1. |
Ketentuan Pasal 1 angka 1, angka 2, angka 12, angka 14, angka 15, angka 19, angka 21, angka 23, angka 24, angka 25, angka 26, angka 28, angka 29, angka 30, angka 34, angka 35, angka 36, angka 39, angka 40, angka 41, angka 46, dan angka 49 diubah, di antara angka 5 dan angka 6 disisipkan 2 (dua) angka yakni angka 5a dan 5b, di antara angka 37 dan angka 38 disisipkan 1 (satu) angka yakni angka 37a, dan angka 9, angka 17, angka 20, angka 33, serta angka 44 dihapus, sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. |
Peternakan adalah segala urusan yang berkaitan dengan sumber daya fisik, Benih, Bibit, Bakalan, Ternak Ruminansia Indukan, Pakan, Alat dan Mesin Peternakan, budi daya Ternak, panen, pascapanen, pengolahan, pemasaran, pengusahaan, pembiayaan, serta sarana dan prasarana. |
2. |
Kesehatan Hewan adalah segala urusan yang berkaitan dengan pelindungan sumber daya Hewan, kesehatan masyarakat, dan lingkungan serta penjaminan keamanan Produk Hewan, Kesejahteraan Hewan, dan peningkatan akses pasar untuk mendukung kedaulatan, kemandirian, dan ketahanan pangan asal Hewan. |
3. |
Hewan adalah binatang atau satwa yang seluruh atau sebagian dari siklus hidupnya berada di darat, air, dan/atau udara, baik yang dipelihara maupun yang di habitatnya. |
4. |
Hewan Peliharaan adalah Hewan yang kehidupannya untuk sebagian atau seluruhnya bergantung pada manusia untuk maksud tertentu. |
5. |
Ternak adalah Hewan peliharaan yang produknya diperuntukan sebagai penghasil pangan, bahan baku industri, jasa, dan/atau hasil ikutannya yang terkait dengan pertanian. |
5a. |
ernak Ruminansia Betina Produktif adalah Ternak ruminansia betina yang organ reproduksinya masih berfungsi secara normal dan dapat beranak. |
5b. |
Ternak Ruminansia Indukan adalah Ternak betina bukan bibit yang memiliki organ reproduksi normal dan sehat digunakan untuk pengembangbiakan. |
6. |
Satwa Liar adalah semua binatang yang hidup di darat, air, dan/atau udara yang masih mempunyai sifat liar, baik yang hidup bebas maupun yang dipelihara oleh manusia. |
7. |
Sumber Daya Genetik adalah material tumbuhan, binatang, atau jasad renik yang mengandung unit-unit yang berfungsi sebagai pembawa sifat keturunan, baik yang bernilai aktual maupun potensial untuk menciptakan galur, rumpun, atau spesies baru. |
8. |
Benih Hewan yang selanjutnya disebut Benih adalah bahan reproduksi Hewan yang dapat berupa semen, sperma, ova, telur tertunas, dan embrio. |
9. |
Dihapus |
10. |
Bibit Hewan yang selanjutnya disebut Bibit adalah Hewan yang mempunyai sifat unggul dan mewariskan serta memenuhi persyaratan tertentu untuk dikembangbiakkan. |
11. |
Rumpun Hewan yang selanjutnya disebut Rumpun adalah segolongan hewan dari suatu spesies yang mempunyai ciri-ciri fenotipe yang khas dan dapat diwariskan pada keturunannya. |
12. |
Bakalan Ternak Ruminansia Pedaging yang selanjutnya disebut Bakalan adalah ternak ruminansia pedaging dewasa yang dipelihara selama kurun waktu tertentu hanya untuk digemukkan sampai mencapai bobot badan maksimal pada umur optimal untuk dipotong. |
13. |
Produk Hewan adalah semua bahan yang berasal dari Hewan yang masih segar dan/atau telah diolah atau diproses untuk keperluan konsumsi, farmakoseutika, pertanian, dan/atau kegunaan lain bagi pemenuhan kebutuhan dan kemaslahatan manusia. |
14. |
Peternak adalah orang perseorangan warga negara Indonesia atau korporasi yang melakukan usaha Peternakan. |
15. |
Perusahaan Peternakan adalah orang perseorangan atau korporasi, baik yang berbentuk badan hukum maupun yang bukan badan hukum, yang didirikan dan berkedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang mengelola usaha Peternakan dengan kriteria dan skala tertentu. |
16. |
Usaha di bidang Peternakan adalah kegiatan yang menghasilkan produk dan jasa yang menunjang usaha budi daya Ternak. |
17. |
Dihapus. |
18. |
Inseminasi Buatan adalah teknik memasukkan mani atau semen ke dalam alat reproduksi Ternak betina sehat untuk dapat membuahi sel telur dengan menggunakan alat inseminasi dengan tujuan agar Ternak bunting. |
