Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 143 Tahun 2023

Kategori : KUP

Tata Cara Pemungutan, Pemotongan, Dan Penyetoran Pajak Rokok


PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 143 TAHUN 2023

TENTANG

TATA CARA PEMUNGUTAN, PEMOTONGAN, DAN PENYETORAN
PAJAK ROKOK

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :
  1. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 34 ayat (5) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemungutan dan penyetoran pajak rokok diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan;
  2. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 100 ayat (3) Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan, ketentuan lebih lanjut mengenai kontribusi dan mekanisme pemotongan pajak rokok diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan; 
  3. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata Cara Pemungutan, Pemotongan, dan Penyetoran Pajak Rokok;
Mengingat :
  1. Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916);
  3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6757);
  4. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6881);
  5. Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 165) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 130);
  6. Peraturan Presiden Nomor 57 Tahun 2020 tentang Kementerian Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 98);
  7. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.01/2021 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 1031) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 135 Tahun 2023 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.01/2021 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 977);

MEMUTUSKAN:


Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PEMUNGUTAN, PEMOTONGAN, DAN PENYETORAN PAJAK ROKOK.


BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1


Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
  1. Pajak Rokok adalah pungutan atas cukai rokok yang dipungut oleh pemerintah pusat.
  2. Rokok adalah hasil tembakau yang meliputi sigaret, cerutu, rokok daun, dan bentuk rokok lainnya yang dikenai cukai rokok.
  3. Cukai Rokok adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap Rokok.
  4. Surat Pemberitahuan Pajak Rokok yang selanjutnya disingkat SPPR adalah surat yang digunakan oleh wajib Pajak Rokok untuk melaporkan penghitungan dan/atau dasar pembayaran Pajak Rokok.
  5. Permohonan Pemesanan Pita Cukai Hasil Tembakau yang selanjutnya disebut CK-1 adalah dokumen cukai yang digunakan oleh wajib Pajak Rokok untuk mengajukan permohonan pemesanan pita cukai hasil tembakau.
  6. Wajib Pajak Rokok adalah pengusaha pabrik Rokok/produsen dan importir Rokok yang memiliki ijin berupa nomor pokok pengusaha barang kena cukai.
  7. Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai yang selanjutnya disingkat NPPBKC adalah izin untuk menjalankan kegiatan sebagai pengusaha pabrik, pengusaha tempat penyimpanan, importir barang kena cukai, penyalur, atau pengusaha tempat penjualan eceran di bidang cukai.
  8. Rekening Kas Umum Negara yang selanjutnya disingkat RKUN adalah rekening tempat penyimpanan uang negara yang ditentukan oleh Menteri Keuangan selaku bendahara umum negara untuk menampung seluruh penerimaan negara dan membayar seluruh pengeluaran negara pada bank sentral.
  9. Rekening Kas Umum Daerah Provinsi yang selanjutnya disingkat RKUD Provinsi adalah rekening tempat penyimpanan uang daerah yang ditentukan oleh gubernur untuk menampung seluruh penerimaan daerah dan membayar seluruh pengeluaran daerah pada bank yang ditetapkan.
  10. Kantor Bea dan Cukai adalah kantor pelayanan utama bea dan cukai atau kantor pengawasan dan pelayanan bea dan cukai di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
  11. Pejabat Bea dan Cukai adalah pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang ditunjuk dalam jabatan tertentu untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan undang-undang mengenai cukai.
  12. Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara yang selanjutnya disingkat KPPN adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan.
  13. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
  14. Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat PA adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan anggaran kementerian negara/lembaga.
  15. Pembantu Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat PPA BUN adalah unit eselon 1 di lingkungan Kementerian Keuangan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan bertanggung jawab atas pengelolaan anggaran yang berasal dari bagian anggaran bendahara umum negara.
  16. Kuasa Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat KPA BUN adalah pejabat pada satuan kerja dari masing-masing PPA BUN baik di kantor pusat maupun kantor daerah atau satuan kerja di kementerian/lembaga nonkementerian yang memperoleh penugasan dari Menteri Keuangan untuk melaksanakan kewenangan dan tanggung jawab pengelolaan anggaran yang berasal dari bagian anggaran bendahara umum negara.
  17. Pejabat Pembuat Komitmen yang selanjutnya disingkat PPK adalah pejabat yang melaksanakan kewenangan PA/kuasa PA untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan yang dapat mengakibatkan pengeluaran atas beban APBN.
  18. Pejabat Pendanda Tangan Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat PPSPM adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh PA/kuasa PA untuk melakukan pengujian atas permintaan pembayaran dan menerbitkan perintah pembayaran.
  19. Surat Ketetapan Penyetoran Pajak Rokok yang selanjutnya disingkat SKP-PR adalah dokumen sebagai dasar penyetoran Pajak Rokok yang memuat rincian jumlah Pajak Rokok per provinsi dalam periode tertentu.
  20. Surat Permintaan Pembayaran yang selanjutnya disingkat SPP adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPK, yang berisi permintaan pembayaran tagihan kepada negara.
  21. Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat SPM adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPSPM untuk mencairkan dana yang bersumber dari daftar isian pelaksanaan anggaran.
  22. Surat Perintah Pencairan Dana yang selanjutnya disingkat SP2D adalah surat perintah yang diterbitkan oleh KPPN selaku kuasa bendahara umum negara untuk pelaksanaan pengeluaran atas beban APBN berdasarkan SPM.
  23. Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat BUN adalah pejabat yang diberi tugas untuk melaksanakan fungsi BUN.
  24. Kuasa Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disebut Kuasa BUN adalah pejabat yang diangkat oleh BUN untuk melaksanakan tugas kebendaharaan dalam rangka pelaksanaan APBN dalam wilayah kerja yang ditetapkan.
  25. Collecting Agent adalah agen penerimaan yang meliputi bank persepsi, pos persepsi, bank persepsi valuta asing (Valas), lembaga persepsi lainnya, atau lembaga persepsi lainnya Valas yang ditunjuk oleh Kuasa BUN Pusat untuk menerima setoran penerimaan negara.
  26. Bukti Penerimaan Negara yang selanjutnya disingkat BPN adalah dokumen yang diterbitkan oleh Collecting Agent atas transaksi penerimaan negara yang mencantumkan nomor transaksi penerimaan negara dan nomor transaksi bank/nomor transaksi pos/nomor transaksi lembaga persepsi lainnya sebagai sarana administrasi lain yang kedudukannya disamakan dengan surat setoran.
  27. Arsip Data Komputer yang selanjutnya disingkat ADK adalah arsip data dalam bentuk softcopy yang disimpan dalam media penyimpanan digital.
  28. Surat Keterangan Telah Dibukukan yang selanjutnya disingkat SKTB adalah surat keterangan yang diterbitkan oleh KPPN atas penerimaan Pajak Rokok yang telah dibukukan KPPN.
  29. Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak Rokok yang selanjutnya disingkat SKP-KP2R adalah surat keputusan sebagai dasar untuk menerbitkan SPM pengembalian penerimaan.
  30. Jaminan Kesehatan adalah jaminan berupa perlindungan kesehatan agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran Jaminan Kesehatan atau iuran Jaminan Kesehatannya dibayar oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, atau pihak lain atas nama peserta.
  31. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan yang selanjutnya disebut BPJS Kesehatan adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program Jaminan Kesehatan.
  32. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

