Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.
(1) | Setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepada Wajib Pajak diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak. |
(2) | Nomor Pokok Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Wajib Pajak orang pribadi yang merupakan Penduduk menggunakan Nomor Induk Kependudukan. |
(3) | Terhadap Penduduk, pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan melakukan aktivasi Nomor Induk Kependudukan sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak dalam administrasi perpajakan. |
(4) | Kewajiban mendaftarkan diri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula terhadap wanita kawin yang dikenai pajak secara terpisah karena:
|
(5) | Dalam hal wanita kawin yang dikenai pajak secara terpisah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) telah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak sebelum kawin, wanita kawin tersebut tidak perlu mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak. |
(6) | Wanita kawin selain yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakannya digabungkan dengan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan suaminya. |
(1) | Direktur Jenderal Pajak karena jabatannya dapat melakukan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak berdasarkan Pemeriksaan atau penelitian. |
(2) | Direktur Jenderal Pajak atas permohonan Wajib Pajak dapat melakukan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak berdasarkan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
(3) | Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak berdasarkan penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terhadap Wajib Pajak yang memenuhi kriteria tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai tata cara pendaftaran Wajib Pajak dan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak serta pengukuhan dan pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak. |
(4) | Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) yang merupakan Wajib Pajak orang pribadi Penduduk dilakukan apabila Wajib Pajak tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
(5) | Dalam hal Wajib Pajak orang pribadi Penduduk tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Nomor Induk Kependudukan dinonaktifkan sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak dalam administrasi perpajakan. |
(1) | Wajib Pajak dengan kemauan sendiri dapat membetulkan Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan dengan menyampaikan pernyataan tertulis. |
(2) | Pembetulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan:
|
(3) | Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dimulai sejak saat surat pemberitahuan Pemeriksaan disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak. |
(4) | Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b merupakan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka, yang dimulai sejak saat surat pemberitahuan Pemeriksaan Bukti Permulaan disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak. |
(5) | Pernyataan tertulis dalam pembetulan Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara memberi tanda pada tempat yang telah disediakan dalam Surat Pemberitahuan yang menyatakan bahwa Wajib Pajak yang bersangkutan membetulkan Surat Pemberitahuan. |
(6) | Dalam hal pembetulan Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyatakan rugi atau lebih bayar, pembetulan Surat Pemberitahuan harus disampaikan paling lama 2 (dua) tahun sebelum daluwarsa penetapan. |
(7) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembetulan Surat Pemberitahuan diatur dalam Peraturan Menteri. |
(1) | Wajib Pajak dapat membetulkan Surat Pemberitahuan Tahunan yang telah disampaikan, dalam hal Wajib Pajak menerima:
|
||||||||||||||||
(2) | Pernyataan tertulis dalam pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan yang menyatakan rugi fiskal berbeda dengan rugi fiskal yang telah dikompensasikan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara memberi tanda pada tempat yang telah disediakan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan yang menyatakan bahwa Wajib Pajak yang bersangkutan membetulkan Surat Pemberitahuan Tahunan. | ||||||||||||||||
(3) | Pembetulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan dengan ketentuan:
|
||||||||||||||||
(4) | Jangka waktu 3 (tiga) bulan untuk melakukan pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dihitung sejak tanggal diterima:
|
||||||||||||||||
(5) | Tanggal diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan tanggal:
|
||||||||||||||||
(6) | Apabila Wajib Pajak:
|
||||||||||||||||
(7) | Penghitungan kembali kompensasi kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilakukan berdasarkan rugi fiskal sesuai dengan:
|
||||||||||||||||
(8) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan diatur dalam Peraturan Menteri. |
(1) | Dalam hal Wajib Pajak dilakukan tindakan Pemeriksaan Bukti Permulaan, Wajib Pajak dengan kemauan sendiri dapat mengungkapkan dengan pernyataan tertulis mengenai ketidakbenaran perbuatannya, jika:
|
||||||
(2) | Pengungkapan ketidakbenaran perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan atas perbuatan sebagaimana diatur dalam Pasal 38 atau Pasal 39 ayat (1) huruf c atau huruf d Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan baik yang berdiri sendiri atau berkaitan dengan tindak pidana perpajakan sebagaimana diatur dalam Pasal 39 ayat (1) kecuali huruf c dan huruf d dan ayat (3), Pasal 39A, dan Pasal 43 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan Pasal 24 dan Pasal 25 Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan. | ||||||
(3) | Pernyataan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ditandatangani oleh Wajib Pajak dan disertai dengan:
|
||||||
(4) | Pembayaran jumlah pajak yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dan pembayaran sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c merupakan pemulihan kerugian pada pendapatan negara. | ||||||
(5) | Dalam hal pengungkapan ketidakbenaran perbuatan yang dilakukan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, terhadap Wajib Pajak tidak dilakukan Penyidikan. | ||||||
(6) | Dalam hal setelah Wajib Pajak melakukan pengungkapan ketidakbenaran perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) masih ditemukan data yang menyatakan lain dari pengungkapan ketidakbenaran perbuatan tersebut, terhadap Wajib Pajak tetap dapat dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan atas Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, dan/atau Tahun Pajak, untuk jenis pajak yang dilakukan pengungkapan ketidakbenaran perbuatan. | ||||||
(7) | Tata cara pengungkapan ketidakbenaran perbuatan oleh Wajib Pajak dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
(1) | Dalam hal Wajib Pajak dilakukan tindakan Pemeriksaan, Wajib Pajak dapat mengungkapkan dalam laporan tersendiri mengenai ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, sepanjang Direktur Jenderal Pajak belum menyampaikan surat pemberitahuan hasil Pemeriksaan. |
(2) | Laporan tersendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ditandatangani oleh Wajib Pajak dan dilampiri dengan:
|
(3) | Untuk membuktikan kebenaran pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemeriksaan tetap dilanjutkan dan atas hasil Pemeriksaan tersebut diterbitkan Surat Ketetapan Pajak dengan mempertimbangkan laporan tersendiri serta memperhitungkan pajak yang terutang yang telah dibayar. |
(4) | Dalam hal hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) membuktikan bahwa pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan yang dilakukan oleh Wajib Pajak ternyata tidak mencerminkan keadaan yang sebenarnya, Surat Ketetapan Pajak diterbitkan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. |
(5) | Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b diperhitungkan sebagai kredit pajak dalam Surat Ketetapan Pajak yang diterbitkan berdasarkan hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4). |
(6) | Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c merupakan bukti pembayaran sanksi administratif terkait dengan pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan. |
(7) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mengungkapkan dalam laporan tersendiri tentang ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan diatur dalam Peraturan Menteri. |
(1) | Wajib Pajak wajib membayar atau menyetor pajak yang terutang dengan menggunakan Surat Setoran Pajak ke kas negara melalui tempat pembayaran. |
(2) | Pembayaran atau penyetoran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga dapat dilakukan dengan menggunakan sarana administrasi lain yang kedudukannya disamakan dengan Surat Setoran Pajak. |
(3) | Ketentuan mengenai sarana administrasi lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
(1) | Kelebihan pembayaran pajak sebagai akibat adanya:
|
||||||||||||||||||||||||||||||
(2) | Pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 1 (satu) bulan sejak:
|
||||||||||||||||||||||||||||||
(3) | Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terlewati, Wajib Pajak diberikan imbalan bunga sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (3) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. |
(1) | Buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau secara program aplikasi daring wajib disimpan selama 10 (sepuluh) tahun di Indonesia, yaitu di tempat kegiatan atau tempat tinggal Wajib Pajak orang pribadi, atau di tempat kedudukan Wajib Pajak badan. |
(2) | Dalam hal Wajib Pajak melakukan transaksi dengan para pihak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak selain melaksanakan kewajiban menyimpan dokumen lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wajib Pajak wajib menyimpan dokumen dan/atau informasi tambahan untuk mendukung bahwa transaksi yang dilakukan dengan pihak yang mempunyai hubungan istimewa telah sesuai dengan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha. |
(3) | Ketentuan mengenai jenis dokumen dan/atau informasi tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan tata cara pengelolaannya diatur dalam Peraturan Menteri. |
(1) | Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan Wajib Pajak badan di Indonesia wajib menyelenggarakan pembukuan. |
(2) | Dikecualikan dari kewajiban menyelenggarakan pembukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tetapi wajib melakukan pencatatan:
|
(3) | Pembukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diselenggarakan berdasarkan standar akuntansi keuangan yang berlaku di Indonesia, kecuali peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan menentukan lain. |
(4) | Penentuan Wajib Pajak orang pribadi yang memenuhi kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c paling kurang mempertimbangkan peredaran bruto Wajib Pajak. |
(5) | Dalam hal Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban pembukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), terhadap Wajib Pajak dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. |
(6) | Ketentuan mengenai tata cara melakukan pencatatan dan kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan/atau tata cara menyelenggarakan pembukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Menteri. |
(1) | Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan Pemeriksaan terhadap Wajib Pajak untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
(2) | Dalam melakukan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak:
|
(3) | Berdasarkan permintaan Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, Wajib Pajak yang diperiksa wajib:
|
(4) | Buku, catatan, dokumen, data, informasi, dan keterangan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib dipenuhi oleh Wajib Pajak dalam waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak permintaan disampaikan. |
(1) | Direktur Jenderal Pajak wajib menyampaikan hasil Pemeriksaan melalui surat pemberitahuan hasil Pemeriksaan kepada Wajib Pajak. |
(2) | Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan hak kepada Wajib Pajak untuk hadir dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan. |
(3) | Dalam hal Wajib Pajak badan atau orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 memberikan dokumen pada saat Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemeriksa pajak dapat mempertimbangkan dokumen tersebut dalam menghitung pajak terutang. |
(4) | Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terbatas pada:
|
(1) | Hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dituangkan dalam laporan hasil Pemeriksaan. |
(2) | Berdasarkan laporan hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dibuat nota penghitungan. |
(3) | Nota penghitungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditindaklanjuti dengan penerbitan Surat Ketetapan Pajak. |
(1) | Dalam hal pada saat dilakukan Pemeriksaan ditemukan adanya dugaan tindak pidana di bidang perpajakan, Pemeriksaan ditangguhkan dan ditindaklanjuti dengan Pemeriksaan Bukti Permulaan. | ||||||||||||||||||
(2) | Pemeriksaan yang ditangguhkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilanjutkan jika:
|
||||||||||||||||||
(3) | Pemeriksaan yang ditangguhkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihentikan jika:
|
||||||||||||||||||
(4) | Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pemeriksaan yang ditangguhkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilanjutkan dalam hal masih terdapat kelebihan pembayaran pajak berdasarkan hasil Pemeriksaan Bukti Permulaan atau hasil Penyidikan. |
(1) | Direktur Jenderal Pajak dapat membatalkan Surat Ketetapan Pajak yang diterbitkan berdasarkan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 yang dilaksanakan tanpa melalui prosedur:
|
(2) | Dalam hal terdapat pembatalan Surat Ketetapan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka proses Pemeriksaan dilanjutkan dengan melaksanakan prosedur yang belum dilaksanakan, berupa:
|
(3) | Dalam hal Surat Ketetapan Pajak yang dibatalkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terkait dengan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 17B ayat (1) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan untuk menerbitkan Surat Ketetapan Pajak tertangguh, terhitung sejak tanggal diterbitkan Surat Ketetapan Pajak yang dibatalkan sampai dengan diterbitkannya Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak. |
(1) | Setiap Wajib Pajak wajib membayar pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada adanya Surat Ketetapan Pajak. |
(2) | Jumlah pajak yang terutang menurut Surat Pemberitahuan yang disampaikan oleh Wajib Pajak adalah jumlah pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
(3) | Apabila Direktur Jenderal Pajak mendapatkan bukti jumlah pajak yang terutang menurut Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak benar, Direktur Jenderal Pajak menetapkan jumlah pajak yang terutang. |
(1) | Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan berdasarkan hasil Pemeriksaan ulang terhadap:
|
(2) | Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan berdasarkan hasil Pemeriksaan ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak. |
(1) | Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar berdasarkan:
|
(2) | Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) masih dapat diterbitkan lagi jika terdapat data baru, termasuk data yang semula belum terungkap, jika ternyata pajak yang lebih dibayar jumlahnya lebih besar daripada kelebihan pembayaran pajak yang telah ditetapkan. |
(1) | Hasil penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) huruf b, dituangkan dalam laporan hasil penelitian. |
(2) | Berdasarkan laporan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat nota penghitungan. |
(3) | Nota penghitungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditindaklanjuti dengan penerbitan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, dalam hal terdapat kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang. |
(1) | Dalam hal diperoleh data dan/atau informasi yang menunjukkan adanya kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi Wajib Pajak untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sebelum Wajib Pajak diberi atau diterbitkannya Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, Pasal 21, Pasal 23, dan Pasal 24 dan/atau Surat Tagihan Pajak. |