19. |
Pemuliaan Ternak yang selanjutnya disebut Pemuliaan adalah rangkaian kegiatan untuk mengubah komposisi genetik pada sekelompok Ternak dari suatu rumpun atau galur guna mencapai tujuan tertentu. |
20. |
Dihapus. |
21. |
Usaha di bidang Kesehatan Hewan adalah kegiatan yang menghasilkan produk dan/atau jasa yang menunjang upaya dalam mewujudkan Kesehatan Hewan. |
22. |
Pakan adalah bahan makanan tunggal atau campuran, baik yang diolah maupun yang tidak diolah, yang diberikan kepada hewan untuk kelangsungan hidup, berproduksi, dan berkembang biak. |
23. |
Bahan Pakan adalah bahan hasil pertanian, perikanan, Peternakan, atau bahan lain serta yang layak dipergunakan sebagai Pakan, baik yang telah diolah maupun yang belum diolah. |
24. |
Kawasan Penggembalaan Umum adalah lahan negara atau yang disediakan Pemerintah atau yang dihibahkan oleh perseorangan atau perusahaan yang diperuntukkan penggembalaan Ternak masyarakat skala kecil sehingga Ternak dapat leluasa berkembang biak. |
25. |
Setiap Orang adalah orang perseorangan atau korporasi, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum serta yang melakukan kegiatan di bidang Peternakan dan Kesehatan Hewan. |
26. |
Veteriner adalah segala urusan yang berkaitan dengan Hewan, Produk Hewan, dan Penyakit Hewan. |
27. |
Medik Veteriner adalah penyelenggaraan kegiatan praktik kedokteran hewan. |
28. |
Otoritas Veteriner adalah kelembagaan Pemerintah atau Pemerintah Daerah yang bertanggung jawab dan memiliki kompetensi dalam penyelenggaraan Kesehatan Hewan. |
29. |
Dokter Hewan adalah orang yang memiliki profesi di bidang kedokteran hewan dan kewenangan Medik Veteriner dalam melaksanakan pelayanan Kesehatan Hewan. |
30. |
Dokter Hewan Berwenang adalah Dokter Hewan yang ditetapkan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan kewenangannya berdasarkan jangkauan tugas pelayanannya dalam rangka penyelenggaraan Kesehatan Hewan. |
31. |
Medik Reproduksi adalah penerapan Medik Veteriner dalam penyelenggaraan Kesehatan Hewan di bidang reproduksi hewan. |
32. |
edik Konservasi adalah penerapan Medik Veteriner dalam penyelenggaraan Kesehatan Hewan di bidang konservasi Satwa Liar. |
33. |
Dihapus. |
34. |
Penyakit Hewan adalah gangguan kesehatan pada Hewan yang disebabkan oleh cacat genetik, proses degeneratif, gangguan metabolisme, trauma, keracunan, infestasi parasit, prion, dan infeksi mikroorganisme patogen. |
35. |
Penyakit Hewan Menular adalah penyakit yang ditularkan antara Hewan dan Hewan, Hewan dan manusia, serta Hewan dan media pembawa Penyakit Hewan lain melalui kontak langsung atau tidak langsung dengan media perantara mekanis seperti air, udara, tanah, Pakan, peralatan, dan manusia, atau melalui media perantara biologis seperti virus, bakteri, amuba, atau jamur. |
36. |
Penyakit Hewan Menular Strategis adalah Penyakit Hewan yang dapat menimbulkan angka kematian dan/atau angka kesakitan yang tinggi pada Hewan, dampak kerugian ekonomi, keresahan masyarakat, dan/atau bersifat zoonotik. |
37a. |
Zoonosis adalah penyakit yang dapat menular dari Hewan kepada manusia atau sebaliknya. |
37a. |
Wabah adalah kejadian penyakit luar biasa yang dapat berupa timbulnya suatu Penyakit Hewan Menular baru di suatu wilayah atau kenaikan kasus Penyakit Hewan Menular mendadak yang dikategorikan sebagai bencana nonalam. |
38. |
Kesehatan Masyarakat Veteriner adalah segala urusan yang berhubungan dengan Hewan dan Produk Hewan yang secara langsung atau tidak langsung memengaruhi kesehatan manusia. |
39. |
Obat Hewan adalah sediaan yang dapat digunakan untuk mengobati Hewan, membebaskan gejala, atau memodifikasi proses kimia dalam tubuh yang meliputi sediaan biologik, farmakoseutika, premiks, dan sediaan Obat Hewan alami. |
40. |
Alat dan Mesin Peternakan adalah semua peralatan yang digunakan berkaitan dengan kegiatan Peternakan, baik yang dioperasikan dengan motor penggerak maupun tanpa motor penggerak. |
41. |
