Undang-Undang Nomor : 30 Tahun 2014

Kategori : Lainnya

Administrasi Pemerintahan


UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 30 TAHUN 2014

TENTANG

ADMINISTRASI PEMERINTAHAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


Menimbang :

  1. bahwa dalam rangka meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemerintahan, badan dan/atau pejabat pemerintahan dalam menggunakan wewenang harus mengacu pada asas-asas umum pemerintahan yang baik dan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
  2. bahwa untuk menyelesaikan permasalahan dalam penyelenggaraan pemerintahan, pengaturan mengenai administrasi pemerintahan diharapkan dapat menjadi solusi dalam memberikan pelindungan hukum, baik bagi warga masyarakat maupun pejabat pemerintahan;
  3. bahwa untuk mewujudkan pemerintahan yang baik, khususnya bagi pejabat pemerintahan, undang-undang tentang administrasi pemerintahan menjadi landasan hukum yang dibutuhkan guna mendasari keputusan dan/atau tindakan pejabat pemerintahan untuk memenuhi kebutuhan hukum masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan;
  4. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu membentuk Undang-Undang tentang Administrasi Pemerintahan;

Mengingat :

Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;


Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA


MEMUTUSKAN:

Menetapkan :

UNDANG-UNDANG TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN.


BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1


Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
  1. Administrasi Pemerintahan adalah tata laksana dalam pengambilan keputusan dan/atau tindakan oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan.
  2. Fungsi Pemerintahan adalah fungsi dalam melaksanakan Administrasi Pemerintahan yang meliputi fungsi pengaturan, pelayanan, pembangunan, pemberdayaan, dan pelindungan.
  3. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan adalah unsur yang melaksanakan Fungsi Pemerintahan, baik di lingkungan pemerintah maupun penyelenggara negara lainnya.
  4. Atasan Pejabat adalah atasan pejabat langsung yang mempunyai kedudukan dalam organisasi atau strata pemerintahan yang lebih tinggi.
  5. Wewenang adalah hak yang dimiliki oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan dalam penyelenggaraan pemerintahan.
  6. Kewenangan Pemerintahan yang selanjutnya disebut Kewenangan adalah kekuasaan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk bertindak dalam ranah hukum publik.
  7. Keputusan Administrasi Pemerintahan yang juga disebut Keputusan Tata Usaha Negara atau Keputusan Administrasi Negara yang selanjutnya disebut Keputusan adalah ketetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam penyelenggaraan pemerintahan.
  8. Tindakan Administrasi Pemerintahan yang selanjutnya disebut Tindakan adalah perbuatan Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk melakukan dan/atau tidak melakukan perbuatan konkret dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan.
  9. Diskresi adalah Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan.
  10. Bantuan Kedinasan adalah kerja sama antara Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan guna kelancaran pelayanan Administrasi Pemerintahan di suatu instansi pemerintahan yang membutuhkan.
  11. Keputusan Berbentuk Elektronis adalah Keputusan yang dibuat atau disampaikan dengan menggunakan atau memanfaatkan media elektronik.
  12. Legalisasi adalah pernyataan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan mengenai keabsahan suatu salinan surat atau dokumen Administrasi Pemerintahan yang dinyatakan sesuai dengan aslinya.
  13. Sengketa Kewenangan adalah klaim penggunaan Wewenang yang dilakukan oleh 2 (dua) Pejabat Pemerintahan atau lebih yang disebabkan oleh tumpang tindih atau tidak jelasnya Pejabat Pemerintahan yang berwenang menangani suatu urusan pemerintahan.
  14. Konflik Kepentingan adalah kondisi Pejabat Pemerintahan yang memiliki kepentingan pribadi untuk menguntungkan diri sendiri dan/atau orang lain dalam penggunaan Wewenang sehingga dapat mempengaruhi netralitas dan kualitas Keputusan dan/atau Tindakan yang dibuat dan/atau dilakukannya.
  15. Warga Masyarakat adalah seseorang atau badan hukum perdata yang terkait dengan Keputusan dan/atau Tindakan.
  16. Upaya Administratif adalah proses penyelesaian sengketa yang dilakukan dalam lingkungan Administrasi Pemerintahan sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan dan/atau Tindakan yang merugikan.
  17. Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik yang selanjutnya disingkat AUPB adalah prinsip yang digunakan sebagai acuan penggunaan Wewenang bagi Pejabat Pemerintahan dalam mengeluarkan Keputusan dan/atau Tindakan dalam penyelenggaraan pemerintahan.
  18. Pengadilan adalah Pengadilan Tata Usaha Negara.
  19. Izin adalah Keputusan Pejabat Pemerintahan yang berwenang sebagai wujud persetujuan atas permohonan Warga Masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  20. Konsesi adalah Keputusan Pejabat Pemerintahan yang berwenang sebagai wujud persetujuan dari kesepakatan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dengan selain Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam pengelolaan fasilitas umum dan/atau sumber daya alam dan pengelolaan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  21. Dispensasi adalah Keputusan Pejabat Pemerintahan yang berwenang sebagai wujud persetujuan atas permohonan Warga Masyarakat yang merupakan pengecualian terhadap suatu larangan atau perintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  22. Atribusi adalah pemberian Kewenangan kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau Undang-Undang.
  23. Delegasi adalah pelimpahan Kewenangan dari Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih tinggi kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih rendah dengan tanggung jawab dan tanggung gugat beralih sepenuhnya kepada penerima delegasi.
  24. Mandat adalah pelimpahan Kewenangan dari Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih tinggi kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih rendah dengan tanggung jawab dan tanggung gugat tetap berada pada pemberi mandat.
  25. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendayagunaan aparatur negara.


BAB II
MAKSUD DAN TUJUAN

Bagian Kesatu
Maksud

Pasal 2


Undang-Undang tentang Administrasi Pemerintahan dimaksudkan sebagai salah satu dasar hukum bagi Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan, Warga Masyarakat, dan pihak-pihak lain yang terkait dengan Administrasi Pemerintahan dalam upaya meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemerintahan.


Bagian Kedua
Tujuan

Pasal 3


Tujuan Undang-Undang tentang Administrasi Pemerintahan adalah:
  1. menciptakan tertib penyelenggaraan Administrasi Pemerintahan;
  2. menciptakan kepastian hukum;
  3. mencegah terjadinya penyalahgunaan Wewenang;
  4. menjamin akuntabilitas Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan;
  5. memberikan pelindungan hukum kepada Warga Masyarakat dan aparatur pemerintahan;
  6. melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan dan menerapkan AUPB; dan
  7. memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada Warga Masyarakat.


BAB III
RUANG LINGKUP DAN ASAS

Bagian Kesatu
Ruang Lingkup

Pasal 4


(1) Ruang lingkup pengaturan Administrasi Pemerintahan dalam Undang-Undang ini meliputi semua aktivitas:
  1. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang menyelenggarakan Fungsi Pemerintahan dalam lingkup lembaga eksekutif;
  2. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang menyelenggarakan Fungsi Pemerintahan dalam lingkup lembaga yudikatif;
  3. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang menyelenggarakan Fungsi Pemerintahan dalam lingkup lembaga legislatif; dan
  4. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan lainnya yang menyelenggarakan Fungsi Pemerintahan yang disebutkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan/atau undang-undang.
(2) Pengaturan Administrasi Pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup tentang hak dan kewajiban pejabat pemerintahan, kewenangan pemerintahan, diskresi, penyelenggaraan administrasi pemerintahan, prosedur administrasi pemerintahan, keputusan pemerintahan, upaya administratif, pembinaan dan pengembangan administrasi pemerintahan, dan sanksi administratif.


Bagian Kedua
Asas

Pasal 5


Penyelenggaraan Administrasi Pemerintahan berdasarkan:
  1. asas legalitas;
  2. asas pelindungan terhadap hak asasi manusia; dan
  3. AUPB.


BAB IV
HAK DAN KEWAJIBAN PEJABAT PEMERINTAHAN

Pasal 6


(1) Pejabat Pemerintahan memiliki hak untuk menggunakan Kewenangan dalam mengambil Keputusan dan/atau Tindakan.
(2) Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
  1. melaksanakan Kewenangan yang dimiliki berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan AUPB;
  2. menyelenggarakan aktivitas pemerintahan berdasarkan Kewenangan yang dimiliki;
  3. menetapkan Keputusan berbentuk tertulis atau elektronis dan/atau menetapkan Tindakan;
  4. menerbitkan atau tidak menerbitkan, mengubah, mengganti, mencabut, menunda, dan/atau membatalkan Keputusan dan/atau Tindakan;
  5. menggunakan Diskresi sesuai dengan tujuannya;
  6. mendelegasikan dan memberikan Mandat kepada Pejabat Pemerintahan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan;
  7. menunjuk pelaksana harian atau pelaksana tugas untuk melaksanakan tugas apabila pejabat definitif berhalangan;
  8. menerbitkan Izin, Dispensasi, dan/atau Konsesi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
  9. memperoleh perlindungan hukum dan jaminan keamanan dalam menjalankan tugasnya;
  10. memperoleh bantuan hukum dalam pelaksanaan tugasnya;
  11. menyelesaikan Sengketa Kewenangan di lingkungan atau wilayah kewenangannya;
  12. menyelesaikan Upaya Administratif yang diajukan masyarakat atas Keputusan dan/atau Tindakan yang dibuatnya; dan
  13. menjatuhkan sanksi administratif kepada bawahan yang melakukan pelanggaran sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.


Pasal 7


(1) Pejabat Pemerintahan berkewajiban untuk menyelenggarakan Administrasi Pemerintahan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, kebijakan pemerintahan, dan AUPB.
(2) Pejabat Pemerintahan memiliki kewajiban:
  1. membuat Keputusan dan/atau Tindakan sesuai dengan kewenangannya;
  2. mematuhi AUPB dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
  3. mematuhi persyaratan dan prosedur pembuatan Keputusan dan/atau Tindakan;
  4. mematuhi Undang-Undang ini dalam menggunakan Diskresi;
  5. memberikan Bantuan Kedinasan kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang meminta bantuan untuk melaksanakan penyelenggaraan pemerintahan tertentu;
  6. memberikan kesempatan kepada Warga Masyarakat untuk didengar pendapatnya sebelum membuat Keputusan dan/atau Tindakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  7. memberitahukan kepada Warga Masyarakat yang berkaitan dengan Keputusan dan/atau Tindakan yang menimbulkan kerugian paling lama 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak Keputusan dan/atau Tindakan ditetapkan dan/atau dilakukan;
  8. menyusun standar operasional prosedur pembuatan Keputusan dan/atau Tindakan;
  9. memeriksa dan meneliti dokumen Administrasi Pemerintahan, serta membuka akses dokumen Administrasi Pemerintahan kepada Warga Masyarakat, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang;
  10. menerbitkan Keputusan terhadap permohonan Warga Masyarakat, sesuai dengan hal-hal yang diputuskan dalam keberatan/banding;
  11. melaksanakan Keputusan dan/atau Tindakan yang sah dan Keputusan yang telah dinyatakan tidak sah atau dibatalkan oleh Pengadilan, pejabat yang bersangkutan, atau Atasan Pejabat; dan
  12. mematuhi putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.


BAB V
KEWENANGAN PEMERINTAHAN

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 8


(1) Setiap Keputusan dan/atau Tindakan harus ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang berwenang.
(2) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam menggunakan Wewenang wajib berdasarkan:
  1. peraturan perundang-undangan; dan
  2. AUPB.
(3) Pejabat Administrasi Pemerintahan dilarang menyalahgunakan Kewenangan dalam menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan.


Bagian Kedua
Peraturan Perundang-undangan

Pasal 9


(1) Setiap Keputusan dan/atau Tindakan wajib berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan AUPB.
(2) Peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
  1. peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar Kewenangan; dan
  2. peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar dalam menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan.
(3) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan wajib mencantumkan atau menunjukkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar Kewenangan dan dasar dalam menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan.
(4) Ketiadaan atau ketidakjelasan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, tidak menghalangi Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang berwenang untuk menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan sepanjang memberikan kemanfaatan umum dan sesuai dengan AUPB.