(2) | Dalam hal setelah dilakukan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak atau pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak diperoleh data dan/atau informasi yang menunjukkan adanya kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi Wajib Pajak untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sebelum dan/atau setelah penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak atau pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, Pasal 21, Pasal 23, dan Pasal 24 dan/atau Surat Tagihan Pajak. |
(3) | Surat Ketetapan Pajak dan/atau Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2) diterbitkan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak. |
(4) | Ketentuan mengenai tata cara penerbitan Surat Ketetapan Pajak dan/atau Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Menteri. |
(1) | Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak berdasarkan:
|
(2) | Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan paling lama:
|
(1) | Atas permohonan Wajib Pajak, kelebihan pembayaran pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (4c) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dikembalikan, dengan ketentuan jika Wajib Pajak mempunyai utang pajak, langsung diperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu utang pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. |
(2) | Pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 1 (satu) bulan sejak diterbitkannya Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf c. |
(1) | Wajib Pajak yang telah ditetapkan sebagai Wajib Pajak dengan kriteria tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 17C ayat (3) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dicabut penetapannya sebagai Wajib Pajak dengan kriteria tertentu dalam hal Wajib Pajak:
|
(2) | Tata cara pencabutan penetapan Wajib Pajak dengan kriteria tertentu dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
(1) | Keberatan atas Surat Ketetapan Pajak atau pemotongan atau pemungutan pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan harus diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal:
|
||||||||||
(2) | Keadaan di luar kekuasaan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
||||||||||
(3) | Dalam hal terdapat penerbitan Surat Keputusan Pembetulan secara jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d dan Wajib Pajak belum mengajukan keberatan atas Surat Ketetapan Pajak, Wajib Pajak masih dapat mengajukan keberatan atas Surat Ketetapan Pajak tersebut dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal dikirim Surat Keputusan Pembetulan. |
(1) | Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak atas suatu:
|
(2) | Wajib Pajak yang mengajukan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat mengajukan permohonan:
|
(3) | Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mencabut pengajuan keberatan yang telah disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak sebelum tanggal diterima surat pemberitahuan untuk hadir oleh Wajib Pajak. |
(4) | Wajib Pajak yang mencabut pengajuan keberatan yang telah disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dapat mengajukan permohonan pengurangan atau pembatalan Surat Ketetapan Pajak yang tidak benar. |
(5) | Wajib Pajak yang mencabut pengajuan keberatan yang telah disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tetap dapat mengajukan permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administratif. |
(6) | Tata cara pencabutan pengajuan keberatan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
(1) | Direktur Jenderal Pajak harus menyelesaikan keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sebagaimana diatur dalam Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. |
(2) | Jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak tanggal surat pengajuan keberatan diterima oleh Direktur Jenderal Pajak sampai dengan tanggal Surat Keputusan Keberatan diterbitkan. |
(1) | Dalam hal pengajuan keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 30% (tiga puluh persen) dari jumlah pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (9) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. |
(2) | Jumlah pajak yang telah dibayar sebelum pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pembayaran atas jumlah yang disetujui maupun yang tidak disetujui dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan. |
(3) | Sanksi administratif berupa denda sebesar 30% (tiga puluh persen) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga dikenakan terhadap Wajib Pajak dalam hal keputusan keberatan atas pengajuan keberatan Wajib Pajak menambah besarnya jumlah pajak yang masih harus dibayar. |
(4) | Dalam hal Wajib Pajak mencabut pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) atau pengajuan keberatan tidak dipertimbangkan oleh Direktur Jenderal Pajak karena tidak memenuhi persyaratan pengajuan keberatan sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (3a) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Wajib Pajak dianggap tidak mengajukan keberatan. |
(5) | Dalam hal Wajib Pajak dianggap tidak mengajukan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), pajak yang masih harus dibayar dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan yang tidak disetujui dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan menjadi utang pajak sejak tanggal penerbitan Surat Ketetapan Pajak. |
(1) | Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 60% (enam puluh persen) dari jumlah pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (5d) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dalam hal Putusan Banding:
|
(2) | Dalam hal Putusan Banding berupa tidak dapat diterima, pajak yang masih harus dibayar berdasarkan Surat Keputusan Keberatan menjadi utang pajak sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan. |
(3) | Jumlah pajak yang masih harus dibayar berdasarkan Surat Keputusan Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditambah sanksi administratif berupa denda sebesar 30% (tiga puluh persen) dari jumlah Pajak yang masih harus dibayar berdasarkan Surat Keputusan Keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1). |
(1) | Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 60% (enam puluh persen) dari jumlah pajak berdasarkan Putusan Peninjauan Kembali dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (51) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dalam hal Putusan Peninjauan Kembali menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah. |
(2) | Atas sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diterbitkan Surat Tagihan Pajak paling lama 2 (dua) tahun sejak tanggal diterima Putusan Peninjauan Kembali oleh Direktur Jenderal Pajak. |
(1) | Atas permohonan Wajib Pajak atau karena jabatannya, Direktur Jenderal Pajak dapat membetulkan:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||
(2) | Kesalahan hitung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||
(3) | Dalam hal terdapat kekeliruan pengkreditan Pajak Masukan Pajak Pertambahan Nilai pada surat keputusan atau surat ketetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) , pembetulan atas kekeliruan tersebut hanya dapat dilakukan jika terdapat perbedaan besarnya Pajak Masukan yang menjadi kredit pajak dan Pajak Masukan tersebut tidak mengandung persengketaan antara fiskus dan Wajib Pajak. | ||||||||||||||||||||||||||||||||
(4) | Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal surat permohonan pembetulan diterima, harus memberi keputusan atas permohonan pembetulan yang diajukan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1). | ||||||||||||||||||||||||||||||||
(5) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembetulan diatur dalam Peraturan Menteri. |
(1) | Direktur Jenderal Pajak karena jabatannya atau atas permohonan Wajib Pajak dapat:
|
(2) | Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c hanya dapat diajukan oleh Wajib Pajak paling banyak 2 (dua) kali. |
(3) | Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d hanya dapat diajukan oleh Wajib Pajak paling banyak 1 (satu) kali. |
(4) | Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pengurangan atau pembatalan Surat Ketetapan Pajak jika:
|
(5) | Permohonan pengurangan atau pembatalan Surat Ketetapan Pajak yang tidak benar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak dapat diajukan dalam hal Wajib Pajak mencabut pengajuan keberatan yang telah disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3). |
(6) | Pada saat penyelesaian permohonan pengurangan atau pembatalan Surat Ketetapan Pajak yang tidak benar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, Direktur Jenderal Pajak dapat mempertimbangkan buku, catatan, atau dokumen yang diberikan dalam proses penyelesaian permohonan pengurangan atau pembatalan Surat Ketetapan Pajak yang tidak benar tersebut. |
(7) | Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima, harus memberi keputusan atas permohonan yang diajukan. |
(8) | Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (7) telah lewat tetapi Direktur Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap dikabulkan. |
(9) | Tata cara pengurangan, penghapusan, dan pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
(1) | Wajib Pajak yang dikenai sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dapat mengajukan permohonan untuk memperoleh pengurangan atau penghapusan sanksi administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 36 ayat (1) huruf a Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. |
(2) | Dalam hal permohonan sebagaimana diatur pada ayat (1) diajukan terhadap sanksi administratif berupa bunga sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (2), Pasal 8 ayat (2a), Pasal 9 ayat (2a), Pasal 9 ayat (2b), dan Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang dikenakan melebihi jangka waktu 24 (dua puluh empat) bulan, atas permohonan tersebut dapat diberikan pengurangan atau penghapusan sanksi administratif sehingga besarnya sanksi administratif dikenakan untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan. |
(3) | Direktur Jenderal Pajak secara jabatan mengurangkan atau membatalkan Surat Tagihan Pajak yang diterbitkan sebagai akibat dari penerbitan Surat Ketetapan Pajak yang diajukan keberatan, Prosedur Persetujuan Bersama, banding, peninjauan kembali, atau pengurangan atau pembatalan Surat Ketetapan Pajak dan telah diterbitkan Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Persetujuan Bersama, Putusan Banding, Putusan Peninjauan Kembali, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, atau Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak yang mengakibatkan berkurangnya jumlah pajak yang masih harus dibayar. |
(1) | Dalam hal keputusan yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak dalam melaksanakan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan diketahui rusak, tidak terbaca, hilang, atau tidak dapat ditemukan lagi karena keadaan di luar kekuasaannya, Direktur Jenderal Pajak karena jabatannya menerbitkan kembali keputusan sebagai pengganti keputusan yang rusak, tidak terbaca, hilang, atau tidak dapat ditemukan lagi. |
(2) | Keputusan yang diterbitkan kembali oleh Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai kedudukan hukum yang sama dengan keputusan yang telah diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak. |
(3) | Ketentuan mengenai tata cara penerbitan kembali keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri. |
(1) | Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak sesuai dengan prosedur atau tata cara yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
(2) | Dalam hal terdapat Putusan Gugatan atas Surat Ketetapan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara penerbitan, Direktur Jenderal Pajak setelah menerima Putusan Gugatan tersebut menindaklanjuti Putusan Gugatan dengan menerbitkan kembali Surat Ketetapan Pajak sesuai dengan prosedur atau tata cara yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
(3) | Dalam hal Surat Ketetapan Pajak yang diterbitkan kembali sebagai akibat dari Putusan Gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terkait dengan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 17B ayat (1) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan bagi Direktur Jenderal Pajak untuk menerbitkan Surat Ketetapan Pajak tertangguh, terhitung sejak tanggal diterbitkan Surat Ketetapan Pajak yang diajukan gugatan sampai dengan Putusan Gugatan diterima oleh Direktur Jenderal Pajak. |
(1) | Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan Keberatan sesuai dengan prosedur atau tata cara yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
(2) | Dalam hal terdapat Putusan Gugatan atas Surat Keputusan Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara penerbitan, Direktur Jenderal Pajak setelah menerima Putusan Gugatan tersebut menindaklanjuti Putusan Gugatan dengan menerbitkan kembali Surat Keputusan Keberatan sesuai dengan prosedur atau tata cara yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
(3) | Dalam hal terdapat Putusan Gugatan atas surat dari Direktur Jenderal Pajak yang menyatakan bahwa keberatan Wajib Pajak tidak dipertimbangkan sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (4) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sebagaimana diatur dalam Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan tertangguh, terhitung sejak tanggal dikirim surat dari Direktur Jenderal Pajak tersebut kepada Wajib Pajak sampai dengan Putusan Gugatan Pengadilan Pajak diterima oleh Direktur Jenderal Pajak. |
(1) | Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat pelaksanaan Putusan Banding setelah menerima Putusan Banding. |
(2) | Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat pelaksanaan Putusan Peninjauan Kembali setelah menerima Putusan Peninjauan Kembali. |
(3) | Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat pelaksanaan Putusan Gugatan setelah menerima Putusan Gugatan. |
(1) | Wajib Pajak diberi imbalan bunga dalam hal pengajuan keberatan, permohonan banding, atau permohonan peninjauan kembali, dikabulkan sebagian atau seluruhnya sehingga menyebabkan kelebihan pembayaran pajak. |
(2) | Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan terhadap kelebihan pembayaran pajak paling banyak sebesar jumlah lebih bayar yang disetujui Wajib Pajak dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan atas Surat Pemberitahuan yang menyatakan lebih bayar yang telah diterbitkan Surat Ketetapan Pajak. |
(3) | Jumlah lebih bayar yang disetujui Wajib Pajak dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan jumlah lebih bayar menurut Wajib Pajak yang disampaikan oleh Wajib Pajak pada saat Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan. |
(4) | Surat Pemberitahuan yang menyatakan lebih bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan Surat Pemberitahuan yang menyatakan lebih bayar dengan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak. |
(5) | Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan:
|
(6) | Tarif bunga per bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) yang digunakan sebagai dasar penghitungan imbalan bunga merupakan tarif bunga per bulan yang berlaku pada tanggal dimulainya penghitungan imbalan bunga. |
(7) | Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dihitung sejak tanggal penerbitan Surat Ketetapan Pajak sampai dengan tanggal diterbitkannya Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali. |
(8) | Pelaksanaan pemberian imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku ketentuan:
|
(9) | Tata cara pemberian imbalan bunga dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
(1) | Dasar penagihan pajak berupa:
|
(2) | Termasuk jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a yaitu pajak yang seharusnya tidak dikembalikan. |
(3) | Dasar penagihan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan ayat (2) harus dilunasi dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan. |
(1) | Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan dan tidak mengajukan permohonan banding, pelunasan atas jumlah pajak yang tidak disetujui Wajib Pajak dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dan belum dibayar pada saat pengajuan keberatan dilakukan paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan dengan memperhitungkan jumlah pajak berdasarkan Surat Keputusan Keberatan. |