BAB II
TATA CARA PEMUNGUTAN PAJAK ROKOK

Bagian Kesatu
Pemungutan

Pasal 2


(1) Dasar pengenaan Pajak Rokok adalah cukai yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat terhadap Rokok.
(2) Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk Rokok elektrik.
(3) Tarif Pajak Rokok ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen) dari Cukai Rokok.
(4) Besaran pokok Pajak Rokok yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan tarif Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(5) Pemungutan Pajak Rokok dilakukan oleh Kantor Bea dan Cukai bersamaan dengan pemungutan Cukai Rokok.
(6) Pelaksanaan pemungutan Pajak Rokok dilakukan dengan berpedoman pada petunjuk teknis pemungutan Pajak Rokok.
(7) Petunjuk teknis pemungutan Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tercantum dalam huruf A dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.


Bagian Kedua
Pembayaran Pajak Rokok

Pasal 3


(1) Wajib Pajak Rokok menghitung sendiri Pajak Rokok yang dituangkan dalam SPPR.
(2) Wajib Pajak Rokok menyampaikan SPPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Kepala Kantor Bea dan Cukai bersamaan dengan dokumen CK-1.
(3) SPPR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan melalui sistem aplikasi di bidang cukai.
(4) Dalam hal sistem aplikasi di bidang cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mengalami gangguan, SPPR disampaikan secara tertulis melalui Kantor Bea dan Cukai.
(5) SPPR yang disampaikan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dibuat sesuai dengan contoh format dalam huruf B yang tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.


Pasal 4


(1) Pejabat Bea dan Cukai melakukan penelitian terhadap SPPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) atau ayat (4).
(2) Penelitian terhadap SPPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
  1. kelengkapan dan kebenaran pengisian SPPR;
  2. kesesuaian antara dokumen SPPR dengan dokumen CK-1; dan
  3. kebenaran penghitungan Pajak Rokok.
(3) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) SPPR dinyatakan telah lengkap, sesuai, dan benar, Pejabat Bea dan Cukai memberikan nomor pendaftaran pada Wajib Pajak Rokok.
(4) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) SPPR dinyatakan tidak lengkap, tidak sesuai, dan tidak benar, Pejabat Bea dan Cukai menerbitkan nota penolakan.
(5) Wajib Pajak Rokok yang menerima nota penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat menyampaikan kembali SPPR.
(6) Nota penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dibuat sesuai dengan contoh format huruf C yang tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.


Pasal 5


(1) Wajib Pajak Rokok yang telah memperoleh nomor pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) melakukan pembayaran Pajak Rokok bersamaan dengan pembayaran Cukai Rokok ke RKUN.
(2) Pembayaran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan kode Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara Pengelolaan Transaksi Khusus (BA 999.99) dengan akun penerimaan non anggaran.
(3) Pembayaran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui Collecting Agent dengan menggunakan kode billing.
(4) Kode billing sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai melalui portal biller.
(5) Terhadap pembayaran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan BPN.
(6) Wajib Pajak Rokok menyampaikan BPN sebagaimana pada ayat (5) kepada Pejabat Bea dan Cukai.
(7) Dalam hal Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dibayarkan, pelayanan atas pemesanan pita cukai tidak dilaksanakan.
(8) Tata cara pembayaran Pajak Rokok oleh Wajib Pajak Rokok melalui Collecting Agent dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan mengenai sistem penerimaan negara secara elektronik.


Pasal 6


(1) Pejabat Bea dan Cukai melakukan penelitian atas pembayaran Pajak Rokok.
(2) Penelitian atas pembayaran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
  1. kelengkapan dan kebenaran BPN;
  2. kesesuaian data antara SPPR dengan BPN; dan
  3. kebenaran penghitungan dan kesesuaian jumlah Pajak Rokok yang tertuang pada SPPR dengan jumlah uang yang disetorkan.
(3) Dalam hal hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdapat ketidaklengkapan, ketidaksesuaian, dan/atau ketidakbenaran yang menyebabkan terjadinya kekurangan pembayaran Pajak Rokok, Pejabat Bea dan Cukai:
  1. menunda pelayanan Pita Cukai Rokok sampai dengan dilunasinya pembayaran Pajak Rokok untuk pembayaran Cukai Rokok secara tunai; atau
  2. tidak melayani CK-1 berikutnya sampai dengan dilunasinya pembayaran Pajak Rokok untuk pembayaran Cukai Rokok yang mendapatkan penundaan pembayaran cukai.
(4) Dalam hal Pajak Rokok belum dilunasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), permohonan penyediaan pita cukai untuk kebutuhan bulan berikutnya tidak dilayani.
(5) Dalam hal hasil penelitian atas SPPR dengan BPN telah sesuai, Pejabat Bea dan Cukai melanjutkan proses pelayanan CK-1.