Bagian Ketiga
Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik

Pasal 10


(1) AUPB yang dimaksud dalam Undang-Undang ini meliputi asas:
  1. kepastian hukum;
  2. kemanfaatan;
  3. ketidakberpihakan;
  4. kecermatan;
  5. tidak menyalahgunakan kewenangan;
  6. keterbukaan;
  7. kepentingan umum; dan
  8. pelayanan yang baik.
(2) Asas-asas umum lainnya di luar AUPB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diterapkan sepanjang dijadikan dasar penilaian hakim yang tertuang dalam putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.


Bagian Keempat
Atribusi, Delegasi, dan Mandat

Paragraf 1
Umum

Pasal 11


Kewenangan diperoleh melalui Atribusi, Delegasi, dan/atau Mandat.


Paragraf 2
Atribusi


Pasal 12


(1) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan memperoleh Wewenang melalui Atribusi apabila:
  1. diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan/atau undang-undang;
  2. merupakan Wewenang baru atau sebelumnya tidak ada; dan
  3. Atribusi diberikan kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan.
(2) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memperoleh Wewenang melalui Atribusi, tanggung jawab Kewenangan berada pada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang bersangkutan.
(3) Kewenangan Atribusi tidak dapat didelegasikan, kecuali diatur di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan/atau undang-undang.


Paragraf 3
Delegasi

Pasal 13


(1) Pendelegasian Kewenangan ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan memperoleh Wewenang melalui Delegasi apabila:
  1. diberikan oleh Badan/Pejabat Pemerintahan kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan lainnya;
  2. ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan/atau Peraturan Daerah; dan
  3. merupakan Wewenang pelimpahan atau sebelumnya telah ada.
(3) Kewenangan yang didelegasikan kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak dapat didelegasikan lebih lanjut, kecuali ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan.
(4) Dalam hal ketentuan peraturan perundang-undangan menentukan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memperoleh Wewenang melalui Delegasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat mensubdelegasikan Tindakan kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan lain dengan ketentuan:
  1. dituangkan dalam bentuk peraturan sebelum Wewenang dilaksanakan;
  2. dilakukan dalam lingkungan pemerintahan itu sendiri; dan
  3. paling banyak diberikan kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan 1 (satu) tingkat di bawahnya.
(5) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memberikan Delegasi dapat menggunakan sendiri Wewenang yang telah diberikan melalui Delegasi, kecuali ditentukan lain dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
(6) Dalam hal pelaksanaan Wewenang berdasarkan Delegasi menimbulkan ketidakefektifan
penyelenggaraan pemerintahan, Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memberikan pendelegasian Kewenangan dapat menarik kembali Wewenang yang telah didelegasikan.
(7) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memperoleh Wewenang melalui Delegasi, tanggung jawab Kewenangan berada pada penerima Delegasi.


Paragraf 4
Mandat

Pasal 14


(1) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan memperoleh Mandat apabila:
  1. ditugaskan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan di atasnya; dan
  2. merupakan pelaksanaan tugas rutin.
(2) Pejabat yang melaksanakan tugas rutin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas:
  1. pelaksana harian yang melaksanakan tugas rutin dari pejabat definitif yang berhalangan sementara; dan
  2. pelaksana tugas yang melaksanakan tugas rutin dari pejabat definitif yang berhalangan tetap.
(3) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dapat memberikan Mandat kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan lain yang menjadi bawahannya, kecuali ditentukan lain dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang menerima Mandat harus menyebutkan atas nama Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memberikan Mandat.
(5) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memberikan Mandat dapat menggunakan sendiri Wewenang yang telah diberikan melalui Mandat, kecuali ditentukan lain dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
(6) Dalam hal pelaksanaan Wewenang berdasarkan Mandat menimbulkan ketidakefektifan penyelenggaraan pemerintahan, Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memberikan Mandat dapat menarik kembali Wewenang yang telah dimandatkan.
(7) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memperoleh Wewenang melalui Mandat tidak berwenang mengambil Keputusan dan/atau Tindakan yang bersifat strategis yang berdampak pada perubahan status hukum pada aspek organisasi, kepegawaian, dan alokasi anggaran.
(8) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memperoleh Wewenang melalui Mandat tanggung jawab Kewenangan tetap pada pemberi Mandat.

 

Bagian Kelima
Pembatasan Kewenangan

Pasal 15


(1) Wewenang Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dibatasi oleh:
  1. masa atau tenggang waktu Wewenang;
  2. wilayah atau daerah berlakunya Wewenang; dan
  3. cakupan bidang atau materi Wewenang.
(2) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang telah berakhir masa atau tenggang waktu Wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak dibenarkan mengambil Keputusan dan/atau Tindakan.


Bagian Keenam
Sengketa Kewenangan

Pasal 16


(1) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan mencegah terjadinya Sengketa Kewenangan dalam penggunaan Kewenangan.
(2) Dalam hal terjadi Sengketa Kewenangan di lingkungan pemerintahan, kewenangan penyelesaian Sengketa Kewenangan berada pada antaratasan Pejabat Pemerintahan yang bersengketa melalui koordinasi untuk menghasilkan kesepakatan, kecuali ditentukan lain dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Dalam hal penyelesaian Sengketa Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menghasilkan kesepakatan maka kesepakatan tersebut mengikat para pihak yang bersengketa sepanjang tidak merugikan keuangan negara, aset negara, dan/atau lingkungan hidup.
(4) Dalam hal penyelesaian Sengketa Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menghasilkan kesepakatan, penyelesaian Sengketa Kewenangan di lingkungan pemerintahan pada tingkat terakhir diputuskan oleh Presiden.
(5) Penyelesaian Sengketa Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang melibatkan lembaga negara diselesaikan oleh Mahkamah Konstitusi.
(6) Dalam hal Sengketa Kewenangan menimbulkan kerugian keuangan negara, aset negara, dan/atau lingkungan hidup, sengketa tersebut diselesaikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Bagian Ketujuh
Larangan Penyalahgunaan Wewenang

Pasal 17


(1) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dilarang menyalahgunakan Wewenang.
(2) Larangan penyalahgunaan Wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
  1. larangan melampaui Wewenang;
  2. larangan mencampuradukkan Wewenang; dan/atau
  3. larangan bertindak sewenang-wenang.


Pasal 18


(1) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dikategorikan melampaui Wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf a apabila Keputusan dan/atau Tindakan yang dilakukan:
  1. melampaui masa jabatan atau batas waktu berlakunya Wewenang;
  2. melampaui batas wilayah berlakunya Wewenang; dan/atau
  3. bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dikategorikan mencampuradukkan Wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf b apabila Keputusan dan/atau Tindakan yang dilakukan:
  1. di luar cakupan bidang atau materi Wewenang yang diberikan; dan/atau
  2. bertentangan dengan tujuan Wewenang yang diberikan.
(3) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dikategorikan bertindak sewenang-wenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf c apabila Keputusan dan/atau Tindakan yang dilakukan:
  1. tanpa dasar Kewenangan; dan/atau
  2. bertentangan dengan Putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

 

Pasal 19


(1) Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan dengan melampaui Wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf a dan Pasal 18 ayat (1) serta Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan secara sewenang-wenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf c dan Pasal 18 ayat (3) tidak sah apabila telah diuji dan ada Putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
(2) Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan dengan mencampuradukkan Wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf b dan Pasal 18 ayat (2) dapat dibatalkan apabila telah diuji dan ada Putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.


Pasal 20


(1) Pengawasan terhadap larangan penyalahgunaan Wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dan Pasal 18 dilakukan oleh aparat pengawasan intern pemerintah.
(2) Hasil pengawasan aparat pengawasan intern pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
  1. tidak terdapat kesalahan;
  2. terdapat kesalahan administratif; atau
  3. terdapat kesalahan administratif yang menimbulkan kerugian keuangan negara.
(3) Jika hasil pengawasan aparat intern pemerintah berupa terdapat kesalahan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, dilakukan tindak lanjut dalam bentuk penyempurnaan administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Jika hasil pengawasan aparat intern pemerintah berupa terdapat kesalahan administratif yang menimbulkan kerugian keuangan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, dilakukan pengembalian kerugian keuangan negara paling lama 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak diputuskan dan diterbitkannya hasil pengawasan.
(5) Pengembalian kerugian negara sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dibebankan kepada Badan Pemerintahan, apabila kesalahan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c terjadi bukan karena adanya unsur penyalahgunaan Wewenang.
(6) Pengembalian kerugian negara sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dibebankan kepada Pejabat Pemerintahan, apabila kesalahan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c terjadi karena adanya unsur penyalahgunaan Wewenang.


Pasal 21


(1) Pengadilan berwenang menerima, memeriksa, dan memutuskan ada atau tidak ada unsur penyalahgunaan Wewenang yang dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan.
(2) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk menilai ada atau tidak ada unsur penyalahgunaan Wewenang dalam Keputusan dan/atau Tindakan.
(3) Pengadilan wajib memutus permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 21 (dua puluh satu) hari kerja sejak permohonan diajukan.
(4) Terhadap putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diajukan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.
(5) Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara wajib memutus permohonan banding sebagaimana dimaksud pada ayat (4) paling lama 21 (dua puluh satu) hari kerja sejak permohonan banding diajukan.
(6) Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (5) bersifat final dan mengikat.


BAB VI
DISKRESI

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 22


(1) Diskresi hanya dapat dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan yang berwenang.
(2) Setiap penggunaan Diskresi Pejabat Pemerintahan bertujuan untuk:
  1. melancarkan penyelenggaraan pemerintahan;
  2. mengisi kekosongan hukum;
  3. memberikan kepastian hukum; dan
  4. mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum.


Bagian Kedua
Lingkup Diskresi

Pasal 23


Diskresi Pejabat Pemerintahan meliputi:
  1. pengambilan Keputusan dan/atau Tindakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang memberikan suatu pilihan Keputusan dan/atau Tindakan;
  2. pengambilan Keputusan dan/atau Tindakan karena peraturan perundang-undangan tidak mengatur;
  3. pengambilan Keputusan dan/atau Tindakan karena peraturan perundang-undangan tidak lengkap atau tidak jelas; dan
  4. pengambilan Keputusan dan/atau Tindakan karena adanya stagnasi pemerintahan guna kepentingan yang lebih luas.

Bagian Ketiga
Persyaratan Diskresi

Pasal 24

Pejabat Pemerintahan yang menggunakan Diskresi harus memenuhi syarat:
  1. sesuai dengan tujuan Diskresi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2);
  2. tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
  3. sesuai dengan AUPB;
  4. berdasarkan alasan-alasan yang objektif;
  5. tidak menimbulkan Konflik Kepentingan; dan
  6. dilakukan dengan iktikad baik.


Pasal 25


(1) Penggunaan Diskresi yang berpotensi mengubah alokasi anggaran wajib memperoleh persetujuan dari Atasan Pejabat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 
(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan apabila penggunaan Diskresi berdasarkan ketentuan Pasal 23 huruf a, huruf b, dan huruf c serta menimbulkan akibat hukum yang berpotensi membebani keuangan negara.
(3) Dalam hal penggunaan Diskresi menimbulkan keresahan masyarakat, keadaan darurat, mendesak dan/atau terjadi bencana alam, Pejabat Pemerintahan wajib memberitahukan kepada Atasan Pejabat sebelum penggunaan Diskresi dan melaporkan kepada Atasan Pejabat setelah penggunaan Diskresi.
(4) Pemberitahuan sebelum penggunaan Diskresi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan apabila penggunaan Diskresi berdasarkan ketentuan dalam Pasal 23 huruf d yang berpotensi menimbulkan keresahan masyarakat.
(5) Pelaporan setelah penggunaan Diskresi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan apabila penggunaan Diskresi berdasarkan ketentuan dalam Pasal 23 huruf d yang terjadi dalam keadaan darurat, keadaan mendesak, dan/atau terjadi bencana alam.


Bagian Keempat
Prosedur Penggunaan Diskresi

Pasal 26


(1) Pejabat yang menggunakan Diskresi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) dan ayat (2) wajib menguraikan maksud, tujuan, substansi, serta dampak administrasi dan keuangan.
(2) Pejabat yang menggunakan Diskresi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyampaikan permohonan persetujuan secara tertulis kepada Atasan Pejabat.
(3) Dalam waktu 5 (lima) hari kerja setelah berkas permohonan diterima, Atasan Pejabat menetapkan persetujuan, petunjuk perbaikan, atau penolakan.
(4) Apabila Atasan Pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) melakukan penolakan, Atasan Pejabat tersebut harus memberikan alasan penolakan secara tertulis.


