Peraturan Pemerintah Nomor : 5 TAHUN 2021

Kategori : Lainnya

Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko


PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 5 TAHUN 2021
 
TENTANG
 
PENYELENGGARAAN PERIZINAN BERUSAHA BERBASIS RISIKO
 
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

 

Menimbang :

bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, perplu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko;
 
Mengingat :

  1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573);

     

MEMUTUSKAN:

 

Menetapkan :

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENYELENGGARAAN PERIZINAN BERUSAHA BERBASIS RISIKO.


 

BAB I
KETENTUAN UMUM
 
Pasal 1

 

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:

1. Perizinan Berusaha adalah legalitas yang diberikan kepada Pelaku Usaha untuk memulai dan menjalankan usaha dan/atau kegiatannya.
2. Risiko adalah potensi terjadinya cedera atau kerugian dari suatu bahaya atau kombinasi kemungkinan dan akibat bahaya.
3. Perizinan Berusaha Berbasis Risiko adalah Perizinan Berusaha berdasarkan tingkat Risiko kegiatan usaha.
4. Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha adalah legalitas yang diberikan kepada Pelaku Usaha untuk menunjang kegiatan usaha.
5. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
6. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
7. Kawasan Ekonomi Khusus yang selanjutnya disingkat KEK adalah kawasan ekonomi khusus sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang kawasan ekonomi khusus.
8. Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas yang selanjutnya disingkat KPBPB adalah kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas.
9. Administrator Kawasan Ekonomi Khusus yang selanjutnya disebut Administrator KEK adalah administrator sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang kawasan ekonomi khusus.
10. Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas yang selanjutnya disebut Badan Pengusahaan KPBPB adalah Badan Pengusahaan KPBPB sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas.
11. Pelaku Usaha adalah orang perseorangan atau badan usaha yang melakukan usaha dan/atau kegiatan pada bidang tertentu.
12. Nomor Induk Berusaha yang selanjutnya disingkat NIB adalah bukti registrasi/pendaftaran Pelaku Usaha untuk melakukan kegiatan usaha dan sebagai identitas bagi Pelaku Usaha dalam pelaksanaan kegiatan usahanya.
13. Sertifikat Standar adalah pernyataan dan/atau bukti pemenuhan standar pelaksanaan kegiatan usaha.
14. Izin adalah persetujuan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah untuk pelaksanaan kegiatan usaha yang wajib dipenuhi oleh Pelaku Usaha sebelum melaksanakan kegiatan usahanya.
15. Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Hidup yang selanjutnya disingkat SPPL adalah Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup.
16. Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup yang selanjutnya disingkat UKL-UPL adalah Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup.
17. Pengawasan adalah upaya untuk memastikan pelaksanaan kegiatan usaha sesuai dengan standar pelaksanaan kegiatan usaha yang dilakukan melalui pendekatan berbasis Risiko dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh Pelaku Usaha.
18. Usaha Mikro dan Kecil yang selanjutnya disingkat UMK adalah usaha mikro dan usaha kecil sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
19. Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah yang selanjutnya disingkat UMK-M adalah usaha mikro, usaha kecil, dan usaha menengah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
20. Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia yang selanjutnya disingkat KBLI adalah kode klasifikasi yang diatur oleh lembaga pemerintah nonkementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang statistik.
21. Sistem Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik (Online Single Submission) yang selanjutnya disebut Sistem OSS adalah sistem elektronik terintegrasi yang dikelola dan diselenggarakan oleh Lembaga OSS untuk penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko.
22. Lembaga Pengelola dan Penyelenggara OSS yang selanjutnya disebut Lembaga OSS adalah lembaga pemerintah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang koordinasi penanaman modal.
23. Penanaman Modal adalah penanaman modal sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal.
24. Penanaman Modal Asing adalah penanaman modal asing sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal.
25. Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu yang selanjutnya disingkat DPMPTSP adalah organisasi perangkat daerah pemerintah provinsi atau pemerintah kabupaten/kota yang mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan daerah di bidang penanaman modal.
26. Hari adalah hari kerja sesuai dengan yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.



Pasal 2

 

Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko meliputi:

a. pengaturan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko;
b. norma, standar, prosedur, dan kriteria Perizinan Berusaha Berbasis Risiko;
c. Perizinan Berusaha Berbasis Risiko melalui layanan Sistem OSS;
d. tata cara Pengawasan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko;
e. evaluasi dan reformasi kebijakan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko;
f. pendanaan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko;
g. penyelesaian permasalahan dan hambatan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko; dan
h. sanksi.



Pasal 3

 

penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 bertujuan untuk meningkatkan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha, melalui:

a. pelaksanaan penerbitan Perizinan Berusaha secara lebih efektif dan sederhana; dan
b. Pengawasan kegiatan usaha yang transparan, terstruktur, dan dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


     

Pasal 4

 

Untuk memulai dan melakukan kegiatan usaha, Pelaku Usaha wajib memenuhi:

a. persyaratan dasar Perizinan Berusaha; dan/atau
b. Perizinan Berusaha Berbasis Risiko.


   

Pasal 5

 

(1) Persyaratan dasar Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a meliputi kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang, persetujuan lingkungan, persetujuan bangunan gedung, dan sertifikat laik fungsi.
(2) Ketentuan mengenai persyaratan dasar Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) masing-masing diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang tata ruang, lingkungan hidup, dan bangunan gedung.


     

Pasal 6

 

(1) Pemerintah Pusat menetapkan kebijakan penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b.
(2) Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi sektor:
a. kelautan dan perikanan;
b. pertanian;
c. lingkungan hidup dan kehutanan;
d. energi dan sumber daya mineral;
e. ketenaganukliran;
f. perindustrian;
g. perdagangan;
h. pekerjaan umum dan perumahan rakyat;
i. transportasi;
j. kesehatan, obat, dan makanan;
k. pendidikan dan kebudayaan;
l. pariwisata;
m. keagamaan;
n. pos, telekomunikasi, penyiaran, dan sistem dan transaksi elektronik;
o. pertahanan dan keamanan; dan
p. ketenagakerjaan.
(3) Perizinan Berusaha Berbasis Risiko pada masing-masing sektor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi pengaturan:
a. kode KBLI/KBLI terkait, judul KBLI, ruang lingkup kegiatan, parameter Risiko, tingkat Risiko, Perizinan Berusaha, jangka waktu, masa berlaku, dan kewenangan Perizinan Berusaha;
b. persyaratan dan/atau kewajiban Perizinan Berusaha Berbasis Risiko;
c. pedoman Perizinan Berusaha Berbasis Risiko; dan
d. standar kegiatan usaha dan/atau standar produk.
(4) Kode KBLI/KBLI terkait, judul KBLI, ruang lingkup kegiatan, parameter Risiko, tingkat Risiko, Perizinan Berusaha, jangka waktu, masa berlaku, dan kewenangan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini.
(5) Persyaratan dan/atau kewajiban Perizinan Berusaha Berbasis Risiko pada masing-masing sektor sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini.
(6) Pedoman Perizinart Berusaha Berbasis Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini.
(7) Standar kegiatan usaha dan/atau standar produk sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d pada masing-masing sektor diatur dengan peraturan menteri/kepala lembaga.
(8) Penyusunan standar kegiatan usaha dan/atau standar produk sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dilakukan secara transparan, memperhatikan kesederhanaan persyaratan, dan kemudahan proses bisnis dengan melibatkan Pelaku Usaha.
(9) Penyusunan standar kegiatan usaha dan/atau standar produk sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dilaksanakan berdasarkan pedoman sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini.
(10) Peraturan menteri/kepala lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (7) ditetapkan setelah mendapat persetujuan Presiden dan berkoordinasi dengan kementerian yang menyelenggarakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian urusan kementerian dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang perekonomian.
(11) Kementerian/lembaga, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, Administrator KEK dan Badan Pengusahaan KPBPB dilarang menerbitkan Perizinan Berusaha di luar Perizinan Berusaha yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini.
(12) Perizinan Berusaha Berbasis Risiko pada masing-masing sektor dilakukan pembinaan dan Pengawasan oleh menteri/kepala lembaga, gubernur, bupati/wali kota, Administrator KEK, atau kepala Badan Pengusahaan KPBPB sesuai kewenangan masing-masing.


    

BAB II
PENGATURAN PERIZINAN BERUSAHA BERBASIS RISIKO
 
Bagian Kesatu
Analisis Risiko
 
Pasal 7

 

(1) Perizinan Berusaha Berbasis Risiko dilakukan berdasarkan penetapan tingkat Risiko dan peringkat skala kegiatan usaha meliputi UMK-M dan/atau usaha besar.
(2) Penetapan tingkat Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan hasil analisis Risiko.
(3) Analisis Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dilakukan secara transparan, akuntabel, dan mengedepankan prinsip kehati-hatian berdasarkan data dan/atau penilaian profesional.
(4) Tingkat Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menentukan jenis Perizinan Berusaha.


     

Pasal 8

 

Pelaksanaan analisis Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dilakukan oleh Pemerintah Pusat melalui:

a. pengidentifikasian kegiatan usaha;
b. penilaian tingkat bahaya;
c. penilaian potensi terjadinya bahaya;
d. penetapan tingkat Risiko dan peringkat skala usaha; dan
e. penetapan jenis Perizinan Berusaha.


     

Pasal 9

 

(1) Penilaian tingkat bahaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b dilakukan terhadap aspek:
a. kesehatan;
b. keselamatan;
c. lingkungan; dan/atau
d. pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya.
(2) Untuk kegiatan tertentu, penilaian tingkat bahaya dapat mencakup aspek lainnya sesuai dengan sifat kegiatan usaha.
(3) Penilaian tingkat bahaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan dengan memperhitungkan:
a. jenis kegiatan usaha;
b. kriteria kegiatan usaha;
c. lokasi kegiatan usaha;
d. keterbatasan sumber daya; dan/atau
e. Risiko volatilitas.
(4) Penilaian potensi terjadinya bahaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf c terdiri dari:
a. hampir tidak mungkin terjadi;
b. kemungkinan kecil terjadi;
c. kemungkinan terjadi; atau
d. hampir pasti terjadi.
(5) Penetapan tingkat Risiko dan peringkat skala usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf d diperoleh berdasarkan penilaian tingkat bahaya dan potensi terjadinya bahaya.


    

Pasal 10

 

(1) Berdasarkan penilaian tingkat bahaya, penilaian potensi terjadinya bahaya, tingkat Risiko, dan peringkat skala usaha kegiatan usaha, kegiatan usaha diklasifikasikan menjadi:
a. kegiatan usaha dengan tingkat Risiko rendah;
b. kegiatan usaha dengan tingkat Risiko menengah; dan
c. kegiatan usaha dengan tingkat Risiko tinggi.
(2) Kegiatan usaha dengan tingkat Risiko menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terbagi atas:
a. tingkat Risiko menengah rendah; dan
b. tingkat Risiko menengah tinggi.



Pasal 11

 

Mekanisme pelaksanaan analisis Risiko kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini.

 

Pasal 12

 

(1) Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha dengan tingkat Risiko rendah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a berupa NIB yang merupakan identitas Pelaku Usaha sekaligus legalitas untuk melaksanakan kegiatan usaha.
(2) NIB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk kegiatan usaha dengan tingkat Risiko rendah yang dilakukan oleh UMK, berlaku juga sebagai:
a. Standar Nasional Indonesia (SNI) sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di bidang standardisasi dan penilaian kesesuaian; dan/atau
b. pernyataan jaminan halal sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di bidang jaminan produk halal.


          

Pasal 13

 

(1) Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha dengan tingkat Risiko menengah rendah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf a berupa:
a. NIB; dan
b. Sertifikat Standar.
(2) Sertifikat Standar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan legalitas untuk melaksanakan kegiatan usaha dalam bentuk pernyataan Pelaku Usaha untuk memenuhi standar usaha dalam rangka melakukan kegiatan usaha yang diberikan melalui Sistem OSS.
(3) Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi dasar bagi Pelaku Usaha untuk melakukan persiapan, operasional, dan/atau komersial kegiatan usaha.
(4) Standar pelaksanaan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dipenuhi oleh Pelaku Usaha pada saat melaksanakan kegiatan usaha.

  

Pasal 14

 

(1) Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha dengan tingkat Risiko menengah tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf b berupa:
a. NIB; dan
b. Sertifikat Standar.
(2) Sertifikat Standar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan Sertifikat Standar pelaksanaan kegiatan usaha yang diterbitkan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai kewenangan masing-masing berdasarkan hasil verifikasi pemenuhan standar pelaksanaan kegiatan usaha oleh Pelaku Usaha.
(3) Setelah memperoleh NIB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, Pelaku Usaha membuat pernyataan melalui Sistem OSS untuk memenuhi standar pelaksanaan kegiatan usaha dalam rangka melakukan kegiatan usaha dan kesanggupan untuk dilakukan verifikasi oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai kewenangan masing-masing.
(4) Terhadap pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Lembaga OSS menerbitkan Sertifikat Standar yang belum terverifikasi.
(5) Sertifikat Standar yang belum terverifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) menjadi dasar bagi Pelaku Usaha untuk melakukan persiapan kegiatan usaha.
(6) NIB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan Sertifikat Standar yang telah terverifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan Perizinan Berusaha bagi Pelaku Usaha untuk melakukan kegiatan operasional dan/atau komersial kegiatan usaha.
(7) Dalam hal Pelaku Usaha:
a. tidak memperoleh Sertifikat Standar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai jangka waktu yang ditetapkan dalam norma, standar, prosedur, dan kriteria; dan
b. berdasarkan hasil Pengawasan, tidak melakukan persiapan kegiatan usaha dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak NIB terbit,
Lembaga OSS membatalkan Sertifikat Standar yang belum terverifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4).



Pasal 15

 

(1) Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha dengan tingkat Risiko tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf c berupa:
a. NIB; dan
b. Izin.
(2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan persetujuan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah untuk pelaksanaan kegiatan usaha yang wajib dipenuhi oleh Pelaku Usaha sebelum melaksanakan kegiatan usahanya.
(3) Sebelum memperoleh Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pelaku Usaha dapat menggunakan NIB untuk persiapan kegiatan usaha.
(4) NIB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan Perizinan Berusaha bagi Pelaku Usaha untuk melakukan kegiatan operasional dan/atau komersial kegiatan usaha.
(5) Dalam hal kegiatan usaha dengan tingkat Risiko tinggi memerlukan pemenuhan standar usaha dan/atau standar produk, Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai kewenangan masing-masing menerbitkan Sertifikat Standar usaha dan Sertifikat Standar produk berdasarkan hasil verifikasi pemenuhan standar.


    

Pasal 16

 

Verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 15 ayat (5) dilakukan oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai kewenangan masing-masing dan dapat menugaskan lembaga atau profesi ahli yang bersertifikat atau terakreditasi.

 

Pasal 17

 

(1) Tahapan pelaksanaan kegiatan usaha terdiri dari tahap:
a. persiapan; dan
b. operasional dan/atau komersial.
(2) Tahap persiapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri dari kegiatan:
a. pengadaan tanah;
b. pembangunan bangunan gedung;
c. pengadaan peralatan atau sarana;
d. pengadaan sumber daya manusia;
e. pemenuhan standar usaha; dan/atau
f. kegiatan lain sebelum dilakukannya operasional dan/atau komersial, termasuk:
1. prastudi kelayakan atau studi kelayakan; dan
2. pembiayaan operasional selama masa konstruksi.
(3) Dalam hal Pelaku Usaha yang melakukan kegiatan usaha dengan tingkat Risiko tinggi diwajibkan memiliki analisis mengenai dampak lingkungan hidup, kegiatan pembangunan bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, dilakukan setelah persetujuan lingkungan diterbitkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Tahap operasional dan/atau komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri dari kegiatan:
a. produksi barang/jasa;
b. logistik dan distribusi barang/jasa;
c. pemasaran barang/jasa; dan/atau
d. kegiatan lain dalam rangka operasional dan/atau komersial.


          

Bagian Kedua
Langkah-Langkah Analisis Risiko Kegiatan Usaha
 
Pasal 18

 

Analisis Risiko kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) dilakukan terhadap setiap kegiatan usaha.

 

Pasal 19

 

(1) Analisis Risiko dilakukan dengan melibatkan:
a. menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan;
b. menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan;
c. menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup;
d. menteri dan/atau kepala lembaga sektor terkait; dan
e. Pelaku Usaha dan/atau masyarakat.
(2) Keterlibatan menteri dan/atau kepala lembaga sektor terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilakukan dalam rangka koordinasi dan sinkronisasi pengaturan kegiatan usaha yang bersifat lintas sektor dan/atau beririsan antarkementerian/lembaga.
(3) Keterlibatan Pelaku Usaha dan/atau masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dapat berupa:
a. memberikan masukan terhadap tingkat Risiko kegiatan usaha;
b. memberikan data dan informasi terkait kegiatan usaha dalam penetapan tingkat Risiko; dan
c. meningkatkan pemahaman kegiatan usaha untuk melakukan manajemen Risiko.


          

Pasal 20

 

(1) Dalam hal tahap operasional dan/atau komersial kegiatan usaha diperlukan Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha, kementerian/lembaga mengidentifikasi Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha dengan tetap mempertimbangkan tingkat Risiko kegiatan usaha dan/atau produk pada saat pelaksanaan tahap operasional dan/atau komersial kegiatan usaha.
(2) Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha tercantum dalam Lampiran I dan Lampiran II.



BAB III
NORMA, STANDAR, PROSEDUR, DAN KRITERIA
PERIZINAN BERUSAHA BERBASIS RISIKO

 
Bagian Kesatu
Umum
 
Pasal 21

 

(1) Pemerintah Pusat menyusun dan menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria Perizinan Berusaha Berbasis Risiko pada setiap sektor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2).
(2) Norma, standar, prosedur, dan kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi acuan tunggal bagi pelaksanaan pelayanan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
(3) Pemerintah Pusat dapat mendelegasikan peraturan pelaksanaan norma, standar, prosedur, dan kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada kepala daerah yang ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah.
(4) Peraturan Kepala Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) memuat peraturan internal bagi aparat Pemerintah Daerah dalam melaksanakan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko.


     

Pasal 22

 

(1) Perizinan Berusaha diterbitkan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
(2) Pelaksanaan penerbitan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh:
a. Lembaga OSS;
b. Lembaga OSS atas nama menteri/kepala lembaga;
c. kepala DPMPTSP provinsi atas nama gubernur;
d. kepala DPMPTSP kabupaten/kota atas nama bupati/wali kota;
e. Administrator KEK; dan
f. kepala Badan Pengusahaan KPBPB,
sesuai dengan kewenangan masing-masing yang tercantum dalam Lampiran I.
(3) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dan huruf d:
a. dalam hal kegiatan usaha terdapat:
1. Penanaman Modal Asing; dan/atau
2. Penanaman Modal yang menggunakan modal asing berdasarkan perjanjian yang dibuat oleh Pemerintah Pusat dan pemerintah negara lain,
kewenangan penerbitan Perizinan Berusaha dilakukan oleh kepala lembaga pemerintah yang mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang koordinasi Penanaman Modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. dalam hal kegiatan usaha dilakukan pada wilayah KEK, kewenangan penerbitan Perizinan Berusaha dilakukan oleh Administrator KEK sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang KEK; atau
c. dalam hal kegiatan usaha dilakukan pada wilayah KPBPB, kewenangan penerbitan Perizinan Berusaha dilakukan oleh kepala Badan Pengusahaan KPBPB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang KPBPB.



Pasal 23

 

(1) Menteri/kepala lembaga, gubernur, bupati/wali kota, Administrator KEK, dan/atau kepala Badan Pengusahaan KPBPB sesuai dengan kewenangan masing-masing dalam:
a. melakukan pemeriksaan persyaratan Perizinan Berusaha harus sesuai dengan jangka waktu; dan
b. memberikan Perizinan Berusaha harus sesuai dengan masa berlaku,
sebagaimana tercantum dalam Lampiran I.
(2) Pelaku Usaha harus mematuhi persyaratan dan/atau kewajiban Perizinan Berusaha sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.


   

Bagian Kedua
Sektor Kelautan dan Perikanan
 
Paragraf 1
Perizinan Berusaha
 
Pasal 24

 

(1) Perizinan Berusaha sektor kelautan dan perikanan terdiri atas subsektor:
a. pengelolaan ruang laut;
b. penangkapan ikan;
c. pengangkutan ikan;
d. pembudidayaan ikan;
e. pengolahan ikan; dan
f. pemasaran ikan.
(2) Perizinan Berusaha pada subsektor pengelolaan ruang laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis Risiko kegiatan usaha terdiri atas:
a. pengusahaan pariwisata alam perairan di kawasan konservasi;
b. pengangkatan benda muatan kapal tenggelam;
c. produksi garam;
d. biofarmakologi;
e. bioteknologi;
f. pemanfaatan air laut selain energi;
g. pelaksanaan reklamasi;
h. pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya dalam rangka Penanaman Modal Asing;
i. pemanfaatan jenis ikan yang dilindungi dan/atau yang termasuk dalam appendix Convention on International Trade Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES), selain appendix I; dan
j. pemanfaatan pasir laut.
(3) Perizinan Berusaha pada subsektor penangkapan ikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis Risiko kegiatan usaha terdiri atas kegiatan usaha penangkapan ikan.
(4) Perizinan Berusaha pada subsektor pengangkutan ikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis Risiko kegiatan usaha terdiri atas kegiatan usaha pengangkutan ikan.
(5) perizinan Berusaha pada subsektor pembudidayaan ikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis Risiko kegiatan usaha terdiri atas:
a. pembenihan ikan; dan/atau
b. pembesaran ikan.
(6) perizinan Berusaha pada subsektor pengolahan ikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis Risiko kegiatan usaha terdiri atas kegiatan usaha pengolahan ikan.
(7) Perizinan Berusaha pada subsektor pemasaran ikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis Risiko kegiatan usaha terdiri atas kegiatan usaha pemasaran ikan.


          

Pasal 25

 

Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha pada sektor kelautan dan perikanan meliputi:

a. penunjang operasional dan/atau komersial kegiatan usaha; dan
b. ekspor dan impor.


     

Pasal 26

 

(1) Kode KBLI/KBLI terkait, judul KBLI, ruang lingkup kegiatan, parameter Risiko, tingkat Risiko, Perizinan Berusaha, jangka waktu, masa berlaku, dan kewenangan perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dan Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 tercantum dalam Lampiran I.
(2) Persyaratan dan/atau kewajiban Perizinan Berusaha pada sektor kelautan dan perikanan yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis Risiko kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dan Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 tercantum dalam Lampiran II.


     

Paragraf 2
Norma dan Kriteria
 
Pasal 27

 

(1) Batasan ukuran kapal penangkap ikan:
a. kapal penangkap ikan berukuran sampai dengan 5 (lima) gross tonnage diberikan daerah penangkapan ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) di:
1. perairan darat; atau
2. wilayah laut sampai dengan 12 (dua belas) mil laut atau lebih dari 12 (dua belas) mil laut;
b. kapal penangkap ikan berukuran lebih dari 5 (lima) gross tonnage sampai dengan 30 (tiga puluh) gross tonnage diberikan daerah penangkapan ikan lebih dari 4 (empat) mil laut sampai dengan 12 (dua belas) mil laut, lebih dari 12 (dua belas) mil laut, Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI), atau laut lepas;
c. kapal penangkap ikan berukuran lebih dari 30 (tiga puluh) gross tonnage diberikan daerah penangkapan ikan di wilayah laut lebih dari 12 (dua belas) mil laut, dengan ketentuan:
1. kapal penangkap ikan berukuran sampai dengan 100 (seratus) gross tonnage diberikan daerah penangkapan ikan di perairan kepulauan, ZEEI, atau laut lepas;
2. kapal penangkap ikan berukuran lebih dari 100 (seratus) gross tonnage diberikan daerah penangkapan ikan di ZEEI atau laut lepas;
3. kapal penangkap ikan berukuran lebih dari 300 (tiga ratus) gross tonnage diberikan daerah penangkapan ikan di ZEEI lebih dari 150 (seratus lima puluh) mil laut dan laut lepas; dan
4. kapal penangkap ikan berukuran lebih dari 300 (tiga ratus) gross tonnage yang beroperasi di WPPNRI diberikan daerah penangkapan ikan di ZEEI.
(2) Batasan ukuran kapal penangkap ikan di kawasan konservasi berukuran paling besar 5 (lima) gross tonnage.


          

Pasal 28

 

(1) Kapal penangkap ikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) huruf a diberikan daerah penangkapan ikan di 1 (satu) atau 2 (dua) WPPNRI yang berdampingan.
(2) Kapal penangkap ikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) huruf b dan huruf c diberikan daerah penangkapan ikan di:
a. 1 (satu) atau 2 (dua) WPPNRI yang berdampingan; atau
b. laut lepas, yaitu Samudera Hindia atau Samudera Pasifik.



Pasal 29

 

(1) Kapal penangkap ikan dari daerah penangkapan ikan diberikan 4 (empat) pelabuhan pangkalan di WPPNRI yang menjadi daerah penangkapan ikannya dan 1 (satu) pelabuhan pangkalan sesuai dengan domisili usaha atau domisili tempat tinggal.
(2) Kapal penangkap ikan dari daerah penangkapan ikan yang beroperasi di laut lepas diberikan 1 (satu) pelabuhan pangkalan sesuai dengan domisili usaha atau domisili tempat tinggal dan paling banyak 40 (empat puluh) pelabuhan negara tujuan yang menjadi negara anggota Regional Fisheries Management Organizations (RFMO) pada wilayah RFMO yang sama dan melaksanakan ketentuan perjanjian internasional terkait pelabuhan perikanan.



Pasal 30

 

Andon penangkapan ikan dilakukan oleh kapal penangkap ikan berukuran sampai dengan 30 (tiga puluh) gross tonnage.

 

Pasal 31

 

(1) Kapal pengangkut ikan yang melakukan pengangkutan ikan dari pelabuhan pangkalan ke pelabuhan pangkalan lain diberikan paling banyak 20 (dua puluh) pelabuhan muat di 2 (dua) WPPNRI yang berdampingan dan 2 (dua) pelabuhan pangkalan.
(2) Kapal pengangkut ikan yang melakukan pengangkutan ikan dari pelabuhan pangkalan ke pelabuhan negara tujuan diberikan 1 (satu) pelabuhan pangkalan dan 1 (satu) pelabuhan negara tujuan.
(3) Kapal pengangkut ikan yang melakukan pengangkutan ikan hidup dari pelabuhan muat ke pelabuhan pangkalan di dalam negeri diberikan paling banyak 50 (lima puluh) pelabuhan muat dan 5 (lima) pelabuhan pangkalan.
(4) Kapal pengangkut ikan yang melakukan pengangkutan ikan hidup ke luar negeri untuk tujuan ekspor diberikan paling banyak 10 (sepuluh) pelabuhan muat dan 6 (enam) pelabuhan negara tujuan.
(5) Kapal pengangkut ikan yang melakukan pengangkutan ikan hidup di dalam negeri dapat mengangkut sarana pembudidayaan ikan, khusus untuk usaha pembudidayaan mutiara.

  

 

Pasal 32

 

Batasan ukuran kapal pengangkut ikan:

a. kapal pengangkut ikan dari pelabuhan pangkalan ke pelabuhan pangkalan lainnya, tidak diberikan batasan;
b. kapal pengangkut ikan dari pelabuhan pangkalan ke pelabuhan negara tujuan, berukuran lebih dari 20 (dua puluh) gross tonnage;
c. kapal pengangkut ikan dari daerah penangkapan ikan di perairan kepulauan ke pelabuhan pangkalan di dalam negeri, berukuran sampai dengan 300 (tiga ratus) gross tonnage;
d. kapal pengangkut ikan dari daerah penangkapan ikan di ZEEI dan laut lepas ke pelabuhan pangkalan di dalam negeri, berukuran lebih dari 30 (tiga puluh) gross tonnage;
e. kapal pengangkut ikan dari daerah penangkapan ikan di laut lepas ke pelabuhan negara tujuan yang menjadi negara anggota RFMO pada wilayah RFMO yang sama dan melaksanakan ketentuan port state measure agreement, berukuran lebih dari 300 (tiga ratus) gross tonnage;
f. kapal pengangkut ikan yang melakukan pengangkutan ikan hidup dari pelabuhan muat ke pelabuhan pangkalan di dalam negeri, berukuran paling besar 300 (tiga ratus) gross tonnage; dan
g. kapal pengangkut ikan yang melakukan pengangkutan ikan hidup ke luar negeri untuk tujuan ekspor, berukuran paling besar 500 (lima ratus) gross tonnage.



Pasal 33

 

(1) Kapal pengangkut ikan dari daerah penangkapan ikan diberikan 4 (empat) pelabuhan pangkalan di WPPNRI yang menjadi daerah penangkapan ikannya dan 1 (satu) pelabuhan pangkalan sesuai dengan domisili usaha atau domisili tempat tinggal.
(2) Kapal pengangkut ikan dari daerah penangkapan ikan yang beroperasi di laut lepas diberikan 1 (satu) pelabuhan pangkalan sesuai dengan domisili usaha atau domisili tempat tinggal dan paling banyak 40 (empat puluh) pelabuhan negara tujuan yang menjadi negara anggota RFMO pada wilayah RFMO yang sama dan melaksanakan ketentuan perjanjian internasional terkait pelabuhan perikanan.


     

Pasal 34

 

(1) Kapal penangkap ikan yang beroperasi di WPPNRI dapat melakukan alih muatan ke kapal pengangkut ikan.
(2) Kapal penangkap ikan dan/atau kapal pengangkut ikan dapat melakukan alih muatan di laut lepas maupun di pelabuhan di negara tujuan yang menjadi negara anggota RFMO pada wilayah RFMO yang sama dan melaksanakan ketentuan perjanjian internasional terkait pelabuhan perikanan dan resolusi RFMO.


     

Pasal 35

 

(1) Apabila dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sejak surat izin usaha perikanan pertama kali diterbitkan hanya merealisasikan sebagian rencana usaha yang tercantum dalam surat izin usaha perikanan, surat izin usaha perikanan dilakukan perubahan tanpa adanya permohonan sesuai dengan realisasi yang dilakukan.
(2) Apabila dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sejak surat izin usaha perikanan pertama kali diterbitkan tidak merealisasikan rencana usaha yang tercantum dalam surat izin usaha perikanan, surat izin usaha perikanan dicabut tanpa adanya permohonan.



Bagian Ketiga
Sektor Pertanian
 
Pasal 36

 

(1) Perizinan Berusaha pada sektor pertanian terdiri atas subsektor:
a. perkebunan;
b. tanaman pangan;
c. hortikultura;
d. peternakan dan kesehatan hewan;
e. ketahanan pangan; dan
f. sarana pertanian.
(2) Perizinan Berusaha pada subsektor perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis tingkat Risiko kegiatan usaha terdiri atas:
a. budidaya;
b. pengolahan hasil perkebunan yang terintegrasi dengan budidaya perkebunan;
c. pengolahan hasil perkebunan skala UMK-M; dan
d. produksi benih perkebunan.
(3) Perizinan Berusaha pada subsektor tanaman pangan sebagaimana pada ayat (1) huruf b yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis tingkat Risiko kegiatan usaha terdiri atas:
a. budidaya;
b. perbenihan;
c. pascapanen;
d. pengolahan;
e. jasa; dan
f. keterpaduan.
(4) Perizinan Berusaha pada subsektor hortikultura sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis tingkat Risiko kegiatan usaha terdiri atas:
a. budidaya; dan
b. produksi perbenihan hortikultura.
(5) Perizinan Berusaha pada subsektor peternakan dan kesehatan hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis tingkat Risiko kegiatan usaha terdiri atas:
a. peternakan;
b. hijauan pakan ternak;
c. rumah potong hewan;
d. penanganan daging dan hasil ikutan;
e. veteriner; dan
f. obat hewan.
(6) Perizinan Berusaha pada subsektor ketahanan pangan dan subsektor sarana pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dan huruf f tidak memiliki Perizinan Berusaha yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis tingkat Risiko.


     

Pasal 37

 

Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha pada sektor pertanian meliputi:

a. penunjang operasional dan/atau komersial kegiatan usaha; dan
b. ekspor dan impor.



Pasal 38

 

(1) Kode KBLI/KBLI terkait, judul KBLI, ruang lingkup kegiatan, parameter Risiko, tingkat Risiko, Perizinan Berusaha, jangka waktu, masa berlaku, dan kewenangan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dan Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 tercantum dalam Lampiran I.
(2) Persyaratan dan/atau kewajiban Perizinan Berusaha pada sektor pertanian yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis Risiko kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dan Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 tercantum dalam Lampiran II.


     

Bagian Keempat
Sektor Lingkungan Hidup dan Kehutanan
 
Pasal 39

 

(1) Perizinan Berusaha sektor lingkungan hidup dan kehutanan yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis Risiko kegiatan usaha meliputi kegiatan usaha:
a. pemanfaatan hutan;
b. pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun;
c. pengelolaan air limbah;
d. pemanfaatan jasa lingkungan pada kawasan konservasi;
e. pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar; dan
f. perbenihan tanaman hutan.
(2) Perizinan Berusaha pada subsektor pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis tingkat Risiko kegiatan usaha terdiri atas:
a. pemanfaatan hutan produksi;
b. pemanfaatan hutan lindung;
c. pengolahan hasil hutan skala besar;
d. pengolahan hasil hutan skala menengah; dan
e. pengolahan hasil hutan skala kecil.
(3) Perizinan Berusaha pada subsektor pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ditetapkan berdasarkan hasil analisis tingkat Risiko kegiatan usaha terdiri atas:
a. pengumpulan limbah bahan berbahaya dan beracun;
b. pemanfaatan limbah bahan berbahaya dan beracun;
c. pengolahan limbah bahan berbahaya dan beracun; dan
d. penimbunan limbah bahan berbahaya dan beracun.
(4) Perizinan Berusaha pada subsektor pengelolaan air limbah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis tingkat Risiko kegiatan usaha terdiri atas:
a. pengangkutan air limbah tidak berbahaya;
b. pengangkutan air limbah berbahaya;
c. pengolahan air limbah tidak berbahaya; dan
d. pengolahan air limbah berbahaya.
(5) Perizinan Berusaha pada subsektor pemanfaatan jasa lingkungan pada kawasan konservasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis tingkat Risiko kegiatan usaha terdiri atas:
a. pemanfaatan jasa lingkungan panas bumi tahap eksplorasi;
b. pemanfaatan jasa lingkungan panas bumi tahap eksploitasi dan pemanfaatan;
c. pemanfaatan jasa lingkungan air skala mikro;
d. pemanfaatan jasa lingkungan air skala kecil;
e. pemanfaatan jasa lingkungan air skala menengah;
f. pemanfaatan jasa lingkungan air skala besar;
g. pemanfaatan jasa lingkungan energi air skala mikro;
h. pemanfaatan jasa lingkungan energi air skala kecil;
i. pemanfaatan jasa lingkungan energi air skala menengah;
j. pemanfaatan jasa lingkungan energi air skala besar;
k. pengusahaan sarana jasa lingkungan wisata alam;
l. penyediaan jasa wisata alam;
m. penyediaan jasa lingkungan air;
n. penyediaan jasa lingkungan energi air; dan
o. pengusahaan taman buru.
(6) Perizinan Berusaha pada subsektor pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis tingkat Risiko kegiatan usaha terdiri atas:
a. lembaga konservasi untuk kepentingan umum;
b. penangkaran jenis tumbuhan dan satwa liar;
c. peredaran jenis tumbuhan dan satwa liar dalam negeri;
d. peredaran jenis tumbuhan dan satwa liar luar negeri; dan
e. peragaan tumbuhan dan satwa liar.
(7) Perizinan Berusaha pada subsektor perbenihan tanaman hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis tingkat Risiko kegiatan usaha terdiri atas:
a. pengadaan dan pengedaran benih:
b. pengadaan dan pengedaran bibit;
c. pengadaan dan pengedaran benih dan bibit;
d. pemasukan benih dan/atau bibit tanaman hutan dari luar negeri; dan
e. pengeluaran benih dan/atau bibit tanaman hutan ke luar negeri.



