Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 172/PMK.04/2022

Kategori : Lainnya

Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 218/PMK.04/2019 Tentang Pembebasan Bea Masuk Dan/Atau Tidak Dipungut Pajak Dalam Rangka Impor Atas Impor Barang Untuk Kegiatan Penyelenggaraan Panas Bumi


PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 172/PMK.04/2022

TENTANG

PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 218/PMK.04/2019 TENTANG PEMBEBASAN BEA MASUK DAN/ATAU
TIDAK DIPUNGUT PAJAK DALAM RANGKA IMPOR ATAS IMPOR BARANG
UNTUK KEGIATAN PENYELENGGARAAN PANAS BUMI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,


Menimbang :

  1. bahwa ketentuan mengenai pemberian pembebasan bea masuk dan/atau tidak dipungut pajak dalam rangka impor atas impor barang untuk kegiatan penyelenggaraan panas bumi telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 218/PMK.04/2019 tentang Pembebasan Bea Masuk dan/atau Tidak Dipungut Pajak dalam rangka Impor atas Impor Barang untuk Kegiatan Penyelenggaraan Panas Bumi;
  2. bahwa untuk mengakomodasi kebijakan pemerintah mengenai penggunaan dana pembiayaan infrastruktur sektor panas bumi dan untuk meningkatkan pengembangan sektor penyelenggaraan panas bumi, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 218/PMK.04/2019 tentang Pembebasan Bea Masuk dan/atau Tidak Dipungut Pajak dalam rangka Impor atas Impor Barang untuk Kegiatan Penyelenggaraan Panas Bumi perlu dilakukan perubahan;
  3. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 218/PMK.04/2019 tentang Pembebasan Bea Masuk dan/atau Tidak Dipungut Pajak dalam rangka Impor atas Impor Barang untuk Kegiatan Penyelenggaraan Panas Bumi;

Mengingat :

  1. Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 246, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 6736);
  3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 246, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 6736);
  4. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 246, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 6736);
  5. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3612) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4661);
  6. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916);
  7. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 217, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5585) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573);
  8. Peraturan Presiden Nomor 57 Tahun 2020 tentang Kementerian Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 98);
  9. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 218/PMK.04/2019 tentang Pembebasan Bea Masuk dan/atau Tidak Dipungut Pajak dalam rangka Impor atas Impor Barang untuk Kegiatan Penyelenggaraan Panas Bumi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 1718); 
  10. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.01/2021 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 1031) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 141/PMK.01/2022 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.01/2021 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 954);

MEMUTUSKAN:


Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 218/PMK.04/2019 TENTANG PEMBEBASAN BEA MASUK DAN/ATAU TIDAK DIPUNGUT PAJAK DALAM RANGKA IMPOR ATAS IMPOR BARANG UNTUK KEGIATAN PENYELENGGARAAN PANAS BUMI.


Pasal I


Beberapa ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 218/PMK.04/2019 tentang Pembebasan Bea Masuk dan/atau Tidak Dipungut Pajak Dalam Rangka Impor Atas Impor Barang Untuk Kegiatan Penyelenggaraan Panas Bumi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 1718), diubah sebagai berikut:

1. Di antara angka 1 dan angka 2 Pasal 1 disisipkan 1 (satu) angka yakni angka la, di antara angka 2 dan angka 3 disisipkan 2 (dua) angka yakni angka 2a dan angka 2b, di antara angka 6 dan angka 7 disisipkan 4 (empat) angka yakni angka 6a, angka 6b, angka 6c, dan angka 6d, serta angka 7, angka 10, dan angka 12 diubah, sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 1


Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Penugasan Survei Pendahuluan dan Eksplorasi yang selanjutnya disingkat PSPE adalah penugasan yang diberikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang panas bumi untuk melaksanakan kegiatan survei pendahuluan dan eksplorasi. 
1a. Survei Pendahuluan adalah kegiatan yang meliputi pengumpulan, analisis, dan penyajian data yang berhubungan dengan informasi kondisi geologi, geofisika, dan geokimia, serta survei landaian suhu apabila diperlukan, untuk memperkirakan letak serta ada atau tidak adanya sumber daya Panas Bumi.
2. Eksplorasi adalah rangkaian kegiatan yang meliputi penyelidikan geologi, geofisika, geokimia, pengeboran uji, dan pengeboran sumur eksplorasi yang bertujuan untuk memperoleh informasi kondisi geologi bawah permukaan guna menemukan dan mendapatkan perkiraan cadangan panas bumi. 
2a. Dukungan Eksplorasi adalah dukungan pengembangan panas bumi yang disediakan dalam rangka mendapatkan data dan informasi panas bumi yang diperlukan untuk penyiapan dan pelelangan wilayah kerja.
2b. Penugasan Dukungan Eksplorasi adalah penugasan khusus sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai Badan Usaha Milik Negara untuk menyediakan dan melaksanakan Dukungan Eksplorasi.
3. Eksploitasi adalah rangkaian kegiatan pada wilayah kerja panas bumi tertentu yang meliputi pengeboran sumur pengembangan dan sumur reinjeksi, pembangunan fasilitas lapangan dan penunjangnya, serta operasi produksi panas bumi.
4. Pemanfaatan Tidak Langsung adalah kegiatan pengusahaan pemanfaatan panas bumi dengan melalui proses pengubahan dari energi panas dan/atau fluida menjadi energi listrik.
5. Badan Usaha adalah badan hukum yang berusaha di bidang panas bumi yang berbentuk badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, koperasi, atau perseroan terbatas dan didirikan berdasarkan hukum Indonesia serta berkedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
6. Kontraktor Kontrak Operasi Bersama (Joint Operation Contract Contractor) yang selanjutnya disebut KKOB adalah kontraktor yang menandatangani kontrak operasi bersama dengan PT Pertamina (Persero).
6a. Kementerian/Lembaga adalah kementerian negara atau lembaga pemerintah non kementerian yang melaksanakan kegiatan penyelenggaraan panas bumi.
6b. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau wali kota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
6c. Perguruan Tinggi adalah satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi
6d. Lembaga Penelitian adalah lembaga yang menyelenggarakan penelitian dan pengembangan salah satu di antaranya bidang panas bumi.
7. Penyedia Barang (Vendor) adalah perusahaan yang ditunjuk oleh KKOB, Badan Usaha, Kementerian/Lembaga, Pemerintah Daerah, Perguruan Tinggi, atau Lembaga Penelitian sebagai penyedia barang impor untuk kegiatan penyelenggaraan panas bumi.
8. Portal Direktorat Jenderal Bea dan Cukai adalah sistem integrasi seluruh layanan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai kepada semua pengguna jasa yang bersifat publik dan berbasis web.
9. Sistem Indonesia National Single Window yang selanjutnya disebut Sistem INSW adalah sistem elektronik yang mengintegrasikan sistem dan/atau informasi berkaitan dengan proses penanganan dokumen kepabeanan, dokumen kekarantinaan, dokumen perizinan, dokumen kepelabuhanan/kebandarudaraan, dan dokumen lain, yang terkait dengan ekspor dan/atau impor, yang menjamin keamanan data dan informasi serta memadukan alur dan proses informasi antar sistem internal secara otomatis.
10. Pemindahtanganan adalah pemindahan hak, alih aset, penjualan, tukar-menukar, hibah, atau penghapusan dari aset KKOB, Badan Usaha, Kementerian/Lembaga, Pemerintah Daerah, Perguruan Tinggi, atau Lembaga Penelitian.
11. Pemusnahan adalah kegiatan menghilangkan wujud dan bentuk asal suatu barang menjadi suatu unsur atau senyawa yang tidak dapat dibentuk menjadi barang asal.
12. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Keuangan negara.
13. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Bea dan Cukai.
14. Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang selanjutnya disebut Kantor Wilayah merupakan instansi vertikal yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Direktur Jenderal Bea dan Cukai.
15. Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai yang selanjutnya disebut Kantor Pelayanan Utama merupakan instansi vertikal yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Direktur Jenderal Bea dan Cukai.
16. Kantor Pabean adalah kantor dalam lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tempat dipenuhinya kewajiban pabean sesuai dengan Undang-Undang Kepabeanan.
   