Pasal 27


(1) Pejabat yang menggunakan Diskresi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (3) dan ayat (4) wajib menguraikan maksud, tujuan, substansi, dan dampak administrasi yang berpotensi mengubah pembebanan keuangan negara.
(2) Pejabat yang menggunakan Diskresi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyampaikan pemberitahuan secara lisan atau tertulis kepada Atasan Pejabat.
(3) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan paling lama 5 (lima) hari kerja sebelum penggunaan Diskresi.


Pasal 28


(1) Pejabat yang menggunakan Diskresi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (3) dan ayat (5) wajib menguraikan maksud, tujuan, substansi, dan dampak yang ditimbulkan.
(2) Pejabat yang menggunakan Diskresi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyampaikan laporan secara tertulis kepada Atasan Pejabat setelah penggunaan Diskresi.
(3) Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak penggunaan Diskresi.


Pasal 29


Pejabat yang menggunakan Diskresi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, Pasal 27, dan Pasal 28 dikecualikan dari ketentuan memberitahukan kepada Warga Masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g.

Bagian Kelima
Akibat Hukum Diskresi

Pasal 30


(1) Penggunaan Diskresi dikategorikan melampaui Wewenang apabila:
  1. bertindak melampaui batas waktu berlakunya Wewenang yang diberikan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan;
  2. bertindak melampaui batas wilayah berlakunya Wewenang yang diberikan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan; dan/atau
  3. tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 26, Pasal 27, dan Pasal 2B.
(2) Akibat hukum dari penggunaan Diskresi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi tidak sah.


Pasal 31


(1) Penggunaan Diskresi dikategorikan mencampuradukkan Wewenang apabila:
  1. menggunakan Diskresi tidak sesuai dengan tujuan Wewenang yang diberikan;
  2. tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 26, Pasal 27, dan Pasal 28; dan/atau
  3. bertentangan dengan AUPB.
(2) Akibat hukum dari penggunaan Diskresi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibatalkan.


Pasal 32


(1) Penggunaan Diskresi dikategorikan sebagai tindakan sewenang-wenang apabila dikeluarkan oleh pejabat yang tidak berwenang.
(2) Akibat hukum dari penggunaan Diskresi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi tidak sah.


BAB VII
PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI PEMERINTAHAN

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 33


(1) Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang berwenang bersifat mengikat dalam penyelenggaraan pemerintahan.
(2) Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang berwenang tetap berlaku hingga berakhir atau dicabutnya Keputusan atau dihentikannya Tindakan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang berwenang.
(3) Pencabutan Keputusan atau penghentian Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dilakukan oleh:
  1. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang mengeluarkan Keputusan dan/atau Tindakan; atau
  2. Atasan Badan dan/atau Atasan Pejabat yang mengeluarkan Keputusan dan/atau Tindakan apabila pada tahap penyelesaian Upaya Administratif.


Bagian Kedua
Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan

Pasal 34


(1) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang berwenang menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan terdiri atas:
  1. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam wilayah hukum tempat penyelenggaran pemerintahan terjadi; atau
  2. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam wilayah hukum tempat seorang individu atau sebuah organisasi berbadan hukum melakukan aktivitasnya.
(2) Apabila Pejabat Pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berhalangan menjalankan tugasnya, maka Atasan Pejabat yang bersangkutan dapat menunjuk Pejabat Pemerintahan yang memenuhi persyaratan untuk bertindak sebagai pelaksana harian atau pelaksana tugas.
(3) Pelaksana harian atau pelaksana tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melaksanakan tugas serta menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan rutin yang menjadi Wewenang jabatannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Penyelenggaraan pemerintahan yang melibatkan Kewenangan lintas Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dilaksanakan melalui kerja sama antar-Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang terlibat, kecuali ditentukan lain dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.


Bagian Ketiga
Bantuan Kedinasan

Pasal 35


(1) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dapat memberikan Bantuan Kedinasan kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang meminta dengan syarat:
  1. Keputusan dan/atau Tindakan tidak dapat dilaksanakan sendiri oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang meminta bantuan;
  2. penyelenggaraan pemerintahan tidak dapat dilaksanakan sendiri oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan karena kurangnya tenaga dan fasilitas yang dimiliki oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan;
  3. dalam hal melaksanakan penyelenggaraan pemerintahan, Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak memiliki pengetahuan dan kemampuan untuk melaksanakannya sendiri;
  4. apabila untuk menetapkan Keputusan dan melakukan kegiatan pelayanan publik, Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan membutuhkan surat keterangan dan berbagai dokumen yang diperlukan dari Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan lainnya; dan/atau
  5. jika penyelenggaraan pemerintahan hanya dapat dilaksanakan dengan biaya, peralatan, dan fasilitas yang besar dan tidak mampu ditanggung sendiri oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan tersebut.
(2) Dalam hal pelaksanaan Bantuan Kedinasan menimbulkan biaya, maka beban yang ditimbulkan ditetapkan bersama secara wajar oleh penerima dan pemberi bantuan dan tidak menimbulkan pembiayaan ganda.


Pasal 36


(1) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dapat menolak memberikan Bantuan Kedinasan apabila:
  1. mempengaruhi kinerja Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan pemberi bantuan;
  2. surat keterangan dan dokumen yang diperlukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan bersifat rahasia; atau
  3. ketentuan peraturan perundang-undangan tidak memperbolehkan pemberian bantuan.
(2) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang menolak untuk memberikan Bantuan Kedinasan kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memberikan alasan penolakan secara tertulis.
(3) Jika suatu Bantuan Kedinasan yang diperlukan dalam keadaan darurat, maka Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan wajib memberikan Bantuan Kedinasan.


Pasal 37


Tanggung jawab terhadap Keputusan dan/atau Tindakan dalam Bantuan Kedinasan dibebankan kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang membutuhkan Bantuan Kedinasan, kecuali ditentukan lain berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan/atau kesepakatan tertulis kedua belah pihak.


Bagian Keempat
Keputusan Berbentuk Elektronis

Pasal 38


(1) Pejabat dan/atau Badan Pemerintahan dapat membuat Keputusan Berbentuk Elektronis.
(2) Keputusan Berbentuk Elektronis wajib dibuat atau disampaikan apabila Keputusan tidak dibuat atau tidak disampaikan secara tertulis.
(3) Keputusan Berbentuk Elektronis berkekuatan hukum sama dengan Keputusan yang tertulis dan berlaku sejak diterimanya Keputusan tersebut oleh pihak yang bersangkutan.
(4) Jika Keputusan dalam bentuk tertulis tidak disampaikan, maka yang berlaku adalah Keputusan dalam bentuk elektronis.
(5) Dalam hal terdapat perbedaan antara Keputusan dalam bentuk elektronis dan Keputusan dalam bentuk tertulis, yang berlaku adalah Keputusan dalam bentuk tertulis.
(6) Keputusan yang mengakibatkan pembebanan keuangan negara wajib dibuat dalam bentuk tertulis.


Bagian Kelima
Izin, Dispensasi, dan Konsesi

Pasal 39


(1) Pejabat Pemerintahan yang berwenang dapat menerbitkan Izin, Dispensasi, dan/atau Konsesi dengan berpedoman pada AUPB dan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Keputusan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan berbentuk Izin apabila:
  1. diterbitkan persetujuan sebelum kegiatan dilaksanakan; dan
  2. kegiatan yang akan dilaksanakan merupakan kegiatan yang memerlukan perhatian khusus dan/atau memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Keputusan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan berbentuk Dispensasi apabila:
  1. diterbitkan persetujuan sebelum kegiatan dilaksanakan; dan
  2. kegiatan yang akan dilaksanakan merupakan kegiatan pengecualian terhadap suatu larangan atau perintah.
(4) Keputusan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan berbentuk Konsesi apabila:
  1. diterbitkan persetujuan sebelum kegiatan dilaksanakan;
  2. persetujuan diperoleh berdasarkan kesepakatan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dengan pihak Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan/atau swasta; dan
  3. kegiatan yang akan dilaksanakan merupakan kegiatan yang memerlukan perhatian khusus.
(5) Izin, Dispensasi, atau Konsesi yang diajukan oleh pemohon wajib diberikan persetujuan atau penolakan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak diterimanya permohonan, kecuali ditentukan lain dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
(6) Izin, Dispensasi, atau Konsesi tidak boleh menyebabkan kerugian negara


BAB VIII
PROSEDUR ADMINISTRASI PEMERINTAHAN

Bagian Kesatu
Para Pihak

Pasal 40


Pihak-pihak dalam prosedur Administrasi Pemerintahan terdiri atas:
  1. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan; dan
  2. Warga Masyarakat sebagai pemohon atau pihak yang terkait.


Bagian Kedua
Pemberian Kuasa

Pasal 41


(1) Warga Masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 huruf b dapat memberikan kuasa tertulis kepada 1 (satu) penerima kuasa untuk mewakili dalam prosedur Administrasi Pemerintahan, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang.
(2) Jika Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan menerima lebih dari satu surat kuasa untuk satu prosedur Administrasi Pemerintahan yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan mengembalikan kepada pemberi kuasa untuk menentukan satu penerima kuasa yang berwenang mewakili kepentingan pemberi kuasa dalam prosedur Administrasi Pemerintahan.
(3) Penerima kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dapat menunjukkan surat pemberian kuasa secara tertulis yang sah kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam prosedur Administrasi Pemerintahan.
(4) Surat kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya memuat:
  1. judul surat kuasa;
  2. identitas pemberi kuasa;
  3. identitas penerima kuasa;
  4. pernyataan pemberian kuasa khusus secara jelas dan tegas;
  5. maksud pemberian kuasa;
  6. tempat dan tanggal pemberian kuasa;
  7. tanda tangan pemberi dan penerima kuasa; dan
  8. materai sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
(5) Pencabutan surat kuasa kepada penerima kuasa hanya dapat dilakukan secara tertulis dan berlaku pada saat surat tersebut diterima oleh Badan atau Pejabat Pemerintahan yang bersangkutan.
(6) Dalam hal Warga Masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 huruf b tidak dapat bertindak sendiri dan tidak memiliki wakil yang dapat bertindak atas namanya, maka Badan atau Pejabat Pemerintahan dapat menunjuk wakil dan/atau perwakilan pihak yang terlibat dalam prosedur Administrasi Pemerintahan.


Bagian Ketiga
Konflik Kepentingan

Pasal 42


(1) Pejabat Pemerintahan yang berpotensi memiliki Konflik Kepentingan dilarang menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan.
(2) Dalam hal Pejabat Pemerintahan memiliki Konflik Kepentingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka Keputusan dan/atau Tindakan ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Atasan Pejabat atau pejabat lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Atasan Pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:
  1. Presiden bagi menteri/pimpinan lembaga dan kepala daerah;
  2. menteri/pimpinan lembaga bagi pejabat di lingkungannya;
  3. kepala daerah bagi pejabat daerah; dan
  4. atasan langsung dari Pejabat Pemerintahan.


Pasal 43


(1) Konflik Kepentingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 terjadi apabila dalam menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan dilatarbelakangi:
  1. adanya kepentingan pribadi dan/atau bisnis;
  2. hubungan dengan kerabat dan keluarga;
  3. hubungan dengan wakil pihak yang terlibat;
  4. hubungan dengan pihak yang bekerja dan mendapat gaji dari pihak yang terlibat;
  5. hubungan dengan pihak yang memberikan rekomendasi terhadap pihak yang terlibat; dan/atau
  6. hubungan dengan pihak-pihak lain yang dilarang oleh ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Dalam hal terdapat Konflik Kepentingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka Pejabat Pemerintahan yang bersangkutan wajib memberitahukan kepada atasannya.


Pasal 44


(1) Warga Masyarakat berhak melaporkan atau memberikan keterangan adanya dugaan Konflik Kepentingan Pejabat Pemerintahan dalam menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan.
(2) Laporan atau keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Atasan Pejabat yang menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan dengan mencantumkan identitas jelas pelapor dan melampirkan bukti-bukti terkait.
(3) Atasan Pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib memeriksa, meneliti, dan menetapkan Keputusan terhadap laporan atau keterangan Warga Masyarakat paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak diterimanya laporan atau keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Dalam hal Atasan Pejabat menilai terdapat Konflik Kepentingan, maka Atasan Pejabat wajib menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan.
(5) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) wajib dilaporkan kepada atasan Atasan Pejabat dan disampaikan kepada pejabat yang menetapkan Keputusan paling lama 5 (lima) hari kerja.


