Peraturan Pemerintah Nomor : 5 TAHUN 2021
Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko
Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 5 TAHUN 2021
TENTANG
PENYELENGGARAAN PERIZINAN BERUSAHA BERBASIS RISIKO
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, perplu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko;
Mengingat :
- Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
- Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENYELENGGARAAN PERIZINAN BERUSAHA BERBASIS RISIKO.
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1. | Perizinan Berusaha adalah legalitas yang diberikan kepada Pelaku Usaha untuk memulai dan menjalankan usaha dan/atau kegiatannya. |
2. | Risiko adalah potensi terjadinya cedera atau kerugian dari suatu bahaya atau kombinasi kemungkinan dan akibat bahaya. |
3. | Perizinan Berusaha Berbasis Risiko adalah Perizinan Berusaha berdasarkan tingkat Risiko kegiatan usaha. |
4. | Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha adalah legalitas yang diberikan kepada Pelaku Usaha untuk menunjang kegiatan usaha. |
5. | Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. |
6. | Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom. |
7. | Kawasan Ekonomi Khusus yang selanjutnya disingkat KEK adalah kawasan ekonomi khusus sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang kawasan ekonomi khusus. |
8. | Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas yang selanjutnya disingkat KPBPB adalah kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas. |
9. | Administrator Kawasan Ekonomi Khusus yang selanjutnya disebut Administrator KEK adalah administrator sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang kawasan ekonomi khusus. |
10. | Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas yang selanjutnya disebut Badan Pengusahaan KPBPB adalah Badan Pengusahaan KPBPB sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas. |
11. | Pelaku Usaha adalah orang perseorangan atau badan usaha yang melakukan usaha dan/atau kegiatan pada bidang tertentu. |
12. | Nomor Induk Berusaha yang selanjutnya disingkat NIB adalah bukti registrasi/pendaftaran Pelaku Usaha untuk melakukan kegiatan usaha dan sebagai identitas bagi Pelaku Usaha dalam pelaksanaan kegiatan usahanya. |
13. | Sertifikat Standar adalah pernyataan dan/atau bukti pemenuhan standar pelaksanaan kegiatan usaha. |
14. | Izin adalah persetujuan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah untuk pelaksanaan kegiatan usaha yang wajib dipenuhi oleh Pelaku Usaha sebelum melaksanakan kegiatan usahanya. |
15. | Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Hidup yang selanjutnya disingkat SPPL adalah Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup. |
16. | Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup yang selanjutnya disingkat UKL-UPL adalah Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup. |
17. | Pengawasan adalah upaya untuk memastikan pelaksanaan kegiatan usaha sesuai dengan standar pelaksanaan kegiatan usaha yang dilakukan melalui pendekatan berbasis Risiko dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh Pelaku Usaha. |
18. | Usaha Mikro dan Kecil yang selanjutnya disingkat UMK adalah usaha mikro dan usaha kecil sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. |
19. | Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah yang selanjutnya disingkat UMK-M adalah usaha mikro, usaha kecil, dan usaha menengah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. |
20. | Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia yang selanjutnya disingkat KBLI adalah kode klasifikasi yang diatur oleh lembaga pemerintah nonkementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang statistik. |
21. | Sistem Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik (Online Single Submission) yang selanjutnya disebut Sistem OSS adalah sistem elektronik terintegrasi yang dikelola dan diselenggarakan oleh Lembaga OSS untuk penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko. |
22. | Lembaga Pengelola dan Penyelenggara OSS yang selanjutnya disebut Lembaga OSS adalah lembaga pemerintah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang koordinasi penanaman modal. |
23. | Penanaman Modal adalah penanaman modal sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal. |
24. | Penanaman Modal Asing adalah penanaman modal asing sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal. |
25. | Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu yang selanjutnya disingkat DPMPTSP adalah organisasi perangkat daerah pemerintah provinsi atau pemerintah kabupaten/kota yang mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan daerah di bidang penanaman modal. |
26. | Hari adalah hari kerja sesuai dengan yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. |
Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko meliputi:
a. | pengaturan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko; |
b. | norma, standar, prosedur, dan kriteria Perizinan Berusaha Berbasis Risiko; |
c. | Perizinan Berusaha Berbasis Risiko melalui layanan Sistem OSS; |
d. | tata cara Pengawasan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko; |
e. | evaluasi dan reformasi kebijakan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko; |
f. | pendanaan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko; |
g. | penyelesaian permasalahan dan hambatan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko; dan |
h. | sanksi. |
penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 bertujuan untuk meningkatkan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha, melalui:
a. | pelaksanaan penerbitan Perizinan Berusaha secara lebih efektif dan sederhana; dan |
b. | Pengawasan kegiatan usaha yang transparan, terstruktur, dan dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
Untuk memulai dan melakukan kegiatan usaha, Pelaku Usaha wajib memenuhi:
a. | persyaratan dasar Perizinan Berusaha; dan/atau |
b. | Perizinan Berusaha Berbasis Risiko. |
(1) | Persyaratan dasar Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a meliputi kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang, persetujuan lingkungan, persetujuan bangunan gedung, dan sertifikat laik fungsi. |
(2) | Ketentuan mengenai persyaratan dasar Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) masing-masing diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang tata ruang, lingkungan hidup, dan bangunan gedung. |
(1) | Pemerintah Pusat menetapkan kebijakan penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b. | ||||||||||||||||||||||||||||||||
(2) | Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi sektor:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||
(3) | Perizinan Berusaha Berbasis Risiko pada masing-masing sektor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi pengaturan:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||
(4) | Kode KBLI/KBLI terkait, judul KBLI, ruang lingkup kegiatan, parameter Risiko, tingkat Risiko, Perizinan Berusaha, jangka waktu, masa berlaku, dan kewenangan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini. | ||||||||||||||||||||||||||||||||
(5) | Persyaratan dan/atau kewajiban Perizinan Berusaha Berbasis Risiko pada masing-masing sektor sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini. | ||||||||||||||||||||||||||||||||
(6) | Pedoman Perizinart Berusaha Berbasis Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini. | ||||||||||||||||||||||||||||||||
(7) | Standar kegiatan usaha dan/atau standar produk sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d pada masing-masing sektor diatur dengan peraturan menteri/kepala lembaga. | ||||||||||||||||||||||||||||||||
(8) | Penyusunan standar kegiatan usaha dan/atau standar produk sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dilakukan secara transparan, memperhatikan kesederhanaan persyaratan, dan kemudahan proses bisnis dengan melibatkan Pelaku Usaha. | ||||||||||||||||||||||||||||||||
(9) | Penyusunan standar kegiatan usaha dan/atau standar produk sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dilaksanakan berdasarkan pedoman sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini. | ||||||||||||||||||||||||||||||||
(10) | Peraturan menteri/kepala lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (7) ditetapkan setelah mendapat persetujuan Presiden dan berkoordinasi dengan kementerian yang menyelenggarakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian urusan kementerian dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang perekonomian. | ||||||||||||||||||||||||||||||||
(11) | Kementerian/lembaga, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, Administrator KEK dan Badan Pengusahaan KPBPB dilarang menerbitkan Perizinan Berusaha di luar Perizinan Berusaha yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini. | ||||||||||||||||||||||||||||||||
(12) | Perizinan Berusaha Berbasis Risiko pada masing-masing sektor dilakukan pembinaan dan Pengawasan oleh menteri/kepala lembaga, gubernur, bupati/wali kota, Administrator KEK, atau kepala Badan Pengusahaan KPBPB sesuai kewenangan masing-masing. |
BAB II
PENGATURAN PERIZINAN BERUSAHA BERBASIS RISIKO
Bagian Kesatu
Analisis Risiko
Pasal 7
(1) | Perizinan Berusaha Berbasis Risiko dilakukan berdasarkan penetapan tingkat Risiko dan peringkat skala kegiatan usaha meliputi UMK-M dan/atau usaha besar. |
(2) | Penetapan tingkat Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan hasil analisis Risiko. |
(3) | Analisis Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dilakukan secara transparan, akuntabel, dan mengedepankan prinsip kehati-hatian berdasarkan data dan/atau penilaian profesional. |
(4) | Tingkat Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menentukan jenis Perizinan Berusaha. |
Pelaksanaan analisis Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dilakukan oleh Pemerintah Pusat melalui:
a. | pengidentifikasian kegiatan usaha; |
b. | penilaian tingkat bahaya; |
c. | penilaian potensi terjadinya bahaya; |
d. | penetapan tingkat Risiko dan peringkat skala usaha; dan |
e. | penetapan jenis Perizinan Berusaha. |
(1) | Penilaian tingkat bahaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b dilakukan terhadap aspek:
|
||||||||||
(2) | Untuk kegiatan tertentu, penilaian tingkat bahaya dapat mencakup aspek lainnya sesuai dengan sifat kegiatan usaha. | ||||||||||
(3) | Penilaian tingkat bahaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan dengan memperhitungkan:
|
||||||||||
(4) | Penilaian potensi terjadinya bahaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf c terdiri dari:
|
||||||||||
(5) | Penetapan tingkat Risiko dan peringkat skala usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf d diperoleh berdasarkan penilaian tingkat bahaya dan potensi terjadinya bahaya. |
(1) | Berdasarkan penilaian tingkat bahaya, penilaian potensi terjadinya bahaya, tingkat Risiko, dan peringkat skala usaha kegiatan usaha, kegiatan usaha diklasifikasikan menjadi:
|
||||||
(2) | Kegiatan usaha dengan tingkat Risiko menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terbagi atas:
|
Mekanisme pelaksanaan analisis Risiko kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini.
(1) | Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha dengan tingkat Risiko rendah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a berupa NIB yang merupakan identitas Pelaku Usaha sekaligus legalitas untuk melaksanakan kegiatan usaha. | ||||
(2) | NIB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk kegiatan usaha dengan tingkat Risiko rendah yang dilakukan oleh UMK, berlaku juga sebagai:
|
(1) | Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha dengan tingkat Risiko menengah rendah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf a berupa:
|
||||
(2) | Sertifikat Standar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan legalitas untuk melaksanakan kegiatan usaha dalam bentuk pernyataan Pelaku Usaha untuk memenuhi standar usaha dalam rangka melakukan kegiatan usaha yang diberikan melalui Sistem OSS. | ||||
(3) | Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi dasar bagi Pelaku Usaha untuk melakukan persiapan, operasional, dan/atau komersial kegiatan usaha. | ||||
(4) | Standar pelaksanaan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dipenuhi oleh Pelaku Usaha pada saat melaksanakan kegiatan usaha. |
(1) | Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha dengan tingkat Risiko menengah tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf b berupa:
|
||||
(2) | Sertifikat Standar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan Sertifikat Standar pelaksanaan kegiatan usaha yang diterbitkan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai kewenangan masing-masing berdasarkan hasil verifikasi pemenuhan standar pelaksanaan kegiatan usaha oleh Pelaku Usaha. | ||||
(3) | Setelah memperoleh NIB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, Pelaku Usaha membuat pernyataan melalui Sistem OSS untuk memenuhi standar pelaksanaan kegiatan usaha dalam rangka melakukan kegiatan usaha dan kesanggupan untuk dilakukan verifikasi oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai kewenangan masing-masing. | ||||
(4) | Terhadap pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Lembaga OSS menerbitkan Sertifikat Standar yang belum terverifikasi. | ||||
(5) | Sertifikat Standar yang belum terverifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) menjadi dasar bagi Pelaku Usaha untuk melakukan persiapan kegiatan usaha. | ||||
(6) | NIB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan Sertifikat Standar yang telah terverifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan Perizinan Berusaha bagi Pelaku Usaha untuk melakukan kegiatan operasional dan/atau komersial kegiatan usaha. | ||||
(7) | Dalam hal Pelaku Usaha:
|
(1) | Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha dengan tingkat Risiko tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf c berupa:
|
||||
(2) | Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan persetujuan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah untuk pelaksanaan kegiatan usaha yang wajib dipenuhi oleh Pelaku Usaha sebelum melaksanakan kegiatan usahanya. | ||||
(3) | Sebelum memperoleh Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pelaku Usaha dapat menggunakan NIB untuk persiapan kegiatan usaha. | ||||
(4) | NIB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan Perizinan Berusaha bagi Pelaku Usaha untuk melakukan kegiatan operasional dan/atau komersial kegiatan usaha. | ||||
(5) | Dalam hal kegiatan usaha dengan tingkat Risiko tinggi memerlukan pemenuhan standar usaha dan/atau standar produk, Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai kewenangan masing-masing menerbitkan Sertifikat Standar usaha dan Sertifikat Standar produk berdasarkan hasil verifikasi pemenuhan standar. |
Verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 15 ayat (5) dilakukan oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai kewenangan masing-masing dan dapat menugaskan lembaga atau profesi ahli yang bersertifikat atau terakreditasi.
(1) | Tahapan pelaksanaan kegiatan usaha terdiri dari tahap:
|
||||||||||||||||
(2) | Tahap persiapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri dari kegiatan:
|
||||||||||||||||
(3) | Dalam hal Pelaku Usaha yang melakukan kegiatan usaha dengan tingkat Risiko tinggi diwajibkan memiliki analisis mengenai dampak lingkungan hidup, kegiatan pembangunan bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, dilakukan setelah persetujuan lingkungan diterbitkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. | ||||||||||||||||
(4) | Tahap operasional dan/atau komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri dari kegiatan:
|
Bagian Kedua
Langkah-Langkah Analisis Risiko Kegiatan Usaha
Pasal 18
Analisis Risiko kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) dilakukan terhadap setiap kegiatan usaha.
(1) | Analisis Risiko dilakukan dengan melibatkan:
|
||||||||||
(2) | Keterlibatan menteri dan/atau kepala lembaga sektor terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilakukan dalam rangka koordinasi dan sinkronisasi pengaturan kegiatan usaha yang bersifat lintas sektor dan/atau beririsan antarkementerian/lembaga. | ||||||||||
(3) | Keterlibatan Pelaku Usaha dan/atau masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dapat berupa:
|
(1) | Dalam hal tahap operasional dan/atau komersial kegiatan usaha diperlukan Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha, kementerian/lembaga mengidentifikasi Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha dengan tetap mempertimbangkan tingkat Risiko kegiatan usaha dan/atau produk pada saat pelaksanaan tahap operasional dan/atau komersial kegiatan usaha. |
(2) | Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha tercantum dalam Lampiran I dan Lampiran II. |
BAB III
NORMA, STANDAR, PROSEDUR, DAN KRITERIA
PERIZINAN BERUSAHA BERBASIS RISIKO
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 21
(1) | Pemerintah Pusat menyusun dan menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria Perizinan Berusaha Berbasis Risiko pada setiap sektor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2). |
(2) | Norma, standar, prosedur, dan kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi acuan tunggal bagi pelaksanaan pelayanan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. |
(3) | Pemerintah Pusat dapat mendelegasikan peraturan pelaksanaan norma, standar, prosedur, dan kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada kepala daerah yang ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah. |
(4) | Peraturan Kepala Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) memuat peraturan internal bagi aparat Pemerintah Daerah dalam melaksanakan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko. |
(1) | Perizinan Berusaha diterbitkan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. | ||||||||||||
(2) | Pelaksanaan penerbitan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh:
|
||||||||||||
(3) | Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dan huruf d:
|
(1) | Menteri/kepala lembaga, gubernur, bupati/wali kota, Administrator KEK, dan/atau kepala Badan Pengusahaan KPBPB sesuai dengan kewenangan masing-masing dalam:
|
||||
(2) | Pelaku Usaha harus mematuhi persyaratan dan/atau kewajiban Perizinan Berusaha sebagaimana tercantum dalam Lampiran II. |
Bagian Kedua
Sektor Kelautan dan Perikanan
Paragraf 1
Perizinan Berusaha
Pasal 24
(1) | Perizinan Berusaha sektor kelautan dan perikanan terdiri atas subsektor:
|
||||||||||||||||||||
(2) | Perizinan Berusaha pada subsektor pengelolaan ruang laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis Risiko kegiatan usaha terdiri atas:
|
||||||||||||||||||||
(3) | Perizinan Berusaha pada subsektor penangkapan ikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis Risiko kegiatan usaha terdiri atas kegiatan usaha penangkapan ikan. | ||||||||||||||||||||
(4) | Perizinan Berusaha pada subsektor pengangkutan ikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis Risiko kegiatan usaha terdiri atas kegiatan usaha pengangkutan ikan. | ||||||||||||||||||||
(5) | perizinan Berusaha pada subsektor pembudidayaan ikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis Risiko kegiatan usaha terdiri atas:
|
||||||||||||||||||||
(6) | perizinan Berusaha pada subsektor pengolahan ikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis Risiko kegiatan usaha terdiri atas kegiatan usaha pengolahan ikan. | ||||||||||||||||||||
(7) | Perizinan Berusaha pada subsektor pemasaran ikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis Risiko kegiatan usaha terdiri atas kegiatan usaha pemasaran ikan. |
Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha pada sektor kelautan dan perikanan meliputi:
a. | penunjang operasional dan/atau komersial kegiatan usaha; dan |
b. | ekspor dan impor. |
(1) | Kode KBLI/KBLI terkait, judul KBLI, ruang lingkup kegiatan, parameter Risiko, tingkat Risiko, Perizinan Berusaha, jangka waktu, masa berlaku, dan kewenangan perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dan Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 tercantum dalam Lampiran I. |
(2) | Persyaratan dan/atau kewajiban Perizinan Berusaha pada sektor kelautan dan perikanan yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis Risiko kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dan Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 tercantum dalam Lampiran II. |
Paragraf 2
Norma dan Kriteria
Pasal 27
(1) | Batasan ukuran kapal penangkap ikan:
|
||||||||||||||||||
(2) | Batasan ukuran kapal penangkap ikan di kawasan konservasi berukuran paling besar 5 (lima) gross tonnage. |
(1) | Kapal penangkap ikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) huruf a diberikan daerah penangkapan ikan di 1 (satu) atau 2 (dua) WPPNRI yang berdampingan. | ||||
(2) | Kapal penangkap ikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) huruf b dan huruf c diberikan daerah penangkapan ikan di:
|
(1) | Kapal penangkap ikan dari daerah penangkapan ikan diberikan 4 (empat) pelabuhan pangkalan di WPPNRI yang menjadi daerah penangkapan ikannya dan 1 (satu) pelabuhan pangkalan sesuai dengan domisili usaha atau domisili tempat tinggal. |
(2) | Kapal penangkap ikan dari daerah penangkapan ikan yang beroperasi di laut lepas diberikan 1 (satu) pelabuhan pangkalan sesuai dengan domisili usaha atau domisili tempat tinggal dan paling banyak 40 (empat puluh) pelabuhan negara tujuan yang menjadi negara anggota Regional Fisheries Management Organizations (RFMO) pada wilayah RFMO yang sama dan melaksanakan ketentuan perjanjian internasional terkait pelabuhan perikanan. |
Andon penangkapan ikan dilakukan oleh kapal penangkap ikan berukuran sampai dengan 30 (tiga puluh) gross tonnage.