2.  Ketentuan ayat (2) Pasal 2 diubah, sehingga Pasal 2 berbunyi sebagai berikut:


Pasal 2

(1) Atas impor barang untuk kegiatan penyelenggaraan panas bumi dapat diberikan pembebasan bea masuk.
(2) Kegiatan penyelenggaraan panas bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pemanfaatan tidak langsung yang meliputi:
a. Survei Pendahuluan atau Survei Pendahuluan dan Eksplorasi;
b. Eksplorasi;
c. Eksploitasi; dan/atau
d. pemanfaatan.
(3) Bea masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk:
a. bea masuk anti dumping;
b. bea masuk imbalan;
c. bea masuk tindakan pengamanan; dan/atau
d. bea masuk pembalasan.
(4) Pembebasan bea masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. barang tersebut belum dapat diproduksi di dalam negeri;
b. barang tersebut sudah diproduksi di dalam negeri namun belum memenuhi spesifikasi yang dibutuhkan; atau
c. barang tersebut sudah diproduksi di dalam negeri namun jumlahnya belum mencukupi kebutuhan industri.
(5) Terhadap barang impor yang telah diberikan pembebasan bea masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan perlakuan perpajakan berupa:
a. tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah; dan/atau
b. dikecualikan    dari    pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas impor Barang Kena Pajak tertentu yang digunakan dalam rangka penyelenggaraan panas bumi,
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

   
3. Ketentuan Pasal 3 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 3

 

(1) Pembebasan bea masuk untuk kegiatan penyelenggaraan panas bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), dapat diberikan kepada:
  1. KKOB;
  2. Badan Usaha;
  3. Kementerian/Lembaga atau Pemerintah Daerah;
  4. Perguruan Tinggi; atau
  5. Lembaga Penelitian.
(2) Badan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri dari:
  1. pemegang kuasa pengusahaan sumber daya panas bumi;
  2. pemegang izin pengusahaan sumber daya panas bumi;
  3. pemegang izin panas bumi;
  4. pelaksana PSPE; atau
  5. penerima Penugasan Dukungan Eksplorasi.
(3) Pelaksanaan impor barang yang mendapatkan pembebasan bea masuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dapat dilakukan oleh:
  1. KKOB;
  2. Badan Usaha;
  3. Kementerian/Lembaga atau Pemerintah Daerah;
  4. Perguruan Tinggi;
  5. Lembaga Penelitian; atau
  6. Penyedia Barang (Vendor).
   
4. Ketentuan ayat (1), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), ayat (7), ayat (9), ayat (10), dan ayat (11) Pasal 4 diubah, dan di antara ayat (3) dan ayat (4) disisipkan 3 (tiga) ayat yakni ayat (3a), ayat (3b), dan ayat (3c), sehingga Pasal 4 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 4

 