Pasal 45


(1) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 dan Pasal 43 menjamin dan bertanggung jawab terhadap setiap Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukannya.
(2) Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan karena adanya Konflik Kepentingan dapat dibatalkan.


Bagian Keempat
Sosialisasi bagi Pihak yang Berkepentingan

Pasal 46


(1) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan memberikan sosialisasi kepada pihak-pihak yang terlibat mengenai dasar hukum, persyaratan, dokumen, dan fakta yang terkait sebelum menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan yang dapat menimbulkan pembebanan bagi Warga Masyarakat.
(2) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melakukan klarifikasi dengan pihak yang terkait secara langsung.


Pasal 47


Dalam hal Keputusan menimbulkan pembebanan bagi Warga Masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1), maka Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan wajib memberitahukan kepada pihak-pihak yang bersangkutan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sebelum menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan, kecuali diatur lain dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 48


Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dan Pasal 47 tidak berlaku apabila:
  1. Keputusan yang bersifat mendesak dan untuk melindungi kepentingan umum dengan mempertimbangkan rasa kemanusiaan dan keadilan;
  2. Keputusan yang tidak mengubah beban yang harus dipikul oleh Warga Masyarakat yang bersangkutan; dan/atau
  3. Keputusan yang menyangkut penegakan hukum.


Bagian Kelima
Standar Operasional Prosedur

Pasal 49


(1) Pejabat Pemerintahan sesuai dengan kewenangannya wajib menyusun dan melaksanakan pedoman umum standar operasional prosedur pembuatan Keputusan.
(2) Standar operasional prosedur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertuang dalam pedoman umum standar operasional prosedur pembuatan Keputusan pada setiap unit kerja pemerintahan.
(3) Pedoman umum standar operasional prosedur pembuatan Keputusan wajib diumumkan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan kepada publik melalui media cetak, media elektronik, dan media lainnya.


Bagian Keenam
Pemeriksaan Dokumen Administrasi Pemerintahan

Pasal 50


(1) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan, sebelum menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan, harus memeriksa dokumen dan kelengkapan Administrasi Pemerintahan dari pemohon.
(2) Dalam melaksanakan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan menentukan sifat, ruang lingkup pemeriksaan, pihak yang berkepentingan, dan dokumen yang dibutuhkan untuk mendukung penetapan dan/atau pelaksanaan Keputusan dan/atau Tindakan.
(3) Dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja sejak permohonan Keputusan dan/atau Tindakan diajukan dan telah memenuhi persyaratan, Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan wajib memberitahukan kepada pemohon, permohonan diterima.
(4) Dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja sejak permohonan Keputusan dan/atau Tindakan diajukan dan tidak memenuhi persyaratan, Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan wajib memberitahukan kepada pemohon, permohonan ditolak.


Bagian Ketujuh
Penyebarluasan Dokumen Administrasi Pemerintahan

Pasal 51


(1) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan wajib membuka akses dokumen Administrasi Pemerintahan kepada setiap Warga Masyarakat untuk mendapatkan informasi, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang.
(2) Hak mengakses dokumen Administrasi Pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku, jika dokumen Administrasi Pemerintahan termasuk kategori rahasia negara dan/atau melanggar kerahasiaan pihak ketiga.
(3) Warga Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki kewajiban untuk tidak melakukan penyimpangan pemanfaatan informasi yang diperoleh.


BAB IX
KEPUTUSAN PEMERINTAHAN

Bagian Kesatu
Syarat Sahnya Keputusan

Pasal 52


(1) Syarat sahnya Keputusan meliputi:
  1. ditetapkan oleh pejabat yang berwenang;
  2. dibuat sesuai prosedur; dan
  3. substansi yang sesuai dengan objek Keputusan.
(2) Sahnya Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan dan AUPB.


Pasal 53


(1) Batas waktu kewajiban untuk menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Jika ketentuan peraturan perundang-undangan tidak menentukan batas waktu kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan wajib menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan dalam waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah permohonan diterima secara lengkap oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan.
(3) Apabila dalam batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan, maka permohonan tersebut dianggap dikabulkan secara hukum.
(4) Pemohon mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk memperoleh putusan penerimaan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(5) Pengadilan wajib memutuskan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) paling lama 21 (dua puluh satu) hari kerja sejak permohonan diajukan.
(6) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan wajib menetapkan Keputusan untuk melaksanakan putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) paling lama 5 (lima) hari kerja sejak putusan Pengadilan ditetapkan.


Pasal 54


(1) Keputusan meliputi Keputusan yang bersifat:
  1. konstitutif; atau
  2. deklaratif.
(2) Keputusan yang bersifat deklaratif menjadi tanggung jawab Pejabat Pemerintahan yang menetapkan Keputusan yang bersifat konstitutif.


Pasal 55


(1) Setiap Keputusan harus diberi alasan pertimbangan yuridis, sosiologis, dan filosofis yang menjadi dasar penetapan Keputusan.
(2) Pemberian alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diperlukan jika Keputusan tersebut diikuti dengan penjelasan terperinci.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berlaku juga dalam hal pemberian alasan terhadap keputusan Diskresi.


Pasal 56


(1) Keputusan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) huruf a merupakan Keputusan yang tidak sah.
(2) Keputusan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) huruf b dan huruf c merupakan Keputusan yang batal atau dapat dibatalkan.


Bagian Kedua
Berlaku dan Mengikatnya Keputusan

Paragraf 1
Berlakunya Keputusan

Pasal 57


Keputusan berlaku pada tanggal ditetapkan, kecuali ditentukan lain dalam Keputusan atau ketentuan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar Keputusan.


Pasal 58


(1) Setiap Keputusan harus mencantumkan batas waktu mulai dan berakhirnya Keputusan, kecuali yang ditentukan lain dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Batas waktu berlakunya Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimuat dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar Keputusan dan/atau dalam Keputusan itu sendiri.
(3) Dalam hal batas waktu keberlakuan suatu Keputusan jatuh pada hari Minggu atau hari libur nasional, batas waktu tersebut jatuh pada hari kerja berikutnya.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak berlaku jika kepada pihak yang berkepentingan telah ditetapkan batas waktu tertentu dan tidak dapat diundurkan.
(5) Batas waktu yang telah ditetapkan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam suatu Keputusan dapat diperpanjang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(6) Keputusan tidak dapat berlaku surut, kecuali untuk menghindari kerugian yang lebih besar dan/atau terabaikannya hak Warga Masyarakat.


Pasal 59


(1) Keputusan yang memberikan hak atau keuntungan bagi Warga Masyarakat dapat memuat syarat-syarat yang tidak bertentangan dengan hukum.
(2) Syarat-syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa ketentuan mulai dan berakhirnya:
  1. Keputusan dengan batas waktu;
  2. Keputusan atas kejadian pada masa yang akan datang;
  3. Keputusan dengan penarikan;
  4. Keputusan dengan tugas; dan/atau
  5. Keputusan yang bersifat susulan akibat adanya perubahan fakta dan kondisi hukum.


Paragraf 2
Mengikatnya Keputusan

Pasal 60


(1) Keputusan memiliki daya mengikat sejak diumumkan atau diterimanya Keputusan oleh pihak yang tersebut dalam Keputusan.
(2) Dalam hal terdapat perbedaan waktu pengumuman oleh penerima Keputusan, daya mengikat Keputusan sejak diterimanya.
(3) Dalam hal terdapat perbedaan bukti waktu penerimaan antara pengirim dan penerima Keputusan, mengikatnya Keputusan didasarkan pada bukti penerimaan yang dimiliki oleh penerima Keputusan, kecuali dapat dibuktikan lain oleh pengirim.


Bagian Ketiga
Penyampaian Keputusan

Pasal 61


(1) Setiap Keputusan wajib disampaikan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan kepada pihak-pihak yang disebutkan dalam Keputusan tersebut.
(2) Keputusan dapat disampaikan kepada pihak yang terlibat lainnya.
(3) Pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat memberikan kuasa secara tertulis kepada pihak lain untuk menerima Keputusan.


Pasal 62


(1) Keputusan dapat disampaikan melalui pos tercatat, kurir, atau sarana elektronis.
(2) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus segera disampaikan kepada yang bersangkutan atau paling lama 5 (lima) hari kerja sejak ditetapkan.
(3) Keputusan yang ditujukan bagi orang banyak atau bersifat massal disampaikan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak ditetapkan.
(4) Keputusan yang diumumkan melalui media cetak, media elektronik, dan/atau media lainnya mulai berlaku paling lama 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak ditetapkan.
(5) Dalam hal terjadi permasalahan dalam pengiriman sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang bersangkutan harus memberikan bukti tanggal pengiriman dan penerimaan.


Bagian Keempat
Perubahan, Pencabutan, Penundaan, dan Pembatalan Keputusan

Paragraf 1
Perubahan

Pasal 63


(1) Keputusan dapat dilakukan perubahan apabila terdapat:
  1. kesalahan konsideran;
  2. kesalahan redaksional;
  3. perubahan dasar pembuatan Keputusan; dan/atau
  4. fakta baru.
(2) Perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan mencantumkan alasan objektif dan memperhatikan AUPB.
(3) Keputusan perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat ditetapkan oleh Pejabat Pemerintahan yang menetapkan surat keputusan dan berlaku sejak ditetapkannya Keputusan perubahan tersebut.
(4) Keputusan perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 5 (lima) hari kerja sejak ditemukannya alasan perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(5) Keputusan perubahan tidak boleh merugikan Warga Masyarakat yang ditunjuk dalam Keputusan.


Paragraf 2
Pencabutan

Pasal 64


(1) Keputusan hanya dapat dilakukan pencabutan apabila terdapat cacat:
  1. wewenang;
  2. prosedur; dan/atau
  3. substansi.
(2) Dalam hal Keputusan dicabut, harus diterbitkan Keputusan baru dengan mencantumkan dasar hukum pencabutan dan memperhatikan AUPB.
(3) Keputusan pencabutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan:
  1. oleh Pejabat Pemerintahan yang menetapkan Keputusan;
  2. oleh Atasan Pejabat yang menetapkan Keputusan; atau
  3. atas perintah Pengadilan.
(4) Keputusan pencabutan yang dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan dan Atasan Pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan huruf b dilakukan paling lama 5 (lima) hari kerja sejak ditemukannya dasar pencabutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan berlaku sejak tanggal ditetapkan keputusan pencabutan.
(5) Keputusan pencabutan yang dilakukan atas perintah Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c dilakukan paling lama 21 (dua puluh satu) hari kerja sejak perintah Pengadilan tersebut, dan berlaku sejak tanggal ditetapkan keputusan pencabutan.


Paragraf 3
Penundaan

Pasal 65


(1) Keputusan yang sudah ditetapkan tidak dapat ditunda pelaksanaannya, kecuali jika berpotensi menimbulkan:
  1. kerugian negara;
  2. kerusakan lingkungan hidup; dan/atau
  3. konflik sosial.
(2) Penundaan Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh:
  1. Pejabat Pemerintahan yang menetapkan Keputusan; dan/atau
  2. Atasan Pejabat.
(3) Penundaan Keputusan dapat dilakukan berdasarkan:
  1. Permintaan Pejabat Pemerintahan terkait; atau
  2. Putusan Pengadilan.


Paragraf 4
Pembatalan

Pasal 66


(1) Keputusan hanya dapat dibatalkan apabila terdapat cacat:
  1. wewenang;
  2. prosedur; dan/atau
  3. substansi.
(2) Dalam hal Keputusan dibatalkan, harus ditetapkan Keputusan yang baru dengan mencantumkan dasar hukum pembatalan dan memperhatikan AUPB.
(3) Keputusan pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh:
  1. Pejabat Pemerintahan yang menetapkan Keputusan;
  2. Atasan Pejabat yang menetapkan Keputusan; atau
  3. atas putusan Pengadilan.
(4) Keputusan pembatalan yang dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan dan Atasan Pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan huruf b dilakukan paling lama 5 (lima) hari kerja sejak ditemukannya alasan pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan berlaku sejak tanggal ditetapkan Keputusan pembatalan.
(5) Keputusan pencabutan yang dilakukan atas perintah Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c dilakukan paling lama 21 (dua puluh satu) hari kerja sejak perintah Pengadilan tersebut, dan berlaku sejak tanggal ditetapkan keputusan pencabutan.
(6) Pembatalan Keputusan yang menyangkut kepentingan umum wajib diumumkan melalui media massa.
 

