang lelang WIUP Mineral logam atau WIUP Batubara kepada pemenang lelang. |
(4) | Pemenang lelang WIUP Mineral logam atau WIUP Batubara harus membayar seluruh nilai kompensasi data informasi sesuai dengan nilai penawaran lelang dalam jangka waktu paling lambat 7 (hari) kerja sejak pengumuman pemenang lelang. |
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara lelang WIUP Mineral logam atau WIUP Batubara diatur dalam Peraturan Menteri.
Paragraf 3
Tata Cara Pemberian
Wilayah Izin Usaha Pertambangan Mineral Bukan Logam,
Wilayah Izin Usaha Pertambangan Mineral Bukan Logam Jenis Tertentu,
atau Wilayah Izin Usaha Pertambangan Batuan
Pasal 27
(1) | Untuk mendapatkan WIUP Mineral bukan logam, WIUP Mineral bukan logam jenis tertentu, atau WUP batuan, Badan Usaha, Koperasi, atau perusahaan perseorangan mengajukan permohonan wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (4) kepada Menteri. | ||||||||||||
(2) | Permohonan wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan:
|
||||||||||||
(3) | Dalam pemberian WIUP Mineral bukan logam, WIUP Mineral bukan logam jenis tertentu, atau WIUP batuan berlaku asas prioritas bagi pihak yang mengajukan permohonan wilayah pertama dan memenuhi persyaratan. | ||||||||||||
(4) | Menteri dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah diterimanya permohonan memberikan keputusan menerima atau menolak atas permohonan wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1). | ||||||||||||
(5) | Keputusan menerima sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada pemohon wilayah disertai dengan penyerahan peta berikut batas dan koordinat WIUP Mineral bukan logam, WIUP Mineral bukan logam jenis tertentu, atau WIUP batuan. | ||||||||||||
(6) | Keputusan menolak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus disampaikan secara tertulis kepada pemohon wilayah. |
Bagian Ketiga
Pemberian Izin Usaha Pertambangan
Paragraf 1
Umum
Pasal 28
(1) | IUP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf b terdiri atas 2 (dua) tahap kegiatan:
|
||||||||
(2) | Tahap kegiatan Eksplorasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas kegiatan:
|
||||||||
(3) | Tahap kegiatan Operasi Produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas kegiatan:
|
Paragraf 2
Tata Cara dan Persyaratan Izin Usaha Pertambangan
Tahap Kegiatan Eksplorasi
Pasal 29
(1) | Badan Usaha, Koperasi, atau perusahaan perseorangan harus menyampaikan permohonan IUP kepada Menteri setelah penetapan pemenang lelang WIUP Mineral logam atau WIUP Batubara diberitahukan secara tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (3). |
(2) | Apabila pemenang lelang WIUP Mineral logam atau WIUP Batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu 10 (sepuluh) hari kerja tidak menyampaikan permohonan IUP kepada Menteri, dianggap mengundurkan diri dan jaminan kesungguhan lelang menjadi milik negara sebagai penerimaan negara bukan pajak. |
(3) | Dalam hal pemenang lelang WIUP Mineral Logam atau WIUP Batubara telah dianggap mengundurkan diri sebagaimana dimaksud pada ayat (2), WIUP Mineral logam atau WIUP Batubara ditawarkan kepada peserta lelang urutan berikutnya secara berjenjang. |
(4) | Dalam hal peserta lelang urutan berikutnya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bersedia membayar kompensasi data informasi sama dengan harga penawaran pemenang lelang pertama, ditetapkan sebagai pemenang lelang WIUP Mineral logam atau WIUP Batubara. |
(5) | Menteri melakukan lelang ulang WIUP Mineral logam atau WIUP Batubara apabila peserta lelang urutan berikutnya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak ada yang berminat. |
(1) | Badan Usaha, Koperasi, atau perusahaan perseorangan yang telah mendapatkan WIUP Mineral bukan logam, WIUP Mineral bukan logam jenis tertentu, atau WIUP batuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (5), dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja harus menyampaikan permohonan IUP kepada Menteri. |
(2) | Badan Usaha, Koperasi, atau perusahaan perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang tidak menyampaikan permohonan IUP dalam jangka waktu 10 (sepuluh) hari kerja, dianggap mengundurkan diri. |
(3) | Dalam hal Badan Usaha, Koperasi, atau perusahaan perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), telah dianggap mengundurkan diri, WIUP Mineral bukan logam, WIUP Mineral bukan logam jenis tertentu, atau WIUP batuan menjadi wilayah terbuka dan dapat dimohonkan kembali oleh pihak lain. |
IUP diberikan kepada Badan Usaha, Koperasi, atau perusahaan perseorangan setelah memenuhi persyaratan:
a. | administratif; |
b. | teknis; |
c. | lingkungan; dan |
d. | finansial. |
(1) | Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 huruf a meliputi:
|
||||||||||
(2) | Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan terintegrasi secara elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 huruf b terdiri atas:
a. | surat pernyataan dari ahli Pertambangan dan/atau geologi yang berpengalaman paling singkat 3 (tiga) tahun untuk IUP komoditas Mineral logam dan/atau IUP komoditas Batubara; atau |
b. | surat pernyataan dari ahli Pertambangan dan/atau geologi yang berpengalaman paling singkat 1 (satu) tahun untuk IUP komoditas Mineral bukan logam, IUP komoditas Mineral bukan logam jenis tertentu, atau IUP komoditas batuan. |
Persyaratan lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 huruf c berupa surat pernyataan kesanggupan untuk mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
(1) | Persyaratan finansial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 huruf d meliputi:
|
||||||||
(2) | Ketentuan lebih lanjut mengenai jaminan kesungguhan pelaksanaan kegiatan Eksplorasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diatur dalam Peraturan Menteri. |
Paragraf 3
Tata Cara dan Persyaratan Izin Usaha Pertambangan
Tahap Kegiatan Operasi Produksi
Pasal 36
(1) | Pemegang IUP tahap kegiatan Eksplorasi dapat melakukan tahap kegiatan Operasi Produksi setelah mendapatkan persetujuan permohonan peningkatan tahap kegiatan Operasi Produksi dari Menteri. | ||||||||
(2) | Persetujuan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pemegang IUP tahap kegiatan Eksplorasi memenuhi persyaratan:
|
(1) | Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (2) huruf a meliputi:
|
||||||
(2) | Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan terintegrasi secara elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (2) huruf b meliputi:
a. | peta usulan WIUP tahap kegiatan Operasi Produksi yang dilengkapi dengan koordinat berupa garis lintang dan garis bujur sesuai dengan sistem informasi geografis yang berlaku secara nasional; |
b. | laporan lengkap tahap kegiatan Eksplorasi; dan |
c. | laporan Studi Kelayakan yang telah disetujui oleh Menteri. |
Persyaratan lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (2) huruf c meliputi:
a. | dokumen lingkungan hidup dan persetujuan lingkungan yang diterbitkan oleh instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan |
b. | dokumen rencana Reklamasi dan rencana Pascatambang. |
Persyaratan finansial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (2) huruf d meliputi:
a. | laporan keuangan 3 (tiga) tahun terakhir yang telah di audit oleh akuntan publik; |
b. | surat keterangan fiskal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan; dan |
c. | bukti pelunasan iuran tetap tahap kegiatan Eksplorasi tahun terakhir. |
(1) | Permohonan peningkatan tahap kegiatan Operasi Produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1), disampaikan kepada Menteri paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender sebelum jangka waktu tahap kegiatan Eksplorasi berakhir. |
(2) | Menteri memberikan persetujuan permohonan peningkatan tahap kegiatan Operasi Produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu paling lambat sebelum tahap kegiatan Eksplorasi berakhir. |
(3) | Menteri dapat menolak permohonan peningkatan tahap kegiatan Operasi Produksi dalam hal berdasarkan hasil evaluasi, pemegang IUP tahap kegiatan Eksplorasi tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (2). |
(4) | Penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus disampaikan kepada pemegang IUP dalam jangka waktu paling lambat sebelum tahap kegiatan Eksplorasi berakhir. |
Jangka waktu kegiatan Eksplorasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf a diberikan selama:
a. | 8 (delapan) tahun untuk Pertambangan Mineral logam; |
b. | 3 (tiga) tahun untuk Pertambangan Mineral bukan logam; |
c. | 7 (tujuh) tahun untuk Pertambangan Mineral bukan logam jenis tertentu; |
d. | 3 (tiga) tahun untuk Pertambangan batuan; atau |
e. | 7 (tujuh) tahun untuk Pertambangan Batubara. |
Jangka waktu kegiatan Operasi Produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf b diberikan dengan ketentuan:
a. | untuk Pertambangan Mineral logam paling lama 20 (dua puluh) tahun; |
b. | untuk Pertambangan Mineral bukan logam paling lama 10 (sepuluh) tahun; |
c. | untuk Pertambangan Mineral bukan logam jenis tertentu paling lama 20 (dua puluh) tahun; |
d. | untuk Pertambangan batuan paling lama 5 (lima) tahun; |
e. | untuk Pertambangan Batubara paling lama 20 (dua puluh) tahun; |
f. | untuk Pertambangan Mineral logam yang terintegrasi dengan fasilitas Pengolahan dan/atau Pemurnian selama 30 (tiga puluh) tahun; dan |
g. | untuk Pertambangan Batubara yang terintegrasi dengan kegiatan Pengembangan dan/atau Pemanfaatan selama 30 (tiga puluh) tahun. |
Pemberian jangka waktu kegiatan Operasi Produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 harus mempertimbangkan jumlah sumber daya dan/atau cadangan sesuai laporan Studi Kelayakan yang disetujui oleh Menteri.
(1) | Pemegang IUP dapat mengajukan permohonan wilayah di luar WIUP kepada Menteri untuk menunjang kegiatan Usaha Pertambangan. | ||||
(2) | Permohonan wilayah di luar WIUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi kriteria:
|
||||
(3) | Pemegang IUP bertanggung jawab atas pelaksanaan kaidah teknik Pertambangan yang baik pada wilayah di luar WIUP yang telah disetujui Menteri. | ||||
(4) | Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pemberian wilayah di luar WIUP diatur dalam Peraturan Menteri. |
(1) | Dalam hal pemegang IUP tahap kegiatan Operasi Produksi untuk komoditas Mineral logam, Mineral bukan logam, Mineral bukan logam jenis tertentu, atau batuan tidak melakukan sendiri kegiatan Pengolahan dan/atau Pemurnian, kegiatan Pengolahan dan/atau Pemurnian dapat dilakukan oleh:
|
||||||
(2) | Pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terdiri atas:
|
||||||
(3) | Dalam hal pemegang IUP tahap kegiatan Operasi Produksi tidak melakukan kegiatan Pengangkutan dan Penjualan, kegiatan Pengangkutan dan Penjualan dapat dilakukan oleh pemegang Izin Pengangkutan dan Penjualan. |
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian IUP diatur dalam Peraturan Menteri.