Pasal 40

 

(1) Kode KBLI/KBLI terkait, judul KBLI, ruang lingkup kegiatan, parameter Risiko, tingkat Risiko, Perizinan Berusaha, jangka waktu, masa berlaku, dan kewenangan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 tercantum dalam Lampiran I.
(2) Persyaratan dan/atau kewajiban Perizinan Berusaha pada sektor lingkungan hidup dan kehutanan yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis Risiko kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 tercantum dalam Lampiran II.


     

Bagian Kelima
Sektor Energi dan Sumber Daya Mineral
 
Paragraf 1
Perizinan Berusaha
 
Pasal 41

 

(1) Perizinan Berusaha sektor energi dan sumber daya mineral terdiri atas subsektor:
a. minyak dan gas bumi;
b. ketenagalistrikan;
c. mineral dan batubara; dan
d. energi baru, terbarukan, dan konservasi energi.
(2) Perizinan Berusaha pada subsektor minyak dan gas bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis Risiko kegiatan usaha terdiri atas:
a. kegiatan survei umum;
b. kegiatan usaha hulu; dan
c. kegiatan usaha hilir.
(3) Perizinan Berusaha pada subsektor ketenagalistrikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis Risiko kegiatan usaha terdiri atas:
a. penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum; dan
b. jasa penunjang tenaga listrik.
(4) Perizinan Berusaha pada subsektor mineral dan batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis Risiko kegiatan usaha terdiri atas:
a. pertambangan;
b. pertambangan khusus;
c. pertambangan khusus sebagai kelanjutan operasi kontrak/perjanjian;
d. pertambangan rakyat;
e. penambangan batuan;
f. pengangkutan dan penjualan;
g. jasa pertambangan; dan
h. pertambangan untuk penjualan.
(5) Perizinan Berusaha subsektor energi baru, terbarukan, dan konservasi energi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis Risiko kegiatan usaha terdiri atas:
a. pengusahaan panas bumi; dan
b. niaga bahan bakar nabati (biofuel) sebagai bahan bakar lain.



Pasal 42

 

(1) Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha pada subsektor minyak dan gas bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) huruf a meliputi:
a. surat kemampuan usaha penunjang jasa dan industri minyak dan gas bumi;
b. rencana impor barang operasi minyak dan gas bumi;
c. penandasahan hasil verifikasi tingkat komponen dalam negeri pada kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi;
d. rekomendasi ekspor dan impor minyak mentah;
e. rekomendasi ekspor hasil kilang;
f. rekomendasi pertimbangan tertulis pabrikasi pelumas;
g. rekomendasi ekspor dan impor niaga minyak dan gas bumi untuk badan usaha niaga dan pengguna langsung;
h. pelaporan penyalur badan usaha niaga minyak dan gas bumi meliputi penyalur bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan liquid petroleum gas;
i. izin pembangunan dan pengoperasian pipa gas bumi serta fasilitas dan sarana pendukung untuk kepentingan sendiri;
j. izin usaha pengangkutan minyak dan gas bumi;
k. rekomendasi ekspor minyak dan gas bumi hasil kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi;
l. persetujuan penyisihan wilayah kerja minyak dan gas bumi;
m. persetujuan pengalihan partisipasi interes;
n. penetapan alokasi dan pemanfaatan serta harga gas bumi;
o. persetujuan rencana pengembangan lapangan minyak dan gas bumi yang pertama kali dan perubahannya;
p. persetujuan pemanfaatan data minyak dan gas bumi;
q. persetujuan survei keluar wilayah kerja minyak dan gas bumi;
r. rekomendasi penggunaan wilayah kerja minyak dan gas bumi untuk kegiatan lainnya;
s. rekomendasi penetapan lokasi;
t. persetujuan pengalihan partisipasi interes 10% (sepuluh persen);
u. persetujuan pemroduksian minyak bumi pada sumur tua;
v. persetujuan penunjukan pihak lain untuk pengelolaan data kontraktor;
w. persetujuan penyimpanan salinan data di luar wilayah hukum pertambangan Indonesia;
x. izin gudang bahan peledak;
y. penetapan daerah terbatas terlarang pada kegiatan usaha minyak dan gas bumi;
z. rekomendasi teknis injeksi air limbah;
aa. persetujuan dokumen rencana tanggap darurat penanggulangan tumpahan minyak; 
bb. persetujuan pelaksanaan kegiatan pascaoperasi pada kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi;
cc. persetujuan layak operasi;
dd. pengesahan kualifikasi prosedur dan ahli las;
ee. nomor pelumas terdaftar;
ff. pengesahan perusahaan inspeksi; dan
gg. persetujuan pengalihan sisa komitmen pasti ke wilayah terbuka.
(2) Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha pada subsektor ketenagalistrikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) huruf b meliputi:
a. kegiatan usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum;
b. kegiatan penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan sendiri; dan
c. kegiatan usaha jasa penunjang tenaga listrik.
(3) Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha pada subsektor mineral dan batubara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) huruf c meliputi:
a. persetujuan program kemitraan;
b. persetujuan konsultasi dan/atau perencanaan pada usaha jasa pertambangan; dan
c. persetujuan penggunaan keikutsertaan anak perusahaan dan/atau afiliasi dalam usaha jasa pertambangan.
(4) Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha pada subsektor energi baru, terbarukan, dan konservasi energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) huruf d meliputi:
a. registrasi usaha penunjang panas bumi;
b. izin gudang bahan peledak;
c. sertifikasi peralatan, instalasi, welding procedure specification/procedure qualification record, dan juru las panas bumi;
d. Perizinan Berusaha pengusahaan panas bumi;
e. persetujuan studi kelayakan proyek pembangkit listrik tenaga panas bumi;
f. penandasahan impor barang panas bumi; dan
g. rekomendasi ekspor dan/atau impor bahan bakar nabati.



Pasal 43

 

(1) Kode KBLI/KBLI terkait, judul KBLI, ruang lingkup kegiatan, parameter Risiko, tingkat Risiko, Perizinan Berusaha, jangka waktu, masa berlaku, dan kewenangan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dan Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 tercantum dalam Lampiran I.
(2) Persyaratan dan/atau kewajiban Perizinan Berusaha pada sektor energi dan sumber daya mineral yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis Risiko kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dan Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 tercantum dalam Lampiran II.



Paragraf 2
Norma dan Kriteria
 
Pasal 44

 

(1) Untuk menunjang penyiapan wilayah kerja, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral melakukan kegiatan survei umum.
(2) Kegiatan survei umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada wilayah terbuka di dalam wilayah hukum pertambangan.
(3) Kegiatan survei umum paling sedikit meliputi survei geologi, survei geofisika, dan survei geokimia.
(4) Pelaksanaan survei umum oleh badan usaha dilaksanakan atas biaya dan Risiko sendiri.
(5) Sebelum melaksanakan survei umum, badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib menyampaikan terlebih dahulu jadwal dan prosedur pelaksanaan survei umum kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral.


     

Pasal 45

 

(1) Kegiatan usaha hulu dilaksanakan oleh badan usaha atau bentuk usaha tetap berdasarkan kontrak kerja sama.
(2) Dalam penerapan Perizinan Berusaha pada kegiatan usaha hulu:
a. kontrak kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperlakukan sebagai Izin dalam kegiatan usaha hulu; dan
b. badan usaha atau bentuk usaha tetap yang menandatangani kontrak kerja sama wajib memiliki NIB.
(3) Penerapan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menghapus keberlakuan seluruh ketentuan dalam kontrak kerja sama.


     

Pasal 46

 

Kegiatan usaha hilir meliputi:

a. kegiatan usaha pengolahan yang meliputi kegiatan memurnikan, memperoleh bagian-bagian, mempertinggi mutu, dan mempertinggi nilai tambah minyak dan gas bumi yang menghasilkan bahan bakar minyak, bahan bakar gas, hasil olahan, liquified petroleum gas, dan/atau liquified natural gas tetapi tidak termasuk pengolahan lapangan;
b. kegiatan usaha pengangkutan yang meliputi kegiatan pemindahan minyak bumi, gas bumi, bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan/atau hasil olahan baik melalui darat, air, dan/atau udara termasuk pengangkutan gas bumi melalui pipa dari suatu tempat ke tempat lain untuk tujuan komersial;
c. kegiatan usaha penyimpanan yang meliputi kegiatan penerimaan, pengumpulan, penampungan, dan pengeluaran minyak bumi, bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan/atau hasil olahan pada lokasi di atas dan/atau di bawah permukaan tanah dan/atau permukaan air untuk tujuan komersial; dan
d. kegiatan usaha niaga yang meliputi kegiatan pembelian, penjualan, ekspor, dan impor minyak bumi, bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan/atau hasil olahan, termasuk gas bumi melalui pipa.


     

Pasal 47

 

(1) Pelaku Usaha yang melakukan kegiatan usaha niaga bahan bakar nabati (biofuel) sebagai bahan bakar lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (5) huruf b wajib memiliki Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha niaga bahan bakar nabati (biofuel) sebagai bahan bakar lain.
(2) Pengajuan Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha niaga bahan bakar nabati (biofuel) sebagai bahan bakar lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan dan/atau kewajiban.



Pasal 48

 

Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha niaga bahan bakar nabati (biofuel) sebagai bahan bakar lain dapat diperpanjang berdasarkan kinerja perusahaan dan evaluasi tahunan.


     

Pasal 49

 

(1) Pemegang Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha niaga bahan bakar nabati (biofuel) sebagai bahan bakar lain wajib memiliki dan/atau menguasai fasilitas dan sarana kegiatan usaha niaga bahan bakar nabati (biofuel) sebagai bahan bakar lain.
(2) Fasilitas dan sarana kegiatan usaha niaga bahan bakar nabati (biofuel) sebagai bahan bakar lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi fasilitas penyediaan, pendistribusian, dan pemasaran.
(3) Dalam melaksanakan pembangunan fasilitas dan sarana sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemegang Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha niaga bahan bakar nabati (biofuel) sebagai bahan bakar lain wajib:
a. menggunakan barang dan peralatan yang memenuhi standar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. menggunakan kaidah keteknikan yang baik;
c. mengutamakan pemanfaatan barang, peralatan, jasa, teknologi, serta kemampuan rekayasa dan rancang bangun dalam negeri;
d. mengutamakan penggunaan tenaga kerja warga negara Indonesia dengan memperhatikan pemanfaatan tenaga kerja setempat sesuai dengan standar kompetensi yang dipersyaratkan;
e. menjamin keselamatan dan kesehatan kerja serta lingkungan hidup; dan
f. membantu pengembangan masyarakat setempat.




Pasal 50

 

Dalam melaksanakan kegiatan usaha niaga bahan bakar nabati (biofuel) sebagai bahan bakar lain, badan usaha wajib:

a. menjamin dan bertanggung jawab sampai ke tingkat penyalur/konsumen akhir atas standar dan mutu bahan bakar nabati (biofuel) sebagai bahan bakar lain yang diniagakan sesuai standar dan mutu/spesifikasi yang ditetapkan;
b. menjamin harga jual bahan bakar nabati (biofuel) sebagai bahan bakar lain pada tingkat yang wajar;
c. menjamin penyediaan fasilitas dan sarana kegiatan usaha niaga bahan bakar nabati (biofuel) sebagai bahan bakar lain yang memadai;
d. menjamin dan bertanggung jawab atas penggunaan peralatan, keakuratan, dan sistem alat ukur yang digunakan yang memenuhi standar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
e. mempunyai dan menggunakan nama dan merek dagang tertentu bahan bakar nabati (biofuel) sebagai bahan bakar lain;
f. mengutamakan pemenuhan kebutuhan dalam negeri; dan
g. menyampaikan data dan laporan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral mengenai pelaksanaan kegiatan usaha niaga bahan bakar nabati (biofuel) sebagai bahan bakar lain termasuk harga jual bahan bakar nabati (biofuel) sebagai bahan bakar lain setiap 1 (satu) bulan sekali atau sewaktu-waktu apabila diperlukan.


     

Pasal 51

 

(1) Pelaku Usaha yang melakukan kegiatan usaha niaga bahan bakar nabati (biofuel) sebagai bahan bakar lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) dapat meniagakan bahan bakar nabati (biofuel) sebagai bahan bakar lain kepada konsumen akhir.
(2) Terhadap bahan bakar nabati (biofuel) sebagai bahan bakar lain yang dicampur dengan bahan bakar minyak hanya dapat diniagakan oleh badan usaha pemegang izin usaha niaga bahan bakar minyak.


 
    

Pasal 52

 

(1) Dengan mempertimbangkan kebutuhan dan pemenuhan bahan bakar nabati (biofuel) sebagai bahan bakar lain di dalam negeri, Pelaku Usaha yang melakukan kegiatan usaha niaga bahan bakar nabati (biofuel) sebagai bahan bakar lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) dapat melaksanakan ekspor dan/atau impor bahan bakar nabati (biofuel) sebagai bahan bakar lain berdasarkan rekomendasi.
(2) Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan memperhatikan kapasitas produksi dan jaminan pemenuhan kebutuhan bahan bakar nabati (biofuel) sebagai bahan bakar lain di dalam negeri.
(3) Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan:
a. 1 (satu) kali untuk 1 (satu) tahun pelaksanaan ekspor; dan/atau
b. untuk setiap kali pelaksanaan impor.
(4) Rekomendasi ekspor dan/atau impor sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberikan paling lama 7 (tujuh) Hari sejak diterimanya permohonan rekomendasi ekspor dan/atau impor dari Pelaku Usaha.
(5) Pelaku Usaha wajib melaporkan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral mengenai pelaksanaan ekspor dan/atau impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1).


    

Bagian Keenam
Sektor Ketenaganukliran
 
Paragraf 1
Perizinan Berusaha
 
Pasal 53

 

(1) Perizinan Berusaha pada sektor ketenaganukliran terdiri atas subsektor:
a. pemanfaatan sumber radiasi pengion;
b. instalasi nuklir dan bahan nuklir;
c. pertambangan bahan galian nuklir; dan
d. pendukung sektor ketenaganukliran.
(2) Perizinan Berusaha pada subsektor pemanfaatan sumber radiasi pengion sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis tingkat Risiko kegiatan usaha terdiri atas:
a. produksi radioisotop;
b. produksi radioisotop dan radiofarmaka;
c. produksi radiofarmaka;
d. produksi peralatan yang menggunakan zat radioaktif;
e. produksi barang konsumen;
f. kalibrasi yang menggunakan sumber radiasi pengion;
g. pengelolaan limbah radioaktif;
h. ekspor zat radioaktif;
i. impor dan/atau pengalihan zat radioaktif;
j. pengalihan pembangkit radiasi pengion;
k. produksi pembangkit radiasi pengion;
l. impor atau ekspor pembangkit radiasi pengion;
m. ekspor barang konsumen;
n. impor dan/atau pengalihan barang konsumen;
o. pendidikan, penelitian dan/atau pengembangan untuk penggunaan sumber radiasi pengion; dan
p. penggunaan, yang meliputi:
1. kedokteran nuklir, yang meliputi:
a) kedokteran nuklir terapi; dan
b) kedokteran nuklir diagnostik in vivo;
           
2. radioterapi;
3. iradiasi dengan iradiator, yang meliputi:
a) iradiator kategori II menggunakan sumber radioaktif;
b) iradiator kategori II menggunakan pembangkit radiasi pengion;
c) iradiator kategori III menggunakan sumber radioaktif; dan
d) iradiator kategori IV menggunakan sumber radioaktif;
4. radiologi diagnostik dan/atau intervensional;
5. iradiasi dengan iradiator, yang meliputi:
a) iradiator kategori I menggunakan sumber radioaktif; dan
b) iradiator kategori I menggunakan pembangkit radiasi pengion;
6. uji tak rusak, yang meliputi:
a) uji tak rusak menggunakan sumber radiasi pengion mobile atau portabel; dan
b) uji tak rusak menggunakan sumber radiasi pengion terpasang tetap;
7. perekaman data dalam sumur pengeboran (well logging);
8. penanda dan/atau perunut;
9. pengukuran (gauging) yang meliputi:
a) pengukuran menggunakan sumber radiasi pengion portabel dan/atau mobile; dan
b) pengukuran menggunakan sumber radiasi pengion terpasang tetap;
10. pemindaian bagasi menggunakan pembangkit radiasi pengion portabel;
11. pemeriksaan nonmedik pada manusia dengan pembangkit radiasi pengion;  
12. pemeriksaan kargo dan/atau peti kemas menggunakan sumber radiasi pengion;
13. fasilitas penyimpanan sumber radioaktif;
14. penyimpanan sementara zat radioaktif;
15. radiologi diagnostik yang meliputi:
a) pengukuran densitas tulang; dan
b) pesawat gigi intra oral;
16. kedokteran nuklir diagnostik in vitro;
17. pemeriksaan unjuk kerja peralatan dengan zat radioaktif;
18. analisis menggunakan sumber radiasi pengion;
19. pemindaian bagasi dengan pembangkit radiasi pengion terpasang tetap; dan
20. penyimpanan sementara pembangkit radiasi pengion.
(3) Perizinan Berusaha pada subsektor instalasi nuklir dan bahan nuklir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis tingkat Risiko kegiatan usaha terdiri atas:
a. reaktor nuklir;
b. instalasi nuklir nonreaktor; dan
c. pemanfaatan bahan nuklir.
(4) Perizinan Berusaha pada subsektor pertambangan bahan galian nuklir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis tingkat Risiko kegiatan usaha terdiri atas:
a. penyelidikan umum;
b. eksplorasi;
c. studi kelayakan;
d. konstruksi;
e. penambangan;
f. pengolahan;
g. penyimpanan;
h. pengalihan; dan/atau
i. dekomisioning.
(5) Perizinan Berusaha pada subsektor pendukung sektor ketenaganukliran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis tingkat Risiko kegiatan usaha terdiri atas:
a. lembaga uji ketenaganukliran:
1. lembaga uji kesesuaian pesawat sinar-X radiologi diagnostik dan intervensional;
2. laboratorium dosimetri;
3. laboratorium uji bungkusan zat radioaktif;
4. laboratorium uji peralatan radiografi industri; dan
5. laboratorium uji radioaktivitas lingkungan;
b. lembaga pelatihan ketenaganukliran.


        

Pasal 54

 

(1) Perizinan Berusaha untuk kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2) huruf a sampai dengan huruf f dan huruf p angka 1 sampai dengan angka 3, diterbitkan sesuai tahapan kegiatan.
(2) Tahapan kegiatan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. tahap kegiatan konstruksi;
b. tahap kegiatan operasi; dan
c. tahap kegiatan dekomisioning fasilitas sumber radiasi pengion.



Pasal 55

 

(1) Perizinan Berusaha untuk pengelolaan limbah radioaktif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2) huruf g, diterbitkan sesuai tahapan:
a. tahap kegiatan penentuan tapak;
b. tahap kegiatan konstruksi;
c. tahap kegiatan operasi; dan
d. tahap kegiatan dekomisioning fasilitas sumber radiasi pengion.
(2) Permohonan Perizinan Berusaha untuk kegiatan pengelolaan limbah radioaktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan oleh badan pelaksana.
(3) Badan pelaksana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan badan pelaksana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai ketenaganukliran.



Pasal 56

 

Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha pada sektor ketenaganukliran meliputi:

a. izin produksi radioisotop dan radiofarmaka;
b. izin produksi radiofarmaka;
c. izin produksi peralatan yang menggunakan zat radioaktif;
d. izin produksi barang konsumen;
e. izin kalibrasi yang menggunakan sumber radiasi pengion;
f. izin kedokteran nuklir terapi dan diagnostic in vivo;
g. izin radioterapi;
h. izin iradiator kategori II menggunakan sumber radioaktif;
i. izin iradiator kategori II menggunakan pembangkit radiasi pengion;
j. izin iradiator kategori III menggunakan sumber radioaktif;
k. izin iradiator kategori IV menggunakan sumber radioaktif;
l. izin pemanfaatan sumber radiasi pengion untuk tujuan pendidikan;
m. izin ekspor zat radioaktif;
n. izin impor dan/atau pengalihan zat radioaktif;
o. izin pengalihan pembangkit radiasi pengion;
p. izin produksi pembangkit radiasi pengion;
q. izin radiologi diagnostik dan/atau intervensional;
r. izin iradiator kategori I menggunakan sumber radioaktif;
s. izin iradiator kategori I menggunakan pembangkit radiasi pengion;
t. izin uji tak rusak terpasang tetap/mobile;
u. izin perekaman data dalam sumur pengeboran (well logging);
v. izin penanda dan/atau perunut;
w. izin pengukuran (gauging);
x. izin pemindaian bagasi menggunakan pembangkit radiasi pengion portabel;
y. izin pemeriksaan nonmedik pada manusia dengan pembangkit radiasi pengion;
z. izin pemeriksaan kargo dan/atau peti kemas menggunakan sumber radiasi pengion;
aa. izin fasilitas penyimpanan sumber radioaktif;
bb. izin menyimpan sementarazat radioaktif;
cc. impor atau ekspor pembangkit radiasi pengion;
dd. ekspor barang konsumen; dan
ee. impor dan/atau pengalihan barang konsumen.

  
     

Pasal 57

 

(1) Kode KBLI/KBLI terkait, judul KBLI, ruang lingkup kegiatan, parameter Risiko, tingkat Risiko, Perizinan Berusaha, jangka waktu, masa berlaku, dan kewenangan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 dan Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 tercantum dalam Lampiran I.
(2) Persyaratan dan/atau kewajiban Perizinan Berusaha pada sektor ketenaganukliran yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis. Risiko kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 dan Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 tercantum dalam Lampiran II.


     

Paragraf 2
Norma dan Kriteria
 
Pasal 58

 

(1) Perizinan Berusaha pemanfaatan sumber radiasi pengion dikenakan biaya yang besarnya ditetapkan dalam peraturan pemerintah tersendiri.
(2) Dalam hal tertentu, pemanfaatan sumber radiasi pengion untuk pemanfaatan yang menggunakan zat radioaktif atau pemanfaatan yang menggunakan pembangkit radiasi pengion dan barang konsumen dikecualikan dari Perizinan Berusaha.


     

Pasal 59

 

(1) Ketentuan mengenai norma dan kriteria pemanfaatan sumber radiasi pengion, instalasi nuklir dan bahan nuklir, pertambangan bahan galian nuklir, dan pendukung sektor ketenaganukliran diatur dalam peraturan kepala lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran.
(2) Peraturan kepala lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setelah mendapat persetujuan Presiden dan berkoordinasi dengan kementerian yang menyelenggarakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian urusan kementerian dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang perekonomian.


     

Bagian Ketujuh
Sektor Perindustrian
 
Paragraf 1
Perizinan Berusaha
 
Pasal 60

 

(1) Perizinan Berusaha pada sektor perindustrian meliputi kegiatan usaha:
a. penyelenggaraan industri yang mengolah bahan baku dan/atau memanfaatkan sumber daya industri; dan
b. kawasan industri.
(2) Perizinan Berusaha pada kegiatan usaha penyelenggaraan industri yang mengolah bahan baku dan/atau memanfaatkan sumber daya industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis tingkat Risiko kegiatan usaha terdiri atas:
a. kegiatan yang menghasilkan barang yang mempunyai nilai tambah atau manfaat lebih tinggi; dan/atau
b. kegiatan yang menyediakan jasa industri.
(3) Perizinan Berusaha pada kegiatan usaha kawasan industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis tingkat Risiko kegiatan usaha terdiri atas kegiatan usaha kawasan industri.
(4) Kegiatan usaha industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diklasifikasikan menjadi:
a. industri kecil;
b. industri menengah; dan
c. industri besar.



Pasal 61

 

Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha pada sektor perindustrian meliputi:

a. rekomendasi, pertimbangan teknis, surat persetujuan, surat penetapan, tanda pendaftaran, tanda daftar, dan/atau surat keterangan dalam kegiatan operasional usaha industri tertentu;
b. verifikasi teknis pemenuhan persyaratan Perizinan Berusaha industri; dan
c. verifikasi teknis pemenuhan persyaratan Perizinan Berusaha kawasan industri.



Pasal 62

 

(1) Kode KBLI/KBLI terkait, judul KBLI, ruang lingkup kegiatan, parameter Risiko, tingkat Risiko, Perizinan Berusaha, jangka waktu, masa berlaku, dan kewenangan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 dan Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 tercantum dalam Lampiran I.
(2) Persyaratan dan/atau kewajiban Perizinan Berusaha pada sektor perindustrian yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis Risiko kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 dan Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 tercantum dalam Lampiran II.



Pasal 63

 

Perizinan Berusaha sektor perindustrian diberikan melalui Sistem OSS dan Sistem Informasi Industri Nasional (SIINas) secara terintegrasi.

 

Paragraf 2
Norma dan Kriteria
 
Pasal 64

 

Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) huruf a berlaku juga sebagai Perizinan Berusaha untuk tempat penyimpanan mesin/peralatan, bahan baku, bahan penolong, dan/atau hasil produksi dengan ketentuan:

a. tempat penyimpanan dimaksud terkait dengan kegiatan dan/atau kepentingan produksi Pelaku Usaha di sektor perindustrian bersangkutan yang tidak terpisahkan dari kegiatan industrinya dan berada dalam 1 (satu) lokasi usaha industri; dan
b. tempat penyimpanan dimaksud tidak disewakan atau dikomersialkan.


     

Pasal 65

 

(1) Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) huruf a diperuntukan untuk kegiatan usaha industri yang wajib dilakukan di lokasi kawasan industri.
(2) Kegiatan usaha industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berlokasi di luar kawasan industri apabila:
a. berlokasi di daerah kabupaten/kota yang belum memiliki kawasan industri atau telah memiliki kawasan industri tetapi seluruh kaveling industri dalam kawasan industrinya telah habis;
b. berlokasi di zona industri dalam KEK;
c. termasuk klasifikasi industri kecil dan industri menengah yang tidak berpotensi menimbulkan pencemaran lingkungan hidup yang berdampak luas; atau
d. industri yang menggunakan bahan baku khusus dan/atau proses produksinya memerlukan lokasi khusus.
(3) Kegiatan usaha industri yang berlokasi di luar kawasan industri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan ketentuan:
a. berlokasi di daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a; dan/atau
b. termasuk klasifikasi industri menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c,
wajib berlokasi di kawasan peruntukan industri sesuai dengan rencana tata ruang wilayah nasional, rencana tata ruang wilayah provinsi, atau rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota.
(4) Industri kecil dan industri menengah yang tidak berpotensi menimbulkan pencemaran lingkungan hidup yang berdampak luas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dan industri yang menggunakan bahan baku khusus dan/atau proses produksinya memerlukan lokasi khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian.


     

Pasal 66

 

(1) Pelaku Usaha perseorangan dan Pelaku Usaha nonperseorangan di sektor perindustrian yang melakukan perubahan klasifikasi usaha industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (4) wajib memenuhi ketentuan lokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan bagi Pelaku Usaha perseorangan dan Pelaku Usaha nonperseorangan di sektor perindustrian yang melakukan perubahan klasifikasi kegiatan usaha industri tanpa menambah lahan lokasi industri atau pindah lokasi industri.


     

Pasal 67

 

(1) Dalam 1 (satu) Perizinan Berusaha hanya berlaku bagi 1 (satu) Pelaku Usaha di sektor perindustrian yang:
a. memiliki usaha industri dengan 1 (satu) kelompok usaha sesuai dengan KBLI 5 (lima) digit dan berada dalam 1 (satu) lokasi industri;
b. memiliki beberapa usaha industri yang merupakan 1 (satu) unit produksi terpadu dengan KBLI 5 (lima) digit yang berbeda dalam 1 (satu) kawasan industri; atau
c. memiliki beberapa usaha industri dengan 1 (satu) kelompok usaha sesuai dengan KBLI 5 (lima) digit yang sama dan berada di beberapa lokasi dalam 1 (satu) kawasan industri.
(2) Dalam hal Pelaku Usaha di sektor perindustrian memiliki usaha industri di luar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib memiliki Perizinan Berusaha baru.


      

Pasal 68

 

(1) Pelaku Usaha di sektor perindustrian wajib:
a. melaksanakan kegiatan usaha industri sesuai dengan Perizinan Berusaha yang dimiliki; dan
b. menjamin keamanan dan keselamatan alat, proses, hasil produksi, penyimpanan, serta pengangkutan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai jaminan keamanan dan keselamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian.



Pasal 69

 

Masa berlaku Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) huruf a berlaku selama Pelaku Usaha di sektor perindustrian melakukan kegiatan usaha industri.

 

Pasal 70

 

(1) Setiap Pelaku Usaha di sektor perindustrian yang telah memiliki Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) huruf a dapat melakukan perluasan kegiatan usaha industri.
(2) Perluasan kegiatan usaha industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan apabila Pelaku Usaha di sektor perindustrian melakukan penambahan kapasitas produksi terpasang.
(3) Dalam hal perluasan kegiatan usaha industri berpengaruh terhadap lingkungan hidup, Pelaku Usaha harus memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup.



Pasal 71

 

(1) Pelaku Usaha di sektor perindustrian yang melakukan perubahan:
a. jumlah tenaga kerja;
b. nilai investasi;
c. kapasitas produksi terpasang;
d. penambahan kelompok industri sesuai dengan KBLI 5 (lima) digit; dan
e. penambahan/pemindahan lokasi usaha,
wajib melakukan penyesuaian data Perizinan Berusaha.
(2) Pelaku Usaha di sektor perindustrian yang melakukan perubahan jumlah tenaga kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan/atau nilai investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b yang mengakibatkan perubahan klasifikasi usaha industri wajib memenuhi ketentuan lokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikecualikan bagi Pelaku Usaha di sektor perindustrian yang melakukan perubahan klasifikasi usaha industri tanpa menambah lahan lokasi industri dan pindah lokasi industri.
(4) Penyesuaian data Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menyampaikan permohonan melalui Sistem OSS.


 

Pasal 72

 

(1) Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha kawasan industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) huruf b diberikan hanya kepada Pelaku Usaha nonperseorangan, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, koperasi, dan perseroan terbatas, yang berlokasi di dalam kawasan peruntukan industri sesuai dengan rencana tata ruang wilayah nasional, rencana tata ruang wilayah provinsi, atau rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota.
(2) Pelaku Usaha nonperseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang telah memperoleh Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha kawasan industri merupakan perusahaan kawasan industri.
(3) Perizinan Berusaha kawasan industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan sesuai dengan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang kegiatan usaha kawasan industri.



Pasal 73

 

Pembangunan kawasan industri dilakukan dengan mengacu pada pedoman teknis pembangunan kawasan industri.


 

Pasal 74

 

(1) Perusahaan kawasan industri wajib memenuhi standar kawasan industri.
(2) Perusahaan kawasan industri yang telah memenuhi standar kawasan industri diberikan akreditasi.


     

Pasal 75

 

Masa berlaku Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha kawasan industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) huruf b berlaku selama perusahaan kawasan industri melakukan kegiatan usaha kawasan industri.


 

Pasal 76

 

(1) Setiap perusahaan kawasan industri yang melakukan perluasan kawasan wajib memiliki Perizinan Berusaha.
(2) Sebelum mengajukan permohonan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), perusahaan kawasan industri harus telah menguasai dan selesai menyiapkan lahan kawasan industri sampai dapat digunakan, menyusun perubahan analisis dampak lingkungan, perencanaan, dan pembangunan infrastruktur kawasan industri, serta kesiapan lain dalam rangka perluasan kawasan.
(3) Perluasan kawasan industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di dalam kawasan peruntukan industri.
(4) Perluasan kawasan industri hanya diberikan seluas lahan yang telah siap digunakan dan dikuasai yang dibuktikan dengan surat pelepasan hak atau sertifikat.


     

Bagian Kedelapan
Sektor Perdagangan
 
Pasal 77

 

(1) Perizinan Berusaha pada sektor perdagangan meliputi kegiatan usaha:
a. perdagangan dalam negeri;
b. pengembangan ekspor nasional; dan
c. perdagangan berjangka komoditi, sistem resi gudang, dan pasar lelang komoditas.
(2) Perizinan Berusaha pada kegiatan usaha perdagangan dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sebagaimana tercantum dalam Lampiran I dan Lampiran II.
(3) Perizinan Berusaha pada kegiatan usaha pengembangan ekspor nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis tingkat Risiko kegiatan usaha terdiri atas kegiatan usaha pameran dagang.
(4) Perizinan Berusaha pada kegiatan usaha perdagangan berjangka komoditi, sistem resi gudang, dan pasar lelang komoditas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perdagangan berjangka komoditi, sistem resi gudang, dan pasar lelang komoditas.


     

Pasal 78

 

Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha pada sektor perdagangan meliputi:

a. perdagangan dalam negeri;
b. perdagangan luar negeri; dan
c. perlindungan konsumen dan tertib niaga.


     

Pasal 79

 

(1) Kode KBLI/KBLI terkait, judul KBLI, ruang lingkup kegiatan, parameter Risiko, tingkat Risiko, Perizinan Berusaha, jangka waktu, masa berlaku, dan kewenangan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 dan Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 tercantum dalam Lampiran I.
(2) Persyaratan dan/atau kewajiban Perizinan Berusaha pada sektor perdagangan yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis Risiko kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 dan Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 tercantum dalam Lampiran II.


     

Bagian Kesembilan
Sektor Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
 
Paragraf 1
Perizinan Berusaha
 
Pasal 80

 

(1) Perizinan Berusaha pada sektor pekerjaan umum dan perumahan rakyat terdiri atas subsektor:
a. jasa konstruksi;
b. sumber daya air; dan
c. bina marga.
(2) Perizinan Berusaha pada subsektor jasa konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis tingkat Risiko kegiatan usaha terdiri atas:
a. jasa konsultansi konstruksi;
b. pekerjaan konstruksi; dan
c. pekerjaan konstruksi terintegrasi.
(3) Perizinan Berusaha pada subsektor sumber daya air sebagaimana pada ayat (1) huruf b dan subsektor bina marga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c tidak memiliki Perizinan Berusaha yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis tingkat Risiko.



Pasal 81

 

(1) Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha pada subsektor jasa konstruksi terdiri atas:
a. Sertifikat Badan Usaha (SBU) konstruksi;
b. Sertifikat Kompetensi Kerja (SKK) konstruksi;
c. registrasi kantor perwakilan Badan Usaha Jasa Konstruksi Asing (BUJKA);
d. lisensi lembaga sertifikasi Badan Usaha Jasa Konstruksi (BUJK); dan
e. lisensi lembaga sertifikasi profesi jasa konstruksi.
(2) Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha pada subsektor sumber daya air meliputi izin penggunaan sumber daya air.
(3) Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha pada subsektor bina marga terdiri atas:
a. izin pemanfaatan dan penggunaan bagian-bagian jalan non tol; dan
b. izin pemanfaatan dan penggunaan bagian-bagian jalan tol.