Alat dan Mesin Kesehatan Hewan adalah peralatan kedokteran Hewan yang disiapkan dan digunakan untuk Hewan sebagai alat bantu dalam penyelenggaraan Kesehatan Hewan. |
42. |
Kesejahteraan Hewan adalah segala urusan yang berhubungan dengan keadaan fisik dan mental Hewan menurut ukuran perilaku alami Hewan yang perlu diterapkan dan ditegakkan untuk melindungi Hewan dari perlakuan Setiap Orang yang tidak layak terhadap Hewan yang dimanfaatkan manusia. |
43. |
Tenaga Kesehatan Hewan adalah orang yang menjalankan aktivitas di bidang Kesehatan Hewan berdasarkan kompetensi dan kewenangan Medik Veteriner yang hierarkis sesuai dengan pendidikan formal dan/atau pelatihan Kesehatan Hewan bersertifikat. |
44. |
Dihapus |
45. |
Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. |
46. |
Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Peternakan dan Kesehatan Hewan. |
47. |
Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati/ wali kota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah. |
48. |
Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. |
49. |
Sistem Kesehatan Hewan Nasional yang selanjutnya disebut Siskeswanas adalah tatanan Kesehatan Hewan yang ditetapkan oleh Pemerintah dan diselenggarakan oleh Otoritas Veteriner dengan melibatkan seluruh penyelenggara Kesehatan Hewan, pemangku kepentingan, dan masyarakat secara terpadu. |
|
|
|
2. |
Ketentuan Pasal 6 ayat (2) huruf b, substansi tetap dan penjelasannya tentang “inseminasi buatan” dihapus sehingga rumusan penjelasan Pasal 6 adalah sebagaimana tercantum dalam Penjelasan Pasal demi Pasal Angka 2 Undang-undang ini. |
|
|
3. |
Judul Bagian Kesatu pada Bab IV diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Bagian Kesat Benih dan Bibit |
|
|
4. |
Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 13
Penyediaan dan pengembangan Benih dan/atau Bibit dilakukan dengan mengutamakan produksi dalam negeri.
(1) |
Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berkewajiban untuk melakukan Pemuliaan, pengembangan usaha pembenihan dan/atau pembibitan dengan melibatkan peran serta masyarakat untuk menjamin ketersediaan Benih dan/atau Bibit. |
(2) |
Kewajiban Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya untuk melakukan pengembangan usaha pembenihan dan/atau pembibitan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan mendorong penerapan teknologi reproduksi. |
(3) |
Dalam hal usaha pembenihan dan/atau pembibitan oleh masyarakat belum berkembang, Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya membentuk unit pembenihan dan/atau pembibitan |
(4) |
Pembentukan unit pembenihan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditujukan untuk pemurnian Ternak tertentu atau untuk produksi. |
(5) |
Setiap Benih atau Bibit yang beredar wajib memiliki sertifikat Benih atau Bibit yang memuat keterangan mengenai silsilah dan ciri-ciri keunggulannya. |
(6) |
Sertifikat Benih atau Bibit sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dikeluarkan oleh lembaga sertifikasi Benih atau Bibit yang terakreditasi atau yang ditunjuk oleh Menteri. |
(7) |
Setiap Orang dilarang mengedarkan Benih atau Bibit yang tidak memiliki sertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (6). |
|
|
|
5. |
Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut;
Pasal 15
(1) |
Pemasukan Benih dan/atau Bibit dari luar negeri ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dapat dilakukan untuk:
- meningkatkan mutu dan keragaman genetik;
- mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi;
- mengatasi kekurangan Benih dan/atau Bibit di dalam negeri; dan/atau
- memenuhi keperluan penelitian dan pengembangan.
|
(2) |
Pemasukan Benih dan/atau Bibit dari luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus:
- memenuhi persyaratan mutu;
- memenuhi persyaratan teknis Kesehatan Hewan;
- bebas dari Penyakit Hewan Menular yang dipersyaratkan oleh otoritas veteriner;
- memenuhi ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang karantina Hewan; dan
- memerhatikan kebijakan pewilayahan sumber Bibit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14.