Paragraf 4
Dana Ketahanan Cadangan Mineral dan Batubara
Pasal 48
(1) | Dalam rangka konservasi Mineral dan Batubara, pemegang IUP tahap kegiatan Operasi Produksi selain melaksanakan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (3) wajib melakukan Eksplorasi lanjutan setiap tahun. |
(2) | Eksplorasi lanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk kegiatan penemuan cadangan baru pada WIUP tahap kegiatan Operasi Produksi. |
(3) | Dalam pelaksanaan kegiatan Eksplorasi lanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemegang IUP tahap kegiatan Operasi Produksi wajib mengalokasikan anggaran setiap tahun sebagai dana ketahanan cadangan Mineral dan Batubara. |
(4) | Besaran dana ketahanan cadangan Mineral dan Batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diusulkan dalam RKAB Tahunan. |
(5) | Kewajiban Eksplorasi lanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan bagi pemegang IUP tahap kegiatan Operasi Produksi yang telah memiliki data cadangan di seluruh WIUP tahap kegiatan Operasi Produksi berdasarkan hasil evaluasi Menteri. |
(6) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Eksplorasi lanjutan dan dana ketahanan cadangan Mineral dan Batubara diatur dalam Peraturan Menteri. |
Paragraf 5
Pemasangan Tanda Batas Wilayah
Izin Usaha Pertambangan
Pasal 49
(1) | Pemegang IUP tahap kegiatan Operasi Produksi wajib melaksanakan pemasangan tanda batas WIUP tahap kegiatan Operasi Produksi. | ||||
(2) | Kewajiban pemasangan tanda batas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berlaku bagi IUP tahap kegiatan Operasi Produksi yang:
|
||||
(3) | Dalam hal terjadi perubahan batas wilayah pada WIUP tahap kegiatan Operasi Produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus dilakukan perubahan tanda batas wilayah dengan pemasangan tanda batas baru pada WIUP tahap kegiatan Operasi Produksi. | ||||
(4) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemasangan tanda batas WIUP tahap kegiatan Operasi Produksi diatur dalam Peraturan Menteri. |
Paragraf 6
Komoditas Tambang Lain
Dalam Wilayah Izin Usaha Pertambangan
Pasal 50
(1) | Pemegang IUP yang menemukan komoditas tambang lain yang keterdapatannya berbeda di dalam WIUP yang dikelola diberikan prioritas untuk mengusahakannya. |
(2) | Pemegang IUP yang berminat untuk mengusahakan komoditas tambang lain yang keterdapatannya berbeda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mengajukan permohonan IUP baru. |
(3) | Dalam hal pemegang IUP tidak berminat atas komoditas tambang lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengusahaannya dapat diberikan kepada pihak lain dan diselenggarakan dengan cara lelang atau permohonan wilayah. |
(4) | Pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang mendapatkan IUP berdasarkan lelang atau permohonan wilayah harus berkoordinasi dengan pemegang IUP pertama. |
(5) | Dalam hal pemegang IUP komoditas Mineral bukan logam, IUP komoditas Mineral bukan logam jenis tertentu, atau IUP komoditas batuan menemukan komoditas Mineral logam atau Batubara yang keterdapatannya berbeda di dalam WIUP yang dikelola tidak dapat diberikan prioritas untuk mengusahakannya. |
(1) | Pemegang IUP tahap kegiatan Operasi Produksi dapat mengambil dan menggunakan batuan yang terdapat di dalam WIUP untuk menunjang kegiatan Usaha Pertambangan. | ||||
(2) | Dalam mengambil dan menggunakan batuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pemegang IUP tahap kegiatan Operasi Produksi wajib:
|
Paragraf 7
Kegiatan Operasi Produksi untuk
Komoditas Mineral Bukan Logam Jenis Tertentu
yang Melakukan Kegiatan Pengolahan Secara Terpadu
Pasal 52
Dalam hal pemegang IUP tahap kegiatan Operasi Produksi untuk komoditas Mineral bukan logam jenis tertentu melakukan kegiatan Pengolahan secara terpadu dengan industri semen, berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. | kegiatan Penambangan dilakukan berdasarkan IUP tahap kegiatan Operasi Produksi sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini; dan |
b. | kegiatan untuk industri semen dilakukan berdasarkan perizinan yang diterbitkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perindustrian. |
Paragraf 8
Perpanjangan Tahap Kegiatan Eksplorasi
Izin Usaha Pertambangan
Pasal 53
(1) | Pemegang IUP dapat diberikan persetujuan perpanjangan tahap kegiatan Eksplorasi selama 1 (satu) tahun setiap kali perpanjangan oleh Menteri setelah memenuhi persyaratan. | ||||||||
(2) | Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
||||||||
(3) | Permohonan perpanjangan jangka waktu kegiatan Eksplorasi diajukan kepada Menteri paling lambat dalam jangka waktu 45 (empat puluh lima) hari kalender sebelum jangka waktu tahap kegiatan Eksplorasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 berakhir. | ||||||||
(4) | Menteri dapat menolak permohonan perpanjangan jangka waktu kegiatan Eksplorasi dalam hal berdasarkan hasil evaluasi, pemegang IUP tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). | ||||||||
(5) | Penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus disampaikan kepada pemegang IUP paling lambat sebelum jangka waktu tahap kegiatan Eksplorasi berakhir. | ||||||||
(6) | Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian jangka waktu perpanjangan tahap kegiatan Eksplorasi diatur dalam Peraturan Menteri. |
Paragraf 9
Perpanjangan Tahap Kegiatan Operasi Produksi
Izin Usaha Pertambangan
Pasal 54
(1) | Jangka waktu kegiatan Operasi Produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 huruf a sampai dengan huruf e dapat diberikan perpanjangan dengan ketentuan:
|
||||||||||
(2) | Jangka waktu kegiatan Operasi Produksi yang terintegrasi dengan fasilitas Pengolahan dan/atau Pemurnian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 huruf f atau terintegrasi dengan kegiatan Pengembangan dan/atau Pemanfaatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 huruf g dapat diberikan perpanjangan selama 10 (sepuluh) tahun setiap kali perpanjangan. | ||||||||||
(3) | Dalam hal IUP dimiliki oleh BUMN, jangka waktu kegiatan Operasi Produksi dapat diberikan perpanjangan selama 10 (sepuluh) tahun setiap kali perpanjangan. |
Pemberian perpanjangan jangka waktu kegiatan Operasi Produksi yang tidak terintegrasi dengan fasilitas Pengolahan dan/atau Pemurnian atau kegiatan Pengembangan dan/atau Pemanfaatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1) harus mempertimbangkan jumlah sumber daya dan/atau cadangan sesuai laporan Studi Kelayakan yang disetujui oleh Menteri.
(1) | Kegiatan Operasi Produksi yang terintegrasi dengan fasilitas Pengolahan dan/atau Pemurnian atau kegiatan Pengemba.ngan dan/atau Pemanfaatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (2) harus memenuhi kriteria:
|
||||||||||||||
(2) | Ketentuan lebih lanjut mengenal kriteria kegiatan Operasi Produksi yang terintegrasi dengan fasilitas Pengolahan dan/atau Pemurnian atau kegiatan Pengembangan dan/atau Pemanfaatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri. |
Dalam hal pemegang IUP tahap kegiatan Operasi Produksi untuk komoditas Batubara melakukan kegiatan Pengembangan Batubara dalam bentuk gasifikasi Batubara (coal gasification) termasuk gasifikasi Batubara bawah tanah (underground coal gasification) atau pencairan Batubara (coal liquefaction), berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. | kegiatan pengembangan Batubara yang menghasilkan produk antara (intermediate product) dilakukan berdasarkan IUP tahap kegiatan Operasi Produksi sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah ini; dan |
b. | kegiatan pengembangan produk antara (intermediate product) menjadi produk akhir yang dilakukan oleh pemegang IUP tahap kegiatan Operasi Produksi dilakukan berdasarkan perizinan yang diterbitkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perindustrian. |
Kriteria produk antara (intermediate product) dan produk akhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ditetapkan oleh Menteri setelah berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian.
(1) | Permohonan perpanjangan jangka waktu kegiatan Operasi Produksi untuk Pertambangan Mineral logam, Mineral bukan logam jenis tertentu, atau Batubara diajukan kepada Menteri paling cepat dalam jangka waktu 5 (lima) tahun atau paling lambat dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sebelum berakhirnya jangka waktu kegiatan Operasi Produksi. | ||||||||||||||
(2) | Permohonan perpanjangan jangka waktu kegiatan Operasi Produksi untuk Pertambangan Mineral bukan logam atau batuan diajukan kepada Menteri paling cepat dalam jangka waktu 2 (dua) tahun atau paling lambat dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sebelum berakhirnya jangka waktu kegiatan Operasi Produksi. | ||||||||||||||
(3) | Perpanjangan jangka waktu kegiatan Operasi Produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diberikan dengan jangka waktu sesuai sisa jangka waktu IUP dan sesuai jangka waktu perpanjangan. | ||||||||||||||
(4) | Permohonan perpanjangan jangka waktu kegiatan Operasi Produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), paling sedikit harus dilengkapi:
|
||||||||||||||
(5) | Menteri memberikan persetujuan permohonan perpanjangan jangka waktu kegiatan Operasi Produksi berdasarkan hasil evaluasi terhadap permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan terhadap kinerja Operasi Produksi, dalam jangka waktu paling lambat sebelum berakhirnya kegiatan Operasi Produksi. | ||||||||||||||
(6) | Menteri dapat menolak permohonan perpanjangan jangka waktu kegiatan operasi Produksi berdasarkan hasil evaluasi terhadap permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan kinerja operasi Produksi. | ||||||||||||||
(7) | Penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) harus disampaikan kepada pemegang IUP disertai dengan alasan penolakan dalam jangka waktu paling lambat sebelum kegiatan Operasi Produksi berakhir. |
(1) | Pemegang IUP yang telah memperoleh perpanjangan jangka waktu kegiatan Operasi Produksi sebanyak 2 (dua) kali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1), harus mengembalikan WIUP kepada Menteri. |
(2) | Pemegang IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menyampaikan laporan mengenai keberadaan potensi dan cadangan Mineral atau Batubara pada WIUP kepada Menteri dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sebelum jangka waktu kegiatan operasi Produksi berakhir. |
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian perpanjangan jangka waktu kegiatan Eksplorasi, jangka waktu kegiatan operasi Produksi, dan pengembalian WIUP diatur dalam Peraturan Menteri.
BAB V
IZIN PERTAMBANGAN RAKYAT
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 62
(1) | IPR diberikan oleh Menteri berdasarkan permohonan yang diajukan oleh:
|
||||
(2) | Permohonan IPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diajukan pada wilayah yang telah ditetapkan sebagai WPR. | ||||
(3) | Dalam 1 (satu) WPR dapat diberikan 1 (satu) atau beberapa IPR. | ||||
(4) | Setiap pemohon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diberikan 1 (satu) IPR. |
Bagian Kedua
Pemberian Izin Pertambangan Rakyat
Pasal 63
Untuk mendapatkan IPR, pemohon harus memenuhi persyaratan, yang terdiri atas:
a. | orang perseorangan, meliputi:
|
||||||||||||
b. | Koperasi, meliputi:
|
IPR diberikan untuk jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 5 (lima) tahun.
Bagian Ketiga
Pelaksanaan Izin Pertambangan Rakyat
Pasal 65
(1) | Pemegang IPR wajib melakukan kegiatan Penambangan dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan setelah IPR diterbitkan. | ||||||||||
(2) | Sebelum melakukan kegiatan Penambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemegang IPR wajib menyusun rencana Penambangan berdasarkan dokumen pengelolaan WPR yang disusun oleh Menteri. | ||||||||||
(3) | Rencana Penambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit memuat:
|
||||||||||
(4) | Menteri melaksanakan pembinaan kepada pemegang IPR dalam penyusunan rencana Penambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). |
(1) | Pemegang IPR dalam melaksanakan kegiatan Usaha Pertambangan wajib menaati ketentuan persyaratan teknis Pertambangan. | ||||||||
(2) | Persyaratan teknis Pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi:
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan syarat pemberian IPR diatur dalam Peraturan Menteri.
BAB VI
IZIN USAHA PERTAMBANGAN KHUSUS
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 68
(1) | IUPK diberikan oleh Menteri berdasarkan permohonan yang diajukan oleh:
|
||||||
(2) | IUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah mendapatkan WIUPK. | ||||||
(3) | Ketentuan mengenai penetapan WIUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah tersendiri. |
(1) | Pemegang IUPK dilarang memindahtangankan IUPK kepada pihak lain tanpa persetujuan dari Menteri. | ||||||
(2) | Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan Setelah pemegang IUPK memenuhi persyaratan:
|
||||||
(3) | Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, paling sedikit meliputi:
|
||||||
(4) | Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan terintegrasi secara elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. | ||||||
(5) | Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, paling sedikit meliputi:
|
||||||
(6) | Data sumber daya dan cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b harus dilengkapi dengan surat pernyataan sumber daya dan cadangan. | ||||||
(7) | Persyaratan lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, paling sedikit meliputi:
|
||||||
(8) | Persyaratan finansial sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, paling sedikit meliputi:
|
(1) | Dokumen terkait pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (2) huruf c yang menerima pemindahtanganan IUPK meliputi dokumen administratif, teknis. lingkungan, dan finansial. | ||||
(2) | Dokumen administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
||||
(3) | Dokumen teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
|
||||
(4) | Dokumen lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa surat pernyataan kesanggupan untuk mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. | ||||
(5) | Dokumen finansial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
(1) | IUPK yang diberikan kepada BUMN, sebagian WIUPK tahap kegiatan Operasi Produksi dapat dialihkan kepada Badan Usaha lain yang 51% (lima puluh satu persen) atau lebih kepemilikan sahamnya dimiliki oleh BUMN pemegang IUPK yang WIUPK-nya akan dialihkan. |
(2) | Kepemilikan saham BUMN pada Badan Usaha lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat terdilusi menjadi kurang dari 51% (lima puluh satu persen). |
(3) | Pengalihan sebagian WIUPK tahap kegiatan Operasi Produksi sebagaimana dimaksud ayat (1) dilakukan setelah mendapatkan persetujuan Menteri. |
(1) | Badan Usaha pemegang IUPK dilarang mengalihkan kepemilikan saham tanpa persetujuan Menteri. | ||||||
(2) | Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah memenuhi persyaratan paling sedikit:
|
||||||
(3) | Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b paling sedikit meliputi:
|
||||||
(4) | Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan terintegrasi secara elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. | ||||||
(5) | Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, paling sedikit meliputi:
|
||||||
(6) | Data sumber daya dan cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b harus dilengkapi dengan surat pernyataan sumber daya dan cadangan. | ||||||
(7) | Persyaratan finansial sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, paling sedikit meliputi:
|
||||||
(8) | Dalam hal pengalihan saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui penawaran umum perdana di bursa saham Indonesia, Badan Usaha pemegang IUPK wajib melaporkan kepada Menteri. |
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemindahtanganan IUPK, pengalihan sebagian WIUPK, dan pengalihan kepemilikan saham Badan Usaha pemegang IUPK diatur dalam Peraturan Menteri.
IUPK diperoleh melalui tahapan:
a. | pemberian WIUPK; dan |
b. | pemberian IUPK. |
Bagian Kedua
Pemberian Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus
Paragraf 1
Umum
Pasal 75
(1) | WIUPK terdiri atas WIUPK Mineral logam dan WIUPK Batubara. | ||||
(2) | WIUPK diberikan kepada BUMN, BUMD, atau Badan Usaha swasta oleh Menteri. | ||||
(3) | Menteri dalam memberikan WIUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus terlebih dahulu memberikan penawaran kepada BUMN dan BUMD dengan cara prioritas. | ||||
(4) | Dalam hal peminat penawaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya terdapat 1 (satu) BUMN atau BUMD, WIUPK diberikan kepada BUMN atau BUMD dengan membayar kompensasi data informasi. | ||||
(5) | Dalam hal peminat penawaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) lebih dari 1 (satu) BUMN atau BUMD, Menteri mengoordinasikan pemberian WIUPK kepada BUMN dan BUMD dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari kalender. | ||||
(6) | Berdasarkan hasil koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5), BUMN dan/atau BUMD dapat:
|
||||
(7) | Dalam hal berdasarkan hasil koordinasi pemberian WIUPK oleh Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (5) BUMN dan BUMD tidak bersepakat, pemberian WIUPK kepada BUMN dan BUMD yang berminat dilakukan dengan cara lelang sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini. |
(1) | Dalam hal tidak ada BUMN atau BUMD yang berminat, WIUPK ditawarkan kepada Badan Usaha swasta yang bergerak dalam bidang Pertambangan Mineral atau Batubara dengan cara lelang sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini. |
(2) | Pemenang lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai kewajiban membayar kompensasi data informasi sesuai dengan nilai lelang. |
Paragraf 2
Tata Cara Lelang
Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus
Mineral Logam atau Batubara
Pasal 77
(1) | Sebelum dilakukan lelang WIUPK Mineral logam atau WIUPK Batubara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (7) dan Pasal 76 ayat (1), Menteri mengumumkan secara terbuka WIUPK Mineral logam atau WIUPK Batubara yang akan dilelang dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kalender atau paling cepat 60 (enam puluh) hari kalender sebelum pelaksanaan lelang. | ||||
(2) | Pengumuman rencana pelaksanaan lelang WIUPK Mineral logam atau WIUPK Batubara dilaksanakan secara terbuka dengan ketentuan paling sedikit:
|
(1) | Dalam pelaksanaan lelang WIUPK Mineral logam atau WIUPK Batubara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1), Menteri membentuk panitia lelang NIUPK Mineral logam atau WIUPK Batubara. |
(2) | Panitia lelang WIUPK Mineral logam atau WIUPK Batubara yang dibentuk oleh Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beranggotakan gasal dan paling sedikit berjumlah 7 (tujuh) orang. |
(3) | Dalam keanggotaan panitia lelang WIUPK Mineral logam atau WIUPK Batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat mengikutsertakan Pemerintah Daerah. |
(1) | Dalam pelaksanaan lelang WIUPK Mineral logam atau WIUPK Batubara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1), calon peserta lelang harus memenuhi persyaratan:
|
||||||||
(2) | Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
|
||||||||
(3) | Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan terintegrasi secara elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. | ||||||||
(4) | Persyaratan teknis dan pengelolaan lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b paling sedikit meliputi:
|
||||||||
(5) | Persyaratan finansial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi:
|
(1) | Prosedur lelang WIUPK Mineral logam atau WIUPK Batubara dilakukan dengan 2 (dua) tahap yang terdiri atas:
|
||||
(2) | Dalam tahap prakualifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, panitia lelang WIUPK Mineral logam atau WJUPK Batubara melakukan evaluasi terhadap dokumen persyaratan administratif, teknis dan pengelolaan lingkungan, serta finansial. | ||||
(3) | Dalam tahap kualifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, panitia lelang WIUPK Mineral logam atau WIUPK Batubara melakukan evaluasi terhadap penawaran harga lelang Mineral logam atau WIUPK Batubara. |
Panitia lelang WIUPK Mineral logam atau WIUPK Batubara harus melaksanakan prosedur lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 secara transparan dan akuntabel.
