1. |
Ketentuan ayat (5) Pasal 11 diubah sehingga Pasal 11 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 11
(1) |
Dalam rangka menjamin ketersediaan Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pemerintah Pusat menetapkan neraca komoditas. |
(2) |
Neraca komoditas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat:
- data yang lengkap, detail, dan akurat mengenai kebutuhan Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong untuk Industri dalam negeri; dan
- data yang lengkap, detail, dan akurat mengenai pasokan Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong untuk Industri dalam negeri.
|
(3) |
Data sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a paling sedikit meliputi data mengenai:
- jenis Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong yang dibutuhkan berdasarkan pos tarif;
- jumlah/volume Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong yang dibutuhkan;
- waktu pemanfaatan Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong yang dibutuhkan; dan
- standar mutu Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong yang dibutuhkan.
|
(4) |
Data sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b paling sedikit meliputi data mengenai:
- jenis Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong yang tersedia di dalam negeri berdasarkan pos tarif;
- jumlah/volume Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong yang tersedia di dalam negeri;
- waktu ketersediaan Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong di dalam negeri; dan
- standar mutu Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong yang tersedia di dalam negeri.
|
(5) |
Neraca komoditas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan untuk jangka waktu 1 (satu) tahun takwim. |
|
|
|
2. |
Ketentuan ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Pasal 12 diubah sehingga Pasal 12 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 12
(1) |
Penetapan neraca komoditas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (5) dilakukan:
a. |
dalam rapat koordinasi yang diselenggarakan oleh kementerian yang menyelenggarakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian urusan kementerian dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang perekonomian; atau |
b. |
tanpa melalui rapat koordinasi sebagaimana dimaksud dalam huruf a, |
paling lambat bulan Desember tahun sebelumnya. |
(2) |
Penetapan neraca komoditas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan rencana kebutuhan Industri dan rencana pasokan Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong. |
(3) |
Neraca komoditas yang telah ditetapkan dapat dievaluasi secara berkala dan/atau sewaktu-waktu jika diperlukan. |
(4) |
Neraca komoditas dapat diakses melalui sistem informasi terintegrasi. |
|
|
|
3. |
Pasal 13 dihapus. |
|
|
4. |
Ketentuan ayat (1) dan ayat (3) Pasal 14 diubah sehingga Pasal 14 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 14
(1) |
Rencana kebutuhan Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) merupakan rencana kebutuhan Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong untuk jangka waktu 1 (satu) tahun takwim. |
(2) |
Rencana kebutuhan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun berdasarkan usulan kebutuhan Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong setiap Perusahaan Industri. |
(3) |
Rencana kebutuhan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk. |
|
|
|
5. |
Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 15
(1) |
Usulan kebutuhan Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong disampaikan kepada Menteri oleh Pelaku Usaha. |
(2) |
Usulan kebutuhan Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan verifikasi oleh Menteri. |
(3) |
Dalam melaksanakan verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri dapat menunjuk lembaga pelaksana verifikasi independen. |
(4) |
Usulan kebutuhan Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara elektronik melalui sistem informasi terintegrasi. |
|
|
|
6. |
Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 16
(1) |
Rencana pasokan Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) disampaikan oleh Menteri dan/atau menteri/kepala lembaga pemerintah nonkementerian terkait sesuai kewenangannya melalui sistem informasi terintegrasi untuk jangka waktu 1 (satu) tahun takwim. |
(2) |
Rencana pasokan Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong yang disampaikan oleh Menteri dan/atau menteri/kepala lembaga pemerintah nonkementerian terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
- hasil sumber daya alam; dan/atau
- hasil produksi Industri dalam negeri.
