Peraturan Dirjen Bea dan Cukai Nomor : PER - 5/BC/2022

Kategori : Lainnya

Perubahan Atas Peraturan Direktur Jenderal Nomor PER-24/BC/2018 Tentang Tata Cara Pelunasan Cukai


PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI
NOMOR PER - 5/BC/2022

TENTANG

PERUBAHAN ATAS PERATURAN DIREKTUR JENDERAL NOMOR
PER-24/BC/2018 TENTANG TATA CARA PELUNASAN CUKAI

DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI,

Menimbang :

  1. bahwa ketentuan mengenai tata cara pelunasan cukai telah diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor PER-24/BC/2018 tentang Tata Cara Pelunasan Cukai;
  2. bahwa untuk lebih memberikan kepastian hukum, optimalisasi pelayanan pita cukai, dan meningkatkan penerimaan negara dari sektor cukai, perlu mengatur kembali mengenai tata cara pelunasan cukai;
  3. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan kembali Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai tentang Perubahan atas Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor PER-24/BC/2018 tentang Tata Cara Pelunasan Cukai;

Mengingat :

  1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3613) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 246, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6736); 
  2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.04/2018 tentang Pelunasan Cukai (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 856);
  3. Peraturan Direktur Jenderal Nomor PER-24/BC/2018 tentang Tata Cara Pelunasan Cukai;

MEMUTUSKAN:


Menetapkan :

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DIREKTUR JENDERAL NOMOR PER-24/BC/2018 TENTANG TATA CARA PELUNASAN CUKAI.


BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal I


Beberapa ketentuan dalam Peraturan Direktur Jenderal Nomor PER-24/BC/2018 tentang Tata Cara Pelunasan Cukai diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Angka 10 diubah, sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:


Pasal 1

Dalam Peraturan Direktur Jenderal ini yang dimaksud dengan:
1. Pabrik adalah tempat tertentu termasuk bangunan, halaman, dan lapangan yang merupakan bagian daripadanya, yang dipergunakan untuk menghasilkan barang kena cukai dan/atau untuk mengemas barang kena cukai dalam kemasan untuk penjualan eceran.
2. Tempat Penyimpanan adalah tempat, bangunan, dan/atau lapangan yang bukan merupakan bagian dari pabrik, yang dipergunakan untuk menyimpan barang kena cukai berupa etil alkohol yang masih terutang cukai dengan tujuan untuk disalurkan, dijual, atau diekspor.
3. Tempat Penimbunan Sementara adalah bangunan dan/atau lapangan atau tempat lain yang disamakan dengan itu di kawasan pabean untuk menimbun barang sementara menunggu pemuatan atau pengeluarannya.
4. Tempat Penimbunan Berikat adalah bangunan, tempat, atau kawasan yang memenuhi persyaratan tertentu yang digunakan untuk menimbun barang dengan tujuan tertentu dengan mendapatkan penangguhan bea masuk.
5. Pengusaha Pabrik adalah orang pribadi atau badan hukum yang mengusahakan pabrik barang kena cukai.
6. Pengusaha Tempat Penyimpanan adalah orang yang mengusahakan tempat penyimpanan.
7. Importir adalah orang pribadi atau badan hukum yang memasukkan barang kena cukai ke dalam daerah pabean.
8. Etil Alkohol yang selanjutnya disingkat dengan EA adalah barang cair, jernih, dan tidak berwarna, merupakan senyawa organik dengan rumus kimia C2H5OH, yang diperoleh baik secara peragian dan/atau penyulingan maupun secara sintesa kimiawi.
9. Minuman yang Mengandung Etil Alkohol yang selanjutnya disingkat dengan MMEA adalah semua barang cair yang lazim disebut minuman yang mengandung etil alkohol yang dihasilkan dengan cara peragian, penyulingan, atau cara lainnya, antara lain berupa bir, shandy, anggur, gin, whisky, dan yang sejenisnya.
10. Hasil Tembakau yang selanjutnya disingkat dengan HT adalah olahan tembakau yang meliputi sigaret, cerutu, rokok daun, tembakau iris, rokok elektrik, dan hasil pengolahan tembakau lainnya.
11. Dokumen Pelunasan Cukai dengan Cara Pembayaran yang selanjutnya disebut dengan CK-1C adalah dokumen cukai yang digunakan oleh Pengusaha Pabrik EA, Pengusaha Pabrik MMEA atau Pengusaha Tempat Penyimpanan untuk melunasi cukai dengan cara pembayaran.
12. Pita Cukai adalah dokumen sekuriti sebagai tanda pelunasan cukai dalam bentuk kertas yang memiliki sifat/unsur sekuriti dengan spesifikasi dan desain tertentu.
13. Jenis Pita Cukai adalah spesifikasi pada pita cukai yang terdiri dari jenis hasil tembakau, seri, warna, tarif, harga jual eceran, dan/atau isi per kemasan untuk Pita Cukai HT atau yang terdiri dari warna, tarif, golongan, kadar alkohol, dan volume/isi kemasan untuk Pita Cukai MMEA.
14. Dokumen Permohonan Penyediaan Pita Cukai Hasil Tembakau yang selanjutnya disingkat dengan P3C HT adalah dokumen cukai yang digunakan Pengusaha Pabrik atau Importir untuk mengajukan permohonan penyediaan Pita Cukai HT.
15. Dokumen Permohonan Penyediaan Pita Cukai MMEA yang selanjutnya disingkat dengan P3C MMEA adalah dokumen cukai yang digunakan Pengusaha Pabrik atau Importir untuk mengajukan permohonan penyediaan Pita Cukai MMEA.
16. Dokumen Pemesanan Pita Cukai Hasil Tembakau yang selanjutnya disebut dengan CK-1 adalah dokumen cukai yang digunakan Pengusaha Pabrik atau Importir untuk pemesanan Pita Cukai HT.
17. Dokumen Pemesanan Pita Cukai MMEA yang selanjutnya disebut dengan CK-1A adalah dokumen cukai yang digunakan Pengusaha Pabrik atau Importir untuk pemesanan Pita Cukai MMEA.
18. Biaya Pengganti Penyediaan Pita Cukai yang selanjutnya disebut dengan Biaya Pengganti adalah biaya yang harus dibayar oleh Pengusaha Pabrik atau Importir atas penyediaan pita cukai yang telah diajukan dengan P3C HT atau P3C MMEA tetapi tidak direalisasikan dengan CK-1 atau CK-1A.
19. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Bea dan Cukai.
20. Direktur adalah Direktur yang menangani urusan teknis dan fasilitas cukai pada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
21. Kantor Bea dan Cukai Pusat adalah Kantor Pusat Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
22. Kantor Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang selanjutnya disebut Kantor Bea dan Cukai adalah Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai atau Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
23. Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai yang selanjutnya disingkat dengan NPPBKC adalah izin untuk menjalankan kegiatan sebagai Pengusaha Pabrik, Pengusaha Tempat Penyimpanan, Importir barang kena cukai, Penyalur, atau Pengusaha Tempat Penjualan Eceran di bidang cukai.
24. Pejabat Bea dan Cukai adalah pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang ditunjuk dalam jabatan tertentu untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai.
25. Surat Pemberitahuan dan Penagihan Biaya Pengganti yang selanjutnya disebut dengan SPPBP-1 adalah surat berupa ketetapan yang diterbitkan oleh Pejabat Bea dan Cukai untuk melakukan penagihan biaya pengganti atas penyediaan pita cukai yang telah diajukan dengan P3C HT atau P3C MMEA tetapi tidak direalisasikan dengan CK-1 atau CK-1A.
26. Surat Penyerahan Penagihan Biaya Pengganti yang selanjutnya disebut dengan SPPBP-2 adalah surat yang diterbitkan oleh Pejabat Bea dan Cukai untuk menyerahkan penagihan biaya pengganti atas penyediaan pita cukai kepada Ketua Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) cabang melalui Kepala Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL).
27. Sistem Aplikasi Cukai Sentralisasi yang selanjutnya disingkat dengan SAC-S adalah sistem aplikasi yang dipergunakan di bidang cukai
28. Bukti Penerimaan Negara adalah dokumen yang diterbitkan oleh bank persepsi atau pos persepsi atas transaksi penerimaan negara dengan teraan Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN) dan Nomor Transaksi Bank (NTB) atau Nomor Transaksi Pos (NTP) sebagai sarana administrasi lain yang kedudukannya disamakan dengan surat setoran.
   