(1) | Kapal pengangkut ikan yang melakukan pengangkutan ikan dari pelabuhan pangkalan ke pelabuhan pangkalan lain diberikan paling banyak 20 (dua puluh) pelabuhan muat di 2 (dua) WPPNRI yang berdampingan dan 2 (dua) pelabuhan pangkalan. |
(2) | Kapal pengangkut ikan yang melakukan pengangkutan ikan dari pelabuhan pangkalan ke pelabuhan negara tujuan diberikan 1 (satu) pelabuhan pangkalan dan 1 (satu) pelabuhan negara tujuan. |
(3) | Kapal pengangkut ikan yang melakukan pengangkutan ikan hidup dari pelabuhan muat ke pelabuhan pangkalan di dalam negeri diberikan paling banyak 50 (lima puluh) pelabuhan muat dan 5 (lima) pelabuhan pangkalan. |
(4) | Kapal pengangkut ikan yang melakukan pengangkutan ikan hidup ke luar negeri untuk tujuan ekspor diberikan paling banyak 10 (sepuluh) pelabuhan muat dan 6 (enam) pelabuhan negara tujuan. |
(5) | Kapal pengangkut ikan yang melakukan pengangkutan ikan hidup di dalam negeri dapat mengangkut sarana pembudidayaan ikan, khusus untuk usaha pembudidayaan mutiara. |
Pasal 32
Batasan ukuran kapal pengangkut ikan:
a. | kapal pengangkut ikan dari pelabuhan pangkalan ke pelabuhan pangkalan lainnya, tidak diberikan batasan; |
b. | kapal pengangkut ikan dari pelabuhan pangkalan ke pelabuhan negara tujuan, berukuran lebih dari 20 (dua puluh) gross tonnage; |
c. | kapal pengangkut ikan dari daerah penangkapan ikan di perairan kepulauan ke pelabuhan pangkalan di dalam negeri, berukuran sampai dengan 300 (tiga ratus) gross tonnage; |
d. | kapal pengangkut ikan dari daerah penangkapan ikan di ZEEI dan laut lepas ke pelabuhan pangkalan di dalam negeri, berukuran lebih dari 30 (tiga puluh) gross tonnage; |
e. | kapal pengangkut ikan dari daerah penangkapan ikan di laut lepas ke pelabuhan negara tujuan yang menjadi negara anggota RFMO pada wilayah RFMO yang sama dan melaksanakan ketentuan port state measure agreement, berukuran lebih dari 300 (tiga ratus) gross tonnage; |
f. | kapal pengangkut ikan yang melakukan pengangkutan ikan hidup dari pelabuhan muat ke pelabuhan pangkalan di dalam negeri, berukuran paling besar 300 (tiga ratus) gross tonnage; dan |
g. | kapal pengangkut ikan yang melakukan pengangkutan ikan hidup ke luar negeri untuk tujuan ekspor, berukuran paling besar 500 (lima ratus) gross tonnage. |
(1) | Kapal pengangkut ikan dari daerah penangkapan ikan diberikan 4 (empat) pelabuhan pangkalan di WPPNRI yang menjadi daerah penangkapan ikannya dan 1 (satu) pelabuhan pangkalan sesuai dengan domisili usaha atau domisili tempat tinggal. |
(2) | Kapal pengangkut ikan dari daerah penangkapan ikan yang beroperasi di laut lepas diberikan 1 (satu) pelabuhan pangkalan sesuai dengan domisili usaha atau domisili tempat tinggal dan paling banyak 40 (empat puluh) pelabuhan negara tujuan yang menjadi negara anggota RFMO pada wilayah RFMO yang sama dan melaksanakan ketentuan perjanjian internasional terkait pelabuhan perikanan. |
(1) | Kapal penangkap ikan yang beroperasi di WPPNRI dapat melakukan alih muatan ke kapal pengangkut ikan. |
(2) | Kapal penangkap ikan dan/atau kapal pengangkut ikan dapat melakukan alih muatan di laut lepas maupun di pelabuhan di negara tujuan yang menjadi negara anggota RFMO pada wilayah RFMO yang sama dan melaksanakan ketentuan perjanjian internasional terkait pelabuhan perikanan dan resolusi RFMO. |
(1) | Apabila dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sejak surat izin usaha perikanan pertama kali diterbitkan hanya merealisasikan sebagian rencana usaha yang tercantum dalam surat izin usaha perikanan, surat izin usaha perikanan dilakukan perubahan tanpa adanya permohonan sesuai dengan realisasi yang dilakukan. |
(2) | Apabila dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sejak surat izin usaha perikanan pertama kali diterbitkan tidak merealisasikan rencana usaha yang tercantum dalam surat izin usaha perikanan, surat izin usaha perikanan dicabut tanpa adanya permohonan. |
Bagian Ketiga
Sektor Pertanian
Pasal 36
(1) | Perizinan Berusaha pada sektor pertanian terdiri atas subsektor:
|
||||||||||||
(2) | Perizinan Berusaha pada subsektor perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis tingkat Risiko kegiatan usaha terdiri atas:
|
||||||||||||
(3) | Perizinan Berusaha pada subsektor tanaman pangan sebagaimana pada ayat (1) huruf b yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis tingkat Risiko kegiatan usaha terdiri atas:
|
||||||||||||
(4) | Perizinan Berusaha pada subsektor hortikultura sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis tingkat Risiko kegiatan usaha terdiri atas:
|
||||||||||||
(5) | Perizinan Berusaha pada subsektor peternakan dan kesehatan hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis tingkat Risiko kegiatan usaha terdiri atas:
|
||||||||||||
(6) | Perizinan Berusaha pada subsektor ketahanan pangan dan subsektor sarana pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dan huruf f tidak memiliki Perizinan Berusaha yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis tingkat Risiko. |
Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha pada sektor pertanian meliputi:
a. | penunjang operasional dan/atau komersial kegiatan usaha; dan |
b. | ekspor dan impor. |
(1) | Kode KBLI/KBLI terkait, judul KBLI, ruang lingkup kegiatan, parameter Risiko, tingkat Risiko, Perizinan Berusaha, jangka waktu, masa berlaku, dan kewenangan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dan Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 tercantum dalam Lampiran I. |
(2) | Persyaratan dan/atau kewajiban Perizinan Berusaha pada sektor pertanian yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis Risiko kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dan Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 tercantum dalam Lampiran II. |
Bagian Keempat
Sektor Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Pasal 39
(1) | Perizinan Berusaha sektor lingkungan hidup dan kehutanan yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis Risiko kegiatan usaha meliputi kegiatan usaha:
|
||||||||||||||||||||||||||||||
(2) | Perizinan Berusaha pada subsektor pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis tingkat Risiko kegiatan usaha terdiri atas:
|
||||||||||||||||||||||||||||||
(3) | Perizinan Berusaha pada subsektor pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ditetapkan berdasarkan hasil analisis tingkat Risiko kegiatan usaha terdiri atas:
|
||||||||||||||||||||||||||||||
(4) | Perizinan Berusaha pada subsektor pengelolaan air limbah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis tingkat Risiko kegiatan usaha terdiri atas:
|
||||||||||||||||||||||||||||||
(5) | Perizinan Berusaha pada subsektor pemanfaatan jasa lingkungan pada kawasan konservasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis tingkat Risiko kegiatan usaha terdiri atas:
|
||||||||||||||||||||||||||||||
(6) | Perizinan Berusaha pada subsektor pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis tingkat Risiko kegiatan usaha terdiri atas:
|
||||||||||||||||||||||||||||||
(7) | Perizinan Berusaha pada subsektor perbenihan tanaman hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis tingkat Risiko kegiatan usaha terdiri atas:
|
(1) | Kode KBLI/KBLI terkait, judul KBLI, ruang lingkup kegiatan, parameter Risiko, tingkat Risiko, Perizinan Berusaha, jangka waktu, masa berlaku, dan kewenangan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 tercantum dalam Lampiran I. |
(2) | Persyaratan dan/atau kewajiban Perizinan Berusaha pada sektor lingkungan hidup dan kehutanan yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis Risiko kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 tercantum dalam Lampiran II. |
Bagian Kelima
Sektor Energi dan Sumber Daya Mineral
Paragraf 1
Perizinan Berusaha
Pasal 41
(1) | Perizinan Berusaha sektor energi dan sumber daya mineral terdiri atas subsektor:
|
||||||||||||||||
(2) | Perizinan Berusaha pada subsektor minyak dan gas bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis Risiko kegiatan usaha terdiri atas:
|
||||||||||||||||
(3) | Perizinan Berusaha pada subsektor ketenagalistrikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis Risiko kegiatan usaha terdiri atas:
|
||||||||||||||||
(4) | Perizinan Berusaha pada subsektor mineral dan batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis Risiko kegiatan usaha terdiri atas:
|
||||||||||||||||
(5) | Perizinan Berusaha subsektor energi baru, terbarukan, dan konservasi energi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis Risiko kegiatan usaha terdiri atas:
|
(1) | Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha pada subsektor minyak dan gas bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) huruf a meliputi:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
(2) | Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha pada subsektor ketenagalistrikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) huruf b meliputi:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
(3) | Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha pada subsektor mineral dan batubara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) huruf c meliputi:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
(4) | Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha pada subsektor energi baru, terbarukan, dan konservasi energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) huruf d meliputi:
|
(1) | Kode KBLI/KBLI terkait, judul KBLI, ruang lingkup kegiatan, parameter Risiko, tingkat Risiko, Perizinan Berusaha, jangka waktu, masa berlaku, dan kewenangan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dan Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 tercantum dalam Lampiran I. |
(2) | Persyaratan dan/atau kewajiban Perizinan Berusaha pada sektor energi dan sumber daya mineral yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis Risiko kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dan Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 tercantum dalam Lampiran II. |
Paragraf 2
Norma dan Kriteria
Pasal 44
(1) | Untuk menunjang penyiapan wilayah kerja, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral melakukan kegiatan survei umum. |
(2) | Kegiatan survei umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada wilayah terbuka di dalam wilayah hukum pertambangan. |
(3) | Kegiatan survei umum paling sedikit meliputi survei geologi, survei geofisika, dan survei geokimia. |
(4) | Pelaksanaan survei umum oleh badan usaha dilaksanakan atas biaya dan Risiko sendiri. |
(5) | Sebelum melaksanakan survei umum, badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib menyampaikan terlebih dahulu jadwal dan prosedur pelaksanaan survei umum kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral. |
(1) | Kegiatan usaha hulu dilaksanakan oleh badan usaha atau bentuk usaha tetap berdasarkan kontrak kerja sama. | ||||
(2) | Dalam penerapan Perizinan Berusaha pada kegiatan usaha hulu:
|
||||
(3) | Penerapan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menghapus keberlakuan seluruh ketentuan dalam kontrak kerja sama. |
Kegiatan usaha hilir meliputi:
a. | kegiatan usaha pengolahan yang meliputi kegiatan memurnikan, memperoleh bagian-bagian, mempertinggi mutu, dan mempertinggi nilai tambah minyak dan gas bumi yang menghasilkan bahan bakar minyak, bahan bakar gas, hasil olahan, liquified petroleum gas, dan/atau liquified natural gas tetapi tidak termasuk pengolahan lapangan; |
b. | kegiatan usaha pengangkutan yang meliputi kegiatan pemindahan minyak bumi, gas bumi, bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan/atau hasil olahan baik melalui darat, air, dan/atau udara termasuk pengangkutan gas bumi melalui pipa dari suatu tempat ke tempat lain untuk tujuan komersial; |
c. | kegiatan usaha penyimpanan yang meliputi kegiatan penerimaan, pengumpulan, penampungan, dan pengeluaran minyak bumi, bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan/atau hasil olahan pada lokasi di atas dan/atau di bawah permukaan tanah dan/atau permukaan air untuk tujuan komersial; dan |
d. | kegiatan usaha niaga yang meliputi kegiatan pembelian, penjualan, ekspor, dan impor minyak bumi, bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan/atau hasil olahan, termasuk gas bumi melalui pipa. |
(1) | Pelaku Usaha yang melakukan kegiatan usaha niaga bahan bakar nabati (biofuel) sebagai bahan bakar lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (5) huruf b wajib memiliki Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha niaga bahan bakar nabati (biofuel) sebagai bahan bakar lain. |
(2) | Pengajuan Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha niaga bahan bakar nabati (biofuel) sebagai bahan bakar lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan dan/atau kewajiban. |
Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha niaga bahan bakar nabati (biofuel) sebagai bahan bakar lain dapat diperpanjang berdasarkan kinerja perusahaan dan evaluasi tahunan.
(1) | Pemegang Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha niaga bahan bakar nabati (biofuel) sebagai bahan bakar lain wajib memiliki dan/atau menguasai fasilitas dan sarana kegiatan usaha niaga bahan bakar nabati (biofuel) sebagai bahan bakar lain. | ||||||||||||
(2) | Fasilitas dan sarana kegiatan usaha niaga bahan bakar nabati (biofuel) sebagai bahan bakar lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi fasilitas penyediaan, pendistribusian, dan pemasaran. | ||||||||||||
(3) | Dalam melaksanakan pembangunan fasilitas dan sarana sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemegang Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha niaga bahan bakar nabati (biofuel) sebagai bahan bakar lain wajib:
|
Dalam melaksanakan kegiatan usaha niaga bahan bakar nabati (biofuel) sebagai bahan bakar lain, badan usaha wajib:
a. | menjamin dan bertanggung jawab sampai ke tingkat penyalur/konsumen akhir atas standar dan mutu bahan bakar nabati (biofuel) sebagai bahan bakar lain yang diniagakan sesuai standar dan mutu/spesifikasi yang ditetapkan; |
b. | menjamin harga jual bahan bakar nabati (biofuel) sebagai bahan bakar lain pada tingkat yang wajar; |
c. | menjamin penyediaan fasilitas dan sarana kegiatan usaha niaga bahan bakar nabati (biofuel) sebagai bahan bakar lain yang memadai; |
d. | menjamin dan bertanggung jawab atas penggunaan peralatan, keakuratan, dan sistem alat ukur yang digunakan yang memenuhi standar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; |
e. | mempunyai dan menggunakan nama dan merek dagang tertentu bahan bakar nabati (biofuel) sebagai bahan bakar lain; |
f. | mengutamakan pemenuhan kebutuhan dalam negeri; dan |
g. | menyampaikan data dan laporan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral mengenai pelaksanaan kegiatan usaha niaga bahan bakar nabati (biofuel) sebagai bahan bakar lain termasuk harga jual bahan bakar nabati (biofuel) sebagai bahan bakar lain setiap 1 (satu) bulan sekali atau sewaktu-waktu apabila diperlukan. |
(1) | Pelaku Usaha yang melakukan kegiatan usaha niaga bahan bakar nabati (biofuel) sebagai bahan bakar lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) dapat meniagakan bahan bakar nabati (biofuel) sebagai bahan bakar lain kepada konsumen akhir. |
(2) | Terhadap bahan bakar nabati (biofuel) sebagai bahan bakar lain yang dicampur dengan bahan bakar minyak hanya dapat diniagakan oleh badan usaha pemegang izin usaha niaga bahan bakar minyak. |
(1) | Dengan mempertimbangkan kebutuhan dan pemenuhan bahan bakar nabati (biofuel) sebagai bahan bakar lain di dalam negeri, Pelaku Usaha yang melakukan kegiatan usaha niaga bahan bakar nabati (biofuel) sebagai bahan bakar lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) dapat melaksanakan ekspor dan/atau impor bahan bakar nabati (biofuel) sebagai bahan bakar lain berdasarkan rekomendasi. | ||||
(2) | Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan memperhatikan kapasitas produksi dan jaminan pemenuhan kebutuhan bahan bakar nabati (biofuel) sebagai bahan bakar lain di dalam negeri. | ||||
(3) | Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan:
|
||||
(4) | Rekomendasi ekspor dan/atau impor sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberikan paling lama 7 (tujuh) Hari sejak diterimanya permohonan rekomendasi ekspor dan/atau impor dari Pelaku Usaha. | ||||
(5) | Pelaku Usaha wajib melaporkan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral mengenai pelaksanaan ekspor dan/atau impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
Bagian Keenam
Sektor Ketenaganukliran
Paragraf 1
Perizinan Berusaha
Pasal 53
(1) | Perizinan Berusaha pada sektor ketenaganukliran terdiri atas subsektor:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
(2) | Perizinan Berusaha pada subsektor pemanfaatan sumber radiasi pengion sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis tingkat Risiko kegiatan usaha terdiri atas:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
(3) | Perizinan Berusaha pada subsektor instalasi nuklir dan bahan nuklir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis tingkat Risiko kegiatan usaha terdiri atas:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
(4) | Perizinan Berusaha pada subsektor pertambangan bahan galian nuklir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis tingkat Risiko kegiatan usaha terdiri atas:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
(5) | Perizinan Berusaha pada subsektor pendukung sektor ketenaganukliran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis tingkat Risiko kegiatan usaha terdiri atas:
|
(1) | Perizinan Berusaha untuk kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2) huruf a sampai dengan huruf f dan huruf p angka 1 sampai dengan angka 3, diterbitkan sesuai tahapan kegiatan. | ||||||
(2) | Tahapan kegiatan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
(1) | Perizinan Berusaha untuk pengelolaan limbah radioaktif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2) huruf g, diterbitkan sesuai tahapan:
|
||||||||
(2) | Permohonan Perizinan Berusaha untuk kegiatan pengelolaan limbah radioaktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan oleh badan pelaksana. | ||||||||
(3) | Badan pelaksana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan badan pelaksana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai ketenaganukliran. |
Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha pada sektor ketenaganukliran meliputi:
a. | izin produksi radioisotop dan radiofarmaka; |
b. | izin produksi radiofarmaka; |
c. | izin produksi peralatan yang menggunakan zat radioaktif; |
d. | izin produksi barang konsumen; |
e. | izin kalibrasi yang menggunakan sumber radiasi pengion; |
f. | izin kedokteran nuklir terapi dan diagnostic in vivo; |
g. | izin radioterapi; |
h. | izin iradiator kategori II menggunakan sumber radioaktif; |
i. | izin iradiator kategori II menggunakan pembangkit radiasi pengion; |
j. | izin iradiator kategori III menggunakan sumber radioaktif; |
k. | izin iradiator kategori IV menggunakan sumber radioaktif; |
l. | izin pemanfaatan sumber radiasi pengion untuk tujuan pendidikan; |
m. | izin ekspor zat radioaktif; |
n. | izin impor dan/atau pengalihan zat radioaktif; |
o. | izin pengalihan pembangkit radiasi pengion; |
p. | izin produksi pembangkit radiasi pengion; |
q. | izin radiologi diagnostik dan/atau intervensional; |
r. | izin iradiator kategori I menggunakan sumber radioaktif; |
s. | izin iradiator kategori I menggunakan pembangkit radiasi pengion; |
t. | izin uji tak rusak terpasang tetap/mobile; |
u. | izin perekaman data dalam sumur pengeboran (well logging); |
v. | izin penanda dan/atau perunut; |
w. | izin pengukuran (gauging); |
x. | izin pemindaian bagasi menggunakan pembangkit radiasi pengion portabel; |
y. | izin pemeriksaan nonmedik pada manusia dengan pembangkit radiasi pengion; |
z. | izin pemeriksaan kargo dan/atau peti kemas menggunakan sumber radiasi pengion; |
aa. | izin fasilitas penyimpanan sumber radioaktif; |
bb. | izin menyimpan sementarazat radioaktif; |
cc. | impor atau ekspor pembangkit radiasi pengion; |
dd. | ekspor barang konsumen; dan |
ee. | impor dan/atau pengalihan barang konsumen. |
(1) | Kode KBLI/KBLI terkait, judul KBLI, ruang lingkup kegiatan, parameter Risiko, tingkat Risiko, Perizinan Berusaha, jangka waktu, masa berlaku, dan kewenangan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 dan Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 tercantum dalam Lampiran I. |
(2) | Persyaratan dan/atau kewajiban Perizinan Berusaha pada sektor ketenaganukliran yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis. Risiko kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 dan Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 tercantum dalam Lampiran II. |
Paragraf 2
Norma dan Kriteria
Pasal 58
(1) | Perizinan Berusaha pemanfaatan sumber radiasi pengion dikenakan biaya yang besarnya ditetapkan dalam peraturan pemerintah tersendiri. |
(2) | Dalam hal tertentu, pemanfaatan sumber radiasi pengion untuk pemanfaatan yang menggunakan zat radioaktif atau pemanfaatan yang menggunakan pembangkit radiasi pengion dan barang konsumen dikecualikan dari Perizinan Berusaha. |
(1) | Ketentuan mengenai norma dan kriteria pemanfaatan sumber radiasi pengion, instalasi nuklir dan bahan nuklir, pertambangan bahan galian nuklir, dan pendukung sektor ketenaganukliran diatur dalam peraturan kepala lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran. |
(2) | Peraturan kepala lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setelah mendapat persetujuan Presiden dan berkoordinasi dengan kementerian yang menyelenggarakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian urusan kementerian dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang perekonomian. |
Bagian Ketujuh
Sektor Perindustrian
Paragraf 1
Perizinan Berusaha
Pasal 60
(1) | Perizinan Berusaha pada sektor perindustrian meliputi kegiatan usaha:
|
||||||
(2) | Perizinan Berusaha pada kegiatan usaha penyelenggaraan industri yang mengolah bahan baku dan/atau memanfaatkan sumber daya industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis tingkat Risiko kegiatan usaha terdiri atas:
|
||||||
(3) | Perizinan Berusaha pada kegiatan usaha kawasan industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis tingkat Risiko kegiatan usaha terdiri atas kegiatan usaha kawasan industri. | ||||||
(4) | Kegiatan usaha industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diklasifikasikan menjadi:
|
Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha pada sektor perindustrian meliputi:
a. | rekomendasi, pertimbangan teknis, surat persetujuan, surat penetapan, tanda pendaftaran, tanda daftar, dan/atau surat keterangan dalam kegiatan operasional usaha industri tertentu; |
b. | verifikasi teknis pemenuhan persyaratan Perizinan Berusaha industri; dan |
c. | verifikasi teknis pemenuhan persyaratan Perizinan Berusaha kawasan industri. |
(1) | Kode KBLI/KBLI terkait, judul KBLI, ruang lingkup kegiatan, parameter Risiko, tingkat Risiko, Perizinan Berusaha, jangka waktu, masa berlaku, dan kewenangan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 dan Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 tercantum dalam Lampiran I. |
(2) | Persyaratan dan/atau kewajiban Perizinan Berusaha pada sektor perindustrian yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis Risiko kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 dan Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 tercantum dalam Lampiran II. |
Perizinan Berusaha sektor perindustrian diberikan melalui Sistem OSS dan Sistem Informasi Industri Nasional (SIINas) secara terintegrasi.
Paragraf 2
Norma dan Kriteria
Pasal 64
Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) huruf a berlaku juga sebagai Perizinan Berusaha untuk tempat penyimpanan mesin/peralatan, bahan baku, bahan penolong, dan/atau hasil produksi dengan ketentuan:
a. | tempat penyimpanan dimaksud terkait dengan kegiatan dan/atau kepentingan produksi Pelaku Usaha di sektor perindustrian bersangkutan yang tidak terpisahkan dari kegiatan industrinya dan berada dalam 1 (satu) lokasi usaha industri; dan |
b. | tempat penyimpanan dimaksud tidak disewakan atau dikomersialkan. |
(1) | Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) huruf a diperuntukan untuk kegiatan usaha industri yang wajib dilakukan di lokasi kawasan industri. | ||||||||
(2) | Kegiatan usaha industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berlokasi di luar kawasan industri apabila:
|
||||||||
(3) | Kegiatan usaha industri yang berlokasi di luar kawasan industri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan ketentuan:
|
||||||||
(4) | Industri kecil dan industri menengah yang tidak berpotensi menimbulkan pencemaran lingkungan hidup yang berdampak luas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dan industri yang menggunakan bahan baku khusus dan/atau proses produksinya memerlukan lokasi khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian. |
(1) | Pelaku Usaha perseorangan dan Pelaku Usaha nonperseorangan di sektor perindustrian yang melakukan perubahan klasifikasi usaha industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (4) wajib memenuhi ketentuan lokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65. |
(2) | Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan bagi Pelaku Usaha perseorangan dan Pelaku Usaha nonperseorangan di sektor perindustrian yang melakukan perubahan klasifikasi kegiatan usaha industri tanpa menambah lahan lokasi industri atau pindah lokasi industri. |
(1) | Dalam 1 (satu) Perizinan Berusaha hanya berlaku bagi 1 (satu) Pelaku Usaha di sektor perindustrian yang:
|
||||||
(2) | Dalam hal Pelaku Usaha di sektor perindustrian memiliki usaha industri di luar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib memiliki Perizinan Berusaha baru. |
(1) | Pelaku Usaha di sektor perindustrian wajib:
|
||||
(2) | Ketentuan lebih lanjut mengenai jaminan keamanan dan keselamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian. |
Masa berlaku Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) huruf a berlaku selama Pelaku Usaha di sektor perindustrian melakukan kegiatan usaha industri.
(1) | Setiap Pelaku Usaha di sektor perindustrian yang telah memiliki Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) huruf a dapat melakukan perluasan kegiatan usaha industri. |
(2) | Perluasan kegiatan usaha industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan apabila Pelaku Usaha di sektor perindustrian melakukan penambahan kapasitas produksi terpasang. |
(3) | Dalam hal perluasan kegiatan usaha industri berpengaruh terhadap lingkungan hidup, Pelaku Usaha harus memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup. |
(1) | Pelaku Usaha di sektor perindustrian yang melakukan perubahan:
|
||||||||||
(2) | Pelaku Usaha di sektor perindustrian yang melakukan perubahan jumlah tenaga kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan/atau nilai investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b yang mengakibatkan perubahan klasifikasi usaha industri wajib memenuhi ketentuan lokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65. | ||||||||||
(3) | Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikecualikan bagi Pelaku Usaha di sektor perindustrian yang melakukan perubahan klasifikasi usaha industri tanpa menambah lahan lokasi industri dan pindah lokasi industri. | ||||||||||
(4) | Penyesuaian data Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menyampaikan permohonan melalui Sistem OSS. |
(1) | Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha kawasan industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) huruf b diberikan hanya kepada Pelaku Usaha nonperseorangan, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, koperasi, dan perseroan terbatas, yang berlokasi di dalam kawasan peruntukan industri sesuai dengan rencana tata ruang wilayah nasional, rencana tata ruang wilayah provinsi, atau rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota. |
(2) | Pelaku Usaha nonperseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang telah memperoleh Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha kawasan industri merupakan perusahaan kawasan industri. |
(3) | Perizinan Berusaha kawasan industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan sesuai dengan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang kegiatan usaha kawasan industri. |
Pembangunan kawasan industri dilakukan dengan mengacu pada pedoman teknis pembangunan kawasan industri.
(1) | Perusahaan kawasan industri wajib memenuhi standar kawasan industri. |
(2) | Perusahaan kawasan industri yang telah memenuhi standar kawasan industri diberikan akreditasi. |
Masa berlaku Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha kawasan industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) huruf b berlaku selama perusahaan kawasan industri melakukan kegiatan usaha kawasan industri.
