Peraturan Daerah Nomor : 1 Tahun 2024

Kategori : Lainnya

Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah


PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA
NOMOR 1 TAHUN 2024

TENTANG

PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

GUBERNUR DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA,

Menimbang :

  1. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 94 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, untuk seluruh jenis Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ditetapkan dalam 1 (satu) Peraturan Daerah dan menjadi dasar pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah di Daerah;
  2. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
Mengingat :
  1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4744);
  3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856);
  4. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6757);
  5. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pemberian dan Pemanfaatan Insentif Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 119, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5161);
  6. Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6322);
  7. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2022 tentang Bangunan Gedung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 26, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6628);
  8. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2021 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6646);
  9. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6881);

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH
PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA

dan

GUBERNUR DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA MEMUTUSKAN:

 

MEMUTUSKAN:


Menetapkan :
PERATURAN DAERAH TENTANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH.


BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1


Dalam Peraturan Daerah ini, yang dimaksud dengan:
  1. Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta yang selanjutnya disebut Provinsi DKI Jakarta adalah Provinsi yang mempunyai kekhususan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah karena kedudukannya sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia.
  2. Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta yang selanjutnya disebut Pemerintah Provinsi DKI Jakarta adalah Gubernur dan perangkat daerah Provinsi DKI Jakarta sebagai unsur penyelenggara pemerintahan Provinsi DKI Jakarta.
  3. Gubernur adalah Kepala Daerah Provinsi DKI Jakarta yang karena jabatannya berkedudukan juga sebagai unsur penyelenggara pemerintahan Provinsi DKI Jakarta.
  4. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan usaha milik desa, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya, termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
  5. Badan Layanan Umum Daerah yang selanjutnya disingkat BLUD adalah sistem yang diterapkan oleh satuan kerja perangkat daerah atau unit satuan kerja perangkat daerah pada satuan kerja perangkat daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang mempunyai fleksibilitas dalam pola pengelolaan keuangan sebagai pengecualian dari ketentuan pengelolaan keuangan daerah pada umumnya.
  6. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  7. Peraturan Daerah adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh DPRD Provinsi dengan persetujuan bersama Kepala Daerah.
  8. Peraturan Gubernur adalah peraturan perundang-undangan yang bersifat pengaturan yang ditetapkan oleh Gubernur untuk menjalankan perintah peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau melaksanakan kewenangan.
  9. Pajak Daerah yang selanjutnya disebut Pajak adalah kontribusi wajib kepada daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
  10. Retribusi Daerah yang selanjutnya disebut Retribusi adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.
  11. Pajak Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat PKB adalah Pajak atas kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor.
  12. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat BBNKB adalah Pajak atas penyerahan hak milik kendaraan bermotor sebagai akibat perjanjian dua pihak atau perbuatan sepihak atau keadaan yang terjadi karena jual beli, tukar-menukar, hibah, warisan, atau pemasukan ke dalam badan usaha.
  13. Kendaraan Bermotor adalah semua kendaraan beroda beserta gandengannya yang digunakan di semua jenis jalan darat atau kendaraan yang dioperasikan di air yang digerakkan oleh peralatan teknik berupa motor atau peralatan lainnya yang berfungsi untuk mengubah suatu sumber daya energi tertentu menjadi tenaga gerak kendaraan bermotor yang bersangkutan.
  14. Energi Terbarukan adalah energi yang berasal dari sumber energi terbarukan.
  15. Sumber Energi Terbarukan adalah sumber energi yang dihasilkan dari sumber daya energi yang berkelanjutan jika dikelola, dengan baik, antara lain panas bumi, angin, bioenergi, sinar matahari, aliran dan terjunan air, serta gerakan dan perbedaan suhu lapisan laut.
  16. Pajak Alat Berat yang selanjutnya disingkat PAB adalah Pajak atas kepemilikan dan/atau penguasaan alat berat.
  17. Alat Berat adalah alat yang diciptakan untuk membantu pekerjaan konstruksi dan pekerjaan teknik sipil lainnya yang sifatnya berat apabila dikerjakan oleh tenaga manusia, beroperasi menggunakan motor dengan atau tanpa roda, tidak melekat secara permanen serta beroperasi pada area tertentu, termasuk tetapi tidak terbatas pada area konstruksi, perkebunan, kehutanan, dan pertambangan.
  18. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat PBBKB adalah Pajak atas penggunaan bahan bakar Kendaraan Bermotor dan Alat Berat.
  19. Bahan Bakar Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat BBKB adalah semua jenis bahan bakar cair atau gas yang digunakan untuk Kendaraan Bermotor dan Alat Berat.
  20. Pajak Rokok adalah pungutan atas cukai rokok yang dipungut oleh Pemerintah.
  21. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang selanjutnya disebut PBB-P2 adalah Pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan.
  22. Bumi adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman.
  23. Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap di atas permukaan Bumi dan di bawah permukaan Bumi.
  24. Nilai Jual Objek Pajak yang selanjutnya disingkat NJOP adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti.
  25. Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak yang selanjutnya disingkat NJOPTKP adalah batas NJOP yang tidak kena pajak.
  26. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang selanjutnya disebut BPHTB adalah Pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau Bangunan.
  27. Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau Bangunan oleh orang pribadi atau Badan.
  28. Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta Bangunan di atasnya, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang di bidang pertanahan dan Bangunan.
  29. Pajak Barang dan Jasa Tertentu yang selanjutnya disebut PBJT adalah Pajak yang dibayarkan oleh konsumen akhir atas konsumsi barang dan/atau jasa tertentu.
  30. Barang dan Jasa Tertentu adalah barang dan jasa tertentu yang dijual dan/atau diserahkan kepada konsumen akhir.
  31. Makanan dan/atau Minuman adalah makanan dan/atau minuman yang disediakan, dijual dan/atau diserahkan, baik secara langsung maupun tidak langsung, atau melalui pesanan oleh restoran.
  32. Restoran adalah fasilitas penyediaan layanan Makanan dan/atau Minuman dengan dipungut bayaran.
  33. Tenaga Listrik adalah tenaga atau energi yang dihasilkan oleh suatu pembangkit tenaga listrik yang didistribusikan untuk bermacam peralatan listrik.
  34. Jasa Perhotelan adalah jasa penyediaan akomodasi yang dapat dilengkapi dengan jasa pelayanan makan dan minum, kegiatan hiburan, dan/atau fasilitas lainnya.
  35. Jasa Parkir adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir di luar badan jalan dan/atau pelayanan memarkirkan kendaraan untuk ditempatkan di area parkir, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan Kendaraan Bermotor.
  36. Jasa Kesenian dan Hiburan adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan semua jenis tontonan, pertunjukan, permainan, ketangkasan, rekreasi, dan/atau keramaian untuk dinikmati.
  37. Pajak Reklame adalah Pajak atas penyelenggaraan reklame.
  38. Reklame adalah benda, alat, perbuatan, atau media yang bentuk dan corak ragamnya dirancang untuk tujuan komersial memperkenalkan, menganjurkan, mempromosikan, atau menarik perhatian umum terhadap sesuatu.
  39. Pajak Air Tanah yang selanjutnya disingkat PAT adalah Pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah.
  40. Air Tanah adalah air yang terdapat di dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan tanah.
  41. Surat Pemberitahuan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SPTPD adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran Pajak, objek Pajak dan/atau bukan objek Pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
  42. Surat Ketetapan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SKPD adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok Pajak yang terutang.
  43. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang yang selanjutnya disingkat SPPT adalah surat yang digunakan untuk memberitahukan besarnya PBB-P2 yang terutang kepada Wajib Pajak.
  44. Surat Tagihan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat STPD adalah surat untuk melakukan tagihan Pajak dan/atau sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
  45. Subjek Pajak adalah orang pribadi atau badan yang dapat dikenai Pajak.
  46. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  47. Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
  48. Wajib Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi, termasuk pemungut Retribusi tertentu.
  49. Jasa Umum adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Badan.
  50. Jasa Usaha adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh pemerintah daerah yang dapat bersifat mencari keuntungan karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta.
  51. Perizinan Tertentu adalah kegiatan tertentu pemerintah daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau Badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan ruang, serta penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.

BAB II
PAJAK

Bagian Kesatu
Jenis Pajak

Pasal 2


(1) Jenis Pajak yang dipungut oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terdiri atas:
a. PKB;
b. BBNKB;
c. PAB;
d. PBBKB;
e. Pajak Rokok;
f. PBB-P2;
g. BPHTB;
h. PBJT atas:
1. Makanan dan/atau Minuman;
2. Tenaga Listrik;
3. Jasa Perhotelan;
4. Jasa Parkir; dan
5. Jasa Kesenian dan Hiburan;
i. Pajak Reklame; dan
j. PAT.
(2) Jenis Pajak yang tidak dipungut oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terdiri atas:
a. pajak air permukaan;
b. opsen pajak mineral bukan logam dan batuan;
c. pajak mineral bukan logam dan batuan;
d. pajak sarang burung walet;
e. opsen PKB; dan
f. opsen BBNKB.


Pasal 3


(1) Jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) yang dipungut berdasarkan penetapan Gubernur terdiri atas:
a. PKB;
b. BBNKB;
c. PAB;
d. PBB-P2;
e. Pajak Reklame; dan
f. PAT.
(2) Jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak terdiri atas:
a. PBBKB;
b. Pajak Rokok;
c. BPHTB; dan
d. PBJT atas:
1. Makanan dan/atau Minuman;
2. Tenaga Listrik;
3. Tenaga Listrik;
4. Jasa Perhotelan;
5. Jasa Parkir; dan
6. Jasa Kesenian dan Hiburan.
(3) Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. SKPD; dan
b. SPPT.
(4) Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yaitu SPTPD.
(5) Dokumen SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib diisi dengan benar dan lengkap serta disampaikan oleh Wajib Pajak kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Bagian Kedua
PKB

Pasal 4


(1) Objek PKB merupakan kepemilikan dan/atau penguasaan atas Kendaraan Bermotor.
(2) Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Kendaraan Bermotor yang wajib didaftarkan di wilayah Provinsi DKI Jakarta sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Dikecualikan dari objek PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu kepemilikan dan/atau penguasaan atas:
a. kereta api;
b. Kendaraan Bermotor yang semata-mata digunakan untuk keperluan pertahanan dan keamanan negara;
c. Kendaraan Bermotor kedutaan, konsulat, perwakilan negara asing dengan asas timbal balik, dan lembaga-lembaga internasional yang memperoleh fasilitas pembebasan Pajak dari Pemerintah;
d. Kendaraan Bermotor berbasis Energi Terbarukan; dan
e. Kendaraan Bermotor yang dimiliki dan/atau dikuasai oleh pabrikan atau importir yang semata-mata disediakan untuk keperluan pameran dan tidak untuk dijual.


Pasal 5


(1) Subjek PKB merupakan orang pribadi atau Badan yang memiliki dan/atau menguasai Kendaraan Bermotor.
(2) Wajib PKB merupakan orang pribadi atau Badan yang memiliki Kendaraan Bermotor.


Pasal 6


(1) Dasar pengenaan PKB merupakan hasil perkalian antara 2 (dua) unsur pokok, yaitu:
a. nilai jual Kendaraan Bermotor; dan
b. bobot yang mencerminkan secara relatif tingkat kerusakan jalan dan/atau pencemaran lingkungan akibat penggunaan Kendaraan Bermotor.
(2) Dasar pengenaan PKB khusus untuk Kendaraan Bermotor di air, ditetapkan hanya berdasarkan nilai jual Kendaraan Bermotor.
(3) Nilai jual Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan ayat (2) ditentukan berdasarkan harga pasaran umum atas suatu Kendaraan Bermotor pada minggu pertama bulan Desember Tahun Pajak sebelumnya.
(4) Harga pasaran umum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan harga rata-rata yang diperoleh dari berbagai sumber data yang akurat.
(5) Dalam hal harga pasaran umum suatu Kendaraan Bermotor tidak diketahui, nilai jual Kendaraan Bermotor dapat ditentukan berdasarkan sebagian atau seluruh faktor-faktor:
a. harga Kendaraan Bermotor dengan isi silinder dan/atau satuan tenaga yang sama;
b. penggunaan Kendaraan Bermotor untuk umum atau pribadi;
c. harga Kendaraan Bermotor dengan merek Kendaraan Bermotor yang sama;
d. harga Kendaraan Bermotor dengan tahun pembuatan Kendaraan Bermotor yang sama;
e. harga Kendaraan Bermotor dengan pembuat Kendaraan Bermotor;
f. harga Kendaraan Bermotor dengan Kendaraan Bermotor sejenis; dan
g. harga Kendaraan Bermotor berdasarkan dokumen pemberitahuan impor barang.
(6) Bobot sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dinyatakan dalam koefisien, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. koefisien sama dengan 1 (satu) berarti kerusakan jalan dan/atau pencemaran lingkungan oleh penggunaan Kendaraan Bermotor tersebut dianggap masih dalam batas toleransi; dan
b. koefisien lebih besar dari 1 (satu) berarti kerusakan jalan dan/atau pencemaran lingkungan oleh penggunaan Kendaraan Bermotor tersebut dianggap melewati batas toleransi.
(7) Bobot sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dihitung berdasarkan faktor-faktor sebagai berikut:
a. tekanan gandar, yang dibedakan atas dasar jumlah sumbu/as, roda, dan berat Kendaraan Bermotor;
b. jenis BBKB, yang dibedakan menurut bahan bakar bensin, diesel, atau jenis bahan bakar lainnya selain bahan bakar berbasis Energi Terbarukan; dan
c. jenis, penggunaan, tahun pembuatan, dan ciri-ciri mesin Kendaraan Bermotor yang dibedakan berdasarkan isi silinder.
(8) Dasar pengenaan PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan dalam suatu tabel dengan ketentuan:
a. untuk Kendaraan Bermotor baru ditetapkan dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri setelah mendapat pertimbangan dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara; dan
b. untuk selain Kendaraan Bermotor baru ditetapkan dengan Peraturan Gubernur berdasarkan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri dengan memperhatikan penyusutan nilai jual Kendaraan Bermotor dan bobot sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b.
(9) Dasar pengenaan PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (8) ditinjau kembali paling lama setiap 3 (tiga) tahun dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian.
   