Pasal 67


(1) Dalam hal Keputusan dibatalkan, Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan menarik kembali semua dokumen, arsip, dan/atau barang yang menjadi akibat hukum dari Keputusan atau menjadi dasar penetapan Keputusan.
(2) Pemilik dokumen, arsip, dan/atau barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mengembalikannya kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang menetapkan pembatalan Keputusan.


Pasal 68


(1) Keputusan berakhir apabila:
  1. habis masa berlakunya;
  2. dicabut oleh Pejabat Pemerintahan yang berwenang;
  3. dibatalkan oleh pejabat yang berwenang atau berdasarkan putusan Pengadilan; atau
  4. diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Dalam hal berakhirnya Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, Keputusan dengan sendirinya menjadi berakhir dan tidak mempunyai kekuatan hukum.
(3) Dalam hal berakhirnya Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, Keputusan yang dicabut tidak mempunyai kekuatan hukum dan Pejabat Pemerintahan menetapkan Keputusan pencabutan.
(4) Dalam hal berakhirnya Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, Pejabat Pemerintahan harus menetapkan Keputusan baru untuk menindaklanjuti keputusan pembatalan.
(5) Dalam hal berakhirnya Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, Keputusan tersebut berakhir dengan mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 69


Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dapat mengubah Keputusan atas permohonan Warga Masyarakat terkait, baik terhadap Keputusan baru maupun Keputusan yang pernah diubah, dicabut, ditunda atau dibatalkan dengan alasan sebagaimana diatur dalam Pasal 63 ayat (1), Pasal 64 ayat (1), Pasal 65 ayat (1), dan Pasal 66 ayat (1).


Bagian Kelima
Akibat Hukum Keputusan dan/atau Tindakan

Paragraf 1
Akibat Hukum Keputusan dan/atau Tindakan yang Tidak Sah


Pasal 70


(1) Keputusan dan/atau Tindakan tidak sah apabila:
  1. dibuat oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang tidak berwenang;
  2. dibuat oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang melampaui kewenangannya; dan/atau
  3. dibuat oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang bertindak sewenang-wenang.
(2) Akibat hukum Keputusan dan/atau Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi:
  1. tidak mengikat sejak Keputusan dan/atau Tindakan tersebut ditetapkan; dan
  2. segala akibat hukum yang ditimbulkan dianggap tidak pernah ada.
(3) Dalam hal Keputusan yang mengakibatkan pembayaran dari uang negara dinyatakan tidak sah, Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan wajib mengembalikan uang ke kas negara.


Paragraf 2
Akibat Hukum Keputusan dan/atau Tindakan yang Dapat Dibatalkan

Pasal 71


(1) Keputusan dan/atau Tindakan dapat dibatalkan apabila:
  1. terdapat kesalahan prosedur; atau
  2. terdapat kesalahan substansi.
(2) Akibat hukum Keputusan dan/atau Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
  1. tidak mengikat sejak saat dibatalkan atau tetap sah sampai adanya pembatalan; dan
  2. berakhir setelah ada pembatalan.
(3) Keputusan pembatalan dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan dan/atau Atasan Pejabat dengan menetapkan dan/atau melakukan Keputusan baru dan/atau Tindakan Pejabat Pemerintahan atau berdasarkan perintah Pengadilan.
(4) Penetapan Keputusan baru sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menjadi kewajiban Pejabat Pemerintahan.
(5) Kerugian yang timbul akibat Keputusan dan/atau Tindakan yang dibatalkan menjadi tanggung jawab Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan.


Pasal 72


(1) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan wajib melaksanakan Keputusan dan/atau Tindakan yang sah dan Keputusan yang telah dinyatakan tidak sah atau dibatalkan oleh Pengadilan atau pejabat yang bersangkutan atau atasan yang bersangkutan.
(2) Ketentuan mengenai tata cara pengembalian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (3) dan tanggung jawab Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan akibat kerugian yang ditimbulkan dari Keputusan dan/atau Tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (5) diatur dalam Peraturan Pemerintah.


Bagian Keenam
Legalisasi Dokumen

Pasal 73


(1) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang menetapkan Keputusan berwenang untuk melegalisasi salinan/fotokopi dokumen Keputusan yang ditetapkan.
(2) Legalisasi salinan/fotokopi dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan lain yang diberikan wewenang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan atau pengabsahan oleh notaris.
(3) Legalisasi Keputusan tidak dapat dilakukan jika terdapat keraguan terhadap keaslian isinya.  
(4) Tanda Legalisasi atau pengesahan harus memuat:
  1. pernyataan kesesuaian antara dokumen asli dan salinan/fotokopinya; dan
  2. tanggal, tanda tangan pejabat yang mengesahkan, dan cap stempel institusi atau secara notarial.
(5) Legalisasi salinan/fotokopi dokumen yang dilakukan oleh Badan atau Pejabat Pemerintahan tidak dipungut biaya.


Pasal 74


(1) Keputusan wajib menggunakan bahasa Indonesia.
(2) Keputusan yang akan dilegalisasi yang menggunakan bahasa asing atau bahasa daerah terlebih dahulu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
(3) Penerjemahan wajib dilakukan oleh penerjemah resmi.


BAB X
UPAYA ADMINISTRATIF

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 75


(1) Warga Masyarakat yang dirugikan terhadap Keputusan dan/atau Tindakan dapat mengajukan Upaya Administratif kepada Pejabat Pemerintahan atau Atasan Pejabat yang menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan.
(2) Upaya Administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
  1. keberatan; dan
  2. banding.
(3) Upaya Administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menunda pelaksanaan Keputusan dan/atau Tindakan, kecuali:
  1. ditentukan lain dalam undang-undang; dan
  2. menimbulkan kerugian yang lebih besar.
(4) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan wajib segera menyelesaikan Upaya Administratif yang berpotensi membebani keuangan negara.
(5) Pengajuan Upaya Administratif tidak dibebani biaya.


Pasal 76


(1) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan berwenang menyelesaikan keberatan atas Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan yang diajukan oleh Warga Masyarakat.
(2) Dalam hal Warga Masyarakat tidak menerima atas penyelesaian keberatan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Warga Masyarakat dapat mengajukan banding kepada Atasan Pejabat.
(3) Dalam hal Warga Masyarakat tidak menerima atas penyelesaian banding oleh Atasan Pejabat, Warga Masyarakat dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan.
(4) Penyelesaian Upaya Administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) berkaitan dengan batal atau tidak sahnya Keputusan dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan tuntutan administratif.


Bagian Kedua
Keberatan

Pasal 77


(1) Keputusan dapat diajukan keberatan dalam waktu paling lama 21 (dua puluh satu) hari kerja sejak diumumkannya Keputusan tersebut oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan.
(2) Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang menetapkan Keputusan.
(3) Dalam hal keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima, Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan wajib menetapkan Keputusan sesuai permohonan keberatan.
(4) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan menyelesaikan keberatan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja.
(5) Dalam hal Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak menyelesaikan keberatan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4), keberatan dianggap dikabulkan.
(6) Keberatan yang dianggap dikabulkan, ditindaklanjuti dengan penetapan Keputusan sesuai dengan permohonan keberatan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan.
(7) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan wajib menetapkan Keputusan sesuai dengan permohonan paling lama 5 (lima) hari kerja setelah berakhirnya tenggang waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4).


Bagian Ketiga
Banding

Pasal 78


(1) Keputusan dapat diajukan banding dalam waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak keputusan upaya keberatan diterima.
(2) Banding sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis kepada Atasan Pejabat yang menetapkan Keputusan.
(3) Dalam hal banding sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikabulkan, Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan wajib menetapkan Keputusan sesuai dengan permohonan banding.
(4) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan menyelesaikan banding paling lama 10 (sepuluh) hari kerja.
(5) Dalam hal Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak menyelesaikan banding dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4), keberatan dianggap dikabulkan.
(6) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan wajib menetapkan Keputusan sesuai dengan permohonan paling lama 5 (lima) hari kerja setelah berakhirnya tenggang waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4).


BAB XI
PEMBINAAN DAN PENGEMBANGAN
ADMINISTRASI PEMERINTAHAN

Pasal 79


(1) Pembinaan dan pengembangan Administrasi Pemerintahan dilakukan oleh Menteri dengan mengikutsertakan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri.
(2) Pembinaan dan pengembangan Administrasi Pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan:
  1. melakukan supervisi pelaksanaan Undang-Undang Administrasi Pemerintahan;
  2. mengawasi pelaksanaan Undang-Undang Administrasi Pemerintahan;
  3. mengembangkan konsep Administrasi Pemerintahan;
  4. memajukan tata pemerintahan yang baik;
  5. meningkatkan akuntabilitas kinerja pemerintahan;
  6. melindungi hak individu atau Warga Masyarakat dari penyimpangan administrasi ataupun penyalahgunaan Wewenang oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan; dan
  7. mencegah penyalahgunaan Wewenang dalam proses pengambilan Keputusan dan/atau Tindakan.


BAB XII
SANKSI ADMINISTRATIF

Pasal 80


(1) Pejabat Pemerintahan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2), Pasal 9 ayat (3), Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 36 ayat (3), Pasal 39 ayat (5), Pasal 42 ayat (1), Pasal 43 ayat (2), Pasal 44 ayat (3), Pasal 44 ayat (4), Pasal 44 ayat (5), Pasal 47, Pasal 49 ayat (1), Pasal 50 ayat (3), Pasal 50 ayat (4), Pasal 51 ayat (1), Pasal 61 ayat (1), Pasal 66 ayat (6), Pasal 67 ayat (2), Pasal 75 ayat (4), Pasal 77 ayat (3), Pasal 77 ayat (7), Pasal 78 ayat (3), dan Pasal 78 ayat (6) dikenai sanksi administratif ringan.
(2) Pejabat Pemerintahan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1), Pasal 25 ayat (3), Pasal 53 ayat (2), Pasal 53 ayat (6), Pasal 70 ayat (3), dan Pasal 72 ayat (1) dikenai sanksi administratif sedang.
(3) Pejabat Pemerintahan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dan Pasal 42 dikenai sanksi administratif berat.
(4) Pejabat Pemerintahan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2) yang menimbulkan kerugian pada keuangan negara, perekonomian nasional, dan/atau merusak lingkungan hidup dikenai sanksi administratif berat.


Pasal 81


(1) Sanksi administratif ringan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (1) berupa:
  1. teguran lisan;
  2. teguran tertulis; atau
  3. penundaan kenaikan pangkat, golongan, dan/atau hak-hak jabatan.
(2) Sanksi administratif sedang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (2) berupa:
  1. pembayaran uang paksa dan/atau ganti rugi;
  2. pemberhentian sementara dengan memperoleh hak-hak jabatan; atau
  3. pemberhentian sementara tanpa memperoleh hak-hak jabatan.
(3) Sanksi administratif berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (3) berupa:
  1. pemberhentian tetap dengan memperoleh hak hak keuangan dan fasilitas lainnya;
  2. pemberhentian tetap tanpa memperoleh hak-hak keuangan dan fasilitas lainnya;
  3. pemberhentian tetap dengan memperoleh hak-hak keuangan dan fasilitas lainnya serta dipublikasikan di media massa; atau
  4. pemberhentian tetap tanpa memperoleh hak-hak keuangan dan fasilitas lainnya serta dipublikasikan di media massa.
(4) Sanksi lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 82


(1) Penjatuhan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 dilakukan oleh:
  1. Atasan Pejabat yang menetapkan Keputusan;
  2. kepala daerah apabila Keputusan ditetapkan oleh pejabat daerah;
  3. menteri/pimpinan lembaga apabila Keputusan ditetapkan oleh pejabat di lingkungannya; dan
  4. Presiden apabila Keputusan ditetapkan oleh para menteri/pimpinan lembaga.
(2) Penjatuhan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 dilakukan oleh:
  1. gubernur apabila Keputusan ditetapkan oleh bupati/walikota; dan
  2. menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri apabila Keputusan ditetapkan oleh gubernur.