(1) | Setiap perusahaan kawasan industri yang melakukan perluasan kawasan wajib memiliki Perizinan Berusaha. |
(2) | Sebelum mengajukan permohonan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), perusahaan kawasan industri harus telah menguasai dan selesai menyiapkan lahan kawasan industri sampai dapat digunakan, menyusun perubahan analisis dampak lingkungan, perencanaan, dan pembangunan infrastruktur kawasan industri, serta kesiapan lain dalam rangka perluasan kawasan. |
(3) | Perluasan kawasan industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di dalam kawasan peruntukan industri. |
(4) | Perluasan kawasan industri hanya diberikan seluas lahan yang telah siap digunakan dan dikuasai yang dibuktikan dengan surat pelepasan hak atau sertifikat. |
Bagian Kedelapan
Sektor Perdagangan
Pasal 77
(1) | Perizinan Berusaha pada sektor perdagangan meliputi kegiatan usaha:
|
||||||
(2) | Perizinan Berusaha pada kegiatan usaha perdagangan dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sebagaimana tercantum dalam Lampiran I dan Lampiran II. | ||||||
(3) | Perizinan Berusaha pada kegiatan usaha pengembangan ekspor nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis tingkat Risiko kegiatan usaha terdiri atas kegiatan usaha pameran dagang. | ||||||
(4) | Perizinan Berusaha pada kegiatan usaha perdagangan berjangka komoditi, sistem resi gudang, dan pasar lelang komoditas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perdagangan berjangka komoditi, sistem resi gudang, dan pasar lelang komoditas. |
Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha pada sektor perdagangan meliputi:
a. | perdagangan dalam negeri; |
b. | perdagangan luar negeri; dan |
c. | perlindungan konsumen dan tertib niaga. |
(1) | Kode KBLI/KBLI terkait, judul KBLI, ruang lingkup kegiatan, parameter Risiko, tingkat Risiko, Perizinan Berusaha, jangka waktu, masa berlaku, dan kewenangan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 dan Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 tercantum dalam Lampiran I. |
(2) | Persyaratan dan/atau kewajiban Perizinan Berusaha pada sektor perdagangan yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis Risiko kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 dan Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 tercantum dalam Lampiran II. |
Bagian Kesembilan
Sektor Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
Paragraf 1
Perizinan Berusaha
Pasal 80
(1) | Perizinan Berusaha pada sektor pekerjaan umum dan perumahan rakyat terdiri atas subsektor:
|
||||||
(2) | Perizinan Berusaha pada subsektor jasa konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis tingkat Risiko kegiatan usaha terdiri atas:
|
||||||
(3) | Perizinan Berusaha pada subsektor sumber daya air sebagaimana pada ayat (1) huruf b dan subsektor bina marga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c tidak memiliki Perizinan Berusaha yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis tingkat Risiko. |
(1) | Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha pada subsektor jasa konstruksi terdiri atas:
|
||||||||||
(2) | Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha pada subsektor sumber daya air meliputi izin penggunaan sumber daya air. | ||||||||||
(3) | Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha pada subsektor bina marga terdiri atas:
|
(1) | Kode KBLI/KBLI terkait, judul KBLI, ruang lingkup kegiatan, parameter Risiko, tingkat Risiko, Perizinan Berusaha, jangka waktu, masa berlaku, dan kewenangan perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 dan Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 tercantum dalam Lampiran I. |
(2) | Persyaratan dan/atau kewajiban Perizinan Berusaha pada sektor pekerjaan umum dan perumahan rakyat yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis Risiko kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 dan Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 tercantum dalam Lampiran II. |
Paragraf 2
Norma dan Kriteria Subsektor Jasa Konstruksi
Pasal 83
(1) | Kegiatan usaha jasa konsultansi konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (2) huruf a dan kegiatan usaha pekerjaan konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (2) huruf b tidak dapat dilakukan bersamaan dengan kegiatan usaha lain. |
(2) | Kegiatan usaha pekerjaan konstruksi terintegrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (2) huruf c dapat dilakukan bersamaan dengan kegiatan usaha pekerjaan konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (2) huruf b. |
(1) | Kualifikasi badan usaha subsektor jasa konstruksi untuk jasa konsultansi konstruksi dan pekerjaan konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (2) huruf a dan huruf b meliputi kualifikasi:
|
||||||
(2) | Kualifikasi badan usaha subsektor jasa konstruksi untuk usaha pekerjaan konstruksi terintegrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (2) huruf c hanya meliputi kualifikasi besar. | ||||||
(3) | Badan usaha jasa konsultansi konstruksi dan pekerjaan konstruksi kualifikasi menengah dan besar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c dan pekerjaan konstruksi terintegrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus berbadan hukum Indonesia. | ||||||
(4) | Kantor perwakilan BUJKA harus berbadan hukum di negara asal. | ||||||
(5) | BUJKA dan BUJK Penanaman Modal Asing harus memenuhi persyaratan kualifikasi besar. | ||||||
(6) | Kualifikasi badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dengan sifat usaha umum dan spesialis dikelompokan ke dalam klasifikasi. | ||||||
(7) | Klasifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) terdiri atas subklasifikasi. | ||||||
(8) | Pimpinan tertinggi kantor perwakilan BUJKA dijabat oleh warga negara Indonesia, sebagai penanggung jawab teknis. | ||||||
(9) | Pimpinan tertinggi kantor perwakilan BUJKA sebagaimana dimaksud pada ayat (8) yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan konstruksi guna proses alih teknologi dapat dijabat warga negara asing. |
(1) | Penetapan kualifikasi badan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (1) dan ayat (2) dilakukan berdasarkan penilaian kelayakan terhadap dokumen:
|
||||||||
(2) | Penetapan kualifikasi badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap setiap subklasifikasi yang diusulkan. | ||||||||
(3) | Penetapan kualifikasi badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikecualikan untuk kegiatan usaha jasa konsultansi konstruksi bersifat spesialis dan pekerjaan konstruksi bersifat spesialis. | ||||||||
(4) | Dalam hal BUJK memiliki beberapa subklasifikasi, penyebutan entitas BUJK mengacu pada kualifikasi tertinggi pada subklasifikasi yang dimiliki. |
(1) | Penjualan tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1) huruf a dibuktikan dengan rekaman kontrak kerja konstruksi yang disahkan oleh pemilik pekerjaan dan telah tercatat sebagai pengalaman badan usaha. |
(2) | Nilai penjualan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada perolehan pekerjaan dalam masa berlakunya SBU konstruksi. |
(3) | Dalam hal kontrak kerja konstruksi terdapat bentuk kerja sama operasional dan/atau kontrak dengan subpenyedia jasa, laporan penjualan tahunan dipisahkan sesuai dengan porsinya. |
(4) | Dalam hal penjualan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sudah digunakan pada subklasifikasi tertentu, penjualan tahunan tidak dapat digunakan untuk permohonan kualifikasi dan subklasifikasi yang berbeda. |
(5) | Dalam hal BUJK mengajukan perubahan untuk peningkatan kualifikasi, penilaian terhadap penjualan tahunan dilakukan terhadap akumulasi penjualan tahunan sejenis. |
(1) | Kemampuan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1) huruf b diperoleh dari nilai total ekuitas pada:
|
||||
(2) | Dalam hal total ekuitas dinyatakan dalam mata uang asing, total ekuitas harus dikonversi ke dalam mata uang rupiah menggunakan kurs yang ditetapkan oleh Bank Indonesia pada saat pengajuan penetapan kualifikasi. |
(1) | Ketersediaan tenaga kerja konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1) huruf c harus memenuhi persyaratan minimal yang terdiri atas:
|
||||||
(2) | Tenaga kerja konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
||||||
(3) | Tenaga kerja konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan tenaga tetap badan usaha yang tidak boleh merangkap jabatan pada badan usaha lain. | ||||||
(4) | Jumlah tenaga kerja konstruksi PJSKBU sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c sesuai dengan jumlah dan kualifikasi subklasifikasi yang dimiliki. | ||||||
(5) | Dalam hal BUJK memiliki beberapa subklasifikasi dengan kualifikasi berbeda, kualifikasi dan jenjang PJTBU mengacu kepada subklasifikasi dengan kualifikasi tertinggi. | ||||||
(6) | Dalam hal tenaga kerja konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengundurkan diri, BUJK harus melakukan penggantian tenaga kerja konstruksi dengan kualifikasi Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) minimal sama dengan yang diganti, paling lama 7 (tujuh) Hari sejak tenaga kerja konstruksi mengundurkan diri. | ||||||
(7) | Setiap penggantian tenaga kerja konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (6), BUJK wajib melaporkan kepada Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK). |
(1) | Kemampuan dalam penyediaan peralatan konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1) huruf d harus memenuhi persyaratan paling sedikit jumlah peralatan utama untuk setiap subklasifikasi. |
(2) | Kemampuan dalam penyediaan peralatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disediakan Pelaku Usaha paling lama 30 (tiga puluh) hari kalender sejak SBU konstruksi diterbitkan. |
(3) | Kemampuan dalam penyediaan peralatan konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan untuk jasa konsultansi konstruksi bersifat umum. |
(1) | Penilaian penjualan tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1) huruf a untuk kegiatan usaha jasa konsultansi konstruksi bersifat umum harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
|
||||||||
(2) | Penilaian penjualan tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1) huruf a untuk kegiatan usaha pekerjaan konstruksi bersifat umum harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
|
||||||||
(3) | Penilaian penjualan tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1) huruf a untuk kegiatan usaha pekerjaan konstruksi terintegrasi harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
|
(1) | Penilaian kemampuan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1) huruf b untuk kegiatan usaha jasa konsultansi konstruksi bersifat umum harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
|
||||||||
(2) | Penilaian kemampuan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1) huruf b untuk kegiatan usaha pekerjaan konstruksi bersifat umum harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
|
||||||||
(3) | Penilaian kemampuan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1) huruf b untuk kegiatan usaha pekerjaan konstruksi terintegrasi harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
|
Penilaian ketersediaan tenaga kerja konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1) huruf c untuk kegiatan usaha jasa konsultansi konstruksi bersifat umum harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. | kualifikasi kecil terdiri atas:
|
||||||||
b. | kualifikasi menengah terdiri atas:
|
||||||||
c. | kualifikasi besar terdiri atas:
|
||||||||
d. | kualifikasi besar kantor perwakilan BUJKA terdiri atas:
|
Penilaian ketersediaan tenaga kerja konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1) huruf c untuk kegiatan usaha pekerjaan konstruksi bersifat umum harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. | kualifikasi kecil terdiri atas:
|
||||||||
b. | kualifikasi menengah terdiri atas:
|
||||||||
c. | kualifikasi besar terdiri atas:
|
||||||||
d. | kualifikasi besar kantor perwakilan BUJKA terdiri atas:
|
Penilaian ketersediaan tenaga kerja konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1) huruf c untuk kegiatan usaha pekerjaan konstruksi terintegrasi harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. | kualifikasi besar terdiri atas:
|
||||||
b. | kualifikasi besar kantor perwakilan BUJKA terdiri atas:
|
(1) | Penilaian kemampuan dalam penyediaan peralatan konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1) huruf d untuk kegiatan usaha pekerjaan konstruksi bersifat umum harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
|
||||||||
(2) | Penilaian kemampuan dalam penyediaan peralatan konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1) huruf d untuk kegiatan usaha pekerjaan konstruksi terintegrasi harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
|
(1) | Penilaian BUJK untuk jasa konsultansi konstruksi dengan sifat usaha spesialis didasarkan pada ketersediaan aset dan ketersediaan tenaga kerja konstruksi sebagai berikut:
|
||||||||||
(2) | Penilaian kantor perwakilan BUJKA untuk jasa konsultansi konstruksi dengan sifat usaha spesialis didasarkan pada ketersediaan aset dan ketersediaan tenaga kerja konstruksi sebagai berikut:
|
||||||||||
(3) | Penilaian BUJK untuk pekerjaan konstruksi dengan sifat usaha spesialis didasarkan pada ketersediaan aset, ketersediaan tenaga kerja konstruksi, dan peralatan utama sebagai berikut:
|
||||||||||
(4) | Penilaian kantor perwakilan BUJKA untuk pekerjaan konstruksi dengan sifat usaha spesialis didasarkan pada ketersediaan aset, ketersediaan tenaga kerja konstruksi, dan peralatan utama sebagai berikut:
|
||||||||||
(5) | Hasil penilaian BUJK atau kantor perwakilan BUJKA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) merupakan dasar penerbitan SBU konstruksi. |
(1) | Jenis kegiatan usaha jasa konsultansi konstruksi yang bersifat umum serta klasifikasi dan subklasifikasi terdiri atas:
|
||||||||||||
(2) | Jenis kegiatan usaha jasa konsultansi konstruksi yang bersifat spesialis serta klasifikasi dan subklasifikasi terdiri atas:
|
||||||||||||
(3) | Jenis kegiatan usaha pekerjaan konstruksi yang bersifat umum serta klasifikasi dan subklasifikasi terdiri atas:
|
||||||||||||
(4) | Jenis kegiatan usaha pekerjaan konstruksi yang bersifat spesialis serta klasifikasi dan subklasifikasi terdiri atas:
|
||||||||||||
(5) | Jenis kegiatan usaha pekerjaan konstruksi terintegrasi serta klasifikasi dan subklasifikasi terdiri atas:
|
(1) | Klasifikasi usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 terdiri atas beberapa subklasifikasi usaha. |
(2) | BUJK hanya dapat mengambil subklasifikasi dari klasifikasi yang dimilikinya. |
Sertifikat Standar Perizinan Berusaha subsektor jasa konstruksi meliputi:
a. | SBU konstruksi; |
b. | SKK konstruksi; dan |
c. | lisensi. |
(1) | SBU konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 huruf a wajib dimiliki oleh BUJK yang menyelenggarakan layanan jasa konstruksi. |
(2) | SBU konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan melalui sertifikasi dan pencatatan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pekedaan umum melalui sistem informasi jasa konstruksi terintegrasi. |
(3) | BUJK mengajukan permohonan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum melalui Lembaga Sertifikasi Badan Usaha (LSBU) untuk mendapatkan SBU konstruksi. |
(4) | SBU konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku untuk jangka waktu 3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang, serta dapat dilakukan perubahan. |
(5) | SBU konstruksi yang akan diperpanjang wajib diajukan sebelum habis masa berlakunya. |
(1) | SKK konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 huruf b wajib dimiliki tenaga kerja konstruksi. |
(2) | SKK konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan melalui uji kompetensi sesuai dengan standar kompetensi kerja. |
(3) | Pelaksanaan uji kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan oleh lembaga sertifikasi profesi bidang konstruksi. |
(4) | Sertifikasi SKK konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicatat oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum melalui sistem informasi jasa konstruksi terintegrasi. |
(5) | SKK konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang serta dapat dilakukan perubahan. |
(6) | SKK konstruksi yang akan diperpanjang wajib diajukan sebelum habis masa berlakunya. |
(1) | Pengajuan sertifikasi SBU konstruksi dan SKK konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 dan Pasal 101 dilaksanakan melalui Lembaga OSS. | ||||||
(2) | Pengajuan sertifikasi SKK konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk kualifikasi KKNI jenjang 1 (satu) sampai dengan 4 (empat) dapat dilakukan melalui asosiasi profesi terakreditasi atau lembaga pendidikan pelatihan kerja. | ||||||
(3) | Sertifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi jenis layanan:
|
(1) | Sertifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 ayat (1) dilakukan dengan tahapan:
|
||||||||
(2) | BUJK mengajukan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a melalui Lembaga OSS dengan dilengkapi dokumen yang dipersyaratkan. | ||||||||
(3) | Dokumen yang dipersyaratkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan kriteria penilaian kelayakan yang telah ditetapkan dalam Pasal 85 ayat (1), sesuai subklasifikasi dan jenis kegiatan usaha. | ||||||||
(4) | Pembayaran biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan selambat-lambatnya 7 (tujuh) Hari setelah terbitnya surat tagihan. | ||||||||
(5) | Pelaksanaan verifikasi dan validasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan setelah dokumen dinyatakan lengkap dan BUJK melakukan pembayaran biaya. | ||||||||
(6) | Apabila permohonan disetujui, paling lambat 15 (lima belas) Hari sejak pembayaran diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (4), diterbitkan SBU konstruksi, dan dicatat oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum melalui sistem informasi jasa konstruksi terintegrasi. | ||||||||
(7) | Apabila permohonan tidak disetujui, BUJK tidak dapat menuntut ganti rugi kepada LSBU. |
(1) | Dalam hal pengajuan permohonan SBU konstruksi dilakukan oleh kantor perwakilan BUJKA, ketentuan mengenai sertifikasi badan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 berlaku secara mutatis mutandis terhadap proses penyetaraan kualifikasi dan subklasifikasi kantor perwakilan BUJKA. |
(2) | Dalam hal pengajuan pencatatan SBU konstruksi dilakukan oleh kantor perwakilan BUJKA, ketentuan mengenai pencatatan SBU konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 berlaku secara mutatis mutandis terhadap pencatatan atas SBU konstruksi hasil penyetaraan. |
Paragraf 3
Norma dan Kriteria Subsektor Sumber Daya Air
Pasal 105
(1) | Perizinan Berusaha untuk menggunakan sumber daya air dapat diberikan untuk:
|
||||||||||||||
(2) | Pemberian Perizinan Berusaha untuk menggunakan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara ketat dengan urutan prioritas:
|
(1) | Tata cara dan persyaratan Perizinan Berusaha untuk menggunakan sumber daya air dilakukan melalui tahapan:
|
||||
(2) | Permohonan Perizinan Berusaha untuk menggunakan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diajukan oleh Pelaku Usaha melalui Sistem OSS. | ||||
(3) | Penetapan Perizinan Berusaha untuk menggunakan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan berdasarkan evaluasi kesesuaian antara rekomendasi teknis dengan kebijakan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah serta memperhatikan pertimbangan hukum. | ||||
(4) | Ketentuan mengenai evaluasi kesesuaian dan rekomendasi teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum yang penyusunannya berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral. |
(1) | Perizinan Berusaha untuk menggunakan sumber daya air diberikan untuk jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) tahun. |
(2) | Dalam hal penggunaan sumber daya air untuk kegiatan usaha memerlukan prasarana sumber daya air dengan investasi besar, investor pembangun dapat diberi Perizinan Berusaha untuk menggunakan sumber daya air dan memanfaatkan potensi sumber daya air yang timbul untuk jangka waktu sesuai dengan perhitungan rencana keuangan investasi. |
(3) | Jangka waktu Perizinan Berusaha untuk menggunakan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat diperpanjang. |
(4) | Dalam hal penggunaan sumber daya air untuk kegiatan usaha berupa pelaksanaan konstruksi pada sumber air yang tidak menggunakan air, Perizinan Berusaha untuk menggunakan sumber daya air diberikan untuk jangka waktu sepanjang umur layanan konstruksi yang dibangun. |
(1) | Perizinan Berusaha yang akan habis masa berlakunya dapat diperpanjang dengan mengajukan permohonan perpanjangan Perizinan Berusaha melalui Sistem OSS paling lama 1 (satu) bulan sebelum jangka waktu Perizinan Berusaha berakhir. | ||||||||||||
(2) | Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak dapat diperpanjang apabila terdapat perubahan:
|
||||||||||||
(3) | Perpanjangan Perizinan Berusaha mempertimbangkan:
|
(1) | Pelaku Usaha dapat mengajukan perubahan Perizinan Berusaha, dalam hal:
|
||||||||||
(2) | Dalam hal perubahan Perizinan Berusaha diakibatkan oleh perubahan kebijakan pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, pemberi Perizinan Berusaha menyampaikan pemberitahuan perubahan Perizinan Berusaha kepada pemegang Perizinan Berusaha sebelum pelaksanaan perubahan kebijakan. | ||||||||||
(3) | Perubahan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa perubahan:
|
Paragraf 4
Norma dan Kriteria Subsektor Bina Marga
Pasal 110
(1) | Izin pemanfaatan dan penggunaan bagian-bagian jalan merupakan legalitas yang diberikan kepada pengguna jalan untuk pendayagunaan bagian-bagian jalan guna melakukan kegiatan bukan usaha maupun usaha. |
(2) | Pemanfaatan ruang manfaat jalan, ruang milik jalan, dan ruang pengawasan jalan selain peruntukannya wajib memperoleh persetujuan dari penyelenggara jalan sesuai dengan kewenangannya. |
(3) | Penggunaan ruang manfaat jalan yang memerlukan perlakuan khusus terhadap konstruksi jalan dan jembatan wajib memperoleh dispensasi dari penyelenggara jalan sesuai dengan kewenangannya. |
(4) | Penerbitan izin penggunaan ruang pengawasan jalan untuk mendirikan bangunan gedung dan bangunan yang tidak mengganggu keselamatan pengguna jalan dan keamanan konstruksi jalan oleh instansi Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya wajib memperoleh rekomendasi dari penyelenggara jalan sesuai dengan kewenangannya. |
(1) | Izin pemanfaatan dan penggunaan bagian-bagian jalan non tol dan jalan tol untuk memanfaatkan dan menggunakan jalan non tol dan jalan tol diberikan dengan memperhatikan pengamanan fungsi jalan, menjamin kelancaran dan keselamatan pengguna jalan, dan keamanan konstruksi jalan. | ||||||||
(2) | Izin pemanfaatan dan penggunaan bagian-bagian jalan non tol dan jalan tol untuk memanfaatkan dan menggunakan bagian-bagian jalan dapat diberikan untuk:
|
||||||||
(3) | Pemberian izin pemanfaatan dan penggunaan bagian-bagian jalan non tol dan jalan tol untuk memanfaatkan dan menggunakan bagian-bagian jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara ketat dengan urutan prioritas:
|
Perizinan pemanfaatan bagian-bagian jalan terdiri atas:
a. | rumaja dan rumija non tol; |
b. | dispensasi rumija non tol; |
c. | rumaja, rumija, dan ruwasja tol; |
d. | dispensasi rumija tol; dan |
e. | pembangunan simpang susun dan prasarana transportasi lain sejajar jalan tol. |
Tata cara dan persyaratan Izin pemanfaatan dan penggunaan bagian-bagian jalan dilakukan melalui tahapan:
a. | permohonan; dan |
b. | Izin. |
(1) | Permohonan Izin pemanfaatan dan penggunaan bagian-bagian jalan diajukan kepada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum melalui Sistem OSS. |
(2) | Pelaku Usaha yang telah mendapatkan Izin pemanfaatan bagian-bagian jalan tol dan jalan non tol dikenakan biaya pemanfaatan barang milik negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Izin pemanfaatan dan penggunaan bagian-bagian jalan non tol diberikan untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun atau sesuai rekomendasi tim teknis pada saat pembahasan dan dapat diperpanjang. |
(2) | Izin pemanfaatan dan penggunaan bagian-bagian jalan tol diberikan untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun atau sesuai rekomendasi tim teknis pada saat pembahasan dan dapat diperpanjang. |
Bagian Kesepuluh
Sektor Transportasi
Pasal 116
(1) | Perizinan Berusaha pada sektor transportasi terdiri atas subsektor:
|
||||||||
(2) | Perizinan Berusaha pada subsektor transportasi darat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis tingkat Risiko kegiatan usaha terdiri atas:
|
||||||||
(3) | Perizinan Berusaha pada subsektor transportasi laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis tingkat Risiko kegiatan usaha terdiri atas:
|
||||||||
(4) | Perizinan Berusaha pada subsektor transportasi udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis tingkat Risiko kegiatan usaha terdiri atas:
|
||||||||
(5) | Perizinan Berusaha pada subsektor transportasi perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis tingkat Risiko kegiatan usaha terdiri atas:
|
||||||||
(6) | Kegiatan usaha penunjang sarana dan prasarana transportasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, ayat (3) huruf c, ayat (4) huruf c, dan ayat (5) huruf c merupakan jasa terkait sarana dan prasarana transportasi yang dapat dilakukan secara langsung oleh UMK-M atau bekerja sama dengan badan usaha. |
Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha pada sektor transportasi meliputi penunjang operasional dan/atau komersial kegiatan usaha pada subsektor:
a. | transportasi darat; |
b. | transportasi laut; |
c. | transportasi udara; dan |
d. | transportasi perkeretaapian. |
(1) | Kode KBLI/KBLI terkait, judul KBLI, ruang lingkup kegiatan, parameter Risiko, tingkat Risiko, Perizinan Berusaha, jangka waktu, masa berlaku, dan kewenangan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 dan Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117 tercantum dalam Lampiran I. |
(2) | Persyaratan dan/atau kewajiban Perizinan Berusaha pada sektor transportasi yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis Risiko kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 dan Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117 tercantum dalam Lampiran II. |
Bagian Kesebelas
Sektor Kesehatan, Obat, dan Makanan
Paragraf 1
Perizinan Berusaha
Pasal 119
Perizinan Berusaha sektor kesehatan, obat, dan makanan terdiri atas:
a. | subsektor kesehatan; dan |
b. | subsektor obat dan makanan. |
(1) | Perizinan Berusaha subsektor kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 huruf a meliputi kegiatan usaha:
|
||||||
(2) | Perizinan Berusaha subsektor obat dan makanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 huruf b meliputi Izin dan Sertifikat Standar obat dan makanan. | ||||||
(3) | Perizinan Berusaha subsektor obat dan makanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dimiliki oleh Pelaku Usaha yang membuat/memproduksi dan/atau yang mengimpor obat dan makanan untuk diedarkan. | ||||||
(4) | Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk pangan olahan industri rumah tangga yang diproduksi oleh UMK dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha pada subsektor kesehatan meliputi:
|
||||||||
(2) | Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha pada subsektor obat dan makanan meliputi:
|
(1) | Kode KBLI/KBLI terkait, judul KBLI, ruang lingkup kegiatan, parameter Risiko, tingkat Risiko, Perizinan Berusaha, jangka waktu, masa berlaku, dan kewenangan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 120 dan Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121 tercantum dalam Lampiran I. |
(2) | Persyaratan dan/atau kewajiban Perizinan Berusaha pada sektor kesehatan, obat dan makanan yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis Risiko kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 120 dan Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121 tercantum dalam Lampiran II. |
Paragraf 2
Norma dan Kriteria
Pasal 123
Perizinan Berusaha subsektor kesehatan yang berkaitan dengan praktik tenaga kesehatan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kesehatan.
(1) | Obat dan makanan yang dibuat dan/atau diedarkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 120 ayat (3) wajib memenuhi standar dan/atau persyaratan. | ||||||||
(2) | Standar dan/atau persyaratan diberlakukan untuk:
|
(1) | Standar dan/atau persyaratan untuk obat dan bahan obat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 ayat (2) huruf a meliputi keamanan, khasiat, dan mutu serta informasi produk yang ditetapkan. |
(2) | Standar dan/atau persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari farmakope Indonesia, metode analisis, standar, dan/atau persyaratan lainnya. |
(3) | Standar dan/atau persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa farmakope Indonesia disusun oleh tim penyusun dan ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan. |
(4) | Ketentuan lebih lanjut mengenai standar dan/atau persyaratan obat dan bahan obat selain farmakope Indonesia diatur dengan peraturan kepala lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan. |
(1) | Standar dan/atau persyaratan untuk obat tradisional, suplemen kesehatan, dan obat kuasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 ayat (2) huruf b meliputi keamanan, khasiat/kemanfaatan, dan mutu serta informasi produk yang ditetapkan. |
(2) | Standar dan/atau persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari farmakope herbal Indonesia, metode analisis, standar, dan/atau persyaratan lainnya. |
(3) | Standar dan/atau persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa farmakope herbal Indonesia disusun oleh tim penyusun dan ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan. |
(4) | Ketentuan lebih lanjut mengenai standar dan/atau persyaratan obat tradisional, suplemen kesehatan, dan obat kuasi selain farmakope herbal Indonesia diatur dengan peraturan kepala lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan. |
(1) | Standar dan/atau persyaratan untuk kosmetik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 ayat (2) huruf c meliputi keamanan, kemanfaatan, dan mutu serta informasi produk yang ditetapkan. |
(2) | Standar dan/atau persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari kodeks kosmetik Indonesia, metode analisis, standar, dan/atau persyaratan lainnya. |
(3) | Standar dan/atau persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa kodeks kosmetik Indonesia disusun oleh tim penyusun dan ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan. |
(4) | Ketentuan lebih lanjut mengenai standar dan/atau persyaratan kosmetik selain kodeks kosmetik Indonesia diatur dengan peraturan kepala lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan. |
Standar dan/atau persyaratan untuk pangan olahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 ayat (2) huruf d meliputi keamanan, kemanfaatan, dan mutu serta informasi produk yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(1) | Setiap orang yang membuat obat dan bahan obat wajib dilakukan sesuai dengan cara pembuatan yang baik. | ||||
(2) | Setiap orang yang mengedarkan obat dan bahan obat wajib memenuhi standar dan/atau persyaratan pengelolaan obat dan bahan obat yang baik. | ||||
(3) | Standar dan/atau persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri dari:
|
(1) | Setiap orang yang membuat dan/atau mengedarkan obat tradisional, obat kuasi, dan suplemen kesehatan wajib dilakukan sesuai dengan cara yang baik. |
(2) | Setiap orang membuat dan/atau mengedarkan kosmetik wajib dilakukan sesuai dengan cara yang baik. |
(1) | Setiap orang yang memproduksi dan/atau mengedarkan pangan olahan wajib menerapkan prinsip cara yang baik dalam produksi dan/atau peredaran. |
(2) | Setiap orang yang memproduksi dan/atau mengedarkan pangan olahan wajib menerapkan sistem jaminan keamanan pangan dan mutu pangan berdasarkan kajian Risiko. |
Setiap Pelaku Usaha yang memproduksi pangan, bahan baku, bahan tambahan pangan, dan/atau bahan lain yang dihasilkan dari rekayasa genetik pangan wajib memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ketentuan mengenai standar pelayanan kefarmasian dan alat kesehatan diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan.