Pasal 82

 

(1) Kode KBLI/KBLI terkait, judul KBLI, ruang lingkup kegiatan, parameter Risiko, tingkat Risiko, Perizinan Berusaha, jangka waktu, masa berlaku, dan kewenangan perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 dan Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 tercantum dalam Lampiran I.
(2) Persyaratan dan/atau kewajiban Perizinan Berusaha pada sektor pekerjaan umum dan perumahan rakyat yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis Risiko kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 dan Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 tercantum dalam Lampiran II.



Paragraf 2
Norma dan Kriteria Subsektor Jasa Konstruksi
 
Pasal 83

 

(1) Kegiatan usaha jasa konsultansi konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (2) huruf a dan kegiatan usaha pekerjaan konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (2) huruf b tidak dapat dilakukan bersamaan dengan kegiatan usaha lain.
(2) Kegiatan usaha pekerjaan konstruksi terintegrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (2) huruf c dapat dilakukan bersamaan dengan kegiatan usaha pekerjaan konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (2) huruf b.



     

Pasal 84

 

(1) Kualifikasi badan usaha subsektor jasa konstruksi untuk jasa konsultansi konstruksi dan pekerjaan konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (2) huruf a dan huruf b meliputi kualifikasi:
a. kecil;
b. menengah; dan
c. besar.
(2) Kualifikasi badan usaha subsektor jasa konstruksi untuk usaha pekerjaan konstruksi terintegrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (2) huruf c hanya meliputi kualifikasi besar.
(3) Badan usaha jasa konsultansi konstruksi dan pekerjaan konstruksi kualifikasi menengah dan besar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c dan pekerjaan konstruksi terintegrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus berbadan hukum Indonesia.
(4) Kantor perwakilan BUJKA harus berbadan hukum di negara asal.
(5) BUJKA dan BUJK Penanaman Modal Asing harus memenuhi persyaratan kualifikasi besar.
(6) Kualifikasi badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dengan sifat usaha umum dan spesialis dikelompokan ke dalam klasifikasi.
(7) Klasifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) terdiri atas subklasifikasi.
(8) Pimpinan tertinggi kantor perwakilan BUJKA dijabat oleh warga negara Indonesia, sebagai penanggung jawab teknis.
(9) Pimpinan tertinggi kantor perwakilan BUJKA sebagaimana dimaksud pada ayat (8) yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan konstruksi guna proses alih teknologi dapat dijabat warga negara asing.


     

Pasal 85

 

(1) Penetapan kualifikasi badan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (1) dan ayat (2) dilakukan berdasarkan penilaian kelayakan terhadap dokumen:
a. penjualan tahunan;
b. kemampuan keuangan;
c. ketersediaan tenaga kerja konstruksi; dan
d. kemampuan dalam penyediaan peralatan konstruksi.
(2) Penetapan kualifikasi badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap setiap subklasifikasi yang diusulkan.
(3) Penetapan kualifikasi badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikecualikan untuk kegiatan usaha jasa konsultansi konstruksi bersifat spesialis dan pekerjaan konstruksi bersifat spesialis.
(4) Dalam hal BUJK memiliki beberapa subklasifikasi, penyebutan entitas BUJK mengacu pada kualifikasi tertinggi pada subklasifikasi yang dimiliki.


     

Pasal 86

 

(1) Penjualan tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1) huruf a dibuktikan dengan rekaman kontrak kerja konstruksi yang disahkan oleh pemilik pekerjaan dan telah tercatat sebagai pengalaman badan usaha.
(2) Nilai penjualan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada perolehan pekerjaan dalam masa berlakunya SBU konstruksi.
(3) Dalam hal kontrak kerja konstruksi terdapat bentuk kerja sama operasional dan/atau kontrak dengan subpenyedia jasa, laporan penjualan tahunan dipisahkan sesuai dengan porsinya.
(4) Dalam hal penjualan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sudah digunakan pada subklasifikasi tertentu, penjualan tahunan tidak dapat digunakan untuk permohonan kualifikasi dan subklasifikasi yang berbeda.
(5) Dalam hal BUJK mengajukan perubahan untuk peningkatan kualifikasi, penilaian terhadap penjualan tahunan dilakukan terhadap akumulasi penjualan tahunan sejenis.


     

Pasal 87

 

(1) Kemampuan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1) huruf b diperoleh dari nilai total ekuitas pada:
a. neraca keuangan BUJK, untuk BUJK kualifikasi kecil; dan
b. neraca keuangan BUJK hasil audit kantor akuntan publik yang teregistrasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, untuk BUJK kualifikasi menengah dan besar.
(2) Dalam hal total ekuitas dinyatakan dalam mata uang asing, total ekuitas harus dikonversi ke dalam mata uang rupiah menggunakan kurs yang ditetapkan oleh Bank Indonesia pada saat pengajuan penetapan kualifikasi.


     

Pasal 88

 

(1) Ketersediaan tenaga kerja konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1) huruf c harus memenuhi persyaratan minimal yang terdiri atas:
a. jumlah tenaga kerja;
b. kualifikasi tenaga kerja; dan
c. jenjang tenaga kerja,
yang dibuktikan dengan kepemilikan sertifikat kompetensi kerja konstruksi untuk setiap subklasifikasi.
(2) Tenaga kerja konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Penanggung Jawab Badan Usaha (PJBU);
b. Penanggung Jawab Teknis Badan Usaha (PJTBU); dan/atau
c. Penanggung Jawab Subklasifikasi Badan Usaha (PJSKBU).
(3) Tenaga kerja konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan tenaga tetap badan usaha yang tidak boleh merangkap jabatan pada badan usaha lain.
(4) Jumlah tenaga kerja konstruksi PJSKBU sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c sesuai dengan jumlah dan kualifikasi subklasifikasi yang dimiliki.
(5) Dalam hal BUJK memiliki beberapa subklasifikasi dengan kualifikasi berbeda, kualifikasi dan jenjang PJTBU mengacu kepada subklasifikasi dengan kualifikasi tertinggi.
(6) Dalam hal tenaga kerja konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengundurkan diri, BUJK harus melakukan penggantian tenaga kerja konstruksi dengan kualifikasi Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) minimal sama dengan yang diganti, paling lama 7 (tujuh) Hari sejak tenaga kerja konstruksi mengundurkan diri.
(7) Setiap penggantian tenaga kerja konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (6), BUJK wajib melaporkan kepada Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK).



Pasal 89

 

(1) Kemampuan dalam penyediaan peralatan konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1) huruf d harus memenuhi persyaratan paling sedikit jumlah peralatan utama untuk setiap subklasifikasi.
(2) Kemampuan dalam penyediaan peralatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disediakan Pelaku Usaha paling lama 30 (tiga puluh) hari kalender sejak SBU konstruksi diterbitkan.
(3) Kemampuan dalam penyediaan peralatan konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan untuk jasa konsultansi konstruksi bersifat umum.


     

Pasal 90

 

(1) Penilaian penjualan tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1) huruf a untuk kegiatan usaha jasa konsultansi konstruksi bersifat umum harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. kualifikasi kecil, paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah);
b. kualifikasi menengah, paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah);
c. kualifikasi besar, paling sedikit Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah); dan
d. kualifikasi besar kantor perwakilan BUJKA, paling sedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
(2) Penilaian penjualan tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1) huruf a untuk kegiatan usaha pekerjaan konstruksi bersifat umum harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. kualifikasi kecil, paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah);
b. kualifikasi menengah, paling sedikit Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah);
c. kualifikasi besar, paling sedikit Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah); dan
d. kualifikasi besar kantor perwakilan BUJKA, paling sedikit Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
(3) Penilaian penjualan tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1) huruf a untuk kegiatan usaha pekerjaan konstruksi terintegrasi harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. kualifikasi besar, paling sedikit Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah); dan
b. kualifikasi besar kantor perwakilan BUJKA, paling sedikit Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).


          

Pasal 91

 

(1) Penilaian kemampuan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1) huruf b untuk kegiatan usaha jasa konsultansi konstruksi bersifat umum harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. kualifikasi kecil, paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah);
b. kualifikasi menengah, paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah);
c. kualifikasi besar, paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); dan
d. kualifikasi besar kantor perwakilan BUJKA, paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
(2) Penilaian kemampuan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1) huruf b untuk kegiatan usaha pekerjaan konstruksi bersifat umum harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. kualifikasi kecil, paling sedikit Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah);
b. kualifikasi menengah, paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah);
c. kualifikasi besar, paling sedikit Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah); dan
d. kualifikasi besar kantor perwakilan BUJKA, paling sedikit Rp35.000.000.000,00 (tiga puluh lima miliar rupiah).
(3) Penilaian kemampuan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1) huruf b untuk kegiatan usaha pekerjaan konstruksi terintegrasi harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. kualifikasi besar, paling sedikit Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah); dan
b. kualifikasi besar kantor perwakilan BUJKA, paling sedikit Rp35.000.000.000,00 (tiga puluh lima miliar rupiah).


      

Pasal 92

 

Penilaian ketersediaan tenaga kerja konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1) huruf c untuk kegiatan usaha jasa konsultansi konstruksi bersifat umum harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a. kualifikasi kecil terdiri atas:
1. 1 (satu) orang PJBU sebagai pimpinan tertinggi;
2. 1 (satu) PJTBU dengan SKK konstruksi kualifikasi KKNI jabatan ahli paling rendah jenjang 7 (tujuh) atau ahli muda sesuai dengan subklasifikasi tenaga kerja konstruksi;
3. PJBU dapat merangkap sebagai PJTBU; dan
4. 1 (satu) orang PJSKBU per subklasifikasi usaha dengan SKK konstruksi kualifikasi KKNI paling rendah jenjang 6 (enam) atau teknisi/analis sesuai dengan subklasifikasi tenaga kerja konstruksi;
b. kualifikasi menengah terdiri atas:
1. 1 (satu) orang PJBU sebagai pimpinan tertinggi;
2. 1 (satu) orang PJTBU dengan SKK konstruksi kualifikasi KKNI paling rendah jenjang 8 (delapan) atau ahli madya sesuai dengan subklasifikasi tenaga kerja konstruksi; dan
3. 1 (satu) orang PJSKBU per subklasifikasi usaha dengan SKK konstruksi kualifikasi KKNI paling rendah jenjang 7 (tujuh) atau ahli muda sesuai dengan subklasifikasi tenaga kerja konstruksi;
c. kualifikasi besar terdiri atas:
1. 1 (satu) orang PJBU sebagai pimpinan tertinggi;
2. 1 (satu) PJTBU dengan SKK konstruksi kualifikasi KKNI jenjang 9 (sembilan) atau ahli utama sesuai dengan subklasifikasi tenaga kerja konstruksi atau memiliki sertifikat Association of South East Asian Nation (ASEAN) Architect atau ASEAN Chartered Professional Engineer, dan
3. 1 (satu) orang PJSKBU per subklasifikasi usaha dengan SKK konstruksi kualifikasi KKNI paling rendah jenjang 8 (delapan) atau ahli madya sesuai dengan subklasifikasi tenaga kerja konstruksi;
d. kualifikasi besar kantor perwakilan BUJKA terdiri atas:
1. 1 (satu) orang PJBU sebagai pimpinan tertinggi;
2. 1 (satu) orang PJTBU dengan SKK konstruksi kualifikasi KKNI jenjang 9 (sembilan) atau ahli utama sesuai dengan subklasifikasi tenaga kerja konstruksi atau memiliki sertifikat ASEAN Architect atau ASEAN Chartered Professional Engineer, dan
3. 1 (satu) orang PJSKBU per subklasifikasi usaha dengan SKK konstruksi kualifikasi KKNI jenjang 9 (sembilan) atau ahli utama sesuai dengan subklasifikasi tenaga kerja konstruksi atau memiliki sertifikat ASEAN Architect atau ASEAN Chartered Professional Engineer.



Pasal 93

 

Penilaian ketersediaan tenaga kerja konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1) huruf c untuk kegiatan usaha pekerjaan konstruksi bersifat umum harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a. kualifikasi kecil terdiri atas:
1. 1 (satu) orang PJBU sebagai pimpinan tertinggi;
2. 1 (satu) orang PJTBU dengan SKK konstruksi kualifikasi KKNI paling rendah jenjang 6 (enam) atau teknisi/analis sesuai dengan subklasifikasi tenaga kerja konstruksi;
3. PJBU dapat merangkap sebagai PJTBU; dan
4. 1 (satu) orang PJSKBU per subklasifikasi usaha dengan SKK konstruksi kualifikasi KKNI paling rendah jenjang 5 (lima) atau teknisi/analis sesuai dengan subklasifikasi tenaga kerja konstruksi.
b. kualifikasi menengah terdiri atas:
1. 1 (satu) orang PJBU sebagai pimpinan tertinggi;
2. 1 (satu) orang PJTBU dengan SKK konstruksi kualifikasi KKNI paling rendah jenjang 7 (tujuh) atau ahli muda sesuai dengan subklasifikasi tenaga kerja konstruksi; dan
3. 1 (satu) orang PJSKBU per subklasifikasi usaha dengan SKK konstruksi kualifikasi KKNI paling rendah jenjang 6 (enam) atau teknisi/analis sesuai dengan subklasifikasi tenaga kerja konstruksi.
c. kualifikasi besar terdiri atas:
1. 1 (satu) orang PJBU sebagai pimpinan tertinggi; 
2. 1 (satu) orang PJTBU dengan SKK konstruksi kualifikasi KKNI paling rendah jenjang 8 (delapan) atau ahli madya sesuai dengan subklasifikasi tenaga kerja konstruksi; dan
3. 1 (satu) orang PJSKBU per subklasifikasi usaha dengan SKK konstruksi kualifikasi KKNI paling rendah jenjang 7 (tujuh) atau ahli muda sesuai dengan subklasifikasi tenaga kerja konstruksi.
d. kualifikasi besar kantor perwakilan BUJKA terdiri atas:
1. 1 (satu) orang PJBU sebagai pimpinan tertinggi;
2. 1 (satu) orang PJTBU dengan SKK konstruksi kualifikasi KKNI jenjang 9 (sembilan) atau ahli utama sesuai dengan subklasifikasi tenaga kerja konstruksi atau memiliki sertifikat ASEAN Architect atau ASEAN Chartered Professional Engineer, dan
3. 1 (satu) orang PJSKBU per subklasifikasi usaha dengan SKK konstruksi kualifikasi KKNI jenjang 9 (sembilan) atau ahli utama sesuai dengan subklasifikasi tenaga kerja konstruksi atau memiliki sertifikat ASEAN Architect atau ASEAN Chartered Professional Engineer.


          

Pasal 94

 

Penilaian ketersediaan tenaga kerja konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1) huruf c untuk kegiatan usaha pekerjaan konstruksi terintegrasi harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a. kualifikasi besar terdiri atas:
1. 1 (satu) orang PJBU sebagai pimpinan tertinggi;
2. 1 (satu) orang PJTBU dengan SKK konstruksi kualifikasi KKNI paling rendah jenjang 9 (sembilan) atau ahli utama sesuai dengan subklasifikasi tenaga kerja konstruksi; dan
3. 2 (dua) orang PJSKBU per subklasifikasi usaha dengan SKK konstruksi kualifikasi KKNI paling rendah jenjang 8 (delapan) atau ahli madya sesuai dengan subklasifikasi tenaga kerja konstruksi.
b. kualifikasi besar kantor perwakilan BUJKA terdiri atas:
1. 1 (satu) orang PJBU sebagai pimpinan tertinggi;
2. 1 (satu) orang PJTBU dengan SKK konstruksi kualifikasi KKNI jenjang 9 (sembilan) atau ahli utama sesuai dengan subklasifikasi tenaga kerja konstruksi atau memiliki sertifikat ASEAN Architect atau ASEAN Chartered Professional Engineer, dan
3. 2 (dua) orang PJSKBU per subklasifikasi usaha dengan SKK konstruksi kualifikasi KKNI jenjang 9 (sembilan) atau ahli utama sesuai dengan subklasifikasi tenaga kerja konstruksi atau memiliki sertifikat ASEAN Architect atau ASEAN Chartered Professional Engineer.



Pasal 95

 

(1) Penilaian kemampuan dalam penyediaan peralatan konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1) huruf d untuk kegiatan usaha pekerjaan konstruksi bersifat umum harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. kualifikasi kecil, memiliki peralatan utama paling sedikit 1 (satu) per subklasifikasinya;
b. kualifikasi menengah, memiliki peralatan utama paling sedikit 2 (dua) per subklasifikasinya;
c. kualifikasi besar, memiliki peralatan utama paling sedikit 3 (tiga) per subklasifikasinya; dan
d. kualifikasi besar kantor perwakilan BUJKA, memiliki paling sedikit 5 (lima) peralatan utama per subklasifikasinya.
(2) Penilaian kemampuan dalam penyediaan peralatan konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1) huruf d untuk kegiatan usaha pekerjaan konstruksi terintegrasi harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. memiliki peralatan utama paling sedikit 3 (tiga) per subklasifikasinya; dan
b. kantor perwakilan BUJKA, memiliki paling sedikit 5 (lima) peralatan utama per subklasifikasinya.


          

Pasal 96

 

(1) Penilaian BUJK untuk jasa konsultansi konstruksi dengan sifat usaha spesialis didasarkan pada ketersediaan aset dan ketersediaan tenaga kerja konstruksi sebagai berikut:
a. paling sedikit memiliki aset senilai Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);
b. 1 (satu) orang PJBU sebagai pimpinan tertinggi;
c. 1 (satu) orang PJTBU dengan SKK konstruksi kualifikasi KKNI paling rendah jenjang 7 (tujuh) atau ahli muda sesuai dengan subklasifikasi tenaga kerja konstruksi; dan
d. 1 (satu) orang PJSKBU per subklasifikasi usaha dengan SKK konstruksi kualifikasi KKNI paling rendah jenjang 7 (tujuh) atau ahli muda sesuai dengan subklasifikasi tenaga kerja konstruksi.
(2) Penilaian kantor perwakilan BUJKA untuk jasa konsultansi konstruksi dengan sifat usaha spesialis didasarkan pada ketersediaan aset dan ketersediaan tenaga kerja konstruksi sebagai berikut:
a. paling sedikit memiliki aset senilai Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah);
b. 1 (satu) orang PJBU sebagai pimpinan tertinggi;
c. 1 (satu) orang PJTBU dengan SKK konstruksi kualifikasi KKNI jenjang 9 (sembilan) atau ahli utama sesuai dengan subklasifikasi tenaga kerja konstruksi atau memiliki sertifikat ASEAN Architect atau ASEAN Chartered Professional Engineer, dan
d. 1 (satu) orang PJSKBU per subklasifikasi usaha dengan SKK konstruksi kualifikasi KKNI paling rendah jenjang 8 (delapan) atau ahli madya sesuai dengan subklasifikasi tenaga kerja konstruksi.
(3) Penilaian BUJK untuk pekerjaan konstruksi dengan sifat usaha spesialis didasarkan pada ketersediaan aset, ketersediaan tenaga kerja konstruksi, dan peralatan utama sebagai berikut:
a. paling sedikit memiliki aset senilai Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah);
b. 1 (satu) orang PJBU sebagai pimpinan tertinggi;
c. 1 (satu) orang PJTBU dengan SKK konstruksi kualifikasi KKNI paling rendah jenjang 8 (delapan) atau ahli madya sesuai dengan subklasifikasi tenaga kerja konstruksi;
d. 1 (satu) orang PJSKBU per subklasifikasi usaha dengan SKK konstruksi kualifikasi KKNI paling rendah jenjang 7 (tujuh) atau ahli muda sesuai dengan subklasifikasi tenaga kerja konstruksi; dan
e. memiliki peralatan utama paling sedikit 2 (dua) per subklasifikasinya.
(4) Penilaian kantor perwakilan BUJKA untuk pekerjaan konstruksi dengan sifat usaha spesialis didasarkan pada ketersediaan aset, ketersediaan tenaga kerja konstruksi, dan peralatan utama sebagai berikut:
a. paling sedikit memiliki aset senilai Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah);
b. 1 (satu) orang PJBU sebagai pimpinan tertinggi;
c. 1 (satu) orang PJTBU dengan SKK konstruksi kualifikasi KKNI jenjang 9 (sembilan) atau ahli utama sesuai dengan subklasifikasi tenaga kerja konstruksi atau memiliki sertifikat ASEAN Architect atau ASEAN Chartered Professional Engineer;
d. 1 (satu) orang PJSKBU per subklasifikasi usaha dengan SKK konstruksi kualifikasi KKNI paling rendah jenjang 8 (delapan) atau ahli madya sesuai dengan subklasifikasi tenaga kerja konstruksi; dan
e. memiliki peralatan utama paling rendah 5 (lima) per subklasifikasinya.
(5) Hasil penilaian BUJK atau kantor perwakilan BUJKA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) merupakan dasar penerbitan SBU konstruksi.


     

Pasal 97

 

(1) Jenis kegiatan usaha jasa konsultansi konstruksi yang bersifat umum serta klasifikasi dan subklasifikasi terdiri atas:
a. arsitektur;
b. rekayasa;
c. rekayasa terpadu; dan
d. arsitektur lanskap dan perencanaan wilayah.
(2) Jenis kegiatan usaha jasa konsultansi konstruksi yang bersifat spesialis serta klasifikasi dan subklasifikasi terdiri atas:
a. konsultansi ilmiah dan teknis; dan
b. pengujian dan analisis teknis.
(3) Jenis kegiatan usaha pekerjaan konstruksi yang bersifat umum serta klasifikasi dan subklasifikasi terdiri atas:
a. bangunan gedung; dan
b. bangunan sipil.
(4) Jenis kegiatan usaha pekerjaan konstruksi yang bersifat spesialis serta klasifikasi dan subklasifikasi terdiri atas:
a. persiapan;
b. konstruksi khusus;
c. konstruksi prapabrikasi;
d. penyewaan peralatan;
e. instalasi; dan
f. penyelesaian bangunan.
(5) Jenis kegiatan usaha pekerjaan konstruksi terintegrasi serta klasifikasi dan subklasifikasi terdiri atas:
a. bangunan gedung; dan
b. bangunan sipil.



Pasal 98

 

(1) Klasifikasi usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 terdiri atas beberapa subklasifikasi usaha.
(2) BUJK hanya dapat mengambil subklasifikasi dari klasifikasi yang dimilikinya.


     

Pasal 99

 

Sertifikat Standar Perizinan Berusaha subsektor jasa konstruksi meliputi:

a. SBU konstruksi;
b. SKK konstruksi; dan
c. lisensi.



Pasal 100

 

(1) SBU konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 huruf a wajib dimiliki oleh BUJK yang menyelenggarakan layanan jasa konstruksi.
(2) SBU konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan melalui sertifikasi dan pencatatan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pekedaan umum melalui sistem informasi jasa konstruksi terintegrasi.
(3) BUJK mengajukan permohonan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum melalui Lembaga Sertifikasi Badan Usaha (LSBU) untuk mendapatkan SBU konstruksi.
(4) SBU konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku untuk jangka waktu 3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang, serta dapat dilakukan perubahan.
(5) SBU konstruksi yang akan diperpanjang wajib diajukan sebelum habis masa berlakunya.

 
     

Pasal 101

 

(1) SKK konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 huruf b wajib dimiliki tenaga kerja konstruksi.
(2) SKK konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan melalui uji kompetensi sesuai dengan standar kompetensi kerja.
(3) Pelaksanaan uji kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan oleh lembaga sertifikasi profesi bidang konstruksi.
(4) Sertifikasi SKK konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicatat oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum melalui sistem informasi jasa konstruksi terintegrasi.
(5) SKK konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang serta dapat dilakukan perubahan.
(6) SKK konstruksi yang akan diperpanjang wajib diajukan sebelum habis masa berlakunya.


     

Pasal 102

 

(1) Pengajuan sertifikasi SBU konstruksi dan SKK konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 dan Pasal 101 dilaksanakan melalui Lembaga OSS.
(2) Pengajuan sertifikasi SKK konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk kualifikasi KKNI jenjang 1 (satu) sampai dengan 4 (empat) dapat dilakukan melalui asosiasi profesi terakreditasi atau lembaga pendidikan pelatihan kerja.
(3) Sertifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi jenis layanan:
a. permohonan baru;
b. perpanjangan; atau
c. perubahan.


   

Pasal 103

 

(1) Sertifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 ayat (1) dilakukan dengan tahapan:
a. permohonan;
b. pembayaran biaya;
c. verifikasi dan validasi; dan
d. persetujuan/penolakan permohonan SBU konstruksi.
(2) BUJK mengajukan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a melalui Lembaga OSS dengan dilengkapi dokumen yang dipersyaratkan.
(3) Dokumen yang dipersyaratkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan kriteria penilaian kelayakan yang telah ditetapkan dalam Pasal 85 ayat (1), sesuai subklasifikasi dan jenis kegiatan usaha.
(4) Pembayaran biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan selambat-lambatnya 7 (tujuh) Hari setelah terbitnya surat tagihan.
(5) Pelaksanaan verifikasi dan validasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan setelah dokumen dinyatakan lengkap dan BUJK melakukan pembayaran biaya.
(6) Apabila permohonan disetujui, paling lambat 15 (lima belas) Hari sejak pembayaran diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (4), diterbitkan SBU konstruksi, dan dicatat oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum melalui sistem informasi jasa konstruksi terintegrasi.
(7) Apabila permohonan tidak disetujui, BUJK tidak dapat menuntut ganti rugi kepada LSBU.

 
     

Pasal 104

 

(1) Dalam hal pengajuan permohonan SBU konstruksi dilakukan oleh kantor perwakilan BUJKA, ketentuan mengenai sertifikasi badan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 berlaku secara mutatis mutandis terhadap proses penyetaraan kualifikasi dan subklasifikasi kantor perwakilan BUJKA.
(2) Dalam hal pengajuan pencatatan SBU konstruksi dilakukan oleh kantor perwakilan BUJKA, ketentuan mengenai pencatatan SBU konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 berlaku secara mutatis mutandis terhadap pencatatan atas SBU konstruksi hasil penyetaraan.



Paragraf 3
Norma dan Kriteria Subsektor Sumber Daya Air
 
Pasal 105

 

(1) Perizinan Berusaha untuk menggunakan sumber daya air dapat diberikan untuk:
a. titik atau tempat tertentu pada sumber air;
b. ruas tertentu pada sumber air; atau
c. bagian tertentu dari sumber air.
(2) Pemberian Perizinan Berusaha untuk menggunakan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara ketat dengan urutan prioritas:
a. pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari bagi kelompok yang memerlukan air dalam jumlah yang besar;
b. pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari yang mengubah kondisi alami sumber air;
c. pertanian rakyat di luar sistem irigasi yang sudah ada dan/atau mengubah kondisi alami sumber air;
d. penggunaan sumber daya air untuk kebutuhan usaha guna memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari melalui sistem penyediaan air minum;
e. kegiatan bukan usaha untuk kepentingan publik;
f. penggunaan sumber daya air untuk kebutuhan usaha oleh badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan usaha milik desa; dan
g. penggunaan sumber daya air untuk kebutuhan usaha oleh badan usaha swasta atau perseorangan.


          

Pasal 106

 

(1) Tata cara dan persyaratan Perizinan Berusaha untuk menggunakan sumber daya air dilakukan melalui tahapan:
a. permohonan; dan
b. penetapan.
(2) Permohonan Perizinan Berusaha untuk menggunakan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diajukan oleh Pelaku Usaha melalui Sistem OSS.
(3) Penetapan Perizinan Berusaha untuk menggunakan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan berdasarkan evaluasi kesesuaian antara rekomendasi teknis dengan kebijakan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah serta memperhatikan pertimbangan hukum.
(4) Ketentuan mengenai evaluasi kesesuaian dan rekomendasi teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum yang penyusunannya berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral.


     

Pasal 107

 

(1) Perizinan Berusaha untuk menggunakan sumber daya air diberikan untuk jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) tahun.
(2) Dalam hal penggunaan sumber daya air untuk kegiatan usaha memerlukan prasarana sumber daya air dengan investasi besar, investor pembangun dapat diberi Perizinan Berusaha untuk menggunakan sumber daya air dan memanfaatkan potensi sumber daya air yang timbul untuk jangka waktu sesuai dengan perhitungan rencana keuangan investasi.
(3) Jangka waktu Perizinan Berusaha untuk menggunakan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat diperpanjang.
(4) Dalam hal penggunaan sumber daya air untuk kegiatan usaha berupa pelaksanaan konstruksi pada sumber air yang tidak menggunakan air, Perizinan Berusaha untuk menggunakan sumber daya air diberikan untuk jangka waktu sepanjang umur layanan konstruksi yang dibangun.


     

Pasal 108

 

(1) Perizinan Berusaha yang akan habis masa berlakunya dapat diperpanjang dengan mengajukan permohonan perpanjangan Perizinan Berusaha melalui Sistem OSS paling lama 1 (satu) bulan sebelum jangka waktu Perizinan Berusaha berakhir.
(2) Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak dapat diperpanjang apabila terdapat perubahan:
a. kuota dan jadwal pengambilan air;
b. tempat atau lokasi penggunaan sumber daya air;
c. cara pengambilan dan/atau pembuangan air;
d. cara penggunaan sumber daya air;
e. jenis atau tipe prasarana yang telah dibangun; dan/atau
f. spesifikasi teknis bangunan.
(3) Perpanjangan Perizinan Berusaha mempertimbangkan:
a. keadaan yang dipakai sebagai dasar Perizinan Berusaha mengalami perubahan;
b. perubahan kondisi lingkungan sumber daya air yang sangat berarti; dan/atau
c. kebijakan pemerintah.



Pasal 109

 

(1) Pelaku Usaha dapat mengajukan perubahan Perizinan Berusaha, dalam hal:
a. keadaan yang dipakai sebagai dasar Perizinan Berusaha mengalami perubahan;
b. perubahan kondisi lingkungan sumber daya air yang sangat berarti;
c. perubahan kebijakan pemerintah; dan/atau
d. volume penggunaan air selama 12 (dua belas) bulan berturut-turut kurang dari kuota yang ditetapkan dalam Perizinan Berusaha.
(2) Dalam hal perubahan Perizinan Berusaha diakibatkan oleh perubahan kebijakan pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, pemberi Perizinan Berusaha menyampaikan pemberitahuan perubahan Perizinan Berusaha kepada pemegang Perizinan Berusaha sebelum pelaksanaan perubahan kebijakan.
(3) Perubahan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa perubahan:
a. kuota dan jadwal pengambilan air;
b. tempat atau lokasi penggunaan sumber daya air;
c. jumlah, kualitas, dan jadwal pembuangan air;
d. cara pengambilan dan/atau pembuangan air; dan/atau
e. spesifikasi teknis bangunan atau sarana yang digunakan.



Paragraf 4
Norma dan Kriteria Subsektor Bina Marga
 
Pasal 110

 

(1) Izin pemanfaatan dan penggunaan bagian-bagian jalan merupakan legalitas yang diberikan kepada pengguna jalan untuk pendayagunaan bagian-bagian jalan guna melakukan kegiatan bukan usaha maupun usaha.
(2) Pemanfaatan ruang manfaat jalan, ruang milik jalan, dan ruang pengawasan jalan selain peruntukannya wajib memperoleh persetujuan dari penyelenggara jalan sesuai dengan kewenangannya.
(3) Penggunaan ruang manfaat jalan yang memerlukan perlakuan khusus terhadap konstruksi jalan dan jembatan wajib memperoleh dispensasi dari penyelenggara jalan sesuai dengan kewenangannya.
(4) Penerbitan izin penggunaan ruang pengawasan jalan untuk mendirikan bangunan gedung dan bangunan yang tidak mengganggu keselamatan pengguna jalan dan keamanan konstruksi jalan oleh instansi Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya wajib memperoleh rekomendasi dari penyelenggara jalan sesuai dengan kewenangannya.


     

Pasal 111

 

(1) Izin pemanfaatan dan penggunaan bagian-bagian jalan non tol dan jalan tol untuk memanfaatkan dan menggunakan jalan non tol dan jalan tol diberikan dengan memperhatikan pengamanan fungsi jalan, menjamin kelancaran dan keselamatan pengguna jalan, dan keamanan konstruksi jalan.
(2) Izin pemanfaatan dan penggunaan bagian-bagian jalan non tol dan jalan tol untuk memanfaatkan dan menggunakan bagian-bagian jalan dapat diberikan untuk:
a. ruang manfaat jalan (rumaja) dan ruang milik jalan (rumija) non tol; atau
b. rumaja, rumija, dan ruang pengawasan jalan (ruwasja) tol.
(3) Pemberian izin pemanfaatan dan penggunaan bagian-bagian jalan non tol dan jalan tol untuk memanfaatkan dan menggunakan bagian-bagian jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara ketat dengan urutan prioritas:
a. pemenuhan infrastruktur untuk masyarakat seperti jaringan air, jaringan listrik, pipa gas, dan telekomunikasi;
b. kegiatan bukan usaha untuk kepentingan publik;
c. pemanfaatan bagian-bagian jalan untuk kebutuhan usaha oleh badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan usaha milik desa; dan
d. pemanfaatan bagian-bagian jalan untuk kebutuhan usaha oleh badan usaha swasta atau perseorangan.



 Pasal 112

 

Perizinan pemanfaatan bagian-bagian jalan terdiri atas:

a. rumaja dan rumija non tol;
b. dispensasi rumija non tol;
c. rumaja, rumija, dan ruwasja tol;
d. dispensasi rumija tol; dan
e. pembangunan simpang susun dan prasarana transportasi lain sejajar jalan tol.


     

 Pasal 113

 

Tata cara dan persyaratan Izin pemanfaatan dan penggunaan bagian-bagian jalan dilakukan melalui tahapan:

a. permohonan; dan
b. Izin.

 
     

 Pasal 114

 

(1) Permohonan Izin pemanfaatan dan penggunaan bagian-bagian jalan diajukan kepada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum melalui Sistem OSS.
(2) Pelaku Usaha yang telah mendapatkan Izin pemanfaatan bagian-bagian jalan tol dan jalan non tol dikenakan biaya pemanfaatan barang milik negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


     

 Pasal 115

 

(1) Izin pemanfaatan dan penggunaan bagian-bagian jalan non tol diberikan untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun atau sesuai rekomendasi tim teknis pada saat pembahasan dan dapat diperpanjang.
(2) Izin pemanfaatan dan penggunaan bagian-bagian jalan tol diberikan untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun atau sesuai rekomendasi tim teknis pada saat pembahasan dan dapat diperpanjang.