Pasal 83


(1) Sanksi administratif ringan, sedang atau berat dijatuhkan dengan mempertimbangkan unsur proporsional dan keadilan.
(2) Sanksi administratif ringan dapat dijatuhkan secara langsung, sedangkan sanksi administratif sedang atau berat hanya dapat dijatuhkan setelah melalui proses pemeriksaan internal.


Pasal 84


Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80, Pasal 81, Pasal 82, dan Pasal 83 diatur dengan Peraturan Pemerintah.


BAB XIII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 85


(1) Pengajuan gugatan sengketa Administrasi Pemerintahan yang sudah didaftarkan pada pengadilan umum tetapi belum diperiksa, dengan berlakunya Undang-Undang ini dialihkan dan diselesaikan oleh Pengadilan.
(2) Pengajuan gugatan sengketa Administrasi Pemerintahan yang sudah didaftarkan pada pengadilan umum dan sudah diperiksa, dengan berlakunya Undang-Undang ini tetap diselesaikan dan diputus oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum.
(3) Putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan oleh pengadilan umum yang memutus.


Pasal 86


Apabila dalam tenggang waktu 2 (dua) tahun sejak berlakunya Undang-Undang ini, peraturan pemerintah yang dimaksudkan dalam Undang-Undang ini belum terbit, hakim atau Pejabat Pemerintahan yang berwenang dapat menjatuhkan putusan atau sanksi administratif berdasarkan Undang-Undang ini.


Pasal 87


Dengan berlakunya Undang-Undang ini, Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 harus dimaknai sebagai:
  1. penetapan tertulis yang juga mencakup tindakan faktual;
  2. Keputusan Badan dan/atau Pejabat Tata Usaha Negara di lingkungan eksekutif, legislatif, yudikatif, dan penyelenggara negara lainnya;
  3. berdasarkan ketentuan perundang-undangan dan AUPB;
  4. bersifat final dalam arti lebih luas;
  5. Keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum; dan/atau
  6. Keputusan yang berlaku bagi Warga Masyarakat.


BAB XIV
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 88


Peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.


Pasal 89


Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.




Disahkan di Jakarta
pada tanggal 17 Oktober 2014
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO



Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 17 Oktober 2014
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

AMIR SYAMSUDIN



LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 292
 




PENJELASAN

ATAS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 30 TAHUN 2014

TENTANG

ADMINISTRASI PEMERINTAHAN


I. UMUM

Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Selanjutnya menurut ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, negara Indonesia adalah negara hukum. Hal ini berarti bahwa sistem penyelenggaraan pemerintahan negara Republik Indonesia harus berdasarkan atas prinsip kedaulatan rakyat dan prinsip negara hukum. Berdasarkan prinsip-prinsip tersebut, segala bentuk Keputusan dan/atau Tindakan Administrasi Pemerintahan harus berdasarkan atas kedaulatan rakyat dan hukum yang merupakan refleksi dari Pancasila sebagai ideologi negara. Dengan demikian tidak berdasarkan kekuasaan yang melekat pada kedudukan penyelenggara pemerintahan itu sendiri.


Penggunaan kekuasaan negara terhadap Warga Masyarakat bukanlah tanpa persyaratan. Warga Masyarakat tidak dapat diperlakukan secara sewenang-wenang sebagai objek. Keputusan dan/atau Tindakan terhadap Warga Masyarakat harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Pengawasan terhadap Keputusan dan/atau Tindakan merupakan pengujian terhadap perlakuan kepada Warga Masyarakat yang terlibat telah diperlakukan sesuai dengan hukum dan memperhatikan prinsip-prinsip perlindungan hukum yang secara efektif dapat dilakukan oleh lembaga negara dan Peradilan Tata Usaha Negara yang bebas dan mandiri. Karena itu, sistem dan prosedur penyelenggaraan tugas pemerintahan dan pembangunan harus diatur dalam undang-undang.


Tugas pemerintahan untuk mewujudkan tujuan negara sebagaimana dirumuskan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tugas tersebut merupakan tugas yang sangat luas. Begitu luasnya cakupan tugas Administrasi Pemerintahan sehingga diperlukan peraturan yang dapat mengarahkan penyelenggaraan Pemerintahan menjadi lebih sesuai dengan harapan dan kebutuhan masyarakat (citizen friendly), guna memberikan landasan dan pedoman bagi Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam menjalankan tugas penyelenggaraan pemerintahan.


Ketentuan penyelenggaraan Pemerintahan tersebut diatur dalam sebuah Undang-Undang yang disebut Undang-Undang Administrasi Pemerintahan. Undang-Undang Administrasi Pemerintahan menjamin hak-hak dasar dan memberikan pelindungan kepada Warga Masyarakat serta menjamin penyelenggaraan tugas-tugas negara sebagaimana dituntut oleh suatu negara hukum sesuai dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 D ayat (3), Pasal 28 F, dan Pasal 28 I ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Berdasarkan ketentuan tersebut, Warga Masyarakat tidak menjadi objek, melainkan subjek yang aktif terlibat dalam penyelenggaraan Pemerintahan.


Dalam rangka memberikan jaminan pelindungan kepada setiap Warga Masyarakat, maka Undang-Undang ini memungkinkan Warga Masyarakat mengajukan keberatan dan banding terhadap Keputusan dan/atau Tindakan, kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau Atasan Pejabat yang bersangkutan. Warga Masyarakat juga dapat mengajukan gugatan terhadap Keputusan dan/atau Tindakan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan kepada Peradilan Tata Usaha Negara, karena Undang-Undang ini merupakan hukum materiil dari sistem Peradilan Tata Usaha Negara.


Undang-Undang Administrasi Pemerintahan mengaktualisasikan secara khusus norma konstitusi hubungan antara negara dan Warga Masyarakat. Pengaturan Administrasi Pemerintahan dalam Undang-Undang ini merupakan instrumen penting dari negara hukum yang demokratis, dimana Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya yang meliputi lembaga-lembaga di luar eksekutif, yudikatif, dan legislatif yang menyelenggarakan fungsi pemerintahan yang memungkinkan untuk diuji melalui Pengadilan. Hal inilah yang merupakan nilai-nilai ideal dari sebuah negara hukum. Penyelenggaraan kekuasaan negara harus berpihak kepada warganya dan bukan sebaliknya.


Undang-Undang ini diperlukan dalam rangka memberikan jaminan kepada Warga Masyarakat yang semula sebagai objek menjadi subjek dalam sebuah negara hukum yang merupakan bagian dari perwujudan kedaulatan rakyat. Kedaulatan Warga Masyarakat dalam sebuah negara tidak dengan sendirinya—baik secara keseluruhan maupun sebagian—dapat terwujud.


Pengaturan Administrasi Pemerintahan dalam Undang-Undang ini menjamin bahwa Keputusan dan/atau Tindakan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan terhadap Warga Masyarakat tidak dapat dilakukan dengan semena-mena. Dengan Undang-Undang ini, Warga Masyarakat tidak akan mudah menjadi objek kekuasaan negara. Selain itu, Undang-Undang ini merupakan transformasi AUPB yang telah dipraktikkan selama berpuluh-puluh tahun dalam penyelenggaraan Pemerintahan, dan dikonkretkan ke dalam norma hukum yang mengikat.


AUPB yang baik akan terus berkembang, sesuai dengan perkembangan dan dinamika masyarakat dalam sebuah negara hukum. Karena itu penormaan asas ke dalam Undang-Undang ini berpijak pada asas-asas yang berkembang dan telah menjadi dasar dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia selama ini.


Undang-Undang ini menjadi dasar hukum dalam penyelenggaraan pemerintahan di dalam upaya meningkatkan kepemerintahan yang baik (good governance) dan sebagai upaya untuk mencegah praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Dengan demikian, Undang-Undang ini harus mampu menciptakan birokrasi yang semakin baik, transparan, dan efisien.


Pengaturan terhadap Administrasi Pemerintahan pada dasarnya adalah upaya untuk membangun prinsip-prinsip pokok, pola pikir, sikap, perilaku, budaya dan pola tindak administrasi yang demokratis, objektif, dan profesional dalam rangka menciptakan keadilan dan kepastian hukum. Undang-Undang ini merupakan keseluruhan upaya untuk mengatur kembali Keputusan dan/atau Tindakan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan AUPB.


Undang-Undang ini dimaksudkan tidak hanya sebagai payung hukum bagi penyelenggaraan pemerintahan, tetapi juga sebagai instrumen untuk meningkatkan kualitas pelayanan pemerintahan kepada masyarakat sehingga keberadaan Undang-Undang ini benar-benar dapat mewujudkan pemerintahan yang baik bagi semua Badan atau Pejabat Pemerintahan di Pusat dan Daerah.

   
II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas.


Pasal 2

Cukup jelas.


Pasal 3

Cukup jelas.


Pasal 4

Cukup jelas.

 
Pasal 5

Huruf a

Yang dimaksud dengan “asas legalitas” adalah bahwa penyelenggaraan Administrasi Pemerintahan mengedepankan dasar hukum dari sebuah Keputusan dan/atau Tindakan yang dibuat oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan.


Huruf b

Yang dimaksud dengan “asas perlindungan terhadap hak asasi manusia” adalah bahwa penyelenggaraan Administrasi Pemerintahan, Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak boleh melanggar hak-hak dasar Warga Masyarakat sebagaimana dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.


Huruf c

Cukup jelas.


Pasal 6

Cukup jelas.


Pasal 7

Ayat (1)

Cukup jelas.


Ayat (2)

Huruf a

Cukup jelas.


Huruf b

Cukup jelas.


Huruf c

Cukup jelas.


Huruf d

Cukup jelas.


Huruf e

Cukup jelas.


Huruf f

Warga Masyarakat yang didengar pendapatnya adalah setiap pihak yang terbebani atas Keputusan dan/atau Tindakan Administrasi Pemerintahan. Mekanisme untuk memberikan kesempatan kepada Warga Masyarakat untuk didengar pendapatnya dapat dilakukan melalui tatap muka, sosialisasi, musyawarah, dan bentuk kegiatan lainnya yang bersifat individu dan/atau perwakilan.


Huruf g

Cukup jelas.


Huruf h

Cukup jelas.


Huruf i

Cukup jelas.


Huruf j

Cukup jelas.


Huruf k

Cukup jelas.


Huruf l

Cukup jelas.


Pasal 8

Cukup jelas.


Pasal 9

Ayat (1)

Cukup jelas.


Ayat (2)

Huruf a

Yang dimaksud dengan “menjadi dasar Kewenangan” adalah dasar hukum dalam pengangkatan atau penetapan pejabat yang sesuai dengan kedudukan dan kewenangannya.


Huruf b

Yang dimaksud dengan “dasar pengambilan Keputusan dan/atau Tindakan” adalah dasar hukum baik yang bersifat langsung maupun tidak langsung dalam menjalankan tugas pokoknya.


Ayat (3)

Cukup jelas.


Ayat (4)

Pertimbangan kemanfaatan umum atas satu Keputusan dan/atau Tindakan tidak boleh melanggar norma-norma agama, sosial, dan kesusilaan. Kemanfaatan umum harus memberikan dampak pada peningkatan kesejahteraan dan kepentingan Warga Masyarakat.


Pasal 10

Ayat (1)

Huruf a

Yang dimaksud dengan “asas kepastian hukum” adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan ketentuan peraturan perundang-undangan, kepatutan, keajegan, dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan pemerintahan.


Huruf b

Yang dimaksud dengan “asas kemanfaatan” adalah manfaat yang harus diperhatikan secara seimbang antara: (1) kepentingan individu yang satu dengan kepentingan individu yang lain; (2) kepentingan individu dengan masyarakat; (3) kepentingan Warga Masyarakat dan masyarakat asing; (4) kepentingan kelompok masyarakat yang satu dan kepentingan kelompok masyarakat yang lain; (5) kepentingan pemerintah dengan Warga Masyarakat; (6) kepentingan generasi yang sekarang dan kepentingan generasi mendatang; (7) kepentingan manusia dan ekosistemnya; (8) kepentingan pria dan wanita.


Huruf c

Yang dimaksud dengan “asas ketidakberpihakan” adalah asas yang mewajibkan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan dengan mempertimbangkan  kepentingan para pihak secara keseluruhan dan tidak diskriminatif.