Bagian Ketiga
Rekapitulasi Penerimaan Pajak Rokok

Pasal 7


(1) Direktorat teknis yang memiliki tugas dan fungsi menangani penerimaan Pajak Rokok pada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai melakukan rekapitulasi penerimaan Pajak Rokok bulan sebelumnya.
(2) Rekapitulasi penerimaan Pajak Rokok bulan sebelumnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dalam daftar realisasi penerimaan Pajak Rokok.
(3) Direktorat teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyampaikan daftar realisasi penerimaan Pajak Rokok kepada Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan c.q. Direktorat Pajak Daerah dan Retribusi Daerah pada Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja bulan berikutnya.
(4) Daftar realisasi penerimaan Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan dalam bentuk ADK.


Bagian Keempat
Penagihan Kekurangan Pembayaran Pajak Rokok

Pasal 8


(1) Dalam hal ditemukan adanya kekurangan cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) yang menyebabkan kurangnya pembayaran Pajak Rokok atau tidak dilunasinya pembayaran Pajak Rokok, Kepala Kantor Bea dan Cukai menyampaikan surat pemberitahuan kekurangan pembayaran Pajak Rokok kepada Wajib Pajak Rokok.
(2) Surat pemberitahuan kekurangan pembayaran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi sebagai surat ketetapan pajak daerah kurang bayar yang merupakan dasar penagihan Pajak Rokok.
(3) Surat pemberitahuan kekurangan pembayaran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) hari kerja setelah ditemukannya kekurangan Pajak Rokok.
(4) Surat pemberitahuan kekurangan pembayaran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan:
  1. secara langsung;
  2. melalui pos, perusahaan jasa ekspedisi, atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat; atau
  3. media elektronik atau melalui sistem aplikasi di bidang cukai.
(5) Penyampaian surat pemberitahuan kekurangan pembayaran Pajak melalui sistem aplikasi di bidang cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c dilakukan dalam hal sistem aplikasi di bidang cukai sudah tersedia.
(6) Surat pemberitahuan kekurangan pembayaran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat sesuai dengan contoh format dalam huruf D yang tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.


Pasal 9


(1) Wajib Pajak Rokok wajib melunasi kekurangan pembayaran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak terhitung sejak Wajib Pajak Rokok menerima surat pemberitahuan kekurangan pembayaran Pajak Rokok.
(2) Dalam hal Wajib Pajak Rokok tidak melunasi kekurangan pembayaran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Kantor Bea dan Cukai menyampaikan surat penyerahan kepada Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan c.q. Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dengan melampirkan surat pemberitahuan kekurangan pembayaran Pajak Rokok.
(3) Tanggal diterimanya surat pemberitahuan kekurangan pembayaran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan:
  1. tanggal pada saat surat pemberitahuan kekurangan pembayaran Pajak Rokok diterima secara langsung, dalam hal surat pemberitahuan kekurangan pembayaran Pajak Rokok disampaikan secara langsung;
  2. tanggal stempel pos, perusahaan jasa ekspedisi, atau jasa kurir, dalam hal pengiriman dilakukan melalui pos, perusahaan jasa ekspedisi, atau jasa kurir; atau
  3. tanggal yang tertera pada media elektronik, dalam hal pengiriman dilakukan dengan media elektronik.
(4) Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan menyampaikan surat pemberitahuan kekurangan pembayaran Pajak Rokok berdasarkan surat penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada gubernur tempat Wajib Pajak Rokok berada.
(5) Gubernur menindaklanjuti surat pemberitahuan kekurangan pembayaran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dengan melakukan penagihan kekurangan pembayaran Pajak Rokok sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai penagihan pajak daerah.
(6) Berdasarkan penagihan kekurangan pembayaran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Wajib Pajak Rokok melakukan pelunasan atas kekurangan Pajak Rokok melalui RKUN.


BAB III
PENYETORAN PAJAK ROKOK

Bagian Kesatu
Pejabat Perbendaharaan

Pasal 10


(1) Dalam rangka penyetoran Pajak Rokok, Menteri Keuangan selaku BUN yang merupakan PA penerimaan, pemotongan, dan penyetoran Pajak Rokok menetapkan:
a. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan sebagai pemimpin PPA BUN penerimaan, pemotongan, dan penyetoran Pajak Rokok;
b. Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagai KPA BUN penerimaan dan pemotongan Pajak Rokok; dan
c. Direktur Sistem Informasi dan Pelaksanaan Transfer sebagai KPA BUN penyetoran Pajak Rokok.
(2) Dalam hal Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan/atau Direktur Sistem Informasi dan Pelaksanaan Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c berhalangan, Menteri Keuangan menunjuk Sekretaris Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan sebagai pelaksana tugas KPA BUN penerimaan dan pemotongan Pajak Rokok dan/atau pelaksana tugas KPA BUN penyetoran Pajak Rokok.
(3) Keadaan berhalangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan suatu keadaan yang menyebabkan pejabat definitif yang ditetapkan sebagai KPA BUN penerimaan dan pemotongan Pajak Rokok dan/atau KPA BUN penyetoran Pajak Rokok:
a. tidak terisi dan menimbulkan lowongan jabatan; dan/atau
b. masih terisi namun pejabat definitif yang ditetapkan sebagai KPA BUN penerimaan dan pemotongan Pajak Rokok dan/atau KPA BUN penyetoran Pajak Rokok tidak dapat melaksanakan tugas melebihi 45 (empat puluh lima) hari kerja.
(4) Pejabat pelaksana tugas KPA BUN penerimaan dan pemotongan Pajak Rokok dan/atau pejabat pelaksana tugas KPA BUN penyetoran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (3) memiliki kewenangan dan tanggung jawab yang sama dengan KPA BUN penerimaan dan pemotongan Pajak Rokok dan/atau KPA BUN penyetoran Pajak Rokok definitif.
(5) Penunjukan:
a. Sekretaris Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan sebagai pelaksana tugas KPA BUN
penerimaan dan pemotongan Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (2); dan/atau
b. Sekretaris Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan sebagai pelaksana tugas KPA BUN
penyetoran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
berakhir dalam hal Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan/atau Direktur Sistem Informasi dan Pelaksanaan Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c telah terisi kembali oleh pejabat definitif dan/atau dapat melaksanakan tugas kembali sebagai KPA BUN.
(6) Pemimpin PPA BUN penerimaan, pemotongan, dan penyetoran Pajak Rokok dapat mengusulkan penggantian KPA BUN penerimaan dan pemotongan Pajak Rokok dan/atau KPA BUN penyetoran Pajak Rokok kepada Menteri Keuangan.
(7) Penggantian KPA BUN penerimaan dan pemotongan Pajak Rokok dan/atau KPA BUN penyetoran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (6) ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.