(2) | Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan banding, pelunasan atas jumlah pajak yang tidak disetujui Wajib Pajak dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dan belum dibayar pada saat pengajuan keberatan dilakukan paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal penerbitan Putusan Banding dengan memperhitungkan jumlah pajak berdasarkan Putusan Banding. |
(3) | Dalam hal Wajib Pajak menyetujui seluruh jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan, pelunasan atas jumlah pajak yang masih harus dibayar dilakukan paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal penerbitan Surat Ketetapan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. |
(4) | Dalam hal Wajib Pajak usaha kecil dan Wajib Pajak di daerah tertentu menyetujui seluruh jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan, pelunasan atas jumlah pajak yang masih harus dibayar dilakukan paling lama 2 (dua) bulan terhitung sejak tanggal penerbitan Surat Ketetapan Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (3a) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. |
(1) | Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan, jumlah pajak yang tidak disetujui dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan bukan merupakan utang pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Keputusan Keberatan. |
(2) | Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan banding, jumlah pajak yang tidak disetujui dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan tidak termasuk sebagai utang pajak sampai dengan diterbitkannya Putusan Banding. |
(3) | Atas jumlah pajak yang tidak disetujui sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak diperhitungkan dengan kelebihan pembayaran pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (1) dan ayat (la) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. |
(4) | Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) juga berlaku atas sanksi administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (4) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dalam Surat Tagihan Pajak yang terkait dengan jumlah pajak dalam Surat Ketetapan Pajak yang tidak disetujui dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan. |
(1) | Dalam hal jumlah pajak yang masih harus dibayar atau utang pajak tidak dilunasi dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3) dan Pasal 47 diterbitkan Surat Teguran. |
(2) | Surat Teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan setelah 7 (tujuh) hari terhitung sejak saat jatuh tempo pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3) dan Pasal 47. |
(3) | Surat Teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan setelah 7 (tujuh) hari terhitung sejak saat diterima klaim pajak dari negara mitra atau yurisdiksi mitra sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) huruf b. |
(4) | Dalam hal Wajib Pajak tidak menyetujui sebagian atau seluruh jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dan Wajib Pajak tidak mengajukan keberatan, Surat Teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan setelah 7 (tujuh) hari terhitung sejak saat jatuh tempo pengajuan keberatan. |
(5) | Dalam hal Wajib Pajak tidak menyetujui sebagian atau seluruh jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dan Wajib Pajak tidak mengajukan permohonan banding atas keputusan keberatan, Surat Teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan setelah 7 (tujuh) hari terhitung sejak saat jatuh tempo pengajuan permohonan banding. |
(6) | Dalam hal Wajib Pajak tidak menyetujui sebagian atau seluruh jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dan Wajib Pajak mengajukan permohonan banding atas keputusan keberatan, Surat Teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan setelah 7 (tujuh) hari terhitung sejak saat jatuh tempo pelunasan pajak yang masih harus dibayar berdasarkan Putusan Banding. |
(1) | Wajib Pajak dapat menunjuk kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
(2) | Kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
(3) | Seorang kuasa yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mempunyai kompetensi tertentu dalam aspek perpajakan, kecuali keluarga. |
(4) | Keluarga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c terdiri atas:
|
(1) | Kuasa menjalankan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan sesuai dengan surat kuasa khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1). |
(2) | Dalam menjalankan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan sebagai kuasa, kuasa wajib mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
(3) | Kuasa tidak dapat menjalankan hak dan kewajiban Wajib Pajak yang dikuasakan kepadanya jika dalam menjalankan hak dan memenuhi kewajiban perpaj akannya:
|
(1) | Setiap pejabat dan tenaga ahli dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya. |
(2) | Demi kepentingan negara, dalam rangka Penyidikan, penuntutan, atau dalam rangka mengadakan kerja sama dengan lembaga negara, instansi pemerintah, badan hukum yang dibentuk melalui Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah, atau pihak lain, Menteri berwenang memberi izin tertulis kepada pejabat dan/atau tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk memberikan keterangan dan/atau memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak kepada pihak tertentu yang ditunjuk dalam izin tertulis Menteri tersebut. |
(3) | Pihak tertentu yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (2):
|
(4) | Dalam hal pihak tertentu yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pihak tertentu tersebut dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(5) | Pejabat dan/atau tenaga ahli yang memberikan keterangan dan/atau memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak dalam rangka melaksanakan tugas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2). |
(6) | Ketentuan mengenai tata cara pemberian izin tertulis kepada pejabat dan/atau tenaga ahli diatur dalam Peraturan Menteri. |
(1) | Direktur Jenderal Pajak berwenang melaksanakan Prosedur Persetujuan Bersama untuk mencegah atau menyelesaikan permasalahan yang timbul dalam penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda. | ||||||||
(2) | Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan oleh:
|
||||||||
(3) | Untuk menentukan dapat atau tidaknya dilaksanakan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak meneliti terlebih dahulu permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama yang diajukan oleh pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, huruf c, atau huruf d. |
(1) | Dalam hal pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1):
|
||||||
(2) | Dalam hal pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1):
|
||||||
(3) | Dalam hal pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1):
|
||||||
(4) | Dalam hal pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1):
|
||||||
(5) | Dalam hal Wajib Pajak mengajukan gugatan terhadap:
|
||||||
(6) | Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), atau ayat (5) dapat diterapkan dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 telah terpenuhi. |
(1) | Dalam hal Surat Keputusan Persetujuan Bersama mengakibatkan kelebihan pembayaran pajak, kelebihan pembayaran tersebut dikembalikan kepada Wajib Pajak dengan ketentuan jika Wajib Pajak mempunyai utang pajak, kelebihan pembayaran dimaksud langsung diperhitungkan untuk melunasi utang pajak terlebih dahulu. |
(2) | Kelebihan pembayaran pajak sebagai akibat diterbitkannya Surat Keputusan Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikembalikan kepada Wajib Pajak tanpa diberikan imbalan bunga. |
(3) | Dalam hal pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama tidak ditindaklanjuti dengan penerbitan Surat Keputusan Persetujuan Bersama, berlaku Surat Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali. |
(1) | Berdasarkan informasi, data, laporan, dan pengaduan, Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana diatur dalam Pasal 43A Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. |
(2) | Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Penyidik yang menerima surat perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan. |
(3) | Pemeriksaan Bukti Permulaan memiliki tujuan dan kedudukan yang sama dengan penyelidikan sebagaimana diatur dalam undang-undang mengenai hukum acara pidana. |
(4) | Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara tertutup atau secara terbuka. |
(5) | Pemeriksaan Bukti Permulaan secara tertutup dilakukan tanpa pemberitahuan kepada Wajib Pajak. |
(6) | Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka dilakukan dengan pemberitahuan secara tertulis kepada Wajib Pajak. |
(7) | Dalam melaksanakan Pemeriksaan Bukti Permulaan, Penyidik selaku Pemeriksa Bukti Permulaan berwenang:
|
(8) | Pemeriksaan Bukti Permulaan ditindaklanjuti dengan:
|
(9) | Tata cara penyegelan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf d dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
(1) | Penyidik melakukan Penyidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 44 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dalam hal terjadi tindak pidana di bidang perpajakan dan diperoleh bukti permulaan. |
(2) | Bukti permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal dari kegiatan:
|
(3) | Dalam melakukan Penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyidik berwenang memanggil saksi atau tersangka untuk diperiksa berdasarkan surat panggilan yang sah. |
(4) | Saksi atau tersangka sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib memenuhi panggilan berdasarkan surat panggilan yang sah. |
(5) | Pemanggilan saksi atau tersangka sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan mengenai hukum acara pidana. |
(1) | Penetapan tersangka tindak pidana di bidang perpajakan dapat dilakukan tanpa didahului pemeriksaan sebagai saksi apabila yang bersangkutan telah dipanggil 2 (dua) kali secara sah dan tidak hadir tanpa memberikan alasan yang patut dan wajar. |
(2) | Penetapan sebagai tersangka sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada 2 (dua) alat bukti yang sah. |
(3) | Pemeriksaan tersangka tindak pidana di bidang perpajakan tidak dilakukan apabila yang bersangkutan telah dipanggil 2 (dua) kali secara sah dan tidak hadir tanpa memberikan alasan yang patut dan wajar. |
(4) | Dalam hal tersangka tidak memenuhi panggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban sebagai tersangka tidak dapat dilakukan oleh kuasa atau penasihat hukum. |
(5) | Dalam hal tersangka tidak memenuhi panggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Penyidik melakukan tindakan berupa:
|
(6) | Dalam hal hasil Penyidikan dinyatakan sudah lengkap oleh penuntut umum, penyerahan tanggung jawab tersangka dan barang bukti dari Penyidik kepada penuntut umum dapat dilakukan tanpa kehadiran tersangka apabila:
|
(7) | Dalam melaksanakan kewenangan Penyidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 44 ayat (2) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Penyidik dapat meminta bantuan aparat penegak hukum lain, berupa:
|
(8) | Aparat penegak hukum lain sebagaimana dimaksud pada ayat (7) harus memberikan bantuan sesuai dengan permintaan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Dalam pelaksanaan Penyidikan, Menteri berwenang menerbitkan keputusan pencegahan. |
(2) | Keputusan pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup keputusan pencegahan, perpanjangan masa pencegahan, dan pencabutan pencegahan. |
(3) | Menteri dapat melimpahkan kewenangan penerbitan keputusan pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Direktur Jenderal Pajak untuk dan atas nama Menteri. |
(1) | Untuk kepentingan penerimaan negara, atas permintaan Menteri, Jaksa Agung dapat menghentikan Penyidikan dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal surat permintaan. |
(2) | Permintaan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dilakukan setelah Wajib Pajak atau tersangka melunasi:
|
(3) | Penerapan sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur sebagai berikut:
|
(4) | Pelunasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan pemulihan kerugian pada pendapatan negara. |
(5) | Kerugian pada pendapatan negara dan/atau jumlah pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihitung sesuai dengan ketentuan Pasal 44B ayat (2) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. |
(6) | Dalam mengajukan permintaan penghentian Penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri dapat melimpahkan kewenangan permintaan penghentian Penyidikan kepada pejabat yang ditunjuk. |
(7) | Berdasarkan permintaan penghentian Penyidikan dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk, Jaksa Agung dapat melimpahkan kewenangan penghentian Penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada pejabat yang ditunjuk. |
(1) | Dalam hal perkara pidana telah dilimpahkan ke pengadilan, terdakwa tetap dapat melunasi kerugian pada pendapatan negara dan/atau jumlah pajak beserta sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (2) dan ayat (3). |
(2) | Pelunasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menjadi pertimbangan:
|
(3) | Pelunasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah menerima informasi kerugian pada pendapatan negara dan/atau jumlah pajak beserta sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (2) dan ayat (3) dari Direktur Jenderal Pajak. |
(4) | Kerugian pada pendapatan negara dan/atau jumlah pajak beserta sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sesuai dengan ketentuan Pasal 44B ayat (2a) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. |
(5) | Dalam hal pembayaran yang dilakukan oleh Wajib Pajak, tersangka, atau terdakwa pada tahap Penyidikan sampai dengan persidangan belum memenuhi jumlah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (2) dan ayat (3) , atas pembayaran tersebut dapat diperhitungkan sebagai pembayaran pidana denda. |
(6) | Pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau ayat (5) diperhitungkan sebagai pembayaran kerugian pada pendapatan negara atau pidana denda dalam hal terdakwa terlebih dahulu:
|
(1) | Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan dapat dilakukan secara elektronik dan menggunakan tanda tangan elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai informasi dan transaksi elektronik. |
(2) | Tanda tangan elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi tanda tangan elektronik tersertifikasi dan tanda tangan elektronik tidak tersertifikasi. |
(3) | Dalam hal pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan tanda tangan elektronik yang tersertifikasi, Wajib Pajak diberikan sertifikat elektronik yang diterbitkan oleh penyelenggara sertifikasi elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai informasi dan transaksi elektronik. |
(4) | Penyelenggara sertifikasi elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditunjuk oleh Menteri dari daftar penyelenggara sertifikasi elektronik Indonesia yang sudah diakui oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika. |
(5) | Menteri dapat melakukan kerja sama dengan instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain untuk menyediakan fasilitas pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan secara elektronik dan penggunaan tanda tangan elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melalui sistem administrasi yang terintegrasi dengan sistem di Direktorat Jenderal Pajak. |
(6) | Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan secara elektronik diatur dengan Peraturan Menteri. |
(1) | Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan keputusan dalam rangka melaksanakan ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan dalam bentuk elektronik. |
(2) | Dalam hal penerbitan keputusan diproses melalui sistem Direktorat Jenderal Pajak atau sistem yang terintegrasi dengan sistem Direktorat Jenderal Pajak serta seluruh persyaratan dalam sistem elektronik telah terpenuhi, sistem dapat menerbitkan keputusan sebagai keputusan Direktorat Jenderal Pajak atau pejabat Direktorat Jenderal Pajak yang berwenang dalam bentuk elektronik. |
(3) | Keputusan dalam bentuk elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diberikan tanda tangan elektronik tersertifikasi dan/atau segel elektronik tersertifikasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan berkekuatan hukum sama dengan keputusan yang tertulis. |