|
(3) |
Setiap Orang yang melakukan pemasukan Benih dan/atau Bibit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memperoleh izin dari Menteri. |
(4) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan mutu dan persyaratan teknis Kesehatan Hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b diatur dengan Peraturan Menteri. |
|
|
|
6. |
Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 16
(1) |
Pengeluaran Benih dan/atau Bibit dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia ke luar negeri dapat dilakukan apabila kebutuhan dalam negeri telah terpenuhi dan kelestarian Ternak lokal terjamin. |
(2) |
Pengeluaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang dilakukan terhadap Benih dan/atau Bibit yang terbaik di dalam negeri. |
(3) |
Setiap Orang yang melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1} wajib memperoleh izin dari Menteri. |
|
|
|
7. |
Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 18
(1) |
Dalam rangka mencukupi ketersediaan bibit, Ternak Ruminansia Betina Produktif diseleksi untuk Pemuliaan, sedangkan Ternak ruminansia betina yang tidak produktif disingkirkan untuk dijadikan Ternak potong. |
(2) |
Penentuan Ternak ruminansia betina yang tidak produktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Dokter Hewan Berwenang |
(3) |
Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya menyediakan dana untuk menjaring Ternak Ruminansia Betina Produktif yang dikeluarkan oleh masyarakat dan menampung Ternak tersebut pada unit pelaksana teknis di daerah untuk keperluan pengembangbiakan dan penyediaan Bibit Ternak ruminansia betina di daerah tersebut. |
(4) |
Setiap Orang dilarang menyembelih Ternak ruminansia kecil betina produktif atau Ternak ruminansia besar betina produktif. |
(5) |
Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dikecualikan dalam hal:
- penelitian;
- Pemuliaan;
- pengendalian dan penanggulangan Penyakit Hewan;
- ketentuan agama;
- ketentuan adat istiadat; dan/atau
- pengakhiran penderitaan Hewan.
|
(6) |
Setiap Orang harus menjaga populasi anakan ternak ruminansia kecil dan anakan ternak ruminansia besar. |
(7) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyeleksian dan penyingkiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penjaringan Ternak Ruminansia Betina Produktif sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dan populasi anakan ternak ruminansia kecil dan anakan ternak ruminansia besar sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diatur dengan Peraturan Menteri. |
|
|
|
8. |
Ketentuan Pasal 31 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 31
(1) |
Peternak dapat melakukan kemitraan usaha di bidang budi daya Ternak berdasarkan perjanjian yang saling memerlukan, memperkuat, menguntungkan, menghargai, bertanggung jawab, ketergantungan, dan berkeadilan. |
(2) |
Kemitraan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan:
- antar-Petemak;
- antara Peternak dan Perusahaan Peternakan;
- antara Peternak dan perusahaan di bidang lain; dan
- antara Perusahaan Peternakan dan Pemerintah atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya.
|
(3) |
Kemitraan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa:
- penyediaan sarana produksi;
- produksi;
- pemasaran; dan/atau
- permodalan atau pembiayaan.
|
(4) |
Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya melakukan pembinaan kemitraan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan memerhatikan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang kemitraan usaha. |
|
|
|
9. |
Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 32
(1) |
Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berkewajiban mendorong agar sebanyak mungkin warga masyarakat menyelenggarakan budi daya Ternak sesuai dengan pedoman budi daya Ternak yang baik. |
(2) |
Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya memfasilitasi dan membina pengembangan budi daya yang dilakukan oleh Peternak dan pihak tertentu yang mempunyai kepentingan khusus. |
(3) |
Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya membina dan memberikan fasilitas untuk pertumbuhan dan perkembangan koperasi dan badan usaha di bidang Peternakan. |
|
|
|
10. |
Ketentuan Pasal 36 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 36
(1) |
Pemerintah berkewajiban untuk menyelenggarakan dan memfasilitasi kegiatan pemasaran Hewan atau Ternak dan Produk Hewan di dalam negeri maupun ke luar negeri. |
(2) |
Pemasaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diutamakan untuk membina peningkatan produksi dan konsumsi protein hewani dalam mewujudkan ketersediaan pangan bergizi seimbang bagi masyarakat dengan tetap meningkatkan kesejahteraan pelaku usaha Peternakan. |
(3) |
Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berkewajiban untuk menciptakan iklim usaha yang sehat bagi pemasaran Hewan atau Ternak dan Produk Hewan. |
|
|
|
11. |
Di antara Pasal 36 dan Pasal 37 disisipkan 5 (lima) pasal, yakni Pasal 36A, Pasal 36B, Pasal 36C, Pasal 36D, dan Pasal 36E sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 36A
Pengeluaran Hewan atau Ternak dan Produk Hewan dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia ke luar negeri dapat dilakukan apabila produksi dan pasokan di dalam negeri telah mencukupi kebutuhan konsumsi masyarakat.