Bagian Kedua Belas
Sektor Pendidikan dan Kebudayaan
Paragraf 1
Perizinan Berusaha
Pasal 134
(1) | Pelaksanaan perizinan pada subsektor pendidikan dapat dilakukan melalui Perizinan Berusaha Berbasis Risiko sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah ini. |
(2) | Perizinan Berusaha Berbasis Risiko untuk satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pendidikan. |
(3) | Pelaksanaan perizinan pada subsektor pendidikan untuk lembaga pendidikan formal di KEK wajib dilakukan melalui Perizinan Berusaha Berbasis Risiko sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah ini. |
(4) | Ketentuan mengenai norma, standar, prosedur, dan kriteria Perizinan Berusaha Berbasis Risiko untuk satuan lembaga pendidikan formal di KEK diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan. |
(5) | Peraturan menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan setelah mendapat persetujuan Presiden berdasarkan rekomendasi dari kementerian yang menyelenggarakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian urusan kementerian dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang perekonomian. |
(1) | Perizinan Berusaha subsektor kebudayaan meliputi kegiatan usaha perfilman. | ||||||||||||||||
(2) | Perizinan Berusaha pada kegiatan usaha perfilman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis tingkat Risiko kegiatan usaha terdiri atas:
|
(1) | Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha pada sektor kebudayaan meliputi:
|
||||||||
(2) | Pelaku Usaha perfilman yang telah memiliki Perizinan Berusaha atas kegiatan usaha pembuatan film menyampaikan surat pemberitahuan pembuatan film setiap akan melakukan kegiatan pembuatan film. | ||||||||
(3) | Pelaku Usaha perfilman yang telah memiliki Perizinan Berusaha atas kegiatan usaha impor film mengajukan permohonan rekomendasi impor . film setiap akan melakukan kegiatan impor lilm. |
(1) | Kode KBLI/KBLI terkait, judul KBLI, ruang lingkup kegiatan, parameter Risiko, tingkat Risiko, Perizinan Berusaha, jangka waktu, masa berlaku, dan kewenangan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 135 dan Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 tercantum dalam Lampiran I. |
(2) | Persyaratan dan/atau kewajiban Perizinan Berusaha pada sektor pendidikan dan kebudayaan yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis Risiko kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 135 dan Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 tercantum dalam Lampiran II. |
Paragraf 2
Norma dan Kriteria
Pasal 138
(1) | Pembuatan film sebagaimana dimaksud dalam Pasal 135 ayat (2) huruf a oleh pihak asing yang menggunakan lokasi di wilayah Indonesia mengajukan persetujuan penggunaan lokasi pembuatan film di Indonesia kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kebudayaan melalui kedutaan, konsulat jenderal, atau konsulat sebagai perwakilan Indonesia di luar negeri. |
(2) | Pihak asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perusahaan asing yang telah memiliki Perizinan Berusaha dari negara asal. |
(3) | Pembuatan film oleh pihak asing yang menggunakan lokasi di Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib bekerja sama dengan Pelaku Usaha pembuatan film di Indonesia sebagai mitra pendamping lokal. |
(4) | Pembuatan film oleh pihak asing yang menggunakan lokasi di Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan melalui mekanisme evaluasi. |
(1) | Pelaku Usaha perfilman yang telah memiliki Perizinan Berusaha atas kegiatan usaha pembuatan film dan usaha impor film mengajukan permohonan tanda lulus sensor kepada lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sensor film untuk setiap judul film yang akan dipertunjukkan untuk umum. |
(2) | Tanda lulus sensor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan melalui mekanisme evaluasi oleh lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sensor film. |
Bagian Ketiga Belas
Sektor Pariwisata
Paragraf 1
Perizinan Berusaha
Pasal 140
Perizinan Berusaha sektor pariwisata yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis Risiko kegiatan usaha terdiri atas:
a. | daya tarik wisata; |
b. | kawasan pariwisata; |
c. | jasa transportasi wisata; |
d. | jasa perjalanan wisata; |
e. | jasa makanan dan minuman; |
f. | penyedia akomodasi; |
g. | penyelenggaraan kegiatan hiburan dan rekreasi; |
h. | penyelenggaraan pertemuan, perjalanan insentif, konferensi, dan pameran; |
i. | jasa informasi pariwisata; |
j. | jasa konsultan pariwisata; |
k. | jasa pramuwisata; |
l. | wisata tirta; dan |
m. | spa. |
(1) | Kode KBLI/KBLI terkait, judul KBLI, ruang lingkup kegiatan, parameter Risiko, tingkat Risiko, Perizinan Berusaha, jangka waktu, masa berlaku, dan kewenangan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 tercantum dalam Lampiran I. |
(2) | Persyaratan dan/atau kewajiban Perizinan Berusaha pada sektor pariwisata yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis Risiko kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 tercantum dalam Lampiran II. |
Paragraf 2
Norma dan Kriteria
Pasal 142
(1) | Standar pelaksanaan kegiatan usaha sektor pariwisata merupakan standar usaha pariwisata yang mencakup sarana, organisasi dan sumber daya manusia, pelayanan, persyaratan produk, sistem manajemen, penilaian kesesuaian, dan Pengawasan. | ||||
(2) | Standar usaha pariwisata sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memasukkan unsur:
|
||||
(3) | Standar usaha pariwisata sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disusun secara bersama-sama oleh instansi pemerintah terkait, asosiasi usaha pariwisata, asosiasi profesi, dan akademisi. | ||||
(4) | Ketentuan mengenai standar pelaksanaan kegiatan usaha sektor pariwisata sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pariwisata. |
(1) | Standar usaha pariwisata untuk kegiatan usaha sektor pariwisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 142 ayat (1) dengan tingkat Risiko menengah tinggi dan tingkat Risiko tinggi diverifikasi oleh lembaga sertifikasi usaha pariwisata dalam rangka sertifikasi dan surveilans. |
(2) | Lembaga sertifikasi usaha pariwisata sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan lembaga yang terakreditasi oleh lembaga pemerintah yang mempunyai kewenangan untuk melakukan akreditasi. |
(3) | Lembaga pemerintah yang mempunyai kewenangan untuk melakukan akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melaporkan setiap hasil akreditasi kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pariwisata. |
(4) | Dengan telah dipenuhinya standar usaha tingkat Risiko menengah tinggi dan Risiko tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), lembaga sertifikasi usaha pariwisata menerbitkan Sertifikat Standar usaha pariwisata yang berlaku selama pengusaha pariwisata menjalankan usaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(5) | Pelaksanaan verifikasi standar usaha tingkat Risiko menengah tinggi dan Risiko tinggi dapat dilakukan secara daring atau luring termasuk audit jarak jauh (remote audit). |
(6) | Untuk UMK dengan standar usaha tingkat Risiko menengah tinggi dan Risiko tinggi dilaksanakan secara daring termasuk audit jarak jauh (remote audit). |
(7) | Usaha pariwisata dengan tingkat Risiko menengah rendah dapat melaksanakan sertifikasi standar usaha pariwisata secara sukarela sesuai ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini. |
Bagian Keempat Belas
Sektor Keagamaan
Paragraf 1
Perizinan Berusaha
Perizinan Berusaha pada sektor keagamaan yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis Risiko kegiatan usaha meliputi kegiatan usaha:
a. | penyelenggaraan ibadah haji khusus; dan |
b. | penyelenggaraan perjalanan ibadah umrah. |
(1) | Kode KBLI/KBLI terkait, judul KBLI, ruang lingkup kegiatan, parameter Risiko, tingkat Risiko, Perizinan Berusaha, jangka waktu, masa berlaku, dan kewenangan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 144 tercantum dalam Lampiran I. |
(2) | Persyaratan dan/atau kewajiban Perizinan Berusaha pada sektor keagamaan yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis Risiko kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 144 tercantum dalam Lampiran II. |
Paragraf 2
Norma dan Kriteria
Pasal 146
(1) | Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha penyelenggaraan ibadah haji khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 144 huruf a diperoleh setelah Pelaku Usaha menjadi penyelenggara perjalanan ibadah umrah paling singkat selama 3 (tiga) tahun atau telah memberangkatkan jemaah umrah paling sedikit 1.000 (seribu) orang. |
(2) | Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha penyelenggaraan perjalanan ibadah umrah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 144 huruf b dapat dimohonkan setelah Pelaku Usaha memiliki Perizinan Berusaha untuk melakukan kegiatan usaha biro perjalanan wisata paling singkat selama 1 (satu) tahun. |
(1) | Pelaku Usaha yang telah memperoleh Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha penyelenggaraan ibadah haji khusus dan penyelenggaraan perjalanan ibadah umrah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 144 wajib menyelenggarakan kegiatan usaha sesuai dengan standar pelayanan yang telah ditetapkan. |
(2) | Standar pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian dari standar pelaksanaan kegiatan usaha sektor keagamaan. |
(1) | Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama melaksanakan akreditasi terhadap Pelaku Usaha yang melakukan kegiatan usaha penyelenggaraan ibadah haji khusus dan penyelenggaraan perjalanan ibadah umrah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 144. |
(2) | Dalam pelaksanaan akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama menunjuk lembaga pemerintah yang mempunyai kewenangan untuk melakukan akreditasi, seleksi, dan menetapkan lembaga penilaian kesesuaian. |
(3) | Lembaga penilaian kesesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melakukan sertifikasi terhadap Pelaku Usaha yang melakukan kegiatan usaha penyelenggaraan ibadah haji khusus dan penyelenggaraan perjalanan ibadah umrah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 144. |
(4) | Sertifikasi terhadap Pelaku Usaha yang melakukan kegiatan usaha penyelenggaraan ibadah haji khusus dan penyelenggaraan perjalanan ibadah umrah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 144 dilakukan setiap 5 (lima) tahun. |
(5) | Lembaga pemerintah yang mempunyai kewenangan untuk melakukan akreditasi, seleksi, dan menetapkan lembaga penilaian kesesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melaporkan setiap hasil akreditasi dan sertifikasi kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama. |
(6) | Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama menetapkan skema dan kriteria akreditasi dan sertifikasi usaha penyelenggaraan ibadah haji khusus dan penyelenggaraan perjalanan ibadah umrah. |
(7) | Skema dan kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (6) ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama setelah berkoordinasi dengan lembaga pemerintah yang mempunyai kewenangan untuk melakukan akreditasi. |
(8) | Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama memublikasikan hasil akreditasi dan sertifikasi Pelaku Usaha yang melakukan kegiatan usaha penyelenggaraan ibadah haji khusus dan penyelenggaraan perjalanan ibadah umrah sebagaimana dimaksud pada ayat (6) kepada masyarakat secara elektronik dan/atau nonelektronik. |
(9) | Dalam hal Pelaku Usaha telah memiliki Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha penyelenggaraan ibadah haji khusus, sertifikasi kegiatan usaha penyelenggaraan perjalanan ibadah umrahnya dilakukan secara bersama-sama dalam 1 (satu) waktu pada saat sertifikasi kegiatan usaha penyelenggaraan ibadah haji khusus dilaksanakan. |
Bagian Kelima Belas
Sektor Pos, Telekomunikasi, Penyiaran, dan Sistem dan
Transaksi Elektronik
Pasal 149
(1) | Perizinan Berusaha pada sektor pos, telekomunikasi, penyiaran, dan sistem dan transaksi elektronik meliputi subsektor:
|
||||||||||
(2) | Perizinan Berusaha pada subsektor pos sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis tingkat Risiko kegiatan usaha terdiri atas:
|
||||||||||
(3) | Perizinan Berusaha pada subsektor telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis tingkat Risiko kegiatan usaha terdiri atas:
|
||||||||||
(4) | Perizinan Berusaha pada subsektor penyelenggaraan penyiaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis tingkat Risiko kegiatan usaha terdiri atas:
|
||||||||||
(5) | Perizinan Berusaha pada subsektor penyelenggaraan sistem dan transaksi elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis tingkat Risiko kegiatan usaha terdiri atas:
|
Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha pada subsektor pos, telekomunikasi, penyiaran, dan penyelenggaraan sistem dan transaksi elektronik meliputi:
a. | penetapan multipleksing; |
b. | penomoran telekomunikasi; |
c. | hak labuh sistem komunikasi kabel laut transmisi telekomunikasi internasional; |
d. | hak labuh satelit; |
e. | izin penggunaan spektrum frekuensi radio; |
f. | sertifikat alat dan/atau perangkat telekomunikasi; dan |
g. | pendaftaran penyelenggara sistem elektronik lingkup privat. |
(1) | Kode KBLI/KBLI terkait, judul KBLI, ruang lingkup kegiatan, parameter Risiko, tingkat Risiko, Perizinan Berusaha, jangka waktu, masa berlaku, dan kewenangan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 149 dan Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 150 tercantum dalam Lampiran I. |
(2) | Persyaratan dan/atau kewajiban Perizinan Berusaha pada sektor pos, telekomunikasi, penyiaran, dan sistem dan transaksi elektronik yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis Risiko kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 149 dan Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 150 tercantum dalam Lampiran II. |
Bagian Keenam Belas
Sektor Pertahanan dan Keamanan
Paragraf 1
Umum
Pasal 152
Perizinan Berusaha pada sektor pertahanan dan keamanan terdiri dari subsektor:
a. | subsektor industri pertahanan; dan |
b. | subsektor keamanan. |
Paragraf 2
Subsektor Industri Pertahanan
Pasal 153
Pelaku Usaha pada subsektor industri pertahanan terdiri atas:
a. | badan usaha milik negara; dan |
b. | badan usaha milik swasta, |
yang baik secara sendiri maupun berkelompok ditetapkan oleh Pemerintah Pusat untuk sebagian atau seluruhnya menghasilkan alat peralatan pertahanan dan keamanan serta jasa pemeliharaan untuk memenuhi kepentingan strategis di bidang pertahanan dan keamanan yang berlokasi di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Perizinan Berusaha pada subsektor industri pertahanan meliputi:
a. | penetapan sebagai industri pertahanan; |
b. | izin produksi alat peralatan pertahanan dan keamanan; |
c. | kelaikan alat peralatan pertahanan dan keamanan; |
d. | pemasaran alat peralatan pertahanan dan keamanan; |
e. | penjualan, ekspor, dan transfer alat peralatan pertahanan dan keamanan; |
f. | pembelian dan impor alat peralatan pertahanan dan keamanan; dan/atau |
g. | perizinan industri bahan peledak. |
Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 154 berkaitan dengan industri pertahanan yang menjalankan kegiatan usaha:
a. | industri alat utama; |
b. | industri komponen utama dan/atau penunjang; |
c. | industri komponen dan/atau pendukung (perbekalan); dan |
d. | industri bahan baku. |
(1) | Industri alat utama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 155 huruf a dilakukan oleh badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik swasta yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai pemadu utama (lead integrator) yang menghasilkan alat utama sistem senjata dan/atau mengintegrasikan semua komponen utama, komponen, dan bahan baku menjadi alat utama. | ||||||||||
(2) | Industri alat utama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
|
||||||||||
(3) | Industri alat utama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 153 yang bidang usahanya terbuka dengan persyaratan tertentu dan wajib mendapatkan persetujuan dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertahanan. | ||||||||||
(4) | Industri komponen utama dan/atau penunjang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 155 huruf b dilakukan oleh badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik swasta yang memproduksi komponen utama dan/atau mengintegrasikan komponen atau suku cadang dengan bahan baku menjadi komponen utama alat peralatan pertahanan dan keamanan dan/atau wahana (platform) sistem alat utama sistem senjata. | ||||||||||
(5) | Industri komponen dan/atau pendukung (perbekalan) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 155 huruf c dilakukan oleh badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik swasta yang memproduksi suku cadang untuk alat utama sistem senjata, suku cadang untuk komponen utama, dan/atau yang menghasilkan produk perbekalan. | ||||||||||
(6) | Industri bahan baku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 155 huruf d dilakukan oleh badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik swasta yang memproduksi bahan baku yang akan digunakan oleh industri alat utama, industri komponen utama dan/atau penunjang, dan industri komponen dan/atau pendukung (perbekalan). |
(1) | Kode KBLI/KBLI terkait, judul KBLI, ruang lingkup kegiatan, parameter Risiko, tingkat Risiko, Perizinan Berusaha, jangka waktu, masa berlaku, dan kewenangan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 154 tercantum dalam Lampiran I. |
(2) | Persyaratan dan/atau kewajiban Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha pada subsektor industri pertahanan tercantum dalam Lampiran II. |
Paragraf 3
Norma dan Kriteria Subsektor Industri Pertahanan
Pasal 158
(1) | Pelaku Usaha pada subsektor industri pertahanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 153 mempunyai kegiatan usaha dan/atau kompetensi berdasarkan kriteria dalam bidang:
|
||||||||||||||||||||||
(2) | Kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
|
Persyaratan terhadap permohonan:
a. | penetapan sebagai industri pertahanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 154 huruf a; |
b. | izin produksi alat peralatan pertahanan dan keamanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 154 huruf b; dan |
c. | izin produksi bahan peledak, |
dilakukan verifikasi pada saat permohonan diajukan.
Paragraf 4
Subsektor Keamanan
Pasal 160
Perizinan Berusaha subsektor keamanan yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis Risiko kegiatan usaha terdiri atas:
a. | jasa konsultansi keamanan; |
b. | jasa penerapan peralatan keamanan; |
c. | jasa pelatihan keamanan; |
d. | jasa kawal angkut uang dan barang berharga; |
e. | jasa penyediaan tenaga pengamanan; dan |
f. | jasa penyediaan satwa. |
(1) | Pemohon Perizinan Berusaha subsektor keamanan meliputi atas Pelaku Usaha nonperseorangan. |
(2) | Pelaku Usaha non perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perusahaan yang berbentuk perseroan terbatas. |
(3) | Perseroan terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan badan usaha jasa pengamanan. |
Kegiatan usaha dan jenis Perizinan Berusaha subsektor keamanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 160 tercantum dalam Lampiran I.
(1) | Kode KBLI/KBLI terkait, judul KBLI, ruang lingkup kegiatan, parameter Risiko, tingkat Risiko, Perizinan Berusaha, jangka waktu, masa berlaku, dan kewenangan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 160 tercantum dalam Lampiran I. |
(2) | Persyaratan dan/atau kewajiban Perizinan Berusaha pada subsektor keamanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 160 tercantum dalam Lampiran II. |
Bagian Ketujuh Belas
Sektor Ketenagakerjaan
Pasal 164
(1) | Perizinan Berusaha sektor ketenagakerjaan yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis Risiko kegiatan usaha terdiri atas:
|
||||||||||||||||||||||
(2) | Pelatihan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas pelatihan kerja untuk:
|
Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha pada sektor ketenagakerjaan meliputi:
a. | izin pemeriksaan/pengujian dan/atau pelayanan kesehatan kerja; |
b. | sertifikat SMK3; |
c. | surat keterangan layak K3 bagi peralatan, pesawat angkat dan pesawat angkut, pesawat tenaga dan produksi, pesawat uap, bejana tekanan, tangki timbun, elevator/lift, eskalator, instalasi penyalur petir, sarana proteksi kebakaran dan peralatan lainnya yang berisiko tinggi, pengendalian bahan kimia berbahaya dan lingkungan kerja; dan |
d. | izin kantor cabang perusahaan penempatan pekerja migran Indonesia. |
(1) | Kode KBLI/KBLI terkait, judul KBLI, ruang lingkup kegiatan, parameter Risiko, tingkat Risiko, Perizinan Berusaha, jangka waktu, masa berlaku, dan kewenangan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 164 dan Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 165 tercantum dalam Lampiran I. |
(2) | Persyaratan dan/atau kewajiban Perizinan Berusaha pada sektor ketenagakerjaan yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis Risiko kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 164 dan Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 165 tercantum dalam Lampiran II. |
BAB IV
PERIZINAN BERUSAHA BERBASIS RISIKO MELALUI
LAYANAN SISTEM PERIZINAN BERUSAHA TERINTEGRASI
SECARA ELEKTRONIK (ONLINE SINGLE SUBMISSION)
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 167
(1) | Pelaksanaan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko dilakukan secara elektronik dan terintegrasi melalui Sistem OSS. | ||||||||||||
(2) | Sistem OSS terdiri dari:
|
||||||||||||
(3) | Sistem OSS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib digunakan oleh:
|
Bagian Kedua
Subsistem Pelayanan Informasi
Pasal 168
(1) | Subsistem pelayanan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 167 ayat (2) huruf a menyediakan informasi dalam memperoleh Perizinan Berusaha Berbasis Risiko serta informasi lain terkait dengan penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko. | ||||||||||||||||||||
(2) | Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat:
|
||||||||||||||||||||
(3) | Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diakses oleh masyarakat umum tanpa menggunakan hak akses. |
Bagian Ketiga
Subsistem Perizinan Berusaha
Paragraf 1
Umum
Pasal 169
(1) | Proses penerbitan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko dilakukan melalui subsistem Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 167 ayat (2) huruf b. | ||||||||||||||||||||||
(2) | Subsistem Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup tahapan proses penerbitan Perizinan Berusaha:
|
||||||||||||||||||||||
(3) | Subsistem Perizinan Berusaha diakses menggunakan hak akses oleh:
|
||||||||||||||||||||||
(4) | Kepala Lembaga OSS dapat memberikan hak akses terbatas selain kepada pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (3). |
Paragraf 2
Pemohon Perizinan Berusaha
Pasal 170
(1) | Pemohon Perizinan Berusaha melalui subsistem Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 167 ayat (2) huruf b terdiri atas Pelaku Usaha:
|
||||||||||||||||||||
(2) | Orang perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan orang perseorangan warga negara Indonesia yang cakap untuk bertindak dan melakukan perbuatan hukum. | ||||||||||||||||||||
(3) | Badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan badan usaha berbentuk badan hukum atau tidak berbentuk badan hukum yang didirikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan melakukan usaha dan/atau kegiatan pada bidang tertentu. | ||||||||||||||||||||
(4) | Kantor perwakilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan:
|
||||||||||||||||||||
(5) | Badan usaha luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d merupakan badan usaha asing yang didirikan di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan melakukan usaha dan/atau kegiatan pada bidang tertentu. | ||||||||||||||||||||
(6) | Badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling sedikit terdiri atas:
|
||||||||||||||||||||
(7) | Kantor perwakilan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) paling sedikit terdiri atas:
|
||||||||||||||||||||
(8) | Badan usaha luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (5) yang dapat melakukan kegiatan usaha di Indonesia paling sedikit terdiri atas:
|
||||||||||||||||||||
(9) | Kantor perwakilan perusahaan asing sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf b termasuk dalam tingkat Risiko rendah. |
Paragraf 3
Pendaftaran Hak Akses
Pasal 171
(1) | Pelaku Usaha yang diberikan hak akses sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 ayat (3) huruf a meliputi:
|
||||||
(2) | Hak akses bagi kementerian/lembaga, DPMPTSP provinsi, DPMPTSP kabupaten/kota, Administrator KEK, dan Badan Pengusahaan KPBPB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 ayat (3) hurtf c sampai dengan huruf g diberikan kepada pengelola hak akses yang ditetapkan oleh menteri/kepala lembaga, kepala DPMPTSP provinsi, kepala DPMPTSP kabupaten/kota, Administrator KEK, atau kepala Badan Pengusahaan KPBPB. | ||||||
(3) | Pengelola hak akses sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat memberikan hak akses turunan sesuai kewenangan dan kebutuhan yang diperlukan. |
Lembaga OSS melakukan evaluasi terhadap pemberian hak akses dan hak akses turunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 171.