|
|
|
|
7. |
Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 17
Rencana kebutuhan Industri yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dan rencana pasokan Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 disampaikan secara elektronik kepada menteri yang menyelenggarakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian urusan kementerian dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang perekonomian melalui sistem informasi terintegrasi. |
|
|
8. |
Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 18
Dalam hal neraca komoditas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) belum ditetapkan, jaminan ketersediaan Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong dilaksanakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan data yang tersedia. |
|
|
9. |
Di antara Pasal 18 dan Pasal 19 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 18A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 18A
Ketentuan lebih lanjut mengenai neraca komoditas diatur dengan Peraturan Presiden. |
|
|
10. |
Ketentuan ayat (1) dan ayat (2) Pasal 19 diubah, di antara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 2 (dua) ayat, yakni ayat (la) dan ayat (lb), serta ayat (3) dihapus, sehingga Pasal 19 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 19
(1) |
Impor Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong dilakukan oleh Perusahaan Industri yang memiliki nomor induk berusaha yang berlaku sebagai angka pengenal importir produsen. |
(1a) |
Impor Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh Pelaku Usaha yang memiliki nomor induk berusaha yang berlaku sebagai angka pengenal importir umum. |
(1b) |
Pelaku Usaha yang memiliki nomor induk berusaha sebagai angka pengenal importir umum tidak dapat mengimpor Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(2) |
Dalam hal impor Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong diperuntukan bagi Industri kecil dan Industri menengah yang tidak dapat melaksanakan importasi sendiri, dapat dilakukan oleh pusat penyedia Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong yang memiliki nomor induk berusaha yang berlaku sebagai angka pengenal importir umum. |
(3) |
Dihapus. |
(4) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai pusat penyedia Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Menteri. |
|
|
|
11. |
Di antara Pasal 19 dan Pasal 20 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 19A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 19A
(1) |
Untuk mendorong investasi, selain dapat mengimpor Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), Perusahaan Industri dapat mengimpor barang jadi untuk keperluan komplementer, tes pasar, atau pelayanan purna jual. |
(2) |
Pelaksanaan impor barang jadi untuk keperluan komplementer, tes pasar, atau pelayanan purna jual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
|
|
|
12. |
Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 20
(1) |
Perusahaan Industri dilarang menjual atau memindah tangankan Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong yang berasal dari impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19. |
(2) |
Dalam hal tertentu, ketentuan mengenai larangan penjualan atau pemindahtanganan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan terhadap penjualan atau pemindahtanganan atas Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong sisa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. |
(3) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai penjualan atau pemindahtanganan Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong sisa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Menteri. |
|
|
|
13. |
Ketentuan ayat (1) Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 35
(1) |
Barang dan/atau jasa Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2017 tentang Pembangunan Sarana dan Prasarana Industri merupakan hasil produksi dari Perusahaan Industri atau produsen di luar negeri. |
(2) |
Perusahaan Industri atau produsen di luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memproduksi barang dan/atau jasa Industri dengan menggunakan merek milik sendiri. |
(3) |
Produsen di luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib memiliki perwakilan resmi dan/atau pemegang lisensi di wilayah negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(4) |
Dalam hal terdapat kerja sama merek dan/atau maklun, merek yang digunakan oleh Perusahaan Industri atau produsen di luar negeri harus merek milik pemberi kerja sama atau pemberi maklun. |
(5) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai kerja sama merek dan/atau maklun sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan Menteri. |
|
|
|
14. |
Ketentuan ayat (1) Pasal 36 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 36
(1) |
Pemerintah Pusat dapat menetapkan pengecualian atas SNI, Spesifikasi Teknis, dan/atau Pedoman Tata Cara yang diberlakukan secara wajib. |
(2) |
Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap barang Industri berdasarkan:
- sifat teknisnya merupakan produk sejenis yang memiliki standar tersendiri dengan ruang lingkup, klasifikasi, dan/atau syarat mutu yang berbeda dengan standar yang diwajibkan;
- keperluannya merupakan produk contoh untuk keperluan riset dan pengembangan produk;
- keperluannya merupakan barang contoh dalam rangka pengujian untuk memperoleh sertifikat kesesuaian; dan/atau
- keperluannya merupakan barang pribadi penumpang.
|
(3) |
Penetapan terhadap pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Menteri mengenai pemberlakuan SNI, Spesifikasi Teknis, dan/atau Pedoman Tata Cara secara wajib dari masing-masing barang Industri. |
|
|
|
15. |
Ketentuan huruf a ayat (4), huruf a ayat (5), dan huruf a ayat (6) Pasal 38 diubah, sehingga Pasal 38 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 38
(1) |
Penilaian kesesuaian terhadap SNI, Spesifikasi Teknis, dan/atau Pedoman Tata Cara yang diberlakukan secara wajib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2017 tentang Pembangunan Sarana dan Prasarana Industri dilakukan oleh lembaga penilaian kesesuaian yang telah terakreditasi sesuai dengan ruang lingkupnya dan ditunjuk oleh Menteri. |
(2) |
Dalam melakukan penunjukan lembaga penilaian kesesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri mempertimbangkan kebutuhan Industri dan jumlah persebaran Industri dalam negeri. |
(3) |
Lembaga penilaian kesesuaian yang telah ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
- lembaga sertifikasi produk;
- laboratorium uji; dan
- lembaga inspeksi.