Pasal 36B
(1) |
Pemasukan Ternak dan Produk Hewan dari luar negeri ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilakukan apabila produksi dan pasokan Ternak dan Produk Hewan di dalam negeri belum mencukupi kebutuhan konsumsi masyarakat. |
(2) |
Pemasukan Ternak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus berupa Bakalan. |
(3) |
Pemasukan Ternak ruminansia besar Bakalan tidak boleh melebihi berat tertentu. |
(4) |
Setiap Orang yang melakukan pemasukan Bakalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib memperoleh izin dari Menteri. |
(5) |
Setiap Orang yang memasukkan Bakalan dari luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib melakukan penggemukan di dalam negeri untuk memperoleh nilai tambah dalam jangka waktu paling cepat 4 (empat) bulan sejak dilakukan tindakan karantina berupa pelepasan. |
(6) |
Pemasukan Ternak dari luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) harus:
- memenuhi persyaratan teknis Kesehatan Hewan;
- bebas dari Penyakit Hewan Menular yang dipersyaratkan oleh Otoritas Veteriner; dan
- memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang karantina Hewan.
|
(7) |
Pemasukan Ternak dari luar negeri untuk dikembangbiakan di Indonesia harus:
- memenuhi persyaratan teknis Kesehatan Hewan;
- bebas dari Penyakit Hewan Menular yang dipersyaratkan oleh Otoritas Veteriner; dan
- memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang karantina Hewan.
|
(8) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemasukan Ternak dan Produk Hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) serta berat tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri. |
Pasal 36C
(1) |
Pemasukan Ternak Ruminansia Indukan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dapat berasal dari suatu negara atau zona dalam suatu negara yang telah memenuhi persyaratan dan tata cara pemasukannya. |
(2) |
Persyaratan dan tata cara pemasukan Ternak Ruminansia Indukan dari luar negeri ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia ditetapkan berdasarkan analisis risiko di bidang Kesehatan Hewan oleh Otoritas Veteriner dengan mengutamakan kepentingan nasional. |
(3) |
Pemasukan Ternak Ruminansia Indukan yang berasal dari zona sebagaimana dimaksud pada ayat (1), selain harus memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) juga harus terlebih dahulu:
- dinyatakan bebas Penyakit Hewan Menular di negara asal oleh otoritas veteriner negara asal sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan badan kesehatan hewan dunia dan diakui oleh Otoritas Veteriner Indonesia;
- dilakukan penguatan sistem dan pelaksanaan surveilan di dalam negeri; dan
- ditetapkan tempat pemasukan tertentu.
|
(4) |
Setiap Orang yang melakukan pemasukan Ternak Ruminansia Indukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memperoleh izin dari Menteri. |
(5) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemasukan Ternak Ruminansia Indukan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia diatur dengan Peraturan Menteri. |
Pasal 36D
(1) |
Pemasukan Ternak Ruminansia Indukan yang berasal dari zona sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36C harus ditempatkan di pulau karantina sebagai instalasi karantina Hewan pengamanan maksimal untuk jangka waktu tertentu. |
(2) |
Ketentuan mengenai pulau karantina diatur dengan Peraturan Pemerintah. |
Pasal 36E
(1) |
Dalam hal tertentu, dengan tetap memerhatikan kepentingan nasional, dapat dilakukan pemasukan Ternak dan/atau Produk Hewan dari suatu negara atau zona dalam suatu negara yang telah memenuhi persyaratan dan tata cara pemasukan Ternak dan/atau Produk Hewan. |
(2) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai dalam hal tertentu dan tata cara pemasukannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. |
|
|
|
12. |
Di antara ayat (2) dan ayat (3) Pasal 37 disisipkan 1 (satu) ayat yakni ayat (2a), sehingga Pasal 37 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 37
(1) |
Pemerintah membina dan memfasilitasi berkembangnya industri pengolahan Produk Hewan dengan mengutamakan penggunaan bahan baku dari dalam negeri. |
(2) |
Pemerintah membina terselenggaranya kemitraan yang sehat antara industri pengolahan dan Peternak dan/atau koperasi yang menghasilkan Produk Hewan yang digunakan sebagai bahan baku industri. |
(2a) |
Kemitraan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa kerja sama:
- Permodalan atau pembiayaan;
- pengolahan;
- pemasaran;
- pendistribusian; dan/atau
- rantai pasok.