Huruf d

Yang dimaksud dengan “asas kecermatan” adalah asas yang mengandung arti bahwa suatu Keputusan dan/atau Tindakan harus didasarkan pada informasi dan dokumen yang lengkap untuk mendukung legalitas penetapan dan/atau pelaksanaan Keputusan dan/atau Tindakan sehingga Keputusan dan/atau Tindakan yang bersangkutan dipersiapkan dengan cermat sebelum Keputusan dan/atau Tindakan tersebut ditetapkan dan/atau dilakukan.


Huruf e

Yang dimaksud dengan “asas tidak menyalahgunakan kewenangan” adalah asas yang mewajibkan setiap Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak menggunakan kewenangannya untuk kepentingan pribadi atau kepentingan yang lain dan tidak sesuai dengan tujuan pemberian kewenangan tersebut, tidak melampaui, tidak menyalahgunakan, dan/atau tidak mencampuradukkan kewenangan.


Huruf f

Yang dimaksud dengan “asas keterbukaan” adalah asas yang melayani masyarakat untuk mendapatkan akses dan memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif dalam penyelenggaraan pemerintahan dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara.


Huruf g

Yang dimaksud dengan “asas kepentingan umum” adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan dan kemanfaatan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, selektif, dan tidak diskriminatif.


Huruf h

Yang dimaksud dengan “asas pelayanan yang baik” adalah asas yang memberikan pelayanan yang tepat waktu, prosedur dan biaya yang jelas, sesuai dengan standar pelayanan, dan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “asas-asas umum lainnya di luar AUPB” adalah asas umum pemerintahan yang baik yang bersumber dari putusan pengadilan negeri yang tidak dibanding, atau putusan pengadilan tinggi yang tidak dikasasi atau putusan Mahkamah Agung.


Pasal 11

Cukup jelas.


Pasal 12

Cukup jelas.


Pasal 13

Cukup jelas.


Pasal 14

Ayat (1)

Kewenangan Mandat diperoleh dari sumber kewenangan atributif dan delegatif.


Huruf a

Cukup jelas.


Huruf b

Yang dimaksud dengan “tugas rutin” adalah pelaksanaan tugas jabatan atas nama pemberi Mandat yang bersifat pelaksanaan tugas jabatan dan tugas sehari-hari.


Ayat (2)

Cukup jelas.


Ayat (3)

Cukup jelas.


Ayat (4)

Wewenang Mandat dilaksanakan dengan menyebut atas nama (a.n), untuk beliau (u.b), melaksanakan mandat (m.m), dan melaksanakan tugas (m.t).


Ayat (5)

Cukup jelas.


Ayat (6)

Cukup jelas.


Ayat (7)

Yang dimaksud dengan “Keputusan dan/atau Tindakan yang bersifat strategis” adalah Keputusan dan/atau Tindakan yang memiliki dampak besar seperti penetapan perubahan rencana strategis dan rencana kerja pemerintah.


Yang dimaksud dengan “perubahan status hukum organisasi” adalah menetapkan perubahan struktur organisasi.

Yang dimaksud dengan “perubahan status hukum kepegawaian” adalah melakukan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian pegawai.


Yang dimaksud dengan “perubahan alokasi anggaran” adalah melakukan perubahan anggaran yang sudah ditetapkan alokasinya.


Ayat (8)

Cukup jelas.


Pasal 15

Cukup jelas.


Pasal 16

Cukup jelas.


Pasal 17

Cukup jelas.


Pasal 18

Cukup jelas.


Pasal 19

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “tidak sah” adalah Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang tidak berwenang sehingga dianggap tidak pernah ada atau dikembalikan pada keadaan semula sebelum Keputusan dan/atau Tindakan ditetapkan dan/atau dilakukan dan segala akibat hukum yang ditimbulkan dianggap tidak pernah ada.


Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “dapat dibatalkan” adalah pembatalan Keputusan dan/atau Tindakan melalui pengujian oleh Atasan Pejabat atau badan peradilan.


Pasal 20

Cukup jelas.


Pasal 21

Cukup jelas.


Pasal 22

Ayat (1)

Cukup jelas.


Ayat (2)

Huruf a

Cukup jelas.


Huruf b

Cukup jelas.


Huruf c

Cukup jelas.


Huruf d

Yang dimaksud dengan “stagnasi pemerintahan” adalah tidak dapat dilaksanakannya aktivitas pemerintahan sebagai akibat kebuntuan atau disfungsi dalam penyelenggaraan pemerintahan, contohnya: keadaan bencana alam atau gejolak politik.


Pasal 23

Huruf a

Pilihan Keputusan dan/atau Tindakan Pejabat Pemerintahan dicirikan dengan kata dapat, boleh, atau diberikan kewenangan, berhak, seharusnya, diharapkan, dan kata-kata lain yang sejenis dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Sedangkan yang dimaksud pilihan Keputusan dan/atau Tindakan adalah respon atau sikap Pejabat Pemerintahan dalam melaksanakan atau tidak melaksanakan Administrasi Pemerintahan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Huruf b

Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan tidak mengatur” adalah ketiadaan atau kekosongan hukum yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dalam suatu kondisi tertentu atau di luar kelaziman.


Huruf c

Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan tidak lengkap atau tidak jelas” apabila dalam peraturan perundang-undangan masih membutuhkan penjelasan lebih lanjut, peraturan yang tumpang tindih (tidak harmonis dan tidak sinkron), dan peraturan yang membutuhkan peraturan pelaksanaan, tetapi belum dibuat.


Huruf d

Yang dimaksud dengan “kepentingan yang lebih luas” adalah kepentingan yang menyangkut hajat hidup orang banyak, penyelamatan kemanusiaan dan keutuhan negara, antara lain: bencana alam, wabah penyakit, konflik sosial, kerusuhan, pertahanan dan kesatuan bangsa.


Pasal 24

Huruf a

Cukup jelas.


Huruf b

Cukup jelas.


Huruf c

Cukup jelas.


Huruf d

Yang dimaksud dengan “alasan-alasan objektif” adalah alasan-alasan yang diambil berdasarkan fakta dan kondisi faktual, tidak memihak, dan rasional serta berdasarkan AUPB.

 

Huruf e

Cukup jelas.


Huruf f

Yang dimaksud dengan “iktikad baik” adalah Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan didasarkan atas motif kejujuran dan berdasarkan AUPB.


Pasal 25

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “memperoleh persetujuan dari Atasan Pejabat” adalah memperoleh persetujuan dari atasan langsung pejabat yang berwenang menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan.

Bagi pimpinan satuan kerja perangkat daerah (SKPD) mengajukan persetujuan kepada kepala daerah.

Bagi bupati/walikota mengajukan persetujuan kepada gubernur.


Bagi gubernur mengajukan persetujuan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri.

Bagi pimpinan unit kerja pada kementerian/lembaga mengajukan persetujuan kepada menteri/pimpinan lembaga.

Sistem pengalokasian anggaran sebagai dampak dari persetujuan Diskresi dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “akibat hukum” adalah suatu keadaan yang timbul sebagai akibat ditetapkannya Diskresi.


Ayat (3)

Pelaporan kepada atasan digunakan sebagai instrumen untuk pembinaan, pengawasan, dan evaluasi serta sebagai bagian dari akuntabilitas pejabat.


Ayat (4)

Cukup jelas.


Ayat (5)

Yang dimaksud dengan “keadaan mendesak” adalah suatu kondisi objektif dimana dibutuhkan dengan segera penetapan dan/atau pelaksanaan Keputusan dan/atau Tindakan oleh Pejabat Pemerintahan untuk menangani kondisi yang dapat mempengaruhi, menghambat, atau menghentikan penyelenggaraan pemerintahan.


Pasal 26

Cukup jelas.


Pasal 27

Cukup jelas.


Pasal 28

Cukup jelas.


Pasal 29

Cukup jelas.


Pasal 30

Cukup jelas.


Pasal 31

Cukup jelas.


Pasal 32

Cukup jelas.


Pasal 33

Cukup jelas.


Pasal 34

Ayat (1)

Cukup jelas.


Ayat (2)

Cukup jelas.


Ayat (3)

Yang dimaksud dengan “Keputusan dan/atau Tindakan rutin” adalah kegiatan atau hal yang menjadi tugas pokoknya.


Ayat (4)

Cukup jelas.


Pasal 35

Ayat (1)

Cukup jelas.


Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “secara wajar” adalah biaya yang ditimbulkan sesuai kebutuhan riil dan kemampuan penerima Bantuan Kedinasan.


Pasal 36

Ayat (1)

Cukup jelas.


Ayat (2)

Penolakan Bantuan Kedinasan hanya dimungkinkan apabila pemberian bantuan tersebut akan sangat mengganggu pelaksanaan tugas Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang diminta bantuan, misalnya: pelaksanaan Bantuan Kedinasan yang diminta dikhawatirkan akan melebihi anggaran yang dimiliki, keterbatasan sumber daya manusia, mengganggu pencapaian tujuan, dan kinerja Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan.


Ayat (3)

Cukup jelas.


Pasal 37

Cukup jelas.


Pasal 38

Ayat (1)

Prosedur penggunaan Keputusan Berbentuk Elektronis berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang informasi dan transaksi elektronik.


Ayat (2)

Untuk proses pengamanan pengiriman Keputusan, dokumen asli akan dikirimkan apabila dibutuhkan penegasan mengenai penanggung jawab dari Pejabat Pemerintahan yang menyimpan dokumen asli. Jika terdapat permasalahan teknis dalam pengiriman dan penerimaan dokumen secara elektronis baik dari pihak Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau Warga Masyarakat, maka kedua belah pihak saling memberitahukan secepatnya.


Ayat (3)

Cukup jelas.


Ayat (4)

Cukup jelas.


Ayat (5)

Cukup jelas.


Ayat (6)

Cukup jelas.


Pasal 39

Ayat (1)

Cukup jelas.


Ayat (2)

Huruf a

Cukup jelas.


Huruf b

Yang dimaksud dengan “memerlukan perhatian khusus” adalah setiap usaha atau kegiatan yang dilakukan atau dikerjakan oleh Warga Masyarakat, dalam rangka menjaga ketertiban umum, maka Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan perlu memberikan perhatian dan pengawasan.


Ayat (3)

Cukup jelas.


Ayat (4)

Huruf a

Cukup jelas.


Huruf b

Yang dimaksud dengan “swasta” meliputi perorangan, korporasi yang berbadan hukum di Indonesia, dan asing.


Huruf c

Cukup jelas.


Ayat (5)

Cukup jelas.


Ayat (6)

Cukup jelas.


Pasal 40

Cukup jelas.


Pasal 41

Cukup jelas.


Pasal 42

Cukup jelas.


Pasal 43

Ayat (1)

Huruf a

Cukup jelas.


Huruf b

Yang dimaksud dengan “kerabat dan keluarga” adalah hubungan keluarga sampai dengan derajat kedua dalam garis lurus maupun garis samping, termasuk mertua, menantu dan ipar, sehingga yang dimaksud dengan keluarga meliputi:

  1. orang tua kandung/tiri/angkat;
  2. saudara kandung/tiri/angkat;
  3. suami/isteri;
  4. anak kandung/tiri/angkat;
  5. suami/isteri dari anak kandung/tiri/angkat;
  6. kakek/nenek kandung/tiri/angkat;
  7. cucu kandung/tiri/angkat;
  8. saudara kandung/tiri/angkat dari suami/isteri;
  9. suami/isteri dari saudara kandung/tiri/angkat;
  10. saudara kandung/tiri/angkat dari orang tua;
  11. mertua.

Huruf c

Cukup jelas.


Huruf d

Cukup jelas.


Huruf e

Cukup jelas.


Huruf f

Cukup jelas.


Ayat (2)

Cukup jelas.


Pasal 44

Cukup jelas.


Pasal 45

Cukup jelas.


Pasal 46

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan "Keputusan yang dapat menimbulkan pembebanan bagi Warga Masyarakat” adalah Keputusan yang dapat menimbulkan kerugian faktual bagi Warga Masyarakat.

Sosialisasi dimaksudkan agar pihak yang terkait paham bahwa Keputusan yang akan ditetapkan akan menimbulkan pembebanan. Sosialisasi dilakukan sebelum penetapan Keputusan.


Ayat (2)

Cukup jelas.


Pasal 47

Cukup jelas.


Pasal 48

Huruf a

Cukup jelas.


Huruf b

Cukup jelas.