Pasal 7


(1) Tarif PKB atas kepemilikan dan/atau penguasaan oleh orang pribadi ditetapkan sebesar:
a. 2% (dua persen) untuk kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor pertama;
b. 3% (tiga persen) untuk kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor kedua;
c. 4% (empat persen) untuk kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor ketiga;
d. 5% (lima persen) untuk kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor keempat; dan
e. 6% (enam persen) untuk kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor kelima dan seterusnya.
(2) Tarif PKB atas kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor yang digunakan untuk angkutan umum, angkutan karyawan, angkutan sekolah, ambulans, pemadam kebakaran, sosial keagamaan, lembaga sosial dan keagamaan, Pemerintah, dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta ditetapkan sebesar 0,5 % (nol koma lima persen).
(3) Tarif PKB atas kepemilikan dan/atau penguasaan oleh Badan ditetapkan sebesar 2% (dua persen) dan tidak dikenakan pajak progresif.
(4) Kepemilikan Kendaraan Bermotor didasarkan atas nama, nomor induk kependudukan, dan/atau alamat yang sama.


Pasal 8


(1) Besaran pokok PKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (8) dengan tarif PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3).
(2) Saat terutang PKB ditetapkan pada saat terjadinya kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor.
(3) Wilayah pemungutan PKB yang terutang merupakan wilayah Provinsi DKI Jakarta tempat Kendaraan Bermotor terdaftar.


Pasal 9


(1) PKB terutang terhitung sejak Wajib Pajak diakui secara sah memiliki dan/atau menguasai Kendaraan Bermotor.
(2) PKB dikenakan untuk 12 (dua belas) bulan berturut-turut terhitung sejak tanggal pendaftaran Kendaraan Bermotor.
(3) PKB dibayar sekaligus di muka. 


Bagian Ketiga
BBNKB

Pasal 10


(1) Objek BBNKB merupakan penyerahan pertama atas Kendaraan Bermotor yang wajib didaftarkan di wilayah Provinsi DKI Jakarta sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Kendaraan Bermotor yang dikecualikan dari objek BBNKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu penyerahan atas:
a. kereta api;
b. Kendaraan Bermotor yang semata-mata digunakan untuk keperluan pertahanan dan keamanan negara;
c. Kendaraan Bermotor kedutaan, konsulat, perwakilan negara asing dengan asas timbal balik, dan lembaga internasional yang memperoleh fasilitas pembebasan pajak dari Pemerintah;
d. Kendaraan Bermotor berbasis Energi Terbarukan; dan
e. Kendaraan bermotor yang dimiliki dan/atau dikuasai oleh pabrikan atau importir yang semata-mata disediakan untuk keperluan pameran dan tidak untuk dijual.
(3) Termasuk penyerahan Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pemasukan Kendaraan Bermotor dari luar negeri untuk dipakai secara tetap di Indonesia, kecuali:
a. untuk diperdagangkan;
b. untuk dikeluarkan kembali dari wilayah kepabeanan Indonesia; dan
c. digunakan untuk pameran, objek penelitian, contoh, dan kegiatan olahraga bertaraf internasional.
(4) Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dan huruf c tidak berlaku apabila selama 12 (dua belas) bulan berturut-turut Kendaraan Bermotor tidak dikeluarkan kembali dari wilayah kepabeanan Indonesia.


Pasal 11


(1) Subjek BBNKB merupakan orang pribadi atau Badan yang menerima penyerahan Kendaraan Bermotor.
(2) Wajib BBNKB merupakan orang pribadi atau Badan yang menerima penyerahan Kendaraan Bermotor.


Pasal 12


Dasar pengenaan BBNKB merupakan nilai jual Kendaraan Bermotor yang digunakan sebagai dasar pengenaan PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (8).


Pasal 13


Tarif BBNKB ditetapkan sebesar 12,5% (dua belas koma lima persen).


Pasal 14


(1) Besaran pokok BBNKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan BBNKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dengan tarif BBNKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13.
(2) Saat terutang BBNKB ditetapkan pada saat terjadinya penyerahan pertama Kendaraan Bermotor.
(3) Wilayah pemungutan BBNKB yang terutang merupakan wilayah Provinsi DKI Jakarta tempat Kendaraan Bermotor terdaftar.
(4) Pembayaran BBNKB dilakukan sebelum pendaftaran Kendaraan Bermotor.
(5) Bukti pembayaran BBNKB menjadi persyaratan dalam pendaftaran Kendaraan Bermotor baru sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Bagian Keempat
PAB

Pasal 15


(1) Objek PAB merupakan kepemilikan dan/atau penguasaan Alat Berat.
(2) Dikecualikan dari objek PAB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu kepemilikan dan/atau penguasaan atas:
a. Alat Berat yang dimiliki dan/atau dikuasai Pemerintah, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, pemerintah daerah lainnya, dan Tentara Nasional Indonesia/Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan
b. Alat Berat yang dimiliki dan/atau dikuasai kedutaan, konsulat, perwakilan negara asing dengan asas timbal balik dan lembaga internasional yang memperoleh fasilitas pembebasan pajak dari Pemerintah.


Pasal 16


(1) Subjek PAB merupakan orang pribadi atau Badan yang memiliki dan/atau menguasai Alat Berat.
(2) Wajib PAB merupakan orang pribadi atau Badan yang memiliki dan/atau menguasai Alat Berat.


Pasal 17


(1) Dasar pengenaan PAB merupakan nilai jual Alat Berat.
(2) Nilai jual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan berdasarkan harga rata-rata pasaran umum Alat Berat yang bersangkutan.
(3) Harga rata-rata pasaran umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan berdasarkan harga rata-rata yang diperoleh dari berbagai sumber data yang akurat pada minggu pertama bulan Desember Tahun Pajak sebelumnya.
(4) Penetapan dasar pengenaan PAB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri setelah mendapat pertimbangan dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
(5) Dasar pengenaan PAB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditinjau kembali paling lama setiap 3 (tiga) tahun dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian.


Pasal 18


Tarif PAB ditetapkan sebesar 0,2% (nol koma dua persen).


Pasal 19


(1) Besaran pokok PAB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PAB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) dengan tarif PAB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18.
(2) Saat terutang PAB ditetapkan pada saat terjadinya kepemilikan dan/atau penguasaan Alat Berat.
(3) Wilayah pemungutan PAB yang terutang merupakan wilayah Provinsi DKI Jakarta tempat penguasaan Alat Berat.


Pasal 20


(1) PAB untuk kepemilikan dan/atau penguasaan Alat Berat terutang terhitung sejak Wajib Pajak diakui secara sah memiliki dan/atau menguasai Alat Berat.
(2) PAB untuk kepemilikan dan/atau penguasaan Alat Berat dikenakan untuk setiap jangka waktu 12 (dua belas) bulan berturut-turut.
(3) PAB untuk kepemilikan dan/atau penguasaan Alat Berat dibayar sekaligus di muka.


Bagian Kelima
PBBKB

Pasal 21


Objek PBBKB merupakan penyerahan BBKB oleh penyedia BBKB kepada konsumen atau pengguna Kendaraan Bermotor.


Pasal 22


(1) Subjek PBBKB merupakan konsumen BBKB.
(2) Wajib PBBKB merupakan orang pribadi atau Badan penyedia BBKB yang menyerahkan BBKB.
(3) Pemungutan PBBKB dilakukan oleh penyedia BBKB.
(4) Penyedia BBKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 merupakan produsen dan/atau importir BBKB, baik untuk dijual maupun untuk digunakan sendiri.


Pasal 23


Dasar Pengenaan PBBKB merupakan nilai jual BBKB sebelum dikenakan pajak pertambahan nilai.


Pasal 24


(1) Tarif PBBKB ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
(2) Khusus tarif PBBKB untuk bahan bakar kendaraan umum ditetapkan sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif PBBKB untuk kendaraan pribadi.

 

Pasal 25


(1) Besaran pokok PBBKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBBKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 dengan tarif PBBKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24.
(2) Saat terutang PBBKB ditetapkan pada saat terjadinya penyerahan BBKB oleh penyedia BBKB.
(3) Wilayah pemungutan PBBKB yang terutang merupakan wilayah Provinsi DKI Jakarta tempat penyerahan BBKB kepada konsumen atau pengguna Kendaraan Bermotor.


Bagian Keenam
Pajak Rokok

Pasal 26


(1) Objek Pajak Rokok merupakan konsumsi rokok yang meliputi sigaret, cerutu, rokok daun, dan bentuk rokok lainnya yang dikenai cukai rokok.
(2) Dikecualikan dari objek Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu rokok yang tidak dikenai cukai rokok berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang cukai.


Pasal 27


(1) Subjek Pajak Rokok merupakan konsumen rokok.
(2) Wajib Pajak Rokok merupakan pengusaha pabrik rokok/produsen dan importir rokok yang memiliki izin berupa nomor pokok pengusaha barang kena cukai.
(3) Pajak Rokok dipungut oleh instansi Pemerintah yang berwenang memungut cukai bersamaan dengan pemungutan cukai rokok.
(4) Pajak Rokok yang dipungut oleh instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disetor ke rekening kas umum daerah secara proporsional berdasarkan jumlah penduduk.
(5) Ketentuan mengenai tata cara pemungutan dan penyetoran Pajak Rokok sesuai dengan peraturan perundang-undangan.


Pasal 28


Dasar pengenaan Pajak Rokok merupakan cukai yang ditetapkan oleh Pemerintah terhadap rokok.


Pasal 29


Tarif Pajak Rokok ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen) dari cukai rokok.


Pasal 30


(1) Besaran pokok Pajak Rokok yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak Rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 dengan tarif Pajak Rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29.
(2) Saat terutang Pajak Rokok ditetapkan pada saat terjadinya pemungutan cukai rokok terhadap pengusaha pabrik rokok/produsen dan importir rokok yang memiliki izin berupa nomor pokok pengusaha barang kena cukai.
(3) Wilayah pemungutan Pajak Rokok merupakan wilayah kepabeanan Indonesia.
  

Bagian Ketujuh
PBB-P2

Pasal 31


(1) Objek PBB-P2 merupakan Bumi dan/atau Bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.
(2) Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk permukaan Bumi hasil kegiatan reklamasi atau pengurukan.
(3) Dikecualikan dari objek PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu kepemilikan, penguasaan, dan/atau pemanfaatan atas:
a. Bumi dan/atau Bangunan kantor Pemerintah, kantor pemerintahan daerah, dan kantor penyelenggara negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik negara atau barang milik daerah Provinsi DKI Jakarta dan daerah lainnya;
b. Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang keagamaan, panti sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan;
c. Bumi dan/atau Bangunan yang semata-mata digunakan untuk tempat makam (kuburan), peninggalan purbakala, atau yang sejenis;
d. Bumi yang merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak;
e. Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan oleh perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
f. Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan oleh badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara;
g. Bumi dan/atau Bangunan untuk jalur kereta api, moda raya terpadu (Mass Rapid Transit), lintas raya terpadu (Light Rail Transit), atau yang sejenis;
h. Bumi dan/atau Bangunan tempat tinggal lainnya berdasarkan NJOP tertentu yang ditetapkan oleh Gubernur; dan
i. Bumi dan/atau Bangunan yang dipungut pajak bumi dan bangunan oleh Pemerintah.


Pasal 32


(1) Subjek PBB-P2 merupakan orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.
(2) Wajib PBB-P2 merupakan orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.
  

Pasal 33


(1) Dasar pengenaan PBB-P2 merupakan NJOP.
(2) NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan proses penilaian PBB-P2.
(3) NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setiap 1 (satu) tahun.
(4) NJOPTKP ditetapkan sebesar Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak.
(5) Dalam hal Wajib Pajak memiliki atau menguasai lebih dari satu objek PBB-P2 di wilayah Provinsi DKI Jakarta, NJOPTKP sebagaimana dimaksud pada ayat (4) hanya diberikan atas salah satu objek PBB-P2 untuk setiap Tahun Pajak.
(6) NJOP yang digunakan untuk perhitungan PBB-P2 ditetapkan paling rendah 20% (dua puluh persen) dan paling tinggi 100% (seratus persen) dari NJOP setelah dikurangi NJOPTKP sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
(7) Besaran persentase sebagaimana dimaksud pada ayat (6) atas kelompok objek PBB-P2 dilakukan dengan mempertimbangkan:
a. kenaikan NJOP hasil penilaian;
b. bentuk pemanfaatan objek Pajak; dan/atau
c. klasterisasi NJOP dalam satu wilayah provinsi.
(8) Besaran NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Gubernur.
(9) Ketentuan lebih lanjut mengenai penilaian PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Gubernur dengan berpedoman pada peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara mengenai penilaian PBB-P2.
(10) Ketentuan lebih lanjut mengenai besaran persentase NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diatur dengan Peraturan Gubernur.


Pasal 34


(1) Tarif PBB-P2 ditetapkan sebesar 0,5% (nol koma lima persen).
(2) Tarif PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berupa lahan produksi pangan dan ternak ditetapkan sebesar 0,25% (nol koma dua lima persen).


Pasal 35


Besaran pokok PBB-P2 yang terutang dihitung dengan cara mengalikan NJOP yang digunakan untuk perhitungan PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (6) dengan tarif PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34.


Pasal 36


(1) Tahun Pajak PBB-P2 merupakan jangka waktu 1 (satu) tahun kalender.
(2) Saat terutang PBB-P2 ditetapkan pada saat terjadinya kepemilikan, penguasaan, dan/atau pemanfaatan Bumi dan/atau Bangunan.
(3) Saat yang menentukan untuk menghitung PBB-P2 terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yaitu menurut keadaan objek PBB-P2 pada tanggal 1 Januari.
(4) Wilayah pemungutan PBB-P2 yang terutang merupakan wilayah Provinsi DKI Jakarta yang meliputi letak objek PBB-P2.
(5) Termasuk dalam wilayah pemungutan PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan wilayah Provinsi DKI Jakarta tempat Bumi dan/atau Bangunan berikut berada:
a. laut pedalaman dan perairan darat serta Bangunan di atasnya; dan
b. Bangunan yang berada di luar laut pedalaman dan perairan darat yang konstruksi tekniknya terhubung dengan Bangunan yang berada di daratan, kecuali pipa dan kabel bawah laut.


Bagian Kedelapan
BPHTB

Pasal 37


(1) Objek BPHTB merupakan Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan yang meliputi:
a. pemindahan hak karena:
1. jual beli;
2. tukar-menukar;
3. hibah;
4. hibah wasiat;
5. waris;
6. pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain;
7. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
8. penunjukan pembeli dalam lelang;
9. pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
10. penggabungan usaha;
11. peleburan usaha;
12. pemekaran usaha; atau
13. hadiah.
b. pemberian hak baru karena:
1. kelanjutan pelepasan hak; atau
2. di luar pelepasan hak.
(2) Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. hak milik;
b. hak guna usaha;
c. hak guna bangunan;
d. hak pakai;
e. hak milik atas satuan rumah susun; dan
f. hak pengelolaan.
(3) Dikecualikan dari objek BPHTB yaitu Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan:
a. untuk kantor Pemerintah, pemerintahan daerah, penyelenggara negara, dan lembaga negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik negara atau barang milik daerah Provinsi DKI Jakarta dan daerah lainnya;
b. oleh negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan/atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum;
c. untuk badan atau perwakilan lembaga internasional dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas badan atau perwakilan lembaga tersebut yang diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara;
d. untuk perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
e. oleh orang pribadi atau Badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama;
f. oleh orang pribadi atau Badan karena wakaf;
g. oleh orang pribadi atau Badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah; dan
h. untuk masyarakat berpenghasilan rendah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Kriteria pengecualian objek BPHTB bagi masyarakat berpenghasilan rendah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf h yaitu untuk kepemilikan rumah pertama dengan kriteria tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Gubernur.
(5) Kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diselaraskan dengan kebijakan pemberian kemudahan pembangunan dan perolehan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang diatur oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum dan perumahan rakyat.