Pasal 11


(1) KPA BUN Penerimaan dan Pemotongan Pajak Rokok bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan penerimaan dan pemotongan Pajak Rokok.
(2) KPA BUN Penerimaan dan Pemotongan Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai tugas dan fungsi sebagai berikut:
  1. menerbitkan SKP-PR;
  2. menerbitkan SKP-KP2R;
  3. menyampaikan rekomendasi penyetoran Pajak Rokok kepada KPA BUN Penyetoran Pajak Rokok;
  4. menyampaikan pemberitahuan penyetoran Pajak Rokok kepada gubernur dan kepala BPJS Kesehatan; dan
  5. menyampaikan pemberitahuan penyetoran atas pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Rokok kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

Pasal 12


(1) KPA BUN Penyetoran Pajak Rokok bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan penyetoran Pajak Rokok.
(2) KPA BUN Penyetoran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai tugas dan fungsi sebagai berikut:
  1. menetapkan staf pengelola keuangan, PPK, dan PPSPM;
  2. melaksanakan pemotongan penyetoran, penundaan penyetoran, penghentian penyetoran, dan penyetoran kembali pajak rokok;
  3. mengawasi penatausahaan dokumen dan transaksi yang berkaitan dengan pelaksanaan kegiatan dan anggaran; dan
  4. menyusun dan menyampaikan laporan keuangan atas penerimaan dan penyetoran pajak rokok kepada Pembantu Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara penerimaan, pemotongan, dan penyetoran Pajak Rokok dalam rangka pertanggungjawaban pengelolaan Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara Pengelolaan Transaksi Khusus (BA 999.99).
(3) Tugas, wewenang, dan tanggung jawab KPA BUN Penyetoran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan tugas, wewenang, dan tanggung jawab kuasa pengguna anggaran sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai perencanaan anggaran, pelaksanaan anggaran, serta akuntansi dan pelaporan keuangan.


Pasal 13


(1) Penetapan PPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) huruf a dilakukan dalam rangka mengajukan permintaan pembayaran untuk penyetoran Pajak Rokok, penyetoran pembayaran pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Rokok, dan penyetoran pembayaran atas hasil pemotongan Pajak Rokok sebagai kontribusi dukungan program Jaminan Kesehatan.
(2) Penetapan PPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) huruf a tidak terikat tahun anggaran.
(3) Tugas, wewenang, dan pertanggungjawaban PPK dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan mengenai tata cara pencairan anggaran pendapatan dan belanja negara bagian atas beban anggaran bendahara umum negara pada kantor pelayanan perbendaharaan negara.


Pasal 14


(1) Penetapan PPSPM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) huruf a dilakukan dalam rangka melakukan pengujian permintaan pembayaran, pembebanan, dan penerbitan perintah pembayaran atas penyetoran Pajak Rokok, penyetoran pembayaran pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Rokok, dan penyetoran pembayaran atas hasil pemotongan Pajak Rokok sebagai kontribusi dukungan program Jaminan Kesehatan.
(2) Penetapan PPSPM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak terikat tahun anggaran.
(3) Tugas, wewenang, dan pertanggungjawaban PPSPM dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan mengenai tata cara pencairan anggaran pendapatan dan belanja negara bagian atas beban anggaran bendahara umum negara pada kantor pelayanan perbendaharaan negara.


Bagian Kedua
Penyetoran Pajak Rokok

Pasal 15


(1) Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan menetapkan proporsi dan estimasi penerimaan Pajak Rokok untuk masing-masing provinsi sebagai dasar penyusunan anggaran pendapatan dan belanja daerah tahun anggaran berikutnya untuk masing-masing provinsi.
(2) Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setiap tahun paling lambat pada bulan November tahun anggaran sebelumnya.
(3) Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan rasio jumlah penduduk provinsi terhadap jumlah penduduk nasional dan target penerimaan Cukai Rokok pada Undang-Undang mengenai anggaran pendapatan dan belanja negara.
(4) Rasio jumlah penduduk sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan berdasarkan data jumlah penduduk yang digunakan untuk penghitungan dana alokasi umum untuk tahun anggaran berikutnya.
(5) Berdasarkan penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), gubernur menetapkan alokasi bagi hasil Pajak Rokok untuk masing-masing kabupaten/kota sebagai dasar penyusunan anggaran pendapatan dan belanja daerah kabupaten/kota.
(6) Alokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditetapkan paling lambat bulan November tahun anggaran sebelumnya.


Pasal 16


(1) Berdasarkan realisasi penerimaan Pajak Rokok, Direktorat Jenderal Perbendaharaan menyampaikan data realisasi penerimaan Pajak Rokok kepada Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan.
(2) Penyampaian data realisasi penerimaan Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setiap triwulanan pada minggu pertama triwulan berikutnya.
(3) Penyampaian data realisasi penerimaan Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk triwulan keempat dilakukan pada minggu pertama bulan Desember berdasarkan realisasi penerimaan Pajak Rokok sampai dengan tanggal 30 November tahun berkenaan.
(4) Penyampaian data realisasi penerimaan Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan akhir tahun anggaran dilakukan paling lambat pada bulan Januari tahun anggaran berikutnya.