(4) | Tanggal dikirim atau tanggal diterima terkait dengan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan yang dilakukan secara elektronik merupakan tanggal pengiriman secara elektronik dalam sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak atau sistem administrasi yang terintegrasi dengan sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak. |
(5) | Tanggal pengiriman atau tanggal penerimaan yang dilakukan secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang informasi dan transaksi elektronik. |
(6) | Ketentuan mengenai tata cara penerbitan dan pengiriman keputusan dalam bentuk elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Menteri. |
(1) | Orang pribadi yang merupakan Penduduk serta telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sebagai Wajib Pajak wajib mendaftarkan diri dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak menggunakan Nomor Induk Kependudukan. |
(2) | Nomor Induk Kependudukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan Data Kependudukan yang diadministrasikan pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri. |
(3) | Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri memberikan Data Kependudukan dan Data Balikan dari Pengguna pada basis Data Kependudukan kepada Menteri untuk diintegrasikan dengan basis data perpajakan. |
(4) | Pemberian Data Kependudukan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berupa pemberian hak akses Data Kependudukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(5) | Pemberian Data Balikan dari Pengguna sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri. |
(6) | Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri melalui Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil memberikan hak akses Data Kependudukan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan Data Balikan dari Pengguna sebagaimana dimaksud pada ayat (5). |
(7) | Menteri mendelegasikan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk menerima dan meminta Data Kependudukan dan Data Balikan dari Pengguna sebagaimana dimaksud pada ayat (3). |
(1) | Orang pribadi atau badan yang memenuhi persyaratan objektif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan dan persyaratan subjektif sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (5) Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, atau pemungut Pajak Karbon termasuk dalam pengertian Wajib Pajak. | ||||
(2) | Pajak Karbon dilunasi dengan cara:
|
||||
(3) | Wajib Pajak yang melakukan aktivitas yang menghasilkan emisi karbon wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran Pajak Karbon. | ||||
(4) | Wajib Pajak pemungut Pajak Karbon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran Pajak Karbon. | ||||
(5) | Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) wajib mengisi Surat Pemberitahuan sesuai ketentuan dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. | ||||
(6) | Batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) adalah:
|
||||
(7) | Apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (6), dikenai sanksi administratif dengan ketentuan sebagai berikut:
|
||||
(8) | Wajib Pajak yang melakukan aktivitas yang menghasilkan emisi karbon sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan kriteria tertentu, dikecualikan dari kewajiban melaporkan Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5). | ||||
(9) | Ketentuan lebih lanjut mengenai penunjukan pemungut Pajak Karbon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (8) diatur dalam Peraturan Menteri. |
(1) | Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (3) dan ayat (4), wajib menyelenggarakan pencatatan atas aktivitas yang menghasilkan emisi karbon dan/atau penjualan barang yang mengandung karbon, yang digunakan sebagai dasar untuk menghitung besarnya Pajak Karbon yang terutang. |
(2) | Pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat bersumber dari catatan, dokumen, dan/atau data. |
(3) | Catatan, dokumen, dan/atau data sebagaimana dimaksud pada ayat (2), wajib dikelola atau disimpan sesuai ketentuan dalam Pasal 11 ayat (1) atau ayat (2). |
(4) | Apabila Wajib Pajak tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3), Wajib Pajak dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan. |
1. | terhadap Surat Ketetapan Pajak yang diterbitkan sejak tanggal 29 Oktober 2021 yang memuat sanksi administratif berupa bunga sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (3b) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan berlaku ketentuan dalam hal penghitungan sanksi administratifnya dimulai:
|
||||||
2. | terhadap Surat Ketetapan Pajak yang diterbitkan sejak tanggal 29 Oktober 2021 yang memuat sanksi administratif berupa kenaikan sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (3) huruf c dan huruf d Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, pengenaan sanksi administratifnya sesuai dengan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan; | ||||||
3. | terhadap jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar yang timbul sejak tanggal 29 Oktober 2021 sebagai akibat tidak dilunasinya jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar dalam surat keputusan persetujuan untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (4) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, ditagih dengan menerbitkan Surat Tagihan Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (1) huruf i Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan; | ||||||
4. | terhadap:
|
||||||
5. | terhadap permintaan penghentian Penyidikan yang diajukan oleh Wajib Pajak kepada Menteri sebagaimana diatur dalam Pasal 44B Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang permintaan informasi kerugian pada pendapatan negaranya disampaikan sebelum tanggal 29 Oktober 2021 dan belum diterbitkan keputusan penghentian Penyidikan oleh Jaksa Agung:
|
||||||
6. | Prosedur Persetujuan Bersama yang dilaksanakan sampai dengan tanggal 31 Desember 2022, ditindaklanjuti sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan; | ||||||
7. | Keputusan yang diterbitkan dalam bentuk elektronik tanpa diberikan segel elektronik tersertifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 sebelum tersedia segel elektronik tersertifikasi dalam sistem Direktorat Jenderal Pajak tetap berlaku dan diakui keabsahannya, sepanjang dapat dibuktikan bersumber dari sistem elektronik perpajakan; dan | ||||||
8. | Penunjukan kuasa Wajib Pajak yang dilaksanakan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan masih tetap berlaku sampai dengan diberlakukannya peraturan pelaksanaan berdasarkan ketentuan Pasal 44E ayat (2) huruf e Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. |
a. | Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 162, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5268); dan |
b. | Pasal 6 dan Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2021 tentang Perlakuan Perpajakan untuk Mendukung Kemudahan Berusaha (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 19, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6621), |
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 12 Desember 2022 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. JOKO WIDODO |
I. | UMUM Dalam rangka meningkatkan pertumbuhan perekonomian yang berkelanjutan dan mendukung percepatan pemulihan perekonomian, telah diundangkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Dengan telah diundangkannya Undang-Undang tersebut, perlu dilakukan penyelarasan terhadap ketentuan di bidang perpajakan yang terdampak termasuk ketentuan di bidang ketentuan umum dan tata cara perpajakan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan.
Penyelarasan ketentuan tersebut dilakukan dengan melakukan penggantian terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan untuk lebih memberikan kepastian hukum, kemudahan, kejelasan bagi masyarakat dalam memahami ketentuan mengenai perpajakan serta guna mendukung simplifikasi regulasi. Kemudahan administrasi perpajakan tersebut antara lain pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan secara elektronik, pengintegrasian basis data kependudukan dengan basis data perpajakan, dan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban Pajak Karbon.
Pengaturan dalam Peraturan Pemerintah ini secara umum bertujuan untuk memberikan kepercayaan dan tanggung jawab yang lebih besar kepada Wajib Pajak dalam pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakannya dan Pemerintah, dalam hal ini aparat perpajakan, dalam memberikan pelayanan, penyuluhan, pembinaan, dan melakukan pengawasan serta penegakan hukum perpajakan sesuai dinamika kebutuhan masyarakat dan perkembangan hukum.
Oleh karena itu, dengan mendasarkan pada pertimbangan di atas dan dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 44E ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan perlu menerbitkan Peraturan Pemerintah tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan.
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
II. | PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas.
Pasal 2 Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "persyaratan subjektif" adalah persyaratan yang sesuai dengan ketentuan mengenai subjek pajak.
Yang dimaksud dengan "persyaratan objektif" adalah persyaratan bagi subjek pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan atau diwajibkan untuk melakukan pemotongan/pemungutan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan. Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Penduduk yang telah memiliki Nomor Induk Kependudukan tidak serta merta terdaftar sebagai Wajib Pajak sebelum melakukan aktivasi Nomor Induk Kependudukan.
Ayat (4)
Contoh:
Ibu Delima yang belum mendaftarkan diri dengan melakukan aktivasi Nomor Induk Kependudukan sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak menikah dengan Bapak Adi yang telah mendaftarkan diri dengan melakukan aktivasi Nomor Induk Kependudukan sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak. Dalam hal Ibu Delima melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan terpisah dari hak dan kewajiban perpajakan suami, Ibu Delima harus mendaftarkan diri dengan melakukan aktivasi Nomor Induk Kependudukannya sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak. Ayat (5)
Contoh:
Ibu Brigita yang telah mendaftarkan diri dengan melakukan aktivasi Nomor Induk Kependudukan sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak menikah dengan Bapak Erik yang telah mendaftarkan diri dengan melakukan aktivasi Nomor Induk Kependudukan sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak. Dalam hal Ibu Brigita melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan terpisah dari hak dan kewajiban perpajakan suami, maka Ibu Brigita tidak perlu lagi mendaftarkan diri dengan melakukan aktivasi Nomor Induk Kependudukannya sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak. Ayat (6)
Pada prinsipnya sistem administrasi perpajakan di Indonesia menempatkan keluarga sebagai satu kesatuan ekonomis, sehingga dalam satu keluarga hanya terdapat satu Nomor Pokok Wajib Pajak.
Dengan demikian, terhadap wanita kawin yang tidak dikenai pajak secara terpisah, pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakannya digabungkan dengan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan suami sebagai kepala keluarga dengan menggunakan Nomor Pokok Wajib Pajak suami. Dalam hal wanita kawin telah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak dengan mengaktifkan Nomor Induk Kependudukan sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak sebelum kawin, wanita kawin tersebut harus mengajukan permohonan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak agar Nomor Induk Kependudukan dinonaktifkan sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak dengan alasan bahwa pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakannya digabungkan dengan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan suaminya. Tidak termasuk dalam pengertian hidup terpisah adalah suami istri yang hidup terpisah antara lain karena tugas, pekerjaan, atau usaha. Contoh: Sepasang suami istri berdomisili di Kota Malang. Suami bekerja dan bertempat tinggal di Jakarta, sedangkan istri bertempat tinggal di Malang. Dengan demikian suami istri tersebut tidak termasuk pengertian hidup terpisah sebagaimana dimaksud pada ayat ini. Pasal 3 Cukup jelas.
Pasal 4 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Contoh 1:
Wajib Pajak orang pribadi yang telah meninggal dunia dan tidak meninggalkan warisan. Contoh 2: Wajib pajak yang memiliki lebih dari 1 (satu) Nomor Pokok Wajib Pajak. Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 5 Cukup jelas.
Pasal 6 Ayat (1)
Contoh:
PT Sukses telah menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak 2022 yang menyatakan:
Terhadap Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak 2021 dilakukan Pemeriksaan dan pada tanggal 11 Oktober 2023 diterbitkan surat ketetapan pajak yang menyatakan rugi fiskal menjadi sebesar Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah.
Berdasarkan Surat Ketetapan Pajak tersebut, apabila terhadap Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak 2022 belum dilakukan Pemeriksaan, Wajib Pajak membetulkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak 2022 sehingga penghitungan Penghasilan Kena Pajak Tahun Pajak 2022 menjadi sebagai berikut:
Demikian halnya apabila hasil Pemeriksaan Tahun Pajak 2021 rugi fiskal untuk Surat Ketetapan Pajak misalnya menjadi sebesar Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah), Wajib Pajak juga membetulkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak 2022 dengan cara yang sama.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Contoh penghitungan jangka waktu 3 (tiga) bulan dalam ketentuan ini adalah sebagai berikut:
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Contoh 1:
PT Makmur telah menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak 2022 yang menyatakan:
Terhadap Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak 2021 dilakukan Pemeriksaan dan pada tanggal 12 Oktober 2023 diterbitkan Surat Ketetapan Pajak yang menyatakan rugi fiskal sebesar Rp175.000.000,00 (seratus tujuh puluh lima juta rupiah).
Dalam hal sampai dengan jangka waktu 3 (tiga) bulan, Wajib Pajak tidak membetulkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak 2022, Direktur Jenderal Pajak pada saat melakukan Pemeriksaan memperhitungkan rugi fiskal tersebut dalam Surat Ketetapan Pajak tahun pajak 2022. Demikian juga, apabila terhadap Surat Ketetapan Pajak Tahun Pajak 2022 sedang dalam proses penyelesaian keberatan, maka rugi fiskal Tahun Pajak 2021 langsung diperhitungkan dalam Surat Keputusan Keberatan. Ketentuan ini juga berlaku dalam hal Surat Ketetapan Pajak dalam proses penyelesaian pembetulan, pengurangan, atau pembatalan Surat Ketetapan Pajak. Dalam hal Surat Keputusan Keberatan untuk tahun pajak 2022 sedang dalam proses banding di badan peradilan pajak, maka rugi fiskal Tahun Pajak 2021 disampaikan ke badan peradilan pajak untuk diperhitungkan dalam Putusan Banding. Contoh 2:
PT Jaya telah menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak 2022 yang menyatakan:
Terhadap Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak 2022 telah dilakukan Pemeriksaan dan telah diterbitkan Surat Ketetapan Pajak. Atas surat ketetapan pajak tersebut telah diajukan upaya hukum dan telah diterbitkan putusan oleh pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dengan kompensasi kerugian dari Tahun Pajak 2021 tetap sebesar Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) karena sampai dengan Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali terbit, atas Tahun Pajak 2021 belum terbit Surat Ketetapan Pajak.
Setelah terbitnya putusan pengadilan terkait dengan Tahun Pajak 2022 tersebut, pada tahun 2025 diterbitkan Surat Ketetapan Pajak yang menyatakan bahwa rugi fiskal Tahun Pajak 2021 dari sebesar Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) menjadi sebesar Rp230.000.000,00 (dua ratus tiga puluh juta rupiah). Perlakuan terhadap rugi fiskal berdasarkan Surat Ketetapan Pajak Tahun Pajak 2021 yang belum dikompensasikan sebesar Rp30.000.000,00 (Rp230.000.000,00-Rp200.000.000,00) dapat dikompensasikan pada Tahun Pajak 2023 mengingat berdasarkan Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan rugi fiskal dapat dikompensasikan selama 5 (lima) tahun. Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Pasal 7 Ayat (1)
Terhadap Wajib Pajak yang sedang dilakukan tindakan penegakan hukum, Wajib Pajak tetap memiliki kesempatan untuk secara sukarela mengungkapkan sendiri ketidakbenaran perbuatannya.