Pasal 38


(1) Subjek BPHTB merupakan orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
(2) Wajib BPHTB merupakan orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.


Pasal 39


(1) Dasar pengenaan BPHTB merupakan nilai perolehan objek pajak.
(2) Nilai perolehan objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai berikut:
a. harga transaksi untuk jual beli;
b. nilai pasar untuk:
1. tukar menukar;
2. hibah;
3. hibah wasiat;
4. waris;
5. pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya;
6. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
7. peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
8. pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak;
9. pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak;
10.  penggabungan usaha;
11. peleburan usaha;
12. pemekaran usaha; dan
13. hadiah.
c. harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang untuk penunjukan pembeli dalam lelang.
(3) Dalam hal nilai perolehan objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diketahui atau lebih rendah daripada NJOP yang digunakan dalam pengenaan pajak bumi dan bangunan pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan BPHTB yang digunakan yaitu NJOP yang digunakan dalam pengenaan pajak bumi dan bangunan pada tahun terjadinya perolehan.
(4) Besarnya nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak ditetapkan sebesar Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) untuk perolehan hak pertama Wajib Pajak di wilayah Provinsi DKI Jakarta tempat terutangnya BPHTB.
(5) Dalam hal perolehan hak karena hibah wasiat atau waris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) huruf a angka 4 dan angka 5 yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat atau waris, termasuk suami/istri, nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak ditetapkan sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).


Pasal 40


Tarif BPHTB ditetapkan sebesar 5% (lima persen).


Pasal 41


(1) Besaran pokok BPHTB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1) setelah dikurangi nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (4) atau ayat (5), dengan tarif BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40.
(2) Saat terutangnya BPHTB ditetapkan:
a. pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya perjanjian pengikatan jual beli untuk jual beli;
b. pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta untuk tukar-menukar, hibah, hibah wasiat, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan/atau hadiah;
c. pada tanggal penerima waris atau yang diberi kuasa oleh penerima waris mendaftarkan peralihan haknya ke kantor bidang pertanahan untuk waris;
d. pada tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap untuk putusan hakim;
e. pada tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak;
f. pada tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru diluar pelepasan hak; dan
g. pada tanggal penunjukan pemenang lelang untuk lelang.
(3) Dalam hal jual beli sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a tidak menggunakan perjanjian pengikatan jual beli, saat terutang BPHTB ditetapkan pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta jual beli.
(4) Wilayah pemungutan BPHTB yang terutang merupakan wilayah Provinsi DKI Jakarta tempat tanah dan/atau Bangunan berada.

  

Pasal 42


(1) Pejabat pembuat akta tanah atau notaris sesuai kewenangannya wajib:
a. meminta bukti pembayaran BPHTB kepada Wajib Pajak, sebelum menandatangani akta pemindahan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan; dan
b. melaporkan pembuatan perjanjian pengikatan jual beli dan/atau akta atas tanah dan/atau Bangunan kepada Gubernur paling lambat pada tanggal l0 (sepuluh) bulan berikutnya.
(2) Kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang negara wajib:
a. meminta bukti pembayaran BPHTB kepada Wajib Pajak, sebelum menandatangani risalah lelang; dan
b. melaporkan risalah lelang kepada Gubernur paling lambat pada tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya.
(3) Kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang negara yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaporan bagi pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan ayat (2) huruf b diatur dengan Peraturan Gubernur.


Pasal 43


(1) Kepala kantor bidang pertanahan hanya dapat melakukan pendaftaran hak atas tanah atau pendaftaran peralihan hak atas tanah setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran BPHTB.
(2) Kepala kantor bidang pertanahan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    

Bagian Kesembilan
PBJT

Pasal 44


Objek PBJT merupakan penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi Barang dan Jasa Tertentu yang meliputi:
a. Makanan dan/atau Minuman;
b. Tenaga Listrik;
c. Jasa Perhotelan;
d. Jasa Parkir; dan
e. Jasa Kesenian dan Hiburan.

 

Pasal 45


(1) Penjualan dan/atau penyerahan Makanan dan/atau Minuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 huruf a meliputi Makanan dan/atau Minuman yang disediakan oleh:
a. Restoran yang paling sedikit menyediakan layanan penyajian Makanan dan/atau Minuman berupa meja, kursi, dan/atau peralatan makan dan minum;
b. penyedia jasa boga atau katering yang melakukan:
1. proses penyediaan bahan baku dan bahan setengah jadi, pembuatan, penyimpanan, serta penyajian berdasarkan pesanan;
2. penyajian di lokasi yang diinginkan oleh pemesan dan berbeda dengan lokasi dimana proses pembuatan dan penyimpanan dilakukan; dan
3. penyajian dilakukan dengan atau tanpa peralatan dan petugasnya.
(2) Dikecualikan dari objek PBJT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu penjualan dan/atau penyerahan Makanan dan/atau Minuman:
a. dengan peredaran usaha tidak melebihi Rp42.000.000,00 (empat puluh dua juta rupiah) per bulan;
b. dilakukan oleh toko swalayan dan sejenisnya yang tidak semata-mata menjual Makanan dan/atau Minuman;
c. dilakukan oleh pabrik Makanan dan/atau Minuman; dan
d. disediakan oleh penyedia fasilitas yang kegiatan usaha utamanya menyediakan pelayanan jasa menunggu pesawat (lounge) pada bandar udara.
(3) Ketentuan peredaran usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a tidak berlaku untuk penjualan dan/atau penyerahan Makanan dan/atau Minuman yang dilakukan secara insidental.


Pasal 46


(1) Konsumsi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 huruf b merupakan penggunaan Tenaga Listrik oleh pengguna akhir.
(2) Dikecualikan dari konsumsi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
a. konsumsi Tenaga Listrik oleh instansi Pemerintah, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, pemerintah daerah lainnya, dan penyelenggara negara lainnya;
b. konsumsi Tenaga Listrik pada tempat yang digunakan oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan asing berdasarkan asas timbal balik;
c. konsumsi Tenaga Listrik pada rumah ibadah, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis; dan
d. konsumsi Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri dengan kapasitas di bawah 200 kVA (dua ratus kilovolt ampere) yang tidak memerlukan izin dari instansi teknis terkait.


Pasal 47


(1) Jasa Perhotelan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 huruf c meliputi jasa penyediaan akomodasi dan fasilitas penunjangnya, serta penyewaan ruang rapat/pertemuan pada penyedia Jasa Perhotelan seperti:
a. hotel;
b. hostel;
c. vila;
d. pondok wisata;
e. motel;
f. losmen;
g. wisma pariwisata;
h. pesanggrahan;
i. rumah penginapan/guesthouse/bungalo/resort/cottage;
j. tempat tinggal pribadi yang difungsikan sebagai hotel; dan
k. glamping.
(2) Dikecualikan dari Jasa Perhotelan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. jasa tempat tinggal asrama yang diselenggarakan oleh Pemerintah, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, dan pemerintah daerah lainnya;
b. jasa tempat tinggal di rumah sakit, asrama perawat, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis;
c. jasa tempat tinggal di pusat pendidikan atau kegiatan keagamaan;
d. jasa biro perjalanan atau perjalanan wisata; dan
e. jasa persewaan ruangan untuk diusahakan di hotel.


Pasal 48


(1) Jasa Parkir sebagaimana dimaksud dalam Pasal Pasal 44 huruf d meliputi:
a. penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir; dan/atau
b. pelayanan memarkirkan kendaraan (parkir valet).
(2) Tempat parkir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a termasuk tempat parkir:
a. yang dimiliki oleh Pemerintah, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, dan pemerintah daerah lainnya, yang penyelenggaraan dan/atau pengelolaannya diserahkan kepada pihak swasta; dan
b. yang diselenggarakan oleh perkantoran yang hanya digunakan untuk karyawannya sendiri dengan dipungut bayaran.
(3) Dikecualikan dari jasa penyediaan tempat parkir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta;
b. jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh perkantoran yang hanya digunakan untuk karyawannya sendiri;
c. jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan negara asing dengan asas timbal balik;
d. penyelenggaraan penitipan Kendaraan Bermotor dengan kapasitas sampai dengan 10 (sepuluh) kendaraan roda 4 (empat) atau lebih dan/atau kapasitas sampai dengan 20 (dua puluh) kendaraan roda 2 (dua); dan
e. penyelenggaraan tempat parkir yang semata-mata digunakan untuk usaha memperdagangkan Kendaraan Bermotor.


Pasal 49

(1) Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 huruf e meliputi:
a. tontonan film atau bentuk tontonan audio visual lainnya yang dipertontonkan secara langsung di suatu lokasi tertentu;
b. pergelaran kesenian, musik, tari, dan/atau busana;
c. kontes kecantikan;
d. kontes binaraga;
e. pameran;
f. pertunjukan sirkus, akrobat, dan sulap;
g. pacuan kuda dan perlombaan kendaraan bermotor;
h. permainan ketangkasan;
i. olahraga permainan dengan menggunakan tempat/ruang dan/atau peralatan dan perlengkapan untuk olahraga dan kebugaran;
j. rekreasi wahana air, wahana ekologi, wahana pendidikan, wahana budaya, wahana salju, wahana permainan, pemancingan, agrowisata, dan kebun binatang;
k. panti pijat dan pijat refleksi; dan
l. diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa.
(2) Dikecualikan dari Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu Jasa Kesenian dan Hiburan yang semata-mata untuk:
a. promosi budaya tradisional dengan tidak dipungut bayaran;
b. kegiatan layanan masyarakat dengan tidak dipungut bayaran; dan
c. kegiatan kesenian dan hiburan lainnya yang tidak dipungut bayaran.



Pasal 50


(1) Subjek PBJT merupakan konsumen Barang dan Jasa Tertentu.
(2) Wajib PBJT merupakan orang pribadi atau Badan yang melakukan penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi Barang dan Jasa Tertentu.


Pasal 51


(1) Dasar pengenaan PBJT merupakan jumlah yang dibayarkan oleh konsumen Barang dan Jasa Tertentu, meliputi:
a. jumlah pembayaran yang diterima oleh penyedia Makanan dan/atau Minuman untuk PBJT atas Makanan dan/atau Minuman;
b. nilai jual Tenaga Listrik untuk PBJT atas Tenaga Listrik;
c. jumlah pembayaran kepada penyedia Jasa Perhotelan untuk PBJT atas Jasa Perhotelan;
d. jumlah pembayaran kepada penyedia atau penyelenggara tempat parkir dan/atau penyedia layanan memarkirkan kendaraan untuk PBJT atas Jasa Parkir; dan
e. jumlah pembayaran yang diterima oleh penyelenggara Jasa Kesenian dan Hiburan untuk PBJT atas Jasa Kesenian dan Hiburan.
(2) Dalam hal pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan voucer atau bentuk lain yang sejenis yang memuat nilai rupiah atau mata uang lain, dasar pengenaan PBJT ditetapkan sebesar nilai rupiah atau mata uang lainnya tersebut.
(3) Dalam hal tidak terdapat pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dasar pengenaan PBJT dihitung berdasarkan harga jual barang dan jasa sejenis yang berlaku di wilayah Provinsi DKI Jakarta.
(4) Dalam hal Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menetapkan kebijakan pengendalian penggunaan kendaraan pribadi dan tingkat kemacetan, khusus untuk PBJT atas Jasa Parkir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dapat menetapkan dasar pengenaan sebesar tarif parkir sebelum dikenakan potongan.


Pasal 52


(1) Nilai jual Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) huruf b ditetapkan untuk:
a. Tenaga Listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran; dan
b. Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri.
(2) Nilai jual Tenaga Listrik yang ditetapkan untuk Tenaga Listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dihitung berdasarkan:
a. jumlah tagihan biaya/beban tetap ditambah dengan biaya pemakaian kWh/variabel yang ditagihkan dalam rekening listrik, untuk pascabayar; dan
b. jumlah pembelian Tenaga Listrik untuk prabayar.
(3) Nilai jual Tenaga Listrik yang ditetapkan untuk Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dihitung berdasarkan:
a. kapasitas tersedia;
b. tingkat penggunaan listrik;
c. jangka waktu pemakaian listrik; dan
d. harga satuan listrik yang berlaku di wilayah Provinsi DKI Jakarta.
(4) Nilai Jual Tenaga Listrik yang ditetapkan untuk Tenaga Listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (3), penyedia Tenaga Listrik sebagai Wajib Pajak melakukan penghitungan dan pemungutan PBJT atas Tenaga Listrik untuk penggunaan Tenaga Listrik yang dijual atau diserahkan.


Pasal 53


(1) Tarif PBJT atas Makanan dan/atau Minuman, Jasa Perhotelan, Jasa Parkir, dan Jasa Kesenian dan Hiburan, ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
(2) Khusus tarif PBJT atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan sebesar 40% (empat puluh persen).
(3) Tarif PBJT atas Tenaga Listrik untuk:
a. konsumsi Tenaga Listrik dari sumber lain oleh industri, pertambangan minyak bumi dan gas alam, ditetapkan sebesar 3% (tiga persen);
b. konsumsi Tenaga Listrik dari sumber lain oleh selain industri, pertambangan minyak bumi dan gas alam sebagaimana dimaksud pada huruf a, ditetapkan sebesar 2,4% (dua koma empat persen); dan
c. konsumsi Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri, ditetapkan sebesar 1,5% (satu koma lima persen).


Pasal 54


(1) Besaran pokok PBJT yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) dengan tarif PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53.
(2) Saat terutang PBJT ditetapkan pada saat:
a. pembayaran atau penyerahan atas Makanan dan/atau Minuman untuk PBJT atas Makanan dan/atau Minuman;
b. konsumsi atau pembayaran atas Tenaga Listrik untuk PBJT atas Tenaga Listrik;
c. pembayaran atau penyerahan atas Jasa Perhotelan untuk PBJT atas Jasa Perhotelan;
d. pembayaran atau penyerahan atas jasa penyediaan tempat parkir untuk PBJT atas Jasa Parkir; dan
e. pembayaran atau penyerahan atas Jasa Kesenian dan Hiburan untuk PBJT atas Jasa Kesenian dan Hiburan.
(3) Wilayah pemungutan PBJT yang terutang merupakan wilayah Provinsi DKI Jakarta tempat penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi Barang dan Jasa Tertentu dilakukan.