     

Bagian Kesepuluh
Sektor Transportasi
 
 Pasal 116

 

(1) Perizinan Berusaha pada sektor transportasi terdiri atas subsektor:
a. transportasi darat;
b. transportasi laut;
c. transportasi udara; dan
d. transportasi perkeretaapian.
(2) Perizinan Berusaha pada subsektor transportasi darat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis tingkat Risiko kegiatan usaha terdiri atas:
a. penyelenggaraan sarana transportasi darat;
b. penyelenggaraan prasarana transportasi darat; dan
c. penyelenggaraan penunjang sarana dan prasarana transportasi darat.
(3) Perizinan Berusaha pada subsektor transportasi laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis tingkat Risiko kegiatan usaha terdiri atas:
a. penyelenggaraan sarana transportasi laut;
b. penyelenggaraan prasarana transportasi laut; dan
c. penyelenggaraan penunjang sarana dan prasarana transportasi laut.
(4) Perizinan Berusaha pada subsektor transportasi udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis tingkat Risiko kegiatan usaha terdiri atas:
a. penyelenggaraan sarana transportasi udara;
b. penyelenggaraan prasarana transportasi udara; dan
c. penyelenggaraan penunjang sarana dan prasarana transportasi udara.
(5) Perizinan Berusaha pada subsektor transportasi perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis tingkat Risiko kegiatan usaha terdiri atas:
a. penyelenggaraan sarana transportasi perkeretaapian;
b. penyelenggaraan prasarana transportasi perkeretaapian; dan
c. penyelenggaraan penunjang sarana dan prasarana transportasi perkeretaapian.
(6) Kegiatan usaha penunjang sarana dan prasarana transportasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, ayat (3) huruf c, ayat (4) huruf c, dan ayat (5) huruf c merupakan jasa terkait sarana dan prasarana transportasi yang dapat dilakukan secara langsung oleh UMK-M atau bekerja sama dengan badan usaha.


          

 Pasal 117

 

Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha pada sektor transportasi meliputi penunjang operasional dan/atau komersial kegiatan usaha pada subsektor:

a. transportasi darat;
b. transportasi laut;
c. transportasi udara; dan
d. transportasi perkeretaapian.



 Pasal 118

 

(1) Kode KBLI/KBLI terkait, judul KBLI, ruang lingkup kegiatan, parameter Risiko, tingkat Risiko, Perizinan Berusaha, jangka waktu, masa berlaku, dan kewenangan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 dan Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117 tercantum dalam Lampiran I.
(2) Persyaratan dan/atau kewajiban Perizinan Berusaha pada sektor transportasi yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis Risiko kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 dan Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117 tercantum dalam Lampiran II.


     

Bagian Kesebelas
Sektor Kesehatan, Obat, dan Makanan
 
Paragraf 1
Perizinan Berusaha
 
 Pasal 119

 

Perizinan Berusaha sektor kesehatan, obat, dan makanan terdiri atas:

a. subsektor kesehatan; dan
b. subsektor obat dan makanan.


     

 Pasal 120

 

(1) Perizinan Berusaha subsektor kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 huruf a meliputi kegiatan usaha:
a. pelayanan kesehatan;
b. kefarmasian, alat kesehatan, dan perbekalan kesehatan rumah tangga; dan
c. pengendalian vektor dan binatang pembawa penyakit.
(2) Perizinan Berusaha subsektor obat dan makanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 huruf b meliputi Izin dan Sertifikat Standar obat dan makanan.
(3) Perizinan Berusaha subsektor obat dan makanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dimiliki oleh Pelaku Usaha yang membuat/memproduksi dan/atau yang mengimpor obat dan makanan untuk diedarkan.
(4) Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk pangan olahan industri rumah tangga yang diproduksi oleh UMK dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


     

 Pasal 121

 

(1) Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha pada subsektor kesehatan meliputi:
a. pelayanan kesehatan;
b. kefarmasian, alat kesehatan, dan perbekalan kesehatan rumah tangga;
c. pengendalian vektor dan binatang pembawa penyakit; dan
d. kesehatan lingkungan.
(2) Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha pada subsektor obat dan makanan meliputi:
a. obat dan bahan obat;
b. obat tradisional, suplemen kesehatan, obat kuasi, dan kosmetik; dan
c. pangan olahan.



 Pasal 122

 

(1) Kode KBLI/KBLI terkait, judul KBLI, ruang lingkup kegiatan, parameter Risiko, tingkat Risiko, Perizinan Berusaha, jangka waktu, masa berlaku, dan kewenangan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 120 dan Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121 tercantum dalam Lampiran I.
(2) Persyaratan dan/atau kewajiban Perizinan Berusaha pada sektor kesehatan, obat dan makanan yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis Risiko kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 120 dan Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121 tercantum dalam Lampiran II.


     

Paragraf 2
Norma dan Kriteria
 
 Pasal 123

 

Perizinan Berusaha subsektor kesehatan yang berkaitan dengan praktik tenaga kesehatan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kesehatan.


 

 Pasal 124

 

(1) Obat dan makanan yang dibuat dan/atau diedarkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 120 ayat (3) wajib memenuhi standar dan/atau persyaratan.
(2) Standar dan/atau persyaratan diberlakukan untuk:
a. obat dan bahan obat;
b. obat tradisional, suplemen kesehatan, dan obat kuasi;
c. kosmetik; dan
d. pangan olahan.


          

 Pasal 125

 

(1) Standar dan/atau persyaratan untuk obat dan bahan obat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 ayat (2) huruf a meliputi keamanan, khasiat, dan mutu serta informasi produk yang ditetapkan.
(2) Standar dan/atau persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari farmakope Indonesia, metode analisis, standar, dan/atau persyaratan lainnya.
(3) Standar dan/atau persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa farmakope Indonesia disusun oleh tim penyusun dan ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar dan/atau persyaratan obat dan bahan obat selain farmakope Indonesia diatur dengan peraturan kepala lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan.



 Pasal 126

 

(1) Standar dan/atau persyaratan untuk obat tradisional, suplemen kesehatan, dan obat kuasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 ayat (2) huruf b meliputi keamanan, khasiat/kemanfaatan, dan mutu serta informasi produk yang ditetapkan.
(2) Standar dan/atau persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari farmakope herbal Indonesia, metode analisis, standar, dan/atau persyaratan lainnya.
(3) Standar dan/atau persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa farmakope herbal Indonesia disusun oleh tim penyusun dan ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar dan/atau persyaratan obat tradisional, suplemen kesehatan, dan obat kuasi selain farmakope herbal Indonesia diatur dengan peraturan kepala lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan.


     

 Pasal 127

 

(1) Standar dan/atau persyaratan untuk kosmetik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 ayat (2) huruf c meliputi keamanan, kemanfaatan, dan mutu serta informasi produk yang ditetapkan.
(2) Standar dan/atau persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari kodeks kosmetik Indonesia, metode analisis, standar, dan/atau persyaratan lainnya.
(3) Standar dan/atau persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa kodeks kosmetik Indonesia disusun oleh tim penyusun dan ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar dan/atau persyaratan kosmetik selain kodeks kosmetik Indonesia diatur dengan peraturan kepala lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan.


     

 Pasal 128

 

Standar dan/atau persyaratan untuk pangan olahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 ayat (2) huruf d meliputi keamanan, kemanfaatan, dan mutu serta informasi produk yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


 

 Pasal 129

 

(1) Setiap orang yang membuat obat dan bahan obat wajib dilakukan sesuai dengan cara pembuatan yang baik.
(2) Setiap orang yang mengedarkan obat dan bahan obat wajib memenuhi standar dan/atau persyaratan pengelolaan obat dan bahan obat yang baik.
(3) Standar dan/atau persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri dari:
a. cara distribusi yang baik untuk kegiatan penyaluran obat dan bahan obat; dan
b. standar pelayanan kefarmasian dan pengelolaan obat dan bahan obat yang baik untuk kegiatan penyerahan obat dan bahan obat.



 Pasal 130

 

(1) Setiap orang yang membuat dan/atau mengedarkan obat tradisional, obat kuasi, dan suplemen kesehatan wajib dilakukan sesuai dengan cara yang baik.
(2) Setiap orang membuat dan/atau mengedarkan kosmetik wajib dilakukan sesuai dengan cara yang baik.



 Pasal 131

 

(1) Setiap orang yang memproduksi dan/atau mengedarkan pangan olahan wajib menerapkan prinsip cara yang baik dalam produksi dan/atau peredaran.
(2) Setiap orang yang memproduksi dan/atau mengedarkan pangan olahan wajib menerapkan sistem jaminan keamanan pangan dan mutu pangan berdasarkan kajian Risiko.

 

Pasal 132

 

Setiap Pelaku Usaha yang memproduksi pangan, bahan baku, bahan tambahan pangan, dan/atau bahan lain yang dihasilkan dari rekayasa genetik pangan wajib memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan.


 

 Pasal 133

 

Ketentuan mengenai standar pelayanan kefarmasian dan alat kesehatan diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan.


 

Bagian Kedua Belas
Sektor Pendidikan dan Kebudayaan
 
Paragraf 1
Perizinan Berusaha
 
 Pasal 134

 

(1) Pelaksanaan perizinan pada subsektor pendidikan dapat dilakukan melalui Perizinan Berusaha Berbasis Risiko sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah ini.
(2) Perizinan Berusaha Berbasis Risiko untuk satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pendidikan.
(3) Pelaksanaan perizinan pada subsektor pendidikan untuk lembaga pendidikan formal di KEK wajib dilakukan melalui Perizinan Berusaha Berbasis Risiko sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah ini.
(4) Ketentuan mengenai norma, standar, prosedur, dan kriteria Perizinan Berusaha Berbasis Risiko untuk satuan lembaga pendidikan formal di KEK diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan.
(5) Peraturan menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan setelah mendapat persetujuan Presiden berdasarkan rekomendasi dari kementerian yang menyelenggarakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian urusan kementerian dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang perekonomian.


    

 Pasal 135

 

(1) Perizinan Berusaha subsektor kebudayaan meliputi kegiatan usaha perfilman.
(2)  Perizinan Berusaha pada kegiatan usaha perfilman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis tingkat Risiko kegiatan usaha terdiri atas:
a. pembuatan film;
b. jasa teknik film;
c. pengedaran film;
d. pertunjukan film;
e. penjualan film dan/atau penyewaan film;
f. pengarsipan film;
g. ekspor film; dan/atau
h. impor film.

 

 Pasal 136

 

(1)  Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha pada sektor kebudayaan meliputi:
a. pemberitahuan pembuatan film;
b. penggunaan lokasi pembuatan film di Indonesia oleh pihak asing;
c. rekomendasi impor film; dan
d. tanda lulus sensor.
 
(2) Pelaku Usaha perfilman yang telah memiliki Perizinan Berusaha atas kegiatan usaha pembuatan film menyampaikan surat pemberitahuan pembuatan film setiap akan melakukan kegiatan pembuatan film.
(3) Pelaku Usaha perfilman yang telah memiliki Perizinan Berusaha atas kegiatan usaha impor film mengajukan permohonan rekomendasi impor . film setiap akan melakukan kegiatan impor lilm.


    

 Pasal 137

 

(1) Kode KBLI/KBLI terkait, judul KBLI, ruang lingkup kegiatan, parameter Risiko, tingkat Risiko, Perizinan Berusaha, jangka waktu, masa berlaku, dan kewenangan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 135 dan Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 tercantum dalam Lampiran I.
(2) Persyaratan dan/atau kewajiban Perizinan Berusaha pada sektor pendidikan dan kebudayaan yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis Risiko kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 135 dan Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 tercantum dalam Lampiran II.


 

Paragraf 2
Norma dan Kriteria
 
 Pasal 138

 

(1) Pembuatan film sebagaimana dimaksud dalam Pasal 135 ayat (2) huruf a oleh pihak asing yang menggunakan lokasi di wilayah Indonesia mengajukan persetujuan penggunaan lokasi pembuatan film di Indonesia kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kebudayaan melalui kedutaan, konsulat jenderal, atau konsulat sebagai perwakilan Indonesia di luar negeri.
(2) Pihak asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perusahaan asing yang telah memiliki Perizinan Berusaha dari negara asal.
(3) Pembuatan film oleh pihak asing yang menggunakan lokasi di Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib bekerja sama dengan Pelaku Usaha pembuatan film di Indonesia sebagai mitra pendamping lokal.
(4) Pembuatan film oleh pihak asing yang menggunakan lokasi di Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan melalui mekanisme evaluasi.


     

 Pasal 139

 

(1) Pelaku Usaha perfilman yang telah memiliki Perizinan Berusaha atas kegiatan usaha pembuatan film dan usaha impor film mengajukan permohonan tanda lulus sensor kepada lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sensor film untuk setiap judul film yang akan dipertunjukkan untuk umum.
(2) Tanda lulus sensor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan melalui mekanisme evaluasi oleh lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sensor film.


     

Bagian Ketiga Belas
Sektor Pariwisata
 
Paragraf 1
Perizinan Berusaha
 
 Pasal 140

 

Perizinan Berusaha sektor pariwisata yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis Risiko kegiatan usaha terdiri atas:

a. daya tarik wisata;
b. kawasan pariwisata;
c. jasa transportasi wisata;
d. jasa perjalanan wisata;
e. jasa makanan dan minuman;
f. penyedia akomodasi;
g. penyelenggaraan kegiatan hiburan dan rekreasi;
h. penyelenggaraan pertemuan, perjalanan insentif, konferensi, dan pameran;
i. jasa informasi pariwisata;
j. jasa konsultan pariwisata;
k. jasa pramuwisata;
l. wisata tirta; dan
m. spa.


     

 Pasal 141

 

(1) Kode KBLI/KBLI terkait, judul KBLI, ruang lingkup kegiatan, parameter Risiko, tingkat Risiko, Perizinan Berusaha, jangka waktu, masa berlaku, dan kewenangan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 tercantum dalam Lampiran I.
(2) Persyaratan dan/atau kewajiban Perizinan Berusaha pada sektor pariwisata yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis Risiko kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 tercantum dalam Lampiran II.


     

Paragraf 2
Norma dan Kriteria
 
 Pasal 142

 

(1) Standar pelaksanaan kegiatan usaha sektor pariwisata merupakan standar usaha pariwisata yang mencakup sarana, organisasi dan sumber daya manusia, pelayanan, persyaratan produk, sistem manajemen, penilaian kesesuaian, dan Pengawasan.
(2) Standar usaha pariwisata sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memasukkan unsur:
a. pengutamaan penggunaan produk masyarakat setempat dan produk dalam negeri serta pemberian kesempatan kepada tenaga kerja lokal; dan
b. pengembangan kemitraan dengan UMK dan koperasi setempat.
(3) Standar usaha pariwisata sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disusun secara bersama-sama oleh instansi pemerintah terkait, asosiasi usaha pariwisata, asosiasi profesi, dan akademisi.
(4) Ketentuan mengenai standar pelaksanaan kegiatan usaha sektor pariwisata sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pariwisata.


     

 Pasal 143

 

(1) Standar usaha pariwisata untuk kegiatan usaha sektor pariwisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 142 ayat (1) dengan tingkat Risiko menengah tinggi dan tingkat Risiko tinggi diverifikasi oleh lembaga sertifikasi usaha pariwisata dalam rangka sertifikasi dan surveilans.
(2) Lembaga sertifikasi usaha pariwisata sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan lembaga yang terakreditasi oleh lembaga pemerintah yang mempunyai kewenangan untuk melakukan akreditasi.
(3) Lembaga pemerintah yang mempunyai kewenangan untuk melakukan akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melaporkan setiap hasil akreditasi kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pariwisata.
(4) Dengan telah dipenuhinya standar usaha tingkat Risiko menengah tinggi dan Risiko tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), lembaga sertifikasi usaha pariwisata menerbitkan Sertifikat Standar usaha pariwisata yang berlaku selama pengusaha pariwisata menjalankan usaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Pelaksanaan verifikasi standar usaha tingkat Risiko menengah tinggi dan Risiko tinggi dapat dilakukan secara daring atau luring termasuk audit jarak jauh (remote audit).
(6) Untuk UMK dengan standar usaha tingkat Risiko menengah tinggi dan Risiko tinggi dilaksanakan secara daring termasuk audit jarak jauh (remote audit).
(7) Usaha pariwisata dengan tingkat Risiko menengah rendah dapat melaksanakan sertifikasi standar usaha pariwisata secara sukarela sesuai ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini.



Bagian Keempat Belas
Sektor Keagamaan
 
Paragraf 1
Perizinan Berusaha

 

 Pasal 144

 

Perizinan Berusaha pada sektor keagamaan yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis Risiko kegiatan usaha meliputi kegiatan usaha:

a. penyelenggaraan ibadah haji khusus; dan
b. penyelenggaraan perjalanan ibadah umrah.



 Pasal 145

 

(1) Kode KBLI/KBLI terkait, judul KBLI, ruang lingkup kegiatan, parameter Risiko, tingkat Risiko, Perizinan Berusaha, jangka waktu, masa berlaku, dan kewenangan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 144 tercantum dalam Lampiran I.
(2) Persyaratan dan/atau kewajiban Perizinan Berusaha pada sektor keagamaan yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis Risiko kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 144 tercantum dalam Lampiran II.

  
     

Paragraf 2
Norma dan Kriteria
 
 Pasal 146

 

(1) Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha penyelenggaraan ibadah haji khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 144 huruf a diperoleh setelah Pelaku Usaha menjadi penyelenggara perjalanan ibadah umrah paling singkat selama 3 (tiga) tahun atau telah memberangkatkan jemaah umrah paling sedikit 1.000 (seribu) orang.
(2) Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha penyelenggaraan perjalanan ibadah umrah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 144 huruf b dapat dimohonkan setelah Pelaku Usaha memiliki Perizinan Berusaha untuk melakukan kegiatan usaha biro perjalanan wisata paling singkat selama 1 (satu) tahun.


     

 Pasal 147

 

(1) Pelaku Usaha yang telah memperoleh Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha penyelenggaraan ibadah haji khusus dan penyelenggaraan perjalanan ibadah umrah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 144 wajib menyelenggarakan kegiatan usaha sesuai dengan standar pelayanan yang telah ditetapkan.
(2) Standar pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian dari standar pelaksanaan kegiatan usaha sektor keagamaan.


     

 Pasal 148

 

(1) Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama melaksanakan akreditasi terhadap Pelaku Usaha yang melakukan kegiatan usaha penyelenggaraan ibadah haji khusus dan penyelenggaraan perjalanan ibadah umrah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 144.
(2) Dalam pelaksanaan akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama menunjuk lembaga pemerintah yang mempunyai kewenangan untuk melakukan akreditasi, seleksi, dan menetapkan lembaga penilaian kesesuaian.
(3) Lembaga penilaian kesesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melakukan sertifikasi terhadap Pelaku Usaha yang melakukan kegiatan usaha penyelenggaraan ibadah haji khusus dan penyelenggaraan perjalanan ibadah umrah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 144.
(4) Sertifikasi terhadap Pelaku Usaha yang melakukan kegiatan usaha penyelenggaraan ibadah haji khusus dan penyelenggaraan perjalanan ibadah umrah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 144 dilakukan setiap 5 (lima) tahun.
(5) Lembaga pemerintah yang mempunyai kewenangan untuk melakukan akreditasi, seleksi, dan menetapkan lembaga penilaian kesesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melaporkan setiap hasil akreditasi dan sertifikasi kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama.
(6) Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama menetapkan skema dan kriteria akreditasi dan sertifikasi usaha penyelenggaraan ibadah haji khusus dan penyelenggaraan perjalanan ibadah umrah.
(7) Skema dan kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (6) ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama setelah berkoordinasi dengan lembaga pemerintah yang mempunyai kewenangan untuk melakukan akreditasi.
(8) Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama memublikasikan hasil akreditasi dan sertifikasi Pelaku Usaha yang melakukan kegiatan usaha penyelenggaraan ibadah haji khusus dan penyelenggaraan perjalanan ibadah umrah sebagaimana dimaksud pada ayat (6) kepada masyarakat secara elektronik dan/atau nonelektronik.
(9) Dalam hal Pelaku Usaha telah memiliki Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha penyelenggaraan ibadah haji khusus, sertifikasi kegiatan usaha penyelenggaraan perjalanan ibadah umrahnya dilakukan secara bersama-sama dalam 1 (satu) waktu pada saat sertifikasi kegiatan usaha penyelenggaraan ibadah haji khusus dilaksanakan.


     

Bagian Kelima Belas
Sektor Pos, Telekomunikasi, Penyiaran, dan Sistem dan
Transaksi Elektronik

 
 Pasal 149

 

(1) Perizinan Berusaha pada sektor pos, telekomunikasi, penyiaran, dan sistem dan transaksi elektronik meliputi subsektor:
a. pos;
b. telekomunikasi;
c. penyelenggaraan penyiaran; dan
d. penyelenggaraan sistem dan transaksi elektronik.
(2) Perizinan Berusaha pada subsektor pos sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis tingkat Risiko kegiatan usaha terdiri atas:
a. penyelenggaraan pos; dan
b. agen kurir.
(3) Perizinan Berusaha pada subsektor telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis tingkat Risiko kegiatan usaha terdiri atas:
a. penyelenggaraan jaringan telekomunikasi;
b. penyelenggaraan jasa telekomunikasi;
c. penyelenggaraan telekomunikasi khusus; dan
d. jasa jual kembali jasa telekomunikasi.
(4) Perizinan Berusaha pada subsektor penyelenggaraan penyiaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis tingkat Risiko kegiatan usaha terdiri atas:
a. jasa penyiaran radio; dan
b. jasa penyiaran televisi.
(5) Perizinan Berusaha pada subsektor penyelenggaraan sistem dan transaksi elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis tingkat Risiko kegiatan usaha terdiri atas:
a. aktivitas pengembangan teknologi blockchain;
b. aktivitas pemrograman berbasis kecerdasan artifisial;
c. aktivitas konsultasi dan perancangan internet of things (loT);
d. aktivitas penyediaan identitas digital; dan
e. aktivitas penyediaan sertifikat elektronik dan layanan yang menggunakan sertifikat elektronik.


          

 Pasal 150

 

Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha pada subsektor pos, telekomunikasi, penyiaran, dan penyelenggaraan sistem dan transaksi elektronik meliputi:

a. penetapan multipleksing;
b. penomoran telekomunikasi;
c. hak labuh sistem komunikasi kabel laut transmisi telekomunikasi internasional;
d. hak labuh satelit;
e. izin penggunaan spektrum frekuensi radio;
f. sertifikat alat dan/atau perangkat telekomunikasi; dan
g. pendaftaran penyelenggara sistem elektronik lingkup privat.


     

 Pasal 151

 

(1) Kode KBLI/KBLI terkait, judul KBLI, ruang lingkup kegiatan, parameter Risiko, tingkat Risiko, Perizinan Berusaha, jangka waktu, masa berlaku, dan kewenangan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 149 dan Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 150 tercantum dalam Lampiran I.
(2) Persyaratan dan/atau kewajiban Perizinan Berusaha pada sektor pos, telekomunikasi, penyiaran, dan sistem dan transaksi elektronik yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis Risiko kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 149 dan Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 150 tercantum dalam Lampiran II.


     

Bagian Keenam Belas
Sektor Pertahanan dan Keamanan
 
Paragraf 1
Umum
 
 Pasal 152

 

Perizinan Berusaha pada sektor pertahanan dan keamanan terdiri dari subsektor:

a. subsektor industri pertahanan; dan
b. subsektor keamanan.



Paragraf 2
Subsektor Industri Pertahanan
 
 Pasal 153

 

Pelaku Usaha pada subsektor industri pertahanan terdiri atas:

a. badan usaha milik negara; dan
b. badan usaha milik swasta,

yang baik secara sendiri maupun berkelompok ditetapkan oleh Pemerintah Pusat untuk sebagian atau seluruhnya menghasilkan alat peralatan pertahanan dan keamanan serta jasa pemeliharaan untuk memenuhi kepentingan strategis di bidang pertahanan dan keamanan yang berlokasi di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

 

 Pasal 154

 

Perizinan Berusaha pada subsektor industri pertahanan meliputi:

a. penetapan sebagai industri pertahanan;
b. izin produksi alat peralatan pertahanan dan keamanan;
c. kelaikan alat peralatan pertahanan dan keamanan;
d. pemasaran alat peralatan pertahanan dan keamanan;
e. penjualan, ekspor, dan transfer alat peralatan pertahanan dan keamanan;
f. pembelian dan impor alat peralatan pertahanan dan keamanan; dan/atau
g. perizinan industri bahan peledak.



 Pasal 155

 

Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 154 berkaitan dengan industri pertahanan yang menjalankan kegiatan usaha:

a. industri alat utama;
b. industri komponen utama dan/atau penunjang;
c. industri komponen dan/atau pendukung (perbekalan); dan
d. industri bahan baku.



 Pasal 156

 

(1) Industri alat utama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 155 huruf a dilakukan oleh badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik swasta yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai pemadu utama (lead integrator) yang menghasilkan alat utama sistem senjata dan/atau mengintegrasikan semua komponen utama, komponen, dan bahan baku menjadi alat utama.
(2) Industri alat utama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. industri senjata dan amunisi;
b. industri pesawat terbang;
c. industri kendaraan perang;
d. industri kapal perang; dan
e. industri radar pertahanan.
(3) Industri alat utama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 153 yang bidang usahanya terbuka dengan persyaratan tertentu dan wajib mendapatkan persetujuan dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertahanan.
(4) Industri komponen utama dan/atau penunjang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 155 huruf b dilakukan oleh badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik swasta yang memproduksi komponen utama dan/atau mengintegrasikan komponen atau suku cadang dengan bahan baku menjadi komponen utama alat peralatan pertahanan dan keamanan dan/atau wahana (platform) sistem alat utama sistem senjata.
(5) Industri komponen dan/atau pendukung (perbekalan) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 155 huruf c dilakukan oleh badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik swasta yang memproduksi suku cadang untuk alat utama sistem senjata, suku cadang untuk komponen utama, dan/atau yang menghasilkan produk perbekalan.
(6) Industri bahan baku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 155 huruf d dilakukan oleh badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik swasta yang memproduksi bahan baku yang akan digunakan oleh industri alat utama, industri komponen utama dan/atau penunjang, dan industri komponen dan/atau pendukung (perbekalan).


     

 Pasal 157

 

(1) Kode KBLI/KBLI terkait, judul KBLI, ruang lingkup kegiatan, parameter Risiko, tingkat Risiko, Perizinan Berusaha, jangka waktu, masa berlaku, dan kewenangan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 154 tercantum dalam Lampiran I.
(2) Persyaratan dan/atau kewajiban Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha pada subsektor industri pertahanan tercantum dalam Lampiran II.


     

Paragraf 3
Norma dan Kriteria Subsektor Industri Pertahanan
 
 Pasal 158

 

(1) Pelaku Usaha pada subsektor industri pertahanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 153 mempunyai kegiatan usaha dan/atau kompetensi berdasarkan kriteria dalam bidang:
a. rancang bangun dan perekayasaan;
b. pengembangan desain dan produk;
c. produksi; dan/atau
d. pemeliharaan, perbaikan, dan modifikasi.
(2) Kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. rancang bangun produk alat peralatan pertahanan dan keamanan yang memuat metodologi, standar acuan desain dan analisis, proses desain, simulasi yang wajib dilakukan, pengujian, penggunaan dari data rujukan atau data teknis milik perusahaan, dan/atau sistem dokumentasi dari setiap aktivitas dari proses rancang bangun sebuah produk alat peralatan pertahanan dan keamanan;
b. kegiatan perekayasaan dituangkan dalam bentuk desain dan rancang bangun untuk menghasilkan nilai, produk, dan/atau proses produksi dengan mempertimbangkan sudut pandang dan/atau konteks teknikal, fungsional, bisnis, sosial budaya, estetika serta pertahanan dan keamanan;
c. pengembangan desain meliputi kegiatan pengembangan desain fungsi dan kemampuan produk alat peralatan pertahanan dan keamanan, teknologi dan material, arsitektur fungsi dan arsitektur fisik serta konfigurasi dari produk alat peralatan pertahanan dan keamanan;
d. pengembangan produk meliputi pengembangan:
1. desain dari produk alat peralatan pertahanan dan keamanan yang dapat menggambarkan fitur dan kemampuan secara fungsional;
2. konfigurasi dari produk alat peralatan pertahanan dan keamanan yang secara terpadu dapat mewakili produk yang ditetapkan oleh operational requirement;
3. bentuk, fitur, fungsi, dan kemampuan teknis produk alat peralatan pertahanan dan keamanan yang secara terintegrasi dapat memberikan gambaran kemampuan operasi dari produk alat peralatan pertahanan dan keamanan;
4. varian konfigurasi dari produk alat peralatan pertahanan dan keamanan yang dapat dijadikan sebagai kandidat prototipe yang memenuhi operational requirement; dan
5. system requirements dari produk alat peralatan pertahanan dan keamanan sebagai penjabaran teknis dari operational requirement.
e. proses produk alat peralatan pertahanan dan keamanan memiliki fungsi dan/atau secara bersama-sama mempergunakan sejumlah fungsi dan fitur untuk memproduksi sesuai standar industri pertahanan dengan memperhatikan keamanan informasi teknologi pertahanan dan keamanan; dan
f. kegiatan pemeliharaan, perbaikan, dan modifikasi alat peralatan pertahanan dan keamanan dilakukan di dalam negeri.



 Pasal 159

 

Persyaratan terhadap permohonan:

a. penetapan sebagai industri pertahanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 154 huruf a;
b. izin produksi alat peralatan pertahanan dan keamanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 154 huruf b; dan
c. izin produksi bahan peledak,

dilakukan verifikasi pada saat permohonan diajukan.

 

Paragraf 4
Subsektor Keamanan
 
 Pasal 160

 

Perizinan Berusaha subsektor keamanan yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis Risiko kegiatan usaha terdiri atas:

a. jasa konsultansi keamanan;
b. jasa penerapan peralatan keamanan;
c. jasa pelatihan keamanan;
d. jasa kawal angkut uang dan barang berharga;
e. jasa penyediaan tenaga pengamanan; dan
f. jasa penyediaan satwa.


     

 Pasal 161

 

(1) Pemohon Perizinan Berusaha subsektor keamanan meliputi atas Pelaku Usaha nonperseorangan.
(2) Pelaku Usaha non perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perusahaan yang berbentuk perseroan terbatas.
(3) Perseroan terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan badan usaha jasa pengamanan.


     

 Pasal 162

 

Kegiatan usaha dan jenis Perizinan Berusaha subsektor keamanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 160 tercantum dalam Lampiran I.

 

Pasal 163

 

(1) Kode KBLI/KBLI terkait, judul KBLI, ruang lingkup kegiatan, parameter Risiko, tingkat Risiko, Perizinan Berusaha, jangka waktu, masa berlaku, dan kewenangan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 160 tercantum dalam Lampiran I.
(2) Persyaratan dan/atau kewajiban Perizinan Berusaha pada subsektor keamanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 160 tercantum dalam Lampiran II.


     

Bagian Ketujuh Belas
Sektor Ketenagakerjaan
 
 Pasal 164

 

(1) Perizinan Berusaha sektor ketenagakerjaan yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis Risiko kegiatan usaha terdiri atas:
a. pelatihan kerja;
b. penyediaan sumber daya manusia dan manajemen fungsi sumber daya manusia termasuk alih daya;
c. aktivitas penyeleksian dan penempatan tenaga kerja dalam negeri/tenaga kerja swasta;
d. penyalur pekerja rumah tangga;
e. aktivitas penempatan tenaga kerja daring (job portal);
f. aktivitas penyeleksian dan penempatan tenaga kerja luar negeri/pekerja migran Indonesia;
g. reparasi mesin untuk keperluan umum, dengan lingkup kegiatan usaha meliputi fabrikasi, pemeliharaan, reparasi, dan instalasi teknik Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3);
h. jasa sertifikasi, dengan lingkup kegiatan usaha meliputi lembaga audit Sistem Manajemen K3 (SMK3);
i. jasa pengujian laboratorium, dengan lingkup kegiatan usaha meliputi pemeriksaan dan pengujian K3;
j. jasa inspeksi periodik dengan lingkup kegiatan usaha meliputi pemeriksaan dan pengujian K3; dan
k. pelatihan kerja kejuruan lainnya swasta dengan lingkup kegiatan usaha meliputi pembinaan dan konsultasi K3.
(2) Pelatihan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas pelatihan kerja untuk:
a. pemerintah;
b. perusahaan; dan
c. swasta.


          

 Pasal 165

 

Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha pada sektor ketenagakerjaan meliputi:

a. izin pemeriksaan/pengujian dan/atau pelayanan kesehatan kerja;
b. sertifikat SMK3;
c. surat keterangan layak K3 bagi peralatan, pesawat angkat dan pesawat angkut, pesawat tenaga dan produksi, pesawat uap, bejana tekanan, tangki timbun, elevator/lift, eskalator, instalasi penyalur petir, sarana proteksi kebakaran dan peralatan lainnya yang berisiko tinggi, pengendalian bahan kimia berbahaya dan lingkungan kerja; dan
d. izin kantor cabang perusahaan penempatan pekerja migran Indonesia.


     

 Pasal 166

 

(1) Kode KBLI/KBLI terkait, judul KBLI, ruang lingkup kegiatan, parameter Risiko, tingkat Risiko, Perizinan Berusaha, jangka waktu, masa berlaku, dan kewenangan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 164 dan Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 165 tercantum dalam Lampiran I.
(2) Persyaratan dan/atau kewajiban Perizinan Berusaha pada sektor ketenagakerjaan yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis Risiko kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 164 dan Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 165 tercantum dalam Lampiran II.


     

BAB IV
PERIZINAN BERUSAHA BERBASIS RISIKO MELALUI
LAYANAN SISTEM PERIZINAN BERUSAHA TERINTEGRASI
SECARA ELEKTRONIK (ONLINE SINGLE SUBMISSION)

 
Bagian Kesatu
Umum
 
 Pasal 167

 

(1) Pelaksanaan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko dilakukan secara elektronik dan terintegrasi melalui Sistem OSS.
(2) Sistem OSS terdiri dari:
a. subsistem pelayanan informasi;
b. subsistem Perizinan Berusaha; dan
c. subsistem Pengawasan.
(3) Sistem OSS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib digunakan oleh:
a. kementerian/lembaga;
b. pemerintah provinsi;
c. pemerintah kabupaten/kota;
d. Administrator KEK;
e. Badan Pengusahaan KPBPB; dan
f. Pelaku Usaha.


          

Bagian Kedua
Subsistem Pelayanan Informasi
 
 Pasal 168

 

(1) Subsistem pelayanan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 167 ayat (2) huruf a menyediakan informasi dalam memperoleh Perizinan Berusaha Berbasis Risiko serta informasi lain terkait dengan penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko.
(2) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat:
a. KBLI berdasarkan tingkat Risiko;
b. rencana tata ruang;
c. ketentuan persyaratan Penanaman Modal;
d. persyaratan dan/atau kewajiban Perizinan Berusaha, jangka waktu, standar pelaksanaan kegiatan usaha dan penunjang kegiatan usaha, dan ketentuan lain di dalam norma, standar, prosedur, dan kriteria seluruh sektor bidang usaha, pedoman dan tata cara pengajuan NIB, Sertifikat Standar, dan Izin;
e. persyaratan dasar meliputi kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang, persetujuan bangunan gedung dan sertifikat laik fungsi serta persetujuan lingkungan;
f. ketentuan insentif dan fasilitas Penanaman Modal;
g. Pengawasan Perizinan Berusaha dan kewajiban pelaporan;
h. simulasi pelayanan Perizinan Berusaha, panduan pengguna Sistem OSS, kamus Sistem OSS dan hal-hal yang sering ditanya (frequently asked questions/FAQ);
i. pelayanan pengaduan masyarakat; dan
j. informasi lain yang ditetapkan dengan keputusan Lembaga OSS.
(3) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diakses oleh masyarakat umum tanpa menggunakan hak akses.