(1) Untuk mendapatkan pembebasan bea masuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), KKOB, Badan Usaha, Kementerian/Lembaga, Pemerintah Daerah, Perguruan Tinggi, atau Lembaga Penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), mengajukan permohonan kepada Menteri melalui Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama yang mengawasi wilayah kerja panas bumi.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara elektronik melalui Sistem INSW.
(3) Permohonan KKOB atau Badan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri dengan:
  1. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);
  2. kontrak operasi bersama atau kuasa pengusahaan sumber daya panas bumi, izin pengusahaan sumber daya panas bumi, izin panas bumi, atau surat ketetapan penugasan dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang panas bumi, atau surat Penugasan Dukungan Eksplorasi dari Menteri; dan
  3. rencana impor barang (RIB).
(3a) Permohonan Kementerian/Lembaga atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri dengan:
  1. salinan daftar isian pelaksanaan anggaran atau dokumen yang sejenis dan/atau surat pernyataan yang menyatakan bahwa pembiayaan dalam daftar isian pelaksanaan anggaran atau dokumen yang sejenis atas barang yang dimintakan pembebasan bea masuk, tidak meliputi unsur bea masuk dan/atau pajak dalam rangka impor;
  2. salinan perjanjian atau kontrak pengadaan barang dengan Penyedia Barang (Vendor) yang menyebutkan bahwa harga dalam perjanjian atau kontrak pengadaan barang tidak meliputi pembayaran bea masuk dan/atau pajak dalam rangka impor, dalam hal pengadaan barang menggunakan Penyedia Barang (Vendor); dan
  3. rencana impor barang (RIB).
(3b) Permohonan Kementerian/Lembaga atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (3a) huruf a ditandatangani oleh:
  1. pimpinan satuan kerja selaku kuasa pengguna anggaran; atau
  2. pejabat paling rendah setingkat Eselon II atau pimpinan tinggi pratama, dari Kementerian/Lembaga atau Pemerintah Daerah.
(3c) Permohonan Perguruan Tinggi atau Lembaga Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ditandatangani oleh pejabat paling rendah setingkat dekan atau Kepala Lembaga Penelitian, dan dilampiri dengan:
  1. surat ketetapan penugasan dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang panas bumi; dan
  2. rencana impor barang (RIB).
(4) Dalam hal penyampaian permohonan secara elektronik melalui Sistem INSW sebagaimana dimaksud pada ayat (2) belum dapat dilaksanakan, permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara elektronik melalui Portal Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dengan melampirkan:
  1. dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan huruf b, ayat (3a) huruf a dan huruf b, atau ayat (3c) huruf a;
  2. contoh atau spesimen tanda tangan pimpinan/manajer atau para pejabat KKOB, Badan Usaha, Kementerian/Lembaga, Pemerintah Daerah, Perguruan Tinggi, atau Lembaga Penelitian yang diberikan wewenang untuk menandatangani rencana impor barang (RIB); dan
  3. asli Rencana Impor Barang (RIB) yang ditandatangani oleh pimpinan perusahaan yang berwenang atau pejabat yang ditunjuk.
(5) Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan huruf b, ayat (3a) huruf a dan huruf b, ayat (3c) huruf a, atau ayat (4) huruf b dapat dalam bentuk softcopy berupa hasil pindaian dari dokumen asli dalam media penyimpan data elektronik.
(6) rencana impor barang (RIB) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c, ayat (3a) huruf c, ayat (3c) huruf b, dan ayat (4) huruf c, merupakan dokumen yang telah disetujui oleh instansi yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang panas bumi dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4).
(7) Dalam hal Sistem INSW sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan Portal Direktorat Jenderal Bea dan Cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak dapat dioperasikan atau mengalami gangguan operasional, pengajuan permohonan dilakukan secara manual dan lampiran dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (3a), ayat (3c), dan ayat (4) huruf b dan huruf c disampaikan dalam bentuk salinan cetak (hardcopy) atau salinan digital (softcopy).
(8) Dalam hal wilayah kerja panas bumi dari KKOB atau Badan Usaha terdiri atas lebih dari 1 (satu) wilayah kerja panas bumi, permohonan disampaikan kepada masing-masing Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama yang wilayah kerjanya meliputi wilayah kerja panas bumi sebagaimana tercantum dalam masing-masing rencana impor barang (RIB).
(9) Dalam hal proses impor akan dilakukan oleh Penyedia Barang (Vendor), permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mencantumkan nama Penyedia Barang (Vendor) yang akan melakukan impor dan melampirkan bukti kontrak pengadaan barang antara KKOB, Badan Usaha, Kementerian/Lembaga, Pemerintah Daerah, Perguruan Tinggi, atau Lembaga Penelitian dengan Penyedia Barang (Vendor).
(10) Dalam hal dokumen lampiran sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (3a), ayat (3c), ayat (4), dan ayat (9) telah tersedia dalam Sistem INSW atau Portal Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, KKOB, Badan Usaha, Kementerian/Lembaga, Pemerintah Daerah, Perguruan Tinggi, atau Lembaga Penelitian tidak perlu menyampaikan kembali dokumen lampiran tersebut kepada Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama yang mengawasi wilayah kerja panas bumi.
(11) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan dengan menggunakan contoh format yang tercantum dalam Lampiran Huruf A yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
   