Bagian Kesepuluh
Pajak Reklame

Pasal 55


(1) Objek Pajak Reklame merupakan semua penyelenggaraan Reklame meliputi:
a. Reklame papan/billboardvideotron/megatron;
b. Reklame kain;
c. Reklame melekat/stiker;
d. Reklame selebaran;
e. Reklame berjalan, termasuk pada kendaraan;
f. Reklame udara;
g. Reklame apung;
h. Reklame film/slide; dan
i. Reklame peragaan.
(2) Dikecualikan dari objek Pajak Reklame meliputi:
a. penyelenggaraan Reklame melalui internet, televisi, radio, warta harian, warta mingguan, warta bulanan, dan sejenisnya;
b. label/merek produk yang melekat pada barang yang diperdagangkan, yang berfungsi untuk membedakan dari produk sejenis lainnya;
c. nama pengenal usaha atau profesi yang dipasang melekat pada bangunan dan/atau di dalam area tempat usaha atau profesi yang jenis, ukuran, bentuk, dan bahan Reklame diatur dalam Peraturan Gubernur dengan berpedoman pada ketentuan yang mengatur tentang nama pengenal usaha atau profesi tersebut;
d. Reklame yang diselenggarakan oleh Pemerintah, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, atau pemerintah daerah lainnya;
e. Reklame yang diselenggarakan dalam rangka kegiatan politik, sosial, dan keagamaan yang tidak disertai dengan iklan komersial;
f. Reklame yang semata-mata memuat nama tempat ibadah dan tempat panti asuhan;
g. Reklame yang semata-mata mengenai pemilikan dan/atau peruntukan tanah, dengan ketentuan luasnya tidak melebihi 1 m2 (satu meter persegi) dan diselenggarakan di atas tanah tersebut kecuali Reklame produk; dan
h. Reklame yang diselenggarakan perwakilan diplomatik, perwakilan konsulat, perwakilan PBB serta badan-badan khususnya badan-badan atau lembaga organisasi internasional pada lokasi badan-badan dimaksud.
 
 

Pasal 56


(1) Subjek Pajak Reklame merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan Reklame.
(2) Wajib Pajak Reklame merupakan orang pribadi atau Badan yang menyelenggarakan Reklame.


Pasal 57


(1) Dasar Pengenaan Pajak Reklame merupakan nilai sewa Reklame.
(2) Dalam hal Reklame diselenggarakan oleh pihak ketiga, nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan nilai kontrak Reklame.
(3) Dalam hal Reklame diselenggarakan sendiri, nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan memperhatikan faktor:
a. jenis;
b. bahan yang digunakan;
c. lokasi penempatan;
d. waktu penayangan;
e. jangka waktu penyelenggaraan;
f. jumlah; dan
g. ukuran media Reklame.
(4) Dalam hal nilai kontrak Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diketahui dan/atau dianggap tidak wajar, nilai sewa Reklame ditetapkan dengan menggunakan faktor sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(5) Perhitungan nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Gubernur.


Pasal 58


Tarif Pajak Reklame ditetapkan sebesar 25% (dua puluh lima persen).


Pasal 59


(1) Besaran pokok Pajak Reklame yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak Reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) dengan tarif Pajak Reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58.
(2) Saat terutang Pajak Reklame ditetapkan pada saat terjadinya penyelenggaraan Reklame.
(3) Wilayah pemungutan Pajak Reklame yang terutang merupakan wilayah Provinsi DKI Jakarta tempat penyelenggaraan Reklame.
(4) Khusus untuk Reklame berjalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) huruf e, Pajak Reklame yang terutang dipungut di wilayah Provinsi DKI Jakarta tempat usaha penyelenggara Reklame terdaftar.


Bagian Kesebelas
PAT

Pasal 60


(1) Objek PAT merupakan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
(2) Dikecualikan dari objek PAT yaitu pengambilan untuk:
a. keperluan dasar rumah tangga;
b. pengairan pertanian rakyat;
c. perikanan rakyat;
d. peternakan rakyat;
e. keperluan keagamaan;
f. keperluan pemadaman kebakaran; dan
g. kegiatan yang dilaksanakan oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.


Pasal 61


(1) Subjek PAT merupakan orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
(2) Wajib PAT merupakan orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
 

Pasal 62


(1) Dasar pengenaan PAT merupakan nilai perolehan Air Tanah.
(2) Nilai perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan hasil perkalian antara harga air baku dengan bobot Air Tanah.
(3) Harga air baku sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan berdasarkan biaya pemeliharaan dan pengendalian sumber daya Air Tanah.
(4) Bobot Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan dalam koefisien yang didasarkan atas faktor berikut:
a. jenis sumber air;
b. lokasi sumber air;
c. tujuan pengambilan dan/atau pemanfaatan air;
d. volume air yang diambil dan/atau dimanfaatkan;
e. kualitas air; dan
f. tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pengambilan dan/atau pemanfaatan air.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan nilai perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Gubernur yang berpedoman pada peraturan yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral.


Pasal 63


Tarif PAT ditetapkan sebesar 20% (dua puluh persen).


Pasal 64


(1) Besaran pokok PAT yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) dengan tarif PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63.
(2) Saat terutangnya PAT dihitung sejak pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah.
(3) Wilayah pemungutan PAT yang terutang merupakan wilayah Provinsi DKI Jakarta tempat pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.


Bagian Kedua Belas
Penggunaan Hasil Penerimaan Pajak untuk Kegiatan yang Telah Ditentukan

Pasal 65


(1) Hasil penerimaan PKB dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh persen) untuk pembangunan dan/atau pemeliharaan jalan serta peningkatan moda dan sarana transportasi umum.
(2) Hasil penerimaan PBJT atas Tenaga Listrik, dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh persen) untuk penyediaan penerangan jalan umum.
(3) Kegiatan penyediaan penerangan jalan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi penyediaan dan pemeliharaan infrastruktur penerangan jalan umum serta pembayaran biaya atas konsumsi Tenaga Listrik untuk penerangan jalan umum.
(4) Hasil penerimaan Pajak Rokok, dialokasikan paling sedikit 50% (lima puluh persen) untuk mendanai pelayanan kesehatan untuk masyarakat dan penegakan hukum.
(5) Hasil penerimaan PAT, dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh persen) untuk pencegahan, penanggulangan, dan pemulihan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dalam daerah kabupaten/kota yang berdampak terhadap kualitas dan kuantitas Air Tanah, meliputi:
a. penanaman pohon;
b. pembuatan lubang atau sumur resapan;
c. pelestarian hutan atau pepohonan; dan
d. pengelolaan limbah.

  

BAB III
RETRIBUSI

Bagian Kesatu
Jenis Retribusi

Pasal 66


(1) Jenis Retribusi terdiri atas:
a. Retribusi Jasa Umum;
b. Retribusi Jasa Usaha; dan
c. Retribusi Perizinan Tertentu.
(2) Wajib Retribusi atas jenis Retribusi sebagaimana pada ayat (1) merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan atau menikmati pelayanan barang, jasa, dan/atau perizinan.
(3) Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib membayar atas layanan yang digunakan atau dinikmati.
(4) Satuan Kerja Perangkat Daerah/Unit Satuan Kerja Perangkat Daerah pemungut jenis Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Gubernur.


Bagian Kedua
Retribusi Jasa Umum

Pasal 67


(1) Jenis pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) huruf a meliputi:
a. pelayanan kesehatan;
b. pelayanan kebersihan;
c. pelayanan parkir di tepi jalan umum;
d. pelayanan pasar; dan
e. pengendalian lalu lintas.
(2) Jenis pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat tidak dipungut Retribusi apabila potensi penerimaannya kecil dan/atau dalam rangka pelaksanaan kebijakan nasional/daerah untuk memberikan pelayanan tersebut secara cuma-cuma.
(3) Rincian objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
(4) Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berdasarkan kewenangan Provinsi DKI Jakarta sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
(6) Detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (5), diatur dalam Peraturan Gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(7) Detail rincian objek Retribusi yang diatur dalam Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilaksanakan dengan ketentuan:
a. tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
b. tidak menghambat iklim investasi di Provinsi DKI Jakarta; dan
c. tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
(8) Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (6) disampaikan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri, dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak Peraturan Gubernur ditetapkan.
(9) Dikecualikan dari objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pelayanan jasa yang dilakukan oleh Pemerintah, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan pihak swasta.
(10) Subjek Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan atau menikmati pelayanan Jasa Umum.
(11) Wajib Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pelayanan Jasa Umum.


Pasal 68


Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1) huruf a merupakan pelayanan kesehatan di puskesmas, puskesmas keliling, puskesmas pembantu, balai pengobatan, rumah sakit umum daerah, dan tempat pelayanan kesehatan lainnya yang sejenis yang dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, kecuali pelayanan administrasi.


Pasal 69


(1) Pelayanan kebersihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1) huruf b merupakan pelayanan kebersihan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, meliputi:
a. pengambilan atau pengumpulan sampah dari sumbernya ke lokasi pembuangan sementara;
b. pengangkutan sampah dari sumbernya dan/atau lokasi pembuangan sementara ke lokasi pembuangan akhir sampah atau pengolahan atau pemusnahan akhir sampah; dan
c. penyediaan lokasi pembuangan atau pengolahan atau pemusnahan akhir sampah.
(2) Dikecualikan dari pelayanan kebersihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pelayanan kebersihan jalan umum, taman, tempat ibadah, sosial, dan tempat umum lainnya.
  

Pasal 70


Pelayanan parkir di tepi jalan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1) huruf c merupakan penyediaan pelayanan parkir di tepi jalan umum yang ditentukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
 

Pasal 71


Pelayanan pasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1) huruf d merupakan penyediaan fasilitas pasar tradisional atau sederhana, berupa pelataran, los, dan kios yang dikelola oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.


Pasal 72


(1) Pengendalian lalu lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1) huruf e merupakan pengendalian atas penggunaan ruas jalan tertentu, koridor tertentu, atau kawasan tertentu pada waktu tertentu oleh pengguna Kendaraan Bermotor.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengendalian lalu lintas diatur dalam Peraturan Gubernur berdasarkan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perhubungan.


Pasal 73


(1) Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum ditetapkan dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan efektivitas pengendalian atas pelayanan tersebut.
(2) Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. biaya operasional dan pemeliharaan;
b. biaya bunga; dan
c. biaya modal.
(3) Dalam hal penetapan tarif hanya memperhatikan biaya penyediaan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penetapan tarif hanya untuk menutup sebagian biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD.


Bagian Ketiga
Retribusi Jasa Usaha

Pasal 74


(1) Jenis penyediaan/pelayanan barang dan/atau jasa yang merupakan objek Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) huruf b meliputi:
a. penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya;
b. penyediaan tempat pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk fasilitas lainnya dalam lingkungan tempat pelelangan;
c. penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan;
d. penyediaan tempat penginapan/pesanggrahan/vila;
e. pelayanan rumah pemotongan hewan ternak;
f. pelayanan jasa kepelabuhanan;
g. pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga;
h. pelayanan penyeberangan orang atau barang dengan menggunakan kendaraan di air;
i. penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Provinsi DKI Jakarta; dan
j. pemanfaatan aset Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi Satuan Kerja Perangkat Daerah dan/atau optimalisasi aset Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan tidak mengubah status kepemilikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Rincian objek Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dalam Peraturan Daerah ini.
(3) Penyediaan atau pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berdasarkan jasa atau pelayanan yang diberikan dan kewenangan Provinsi DKI Jakarta sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
(5) Detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(6) Detail rincian objek Retribusi yang diatur dengan Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilaksanakan dengan ketentuan:
a. tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
b. tidak menghambat iklim investasi di Provinsi DKI Jakarta; dan
c. tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
(7) Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (5) disampaikan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri, dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak ditetapkan.
(8) Dikecualikan dari objek Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pelayanan jasa yang dilakukan oleh Pemerintah, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan pihak swasta.
(9) Subjek Retribusi Jasa Usaha merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan atau menikmati pelayanan Jasa Usaha.
(10) Wajib Retribusi Jasa Usaha merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pelayanan Jasa Usaha.
 

Pasal 75


Penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (1) huruf a merupakan penyediaan tempat kegiatan usaha berupa fasilitas pasar grosir dan fasilitas pasar atau pertokoan yang dikontrakkan, serta tempat kegiatan usaha lainnya yang disediakan atau diselenggarakan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.


Pasal 76


(1) Penyediaan tempat pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk fasilitas lainnya dalam lingkungan tempat pelelangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (1) huruf b merupakan penyediaan tempat pelelangan yang secara khusus disediakan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk melakukan pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk jasa pelelangan serta fasilitas lainnya yang disediakan di tempat pelelangan.
(2) Penyediaan tempat pelelangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk tempat yang disewa oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dari pihak lain untuk dijadikan sebagai tempat pelelangan.


Pasal 77


Penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (1) huruf c merupakan penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.


Pasal 78


Penyediaan tempat penginapan atau pesanggrahan atau vila sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (1) huruf d merupakan penyediaan tempat penginapan atau pesanggrahan atau vila yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.


Pasal 79


Pelayanan rumah pemotongan hewan ternak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (1) huruf e merupakan pelayanan penyediaan fasilitas pemotongan hewan ternak termasuk pelayanan pemeriksaan kesehatan hewan sebelum dan sesudah dipotong, yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
 

Pasal 80


Pelayanan jasa kepelabuhanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (l) huruf f merupakan pelayanan kepelabuhanan pada pelabuhan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.


Pasal 81


Pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (1) huruf g merupakan pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.


Pasal 82


Pelayanan penyeberangan orang atau barang dengan menggunakan kendaraan di air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (1) huruf h merupakan pelayanan penyeberangan orang atau barang dengan menggunakan kendaraan di air yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.


Pasal 83


Penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (1) huruf i merupakan penjualan hasil produksi usaha oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.


Pasal 84


(1) Pemanfaatan aset Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi Satuan Kerja Perangkat Daerah dan/atau optimalisasi aset Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan tidak mengubah status kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (1) huruf j termasuk pemanfaatan barang milik daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengelolaan barang milik daerah.
(2) Bentuk pemanfaatan barang milik daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa sewa yang masa sewanya sampai dengan 1 (satu) tahun.
(3) Bentuk pemanfaatan barang milik daerah dan tata cara penghitungan besaran tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditetapkan dengan Peraturan Gubernur untuk pemanfaatan barang milik daerah berupa:
a. sewa yang masa sewanya lebih dari 1 (satu) tahun;
b. kerja sama pemanfaatan;
c. bangun guna serah atau bangun serah guna; atau
d. kerja sama penyediaan infrastruktur.
(4) Penetapan Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan untuk setiap pelaksanaan pemanfaatan barang milik daerah.
(5) Bentuk pemanfaatan barang milik daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan dengan ketentuan:
a. tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
b. tidak menghambat iklim investasi di Provinsi DKI Jakarta; dan
c. tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
(6) Pelaksanaan pemanfaatan barang milik daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3), sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengelolaan barang milik daerah.