     

Bagian Ketiga
Subsistem Perizinan Berusaha
 
Paragraf 1
Umum
 
 Pasal 169

 

(1) Proses penerbitan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko dilakukan melalui subsistem Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 167 ayat (2) huruf b.
(2) Subsistem Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup tahapan proses penerbitan Perizinan Berusaha:
a. pendaftaran akun/hak akses;
b. Risiko rendah berupa NIB;
c. Risiko menengah rendah terdiri dari:
1. NIB; dan
2. Sertifikat Standar.
d. Risiko menengah tinggi terdiri dari:
1. NIB; dan
2. Sertifikat Standar.
e. Risiko tinggi terdiri dari:
1. NIB; dan
2. Izin.
(3) Subsistem Perizinan Berusaha diakses menggunakan hak akses oleh:
a. Pelaku Usaha;
b. Lembaga OSS;
c. kementerian/lembaga;
d. DPMPTSP provinsi;
e. DPMPTSP kabupaten/kota;
f. Administrator KEK; dan
g. Badan Pengusahaan KPBPB.
(4) Kepala Lembaga OSS dapat memberikan hak akses terbatas selain kepada pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (3).



Paragraf 2
Pemohon Perizinan Berusaha
 
 Pasal 170

 

(1) Pemohon Perizinan Berusaha melalui subsistem Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 167 ayat (2) huruf b terdiri atas Pelaku Usaha:
a. orang perseorangan;
b. badan usaha;
c. kantor perwakilan; dan
d. badan usaha luar negeri.
(2) Orang perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan orang perseorangan warga negara Indonesia yang cakap untuk bertindak dan melakukan perbuatan hukum.
(3) Badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan badan usaha berbentuk badan hukum atau tidak berbentuk badan hukum yang didirikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan melakukan usaha dan/atau kegiatan pada bidang tertentu.
(4) Kantor perwakilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan:
a. orang perseorangan warga negara Indonesia;
b. orang perseorangan warga negara asing; atau
c. badan usaha yang merupakan perwakilan Pelaku Usaha dari luar negeri,
dengan persetujuan pendirian kantor di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(5) Badan usaha luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d merupakan badan usaha asing yang didirikan di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan melakukan usaha dan/atau kegiatan pada bidang tertentu.
(6) Badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling sedikit terdiri atas:
a. perseroan terbatas;
b. persekutuan komanditer (commanditaire vennootschap);
c. persekutuan firma (vennootschap onder firma);
d. persekutuan perdata;
e. koperasi;
f. yayasan;
g. perusahaan umum;
h. perusahaan umum daerah;
i. badan hukum lainnya yang dimiliki oleh negara; dan
j. lembaga penyiaran.
(7) Kantor perwakilan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) paling sedikit terdiri atas:
a. kantor perwakilan perusahaan perdagangan asing;
b. kantor perwakilan perusahaan asing; atau
c. kantor perwakilan badan usaha jasa konstruksi asing.
(8) Badan usaha luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (5) yang dapat melakukan kegiatan usaha di Indonesia paling sedikit terdiri atas:
a. pemberi waralaba dari luar negeri;
b. pedagang berjangka asing;
c. penyelenggara sistem elektronik lingkup privat asing; dan
d. bentuk usaha tetap.
(9) Kantor perwakilan perusahaan asing sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf b termasuk dalam tingkat Risiko rendah.


          

Paragraf 3
Pendaftaran Hak Akses
 
 Pasal 171

 

(1) Pelaku Usaha yang diberikan hak akses sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 ayat (3) huruf a meliputi:
a. orang perseorangan;
b. direksi/penanggung jawab Pelaku Usaha; atau
c. pengurus apabila Pelaku Usaha berbentuk koperasi dan yayasan.
(2) Hak akses bagi kementerian/lembaga, DPMPTSP provinsi, DPMPTSP kabupaten/kota, Administrator KEK, dan Badan Pengusahaan KPBPB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 ayat (3) hurtf c sampai dengan huruf g diberikan kepada pengelola hak akses yang ditetapkan oleh menteri/kepala lembaga, kepala DPMPTSP provinsi, kepala DPMPTSP kabupaten/kota, Administrator KEK, atau kepala Badan Pengusahaan KPBPB.
(3) Pengelola hak akses sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat memberikan hak akses turunan sesuai kewenangan dan kebutuhan yang diperlukan.


     

 Pasal 172

 

Lembaga OSS melakukan evaluasi terhadap pemberian hak akses dan hak akses turunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 171.

 

Pasal 173

 

(1) Hak akses kepada Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 ayat (3) huruf a diberikan untuk:
a. mengajukan permohonan Perizinan Berusaha termasuk perubahan dan pencabutan;
b. menyampaikan laporan kegiatan Penanaman Modal;
c. menyampaikan pengaduan; dan/atau
d. mengajukan permohonan fasilitas berusaha.
(2) Hak akses kepada kementerian/lembaga, DPMPTSP provinsi, DPMPTSP kabupaten/kota, Administrator KEK, dan Badan Pengusahaan KPBPB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 ayat (3) huruf c sampai dengan huruf g diberikan untuk:
a. melakukan verifikasi teknis dan notifikasi pemenuhan persyaratan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko;
b. pelaksanaan jadwal Pengawasan; dan
c. penyampaian hasil Pengawasan/berita acara pemeriksaan pelaksanaan kegiatan usaha.


          

 Pasal 174

 

Permohonan hak akses melalui Sistem OSS dilakukan oleh Pelaku Usaha:

a. orang perseorangan dengan mengisi data nomor induk kependudukan;
b. badan usaha dengan mengisi data nomor pengesahan badan usaha;
c. badan layanan umum, perusahaan umum, perusahaan umum daerah, lembaga penyiaran publik, badan hukum lainnya yang dimiliki oleh negara, dengan mengisi data dasar hukum pembentukan;
d. persyarikatan atau persekutuan dengan mengisi data dasar hukum pendirian; dan
e. kantor perwakilan dan badan usaha luar negeri dengan mengisi data nomor induk kependudukan kepala kantor perwakilan/penanggung jawab yang berkewarganegaraan Indonesia atau nomor paspor kepala kantor perwakilan/penanggung jawab yang berkewarganegaraan asing.


     

 Pasal 175

 

(1) Pelaku Usaha dapat melakukan perubahan data hak akses sebagaimana dimaksud dalam Pasal 171 secara mandiri dalam Sistem OSS.
(2) Perubahan data hak akses sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit:
a. nama penanggung jawab;
b. nomor induk kependudukan atau nomor paspor penanggung jawab;
c. nomor telepon penanggung jawab;
d. surat elektronik penanggung jawab; dan/atau
e. kata sandi.
(3) Atas perubahan data hak akses sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Sistem OSS memberikan notifikasi kepada Pelaku Usaha melalui surat elektronik yang didaftarkan.



Paragraf 4
NIB
 
 Pasal 176

 

(1) NIB wajib dimiliki oleh setiap Pelaku Usaha.
(2) Setiap Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya memiliki 1 (satu) NIB.
(3) NIB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh Lembaga OSS.
(4) NIB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan identitas bagi Pelaku Usaha sebagai bukti registrasi/pendaftaran Pelaku Usaha untuk melakukan kegiatan usaha.
(5) NIB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga sebagai:
a. angka pengenal impor sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai angka pengenal impor;
b. hak akses kepabeanan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan;
c. pendaftaran kepesertaan Pelaku Usaha untuk jaminan sosial kesehatan dan jaminan sosial ketenagakerjaan; dan
d. wajib lapor ketenagakerjaan untuk periode pertama Pelaku Usaha.
(6) Pelaku Usaha yang memerlukan angka pengenal impor sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a hanya dapat memilih:
a. angka pengenal impor umum untuk kegiatan impor barang yang diperdagangkan; atau
b. angka pengenal impor produsen untuk kegiatan impor barang yang dipergunakan sendiri sebagai barang modal, bahan baku, bahan penolong, dan/atau bahan untuk mendukung proses produksi.
(7) Hak akses kepabeanan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b dapat digunakan oleh:
a. Pelaku Usaha yang merupakan badan usaha untuk melakukan kegiatan impor dan/atau ekspor; atau
b. Pelaku Usaha yang merupakan orang perseorangan hanya dapat melakukan kegiatan ekspor.
(8) NIB berbentuk angka acak yang diberi pengaman dan disertai dengan tanda tangan elektronik.

   
 

 Pasal 177

 

(1) NIB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 176 mencakup data:
a. profil;
b. permodalan usaha;
c. nomor pokok wajib pajak;
d. KBLI; dan
e. lokasi usaha.
(2) Untuk mendapatkan NIB sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pelaku Usaha orang perseorangan mengisi data pada Sistem OSS.
(3) Data profil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, bagi Pelaku Usaha orang perseorangan merupakan nomor induk kependudukan yang terintegrasi dengan sistem kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri.
(4) Bagi Pelaku Usaha badan usaha, data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, sesuai dengan integrasi antara Sistem OSS dengan sistem di kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia.
(5) Terhadap data nomor pokok wajib pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, Sistem OSS melakukan validasi sesuai dengan integrasi dengan sistem di kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
(6) Bagi Pelaku Usaha orang perseorangan yang belum memiliki nomor pokok wajib pajak, dapat mengajukan permohonan nomor pokok wajib pajak melalui Sistem OSS.
(7) Data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e sesuai dengan integrasi atau validasi antara Sistem OSS dengan sistem di kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang tata ruang.
(8) Dalam hal data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum tersedia secara daring, Pelaku Usaha melakukan pengisian pada Sistem OSS.
(9) Bagi Pelaku Usaha kantor perwakilan dan badan usaha luar negeri, harus mengisi data paling sedikit:
a. nama perusahaan di luar negeri yang menunjuk;
b. alamat perusahaan asing; dan
c. data kantor perwakilan di Indonesia.


          

 Pasal 178

 

(1) Terhadap data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 177 ayat (1), Sistem OSS melakukan pemeriksaan kesesuaian ketentuan bidang usaha dan ketentuan Penanaman Modal lainnya, termasuk:
a. bidang usaha yang diklasifikasikan sebagai bidang usaha prioritas;
b. alokasi bidang usaha untuk UMK-M dan koperasi;
c. kewajiban kemitraan dengan UMK dan koperasi; dan
d. ketentuan bidang usaha khusus (single purpose).
(2) Pemeriksaan ketentuan bidang usaha dan ketentuan Penanaman Modal lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menentukan insentif dan/atau fasilitas Penanaman Modal yang dapat diperoleh oleh Pelaku Usaha.



Paragraf 5
Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang
 
 Pasal 179

 

(1) Sistem OSS melaksanakan pemeriksaan lokasi usaha yang diajukan oleh Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 177 ayat (1) huruf e mencakup:
a. daratan;
b. laut; dan/atau
c. kawasan hutan.
(2) Pemeriksaan lokasi usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan berdasarkan ketersediaan rencana detail tata ruang daerah dalam sistem di kementerian yang menyelenggarakan urusan di bidang tata ruang yang terintegrasi dengan Sistem OSS.
(3) Dalam rangka pemeriksaan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang:
a. bagi kegiatan usaha yang lokasinya sudah sesuai dengan rencana detail tata ruang daerah, Sistem OSS secara otomatis menerbitkan konfirmasi kegiatan pemanfaatan ruang sesuai kegiatan usaha; atau
b. bagi kegiatan usaha yang lokasinya tidak sesuai dengan rencana detail tata ruang daerah, Sistem OSS memberikan notifikasi ketidaksesuaian tata ruang dan permohonan NIB tidak dapat dilanjutkan.

 
          

 Pasal 180

 

(1) Dalam hal rencana detail tata ruang daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 179 ayat (2) belum tersedia, pemeriksaan lokasi dilakukan berdasarkan:
a. rencana tata ruang wilayah nasional;
b. rencana tata ruang pulau/kepulauan;
c. rencana tata ruang kawasan strategis nasional;
d. rencana tata ruang wilayah provinsi; dan/atau
e. rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota.
(2) Dalam rangka pemeriksaan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang yang belum tersedia rencana detail tata ruang, kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang tata ruang melakukan validasi kesesuaian lokasi kegiatan dengan rencana tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk menerbitkan atau tidak menerbitkan persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang.
(3) Jangka waktu penerbitan atau penolakan persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 20 (dua puluh) Hari sejak permohonan NIB diajukan.
(4) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terlampaui, persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang diterbitkan secara otomatis oleh Sistem OSS.


     

 Pasal 181

 

(1) Sistem OSS akan memeriksa dan menyetujui secara otomatis lokasi kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 179 dengan ketentuan:
a. lokasi usaha dan/atau kegiatan terletak di lokasi KEK atau kawasan industri;
b. lokasi usaha dan/atau kegiatan diperlukan untuk perluasan usaha yang sudah berjalan dan letak tanahnya berbatasan dengan lokasi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan dengan peruntukan tata ruang yang sama;
c. lokasi usaha dan/atau kegiatan merupakan tanah yang sudah dikuasai oleh Pelaku Usaha lain yang telah mendapatkan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang dan akan digunakan oleh Pelaku Usaha;
d. lokasi usaha dan/atau kegiatan yang terletak pada wilayah usaha minyak dan gas bumi yang sudah ditetapkan oleh pemerintah; dan/atau
e. lokasi usaha dan/atau kegiatan berasal dari otorita atau badan penyelenggara pengembangan suatu kawasan sesuai dengan rencana tata ruang kawasan pengembangan tersebut.
(2) Sistem OSS menerbitkan persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang atas lokasi usaha dan/atau yang diperlukan untuk melaksanakan rencana Perizinan Berusaha bagi UMK berdasarkan pernyataan Pelaku Usaha sesuai format pada Sistem OSS.
(3) Dalam hal Pelaku Usaha menengah dan besar melakukan pembangunan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah dengan luasan tidak lebih dari 5 (lima) hektare, persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang diterbitkan atas pernyataan Pelaku Usaha sesuai format pada Sistem OSS.

 
     

 Pasal 182

 

(1) Pemeriksaan lokasi di laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 179 ayat (1) huruf b dilakukan kepada Pelaku Usaha yang melakukan kegiatan pemanfaatan ruang di laut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Lokasi usaha mengacu pada pemanfaatan sesuai dengan rencana tata ruang, rencana zonasi kawasan antar wilayah, dan rencana zonasi kawasan strategis nasional tertentu.
(3) Pemeriksaan lokasi di laut dilakukan kepada Pelaku Usaha yang memanfaatkan ruang secara menetap di sebagian ruang laut yang mencakup permukaan laut, kolom air, dan/atau permukaan dasar laut pada batas keluasan tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Pemeriksaan lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan ketersediaan rencana tata ruang yang mencakup rencana zonasi dalam sistem di kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan yang terintegrasi dengan Sistem OSS.
(5) Dalam hal lokasi yang dimohonkan berada di laut, Pelaku Usaha menyampaikan permohonan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang di laut kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan melalui Sistem OSS.
(6) Terhadap permohonan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang di laut sebagaimana dimaksud pada ayat (5), menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan menyampaikan notifikasi persetujuan atau penolakan ke dalam Sistem OSS paling lama 20 (dua puluh) Hari sejak permohonan NIB diajukan.
(7) Berdasarkan notifikasi persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Sistem OSS akan menerbitkan persetujuan atau penolakan kegiatan pemanfaatan ruang.
(8) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (6) terlampaui, persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang di laut diterbitkan secara otomatis oleh Sistem OSS.

 
    

 Pasal 183

 

(1) Dalam hal kegiatan usaha berada di darat, wilayah pesisir, dan laut, persetujuan kesesuaian pemanfaatan ruang diberikan secara terkoordinasi oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agraria dan tata ruang dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan.
(2) Persetujuan dan penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan secara terkoordinasi oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agraria dan tata ruang dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan melalui Sistem OSS.


     

 Pasal 184

 

(1) Persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang diberikan untuk jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak diterbitkan.
(2) Apabila dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pelaku Usaha tidak melaksanakan penggunaan dan pemanfaatan tanah sesuai tata ruang, persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang dibatalkan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.



     

 Pasal 185

 

(1) Terhadap lokasi usaha pada kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 179 ayat (1) huruf c dapat mencakup kegiatan:
a. penggunaan kawasan hutan; dan
b. pemanfaatan hutan.
(2) Dalam hal kegiatan yang akan dilakukan oleh Pelaku Usaha menggunakan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan di dalam kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung.
(3) Penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan melalui persetujuan Pemerintah Pusat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan.
(4) Permohonan dan kelengkapan persyaratan pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diajukan melalui Sistem OSS.
(5) Permohonan dan kelengkapan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diteruskan kepada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan untuk dilakukan verifikasi.
(6) Kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan melakukan verifikasi atas pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dalam jangka waktu yang ditetapkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan yang dinotifikasi ke Sistem OSS.
(7) Dalam hal kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan tidak memberikan notifikasi persetujuan atau penolakan ke Sistem OSS sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Lembaga OSS menerbitkan Izin pemanfaatan hutan.

   

Paragraf 6
Penggunaan Tenaga Kerja Asing
 
 Pasal 186

 

(1) Dalam hal menggunakan tenaga kerja asing, Pelaku Usaha menyampaikan permohonan pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing melalui sistem elektronik yang diselenggarakan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan.
(2) Kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan meneruskan pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing kepada Lembaga OSS dan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia.



Paragraf 7
Pemasukan Data Profil Pelaku Usaha
 
 Pasal 187

 

(1) Pelaku Usaha harus melakukan klarifikasi kegiatan usaha berupa:
a. kegiatan usaha utama;
b. kegiatan usaha pendukung; dan/atau
c. kantor cabang administrasi.
(2) Kegiatan usaha utama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan kegiatan usaha sebagaimana yang tercantum pada legalitas/akta Pelaku Usaha dan bertujuan komersial, sumber pendapatan, atau menghasilkan keuntungan bagi Pelaku Usaha.
(3) Kegiatan usaha pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan:
a. kegiatan yang bertujuan untuk mendukung kelancaran kegiatan usaha utama;
b. tidak merupakan sumber pendapatan bagi Pelaku Usaha; dan
c. dapat dilakukan dan diselesaikan terlebih dahulu sebelum pelaksanaan kegiatan usaha utama.
(4) Kantor cabang administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan unit atau bagian dari perusahaan induknya yang dapat berkedudukan di tempat berlainan dan bersifat administratif.

     

 Pasal 188

 

Pelaku Usaha yang telah mengisi data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 177 ayat (1) wajib melanjutkan proses di Sistem OSS untuk mendapatkan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko dengan memasukkan data kegiatan usaha utama untuk masing-masing kode KBLI 5 (lima) digit dan lokasi paling sedikit memuat:

a. jenis produk yang dihasilkan;
b. kapasitas produk;
c. jumlah tenaga kerja; dan
d. rencana nilai investasi.



 Pasal 189

 

(1) Sistem OSS melaksanakan pemeriksaan ketentuan atas data usaha berupa rencana nilai investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 huruf d yang diajukan oleh Pelaku Usaha meliputi:
a. minimum investasi; dan
b. ketentuan permodalan,
untuk Penanaman Modal Asing.
(2) Ketentuan minimum investasi bagi Penanaman Modal Asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, meliputi total investasi lebih besar dari Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah), di luar tanah dan bangunan per bidang usaha KBLI 5 (lima) digit per lokasi proyek.
(3) Ketentuan total investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikecualikan untuk beberapa kegiatan usaha:
a. khusus untuk kegiatan usaha perdagangan besar, lebih besar dari Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) di luar tanah dan bangunan, adalah per 4 (empat) digit awal KBLI;
b. khusus untuk kegiatan usaha jasa makanan dan minuman sepanjang terbuka untuk Penanaman Modal Asing, lebih besar dari Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) di luar tanah dan bangunan, adalah per 2 (dua) digit awal KBLI per 1 (satu) titik lokasi;
c. khusus untuk kegiatan usaha konstruksi sepanjang terbuka untuk Penanaman Modal Asing, lebih besar dari Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) di luar tanah dan bangunan dalam satu kegiatan, adalah per 4 (empat) digit awal KBLI; atau
d. khusus untuk kegiatan usaha industri yang menghasilkan jenis produk dengan KBLI 5 (lima) digit yang berbeda dalam 1 (satu) lini produksi, lebih besar dari Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) di luar tanah dan bangunan.


  

 Pasal 190

 

(1) Terhadap kegiatan usaha pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 187 ayat (3), Pelaku Usaha wajib memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, termasuk pengidentifikasian Perizinan Berusaha Berbasis Risiko.
(2) Kegiatan usaha pendukung dikecualikan dari proses pemeriksaan ketentuan nilai permodalan dan minimum investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 189 ayat (2) serta kewajiban pencantuman KBLI dalam maksud dan tujuan pada legalitas Pelaku Usaha.
(3) Terhadap kegiatan usaha pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 187 ayat (3) huruf b, ketentuan dalam Pasal 188 berlaku secara mutatis mutandis.


     

 Pasal 191

 

(1) Pelaku Usaha mendaftarkan kantor cabang administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 187 ayat (4) pada Sistem OSS dengan melengkapi data paling sedikit:
a. alamat kantor cabang administrasi;
b. nomor pokok wajib pajak kantor cabang administrasi; dan
c. penanggung jawab kantor cabang administrasi.
(2) Dalam hal kantor cabang administrasi lebih dari 1 (satu) lokasi, Pelaku Usaha harus melengkapi data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk setiap lokasi kantor cabang administrasi.
(3) Pendaftaran kantor cabang administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan melalui Sistem OSS sebagai lampiran NIB.

   
     

 Pasal 192

 

Dalam hal 1 (satu) kegiatan usaha utama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 187 ayat (2) merupakan:

a. dalam 1 (satu) lini produksi menghasilkan lebih dari 1 (satu) produk yang berbeda kode KBLI 5 (lima) digit dengan lokasi yang sama; atau
b. kegiatan yang menghasilkan jasa lebih dari 1 (satu) kode KBLI 5 (lima) digit berbeda dengan lokasi yang sama,

kelengkapan data dapat digabung menjadi 1 (satu).

     

 Pasal 193

 

(1) Lembaga OSS menerbitkan NIB melalui Sistem OSS berdasarkan:
a. tingkat Risiko;
b. pemeriksaan ketentuan bidang usaha;
c. ketentuan minimum investasi; dan
d. ketentuan permodalan.
(2) Tingkat Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a mengikuti tingkat Risiko sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang secara otomatis terverifikasi oleh Sistem OSS.



Paragraf 8
Penerbitan Perizinan Berusaha Risiko Rendah
 
 Pasal 194

 

(1) Dalam hal kegiatan usaha termasuk ke dalam tingkat Risiko rendah, NIB secara otomatis terbit melalui Sistem OSS setelah Pelaku Usaha memenuhi data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 177.
(2) NIB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku sebagai legalitas untuk melaksanakan kegiatan berusaha sekaligus menjadi SPPL.


     

Paragraf 9
Penerbitan Perizinan Berusaha Risiko Menengah Rendah
 
 Pasal 195

 

(1) Dalam hal kegiatan usaha termasuk ke dalam tingkat Risiko menengah rendah, setelah memenuhi kelengkapan data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 177, Pelaku Usaha mengisi pernyataan kesanggupan memenuhi standar kegiatan usaha melalui Sistem OSS.
(2) Dalam hal kegiatan usaha dikategorikan wajib memenuhi standar UKL-UPL, selain mengisi pernyataan kesanggupan memenuhi standar kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pelaku Usaha mengisi formulir UKL-UPL yang tersedia di Sistem OSS untuk memperoleh NIB dan Sertifikat Standar.
(3) Dalam hal kegiatan usaha tidak wajib UKL-UPL, selain mengisi pernyataan kesanggupan memenuhi standar kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pelaku Usaha mengisi formulir SPPL yang tersedia di Sistem OSS untuk memperoleh NIB dan Sertifikat Standar.

   
     

Paragraf 10
Penerbitan Perizinan Berusaha Risiko Menengah Tinggi
 
 Pasal 196

 

(1) Dalam hal kegiatan usaha termasuk ke dalam tingkat Risiko menengah tinggi, setelah memenuhi kelengkapan data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 177, Pelaku Usaha mengisi pernyataan kesanggupan memenuhi standar kegiatan usaha melalui Sistem OSS.
(2) Dalam hal kegiatan usaha dikategorikan wajib memenuhi standar UKL-UPL, selain mengisi pernyataan kesanggupan memenuhi standar kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pelaku Usaha mengisi formulir UKL-UPL yang tersedia di Sistem OSS untuk memperoleh NIB dan Sertifikat Standar yang mencantumkan tanda belum terverifikasi.
(3) Dalam hal kegiatan usaha tidak wajib UKL-UPL, selain mengisi pernyataan kesanggupan memenuhi standar kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pelaku Usaha mengisi formulir SPPL yang tersedia di Sistem OSS untuk memperoleh NIB dan Sertifikat Standar yang mencantumkan tanda belum terverifikasi.
(4) Setelah memperoleh NIB dan Sertifikat Standar yang mencantumkan tanda belum terverifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau ayat (3), Pelaku Usaha melakukan pemenuhan standar kegiatan usaha sesuai jangka waktu berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria melalui Sistem OSS.
(5) Pemenuhan standar kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diteruskan Sistem OSS kepada kementerian/lembaga, DPMPTSP provinsi, DPMPTSP kabupaten/kota, Administrator KEK, dan Badan Pengusahaan KPBPB sesuai kewenangan masing-masing untuk dilakukan verifikasi.
(6) Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan kementerian/lembaga, perangkat daerah provinsi, perangkat daerah kabupaten/kota, Administrator KEK, atau Badan Pengusahaan KPBPB sesuai kewenangan masing-masing dalam jangka waktu sesuai norma, standar, prosedur, dan kriteria.
(7) Berdasarkan hasil verifikasi, kementerian/lembaga, perangkat daerah provinsi, perangkat daerah kabupaten/kota, Administrator KEK, atau Badan Pengusahaan KPBPB menyampaikan notifikasi ke Sistem OSS berupa memenuhi persyaratan atau tidak memenuhi persyaratan.
(8) Dalam melakukan verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6), Administrator KEK atau Badan Pengusahaan KPBPB dapat bekerja sama dengan kementerian/lembaga, perangkat daerah provinsi, perangkat daerah kabupaten/kota, atau lembaga atau profesi ahli yang bersertifikat atau terakreditasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 
     

 Pasal 197

 

(1) Dalam hal berdasarkan notifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 196 ayat (7) dinyatakan memenuhi persyaratan, Sistem OSS mencantumkan keterangan bahwa Sertifikat Standar telah diverifikasi.
(2) Pelaku Usaha dapat mencetak Sertifikat Standar yang telah mencantumkan keterangan telah diverifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1).


     

 Pasal 198

 

(1) Dalam hal berdasarkan notifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 196 ayat (7) dinyatakan Pelaku Usaha tidak memenuhi persyaratan, Sistem OSS menyampaikan kepada Pelaku Usaha untuk melakukan pemenuhan persyaratan Sertifikat Standar dalam jangka waktu yang telah ditetapkan dalam norma, standar, prosedur, dan kriteria.
(2) Pelaku Usaha menyampaikan permohonan melalui Sistem OSS untuk dilakukan verifikasi kembali setelah melakukan pemenuhan persyaratan Sertifikat Standar.
(3) Dalam melakukan verifikasi kembali, ketentuan verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 196 ayat (5), ayat (6), ayat (7), ayat (8), dan Pasal 197 berlaku secara mutatis mutandis.
(4) Dalam hal berdasarkan verifikasi kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), Pelaku Usaha tetap tidak memenuhi persyaratan Sertifikat Standar dalam jangka waktu yang ditetapkan dalam norma, standar, prosedur, dan kriteria, Sistem OSS membatalkan Sertifikat Standar yang belum diverifikasi.


     

 Pasal 199

 

(1) Dalam hal kementerian/lembaga, perangkat daerah provinsi, perangkat daerah kabupaten/kota, Administrator KEK, atau Badan Pengusahaan KPBPB sesuai kewenangan masing-masing tidak memberikan notifikasi hasil verifikasi kepada Sistem OSS, Sistem OSS secara otomatis mencantumkan keterangan bahwa Sertifikat Standar telah terverifikasi.
(2) Pelaku Usaha dapat mencetak Sertifikat Standar yang telah mencantumkan keterangan telah terverifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1).


     

 Pasal 200

 

(1) Dalam hal kegiatan usaha dengan tingkat Risiko menengah rendah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 195 ayat (1) dan Risiko menengah tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 196 ayat (1) memerlukan standardisasi produk, Pelaku Usaha menyampaikan pemenuhan standar produk melalui Sistem OSS.
(2) Lembaga OSS meneruskan pemenuhan standar produk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada kementerian/lembaga sesuai kewenangan masing-masing untuk dilakukan verifikasi.
(3) Kementerian/lembaga sesuai kewenangan masing-masing melakukan verifikasi atas pemenuhan sertifikasi standar produk sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam jangka waktu sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan untuk dinotifikasi ke Sistem OSS.
(4) Kementerian/lembaga dalam melakukan verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat bekerja sama dengan lembaga atau profesi ahli yang bersertifikat atau terakreditasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Dalam hal pemenuhan sertifikasi standar produk yang disampaikan oleh Pelaku Usaha disetujui, kementerian/lembaga menyampaikan persetujuan sertifikasi standar produk kepada Pelaku Usaha melalui Sistem OSS.
(6) Dalam hal pemenuhan sertifikasi standar produk yang disampaikan oleh Pelaku Usaha ditolak atau diminta melengkapi pemenuhan persyaratan, kementerian/lembaga menyampaikan kepada Pelaku Usaha melalui Sistem OSS.

  
     

Paragraf 11
Penerbitan Perizinan Berusaha Risiko Tinggi
 
 Pasal 201

 

(1) Sebelum melakukan kegiatan usaha yang termasuk ke dalam tingkat Risiko tinggi, Pelaku Usaha wajib memiliki NIB yang diterbitkan melalui Sistem OSS.
(2) Setelah memiliki NIB, Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi persyaratan Izin sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria sebelum melaksanakan kegiatan operasional dan/atau komersial.
(3) Persyaratan Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi pula analisis mengenai dampak lingkungan bagi kegiatan usaha yang wajib analisis mengenai dampak lingkungan.
(4) Pemenuhan persyaratan Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan oleh Pelaku Usaha melalui Sistem OSS.
(5) Pemenuhan persyaratan Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diteruskan Sistem OSS kepada kementerian/lembaga, DPMPTSP provinsi, DPMPTSP kabupaten/kota, Administrator KEK, atau Badan Pengusahaan KPBPB sesuai kewenangan masing-masing untuk dilakukan verifikasi.
(6) Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5), dilakukan oleh kementerian/lembaga, perangkat daerah provinsi, perangkat daerah kabupaten/kota, Administrator KEK, atau Badan Pengusahaan KPBPB sesuai kewenangan masing-masing dalam jangka waktu sesuai norma, standar, prosedur, dan kriteria.
(7) Berdasarkan hasil verifikasi, kementerian/lembaga, perangkat daerah provinsi, perangkat daerah kabupaten/kota, Administrator KEK, atau Badan Pengusahaan KPBPB menyampaikan notifikasi kepada Sistem OSS berupa memenuhi persyaratan atau tidak memenuhi persyaratan.
(8) Dalam melakukan verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6), Administrator KEK atau Badan Pengusahaan KPBPB dapat bekerja sama dengan kementerian/lembaga, perangkat daerah provinsi, perangkat daerah kabupaten/kota, atau lembaga atau profesi ahli yang bersertifikat atau terakreditasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

    
    

 Pasal 202

 

Dalam hal berdasarkan notifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 201 ayat (7) Pelaku Usaha dinyatakan memenuhi persyaratan, Sistem OSS menerbitkan Izin kepada Pelaku Usaha.


 

 Pasal 203

 

Dalam hal berdasarkan notifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 201 ayat (7) Pelaku Usaha dinyatakan tidak memenuhi persyaratan, Sistem OSS menyampaikan kepada Pelaku Usaha untuk memenuhi kelengkapan pemenuhan persyaratan Izin melalui Sistem OSS.


 

 Pasal 204

 

Dalam hal kementerian/lembaga, perangkat daerah provinsi, perangkat daerah kabupaten/kota, Administrator KEK, atau Badan Pengusahaan KPBPB sesuai kewenangan masing-masing tidak memberikan notifikasi hasil verifikasi kepada Sistem OSS, Sistem OSS menerbitkan Izin.

 

Pasal 205

 

(1) Dalam hal kegiatan usaha berisiko tinggi memerlukan pemenuhan standar kegiatan usaha dan/atau standar produk, Pelaku Usaha menyampaikan pemenuhan standar kegiatan usaha dan/atau standar produk melalui Sistem OSS sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria.
(2) Sistem OSS meneruskan:
a. pemenuhan standar kegiatan usaha kepada kementerian/lembaga, DPMPTSP provinsi, DPMPTSP kabupaten/kota, Administrator KEK, dan Badan Pengusahaan KPBPB sesuai kewenangan masing-masing untuk dilakukan verifikasi dan dinotifikasi ke Sistem OSS; dan
b. pemenuhan standar produk kepada kementerian/lembaga, untuk dilakukan verifikasi dan dinotifikasi ke Sistem OSS.


          

 Pasal 206

 

(1) Kementerian/lembaga, DPMPTSP provinsi, DPMPTSP kabupaten/kota, Administrator KEK, dan Badan Pengusahaan KPBPB sesuai kewenangan masing-masing melakukan verifikasi atas pemenuhan standar kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 205 ayat (2) huruf a dalam jangka waktu sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria untuk dinotifikasi ke Sistem OSS.
(2) Dalam hal pemenuhan standar kegiatan usaha yang disampaikan oleh Pelaku Usaha disetujui, kementerian/lembaga, DPMPTSP provinsi, DPMPTSP kabupaten/kota, Administrator KEK, dan Badan Pengusahaan KPBPB sesuai kewenangan masing-masing menyampaikan notifikasi persetujuan kepada Pelaku Usaha melalui Sistem OSS.
(3) Dalam hal pemenuhan sertifikasi standar kegiatan usaha yang disampaikan oleh Pelaku Usaha ditolak, kementerian/lembaga, DPMPTSP provinsi, DPMPTSP kabupaten/kota, Administrator KEK, dan Badan Pengusahaan KPBPB sesuai kewenangan masing-masing menyampaikan notifikasi penolakan kepada Pelaku Usaha melalui Sistem OSS.


     

 Pasal 207

 

(1) Kementerian/lembaga sesuai kewenangan masing-masing melakukan verifikasi atas pemenuhan sertifikasi standar produk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 205 ayat (2) huruf b dalam jangka waktu sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan untuk dinotifikasi ke Sistem OSS.
(2) Dalam hal pemenuhan sertifikasi standar produk yang disampaikan oleh Pelaku Usaha disetujui, kementerian/lembaga menyampaikan persetujuan sertifikasi standar produk kepada Pelaku Usaha melalui Sistem OSS.
(3) Dalam hal pemenuhan sertifikasi standar produk yang disampaikan oleh Pelaku Usaha ditolak, kementerian/lembaga menyampaikan penolakan sertifikasi standar produk kepada Pelaku Usaha melalui Sistem OSS.