(1) | Hak akses kepada Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 ayat (3) huruf a diberikan untuk:
|
||||||||
(2) | Hak akses kepada kementerian/lembaga, DPMPTSP provinsi, DPMPTSP kabupaten/kota, Administrator KEK, dan Badan Pengusahaan KPBPB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 ayat (3) huruf c sampai dengan huruf g diberikan untuk:
|
Permohonan hak akses melalui Sistem OSS dilakukan oleh Pelaku Usaha:
a. | orang perseorangan dengan mengisi data nomor induk kependudukan; |
b. | badan usaha dengan mengisi data nomor pengesahan badan usaha; |
c. | badan layanan umum, perusahaan umum, perusahaan umum daerah, lembaga penyiaran publik, badan hukum lainnya yang dimiliki oleh negara, dengan mengisi data dasar hukum pembentukan; |
d. | persyarikatan atau persekutuan dengan mengisi data dasar hukum pendirian; dan |
e. | kantor perwakilan dan badan usaha luar negeri dengan mengisi data nomor induk kependudukan kepala kantor perwakilan/penanggung jawab yang berkewarganegaraan Indonesia atau nomor paspor kepala kantor perwakilan/penanggung jawab yang berkewarganegaraan asing. |
(1) | Pelaku Usaha dapat melakukan perubahan data hak akses sebagaimana dimaksud dalam Pasal 171 secara mandiri dalam Sistem OSS. | ||||||||||
(2) | Perubahan data hak akses sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit:
|
||||||||||
(3) | Atas perubahan data hak akses sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Sistem OSS memberikan notifikasi kepada Pelaku Usaha melalui surat elektronik yang didaftarkan. |
(1) | NIB wajib dimiliki oleh setiap Pelaku Usaha. | ||||||||
(2) | Setiap Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya memiliki 1 (satu) NIB. | ||||||||
(3) | NIB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh Lembaga OSS. | ||||||||
(4) | NIB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan identitas bagi Pelaku Usaha sebagai bukti registrasi/pendaftaran Pelaku Usaha untuk melakukan kegiatan usaha. | ||||||||
(5) | NIB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga sebagai:
|
||||||||
(6) | Pelaku Usaha yang memerlukan angka pengenal impor sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a hanya dapat memilih:
|
||||||||
(7) | Hak akses kepabeanan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b dapat digunakan oleh:
|
||||||||
(8) | NIB berbentuk angka acak yang diberi pengaman dan disertai dengan tanda tangan elektronik. |
(1) | NIB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 176 mencakup data:
|
||||||||||
(2) | Untuk mendapatkan NIB sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pelaku Usaha orang perseorangan mengisi data pada Sistem OSS. | ||||||||||
(3) | Data profil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, bagi Pelaku Usaha orang perseorangan merupakan nomor induk kependudukan yang terintegrasi dengan sistem kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri. | ||||||||||
(4) | Bagi Pelaku Usaha badan usaha, data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, sesuai dengan integrasi antara Sistem OSS dengan sistem di kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia. | ||||||||||
(5) | Terhadap data nomor pokok wajib pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, Sistem OSS melakukan validasi sesuai dengan integrasi dengan sistem di kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara. | ||||||||||
(6) | Bagi Pelaku Usaha orang perseorangan yang belum memiliki nomor pokok wajib pajak, dapat mengajukan permohonan nomor pokok wajib pajak melalui Sistem OSS. | ||||||||||
(7) | Data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e sesuai dengan integrasi atau validasi antara Sistem OSS dengan sistem di kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang tata ruang. | ||||||||||
(8) | Dalam hal data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum tersedia secara daring, Pelaku Usaha melakukan pengisian pada Sistem OSS. | ||||||||||
(9) | Bagi Pelaku Usaha kantor perwakilan dan badan usaha luar negeri, harus mengisi data paling sedikit:
|
(1) | Terhadap data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 177 ayat (1), Sistem OSS melakukan pemeriksaan kesesuaian ketentuan bidang usaha dan ketentuan Penanaman Modal lainnya, termasuk:
|
||||||||
(2) | Pemeriksaan ketentuan bidang usaha dan ketentuan Penanaman Modal lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menentukan insentif dan/atau fasilitas Penanaman Modal yang dapat diperoleh oleh Pelaku Usaha. |
Paragraf 5
Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang
Pasal 179
(1) | Sistem OSS melaksanakan pemeriksaan lokasi usaha yang diajukan oleh Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 177 ayat (1) huruf e mencakup:
|
||||||
(2) | Pemeriksaan lokasi usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan berdasarkan ketersediaan rencana detail tata ruang daerah dalam sistem di kementerian yang menyelenggarakan urusan di bidang tata ruang yang terintegrasi dengan Sistem OSS. | ||||||
(3) | Dalam rangka pemeriksaan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang:
|
(1) | Dalam hal rencana detail tata ruang daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 179 ayat (2) belum tersedia, pemeriksaan lokasi dilakukan berdasarkan:
|
||||||||||
(2) | Dalam rangka pemeriksaan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang yang belum tersedia rencana detail tata ruang, kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang tata ruang melakukan validasi kesesuaian lokasi kegiatan dengan rencana tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk menerbitkan atau tidak menerbitkan persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang. | ||||||||||
(3) | Jangka waktu penerbitan atau penolakan persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 20 (dua puluh) Hari sejak permohonan NIB diajukan. | ||||||||||
(4) | Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terlampaui, persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang diterbitkan secara otomatis oleh Sistem OSS. |
(1) | Sistem OSS akan memeriksa dan menyetujui secara otomatis lokasi kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 179 dengan ketentuan:
|
||||||||||
(2) | Sistem OSS menerbitkan persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang atas lokasi usaha dan/atau yang diperlukan untuk melaksanakan rencana Perizinan Berusaha bagi UMK berdasarkan pernyataan Pelaku Usaha sesuai format pada Sistem OSS. | ||||||||||
(3) | Dalam hal Pelaku Usaha menengah dan besar melakukan pembangunan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah dengan luasan tidak lebih dari 5 (lima) hektare, persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang diterbitkan atas pernyataan Pelaku Usaha sesuai format pada Sistem OSS. |
(1) | Pemeriksaan lokasi di laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 179 ayat (1) huruf b dilakukan kepada Pelaku Usaha yang melakukan kegiatan pemanfaatan ruang di laut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(2) | Lokasi usaha mengacu pada pemanfaatan sesuai dengan rencana tata ruang, rencana zonasi kawasan antar wilayah, dan rencana zonasi kawasan strategis nasional tertentu. |
(3) | Pemeriksaan lokasi di laut dilakukan kepada Pelaku Usaha yang memanfaatkan ruang secara menetap di sebagian ruang laut yang mencakup permukaan laut, kolom air, dan/atau permukaan dasar laut pada batas keluasan tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(4) | Pemeriksaan lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan ketersediaan rencana tata ruang yang mencakup rencana zonasi dalam sistem di kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan yang terintegrasi dengan Sistem OSS. |
(5) | Dalam hal lokasi yang dimohonkan berada di laut, Pelaku Usaha menyampaikan permohonan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang di laut kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan melalui Sistem OSS. |
(6) | Terhadap permohonan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang di laut sebagaimana dimaksud pada ayat (5), menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan menyampaikan notifikasi persetujuan atau penolakan ke dalam Sistem OSS paling lama 20 (dua puluh) Hari sejak permohonan NIB diajukan. |
(7) | Berdasarkan notifikasi persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Sistem OSS akan menerbitkan persetujuan atau penolakan kegiatan pemanfaatan ruang. |
(8) | Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (6) terlampaui, persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang di laut diterbitkan secara otomatis oleh Sistem OSS. |
(1) | Dalam hal kegiatan usaha berada di darat, wilayah pesisir, dan laut, persetujuan kesesuaian pemanfaatan ruang diberikan secara terkoordinasi oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agraria dan tata ruang dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan. |
(2) | Persetujuan dan penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan secara terkoordinasi oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agraria dan tata ruang dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan melalui Sistem OSS. |
(1) | Persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang diberikan untuk jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak diterbitkan. |
(2) | Apabila dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pelaku Usaha tidak melaksanakan penggunaan dan pemanfaatan tanah sesuai tata ruang, persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang dibatalkan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Terhadap lokasi usaha pada kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 179 ayat (1) huruf c dapat mencakup kegiatan:
|
||||
(2) | Dalam hal kegiatan yang akan dilakukan oleh Pelaku Usaha menggunakan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan di dalam kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung. | ||||
(3) | Penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan melalui persetujuan Pemerintah Pusat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan. | ||||
(4) | Permohonan dan kelengkapan persyaratan pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diajukan melalui Sistem OSS. | ||||
(5) | Permohonan dan kelengkapan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diteruskan kepada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan untuk dilakukan verifikasi. | ||||
(6) | Kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan melakukan verifikasi atas pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dalam jangka waktu yang ditetapkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan yang dinotifikasi ke Sistem OSS. | ||||
(7) | Dalam hal kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan tidak memberikan notifikasi persetujuan atau penolakan ke Sistem OSS sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Lembaga OSS menerbitkan Izin pemanfaatan hutan. |
Paragraf 6
Penggunaan Tenaga Kerja Asing
Pasal 186
(1) | Dalam hal menggunakan tenaga kerja asing, Pelaku Usaha menyampaikan permohonan pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing melalui sistem elektronik yang diselenggarakan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan. |
(2) | Kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan meneruskan pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing kepada Lembaga OSS dan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia. |
Paragraf 7
Pemasukan Data Profil Pelaku Usaha
Pasal 187
(1) | Pelaku Usaha harus melakukan klarifikasi kegiatan usaha berupa:
|
||||||
(2) | Kegiatan usaha utama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan kegiatan usaha sebagaimana yang tercantum pada legalitas/akta Pelaku Usaha dan bertujuan komersial, sumber pendapatan, atau menghasilkan keuntungan bagi Pelaku Usaha. | ||||||
(3) | Kegiatan usaha pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan:
|
||||||
(4) | Kantor cabang administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan unit atau bagian dari perusahaan induknya yang dapat berkedudukan di tempat berlainan dan bersifat administratif. |
Pelaku Usaha yang telah mengisi data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 177 ayat (1) wajib melanjutkan proses di Sistem OSS untuk mendapatkan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko dengan memasukkan data kegiatan usaha utama untuk masing-masing kode KBLI 5 (lima) digit dan lokasi paling sedikit memuat:
a. | jenis produk yang dihasilkan; |
b. | kapasitas produk; |
c. | jumlah tenaga kerja; dan |
d. | rencana nilai investasi. |
(1) | Sistem OSS melaksanakan pemeriksaan ketentuan atas data usaha berupa rencana nilai investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 huruf d yang diajukan oleh Pelaku Usaha meliputi:
|
||||||||
(2) | Ketentuan minimum investasi bagi Penanaman Modal Asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, meliputi total investasi lebih besar dari Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah), di luar tanah dan bangunan per bidang usaha KBLI 5 (lima) digit per lokasi proyek. | ||||||||
(3) | Ketentuan total investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikecualikan untuk beberapa kegiatan usaha:
|
(1) | Terhadap kegiatan usaha pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 187 ayat (3), Pelaku Usaha wajib memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, termasuk pengidentifikasian Perizinan Berusaha Berbasis Risiko. |
(2) | Kegiatan usaha pendukung dikecualikan dari proses pemeriksaan ketentuan nilai permodalan dan minimum investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 189 ayat (2) serta kewajiban pencantuman KBLI dalam maksud dan tujuan pada legalitas Pelaku Usaha. |
(3) | Terhadap kegiatan usaha pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 187 ayat (3) huruf b, ketentuan dalam Pasal 188 berlaku secara mutatis mutandis. |
(1) | Pelaku Usaha mendaftarkan kantor cabang administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 187 ayat (4) pada Sistem OSS dengan melengkapi data paling sedikit:
|
||||||
(2) | Dalam hal kantor cabang administrasi lebih dari 1 (satu) lokasi, Pelaku Usaha harus melengkapi data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk setiap lokasi kantor cabang administrasi. | ||||||
(3) | Pendaftaran kantor cabang administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan melalui Sistem OSS sebagai lampiran NIB. |
Dalam hal 1 (satu) kegiatan usaha utama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 187 ayat (2) merupakan:
a. | dalam 1 (satu) lini produksi menghasilkan lebih dari 1 (satu) produk yang berbeda kode KBLI 5 (lima) digit dengan lokasi yang sama; atau |
b. | kegiatan yang menghasilkan jasa lebih dari 1 (satu) kode KBLI 5 (lima) digit berbeda dengan lokasi yang sama, |
kelengkapan data dapat digabung menjadi 1 (satu).
(1) | Lembaga OSS menerbitkan NIB melalui Sistem OSS berdasarkan:
|
||||||||
(2) | Tingkat Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a mengikuti tingkat Risiko sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang secara otomatis terverifikasi oleh Sistem OSS. |
Paragraf 8
Penerbitan Perizinan Berusaha Risiko Rendah
Pasal 194
(1) | Dalam hal kegiatan usaha termasuk ke dalam tingkat Risiko rendah, NIB secara otomatis terbit melalui Sistem OSS setelah Pelaku Usaha memenuhi data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 177. |
(2) | NIB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku sebagai legalitas untuk melaksanakan kegiatan berusaha sekaligus menjadi SPPL. |
Paragraf 9
Penerbitan Perizinan Berusaha Risiko Menengah Rendah
Pasal 195
(1) | Dalam hal kegiatan usaha termasuk ke dalam tingkat Risiko menengah rendah, setelah memenuhi kelengkapan data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 177, Pelaku Usaha mengisi pernyataan kesanggupan memenuhi standar kegiatan usaha melalui Sistem OSS. |
(2) | Dalam hal kegiatan usaha dikategorikan wajib memenuhi standar UKL-UPL, selain mengisi pernyataan kesanggupan memenuhi standar kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pelaku Usaha mengisi formulir UKL-UPL yang tersedia di Sistem OSS untuk memperoleh NIB dan Sertifikat Standar. |
(3) | Dalam hal kegiatan usaha tidak wajib UKL-UPL, selain mengisi pernyataan kesanggupan memenuhi standar kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pelaku Usaha mengisi formulir SPPL yang tersedia di Sistem OSS untuk memperoleh NIB dan Sertifikat Standar. |
Paragraf 10
Penerbitan Perizinan Berusaha Risiko Menengah Tinggi
Pasal 196
(1) | Dalam hal kegiatan usaha termasuk ke dalam tingkat Risiko menengah tinggi, setelah memenuhi kelengkapan data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 177, Pelaku Usaha mengisi pernyataan kesanggupan memenuhi standar kegiatan usaha melalui Sistem OSS. |
(2) | Dalam hal kegiatan usaha dikategorikan wajib memenuhi standar UKL-UPL, selain mengisi pernyataan kesanggupan memenuhi standar kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pelaku Usaha mengisi formulir UKL-UPL yang tersedia di Sistem OSS untuk memperoleh NIB dan Sertifikat Standar yang mencantumkan tanda belum terverifikasi. |
(3) | Dalam hal kegiatan usaha tidak wajib UKL-UPL, selain mengisi pernyataan kesanggupan memenuhi standar kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pelaku Usaha mengisi formulir SPPL yang tersedia di Sistem OSS untuk memperoleh NIB dan Sertifikat Standar yang mencantumkan tanda belum terverifikasi. |
(4) | Setelah memperoleh NIB dan Sertifikat Standar yang mencantumkan tanda belum terverifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau ayat (3), Pelaku Usaha melakukan pemenuhan standar kegiatan usaha sesuai jangka waktu berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria melalui Sistem OSS. |
(5) | Pemenuhan standar kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diteruskan Sistem OSS kepada kementerian/lembaga, DPMPTSP provinsi, DPMPTSP kabupaten/kota, Administrator KEK, dan Badan Pengusahaan KPBPB sesuai kewenangan masing-masing untuk dilakukan verifikasi. |
(6) | Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan kementerian/lembaga, perangkat daerah provinsi, perangkat daerah kabupaten/kota, Administrator KEK, atau Badan Pengusahaan KPBPB sesuai kewenangan masing-masing dalam jangka waktu sesuai norma, standar, prosedur, dan kriteria. |
(7) | Berdasarkan hasil verifikasi, kementerian/lembaga, perangkat daerah provinsi, perangkat daerah kabupaten/kota, Administrator KEK, atau Badan Pengusahaan KPBPB menyampaikan notifikasi ke Sistem OSS berupa memenuhi persyaratan atau tidak memenuhi persyaratan. |
(8) | Dalam melakukan verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6), Administrator KEK atau Badan Pengusahaan KPBPB dapat bekerja sama dengan kementerian/lembaga, perangkat daerah provinsi, perangkat daerah kabupaten/kota, atau lembaga atau profesi ahli yang bersertifikat atau terakreditasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Dalam hal berdasarkan notifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 196 ayat (7) dinyatakan memenuhi persyaratan, Sistem OSS mencantumkan keterangan bahwa Sertifikat Standar telah diverifikasi. |
(2) | Pelaku Usaha dapat mencetak Sertifikat Standar yang telah mencantumkan keterangan telah diverifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
(1) | Dalam hal berdasarkan notifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 196 ayat (7) dinyatakan Pelaku Usaha tidak memenuhi persyaratan, Sistem OSS menyampaikan kepada Pelaku Usaha untuk melakukan pemenuhan persyaratan Sertifikat Standar dalam jangka waktu yang telah ditetapkan dalam norma, standar, prosedur, dan kriteria. |
(2) | Pelaku Usaha menyampaikan permohonan melalui Sistem OSS untuk dilakukan verifikasi kembali setelah melakukan pemenuhan persyaratan Sertifikat Standar. |
(3) | Dalam melakukan verifikasi kembali, ketentuan verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 196 ayat (5), ayat (6), ayat (7), ayat (8), dan Pasal 197 berlaku secara mutatis mutandis. |
(4) | Dalam hal berdasarkan verifikasi kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), Pelaku Usaha tetap tidak memenuhi persyaratan Sertifikat Standar dalam jangka waktu yang ditetapkan dalam norma, standar, prosedur, dan kriteria, Sistem OSS membatalkan Sertifikat Standar yang belum diverifikasi. |
(1) | Dalam hal kementerian/lembaga, perangkat daerah provinsi, perangkat daerah kabupaten/kota, Administrator KEK, atau Badan Pengusahaan KPBPB sesuai kewenangan masing-masing tidak memberikan notifikasi hasil verifikasi kepada Sistem OSS, Sistem OSS secara otomatis mencantumkan keterangan bahwa Sertifikat Standar telah terverifikasi. |
(2) | Pelaku Usaha dapat mencetak Sertifikat Standar yang telah mencantumkan keterangan telah terverifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
(1) | Dalam hal kegiatan usaha dengan tingkat Risiko menengah rendah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 195 ayat (1) dan Risiko menengah tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 196 ayat (1) memerlukan standardisasi produk, Pelaku Usaha menyampaikan pemenuhan standar produk melalui Sistem OSS. |
(2) | Lembaga OSS meneruskan pemenuhan standar produk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada kementerian/lembaga sesuai kewenangan masing-masing untuk dilakukan verifikasi. |
(3) | Kementerian/lembaga sesuai kewenangan masing-masing melakukan verifikasi atas pemenuhan sertifikasi standar produk sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam jangka waktu sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan untuk dinotifikasi ke Sistem OSS. |
(4) | Kementerian/lembaga dalam melakukan verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat bekerja sama dengan lembaga atau profesi ahli yang bersertifikat atau terakreditasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(5) | Dalam hal pemenuhan sertifikasi standar produk yang disampaikan oleh Pelaku Usaha disetujui, kementerian/lembaga menyampaikan persetujuan sertifikasi standar produk kepada Pelaku Usaha melalui Sistem OSS. |
(6) | Dalam hal pemenuhan sertifikasi standar produk yang disampaikan oleh Pelaku Usaha ditolak atau diminta melengkapi pemenuhan persyaratan, kementerian/lembaga menyampaikan kepada Pelaku Usaha melalui Sistem OSS. |
Paragraf 11
Penerbitan Perizinan Berusaha Risiko Tinggi
Pasal 201
(1) | Sebelum melakukan kegiatan usaha yang termasuk ke dalam tingkat Risiko tinggi, Pelaku Usaha wajib memiliki NIB yang diterbitkan melalui Sistem OSS. |
(2) | Setelah memiliki NIB, Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi persyaratan Izin sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria sebelum melaksanakan kegiatan operasional dan/atau komersial. |
(3) | Persyaratan Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi pula analisis mengenai dampak lingkungan bagi kegiatan usaha yang wajib analisis mengenai dampak lingkungan. |
(4) | Pemenuhan persyaratan Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan oleh Pelaku Usaha melalui Sistem OSS. |
(5) | Pemenuhan persyaratan Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diteruskan Sistem OSS kepada kementerian/lembaga, DPMPTSP provinsi, DPMPTSP kabupaten/kota, Administrator KEK, atau Badan Pengusahaan KPBPB sesuai kewenangan masing-masing untuk dilakukan verifikasi. |
(6) | Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5), dilakukan oleh kementerian/lembaga, perangkat daerah provinsi, perangkat daerah kabupaten/kota, Administrator KEK, atau Badan Pengusahaan KPBPB sesuai kewenangan masing-masing dalam jangka waktu sesuai norma, standar, prosedur, dan kriteria. |
(7) | Berdasarkan hasil verifikasi, kementerian/lembaga, perangkat daerah provinsi, perangkat daerah kabupaten/kota, Administrator KEK, atau Badan Pengusahaan KPBPB menyampaikan notifikasi kepada Sistem OSS berupa memenuhi persyaratan atau tidak memenuhi persyaratan. |
(8) | Dalam melakukan verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6), Administrator KEK atau Badan Pengusahaan KPBPB dapat bekerja sama dengan kementerian/lembaga, perangkat daerah provinsi, perangkat daerah kabupaten/kota, atau lembaga atau profesi ahli yang bersertifikat atau terakreditasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
Dalam hal berdasarkan notifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 201 ayat (7) Pelaku Usaha dinyatakan memenuhi persyaratan, Sistem OSS menerbitkan Izin kepada Pelaku Usaha.
Dalam hal berdasarkan notifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 201 ayat (7) Pelaku Usaha dinyatakan tidak memenuhi persyaratan, Sistem OSS menyampaikan kepada Pelaku Usaha untuk memenuhi kelengkapan pemenuhan persyaratan Izin melalui Sistem OSS.
Dalam hal kementerian/lembaga, perangkat daerah provinsi, perangkat daerah kabupaten/kota, Administrator KEK, atau Badan Pengusahaan KPBPB sesuai kewenangan masing-masing tidak memberikan notifikasi hasil verifikasi kepada Sistem OSS, Sistem OSS menerbitkan Izin.