Pasal 85


(1) Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Usaha untuk memperoleh keuntungan yang layak.
(2) Keuntungan yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan Jasa Usaha tersebut dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga pasar.
(3) Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Usaha yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD.


Bagian Keempat
Retribusi Perizinan Tertentu

Pasal 86


(1) Jenis pelayanan pemberian izin yang merupakan objek Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) huruf c meliputi:
a. persetujuan bangunan gedung; dan
b. penggunaan tenaga kerja asing.
(2) Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (l) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berdasarkan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Subjek Retribusi Perizinan Tertentu merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan atau menikmati pemberian Perizinan Tertentu.
(4) Wajib Retribusi Perizinan Tertentu merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pemberian Perizinan Tertentu.


Pasal 87


(1) Pelayanan pemberian persetujuan bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (1) huruf a meliputi penerbitan persetujuan bangunan gedung dan sertifikat laik fungsi oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Penerbitan persetujuan bangunan gedung dan sertifikat laik fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan pelayanan konsultasi pemenuhan standar teknis, penerbitan persetujuan bangunan gedung, inspeksi bangunan gedung, penerbitan sertifikat laik fungsi, dan surat bukti kepemilikan bangunan gedung serta pencetakan plakat sertifikat laik fungsi.
(3) Penerbitan persetujuan bangunan gedung dan sertifikat laik fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan untuk permohonan persetujuan:
a. pembangunan baru;
b. bangunan gedung yang sudah terbangun dan belum memiliki persetujuan bangunan gedung dan/atau sertifikat laik fungsi; dan
c. bangunan gedung perubahan untuk:
1. perubahan fungsi bangunan gedung;
2. perubahan lapis bangunan gedung;
3. perubahan luas bangunan gedung;
4. perubahan tampak bangunan gedung;
5. perubahan spesifikasi dan dimensi komponen pada bangunan gedung yang memengaruhi aspek keselamatan dan/atau kesehatan;
6. penguatan bangunan gedung terhadap tingkat kerusakan sedang atau berat;
7. perlindungan dan/atau pengembangan bangunan gedung cagar budaya; atau
8. perbaikan bangunan gedung yang terletak di kawasan cagar budaya.
(4) Persetujuan bangunan gedung perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c tidak diperlukan untuk pekerjaan pemeliharaan dan pekerjaan perawatan.
(5) Dikecualikan dari pengenaan Retribusi atas pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (l) yaitu pemberian persetujuan bangunan gedung milik Pemerintah, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, pemerintah daerah lainnya, dan Bangunan yang memiliki fungsi keagamaan atau peribadatan.


Pasal 88


(1) Pelayanan penggunaan tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (1) huruf b merupakan pelayanan pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan di Provinsi DKI Jakarta sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan tenaga kerja asing.
(2) Dikecualikan dari pengenaan Retribusi atas pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu penggunaan tenaga kerja asing oleh instansi Pemerintah, perwakilan negara asing, badan internasional, lembaga sosial, lembaga keagamaan, dan jabatan tertentu di lembaga pendidikan.


Pasal 89


(1) Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Perizinan Tertentu didasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian atau seluruh biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan.
(2) Biaya penyelenggaraan pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (l) meliputi biaya penerbitan dokumen izin, pengawasan, penegakan hukum, penatausahaan, dan/atau biaya dampak negatif dari pemberian izin tersebut.
(3) Khusus untuk pelayanan persetujuan bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (l), biaya penyelenggaraan pemberian izin mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai bangunan gedung.
(4) Khusus untuk pelayanan pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (1), biaya penyelenggaraan pemberian izin mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan tenaga kerja asing.


Bagian Kelima
Tata Cara Penghitungan Retribusi

Pasal 90

(1) Besaran Retribusi yang terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkat penggunaan jasa dengan tarif Retribusi.
(2) Tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.


 

Pasal 91


(1) Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (1) merupakan nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besarnya Retribusi yang terutang.
(2) Dalam hal tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan dalam satuan mata uang selain rupiah, pembayaran Retribusi dimaksud tetap harus dilakukan dalam satuan mata uang rupiah dengan menggunakan kurs pada saat terutang yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara untuk kepentingan perpajakan.
(3) Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditentukan seragam atau bervariasi menurut golongan sesuai dengan prinsip dan sasaran penetapan tarif Retribusi.
(4) Struktur dan besaran tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.


Pasal 92


(1) Struktur dan besaran tarif Retribusi Perizinan Tertentu atas pelayanan persetujuan bangunan gedung ditetapkan berdasarkan kegiatan pemeriksaan pemenuhan standar teknis dan layanan konsultasi untuk:
a. bangunan gedung, dihitung berdasarkan luas total lantai (LLt) dikalikan indeks lokalitas (Ilo) dikalikan standar harga satuan tertinggi (SHST) dikalikan indeks terintegrasi (It) dikalikan indeks bangunan gedung terbangun (Ibg) atau dengan rumus:
LLt x (lio x SHST) x It x Ibg
b. prasarana bangunan gedung, dihitung berdasarkan volume (V) dikalikan indeks prasarana bangunan gedung (I) dikalikan indeks bangunan gedung terbangun (Ibg) dikalikan harga satuan retribusi prasarana bangunan gedung (HSpbg) atau dengan rumus:
V x I x Ibg x HSpbg
(2) Indeks terintegrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dihitung berdasarkan indeks fungsi (If) dikalikan penjumlahan dari bobot parameter (bp) dikalikan indeks parameter (Ip) dikalikan faktor kepemilikan (Fm) atau dengan rumus:
If x ∑ (bp x lp) x Fm


Pasal 93


(1) Struktur dan besaran tarif Retribusi Perizinan Tertentu atas pelayanan penggunaan tenaga kerja asing ditetapkan berdasarkan tingkat penggunaan jasa.
(2) Besarnya tarif Retribusi Perizinan Tertentu atas pelayanan penggunaan tenaga kerja asing sebagaimanna dimaksud pada ayat (1) dipungut dan diperhitungan dalam bentuk rupiah setara dengan USD 100 (seratus dolar Amerika Serikat) per orang, per jabatan, dan per bulan untuk setiap tenaga kerja asing berdasarkan nilai kurs yang berlaku pada saat diterbitkannya surat ketetapan retribusi daerah dan dibayarkan di muka.


Pasal 94


(1) Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
(2) Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Gubernur.


BAB IV
PEMUNGUTAN PAJAK DAN RETRIBUSI

Bagian Kesatu
Ketentuan Umum dan Tata Cara Pemungutan Pajak dan Retribusi

Pasal 95


(1) Pemungutan Pajak dan Retribusi dilaksanakan sesuai dengan ketentuan umum dan tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi.
(2) Ketentuan umum dan tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengaturan mengenai:
a. pendaftaran dan pendataan;
b. penetapan besaran Pajak dan Retribusi terutang;
c. pembayaran dan penyetoran;
d. pelaporan;
e. pengurangan, pembetulan, dan pembatalan ketetapan;
f. pemeriksaan Pajak;
g. penagihan Pajak dan Retribusi;
h. keberatan;
i. gugatan;
j. penghapusan piutang Pajak dan Retribusi oleh Gubernur; dan
k. pengaturan lain yang berkaitan dengan tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Gubernur.z


Bagian Kedua
Pengurangan, Keringanan, Pembebasan, Penghapusan atau Penundaan Pembayaran atas Pokok Pajak, Pokok Retribusi, dan/atau Sanksinya

Paragraf 1
Insentif Fiskal Pajak dan Retribusi bagi Pelaku Usaha

Pasal 96


(1) Dalam mendukung kebijakan kemudahan berinvestasi, Gubernur dapat memberikan insentif fiskal kepada pelaku usaha di daerahnya.
(2) Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pengurangan, keringanan, dan pembebasan, atau penghapusan atas pokok Pajak, pokok Retribusi, dan/atau sanksinya.
(3) Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (l) dapat diberikan atas permohonan Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi atau diberikan secara jabatan oleh Gubernur berdasarkan pertimbangan:
a. kemampuan membayar Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi;
b. kondisi tertentu objek Pajak, seperti objek Pajak terkena bencana alam, kebakaran, dan/atau penyebab lainnya yang terjadi bukan karena adanya unsur kesengajaan yang dilakukan oleh Wajib Pajak dan/atau pihak lain yang bertujuan untuk menghindari pembayaran Pajak;
c. untuk mendukung dan melindungi pelaku usaha mikro dan ultra mikro;
d. untuk mendukung kebijakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam mencapai program prioritas Provinsi DKI Jakarta; dan/atau
e. untuk mendukung kebijakan Pemerintah dalam mencapai program prioritas nasional.
(4) Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan kewenangan Gubernur sesuai dengan kebijakan Provinsi DKI Jakarta dalam pengelolaan keuangan daerah.
(5) Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan huruf b, dilakukan dengan memperhatikan faktor:
a. kepatuhan pembayaran dan pelaporan Pajak oleh Wajib Pajak selama 2 (dua) tahun terakhir;
b. kesinambungan usaha Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi;
c. kontribusi usaha dan penanaman modal Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi terhadap perekonomian daerah dan lapangan kerja di Provinsi DKI Jakarta; dan/atau
d. faktor lain yang ditentukan oleh Gubernur.
(6) Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi pelaku usaha mikro dan ultra mikro sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c, dilakukan sesuai dengan kriteria usaha mikro dan ultra mikro dalam peraturan perundang-undangan di bidang usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi.
(7) Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d, disesuaikan dengan prioritas Provinsi DKI Jakarta yang tercantum dalam rencana pembangunan jangka menengah daerah.
(8) Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e dilakukan dalam rangka percepatan penyelesaian proyek strategis nasional.


Pasal 97


(1) Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Gubernur dan diberitahukan kepada DPRD.
(2) Pemberitahuan kepada DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan pertimbangan Gubernur dalam memberikan insentif fiskal.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Gubernur.


Pasal 98


(1) Dalam hal pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat (1) merupakan permohonan Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi, apabila diperlukan Gubernur atau pejabat yang ditunjuk dapat melakukan Pemeriksaan Pajak dan/atau Retribusi untuk tujuan lain sesuai peraturan perundang-undangan.
(2) Pemeriksaan Pajak dan/atau Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk memastikan bahwa Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi yang mengajukan permohonan insentif fiskal berhak untuk menerima insentif fiskal sesuai dengan pertimbangan dan faktor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat (3) dan ayat (5).


Paragraf 2
Pemberian Keringanan, Pengurangan, dan Pembebasan

Pasal 99


(1) Gubernur atau pejabat yang ditunjuk dapat memberikan keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok dan/atau sanksi Pajak dan/atau Retribusi dengan memperhatikan kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dan/atau objek Pajak atau objek Retribusi.
(2) Kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit berupa kemampuan membayar Wajib Pajak atau Wajib Retribusi atau tingkat likuiditas Wajib Pajak atau Wajib Retribusi.
(3) Kondisi objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit berupa lahan pertanian yang sangat terbatas, tanah dan Bangunan yang ditempati Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dari golongan tertentu, nilai objek Pajak sampai dengan batas tertentu, dan objek Pajak yang terdampak bencana alam, kebakaran, huru-hara, dan/atau kerusuhan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok Pajak, pokok Retribusi, dan/atau sanksinya diatur dengan Peraturan Gubernur.


Paragraf 3
Kemudahan Perpajakan Daerah

Pasal 100


(1) Gubernur dapat memberikan kemudahan perpajakan daerah kepada Wajib Pajak, berupa:
a. perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak; dan/atau
b. pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang atau utang pajak.
(2) Perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan kepada Wajib Pajak yang mengalami keadaan kahar (force majeure) sehingga Wajib Pajak tidak mampu memenuhi kewajiban Pajak pada waktunya.
(3) Perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diberikan Gubernur secara jabatan atau berdasarkan permohonan Wajib Pajak yang ditetapkan dalam Keputusan Gubernur.
(4) Pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang atau utang pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dalam hal Wajib Pajak mengalami kesulitan likuiditas atau keadaan kahar (force majeure) sehingga Wajib Pajak tidak mampu memenuhi kewajiban pelunasan Pajak pada waktunya.
(5) Pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang atau utang pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat diberikan Gubernur berdasarkan permohonan Wajib Pajak yang ditetapkan dalam Keputusan Gubernur.
(6) Dalam pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Gubernur memperhatikan kepatuhan Wajib Pajak dalam pembayaran Pajak selama 2 (dua) tahun terakhir.
(7) Keputusan Gubernur atas permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5), dapat berupa:
a. menyetujui jumlah angsuran Pajak dan/atau masa angsuran atau lamanya penundaan sesuai dengan permohonan Wajib Pajak;
b. menyetujui sebagian jumlah angsuran Pajak dan/atau masa angsuran atau lamanya penundaan yang dimohonkan Wajib Pajak; atau
c. menolak permohonan Wajib Pajak.
(8) Persetujuan atau persetujuan sebagian angsuran atau penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf a dan huruf b paling lama diberikan untuk jangka waktu 24 (dua puluh empat) bulan.
(9) Pembayaran angsuran setiap masa angsuran dan pembayaran Pajak yang ditunda disertai bunga sebesar 0,6% (nol koma enam persen) per bulan dari jumlah Pajak yang masih harus dibayar, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
(10) Keadaan kahar (force majeure) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) meliputi:
a. bencana alam;
b. kebakaran;
c. kerusuhan massal atau huru-hara;
d. wabah penyakit; dan/atau
e. keadaan lain berdasarkan pertimbangan Gubernur.
(11) Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara pemberian kemudahan perpajakan daerah diatur dengan Peraturan Gubernur.

  

Bagian Ketiga
Pemberian Insentif Pemungutan Pajak dan Retribusi

Pasal 101


(1) Instansi yang melaksanakan pemungutan Pajak dan Retribusi dapat diberi insentif atas dasar pencapaian kinerja tertentu.
(2) Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan melalui Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Provinsi DKI Jakarta.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian dan pemanfaatan insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Gubernur.
    

BAB V
SISTEM INFORMASI PAJAK DAN RETRIBUSI

Pasal 102


(1) Pemungutan Pajak dan Retribusi dilaksanakan berbasis sistem informasi Pajak dan Retribusi.
(2) Pemungutan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada Satuan Kerja Perangkat Daerah/Unit Kerja pada Perangkat Daerah pemungut harus terintegrasi dengan sistem informasi Retribusi Provinsi DKI Jakarta.