Pasal 17


(1) Berdasarkan realisasi penerimaan Pajak Rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) dan penetapan proporsi dan estimasi penerimaan Pajak Rokok untuk masing-masing provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, KPA BUN Penerimaan dan Pemotongan Pajak Rokok menerbitkan SKP-PR.
(2) SKP-PR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan rangkap 3 (tiga) dengan peruntukan sebagai berikut:
  1. Lembar ke-1 untuk KPPN Jakarta II;
  2. Lembar ke-2 untuk PPK; dan
  3. Lembar ke-3 untuk pertinggal.
  

Pasal 18


(1) KPA BUN Penerimaan dan Pemotongan Pajak Rokok menyampaikan SKP-PR kepada KPA BUN Penyetoran Pajak Rokok.
(2) Berdasarkan SKP-PR sebagaimana dimaksud ayat (1), PPK menerbitkan SPP untuk penyetoran Pajak Rokok.
(3) PPK menyampaikan SPP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan dilampiri SKP-PR kepada PPSPM.
(4) PPSPM melakukan pemeriksaan dan pengujian SPP yang dilampiri SKP-PR sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(5) Pemeriksaan dan pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai tata cara pencairan anggaran, pendapatan dan belanja negara atas beban bagian anggaran bendahara umum negara pada kantor perbendaharaan negara.
(6) Dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan dan pengujian SPP dinyatakan telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), PPSPM menerbitkan SPM.
(7) Dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan dan pengujian SPP dinyatakan tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), PPSPM mengembalikan SPP kepada PPK untuk diperbaiki atau dilengkapi.
(8) PPSPM menyampaikan SPM sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan dilampiri SKP-PR kepada KPPN Jakarta II.
(9) Tata cara penerbitan SPM sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan tata cara penyampaian SPM sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai tata cara pencairan anggaran, pendapatan dan belanja negara atas beban bagian anggaran bendahara umum negara pada kantor perbendaharaan negara.


Pasal 19


(1) KPPN Jakarta II menerbitkan SP2D berdasarkan SPM dan SKP-PR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Berdasarkan SP2D sebagaimana dimaksud pada ayat (1) KPA BUN Penerimaan dan Pemotongan menyampaikan surat pemberitahuan penyetoran Pajak Rokok kepada gubernur paling lama 2 (dua) hari kerja terhitung sejak SP2D penyetoran Pajak Rokok diterbitkan.
(3) Penyampaian surat pemberitahuan penyetoran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui media elektronik atau melalui sistem aplikasi pelaporan Pajak Rokok.


Pasal 20


(1) Penyetoran penerimaan Pajak Rokok ke masing-masing RKUD Provinsi dilakukan sesuai dengan realisasi penerimaan Pajak Rokok dan proporsi untuk masing-masing provinsi.
(2) Penyetoran penerimaan Pajak Rokok ke RKUD Provinsi dilaksanakan setiap triwulanan pada bulan pertama triwulan berikutnya.
(3) Penyetoran penerimaan Pajak Rokok ke RKUD Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk penerimaan bulan Oktober dan November dilaksanakan pada bulan Desember.
(4) Penyetoran penerimaan Pajak Rokok ke RKUD Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk penerimaan sampai dengan bulan Desember tahun berkenaan yang masih terdapat di RKUN dilaksanakan bersamaan dengan penyetoran triwulan I tahun anggaran berikutnya.
(5) Penyetoran penerimaan Pajak Rokok ke RKUD Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan setelah:
  1. gubernur menyalurkan seluruh bagi hasil Pajak Rokok kepada kabupaten/kota atas realisasi Pajak Rokok yang diterima oleh provinsi pada triwulan sebelumnya; dan
  2. gubernur menyampaikan laporan realisasi penyaluran bagi hasil Pajak Rokok kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan.


Pasal 21


Dalam hal terdapat selisih antara penerimaan dengan penyetoran Pajak Rokok ke RKUD Provinsi berdasarkan hasil pemeriksaan laporan keuangan Pemerintah Pusat, selisih tersebut diperhitungkan pada penyetoran Pajak Rokok tahun berikutnya.


BAB IV
PENYALURAN BAGI HASIL PAJAK ROKOK

Pasal 22


(1) Gubernur menetapkan jumlah bagi hasil Pajak Rokok kabupaten/kota setelah Pajak Rokok diterima di RKUD Provinsi.
(2) Penetapan jumlah bagi hasil Pajak Rokok kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan Keputusan Gubernur.
(3) Berdasarkan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), gubernur menyalurkan bagi hasil Pajak Rokok kepada kabupaten/kota dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak diterimanya Pajak Rokok di RKUD Provinsi.
(4) Penyaluran bagi hasil Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan sesuai dengan realisasi penerimaan Pajak Rokok pada RKUD Provinsi.
(5) Dalam hal realisasi penerimaan Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (4) lebih besar atau lebih kecil dari yang telah dianggarkan di anggaran pendapatan dan belanja daerah Provinsi, penyaluran bagi hasil Pajak Rokok tetap dilaksanakan sesuai dengan realisasi penerimaan Pajak Rokok pada RKUD Provinsi.
(6) Dalam hal penyaluran bagi hasil Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (3) belum dianggarkan dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah atau anggaran pendapatan dan belanja daerah perubahan, penyaluran tetap dilakukan sesuai dengan realisasi penerimaan Pajak Rokok pada RKUD Provinsi.


Pasal 23


(1) Ketentuan mengenai bagi hasil Pajak Rokok kepada kabupaten/kota dan variabel yang digunakan dalam penghitungan bagi hasil Pajak Rokok dimaksud diatur dalam peraturan daerah provinsi.
(2) Ketentuan mengenai formula penghitungan bagi hasil Pajak Rokok dan tata cara penyaluran bagi hasil Pajak Rokok diatur dalam peraturan gubernur.
(3) Peraturan gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dapat mengatur pendelegasian wewenang penetapan alokasi bagi hasil Pajak Rokok yang dibagihasilkan kepada kabupaten/kota kepada kepala perangkat daerah yang menangani pendapatan dan/atau keuangan daerah.