Huruf c

Yang dimaksud dengan “Keputusan yang menyangkut penegakan hukum” adalah Keputusan sebagai pelaksanaan Keputusan sebelumnya.


Contoh: Keputusan tentang relokasi bangunan di jalur hijau dan pembongkaran rumah yang tidak memiliki izin.


Pasal 49

Ayat (1)

Cukup jelas.


Ayat (2)

Cukup jelas.


Ayat (3)

Yang dimaksud dengan “media lainnya” antara lain papan pengumuman, brosur, media massa, atau media tradisional.


Pasal 50

Ayat (1)

Cukup jelas.


Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “pemeriksaan dokumen” mencakup:

  1. mempertimbangkan fakta-fakta dan bukti yang menguntungkan pihak-pihak yang berkepentingan dalam menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan.
  2. menyiapkan dokumen yang dibutuhkan, mengumpulkan informasi, mendengarkan dan memperhatikan pendapat pihak lain yang terlibat dan/atau terkait, pernyataan tertulis dan elektronis dari pihak yang berkepentingan, melihat langsung fakta-fakta, menanyakan kepada para saksi dan/atau ahli, serta bukti-bukti lain yang relevan sebelum ditetapkannya Keputusan.

Ayat (3)

Cukup jelas.


Ayat (4)

Cukup jelas.


Pasal 51

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “membuka akses” adalah memberikan kesempatan membaca, memfotokopi, dan mengunduh dokumen Administrasi Pemerintahan yang terkait.


Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “rahasia negara” adalah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan tentang kearsipan, kerahasiaan negara, dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Yang dimaksud dengan “kerahasiaan pihak ketiga” adalah hal-hal yang menyangkut data dan informasi pribadi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Ayat (3)

Cukup jelas.


Pasal 52

Ayat (1)

Huruf a

Cukup jelas.


Huruf b

Salah satu bentuk prosedur dapat dibuat dalam bentuk standar operasional prosedur.


Huruf c

Cukup jelas.


Ayat (2)

Cukup jelas.


Pasal 53

Cukup jelas.


Pasal 54

Ayat (1)

  1. Yang dimaksud dengan “Keputusan yang bersifat konstitutif” adalah Keputusan yang bersifat penetapan mandiri oleh Pejabat Pemerintahan.
  2. Yang dimaksud dengan “Keputusan yang bersifat deklaratif” adalah Keputusan yang bersifat pengesahan setelah melalui proses pembahasan di tingkat Pejabat Pemerintahan yang menetapkan Keputusan yang bersifat konstitutif.


Ayat (2)

Cukup jelas.


Pasal 55

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “pertimbangan yuridis” adalah landasan yang menjadi dasar pertimbangan hukum kewenangan dan dasar hukum substansi.


Yang dimaksud dengan “pertimbangan sosiologis” adalah landasan yang menjadi dasar manfaat bagi masyarakat.


Yang dimaksud dengan “pertimbangan filosofis” adalah landasan yang menjadi dasar kesesuaian dengan tujuan penetapan Keputusan.


Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “penjelasan terperinci” adalah penjelasan yang menguraikan alasan penetapan Keputusan sampai ke hal yang bersifat detail dan jelas.


Ayat (3)

Cukup jelas.


Pasal 56

Cukup jelas.


Pasal 57

Pada dasarnya Keputusan berlaku pada tanggal ditetapkan. Jika terdapat penyimpangan terhadap mulai berlakunya Keputusan, hal tersebut dinyatakan secara tegas dalam Keputusan.


Pasal 58

Cukup jelas.


Pasal 59

Ayat (1)

Cukup jelas.


Ayat (2)

Huruf a

Yang dimaksud dengan “mulai dan berakhirnya Keputusan dengan batas waktu” adalah Keputusan yang mencantumkan adanya ketentuan pembatasan dengan batas waktu.


Huruf b

Yang dimaksud dengan “mulai dan berakhirnya Keputusan atas kejadian pada masa yang akan datang” adalah Keputusan yang mencantumkan adanya ketentuan pembatasan dengan kejadian tertentu.


Huruf c

Yang dimaksud dengan “mulai dan berakhirnya Keputusan dengan penarikan” adalah Keputusan yang mencantumkan adanya ketentuan pembatasan dengan Keputusan terhadap penarikan Keputusan.


Huruf d

Yang dimaksud dengan “mulai dan berakhirnya Keputusan dengan tugas” adalah Keputusan yang mencantumkan adanya ketentuan pembatasan mulai tugas yang harus dilakukan.


Huruf e

Yang dimaksud dengan “mulai dan berakhirnya Keputusan yang bersifat susulan akibat adanya perubahan fakta dan kondisi hukum” adalah adanya data, fakta, dan informasi yang berubah terhadap Keputusan.


Pasal 60

Cukup jelas.


Pasal 61

Cukup jelas.


Pasal 62

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “sarana elektronis” antara lain faksimile, surat elektronik, dan sebagainya.


Ayat (2)

Cukup jelas.


Ayat (3)

Keputusan yang ditujukan bagi orang banyak atau bersifat massal antara lain keputusan presiden terkait pengangkatan pegawai negeri sipil dalam pangkat dan keputusan presiden terkait pensiun pegawai negeri sipil.


Ayat (4)

Cukup jelas.


Ayat (5)

Cukup jelas.


Pasal 63

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “perubahan” adalah perubahan sebagian isi Keputusan oleh Pejabat Pemerintahan.

 

Huruf a

Yang dimaksud dengan “kesalahan konsideran” adalah ketidaksesuaian penempatan rumusan baik pertimbangan maupun dasar hukum dalam konsideran menimbang dan/atau mengingat.


Huruf b

Yang dimaksud dengan “kesalahan redaksional” adalah kelalaian dalam penulisan dan kesalahan teknis lainnya.


Huruf c

Cukup jelas.


Huruf d

Cukup jelas.


Ayat (2)

Cukup jelas.


Ayat (3)

Cukup jelas.


Ayat (4)

Cukup jelas.


Ayat (5)

Cukup jelas.


Pasal 64

Ayat (1)

Huruf a

Cukup jelas.


Huruf b

Cukup jelas.


Huruf c

Yang dimaksud dengan “cacat substansi” antara lain:

  1. Keputusan tidak dilaksanakan oleh penerima Keputusan sampai batas waktu yang ditentukan;
  2. fakta-fakta dan syarat-syarat hukum yang menjadi dasar Keputusan telah berubah;
  3. Keputusan dapat membahayakan dan merugikan kepentingan umum; atau
  4. Keputusan tidak digunakan sesuai dengan tujuan yang tercantum dalam isi Keputusan.

Ayat (2)

Cukup jelas.


Ayat (3)

Cukup jelas.


Ayat (4)

Cukup jelas.


Ayat (5)

Cukup jelas.


Pasal 65

Cukup jelas.


Pasal 66

Cukup jelas.


Pasal 67

Cukup jelas.


Pasal 68

Ayat (1)

Cukup jelas.


Ayat (2)

Contoh Keputusan yang berakhir dengan sendirinya:

 

Keputusan pengangkatan pejabat yang masa jabatan yang bersangkutan telah berakhir, maka Keputusan pengangkatan tersebut dengan sendirinya menjadi berakhir dan tidak mempunyai kekuatan hukum.


Ayat (3)

Cukup jelas.


Ayat (4)

Cukup jelas.


Ayat (5)

Apabila ketentuan peraturan perundang-undangan mengatur tentang masa berlakunya suatu Keputusan, sedangkan dalam Keputusan pengangkatan pejabat yang bersangkutan tidak dicantumkan secara tegas maka berakhirnya Keputusan memerlukan penerbitan Keputusan baru demi kepastian hukum.

Contoh dalam hal terjadi perubahan struktur organisasi pemerintahan dari organisasi yang lama ke organisasi baru yang berakibat pada perubahan nomenklatur jabatan, sedangkan pemangku jabatan tidak ditentukan masa berlakunya dalam keputusan pengangkatan, maka diperlukan penetapan keputusan baru untuk mengakhiri masa jabatan pejabat yang bersangkutan.


Pasal 69

Cukup jelas.


Pasal 70

Ayat (1)

Cukup jelas.


Ayat (2)

Cukup jelas.


Ayat (3)

Pengembalian uang ke kas negara dilakukan baik oleh Pejabat Pemerintahan yang terkait maupun Warga Masyarakat yang telah menerima pembayaran yang dikeluarkan oleh pemerintah.


Pasal 71

Ayat (1)

Huruf a

Yang dimaksud dengan “kesalahan prosedur” adalah kesalahan dalam hal tatacara penetapan Keputusan yang tidak sesuai dengan persyaratan dan tatacara yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan dan/atau standar operasional prosedur.


Huruf b

Yang dimaksud dengan “kesalahan substansi” adalah kesalahan dalam hal tidak sesuainya materi yang dikehendaki dengan rumusan dalam Keputusan yang dibuat, misal terdapat konflik kepentingan, cacat yuridis, dibuat dengan paksaan fisik atau psikis, maupun dibuat dengan tipuan.


Ayat (2)

Cukup jelas.


Ayat (3)

Cukup jelas.


Ayat (4)

Cukup jelas.


Ayat (5)

Cukup jelas.


Pasal 72

Cukup jelas.


Pasal 73

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “salinan/fotokopi” adalah termasuk juga copy collationee.


Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “dokumen” adalah setiap informasi yang terdokumentasi dalam bentuk tertulis atau bentuk elektronik yang dikuasai oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang berkaitan dengan aktivitas penyelenggaraan pemerintahan dan/atau pelayanan publik.

Kewenangan notaris untuk mengesahkan dokumen dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Ayat (3)

Yang dimaksud dengan “terdapat keraguan” adalah karena robek, penghapusan kata, angka dan tanda, perubahan, kata-kata yang tidak jelas terbaca, penambahan atau hilangnya lembar halaman yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari dokumen.


Ayat (4)

Cukup jelas.


Ayat (5)

Cukup jelas.


Pasal 74

Cukup jelas.


Pasal 75

Ayat (1)

Cukup jelas.


Ayat (2)

Huruf a

Cukup jelas.


Huruf b

Yang dimaksud dengan “banding” adalah banding administratif yang dilakukan pada atasan Atasan Pejabat yang menetapkan Keputusan konstitutif.


Ayat (3)

Cukup jelas.


Ayat (4)

Cukup jelas.


Ayat (5)

Cukup jelas.


Pasal 76

Cukup jelas.


Pasal 77

Cukup jelas.


Pasal 78

Cukup jelas.


Pasal 79

Ayat (1)

Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri melakukan pembinaan dan pengembangan Administrasi Pemerintahan di daerah.


Ayat (2)

Cukup jelas.


Pasal 80

Cukup jelas.


Pasal 81

Ayat (1)

Cukup jelas.


Ayat (2)

Huruf a

Yang dimaksud dengan “uang paksa” adalah sejumlah uang yang dititipkan sebagai jaminan agar Keputusan dan/atau Tindakan dilaksanakan sehingga apabila Keputusan dan/atau Tindakan telah dilaksanakan uang paksa tersebut dikembalikan kepada Pejabat Pemerintahan yang bersangkutan.


Huruf b

Yang dimaksud dengan “pemberhentian sementara” adalah pemberhentian dalam tenggang waktu tertentu dengan dibebaskan atau tidak menjalankan tugas dan wewenang jabatan Administrasi Pemerintahan.


Huruf c

Cukup jelas.


Ayat (3)

Huruf a

Cukup jelas.


Huruf b

Cukup jelas.


Huruf c

Yang dimaksud dengan “media massa” adalah media cetak dan/atau media elektronik baik nasional maupun lokal.


Huruf d

Cukup jelas.


Ayat (4)

Cukup jelas.


Pasal 82

Cukup jelas.


Pasal 83

Cukup jelas.


Pasal 84

Cukup jelas.


Pasal 85

Cukup jelas.


Pasal 86

Cukup jelas.


Pasal 87

Huruf a

Cukup jelas.


Huruf b

Cukup jelas.


Huruf c

Cukup jelas.


Huruf d

Yang dimaksud dengan “final dalam arti luas” mencakup Keputusan yang diambil alih oleh Atasan Pejabat yang berwenang.


Huruf e

Cukup jelas.


Huruf f

Cukup jelas.


Pasal 88

Cukup jelas.



Pasal 89

Cukup jelas.




TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5601