 

BAB VI
SANKSI ADMINISTRATIF

Pasal 103


(1) Wajib Pajak yang tidak melaksanakan kewajiban pelaporan SPTPD melalui pengisian dan penyampaian SPTPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (5) dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah).
(2) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan STPD untuk setiap SPTPD.
(3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dikenakan jika Wajib Pajak mengalami keadaan kahar (force majeure) meliputi:
a. bencana alam;
b. kebakaran;
c. kerusuhan massal atau huru-hara;
d. wabah penyakit; dan/atau
e. keadaan lain berdasarkan pertimbangan Gubernur.


Pasal 104


Dalam hal pejabat pembuat akta tanah atau notaris melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa:
a. denda sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) huruf a; dan/atau
b. denda sebesar Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk setiap laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) huruf b.


BAB VII
KERAHASIAAN DATA WAJIB PAJAK

Pasal 105


(1) Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan daerah.
(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh Gubernur untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan daerah.
(3) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) yaitu:
a. pejabat dan/atau tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau ahli dalam sidang pengadilan; dan
b. pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan oleh Gubernur untuk memberikan keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang keuangan daerah.
(4) Untuk kepentingan daerah, Gubernur berwenang memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), agar memberikan keterangan, memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak kepada pihak yang ditunjuk.
(5) Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau perdata, atas permintaan hakim sesuai dengan hukum acara pidana dan hukum acara perdata, Gubernur dapat memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk memberikan dan memperlihatkan bukti tertulis dan keterangan Wajib Pajak yang ada padanya.
(6) Permintaan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus menyebutkan nama tersangka atau nama tergugat, keterangan yang diminta, serta kaitan antara perkara pidana atau perdata yang bersangkutan dengan keterangan yang diminta.
  

BAB VIII
PENYIDIKAN

Pasal 106


(1) Penyidikan tindak pidana di bidang Pajak dan Retribusi dilaksanakan oleh penyidik pegawai negeri sipil di bidang Pajak dan Retribusi sesuai dengan Undang-Undang mengenai hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah.
(2) Sebelum dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Gubernur atau pejabat yang ditunjuk berdasarkan informasi, data, laporan, dan pengaduan berwenang melakukan pemeriksaan bukti permulaan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai petunjuk pelaksanaan administrasi penyidikan tindak pidana di bidang Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Gubernur.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana di bidang Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Gubernur.


BAB IX
KETENTUAN PIDANA

Pasal 107


(1) Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak memenuhi kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (5), sehingga merugikan keuangan daerah, diancam dengan pidana kurungan atau pidana denda sesuai dengan Undang-Undang mengenai hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah.
(2) Wajib Pajak yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (5), sehingga merugikan keuangan daerah, diancam dengan pidana kurungan atau pidana denda sesuai dengan Undang-Undang mengenai hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah.
(3) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku juga bagi wakil, kuasa, pegawai dari Wajib Pajak, atau pihak lain yang menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan, yang menganjurkan, atau yang membantu melakukan tindak pidana di bidang perpajakan daerah.


Pasal 108


Tindak pidana di bidang perpajakan daerah tidak dapat dituntut apabila telah melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat Pajak terutang atau masa Pajak berakhir atau bagian Tahun Pajak berakhir atau Tahun Pajak yang bersangkutan berakhir.


Pasal 109


Wajib Retribusi yang tidak melaksanakan kewajiban membayar atas pelayanan yang digunakan atau dinikmati sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (3), sehingga merugikan keuangan daerah, diancam dengan pidana kurungan atau pidana denda sesuai dengan Undang-Undang mengenai hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah.


Pasal 110


Ketentuan pidana bagi pejabat atau tenaga ahli yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 ayat (1) dan ayat (2), dilaksanakan sesuai dengan Undang-Undang mengenai hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah.


Pasal 111


Denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 107 dan Pasal 109 merupakan pendapatan negara.


BAB X
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 112


Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, terhadap hak dan kewajiban Wajib Pajak dan Wajib Retribusi yang belum diselesaikan sebelum Peraturan Daerah ini diundangkan, penyelesaiannya dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak dan Retribusi yang ditetapkan sebelum berlakunya Peraturan Daerah ini.


Pasal 113


Ketentuan mengenai pelaksanaan pemanfaatan barang milik daerah yang telah dilaksanakan berdasarkan perjanjian masih tetap berlaku sampai berakhirnya masa perjanjian.


Pasal 114


Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, semua Peraturan Gubernur yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Peraturan Daerah di bidang Pajak dan Retribusi, dinyatakan tetap berlaku sepanjang belum diganti dan tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Daerah ini.
 

BAB XI
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 115


(1) Ketentuan mengenai PKB dan BBNKB sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah ini mulai berlaku 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal 5 Januari 2022.
(2) Ketentuan mengenai Retribusi Jasa Umum untuk pelayanan persampahan/kebersihan untuk rumah tinggal oleh rukun warga sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2025.
(3) Ketentuan mengenai Retribusi Jasa Usaha untuk pelayanan pemakaian sewa unit hunian rumah susun sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2024.
(4) Ketentuan mengenai Retribusi Jasa Usaha untuk pelayanan pemrosesan akhir sampah sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal 1 April 2024.


Pasal 116


Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku:
a. Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2010 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah (Lembaran Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Tahun 2010 Nomor 6, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 3);
b. Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2010 tentang Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (Lembaran Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Tahun 2010 Nomor 10, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 7);
c. Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Pajak Hotel (Lembaran Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Tahun 2010 Nomor 11, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 8);
d. Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2010 tentang Pajak Hiburan (Lembaran Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Tahun 2010 Nomor 13, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 10);
e. Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Pajak Penerangan Jalan (Lembaran Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Tahun 2010 Nomor 15, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 12);
f. Peraturan Daerah Nomor 16 Tahun 2010 tentang Pajak Parkir (Lembaran Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Tahun 2010 Nomor 16, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 13);
g. Peraturan Daerah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pajak Air Tanah (Lembaran Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Tahun 2010 Nomor 17, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 14);
h. Peraturan Daerah Nomor 18 Tahun 2010 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (Lembaran Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Tahun 2010 Nomor 18, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 15);
i. Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2011 tentang Pajak Restoran (Lembaran Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Tahun 2011 Nomor 11, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 25);
j. Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pajak Reklame (Lembaran Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Tahun 2011 Nomor 12, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 25);
k. Peraturan Daerah Nomor 16 Tahun 2011 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (Lembaran Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Tahun 2011 Nomor 16, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 29);
l. Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2012 tentang Retribusi Daerah (Lembaran Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Tahun 2015 Nomor 101, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 31);
m. Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2014 tentang Pajak Rokok (Lembaran Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Tahun 2014 Nomor 102, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1006);
n. Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2012 tentang Retribusi Daerah (Lembaran Daerah Provinsi DKI Jakarta Tahun 2015 Nomor 101; Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1018); dan
o. Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2010 tentang Pajak Hiburan (Lembaran Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Tahun 2015 Nomor 103, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1020),
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.


Pasal 117


Pada saat ketentuan mengenai PKB dan BBNKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115 ayat (1) mulai berlaku:
a. Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pajak Kendaraan Bermotor (Lembaran Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Tahun 2010 Nomor 8, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 5);
b. Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2010 tentang Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (Lembaran Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Tahun 2010 Nomor 9, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 6);
c. Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pajak Kendaraan Bermotor (Lembaran Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Tahun 2015 Nomor 102, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1019); dan
d. Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2010 tentang Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (Lembaran Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Tahun 2019 Nomor 103. Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1030),
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.


Pasal 118


Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.




Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 5 Januari 2024
Pj. GUBERNUR DAERAH KHUSUS
IBUKOTA JAKARTA,

ttd

HERU BUDI HARTONO



Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 5 Januari 2024
SEKRETARIS DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS
IBUKOTA JAKARTA,

ttd

JOKO AGUS SETYONO



LEMBARAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA TAHUN 2024 NOMOR 201





PENJELASAN

ATAS

PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA
NOMOR 1 TAHUN 2024

TENTANG

PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH


I. UMUM

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah telah mengatur mengenai pokok-pokok kebijakan Pajak dan Retribusi sebagai bagian dari ruang lingkup Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Selanjutnya, pengaturan pelaksanaan dalam rangka pengelolaan Pajak dan Retribusi diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah untuk kemudian diatur dalam Peraturan Daerah. Peraturan Daerah ini bertujuan untuk memberikan pengaturan pelaksanaan yang melengkapi pokok-pokok kebijakan Pajak dan Retribusi yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah serta Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Peraturan Daerah ini juga menjadi dasar dan pedoman bagi Pemerintah Daerah dalam menerbitkan Peraturan Gubernur dan/atau peraturan pelaksanaan lainnya dalam rangka pemungutan Pajak dan Retribusi. Pengaturan yang dimaksud selain meliputi pengaturan tentang ketentuan materiil antara lain terkait subjek, objek, tarif dan dasar pengenaan, juga meliputi ketentuan formil yang mencakup ketentuan umum, tata cara, sistem dan prosedur pemungutan pajak dan retribusi daerah. Pengaturan dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi dan kebutuhan di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

Pengaturan dalam Peraturan Daerah ini mencakup jenis Pajak dan Retribusi, Subjek Pajak dan Wajib Pajak, Subjek Retribusi dan Wajib Retribusi, objek Pajak dan Retribusi, dasar pengenaan Pajak, tingkat penggunaan jasa Retribusi, saat terutang Pajak, wilayah pemungutan Pajak, serta tarif Pajak dan Retribusi. Pengaturan ini meliputi pula kerahasiaan data Wajib Pajak, penyidikan, dan ketentuan pidana.


Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 Tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah telah mengatur bahwa penetapan besaran dasar pengenaan Pajak merupakan kewenangan Pemerintah Daerah yang dilaksanakan dengan merujuk pada ketentuan dalam Undang-Undang dan peraturan pelaksanaanya. Salah satu perubahan terkait pengaturan dasar pengenaan Pajak adalah pengaturan tentang dasar pengenaan PBB-P2 yang menjadi dasar perhitungan PBBP2 ditetapkan paling rendah 20% (dua puluh persen) dan paling tinggi 100% (seratus persen) dari NJOP setelah dikurangi NJOP tidak kena pajak. Pengaturan ini memberikan keleluasaan kepada pemerintah daerah untuk melakukan pengaturan beban pajak masyarakat tanpa sepenuhnya tergantung pada penetapan NJOP. Selain itu, pengaturan ini mencoba menyelesaikan permasalahan tentang kesenjangan antara beban pajak dan kemampuan membayar pajak yang seringkali timbul dalam pemungutan pajak objektif atau permasalahan Poor Cash Tax-Payer. Pengaturan ini pada akhirnya juga berdampak terhadap tarif efektif rata-rata yang ditanggung oleh masyarakat.

Peraturan daerah ini mengatur lebih lanjut mengenai pelaksanaan penetapan dasar pengenaan, saat terutang, dan wilayah pemungutan Pajak guna melengkapi pengaturan yang telah ada dalam Undang-Undang. Selain ketentuan mengenai pelaksanaan pemungutan Pajak dan Retribusi, Peraturan Pemerintah ini juga mengatur mengenai pelaksanaan penerimaan Pajak yang diarahkan penggunaannya serta pengaturan yang lebih teknis tentang besaran dan kegiatan yang harus didanai dari penerimaan PKB, PBJT atas Tenaga Listrik, Pajak Rokok, dan PAT.


Untuk meningkatkan akuntabilitas, kesesuaian karakteristik pungutan, dan kepastian hukum, Peraturan Daerah ini mengatur bahwa penerimaan atas pelayanan objek Retribusi sesuai Undang-Undang yang dipungut dan dikelola oleh BLUD dicatat sebagai Retribusi. Meskipun demikian, penggunaan penerimaan yang dipungut dan dikelola oleh BLUD dapat langsung digunakan untuk mendanai penyelenggaraan pelayanan BLUD sesuai dengan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD. Selain itu, Peraturan Daerah ini juga mengatur bahwa seluruh pungutan atas pemanfaatan barang milik daerah menjadi bagian dari Retribusi Jasa Usaha atas pemanfaatan Aset Daerah.


Pendaftaran Wajib Pajak merupakan salah satu komponen penting dalam pelaksanaan pemungutan Pajak, utamanya apabila dilakukan secara sederhana sebagai salah satu langkah simplifikasi administrasi perpajakan. Pemerintah Daerah hanya dapat menerbitkan 1 (satu) NPWPD untuk seluruh jenis Pajak yang dihubungkan dengan nomor induk kependudukan untuk Wajib Pajak orang pribadi dan nomor induk berusaha untuk Wajib Pajak Badan. Hal ini sebagai langkah integrasi data perpajakan guna memberikan kemudahan administrasi perpajakan. Oleh karena itu diperlukan pengaturan lebih lanjut dalam perkada terkait pengaturan NPWPD.


Sejalan dengan kebijakan Pajak dan Retribusi dalam Undang-Undang, Peraturan Daerah ini juga memuat pengaturan pelaksanaan dalam rangka mendukung kemudahan berusaha dan iklim investasi, diantaranya mengenai mekanisme pemberian dukungan insentif dan penyesuaian tarif. Selain itu, Peraturan Daerah ini diharapkan mampu mendukung upaya potensi Pajak Daerah secara optimal, salah satunya melalui kerja sama optimalisasi pemungutan Pajak dan pemanfaatan data dengan Pemerintah, pemerintah daerah lainnya, maupun pihak ketiga dengan tetap menjaga kerahasiaan data sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Kerja sama tersebut merupakan langkah optimalisasi pemanfaatan data-data yang semakin memiliki peran vital dalam mendorong peningkatan kinerja fiskal Pemerintah Daerah.

   
II.

PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas.


Pasal 2

Cukup jelas.


Pasal 3

Cukup jelas.


Pasal 4

Ayat (1)

Cukup jelas.


Ayat (2)

Cukup jelas.


Ayat (3)

Huruf a

Cukup jelas.


Huruf b

Yang dimaksud dengan “keperluan pertahanan dan keamanan negara” adalah Kendaraan Bermotor untuk keperluan pertahanan dan keamanan negara termasuk kendaraan operasional TNI/POLRI yang tercatat sebagai aset TNI/POLRI.


Huruf c

Cukup jelas.


Huruf d

Cukup jelas.


Huruf e

Yang dimaksud dengan “pabrikan atau importir” adalah pabrikan atau importir termasuk Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM).


Yang dimaksud dengan “keperluan pameran dan tidak untuk dijual” adalah kendaraan bermotor yang digunakan untuk pameran dan akan diekspor kembali.


Pasal 5

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “Badan” termasuk Pemerintah atau pemerintah daerah.


Ayat (2)

Cukup jelas.


Pasal 6

Cukup jelas.


Pasal 7

Ayat (1)

Tarif PKB ditetapkan secara progresif untuk kepemilikan kedua dan seterusnya, dibedakan sesuai dengan jenis kendaraan berdasarkan kategori jumlah roda kendaraan.