BAB V
PEMOTONGAN PAJAK ROKOK SEBAGAI KONTRIBUSI
DUKUNGAN PROGRAM JAMINAN KESEHATAN

Pasal 24


(1) Pemerintah daerah provinsi atau kabupaten/kota wajib mendukung penyelenggaraan program Jaminan Kesehatan.
(2) Kewajiban mendukung penyelenggaraan program Jaminan Kesehatan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) merupakan dukungan penyelenggaraan program Jaminan Kesehatan yang dilaksanakan melalui kontribusi penerimaan yang bersumber dari Pajak Rokok bagian hak masing-masing pemerintah daerah provinsi atau kabupaten/kota.
(3) Kontribusi Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (2)  ditetapkan sebesar 75% (tujuh puluh lima persen) dari 50% (lima puluh persen) atau ekuivalen sebesar 37,5% (tiga puluh tujuh koma lima persen) dari realisasi penerimaan yang bersumber dari Pajak Rokok masing-masing provinsi atau kabupaten/kota.
(4) Dalam hal pemerintah daerah provinsi atau kabupaten/kota tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pemerintah daerah provinsi atau kabupaten/kota dikenai sanksi pemotongan Pajak Rokok sejumlah selisih 37,5% (tiga puluh tujuh koma lima persen) dari rencana penerimaan dan/atau realisasi penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).


Pasal 25


(1) Pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota merencanakan dan menganggarkan kontribusi untuk mendukung program Jaminan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah setiap tahun.
(2) Besaran anggaran kontribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memperhitungkan Jaminan Kesehatan Daerah yang diintegrasikan ke dalam program Jaminan Kesehatan yang diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan.


Pasal 26


(1) Untuk mengetahui kecukupan perencanaan dan penganggaran kontribusi program Jaminan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1), pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota melakukan rekonsiliasi data dengan BPJS Kesehatan.
(2) Hasil kesepakatan atas rekonsiliasi data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam berita acara kesepakatan yang memuat data:
  1. rencana penerimaan Pajak Rokok; dan
  2. rencana anggaran Jaminan Kesehatan daerah yang diintegrasikan ke BPJS Kesehatan,
(3) Berita acara kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuat sesuai dengan format dalam huruf E yang tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(4) Dalam hal berdasarkan hasil rekonsiliasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), terdapat selisih kurang anggaran Jaminan Kesehatan Daerah yang terintegrasi dengan BPJS Kesehatan, selisih kurang tersebut dituangkan dalam berita acara kesepakatan.
(5) Berita acara kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditandatangani oleh kepala daerah dan pejabat BPJS Kesehatan.
(6) Dalam menandatangani berita acara kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), kepala daerah dapat mendelegasikan kewenangannya kepada pejabat yang ditunjuk.
(7) Berita acara kesepakatan yang telah ditandatangani oleh kepala daerah atau pejabat yang ditunjuk dan pejabat BPJS kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) disampaikan kepada gubernur.
(8) Pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota melakukan rekonsiliasi pelaksanaan program Jaminan Kesehatan dengan BPJS Kesehatan yang hasilnya dituangkan dalam Berita Acara Rekonsiliasi dengan format dalam huruf F yang tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(9) Dalam hal berdasarkan hasil rekonsiliasi sebagaimana dimaksud pada ayat (8) terdapat selisih kurang realisasi Jaminan Kesehatan Daerah yang terintegrasi dengan BPJS Kesehatan, selisih kurang tersebut diperhitungkan dalam berita acara kesepakatan tahun berikutnya.
(10) Dalam hal hasil rekonsiliasi menunjukkan jumlah realisasi jaminan kesehatan daerah termasuk di dalamnya pemotongan Pajak Rokok melebihi realisasi kontribusi penerimaan Pajak Rokok, BPJS Kesehatan dan pemerintah daerah dapat melakukan kesepakatan untuk:
  1. menambah jumlah kepesertaan dalam program jaminan kesehatan dimaksud; dan
  2. memperhitungkan sebagai jaminan kesehatan tahun berikutnya tanpa mengurangi jumlah kontribusi minimal 37,5% (tiga puluh tujuh koma lima persen).


Pasal 27


(1) Gubernur membuat kompilasi berita acara kesepakatan atas berita acara kesepakatan yang telah ditandatangani oleh kepala daerah atau pejabat yang ditunjuk dan pejabat BPJS kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26.
(2) Kompilasi berita acara kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh gubernur dan pejabat BPJS Kesehatan.
(3) Dalam menandatangani kompilasi berita acara kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), gubernur dapat mendelegasikan kewenangannya kepada pejabat yang ditunjuk.
(4) Gubernur menyampaikan kompilasi berita acara kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada Menteri Keuangan melalui Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan c.q. Direktorat Pajak Daerah dan Retribusi Daerah paling lambat pada tanggal 31 Maret setiap tahun.
(5) Kompilasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan secara elektronik dan/atau dokumen fisik.
(6) Dalam hal tanggal 31 Maret sebagaimana dimaksud pada ayat (4) bertepatan dengan hari libur atau hari yang diliburkan, batas waktu penyampaian kompilasi berita acara kesepakatan dilakukan pada hari kerja berikutnya.
(7) Dalam hal pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota mengalami keadaan:
a. bencana alam;
b. bencana nonalam; dan/atau
c. bencana sosial,
Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan dapat menetapkan perpanjangan batas waktu penyampaian kompilasi berita acara kesepakatan.
(8) Perpanjangan batas waktu penyampaian kompilasi berita acara kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) ditetapkan dengan keputusan Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan.
(9) Kompilasi berita acara kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat sesuai dengan contoh format dalam huruf G yang tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.