(1) | Hasil pelaksanaan lelang WIUPK Mineral logam atau WIUPK Batubara dilaporkan oleh panitia lelang WIUPK Mineral logam atau WiUPK Batubara kepada Menteri. |
(2) | Menteri berdasarkan laporan panitia lelang WIUPK Mineral logam atau WIUPK Batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menetapkan pemenang lelang WIUPK Mineral logam atau WIUPK Batubara. |
(3) | Menteri memberitahukan secara tertulis penetapan pemenang lelang WIUPK Mineral logam atau WIUPK Batubara kepada pemenang lelang. |
(4) | Pemenang lelang WIUPK Mineral logam atau WIUPK Batubara harus membayar seluruh nilai kompensasi data informasi sesuai dengan nilai penawaran lelang dalam jangka waktu paling lambat 7 (hari) kerja sejak pengumuman pemenang lelang. |
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara lelang WIUPK Mineral logam atau WIUPK Batubara diatur dalam Peraturan Menteri.
Bagian Ketiga
Pemberian Izin Usaha Pertambangan Khusus
Paragraf 1
Umum
Pasal 84
(1) | IUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 huruf b terdiri atas 2 (dua) tahap kegiatan:
|
||||||||
(2) | Tahap kegiatan Eksplorasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas kegiatan:
|
||||||||
(3) | Tahap kegiatan Operasi Produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas kegiatan:
|
Paragraf 2
Tata Cara dan Persyaratan Izin Usaha Pertambangan Khusus
Tahap Kegiatan Eksplorasi
Pasal 85
(1) | BUMN atau BUMD yang mendapatkan WIUPK Mineral logam atau WIUPK Batubara secara prioritas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (3) harus menyampaikan permohonan IUPK kepada Menteri. |
(2) | Apabila BUMN atau BUMD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu 10 (sepuluh) hari kerja tidak menyampaikan permohonan IUPK kepada Menteri, dianggap mengundurkan diri dan kompensasi data informasi yang telah dibayarkan menjadi milik negara sebagai penerimaan negara bukan pajak. |
(3) | Dalam hal BUMN atau BUMD telah dianggap mengundurkan diri sebagaimana dimaksud pada ayat (2), WIUPK Mineral logam atau WIUPK Batubara dapat ditawarkan dengan cara lelang kepada Badan Usaha swasta sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini. |
(1) | Badan Usaha swasta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (3) harus menyampaikan permohonan IUPK kepada Menteri setelah ditetapkan sebagai pemenang lelang WUPK Mineral logam atau WIUPK Batubara. |
(2) | Apabila pemenang lelang WIUPK Mineral logam atau WIUPK Batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu 10 (sepuluh) hari kerja tidak menyampaikan permohonan IUPK kepada Menteri, dianggap mengundurkan diri dan jaminan kesungguhan lelang menjadi milik negara sebagai penerimaan negara bukan pajak. |
(3) | Dalam hal pemenang lelang WIUPK Mineral logam atau WIUPK Batubara telah dianggap mengundurkan diri sebagaimana dimaksud pada ayat (2), WIUPK Mineral logam atau WIUPK Batubara ditawarkan kepada peserta lelang urutan berikutnya secara berjenjang. |
(4) | Dalam hal peserta lelang urutan berikutnya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bersedia membayar kompensasi data informasi sama dengan harga penawaran pemenang lelang pertama, ditetapkan sebagai pemenang lelang WIUPK Mineral logam atau WIUPK Batubara. |
(5) | Menteri melakukan lelang ulang WIUPK Mineral logam atau WIUPK Batubara apabila peserta lelang urutan berikutnya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak ada yang berminat. · |
IUPK diberikan kepada BUMN, BUMD, atau Badan Usaha swasta setelah memenuhi persyaratan:
a. | administratif; |
b. | teknis; |
c. | lingkungan; dan |
d. | finansial. |
(1) | Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 huruf a meliputi:
|
||||||
(2) | Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan terintegrasi secara elektronik sesuai dengan peraturan perundang-undangan. |
Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 huruf b berupa surat pernyataan dari ahli Pertambangan dan/atau geologi yang berpengalaman paling singkat 3 (tiga) tahun.
Persyaratan lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 huruf c berupa surat pernyataan kesanggupan untuk mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
(1) | Persyaratan finansial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 huruf d meliputi:
|
||||||
(2) | Ketentuan lebih lanjut mengenai jaminan kesungguhan pelaksanaan kegiatan Eksplorasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diatur dalam Peraturan Menteri. |
Paragraf 3
Tata Cara dan Persyaratan Izin Usaha Pertambangan Khusus
Tahap Kegiatan Operasi Produksi
Pasal 92
(1) | Pemegang IUPK tahap kegiatan Eksplorasi dapat melakukan tahap kegiatan Operasi Produksi setelah mendapatkan persetujuan permohonan peningkatan tahap kegiatan Operasi Produksi dari Menteri. | ||||||||
(2) | Persetujuan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pemegang IUPK tahap kegiatan Eksplorasi memenuhi persyaratan:
|
(1) | Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (2) huruf a meliputi:
|
||||||
(2) | Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan terintegrasi secara elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (2) huruf b meliputi:
a. | peta usulan WIUPK tahap kegiatan Operasi Produksi yang dilengkapi dengan koordinat berupa garis lintang dan garis bujur sesuai dengan sistem informasi geografis yang berlaku secara nasional; |
b. | laporan lengkap Eksplorasi; dan |
c. | laporan Studi Kelayakan yang telah disetujui oleh Menteri. |
Persyaratan lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (2) huruf c meliputi:
a. | dokumen lingkungan hidup dan persetujuan lingkungan yang diterbitkan oleh instalasi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan |
b. | dokumen rencana Reklamasi dan rencana Pascatambang. |
Persyaratan finansial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (2) huruf d meliputi:
a. | laporan keuangan 3 (tiga) tahun terakhir yang telah diaudit oleh akuntan publik; |
b. | surat keterangan fiskal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan; dan |
c. | pelunasan iuran tetap tahap kegiatan Eksplorasi tahun terakhir. |
(1) | Permohonan peningkatan tahap kegiatan Operasi Produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1) disampaikan kepada Menteri paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender sebelum jangka waktu tahap kegiatan Eksplorasi berakhir. |
(2) | Menteri memberikan persetujuan permohonan peningkatan tahap kegiatan Operasi Produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu paling lambat sebelum tahap kegiatan Eksplorasi berakhir. |
(3) | Menteri dapat menolak permohonan peningkatan tahap kegiatan Operasi Produksi dalam hal berdasarkan hasil evaluasi, pemegang IUPK tahap kegiatan Eksplorasi tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (2). |
(4) | Penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus disampaikan kepada pemegang IUPK dalam jangka waktu paling lambat sebelum tahap kegiatan Eksplorasi berakhir. |
Jangka waktu tahap kegiatan Eksplorasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (1) huruf a diberikan selama:
a. | 8 (delapan) tahun untuk Pertambangan Mineral logam; dan |
b. | 7 (tujuh) tahun untuk Pertambangan Batubara. |
Jangka waktu kegiatan Operasi Produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (1) huruf b diberikan dengan ketentuan:
a. | untuk Pertambangan Mineral logam paling lama 20 (dua puluh) tahun; |
b. | untuk Pertambangan Batubara paling lama 20 (dua puluh) tahun; |
c. | untuk Pertambangan Mineral logam yang terintegrasi dengan fasilitas Pengolah dan/atau Pemurnian selama 30 (tiga puluh) tahun; dan |
d. | untuk Pertambangan Batubara yang terintegrasi dengan kegiatan Pengembangan dan/atau Pemanfaatan selama 30 (tiga puluh) tahun. |
Pemberian jangka waktu kegiatan Operasi Produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 harus mempertimbangkan jumlah sumber daya dan/atau cadangan sesuai laporan Studi Kelayakan yang disetujui oleh Menteri.
(1) | Pemegang IUPK dapat mengajukan permohonan wilayah di luar WIUPK kepada Menteri untuk menunjang kegiatan usaha Pertambangan. | ||||
(2) | Permohonan wilayah di luar WIUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi kriteria:
|
||||
(3) | Pemegang IUPK bertanggung jawab atas pelaksanaan kaidah teknik Pertambangan yang baik pada wilayah di luar WIUPK yang telah disetujui Menteri. | ||||
(4) | Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pemberian wilayah di luar WIUPK diatur dalam Peraturan Menteri. |
(1) | Dalam hal pemegang IUPK tahap kegiatan Operasi Produksi untuk komoditas Mineral logam tidak melakukan sendiri kegiatan Pengolahan dan Pemurnian, kegiatan Pengolahan dan Pemurnian dapat dilakukan oleh:
|
||||||
(2) | Pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terdiri atas pihak lain yang melakukan kegiatan usaha Pengolahan dan Pemurnian secara terpadu atau kegiatan usaha Pemurnian untuk Mineral logam. | ||||||
(3) | Dalam hal pemegang IUPK tahap kegiatan Operasi Produksi tidak melakukan kegiatan Pengangkutan dan Penjualan, kegiatan Pengangkutan dan Penjualan dapat dilakukan oleh pemegang Izin Pengangkutan dan Penjualan. |
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian IUPK diatur dalam Peraturan Menteri.