5. Ketentuan ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan ayat (6) Pasal 11 diubah, sehingga Pasal 11 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 11

 

(1) Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) dapat dilakukan perubahan sebelum realisasi impor.
(2) Realisasi impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yakni pada saat barang impor diajukan pemberitahuan pabean impor dan mendapatkan nomor pendaftaran.
(3) Perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diberikan sepanjang mengenai perubahan:
a. Kantor Pabean yang membawahi pelabuhan tempat pemasukan barang impor;
b. jumlah dan/atau jenis barang; dan/atau
c. yang dikarenakan kekhilafan yang nyata dan bersifat manusiawi, berupa:
  1. kesalahan hitung; dan/atau
  2. kesalahan penulisan data.
(4) Untuk dapat melakukan perubahan terhadap Keputusan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3), KKOB, Badan Usaha, Kementerian/Lembaga, Pemerintah Daerah, Perguruan Tinggi, atau Lembaga Penelitian mengajukan permohonan kepada Kepala Kantor Wilayah atau Kantor Pelayanan Utama yang menerbitkan Keputusan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3).
(5) Permohonan perubahan terhadap Keputusan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan secara elektronik melalui Sistem INSW.
(6) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dilampiri dengan:
a. salinan dokumen dan/atau data pendukung yang menyatakan tentang perubahan Kantor Pabean yang membawahi pelabuhan tempat pemasukan, berupa Bill Of Lading (B/L), Airway Bill (AWB), atau dokumen lain yang dapat membuktikan tentang perubahan pelabuhan tempat pemasukan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a;
b. revisi rencana impor barang (RIB) yang telah disetujui oleh instansi yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang panas bumi dalam hal permohonan perubahan jumlah dan/atau jenis barang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b; atau
c. dokumen pendukung sebagai bukti adanya kesalahan, dalam hal permohonan perubahan Keputusan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) dilakukan karena adanya kekhilafan yang nyata dan bersifat manusiawi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c.
(7) Dalam hal permohonan melalui Sistem INSW belum dapat dilaksanakan, permohonan perubahan terhadap Keputusan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan secara elektronik melalui Portal Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
(8) Dalam hal Sistem INSW sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan Portal Direktorat Jenderal Bea dan Cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (7) belum dapat dioperasikan atau mengalami gangguan operasional, permohonan perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan secara manual dalam bentuk salinan cetak (hardcopy) atau salinan digital (softcopy).
   
6. Ketentuan ayat (3) Pasal 13 diubah, sehingga Pasal 13 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 13

 

(1) Atas barang impor yang diberikan pembebasan bea masuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), dapat dilakukan Pemindahtanganan.
(2) Pemindahtanganan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan setelah 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal pemberitahuan pabean impor.
(3) Ketentuan mengenai jangka waktu Pemindahtanganan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku dalam hal:
  1. terjadi keadaan kahar (force majeure) yang dibuktikan dengan surat keterangan dari instansi yang berwenang;
  2. barang impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) diekspor kembali;
  3. KKOB atau Badan Usaha diputuskan pailit/bangkrut oleh Pengadilan Niaga;
  4. dipindah tangankan kepada pihak lain yang mendapatkan pembebasan bea masuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1); atau
  5. dipindah tangankan menjadi barang milik negara.
   
7. Ketentuan ayat (2), ayat (4), ayat (5), dan ayat (8) Pasal 14 diubah, sehingga Pasal 14 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 14