|
(3) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan dan fasilitasi berkembangnya industri pengolahan Produk Hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan peraturan perundang- undangan di bidang industri, kecuali untuk hal-hal yang diatur dalam Undang-Undang ini. |
|
|
|
13. |
Ketentuan Pasal 41 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 41
Pencegahan Penyakit Hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 bertujuan untuk:
- melindungi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dari ancaman masuknya Penyakit Hewan dari luar negeri;
- melindungi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dari ancaman menyebarnya Penyakit Hewan dari luar negeri, dari satu pulau ke pulau lain, dan antardaerah dalam satu pulau di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
- melindungi Hewan dari ancaman muncul, berjangkit, dan menyebarnya Penyakit Hewan; dan
- mencegah keluarnya Penyakit Hewan dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
|
|
|
14. |
Di antara Pasal 41 dan Pasal 42 disisipkan 2 (dua) Pasal, yakni Pasal 41A dan Pasal 41B sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 41A
(1) |
Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya bertanggung jawab melakukan pencegahan Penyakit Hewan. |
(2) |
Dalam melaksanakan tanggung jawab pencegahan Penyakit Hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berkewajiban melakukan koordinasi lintas sektoral, lintas wilayah, dan lintas pemangku kepentingan. |
(3) |
Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan mulai tahap perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, sampai dengan evaluasi kegiatan pencegahan Penyakit Hewan. |
(4) |
Dalam melaksanakan pencegahan Penyakit Hewan, Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya melakukan ' penyebarluasan informasi dan peningkatan kesadaran masyarakat. |
(5) |
Dalam pencegahan Penyakit Hewan, masyarakat dapat berperan aktif bersama dengan Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya. |
Pasal 41B
(1) |
Pencegahan Penyakit Hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 meliputi:
- pencegahan masuknya Penyakit Hewan dari luar negeri ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
- pencegahan keluarnya Penyakit Hewan dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
- pencegahan menyebarnya Penyakit Hewan dari satu pulau ke pulau lain di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
- pencegahan menyebarnya Penyakit Hewan dari satu wilayah ke wilayah lain dalam satu pulau; dan
- pencegahan muncul, berjangkit, dan menyebarnya Penyakit Hewan di dalam suatu wilayah.
|
(2) |
Pencegahan masuk, keluar, dan menyebarnya Penyakit Hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menerapkan persyaratan teknis Kesehatan Hewan. |
(3) |
Pencegahan Penyakit Hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c di tempat- tempat pemasukan dan pengeluaran dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan di bidang karantina hewan. |
(4) |
Pencegahan Penyakit Hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilakukan dengan pemeriksaan dokumen dan Kesehatan Hewan. |
(5) |
Pencegahan muncul, berjangkit, dan menyebarnya Penyakit Hewan di dalam suatu wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dilakukan dengan cara tindakan pengebalan, pengoptimalan kebugaran hewan, dan/atau biosekuriti. |
|
|
|
15. |
Ketentuan Pasal 58 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 58
(1) |
Dalam rangka menjamin Produk Hewan yang aman, sehat, utuh, dan halal bagi yang dipersyaratkan, Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berkewajiban melaksanakan pengawasan, pemeriksaan, pengujian, standardisasi, sertifikasi, dan registrasi Produk Hewan. |
(2) |
Pengawasan, pemeriksaan, dan pengujian Produk Hewan berturut-turut dilakukan di tempat produksi, pada waktu pemotongan, penampungan, dan pengumpulan, pada waktu dalam keadaan segar, sebelum pengawetan, dan pada waktu peredaran setelah pengawetan. |
(3) |
Standardisasi, sertifikasi, dan registrasi Produk Hewan dilakukan terhadap Produk Hewan yang diproduksi di dan/atau dimasukkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk diedarkan dan/atau dikeluarkan dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. |
(4) |
Produk Hewan yang diproduksi di dan/atau dimasukkan ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk diedarkan wajib disertai:
- sertifikat veteriner; dan
- sertifikat halal bagi Produk Hewan yang dipersyaratkan.
|
(5) |
Setiap Orang dilarang mengedarkan Produk Hewan yang diproduksi di dan/atau dimasukkan ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang tidak disertai dengan sertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (4). |
(6) |
Setiap Orang yang memproduksi dan/atau mengedarkan Produk Hewan dilarang memalsukan Produk Hewan dan/atau menggunakan bahan tambahan yang dilarang. |
(7) |
Produk Hewan yang dikeluarkan dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib disertai sertifikat veteriner dan sertifikat halal jika dipersyaratkan oleh negara pengimpor. |
(8) |
Untuk pangan olahan asal Hewan, selain wajib memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) wajib memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pangan. |
|
|
|
16. |
Ketentuan Pasal 59 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 59
(1) |
Setiap Orang yang akan memasukkan Produk Hewan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib memperoleh izin pemasukan dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan setelah memperoleh rekomendasi dari:
- Menteri untuk Produk Hewan segar; atau
- pimpinan lembaga bidang pengawasan obat dan makanan untuk produk pangan olahan asal Hewan.