Paragraf 4
Dana Ketahanan Cadangan Mineral dan Batubara
Pasal 104
(1) | Dalam rangka konservasi Mineral dan Batubara, pemegang IUPK tahap kegiatan Operasi Produksi selain melaksanakan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (3) wajib melakukan Eksplorasi lanjutan setiap tahun. |
(2) | Eksplorasi lanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk kegiatan penemuan cadangan baru pada WIUPK tahap kegiatan Operasi Produksi. |
(3) | Dalam pelaksanaan kegiatan Eksplorasi lanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemegang IUPK tahap kegiatan Operasi Produksi wajib mengalokasikan anggaran setiap tahun sebagai dana ketahanan cadangan Mineral dan Batubara. |
(4) | Besaran dana ketahanan cadangan Mineral dan Batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diusulkan dalam RKAB Tahunan. |
(5) | Kewajiban Eksplorasi lanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan bagi pemegang IUPK tahap kegiatan Operasi Produksi yang telah memiliki data cadangan di seluruh WIUPK tahap kegiatan Operasi Produksi berdasarkan hasil evaluasi Menteri. |
(6) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Eksplorasi lanjutan dan dana ketahanan cadangan Mineral dan Batubara diatur dalam Peraturan Menteri. |
Paragraf 5
Pemasangan Tanda Batas Wilayah
Izin Usaha Pertambangan Khusus
Pasal 105
(1) | Pemegang IUPK tahap kegiatan Operasi Produksi wajib melaksanakan pemasangan tanda batas WIUPK tahap kegiatan Operasi Produksi. | ||||
(2) | Kewajiban pemasangan tanda batas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berlaku bagi IUPK tahap kegiatan Operasi Produksi yang:
|
||||
(3) | Dalam hal terjadi perubahan batas wilayah pada WIUPK tahap kegiatan Operasi Produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus dilakukan perubahan tanda batas wilayah dengan pemasangan tanda batas baru pada WIUPK tahap kegiatan Operasi Produksi. | ||||
(4) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemasangan tanda batas WIUPK tahap kegiatan Operasi Produksi diatur dalam Peraturan Menteri. |
Paragraf 6
Komoditas Tambang Lain
Dalam Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus
Pasal 106
(1) | Pemegang IUPK yang menemukan komoditas tambang lain yang keterdapatannya berbeda di dalam WIUPK yang dikelola diberikan prioritas untuk mengusahakannya. |
(2) | Pemegang IUPK yang berminat untuk mengusa.hakan komoditas tambang lain yang keterdapatannya berbeda sebagaimana dimaksud pada ayat (l) wajib mengajukan permohonan IUP atau IUPK baru. |
(3) | Dalam hal pemegang IUPK tidak berminat atas komoditas tambang lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengusahaannya dapat diberikan kepada pihak lain dan diselenggarakan dengan cara lelang atau permohonan wilayah. |
(4) | Pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang mendapatkan IUPK atau IUP berdasarkan lelang atau permohonan wilayah harus berkoordinasi dengan pemegang IUPK pertama. |
(1) | Pemegang IUPK tahap kegiatan Operasi Produksi dapat mengambil dan menggunakan batuan yang terdapat di dalam WIUPK untuk menunjang kegiatan Usaha Pertambangan. | ||||
(2) | Dalam mengambil dan menggunakan batuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pemegang IUPK tahap kegiatan Operasi Produksi wajib:
|
Paragraf 7
Perpanjangan Tahap Kegiatan Eksplorasi
Izin Usaha Pertambangan Khusus
Pasal 108
(1) | Pemegang IUPK dapat diberikan persetujuan perpanjangan tahap kegiatan Eksplorasi selama 1 (satu) tahun setiap kali perpanjangan oleh Menteri setelah memenuhi persyaratan. | ||||||||
(2) | Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
||||||||
(3) | Permohonan perpanjangan jangka waktu kegiatan Eksplorasi diajukan kepada Menteri, paling lambat dalam jangka waktu 45 (empat puluh lima) hari kalender sebelum jangka waktu kegiatan Eksplorasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 berakhir. | ||||||||
(4) | Menteri dapat menolak permohonan perpanjangan jangka waktu kegiatan Eksplorasi dalam hal berdasarkan hasil evaluasi, pemegang IUPK tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). | ||||||||
(5) | Penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus disampaikan kepada pemegang IUPK paling lambat sebelum jangka waktu kegiatan Eksplorasi berakhir. | ||||||||
(6) | Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian jangka waktu perpanjangan tahap kegiatan Eksplorasi diatur dalam Peraturan Menteri. |
Paragraf 8
Perpanjangan Tahap Kegiatan Operasi Produksi
Izin Usaha Pertambangan Khusus
Pasal 109
(1) | Jangka waktu kegiatan Operasi Produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 huruf a dan huruf b dapat diberikan perpanjangan dengan ketentuan:
|
||||||||||||||
(2) | Jangka waktu kegiatan Operasi Produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 huruf c dan huruf d yang terintegrasi dengan fasilitas Pengolahan dan/atau Pemurnian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 huruf c atau terintegrasi dengan kegiatan Pengembangan dan/atau Pemanfaatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 huruf d dapat diberikan perpanjangan selama 10 (sepuluh) tahun setiap kali perpanjangan. | ||||||||||||||
(3) | Dalam hal IUPK dimiliki oleh BUMN, jangka waktu kegiatan Operasi Produksi dapat diberikan perpanjangan selama 10 (sepuluh) tahun setiap kali perpanjangan. | ||||||||||||||
(4) | Permohonan perpanjangan jangka waktu kegiatan Operasi Produksi untuk Pertambangan Mineral logam atau Batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diajukan kepada Menteri paling cepat dalam jangka waktu 5 (lima) tahun atau paling lambat dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sebelum berakhirnya jangka waktu kegiatan Operasi Produksi. | ||||||||||||||
(5) | Perpanjangan jangka waktu kegiatan Operasi Produksi untuk Pertambangan Mineral logam atau Batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diberikan dengan jangka waktu sesuai sisa jangka waktu IUPK dan sesuai jangka waktu perpanjangan. | ||||||||||||||
(6) | Permohonan perpanjangan jangka waktu kegiatan Operasi Produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) paling sedikit harus dilengkapi:
|
||||||||||||||
(7) | Menteri memberikan persetujuan permohonan perpanjangan jangka waktu kegiatan Operasi Produksi berdasarkan hasil evaluasi terhadap permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan terhadap kinerja Operasi Produksi, dalam jangka waktu paling lambat sebelum kegiatan Operasi Produksi berakhir. | ||||||||||||||
(8) | Menteri dapat menolak permohonan perpanjangan jangka waktu kegiatan Operasi Produksi berdasarkan hasil evaluasi terhadap permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan kinerja Operasi Produksi. | ||||||||||||||
(9) | Penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) harus disampaikan kepada pemegang IUPK disertai dengan alasan penolakan dalam jangka waktu paling lambat sebelum kegiatan Operasi Produksi berakhir. |
Pemberian perpanjangan jangka waktu kegiatan Operasi Produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 ayat (1) harus mempertimbangkan jumlah sumber daya dan/atau cadangan sesuai laporan Studi Kelayakan yang disetujui oleh Menteri.
(1) | Kegiatan Operasi Produksi yang terintegrasi dengan fasilitas Pengolahan dan/atau Pemurnian atau Pengembangan dan/atau Pemanfaatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 ayat (2) harus memenuhi kriteria:
|
||||||||||||||
(2) | Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria kegiatan Operasi Produksi yang terintegrasi dengan fasilitas Pengolahan dan/atau Pemurnian atau kegiatan Pengembangan dan/atau Pemanfaatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri. |
Dalam hal pemegang IUPK tahap kegiatan Operasi Produksi untuk komoditas Batubara melakukan kegiatan Pengembangan Batubara dalam bentuk gasifikasi Batubara (coal gasification) termasuk gasifikasi Batubara bawah tanah (underground coal gasification) atau pencairan Batubara (coal liquefaction), berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. | kegiatan pengembangan Batubara yang menghasilkan produk antara (intermediate product) dilakukan berdasarkan IUPK tahap kegiatan Operasi Produksi sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah ini; dan |
b. | kegiatan pengembangan produk antara (intermediate product) menjadi produk akhir yang dilakukan oleh pemegang IUPK tahap kegiatan Operasi Produksi dilakukan berdasarkan perizinan yang diterbitkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perindustrian. |
(1) | Pemegang IUPK yang telah memperoleh perpanjangan jangka waktu kegiatan Operasi Produksi sebanyak 2 (dua) kali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 ayat (1), harus mengembalikan WIUPK kepada Menteri. |
(2) | Pemegang IUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menyampaikan laporan mengenai keberadaan potensi dan cadangan Mineral atau Batubara pada WIUPK kepada Menteri dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sebelum jangka waktu kegiatan Operasi Produksi berakhir. |
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian perpanjangan jangka waktu kegiatan Eksplorasi, jangka waktu kegiatan Operasi Produksi, dan pengembalian WIUPK diatur dalam Peraturan Menteri.
BAB VII
IUPK SEBAGAI KELANJUTAN OPERASI KONTRAK/PERJANJIAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 115
(1) | IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian diberikan oleh Menteri berdasarkan permohonan yang diajukan oleh pemegang KK atau PKP2B. | ||||||
(2) | Untuk memperoleh IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (l), pemegang KK atau PKP2B harus mengajukan permohonan kepada Menteri paling cepat dalam jangka waktu 5 (lima) tahun atau paling lambat dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sebelum KK atau PKP2B berakhir. | ||||||
(3) | IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan dengan ketentuan sesuai sisa jangka waktu KK atau PKP2B dan perpanjangan pertama selama 10 (sepuluh) tahun. | ||||||
(4) | Menteri dalam memberikan IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan mempertimbangkan:
|
(1) | Dalam rangka pertimbangan keberlanjutan operasi dan optimalisasi potensi cadangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115 ayat (4) huruf a dan huruf b, pemegang KK dan PKP2B sebelum mengajukan permohonan IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian harus menyampaikan rencana pengembangan seluruh wilayah untuk mendapatkan persetujuan Menteri. |
(2) | Dalam rangka pertimbangan kepentingan nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115 ayat (4) huruf c, pemegang PKP2B sebelum mengajukan permohonan IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian harus menyampaikan rencana Pengembangan dan/atau Pemanfaatan Batubara di dalam negeri untuk mendapatkan persetujuan Menteri. |
(1) | Rencana pengembangan seluruh wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) paling sedikit memuat:
|
||||||||||||||||||||||
(2) | Rencana Pengembangan dan/atau Pemanfaatan Batubara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (2) paling sedikit memuat:
|
(1) | Wilayah kontrak/perjanjian yang ditetapkan dalam persetujuan atas rencana pengembangan seluruh wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117 ayat (1) menjadi dasar bagi Menteri dalam pemberian IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian. |
(2) | Pemegang KK atau PKP2B wajib melakukan Reklamasi dan/atau Pascatambang atas wilayah kontrak/perjanjian yang tidak terakomodir dalam persetujuan atas rencana pengembangan seluruh wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
(3) | Kewajiban Reklamasi dan/atau Pascatambang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan hingga memenuhi tingkat keberhasilan 100% (seratus persen) pada masa pelaksanaan IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian. |
(4) | Dalam pelaksanaan Reklamasi dan/atau Pascatambang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) pemegang IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian wajib memenuhi ketentuan penempatan jaminan Reklamasi dan/atau jaminan Pascatambang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
Bagian Kedua
Persyaratan Pemberian Izin Usaha Pertambangan Khusus
Sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian
Pasal 119
(1) | Permohonan IUPK sebagai Kelanjutan Kontrak/Perjanjian sebagaimana dimaksud Pasal 115 harus memenuhi persyaratan:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
(2) | Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
(3) | Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan terintegrasi secara elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
(4) | Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
(5) | Persyaratan lingkungan sebagaimana dimaksud, pada ayat (1) huruf c meliputi:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
(6) | Persyaratan finansial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d meliputi:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
(7) | Menteri melakukan evaluasi terhadap persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang disampaikan oleh pemegang KK dan PKP2B dalam permohonan IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
(8) | Selain melakukan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (7), Menteri melakukan evaluasi terhadap kinerja pengusahaan Pertambangan pemegang KK dan PKP2B. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
(9) | Evaluasi kinerja pengusahaan Pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dilakukan terhadap:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
(10) | Menteri memberikan persetujuan permohonan IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian berdasarkan hasil evaluasi terhadap permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dan evaluasi terhadap kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (8), dalam jangka waktu paling lambat sebelum berakhirnya tahap kegiatan Operasi Produksi KK dan PKP2B. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
(11) | Menteri dapat menolak permohonan IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian berdasarkan hasil evaluasi terhadap permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dan evaluasi terhadap kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (8). | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
(12) | Penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (11) harus disampaikan kepada pemegang KK dan PKP2B disertai dengan alasan penolakan dalam jangka waktu paling lambat sebelum berakhirnya tahap kegiatan Operasi Produksi KK dan PKP2B. |
Bagian Ketiga
Perpanjangan Tahap Kegiatan Operasi Produksi
Izin Usaha Pertambangan Khusus Sebagai Kelanjutan
Operasi Kontrak/Perjanjian
Pasal 120
(1) | IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115 ayat (3) dapat diperpanjang 1 (satu) kali selama 10 (sepuluh) tahun. | ||||||||||||
(2) | Jangka waktu IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115 ayat (3) yang terintegrasi dengan fasilitas Pengolahan dan/atau Pemurnian at.au Pengembangan dan/atau Pemanfaatan dapat diperpanjang selama 10 (sepuluh) tahun setiap kali perpanjangan. | ||||||||||||
(3) | Permohonan perpanjangan IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diajukan kepada Menteri, paling cepat dalam jangka waktu 5 (lima) tahun atau paling lambat dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sebelum berakhirnya jangka waktu kegiatan Operasi Produksi. | ||||||||||||
(4) | Permohonan perpanjangan IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (3), paling sedikit harus dilengkapi:
|
||||||||||||
(5) | Menteri memberikan persetujuan permohonan perpanjangan IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian berdasarkan hasil evaluasi terhadap permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan terhadap kinerja Operasi Produksi, dalam jangka waktu paling lambat sebelum berakhirnya IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian. | ||||||||||||
(6) | Menteri dapat menolak permohonan perpanjangan IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian berdasarkan hasil evaluasi terhadap permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan terhadap kinerja Operasi Produksi. | ||||||||||||
(7) | Penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) harus disampaikan kepada pemegang IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian paling lambat sebelum berakhirnya IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian. |
(1) | Pemegang IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian yang telah memperoleh perpanjangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 120 ayat (1), harus mengembalikan WIUPK kepada Menteri setelah IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian berakhir. |
(2) | Pemegang IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menyampaikan laporan mengenai keberadaan sumber daya dan/atau cadangan Mineral atau Batubara pada WIUPK kepada Menteri dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sebelum IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian berakhir. |
(3) | Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sebagai dasar bagi Menteri untuk menetapkan kembali wilayah tersebut menjadi WUP, WPN, WPR, atau WUPK sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian perpanjangan jangka waktu IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian diatur dalam Peraturan Menteri.
Ketentuan terkait hak, kewajiban, dan larangan bagi pemegang IUPK pada tahap kegiatan Operasi Produksi sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah ini berlaku secara mutatis mutandis terhadap IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian kecuali yang ditentukan lain dalam Peraturan Pemerintah ini.
Bagian Keempat
Pelaksanaan Izin Usaha Pertambangan Khusus
Sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian
Pasal 124
(1) | Pemegang IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian untuk komoditas tambang Batubara wajib melaksanakan kegiatan Pengembangan dan/atau Pemanfaatan Batubara di dalam negeri. |
(2) | Pelaksanaan Pengembangan dan/atau Pemanfaatan Batubara oleh pemegang IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian untuk komoditas tambang Batubara wajib mengacu pada rencana Pengembangan dan/atau Pemanfaatan yang telah disetujui oleh Menteri. |
(1) | Kegiatan Pengembangan dan/atau Pemanfaatan Batubara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 ayat (1) berupa:
|
||||||||||
(2) | Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan Pengembangan dan/atau Pemanfaatan Batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam dalam Peraturan Menteri. |
(1) | Pelaksanaan Pengembangan dan/atau Pemanfaatan Batubara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 dapat dilaksanakan secara sendiri atau bekerja sama dengan pihak lain yang melakukan kegiatan usaha Pengembangan dan/atau Pemanfaatan Batubara. | ||||||
(2) | Kerja sama pelaksanaan kegiatan Pengembangan dan/atau Pemanfaatan Batubara dengan pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
|
||||||
(3) | Badan Usaha lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:
|
Tata cara pemberian persetujuan rencana Pengembangan dan/atau Pemanfaatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 ayat (2) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri.
Pemegang KK dan PKP2B dalam mengajukan permohonan IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian dapat mengajukan permohonan wilayah di luar WIUPK untuk tahap kegiatan Operasi Produksi kepada Menteri untuk menunjang kegiatan Usaha Pertambangan.