|
(4) |
Lembaga sertifikasi produk sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
- memiliki Perizinan Berusaha di bidang Industri jasa sertifikasi atau penetapan tugas dan fungsi kelembagaan bagi lembaga sertifikasi produk yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
- memiliki laboratorium uji yang terakreditasi berdasarkan SNI ISO/IEC 17025 atau lembaga inspeksi yang terakreditasi berdasarkan SNI ISO/IEC 17020;
- telah terakreditasi oleh KAN untuk lingkup yang sesuai; dan
- berdomisili atau berkedudukan di wilayah hukum negara Republik Indonesia.
|
(5) |
Laboratorium uji sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
- memiliki Perizinan Berusaha di bidang Industri jasa pengujian laboratorium atau penetapan tugas dan fungsi kelembagaan bagi laboratorium uji yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
- telah terakreditasi berdasarkan SNI ISO/IEC 17025;
- telah terakreditasi oleh KAN untuk lingkup yang sesuai; dan
- berdomisili atau berkedudukan di wilayah hukum negara Republik Indonesia.
|
(6) |
Lembaga inspeksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
- memiliki Perizinan Berusaha di bidang Industri jasa inspeksi periodik atau penetapan tugas dan fungsi kelembagaan bagi lembaga inspeksi yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
- telah terakreditasi berdasarkan SNI ISO/IEC 17020;
- telah terakreditasi oleh KAN untuk lingkup yang sesuai; dan
- berdomisili atau berkedudukan di wilayah hukum negara Republik Indonesia.
|
(7) |
Menteri dapat menunjuk:
- lembaga sertifikasi produk yang belum memenuhi kriteria terakreditasi oleh KAN untuk lingkup yang sesuai sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c;
- laboratorium uji yang belum memenuhi kriteria terakreditasi oleh KAN untuk lingkup yang sesuai sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf c; dan/atau
- lembaga inspeksi yang belum memenuhi kriteria terakreditasi oleh KAN untuk lingkup yang sesuai sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf c.
|
(8) |
Penunjukan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dilakukan dengan ketentuan:
- belum tersedia lembaga sertifikasi produk, laboratorium uji, dan/atau lembaga inspeksi yang telah terakreditasi oleh KAN untuk lingkup yang sesuai tetapi sudah terakreditasi dengan ruang lingkup yang sejenis; atau
- telah tersedia lembaga sertifikasi produk, laboratorium uji, dan/atau lembaga inspeksi yang telah terakreditasi oleh KAN untuk lingkup yang sesuai tetapi jumlahnya belum memadai.
|
(9) |
Penunjukan lembaga penilaian kesesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (7) dilakukan berdasarkan hasil evaluasi administratif dan evaluasi kompetensi. |
(10) |
Penunjukan lembaga penilaian kesesuaian yang belum memenuhi kriteria terakreditasi oleh KAN sebagaimana dimaksud pada ayat (7) berlaku untuk jangka waktu 2 (dua) tahun. |
(11) |
Dalam hal lembaga sertifikasi produk, laboratorium uji, dan/atau lembaga inspeksi belum terakreditasi oleh KAN untuk ruang lingkup yang sesuai dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (10), Menteri dapat mencabut penunjukannya sebagai lembaga penilaian kesesuaian untuk ruang lingkup dimaksud. |
(12) |
Dalam hal lembaga sertifikasi produk, laboratorium uji, dan/atau lembaga inspeksi berdomisili atau berkedudukan di luar wilayah hukum negara Republik Indonesia, hasil sertifikasi produk, hasil pengujian, dan/atau hasil inspeksinya dapat diakui sepanjang terdapat perjanjian saling pengakuan antarnegara di bidang regulasi teknis sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(13) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai:
a. |
tata cara penunjukan lembaga penilaian kesesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau pada ayat (7); dan |
b. |
evaluasi administratif dan evaluasi kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (9), |
diatur dalam Peraturan Menteri. |
|
|
|
16. |
Ketentuan Lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Perindustrian diubah, sehingga berbunyi sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini. |