(1) | Dalam hal kegiatan usaha berisiko tinggi memerlukan pemenuhan standar kegiatan usaha dan/atau standar produk, Pelaku Usaha menyampaikan pemenuhan standar kegiatan usaha dan/atau standar produk melalui Sistem OSS sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria. | ||||
(2) | Sistem OSS meneruskan:
|
(1) | Kementerian/lembaga, DPMPTSP provinsi, DPMPTSP kabupaten/kota, Administrator KEK, dan Badan Pengusahaan KPBPB sesuai kewenangan masing-masing melakukan verifikasi atas pemenuhan standar kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 205 ayat (2) huruf a dalam jangka waktu sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria untuk dinotifikasi ke Sistem OSS. |
(2) | Dalam hal pemenuhan standar kegiatan usaha yang disampaikan oleh Pelaku Usaha disetujui, kementerian/lembaga, DPMPTSP provinsi, DPMPTSP kabupaten/kota, Administrator KEK, dan Badan Pengusahaan KPBPB sesuai kewenangan masing-masing menyampaikan notifikasi persetujuan kepada Pelaku Usaha melalui Sistem OSS. |
(3) | Dalam hal pemenuhan sertifikasi standar kegiatan usaha yang disampaikan oleh Pelaku Usaha ditolak, kementerian/lembaga, DPMPTSP provinsi, DPMPTSP kabupaten/kota, Administrator KEK, dan Badan Pengusahaan KPBPB sesuai kewenangan masing-masing menyampaikan notifikasi penolakan kepada Pelaku Usaha melalui Sistem OSS. |
(1) | Kementerian/lembaga sesuai kewenangan masing-masing melakukan verifikasi atas pemenuhan sertifikasi standar produk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 205 ayat (2) huruf b dalam jangka waktu sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan untuk dinotifikasi ke Sistem OSS. |
(2) | Dalam hal pemenuhan sertifikasi standar produk yang disampaikan oleh Pelaku Usaha disetujui, kementerian/lembaga menyampaikan persetujuan sertifikasi standar produk kepada Pelaku Usaha melalui Sistem OSS. |
(3) | Dalam hal pemenuhan sertifikasi standar produk yang disampaikan oleh Pelaku Usaha ditolak, kementerian/lembaga menyampaikan penolakan sertifikasi standar produk kepada Pelaku Usaha melalui Sistem OSS. |
Paragraf 12
Percepatan Penerbitan Izin
Pasal 208
(1) | Bagi kegiatan usaha yang termasuk ke dalam Risiko tinggi yang:
|
||||
(2) | Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai Perizinan Berusaha untuk melakukan kegiatan persiapan dan operasional. | ||||
(3) | Ketentuan pemenuhan persyaratan Izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 201 berlaku secara mutatis mutandis bagi kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kecuali yang termasuk dalam proyek strategis nasional. | ||||
(4) | Dalam hal Pelaku Usaha tidak menyampaikan pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), kementerian/lembaga, DPMPTSP provinsi, DPMPTSP kabupaten/kota, Administrator KEK, atau Badan Pengusahaan KPBPB sesuai kewenangan masing-masing, membatalkan Izin yang telah diterbitkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melalui Sistem OSS. |
Paragraf 13
Penerbitan Perizinan Berusaha dan Kemudahan Perizinan
Berusaha untuk UMK
Pasal 209
(1) | UMK diberikan kemudahan Perizinan Berusaha melalui perizinan tunggal. |
(2) | Kriteria UMK mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan koperasi dan UMK-M. |
(1) | Dalam hal kegiatan usaha yang dilakukan oleh UMK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 209 memiliki Risiko rendah, pelaku UMK mendapatkan NIB melalui Sistem OSS, sebagai identitas dan legalitas usaha. |
(2) | Dalam hal kegiatan usaha memiliki Risiko menengah atau tinggi, selain NIB pelaku UMK wajib memiliki Sertifikat Standar dan/atau Izin. |
(3) | Pelaku UMK sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menyampaikan permohonan untuk memperoleh Sertifikat Standar dan/atau Izin melalui Sistem OSS. |
(4) | Sistem OSS meneruskan permohonan pelaku UMK sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah provinsi, Pemerintah Daerah kabupaten/kota, Administrator KEK, dan Badan Pengusahaan KPBPB. |
(5) | Ketentuan mengenai pemberian Sertifikat Standar dan/atau Izin bagi pelaku UMK mengikuti ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 195, Pasal 196, dan Pasal 201 berlaku secara mutatis mutandis. |
Bagian Keempat
Subsistem Pengawasan
Pasal 211
(1) | Subsistem Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 167 ayat (2) huruf c digunakan sebagai sarana untuk melaksanakan Pengawasan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko. | ||||||||||||||
(2) | Subsistem Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:
|
||||||||||||||
(3) | Perangkat kerja Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c terdiri dari:
|
||||||||||||||
(4) | Subsistem Pengawasan dapat diakses dan ditindaklanjuti oleh:
|
Bagian Kelima
Pencabutan NIB
Pasal 212
(1) | NIB berlaku selama Pelaku Usaha menjalankan kegiatan usaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. | ||||||||||
(2) | NIB dicabut dan dinyatakan tidak berlaku dalam hal:
|
||||||||||
(3) | Permohonan pencabutan NIB sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b disampaikan oleh kementerian/lembaga, DPMPTSP provinsi, DPMPTSP kabupaten/kota, Administrator KEK, dan/atau Badan Pengusahaan KPBPB atas hasil pemeriksaan kemudian (post-audit), melalui notifikasi kepada Lembaga OSS. | ||||||||||
(4) | Pencabutan NIB sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dilakukan oleh Lembaga OSS. | ||||||||||
(5) | Permohonan pencabutan NIB sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d dilakukan oleh likuidator melalui notifikasi kepada Lembaga OSS. | ||||||||||
(6) | Pencabutan NIB sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e dilakukan oleh Lembaga OSS berdasarkan surat/keterangan/informasi tertulis dari aparat penegak hukum atau lembaga peradilan. | ||||||||||
(7) | Atas notifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (5) atau surat/keterangan/informasi tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Lembaga OSS menerbitkan keputusan pencabutan NIB. |
BAB V
TATA CARA PENGAWASAN PERIZINAN BERUSAHA
BERBASIS RISIKO
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 213
(1) | Pengawasan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Administrator KEK, dan/atau Badan Pengusahaan KPBPB sesuai dengan kewenangan masing-masing. | ||||||||||
(2) | Pengawasan dilakukan dengan mempertimbangkan tingkat kepatuhan Pelaku Usaha. | ||||||||||
(3) | Indikator dalam Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
(1) | Pengawasan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 213 ayat (1) dilaksanakan oleh kementerian/lembaga sesuai dengan:
|
||||
(2) | Pengawasan yang menjadi kewenangan Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 213 ayat (1) dilaksanakan oleh gubernur dan/atau bupati/wali kota sesuai dengan kewenangan masing-masing. | ||||
(3) | Dalam hal kegiatan usaha dilakukan di wilayah KEK atau KPBPB, Pengawasan dilakukan oleh Administrator KEK atau Badan Pengusahaan KPBPB. |
(1) | Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 214 dilakukan secara terintegrasi dan terkoordinasi antarkementerian/lembaga, Pemerintah Daerah provinsi, Pemerintah Daerah kabupaten/kota, Administrator KEK, dan/atau Badan Pengusahaan KPBPB. |
(2) | Untuk melakukan Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan perencanaan Pengawasan. |
(3) | Perencanaan Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencakup penyusunan waktu dalam pelaksanaan Pengawasan, anggaran, dan sumber daya manusia pelaksana Pengawasan. |
(4) | Kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah provinsi, Pemerintah Daerah kabupaten/kota, Administrator KEK, dan/atau Badan Pengusahaan KPBPB dilarang melakukan Pengawasan di luar perencanaan Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3). |
Pelaksanaan Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 213 dikoordinasikan oleh:
a. | lembaga pemerintah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang koordinasi Penanaman Modal, atas pelaksanaan penerbitan Perizinan Berusaha melalui Sistem OSS; |
b. | DPMPTSP provinsi, atas pelaksanaan Perizinan Berusaha yang menjadi kewenangan Pemerintah Daerah provinsi; |
c. | DPMPTSP kabupaten/kota, atas pelaksanaan Perizinan Berusaha yang menjadi kewenangan Pemerintah Daerah kabupaten/kota; |
d. | Administrator KEK, atas pelaksanaan Pengawasan Perizinan Berusaha yang berlokasi di KEK; dan |
e. | Badan Pengusahaan KPBPB, atas pelaksanaan Pengawasan yang berlokasi di KPBPB. |
Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 213 dilakukan dengan tujuan untuk:
a. | memastikan kepatuhan pemenuhan persyaratan dan kewajiban oleh Pelaku Usaha; |
b. | mengumpulkan data, bukti, dan/atau laporan terjadinya bahaya terhadap keselamatan, kesehatan, lingkungan hidup, dan/atau bahaya lainnya yang dapat ditimbulkan dari pelaksanaan kegiatan usaha; dan |
c. | rujukan pembinaan atau pengenaan sanksi administratif terhadap pelanggaran Perizinan Berusaha. |
Bagian Kedua
Jenis Pengawasan
Paragraf 1
Umum
Pasal 218
Jenis Pengawasan terdiri dari:
a. | Pengawasan rutin; dan |
b. | Pengawasan insidental. |
Paragraf 2
Pengawasan Rutin
Pasal 219
Pengawasan rutin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 218 huruf a dilakukan secara berkala berdasarkan tingkat Risiko kegiatan usaha dan mempertimbangkan tingkat kepatuhan Pelaku Usaha.
Pengawasan rutin dilakukan melalui:
a. | laporan Pelaku Usaha; dan |
b. | inspeksi lapangan. |
(1) | Pengawasan rutin melalui laporan Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 220 huruf a dilakukan atas laporan yang disampaikan oleh Pelaku Usaha kepada kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah provinsi, Pemerintah Daerah kabupaten/kota, Administrator KEK, dan/atau Badan Pengusahaan KPBPB yang memuat kepatuhan Pelaku Usaha terhadap:
|
||||
(2) | Laporan perkembangan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b memuat:
|
(1) | Pengawasan rutin melalui inspeksi lapangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 220 huruf b dilakukan oleh kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah provinsi, Pemerintah Daerah kabupaten/kota, Administrator KEK, dan/atau Badan Pengusahaan KPBPB dalam bentuk kunjungan fisik atau melalui virtual. | ||||||
(2) | Inspeksi lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
||||||
(3) | Pelaksana inspeksi lapangan wajib dilengkapi dengan surat tugas dari kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah provinsi, Pemerintah Daerah kabupaten/kota, Administrator KEK, dan/atau Badan Pengusahaan KPBPB. | ||||||
(4) | Inspeksi lapangan oleh pelaksana Pengawasan dilakukan paling banyak:
|
||||||
(5) | Dalam hal berdasarkan hasil penilaian atas Pengawasan rutin yang telah dilakukan sebelumnya Pelaku Usaha dinilai patuh, inspeksi lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4):
|
(1) | Hasil inspeksi lapangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 222 dituangkan dalam berita acara pemeriksaan dan ditandatangani oleh pelaksana inspeksi lapangan dan Pelaku Usaha. |
(2) | Berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilengkapi dengan kesimpulan hasil inspeksi lapangan. |
(3) | Pengisian dan penandatanganan berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara elektronik pada Sistem OSS atau secara manual oleh pelaksana inspeksi lapangan dan Pelaku Usaha. |
(4) | Dalam hal pengisian dan penandatanganan berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara elektronik pada Sistem OSS, hasil inspeksi lapangan dilaporkan dengan mengisi formulir elektronik yang memuat kesimpulan hasil inspeksi lapangan oleh pelaksana inspeksi lapangan. |
(5) | Dalam hal pengisian dan penandatanganan berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara manual, hasil inspeksi lapangan dilaporkan dengan mengisi formulir elektronik yang memuat kesimpulan hasil inspeksi lapangan pada Sistem OSS dan diunggah ke Sistem OSS oleh pelaksana inspeksi lapangan paling lambat 3 (tiga) Hari setelah penandatanganan berita acara. |
Paragraf 3
Pengawasan Insidental
Pasal 224
(1) | Pengawasan insidental sebagaimana dimaksud dalam Pasal 218 huruf b merupakan Pengawasan yang dilakukan oleh kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah provinsi, Pemerintah Daerah kabupaten/kota, Administrator KEK, dan/atau Badan Pengusahaan KPBPB pada waktu tertentu. | ||||||||
(2) | Pengawasan insidental dapat dilakukan melalui inspeksi lapangan atau secara virtual. | ||||||||
(3) | Pengawasan insidental sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan pengaduan dari masyarakat dan/atau Pelaku Usaha yang dijamin kerahasiaan identitasnya oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. | ||||||||
(4) | Pengaduan dari masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib disampaikan secara benar dan dapat dipertanggungjawabkan. | ||||||||
(5) | Penyampaian pengaduan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan secara:
|
||||||||
(6) | Lembaga OSS menyusun prosedur pengelolaan pengaduan masyarakat secara elektronik melalui Sistem OSS sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b angka 2. | ||||||||
(7) | Kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah provinsi, Pemerintah Daerah kabupaten/kota, Administrator KEK, dan/atau Badan Pengusahaan KPBPB menindaklanjuti pengaduan masyarakat secara sendiri atau bersama dengan kementerian/lembaga lainnya dan/atau Pemerintah Daerah. | ||||||||
(8) | Pelaksana inspeksi lapangan wajib dilengkapi dengan surat tugas dari kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah provinsi, Pemerintah Daerah kabupaten/kota, Administrator KEK, dan/atau Badan Pengusahaan KPBPB. | ||||||||
(9) | Hasil Pengawasan insidental wajib diunggah ke Sistem OSS oleh penanggung jawab pelaksana inspeksi lapangan. |
Paragraf 4
Penilaian Hasil Pengawasan
Pasal 225
(1) | Kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah provinsi, Pemerintah Daerah kabupaten/kota, Administrator KEK, dan/atau Badan Pengusahaan KPBPB sesuai kewenangan masing-masing melakukan penilaian hasil Pengawasan. | ||||||
(2) | Penilaian hasil Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diolah berdasarkan indikator dalam Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 213. | ||||||
(3) | Pengolahan data sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan untuk menentukan tingkat kepatuhan Pelaku Usaha dan untuk mengevaluasi Perizinan Berusaha Berbasis Risiko. | ||||||
(4) | Berdasarkan penilaian hasil Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah provinsi, Pemerintah Daerah kabupaten/kota, Administrator KEK, dan/atau Badan Pengusahaan KPBPB menyampaikan laporan penilaian hasil Pengawasan secara elektronik kepada Sistem OSS. | ||||||
(5) | Berdasarkan laporan penilaian hasil Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Sistem OSS melakukan:
|
||||||
(6) | Pelaku Usaha dapat mengakses atau memperoleh informasi terkait penyesuaian intensitas inspeksi lapangan pada Pengawasan rutin dan pembaharuan profil Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b dan huruf c pada Sistem OSS. |
Pengolahan data dan/atau informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 225 ayat (5) huruf a dilakukan terintegrasi secara elektronik dengan mengedepankan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan berbagi data (data sharing).
Bagian Ketiga
Kemudahan Pengawasan Perizinan Berusaha Untuk UMK
Pasal 227
(1) | Kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah provinsi, dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota memberikan kemudahan Pengawasan kegiatan usaha kepada pelaku UMK. | ||||||||||
(2) | Kemudahan Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
|
Bagian Keempat
Pelaksana Pengawasan
Pasal 228
(1) | Dalam Pengawasan rutin melalui laporan Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 220 huruf a, pelaksana Pengawasan mempunyai tugas:
|
||||||||||||
(2) | Dalam melakukan inspeksi lapangan terhadap Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 220 huruf b, pelaksana Pengawasan mempunyai tugas:
|
||||||||||||
(3) | Dalam melakukan inspeksi lapangan terhadap Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 220 huruf b, pelaksana Pengawasan mempunyai wewenang:
|
||||||||||||
(4) | Dalam hal pelaksanaan Pengawasan ditemukan pelanggaran yang dilakukan Pelaku Usaha, pelaksana Pengawasan dapat menghentikan pelanggaran tersebut untuk mencegah terjadinya dampak lebih besar. |
(1) | Pengawasan terhadap pelaksanaan pemenuhan standar yang bersifat teknis dan memerlukan kompetensi khusus tertentu dapat dilakukan melalui kerja sama dengan lembaga atau profesi ahli yang bersertifikat atau terakreditasi sebagai pelaksana Pengawasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(2) | Dalam hal Pengawasan bekerja sama dengan lembaga atau profesi ahli yang bersertifikat atau terakreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), keterlibatan lembaga atau profesi bersertifikat dimasukkan ke dalam perencanaan Pengawasan. |
(3) | Dalam hal berdasarkan Pengawasan ditemukan pelanggaran yang dilakukan Pelaku Usaha, lembaga atau profesi ahli yang bersertifikat atau terakreditasi melaporkan kepada kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah provinsi, Pemerintah Daerah kabupaten/kota, Administrator KEK, dan/atau Badan Pengusahaan KPBPB yang menugaskan dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) Hari sejak lembaga atau profesi ahli yang bersertifikat atau terakreditasi menemukan pelanggaran yang dilakukan oleh Pelaku Usaha. |
(4) | Kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah provinsi, Pemerintah Daerah kabupaten/kota, Administrator KEK, dan/atau Badan Pengusahaan KPBPB melakukan penghentian pelanggaran untuk mencegah dampak yang lebih besar dalam jangka waktu paling lambat 1 (satu) Hari setelah menerima laporan lembaga atau profesi ahli yang bersertifikat atau terakreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3). |
(1) | Pelaksana Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 228 harus memiliki kompetensi yang mencakup kemampuan, kecakapan, dan pengetahuan atas standar pelaksanaan kegiatan usaha. |
(2) | Kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah provinsi, Pemerintah Daerah kabupaten/kota, Administrator KEK, dan/atau Badan Pengusahaan KPBPB melakukan peningkatan kompetensi pelaksana Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk mengembangkan kemampuan, kecakapan, dan pengetahuan yang dilakukan secara berkelanjutan. |
Bagian Kelima
Partisipasi Masyarakat dan Pelaku Usaha
Dalam Pengawasan
Pasal 231
(1) | Masyarakat dapat berperan serta dalam penyelenggaraan Pengawasan. | ||||
(2) | Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
Pelaku Usaha dapat melakukan pengaduan terhadap pelaksana Pengawasan yang tidak menjalankan Pengawasan sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah ini.
Pelaksana Pengawasan yang tidak menjalankan Pengawasan sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah ini diberikan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Setiap orang yang menghalangi kegiatan Pengawasan dikenai sanksi administratif dan/atau pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Keenam
Pengawasan Sektor
Paragraf 1
Sektor Kelautan dan Perikanan
Pasal 235
(1) | Pengawasan terhadap Perizinan Berusaha di sektor kelautan dan perikanan dilakukan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan, gubernur, bupati/wali kota, Administrator KEK, atau kepala Badan Pengusahaan KPBPB sesuai kewenangan masing-masing berdasarkan Peraturan Pemerintah ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan. | ||||
(2) | Kewenangan Pengawasan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh:
|
Paragraf 2
Sektor Pertanian
Pasal 236
(1) | Pengawasan terhadap Perizinan Berusaha di sektor pertanian dilakukan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanian, gubernur, bupati/wali kota, Administrator KEK, atau kepala Badan Pengusahaan KPBPB sesuai kewenangan masing-masing berdasarkan Peraturan Pemerintah ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan | ||||||||||||||||
(2) | Laporan Pelaku Usaha untuk Perizinan Berusaha subsektor perkebunan yang ditetapkan berdasarkan analisis Risiko pada kegiatan usaha:
|
||||||||||||||||
(3) | Laporan Pelaku Usaha untuk Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha subsektor perkebunan meliputi:
|
(1) | Laporan perkembangan usaha untuk Perizinan Berusaha subsektor perkebunan yang ditetapkan berdasarkan analisis Risiko pada kegiatan usaha:
|
||||
(2) | Laporan perkembangan usaha untuk kegiatan usaha produksi benih perkebunan, memuat rencana kerja produksi benih dan rencana pengembangan usaha produksi benih perkebunan. |
(1) | Inspeksi lapangan untuk Perizinan Berusaha subsektor perkebunan yang ditetapkan berdasarkan analisis Risiko pada kegiatan usaha:
|
||||||||||||
(2) | Inspeksi lapangan untuk Perizinan Berusaha subsektor perkebunan yang ditetapkan berdasarkan analisis Risiko pada kegiatan usaha:
|
||||||||||||
(3) | Inspeksi lapangan untuk Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha subsektor perkebunan yang meliputi:
|
(1) | Laporan Pelaku Usaha untuk Perizinan Berusaha subsektor tanaman pangan yang ditetapkan berdasarkan analisis Risiko pada kegiatan usaha:
|
||||||||||||||||
(2) | Laporan Pelaku Usaha untuk Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha subsektor tanaman pangan meliputi:
|
Laporan perkembangan usaha subsektor tanaman pangan memuat laporan penggunaan bahan baku dan laporan proses produksi dan pemasaran.
(1) | Inspeksi lapangan untuk Perizinan Berusaha subsektor tanaman pangan yang ditetapkan berdasarkan analisis Risiko pada kegiatan usaha:
|
||||||||||||||||
(2) | Inspeksi lapangan untuk Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha subsektor tanaman pangan yang meliputi:
|
(1) | Laporan Pelaku Usaha untuk Perizinan Berusaha subsektor hortikultura yang ditetapkan berdasarkan analisis Risiko pada kegiatan usaha:
|
||||||
(2) | Laporan Pelaku Usaha untuk Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha subsektor hortikultura meliputi:
|
Laporan perkembangan usaha untuk Perizinan Berusaha subsektor hortikultura yang ditetapkan berdasarkan analisis Risiko pada kegiatan usaha:
a. | budidaya; dan |
b. | perbenihan hortikultura, |
memuat rencana kerja produksi dan rencana pengembangan usaha hortikultura.
(1) | Inspeksi lapangan untuk Perizinan Berusaha subsektor hortikultura dilakukan setiap 6 (enam) bulan. | ||||||
(2) | Inspeksi lapangan untuk kegiatan usaha subsektor hortikultura sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi UMK-M dilakukan setiap 1 (satu) tahun. | ||||||
(3) | Inspeksi lapangan untuk Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha subsektor hortikultura yang meliputi:
|
(1) | Laporan Pelaku Usaha untuk Perizinan Berusaha subsektor peternakan dan kesehatan hewan yang ditetapkan berdasarkan analisis Risiko pada kegiatan usaha disampaikan setiap 6 (enam) bulan sekali. |
(2) | Laporan Pelaku Usaha untuk Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha subsektor peternakan dan kesehatan hewan disampaikan setiap 3 (tiga) bulan sekali. |
Laporan perkembangan usaha untuk Perizinan Berusaha subsektor peternakan dan kesehatan hewan yang ditetapkan berdasarkan analisis Risiko pada kegiatan usaha:
a. | peternakan meliputi:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
b. | hijauan pakan ternak meliputi:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
c. | rumah potong hewan meliputi:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
d. | penanganan daging dan hasil ikutannya meliputi:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
e. | veteriner meliputi:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
f. | obat hewan meliputi:
|
Laporan perkembangan usaha untuk Perizinan Berusaha subsektor peternakan dan kesehatan hewan disampaikan oleh Pelaku Usaha setiap:
a. | 1 (satu) bulan untuk kegiatan usaha hijauan pakan ternak, rumah potong hewan, penanganan daging dan hasil ikutannya, dan veteriner; atau |
b. | 3 (tiga) bulan untuk kegiatan usaha peternakan dan obat hewan. |
Laporan perkembangan usaha untuk Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha subsektor peternakan dan kesehatan hewan sesuai karakteristiknya terdiri atas:
a. | laporan realisasi pemasukan dan/atau pengeluaran; |
b. | laporan distribusi; |
c. | laporan pelaksanaan usaha; |
d. | laporan dalam hal ditemukan hasil diagnosis penyakit hewan menular strategis yang mengindikasikan wabah dan/atau penyakit hewan menular strategis; dan/atau |
e. | pemenuhan persyaratan teknis. |
Laporan perkembangan usaha untuk Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha subsektor peternakan dan kesehatan hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 248 disampaikan oleh Pelaku Usaha setiap 1 (satu) bulan sekali.
Inspeksi lapangan untuk Perizinan Berusaha subsektor peternakan dan kesehatan hewan dilakukan setiap 6 (enam) bulan.
(1) | Laporan Pelaku Usaha untuk Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha subsektor ketahanan pangan meliputi:
|
||||||||
(2) | Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun. |
Laporan kepatuhan Pelaku Usaha terhadap standar pelaksanaan kegiatan usaha subsektor ketahanan pangan untuk:
a. | izin surat keterangan keamanan PSAT/health certificate berupa:
|
||||||||
b. | izin rumah pengemasan berupa:
|
||||||||
c. | pendaftaran PSAT-PDUK berupa laporan ketelusuran produk; atau | ||||||||
d. | izin edar PSAT berupa:
|
(1) | Inspeksi lapangan untuk Perizinan Berusaha subsektor ketahanan pangan dapat dilakukan di sepanjang rantai pangan PSAT dengan mempertimbangkan analisis Risiko keamanan pangan. |
(2) | Inspeksi lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan kunjungan fisik ke unit usaha dan/atau melalui virtual. |
(3) | Inspeksi lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan pemeriksaan administrasi dan pemeriksaan teknis atas pemenuhan standar yang dapat disertai dengan pengambilan contoh dan pengujian. |
(4) | Inspeksi lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dilakukan kepada pemegang Perizinan Berusaha/Pelaku Usaha mikro harus disertai dengan pembinaan dan pendampingan pemenuhan standar. |
(5) | Inspeksi lapangan dilakukan dengan mempertimbangkan kepatuhan pemegang Perizinan Berusaha/Pelaku Usaha dan analisis Risiko keamanan pangan atau dilakukan 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun. |
(1) | Pengawasan Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha subsektor ketahanan pangan dilakukan oleh pengawas mutu hasil pertanian. |
(2) | Dalam hal pengawas mutu hasil pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum tersedia atau memadai, Pengawasan dapat dilakukan oleh pengawas lain. |
(3) | Pengawas lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi persyaratan telah mengikuti pelatihan di bidang keamanan dan mutu PSAT atau pelatihan lain yang terkait. |
Laporan Pelaku Usaha untuk Perizinan Berusaha subsektor sarana pertanian yang meliputi:
a. | pendaftaran pupuk; dan |
b. | pendaftaran pestisida, |
disampaikan setiap 6 (enam) bulan sekali.