     

Paragraf 12
Percepatan Penerbitan Izin
 
 Pasal 208

 

(1) Bagi kegiatan usaha yang termasuk ke dalam Risiko tinggi yang:
a. berlokasi di KEK, KPBPB, dan kawasan industri; atau
b. termasuk dalam proyek strategis nasional,
kementerian/lembaga, DPMPTSP provinsi, DPMPTSP kabupaten/kota, Administrator KEK, atau Badan Pengusahaan KPBPB sesuai kewenangan masing-masing langsung menerbitkan Izin.
(2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai Perizinan Berusaha untuk melakukan kegiatan persiapan dan operasional.
(3) Ketentuan pemenuhan persyaratan Izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 201 berlaku secara mutatis mutandis bagi kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kecuali yang termasuk dalam proyek strategis nasional.
(4) Dalam hal Pelaku Usaha tidak menyampaikan pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), kementerian/lembaga, DPMPTSP provinsi, DPMPTSP kabupaten/kota, Administrator KEK, atau Badan Pengusahaan KPBPB sesuai kewenangan masing-masing, membatalkan Izin yang telah diterbitkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melalui Sistem OSS.


     

Paragraf 13
Penerbitan Perizinan Berusaha dan Kemudahan Perizinan
Berusaha untuk UMK

 
 Pasal 209

 

(1) UMK diberikan kemudahan Perizinan Berusaha melalui perizinan tunggal.
(2) Kriteria UMK mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan koperasi dan UMK-M.

 
     

 Pasal 210

 

(1) Dalam hal kegiatan usaha yang dilakukan oleh UMK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 209 memiliki Risiko rendah, pelaku UMK mendapatkan NIB melalui Sistem OSS, sebagai identitas dan legalitas usaha.
(2) Dalam hal kegiatan usaha memiliki Risiko menengah atau tinggi, selain NIB pelaku UMK wajib memiliki Sertifikat Standar dan/atau Izin.
(3) Pelaku UMK sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menyampaikan permohonan untuk memperoleh Sertifikat Standar dan/atau Izin melalui Sistem OSS.
(4) Sistem OSS meneruskan permohonan pelaku UMK sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah provinsi, Pemerintah Daerah kabupaten/kota, Administrator KEK, dan Badan Pengusahaan KPBPB.
(5) Ketentuan mengenai pemberian Sertifikat Standar dan/atau Izin bagi pelaku UMK mengikuti ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 195, Pasal 196, dan Pasal 201 berlaku secara mutatis mutandis.

  
     

Bagian Keempat
Subsistem Pengawasan
 
 Pasal 211

 

(1) Subsistem Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 167 ayat (2) huruf c digunakan sebagai sarana untuk melaksanakan Pengawasan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko.
(2) Subsistem Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:
a. perencanaan inspeksi lapangan tahunan;
b. laporan berkala dari Pelaku Usaha dan data perkembangan kegiatan usaha;
c. perangkat kerja Pengawasan;
d. penilaian kepatuhan pelaksanaan Perizinan Berusaha;
e. pengaduan terhadap Pelaku Usaha dan pelaksana Pengawasan serta tindak lanjutnya; dan
f. pembinaan dan sanksi.
 
(3) Perangkat kerja Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c terdiri dari:
a. data, profil, dan informasi Pelaku Usaha yang terdapat pada Sistem OSS;
b. surat tugas pelaksana inspeksi lapangan;
c. surat pemberitahuan kunjungan;
d. berita acara pemeriksaan;
e. daftar pertanyaan bagi Pelaku Usaha terkait pemenuhan standar pelaksanaan kegiatan usaha dan kewajiban; dan/atau
f. perangkat kerja lainnya yang diperlukan dalam rangka mendukung pelaksanaan Pengawasan.
(4) Subsistem Pengawasan dapat diakses dan ditindaklanjuti oleh:
a. Pelaku Usaha;
b. Lembaga OSS;
c. kementerian/lembaga;
d. DPMPTSP provinsi;
e. DPMPTSP kabupaten/kota;
f. Administrator KEK; dan
g. Badan Pengusahaan KPBPB.


          

Bagian Kelima
Pencabutan NIB
 
 Pasal 212

 

(1) NIB berlaku selama Pelaku Usaha menjalankan kegiatan usaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) NIB dicabut dan dinyatakan tidak berlaku dalam hal:
a. Pelaku Usaha melakukan kegiatan usaha yang tidak sesuai dengan NIB;
b. Pelaku Usaha melakukan pelanggaran ketentuan peraturan perundang-undangan terkait Perizinan Berusaha;
c. disetujuinya permohonan Pelaku Usaha atas pencabutan NIB;
d. pembubaran badan usaha; atau
e. berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
(3) Permohonan pencabutan NIB sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b disampaikan oleh kementerian/lembaga, DPMPTSP provinsi, DPMPTSP kabupaten/kota, Administrator KEK, dan/atau Badan Pengusahaan KPBPB atas hasil pemeriksaan kemudian (post-audit), melalui notifikasi kepada Lembaga OSS.
(4) Pencabutan NIB sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dilakukan oleh Lembaga OSS.
(5) Permohonan pencabutan NIB sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d dilakukan oleh likuidator melalui notifikasi kepada Lembaga OSS.
(6) Pencabutan NIB sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e dilakukan oleh Lembaga OSS berdasarkan surat/keterangan/informasi tertulis dari aparat penegak hukum atau lembaga peradilan.
(7) Atas notifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (5) atau surat/keterangan/informasi tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Lembaga OSS menerbitkan keputusan pencabutan NIB.


     

BAB V
TATA CARA PENGAWASAN PERIZINAN BERUSAHA
BERBASIS RISIKO

 
Bagian Kesatu
Umum
 
 Pasal 213

 

(1) Pengawasan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Administrator KEK, dan/atau Badan Pengusahaan KPBPB sesuai dengan kewenangan masing-masing.
(2) Pengawasan dilakukan dengan mempertimbangkan tingkat kepatuhan Pelaku Usaha.
(3) Indikator dalam Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. tata ruang dan standar bangunan gedung;
b. standar kesehatan, keselamatan, dan/atau lingkungan hidup;
c. standar pelaksanaan kegiatan usaha;
d. persyaratan dan kewajiban yang diatur dalam norma, standar, prosedur, dan kriteria sebagaimana tercantum dalam Lampiran II; dan/atau
e. kewajiban atas penyampaian laporan dan/atau pemanfaatan insentif dan fasilitas Penanaman Modal.


          

 Pasal 214

 

(1) Pengawasan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 213 ayat (1) dilaksanakan oleh kementerian/lembaga sesuai dengan:
a. tugas dan fungsi masing-masing; atau
b. kewenangan penerbitan Perizinan Berusaha.
(2) Pengawasan yang menjadi kewenangan Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 213 ayat (1) dilaksanakan oleh gubernur dan/atau bupati/wali kota sesuai dengan kewenangan masing-masing.
(3) Dalam hal kegiatan usaha dilakukan di wilayah KEK atau KPBPB, Pengawasan dilakukan oleh Administrator KEK atau Badan Pengusahaan KPBPB.

 
     

 Pasal 215

 

(1) Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 214 dilakukan secara terintegrasi dan terkoordinasi antarkementerian/lembaga, Pemerintah Daerah provinsi, Pemerintah Daerah kabupaten/kota, Administrator KEK, dan/atau Badan Pengusahaan KPBPB.
(2) Untuk melakukan Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan perencanaan Pengawasan.
(3) Perencanaan Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencakup penyusunan waktu dalam pelaksanaan Pengawasan, anggaran, dan sumber daya manusia pelaksana Pengawasan.
(4) Kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah provinsi, Pemerintah Daerah kabupaten/kota, Administrator KEK, dan/atau Badan Pengusahaan KPBPB dilarang melakukan Pengawasan di luar perencanaan Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3).

 
     

 Pasal 216

 

Pelaksanaan Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 213 dikoordinasikan oleh:

a. lembaga pemerintah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang koordinasi Penanaman Modal, atas pelaksanaan penerbitan Perizinan Berusaha melalui Sistem OSS;
b. DPMPTSP provinsi, atas pelaksanaan Perizinan Berusaha yang menjadi kewenangan Pemerintah Daerah provinsi;
c. DPMPTSP kabupaten/kota, atas pelaksanaan Perizinan Berusaha yang menjadi kewenangan Pemerintah Daerah kabupaten/kota;
d. Administrator KEK, atas pelaksanaan Pengawasan Perizinan Berusaha yang berlokasi di KEK; dan
e. Badan Pengusahaan KPBPB, atas pelaksanaan Pengawasan yang berlokasi di KPBPB.


     

 Pasal 217

 

Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 213 dilakukan dengan tujuan untuk:

a. memastikan kepatuhan pemenuhan persyaratan dan kewajiban oleh Pelaku Usaha;
b. mengumpulkan data, bukti, dan/atau laporan terjadinya bahaya terhadap keselamatan, kesehatan, lingkungan hidup, dan/atau bahaya lainnya yang dapat ditimbulkan dari pelaksanaan kegiatan usaha; dan
c. rujukan pembinaan atau pengenaan sanksi administratif terhadap pelanggaran Perizinan Berusaha.


     

Bagian Kedua
Jenis Pengawasan
 
Paragraf 1
Umum
  
Pasal 218

 

Jenis Pengawasan terdiri dari:

a. Pengawasan rutin; dan
b. Pengawasan insidental.


     

Paragraf 2
Pengawasan Rutin
 
 Pasal 219

 

Pengawasan rutin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 218 huruf a dilakukan secara berkala berdasarkan tingkat Risiko kegiatan usaha dan mempertimbangkan tingkat kepatuhan Pelaku Usaha.

 
    

 Pasal 220

 

Pengawasan rutin dilakukan melalui:

a. laporan Pelaku Usaha; dan
b. inspeksi lapangan.


     

 Pasal 221

 

(1) Pengawasan rutin melalui laporan Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 220 huruf a dilakukan atas laporan yang disampaikan oleh Pelaku Usaha kepada kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah provinsi, Pemerintah Daerah kabupaten/kota, Administrator KEK, dan/atau Badan Pengusahaan KPBPB yang memuat kepatuhan Pelaku Usaha terhadap:
a. standar pelaksanaan usaha; dan
b. perkembangan kegiatan usaha.
  
(2) Laporan perkembangan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b memuat:
a. realisasi Penanaman Modal dan tenaga kerja pada tahapan pembangunan dan komersial setiap 3 (tiga) bulan; dan
b. realisasi produksi, tanggung jawab sosial dan lingkungan (corporate social responsibility), pelaksanaan kemitraan usaha pada tahapan komersial, dan penyelenggaraan pelatihan dan melakukan alih teknologi kepada tenaga kerja Indonesia sebagai pendamping, pada tahapan komersial setiap 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.

    
          

 Pasal 222

 

(1) Pengawasan rutin melalui inspeksi lapangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 220 huruf b dilakukan oleh kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah provinsi, Pemerintah Daerah kabupaten/kota, Administrator KEK, dan/atau Badan Pengusahaan KPBPB dalam bentuk kunjungan fisik atau melalui virtual.
(2) Inspeksi lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. pemeriksaan administratif dan/atau fisik atas pemenuhan standar kegiatan usaha dan/atau standar produk/jasa;
b. pengujian; dan/atau
c. pembinaan dalam bentuk pendampingan dan penyuluhan.
(3) Pelaksana inspeksi lapangan wajib dilengkapi dengan surat tugas dari kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah provinsi, Pemerintah Daerah kabupaten/kota, Administrator KEK, dan/atau Badan Pengusahaan KPBPB.
(4) Inspeksi lapangan oleh pelaksana Pengawasan dilakukan paling banyak:
a. untuk Risiko rendah dan menengah rendah, dilaksanakan 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun untuk setiap lokasi usaha; dan
b. untuk Risiko menengah tinggi dan tinggi, dilaksanakan 2 (dua) kali dalam 1 (satu) tahun untuk setiap lokasi usaha.
(5) Dalam hal berdasarkan hasil penilaian atas Pengawasan rutin yang telah dilakukan sebelumnya Pelaku Usaha dinilai patuh, inspeksi lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4):
a. untuk Risiko rendah dan menengah rendah, tidak dilakukan; dan
b. untuk Risiko menengah tinggi dan tinggi, dilaksanakan 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun untuk setiap lokasi usaha.

 
          

 Pasal 223

 

(1) Hasil inspeksi lapangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 222 dituangkan dalam berita acara pemeriksaan dan ditandatangani oleh pelaksana inspeksi lapangan dan Pelaku Usaha.
(2) Berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilengkapi dengan kesimpulan hasil inspeksi lapangan.
(3) Pengisian dan penandatanganan berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara elektronik pada Sistem OSS atau secara manual oleh pelaksana inspeksi lapangan dan Pelaku Usaha.
(4) Dalam hal pengisian dan penandatanganan berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara elektronik pada Sistem OSS, hasil inspeksi lapangan dilaporkan dengan mengisi formulir elektronik yang memuat kesimpulan hasil inspeksi lapangan oleh pelaksana inspeksi lapangan.
(5) Dalam hal pengisian dan penandatanganan berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara manual, hasil inspeksi lapangan dilaporkan dengan mengisi formulir elektronik yang memuat kesimpulan hasil inspeksi lapangan pada Sistem OSS dan diunggah ke Sistem OSS oleh pelaksana inspeksi lapangan paling lambat 3 (tiga) Hari setelah penandatanganan berita acara.


     

Paragraf 3
Pengawasan Insidental
 
 Pasal 224

 

(1) Pengawasan insidental sebagaimana dimaksud dalam Pasal 218 huruf b merupakan Pengawasan yang dilakukan oleh kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah provinsi, Pemerintah Daerah kabupaten/kota, Administrator KEK, dan/atau Badan Pengusahaan KPBPB pada waktu tertentu.
(2) Pengawasan insidental dapat dilakukan melalui inspeksi lapangan atau secara virtual.
(3) Pengawasan insidental sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan pengaduan dari masyarakat dan/atau Pelaku Usaha yang dijamin kerahasiaan identitasnya oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
(4) Pengaduan dari masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib disampaikan secara benar dan dapat dipertanggungjawabkan.
(5) Penyampaian pengaduan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan secara:
a. langsung kepada Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah; dan/atau
b. tidak langsung yang disampaikan secara:
1. tertulis kepada Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah; atau
2. elektronik melalui Sistem OSS atau saluran pengaduan yang disediakan.
(6) Lembaga OSS menyusun prosedur pengelolaan pengaduan masyarakat secara elektronik melalui Sistem OSS sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b angka 2.
(7) Kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah provinsi, Pemerintah Daerah kabupaten/kota, Administrator KEK, dan/atau Badan Pengusahaan KPBPB menindaklanjuti pengaduan masyarakat secara sendiri atau bersama dengan kementerian/lembaga lainnya dan/atau Pemerintah Daerah.
(8) Pelaksana inspeksi lapangan wajib dilengkapi dengan surat tugas dari kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah provinsi, Pemerintah Daerah kabupaten/kota, Administrator KEK, dan/atau Badan Pengusahaan KPBPB.
(9) Hasil Pengawasan insidental wajib diunggah ke Sistem OSS oleh penanggung jawab pelaksana inspeksi lapangan.


   

Paragraf 4
Penilaian Hasil Pengawasan
 
 Pasal 225

 

(1) Kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah provinsi, Pemerintah Daerah kabupaten/kota, Administrator KEK, dan/atau Badan Pengusahaan KPBPB sesuai kewenangan masing-masing melakukan penilaian hasil Pengawasan.
(2) Penilaian hasil Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diolah berdasarkan indikator dalam Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 213.
(3) Pengolahan data sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan untuk menentukan tingkat kepatuhan Pelaku Usaha dan untuk mengevaluasi Perizinan Berusaha Berbasis Risiko.
(4) Berdasarkan penilaian hasil Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah provinsi, Pemerintah Daerah kabupaten/kota, Administrator KEK, dan/atau Badan Pengusahaan KPBPB menyampaikan laporan penilaian hasil Pengawasan secara elektronik kepada Sistem OSS.
(5) Berdasarkan laporan penilaian hasil Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Sistem OSS melakukan:
a. pengolahan data dan/atau informasi untuk peninjauan atau evaluasi secara berkala terhadap penetapan tingkat Risiko kegiatan usaha;
b. penyesuaian intensitas inspeksi lapangan pada Pengawasan; dan
c. pembaruan profil Pelaku Usaha.
(6) Pelaku Usaha dapat mengakses atau memperoleh informasi terkait penyesuaian intensitas inspeksi lapangan pada Pengawasan rutin dan pembaharuan profil Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b dan huruf c pada Sistem OSS.


          

 Pasal 226

 

Pengolahan data dan/atau informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 225 ayat (5) huruf a dilakukan terintegrasi secara elektronik dengan mengedepankan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan berbagi data (data sharing).

 

Bagian Ketiga
Kemudahan Pengawasan Perizinan Berusaha Untuk UMK
 
 Pasal 227

 

(1) Kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah provinsi, dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota memberikan kemudahan Pengawasan kegiatan usaha kepada pelaku UMK.
(2) Kemudahan Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. laporan kegiatan Penanaman Modal disampaikan dengan ketentuan:
1. tidak diwajibkan bagi Pelaku Usaha mikro; dan
2. setiap 6 (enam) bulan dalam 1 (satu) tahun laporan bagi Pelaku Usaha kecil;
b. Pengawasan rutin Perizinan Berusaha untuk pelaku UMK dilakukan melalui pembinaan, pendampingan, atau penyuluhan terkait kegiatan usaha; dan
c. dalam hal berdasarkan hasil penilaian atas Pengawasan rutin yang dilakukan sebelumnya terhadap standar dan kewajiban, pelaku UMK yang dinilai patuh tidak perlu dilakukan inspeksi lapangan.


          

Bagian Keempat
Pelaksana Pengawasan
 
 Pasal 228

 

(1) Dalam Pengawasan rutin melalui laporan Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 220 huruf a, pelaksana Pengawasan mempunyai tugas:
a. melakukan reviu terhadap laporan berkala yang diberikan oleh Pelaku Usaha;
b. menyusun laporan hasil reviu; dan
c. menyampaikan rekomendasi.
(2) Dalam melakukan inspeksi lapangan terhadap Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 220 huruf b, pelaksana Pengawasan mempunyai tugas:
a. menyampaikan pemberitahuan tertulis paling lambat 3 (tiga) Hari sebelum tanggal pemeriksaan;
b. menyerahkan surat tugas kepada Pelaku Usaha yang akan diperiksa;
c. menjelaskan maksud dan tujuan kepada Pelaku Usaha yang diperiksa;
d. melakukan pemeriksaan atas kesesuaian laporan berkala dengan kondisi lapangan;
e. membuat berita acara pemeriksaan dan menyampaikan kesimpulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 223 ayat (4) dan ayat (5); dan
f. menjaga kerahasiaan informasi Pelaku Usaha.
(3) Dalam melakukan inspeksi lapangan terhadap Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 220 huruf b, pelaksana Pengawasan mempunyai wewenang:
a. memperoleh keterangan dan/atau membuat catatan yang diperlukan;
b. memeriksa kepatuhan pemenuhan kewajiban;
c. menyusun salinan dari dokumen dan/atau mendokumentasikan secara elektronik;
d. melakukan pengambilan sampel dan melakukan pengujian; dan/atau
e. memeriksa lokasi kegiatan usaha dan prasarana dan/atau sarana.
(4) Dalam hal pelaksanaan Pengawasan ditemukan pelanggaran yang dilakukan Pelaku Usaha, pelaksana Pengawasan dapat menghentikan pelanggaran tersebut untuk mencegah terjadinya dampak lebih besar.


     

 Pasal 229

 

(1) Pengawasan terhadap pelaksanaan pemenuhan standar yang bersifat teknis dan memerlukan kompetensi khusus tertentu dapat dilakukan melalui kerja sama dengan lembaga atau profesi ahli yang bersertifikat atau terakreditasi sebagai pelaksana Pengawasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Dalam hal Pengawasan bekerja sama dengan lembaga atau profesi ahli yang bersertifikat atau terakreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), keterlibatan lembaga atau profesi bersertifikat dimasukkan ke dalam perencanaan Pengawasan.
(3) Dalam hal berdasarkan Pengawasan ditemukan pelanggaran yang dilakukan Pelaku Usaha, lembaga atau profesi ahli yang bersertifikat atau terakreditasi melaporkan kepada kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah provinsi, Pemerintah Daerah kabupaten/kota, Administrator KEK, dan/atau Badan Pengusahaan KPBPB yang menugaskan dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) Hari sejak lembaga atau profesi ahli yang bersertifikat atau terakreditasi menemukan pelanggaran yang dilakukan oleh Pelaku Usaha.
(4) Kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah provinsi, Pemerintah Daerah kabupaten/kota, Administrator KEK, dan/atau Badan Pengusahaan KPBPB melakukan penghentian pelanggaran untuk mencegah dampak yang lebih besar dalam jangka waktu paling lambat 1 (satu) Hari setelah menerima laporan lembaga atau profesi ahli yang bersertifikat atau terakreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3).


     

 Pasal 230

 

(1) Pelaksana Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 228 harus memiliki kompetensi yang mencakup kemampuan, kecakapan, dan pengetahuan atas standar pelaksanaan kegiatan usaha.
(2) Kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah provinsi, Pemerintah Daerah kabupaten/kota, Administrator KEK, dan/atau Badan Pengusahaan KPBPB melakukan peningkatan kompetensi pelaksana Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk mengembangkan kemampuan, kecakapan, dan pengetahuan yang dilakukan secara berkelanjutan.


     

Bagian Kelima
Partisipasi Masyarakat dan Pelaku Usaha
Dalam Pengawasan

 
 Pasal 231

 

(1) Masyarakat dapat berperan serta dalam penyelenggaraan Pengawasan.
(2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. melakukan pemantauan terkait penyelenggaraan kegiatan usaha; dan
b. menyampaikan pengaduan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5).


         

 Pasal 232

 

Pelaku Usaha dapat melakukan pengaduan terhadap pelaksana Pengawasan yang tidak menjalankan Pengawasan sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah ini.


 

 Pasal 233

 

Pelaksana Pengawasan yang tidak menjalankan Pengawasan sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah ini diberikan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


 

 Pasal 234

 

Setiap orang yang menghalangi kegiatan Pengawasan dikenai sanksi administratif dan/atau pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


 

Bagian Keenam
Pengawasan Sektor
 
Paragraf 1
Sektor Kelautan dan Perikanan
 
 Pasal 235

 

(1) Pengawasan terhadap Perizinan Berusaha di sektor kelautan dan perikanan dilakukan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan, gubernur, bupati/wali kota, Administrator KEK, atau kepala Badan Pengusahaan KPBPB sesuai kewenangan masing-masing berdasarkan Peraturan Pemerintah ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Kewenangan Pengawasan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh:
a. polisi khusus pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil; dan
b. pengawas perikanan.


          

Paragraf 2
Sektor Pertanian
 
 Pasal 236

 

(1) Pengawasan terhadap Perizinan Berusaha di sektor pertanian dilakukan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanian, gubernur, bupati/wali kota, Administrator KEK, atau kepala Badan Pengusahaan KPBPB sesuai kewenangan masing-masing berdasarkan Peraturan Pemerintah ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan
(2) Laporan Pelaku Usaha untuk Perizinan Berusaha subsektor perkebunan yang ditetapkan berdasarkan analisis Risiko pada kegiatan usaha:
a. budidaya dengan luasan lahan lebih dari 25 (dua puluh lima) hektare;
b. budidaya perkebunan yang terintegrasi dengan pengolahan hasil perkebunan; dan
c. produksi benih perkebunan,
disampaikan setiap 1 (satu) tahun sekali.
(3) Laporan Pelaku Usaha untuk Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha subsektor perkebunan meliputi:
a. pemasukan benih tanaman perkebunan, disampaikan:
1. instansi pemerintah, pemerhati, dan perseorangan paling lambat 7 (tujuh) Hari; dan
2. badan usaha paling lambat 30 (tiga puluh) Hari,
terhitung sejak diterbitkannya sertifikat pelepasan;
b. pengeluaran benih tanaman perkebunan, disampaikan paling lambat 7 (tujuh) Hari terhitung sejak diterbitkannya sertifikat kesehatan;
c. sertifikasi benih tanaman perkebunan, disampaikan setiap 3 (tiga) bulan sekali;
d. impor tembakau, disampaikan paling lambat 5 (lima) Hari terhitung sejak diterbitkannya sertifikat pelepasan;
e. pelepasan varietas tanaman perkebunan, disampaikan paling lambat 5 (lima) Hari terhitung sejak pelepasan varietas; dan
f. penyaluran benih kelapa sawit, disampaikan paling sedikit setiap 6 (enam) bulan sekali.

 
          

 Pasal 237

 

(1) Laporan perkembangan usaha untuk Perizinan Berusaha subsektor perkebunan yang ditetapkan berdasarkan analisis Risiko pada kegiatan usaha:
a. budidaya dengan luasan lahan lebih dari 25 (dua puluh lima) hektare; dan
b. budidaya perkebunan yang terintegrasi dengan pengolahan hasil perkebunan,
memuat rencana kerja pembangunan kebun perusahaan serta fasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar dan/atau unit industri pengolahan hasil perkebunan.
(2) Laporan perkembangan usaha untuk kegiatan usaha produksi benih perkebunan, memuat rencana kerja produksi benih dan rencana pengembangan usaha produksi benih perkebunan.

 
     

Pasal 238

 

(1) Inspeksi lapangan untuk Perizinan Berusaha subsektor perkebunan yang ditetapkan berdasarkan analisis Risiko pada kegiatan usaha:
a. budidaya dengan luasan lahan lebih dari 25 (dua puluh lima) hektare;
b. budidaya perkebunan yang terintegrasi dengan pengolahan hasil perkebunan; dan
c. produksi benih perkebunan,
dilakukan setiap 6 (enam) bulan.
(2) Inspeksi lapangan untuk Perizinan Berusaha subsektor perkebunan yang ditetapkan berdasarkan analisis Risiko pada kegiatan usaha:
a. budidaya dengan luasan lahan kurang dari 25 (dua puluh lima) hektare; dan
b. pengolahan perkebunan skala UMK-M,
dilakukan setiap 1 (satu) tahun.
(3) Inspeksi lapangan untuk Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha subsektor perkebunan yang meliputi:
a. pemasukan benih tanaman perkebunan;
b. pengeluaran benih tanaman perkebunan;
c. sertifikasi benih tanaman perkebunan;
d. rekomendasi impor tembakau;
e. pelepasan varietas tanaman perkebunan; dan
f. surat persetujuan penyaluran benih kelapa sawit,
dilakukan setiap 1 (satu) tahun.


     

Pasal 239

 

(1) Laporan Pelaku Usaha untuk Perizinan Berusaha subsektor tanaman pangan yang ditetapkan berdasarkan analisis Risiko pada kegiatan usaha:
a. budidaya;
b. perbenihan;
c. pascapanen;
d. pengolahan;
e. jasa; dan
f. keterpaduan,
disampaikan setiap 1 (satu) tahun sekali.
(2) Laporan Pelaku Usaha untuk Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha subsektor tanaman pangan meliputi:
a. izin pemasukan benih tanaman pangan;
b. izin pengeluaran benih tanaman pangan;
c. rekomendasi ekspor beras;
d. rekomendasi impor beras;
e. rekomendasi impor jagung;
f. rekomendasi impor kedelai;
g. rekomendasi impor ubi kayu; dan
h. rekomendasi impor gandum,
disampaikan setiap 6 (enam) bulan sekali.


          

Pasal 240

 

Laporan perkembangan usaha subsektor tanaman pangan memuat laporan penggunaan bahan baku dan laporan proses produksi dan pemasaran.


          

Pasal 241

 

(1) Inspeksi lapangan untuk Perizinan Berusaha subsektor tanaman pangan yang ditetapkan berdasarkan analisis Risiko pada kegiatan usaha:
a. skala mikro dan skala kecil, dilakukan setiap 6 (enam) bulan; atau
b. skala menengah dan skala besar, dilakukan setiap 1 (satu) tahun.
(2) Inspeksi lapangan untuk Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha subsektor tanaman pangan yang meliputi:
a. izin pemasukan benih tanaman pangan;
b. izin pengeluaran benih tanaman pangan;
c. rekomendasi ekspor beras;
d. rekomendasi impor beras;
e. rekomendasi impor jagung;
f. rekomendasi impor kedelai;
g. rekomendasi impor ubi kayu; dan
h. rekomendasi impor gandum,
dilakukan setiap 1 (satu) tahun.


     

Pasal 242

 

(1) Laporan Pelaku Usaha untuk Perizinan Berusaha subsektor hortikultura yang ditetapkan berdasarkan analisis Risiko pada kegiatan usaha:
1. budidaya hortikultura; dan
2. produksi perbenihan hortikultura,
disampaikan setiap 6 (enam) bulan.
(2) Laporan Pelaku Usaha untuk Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha subsektor hortikultura meliputi:
a. izin impor produk hortikultura, disampaikan setiap 6 (enam) bulan;
b. izin pemasukan dan pengeluaran benih hortikultura, disampaikan setiap 6 (enam) bulan; dan
c. pendaftaran varietas tanaman hortikultura, disampaikan setiap 3 (tiga) bulan.


          

 Pasal 243

 

Laporan perkembangan usaha untuk Perizinan Berusaha subsektor hortikultura yang ditetapkan berdasarkan analisis Risiko pada kegiatan usaha:

a. budidaya; dan
b. perbenihan hortikultura,

memuat rencana kerja produksi dan rencana pengembangan usaha hortikultura.

 

Pasal 244

 

(1) Inspeksi lapangan untuk Perizinan Berusaha subsektor hortikultura dilakukan setiap 6 (enam) bulan.
(2) Inspeksi lapangan untuk kegiatan usaha subsektor hortikultura sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi UMK-M dilakukan setiap 1 (satu) tahun.
(3) Inspeksi lapangan untuk Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha subsektor hortikultura yang meliputi:
a. izin impor produk hortikultura;
b. izin pemasukan dan pengeluaran benih hortikultura; dan
c. pendaftaran varietas tanaman hortikultura,
dilakukan setiap 6 (enam) bulan.

 
     

Pasal 245

 

(1) Laporan Pelaku Usaha untuk Perizinan Berusaha subsektor peternakan dan kesehatan hewan yang ditetapkan berdasarkan analisis Risiko pada kegiatan usaha disampaikan setiap 6 (enam) bulan sekali.
(2) Laporan Pelaku Usaha untuk Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha subsektor peternakan dan kesehatan hewan disampaikan setiap 3 (tiga) bulan sekali.


     

Pasal 246

 

Laporan perkembangan usaha untuk Perizinan Berusaha subsektor peternakan dan kesehatan hewan yang ditetapkan berdasarkan analisis Risiko pada kegiatan usaha:

a. peternakan meliputi:
1. jumlah populasi yang diusahakan;
2. jumlah produksi ternak; dan
3. jumlah tenaga kerja;
b. hijauan pakan ternak meliputi:
1. jumlah luas yang diusahakan;
2. jumlah produksi hijauan pakan ternak;
3. pengolahan dan distribusi; dan
4. jumlah tenaga kerja;
c. rumah potong hewan meliputi:
1. kapasitas pemotongan;
2. sarana prasarana;
3. jumlah tenaga kerja;
4. jumlah hewan yang dipotong;
5. hasil pemeriksaan ante mortem dan post mortem; dan
6. penerapan kesejahteraan hewan;
d. penanganan daging dan hasil ikutannya meliputi:
1. jenis produk;
2. kapasitas produksi;
3. hasil pemeriksaan laboratorium; dan
4. distribusi;
e. veteriner meliputi:
1. jumlah tenaga kerja; dan
2. rekam medik veteriner; dan
f. obat hewan meliputi:
1. produsen melaporkan:
a. produksi obat hewan;
b. pemakaian bahan baku obat hewan; dan
c. eksistensi produk;
2. distribusi obat hewan;
3. importir melaporkan:
a. pemasukan produk jadi obat hewan;
b. pemasukan bahan baku obat hewan;
c. distribusi obat hewan; dan
d. eksistensi produk;
4. eksportir melaporkan:
a. pengeluaran produk jadi obat hewan; dan
b. pengeluaran bahan baku obat hewan;
5. distributor melaporkan:
a. pengadaan obat hewan; dan
b. distribusi obat hewan; dan
6. depo, apotek veteriner, pet shop, poultry shop, dan toko obat melaporkan:
a. pembelian obat hewan; dan
b. penjualan obat hewan.

 
          

Pasal 247

 

Laporan perkembangan usaha untuk Perizinan Berusaha subsektor peternakan dan kesehatan hewan disampaikan oleh Pelaku Usaha setiap:

a. 1 (satu) bulan untuk kegiatan usaha hijauan pakan ternak, rumah potong hewan, penanganan daging dan hasil ikutannya, dan veteriner; atau
b. 3 (tiga) bulan untuk kegiatan usaha peternakan dan obat hewan.

 
     

Pasal 248

 

Laporan perkembangan usaha untuk Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha subsektor peternakan dan kesehatan hewan sesuai karakteristiknya terdiri atas:

a. laporan realisasi pemasukan dan/atau pengeluaran;
b. laporan distribusi;
c. laporan pelaksanaan usaha;
d. laporan dalam hal ditemukan hasil diagnosis penyakit hewan menular strategis yang mengindikasikan wabah dan/atau penyakit hewan menular strategis; dan/atau
e. pemenuhan persyaratan teknis.

 
     

Pasal 249

 

Laporan perkembangan usaha untuk Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha subsektor peternakan dan kesehatan hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 248 disampaikan oleh Pelaku Usaha setiap 1 (satu) bulan sekali.


     

Pasal 250

 

Inspeksi lapangan untuk Perizinan Berusaha subsektor peternakan dan kesehatan hewan dilakukan setiap 6 (enam) bulan.

 
    

Pasal 251

 

(1) Laporan Pelaku Usaha untuk Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha subsektor ketahanan pangan meliputi:
a. izin surat keterangan keamanan Pangan Segar Asal Tumbuhan (PSAT)/health certificate;
b. izin rumah pengemasan;
c. pendaftaran Pangan Segar Asal Tumbuhan Produksi Dalam Negeri Usaha Kecil (PSAT-PDUK); dan
d. izin edar PSAT.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.


   

Pasal 252

 

Laporan kepatuhan Pelaku Usaha terhadap standar pelaksanaan kegiatan usaha subsektor ketahanan pangan untuk:

a. izin surat keterangan keamanan PSAT/health certificate berupa:
1. laporan realisasi ekspor;
2. rekapan hasil pengujian atau kesesuaian standar negara tujuan;
3. laporan pemberitahuan kasus keamanan pangan dan/atau kasus penolakan produk ekspor; dan
4. laporan audit internal;
b. izin rumah pengemasan berupa:
1. laporan realisasi ekspor;
2. rekapan kesesuaian standar negara tujuan dan/atau hasil pengujian apabila dilakukan pengujian terhadap PSAT;
3. laporan pemberitahuan kasus keamanan pangan dan/atau kasus penolakan produk ekspor; dan
4. laporan audit internal;
c. pendaftaran PSAT-PDUK berupa laporan ketelusuran produk; atau
d. izin edar PSAT berupa:
1. laporan ketelusuran produk;
2. hasil pengujian produk; dan
3. laporan audit internal.


          

Pasal 253

 

(1) Inspeksi lapangan untuk Perizinan Berusaha subsektor ketahanan pangan dapat dilakukan di sepanjang rantai pangan PSAT dengan mempertimbangkan analisis Risiko keamanan pangan.
(2) Inspeksi lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan kunjungan fisik ke unit usaha dan/atau melalui virtual.
(3) Inspeksi lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan pemeriksaan administrasi dan pemeriksaan teknis atas pemenuhan standar yang dapat disertai dengan pengambilan contoh dan pengujian.
(4) Inspeksi lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dilakukan kepada pemegang Perizinan Berusaha/Pelaku Usaha mikro harus disertai dengan pembinaan dan pendampingan pemenuhan standar.
(5) Inspeksi lapangan dilakukan dengan mempertimbangkan kepatuhan pemegang Perizinan Berusaha/Pelaku Usaha dan analisis Risiko keamanan pangan atau dilakukan 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.