BAB VIII
SURAT IZIN PENAMBANGAN BATUAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 129
(1) | SIPB diberikan oleh Menteri berdasarkan permohonan yang diajukan oleh:
|
||||||||
(2) | Permohonan SlPB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diajukan pada wilayah yang telah ditetapkan sebagai WUP. | ||||||||
(3) | SIPB diberikan untuk pengusahaan Pertambangan batuan jenis tertentu atau untuk keperluan tertentu. | ||||||||
(4) | Batuan jenis tertentu atau untuk keperluan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi batuan yang memiliki sifat material lepas berupa tanah urug, kerikil galian dari bukit, kerikil sungai, batu kali, kerikil sungai ayak tanpa pasir, pasir urug, pasir pasang, kerikil berpasir alami (sirtu), tanah, pasir laut, tanah merah (laterit), tanah liat, dan batu gamping. | ||||||||
(5) | Perubahan atas penggolongan komoditas batuan jenis tertentu atau untuk keperluan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan oleh Menteri. | ||||||||
(6) | SIPB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas tahap kegiatan perencanaan, Penambangan, Pengolahan, serta Pengangkutan dan Penjualan. |
Menteri menetapkan skala usaha Badan Usaha swasta dalam rangka penanaman modal dalam negeri yang dapat diberikan SIPB.
Bagian Kedua
Tata Cara dan Persyaratan
Surat Izin Penambangan Batuan
Pasal 131
(1) | Untuk mendapatkan SIPB, pemohon harus memenuhi persyaratan:
|
||||||||
(2) | Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
|
||||||||
(3) | Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan terintegrasi secara elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. | ||||||||
(4) | Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berupa surat pernyataan untuk tidak menggunakan bahan peledak dalam kegiatan usaha Penambangan, | ||||||||
(5) | Persyaratan lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c berupa surat pernyataan kesanggupan untuk mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. | ||||||||
(6) | Persyaratan finansial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d berupa laporan keuangan 1 (satu) tahun terakhir yang telah diaudit oleh akuntan publik. | ||||||||
(7) | Selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemohon harus menyampaikan koordinat dan luas wilayah batuan jenis tertentu atau untuk keperluan tertentu yang dimohon. |
(1) | Pemegang SIPB dapat langsung melakukan Penambangan setelah memiliki dokumen perencanaan Penambangan yang telah disetujui oleh Menteri. | ||||||||
(2) | Dokumen perencanaan Penambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri atas:
|
(1) | SIPB untuk batuan jenis tertentu diberikan untuk jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang sebanyak 2 (dua) kali masing-masing selama 3 (tiga) tahun. |
(2) | SIPB untuk keperluan tertentu diberikan untuk jangka waktu sesuai dengan jangka waktu kontrak/perjanjian pelaksanaan proyek pembangunan yang dibiayai oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah. |
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian dan perpanjangan SIPB diatur dalam Peraturan Menteri.
BAB IX
IZIN PENGANGKUTAN DAN PENJUALAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 135
(1) | Izin Pengangkutan dan Penjualan untuk komoditas Mineral atau Batubara diberikan oleh Menteri berdasarkan permohonan yang diajukan oleh:
|
||||||||||||||||||||||||
(2) | Untuk mendapatkan Izin Pengangkutan dan Penjualan, pemohon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan yang meliputi:
|
Bagian Kedua
Tata Cara dan Persyaratan Izin Pengangkutan dan Penjualan
Pasal 136
(1) | Izin Pengangkutan dan Penjualan diberikan untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu 5 (lima) tahun setiap kali perpanjangan. | ||||||||||||||||||||||||
(2) | Permohonan perpanjangan jangka waktu Izin Pengangkutan dan Penjualan diajukan kepada Menteri paling cepat dalam jangka waktu 6 (enam) bulan atau paling lambat dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sebelum berakhirnya jangka waktu Izin Pengangkutan dan Penjualan. | ||||||||||||||||||||||||
(3) | Perpanjangan jangka waktu Izin Pengangkutan dan Penjualan diberikan dengan ketentuan sesuai dengan sisa jangka waktu Izin Pengangkutan dan Penjualan ditambah jangka waktu perpanjangan selama 5 (lima) tahun. | ||||||||||||||||||||||||
(4) | Permohonan perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit harus dilengkapi:
|
BAB X
USAHA JASA PERTAMBANGAN
Pasal 137
(1) | Pemegang IUP atau IUPK wajib menggunakan perusahaan Jasa Pertambangan lokal dan/atau nasional. | ||||||||||||||||||
(2) | Perusahaan Jasa Pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melaksanakan kegiatan usaha Jasa Pertambangan dengan jenis usaha di bidang:
|
||||||||||||||||||
(3) | Kegiatan Usaha Jasa Pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:
|
||||||||||||||||||
(4) | Kegiatan konsultasi dan perencanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan huruf b dilaksanakan setelah memenuhi ketentuan Perizinan Berusaha dalam bentuk sertifikat standar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf b. | ||||||||||||||||||
(5) | Kegiatan pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c dilaksanakan setelah mendapatkan IUJP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (4) huruf h. | ||||||||||||||||||
(6) | Penggunaan perusahaan Jasa Pertambangan lokal dan/atau nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan:
|
||||||||||||||||||
(7) | Dalam hal tidak terdapat perusahaan Jasa Pertambangan lokal dan/atau nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemegang IUP atau IUPK dapat menggunakan perusahaan Jasa Pertambangan yang berbadan hukum Indonesia dalam rangka penanaman modal asing. | ||||||||||||||||||
(8) | Penggunaan perusahaan Jasa Pertambangan yang berbadan hukum Indonesia dalam rangka penanaman modal asing sebagaimana dimaksud pada ayat (7) setelah pemegang IUP atau IUPK melakukan pengumuman ke media massa lokal dan/atau nasional tetapi tidak ada perusahaan Jasa Pertambangan lokal dan/atau nasional yang mampu secara teknis dan/atau finansial. |
(1) | Perusahaan Jasa Pertambangan lokal dan/atau nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 137 ayat (1) dapat memberikan sebagian pekerjaan usaha Jasa Pertambangan yang didapatkan kepada pihak lain. |
(2) | Perusahaan Jasa Pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mengutamakan penggunaan kontraktor lokal dan tenaga kerja lokal. |
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian sertifikat standar diatur dalam Peraturan Menteri.
BAB XI
PERLUASAN DAN PENCIUTAN WIUP DAN WIUPK
Bagian Kesatu
Perluasan Wilayah Izin usaha Pertambangan dan
Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus
Pasal 140
(1) | Dalam rangka konservasi Mineral dan Batubara pemegang IUP dan IUPK tahap kegiatan Operasi Produksi Mineral logam atau Batubara dapat mengajukan permohonan persetujuan perluasan WIUP dan WIUPK kepada Menteri. | ||||||||||||
(2) | Perluasan WIUP dan WIUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi kriteria:
|
||||||||||||
(3) | Permohonan perluasan WIUP dan WIUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan paling sedikit:
|
(1) | Menteri dalam memberikan persetujuan perluasan WIUP dan WIUPK harus berkoordinasi dengan:
|
||||
(2) | Koordinasi dengan Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dilakukan dalam hal wilayah yang dimohonkan perluasan belum masuk dalam WPN, WUP, atau WUPK. | ||||
(3) | Koordinasi dengan instansi pemerintah terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dilakukan dalam hal wilayah yang dimohonkan perluasan masuk dalam kawasan atau zonasi peruntukan lain non Pertambangan |
Menteri dalam memberikan persetujuan perluasan WIUP dan WIUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 harus mempertimbangkan:
a. | hasil evaluasi terhadap dokumen persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 ayat (3); |
b. | konservasi Mineral dan Batubara; dan |
c. | peningkatan penerimaan negara. |
Ketentuan lebih lanjut mengenai perluasan WIUP dan WIUPK diatur dalam Peraturan Menteri.
Bagian Kedua
Penciutan Wilayah Izin Usaha Pertambangan dan
Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus
Pasal 144
(1) | WIUP atau WIUPK dapat dilakukan penciutan sebagian wilayah berdasarkan:
|
||||
(2) | WIUP atau WIUPK dapat dilakukan pengembalian seluruh wilayah berdasarkan permohonan pemegang IUP dan IUPK kepada Menteri. | ||||
(3) | Penciutan sebagian wilayah WIUP atau WIUPK berdasarkan hasil evaluasi Menteri Sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dilakukan terhadap:
|
Bagian Ketiga
Penciutan dan Pengembalian Wilayah Izin Usaha Pertambangan
dan Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus
Tahap Kegiatan Eksplorasi
Pasal 145
(1) | Pemegang IUP dan IUPK pada tahap kegiatan Eksplorasi dapat mengajukan permohonan penciutan sebagian a.tau pengembalian seluruh WIUP dan WIUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 144 ayat (1) huruf a dan ayat (2) kepada Menteri. |
(2) | Pemegang IUP pada tahap kegiatan Eksplorasi yang luas wilayahnya melebihi batas maksimal WIUP Operasi Produksi dalam mengajukan peningkatan tahap kegiatan Operasi Produksi harus mengajukan permohonan penciutan sebagian WI JP kepada Menteri bersamaan dengan permohonan peningkatan tahap kegiatan Operasi Produksi. |
(3) | Dalam hal terdapat lahan terganggu pada sebagian WIUP dan WIUPK yang akan diciutkan atau seluruh WIUP dan WIUPK yang akan dikembalikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemegang IUP dan IUPK wajib melaksanakan Reklamasi hingga memenuhi tingkat keberhasilan 100% (seratus persen). |
Bagian Keempat
Penciutan dan Pengembalian Wilayah Izin Usaha Pertambangan
dan Wilayah izin Usaha Pertambangan Khusus
Tahap Kegiatan Operasi Produksi
Pasal 146
(1) | Pemegang IUP dan IUPK pada tahap kegiatan Operasi Produksi dapat mengajukan permohonan penciutan sebagian atau pengembalian seluruh WIUP dan WIUPK kepada Menteri. | ||||||||
(2) | Pemegang IUP dan IUPK pada tahap kegiatan Operasi Produksi dalam mengajukan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menyampaikan:
|
||||||||
(3) | Pemegang IUP dan IUPK pada tahap kegiatan Operasi Produksi sebelum mengajukan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib melaksanakan Reklamasi dan/atau Pascatambang hingga mencapai tingkat keberhasilan Reklamasi dan/atau Pascatambang, 100% (seratus persen) pada wilayah yang akan diciutkan atau dikembalikan. |
BAB XII
DIVESTASI SAHAM
Pasal 147
(1) | Badan Usaha pemegang IUP dan IUPK pada tahap kegiatan Operasi Produksi dalam rangka penanaman modal asing wajib melakukan divestasi saham paling sedikit sebesar 51% (lima puluh satu persen) secara berjenjang kepada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, BUMN, BUMD, dan/atau Badan Usaha Swasta Nasional. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
(2) | Kewajiban divestasi saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi pemegang IUP dan IUPK pada tahap kegiatan Operasi Produksi dengan ketentuan:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
(3) | Pemegang IUP dan IUPK wajib menawarkan divestasi saham secara langsung kepada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, BUMN, dan BUMD. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
(4) | Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, BUMN, dan BUMD harus menyatakan minatnya dalam jangka waktu paling lambat 90 (sembilan puluh) hari kalender setelah tanggal penawaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3). | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
(5) | Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melalui Menteri dapat secara bersama-sama dengan Pemerintah Daerah provinsi, Pemerintah Daerah kabupaten/kota, BUMN, dan/atau BUMD mengoordinasikan untuk menyatakan minat atau tidak berminat serta penentuan skema divestasi dan komposisi besaran saham divestasi yang akan dibeli. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
(6) | Dalam hal Pemerintah Pusat tidak berminat atau tidak memberikan jawaban terhadap penawaran divestasi saham, Pemerintah Daerah provinsi dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota diberikan hak untuk membeli saham divestasi. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
(7) | Dalam hal Pemerintah Daerah provinsi dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota tidak berminat atau tidak memberikan jawaban terhadap penawaran divestasi saham, BUMN diberikan hak untuk membeli saham divestasi. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
(8) | Dalam hal BUMN tidak berminat atau tidak memberikan jawaban terhadap penawaran divestasi saham, BUMD diberikan hak untuk membeli saham divestasi. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
(9) | Dalam hal BUMD tidak berminat atau tidak memberikan jawaban terhadap penawaran divestasi saham, saham ditawarkan kepada Badan Usaha Swasta Nasional dengan cara lelang. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
(10) | Dalam hal penawaran divestasi saham kepada Badan Usaha Swasta Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (9) tidak ada yang berminat, penawaran divestasi saham dilakukan melalui bursa saham Indonesia. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
(11) | Dalam hal terjadi peningkatan jumlah modal pada pemegang IUP dan IUPK setelah pelaksanaan divestasi saham, saham divestasi tidak boleh terdilusi menjadi lebih kecil dari jumlah saham sesuai dengan kewajiban divestasi saham sebagaimana dimaksud pada ayat (2). |
(1) | Pemegang IUP dan IUPK yang sahamnya lebih dari 49% (empat puluh sembilan persen) dimiliki oleh asing dapat melakukan pengalihan saham asing kepada pihak lain sebelum jangka waktu pelaksanaan kewajiban divestasi saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 147 ayat (2). |
(2) | Pengalihan saham asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib terlebih dahulu ditawarkan kepada BUMN. |
(3) | BUMN dalam jangka waktu paling lama 75 (tujuh puluh lima) hari kalender harus memberikan jawaban tertulis atas penawaran saham asing sebagaimana dimaksud pada ayat (2). |
(4) | Dalam hal BUMN tidak berminat atau tidak memberikan jawaban tertulis dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pemegang IUP dan IUPK dapat mengajukan persetujuan pengalihan saham asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Menteri. |
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara divestasi saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 147 dan pengalihan saham asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 diatur dengan Peraturan Menteri.