Pasal 28


(1) Sanksi pemotongan Pajak Rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (4) dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
  1. dalam hal anggaran dan/atau realisasi kontribusi Jaminan Kesehatan pemerintah daerah provinsi atau kabupaten/kota yang tercantum dalam kompilasi berita acara kesepakatan sebesar 37,5% (tiga puluh tujuh koma lima persen) atau lebih, tidak dilakukan pemotongan Pajak Rokok; atau
  2. dalam hal anggaran dan/atau realisasi kontribusi Jaminan Kesehatan pemerintah daerah provinsi atau kabupaten/kota yang tercantum dalam kompilasi berita acara kesepakatan kurang dari 37,5% (tiga puluh tujuh koma lima persen), pemotongan Pajak Rokok dilakukan sebesar selisih kurang dari 37,5% (tiga puluh tujuh koma lima persen); atau
  3. dalam hal pemerintah daerah provinsi tidak menyampaikan kompilasi berita acara kesepakatan, dikenakan pemotongan Pajak Rokok sebesar 37,5% (tiga puluh tujuh koma lima persen).
(2) Hasil pemotongan penerimaan Pajak Rokok yang telah disetorkan ke rekening BPJS Kesehatan diperhitungkan untuk pemenuhan kewajiban Jaminan Kesehatan untuk pemerintah daerah yang bersangkutan.


BAB VI
PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK
ROKOK

Pasal 29


(1) Dalam hal terdapat kelebihan pembayaran Pajak Rokok, Wajib Pajak Rokok dapat mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Rokok kepada Kepala Kantor Bea dan Cukai.
(2) Pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan:
  1. kelebihan pembayaran Pajak Rokok karena kesalahan penghitungan;
  2. pengembalian Cukai Rokok; atau
  3. Pajak Rokok yang telah dibayar oleh Wajib Pajak yang bukan merupakan objek Pajak Rokok yang terutang atau yang seharusnya tidak terutang.
(3) Dalam hal pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Rokok karena terdapat pengembalian Cukai Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, permohonan pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Rokok dapat diajukan sepanjang tanda bukti perusakan pita cukai dan/atau tanda bukti pengembalian pita cukai tidak melebihi batas waktu 12 (dua belas) bulan sejak tanggal penerbitannya.
(4) Kelebihan pembayaran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikembalikan dalam hal Pajak Rokok telah dibayar yang dibuktikan dengan BPN.
(5) Atas kelebihan pembayaran Pajak Rokok, Kepala Kantor Bea dan Cukai menerbitkan Tanda Bukti Kelebihan Pembayaran Pajak Rokok.
(6) Tanda Bukti Kelebihan Pembayaran Pajak Rokok dapat digunakan sebagai dasar pengembalian Pajak Rokok dengan ketentuan tidak melebihi jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak tanggal penerbitannya.
(7) Tanda Bukti Kelebihan Pembayaran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dibuat sesuai dengan contoh format dalam huruf H yang tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.


Pasal 30


(1) Pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) huruf a dan huruf c dilakukan secara tunai.
(2) Pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) huruf b dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
  1. dalam hal pengembalian Cukai Rokok diperhitungkan pada pembayaran Cukai Rokok berikutnya, pengembalian Pajak Rokok diperhitungkan atas pembayaran Pajak Rokok berikutnya; atau
  2. dalam hal pengembalian Cukai Rokok dilakukan secara tunai, pengembalian Pajak Rokok dilakukan secara tunai.
(3) Dalam hal pengembalian Cukai Rokok diperhitungkan pada pembayaran Cukai Rokok berikutnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, Wajib Pajak Rokok melampirkan Tanda Bukti Kelebihan Pembayaran Pajak Rokok pada saat mengajukan SPPR berikutnya.
(4) Berdasarkan Tanda Bukti Kelebihan Pembayaran Pajak Rokok, Kantor Bea dan Cukai memperhitungkan pengembalian Pajak Rokok dengan pembayaran Pajak Rokok berikutnya.
(5) Dalam hal pengembalian cukai dilakukan secara tunai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) huruf b, Wajib Pajak Rokok mengajukan permohonan pengembalian Pajak Rokok secara tertulis kepada Kepala Kantor Bea dan Cukai dengan melampirkan Tanda Bukti Kelebihan Pembayaran Pajak Rokok.
(6) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) disampaikan dalam jangka waktu paling lama 11 (sebelas) bulan terhitung sejak tanggal ditetapkannya Tanda Bukti Kelebihan Pembayaran Pajak Rokok.
(7) Atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Kepala Kantor Bea dan Cukai melakukan penelitian kelengkapan berkas permohonan dan memeriksa jangka waktu berlakunya Tanda Bukti Kelebihan Pembayaran Pajak Rokok.
(8) Dalam hal hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (7) telah sesuai, Kepala Kantor Bea dan Cukai menyampaikan surat permintaan kepada Kepala KPPN untuk menerbitkan SKTB dilampiri BPN.
(9) Dalam hal hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (7) terdapat ketidaksesuaian, Kepala Kantor Bea dan Cukai menyampaikan surat penolakan kepada Wajib Pajak Rokok.