Dalam hal Wajib Pajak melakukan perbuatan, yaitu:
yang dilakukan karena kealpaan atau dengan sengaja, Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan sebelum melakukan Penyidikan.
Meskipun Wajib Pajak telah melakukan perbuatan sebagaimana tersebut di atas dan terhadap Wajib Pajak sedang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan atau Pemeriksaan Bukti Permulaan telah ditindaklanjuti untuk dilakukan Penyidikan, Wajib Pajak tetap memiliki kesempatan untuk mengungkapkan sendiri kesalahannya dan terhadap Wajib Pajak tidak akan dilakukan Penyidikan, sepanjang surat pemberitahuan dimulainya Penyidikan belum diberitahukan kepada penuntut umum melalui penyidik pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Yang dimaksud dengan "mulai dilakukan Penyidikan" adalah saat surat pemberitahuan dimulainya Penyidikan diberitahukan kepada penuntut umum melalui penyidik pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dengan demikian, dalam hal pemberitahuan dimulainya Penyidikan telah dilakukan, kesempatan untuk mengungkapkan ketidakbenaran perbuatan sudah tertutup bagi Wajib Pajak.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Cukup jelas.
Ayat (5) Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 8 Cukup jelas.
Pasal 9 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) Yang dimaksud dengan "sarana administrasi lain" antara lain bukti pembayaran secara elektronik atau bukti pembayaran melalui anjungan tunai mandiri.
Ayat (3) Cukup jelas.
Pasal 10 Cukup jelas.
Pasal 11 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "hubungan istimewa" adalah hubungan istimewa sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Pajak Penghasilan dan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.
Dokumen dan/atau informasi tambahan bagi Wajib Pajak yang melakukan transaksi dengan pihak yang memiliki hubungan istimewa antara lain dokumen penentuan harga transfer dan lainnya. Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 12 Cukup jelas.
Pasal 13 Cukup jelas.
Pasal 14 Cukup jelas.
Pasal 15 Cukup jelas.
Pasal 16 Cukup jelas.
Pasal 17 Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "tindak pidana di bidang perpajakan" adalah perbuatan yang diancam dengan sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan, Undang-Undang Bea Meterai, Undang-Undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa, dan Undang-Undang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 18 Ayat (1)
Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dianggap telah dilaksanakan apabila temuan Pemeriksaan telah dibahas sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai tata cara Pemeriksaan.
Ayat (2)
Untuk memberikan pedoman dalam membatalkan Surat Ketetapan Pajak dari hasil Pemeriksaan, perlu ditegaskan bahwa pembatalan tersebut tidak membatalkan seluruh kegiatan Pemeriksaan yang pernah dilaksanakan. Oleh karena itu, agar Surat Ketetapan Pajak dari hasil Pemeriksaan merupakan suatu produk hukum yang diterbitkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, Direktur Jenderal Pajak melanjutkan Pemeriksaan yang telah dibatalkan dengan melaksanakan prosedur Pemeriksaan yang belum dilakukan berupa:
Ayat (3)
Contoh:
Wajib Pajak menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Tahun Pajak 2021 yang menyatakan lebih bayar dengan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak pada tanggal 1 April 2022. Terhadap Surat Pemberitahuan Tahunan tersebut Direktur Jenderal Pajak melakukan Pemeriksaan. Pada tanggal 30 November 2022 diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar tanpa adanya Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan. Atas penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar tersebut Wajib Pajak mengajukan permohonan pembatalan Surat Ketetapan Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 36 ayat (1) huruf d Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang keputusannya terbit tanggal 10 Mei 2023. Berdasarkan surat keputusan tersebut Direktur Jenderal Pajak melanjutkan proses Pemeriksaan dengan melaksanakan prosedur yang belum dilaksanakan. Jangka waktu melanjutkan proses Pemeriksaan dihitung dari jangka waktu 12 (dua belas) bulan permohonan sebagaimana diatur dalam Pasal 17B ayat (1) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dikurangi 8 (delapan) bulan yaitu jangka waktu permohonan Surat Pemberitahuan Tahunan disampaikan sampai dengan tanggal diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak sehingga jangka waktu penerbitan kembali Surat Ketetapan Pajak paling lama 4 (empat) bulan sejak tanggal diterbitkannya Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak. Pasal 19 Ayat (1)
Pajak pada prinsipnya terutang pada saat timbulnya objek pajak yang dapat dikenai pajak, tetapi untuk kepentingan administrasi perpajakan saat terutangnya pajak tersebut adalah:
Jumlah pajak yang terutang yang telah dipotong, dipungut, atau pun yang harus dibayar oleh Wajib Pajak setelah tiba saat atau masa pelunasan pembayaran sebagaimana diatur dalam Pasal 9 dan Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, oleh Wajib Pajak harus disetorkan ke kas negara melalui tempat pembayaran yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Berdasarkan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Direktur Jenderal Pajak tidak berkewajiban untuk menerbitkan Surat Ketetapan Pajak atas semua Surat Pemberitahuan yang disampaikan Wajib Pajak. Penerbitan suatu Surat Ketetapan Pajak hanya terbatas pada Wajib Pajak tertentu yang disebabkan oleh ketidakbenaran dalam pengisian Surat Pemberitahuan atau karena ditemukannya data fiskal yang tidak dilaporkan oleh Wajib Pajak.
Ayat (2) Ketentuan ini mengatur bahwa kepada Wajib Pajak yang telah menghitung dan membayar besarnya pajak yang terutang secara benar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, serta melaporkan dalam Surat Pemberitahuan, tidak perlu diberikan Surat Ketetapan Pajak atau Surat Tagihan Pajak.
Ayat (3) Apabila berdasarkan hasil Pemeriksaan atau keterangan lain, pajak yang dihitung dan dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan yang bersangkutan tidak benar, misalnya pembebanan biaya ternyata melebihi yang sebenarnya, Direktur Jenderal Pajak menetapkan besarnya pajak yang terutang sebagaimana mestinya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Pasal 20 Penghitungan jangka waktu 5 (lima) tahun dalam ketentuan ini adalah sebagai berikut:
Contoh 1: Tuan Adi menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan untuk Tahun Pajak 2022 pada tanggal 28 Februari 2023 dengan status kurang bayar. Dengan demikian, dalam hal ditemukan data atau informasi yang menunjukkan bahwa atas Tahun Pajak tersebut terdapat kekurangan pembayaran pajak yang lebih besar daripada yang telah dibayarkan oleh Turan Adi, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar paling lambat tanggal 31 Desember 2027 (penghitungan 5 (lima) tahun dimulai sejak tanggal 1 Januari 2023). Contoh 2: PT HTU menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26 untuk Masa Pajak Mei 2022 pada tanggal 5 Juni 2022. Dengan demikian, dalam hal ditemukan data atau informasi yang menunjukkan bahwa atas Masa Pajak tersebut terdapat kekurangan pembayaran pajak yang lebih besar daripada yang telah dibayarkan oleh PT HTU, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar paling lambat tanggal 31 Mei 2027 (penghitungan 5 (lima) tahun dimulai sejak tanggal 1 Juni 2022). Contoh 3: Tuan Roy yang merupakan Pengusaha Kena Pajak menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai untuk Masa Pajak Oktober 2022 pada tanggal 17 November 2022. Dengan demikian, dalam hal ditemukan data atau informasi yang menunjukkan bahwa atas Masa Pajak tersebut terdapat kekurangan pembayaran pajak yang lebih besar daripada yang telah dibayarkan oleh Turan Roy, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar paling lambat tanggal 31 Oktober 2027 (penghitungan 5 (lima) tahun dimulai sejak tanggal 1 November 202). Contoh penghitungan sanksi administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan: PT NS menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Badan Tahun Pajak 2021. Terhadap Surat Pemberitahuan Tahunan tersebut dilakukan Pemeriksaan. Berdasarkan hasil Pemeriksaan, diketahui terdapat pajak terutang yang kurang dibayar sebesar Rp100.000.000 (seratus juta rupiah). Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar diterbitkan tanggal 10 Desember 2022. Dalam hal ini, Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berdasarkan Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang dihitung sejak berakhirnya Tahun Pajak 2021, yaitu tanggal 1 Januari 2022 sampai dengan tanggal penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (12 bulan). Tarif bunga yang digunakan adalah tarif bunga berdasarkan Keputusan Menteri yang berlaku pada tanggal dimulainya penghitungan sanksi. Penghitungan sanksi dimulai pada tanggal 1 Januari 2022, sehingga tarif bunga yang dipakai adalah tarif bunga yangberlaku pada periode Januari 2022. Sebagai contoh, apabila tarif bunga Pasal 13 ayat (2) periode Januari 2022 adalah 1,82%, maka penghitungan sanksi administratif Pasal 13 ayat (2) = Rp100.000.000 x 1,82% x 12 bulan = Rp21.840.000. Contoh penerapan satu jenis sanksi sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (3a) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan: PT GM menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai Masa Desember 2021 dengan status lebih bayar yang dikompensasikan ke masa pajak berikutnya. Terhadap Surat Pemberitahuan Masa tersebut dilakukan Pemeriksaan. Berdasarkan hasil Pemeriksaan, diketahui terdapat pajak terutang yang kurang dibayar oleh Wajib Pajak sebesar Rp100.000.000 (seratus juta rupiah). Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar diterbitkan pada tanggal 15 Desember 2022 dengan perhitungan sebagai berikut.
Dalam hal ini, Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berdasarkan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dengan penghitungan sebagai berikut:
Berdasarkan ketentuan Pasal 13 ayat (3a) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, dalam hal terdapat penerapan sanksi administratif berupa bunga dan kenaikan berdasarkan hasil Pemeriksaan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah hanya diterapkan satu jenis sanksi administratif yang tertinggi nilai besaran sanksinya, sehingga jumlah pajak dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar adalah sebagai berikut:
Pasal 21 Cukup jelas.
Pasal 22 Cukup jelas.
Pasal 23 Cukup jelas.
Pasal 24 Cukup jelas.
Pasal 25 Cukup jelas.
Pasal 26 Cukup jelas.
Pasal 27 Ayat (1)
Contoh 1:
PT CTR mendaftar untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak pada tanggal 3 Oktober 2021. Pada tahun 2022, Direktur Jenderal Pajak memperoleh data yang menunjukkan bahwa PT CTR pada Tahun Pajak 2020 memiliki penghasilan kena pajak yang belum dibayar/disetor pajaknya. Berdasarkan data tersebut Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan Pemeriksaan dan penerbitan Surat Ketetapan Pajak dan/atau Surat Tagihan Pajak untuk Tahun Pajak 2020 sebelum PT CTR memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak. Contoh 2: Tuan Cahyo mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dengan cara melakukan aktivasi Nomor Induk Kependudukan sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak pada tanggal 6 Januari 2025. Pada tahun 2026, Direktur Jenderal Pajak memperoleh data yang menunjukkan bahwa Tuan Cahyo pada Tahun Pajak 2023 memperoleh penghasilan di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak yang belum dibayar/disetor pajaknya. Berdasarkan data tersebut Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan Pemeriksaan dan penerbitan Surat Ketetapan Pajak dan/atau Surat Tagihan Pajak untuk Tahun Pajak 2023 sebelum Tuan Cahyo memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak. Ayat (2)
Contoh:
PT OKV dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak pada tanggal 6 Januari 2019. Pada tanggal 28 Desember 2023, dilakukan pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak. Pada tahun 2024, Direktur Jenderal Pajak memperoleh data yang menunjukkan bahwa pada Tahun Pajak 2022, PT OKV belum melakukan kewajiban pemungutan dan penyetoran Pajak Pertambahan Nilai senilai Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Berdasarkan data tersebut Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan Pemeriksaan dan penerbitan Surat Ketetapan Pajak dan/atau Surat Tagihan Pajak untuk kewajiban Pajak Pertambahan Nilai Tahun Pajak 2022. Ayat (3)
Contoh penghitungan jangka waktu 5 (lima) tahun:
Contoh 1: Atas hak dan kewajiban Pajak Pertambahan Nilai untuk Masa Pajak Januari 2022, Direktur Jenderal Pajak masih dapat melakukan Pemeriksaan dan penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan/atau Surat Tagihan Pajak paling lama tanggal 31 Januari 2027. Contoh 2: Atas hak dan kewajiban Pajak Penghasilan untuk Tahun Pajak 2021, Direktur Jenderal Pajak masih dapat melakukan Pemeriksaan dan penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan/atau Surat Tagihan Pajak paling lama tanggal 31 Desember 2026. Ayat (4) Cukup jelas.
Pasal 28 Cukup jelas.
Pasal 29 Cukup jelas.
Pasal 30 Ayat (1)
Sebagai contoh kondisi yang dapat menyebabkan Direktur Jenderal Pajak mencabut penetapan Wajib Pajak dengan kriteria tertentu adalah apabila terhadap Wajib Pajak dilakukan Penyidikan. Pemeriksaan Bukti Permulaan merupakan proses yang tidak terpisahkan dari Penyidikan. Oleh karena itu, walaupun Penyidikan belum dilakukan, tetapi Direktur Jenderal Pajak telah melakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan maka untuk mencegah agar tidak terjadi pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak dikembalikan maka Direktur Jenderal Pajak mencabut penetapan Wajib Pajak dengan kriteria tertentu yang telah diterbitkan.