BAB XIII
SUSPENSI KEGIATAN USAHA PERTAMBANGAN
Pasal 150
(1) | Suspensi kegiatan Usaha Pertambangan dapat diberikan kepada pemegang IUP, JUPK, IPR, atau SIPB jika terjadi:
|
||||||
(2) | Suspensi Kegiatan Usaha Pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengurangi masa berlaku IUP, IUPK, IPR, atau SIPB. |
(1) | Keadaan kahar dan keadaan yang menghalangi sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 150 ayat (1) huruf a dan huruf b menjadi dasar pemberian suspensi apabila mengakibatkan terhentinya sebagian atau seluruh kegiatan Usaha Pertambangan. | ||||
(2) | Kondisi daya dukung lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 150 ayat (1) huruf c menjadi dasar pemberian suspensi apabila kondisi daya dukung lingkungan wilayah tersebut tidak dapat menanggung beban kegiatan Operasi Produksi yang mengakibatkan:
|
||||
(3) | Dalam hal terjadi keadaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), suspensi diberikan oleh Menteri berdasarkan permohonan dari pemegang IUP, IUPK, IPR, atau SIPB. | ||||
(4) | Dalam hal terjadi keadaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), suspensi diberikan berdasarkan:
|
(1) | Permohonan suspensi karena keadaan kahar atau keadaan yang menghalangi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 150 ayat (1) huruf a dan huruf b harus diajukan oleh pemegang IUP, IUPK, IPR, atau SIPB dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kalender sejak terjadinya keadaan kahar atau keadaan yang menghalangi kepada Menteri untuk memperoleh persetujuan. |
(2) | Permohonan suspensi karena daya dukung lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 150 ayat (1) huruf c yang diajukan oleh Masyarakat harus disertai dengan kajian dan data dukungnya kepada Menteri untuk memperoleh persetujuan. |
(3) | Menteri memberikan persetujuan atau penolakan terhadap permohonan, suspensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan hasil evaluasi terhadap permohonan suspensi dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) hari. kalender sejak permohonan diterima. |
(4) | Suspensi karena kea.daan kahar atau keadaan yang menghalangi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling lama 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang paling lama 1 (satu) tahun untuk setiap kali perpanjangan. |
(5) | Suspensi karena kondisi daya dukung lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan paling lama 2 (dua) tahun pada setiap tahapan kegiatan dengan persetujuan Menteri. |
(1) | Permohonan perpanjangan suspensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 152 ayat (4) diajukan secara tertulis dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender sebelum berakhirnya suspensi. |
(2) | Menteri memberikan persetujuan atau penolakan terhadap permohonan perpanjangan suspensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan hasil evaluasi terhadap permohonan perpanjangan suspensi dalam jangka waktu paling lambat sebelum berakhirnya suspensi. |
(1) | Pemegang IUP, IUPK, IPR, atau SIPB yang telah diberikan persetujuan Suspensi karena keadaan kahar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 150 ayat (1) huruf a, tidak wajib memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan selama berlakunya persetujuan keadaan kahar. | ||||||
(2) | Pemegang IUP, IUPK, IPR, atau SIPB yang telah diberikan persetujuan suspensi dikarenakan keadaan yang menghalangi dan/atau kondisi daya dukung lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 150 ayat (1) huruf b dan huruf c wajib:
|
(1) | Suspensi karena keadaan kahar dan keadaan yang menghalangi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 152 ayat (4) berakhir karena:
|
||||||
(2) | Suspensi karena kondisi daya dukung lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 152 ayat (5) berakhir karena habis masa berlakunya. |
(1) | Apabila jangka waktu suspensi karena keadaan kahar atau keadaan yang menghalangi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 152 ayat (4) belum berakhir dan pemegang IUP, IUPK, IPR, atau SIPB sudah siap untuk melakukan kegiatan Usaha Pertambangan kembali, permohonan pencabutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 155 ayat (1) huruf c harus diajukan kepada Menteri oleh pemegang IUP, IUPK, IPR, atau SIPB. |
(2) | Menteri memberikan persetujuan atau penolakan terhadap permohonan pencabutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kalender sejak permohonan diterima. |
(3) | Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjadi pengakhiran suspensi. |
BAB XIV
PENGUTAMAAN KEPENTINGAN DALAM NEGERI,
PENGENDALIAN PRODUKSI, DAN PENGENDALIAN PENJUALAN
MINERAL DAN BATUBARA
Pasal 157
(1) | Pemegang IUP atau IUPK tahap kegiatan Operasi Produksi wajib mengutamakan kebutuhan Mineral dan/atau Batubara untuk kepentingan dalam negeri. |
(2) | Menteri dapat menetapkan kebutuhan Mineral dan Batubara di dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
(1) | Pemegang IUP atau IUPK tahap kegiatan Operasi Produksi dapat melakukan Penjualan Mineral dan Batubara yang meliputi:
|
||||
(2) | Pemegang IUP atau IUPK tahap kegiatan Operasi Produksi dapat melakukan Penjualan ke luar negeri komoditas Mineral yang diproduksi setelah:
|
||||
(3) | Pemegang IUP atau IUPK tahap kegiatan Operasi Produksi dapat melakukan Penjualan keluar negeri komoditas Batubara yang diproduksi setelah terpenuhinya kebutuhan Batubara dalam negeri. |
(1) | Pemegang IUP dan IUPK tahap kegiatan Operasi Produksi Mineral atau Batubara yang menjual Mineral atau Batubara yang diproduksi wajib mengacu pada harga patokan. | ||||
(2) | Harga patokan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri berdasarkan:
|
||||
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cam penetapan harga patokan Mineral logam dan Batubara diatur dalam Peraturan Menteri. |
(1) | Dalam rangka pemenuhan kebutuhan Mineral dan Batubara untuk kepentingan dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 157, Menteri dapat menetapkan harga jual Mineral dan Batubara. |
(2) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan harga jual Mineral dan Batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri. |
(1) | Pemegang IUP dan IUPK wajib mengutamakan penggunaan tenaga kerja setempat. |
(2) | Dalam hal tidak tersedia tenaga kerja setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang memiliki kompetensi dan keahlian, pemegang IUP dan IUPK dapat menggunakan tenaga kerja nasional. |
(3) | Dalam hal tidak tersedia tenaga kerja nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang memiliki kompetensi dan keahlian, pemegang IUP dan IUPK dapat menggunakan tenaga kerja asing setelah mendapatkan persetujuan dari instansi yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan. |
(1) | Pemegang IUP, IUPK, atau IUJP dalam melaksanakan kegiatan Usaha Pertambangan wajib mengutamakan barang modal, peralatan, bahan baku, dan bahan pendukung lainnya yang berasal dari produk dalam negeri. | ||||||
(2) | Dalam hal produk dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tersedia, pemegang IUP, IUPK, atau IUJP dapat membeli produk impor yang dijual di dalam negeri dengan ketentuan:
|
||||||
(3) | Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak terpenuhi, pemegang IUP, IUPK atau IUJP dapat mengimpor barang modal, peralatan, bahan baku, dan bahan pendukung lainnya ke dalam negeri. | ||||||
(4) | Pemegang IUP, IUPK, atau IUJP untuk memenuhi kebutuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), wajib menyampaikan pemberitahuan:
|
||||||
(5) | Pemegang IUP, IUPK, atau IUJP wajib menyampaikan rencana pembelian barang modal, peralatan, bahan baku, dan bahan pendukung lainnya serta produk impor yang dijual di dalam negeri dan barang yang akan diimpor sendiri kepada Menteri dalam RKAB Tahunan. | ||||||
(6) | Dalam hal pemegang IUP, IUPK, atau IUJP melakukan impor barang modal, peralatan, bahan baku, dan bahan pendukung lainnya harus memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perdagangan. | ||||||
(7) | Pembelian impor barang modal, peralatan, bahan baku, dan bahan pendukung lainnya dapat diberikan fasilitas impor sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Menteri melakukan pengendalian produksi Mineral dan Batubara yang dilakukan oleh pemegang IUP dan IUPK tahap kegiatan Operasi Produksi Mineral atau Batubara. | ||||||
(2) | Pengendalian produksi Mineral dan Batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling sedikit untuk:
|
(1) | Menteri menetapkan rencana produksi Mineral dan Batubara nasional tahunan berdasarkan rencana pengelolaan Mineral dan Batubara nasional. | ||||||||||
(2) | Dalam menetapkan rencana produksi Mineral dan Batubara nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri harus mempertimbangkan:
|
(1) | Menteri melakukan pengendalian Penjualan Mineral dan Batubara yang dilakukan oleh pemegang IUP atau IUPK tahap kegiatan Operasi Produksi. | ||||||||
(2) | Pengendalian Penjualan Mineral dan Batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk:
|
||||||||
(3) | Dalam melaksanakan pengendalian Penjualan Mineral dan Batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri menetapkan jumlah dan jenis kebutuhan Mineral atau Batubara untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri. |
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengutamaan kepentingan dalam negeri, penggunaan tenaga kerja, pengutamaan barang modal, peralatan, bahan baku dan bahan pendukung lainnya, pengendalian produksi, dan pengendalian Penjualan diatur dalam Peraturan Menteri.
BAB XV
PENINGKATAN NILAI TAMBAH MINERAL DAN BATUBARA
Bagian Kesatu
Kewajiban Peningkatan Nilai Tambah
Pasal 167
(1) | Pemegang IUP dan IUPK tahap kegiatan Operasi Produksi untuk komoditas Mineral wajib melakukan Pengolahan dan/atau Pemurnian untuk meningkatkan nilai tambah Mineral hasil Penambangan di dalam negeri. | ||||
(2) | Pemegang IUP dan IUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam melakukan Pengolahan dan/atau Pemurnian dapat dilakukan secara sendiri atau bekerja sama dengan:
|
(1) | Dalam bal pemegang IUP atau IUPK pada tahap kegiatan Operasi Produksi telah melakukan Pengolahan dan/atau Pemurnian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 167, Pemerintah Pusat menjamin keberlangsungan pemanfaatan hasil Pengolahan dan/atau Pemurnian. | ||||
(2) | Jaminan keberlangsungan pemanfaatan hasil Pengolahan dan/atau Pemurnian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Pemerintah Pusat melalui pemberian:
|
(1) | Peningkatan nilai tambah Mineral melalui kegiatan Pengolahan dan/atau Pemurnian wajib memenuhi batasan minimum Pengolahan dan/atau Pemurnian, dengan mempertimbangkan:
|
||||||
(2) | Peningkatan nilai ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus:
|
||||||
(3) | Kebutuhan pasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b harus mempertimbangkan penyerapan produk pada tingkat kemurnian tertentu yang dapat diserap oleh pasar dalam negeri dan/atau internasional. | ||||||
(4) | Batasan minimum Pengolahan dan/atau Pemurnian ditetapkan oleh Menteri setelah berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian. | ||||||
(5) | Ketentuan lebih lanjut mengenai batasan minimum Pengolahan dan/atau Pemurnian diatur dalam Peraturan Menteri. |
(1) | Pemegang IUP dan IUPK tahap kegiatan Operasi Produksi untuk komoditas Batubara dapat melakukan Pengembangan dan/atau pemanfaatan Batubara untuk meningkatkan nilai tambah Batubara hasil Penambangan di dalam negeri. |
(2) | Pemegang IUP dan IUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam melakukan Pengembangan dan/atau Pemanfaatan Batubara dapat dilakukan secara langsung atau melalui kerja sama dengan pemegang IUP dan IUPK lain atau pihak lain yang melakukan kegiatan Pengembangan dan/atau Pemanfaatan Batubara. |
Bagian Kedua
Peningkatan Nilai Tambah Mineral dan Batubara
Pasal 171
(1) | Komoditas tambang yang dapat ditingkatkan nilai tambahnya terdiri atas Pertambangan: ·
|
||||||||
(2) | Peningkatan nilai tambah Mineral logam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan melalui kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral logam. | ||||||||
(3) | Peningkatan nilai tambah Mineral bukan logam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilaksanakan melalui kegiatan Pengolahan Mineral bukan logam. | ||||||||
(4) | Peningkatan nilai tambah batuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilaksanakan melalui kegiatan Pengolahan batuan. | ||||||||
(5) | Peningkatan nilai tambah Batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilaksanakan melalui kegiatan Pengembangan dan/atau Pemanfaatan Batubara. |
Ketentuan lebih lanjut mengenai peningkatan nilai tambah Mineral dan Batubara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 171 diatur dalam Peraturan Menteri.