Pasal 31


(1) Berdasarkan surat permintaan yang disampaikan oleh Kepala Kantor Bea dan Cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (8), Kepala KPPN menerbitkan SKTB.
(2) SKTB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat sesuai dengan format dalam huruf I yang tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(3) Berdasarkan SKTB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Kepala Kantor Bea dan Cukai menyampaikan surat rekomendasi pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Rokok kepada Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan dengan dilampiri:
  1. dokumen permohonan dari Wajib Pajak Rokok;
  2. tanda bukti kelebihan pembayaran Pajak Rokok; dan
  3. SKTB.
(4) Berdasarkan surat rekomendasi pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (3), KPA BUN Penerimaan dan Pemotongan Pajak Rokok menerbitkan SKP-KP2R dalam rangkap 2 (dua) dengan peruntukan sebagai berikut:
  1. Lembar ke-1 untuk KPPN Jakarta II; dan
  2. Lembar ke-2 sebagai pertinggal.
(5) KPA BUN Penerimaan dan Pemotongan Pajak Rokok menyampaikan SKP-KP2R sebagaimana dimaksud pada ayat (4) kepada KPA BUN Penyetoran Pajak Rokok.
(6) Berdasarkan SKP-KP2R sebagaimana dimaksud pada ayat (4), PPK menerbitkan SPP atas pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Rokok.
(7) SPP sebagaimana dimaksud pada ayat (6) disampaikan kepada PPSPM dilampiri SKP-KP2R.
(8) Berdasarkan SPP sebagaimana dimaksud pada ayat (6), PPSPM melakukan pemeriksaan dan pengujian SPP pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Rokok.
(9) Dalam hal pemeriksaan dan pengujian SPP sebagaimana dimaksud pada ayat (8) memenuhi ketentuan, PPSPM menerbitkan SPM dalam rangkap 3 (tiga) dengan peruntukan sebagai berikut:
a. Lembar ke-1 dan ke-2 untuk KPPN Jakarta II; dan
b. Lembar ke-3 sebagai pertinggal.
(10 SPM sebagaimana dimaksud pada ayat (9) diterbitkan dengan menggunakan Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara Pengelolaan Transaksi Khusus (BA 999.99) kode akun kontrapos akun Penerimaan Non Anggaran.
(11) PPSPM menyampaikan SPM sebagaimana dimaksud pada ayat (9) kepada KPPN Jakarta II dilampiri dengan lembar ke-1 SKP-KP2R.
(12) Berdasarkan SPM sebagaimana dimaksud pada ayat (9) dan SKP-KP2R sebagaimana dimaksud pada ayat (4), KPPN Jakarta II menerbitkan SP2D sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


BAB VII
PELAPORAN, PEMANTAUAN, DAN REKONSILIASI

Pasal 32


(1) Gubernur menyampaikan laporan realisasi penyaluran bagi hasil Pajak Rokok dari provinsi ke kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (3) kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan secara elektronik dan/atau dokumen fisik.
(2) Laporan realisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah pelaksanaan penyaluran bagi hasil.
(3) Laporan realisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat sesuai dengan contoh format dalam huruf J yang tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.


Pasal 33


(1) Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan menyampaikan laporan atas penerimaan dan penyetoran Pajak Rokok kepada Menteri Keuangan.
(2) Penyampaian laporan atas penerimaan dan penyetoran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lambat pada bulan Januari tahun anggaran berikutnya.


Pasal 34


(1) Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan melakukan pemantauan atas:
  1. penetapan alokasi Pajak Rokok, termasuk bagi hasil Pajak Rokok;
  2. penetapan alokasi penggunaan Pajak Rokok untuk mendanai pelayanan kesehatan untuk masyarakat dan penegakan hukum; dan
  3. penyaluran bagi hasil Pajak Rokok oleh gubernur.
(2) Gubernur melakukan pemantauan atas penggunaan Pajak Rokok, termasuk bagi hasil Pajak Rokok, untuk pelayanan kesehatan untuk masyarakat dan penegakan hukum di provinsi dan kabupaten/kota di wilayahnya.


Pasal 35


Direktorat Jenderal Perbendaharaan, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, dan Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan dapat melakukan rekonsiliasi dalam rangka pelaksanaan pemungutan dan penyetoran Pajak Rokok.


BAB VIII
KETENTUAN LAIN LAIN

Pasal 36


(1) Penyetoran Pajak Rokok kepada provinsi yang baru dibentuk, dilaksanakan untuk pertama kali setelah provinsi yang baru dibentuk menetapkan anggaran pendapatan dan belanja daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Penyetoran penerimaan Pajak Rokok berikutnya dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 20 dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pembentukan provinsi baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1).


Pasal 37


(1) Penerimaan Pajak Rokok bagian pemerintah daerah provinsi dan bagian kabupaten/kota, dialokasikan paling sedikit 50% (lima puluh persen) digunakan untuk mendanai pelayanan kesehatan untuk masyarakat dan penegakan hukum.
(2) Penggunaan Pajak Rokok untuk mendanai pelayanan kesehatan untuk masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) oleh pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota dilakukan dengan berpedoman pada petunjuk teknis yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan.
(3) Penggunaan Pajak Rokok untuk mendanai penegakan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) oleh pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota dilakukan dengan berpedoman pada petunjuk teknis yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Bea dan Cukai.
(4) Kegiatan penegakan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) minimal berupa:
  1. sosialisasi ketentuan di bidang cukai hasil tembakau; dan
  2. operasi pemberantasan rokok illegal;
(5) Kegiatan penegakan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan sesuai dengan kewenangan pemerintah daerah yang dikerjasamakan dengan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
(6) Penggunaan Pajak Rokok untuk kegiatan penegakan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diprioritaskan dalam hal dana bagi hasil cukai hasil tembakau tidak mencukupi untuk membiayai kegiatan dimaksud.
(7) Dalam hal sampai dengan akhir tahun anggaran terdapat sisa penggunaan Pajak Rokok yang berasal dari Penerimaan Pajak Rokok bagian pemerintah daerah provinsi dan bagian kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sisa penggunaan Pajak Rokok tersebut digunakan untuk mendanai kegiatan pelayanan kesehatan masyarakat dan penegakan hukum pada tahun anggaran berikutnya.
(8) Petunjuk teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) memuat juga standardisasi daftar kegiatan dan/atau sub kegiatan yang dapat didanai dari penerimaan Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(9) Petunjuk teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), ditetapkan setelah berkoordinasi dengan Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan.


BAB IX
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 38


Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:
a. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 115/PMK.07/2013 tentang Tata Cara Pemungutan dan Penyetoran Pajak Rokok (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 1007) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 11/PMK.07/2017 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 115/PMK.07/2013 tentang Tata Cara Pemungutan dan Penyetoran Pajak Rokok (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 223); dan
b. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 128/PMK.07/2018 tentang Tata Cara Pemotongan Pajak Rokok sebagai Kontribusi Dukungan Program Jaminan Kesehatan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 1348),
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

 


Pasal 39


Ketentuan mengenai Pajak Rokok atas Rokok elektrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2024.


Pasal 40


Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.




Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 15 Desember 2023
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

SRI MULYANI INDRAWATI



Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 22 Desember 2023
DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

ASEP N. MULYANA



BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2023 NOMOR 1031