Dengan demikian, pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 17C Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan masih dapat diberikan kepada Wajib Pajak apabila Direktur Jenderal Pajak belum mulai melakukan tindakan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka, yaitu pada saat surat pemberitahuan Pemeriksaan Bukti Permulaan disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak. Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 31 Ayat (1)
Contoh Penghitungan jangka waktu 3 (tiga) bulan dalam ketentuan ini adalah sebagai berikut:
Contoh 1: Apabila Surat Ketetapan Pajak dikirim kepada Wajib Pajak pada tanggal 20 September 2022 maka Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan paling lama tanggal 19 Desember 2022. Contoh 2: Apabila Surat Ketetapan Pajak dikirim kepada Wajib Pajak pada tanggal 30 November 2022, maka Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan paling lama tanggal 28 Februari 2023. Contoh 3: Dalam hal Wajib Pajak dilakukan pemotongan/pemungutan pajak pada tanggal 10 Oktober 2022 maka Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan paling lama tanggal 9 Januari 2023. Apabila terjadi suatu keadaan di luar kekuasaan Wajib Pajak maka pengajuan keberatan dapat dilakukan setelah jangka waktu 3 (tiga) bulan. Dalam hal demikian, Direktur Jenderal Pajak dapat mempertimbangkan pengajuan keberatan yang disampaikan oleh Wajib Pajak.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 32 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan "sanksi administratif" adalah sanksi yang terdapat dalam Surat Ketetapan Pajak maupun dalam Surat Tagihan Pajak yang diterbitkan sebagai akibat dari penerbitan Surat Ketetapan Pajak.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "surat pemberitahuan untuk hadir" adalah surat yang disampaikan kepada Wajib Pajak yang berisi mengenai pemberian kesempatan kepada Wajib Pajak untuk menghadiri pertemuan dengan pegawai pajak dalam waktu yang telah ditetapkan guna memberikan keterangan atau memperoleh penjelasan mengenai hasil penelitian keberatan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5) Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 33 Cukup jelas.
Pasal 34 Ayat (1)
Untuk memberikan penjelasan lebih lanjut diberikan contoh sebagai berikut:
Dalam hal Surat Keputusan Keberatan menolak pengajuan keberatan Wajib Pajak maka dasar pengenaan untuk penghitungan sanksi administratif berupa denda sebesar 30% (tiga puluh persen) adalah jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam Surat Keputusan Keberatan dikurangi jumlah pajak yang telah dibayar sebelum pengajuan keberatan. Dalam hal ini, dasar untuk menghitung sanksi administratif berupa denda sebesar 30% (tiga puluh persen) adalah sebesar Rp700.000.000,00 (tujuh ratus juta rupiah), yaitu sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) (jumlah pajak dalam Surat Keputusan Keberatan) dikurangi dengan Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) (jumlah yang telah dibayar sebelum pengajuan keberatan).
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Untuk memberikan kepastian hukum tentang penambahan jumlah pajak yang masih harus dibayar akibat keputusan keberatan, dalam ayat ini dijelaskan bahwa penambahan jumlah pajak yang masih harus dibayar juga dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 30% (tiga puluh persen) seperti halnya jumlah pajak yang tidak disetujui dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan.
Ayat (4) Cukup jelas.
Ayat (5) Pada prinsipnya jatuh tempo pembayaran pajak yang masih harus dibayar dalam Surat Ketetapan Pajak yang tidak disetujui dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan, apabila Wajib Pajak mengajukan keberatan atas Surat Ketetapan Pajak tersebut. Namun demikian, apabila Wajib Pajak dianggap tidak mengajukan keberatan sebagai akibat pengajuan keberatannya tidak dipertimbangkan oleh Direktur Jenderal Pajak karena tidak memenuhi persyaratan formal sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (3a), dan Pasal 32 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan maka jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam Surat Ketetapan Pajak menjadi utang pajak.
Dalam hal utang pajak tersebut tidak dilunasi oleh Wajib Pajak maka Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan tindakan penagihan pajak dengan surat paksa dan Wajib Pajak tidak dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 30% (tiga puluh persen) sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (9) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, tetapi dikenai sanksi administratif berupa bunga sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Pasal 35 Ayat (1)
Untuk memperjelas ketentuan ini diberikan contoh sebagai berikut.
Contoh 1 (Putusan Banding menolak): Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar untuk Tahun Pajak 2023 diterbitkan dengan jumlah pajak yang masih harus dibayar sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan, Wajib Pajak hanya menyetujui sebagian dari hasil Pemeriksaan tersebut dengan jumlah pajak sebesar Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Wajib Pajak telah melunasi jumlah pajak yang disetujui dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar tersebut sebesar Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan kemudian mengajukan keberatan atas hasil Pemeriksaan yang tidak disetujuinya. Atas keberatan Wajib Pajak tersebut, Direktur Jenderal Pajak memutuskan menolak keberatan Wajib Pajak. Selanjutnya Wajib Pajak mengajukan permohonan banding dan oleh hakim Pengadilan Pajak diputuskan dengan amar putusan menolak banding Wajib Pajak. Dengan demikian, Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa denda sesuai dengan ayat ini, yaitu sebesar 60% (Rp1.000.000.000,00 - Rp 200.000.000,00)= Rp480.000.000,00. Mengingat Wajib Pajak sudah dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 60% (enam puluh persen) maka sampai dengan diterbitkannya Putusan Banding tersebut Wajib Pajak tidak dikenai sanksi administratif berupa bunga sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan maupun sanksi administratif berupa denda sebesar 30% (tiga puluh persen) sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (9) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Sisa utang pajak sebesar Rp800.0000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) tersebut harus dilunasi Wajib Pajak jatuh tempo) paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding. Apabila sampai dengan tanggal jatuh tempo sisa utang pajak tidak dilunasi maka dilakukan tindakan penagihan pajak dengan surat paksa dan berlaku ketentuan mengenai pengenaan sanksi administratif berupa bunga sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Ketentuan Umurn dan Tata Cara Perpajakan. Contoh 2 (Putusan Banding mengabulkan sebagian): Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar untuk Tahun Pajak 2023 diterbitkan dengan jumlah pajak yang masih harus dibayar sebesar Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan, Wajib Pajak hanya menyetujui sebagian dari hasil Pemeriksaan tersebut dengan jumlah pajak sebesar Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Wajib Pajak telah melunasi jumlah pajak yang disetujui dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar tersebut sebesar Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan kemudian mengajukan keberatan atas hasil Pemeriksaan yang tidak disetujuinya. Direktur Jenderal Pajak mengabulkan sebagian keberatan Wajib Pajak dengan jumlah pajak yang masih harus dibayar menjadi sebesar Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah). Selanjutnya Wajib Pajak mengajukan permohonan banding dan oleh hakim Pengadilan Pajak diputuskan dengan amar putusan mengabulkan sebagian banding Wajib Pajak, sehingga jumlah pajak yang masih harus dibayar menjadi sebesar Rp450.000.000,00 (empat ratus lima puluh juta rupiah). Dalam hal demikian, Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa denda sesuai dengan ayat ini, yaitu sebesar 60% x (Rp450.000.000,00 - Rp200.000.000,00) = Rp 150.000. 000,00. Mengingat Wajib Pajak sudah dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 60% (enam puluh persen) maka sampai dengan diterbitkannya Putusan Banding tersebut Wajib Pajak tidak dikenai sanksi administratif berupa bunga sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan maupun sanksi administratif berupa denda sebesar 30% (tiga puluh persen) sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (9) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Sisa utang pajak sebesar Rp250.000.000,0 (dua ratus lima puluh juta rupiah) tersebut harus dilunasi Wajib Pajak jatuh tempo) paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding. Apabila sampai dengan tanggal jatuh tempo sisa utang pajak tidak dilunasi maka dilakukan tindakan penagihan pajak dengan surat paksa dan berlaku ketentuan mengenai pengenaan sanksi administratif berupa bunga sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Contoh 3 (Putusan Banding menambah): Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar untuk Tahun Pajak 2023, diterbitkan dengan jumlah pajak yang masih harus dibayar sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan, Wajib Pajak hanya menyetujui pajak yang masih harus dibayar sebesar Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Wajib Pajak telah melunasi jumlah yang disetujui dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar tersebut sebesar Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan kemudian mengajukan keberatan atas koreksi lainnya. Direktur Jenderal Pajak menolak keberatan Wajib Pajak. Selanjutnya Wajib Pajak mengajukan permohonan banding dan oleh Pengadilan Pajak diputuskan dengan amar putusan menambah pajak yang harus dibayar menjadi sebesar Rp1.300.000.000 (satu miliar tiga ratus juta rupiah). Dengan demikian, Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa denda sesuai dengan ayat ini, yaitu sebesar 60% x (Rp1.300.000.000,00 - Rp200.000.000,00)= Rp660.000.000,00. Mengingat Wajib Pajak sudah dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 60% (enam puluh persen) maka sampai dengan diterbitkannya Putusan Banding tersebut Wajib Pajak tidak dikenai sanksi administratif berupa bunga sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan maupun sanksi administratif berupa denda sebesar 30% (tiga puluh persen) sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (9) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Sisa utang pajak sebesar Rp1.100.000.000,00 (satu miliar seratus juta rupiah) (Rp1.300.000.000,00 - Rp200.000.000,00) tersebut harus dilunasi Wajib Pajak jatuh tempo) paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding. Apabila sampai dengan tanggal jatuh tempo sisa utang pajak tidak dilunasi maka dilakukan tindakan penagihan pajak dengan surat paksa dan berlaku ketentuan mengenai pengenaan sanksi administratif berupa bunga sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 36 Ayat (1)
Contoh 1:
Terhadap Wajib Pajak diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar untuk Tahun Pajak 2023 dengan jumlah pajak yang masih harus dibayar sebesar Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan badan yang sebelumnya disampaikan oleh Wajib Pajak berstatus kurang bayar dengan nilai Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan, Wajib Pajak tidak menyetujui seluruh hasil Pemeriksaan, sehingga tidak ada pembayaran atas jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar yang dilakukan oleh Wajib Pajak sebelum pengajuan keberatan. Berdasarkan pengajuan keberatan oleh Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan Keberatan yang memutuskan menolak keberatan Wajib Pajak. Atas Surat Keputusan Keberatan tersebut, Wajib Pajak kemudian mengajukan permohonan banding dan Hakim Pengadilan Pajak memutuskan menerima seluruh banding Wajib Pajak. Berdasarkan Putusan Banding tersebut, tidak terdapat pajak yang masih harus dibayar oleh Wajib Pajak. Direktur Jenderal Pajak kemudian mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung. Hasil Putusan Peninjauan Kembali mengabulkan permohonan pemohon dan menyatakan bahwa jumlah pajak yang masih harus dibayar Wajib Pajak adalah sebesar Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Dalam hal ini, Wajib Pajak harus melunasi jumlah pajak yang masih harus dibayar sebesar Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) ditambah sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat ini yaitu sebesar 60% x Rp3.000.000.000,00 = Rp 1.800.000.000,00. Contoh 2: Terhadap Wajib Pajak diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar untuk Tahun Pajak 2023 dengan jumlah pajak yang masih harus dibayar sebesar Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan badan yang sebelumnya disampaikan oleh Wajib Pajak berstatus kurang bayar dengan nilai Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah). Dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan, Wajib Pajak menyetujui jumlah pajak yang masih harus dibayar sebesar Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) sehingga Wajib Pajak melakukan pembayaran atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sejumlah yang disetujui dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan sebelum pengajuan keberatan. Berdasarkan pengajuan keberatan oleh Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan Keberatan yang memutuskan menolak keberatan Wajib Pajak. Wajib Pajak kemudian mengajukan permohonan banding dan Hakim Pengadilan Pajak memutuskan mengabulkan sebagian banding Wajib Pajak dan menyatakan pajak yang kurang dibayar menjadi sebesar Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). Mengingat bahwa Wajib Pajak telah melakukan pembayaran sebelum pengajuan keberatan yang jumlahnya senilai dengan Putusan Banding, maka tidak terdapat pajak yang harus dilunasi berdasarkan Putusan Banding oleh Wajib Pajak dan tidak dikenai sanksi administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (5d) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Direktur Jenderal Pajak kemudian mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung. Hasil Putusan Peninjauan Kembali mengabulkan permohonan pemohon dan menyatakan bahwa jumlah pajak yang masih harus dibayar Wajib Pajak adalah sebesar Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Dalam hal ini, Wajib Pajak harus melunasi kurang bayar sebesar Rp3.000.000.000,00 - Rp600.000.000,00 = Rp2.400.000.000,00, ditambah sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat ini, yaitu sebesar 60% x (Rp3.000.000.000,00 - Rp600.000.000,00) = Rp 1.440.000.000,00. Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 37 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) Pada prinsipnya kewenangan Direktur Jenderal Pajak untuk membetulkan Surat Ketetapan Pajak, Surat Tagihan Pajak, atau surat keputusan yang berkaitan dengan perpajakan dimaksudkan untuk menjalankan tugas pemerintahan yang baik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam melaksanakan tugas menghitung dan menetapkan pajak, baik dalam menerbitkan Surat Ketetapan Pajak, Surat Tagihan Pajak, atau surat keputusan yang berkaitan dengan perpajakan dapat terjadi adanya kesalahan atau kekeliruan yang bersifat manusiawi.