BAB XVI
PENGGUNAAN JALAN PERTAMBANGAN
Pasal 173
(1) | Pemegang IUP dan IUPK wajib menggunakan jalan Pertambangan dalam pelaksanaan kegiatan Usaha Pertambangan. | ||||
(2) | Jalan Pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
|
||||
(3) | Jalan Pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibangun sendiri oleh pemegang IUP dan IUPK atau bekerja sama dengan:
|
||||
(4) | Dalam melaksanakan kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pemegang IUP dan IUPK dapat melakukan perjanjian pemanfaatan jalan sebagai jalan Pertambangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. | ||||
(5) | Perjanjian pemanfaatan jalan sebagai jalan Pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus memperhatikan asas keadilan, kewajaran, dan kemanfaatan. | ||||
(6) | Dalam hal jalan Pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b tidak tersedia, pemegang IUP dan IUPK dapat memanfaatkan sarana dan prasarana umum termasuk jalan umum untuk keperluan Pertambangan setelah memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Pemegang IUP dan IUPK dalam penggunaan dan pembangunan jalan Pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173 ayat (1) dan ayat (3) wajib memenuhi aspek keselamatan Pertambangan. |
(2) | Pemegang IUP dan IUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat memberikan akses kepada Masyarakat untuk menggunakan jalan Pertambangan setelah mendapat persetujuan dari penanggung jawab aspek keselamatan Pertambangan pada IUP dan IUPK. |
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai pemenuhan aspek keselamatan Pertambangan dalam pembangunan dan penggunaan jalan Pertambangan diatur dalam Peraturan Menteri. |
BAB XVII
PENGGUNAAN TANAH UNTUK KEGIATAN USAHA PERTAMBANGAN
Pasal 175
(1) | Pemegang IUP, IUPK, atau SIPB sebelum melakukan kegiatan Usaha Pcrtambangan wajib menyelesaikan hak atas tanah dalam WIUP atau WIUPK dengan pemegang hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(2) | Penyelesaian hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara bertahap sesuai dengan kebutuhan atas tanah oleh pemegang IUP, IUPK, atau SIPB. |
(3) | Pemegang IUP, IUPK, atau SIPB dalam menyelesaikan hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memberikan kompensasi berdasarkan kesepakatan bersama dengan pemegang hak atas tanah. |
(4) | Kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dihitung berdasarkan luasan tanah dan/atau benda yang berada di atas tanah yang akan diusahakan untuk kegiatan Usaha Pertambangan oleh pemegang IUP, IUPK, atau SIPB dan tidak memperhitungkan nilai potensi komoditas Mineral atau Batubara. |
(1) | Penyelesaian hak atas tanah antara pemegang IUP, IUPK, atau SIPB dengan pemegang hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 175 ayat (1) dilakukan secara musyawarah untuk mufakat. |
(2) | Dalam hal musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, Pemerintah Pusat melakukan penyelesaian permasalahan hak atas tanah untuk kegiatan Usaha Pertambangan melalui mediasi yang dikoordinasikan oleh Menteri bersama menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agraria/pertanahan dengan melibatkan Pemerintah Daerah. |
(3) | Pemerintah Pusat dapat memberikan rekomendasi dalam proses mediasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terhadap penyelesaian permasalahan hak atas tanah. |
BAB XVIII
RENCANA KERJA DAN ANGGARAN BIAYA TAHUNAN SERTA LAPORAN
Bagian Kesatu
Rencana Kerja dan Anggaran Biaya
Pasal 177
(1) | Pemegang IUP dan IUPK wajib menyusun dan menyampaikan RKAB Tahunan sebagai pedoman dalam pelaksanaan kegiatan Usaha Pertambangan kepada Menteri. |
(2) | RKAB Tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mendapatkan persetujuan Menteri. |
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan, penyampaian, dan persetujuan RKAB Tahunan diatur dalam Peraturan Menteri. |
Bagian Kedua
Laporan
Pasal 178
(1) | Pemegang IUP, IUPK, IPR, SIPB, Izin Pengangkutan dan Penjualan, IUJP, dan IUP untuk Penjualan wajib menyusun dan menyampaikan laporan pelaksanaan kegiatan Usaha Pertambangan yang dilakukan kepada Menteri. | ||||||
(2) | Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit terdiri atas:
|
||||||
(3) | Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan secara tertulis dan/atau secara elektronik. | ||||||
(4) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyampaian laporan diatur dalam Peraturan Menteri. |
BAB XIX
PENGEMBANGAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
Pasal 179
(1) | Pemegang IUP dan IUPK wajib menyusun rencana induk program pengembangan dan pemberdayaan Masyarakat di sekitar WIUP dan WIUPK dengan berpedoman pada cetak biru (blue print) yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(2) | Program pengembangan dan pemberdayaan Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dikonsultasikan dengan Menteri, Pemerintah Daerah provinsi, Pemerintah Daerah kabupaten/kota, dan Masyarakat. |
(3) | Program pengembangan dan pemberdayaan Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diprioritaskan untuk Masyarakat di sekitar WIUP dan WIUPK. |
(4) | Pemegang IUP dan IUPK wajib mengalokasikan dana untuk pelaksanaan program pengembangan dan pemberdayaan Masyarakat yang besaran minimumnya ditetapkan oleh Menteri. |
(1) | Pemegang IUP dan IUPK wajib menyampaikan rencana dan biaya pelaksanaan program pengembangan dan pemberdayaan Masyarakat sebagai bagian dari RKAB Tahunan kepada Menteri untuk mendapatkan persetujuan. |
(2) | Alokasi biaya program pengembangan dan pemberdayaan Masyarak.at sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikelola langsung oleh pemegang IUP atau IUPK. |
(3) | Dalam hal terjadi peningkatan kapasitas produksi, pemegang IUP dan TUPK tahap kegiatan Operasi Produksi wajib meningkatkan biaya program pengembangan dan pemberdayaan Masyarakat. |
(4) | Dalam hal realisasi biaya program pengembangan dan pemberdayaan Masyarakat tidak tercapai wajib ditambahkan pada tahun berikutnya. |
Pemegang IUP dan IUPK wajib menyampaikan laporan realisasi program pengembangan dan pemberdayaan Masyarakat kepada Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembangan dan pemberdayaan Masyarakat diatur dalam Peraturan Menteri.
BAB XX
PENJUALAN MINERAL DAN BATUBARA
(1) | Mineral atau Batubara yang berada pada fasilitas penimbunan pemegang IUP, IUPK, IPR, atau SIPB yang telah berakhir jangka waktunya atau disebut dapat dilakukan Penjualan setelah mengajukan permohonan dan mendapatkan persetujuan Menteri. | ||||||||
(2) | Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat diajukan oleh eks pemegang IUP, IUPK, IPR, atau SIPB yang dicabut karena melanggar ketentuan pidana di bidang Pertambangan Mineral dan Batubara. | ||||||||
(3) | Persetujuan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan setelah pemegang IUP, IUPK, IPR, atau SIPB yang telah berakhir jangka waktunya atau dicabut memenuhi persyaratan paling sedikit meliputi:
|
||||||||
(4) | Menteri dalam memberikan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus didasarkan atas hasil evaluasi pemeriksaan lapangan terhadap:
|
||||||||
(5) | Dalam melaksanakan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) Menteri harus melakukan pemeriksaan lapangan terhadap fasilitas produksi dan fasilitas penimbunan Mineral atau Batubara yang dimiliki oleh pemegang IUP, IUPK, IPR, atau SIPB yang telah berakhir jangka waktunya atau dicabut. | ||||||||
(6) | Permohonan Penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diajukan oleh pemegang IUP, IUPK, IPR, atau SIPB dalam jangka waktu paling lambat 6 (enam) bulan sejak IUP, IUPK, IPR, atau SIPB:
|
(1) | Apabila pemegang IUP, IUPK, IPR, atau SIPB yang telah berakhir jangka waktunya:
|
||||
(2) | Dalam hal pemegang IUP, IUPK, IPR, atau SIPB yang telah dicabut telah mengajukan permohonan Penjualan namun tidak disetujui oleh Menteri, Mineral atau Batubara ditetapkan sebagai barang milik negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. | ||||
(3) | Dalam hal terdapat perbedaan antara penghitungan jumlah produksi dalam laporan produksi dan Penjualan dengan hasil evaluasi pemeriksaan lapangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 183 ayat (4), Menteri menetapkan selisih kelebihan Mineral atau Batubara sebagai barang milik negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. | ||||
(4) | Pengelolaan barang milik negara yang berasal dari Mineral atau Batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan. |
BAB XXI
SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 185
(1) | Pemegang IUP, IUPK, IPR, SIPB, atau IUP untuk Penjualan yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1), Pasal 13 ayat (1) dan ayat (9), Pasal 48 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 49 ayat (1), Pasal 50 ayat (2), Pasal 51 ayat (2), Pasal 65 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 66 ayat (1), Pasal 69 ayat (1), Pasal 72 ayat (1) dan ayat (8), Pasal 104 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 105 ayat (1), Pasal 106 ayat (2), Pasal 107 ayat (2), Pasal 118 ayat (2) dan ayat (4), Pasal 124, Pasal 137 ayat (1), Pasal 138 ayat (2), Pasal 145 ayat (3), Pasal 146 ayat (3), Pasal 147 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 148 ayat (2), Pasal 154 ayat (2), Pasal 157 ayat (1), Pasal 159 ayat (1), Pasal 161 ayat (1), Pasal 162 ayat (1), ayat (4), dan ayat (5), Pasal 167 ayat (1), Pasal 169 ayat (1), Pasal 173 ayat (1), Pasal 174 ayat (1), Pasal 175 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 177 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 178 ayat (1), Pasal 179 ayat (1) dan ayat (4), Pasal 180 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4), dan Pasal 181 dikenai sanksi administratif. | ||||||
(2) | Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
|
||||||
(3) | Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemegang IUP, IUPK, IPR, atau SIPB yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (2) huruf b dan Pasal 107 ayat (2) huruf b dikenai denda. | ||||||
(4) | Pengenaan denda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pajak daerah dan retribusi daerah. |
Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 185 ayat (2) huruf a diberikan paling banyak 3 (tiga) kali dengan jangka waktu peringatan masing-masing 30 (tiga puluh) hari kalender.
(1) | Dalam hal pemegang IUP, IUPK, IPR, atau SIPB yang mendapat sanksi peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 186 belum melaksanakan kewajibannya, dikenakan sanksi administratif berupa penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan Eksplorasi atau Operasi Produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 185 ayat (2) huruf b. |
(2) | Sanksi administratif berupa penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan Eksplorasi atau Operasi Produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari kalender sejak jangka waktu peringatan tertulis berakhir. |
(3) | Dalam hal pemegang IUP, IUPK, IPR, atau SIPB yang mendapat sanksi berupa penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan Eksplorasi atau Operasi Produksi belum melaksanakan kewajiban sampai dengan berakhirnya jangka waktu pengenaan sanksi berupa penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan Eksplorasi atau Operasi Produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dikenai sanksi administratif berupa pencabutan IUP, IUPK, IPR, atau SIPB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 185 ayat (2) huruf c. |
(4) | Dalam hal pemegang IUP, IUPK, IPR, atau SIPB yang mendapatkan sanksi penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan Eksplorasi atau Operasi Produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) telah melaksanakan kewajibannya, sanksi administratif berupa penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan Eksplorasi atau Operasi Produksi dicabut. |
Menteri dapat memberikan sanksi administratif berupa pencabutan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 185 ayat (2) huruf c tanpa melalui tahapan pemberian sanksi administratif berupa peringatan tertulis dan penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan Eksplorasi atau Operasi Produksi dalam kondisi tertentu berkaitan dengan:
a.. | pelanggaran pidana yang dilakukan oleh pemegang IUP, IUPK, IPR, atau SIPB berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap; |
b. | hasil evaluasi Menteri atas pemegang IUP, IUPK, IPR, atau SIPB yang telah menimbulkan kerusakan lingkungan serta tidak menerapkan kaidah teknik Pertambangan yang baik; atau |
c. | pemegang IUP, IUPK, IPR, atau SIPB dinyatakan pailit, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
BAB XXII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 189
(1) | Pemegang PKP2B yang telah mengajukan permohonan perpanjangan PKP2B menjadi IUPK Operasi Produksi perpanjangan kepada Menteri sebelum Peraturan Pemerintah ini diundangkan harus menyesuaikan permohonan perpanjangan menjadi IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian berdasarkan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini, kecuali terkait persetujuan atas rencana Pengembangan dan/atau Pemanfaatan Batubara. | ||||||
(2) | Rencana Pengembangan dan/atau Pemanfaatan Batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan bersamaan dengan permohonan perpanjangan PKP2B menjadi IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian. | ||||||
(3) | Menteri memberikan persetujuan permohonan IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebelum berakhirnya PKP2B. | ||||||
(4) | Menteri dalam memberikan persetujuan IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mempertimbangkan:
|
||||||
(5) | Menteri dapat menolak permohonan IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan hasil evaluasi terhadap persyaratan perpanjangan dan evaluasi terhadap kinerja pengusahaan Pertambangan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah ini. | ||||||
(6) | Penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus disampaikan dalam jangka waktu paling lambat sebelum berakhirnya PKP2B disertai dengan alasan penolakan. |
Dalam hal permohonan IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 189 ayat (3) disetujui, Menteri memberikan persetujuan atas rencana Pengembangan dan/atau Pemanfaatan Batubara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 189 ayat (2) dalam jangka waktu paling lambat 1 (satu) tahun sejak IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian disetujui.
(1) | IUP Operasi Produksi khusus untuk Pengolahan dan/atau Pemurnian yang diterbitkan sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara disesuaikan menjadi perizinan usaha industri yang diterbitkan berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang perindustrian dalam jangka waktu paling lambat 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara mulai berlaku. |
(2) | Menteri menyerahkan dokumen IUP Operasi Produksi khusus untuk Pengolahan dan/atau Pemurnian sesuai dengan kewenangannya kepada Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian dalam jangka waktu paling lambat sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
(3) | Pembinaan dan pengawasan atas pelaksanaan kegiatan Usaha Pertambangan yang dilaksanakan oleh pemegang IUP Operasi Produksi khusus untuk Pengolahan dan/atau Pemurnian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebelum disesuaikan menjadi perizinan usaha industri tetap menjadi kewenangan Menteri dalam jangka waktu paling lambat sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
(1) | Dalam hal belum terdapat pejabat pengawas Pertambangan, pengawasan atas kegiatan Usaha Pertambangan yang dilakukan oleh pemegang IUP, IUPK, IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian, IPR, atau SIPB dilakukan oleh pejabat yang ditunjuk oleh Menteri. |
(2) | Menteri dapat melimpahkan kewenangan penunjukan pejabat yang bertanggung jawab untuk melakukan pengawasan atas kegiatan Usaha Pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat. |
(3) | Tanggung jawab penyediaan anggaran operasional pejabat yang ditunjuk oleh gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibebankan kepada Menteri. |
(1) | Pemegang KK, IUP Operasi Produksi, atau IUPK Operasi Produksi Mineral logam yang dalam proses pembangunan fasilitas Pemurnian dapat melakukan penyesuaian terhadap rencana pembangunan fasilitas Pemurnian di dalam negeri berdasarkan hasil verifikasi yang dilakukan oleh verifikator independen. |
(2) | Pembangunan fasilitas Pemurnian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun sejak Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara mulai berlaku. |
Persetujuan ekspor yang telah diberikan kepada pemegang IUP Operasi Produksi khusus untuk Pengolahan dan/atau Pemurnian sebelum Peraturan Pemerintah ini diundangkan tetap berlaku sampai dengan jangka waktu persetujuan ekspornya berakhir dengan ketentuan paling lama sampai dengan tanggal 10 Juni 2021.