Laporan perkembangan usaha untuk Perizinan Berusaha subsektor sarana pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 255 memuat:
a. | jumlah produksi serta penyaluran pupuk dan pestisida; |
b. | jumlah impor bahan aktif dan formulasi; dan |
c. | perkembangan Izin/nomor pendaftaran. |
Laporan kepatuhan terhadap standar serta informasi lain yang berkaitan dengan kegiatan usaha subsektor sarana pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 255 memuat kesesuaian antara label dengan mutu pupuk dan pestisida yang beredar
Inspeksi lapangan untuk Perizinan Berusaha subsektor sarana pertanian dilakukan pada kegiatan usaha pupuk dan pestisida berdasarkan tingkat Risiko dan tingkat kepatuhan Pelaku Usaha.
Laporan kepatuhan Pelaku Usaha terhadap standar pelaksanaan usaha untuk:
a. | Perizinan Berusaha yang ditetapkan berdasarkan analisis Risiko pada kegiatan usaha; dan |
b. | Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha, |
memuat pemenuhan kewajiban dan/atau persyaratan Perizinan Berusaha sektor pertanian sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.
Ketentuan mengenai kompetensi dan peningkatan kapasitas pengawas pada sektor pertanian diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanian.
Paragraf 3
Sektor Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Pasal 261
Pengawasan terhadap Perizinan Berusaha di sektor lingkungan hidup dan kehutanan dilakukan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup dan kehutanan, gubernur, bupati/wali kota, Administrator KEK, atau kepala Badan Pengusahaan KPBPB sesuai kewenangan masing-masing berdasarkan Peraturan Pemerintah ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Paragraf 4
Sektor Energi dan Sumber Daya Mineral
Pasal 262
(1) | Tanggung jawab kegiatan Pengawasan atas pelaksanaan kegiatan usaha minyak dan gas bumi terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan berada pada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral. |
(2) | Dalam melaksanakan Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral dapat menugaskan Pemerintah Daerah untuk melaksanakan Pengawasan berdasarkan asas tugas pembantuan. |
(3) | Penugasan kepada Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral. |
(1) | Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral melaksanakan Pengawasan atas kegiatan usaha hulu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan kontrak keda sama. |
(2) | Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral melaksanakan Pengawasan atas kegiatan survei umum, kegiatan usaha hilir, dan kegiatan penunjang usaha minyak dan gas bumi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Pengawasan terhadap Perizinan Berusaha di subsektor ketenagalistrikan dilakukan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral, gubernur, Administrator KEK, atau kepala Badan Pengusahaan KPBPB sesuai kewenangan masing-masing berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(2) | Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibantu oleh inspektur ketenagalistrikan. |
Pengawasan terhadap Perizinan Berusaha di subsektor mineral dan batubara dilakukan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral, dan/atau gubernur sesuai kewenangan masing-masing berdasarkan Peraturan Pemerintah ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pengawasan terhadap Perizinan Berusaha di subsektor energi baru, terbarukan, dan konservasi energi dilakukan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral, gubernur, bupati/wali kota, Administrator KEK, atau kepala Badan Pengusahaan KPBPB sesuai kewenangan masing-masing berdasarkan Peraturan Pemerintah ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(1) | Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral, gubernur, bupati/wali kota, Administrator KEK, atau kepala Badan Pengusahaan KPBPB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 266 dalam melakukan Pengawasan dapat berkoordinasi dengan instansi terkait sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(2) | Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyampaikan laporan tahunan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral dalam melaksanakan Pengawasan di provinsi. |
(3) | Bupati/wali kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 266 menyampaikan laporan tahunan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral dalam melaksanakan pembinaan dan Pengawasan di kabupaten/kota dengan tembusan kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat. |
(1) | Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral melakukan pembinaan dan Pengawasan teknis terhadap. penyelenggaraan pengusahaan panas bumi untuk pemanfaatan langsung yang dilaksanakan oleh pemerintah provinsi. |
(2) | Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat melakukan pembinaan dan Pengawasan terhadap penyelenggaraan pengusahaan panas bumi untuk pemanfaatan langsung yang dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota. |
Paragraf 5
Sektor Ketenaganukliran
Pasal 269
(1) | Pengawasan terhadap Perizinan Berusaha di sektor ketenaganukliran dilakukan oleh kepala lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran berdasarkan Peraturan Pemerintah ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan. | ||||
(2) | Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan:
|
||||
(3) | Pengawasan selama proses penilaian kesesuaian Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan dalam bentuk verifikasi lapangan. | ||||
(4) | Pengawasan selama masa berlaku Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilakukan dalam bentuk surveilans. |
(1) | Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 269 ayat (2) dilakukan oleh inspektur keselamatan nuklir. |
(2) | Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara rutin atau insidental. |
(1) | Pengawasan rutin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 270 ayat (2) dilakukan sebanyak 1 (satu) kali dalam 1 (satu) kali masa berlaku Perizinan Berusaha. | ||||||
(2) | Pengawasan insidental sebagaimana dimaksud dalam Pasal 270 ayat (2) dilakukan dalam hal:
|
||||||
(3) | Pelaku Usaha wajib menindaklanjuti hasil Pengawasan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender terhitung sejak laporan hasil Pengawasan diterima. |
Paragraf 6
Sektor Perindustrian
Pasal 272
Pengawasan terhadap Perizinan Berusaha di sektor perindustrian dilakukan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian, gubernur, bupati/wali kota, Administrator KEK, atau kepala Badan Pengusahaan KPBPB sesuai kewenangan masing-masing berdasarkan Peraturan Pemerintah ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Paragraf 7
Sektor Perdagangan
Pasal 273
Pengawasan terhadap Perizinan Berusaha di sektor perdagangan dilakukan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan, gubernur, bupati/wali kota, Administrator KEK, atau kepala Badan Pengusahaan KPBPB sesuai kewenangan masing-masing berdasarkan Peraturan Pemerintah ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(1) | Terhadap kegiatan usaha subsektor perdagangan luar negeri khusus untuk kegiatan yang terkait dengan impor terhadap barang tertentu, dilaksanakan Pengawasan kegiatan perdagangan bidang impor setelah melalui kawasan pabean. |
(2) | Tata cara Pengawasan kegiatan perdagangan bidang impor setelah melalui kawasan pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Pengawasan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
Paragraf 8
Sektor Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
Pasal 275
Pengawasan terhadap Perizinan Berusaha di sektor pekerjaan umum dan perumahan rakyat dilakukan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum dan perumahan rakyat, gubernur, bupati/wali kota, Administrator KEK, atau kepala Badan Pengusahaan KPBPB sesuai kewenangan masing-masing berdasarkan Peraturan Pemerintah ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(1) | Pengawasan rutin pada subsektor jasa konstruksi dilakukan berdasarkan laporan kegiatan usaha tahunan dan pencatatan pengalaman badan usaha dan usaha orang perseorangan. | ||||||||||||||||||||||||||
(2) | Laporan kegiatan usaha tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk usaha orang perseorangan dan BUJK kualifikasi kecil meliputi:
|
||||||||||||||||||||||||||
(3) | Laporan kegiatan usaha tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk BUJK kualifikasi menengah, besar, dan BUJK spesialis meliputi:
|
||||||||||||||||||||||||||
(4) | Laporan kegiatan usaha tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk usaha orang perseorangan, BUJK kualifikasi kecil, menengah, besar, dan BUJK spesialis dilengkapi dengan:
|
||||||||||||||||||||||||||
(5) | Laporan kegiatan usaha tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan melalui aplikasi usaha jasa konstruksi sistem informasi jasa konstruksi terintegrasi. | ||||||||||||||||||||||||||
(6) | Pencatatan pengalaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
|
Hasil Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 276 akan mempengaruhi layanan sertifikasi BUJK.
(1) | Pengawasan atas pelaksanaan Perizinan Berusaha untuk menggunakan sumber daya air bertujuan untuk menjamin ditaatinya ketentuan dalam Perizinan Berusaha untuk menggunakan sumber daya air. | ||||||||||
(2) | Pengawasan dilakukan terhadap:
|
||||||||||
(3) | Pengawasan dilakukan oleh balai besar wilayah sungai/balai wilayah sungai atau instansi yang membidangi sumber daya air sesuai dengan kewenangannya dan dapat melibatkan peran masyarakat. | ||||||||||
(4) | Peran masyarakat dalam Pengawasan dapat diwujudkan dalam bentuk pengaduan kepada pemberi Perizinan Berusaha untuk menggunakan sumber daya air dan/atau laporan kepada pihak yang berwenang. | ||||||||||
(5) | Hasil Pengawasan merupakan bahan atau masukan bagi perbaikan, penertiban, dan/atau peningkatan penyelenggaraan Perizinan Berusaha untuk menggunakan sumber daya air. | ||||||||||
(6) | Pemberi Perizinan Berusaha untuk menggunakan sumber daya air wajib menindaklanjuti laporan hasil Pengawasan dalam bentuk peringatan, pemberian sanksi administratif, dan bentuk tindakan lain. |
(1) | Pelaksanaan pekerjaan konstruksi, penggalian, pemasangan, pengembalian konstruksi jalan dan pelaksanaan pekerjaan perbaikan alinyemen vertikal dan horizontal, pelebaran jalur lalu lintas, peninggian ruang batas, peningkatan kemampuan struktur jalan, peningkatan kemampuan struktur jembatan, dan pengaturan lalu lintas, wajib diawasi oleh petugas yang ditunjuk oleh penyelenggara jalan. |
(2) | 1 Pelaksanaan pekerjaan perbaikan alinyemen vertikal dan horizontal, pelebaran jalur lalu lintas, peninggian ruang bebas, peningkatan kemampuan struktur jalan, peningkatan kemampuan struktur jembatan, dan pengaturan lalu lintas dan pelaksanaan penggunaan ruang milik jalan wajib diawasi oleh petugas yang ditunjuk oleh penyelenggara jalan. |
(3) | Hasil pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib diperiksa oleh tim pemeriksa teknis yang dibentuk oleh penyelenggara jalan. |
Paragraf 9
Sektor Transportasi
Pasal 280
Pengawasan terhadap Perizinan Berusaha di sektor transportasi dilakukan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perhubungan, gubernur, bupati/wali kota, Administrator KEK, atau kepala Badan Pengusahaan KPBPB sesuai kewenangan masing-masing berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah ini dan peraturan perundang-undangan.
(1) | Pengawasan terhadap kegiatan usaha di sektor transportasi dilakukan dalam bentuk:
|
||||||||||
(2) | Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan pemeriksaan yang terjadwal, sistematis, dan mendalam terhadap prosedur, fasilitas, personel, dan dokumentasi organisasi penyedia jasa transportasi untuk melihat tingkat kepatuhan terhadap ketentuan dan peraturan. | ||||||||||
(3) | Inspeksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan pemeriksaan sederhana terhadap pemenuhan standar suatu produk akhir objek tertentu oleh penyedia jasa. | ||||||||||
(4) | Pengamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan kegiatan penelusuran yang mendalam atas bagian tertentu dari prosedur, fasilitas, personel, dan dokumentasi organisasi penyedia jasa transportasi dan pemangku kepentingan lainnya untuk melihat tingkat kepatuhan terhadap ketentuan dan peraturan. | ||||||||||
(5) | Pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d merupakan kegiatan evaluasi terhadap data, laporan, dan informasi untuk mengetahui kecenderungan kinerja operasi/pelayanan penyedia jasa transportasi. | ||||||||||
(6) | Uji petik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e merupakan uji coba secara tertutup atau terbuka terhadap upaya kesesuaian dengan simulasi percobaan. |
(1) | Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 281 dilaksanakan secara:
|
||||||
(2) | Pengawasan rutin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan secara terjadwal dan teratur meliputi:
|
||||||
(3) | Pengawasan insidental sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan pada saat terjadinya kejadian atau kecelakaan, laporan masyarakat, dan pada masa puncak angkutan. |
Paragraf 10
Sektor Kesehatan, Obat dan Makanan
Pasal 283
Pengawasan terhadap Perizinan Berusaha di subsektor kesehatan dilakukan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan, gubernur, bupati/wali kota, Administrator KEK, atau kepala Badan Pengusahaan KPBPB sesuai kewenangan masing-masing berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pengawasan berupa inspeksi lapangan dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. | untuk kegiatan usaha sektor kesehatan dengan tingkat Risiko menengah rendah dilakukan 2 (dua) tahun sekali; |
b. | untuk kegiatan usaha sektor kesehatan dengan tingkat Risiko menengah tinggi dilakukan 1 (satu) tahun sekali; dan |
c. | untuk kegiatan usaha sektor kesehatan dengan tingkat Risiko tinggi dilakukan 1 (satu) tahun sekali. |
Pengawasan terhadap Perizinan Berusaha di subsektor obat dan makanan dilakukan oleh kepala lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan, gubernur, bupati/wali kota, Administrator KEK, atau kepala Badan Pengusahaan KPBPB sesuai kewenangan masing-masing berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(1) | Kepala lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan, gubernur, bupati/wali kota, Administrator KEK, atau kepala Badan Pengusahaan KPBPB dalam melaksanakan pengawasan dapat mengangkat tenaga pengawas yang bertugas melakukan Pengawasan sesuai tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing. |
(2) | Pengangkatan tenaga pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Dalam hal Pengawasan obat dan makanan pada fasilitas produksi, distribusi, pengangkutan, pelayanan, dan/atau penyerahan memerlukan klarifikasi dan konfirmasi lebih lanjut, tenaga pengawas berwenang melakukan tindakan pengamanan setempat. | ||||||||
(2) | Tindakan pengamanan setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
||||||||
(3) | Pemilik obat dan makanan bertanggung jawab atas obat dan makanan yang dilakukan tindakan pengamanan setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (2). | ||||||||
(4) | Tindakan pengamanan setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dituangkan dalam berita acara pengamanan setempat. | ||||||||
(5) | Dalam hal hasil pemeriksaan fasilitas produksi, distribusi, pengangkutan, pelayanan, dan/atau penyerahan obat dan makanan menunjukkan adanya dugaan tindak pidana di bidang obat dan makanan, penyidik pegawai negeri sipil melakukan penyidikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. | ||||||||
(6) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tindakan pengamanan setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (5) diatur dengan peraturan kepala lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan. |
Paragraf 11
Sektor Pendidikan dan Kebudayaan
Pasal 288
Pengawasan terhadap Perizinan Berusaha di sektor pendidikan dan kebudayaan dilakukan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan dan kebudayaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pengawasan melalui inspeksi lapangan dilakukan 2 (dua) tahun sekali.
Paragraf 12
Sektor Pariwisata
Pasal 290
Pengawasan terhadap Perizinan Berusaha di sektor pariwisata dilakukan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pariwisata, gubernur, bupati/wali kota, Administrator KEK, atau kepala Badan Pengusahaan KPBPB sesuai kewenangan masing-masing berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Paragraf 13
Sektor Keagamaan
Pasal 291
Pengawasan terhadap Perizinan Berusaha di sektor keagamaan dilakukan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Paragraf 14
Sektor Pos, Telekomunikasi, Penyiaran, dan Sistem dan
Transaksi Elektronik
Pasal 292
Pengawasan terhadap Perizinan Berusaha di sektor komunikasi dan informatika dilakukan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pengawasan atas isi siaran dalam kegiatan usaha penyelenggaraan penyiaran dilaksanakan oleh Komisi Penyiaran Indonesia sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(1) | Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika melakukan monitoring dan evaluasi terhadap kualitas layanan dan/atau produk layanan dari Pelaku Usaha yang mendapatkan Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha penyelenggaraan pos, penyelenggaraan telekomunikasi, dan/atau penyelenggaraan penyiaran sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(2) | Monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui sistem monitoring penyelenggaraan pos, penyelenggaraan telekomunikasi, dan penyelenggaraan penyiaran dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi. |
(3) | Pelaku Usaha yang melakukan kegiatan usaha penyelenggaraan pos, penyelenggaraan telekomunikasi, dan penyelenggaraan penyiaran wajib membuka akses dan memberikan informasi yang diminta untuk kepentingan monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2). |
(4) | Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika dapat mengumumkan hasil monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2). |
(5) | Ketentuan lebih lanjut mengenai monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika. |
(1) | UMK-M dapat memperoleh pendampingan untuk melakukan kegiatan usaha di bidang penyelenggaraan pos, penyelenggaraan telekomunikasi, dan penyelenggaraan penyiaran dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika. | ||||||
(2) | Pendampingan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
|
(1) | Pengawasan terhadap hak labuh satelit dilakukan melalui evaluasi secara berkala daftar satelit asing yang beroperasi di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. |
(2) | Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika. |
(1) | Pengawasan penggunaan spektrum frekuensi radio dilakukan melalui:
|
||||||||
(2) | Pengawasan administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan terhadap pemenuhan kewajiban Perizinan Berusaha sebagaimana tercantum dalam Lampiran II. | ||||||||
(3) | Pengawasan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan melalui kegiatan monitoring spektrum frekuensi radio. | ||||||||
(4) | Kegiatan monitoring spektrum frekuensi radio sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdiri dari:
|
||||||||
(5) | Kegiatan monitoring spektrum frekuensi radio sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan untuk memastikan:
|
Pengawasan terhadap alat dan/atau perangkat telekomunikasi dilaksanakan melalui:
a. | pemeriksaan sertifikat alat dan/atau perangkat telekomunikasi; dan |
b. | pemeriksaan kesesuaian standar teknis alat dan/atau perangkat telekomunikasi yang diperdagangkan dan/atau dipergunakan terhadap sertifikat alat dan/atau perangkat telekomunikasi. |
(1) | Pemeriksaan sertifikat alat dan/atau perangkat telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 298 huruf a yang dibuat, dirakit, dan/atau dimasukkan, untuk diperdagangkan, dan/atau digunakan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika. |
(2) | Dalam hal sertifikat alat dan/atau perangkat telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada di dalam kawasan pabean, pemeriksaan dilaksanakan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara. |
(3) | Dalam hal diperlukan, pemeriksaan sertifikat alat dan/atau perangkat telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melibatkan instansi terkait sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(4) | Selain pemeriksaan sertifikat alat dan/atau perangkat telekomunikasi, pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga dilakukan terhadap pemenuhan kewajiban pemasangan label. |
(5) | Jenis alat dan/atau perangkat telekomunikasi yang dilakukan pemeriksaan di dalam kawasan pabean ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika. |
(1) | Pemeriksaan kesesuaian standar teknis alat dan/atau perangkat telekomunikasi yang diperdagangkan dan/atau dipergunakan terhadap sertifikat alat dan/atau perangkat telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 298 huruf b dilaksanakan dengan pertimbangan antara lain sebagai berikut:
|
||||||||
(2) | Pemeriksaan kesesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan terhadap alat dan/atau perangkat telekomunikasi di sisi pengguna menggunakan metode sampling melalui:
|
||||||||
(3) | Pemeriksaan administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a berupa pemeriksaan terhadap dokumen data teknis, kesesuaian merek dan tipe alat dan/atau perangkat telekomunikasi, dan pemasangan label. | ||||||||
(4) | Pemeriksaan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b berupa pengujian sampel alat dan/atau perangkat telekomunikasi yang dilaksanakan oleh balai pengujian alat dan/atau perangkat telekomunikasi. |
Dalam hal pelaksanaan Pengawasan, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika dapat:
a. | menyusun regulasi, kebijakan, standar, dan/atau panduan penyelenggaraan sertifikasi elektronik dan lembaga sertifikasi penyelenggara sertifikasi elektronik; |
b. | menerima dan melakukan verifikasi dokumen permohonan pengakuan penyelenggaraan sertifikasi elektronik Indonesia; |
c. | memeriksa laporan penilaian kelaikan penyelenggara sertifikasi elektronik dan tanda lulus penyelenggara sertifikasi elektronik yang diterbitkan oleh lembaga sertifikasi penyelenggara sertifikasi elektronik; |
d. | melakukan pencabutan pengakuan penyelenggara sertifikasi elektronik Indonesia; |
e. | mengelola dan mempublikasikan daftar penyelenggara sertifikasi elektronik dan daftar lembaga sertifikasi penyelenggara sertifikasi elektronik; |
f. | melakukan kerja sama dengan pihak lain terkait dengan sertifikat elektronik; |
g. | melakukan mutual recognition dan/atau kerja salna dengan penyelenggara sertifikasi elektronik dari negara lain sebagai wakil dari Indonesia; |
h. | menyelenggarakan operasional fasilitas penyelenggara sertifikasi elektronik induk termasuk namun tidak terbatas pada menerbitkan, mencabut, dan memperpanjang masa berlaku sertifikat elektronik bagi penyelenggara sertifikasi elektronik; |
i. | memeriksa laporan tahunan, laporan sewaktu-waktu, dan/atau laporan insiden penyelenggara sertifikasi elektronik; |
j. | melakukan pemantauan dan evaluasi kepatuhan berdasarkan laporan penilaian kelaikan terhadap penyelenggaraan sertifikasi elektronik; dan |
k. | memberikan sanksi bagi penyelenggara sertifikasi elektronik yang melakukan pelanggaran. |
(1) | Pengawasan terhadap penyelenggara sistem elektronik lingkup privat yang telah terdaftar meliputi:
|
||||||
(2) | Pengawasan terhadap penyelenggara sistem elektronik lingkup privat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara:
|
||||||
(3) | Pengawasan rutin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terhadap penyelenggara sistem elektronik lingkup privat dapat dilakukan dengan:
|
||||||
(4) | Pengawasan insidental sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b terhadap penyelenggara sistem elektronik lingkup privat dapat dilakukan pada waktu tertentu dengan cara:
|
Paragraf 15
Sektor Pertahanan dan Keamanan
Pasal 303
(1) | Pengawasan terhadap Perizinan Berusaha di subsektor industri pertahanan dilakukan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertahanan berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(2) | Kewenangan Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertahanan berkoordinasi dengan menteri/kepala lembaga terkait. |
(3) | Pengawasan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan melalui satuan kerja yang mempunyai tugas dan fungsi terhadap Perizinan Berusaha di subsektor industri pertahanan sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Pengawasan rutin untuk subsektor industri pertahanan mencakup Pengawasan kepatuhan Pelaku Usaha non perseorangan terhadap standar pelaksanaan kegiatan usaha yang meliputi:
|
||||||||
(2) | Pengawasan rutin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk subsektor industri pertahanan dilakukan melalui:
|
||||||||
(3) | Pengawasan rutin sebagaimana pada ayat (2) dilakukan setiap 6 (enam) bulan sekali. |
Pengawasan insidental untuk subsektor industri pertahanan mencakup Pengawasan kepatuhan Pelaku Usaha dan/atau industri pertahanan terhadap standar pelaksanaan kegiatan usaha.