Sifat kesalahan atau kekeliruan tersebut tidak mengandung persengketaan antara Direktur Jenderal Pajak dengan Wajib Pajak. Selain itu, kewajiban perpajakan berkesinambungan dan saling memengaruhi dari Masa Pajak ke Masa Pajak yang lain atau dari Tahun Pajak ke Tahun Pajak yang lain. Dengan demikian, dapat terjadi suatu kesalahan yang ditimbulkan karena penerbitan suatu Surat Ketetapan Pajak, surat keputusan, atau putusan yang terkait dengan bidang perpajakan atas Masa Pajak atau Tahun Pajak yang mempengaruhi Masa Pajak atau Tahun Pajak lain, misalnya terdapat koreksi biaya penyusutan, amortisasi, kompensasi kerugian, dan sebagainya. Yang dimaksud dengan "surat keputusan yang terkait dengan bidang perpajakan" antara lain Surat Keputusan Keberatan dan Surat Keputusan Persetujuan Bersama. Yang dimaksud dengan "putusan yang terkait dengan bidang perpajakan" meliputi Putusan Banding dan Putusan Peninjauan Kembali. Contoh: PT A menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Tahun Pajak 2023 dengan nilai kerugian yang dikompensasikan ke tahun berikutnya sebesar Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan nilai lebih bayar sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). PT A menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Tahun Pajak 2024 dengan penghasilan neto sebesar Rp180.000.000,00 (seratus delapan puluh juta rupiah). Sisa kerugian yang belum dikompensasikan sampai dengan Tahun Pajak 2023 sebesar Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan terdapat kredit pajak sebesar Rp35.000.000,00 (tiga puluh lima juta rupiah). Dengan demikian Surat Pemberitahuan Tahunan Tahun Pajak 2024 menyatakan lebih bayar sebesar Rp35.000.000,00 (tiga puluh lima juta rupiah) dan masih terdapat sisa kerugian yang dapat dikompensasikan ke tahun berikutnya sebesar Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah). Terhadap Wajib Pajak PT A telah diterbitkan:
Atas Surat Ketetapan Pajak Tahun Pajak 2023 diterbitkan Putusan Banding yang mengabulkan sebagian dari lebih bayar sebesar Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah) menjadi sebesar Rp40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) sedangkan rugi sebesar Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) menjadi sebesar Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah). Kerugian yang dapat dikompensasikan dalam penghitungan Surat Ketetapan Pajak untuk Tahun Pajak 2024 menjadi sebesar Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah). Oleh karena itu, berdasarkan Pasal 16 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Direktur Jenderal Pajak berwenang membetulkan Surat Ketetapan Pajak untuk Tahun Pajak 2024 yang diakibatkan karena perbedaan kompensasi kerugian berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dari rugi sebesar Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) menjadi laba sebesar Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah). (Rugi sebesar Rp20.000.000,00 dikurangi dengan pengurangan kompensasi kerugian sebesar Rp50.000.000,00).
Dengan demikian Surat Ketetapan Pajak Nihil Tahun Pajak 2024 yang pernah diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak harus dibetulkan secara jabatan.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "kekeliruan pengkreditan Pajak Masukan Pajak Pertambahan Nilai" merupakan kekeliruan yang sifatnya manusiawi dan tidak mengandung sengketa antara fiskus dan Wajib Pajak.
Contoh: Telah diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Pertambahan Nilai atas nama PT A untuk Masa Pajak Februari 2022, dengan rincian sebagai berikut: Pajak Keluaran sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Pajak Masukan sebesar Rp75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah). Dari Pajak Masukan tersebut terdapat 1 (satu) Faktur Pajak sebesar Rp7.500.000,00 (tujuh juta lima ratus ribu rupiah) yang telah terjadi kekeliruan dalam penghitungan Pajak Masukan pada saat Pemeriksaan menjadi sebesar Rp5.700.000,00 (lima juta tujuh ratus ribu rupiah). Terhadap kekeliruan yang demikian, Direktur Jenderal Pajak secara jabatan dapat membetulkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar tersebut. Namun demikian, dalam hal kekeliruan yang terjadi berupa tidak diperhitungkannya suatu Faktur Pajak sebagai Pajak Masukan pada Surat Ketetapan Pajak, pembetulan atas kekeliruan berdasarkan Pasal 16 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan tidak dapat dilakukan. Ayat (4) Cukup jelas.
Ayat (5) Cukup jelas.
Pasal 38 Cukup jelas.
Pasal 39 Cukup jelas.
Pasal 40 Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "tidak dapat ditemukan lagi karena keadaan di luar kekuasaannya" antara lain disebabkan karena bencana alam.
Yang dimaksud dengan "keputusan yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak dalam melaksanakan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan" antara lain:
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Pasal 41 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Contoh:
Wajib Pajak menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Tahun Pajak 2021 yang menyatakan lebih bayar dengan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak pada tanggal 1 April 2022. Terhadap Surat Pemberitahuan Tahunan tersebut Direktur Jenderal Pajak melakukan Pemeriksaan. Pada tanggal 30 November 2022 diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar. Atas penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar tersebut Wajib Pajak mengajukan gugatan karena terdapat prosedur atau tata cara penerbitan yang tidak sesuai. Hasil Putusan Gugatan mengabulkan gugatan Wajib Pajak dan putusan tersebut diterima oleh Direktur Jenderal Pajak pada tanggal 10 Mei 2023. Berdasarkan putusan tersebut Direktur Jenderal Pajak menerbitkan kembali Surat Ketetapan Pajak sesuai dengan prosedur atau tata cara penerbitan yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. Jangka waktu penerbitan kembali Surat Ketetapan Pajak dihitung dari jangka waktu 12 (dua belas) bulan permohonan sebagaimana diatur dalam Pasal 17B ayat (1) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dikurangi 8 (delapan) bulan yaitu jangka waktu sejak permohonan Surat Pemberitahuan Tahunan disampaikan sampai dengan tanggal diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak, sehingga jangka waktu penerbitan kembali Surat Ketetapan Pajak paling lama 4 (empat) bulan sejak tanggal diterbitkannya Putusan Gugatan. Pasal 42 Cukup jelas.
Pasal 43 Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "surat pelaksanaan Putusan Banding" adalah surat yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak untuk melaksanakan Putusan Banding dari Pengadilan Pajak agar Putusan Banding tersebut dapat dicatat ke dalam sistem administrasi perpajakan.
Ayat (2) Yang dimaksud dengan "surat pelaksanaan Putusan Peninjauan Kembali" adalah surat yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak untuk melaksanakan Putusan Peninjauan Kembali dari Mahkamah Agung agar Putusan Peninjauan Kembali tersebut dapat dicatat ke dalam sistem administrasi perpajakan.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "surat pelaksanaan Putusan Gugatan" adalah surat yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak untuk melaksanakan Putusan Gugatan dari Pengadilan Pajak.
Pasal 44 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Contoh 1:
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar diterbitkan dengan jumlah pajak yang masih harus dibayar sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) atas Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak 2021 yang menyatakan lebih bayar dengan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebesar Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah). Dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan, Wajib Pajak tidak menyetujui seluruh pajak yang masih harus dibayar dan menyetujui jumlah lebih bayar menurut Wajib Pajak adalah sebesar Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah) sehingga tidak ada pembayaran yang dilakukan oleh Wajib Pajak. Atas keberatan yang diajukan Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan Keberatan yang menyatakan terdapat jumlah lebih bayar sebesar Rp1.600.000.000,00 (satu miliar enam ratus juta rupiah). Jumlah kelebihan pembayaran pajak yang dikembalikan kepada Wajib Pajak adalah sebesar Rp1.600.000.000,00 (satu miliar enam ratus juta rupiah), yaitu jumlah kelebihan pembayaran sebagaimana tercantum dalam Surat Keputusan Keberatan. Dalam hal ini, Wajib Pajak diberikan imbalan bunga per bulan sebesar suku bunga acuan yang berlaku pada awal penghitungan imbalan bunga dibagi 12 (dua belas) untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan yang dihitung dari jumlah lebih bayar yang disetujui Wajib Pajak dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan sebesar Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah). Contoh 2: Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar diterbitkan dengan jumlah pajak yang masih harus dibayar sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) atas Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak 2021 yang menyatakan lebih bayar dengan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebesar Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah). Dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan, Wajib Pajak tidak menyetujui seluruh pajak yang masih harus dibayar namun Wajib Pajak melunasi Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar tersebut sebelum mengajukan keberatan. Selain itu, Wajib Pajak menyetujui jumlah lebih bayar menurut Wajib Pajak sebesar Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). Atas keberatan yang diajukan Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan Keberatan dengan mengabulkan sebagian keberatan Wajib Pajak sehingga jumlah lebih bayar dalam Surat Keputusan Keberatan menjadi sebesar Rp1.250.000.000,00 (satu miliar dua ratus lima puluh juta rupiah). Jumlah kelebihan pembayaran pajak yang dikembalikan kepada Wajib Pajak adalah sebesar Rp2.250.000.000,00 (dua miliar dua ratus lima puluh juta rupiah), yaitu jumlah kelebihan pembayaran sebagaimana tercantum dalam Surat Keputusan Keberatan (Rp1.250.000.000,00) ditambah dengan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar yang telah dibayar (Rp1.000.000.000,00). Dalam hal ini, Wajib Pajak diberikan imbalan bunga per bulan sebesar suku bunga acuan yang berlaku pada awal penghitungan imbalan bunga dibagi 12 (dua belas) untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan yang dihitung dari jumlah lebih bayar berdasarkan Surat Keputusan Keberatan, yaitu sebesar Rp1.250.000.000,00 (satu miliar dua ratus lima puluh juta rupiah). Contoh 3: Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar diterbitkan dengan jumlah pajak yang masih harus dibayar sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) atas Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak 2021 yang menyatakan lebih bayar dengan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebesar Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah). Dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan, Wajib Pajak menyetujui jumlah pajak yang masih harus dibayar sebesar Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Wajib Pajak melunasi Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar tersebut sebesar jumlah yang disetujui dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan sebelum mengajukan keberatan. Atas keberatan yang diajukan Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan Keberatan sehingga jumlah lebih bayar dalam Surat Keputusan Keberatan menjadi sebesar Rp1.250.000.000,00 (satu miliar dua ratus lima puluh juta rupiah). Jumlah kelebihan pembayaran pajak yang dikembalikan kepada Wajib Pajak adalah sebesar Rp1.750.000.000,00 (satu miliar tujuh ratus lima puluh juta rupiah), yaitu jumlah kelebihan pembayaran sebagaimana tercantum dalam Surat Keputusan Keberatan (Rp1.250.000.000,00) ditambah dengan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar yang telah dibayar (Rp500.000.000,00). Dalam hal ini, Wajib Pajak tidak diberikan imbalan bunga. Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4) Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6) Cukup jelas.
Ayat (7)
Yang dimaksud dengan "tanggal diterbitkannya Putusan Banding" adalah tanggal Putusan Banding diterima oleh Direktur Jenderal Pajak.
Yang dimaksud dengan "tanggal diterbitkannya Putusan Peninjauan Kembali" adalah tanggal Putusan Peninjauan Kembali tersebut diterima oleh Direktur Jenderal Pajak. Contoh 1: Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar untuk Tahun Pajak 2020 diterbitkan tanggal 5 April 2022 dan diajukan keberatan pada tanggal 8 Juni 2022. Jika Surat Keputusan Keberatan yang mengabulkan permohonan Wajib Pajak diterbitkan pada tanggal 10 Mei 2023 maka penghitungan jangka waktu sebagai dasar pemberian imbalan bunga sesuai dengan ketentuan pada ayat ini adalah mulai dari tanggal 5 April 2022 s.d. 10 Mei 2023, yaitu selama 14 (empat belas) bulan [13 (tiga belas) bulan penuh, yaitu tanggal 5 April 2022 s.d. 4 Mei 2023 ditambah bagian dari bulan yang dihitung penuh 1 (satu) bulan, yaitu tanggal 5 Mei 2023 s.d. 10 Mei 2023]. Contoh 2: Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar untuk Tahun Pajak 2020 diterbitkan tanggal 5 April 2022 dan diajukan keberatan pada tanggal 10 Mei 2022. Surat Keputusan Keberatan yang menolak permohonan Wajib Pajak diterbitkan pada tanggal 5 Januari 2023. Wajib Pajak mengajukan banding dan Putusan Banding yang mengabulkan seluruh permohonan Wajib Pajak diucapkan oleh hakim Pengadilan Pajak dalam sidang terbuka untuk umum pada tanggal 14 Februari 2024 dan diterima oleh Direktur Jenderal Pajak pada tanggal 20 Maret 2024. Dalam hal ini, penghitungan jangka waktu sebagai dasar pemberian imbalan bunga sesuai dengan ketentuan pada ayat ini adalah mulai dari tanggal 5 April 2022 s.d. 20 Maret 2024, yaitu selama 24 (dua puluh empat) bulan [23 (dua puluh tiga) bulan penuh, yaitu tanggal 5 April 2022 s.d. 4 Maret 2024 ditambah bagian dari bulan yang dihitung penuh 1 (satu) bulan, yaitu tanggal 5 Maret 2024 s.d. 20 Maret 2024]. Ayat (8) Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Pasal 45 Ayat (1)
Dalam pengertian jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah termasuk jumlah sanksi administratif berupa bunga, denda, atau kenaikan.