(1) | IUPK Operasi Produksi yang telah diterbitkan tetap berlaku sampai dengan jangka waktunya berakhir. |
(2) | Ketentuan terkait perluasan wilayah dalam rangka konservasi Mineral dan Batubara, Eksplorasi lanjutan, dan Penjualan Mineral dan Batubara keadaan tertentu dalam Peraturan Pemerintah ini diberlakukan untuk IUPK Operasi Produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
(1) | Luas wilayah IUP Operasi Produksi hasil penyesuaian kuasa Pertambangan yang diberikan kepada BUMN, berlaku sampai dengan berakhirnya jangka waktu IUP Operasi Produksi. | ||||||
(2) | IUP Operasi Produksi yang diberikan kepada BUMN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan perpanjangan selama 10 (sepuluh) tahun setiap kali perpanjangan dengan mempertahankan luas wilayah IUP Operasi Produksi setelah mempertimbangkan:
|
||||||
(3) | Permohonan dan pemberian persetujuan perpanjangan IUP Operasi Produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan berdasarkan ketentuan permohonan perpanjangan IUP tahap kegiatan Operasi Produksi sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini. |
(1) | Permohonan IUPK Eksplorasi yang telah diajukan oleh Badan Usaha yang mendapatkan WIUPK secara prioritas sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini dapat diproses perizinannya menjadi IUPK tahap kegiatan Eksplorasi oleh Menteri sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini. |
(2) | Permohonan IUP untuk komoditas Mineral bukan logam atau IUP untuk komoditas batuan yang telah diajukan kepada Menteri atau gubernur sesuai dengan kewenangannya dan telah membayar biaya pencadangan wilayah dan biaya pencetakan peta sebelum Peraturan Pemerintah ini diundangkan dapat diproses perizinannya dalam bentuk IUP sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini. |
(3) | Badan Usaha, Koperasi, atau perusahaan perseorangan yang telah mengajukan permohonan WIUP Mineral bukan logam atau WIUP batuan kepada Menteri atau gubernur sesuai dengan kewenangannya dan telah membayar biaya pencadangan wilayah dan biaya pencetakan peta sebelum Peraturan Pemerintah ini diundangkan dapat mengajukan permohonan IUP sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini. |
(1) | IUP Operasi Produksi yang telah diterbitkan kepada perseorangan tetap berlaku sampai dengan jangka waktunya berakhir. | ||||
(2) | IUP Operasi Produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan perpanjangan dengan ketentuan:
|
IUP Operasi Produksi komoditas Mineral logam atau komoditas Batubara yang telah diterbitkan kepada Badan Usaha terbuka (go public) yang memiliki lebih dari 1 (satu) IUP berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara tetap berlaku sampai dengan jangka waktunya berakhir dan dapat diberikan perpanjangan sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini.
BAB XXIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 200
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik indonesia Tahun 2010 Nomor 29, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5111) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2018 tentang Perubahan Kelima atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 28, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6186), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 9 September 2021 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd JOKO WIDODO |
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 9 September 2021
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2021 NOMOR 208
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 96 TAHUN 2021
TENTANG
PELAKSANAAN KEGIATAN USAHA PERTAMBANGAN
MINERAL DAN BATUBARA
I. UMUM
Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 menegaskan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Mengingat Mineral dan Batubara sebagai kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi merupakan sumber daya alam yang tak terbarukan, pengelolaannya perlu dilakukan seoptimal mungkin, efisien, transparan, berkelanjutan, dan berwawasan lingkungan, serta berkeadilan agar memperoleh manfaat sebesar-besar kemakmuran rakyat secara berkelanjutan.
Sejalan dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Pertambangan Mineral dan Batubara, perlu melakukan penataan kembali pengaturan yang berkaitan dengan kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, yang meliputi:
- Pengusahaan Pertambangan diberikan dalam bentuk izin Usaha Pertambangan, Izin Usaha Pertambangan Khusus, dan Izin Pertambangan Rakyat.
- Pengutamaan pemasokan kebutuhan Mineral dan Batubara untuk kepentingan dalam negeri guna menjamin tersedianya Mineral dan Batubara sebagai bahan baku dan/atau sebagai sumber energi untuk kebutuhan dalam negeri.
- Pelaksanaan dan pengendalian kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara secara berdaya guna, berhasil guna, dan berdaya saing.
- Peningkatan pendapatan Masyarakat lokal, daerah, dan negara, serta menciptakan lapangan kerja untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat.
- Penerbitan perizinan yang transparan dalam kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara sehingga iklim usaha diharapkan dapat lebih sehat dan kompetitif.
- Peningkatan nilai tambah dengan melakukan pengolahan dan pemurnian Mineral dan Batubara di dalam negeri.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Huruf a
Prinsip efektivitas ditentukan berdasarkan pada tujuan penyelenggara suatu urusan pemerintahan yang tepat guna dan berdaya guna.
Huruf b
Prinsip efisiensi ditentukan berdasarkan tingkat daya guna yang paling tinggi yang dapat diperoleh dalam penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan.
Huruf c
Prinsip akuntabilitas ditentukan berdasarkan kedekatan antara penanggung jawab penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan dengan luas, besaran, dan jangkauan dampak yang ditimbulkan oleh penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan.
Huruf d
Prinsip eksternalitas ditentukan berdasarkan luas, besaran, dan jangkauan dampak timbul akibat penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
yang dimaksud dengan "pemilik manfaat" adalah orang perseorangan atau pejabat yang diberikan kewenangan untuk menunjuk atau memberhentikan direksi, dewan komisaris, pengurus, pembina, atau pengawas pada korporasi, berhak atas dan/atau menerima manfaat dari korporasi baik langsung maupun tidak langsung, merupakan pemilik sebenarnya dari dana atau saham korporasi.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Surat keterangan fiskal yang dipersyaratkan meliputi surat keterangan fiskal pemegang IUP yang mengalihkan, pengurus, dan pemegang saham.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "pengalihan kepemilikan saham" dalam ketentuan ini adalah perubahan pemegang saham dan/atau komposisi besaran saham yang dilakukan di luar bursa saham.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Surat keterangan fiskal yang dipersyaratkan meliputi surat keterangan fiskal Badan Usaha pemegang IUP yang mengalihkan, pengurus, dan pemegang saham.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Yang dimaksud dengan "ketentuan peraturan perundang-undangan" adalah ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang ketenaganukliran.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan "mendapat dukungan" antara lain dalam bentuk kerja sama atau dukungan teknis/operasional dari perusahaan lain yang bergerak di bidang Pertambangan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Yang dimaksud dengan "surat keterangan dari akuntan publik" adalah surat yang menjelaskan kondisi keuangan perusahaan baru.
Huruf b
Surat keterangan fiskal yang dipersyaratkan meliputi surat keterangan fiskal pengurus dan pemegang saham.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Surat keterangan fiskal yang dipersyaratkan meliputi surat keterangan fiskal pengurus dan pemegang saham pemegang IUP.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup Jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Huruf a
Yang dimaksud dengan "persetujuan lingkungan" adalah keputusan kelayakan lingkungan hidup atau pernyataan kesanggupan pengelolaan lingkungan hidup.
Pasal 40
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Surat keterangan fiskal yang dipersyaratkan meliputi surat keterangan fiskal pemegang IUP pengurus dan pemegang saham pemegang IUP.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan ''untuk menunjang kegiatan Usaha Pertambangan" seperti pembangunan pelabuhan, jalan tambang, dan fasilitas Pengolahan dan/atau Pemurnian.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Ayat (1)
Konservasi Mineral dan Batubara dilakukan melalui peningkatan status keyakinan data dan informasi geologi berupa sumber daya dan/atau cadangan termasuk penemuan cadangan baru pada WIUP Operasi Produksi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Huruf a
Yang dimaksud dengan "produk antara (intermediate product)" antara lain berupa gas sintesis (synthesis gas) atau gas alam sintetik (synthetic natural gas).
Huruf b
Yang dimaksud dengan produk akhir adalah bahan kimia antara lain berupa metanol, amonia, atau dimetil eter.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Surat keterangan fiskal yang dipersyaratkan meliputi surat keterangan fiskal pemegang IUPK yang mengalihkan, pengurus, dan pemegang saham.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 70
Cukup jelas.
Pasal 71
Cukup jelas.
Pasal 72
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Surat keterangan fiskal yang dipersyaratkan meliputi surat keterangan fiskal Badan Usaha pemegang IUPK yang mengalihkan, pengurus, dan pemegang saham.
Huruf c
Cukup Jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal 74
Cukup jelas.
Pasal 75
Cukup jelas.
Pasal 76
Cukup jelas.
Pasal 77
Cukup jelas.
Pasal 78
Cukup jelas.
Pasal 79
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Yang dimaksud dengan "mendapat dukungan" antara lain dalam bentuk kerja sama atau dukungan teknis/operasional dari perusahaan lain yang bergerak di bidang Pertambangan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas
Ayat (5)
Huruf a
Yang dimaksud dengan "surat keterangan dari akuntan publik" adalah surat yang menjelaskan kondisi keuangan perusahaan baru.
Huruf b
Surat keterangan fiskal yang dipersyaratkan meliputi surat keterangan fiskal pengurus dan pemegang saham.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 80
Cukup jelas.
Pasal 81
Cukup jelas.
Pasal 82
Cukup jelas.
Pasal 83
Cukup jelas.
Pasal 84
Cukup jelas.
Pasal 85
Cukup jelas.
Pasal 86
Cukup jelas.
Pasal 87
Cukup jelas.
Pasal 88
Cukup jelas.
Pasal 89
Cukup jelas.
Pasal 90
Cukup jelas.
Pasal 91
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Surat keterangan fiskal yang dipersyaratkan meliputi surat keterangan fiskal pengurus dan pemegang saham pemegang IUP.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 92
Cukup jelas.
Pasal 93
Cukup jelas.
Pasal 94
Cukup jelas.
Pasal 95
Cukup jelas.
Pasal 96
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Surat keterangan fiskal yang dipersyaratkan meliputi surat keterangan fiskal pengurus dan pemegang saham pemegang IUPK.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 97
Cukup jelas.
Pasal 98
Cukup jelas.
Pasal 99
Cukup jelas.
Pasal 100
Cukup jelas.
Pasal 101
Cukup jelas.
Pasal 102
Cukup jelas.
Pasal 103
Cukup jelas.
Pasal 104
Cukup jelas.
Pasal 105
Cukup jelas.
Pasal 106
Cukup jelas.
Pasal 107
Cukup jelas.
Pasal 108
Cukup jelas.
Pasal 109
Cukup jelas.
Pasal 110
Cukup jelas.
Pasal 111
Ayat (1)
Kegiatan Operasi Produksi yang terintegrasi dapat dilakukan di lokasi yang sama atau berbeda antara kegiatan Penambangan dengan kegiatan Pengolahan dan/atau Pemurnian atau Pengembangan dan/atau Pemanfaatan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 112
Cukup jelas.
Pasal 113
Cukup jelas.
Pasal 114
Cukup jelas.
Pasal 115
Cukup jelas.
Pasal 116
Cukup jelas.
Pasal 117
Cukup jelas.
Pasal 118
Cukup jelas.
Pasal 119
Cukup jelas.
Pasal 120
Cukup jelas.
Pasal 121
Cukup jelas.
Pasal 122
Cukup jelas.
Pasal 123
Cukup jelas.
Pasal 124
Cukup jelas.
Pasal 125
Cukup jelas.
Pasal 126
Cukup jelas.
Pasal 127
Cukup jelas.
Pasal 128
Cukup jelas.
Pasal 129
Cukup jelas.
Pasal 130
Cukup jelas.
Pasal 131
Cukup jelas.
Pasal 132
Cukup jelas.
Pasal 133
Cukup jelas.
Pasal 134
Cukup jelas.
Pasal 135
Cukup jelas.
Pasal 136
Cukup jelas.
Pasal 137
Cukup jelas.
Pasal 138
Cukup jelas.
Pasal 139
Cukup jelas.
Pasal 140
Cukup jelas.
Pasal 141
Cukup jelas.
Pasal 142
Cukup jelas.
Pasal 143
Cukup jelas.
Pasal 144
Cukup jelas.
Pasal 145
Cukup jelas.
Pasal 146
Cukup jelas.
Pasal 147
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "secara berjenjang" adalah terkait dengan urutan hak atau prioritas untuk membeli saham divestasi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Ayat (10)
Cukup jelas.
Ayat (11)
Cukup jelas.
Pasal 148
Cukup jelas.
Pasal 149
Cukup jelas.
Pasal 150
Cukup jelas.
Pasal 151
Cukup jelas.
Pasal 152
Cukup jelas.
Pasal 153
Cukup jelas.
Pasal 154
Cukup jelas.
Pasal 155
Cukup jelas.
Pasal 156
Cukup jelas.
Pasal 157
Cukup jelas.
Pasal 158
Cukup jelas.
Pasal 159
Cukup jelas.
Pasal 160
Cukup jelas.
Pasal 161
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan tenaga kerja setempat dalam ketentuan ini merupakan tenaga kerja yang berada dalam provinsi tempat kegiatan Usaha Pertambangan dilakukan.
Ayat (2)
Yang dimaksud tidak tersedia yaitu terkait kompetensi dan keahlian tenaga kerja.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 162
Cukup jelas.
Pasal 163
Cukup jelas.
Pasal 164
Cukup jelas.
Pasal 165
Cukup jelas.
Pasal 166
Cukup jelas.
Pasal 167
Cukup jelas.
Pasal 168
Cukup jelas.
Pasal 169
Cukup jelas.
Pasal 170
Cukup jelas.
Pasal 171
Cukup jelas.
Pasal 172
Cukup jelas.
Pasal 173
Cukup jelas.
Pasal 174
Cukup jelas.
Pasal 175
Cukup jelas.
Pasal 176
Cukup jelas.
Pasal 177
Cukup jelas.
Pasal 178
Cukup jelas.
Pasal 179
Cukup jelas.
Pasal 180
Cukup jelas.
Pasal 181
Cukup jelas.
Pasal 182
Cukup jelas.
Pasal 183
Cukup jelas.
Pasal 184
Cukup jelas.
Pasal 185
Cukup jelas.
Pasal 186
Cukup jelas.
Pasal 187
Cukup jelas.
Pasal 188
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Pasal 190
Cukup jelas.
Pasal 191
Cukup jelas.
Pasal 192
Cukup jelas.
Pasal 193
Cukup jelas.
Pasal 194
Cukup jelas.
Pasal 195
Cukup jelas.
Pasal 196
Cukup jelas.
Pasal 197
Cukup jelas.
Pasal 198
Cukup jelas.
Pasal 199
Cukup jelas.
Pasal 200
Cukup jelas.
Pasal 201
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6721
Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.