Contoh:

Orang pribadi yang memiliki satu Kendaraan Bermotor roda 2 (dua), satu Kendaraan Bermotor roda 3 (tiga), dan satu Kendaraan Bermotor roda 4 (empat) masing-masing diperlakukan sebagai kepemilikan pertama sehingga tidak dikenakan pajak progresif.

Ayat (2)

Cukup jelas.


Ayat (3)

Kendaraan Bermotor yang dimiliki oleh Badan dikenakan tarif tunggal yakni sebesar 2% (dua persen) dan tidak dikenakan tarif pajak progresif, hal ini dimaksudkan sebagai dukungan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta kepada pelaku usaha.


Ayat (4)

Kepemilikan Kendaraan Bermotor atas nama yang sama didasarkan pada nomor induk kependudukan yang sama.
Kepemilikan Kendaraan Bermotor atas alamat yang sama didasarkan pada nomor kartu keluarga yang sama.


Pasal 8

Ayat (1)

Cukup jelas.


Ayat (2)

Yang dimaksud dengan "kepemilikan" adalah hubungan hukum antara orang pribadi atau Badan dengan Kendaraan Bermotor yang namanya tercantum di dalam bukti kepemilikan atau dokumen yang sah.

Contoh:

Tuan X membeli sebuah mobil Y pada 1 November 2025. Atas pembelian mobil tersebut, diterbitkan dokumen pengesahan kepemilikan mobil Y pada tanggal 5 November 2025 dan tercantum bahwa Tuan X adalah pemilik mobil Y. Dengan demikian, saat terutang PKB adalah pada tanggal 5 November setiap tahunnya.

Yang dimaksud dengan "penguasaan" adalah penggunaan dan/atau penguasaan fisik Kendaraan Bermotor oleh orang pribadi atau Badan dengan bukti penguasaan yang sah menurut ketentuan perundang-undangan.

Contoh:

Tuan X pemilik mobil Y sejak tanggal 5 November 2025 (dibuktikan dengan dokumen pengesahan kepemilikan) menyewakan mobil Y tersebut kepada PT Z. Atas sewa mobil tersebut, Tuan X dan PT Z menandatangani kontrak perjanjian peminjaman mobil pada tanggal 5 Januari 2026 untuk masa sewa selama 3 (tiga) tahun, di mana dalam perjanjian kontrak tersebut menyatakan bahwa PT Z menanggung beban Pajak yang terutang atas mobil yang disewa tersebut. Dengan demikian, pada saat terutang PKB (setiap tanggal 5 November), PT Z membayarkan PKB kendaraan milik Tuan X pada tanggal 5 November 2026 sesuai kesepakatan dalam kontrak.

Ayat (3)

Cukup jelas.


Pasal 9

Cukup jelas.


Pasal 10

Ayat (1)

BBNKB hanya dikenakan atas penyerahan pertama Kendaraan Bermotor, sedangkan untuk penyerahan kedua dan seterusnya atas Kendaraan Bermotor tersebut (kendaraan bekas) bukan merupakan objek BBNKB.


Ayat (2)

Cukup jelas.


Ayat (3)

Huruf a

Cukup jelas.


Huruf b

Pemasukan Kendaraan Bermotor untuk dikeluarkan kembali dari wilayah kepabeanan Indonesia merupakan impor sementara yang dimaksudkan untuk diekspor kembali sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan, contoh:

  1. kendaraan yang dibawa oleh wisatawan;
  2. kendaraan yang digunakan teknisi, wartawan, tenaga ahli; dan
  3. kendaraan proyek yang digunakan sementara waktu yang pada saat pengimporannya telah jelas bahwa barang tersebut akan diekspor kembali.

Huruf c

Cukup jelas.


Ayat (4)

Cukup jelas.


Pasal 11

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “Badan” termasuk Pemerintah atau pemerintah daerah.

 

Ayat (2)

Cukup jelas.


Pasal 12

Cukup jelas.


Pasal 13

Cukup jelas.


Pasal 14

Ayat (1)

Cukup jelas.


Ayat (2)

Contoh pengenaan BBNKB pada penyerahan pertama Kendaraan Bermotor.


Contoh:

Tuan X membeli mobil baru untuk pertama kalinya pada tahun 2025 dan terdaftar atas nama Tuan X. Atas pembelian mobil baru tersebut, terutang BBNKB. Kemudian, pada tahun 2026, Tuan X membeli mobil bekas dan didaftarkan atas nama Tuan X. Atas pembelian mobil bekas yang dilakukan Tuan X tersebut, tidak terutang BBNKB. Lalu, Tuan X kembali membeli mobil baru pada tahun 2027. Atas pembelian mobil baru pada tahun 2027 tersebut, terutang BBNKB.

Ayat (3

Cukup jelas.


Ayat (4)

Cukup jelas.


Ayat (5)

Cukup jelas.


Pasal 15

Cukup jelas.


Pasal 16

Cukup jelas.


Pasal 17

Cukup jelas.


Pasal 18

Cukup jelas.


Pasal 19

Cukup jelas.


Pasal 20

Cukup jelas.


Pasal 21

Cukup jelas.


Pasal 22

Ayat (1)

Cukup jelas.


Ayat (2)

Cukup jelas.


Ayat (3)

Pemungutan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor dilakukan oleh produsen dan/atau importir atau nama lain sejenis atas bahan bakar yang disalurkan atau dijual kepada:

  1. Lembaga penyalur, antara lain, Stasiun Pengisian Bahan Bakar untuk Umum (SPBU), Stasiun Pengisian Bahan Bakar untuk TNI/POLRI, Agen Premium dan Minyak Solar (APMS), premium solar packed dealer (PSPD), stasiun pengisian bahan bakar bunker (SPBB), Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBG), yang akan menjual BBKB kepada konsumen akhir (konsumen langsung);
  2. Konsumen langsung, yaitu pengguna BBKB.

Dalam hal bahan bakar tersebut digunakan sendiri maka produsen dan/atau importir atau nama lain sejenis wajib menanggung Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor yang digunakan sendiri untuk kendaraan bermotornya

Produsen dan/atau importir atau nama lain sejenis tidak mengenakan PBBKB atas penjualan bahan bakar minyak untuk usaha industri. Dalam hal pembelian BBKB dilakukan antar penyedia BBKB, baik untuk dijual kembali kepada lembaga penyalur dan/atau konsumen langsung, maka yang wajib mengenakan PBBKB adalah penyedia yang menyalurkan BBKB kepada lembaga penyalur dan/atau konsumen langsung.


Ayat (4)

Yang dimaksud dengan “produsen” adalah orang atau badan yang menghasilkan BBKB.

Yang dimaksud dengan “importir” adalah orang atau badan yang melakukan kegiatan impor BBKB.


Pasal 23

Cukup jelas.


Pasal 24

Cukup jelas.


Pasal 25

Cukup jelas.


Pasal 26

Cukup jelas.


Pasal 27

Cukup jelas.


Pasal 28

Cukup jelas.


Pasal 29

Cukup jelas.


Pasal 30

Cukup jelas.


Pasal 31

Ayat (1)

Cukup jelas.


Ayat (2)

Cukup jelas.


Ayat (3)

Huruf a

Cukup jelas.


Huruf b

Yang dimaksud dengan “tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan” adalah bahwa objek pajak itu diusahakan untuk melayani kepentingan umum, dan nyata tidak ditujukan untuk mencari keuntungan. Hal ini dapat diketahui antara lain dari anggaran dasar dan anggaran rumah tangga dan/atau laporan keuangan.


Huruf c

Cukup jelas.


Huruf d

Cukup jelas.


Huruf e

Cukup jelas.


Huruf f

Cukup jelas.


Huruf g

Yang dimaksud dengan "Bumi dan/atau Bangunan untuk jalur kereta api, moda raya terpadu (Mass Rapid Transit), lintas raya terpadu (Light Rail Transit), atau yang sejenis” adalah Bumi dan/atau Bangunan untuk jalur rel yang digunakan sebagai infrastruktur perhubungan untuk moda berbasis rel dimaksud, tidak termasuk area lain pada stasiun seperti kantor, gedung parkir, lounge, fasilitas makan/minum, dan fasilitas hiburan di stasiun.

 

Huruf h

Cukup jelas.


Huruf i

Cukup jelas.


Pasal 32

Cukup jelas.


Pasal 33

Cukup jelas.


Pasal 34

Cukup jelas.


Pasal 35

Cukup jelas.


Pasal 36

Cukup jelas.


Pasal 37

Ayat (1)

Huruf a

Angka 1

Yang dimaksud dengan “jual beli” adalah suatu perbuatan hukum atas suatu perjanjian timbal balik, dimana pihak yang satu (penjual) menyerahkan hak milik atas suatu barang (tanah dan/atau Bangunan) kepada pihak lainnya (pembeli) dan si pembeli membayar harga (berupa uang maupun alat pembayaran lainnya) yang telah disetujui bersama kepada si penjual, sebagai imbalan dan perolehan hak milik tersebut.


Angka 2

Yang dimaksud dengan “tukar-menukar” adalah suatu perbuatan hukum yang mana kedua belah pihak mengikatkan dirinya untuk saling mengalihkan haknya secara timbal balik atas suatu tanah dan/atau Bangunan.


Angka 3

Yang dimaksud dengan “hibah” adalah suatu persetujuan dimana seseorang penghibah mengalihkan haknya atas tanah dan/atau Bangunan secara cuma-cuma kepada penerima hibah tanpa menariknya kembali.


Angka 4

Yang dimaksud dengan “hibah wasiat” adalah suatu penetapan wasiat yang khusus mengenai pemberian Hak atas Tanah dan/atau Bangunan kepada orang pribadi atau badan hukum tertentu yang berlaku setelah pemberi hibah wasiat meninggal dunia.


Angka 5

Yang dimaksud dengan “waris” adalah peristiwa dimana orang mendapatkan harta warisan baik sebagai ahli waris maupun bukan ahli waris.


Angka 6

Yang dimaksud dengan “pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain” adalah peralihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan dari orang pribadi atau Badan kepada perseroan terbatas atau badan hukum lainnya sebagai penyertaan modal pada perseroan terbatas atau badan hukum lainnya tersebut.


Angka 7

Yang dimaksud dengan “pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan” adalah pemindahan sebagian hak bersama atas tanah dan/atau Bangunan oleh orang pribadi atau Badan kepada sesama pemegang hak bersama.


Angka 8

Yang dimaksud dengan “penunjukkan pembeli dalam lelang” adalah penetapan pemenang lelang oleh pejabat lelang sebagaimana yang tercantum dalam risalah lelang.


Angka 9

Yang dimaksud dengan “pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap” adalah terjadi peralihan hak dari orang pribadi atau badan hukum sebagai salah satu pihak kepada pihak yang ditentukan dalam keputusan Hakim tersebut yang mempunyai kekuatan hukum tetap.


Angka 10

Yang dimaksud dengan “penggabungan usaha” adalah penggabungan dari dua Badan Usaha atau lebih dengan cara tetap mempertahankan berdirinya salah satu Badan Usaha dan melikuidasi badan usaha lainnya yang menggabung tersebut.


Angka 11

Yang dimaksud dengan “peleburan usaha” adalah penggabungan dan dua atau lebih Badan Usaha dengan cara mendirikan Badan Usaha baru dan melikuidasi badan-badan yang bergabung tersebut.


Angka 12

Yang dimaksud dengan “pemekaran usaha” adalah pemisahan suatu badan usaha menjadi dua badan usaha atau lebih dengan cara mendirikan badan usaha baru dan mengalihkan sebagian aktiva dan pasiva kepada badan usaha baru yang dilakukan tanpa melikuidasi badan usaha yang lama.


Angka 13

Yang dimaksud dengan “hadiah” adalah suatu perbuatan hukum berupa penyerahan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada penerima hadiah.


Huruf b

Angka 1

Yang dimaksud dengan “pemberian hak baru karena kelanjutan pelepasan hak” adalah pemberian hak baru kepada orang pribadi atau badan hukum dari negara atas tanah yang berasal dari pelepasan hak.

Contoh:
pemberian HGB yang berasal dari akta pelepasan hak.


Angka 2

Yang dimaksud dengan “pemberian hak baru karena di luar pelepasan hak” adalah pemberian hak baru kepada orang pribadi atau badan hukum dari negara atau dari pemegang hak milik menurut perundang-undangan yang berlaku.

Contoh:

  1. pemberian hak milik, hak guna bangunan, atau hak pakai di atas tanah negara;
  2. pemberian hak guna bangunan atau hak pakai di atas tanah hak pengelolaan;
  3. pemberian hak guna bangunan di atas tanah hak milik; ata
  4. pemberian hak milik atas satuan rumah susun di atas hak milik, hak guna bangunan, hak pakai.

Ayat (2)

Huruf a

Yang dimaksud dengan “hak milik” adalah hak turun temurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah.


Huruf b

Yang dimaksud dengan “hak guna usaha” adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dalam jangka waktu sebagaimana yang ditentukan oleh ketentuan perundang-undangan yang berlaku, guna perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan.


Huruf c

Yang dimaksud dengan “hak guna bangunan” adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu sebagaimana yang ditentukan oleh ketentuan perundang-undangan yang berlaku.


Huruf d

Yang dimaksud dengan “hak pakai” adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai oleh negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.


Huruf e

Yang dimaksud dengan “hak milik atas satuan rumah susun” adalah hak milik atas satuan rumah susun yang bersifat perseorangan dan terpisah meliputi hak atas bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama yang semuanya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan satuan yang bersangkutan.

Yang dimaksud dengan “rumah susun” adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional, baik dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama.


Huruf f

Yang dimaksud dengan “hak pengelolaan” adalah hak menguasai dari negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang haknya antara lain berupa perencanaan, peruntukan, dan penggunaan tanah, penggunaan tanah untuk keperluan pelaksanaan tugas, penyerahan bagian-bagian dari tanah tersebut kepada pihak ketiga dan/atau bekerjasama dengan pihak ketiga.


Ayat (3)

Huruf a

Cukup jelas.


Huruf b

Cukup jelas.


Huruf c

Cukup jelas.


Huruf d

Cukup jelas.


Huruf e

Yang dimaksud dengan “konversi hak” adalah perubahan hak dari hak lama menjadi hak baru menurut Undang-Undang Pokok Agraria dan/atau ketentuan perundang-undangan lainnya termasuk pengakuan hak dari pemerintah.

Contoh:

  1. bekas tanah eigendom menjadi hak milik; atau
  2. bekas tanah milik adat menjadi hak baru.

Yang dimaksud dengan “perbuatan hukum lain dengan tidak ada perubahan nama” misalnya:

  1. perpanjangan hak guna bangunan yang dilaksanakan baik sebelum maupun setelah berakhirnya hak tanpa adanya perubahan nama; atau
  2. peningkatan hak dari hak guna bangunan menjadi hak milik tanpa adanya perubahan nama.