(1) Pemindahtanganan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) dilakukan setelah mendapatkan izin dari Kepala Kantor Pabean yang mengawasi wilayah kerja panas bumi atas nama Menteri.
(2) Untuk dapat memperoleh izin Pemindahtanganan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), KKOB, Badan Usaha, Kementerian/Lembaga, Pemerintah Daerah, Perguruan Tinggi, atau Lembaga Penelitian menyampaikan permohonan izin Pemindahtanganan dengan menyebutkan alasan dan tujuan pemindahtanganan kepada Menteri melalui Kepala Kantor Pabean yang mengawasi wilayah kerja panas bumi.
(3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan secara elektronik melalui Sistem INSW.
(4) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilampiri dengan:
a. surat rekomendasi dari instansi yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang panas bumi;
b. Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3);
c. pemberitahuan pabean impor pemasukan barang yang telah mendapatkan nomor pendaftaran;
d. daftar barang yang akan dipindahtangankan;
e. surat keterangan dari pihak yang berwenang dan bukti-bukti pendukung, dalam hal terjadi keadaan kahar (force majeure);
f. foto barang yang akan dipindahtangankan;
g. Putusan Pengadilan Niaga yang menyatakan KKOB atau Badan Usaha pailit/bangkrut, dalam hal KKOB atau Badan Usaha pailit/bangkrut; dan
h. surat pernyataan bermeterai yang ditandatangani oleh pimpinan/manajer atau para pejabat KKOB, Badan Usaha, Kementerian/Lembaga, Pemerintah Daerah, Perguruan Tinggi, atau Lembaga Penelitian yang menyatakan bahwa barang yang akan dipindahtangankan:
  1. tidak diagunkan/dijaminkan kepada pihak lain;
  2. tidak dalam sengketa dengan pihak lain; dan/atau
  3. masih dalam penguasaan Badan Usaha atau KKOB.
(5) Daftar barang yang akan dipindahtangankan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf d, paling sedikit memuat elemen data sebagai berikut:
a. uraian barang;
b. spesifikasi teknis barang;
c. jumlah dan satuan barang;
d. nomor Keputusan Menteri mengenai pemberian pembebasan bea masuk atas impor barang untuk kegiatan penyelenggaraan panas bumi dan nomor urut barang yang akan dipindahtangankan dalam lampiran Keputusan Menteri tersebut;
e.  Kantor Pabean tempat pemasukan barang;
f. nomor dan tanggal pendaftaran pemberitahuan pabean impor pemasukan barang; dan
g. tanda tangan pimpinan/manajer atau para pejabat KKOB, Badan Usaha, Kementerian/Lembaga, Pemerintah Daerah, Perguruan Tinggi, atau Lembaga Penelitian.
(6) Dalam hal permohonan melalui Sistem INSW belum dapat dilaksanakan, permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan secara elektronik melalui Portal Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
(7) Dalam hal Sistem INSW sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan Portal Direktorat Jenderal Bea dan Cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (6) belum dapat dioperasikan atau mengalami gangguan operasional, permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan secara manual dalam bentuk dokumen salinan cetak (hardcopy) atau salinan digital (softcopy).
(8) Dalam hal dokumen lampiran sebagaimana dimaksud pada ayat (4) telah tersedia dalam Sistem INSW atau Portal Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, KKOB, Badan Usaha, Kementerian/Lembaga, Pemerintah Daerah, Perguruan Tinggi, atau Lembaga Penelitian tidak perlu menyampaikan kembali dokumen lampiran tersebut kepada Kepala Kantor Pabean yang mengawasi wilayah kerja panas bumi.
   
8. Lampiran huruf A sampai dengan huruf P sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri Keuangan Nomor 218/PMK.04/2019 tentang Pembebasan Bea Masuk dan/atau Tidak Dipungut Pajak Dalam Rangka Impor Atas Impor Barang Untuk Kegiatan Penyelenggaraan Panas Bumi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 1718) diubah sehingga menjadi sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.


Pasal II


1. Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, terhadap Surat Penugasan Dukungan Eksplorasi yang telah diterbitkan sebelum Peraturan Menteri ini berlaku, dapat digunakan sebagai dasar pemberian fasilitas pembebasan bea masuk dan/atau tidak dipungut pajak dalam rangka impor atas impor barang untuk kegiatan penyelenggaraan panas bumi sampai dengan berakhirnya masa berlaku Surat Penugasan Dukungan Eksplorasi dimaksud.
2. Peraturan Menteri ini mulai berlaku setelah 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal diundangkan

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.




  Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 22 November 2022
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

SRI MULYANI INDRAWATI


Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 23 November 2022
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

YASONNA H. LAOLY



BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2022 NOMOR 1175