|
(2) |
Produk Hewan segar yang dimasukkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus berasal dari unit usaha Produk Hewan pada suatu negara yang telah memenuhi persyaratan dan tatacara pemasukan Produk Hewan. |
(3) |
Dalam hal produk pangan olahan asal Hewan yang akan dimasukkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b yang mempunyai risiko penyebaran Zoonosis yang dapat mengancam kesehatan manusia, Hewan, dan lingkungan budi daya, sebelum diterbitkan rekomendasi oleh pimpinan lembaga pemerintah yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan harus mendapatkan persetujuan teknis dari Menteri. |
(4) |
Persyaratan dan tata cara pemasukan Produk Hewan dari luar negeri ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) mengacu pada ketentuan yang berbasis analisis risiko di bidang Kesehatan Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner serta mengutamakan kepentingan nasional. |
|
|
|
17. |
Ketentuan Pasal 65 di ubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 65
Ketentuan lebih lanjut mengenai Kesehatan Masyarakat Veteriner sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 sampai dengan Pasal 64 diatur dengan Peraturan Pemerintah. |
|
|
18. |
Di antara Pasal 66 dan Pasal 67 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 66A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 66A
(1) |
Setiap Orang dilarang menganiaya dan/atau menyalahgunakan Hewan yang mengakibatkan cacat dan/atau tidak produktif. |
(2) |
Setiap Orang yang mengetahui adanya perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melaporkan kepada pihak yang berwenang. |
|
|
|
19. |
Ketentuan Pasal 68 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 68
(1) |
Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya menyelenggarakan Kesehatan Hewan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. |
(2) |
Dalam menyelenggarakan Kesehatan Hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berkewajiban meningkatkan penguatan tugas, fungsi, dan wewenang Otoritas Veteriner. |
|
|
|
20. |
Di antara Pasal 68 dan Pasal 69 disisipkan 5 (lima) Pasal, yakni Pasal 68A, Pasal 68B, Pasal 68C, Pasal 68D, dan Pasal 68E sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 68A
(1) |
Otoritas Veteriner sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (2) mempunyai tugas menyiapkan rumusan dan melaksanakan kebijakan dalam penyelenggaraan Kesehatan Hewan. |
(2) |
Otoritas Veteriner sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh pejabat Otoritas Veteriner. |
(3) |
Pejabat Otoritas Veteriner sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:
- pejabat Otoritas Veteriner nasional;
- pejabat Otoritas Veteriner kementerian;
- pejabat Otoritas Veteriner provinsi; dan
- pejabat Otoritas Veteriner kabupaten/kota.
|
Pasal 68B
(1) |
Pejabat Otoritas Veteriner di tingkat nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68A ayat (3) huruf a diangkat oleh Menteri. |
(2) |
Pejabat Otoritas Veteriner di tingkat kementerian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68A ayat (3) huruf b diangkat oleh menteri. |
(3) |
Pejabat Otoritas Veteriner di tingkat provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68A ayat (3) huruf c diangkat oleh gubernur. |
(4) |
Pejabat Otoritas Veteriner di tingkat kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68A ayat (3) huruf d diangkat oleh bupati/wali kota. |
(5) |
Pejabat Otoritas Veteriner sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diangkat berdasarkan kompetensinya sebagai Dokter Hewan Berwenang. |
Pasal 68C
(1) |
Otoritas Veteriner sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 mempunyai fungsi:
- pelaksana Kesehatan Masyarakat Veteriner;
- penyusun standar dan meningkatkan mutu penyelenggaraan Kesehatan Hewan;
- pengidentifikasi masalah dan pelaksana pelayanan Kesehatan Hewan;
- pelaksana pengendalian dan penanggulangan Penyakit Hewan;
- pengawas dan pengendali pemotongan Ternak Ruminansia Betina Produktif dan/atau Ternak Ruminansia Indukan;
- pengawas tindakan penganiayaan dan penyalahgunaan terhadap Hewan serta aspek Kesejahteraan Hewan lainnya;
- pengelola Tenaga Kesehatan Hewan;
- pelaksana pengembangan profesi kedokteran Hewan;
- pengawas penggunaan Alat dan Mesin Kesehatan Hewan;
- pelaksana perlindungan Hewan dan lingkungannya;
- pelaksana penyidikan dan pengamatan Penyakit Hewan;
- penjamin ketersediaan dan mutu Obat Hewan;
- penjamin keamanan Pakan dan bahan Pakan asal Hewan;
- penyusun prasarana dan sarana serta pembiayaan Kesehatan Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner; dan
- pengelola medik akuatik dan Medik Konservasi.
|
(2) |
Otoritas Veteriner sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang mengambil keputusan tertinggi yang bersifat teknis Kesehatan Hewan. |
(3) |
Pengambilan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan melibatkan keprofesionalan Dokter Hewan dan dengan mengerahkan semua lini kemampuan profesi. |
(4) |
Keterlibatan keprofesionalan Dokter Hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan mulai dari identifikasi masalah, rekomendasi kebijakan, koordinasi pelaksanaan kebijakan, sampai dengan pengendalian teknis operasional penyelenggaraan Kesehatan Hewan di lapangan. |
Pasal 68D
(1) |
Dalam penyelenggaraan Kesehatan Hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1), Pemerintah menetapkan Siskeswanas. |
(2) |
Siskeswanas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi acuan Otoritas Veteriner dalam penyelenggaraan Kesehatan Hewan. |
(3) |
Dalam pelaksanaan Siskeswanas sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya:
- meningkatkan peran dan fungsi kelembagaan penyelenggaraan Kesehatan Hewan; dan
- melaksanakan koordinasi dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang Pemerintahan Daerah.