     

Pasal 254

 

(1) Pengawasan Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha subsektor ketahanan pangan dilakukan oleh pengawas mutu hasil pertanian.
(2) Dalam hal pengawas mutu hasil pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum tersedia atau memadai, Pengawasan dapat dilakukan oleh pengawas lain.
(3) Pengawas lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi persyaratan telah mengikuti pelatihan di bidang keamanan dan mutu PSAT atau pelatihan lain yang terkait.



Pasal 255

 

Laporan Pelaku Usaha untuk Perizinan Berusaha subsektor sarana pertanian yang meliputi:

a. pendaftaran pupuk; dan
b. pendaftaran pestisida,

disampaikan setiap 6 (enam) bulan sekali.


 

Pasal 256

 

Laporan perkembangan usaha untuk Perizinan Berusaha subsektor sarana pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 255 memuat:

a. jumlah produksi serta penyaluran pupuk dan pestisida;
b. jumlah impor bahan aktif dan formulasi; dan
c. perkembangan Izin/nomor pendaftaran.


     

Pasal 257

 

Laporan kepatuhan terhadap standar serta informasi lain yang berkaitan dengan kegiatan usaha subsektor sarana pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 255 memuat kesesuaian antara label dengan mutu pupuk dan pestisida yang beredar

 

Pasal 258

 

Inspeksi lapangan untuk Perizinan Berusaha subsektor sarana pertanian dilakukan pada kegiatan usaha pupuk dan pestisida berdasarkan tingkat Risiko dan tingkat kepatuhan Pelaku Usaha.

 

Pasal 259

 

Laporan kepatuhan Pelaku Usaha terhadap standar pelaksanaan usaha untuk:

a. Perizinan Berusaha yang ditetapkan berdasarkan analisis Risiko pada kegiatan usaha; dan
b. Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha,

memuat pemenuhan kewajiban dan/atau persyaratan Perizinan Berusaha sektor pertanian sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.

 

Pasal 260

 

Ketentuan mengenai kompetensi dan peningkatan kapasitas pengawas pada sektor pertanian diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanian.

 

Paragraf 3
Sektor Lingkungan Hidup dan Kehutanan
 
Pasal 261

 

Pengawasan terhadap Perizinan Berusaha di sektor lingkungan hidup dan kehutanan dilakukan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup dan kehutanan, gubernur, bupati/wali kota, Administrator KEK, atau kepala Badan Pengusahaan KPBPB sesuai kewenangan masing-masing berdasarkan Peraturan Pemerintah ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

Paragraf 4
Sektor Energi dan Sumber Daya Mineral
 
Pasal 262

 

(1) Tanggung jawab kegiatan Pengawasan atas pelaksanaan kegiatan usaha minyak dan gas bumi terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan berada pada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral.
(2) Dalam melaksanakan Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral dapat menugaskan Pemerintah Daerah untuk melaksanakan Pengawasan berdasarkan asas tugas pembantuan.
(3) Penugasan kepada Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral.


     

Pasal 263

 

(1) Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral melaksanakan Pengawasan atas kegiatan usaha hulu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan kontrak keda sama.
(2) Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral melaksanakan Pengawasan atas kegiatan survei umum, kegiatan usaha hilir, dan kegiatan penunjang usaha minyak dan gas bumi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  
     

Pasal 264

 

(1) Pengawasan terhadap Perizinan Berusaha di subsektor ketenagalistrikan dilakukan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral, gubernur, Administrator KEK, atau kepala Badan Pengusahaan KPBPB sesuai kewenangan masing-masing berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibantu oleh inspektur ketenagalistrikan.

   
     

Pasal 265

 

Pengawasan terhadap Perizinan Berusaha di subsektor mineral dan batubara dilakukan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral, dan/atau gubernur sesuai kewenangan masing-masing berdasarkan Peraturan Pemerintah ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan.


 

Pasal 266

 

Pengawasan terhadap Perizinan Berusaha di subsektor energi baru, terbarukan, dan konservasi energi dilakukan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral, gubernur, bupati/wali kota, Administrator KEK, atau kepala Badan Pengusahaan KPBPB sesuai kewenangan masing-masing berdasarkan Peraturan Pemerintah ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

Pasal 267

 

(1) Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral, gubernur, bupati/wali kota, Administrator KEK, atau kepala Badan Pengusahaan KPBPB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 266 dalam melakukan Pengawasan dapat berkoordinasi dengan instansi terkait sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyampaikan laporan tahunan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral dalam melaksanakan Pengawasan di provinsi.
(3) Bupati/wali kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 266 menyampaikan laporan tahunan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral dalam melaksanakan pembinaan dan Pengawasan di kabupaten/kota dengan tembusan kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat.

 
     

Pasal 268

 

(1) Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral melakukan pembinaan dan Pengawasan teknis terhadap. penyelenggaraan pengusahaan panas bumi untuk pemanfaatan langsung yang dilaksanakan oleh pemerintah provinsi.
(2) Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat melakukan pembinaan dan Pengawasan terhadap penyelenggaraan pengusahaan panas bumi untuk pemanfaatan langsung yang dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota.



Paragraf 5
Sektor Ketenaganukliran
 
Pasal 269

 

(1) Pengawasan terhadap Perizinan Berusaha di sektor ketenaganukliran dilakukan oleh kepala lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran berdasarkan Peraturan Pemerintah ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan:
a. selama proses penilaian kesesuaian Perizinan Berusaha; dan
b. selama masa berlaku Perizinan Berusaha.
(3) Pengawasan selama proses penilaian kesesuaian Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan dalam bentuk verifikasi lapangan.
(4) Pengawasan selama masa berlaku Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilakukan dalam bentuk surveilans.


     

Pasal 270

 

(1) Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 269 ayat (2) dilakukan oleh inspektur keselamatan nuklir.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara rutin atau insidental.


     

Pasal 271

 

(1) Pengawasan rutin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 270 ayat (2) dilakukan sebanyak 1 (satu) kali dalam 1 (satu) kali masa berlaku Perizinan Berusaha.
(2) Pengawasan insidental sebagaimana dimaksud dalam Pasal 270 ayat (2) dilakukan dalam hal:
a. Pelaku Usaha mengajukan penetapan penghentian kegiatan dan pernyataan pembebasan;
b. adanya laporan terjadinya penyimpangan terhadap persyaratan dan kewajiban Perizinan Berusaha; dan
c. timbulnya keadaan darurat.
(3) Pelaku Usaha wajib menindaklanjuti hasil Pengawasan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender terhitung sejak laporan hasil Pengawasan diterima.


     

Paragraf 6
Sektor Perindustrian
 
Pasal 272

 

Pengawasan terhadap Perizinan Berusaha di sektor perindustrian dilakukan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian, gubernur, bupati/wali kota, Administrator KEK, atau kepala Badan Pengusahaan KPBPB sesuai kewenangan masing-masing berdasarkan Peraturan Pemerintah ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan.


 

Paragraf 7
Sektor Perdagangan
 
Pasal 273

 

Pengawasan terhadap Perizinan Berusaha di sektor perdagangan dilakukan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan, gubernur, bupati/wali kota, Administrator KEK, atau kepala Badan Pengusahaan KPBPB sesuai kewenangan masing-masing berdasarkan Peraturan Pemerintah ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan.


 

Pasal 274

 

(1) Terhadap kegiatan usaha subsektor perdagangan luar negeri khusus untuk kegiatan yang terkait dengan impor terhadap barang tertentu, dilaksanakan Pengawasan kegiatan perdagangan bidang impor setelah melalui kawasan pabean.
(2) Tata cara Pengawasan kegiatan perdagangan bidang impor setelah melalui kawasan pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Pengawasan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan.



Paragraf 8
Sektor Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
 
Pasal 275

 

Pengawasan terhadap Perizinan Berusaha di sektor pekerjaan umum dan perumahan rakyat dilakukan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum dan perumahan rakyat, gubernur, bupati/wali kota, Administrator KEK, atau kepala Badan Pengusahaan KPBPB sesuai kewenangan masing-masing berdasarkan Peraturan Pemerintah ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

Pasal 276

 

(1) Pengawasan rutin pada subsektor jasa konstruksi dilakukan berdasarkan laporan kegiatan usaha tahunan dan pencatatan pengalaman badan usaha dan usaha orang perseorangan.
(2) Laporan kegiatan usaha tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk usaha orang perseorangan dan BUJK kualifikasi kecil meliputi:
a. data usaha orang perseorangan atau badan usaha; dan
b. data kewajiban pelaksanaan berusaha.
(3) Laporan kegiatan usaha tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk BUJK kualifikasi menengah, besar, dan BUJK spesialis meliputi:
a. data kepatuhan pelaksanaan Perizinan Berusaha;
b. data kinerja manajemen perusahaan; dan
c. data kinerja proyek.
(4) Laporan kegiatan usaha tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk usaha orang perseorangan, BUJK kualifikasi kecil, menengah, besar, dan BUJK spesialis dilengkapi dengan:
a. pemenuhan standar keamanan, keselamatan, kesehatan dan keberlanjutan;
b. daftar penggunaan tenaga kerja konstruksi dan tenaga kerja konstruksi bersertifikat; dan/atau
c. daftar penggunaan tenaga kerja asing.
(5) Laporan kegiatan usaha tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan melalui aplikasi usaha jasa konstruksi sistem informasi jasa konstruksi terintegrasi.
(6) Pencatatan pengalaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. usaha orang perseorangan dan BUJK kualifikasi kecil:
1. nama paket pekerjaan;
2. nama pengguna jasa;
3. tahun pelaksanaan pekerjaan;
4. nilai pekerjaan; dan
5. berita acara serah terima pekerjaan;
b. BUJK kualifikasi menengah, besar, dan BUJK spesialis:
1. nama paket pekerjaan;
2. nama pengguna jasa;
3. tahun pelaksanaan pekerjaan;
4. nilai pekerjaan;
5. berita acara serah terima pekerjaan; dan
6. kinerja penyedia jasa tahunan.


               

Pasal 277

 

Hasil Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 276 akan mempengaruhi layanan sertifikasi BUJK.

               

Pasal 278

 

(1) Pengawasan atas pelaksanaan Perizinan Berusaha untuk menggunakan sumber daya air bertujuan untuk menjamin ditaatinya ketentuan dalam Perizinan Berusaha untuk menggunakan sumber daya air.
(2) Pengawasan dilakukan terhadap:
a. kesesuaian identitas antara pemegang Perizinan Berusaha untuk menggunakan sumber daya air di lokasi;
b. kesesuaian antara pelaksanaan dengan ketentuan dalam Perizinan Berusaha untuk menggunakan sumber daya air, beserta ketentuan peraturan mengenai norma, standar, prosedur, dan kriteria yang terkait;
c. kesesuaian antara prasarana dan sarana yang tercantum dalam Perizinan Berusaha untuk menggunakan sumber daya air dengan prasarana dan sarana yang dibangun;
d. dampak negatif yang ditimbulkan; dan/atau
e. penggunaan sumber daya air lain yang belum memperoleh Perizinan Berusaha untuk menggunakan sumber daya air.
(3) Pengawasan dilakukan oleh balai besar wilayah sungai/balai wilayah sungai atau instansi yang membidangi sumber daya air sesuai dengan kewenangannya dan dapat melibatkan peran masyarakat.
(4) Peran masyarakat dalam Pengawasan dapat diwujudkan dalam bentuk pengaduan kepada pemberi Perizinan Berusaha untuk menggunakan sumber daya air dan/atau laporan kepada pihak yang berwenang.
(5) Hasil Pengawasan merupakan bahan atau masukan bagi perbaikan, penertiban, dan/atau peningkatan penyelenggaraan Perizinan Berusaha untuk menggunakan sumber daya air.
(6) Pemberi Perizinan Berusaha untuk menggunakan sumber daya air wajib menindaklanjuti laporan hasil Pengawasan dalam bentuk peringatan, pemberian sanksi administratif, dan bentuk tindakan lain.

  
     

Pasal 279

 

(1) Pelaksanaan pekerjaan konstruksi, penggalian, pemasangan, pengembalian konstruksi jalan dan pelaksanaan pekerjaan perbaikan alinyemen vertikal dan horizontal, pelebaran jalur lalu lintas, peninggian ruang batas, peningkatan kemampuan struktur jalan, peningkatan kemampuan struktur jembatan, dan pengaturan lalu lintas, wajib diawasi oleh petugas yang ditunjuk oleh penyelenggara jalan.
(2) 1 Pelaksanaan pekerjaan perbaikan alinyemen vertikal dan horizontal, pelebaran jalur lalu lintas, peninggian ruang bebas, peningkatan kemampuan struktur jalan, peningkatan kemampuan struktur jembatan, dan pengaturan lalu lintas dan pelaksanaan penggunaan ruang milik jalan wajib diawasi oleh petugas yang ditunjuk oleh penyelenggara jalan.
(3) Hasil pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib diperiksa oleh tim pemeriksa teknis yang dibentuk oleh penyelenggara jalan.


     

Paragraf 9
Sektor Transportasi
 
Pasal 280

 

Pengawasan terhadap Perizinan Berusaha di sektor transportasi dilakukan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perhubungan, gubernur, bupati/wali kota, Administrator KEK, atau kepala Badan Pengusahaan KPBPB sesuai kewenangan masing-masing berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah ini dan peraturan perundang-undangan.

 

Pasal 281

 

(1) Pengawasan terhadap kegiatan usaha di sektor transportasi dilakukan dalam bentuk:
a. audit;
b. inspeksi;
c. pengamatan;
d. pemantauan; dan
e. uji petik.
(2) Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan pemeriksaan yang terjadwal, sistematis, dan mendalam terhadap prosedur, fasilitas, personel, dan dokumentasi organisasi penyedia jasa transportasi untuk melihat tingkat kepatuhan terhadap ketentuan dan peraturan.
(3) Inspeksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan pemeriksaan sederhana terhadap pemenuhan standar suatu produk akhir objek tertentu oleh penyedia jasa.
(4) Pengamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan kegiatan penelusuran yang mendalam atas bagian tertentu dari prosedur, fasilitas, personel, dan dokumentasi organisasi penyedia jasa transportasi dan pemangku kepentingan lainnya untuk melihat tingkat kepatuhan terhadap ketentuan dan peraturan.
(5) Pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d merupakan kegiatan evaluasi terhadap data, laporan, dan informasi untuk mengetahui kecenderungan kinerja operasi/pelayanan penyedia jasa transportasi.
(6) Uji petik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e merupakan uji coba secara tertutup atau terbuka terhadap upaya kesesuaian dengan simulasi percobaan.

   
     

Pasal 282

 

(1) Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 281 dilaksanakan secara:
a. rutin; dan
b. insidental.
(2) Pengawasan rutin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan secara terjadwal dan teratur meliputi:
a. audit sebanyak 1 (satu) kali dalam jangka waktu 2 (dua) tahun;
b. inspeksi sebanyak 2 (dua) kali dalam jangka waktu 1 (satu) tahun; dan
c. pengamatan, pemantauan, dan uji petik dilakukan sesuai kebutuhan.
(3) Pengawasan insidental sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan pada saat terjadinya kejadian atau kecelakaan, laporan masyarakat, dan pada masa puncak angkutan.


     

Paragraf 10
Sektor Kesehatan, Obat dan Makanan
 
Pasal 283

 

Pengawasan terhadap Perizinan Berusaha di subsektor kesehatan dilakukan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan, gubernur, bupati/wali kota, Administrator KEK, atau kepala Badan Pengusahaan KPBPB sesuai kewenangan masing-masing berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

Pasal 284

 

Pengawasan berupa inspeksi lapangan dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:

a. untuk kegiatan usaha sektor kesehatan dengan tingkat Risiko menengah rendah dilakukan 2 (dua) tahun sekali;
b. untuk kegiatan usaha sektor kesehatan dengan tingkat Risiko menengah tinggi dilakukan 1 (satu) tahun sekali; dan
c. untuk kegiatan usaha sektor kesehatan dengan tingkat Risiko tinggi dilakukan 1 (satu) tahun sekali.

  

Pasal 285

 

Pengawasan terhadap Perizinan Berusaha di subsektor obat dan makanan dilakukan oleh kepala lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan, gubernur, bupati/wali kota, Administrator KEK, atau kepala Badan Pengusahaan KPBPB sesuai kewenangan masing-masing berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan.


 

Pasal 286

 

(1) Kepala lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan, gubernur, bupati/wali kota, Administrator KEK, atau kepala Badan Pengusahaan KPBPB dalam melaksanakan pengawasan dapat mengangkat tenaga pengawas yang bertugas melakukan Pengawasan sesuai tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing.
(2) Pengangkatan tenaga pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.



Pasal 287

 

(1) Dalam hal Pengawasan obat dan makanan pada fasilitas produksi, distribusi, pengangkutan, pelayanan, dan/atau penyerahan memerlukan klarifikasi dan konfirmasi lebih lanjut, tenaga pengawas berwenang melakukan tindakan pengamanan setempat.
(2) Tindakan pengamanan setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. tindakan inventarisasi;
b. tindakan pengamanan terhadap bahan, produk, sarana, dan/atau alat dengan membuat garis pengaman;
c. larangan mengedarkan untuk sementara waktu; dan/atau
d. sampling untuk uji laboratorium dan/atau penilaian penandaan.
(3) Pemilik obat dan makanan bertanggung jawab atas obat dan makanan yang dilakukan tindakan pengamanan setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Tindakan pengamanan setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dituangkan dalam berita acara pengamanan setempat.
(5) Dalam hal hasil pemeriksaan fasilitas produksi, distribusi, pengangkutan, pelayanan, dan/atau penyerahan obat dan makanan menunjukkan adanya dugaan tindak pidana di bidang obat dan makanan, penyidik pegawai negeri sipil melakukan penyidikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tindakan pengamanan setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (5) diatur dengan peraturan kepala lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan.


     

Paragraf 11
Sektor Pendidikan dan Kebudayaan
 
Pasal 288

 

Pengawasan terhadap Perizinan Berusaha di sektor pendidikan dan kebudayaan dilakukan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan dan kebudayaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


 

Pasal 289

 

Pengawasan melalui inspeksi lapangan dilakukan 2 (dua) tahun sekali.

 

Paragraf 12
Sektor Pariwisata
 
Pasal 290

 

Pengawasan terhadap Perizinan Berusaha di sektor pariwisata dilakukan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pariwisata, gubernur, bupati/wali kota, Administrator KEK, atau kepala Badan Pengusahaan KPBPB sesuai kewenangan masing-masing berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
 

 

Paragraf 13
Sektor Keagamaan
 
Pasal 291

 

Pengawasan terhadap Perizinan Berusaha di sektor keagamaan dilakukan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan.


 

Paragraf 14
Sektor Pos, Telekomunikasi, Penyiaran, dan Sistem dan
Transaksi Elektronik

 
Pasal 292

 

Pengawasan terhadap Perizinan Berusaha di sektor komunikasi dan informatika dilakukan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan.


 

Pasal 293

 

Pengawasan atas isi siaran dalam kegiatan usaha penyelenggaraan penyiaran dilaksanakan oleh Komisi Penyiaran Indonesia sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan.


 

Pasal 294

 

(1) Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika melakukan monitoring dan evaluasi terhadap kualitas layanan dan/atau produk layanan dari Pelaku Usaha yang mendapatkan Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha penyelenggaraan pos, penyelenggaraan telekomunikasi, dan/atau penyelenggaraan penyiaran sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui sistem monitoring penyelenggaraan pos, penyelenggaraan telekomunikasi, dan penyelenggaraan penyiaran dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.
(3) Pelaku Usaha yang melakukan kegiatan usaha penyelenggaraan pos, penyelenggaraan telekomunikasi, dan penyelenggaraan penyiaran wajib membuka akses dan memberikan informasi yang diminta untuk kepentingan monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
(4) Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika dapat mengumumkan hasil monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika.


     

Pasal 295

 

(1) UMK-M dapat memperoleh pendampingan untuk melakukan kegiatan usaha di bidang penyelenggaraan pos, penyelenggaraan telekomunikasi, dan penyelenggaraan penyiaran dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika.
(2) Pendampingan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
a. konsultasi teknis dan bisnis penyelenggaraan pos, penyelenggaraan telekomunikasi, dan penyelenggaraan penyiaran;
b. peningkatan kompetensi berusaha di bidang penyelenggaraan pos, penyelenggaraan telekomunikasi, dan penyelenggaraan penyiaran; dan/atau
c. fasilitasi kolaborasi dengan penyelenggara pos, penyelenggara telekomunikasi, dan penyelenggara penyiaran serta pihak terkait.



Pasal 296

 

(1) Pengawasan terhadap hak labuh satelit dilakukan melalui evaluasi secara berkala daftar satelit asing yang beroperasi di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(2) Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika.


     

Pasal 297

 

(1) Pengawasan penggunaan spektrum frekuensi radio dilakukan melalui:
a. Pengawasan administrasi; dan/atau
b. Pengawasan teknis.
 
(2) Pengawasan administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan terhadap pemenuhan kewajiban Perizinan Berusaha sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.
(3) Pengawasan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan melalui kegiatan monitoring spektrum frekuensi radio.
(4) Kegiatan monitoring spektrum frekuensi radio sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdiri dari:
a. observasi penggunaan spektrum frekuensi radio;
b. identifikasi penggunaan spektrum frekuensi radio;
c. pengukuran parameter teknis stasiun radio; dan
d. inspeksi stasiun radio.
 
(5) Kegiatan monitoring spektrum frekuensi radio sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan untuk memastikan:
a. penggunaan spektrum frekuensi radio sesuai dengan Perizinan Berusaha atau persetujuan yang diberikan;
b. penggunaan spektrum frekuensi radio tidak menimbulkan gangguan yang merugikan pada pengguna spektrum frekuensi radio lain; dan/atau
c. penggunaan sinyal identifikasi atau identitas stasiun radio pada setiap pemancaran spektrum frekuensi radio untuk dinas radio komunikasi tertentu.


          

Pasal 298

 

Pengawasan terhadap alat dan/atau perangkat telekomunikasi dilaksanakan melalui:

a. pemeriksaan sertifikat alat dan/atau perangkat telekomunikasi; dan
b. pemeriksaan kesesuaian standar teknis alat dan/atau perangkat telekomunikasi yang diperdagangkan dan/atau dipergunakan terhadap sertifikat alat dan/atau perangkat telekomunikasi.


   

Pasal 299

 

(1) Pemeriksaan sertifikat alat dan/atau perangkat telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 298 huruf a yang dibuat, dirakit, dan/atau dimasukkan, untuk diperdagangkan, dan/atau digunakan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika.
(2) Dalam hal sertifikat alat dan/atau perangkat telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada di dalam kawasan pabean, pemeriksaan dilaksanakan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
(3) Dalam hal diperlukan, pemeriksaan sertifikat alat dan/atau perangkat telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melibatkan instansi terkait sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Selain pemeriksaan sertifikat alat dan/atau perangkat telekomunikasi, pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga dilakukan terhadap pemenuhan kewajiban pemasangan label.
(5) Jenis alat dan/atau perangkat telekomunikasi yang dilakukan pemeriksaan di dalam kawasan pabean ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika.


     

Pasal 300

 

(1) Pemeriksaan kesesuaian standar teknis alat dan/atau perangkat telekomunikasi yang diperdagangkan dan/atau dipergunakan terhadap sertifikat alat dan/atau perangkat telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 298 huruf b dilaksanakan dengan pertimbangan antara lain sebagai berikut:
a. alat dan/atau perangkat telekomunikasi menimbulkan gangguan baik terhadap jaringan telekomunikasi maupun terhadap keamanan, keselamatan dan kesehatan manusia;
b. adanya laporan pengaduan;
c. riwayat ketidaksesuaian alat dan/atau perangkat telekomunikasi; dan/atau
d. adanya perbedaan harga yang signifikan dengan alat dan/atau perangkat telekomunikasi produk sejenis.
(2) Pemeriksaan kesesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan terhadap alat dan/atau perangkat telekomunikasi di sisi pengguna menggunakan metode sampling melalui: 
a. pemeriksaan administrasi; dan
b. pemeriksaan teknis.
(3) Pemeriksaan administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a berupa pemeriksaan terhadap dokumen data teknis, kesesuaian merek dan tipe alat dan/atau perangkat telekomunikasi, dan pemasangan label.
(4) Pemeriksaan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b berupa pengujian sampel alat dan/atau perangkat telekomunikasi yang dilaksanakan oleh balai pengujian alat dan/atau perangkat telekomunikasi.


     

Pasal 301

 

Dalam hal pelaksanaan Pengawasan, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika dapat:

a. menyusun regulasi, kebijakan, standar, dan/atau panduan penyelenggaraan sertifikasi elektronik dan lembaga sertifikasi penyelenggara sertifikasi elektronik;
b. menerima dan melakukan verifikasi dokumen permohonan pengakuan penyelenggaraan sertifikasi elektronik Indonesia;
c. memeriksa laporan penilaian kelaikan penyelenggara sertifikasi elektronik dan tanda lulus penyelenggara sertifikasi elektronik yang diterbitkan oleh lembaga sertifikasi penyelenggara sertifikasi elektronik;
d. melakukan pencabutan pengakuan penyelenggara sertifikasi elektronik Indonesia;
e. mengelola dan mempublikasikan daftar penyelenggara sertifikasi elektronik dan daftar lembaga sertifikasi penyelenggara sertifikasi elektronik;
f. melakukan kerja sama dengan pihak lain terkait dengan sertifikat elektronik;
g. melakukan mutual recognition dan/atau kerja salna dengan penyelenggara sertifikasi elektronik dari negara lain sebagai wakil dari Indonesia;
h. menyelenggarakan operasional fasilitas penyelenggara sertifikasi elektronik induk termasuk namun tidak terbatas pada menerbitkan, mencabut, dan memperpanjang masa berlaku sertifikat elektronik bagi penyelenggara sertifikasi elektronik;
i. memeriksa laporan tahunan, laporan sewaktu-waktu, dan/atau laporan insiden penyelenggara sertifikasi elektronik;
j. melakukan pemantauan dan evaluasi kepatuhan berdasarkan laporan penilaian kelaikan terhadap penyelenggaraan sertifikasi elektronik; dan
k. memberikan sanksi bagi penyelenggara sertifikasi elektronik yang melakukan pelanggaran.



     

Pasal 302

 

(1) Pengawasan terhadap penyelenggara sistem elektronik lingkup privat yang telah terdaftar meliputi:
a. pemenuhan kesediaan terhadap persyaratan pendaftaran penyelenggara sistem elektronik lingkup privat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
b. pemenuhan kewajiban sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
(2) Pengawasan terhadap penyelenggara sistem elektronik lingkup privat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara:
a. rutin; dan
b. insidental
(3) Pengawasan rutin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terhadap penyelenggara sistem elektronik lingkup privat dapat dilakukan dengan:
a. memilih penyelenggara sistem elektronik lingkup privat sebagai sampel pengawasan;
b. melakukan evaluasi terhadap sampel pengawasan; dan/atau
c. melakukan tindak lanjut atas evaluasi pengawasan.
(4) Pengawasan insidental sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b terhadap penyelenggara sistem elektronik lingkup privat dapat dilakukan pada waktu tertentu dengan cara:
a. menindaklanjuti laporan dari kementerian/lembaga, aparat penegak hukum, lembaga peradilan, dan/atau masyarakat; dan/atau
b. menindaklanjuti temuan insiden dari penyelenggara sistem elektronik lingkup privat dan/atau temuan insiden yang dihasilkan dari kegiatan Pengawasan.


          

Paragraf 15
Sektor Pertahanan dan Keamanan
 
Pasal 303

 

(1) Pengawasan terhadap Perizinan Berusaha di subsektor industri pertahanan dilakukan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertahanan berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Kewenangan Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertahanan berkoordinasi dengan menteri/kepala lembaga terkait.
(3) Pengawasan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan melalui satuan kerja yang mempunyai tugas dan fungsi terhadap Perizinan Berusaha di subsektor industri pertahanan sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan.


     

Pasal 304

 

(1) Pengawasan rutin untuk subsektor industri pertahanan mencakup Pengawasan kepatuhan Pelaku Usaha non perseorangan terhadap standar pelaksanaan kegiatan usaha yang meliputi:
a. pelaksanaan produksi;
b. sumber daya manusia;
c. fasilitas produksi; dan
d. teknologi yang telah dikuasai
(2) Pengawasan rutin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk subsektor industri pertahanan dilakukan melalui:
a. survei;
b. monitoring; dan/atau
c. laporan.
(3) Pengawasan rutin sebagaimana pada ayat (2) dilakukan setiap 6 (enam) bulan sekali.


          

Pasal 305

 

Pengawasan insidental untuk subsektor industri pertahanan mencakup Pengawasan kepatuhan Pelaku Usaha dan/atau industri pertahanan terhadap standar pelaksanaan kegiatan usaha.

 
         

Pasal 306

 

(1) Pengawasan dilakukan oleh pelaksana Pengawasan yang berasal dari kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertahanan dan kementerian/lembaga sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Kewenangan pelaksana Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. mendapatkan akses terhadap data, dokumen administrasi, dan legalitas perusahaan;
b. mendapatkan akses terhadap fasilitas dan sarana industri pertahanan;
c. mendapatkan akses terhadap kegiatan produksi industri pertahanan; dan
d. mendapatkan akses data produksi dan distribusi produk alat peralatan pertahanan dan keamanan yang dihasilkan.
(3) Kewajiban pelaksana Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. menjaga kerahasiaan data dan dokumen/informasi;
b. menjaga independensi; dan
c. tidak terlibat korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam melaksanakan tugas Pengawasan.

   
          

Pasal 307

 

Pengawasan terhadap Perizinan Berusaha pada subsektor keamanan meliputi:

a. Pengawasan tingkat daerah dilaksanakan oleh kepolisian daerah secara rutin di daerahnya; dan
b. Pengawasan tingkat pusat dilaksanakan oleh Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia secara insidental.



Pasal 308

 

(1) Tingkat kepolisian daerah melaksanakan audit kelengkapan dan kecocokan, audit kesiapan untuk memberikan penilaian terhadap reliabilitas (keandalan) dan integritas operasional serta kelayakan badan usaha jasa pengamanan dalam beroperasional.
(2) Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan audit Pengawasan kepada badan usaha jasa pengamanan yang sudah mendapatkan Perizinan Berusaha dan melakukan kegiatan usaha lebih dari 1 (satu) wilayah hukum kepolisian daerah apabila dipandang perlu.


     

Paragraf 16
Sektor Ketenagakerjaan
 
Pasal 309

 

(1) Pengawasan terhadap Perizinan Berusaha di sektor ketenagakerjaan dilakukan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan, gubernur, bupati/wali kota, Administrator KEK, atau kepala Badan Pengusahaan KPBPB sesuai kewenangan masing-masing berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara:
(1) rutin; dan
(2) insidental berdasarkan laporan atau pengaduan masyarakat.
(3) Pengawasan rutin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan 1 (satu) kali dalam jangka waktu 1 (satu) tahun.
(4) Pengawasan rutin sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan melibatkan pengawas ketenagakerjaan.

   
          

BAB VI
EVALUASI DAN REFORMASI KEBIJAKAN PERIZINAN
BERUSAHA BERBASIS RISIKO

 
Pasal 310

 

(1) Kementerian/lembaga melaksanakan reformasi kebijakan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko secara berkelanjutan, transparan, akuntabel, dan menerapkan prinsip kehati-hatian.
(2) Reformasi kebijakan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikoordinasikan oleh kementerian yang menyelenggarakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian urusan kementerian dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang perekonomian.
(3) Pemerintah Daerah provinsi, Pemerintah Daerah kabupaten/kota, Administrator KEK, dan Badan Pengusahaan KPBPB mendukung pelaksanaan reformasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan:
a. memberikan masukan terkait penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko; dan/atau
b. menyediakan data dan/atau informasi penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko,
sesuai kewenangan masing-masing.

 
          

Pasal 311

 

(1) Kementerian yang menyelenggarakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian urusan kementerian dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang perekonomian melakukan koordinasi reformasi kebijakan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko dalam rangka meningkatkan iklim berusaha.
(2) Dalam rangka melakukan koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menteri yang menyelenggarakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian urusan kementerian dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang perekonomian menetapkan rencana aksi Perizinan Berusaha Berbasis Risiko.
(3) Rencana aksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit memuat:
a. penyusunan kebijakan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko;
b. implementasi penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko;
c. penerapan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko ke dalam Sistem OSS;
d. peningkatan pemahaman dan kapasitas mengenai Perizinan Berusaha Berbasis Risiko untuk kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah provinsi, Pemerintah Daerah kabupaten/kota, Administrator KEK, dan Badan Pengusahaan KPBPB;
e. pelaksanaan sosialisasi kebijakan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko kepada masyarakat; dan
f. evaluasi Perizinan Berusaha Berbasis Risiko yang berkelanjutan.



BAB VII
PENDANAAN PERIZINAN BERUSAHA BERBASIS RISIKO
 
Pasal 312

 

(1) Pendanaan pengembangan Sistem OSS dibebankan kepada anggaran pendapatan dan belanja negara.
(2) Pendanaan penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko pada kementerian/lembaga dibebankan kepada anggaran pendapatan dan belanja negara dan sumber lain yang sah.
(3) Pendanaan penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko pada Pemerintah Daerah provinsi dibebankan kepada anggaran pendapatan dan belanja daerah provinsi dan sumber lain yang sah.
(4) Pendanaan penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko pada Pemerintah Daerah kabupaten/kota dibebankan kepada anggaran pendapatan dan belanja daerah kabupaten/kota dan sumber lain yang sah.


     

BAB VIII
PENYELESAIAN PERMASALAHAN DAN HAMBATAN
PERIZINAN BERUSAHA BERBASIS RISIKO

 
Pasal 313

 

(1) Menteri/pimpinan lembaga, gubernur, dan bupati/wali kota wajib menyelesaikan hambatan dan permasalahan di bidangnya dalam pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Dalam hal peraturan perundang-undangan tidak mengatur hal untuk penyelesaian hambatan dan permasalahan, menteri/pimpinan lembaga, gubernur, dan bupati/wali kota berwenang untuk menetapkan keputusan dan/atau melakukan tindakan yang diperlukan dalam rangka penyelesaian hambatan dan permasalahan dimaksud sepanjang sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.