2. Ketentuan ayat (2) Pasal 10 diubah, sehingga Pasal 10 berbunyi sebagai berikut:


Pasal 10

 

(1) Pengusaha Pabrik dapat mengajukan P3C HT awal atau P3C MMEA awal kepada Kepala Kantor Bea dan Cukai mulai tanggal 1 sampai dengan tanggal 10 setiap bulannya untuk periode persediaan bulan berikutnya.
(2) Batas waktu P3C HT awal atau P3C MMEA awal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang sampai dengan akhir bulan, dalam hal:
a. Pengusaha Pabrik baru mendapatkan NPPBKC;
b. Pengusaha Pabrik dengan NPPBKC yang telah diberlakukan kembali setelah pembekuannya dicabut;
c. Pengusaha Pabrik HT mengalami kenaikan golongan;
d. Pengusaha Pabrik HT mempunyai merek baru;
e. Pengusaha Pabrik HT mendapatkan penetapan penyesuaian tarif cukai HT;
f. Pengusaha Pabrik HT mendapatkan penetapan kembali tarif cukai HT; atau
g. Kepala Kantor Bea dan Cukai menyatakan secara tertulis adanya kendala teknis pada SAC-S.
(3) Importir dapat mengajukan P3C HT awal atau P3C MMEA awal kepada Kepala Kantor Bea dan Cukai mulai tanggal 1 sampai dengan akhir bulan.
(4) P3C HT awal atau P3C MMEA awal yang diajukan oleh Pengusaha Pabrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau P3C HT awal atau P3C MMEA awal yang diajukan oleh Importir sebagaimana dimaksud pada ayat (3), paling banyak diajukan satu kali untuk satu periode persediaan untuk masing-masing Jenis Pita Cukai.
   
3. Ketentuan ayat (2) Pasal 11 diubah, di antara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 10 (sepuluh) ayat yakni ayat (1a) sampai dengan ayat (1j), dan ditambahkan 1 (satu) ayat yakni ayat (4), sehingga Pasal 11 berbunyi sebagai berikut:


Pasal 11

(1) Pengusaha Pabrik dapat mengajukan P3C HT awal atau P3C MMEA awal untuk setiap jenis Pita Cukai dengan ketentuan:
a. paling banyak 100% (seratus persen) dari rata-rata per bulan jumlah Pita Cukai yang dipesan dengan CK-1 dalam kurun waktu 3 (tiga) bulan terakhir sebelum bulan pengajuan P3C HT awal, dengan memperhatikan batasan produksi jenis HT golongan Pengusaha Pabrik; atau
b. paling banyak 100% (seratus persen) dari rata-rata per bulan jumlah Pita Cukai yang dipesan dengan CK-1A dalam kurun waktu 3 (tiga) bulan terakhir sebelum bulan pengajuan P3C MMEA awal.
(1a) Terhadap pengajuan P3C HT awal atau P3C MMEA awal oleh Pengusaha Pabrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Kantor dapat membatasi jumlah Pita Cukai yang disediakan mempertimbangkan pengawasan potensi penyalahgunaan Pita Cukai berdasarkan manajemen risiko, melalui mekanisme sebagai berikut:
a. membuat daftar Pengusaha Pabrik yang akan dilakukan pembatasan untuk P3C HT awal atau P3C MMEA awal;
b. melakukan perekaman daftar Pengusaha Pabrik yang akan dilakukan pembatasan sebagaimana dimaksud pada huruf a pada SAC-S;
c. menerbitkan surat tugas untuk melakukan pemeriksaan lapangan terhadap Pengusaha Pabrik pada daftar yang akan dilakukan pembatasan sebagaimana dimaksud pada huruf a;
d. pemeriksaan lapangan sebagaimana dimaksud pada huruf c digunakan untuk mendapatkan data kapasitas produksi Pengusaha Pabrik;
e. hasil pemeriksaan lapangan sebagaimana dimaksud pada huruf d dituangkan dalam laporan hasil pemeriksaan sesuai dengan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran Huruf D2 yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini;
f. melakukan perekaman data kapasitas produksi Pengusaha Pabrik sebagaimana dimaksud pada huruf d pada SAC-S berdasarkan hasil pemeriksaan lapangan sebagaimana dimaksud pada huruf e untuk dilakukan pembatasan Pita Cukai.
(1b) Direktur Penindakan dan Penyidikan, Direktur Teknis dan Fasilitas Cukai, dan/atau Kepala Kantor Wilayah Bea dan Cukai dapat menambahkan Pengusaha Pabrik yang akan dilakukan pembatasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1a) huruf a kepada Kepala Kantor Bea dan Cukai.
(1c) Kepala Kantor Bea dan Cukai dapat melakukan evaluasi atas daftar Pengusaha Pabrik setelah 6 (enam) bulan sejak tanggal pembuatan daftar Pengusaha Pabrik.
(1d) Dalam hal terdapat permohonan dari Pengusaha Pabrik, Kepala Kantor dapat melakukan evaluasi setelah 3 (tiga) bulan sejak tanggal pembuatan daftar Pengusaha Pabrik.
(1e) Berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1c) dan ayat (1d), Kepala Kantor dapat:
a. menghapus Pengusaha Pabrik dari daftar Pengusaha Pabrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1a) pada SAC-S;
b. menambah batasan jumlah Pita Cukai yang disetujui untuk disediakan; atau
c. mengurangi batasan jumlah Pita Cukai yang disetujui untuk disediakan.
(1f) Kepala Kantor Wilayah Bea dan Cukai melaksanakan monitoring dan evaluasi atas pelaksanaan pembatasan Pita Cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1a).
(1g) Pelaksanaan monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1f) dilaksanakan secara berkala setiap bulan.
(1h) Dalam hal dari hasil monitoring dan evaluasi terdapat perbaikan atas pelaksanaan pembatasan penyediaan Pita Cukai, Kepala Kantor Wilayah menyampaikan secara tertulis kepada Kepala Kantor Bea dan Cukai.
(1i) Hasil monitoring dan evaluasi pelaksanaan pembatasan Pita Cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1f) dan perbaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1h), disampaikan kepada Direktur Teknis dan Fasilitas Cukai dengan tembusan Direktur Penindakan dan Penyidikan dan Direktur Kepatuhan Internal.
(1j) Penyampaian hasil pelaksanaan monitoring dan evaluasi dan perbaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1i), paling lambat tanggal 15 setiap bulan.
(2) Dalam hal Pengusaha Pabrik tidak termasuk dalam daftar sebagaimana dimaksud pada ayat (1a) dan data rata-rata CK-1/CK-1A per bulan dalam kurun waktu 3 (tiga) bulan terakhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tersedia, berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. jumlah Pita Cukai yang dapat diajukan untuk P3C HT awal yaitu:
1. paling banyak 100% (seratus persen) dari batasan produksi golongan per bulan untuk Pengusaha Pabrik HT dengan profil risiko rendah;
2. paling banyak 50% (lima puluh persen) dari batasan produksi golongan per bulan untuk Pengusaha Pabrik HT dengan profil risiko menengah; dan
3. paling banyak 25% (dua puluh lima persen) dari batasan produksi golongan per bulan untuk Pengusaha Pabrik HT dengan profil risiko tinggi; atau
b. jumlah Pita Cukai yang dapat diajukan untuk P3C MMEA awal yaitu sesuai kebutuhan per bulan dengan mempertimbangkan data kapasitas produksi.
(3) Importir dapat mengajukan P3C HT awal atau P3C MMEA awal untuk setiap jenis Pita Cukai sesuai kebutuhan per bulan.
(4) Dalam hal penyediaan pita cukai untuk MMEA asal Impor, Kepala Kantor Bea dan Cukai menerima dokumen Rencana Kebutuhan Pita Cukai untuk kebutuhan selama 1 (satu) tahun yang diajukan Importir MMEA sebelum pengajuan P3C MMEA awal untuk periode persediaan bulan Januari sesuai dengan Lampiran E2.
   
4. Mengubah Lampiran huruf D dan diantara Lampiran huruf D dan Lampiran huruf E disisipkan 2 (dua) Lampiran yakni Lampiran D1 dan D2.
   
5. Mengubah angka E1 dan E2 pada Lampiran huruf E, sehingga menjadi sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf E yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.


Pasal II


Peraturan Direktur Jenderal ini mulai berlaku pada tanggal 01 September 2022.




Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 Juni 2022
DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI,

-ttd-

ASKOLANI