|
(4) |
Peningkatan peran dan fungsi kelembagaan penyelenggaraan Kesehatan Hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dilaksanakan melalui:
- upaya Kesehatan Hewan meliputi pembentukan unit respons cepat di pusat dan daerah serta penguatan dan pengembangan pusat kesehatan hewan;
- penelitian dan pengembangan Kesehatan Hewan;
- sumber daya Kesehatan Hewan;
- informasi Kesehatan Hewan yang terintegrasi; dan
- peran serta masyarakat.
|
(5) |
Dalam ikut berperan serta mewujudkan Kesehatan Hewan dunia melalui Siskeswanas, Menteri melimpahkan kewenangannya kepada Otoritas Veteriner. |
(6) |
Otoritas Veteriner bersama organisasi profesi kedokteran Hewan melaksanakan Siskeswanas dengan memberdayakan potensi Tenaga Kesehatan Hewan dan membina pelaksanaan praktik kedokteran Hewan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. |
Pasal 68E
Ketentuan lebih lanjut mengenai Otoritas Veteriner dan Siskeswanas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68, Pasal 68A, Pasal 68B, Pasal 68C, dan Pasal 68D diatur dengan Peraturan Pemerintah. |
|
|
21. |
Ketentuan ayat (1) Pasal 85 diubah dan ayat (4) dan ayat (5) dihapus, sehingga Pasal 85 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 85
(1) |
Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), Pasal 11 ayat (1), Pasal 13 ayat (8), Pasal 15 ayat (3), Pasal 16 ayat (2), Pasal 16 ayat (3), Pasal 18 ayat (4), Pasal 19 ayat (1), Pasal 22 ayat (1), Pasal 24 ayat (3), Pasal 25 ayat (1), Pasal 29 ayat (3), Pasal 29 ayat (4), Pasal 36B ayat (4), Pasal 36B ayat (5), Pasal 36C ayat (4), Pasal 42 ayat (5), Pasal 43 ayat (4), Pasal 45 ayat (1), Pasal 47 ayat (2), Pasal 47 ayat (3), Pasal 50 ayat (1), Pasal 50 ayat (3), Pasal 51 ayat (2), Pasal 52 ayat (1), Pasal 54 ayat (3), Pasal 55 ayat (3), Pasal 58 ayat (5), Pasal 59 ayat (1), Pasal 60 ayat (1), Pasal 61 ayat (1), Pasal 61 ayat (2), Pasal 62 ayat (2), Pasal 62 ayat (3), Pasal 69 ayat (2), Pasal 72 ayat (1), atau Pasal 80 ayat (1) dikenai sanksi administratif. |
(2) |
Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
- peringatan secara tertulis;
- pengenaan denda;
- penghentian sementara dari kegiatan, produksi, dan/atau peredaran;
- pencabutan nomor pendaftaran dan penarikan Obat Hewan, Pakan, alat dan mesin, atau Produk Hewan dari peredaran; atau
- pencabutan izin.
|
(3) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
|
|
|
22. |
Ketentuan Pasal 86 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 86
Setiap orang yang menyembelih:
- Ternak ruminansia kecil betina produktif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) dipidana dengan pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 6 (enam) bulan dan denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah); atau
- Ternak ruminansia besar betina produktif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rpl00.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
|
|
|
23. |
Di antara Pasal 91 dan Pasal 92 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 91A dan Pasal 91B sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 91A
Setiap Orang yang memproduksi dan/atau mengedarkan Produk Hewan dengan memalsukan Produk Hewan dan/atau menggunakan bahan tambahan yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (6), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Pasal 91B
(1) |
Setiap Orang yang menganiaya dan/atau menyalahgunakan Hewan sehingga mengakibatkan cacat dan/atau tidak produktif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66A ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 6 (enam) bulan dan denda paling sedikit Rpl.000.000,00 (satu juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah). |
(2) |
Setiap Orang yang mengetahui adanya perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66A ayat (1) dan tidak melaporkan kepada pihak yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66A ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 3 (tiga) bulan dan denda paling sedikit Rpl.000.000,00 (satu juta rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah). |
|
|
|
24. |
Ketentuan Pasal 96 dihapus. |
|
|
25. |
Di antara Pasal 96 dan Pasal 97 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 96A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 96A
(1) |
Peraturan Pemerintah mengenai pulau karantina sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36D ayat (2) harus telah ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan. |
(2) |
Peraturan Pemerintah mengenai Otoritas Veteriner dan Siskeswanas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68E harus telah ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan. |
|