Huruf f

Yang dimaksud dengan “wakaf” adalah perbuatan hukum orang pribadi atau Badan yang memisahkan sebagian dari harta kekayaannya yang berupa hak milik atas tanah dan/atau bangunan dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan peribadatan atau kepentingan umum lainnya tanpa imbalan apapun.


Huruf g

Cukup jelas.


Huruf h

Cukup jelas.


Ayat (4)

Cukup jelas.


Ayat (5)

Cukup jelas.


Pasal 38

Cukup jelas.


Pasal 39

Ayat (1)

Cukup jelas.


Ayat (2)

Huruf a

Yang dimaksud dengan “harga transaksi” adalah harga yang terjadi dan telah disepakati oleh pihak-pihak yang bersangkutan.


Huruf b

Cukup jelas.


Huruf c

Cukup jelas.


Ayat (3)

Cukup jelas.

 

Ayat (4)

Cukup jelas.


Ayat (5)

Cukup jelas.


Pasal 40

Cukup jelas.


Pasal 41

Ayat (1)

Cukup jelas.


Ayat (2)

Huruf a

Cukup jelas.

 

Huruf b

Yang dimaksud dengan “pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta” adalah tanggal dibuat dan ditandatangani akta pemindahan hak di hadapan pejabat pembuat akta tanah atau notaris.


Huruf c

Cukup jelas.


Huruf d

Cukup jelas.


Huruf e

Cukup jelas.


Huruf f

Cukup jelas.


Huruf g

Yang dimaksud dengan “pada tanggal penunjukan pemenang lelang” adalah ditandatanganinya kutipan risalah lelang oleh Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) atau kantor lelang lainnya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang memuat antara lain nama pemenang lelang.


Ayat (3)

Cukup jelas.


Ayat (4)

Cukup jelas.


Pasal 42

Cukup jelas.


Pasal 43

Cukup jelas.


Pasal 44

Cukup jelas.


Pasal 45

Ayat (1)

Huruf a

Contoh Penjualan dan/atau penyerahan Makanan dan/atau Minuman:

  1. Toko Roti A melakukan penjualan roti dan minuman kepada konsumen. Roti diproduksi dari tempat lain (pabrik roti), kemudian didistribusikan melalui Toko Roti A untuk dijual kepada konsumen. Toko Roti A tidak menyediakan meja, kursi, dan/atau peralatan makan di lokasi penjualan. Oleh karena itu, Toko Roti A tidak memenuhi kriteria Restoran, sehingga atas penjualan roti dan minuman yang dilakukan tidak terutang PBJT, melainkan merupakan objek pajak pertambahan nilai.
  2. Toko Roti dengan merek dagang B pada Mal X di Kota Z melakukan penjualan roti dan minuman kepada konsumen. Roti diproduksi dari tempat lain (pabrik roti), kemudian didistribusikan melalui Toko Roti B untuk dijual kepada konsumen. Untuk meningkatkan pelayanannya kepada konsumen, Toko Roti B menyediakan meja dan kursi kepada konsumen untuk menyantap di tempat. Oleh karena itu, toko roti dimaksud merupakan Restoran sehingga atas penjualan roti dan minuman yang dilakukan terutang PBJT bukan objek pajak pertambahan nilai.
  3. Toko Roti dengan merek dagang B pada Pusat Pertokoan Y di Kota Z melakukan produksi (proses pembuatan dan pengolahan bahan menjadi roti) sekaligus penjualan roti kepada konsumen. Toko dimaksud hanya melakukan pembuatan dan penjualan langsung kepada konsumen tanpa menyediakan meja, kursi, dan/atau peralatan makan di lokasi penjualan. Oleh karena itu, Toko Roti dimaksud tidak memenuhi kriteria Restoran sehingga atas penjualan roti dan minuman yang dilakukan tidak terutang PBJT, melainkan merupakan objek pajak pertambahan nilai. Dengan demikian, meskipun atas toko roti yang memiliki merek dagang yang sama, dapat terjadi perbedaan perlakuan perpajakan, bergantung pada pelayanan riil toko roti apakah hanya menjual (distribusi) atau memberikan pelayanan selayaknya Restoran.

Huruf b

Makanan dan/atau Minuman yang disediakan oleh penyedia jasa boga atau katering termasuk Makanan dan/atau Minuman yang disediakan dalam bentuk kerjasama dengan persewaan ruangan. Contohnya adalah paket persewaan ruangan dan katering oleh wedding organizer.

 

Ayat (2)

Cukup jelas.


Ayat (3)

Cukup jelas.


Pasal 46

Cukup jelas.


Pasal 47

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “jasa penyediaan akomodasi dan fasilitas penunjang” termasuk fasilitas tambahan dan/atau fasilitas terkait. Fasilitas tambahan merupakan fasilitas penunjang yang terkait secara langsung dengan jasa penyewaan kamar, dapat berupa pelayanan kamar (room service), pendingin udara (air conditioning), binatu (laundry and dry cleaning), kasur tambahan (extrabed), furnitur dan perlengkapan tetap (fixture), telepon, brankas (safety box), internet, televisi satelit/kabel, dan/atau minibar.

Fasilitas terkait merupakan fasilitas yang tidak terkait secara langsung dengan jasa penyewaan kamar, dapat berupa fasilitas penjualan makanan dan/atau minuman, olah raga dan hiburan, fotokopi, teleks, faksimile, dan/atau transportasi hotel.

Jasa penyewaan ruangan sebagaimana dimaksud merupakan jasa penyewaan untuk kegiatan acara atau pertemuan.

 

Huruf a

Cukup jelas.

 

Huruf b

Cukup jelas.

 

Huruf c

Cukup jelas.

 

Huruf d

Cukup jelas.

 

Huruf e

Cukup jelas.

 

Huruf f

Cukup jelas.

 

Huruf g

Cukup jelas.

 

Huruf h

Cukup jelas.

 

Huruf i

Cukup jelas.

 

Huruf j

Yang dimaksud dengan "tempat tinggal pribadi yang difungsikan sebagai hotel" adalah rumah, apartemen, dan kondominium yang disediakan sebagai jasa akomodasi selayaknya akomodasi hotel, tetapi tidak termasuk bentuk persewaan (kontrak) jangka panjang (lebih dari satu bulan).

 

Huruf k

Cukup jelas.


Ayat (2)

Huruf a

Cukup jelas.

 

Huruf b

Cukup jelas.

 

Huruf c

Cukup jelas.

 

Huruf d

Cukup jelas.

 

Huruf e

Yang dimaksud dengan "persewaan ruangan untuk diusahakan di hotel" adalah ruangan yang disewa oleh pelaku usaha untuk penyelenggaraan kegiatan usaha seperti kantor, toko, atau mesin anjungan tunai mandiri (ATM) di dalam hotel.

 
Pasal 48

Cukup jelas.


Pasal 49

Ayat (1)

Huruf a

Cukup jelas.

 

Huruf b

Cukup jelas.

 

Huruf c

Cukup jelas.

 

Huruf d

Cukup jelas.


Huruf r

Cukup jelas.


Huruf f

Cukup jelas.


Huruf g

Cukup jelas.


Huruf h

Yang dimaksud dengan "permainan ketangkasan" adalah bentuk permainan yang berada di dalam kawasan arena dan/atau taman bermain yang dipungut bayaran, baik yang berada di dalam ruangan maupun di luar ruangan seperti permainan ding-dong, lempar bola ke dalam keranjang, paintball, dan sebagainya.


Huruf i

Yang dimaksud dengan "olahraga permainan" adalah bentuk persewaan ruang dan alat olahraga seperti tempat kebugaran (fitness center), lapangan futsal, lapangan tenis, kolam renang, dan sebagainya yang dikenakan bayaran atas penggunaannya.


Huruf j

Cukup jelas.


Huruf k

Cukup jelas.


Huruf l

Cukup jelas.


Ayat (2)

Cukup jelas.

 
Pasal 50

Ayat (1)

Cukup jelas.


Ayat (2)

Penjualan atau penyerahan Barang dan Jasa Tertentu oleh Wajib Pajak termasuk penyediaan akomodasi yang dipasarkan oleh pihak ketiga berupa tempat tinggal yang difungsikan sebagai hotel. Dalam kondisi dimaksud, yang menjadi Wajib Pajak PBJT adalah pemilik atau pihak yang menguasai tempat tinggal, yang menyerahkan jasa akomodasi kepada konsumen akhir, bukan penyedia jasa pemasaran atau pengelolaan melalui platform digital.

 

Pasal 51

Ayat (1)

Cukup jelas.


Ayat (2)

Yang dimaksud dengan bentuk lain dari voucer antara lain berupa kupon, tiket, atau kartu hadiah (gift card), termasuk yang dalam bentuk elektronik.


Ayat (3)

Yang dimaksud dengan tidak terdapat pembayaran termasuk voucer atau bentuk lain sejenis yang tidak memuat nilai rupiah atau mata uang lain.


Ayat (4)

Cukup jelas.


Pasal 52

Cukup jelas.


Pasal 53

Cukup jelas.


Pasal 54

Cukup jelas.


Pasal 55

Cukup jelas.


Pasal 56

Cukup jelas.


Pasal 57

Ayat (1)

Cukup jelas.


Ayat (2)

Cukup jelas.


Ayat (3)

Cukup jelas.


Ayat (4)

Yang dimaksud dengan “nilai kontrak Reklame tidak diketahui” adalah dalam hal pihak ketiga tidak dapat memberikan bukti surat perjanjian kerja atau salinan kontrak kerja dengan pihak pesan atau pemilik Reklame.

Yang dimaksud dengan “nilai kontrak Reklame dianggap tidak wajar” adalah dalam hal nilai kontrak Reklame yang tercantum dalam surat perjanjian kerja atau kontrak kerja antara pihak pemesan atau pemilik Reklame lebih rendah dari dasar pengenaan pajak yang dihitung berdasarkan nilai sewa Reklame yang diselenggarakan sendiri.


Ayat (5)

Cukup jelas.


Pasal 58

Cukup jelas.


Pasal 59

Cukup jelas.


Pasal 60

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “pemanfaatan” adalah kegiatan penggunaan Air Tanah di sumbernya tanpa dilakukan pengambilan.

Yang dimaksud dengan “pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah” adalah yang digunakan oleh orang pribadi atau Badan untuk berbagai macam keperluan, konsumsi perusahaan, perkantoran dan rumah tinggal.

Termasuk dalam kegiatan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah adalah dewatering.


Ayat (2)

Pengambilan Air Tanah untuk keperluan dasar rumah tangga, pengairan pertanian rakyat, perikanan rakyat, dan keagamaan, dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan dan peraturan perundang-undangan.


Pasal 61

Cukup jelas.


Pasal 62

Ayat (1)

Cukup jelas.


Ayat (2)

Cukup jelas.


Ayat (3)

Cukup jelas.


Ayat (4)

Huruf a

Cukup jelas.


Huruf b

Termasuk dalam pengertian lokasi sumber air adalah kedalaman sumber air akuifer yang disadap.


Huruf c

Cukup jelas.


Huruf d

Yang dimaksud dengan “volume air yang diambil” adalah jumlah volume air yang dihitung dalam 1 (satu) bulan berjalan berdasarkan alat mesin air atau alat pengukur luah (debit) air atau alat ukur lainnya.


Huruf e

Cukup jelas.


Huruf f

Cukup jelas.


Ayat (5)

Cukup jelas.


Pasal 63

Cukup jelas.


Pasal 64

Cukup jelas.


Pasal 65

Cukup jelas.


Pasal 66

Cukup jelas.


Pasal 67

Cukup jelas.


Pasal 68

Cukup jelas.


Pasal 69

Cukup jelas.


Pasal 70

Cukup jelas.


Pasal 71

Yang dimaksud dengan “pelataran, los, dan kios” termasuk lokasi sementara yang dikelola oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 72

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan "kendaraan bermotor" merupakan kendaraan bermotor angkutan penumpang dan kendaraan bermotor angkutan barang. Kendaraan bermotor angkutan penumpang meliputi:

  1. mobil penumpang; dan
  2. mobil bus.

Kendaraan bermotor angkutan barang meliputi semua kendaraan umum angkutan barang.


Ayat (2)

Cukup jelas.


Pasal 73

Cukup jelas.


Pasal 74

Cukup jelas.


Pasal 75

Cukup jelas.


Pasal 76

Cukup jelas.


Pasal 77

Yang dimaksud dengan "tempat khusus parkir di luar badan jalan" adalah tempat khusus parkir di luar ruang milik jalan.

Contoh:
tempat parkir yang disediakan di gedung, bangunan, atau area lainnya yang dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, seperti pada rumah sakit, pasar, sarana rekreasi, dan/atau sarana umum lainnya milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.


Pasal 78

Contoh tempat penginapan atau pesanggrahan atau vila yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, seperti asrama, hotel, aula, atau ruangan yang dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, yang difungsikan sebagai tempat penginapan atau pesanggrahan atau vila.


Pasal 79

Cukup jelas.


Pasal 80

Cukup jelas.


Pasal 81

Cukup jelas.


Pasal 82

Cukup jelas.


Pasal 83

Cukup jelas.


Pasal 84

Cukup jelas.


Pasal 85

Cukup jelas.


Pasal 86

Cukup jelas.


Pasal 87

Cukup jelas.


Pasal 88

Ayat (1)

Cukup jelas.


Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “jabatan tertentu" adalah jabatan tertentu di lembaga pendidikan berpedoman pada peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan.


Pasal 89

Cukup jelas.


Pasal 90

Cukup jelas.


Pasal 91

Cukup jelas.


Pasal 92

Cukup jelas.


Pasal 93

Cukup jelas.


Pasal 94

Cukup jelas.


Pasal 95

Cukup jelas.


Pasal 96

Cukup jelas.


Pasal 97

Cukup jelas.


Pasal 98

Cukup jelas.


Pasal 99

Cukup jelas.


Pasal 100

Cukup jelas.


Pasal 101

Cukup jelas.


Pasal 102

Cukup jelas.


Pasal 103

Cukup jelas.


Pasal 104

Cukup jelas.


Pasal 105

Cukup jelas.


Pasal 106

Cukup jelas.


Pasal 107

Cukup jelas.


Pasal 108

Cukup jelas.


Pasal 109

Cukup jelas.


Pasal 110

Cukup jelas.


Pasal 111

Cukup jelas.


Pasal 112

Cukup jelas.


Pasal 113

Cukup jelas.


Pasal 114

Cukup jelas.


Pasal 115

Cukup jelas.


Pasal 116

Cukup jelas.


Pasal 117

Cukup jelas.


Pasal 118

Cukup jelas.




TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA  JAKARTA NOMOR 2041