(1) | Pengawasan dilakukan oleh pelaksana Pengawasan yang berasal dari kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertahanan dan kementerian/lembaga sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan. | ||||||||
(2) | Kewenangan pelaksana Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
||||||||
(3) | Kewajiban pelaksana Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
Pengawasan terhadap Perizinan Berusaha pada subsektor keamanan meliputi:
a. | Pengawasan tingkat daerah dilaksanakan oleh kepolisian daerah secara rutin di daerahnya; dan |
b. | Pengawasan tingkat pusat dilaksanakan oleh Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia secara insidental. |
(1) | Tingkat kepolisian daerah melaksanakan audit kelengkapan dan kecocokan, audit kesiapan untuk memberikan penilaian terhadap reliabilitas (keandalan) dan integritas operasional serta kelayakan badan usaha jasa pengamanan dalam beroperasional. |
(2) | Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan audit Pengawasan kepada badan usaha jasa pengamanan yang sudah mendapatkan Perizinan Berusaha dan melakukan kegiatan usaha lebih dari 1 (satu) wilayah hukum kepolisian daerah apabila dipandang perlu. |
Paragraf 16
Sektor Ketenagakerjaan
Pasal 309
(1) | Pengawasan terhadap Perizinan Berusaha di sektor ketenagakerjaan dilakukan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan, gubernur, bupati/wali kota, Administrator KEK, atau kepala Badan Pengusahaan KPBPB sesuai kewenangan masing-masing berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan. | ||||
(2) | Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara:
|
||||
(3) | Pengawasan rutin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan 1 (satu) kali dalam jangka waktu 1 (satu) tahun. | ||||
(4) | Pengawasan rutin sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan melibatkan pengawas ketenagakerjaan. |
BAB VI
EVALUASI DAN REFORMASI KEBIJAKAN PERIZINAN
BERUSAHA BERBASIS RISIKO
Pasal 310
(1) | Kementerian/lembaga melaksanakan reformasi kebijakan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko secara berkelanjutan, transparan, akuntabel, dan menerapkan prinsip kehati-hatian. | ||||
(2) | Reformasi kebijakan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikoordinasikan oleh kementerian yang menyelenggarakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian urusan kementerian dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang perekonomian. | ||||
(3) | Pemerintah Daerah provinsi, Pemerintah Daerah kabupaten/kota, Administrator KEK, dan Badan Pengusahaan KPBPB mendukung pelaksanaan reformasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan:
|
(1) | Kementerian yang menyelenggarakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian urusan kementerian dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang perekonomian melakukan koordinasi reformasi kebijakan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko dalam rangka meningkatkan iklim berusaha. | ||||||||||||
(2) | Dalam rangka melakukan koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menteri yang menyelenggarakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian urusan kementerian dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang perekonomian menetapkan rencana aksi Perizinan Berusaha Berbasis Risiko. | ||||||||||||
(3) | Rencana aksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit memuat:
|
BAB VII
PENDANAAN PERIZINAN BERUSAHA BERBASIS RISIKO
Pasal 312
(1) | Pendanaan pengembangan Sistem OSS dibebankan kepada anggaran pendapatan dan belanja negara. |
(2) | Pendanaan penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko pada kementerian/lembaga dibebankan kepada anggaran pendapatan dan belanja negara dan sumber lain yang sah. |
(3) | Pendanaan penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko pada Pemerintah Daerah provinsi dibebankan kepada anggaran pendapatan dan belanja daerah provinsi dan sumber lain yang sah. |
(4) | Pendanaan penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko pada Pemerintah Daerah kabupaten/kota dibebankan kepada anggaran pendapatan dan belanja daerah kabupaten/kota dan sumber lain yang sah. |
BAB VIII
PENYELESAIAN PERMASALAHAN DAN HAMBATAN
PERIZINAN BERUSAHA BERBASIS RISIKO
Pasal 313
(1) | Menteri/pimpinan lembaga, gubernur, dan bupati/wali kota wajib menyelesaikan hambatan dan permasalahan di bidangnya dalam pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(2) | Dalam hal peraturan perundang-undangan tidak mengatur hal untuk penyelesaian hambatan dan permasalahan, menteri/pimpinan lembaga, gubernur, dan bupati/wali kota berwenang untuk menetapkan keputusan dan/atau melakukan tindakan yang diperlukan dalam rangka penyelesaian hambatan dan permasalahan dimaksud sepanjang sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik. |
(1) | Dalam hal terdapat laporan dan/atau pengaduan dari masyarakat kepada menteri, pimpinan lembaga, gubernur, bupati/wali kota, kejaksaan, atau kepolisian mengenai penyimpangan atau penyalahgunaan wewenang dalam pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini, penyelesaian dilakukan dengan mendahulukan proses administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang administrasi pemerintahan. | ||||||
(2) | Dalam hal laporan dan/atau pengaduan dari masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada kejaksaan atau kepolisian, kejaksaan atau kepolisian meneruskan/menyampaikan laporan masyarakat tersebut kepada menteri, pimpinan lembaga, gubernur, atau bupati/wali kota untuk dilakukan pemeriksaan. | ||||||
(3) | Menteri, pimpinan lembaga, gubernur, atau bupati/wali kota memeriksa laporan dan/atau pengaduan dari masyarakat, baik yang diterima oleh kementerian, lembaga, atau Pemerintah Daerah bersangkutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maupun yang diteruskan oleh kejaksaan atau kepolisian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) Hari terhitung sejak laporan masyarakat diterima. | ||||||
(4) | Dalam hal pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditemukan indikasi penyalahgunaan wewenang, menteri, pimpinan lembaga, gubernur, atau bupati/wali kota meminta aparat pengawasan intern pemerintah untuk melakukan pemeriksaan/audit lebih lanjut dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) Hari. | ||||||
(5) | Hasil pemeriksaan aparat pengawasan intern pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat berupa:
|
||||||
(6) | Dalam hal hasil pemeriksaan aparat pengawasan intern pemerintah berupa kesalahan administrasi yang tidak menimbulkan kerugian negara sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a, penyelesaian dilakukan melalui penyempurnaan administrasi paling lambat 10 (sepuluh) Hari terhitung sejak hasil pemeriksaan aparat pengawasan intern pemerintah disampaikan. | ||||||
(7) | Dalam hal hasil pemeriksaan aparat pengawasan intern pemerintah berupa kesalahan administrasi yang menimbulkan kerugian negara sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b, penyelesaian dilakukan melalui penyempurnaan administrasi dan pengembalian kerugian negara paling lambat 10 (sepuluh) Hari terhitung sejak hasil pemeriksaan aparat pengawasan intern pemerintah disampaikan. | ||||||
(8) | Penyelesaian hasil pemeriksaan aparat pengawasan intern pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan ayat (7) disampaikan oleh menteri, pimpinan lembaga, gubernur, atau bupati/wali kota kepada kejaksaan atau kepolisian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lambat 5 (lima) Hari terhitung sejak hasil pemeriksaan aparat pengawasan intern pemerintah disampaikan | ||||||
(9) | Dalam hal hasil pemeriksaan aparat pengawasan intern pemerintah berupa tindak pidana yang bukan bersifat administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf c, menteri, pimpinan lembaga, gubernur, atau bupati/wali kota dalam jangka waktu paling lambat 5 (lima) Hari terhitung sejak hasil pemeriksaan aparat pengawasan intern pemerintah disampaikan, menyampaikan kepada kejaksaan atau kepolisian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk ditindaklanjuti sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
BAB IX
SANKSI
Bagian Kesatu
Sanksi Bagi Pejabat Pemerintah
Pasal 315
(1) | Menteri, pimpinan lembaga, gubernur, bupati/wali kota, Administrator KEK, dan kepala Badan Pengusahaan KPBPB yang tidak menyelenggarakan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko melalui Sistem OSS dikenai sanksi administratif. | ||||||
(2) | Dalam hal sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa teguran tertulis telah disampaikan 2 (dua) kali berturut-turut dan tetap tidak dilaksanakan:
|
(1) | Menteri/pimpinan lembaga, gubernur, bupati/wali kota, Administrator KEK, dan/atau kepala Badan Pengusahaan KPBPB mengenakan sanksi kepada pejabat yang tidak memberikan pelayanan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah ini. |
(2) | Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
Bagian Kedua
Sanksi Bagi Pelaku Usaha
Paragraf 1
Sektor Kelautan dan Perikanan
Pasal 317
(1) | Setiap Pelaku Usaha yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Perizinan Berusaha di sektor kelautan dan perikanan berupa:
|
||||||||||||||||||||||||||
(2) | Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari atas:
|
||||||||||||||||||||||||||
(3) | Jenis sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dikenakan secara kumulatif atau bertahap, kecuali pelanggaran tertentu yang sanksi administratifnya ditentukan secara limitatif oleh peraturan perundang-undangan. | ||||||||||||||||||||||||||
(4) | Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengedepankan upaya pembinaan kepatuhan Pelaku Usaha di bidang kelautan dan perikanan. |
(1) | Sanksi administratif berupa peringatan/teguran tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 317 ayat (2) huruf a dikenakan dengan ketentuan:
|
||||||
(2) | Peringatan/teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berisi perintah untuk segera mematuhi kewajiban berusaha atau melaksanakan kegiatan berusaha sesuai dengan ketentuan dalam jangka waktu tertentu yang ditetapkan. | ||||||
(3) | Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditentukan dengan mempertimbangkan kewajaran dan kemampuan Pelaku Usaha. | ||||||
(4) | Peringatan/teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan paling banyak 2 (dua) kali. | ||||||
(5) | Peringatan/teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan bersamaan dengan paksaan pemerintah yang bertujuan untuk menghentikan pelanggaran. |
(1) | Sanksi administratif berupa paksaan pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 317 ayat (2) huruf b dikenakan apabila pelanggaran yang dilakukan menimbulkan:
|
||||||||||||
(2) | Jenis sanksi administratif berupa paksaan pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:
|
||||||||||||
(3) | Jenis sanksi administratif berupa paksaan pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipilih berdasarkan pertimbangan tindakan yang paling tepat untuk mencegah dan/atau menghentikan dampak yang ditimbulkan. |
(1) | Sanksi administratif berupa denda administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 377 ayat (2) huruf c dikenakan terhadap Pelaku Usaha yang tidak melaksanakan teguran/peringatan tertulis kedua kali atau paksaan pemerintah. | ||||||||||||||||||||||||||||||
(2) | Denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikenakan tanpa didahului dengan sanksi administratif lainnya apabila:
|
||||||||||||||||||||||||||||||
(3) | Besaran denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:
|
(1) | Sanksi administratif berupa pembekuan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 317 ayat (2) huruf d dikenakan apabila Pelaku Usaha:
|
||||
(2) | Pembekuan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga dapat dikenakan secara langsung apabila Pelaku Usaha tidak melaksanakan paksaan pemerintah. | ||||
(3) | Pembekuan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disertai dengan perintah untuk segera mematuhi kewajiban Perizinan Berusaha yang disyaratkan dan/atau melaksanakan perbaikan terhadap kerusakan dan/atau kerugian yang ditimbulkan. | ||||
(4) | Pembekuan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dikenakan dalam jangka waktu tertentu dengan mempertimbangkan kemampuan Pelaku Usaha untuk memenuhi kewajibannya dan untuk memberikan efek jera. |
(1) | Sanksi administratif berupa pencabutan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 317 ayat (2) huruf e dikenakan apabila:
|
||||||
(2) | Pencabutan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan tanpa terlebih dahulu dikenakan sanksi administratif lain apabila pelanggaran yang dilakukan menimbulkan dampak yang besar berupa:
|
(1) | Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 317 ayat (2) dilaksanakan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan, gubernur, bupati/wali kota, Administrator KEK, atau kepala Badan Pengusahaan KPBPB sesuai kewenangan masing-masing berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(2) | Ketentuan mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif, mekanisme, jangka waktu, banding administratif, dan pejabat yang berwenang diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan. |
Paragraf 2
Sektor Pertanian
Pasal 324
Setiap perusahaan perkebunan yang melakukan kegiatan usaha tanpa memiliki Perizinan Berusaha yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis Risiko kegiatan usaha dan/atau Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha dikenai sanksi administratif berupa:
a. | penghentian sementara kegiatan; |
b. | pengenaan denda administratif; dan/atau |
c. | paksaan Pemerintah Pusat. |
(1) | Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 324 dilakukan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanian,,gubernur, bupati/wali kota, Administrator KEK, atau kepala Badan Pengusahaan KPBPB sesuai kewenangan masing-masing dan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(2) | Penghentian sementara kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 324 huruf a dikenai paling lama 6 (enam) bulan untuk mengajukan permohonan Perizinan Berusaha dan menyesuaikan dengan standar pelaksanaan kegiatan usaha pada subsektor perkebunan. |
(3) | Dalam hal perusahaan perkebunan tidak dapat mengajukan permohonan Perizinan Berusaha dan menyesuaikan dengan standar pelaksanaan kegiatan usaha dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dikenai sanksi administratif berupa pengenaan denda administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 324 huruf b sebesar luas lahan yang diusahakan (per hektare) dikali Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah). |
(4) | Dalam hal perusahaan perkebunan tetap tidak dapat menyelesaikan permohonan Perizinan Berusaha dan menyesuaikan dengan standar pelaksanaan kegiatan usaha, dikenai sanksi berupa paksaan Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 324 huruf c untuk mengembalikan lahan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. |
Pengenaan sanksi administratif berupa pengenaan denda administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 324 huruf b ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanian dalam bentuk surat tagihan.
Setiap perusahaan perkebunan yang melanggar ketentuan Perizinan Berusaha yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis Risiko kegiatan usaha, dikenai sanksi administratif berupa:
a. | penghentian sementara kegiatan; |
b. | pengenaan denda administratif; dan/atau |
c. | pencabutan Perizinan Berusaha perkebunan. |
(1) | Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 327 dilakukan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanian, gubernur, bupati/wali kota, Administrator KEK, atau kepala Badan Pengusahaan KPBPB. |
(2) | Sanksi administratif berupa penghentian sementara kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 327 huruf a dikenai kepada perusahaan perkebunan paling lama 6 (enam) bulan untuk menyesuaikan dengan standar pelaksanaan kegiatan usaha pada subsektor perkebunan. |
(3) | Dalam hal perusahaan perkebunan tidak dapat menyesuaikan standar pelaksanaan kegiatan usaha dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dikenai sanksi administratif berupa pengenaan denda administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 327 huruf b sebesar luas lahan yang diusahakan (per hektare) dikali Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah). |
(4) | Dalam hal perusahaan perkebunan tetap tidak dapat menyesuaikan dengan standar pelaksanaan kegiatan usaha, dikenai sanksi administratif berupa pencabutan Perizinan Berusaha perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 327 huruf c. |
Pengenaan sanksi administratif berupa denda administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 327 huruf b ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanian dalam bentuk surat tagihan.
Setiap Pelaku Usaha perkebunan yang melanggar ketentuan Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha, dikenai sanksi administratif berupa:
a. | peringatan tertulis; |
b. | penghentian sementara kegiatan; dan/atau |
c. | pencabutan Perizinan Berusaha. |
Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 330 dilakukan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanian, gubernur, bupati/wali kota, Administrator KEK, atau kepala Badan Pengusahaan KPBPB sesuai kewenangan masing-masing dan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(1) | Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 330 huruf a dikenai terhadap Pelaku Usaha yang melakukan:
|
||||||||||||||||||
(2) | Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Pelaku Usaha untuk menyesuaikan dengan standar dalam waktu paling lama 7 (tujuh) Hari. |
Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 332 ayat (2), Pelaku Usaha yang melakukan pemasukan dan pengeluaran benih tanaman perkebunan, dan impor tembakau tetap tidak memenuhi standar pelaksanaan kegiatan usaha, dikenai sanksi administratif berupa pencabutan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 330 huruf c.
(1) | Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 332 ayat (2) Pelaku Usaha dalam memproduksi benih tanaman perkebunan tetap:
|
||||
(2) | Penghentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dikenai selama 7 (tujuh) Hari dan huruf b dikenai paling lama 25 (dua puluh lima) Hari. | ||||
(3) | Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Pelaku Usaha dalam memproduksi benih tanaman perkebunan tetap tidak memenuhi standar, dikenai sanksi administratif berupa pencabutan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 330 huruf c. |
Setiap Pelaku Usaha tanaman pangan yang melanggar ketentuan Perizinan Berusaha yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis Risiko kegiatan usaha, dikenai sanksi administratif berupa:
a. | peringatan tertulis; |
b. | denda administratif; |
c. | penghentian sementara kegiatan usaha; |
d. | penarikan produk dari peredaran; |
e. | pencabutan Perizinan Berusaha; dan/atau |
f. | penutupan usaha. |
(1) | Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 335 dilakukan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanian, gubernur, bupati/wali kota, Administrator KEK, atau kepala Badan Pengusahaan KPBPB sesuai kewenangan masing-masing berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. | ||||||
(2) | Sanksi administratif berupa peringatan secara tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 335 huruf a diberikan kepada Pelaku Usaha 1 (satu) kali dalam jangka waktu 1 (satu) tahun untuk menyesuaikan dengan standar pelaksanaan kegiatan usaha pada subsektor tanaman pangan. | ||||||
(3) | Dalam hal Pelaku Usaha tidak dapat menyesuaikan dengan standar pelaksanaan kegiatan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dikenai sanksi administratif berupa denda administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 335 huruf b untuk:
|
||||||
(4) | Dalam hal Pelaku Usaha tidak dapat menyesuaikan dengan standar pelaksanaan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dikenai sanksi administratif berupa penghentian sementara kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 335 huruf c paling lama 1 (satu) bulan. | ||||||
(5) | Dalam hal pelanggaran ketentuan Perizinan Berusaha menimbulkan Risiko keamanan, kesehatan, keselamatan, dan lingkungan, Pelaku Usaha dikenai sanksi administratif berupa penarikan produk dari peredaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 335 huruf d. | ||||||
(6) | Sanksi administratif berupa pencabutan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 335 huruf e dilakukan apabila Pelaku Usaha tetap tidak dapat menyesuaikan dengan standar pelaksanaan kegiatan usaha setelah dikenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan ayat (5). | ||||||
(7) | Pelaku Usaha yang menggunakan lahan hak ulayat tanpa persetujuan masyarakat hukum adat pemegang hak ulayat dikenai sanksi administratif berupa pencabutan Perizinan Berusaha. | ||||||
(8) | Sanksi administratif berupa penutupan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 335 huruf t dilakukan apabila Pelaku Usaha tidak melakukan perbaikan setelah dilakukan pencabutan Perizinan Berusaha. |
Pengenaan sanksi administratif berupa denda administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 336 ayat (3) ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanian dalam bentuk surat tagihan.
(1) | Setiap Pelaku Usaha tanaman pangan yang melanggar ketentuan Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha berdasarkan Pengawasan dikenai sanksi administratif berupa:
|
||||||
(2) | Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanian, gubernur, bupati/wali kota, Administrator KEK, atau kepala Badan Pengusahaan KPBPB sesuai kewenangan masing-masing berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
Setiap Pelaku Usaha hortikultura yang melanggar ketentuan Perizinan Berusaha yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis Risiko kegiatan usaha, dikenai sanksi administratif berupa:
a. | peringatan secara tertulis; |
b. | denda administratif; |
c. | penghentian sementara kegiatan; |
d. | penarikan produk dari peredaran oleh Pelaku Usaha; |
e. | pencabutan Perizinan Berusaha; dan/atau |
f. | penutupan usaha. |
(1) | Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 339 dilakukan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanian, gubernur, bupati/wali kota, Administrator KEK, atau kepala Badan Pengusahaan KPBPB sesuai kewenangan masing-masing berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(2) | Sanksi administratif berupa peringatan secara tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 339 huruf a diberikan kepada Pelaku Usaha sebanyak 3 (tiga) kali dalam jangka waktu 2 (dua) bulan untuk menyesuaikan dengan standar pelaksanaan kegiatan usaha pada subsektor hortikultura. |
(3) | Dalam hal Pelaku Usaha tidak dapat menyesuaikan dengan standar pelaksanaan kegiatan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2l,, dikenai sanksi administratif berupa denda administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 339 huruf b paling sedikit sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah). |
(4) | Apabila Pelaku Usaha dalam jangka waktu 2 (dua) bulan sejak pengenaan denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak menyesuaikan dengan standar pelaksanaan kegiatan, dikenai sanksi administratif berupa penghentian sementara kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 339 huruf c paling lama 2 (dua) bulan |
(5) | Dalam hal pelanggaran ketentuan Perizinan Berusaha menimbulkan Risiko keamanan, kesehatan, keselamatan, dan lingkungan, Pelaku Usaha dikenai sanksi administratif berupa penarikan produk dari peredaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 339 huruf d. |
(6) | Sanksi administratif berupa pencabutan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 339 huruf e dilakukan apabila Pelaku Usaha tetap tidak dapat menyesuaikan dengan standar pelaksanaan kegiatan usaha dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4). |
(7) | Pelaku Usaha yang tidak melakukan perbaikan standar pelaksanaan kegiatan usaha dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak pencabutan Perizinan Berusaha, dikenai sanksi administratif berupa penutupan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 339 huruf f. |
Pengenaan sanksi administratif berupa denda administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 339 huruf b ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanian dalam bentuk surat tagihan.
(1) | Setiap Pelaku Usaha hortikultura yang melanggar ketentuan Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Berusaha, dikenai sanksi administratif berupa:
|
||||||
(2) | Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanian, gubernur, bupati/wali kota, Administrator KEK, atau kepala Badan Pengusahaan KPBPB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
Setiap Pelaku Usaha peternakan dan kesehatan hewan yang melanggar ketentuan Perizinan Berusaha yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis Risiko kegiatan usaha, dikenai sanksi administratif berupa:
a. | peringatan secara tertulis; |
b. | penghentian sementara dari kegiatan, produksi, dan/atau peredaran; |
c. | penarikan obat hewan, pakan, alat dan mesin, atau produk hewan dari peredaran; |
d. | pengenaan denda administratif; dan/atau |
e. | pencabutan Perizinan Berusaha. |
(1) | Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 343 dilakukan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanian, gubernur, bupati/wali kota, Administrator KEK, atau kepala Badan Pengusahaan KPBPB sesuai kewenangan masing-masing berdasarkan ketentuan peraturan perundan g-undangan. | ||||||||||
(2) | Sanksi administratif berupa peringatan secara tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 343 huruf a dikenai paling banyak 3 (tiga) kali berturut-turut kepada Pelaku Usaha dengan jangka waktu masing-masing paling lama 10 (sepuluh) Hari. | ||||||||||
(3) | Apabila Pelaku Usaha tidak dapat menyesuaikan dengan standar dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dikenai sanksi administratif berupa penghentian sementara dari kegiatan, produksi, dan/atau peredaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 343 huruf b paling lama:
|
||||||||||
(4) | Apabila Pelaku Usaha tidak dapat menyesuaikan dengan standar pelaksanaan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dikenai sanksi administratif berupa denda administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 343 huruf d dengan besaran untuk kegiatan usaha:
|
||||||||||
(5) | Apabila Pelaku Usaha tetap tidak menyesuaikan dengan standar pelaksanaan, setelah diberikan peringatan tertulis dan penghentian sementara dari kegiatan, produksi, dan/atau peredaran, dan/atau denda administratif, dikenai sanksi administratif berupa pencabutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 343 huruf e Perizinan Berusaha subsektor peternakan dan kesehatan hewan. |
Pengenaan sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 343 huruf d ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanian dalam bentuk surat tagihan.
(1) | Pelaku Usaha peternakan dan kesehatan hewan:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
(2) | Sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan paling banyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan jangka waktu masing-masing paling lama 10 (sepuluh) Hari untuk menyesuaikan dengan standar. |
Apabila Pelaku Usaha peternakan dan kesehatan hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 346 ayat (1) huruf a dan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 346 ayat (2) tetap tidak menyesuaikan dengan standar, dikenai sanksi:
a. | tidak diterbitkan Perizinan Berusaha untuk periode berikutnya; dan/atau |
b. | dicabut Perizinan Berusaha untuk periode berjalan. |
(1) | Apabila Pelaku Usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 346 ayat (1) huruf b angka 1 dan angka 2, serta jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 346 ayat (2) tetap tidak menyesuaikan dengan standar, dikenai sanksi pencabutan Perizinan Berusaha untuk periode berjalan. |
(2) | Apabila Pelaku Usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 346 ayat (1) huruf b angka 2 tetap tidak menyesuaikan dengan standar, dikenai sanksi penghentian sementara kegiatan produksi selama 3 (tiga) bulan. |
(3) | Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Pelaku Usaha tetap tidak menyesuaikan dengan standar, dikenai sanksi pencabutan Perizinan Berusaha untuk periode berjalan. |
(1) | Apabila Pelaku Usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 346 ayat ( 1) huruf c dan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 346 ayat (2) tetap tidak menyesuaikan dengan standar, dikenai sanksi penarikan obat hewan dari peredaran selama 3 (tiga) bulan. |
(2) | Apabila Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap tidak menyesuaikan dengan standar, dikenai sanksi pencabutan Perizinan Berusaha. |
(1) | Apabila Pelaku Usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 346 ayat (1) huruf d dan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 346 ayat (2) tetap tidak menyesuaikan dengan standar, dikenai sanksi penghentian sementara selama 3 (tiga) bulan. |
(2) | Apabila Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap tidak menyesuaikan dengan standar, dikenai sanksi pencabutan Perizinan Berusaha. |
(1) | Apabila Pelaku Usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 346 ayat (1) huruf e dan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 346 ayat (2) tetap tidak menyesuaikan dengan standar, dikenai sanksi penarikan produk hewan dari peredaran selama 1 (satu) bulan. |
(2) | Apabila Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap tidak menyesuaikan dengan standar, dikenai sanksi pencabutan Perizinan Berusaha. |
(1) | Pelaku Usaha pada Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha Veterinary Health Certificate (VHC) pengeluaran bahan pakan asal hewan dan VHC pengeluaran black soldier fly:
|
||||
(2) | Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan paling banyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan jangka waktu masing-masing paling lama 10 (sepuluh) Hari untuk menyesuaikan dengan standar. | ||||
(3) | Apabila Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap tidak menyesuaikan dengan standar, dikenai sanksi tidak diterbitkan Perizinan Berusaha untuk periode berikutnya. |
(1) | Pelaku Usaha pada Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha subsektor peternakan dan kesehatan hewan meliputi:
|
||||||||||||
(2) | Peringatan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan paling banyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan jangka waktu masing-masing paling lama 10 (sepuluh) Hari untuk menyesuaikan dengan standar. | ||||||||||||
(3) | Apabila Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap tidak menyesuaikan dengan standar, dikenai sanksi tidak diterbitkan Perizinan Berusaha untuk periode berikutnya. |
(1) | Pelaku Usaha pada Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha sertifikat cara pembuatan obat hewan yang baik dan sertifikat cara pembuatan pakan yang baik yang tidak: |