Ayat (2)
Contoh pajak yang seharusnya tidak dikembalikan
Contoh 1: Terhadap Wajib Pajak diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dengan nilai sebesar Rp80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah). Atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar tersebut, bagian yang disetujui oleh Wajib Pajak dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan adalah sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Wajib Pajak mengajukan keberatan dengan terlebih dahulu melunasi jumlah pajak yang disetujui dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan. Keputusan Keberatan dengan keputusan yang menyatakan bahwa Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar menjadi sebesar Rp70.000.000,00 (tujuh puluh juta rupiah). Terhadap keputusan keberatan Wajib Pajak mengajukan permohonan banding. Putusan Banding menyatakan bahwa jumlah yang masih harus dibayar dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar menjadi sebesar Rp40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah). Berdasarkan Putusan Banding tersebut Direktur Jenderal Pajak mengembalikan kelebihan pembayaran pajak sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh puluh juta rupiah), yakni pembayaran sebelum mengajukan keberatan dikurangi dengan jumlah yang masih harus dibayar berdasarkan Putusan Banding. Terhadap Putusan Banding tersebut, Direktur Jenderal Pajak mengajukan permohonan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung. Putusan Peninjauan Kembali menyatakan bahwa jumlah yang masih harus dibayar dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar menjadi sebesar Rp70.000.000,00 (tujuh puluh juta rupiah). Berdasarkan Putusan Peninjauan Kembali, jumlah pajak yang masih harus dibayar oleh Wajib Pajak adalah sebesar Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah) yang terdiri dari jumlah pajak yang masih harus dibayar berdasarkan Putusan Peninjauan Kembali dikurangi dengan pajak yang telah dilunasi sebelum mengajukan keberatan (Rp70.000.000,00 - Rp50.000.000,00 = Rp20.000.000,00) dan ditambah dengan pajak yang seharusnya tidak dikembalikan berdasarkan Putusan Banding (Rp50.000.000,00 - Rp40.000.000,00 = Rp 10.000.000,00). Contoh 2: Wajib Pajak menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan dengan menyatakan Lebih Bayar sebesar Rp90.000.000,00 (sembilan puluh juta rupiah). Atas Surat Pemberitahuan tersebut dilakukan Pemeriksaan dan diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar dengan nilai sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). Atas Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar tersebut, Wajib Pajak mengajukan keberatan dengan keputusan yang menyatakan bahwa Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar tetap sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). Wajib Pajak mengajukan permohonan banding. Putusan Banding menyatakan bahwa Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar menjadi sebesar Rp80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah). Berdasarkan Putusan Banding, Direktur Jenderal Pajak mengembalikan kelebihan pembayaran pajak sebesar Rp70.000.000,00 (tujuh puluh juta rupiah) dihitung dari jumlah lebih bayar berdasarkan Putusan Banding sebesar Rp80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) dikurangi jumlah yang sudah dikembalikan berdasarkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). Berdasarkan Putusan Banding, Direktur Jenderal Pajak mengajukan permohonan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung. Putusan Peninjauan Kembali menyatakan bahwa jumlah kelebihan pembayaran pajak dalam Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar menjadi sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). Berdasarkan Putusan Peninjauan Kembali, Wajib Pajak ditagih sebesar jumlah pajak yang seharusnya tidak dikembalikan yaitu sebesar Rp70.000.000,00 (tujuh puluh juta rupiah). Ayat (3) Cukup jelas.
Pasal 46 Cukup jelas.
Pasal 47 Cukup jelas.
Pasal 48 Cukup jelas.
Pasal 49 Cukup jelas.
Pasal 50 Cukup jelas.
Pasal 51 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "kompetensi tertentu" antara lain jenjang pendidikan tertentu, sertifikasi, dan/atau pembinaan oleh asosiasi atau Kementerian Keuangan.
Ayat (4) Cukup jelas.
Pasal 52 Cukup jelas.
Pasal 53 Cukup jelas.
Pasal 54 Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "pejabat" meliputi petugas pajak dan mereka yang melakukan tugas di bidang perpajakan. Yang dimaksud dengan "tenaga ahli" adalah para ahli, antara lain ahli bahasa, akuntan, pengacara, dan sebagainya yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk membantu pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Ayat (2) Yang dimaksud dengan "pihak tertentu yang ditunjuk" adalah pihak-pihak yang membutuhkan data perpajakan untuk kepentingan negara misalnya dalam rangka Penyidikan, penuntutan, atau dalam rangka mengadakan kerja sama dengan lembaga negara, instansi pemerintah, badan hukum yang dibentuk melalui Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah, atau pihak lain.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4) Cukup jelas.
Ayat (5)
Pemberian data dan informasi perpajakan oleh pejabat atau tenaga ahli yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak kepada para pihak dalam rangka pelaksanaan tugas di bidang perpajakan misalnya Pemeriksaan, Pemeriksaan Bukti Permulaan, penagihan pajak, gugatan, banding, Penyidikan dan proses penuntutan tindak pidana di bidang perpajakan, dan dalam sidang tindak pidana di bidang perpajakan di pengadilan, tidak memerlukan izin tertulis dari Menteri.
Ayat (6) Cukup jelas.
Pasal 55 Cukup jelas.
Pasal 56 Cukup jelas.
Pasal 57 Ayat (1)
Penyesuaian pengajuan keberatan dilakukan jika terdapat materi sengketa lain di luar kesepakatan dalam Persetujuan Bersama, sehingga perlu dilakukan penyesuaian terhadap pengajuan keberatan.
Yang dimaksud dengan "penyesuaian" adalah sengketa dikeluarkan dari pembahasan keberatan namun kesepakatan dalam Persetujuan Bersama tetap diperhitungkan dalam Surat Keputusan Keberatan. Pencabutan pengajuan keberatan dilakukan jika Persetujuan Bersama memuat kesepakatan untuk keseluruhan materi sengketa yang diajukan keberatan dan Wajib Pajak belum menerima surat pemberitahuan untuk hadir. Ayat (2) Pencabutan permohonan pengurangan atau pembatalan Surat Ketetapan Pajak dilakukan jika Persetujuan Bersama memuat kesepakatan untuk sebagian atau keseluruhan materi sengketa yang diajukan pengurangan atau pembatalan Surat Ketetapan Pajak.
Ayat (3)
Penyesuaian permohonan banding dilakukan jika terdapat materi sengketa lain di luar kesepakatan dalam Persetujuan Bersama, sehingga perlu dilakukan penyesuaian terhadap permohonan banding melalui penyampaian surat bantahan atau penjelasan tertulis kepada Majelis Hakim Pengadilan Pajak.
Yang dimaksud dengan "penyesuaian" adalah sengketa dikeluarkan dari pembahasan banding namun kesepakatan dalam Persetujuan Bersama tetap diperhitungkan dalam Putusan Banding. Pencabutan permohonan banding dilakukan jika Persetujuan Bersama memuat kesepakatan untuk keseluruhan materi sengketa yang diajukan banding. Ayat (4) Penyesuaian permohonan peninjauan kembali dilakukan jika terdapat materi sengketa lain di luar kesepakatan dalam Persetujuan Bersama, sehingga perlu dilakukan penyesuaian terhadap permohonan peninjauan kembali melalui penyampaian adendum permohonan peninjauan kembali kepada panitera yang menangani perkara tata usaha negara di Mahkamah Agung.
Yang dimaksud dengan "penyesuaian" adalah sengketa dikeluarkan dari pembahasan peninjauan kembali namun kesepakatan dalam Persetujuan Bersama tetap diperhitungkan dalam Putusan Peninjauan Kembali. Pencabutan permohonan peninjauan kembali dilakukan jika Persetujuan Bersama memuat kesepakatan untuk keseluruhan materi sengketa yang diajukan peninjauan kembali. Ayat (5) Contoh:
PT DPI menerima Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tahun Pajak 2022. Namun, PT DPI meyakini bahwa penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar tersebut tidak sesuai dengan prosedur yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. PT DPI kemudian mengajukan gugatan kepada Pengadilan Pajak dan pada waktu yang bersamaan, Direktur Jenderal Pajak menerima permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama dari otoritas pajak negara mitra atau yurisdiksi mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda atas koreksi fiskal dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar tersebut. Jika kemudian Prosedur Persetujuan Bersama menghasilkan kesepakatan dalam Persetujuan Bersama, untuk dapat ditindaklanjuti dengan penerbitan Surat Keputusan Persetujuan Bersama, PT DPI harus mencabut gugatan yang diajukan. Ayat (6) Cukup jelas.
Cukup jelas.
Pasal 59 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4) Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6) Cukup jelas.
Ayat (7)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan "pihak ketiga" yaitu pihak lain yang mempunyai hubungan dengan tindakan, pekerjaan, kegiatan usaha, atau pekerjaan bebas Wajib Pajak yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan seperti bank, akuntan publik, notaris, konsultan pajak, kantor administrasi, konsultan hukum, konsultan keuangan, pelanggan, atau pemasok.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Ayat (8) Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Pasal 60 Cukup jelas.
Pasal 61 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4) Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan "red notice" adalah permintaan kepada penegak hukum di seluruh dunia untuk menemukan dan menangkap sementara seseorang yang akan diekstradisi, diserahkan, atau dilakukan tindakan hukum serupa.
Ayat (6) Cukup jelas.
Ayat (7)
Yang dimaksud dengan "aparat penegak hukum lain" antara lain aparat penegak hukum Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Kejaksaan Republik Indonesia.
Huruf a
Yang dimaksud dengan "bantuan teknis" yaitu bantuan dari Kepolisian Negara Republik Indonesia yang antara lain berupa pemeriksaan laboratorium forensik, pemeriksaan identifikasi, dan/atau pemeriksaan psikologi.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "bantuan taktis" adalah bantuan dari Kepolisian Negara Republik Indonesia yang antara lain berupa bantuan tenaga Penyidik, pengamanan, dan/atau peralatan.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "bantuan upaya paksa" adalah bantuan dari Kepolisian Negara Republik Indonesia antara lain berupa bantuan penangkapan, dan/atau penahanan.
Huruf d
Yang dimaksud dengan "bantuan konsultasi" adalah bantuan dari Kepolisian Negara Republik Indonesia dan/atau Kejaksaan Republik Indonesia yang antara lain berupa bantuan konsultasi Penyidikan, termasuk konsultasi dan gelar perkara dalam penyelesaian dan penyerahan berkas perkara kepada penuntut umum.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Pasal 62 Ayat (1)
Pencegahan dalam melaksanakan Penyidikan dilakukan antara lain terhadap tersangka dan/atau saksi yang berpotensi menjadi tersangka.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 63 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Contoh:
Wajib Pajak atau tersangka melakukan tindak pidana di bidang perpajakan "dengan sengaja menggunakan faktur pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya" sehingga mengakibatkan Wajib Pajak atau tersangka menyampaikan "Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai yang isinya tidak benar. Terhadap tindak pidana di bidang perpajakan tersebut diterapkan sanksi Pasal 39A huruf a Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Huruf b
Contoh:
Wajib Pajak atau tersangka melakukan tindak pidana di bidang perpajakan "dengan sengaja menerbitkan faktur pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya dan tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut". Terhadap tindak pidana di bidang perpajakan tersebut diterapkan sanksi Pasal 39A huruf a Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan "dan" Pasal 39 ayat (1) huruf i Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5) Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7) Cukup jelas.
Pasal 64 Cukup jelas.
Pasal 65 Cukup jelas.
Pasal 66 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4) Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan "pihak lain" adalah pihak lain selain instansi pemerintah, lembaga, dan asosiasi yang dapat memfasilitasi pelaksanaan hak dan/atau pemenuhan kewajiban perpajakan melalui sistem administrasi yang diselenggarakan oleh pihak lain namun terintegrasi dengan sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak.
Contoh: Pihak lain selain instansi pemerintah, lembaga, dan asosiasi yang dapat memfasilitasi pendaftaran Wajib Pajak secara daring, pembukuan secara daring, penerbitan bukti pemotongan atau pemungutan pajak secara daring, dan penyampaian Surat Pemberitahuan secara daring melalui sistem administrasi yang diselenggarakan oleh pihak lain namun terintegrasi dengan sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak. Ayat (6) Cukup jelas.
Pasal 67 Cukup jelas.
Pasal 68 Cukup jelas.
Pasal 69 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4) Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6) Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8) Yang dimaksud dengan "kriteria tertentu" antara lain batasan kapasitas pembangkit listrik.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Pasal 70 Cukup jelas.
Pasal 71 Cukup jelas.
Pasal 72 Cukup jelas.
Pasal 73 Cukup jelas.
Pasal 74 Cukup jelas.
Pasal 75 Cukup jelas.
|
Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.