 
     

Pasal 314

 

(1) Dalam hal terdapat laporan dan/atau pengaduan dari masyarakat kepada menteri, pimpinan lembaga, gubernur, bupati/wali kota, kejaksaan, atau kepolisian mengenai penyimpangan atau penyalahgunaan wewenang dalam pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini, penyelesaian dilakukan dengan mendahulukan proses administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang administrasi pemerintahan.
(2) Dalam hal laporan dan/atau pengaduan dari masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada kejaksaan atau kepolisian, kejaksaan atau kepolisian meneruskan/menyampaikan laporan masyarakat tersebut kepada menteri, pimpinan lembaga, gubernur, atau bupati/wali kota untuk dilakukan pemeriksaan.
(3) Menteri, pimpinan lembaga, gubernur, atau bupati/wali kota memeriksa laporan dan/atau pengaduan dari masyarakat, baik yang diterima oleh kementerian, lembaga, atau Pemerintah Daerah bersangkutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maupun yang diteruskan oleh kejaksaan atau kepolisian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) Hari terhitung sejak laporan masyarakat diterima.
(4) Dalam hal pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditemukan indikasi penyalahgunaan wewenang, menteri, pimpinan lembaga, gubernur, atau bupati/wali kota meminta aparat pengawasan intern pemerintah untuk melakukan pemeriksaan/audit lebih lanjut dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) Hari.
(5) Hasil pemeriksaan aparat pengawasan intern pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat berupa:
a. kesalahan administrasi yang tidak menimbulkan kerugian negara;
b. kesalahan administrasi yang menimbulkan kerugian negara; atau
c. tindak pidana yang bukan bersifat administratif.
(6) Dalam hal hasil pemeriksaan aparat pengawasan intern pemerintah berupa kesalahan administrasi yang tidak menimbulkan kerugian negara sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a, penyelesaian dilakukan melalui penyempurnaan administrasi paling lambat 10 (sepuluh) Hari terhitung sejak hasil pemeriksaan aparat pengawasan intern pemerintah disampaikan.
(7) Dalam hal hasil pemeriksaan aparat pengawasan intern pemerintah berupa kesalahan administrasi yang menimbulkan kerugian negara sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b, penyelesaian dilakukan melalui penyempurnaan administrasi dan pengembalian kerugian negara paling lambat 10 (sepuluh) Hari terhitung sejak hasil pemeriksaan aparat pengawasan intern pemerintah disampaikan.
(8) Penyelesaian hasil pemeriksaan aparat pengawasan intern pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan ayat (7) disampaikan oleh menteri, pimpinan lembaga, gubernur, atau bupati/wali kota kepada kejaksaan atau kepolisian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lambat 5 (lima) Hari terhitung sejak hasil pemeriksaan aparat pengawasan intern pemerintah disampaikan
(9) Dalam hal hasil pemeriksaan aparat pengawasan intern pemerintah berupa tindak pidana yang bukan bersifat administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf c, menteri, pimpinan lembaga, gubernur, atau bupati/wali kota dalam jangka waktu paling lambat 5 (lima) Hari terhitung sejak hasil pemeriksaan aparat pengawasan intern pemerintah disampaikan, menyampaikan kepada kejaksaan atau kepolisian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk ditindaklanjuti sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


     

BAB IX
SANKSI
 
Bagian Kesatu
Sanksi Bagi Pejabat Pemerintah
 
Pasal 315

 

(1) Menteri, pimpinan lembaga, gubernur, bupati/wali kota, Administrator KEK, dan kepala Badan Pengusahaan KPBPB yang tidak menyelenggarakan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko melalui Sistem OSS dikenai sanksi administratif.
(2) Dalam hal sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa teguran tertulis telah disampaikan 2 (dua) kali berturut-turut dan tetap tidak dilaksanakan:
a. Lembaga OSS mengambil alih pemberian Perizinan Berusaha yang menjadi kewenangan kementerian/lembaga, Administrator KEK, atau kepala Badan Pengusahaan KPBPB;
b. menteri atau kepala lembaga yang membina dan mengawasi Perizinan Berusaha sektor mengambil alih pemberian Perizinan Berusaha yang menjadi kewenangan gubernur; atau
c. gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat mengambil alih pemberian Perizinan Berusaha yang menjadi kewenangan bupati/wali kota.


          

Pasal 316

 

(1) Menteri/pimpinan lembaga, gubernur, bupati/wali kota, Administrator KEK, dan/atau kepala Badan Pengusahaan KPBPB mengenakan sanksi kepada pejabat yang tidak memberikan pelayanan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah ini.
(2) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


     

Bagian Kedua
Sanksi Bagi Pelaku Usaha
 
Paragraf 1
Sektor Kelautan dan Perikanan
 
Pasal 317

 

(1) Setiap Pelaku Usaha yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Perizinan Berusaha di sektor kelautan dan perikanan berupa:
a. pemanfaatan ruang dari perairan yang tidak memiliki Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan di laut;
b. pemanfaatan pulau-pulau kecil dan pemanfaatan perairan di sekitarnya dalam rangka Penanaman Modal Asing yang tidak memiliki Perizinan Berusaha;
c. pemanfaatan ruang perairan dan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil yang tidak memenuhi Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan di laut yang diberikan;
d. pemanfaatan ruang laut secara menetap di wilayah perairan dan wilayah yurisdiksi yang tidak sesuai dengan Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan di laut;
e. pemanfaatan ruang laut secara menetap yang tidak memiliki Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan di laut;
f. usaha pengolahan ikan yang tidak memenuhi dan menerapkan persyaratan kelayakan pengolahan ikan, sistem jaminan mutu, dan keamanan hasil perikanan;
g. memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera Indonesia untuk melakukan penangkapan ikan di WPPNRI dan/atau di laut lepas yang tidak memenuhi Perizinan Berusaha;
h. mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera Indonesia di WPPNRI yang tidak membawa dokumen Perizinan Berusaha;
i. memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing yang digunakan untuk melakukan penangkapan ikan di ZEEI tanpa memiliki Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat;
j. mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing untuk melakukan penangkapan ikan di ZEEI tanpa membawa dokumen Perizinan Berusaha;
k. pelanggaran terhadap kewajiban pendaftaran kapal;
l.. pelanggaran terhadap kewajiban melakukan bongkar muat ikan tangkapan di pelabuhan perikanan yang ditetapkan atau pelabuhan lainnya yang ditunjuk; dan
m. mengimpor komoditas perikanan dan komoditas pergaraman yang tidak sesuai dengan tempat pemasukan, jenis, waktu pemasukan, dan/atau standar mutu wajib yang ditetapkan,
dikenai sanksi administratif.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari atas:
a. peringatan/teguran tertulis;
b. paksaan pemerintah;
c. denda administratif;
d. pembekuan Perizinan Berusaha; dan/atau
e. pencabutan Perizinan Berusaha.
(3) Jenis sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dikenakan secara kumulatif atau bertahap, kecuali pelanggaran tertentu yang sanksi administratifnya ditentukan secara limitatif oleh peraturan perundang-undangan.
(4) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengedepankan upaya pembinaan kepatuhan Pelaku Usaha di bidang kelautan dan perikanan.


    

Pasal 318

 

(1) Sanksi administratif berupa peringatan/teguran tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 317 ayat (2) huruf a dikenakan dengan ketentuan:
a. baru pertama kali melakukan pelanggaran;
b. belum menimbulkan dampak berupa kerusakan dan/atau kerugian sumber daya kelautan dan perikanan, dan/atau keselamatan dan/atau kesehatan manusia; dan/atau
c. sudah ada dampak yang ditimbulkan namun dapat diperbaiki dengan mudah.
(2) Peringatan/teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berisi perintah untuk segera mematuhi kewajiban berusaha atau melaksanakan kegiatan berusaha sesuai dengan ketentuan dalam jangka waktu tertentu yang ditetapkan.
(3) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditentukan dengan mempertimbangkan kewajaran dan kemampuan Pelaku Usaha.
(4) Peringatan/teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan paling banyak 2 (dua) kali.
(5) Peringatan/teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan bersamaan dengan paksaan pemerintah yang bertujuan untuk menghentikan pelanggaran.


          

Pasal 319

 

(1) Sanksi administratif berupa paksaan pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 317 ayat (2) huruf b dikenakan apabila pelanggaran yang dilakukan menimbulkan:
a. ancaman serius bagi kesehatan dan/atau keselamatan manusia dan lingkungan;
b. dampak yang lebih besar dan lebih luas baik dari aspek ekonomi, sosial, dan budaya jika kegiatan berusaha tidak segera dihentikan; dan/atau
c. kerugian yang lebih besar bagi kelestarian sumber daya ikan dan lingkungannya jika tidak segera dihentikan.
(2) Jenis sanksi administratif berupa paksaan pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:
a. penghentian sementara kegiatan;
b. penyegelan;
c. penutupan lokasi;
d. pembongkaran bangunan;
e. pengurangan atau pencabutan sementara kuota dan lokasi penangkapan; dan/atau
f. tindakan lain yang bertujuan untuk menghentikan pelanggaran dan tindakan memulihkan kelestarian sumber daya.
(3) Jenis sanksi administratif berupa paksaan pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipilih berdasarkan pertimbangan tindakan yang paling tepat untuk mencegah dan/atau menghentikan dampak yang ditimbulkan.


          

Pasal 320

 

(1) Sanksi administratif berupa denda administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 377 ayat (2) huruf c dikenakan terhadap Pelaku Usaha yang tidak melaksanakan teguran/peringatan tertulis kedua kali atau paksaan pemerintah.
(2) Denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikenakan tanpa didahului dengan sanksi administratif lainnya apabila:
a. ditemukan bukti permulaan yang cukup bahwa Pelaku Usaha dengan sengaja mengabaikan seluruh ketentuan persyaratan Perizinan Berusaha; atau
b. pelanggaran yang dilakukan menimbulkan dampak kerusakan dan/atau kerugian sumber daya kelautan dan perikanan dan/atau keselamatan dan/atau kesehatan manusia.
(3) Besaran denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:
a. pelanggaran terhadap pemanfaatan ruang dari perairan yang tidak memiliki Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan di laut dikenakan denda administratif sebagaimana diatur dalam peraturan pemerintah yang mengatur mengenai jenis dan tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berlaku pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan;
b. pelanggaran terhadap pemanfaatan pulau-pulau kecil dan pemanfaatan perairan di sekitarnya dalam rangka Penanaman Modal Asing yang tidak memiliki Perizinan Berusaha dikenakan denda administratif sebesar 5% (lima persen) dikali total nilai investasi;
c. pelanggaran terhadap pemanfaatan ruang perairan dan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil yang tidak memenuhi Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan di laut yang diberikan dikenakan denda administratif sebesar 2,5% (dua koma lima persen) dikali total nilai investasi;
d. pelanggaran terhadap pemanfaatan ruang laut secara menetap di wilayah perairan dan wilayah yurisdiksi yang tidak sesuai dengan Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan di laut dikenakan denda administratif sebesar 2,5% (dua koma lima persen) dikali total nilai investasi;
e. pelanggaran terhadap pemanfaatan ruang laut secara menetap yang tidak memiliki Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan di laut dikenakan denda administratif sebesar 5% (lima persen) dikali total nilai investasi;
f. pelanggaran terhadap usaha pengolahan ikan yang tidak memenuhi dan menerapkan persyaratan kelayakan pengolahan ikan, sistem jaminan mutu, dan keamanan hasil perikanan dikenakan denda administratif sebesar 25% (dua puluh lima persen) dikali harga patokan ikan dikali jumlah produksi;
g. pelanggaran terhadap kegiatan penangkapan ikan di WPPNRI dan/atau di laut lepas yang tidak memenuhi persyaratan Perizinan Berusaha dikenakan denda administratif sebesar 1000% (seribu persen) dikali produktivitas kapal dikali harga patokan ikan tertinggi dikali ukuran gross tonnage kapal dikali jumlah hari operasi;
h. pelanggaran terhadap pengoperasian kapal penangkap ikan berbendera Indonesia di WPPNRI yang tidak membawa dokumen Perizinan Berusaha dikenakan denda administratif sebesar produktivitas kapal dikali harga patokan ikan tertinggi dikali ukuran gross tonnage kapal dikali jumlah hari operasi;
i. pelanggaran terhadap kegiatan memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing untuk melakukan penangkapan ikan di ZEEI tanpa memiliki Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat dikenakan denda administratif paling banyak Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah);
j. pelanggaran terhadap pengoperasian kapal penangkap ikan berbendera asing di ZEEI yang tidak membawa dokumen Perizinan Berusaha dikenakan denda administratif sebesar produktivitas kapal dikali harga patokan ikan tertinggi dikali ukuran gross tonnage kapal dikali jumlah hari operasi;
k. pelanggaran terhadap kegiatan pembangunan kapal perikanan tanpa persetujuan dikenakan denda administratif sebesar 10% (sepuluh persen) dari nilai kapal yang sedang atau telah dibangun;
l. pelanggaran terhadap kegiatan importasi kapal perikanan tanpa persetujuan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan dikenakan denda administratif sebesar 10% (sepuluh persen) dari nilai kapal yang diimpor;
m. pelanggaran terhadap memodifikasi kapal perikanan tanpa persetujuan dikenakan denda administratif sebesar 10% (sepuluh persen) dari biaya modifikasi kapal;
n. pelanggaran terhadap kewajiban pendaftaran kapal dikenakan denda administratif sebesar 5% (lima persen) dari harga pembangunan atau pembelian kapal; dan
o. pelanggaran terhadap kegiatan importasi komoditas perikanan dan komoditas pergaraman yang tidak sesuai dengan tempat pemasukan, jenis, waktu pemasukan, dan/atau standar mutu wajib yang ditetapkan dikenakan denda administratif sebesar 50% (lima puluh persen) dikali harga dasar komoditas yang diimpor dikali jumlah komoditas yang diimpor.


          

Pasal 321

 

(1) Sanksi administratif berupa pembekuan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 317 ayat (2) huruf d dikenakan apabila Pelaku Usaha:
a. tidak melaksanakan kewajibannya sampai dengan berakhirnya jangka waktu teguran/peringatan tertulis kedua kali; dan/atau
b. tidak membayar denda administratif yang dikenakan.
(2) Pembekuan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga dapat dikenakan secara langsung apabila Pelaku Usaha tidak melaksanakan paksaan pemerintah.
(3) Pembekuan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disertai dengan perintah untuk segera mematuhi kewajiban Perizinan Berusaha yang disyaratkan dan/atau melaksanakan perbaikan terhadap kerusakan dan/atau kerugian yang ditimbulkan.
(4) Pembekuan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dikenakan dalam jangka waktu tertentu dengan mempertimbangkan kemampuan Pelaku Usaha untuk memenuhi kewajibannya dan untuk memberikan efek jera.

 
          

Pasal 322

 

(1) Sanksi administratif berupa pencabutan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 317 ayat (2) huruf e dikenakan apabila:
a. setelah pembekuan Perizinan Berusaha dijatuhkan, Pelaku Usaha tetap tidak memenuhi persyaratan Perizinan Berusaha; dan/atau
b. tidak melaksanakan kewajiban untuk melaksanakan perbaikan terhadap kerusakan dan/atau kerugian yang ditimbulkan.
 
(2) Pencabutan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan tanpa terlebih dahulu dikenakan sanksi administratif lain apabila pelanggaran yang dilakukan menimbulkan dampak yang besar berupa:
a. gangguan kesehatan dan/atau keselamatan manusia dan lingkungan;
b. efek luas terhadap aspek ekonomi, sosial, dan budaya; dan/atau
c. kerugian yang signifikan bagi kelestarian sumber daya ikan dan lingkungannya.

   

Pasal 323

 

(1) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 317 ayat (2) dilaksanakan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan, gubernur, bupati/wali kota, Administrator KEK, atau kepala Badan Pengusahaan KPBPB sesuai kewenangan masing-masing berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Ketentuan mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif, mekanisme, jangka waktu, banding administratif, dan pejabat yang berwenang diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan.

 
     

Paragraf 2
Sektor Pertanian
 
Pasal 324

 

Setiap perusahaan perkebunan yang melakukan kegiatan usaha tanpa memiliki Perizinan Berusaha yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis Risiko kegiatan usaha dan/atau Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha dikenai sanksi administratif berupa:

a. penghentian sementara kegiatan;
b. pengenaan denda administratif; dan/atau
c. paksaan Pemerintah Pusat.


     

Pasal 325

 

(1) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 324 dilakukan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanian,,gubernur, bupati/wali kota, Administrator KEK, atau kepala Badan Pengusahaan KPBPB sesuai kewenangan masing-masing dan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Penghentian sementara kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 324 huruf a dikenai paling lama 6 (enam) bulan untuk mengajukan permohonan Perizinan Berusaha dan menyesuaikan dengan standar pelaksanaan kegiatan usaha pada subsektor perkebunan.
(3) Dalam hal perusahaan perkebunan tidak dapat mengajukan permohonan Perizinan Berusaha dan menyesuaikan dengan standar pelaksanaan kegiatan usaha dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dikenai sanksi administratif berupa pengenaan denda administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 324 huruf b sebesar luas lahan yang diusahakan (per hektare) dikali Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).
(4) Dalam hal perusahaan perkebunan tetap tidak dapat menyelesaikan permohonan Perizinan Berusaha dan menyesuaikan dengan standar pelaksanaan kegiatan usaha, dikenai sanksi berupa paksaan Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 324 huruf c untuk mengembalikan lahan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

 
     

Pasal 326

 

Pengenaan sanksi administratif berupa pengenaan denda administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 324 huruf b ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanian dalam bentuk surat tagihan.

     

Pasal 327

 

Setiap perusahaan perkebunan yang melanggar ketentuan Perizinan Berusaha yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis Risiko kegiatan usaha, dikenai sanksi administratif berupa:

a. penghentian sementara kegiatan;
b. pengenaan denda administratif; dan/atau
c. pencabutan Perizinan Berusaha perkebunan.


     

Pasal 328

 

(1) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 327 dilakukan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanian, gubernur, bupati/wali kota, Administrator KEK, atau kepala Badan Pengusahaan KPBPB.
(2) Sanksi administratif berupa penghentian sementara kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 327 huruf a dikenai kepada perusahaan perkebunan paling lama 6 (enam) bulan untuk menyesuaikan dengan standar pelaksanaan kegiatan usaha pada subsektor perkebunan.
(3) Dalam hal perusahaan perkebunan tidak dapat menyesuaikan standar pelaksanaan kegiatan usaha dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dikenai sanksi administratif berupa pengenaan denda administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 327 huruf b sebesar luas lahan yang diusahakan (per hektare) dikali Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).
(4) Dalam hal perusahaan perkebunan tetap tidak dapat menyesuaikan dengan standar pelaksanaan kegiatan usaha, dikenai sanksi administratif berupa pencabutan Perizinan Berusaha perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 327 huruf c.

  
     

Pasal 329

 

Pengenaan sanksi administratif berupa denda administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 327 huruf b ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanian dalam bentuk surat tagihan.

     

Pasal 330

 

Setiap Pelaku Usaha perkebunan yang melanggar ketentuan Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha, dikenai sanksi administratif berupa:

a. peringatan tertulis;
b. penghentian sementara kegiatan; dan/atau
c. pencabutan Perizinan Berusaha.

   
     

Pasal 331

 

Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 330 dilakukan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanian, gubernur, bupati/wali kota, Administrator KEK, atau kepala Badan Pengusahaan KPBPB sesuai kewenangan masing-masing dan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     

 

Pasal 332

 

(1) Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 330 huruf a dikenai terhadap Pelaku Usaha yang melakukan:
a. pemasukan benih tanaman perkebunan:
1. yang tidak melaporkan realisasi pemasukan benih paling lama 7 (tujuh) Hari terhitung sejak diterbitkannya sertifikat pelepasan, untuk instansi pemerintah, pemerhati tanaman, dan perseorangan;
2. yang tidak melaporkan realisasi pemasukan benih paling lama 30 (tiga puluh) Hari terhitung sejak diterbitkannya sertifikat pelepasan, untuk badan usaha;
3. yang tidak memenuhi standar mutu varietas; dan/atau
4. yang tidak melakukan pemusnahan terhadap sisa benih sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang karantina tumbuhan;
b. pengeluaran benih tanaman perkebunan yang tidak melaporkan realisasi pengeluaran benih paling lama 7 (tujuh) Hari terhitung sejak diterbitkannya sertifikat kesehatan;
c. sertifikasi benih tanaman perkebunan yang tidak memenuhi standar mutu benih dan/atau tidak memiliki dokumen sertifikasi benih;
d. impor tembakau yang tidak melaporkan rekapitulasi realisasi paling lama 5 (lima) Hari terhitung sejak diterbitkannya sertifikat pelepasan; dan
e. pelepasan varietas tanaman perkebunan yang tidak melaporkan peredaran varietas selama 2 (dua) triwulan berturut-turut.
 
(2) Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Pelaku Usaha untuk menyesuaikan dengan standar dalam waktu paling lama 7 (tujuh) Hari.


   

Pasal 333

 

Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 332 ayat (2), Pelaku Usaha yang melakukan pemasukan dan pengeluaran benih tanaman perkebunan, dan impor tembakau tetap tidak memenuhi standar pelaksanaan kegiatan usaha, dikenai sanksi administratif berupa pencabutan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 330 huruf c.

          

Pasal 334

 

(1) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 332 ayat (2) Pelaku Usaha dalam memproduksi benih tanaman perkebunan tetap:
a. tidak memiliki dokumen sertifikasi benih; dan/atau
b. tidak memenuhi standar mutu,
dikenai sanksi administratif berupa penghentian sementara kegiatan produksi benih.
(2) Penghentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dikenai selama 7 (tujuh) Hari dan huruf b dikenai paling lama 25 (dua puluh lima) Hari.
(3) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Pelaku Usaha dalam memproduksi benih tanaman perkebunan tetap tidak memenuhi standar, dikenai sanksi administratif berupa pencabutan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 330 huruf c.


          

Pasal 335

 

Setiap Pelaku Usaha tanaman pangan yang melanggar ketentuan Perizinan Berusaha yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis Risiko kegiatan usaha, dikenai sanksi administratif berupa:

a. peringatan tertulis;
b. denda administratif;
c. penghentian sementara kegiatan usaha;
d. penarikan produk dari peredaran;
e. pencabutan Perizinan Berusaha; dan/atau
f. penutupan usaha.


   

Pasal 336

 

(1) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 335 dilakukan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanian, gubernur, bupati/wali kota, Administrator KEK, atau kepala Badan Pengusahaan KPBPB sesuai kewenangan masing-masing berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Sanksi administratif berupa peringatan secara tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 335 huruf a diberikan kepada Pelaku Usaha 1 (satu) kali dalam jangka waktu 1 (satu) tahun untuk menyesuaikan dengan standar pelaksanaan kegiatan usaha pada subsektor tanaman pangan.
(3) Dalam hal Pelaku Usaha tidak dapat menyesuaikan dengan standar pelaksanaan kegiatan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dikenai sanksi administratif berupa denda administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 335 huruf b untuk:
a. skala kecil, paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah);
b. skala menengah, paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); atau
c. skala besar, paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(4) Dalam hal Pelaku Usaha tidak dapat menyesuaikan dengan standar pelaksanaan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dikenai sanksi administratif berupa penghentian sementara kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 335 huruf c paling lama 1 (satu) bulan.
(5) Dalam hal pelanggaran ketentuan Perizinan Berusaha menimbulkan Risiko keamanan, kesehatan, keselamatan, dan lingkungan, Pelaku Usaha dikenai sanksi administratif berupa penarikan produk dari peredaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 335 huruf d.
(6) Sanksi administratif berupa pencabutan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 335 huruf e dilakukan apabila Pelaku Usaha tetap tidak dapat menyesuaikan dengan standar pelaksanaan kegiatan usaha setelah dikenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan ayat (5).
(7) Pelaku Usaha yang menggunakan lahan hak ulayat tanpa persetujuan masyarakat hukum adat pemegang hak ulayat dikenai sanksi administratif berupa pencabutan Perizinan Berusaha.
(8)   Sanksi administratif berupa penutupan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 335 huruf t dilakukan apabila Pelaku Usaha tidak melakukan perbaikan setelah dilakukan pencabutan Perizinan Berusaha.

 
    

Pasal 337

 

Pengenaan sanksi administratif berupa denda administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 336 ayat (3) ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanian dalam bentuk surat tagihan.

 
    

Pasal 338

 

(1) Setiap Pelaku Usaha tanaman pangan yang melanggar ketentuan Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha berdasarkan Pengawasan dikenai sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. penghentian sementara kegiatan; dan/atau
c. pencabutan Perizinan Berusaha.
(2) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanian, gubernur, bupati/wali kota, Administrator KEK, atau kepala Badan Pengusahaan KPBPB sesuai kewenangan masing-masing berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 
          

Pasal 339

 

Setiap Pelaku Usaha hortikultura yang melanggar ketentuan Perizinan Berusaha yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis Risiko kegiatan usaha, dikenai sanksi administratif berupa:

a. peringatan secara tertulis;
b. denda administratif;
c. penghentian sementara kegiatan;
d. penarikan produk dari peredaran oleh Pelaku Usaha;
e. pencabutan Perizinan Berusaha; dan/atau
f. penutupan usaha.



Pasal 340

 

(1) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 339 dilakukan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanian, gubernur, bupati/wali kota, Administrator KEK, atau kepala Badan Pengusahaan KPBPB sesuai kewenangan masing-masing berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Sanksi administratif berupa peringatan secara tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 339 huruf a diberikan kepada Pelaku Usaha sebanyak 3 (tiga) kali dalam jangka waktu 2 (dua) bulan untuk menyesuaikan dengan standar pelaksanaan kegiatan usaha pada subsektor hortikultura.
(3) Dalam hal Pelaku Usaha tidak dapat menyesuaikan dengan standar pelaksanaan kegiatan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2l,, dikenai sanksi administratif berupa denda administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 339 huruf b paling sedikit sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).
(4) Apabila Pelaku Usaha dalam jangka waktu 2 (dua) bulan sejak pengenaan denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak menyesuaikan dengan standar pelaksanaan kegiatan, dikenai sanksi administratif berupa penghentian sementara kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 339 huruf c paling lama 2 (dua) bulan
(5) Dalam hal pelanggaran ketentuan Perizinan Berusaha menimbulkan Risiko keamanan, kesehatan, keselamatan, dan lingkungan, Pelaku Usaha dikenai sanksi administratif berupa penarikan produk dari peredaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 339 huruf d.
(6) Sanksi administratif berupa pencabutan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 339 huruf e dilakukan apabila Pelaku Usaha tetap tidak dapat menyesuaikan dengan standar pelaksanaan kegiatan usaha dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
(7) Pelaku Usaha yang tidak melakukan perbaikan standar pelaksanaan kegiatan usaha dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak pencabutan Perizinan Berusaha, dikenai sanksi administratif berupa penutupan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 339 huruf f.


     

Pasal 341

 

Pengenaan sanksi administratif berupa denda administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 339 huruf b ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanian dalam bentuk surat tagihan.


     

Pasal 342

 

(1) Setiap Pelaku Usaha hortikultura yang melanggar ketentuan Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Berusaha, dikenai sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. penghentian sementara kegiatan; dan/atau
c. pencabutan Perizinan Berusaha.
(2) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanian, gubernur, bupati/wali kota, Administrator KEK, atau kepala Badan Pengusahaan KPBPB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 
          

Pasal 343

Setiap Pelaku Usaha peternakan dan kesehatan hewan yang melanggar ketentuan Perizinan Berusaha yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis Risiko kegiatan usaha, dikenai sanksi administratif berupa:

a. peringatan secara tertulis;
b. penghentian sementara dari kegiatan, produksi, dan/atau peredaran;
c. penarikan obat hewan, pakan, alat dan mesin, atau produk hewan dari peredaran;
d. pengenaan denda administratif; dan/atau
e. pencabutan Perizinan Berusaha.


     

Pasal 344

 

(1) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 343 dilakukan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanian, gubernur, bupati/wali kota, Administrator KEK, atau kepala Badan Pengusahaan KPBPB sesuai kewenangan masing-masing berdasarkan ketentuan peraturan perundan g-undangan.
(2) Sanksi administratif berupa peringatan secara tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 343 huruf a dikenai paling banyak 3 (tiga) kali berturut-turut kepada Pelaku Usaha dengan jangka waktu masing-masing paling lama 10 (sepuluh) Hari.
(3) Apabila Pelaku Usaha tidak dapat menyesuaikan dengan standar dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dikenai sanksi administratif berupa penghentian sementara dari kegiatan, produksi, dan/atau peredaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 343 huruf b paling lama:
a. 6 (enam) bulan untuk kegiatan usaha; atau
b. 3 (tiga) bulan untuk Perizinan Berusaha lainnya,
agar menyesuaikan dengan standar pada subsektor peternakan dan kesehatan hewan.
(4) Apabila Pelaku Usaha tidak dapat menyesuaikan dengan standar pelaksanaan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dikenai sanksi administratif berupa denda administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 343 huruf d dengan besaran untuk kegiatan usaha:
a. peternakan, paling sedikit sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak sebesar Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah);
b. hijauan pakan ternak, paling sedikit sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak sebesar Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah);
c. rumah potong hewan, paling sedikit sebesar Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak sebesar Rp5.000.000,000,00 (lima miliar rupiah);
d. veteriner, paling sedikit sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak sebesar Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); dan
e. obat hewan, paling sedikit sebesar Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dan paling banyak sebesar Rp1.800.000.000,00 (satu miliar delapan ratus juta rupiah).
(5) Apabila Pelaku Usaha tetap tidak menyesuaikan dengan standar pelaksanaan, setelah diberikan peringatan tertulis dan penghentian sementara dari kegiatan, produksi, dan/atau peredaran, dan/atau denda administratif, dikenai sanksi administratif berupa pencabutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 343 huruf e Perizinan Berusaha subsektor peternakan dan kesehatan hewan.


          

Pasal 345

 

Pengenaan sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 343 huruf d ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanian dalam bentuk surat tagihan.


          

Pasal 346

 

(1) Pelaku Usaha peternakan dan kesehatan hewan:
a. pada Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha berupa:
1. izin pemasukan dan/atau pengeluaran benih tanaman pakan ternak;
2. izin pemasukan dan/atau pengeluaran bahan pakan asal tumbuhan;
3. izin pemasukan dan/atau pengeluaran pakan;
4. rekomendasi pemasukan dan/atau pengeluaran karkas, daging, jeroan, dan/atau olahannya untuk pangan;
5. rekomendasi pemasukan daging tanpa tulang;
6. rekomendasi pemasukan dan pengeluaran produk pangan asal hewan;
7. rekomendasi pemasukan dan pengeluaran produk hewan nonpangan;
8. rekomendasi pemasukan dan/atau pengeluaran benih dan/atau bibit ternak;
9. rekomendasi pengeluaran ternak (nonbibit ternak);
10. izin pemasukan dan/atau pengeluaran bahan pakan asal hewan;
11. rekomendasi pemasukan dan/atau pengeluaran ruminansia besar;
12. izin pemasukan dan pengeluaran hewan kesayangan dan satwa;
13. izin pemasukan hewan laboratorium;
14. izin pemasukan dan/atau pengeluaran obat hewan;
15. izin pemasukan dan/atau pengeluaran peralatan kesehatan hewan; dan
16. izin pemasukan telur specific pathogen free,
yang tidak melaporkan realisasi pemasukan dan/atau pengeluaran;
b. pada Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha berupa pendaftaran pakan yang:
1. tidak menyampaikan laporan produksi dan peredaran pakan;
2. menggunakan hormon sintetis; dan/atau
3. mengedarkan pakan yang telah habis masa berlaku nomor pendaftaran;
c. pada Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha berupa pendaftaran obat hewan yang tidak menjamin obat hewan yang beredar sesuai dengan:
1. standar keamanan, khasiat, dan mutu;
2. masa berlaku nomor pendaftaran;
3. isi atau kandungan pada saat pendaftaran; dan
4. label dan tanda pada saat pendaftaran;
d. pada Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha berupa pelepasan varietas tanaman pakan ternak yang tidak melaporkan kegiatan usaha; atau
e. pada Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha berupa registrasi produk hewan yang tidak melaporkan kegiatan usaha dan kelayakan produk hewan,
     dikenai sanksi administratif berupa peringatan tertulis.
(2) Sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan paling banyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan jangka waktu masing-masing paling lama 10 (sepuluh) Hari untuk menyesuaikan dengan standar.


               

Pasal 347

 

Apabila Pelaku Usaha peternakan dan kesehatan hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 346 ayat (1) huruf a dan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 346 ayat (2) tetap tidak menyesuaikan dengan standar, dikenai sanksi:

a. tidak diterbitkan Perizinan Berusaha untuk periode berikutnya; dan/atau
b. dicabut Perizinan Berusaha untuk periode berjalan.


     

Pasal 348

 

(1) Apabila Pelaku Usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 346 ayat (1) huruf b angka 1 dan angka 2, serta jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 346 ayat (2) tetap tidak menyesuaikan dengan standar, dikenai sanksi pencabutan Perizinan Berusaha untuk periode berjalan.
(2) Apabila Pelaku Usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 346 ayat (1) huruf b angka 2 tetap tidak menyesuaikan dengan standar, dikenai sanksi penghentian sementara kegiatan produksi selama 3 (tiga) bulan.
(3) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Pelaku Usaha tetap tidak menyesuaikan dengan standar, dikenai sanksi pencabutan Perizinan Berusaha untuk periode berjalan.



Pasal 349

 

(1) Apabila Pelaku Usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 346 ayat ( 1) huruf c dan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 346 ayat (2) tetap tidak menyesuaikan dengan standar, dikenai sanksi penarikan obat hewan dari peredaran selama 3 (tiga) bulan.
(2) Apabila Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap tidak menyesuaikan dengan standar, dikenai sanksi pencabutan Perizinan Berusaha.



Pasal 350

 

(1) Apabila Pelaku Usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 346 ayat (1) huruf d dan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 346 ayat (2) tetap tidak menyesuaikan dengan standar, dikenai sanksi penghentian sementara selama 3 (tiga) bulan.
(2) Apabila Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap tidak menyesuaikan dengan standar, dikenai sanksi pencabutan Perizinan Berusaha.



Pasal 351

 

(1) Apabila Pelaku Usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 346 ayat (1) huruf e dan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 346 ayat (2) tetap tidak menyesuaikan dengan standar, dikenai sanksi penarikan produk hewan dari peredaran selama 1 (satu) bulan.
(2) Apabila Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap tidak menyesuaikan dengan standar, dikenai sanksi pencabutan Perizinan Berusaha.

 
     

Pasal 352

 

(1) Pelaku Usaha pada Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha Veterinary Health Certificate (VHC) pengeluaran bahan pakan asal hewan dan VHC pengeluaran black soldier fly:
a. tidak menerapkan sistem jaminan mutu dan keamanan pakan sesuai dengan pembuatan pakan yang baik dan penanganan pakan yang baik; dan/atau
b. tidak menyampaikan laporan realisasi sesuai dengan VHC,
dikenai sanksi peringatan tertulis.
(2) Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan paling banyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan jangka waktu masing-masing paling lama 10 (sepuluh) Hari untuk menyesuaikan dengan standar.
(3) Apabila Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap tidak menyesuaikan dengan standar, dikenai sanksi tidak diterbitkan Perizinan Berusaha untuk periode berikutnya.


          

Pasal 353

 

(1) Pelaku Usaha pada Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha subsektor peternakan dan kesehatan hewan meliputi:
a. VHC pengeluaran hewan kesayangan dan hewan laboratorium;
b. VHC pengeluaran satwa;
c. VHC pengeluaran kapsul gel;
d. VHC pengeluaran telur specific phatogen free;
e. izin pemasukan satwa; dan
f. sertifikat veteriner,
yang tidak menyampaikan laporan realisasi dikenai sanksi peringatan secara tertulis.
(2) Peringatan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan paling banyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan jangka waktu masing-masing paling lama 10 (sepuluh) Hari untuk menyesuaikan dengan standar.
(3) Apabila Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap tidak menyesuaikan dengan standar, dikenai sanksi tidak diterbitkan Perizinan Berusaha untuk periode berikutnya.


          

Pasal 354

 

(1) Pelaku Usaha pada Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha sertifikat cara pembuatan obat hewan yang baik dan sertifikat cara pembuatan pakan yang baik yang tidak: