1. |
Di antara angka 4 dan angka 5 Pasal 1 disisipkan 2 (dua) angka, yakni angka 4a dan angka 4b sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1
Dalam Peraturan Presiden ini yang dimaksud dengan:
1. |
Jaminan Kesehatan adalah jaminan berupa perlindungan kesehatan agar Peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi Kebutuhan Dasar Kesehatan yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar Iuran Jaminan Kesehatan atau Iuran Jaminan Kesehatannya dibayar oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah. |
2. |
Peserta adalah setiap orang, termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia, yang telah membayar Iuran Jaminan Kesehatan. |
3. |
Iuran Jaminan Kesehatan yang selanjutnya disebut Iuran adalah sejumlah uang yang dibayarkan secara teratur oleh Peserta, Pemberi Kerja, dan/atau Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah untuk program Jaminan Kesehatan. |
4. |
Manfaat adalah faedah jaminan sosial yang menjadi hak Peserta dan/atau anggota keluarganya. |
4a. |
Kebutuhan Dasar Kesehatan adalah kebutuhan esensial menyangkut pelayanan kesehatan perorangan guna pemeliharaan kesehatan, penghilangan gangguan kesehatan, dan penyelamatan nyawa, sesuai dengan pola epidemiologi dan siklus hidup. |
4b. |
Kelas Rawat Inap Standar adalah standar minimum pelayanan rawat inap yang diterima oleh Peserta. |
5. |
Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan yang selanjutnya disebut PBI Jaminan Kesehatan adalah fakir miskin dan orang tidak mampu sebagai Peserta program Jaminan Kesehatan. |
6. |
Pekerja adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima Gaji, Upah, atau imbalan dalam bentuk lain. |
7. |
Pekerja Penerima Upah yang selanjutnya disingkat PPU adalah setiap orang yang bekerja pada Pemberi Kerja dengan menerima Gaji atau Upah. |
8. |
Pekerja Bukan Penerima Upah yang selanjutnya disingkat PBPU adalah setiap orang yang bekerja atau berusaha atas risiko sendiri. |
9. |
Bukan Pekerja yang selanjutnya disingkat BP adalah setiap orang yang bukan termasuk kelompok PPU, PBPU, PBI Jaminan Kesehatan, dan penduduk yang didaftarkan oleh Pemerintah Daerah. |
10. |
Pejabat Negara adalah pimpinan dan anggota lembaga negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan pejabat lainnya yang ditentukan oleh Undang-Undang. |
11. |
Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disingkat PNS adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, diangkat sebagai Pegawai Aparatur Sipil Negara secara tetap oleh pejabat pembina kepegawaian untuk menduduki jabatan pemerintahan. |
12. |
Prajurit adalah anggota Tentara Nasional Indonesia. |
13. |
Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Anggota Polri adalah Anggota Polri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai Kepolisian Negara Republik Indonesia. |
14. |
Veteran adalah Veteran Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai Veteran Republik Indonesia. |
15. |
Perintis Kemerdekaan adalah Perintis Kemerdekaan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai Perintis Kemerdekaan atau pemberian penghargaan/tunjangan kepada Perintis Pergerakan Kebangsaan/Kemerdekaan. |
16. |
Pemberi Kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja, atau penyelenggara negara yang mempekerjakan Pegawai Aparatur Sipil Negara dengan membayar gaji, upah, atau imbalan dalam bentuk lainnya. |
17. |
Gaji atau Upah adalah hak Pekerja yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari Pemberi Kerja kepada Pekerja yang ditetapkan dan dibayar menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi Pekerja dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan. |
18. |
Pemutusan Hubungan Kerja yang selanjutnya disingkat PHK adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara Pekerja/buruh dan Pemberi Kerja berdasarkan peraturan perundang-undangan. |
19. |
Fasilitas Kesehatan adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan perorangan, baik promotif, preventif, kuratif, maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat. |
20. |
Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama yang selanjutnya disingkat FKTP adalah Fasilitas Kesehatan yang melakukan pelayanan kesehatan perorangan yang bersifat nonspesialistik untuk keperluan observasi, promotif, preventif, diagnosis, perawatan, pengobatan, dan/atau pelayanan kesehatan lainnya. |
21. |
Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan yang selanjutnya disingkat FKRTL adalah Fasilitas Kesehatan yang melakukan pelayanan kesehatan perorangan yang bersifat spesialistik atau sub spesialistik yang meliputi rawat jalan tingkat lanjutan, rawat inap tingkat lanjutan, dan rawat inap di ruang perawatan khusus. |
22. |
Cacat Total Tetap adalah cacat yang mengakibatkan ketidakmampuan seseorang untuk melakukan pekerjaan. |
23. |
Kecelakaan Kerja adalah kecelakaan yang terjadi dalam hubungan kerja, termasuk kecelakaan yang terjadi dalam perjalanan dari rumah menuju tempat kerja atau sebaliknya, dan penyakit yang disebabkan oleh lingkungan kerja. |
24. |
Kecurangan (fraud) adalah tindakan yang dilakukan dengan sengaja, untuk mendapatkan keuntungan finansial dari program Jaminan Kesehatan dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional melalui perbuatan curang yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
25. |
Urun Biaya adalah tambahan biaya yang dibayar Peserta pada saat memperoleh Manfaat pelayanan kesehatan yang dapat menimbulkan penyalahgunaan pelayanan. |
26. |
Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. |
27. |
Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan. |
28. |
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan yang selanjutnya disingkat BPJS Kesehatan adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program Jaminan Kesehatan. |
29. |
Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah otonom. |
30. |
Daerah Otonom yang selanjutnya disebut Daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. |
|
|
|
2. |
Ketentuan ayat (2) Pasal 6 diubah dan ayat (3) dihapus sehingga Pasal 6 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 6
(1) |
Setiap penduduk Indonesia wajib ikut serta dalam program Jaminan Kesehatan. |
(2) |
Ikut serta dalam program Jaminan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan cara mendaftar atau didaftarkan pada BPJS Kesehatan, sebagai Peserta. |
(3) |
Dihapus. |
|
|
|
3. |
Di antara Pasal 6 dan Pasal 7 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 6A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 6A
(1) |
Peserta berhak menentukan FKTP yang diinginkan saat mendaftar pada BPJS Kesehatan. |
(2) |
Dalam hal Peserta didaftarkan oleh pihak lain, penentuan FKTP untuk pertama kali dapat dilakukan oleh pihak lain atas nama Peserta. |
(3) |
Dalam hal Peserta yang didaftarkan oleh pihak lain atas nama Peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan Peserta PBI Jaminan Kesehatan, penentuan FKTP untuk pertama kali dapat dilakukan oleh BPJS Kesehatan sesuai domisili Peserta terdaftar. |
(4) |
Penentuan FKTP untuk pertama kali oleh pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus diinformasikan kepada Peserta. |
|
|
|
4. |
Ketentuan ayat (2) sampai dengan ayat (5) Pasal 7 diubah, di antara ayat (2) dan ayat (3) disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (2a), serta ayat (6) dihapus sehingga Pasal 7 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 7
(1) |
Peserta dapat mengganti FKTP tempat Peserta terdaftar setelah jangka waktu 3 (tiga) bulan. |
(2) |
Penggantian FKTP oleh Peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dalam jangka waktu kurang dari 3 (tiga) bulan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. |
Peserta pindah domisili dalam jangka waktu kurang dari 3 (tiga) bulan setelah terdaftar di FKTP awal, yang dibuktikan dengan surat keterangan domisili; atau |
b. |
Peserta dalam penugasan dinas atau pelatihan dalam jangka waktu kurang dari 3 (tiga) bulan, yang dibuktikan dengan surat keterangan penugasan atau pelatihan. |
|
(2a) |
Peserta yang didaftarkan oleh pihak lain atas nama Peserta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6A ayat (2) juga dapat mengajukan perpindahan FKTP dalam jangka waktu kurang dari 3 (tiga) bulan setelah didaftarkan. |
(3) |
Penggantian FKTP sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (2a) mulai berlaku sejak tanggal 1 pada bulan berikutnya. |
(4) |
Dalam hal kondisi Peserta yang terdaftar di FKTP belum merata, BPJS Kesehatan dapat melakukan pemindahan Peserta ke FKTP lain setelah mendapatkan persetujuan dari Peserta. |
(5) |
Pemindahan Peserta ke FKTP lain sebagaimana dimaksud pada ayat (4) bertujuan untuk pemerataan, peningkatan akses, dan peningkatan mutu layanan kesehatan dengan mempertimbangkan jumlah Peserta yang terdaftar, ketersediaan dokter, tenaga kesehatan selain dokter, dan sarana prasarana di FKTP. |
(6) |
Dihapus |
(7) |
Pemindahan Peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan setelah berkoordinasi dengan:
a. |
dinas kesehatan kabupaten/kota untuk pemindahan antar FKTP milik pemerintah; |
b. |
asosiasi Fasilitas Kesehatan untuk pemindahan antar FKTP bukan milik pemerintah; atau |
c. |
dinas kesehatan kabupaten/kota dan asosiasi Fasilitas Kesehatan untuk pemindahan antara FKTP milik pemerintah dengan FKTP bukan milik pemerintah. |
|
(8) |
Dalam hal terjadi perpindahan Peserta yang berasal dari Prajurit atau Anggota Polri, BPJS Kesehatan harus berkoordinasi dengan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia. |
(9) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemindahan Peserta diatur dengan Peraturan BPJS Kesehatan setelah berkoordinasi dengan Menteri. |
|
|
|
5. |
Ketentuan ayat (1) dan ayat (3) Pasal 15 diubah dan setelah ayat (3) ditambahkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (4) sehingga Pasal 15 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 15
(1) |
Setiap PBPU dan BP wajib mendaftarkan dirinya dan anggota keluarganya sebagai Peserta Jaminan Kesehatan pada BPJS Kesehatan dengan membayar Iuran. |
(2) |
BPJS Kesehatan harus melakukan verifikasi pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak pendaftaran. |
(3) |
Pembayaran Iuran oleh PBPU dan BP dapat dilakukan setelah selesai masa verifikasi pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2). |
(4) |
Dalam hal PBPU dan BP belum mendaftarkan anggota keluarganya, BPJS Kesehatan harus memberikan informasi kepada Peserta terkait kepesertaan dan membantu percepatan pendaftaran anggota keluarganya. |
|
|
|
6. |
Ketentuan ayat (2) sampai dengan ayat (6) Pasal 27 diubah, di antara ayat (2) dan ayat (3) disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (2a), dan di antara ayat (3) dan ayat (4) disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (3a) sehingga Pasal 27 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 27
(1) |
Peserta PPU yang mengalami PHK tetap memperoleh hak Manfaat Jaminan Kesehatan paling lama 6 (enam) bulan sejak di PHK, tanpa membayar Iuran. |
(2) |
PHK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan:
a. |
bukti diterimanya PHK oleh Pekerja dan tanda terima laporan PHK dari dinas Daerah kabupaten/kota yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan; |
b. |
perjanjian bersama dan tanda terima laporan PHK dari dinas Daerah kabupaten/kota yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan atau akta bukti pendaftaran perjanjian bersama; atau |
c. |
petikan atau putusan pengadilan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. |
|
(2a) |
Bukti PHK sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk selanjutnya disampaikan oleh Pemberi Kerja dan/atau Pekerja kepada BPJS Kesehatan. |
(3) |
Dalam hal perselisihan PHK masih dalam proses penyelesaian, Pemberi Kerja dan Pekerja tetap melaksanakan kewajiban membayar Iuran sampai dengan adanya putusan PHK yang berkekuatan hukum tetap. |
(3a) |
Dalam hal Pemberi Kerja tidak membayarkan Iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (3), tunggakan Iuran wajib dibayarkan oleh Pemberi Kerja kepada BPJS Kesehatan dan Pekerja tetap memperoleh hak Manfaat pelayanan kesehatan. |
(4) |
Dalam hal Peserta PPU yang mengalami PHK membutuhkan pelayanan rawat inap, Manfaat Jaminan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan berupa Manfaat pelayanan Kelas Rawat Inap Standar atau di ruang perawatan kelas III untuk rumah sakit yang belum menerapkan Kelas Rawat Inap Standar. |
(5) |
Peserta PPU yang mengalami PHK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang telah bekerja kembali wajib memperpanjang atau melanjutkan status kepesertaannya dengan didaftarkan oleh Pemberi Kerja atau dengan mendaftarkan diri sendiri. |
(6) |
Dalam hal Peserta PPU yang mengalami PHK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak bekerja kembali dan tidak mampu, Peserta melaporkan dirinya beserta keluarga ke dinas Daerah kabupaten/kota yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial untuk didaftarkan menjadi Peserta PBI Jaminan Kesehatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
|
|
|
7. |
Ketentuan ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) Pasal 32 diubah dan setelah ayat (4) ditambahkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (5) sehingga Pasal 32 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 32
(1) |
Batas paling tinggi Gaji atau Upah per bulan yang digunakan sebagai dasar perhitungan besaran Iuran bagi Peserta PPU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) yaitu sebesar Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah). |
(2) |
Batas paling rendah Gaji atau Upah per bulan yang digunakan sebagai dasar perhitungan besaran Iuran bagi Peserta PPU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) yaitu sebesar upah minimum provinsi. |
(3) |
Dalam hal ditetapkan upah minimum kabupaten/kota maka yang menjadi dasar perhitungan besaran Iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yaitu sebesar upah minimum kabupaten/kota. |
(4) |
Ketentuan batas paling rendah Gaji atau Upah per bulan yang digunakan sebagai dasar perhitungan besaran Iuran bagi Peserta PPU sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dikecualikan bagi Peserta PPU pada usaha mikro dan kecil. |
(5) |
Batas paling rendah Gaji atau Upah per bulan yang digunakan sebagai dasar perhitungan besaran Iuran bagi Peserta PPU pada usaha mikro dan kecil ditetapkan setelah dilakukan kajian aktuaria oleh Kementerian Keuangan, Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Kesehatan, Dewan Jaminan Sosial Nasional, dan BPJS Kesehatan. |
|
|
|
8. |
Ketentuan ayat (5), ayat (6), ayat (6a), ayat (7), ayat (8), dan ayat (9) Pasal 42 diubah dan di antara ayat (5) dan ayat (6) disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (5a) sehingga Pasal 42 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 42
(1) |
Dalam hal Peserta dan/atau Pemberi Kerja tidak membayar Iuran sampai dengan akhir bulan berjalan maka penjaminan Peserta diberhentikan sementara sejak tanggal 1 bulan berikutnya. |
(2) |
Dalam hal Pemberi Kerja belum melunasi tunggakan Iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada BPJS Kesehatan, Pemberi Kerja wajib bertanggung jawab pada saat Pekerjanya membutuhkan pelayanan kesehatan sesuai dengan Manfaat yang diberikan. |
(3) |
Pemberhentian sementara penjaminan Peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir dan status kepesertaan aktif kembali, apabila Peserta:
a. |
telah membayar Iuran bulan tertunggak, paling banyak untuk waktu 24 (dua puluh empat) bulan; dan |
b. |
membayar Iuran pada bulan saat Peserta ingin mengakhiri pemberhentian sementara jaminan. |
|
(3a) |
Untuk tahun 2020, pemberhentian sementara penjaminan Peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berakhir dan status kepesertaan aktif kembali, apabila Peserta:
a. |
telah membayar Iuran bulan tertunggak, paling banyak untuk waktu 6 (enam) bulan; |
b. |
membayar Iuran pada bulan saat Peserta ingin mengakhiri pemberhentian sementara jaminan; dan |
c. |
dengan sisa Iuran bulan yang masih tertunggak setelah pembayaran tunggakan Iuran sebagaimana dimaksud pada huruf a masih menjadi kewajiban Peserta. |
|
(3b) |
Untuk mempertahankan status kepesertaan aktif, Peserta wajib melunasi sisa Iuran bulan yang masih tertunggak sebagaimana dimaksud pada ayat (3a) huruf c seluruhnya paling lambat pada tahun 2021. |
(4) |
Pembayaran Iuran tertunggak dapat dibayar oleh Peserta atau pihak lain atas nama Peserta. |
(5) |
Dalam waktu 45 (empat puluh lima) hari sejak status kepesertaan aktif kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib membayar denda kepada BPJS Kesehatan untuk satu kali rawat inap tingkat lanjutan yang diperolehnya. |
(5a) |
Dalam waktu 45 (empat puluh lima) hari sejak status kepesertaan aktif kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (3a) dan ayat (3b), Peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib membayar denda kepada BPJS Kesehatan untuk setiap pelayanan kesehatan rawat inap tingkat lanjutan yang diperolehnya. |
(6) |
Denda sebagaimana dimaksud pada ayat (5) sebesar 5% (lima persen) dari perkiraan biaya paket Indonesian Case Based Groups berdasarkan diagnosa dan prosedur awal untuk setiap bulan tertunggak dengan ketentuan:
a. |
jumlah bulan tertunggak paling banyak 12 (dua belas) bulan; dan |
b. |
besar denda paling tinggi Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah). |
|
(6a) |
Untuk tahun 2020, denda sebagaimana dimaksud pada ayat (5a) yaitu sebesar 2,5% (dua koma lima persen) dari perkiraan biaya paket Indonesian Case Based Groups berdasarkan diagnosa dan prosedur awal untuk setiap bulan tertunggak dengan ketentuan:
(1) |
jumlah bulan tertunggak paling banyak 12 (dua belas) bulan; dan |
(2) |
besar denda paling tinggi Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah). |
|
(7) |
Bagi Peserta PPU, pembayaran Iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (3a), ayat (3b) dan ayat (4), serta denda sebagaimana dimaksud pada ayat (5), ayat (5a), ayat (6), dan ayat (6a) ditanggung oleh Pemberi Kerja. |
(8) |
Ketentuan pembayaran Iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (3a), ayat (3b), dan ayat (4), serta denda sebagaimana dimaksud pada ayat (5), ayat (5a), ayat (6), dan ayat (6a) dikecualikan untuk:
a. |
Peserta PBI Jaminan Kesehatan; dan |
b. |
Peserta PBPU dan Peserta BP yang luran-nya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf a angka 3 dan huruf b angka 3 seluruhnya dibayar oleh Pemerintah Daerah. |
|
(9) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembayaran Iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (3a), ayat (3b), ayat (4), ayat (7), dan ayat (8), serta denda sebagaimana dimaksud pada ayat (5), ayat (5a), ayat (6), ayat (6a), ayat (7), dan ayat (8) diatur dengan Peraturan BPJS Kesehatan setelah berkoordinasi dengan kementerian/lembaga terkait. |
|
|
|
9. |
Ketentuan Pasal 46 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 46
(1) |
Setiap Peserta berhak memperoleh Manfaat Jaminan Kesehatan berupa Manfaat medis dan Manfaat nonmedis. |
(2) |
Manfaat medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Manfaat pelayanan kesehatan perorangan yang mencakup layanan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif, termasuk pelayanan obat, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai sesuai dengan kebutuhan medis yang diperlukan. |
(3) |
Manfaat medis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan berdasarkan Kebutuhan Dasar Kesehatan. |
(4) |
Manfaat medis berdasarkan Kebutuhan Dasar Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) memiliki kriteria sebagai berikut:
a. |
upaya pelayanan kesehatan perorangan; |
b. |
pelayanan kesehatan untuk menyelamatkan nyawa dan menghilangkan gangguan produktivitas; |
c. |
pelayanan kesehatan yang menimbulkan risiko yang tidak tertanggungkan bagi Peserta; |
d. |
pelayanan kesehatan yang efektif dan efisien; |
e. |
pelayanan yang terstandar; |
f. |
tidak dibedakan berdasarkan besaran Iuran Peserta; dan/atau |
g. |
bukan cakupan program lain. |
|
(5) |
Manfaat medis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) juga berlaku bagi bayi baru lahir dari Peserta paling lama 28 (dua puluh delapan) hari sejak dilahirkan. |
(6) |
Manfaat nonmedis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Manfaat yang menunjang pelayanan kesehatan termasuk fasilitas ruang perawatan pada pelayanan rawat inap. |
(7) |
Fasilitas ruang perawatan pada pelayanan rawat inap sebagaimana dimaksud pada ayat (6) mencakup sarana dan prasarana, jumlah tempat tidur, dan peralatan yang diberikan berdasarkan Kelas Rawat Inap Standar. |
|
|
|
10. |
Di antara Pasal 46 dan Pasal 47 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 46A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 46A
(1) |
Kriteria fasilitas ruang perawatan pada pelayanan rawat inap berdasarkan Kelas Rawat Inap Standar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (7) terdiri atas:
a. |
komponen bangunan yang digunakan tidak boleh memiliki tingkat porositas yang tinggi; |
b. |
ventilasi udara; |
c. |
pencahayaan ruangan; |
d. |
kelengkapan tempat tidur; |
e. |
nakas per tempat tidur; |
f. |
temperatur ruangan; |
g. |
ruang rawat dibagi berdasarkan jenis kelamin, anak atau dewasa, serta penyakit infeksi atau noninfeksi; |
h. |
kepadatan ruang rawat dan kualitas tempat tidur; |
i. |
tirai/partisi antar tempat tidur; |
j. |
kamar mandi dalam ruangan rawat inap; |
k. |
kamar mandi memenuhi standar aksesibilitas; dan |
l. |
outlet oksigen. |
|
(2) |
Penerapan fasilitas ruang perawatan pada pelayanan rawat inap berdasarkan Kelas Rawat Inap Standar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk:
a. |
pelayanan rawat inap untuk bayi atau perinatologi; |
b. |
perawatan intensif; |
c. |
pelayanan rawat inap untuk pasien jiwa; dan |
d. |
ruang perawatan yang memiliki fasilitas khusus. |
|
(3) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk kriteria dan penerapan Kelas Rawat Inap Standar diatur dengan Peraturan Menteri. |
|
|
|
11. |
Ketentuan ayat (1) huruf a dan ayat (3) Pasal 47 diubah sehingga Pasal 47 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 47
(1) |
Pelayanan kesehatan yang dijamin terdiri atas:
a. |
pelayanan kesehatan tingkat pertama, meliputi pelayanan kesehatan nonspesialistik yang mencakup:
1. |
administrasi pelayanan; |
2. |
pelayanan promotif dan preventif perorangan; |
3. |
pemeriksaan, pengobatan, dan konsultasi medis; |
4. |
tindakan medis nonspesialistik baik bedah maupun nonbedah; |
5. |
pelayanan obat, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai; |
6. |
pemeriksaan penunjang diagnostik tingkat pratama; dan |
7. |
rawat inap tingkat pertama sesuai dengan indikasi medis; |
|
b. |
pelayanan kesehatan rujukan tingkat lanjutan, meliputi pelayanan kesehatan yang mencakup:
1. |
administrasi pelayanan; |
2. |
pemeriksaan, pengobatan, dan konsultasi medis dasar; |
3. |
pemeriksaan, pengobatan, dan konsultasi spesialistik; |
4. |
tindakan medis spesialistik, baik bedah maupun nonbedah sesuai dengan indikasi medis; |
5. |
pelayanan obat, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai; |
6. |
pelayanan penunjang diagnostik lanjutan sesuai dengan indikasi medis; |
7. |
rehabilitasi medis; |
8. |
pelayanan darah; |
9. |
pemulasaran jenazah Peserta yang meninggal di Fasilitas Kesehatan; |
10. |
pelayanan keluarga berencana; |
11. |
perawatan inap nonintensif; dan |
12. |
perawatan inap di ruang intensif. |
|
c. |
pelayanan ambulans darat atau air. |
|
(2) |
Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b angka 2 hanya berlaku untuk pelayanan kesehatan pada unit gawat darurat. |
(3) |
Alat kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 5 dan huruf b angka 5 merupakan seluruh alat kesehatan yang digunakan dalam rangka penyembuhan, termasuk alat bantu kesehatan. |
(4) |
Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b angka 10, tidak termasuk pelayanan keluarga berencana yang telah dibiayai Pemerintah Pusat. |
(5) |
Pelayanan ambulans darat atau air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan pelayanan transportasi pasien rujukan dengan kondisi tertentu antar Fasilitas Kesehatan disertai dengan upaya menjaga kestabilan kondisi pasien untuk kepentingan keselamatan pasien. |
|
|
|
12. |
Ketentuan ayat (1), ayat (4), ayat (5), ayat (8), ayat (9), dan ayat (11) Pasal 48 diubah dan di antara ayat (9) dan ayat (10) disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (9a) sehingga Pasal 48 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 48
(1) |
Manfaat pelayanan promotif dan preventif perorangan meliputi pemberian pelayanan:
a. |
penyuluhan kesehatan perorangan; |
b. |
imunisasi rutin; |
c. |
keluarga berencana; |
d. |
skrining riwayat kesehatan dan pelayanan penapisan atau skrining kesehatan tertentu; dan |
e. |
peningkatan kesehatan bagi Peserta penderita penyakit kronis. |
|
(2) |
Penyuluhan kesehatan perorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi paling sedikit penyuluhan mengenai pengelolaan faktor risiko penyakit dan perilaku hidup bersih dan sehat. |
(3) |
Pelayanan imunisasi rutin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi pemberian jenis imunisasi rutin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(4) |
Pelayanan keluarga berencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi konseling dan pelayanan kontrasepsi, termasuk vasektomi dan tubektomi yang bekerja sama dengan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional. |
(5) |
Ketentuan mengenai pemenuhan kebutuhan alat dan obat kontrasepsi bagi Peserta di Fasilitas Kesehatan diatur dengan Peraturan Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional. |
(6) |
Vaksin untuk imunisasi rutin serta alat dan obat kontrasepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) disediakan oleh Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(7) |
Pelayanan skrining riwayat kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d diberikan secara selektif yang ditujukan untuk mendeteksi risiko penyakit dengan menggunakan metode tertentu. |
(8) |
Pelayanan penapisan atau skrining kesehatan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d diberikan secara selektif melalui skrining riwayat kesehatan terlebih dahulu yang ditujukan untuk mendeteksi risiko penyakit dan mencegah dampak lanjutan risiko penyakit tertentu. |
(9) |
Jenis pelayanan penapisan atau skrining kesehatan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilakukan di FKTP untuk penapisan penyakit:
a. |
diabetes mellitus; |
b. |
hipertensi; |
c. |
ischaemic heart disease; |
d. |
stroke; |
e. |
kanker leher rahim; |
f. |
kanker payudara; |
g. |
anemia remaja putri; |
h. |
tuberkulosis; |
i. |
hepatitis; |
j. |
paru obstruktif kronis; |
k. |
talasemia; |
l. |
kanker usus; |
m. |
kanker paru; dan |
n. |
hipotiroid kongenital. |
|
(9a) |
Dalam hal dibutuhkan pemeriksaan lanjutan berdasarkan hasil penapisan atau skrining kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (9), pemeriksaan lanjutan dilakukan di FKTP dan/atau FKRTL sesuai indikasi medis dan sistem rujukan yang berlaku. |
(10) |
Peningkatan kesehatan bagi Peserta penderita penyakit kronis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e ditujukan kepada Peserta penderita penyakit kronis tertentu untuk mengurangi risiko akibat komplikasi penyakit yang dideritanya. |
(11) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayanan skrining riwayat kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (7), pelayanan penapisan atau skrining kesehatan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (8), dan peningkatan kesehatan bagi Peserta penderita penyakit kronis sebagaimana dimaksud pada ayat (10) diatur dengan Peraturan BPJS Kesehatan setelah berkoordinasi dengan kementerian/lembaga terkait. |
|
|
|
13. |
Ketentuan ayat (3) Pasal 51 diubah sehingga Pasal 51 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 51
(1) |
Peserta dapat meningkatkan perawatan yang lebih tinggi dari haknya termasuk rawat jalan eksekutif dengan mengikuti asuransi kesehatan tambahan atau membayar selisih antara biaya yang dijamin oleh BPJS Kesehatan dengan biaya yang harus dibayar akibat peningkatan pelayanan. |
(2) |
Selisih antara biaya yang dijamin oleh BPJS Kesehatan dengan biaya akibat peningkatan pelayanan dapat dibayar oleh:
a. |
Peserta yang bersangkutan; |
b. |
Pemberi Kerja; atau |
c. |
asuransi kesehatan tambahan. |
|
(3) |
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan bagi:
a. |
Peserta PBI Jaminan Kesehatan; |
b. |
Peserta BP dengan Manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas III; |
c. |
Peserta PBPU dengan Manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas III; |
d. |
Peserta PPU yang mengalami PHK dan anggota keluarganya; atau |
e. |
Peserta yang didaftarkan oleh Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12. |
|
|
|
|
14. |
Ketentuan ayat (1) huruf d, huruf m, dan huruf r Pasal 52 diubah sehingga Pasal 52 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 52
(1) |
Pelayanan kesehatan yang tidak dijamin meliputi:
a. |
pelayanan kesehatan yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; |
b. |
pelayanan kesehatan yang dilakukan di Fasilitas Kesehatan yang tidak bekerja sama dengan BPJS Kesehatan, kecuali dalam keadaan darurat; |
c. |
pelayanan kesehatan terhadap penyakit atau cedera akibat Kecelakaan Kerja atau hubungan kerja yang telah dijamin oleh program jaminan Kecelakaan Kerja atau menjadi tanggungan Pemberi Kerja; |
d. |
pelayanan kesehatan yang jaminan pertanggungannya diberikan oleh program jaminan kecelakaan lalu lintas yang bersifat wajib sampai nilai atau ketentuan yang ditanggung sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan diberikan sesuai hak kelas rawat Peserta; |
e. |
pelayanan kesehatan yang dilakukan di luar negeri; |
f. |
pelayanan kesehatan untuk tujuan estetik; |
g. |
pelayanan untuk mengatasi infertilitas; |
h. |
pelayanan meratakan gigi atau ortodonsi; |
i. |
gangguan kesehatan/penyakit akibat ketergantungan obat dan/atau alkohol; |
j. |
gangguan kesehatan akibat sengaja menyakiti diri sendiri atau akibat melakukan hobi yang membahayakan diri sendiri; |
k. |
pengobatan komplementer, alternatif, dan tradisional, yang belum dinyatakan efektif berdasarkan penilaian teknologi kesehatan; |
l. |
pengobatan dan tindakan medis yang dikategorikan sebagai percobaan atau eksperimen; |
m. |
alat dan obat kontrasepsi serta kosmetik; |
n. |
perbekalan kesehatan rumah tangga; |
o. |
pelayanan kesehatan akibat bencana pada masa tanggap darurat, kejadian luar biasa/wabah; |
p. |
pelayanan kesehatan pada kejadian tak diharapkan yang dapat dicegah; |
q. |
pelayanan kesehatan yang diselenggarakan dalam rangka bakti sosial; |
r. |
pelayanan kesehatan akibat tindak pidana penganiayaan, kekerasan seksual, korban terorisme, dan tindak pidana perdagangan orang yang telah dijamin melalui skema pendanaan lain yang dilaksanakan kementerian/lembaga atau Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; |
s. |
pelayanan kesehatan tertentu yang berkaitan dengan Kementerian Pertahanan, Tentara Nasional Indonesia, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia; |
t. |
pelayanan lainnya yang tidak ada hubungan dengan Manfaat Jaminan Kesehatan yang diberikan; atau |
u. |
pelayanan yang sudah ditanggung dalam program lain. |
|
(2) |
Pelayanan kesehatan yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi rujukan atas permintaan sendiri dan pelayanan kesehatan lain yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(3) |
Gangguan kesehatan akibat sengaja menyakiti diri sendiri atau akibat melakukan hobi yang membahayakan diri sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf j, pengobatan dan tindakan medis yang dikategorikan sebagai percobaan atau eksperimen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf 1, dan kejadian tak diharapkan yang dapat dicegah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf p ditetapkan oleh Menteri. |
|
|
|
15. |
Pasal 54A dihapus. |
|
|
16. |
Pasal 54B dihapus. |
|
|
17. |
Ketentuan Pasal 64 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 64
(1) |
Dalam hal di suatu Daerah belum tersedia Fasilitas Kesehatan yang memenuhi syarat guna memenuhi kebutuhan medis sejumlah Peserta, BPJS Kesehatan wajib memberikan kompensasi. |
(2) |
Daerah yang belum tersedia Fasilitas Kesehatan yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika:
a. |
desa/ kelurahan dan/ atau kecamatan:
1. |
tidak tersedia FKTP atau jaringan Puskesmas atau jejaring FKTP; |
2. |
tersedia Fasilitas Kesehatan namun belum memenuhi syarat kerja sama; dan/atau |
3. |
tersedia FKTP namun sulit diakses; atau |
|
b. |
kabupaten/kota:
1. |
tidak tersedia FKRTL; |
2. |
tersedia Fasilitas Kesehatan namun belum memenuhi syarat kerja sama; dan/atau |
3. |
tersedia FKRTL namun sulit diakses. |
|
|
(3) |
Penentuan Daerah belum tersedia Fasilitas Kesehatan yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh kepala daerah berdasarkan pertimbangan BPJS Kesehatan dan/atau asosiasi Fasilitas Kesehatan. |
(4) |
Penetapan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan memperhatikan:
a. |
letak geografis; |
b. |
keterbatasan sarana; |
c. |
infrastruktur; |
d. |
aksesibilitas yang menjadi hambatan FKTP mencapai desa; |
e. |
ketersediaan tenaga kesehatan; dan |
f. |
ketersediaan Fasilitas Kesehatan. |
|
(5) |
Kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
a. |
penyediaan Fasilitas Kesehatan melalui kerja sama dengan pihak lain yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan berdasarkan kriteria khusus; |
b. |
pengiriman tenaga kesehatan; dan/atau |
c. |
penggantian uang tunai untuk biaya pelayanan kesehatan, sesuai dengan hak Peserta. |
|
(6) |
Kerja sama dengan pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a termasuk dengan Fasilitas Kesehatan bergerak. |
(7) |
Dalam melaksanakan kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a, BPJS Kesehatan mengutamakan kemudahan akses pelayanan kesehatan bagi masyarakat setempat. |
(8) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan pemberian kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (7) diatur dengan Peraturan BPJS Kesehatan setelah berkoordinasi dengan Menteri. |
|
|
|
18. |
Ketentuan ayat (2) Pasal 69 diubah sehingga Pasal 69 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 69
(1) |
Standar tarif pelayanan kesehatan di FKTP dan FKRTL ditetapkan oleh Menteri. |
(2) |
Menteri menetapkan standar tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah:
a. |
berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan, Dewan Jaminan Sosial Nasional, dan BPJS Kesehatan; |
b. |
mendapatkan masukan dari asosiasi Fasilitas Kesehatan; dan |
c. |
mempertimbangkan ketersediaan Fasilitas Kesehatan, pemanfaatan atau utilisasi pelayanan kesehatan, tingkat risiko Peserta, regionalisasi, dan kemampuan keuangan dana jaminan sosial kesehatan. |
|
|
|
|
19. |
Ketentuan Pasal 71 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 71
(1) |
BPJS Kesehatan melakukan pembayaran kepada:
a. |
FKTP secara:
1. |
praupaya atau kapitasi; dan/atau |
2. |
klaim pelayanan kesehatan/nonkapitasi; dan |
|
b. |
FKRTL secara:
1. |
Indonesian Case Based Groups; dan/atau |
2. |
non-Indonesian Case Based Groups. |
|
|
(2) |
Dalam melakukan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), BPJS Kesehatan dapat mengembangkan sistem pembayaran. |
(3) |
Pengembangan sistem pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam rangka penguatan pembayaran di FKTP dan FKRTL yang lebih berhasil guna. |
(4) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembangan sistem pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan BPJS Kesehatan setelah berkoordinasi dengan Menteri dan lembaga terkait. |
|
|
|
20. |
Ketentuan ayat (1) Pasal 72 diubah dan setelah ayat (4) ditambahkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (5) sehingga Pasal 72 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 72
(1) |
Cara pembayaran dengan Indonesian Case Based Groups untuk FKRTL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (1) huruf b angka 1 ditetapkan sesuai kelas rumah sakit. |
(2) |
Dalam hal ditemukan ketidaksesuaian kelas rumah sakit berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan pada saat kredensial atau re-kredensial maka BPJS Kesehatan harus melaporkan kepada Menteri untuk dilakukan reviu. |
(3) |
Reviu kelas rumah sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan paling lambat 3 (tiga) bulan dengan melibatkan unsur Kementerian Kesehatan, BPJS Kesehatan, dan asosiasi rumah sakit. |
(4) |
Hasil reviu kelas rumah sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dijadikan dasar penyesuaian kontrak oleh BPJS Kesehatan dengan rumah sakit. |
(5) |
Apabila reviu kelas rumah sakit belum dapat diselesaikan sesuai dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), BPJS Kesehatan melakukan pembayaran tarif sesuai hasil kredensial atau re-kredensial yang telah disepakati oleh BPJS Kesehatan bersama dinas kesehatan dan/atau asosiasi Fasilitas Kesehatan. |
|
|
|
21. |
Setelah ayat (2) Pasal 83 ditambahkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (3) sehingga Pasal 83 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 83
(1) |
Dalam menetapkan kebijakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82, Menteri dan menteri terkait serta Dewan Jaminan Sosial Nasional berwenang mengakses dan meminta data dan informasi dari BPJS Kesehatan. |
(2) |
BPJS Kesehatan wajib memberikan akses dan menyediakan data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Menteri dan menteri terkait serta Dewan Jaminan Sosial Nasional. |
(3) |
Dalam rangka kemudahan akses data dan informasi, BPJS Kesehatan dan kementerian/lembaga terkait melakukan interoperabilitas sistem secara penuh antar sistem informasi program Jaminan Kesehatan pada kementerian/lembaga terkait dan BPJS Kesehatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
|
|
|
22. |
Ketentuan ayat (4) Pasal 98 diubah dan setelah ayat (4) ditambahkan 3 (tiga) ayat, yakni ayat (5), ayat (6), dan ayat (7) sehingga Pasal 98 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 98
(1) |
Untuk kesinambungan penyelenggaraan program Jaminan Kesehatan dilakukan monitoring dan evaluasi. |
(2) |
Pelaksanaan monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan pada aspek:
a. |
kepesertaan; |
b. |
pelayanan kesehatan; |
c. |
Iuran; |
d. |
pembayaran ke Fasilitas Kesehatan; |
e. |
keuangan; |
f. |
organisasi dan kelembagaan; dan |
g. |
regulasi. |
|
(3) |
Monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Kementerian Kesehatan, Kementerian Keuangan, Kementerian Sosial, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Badan Pemeriksa Keuangan, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, Dewan Jaminan Sosial Nasional, Otoritas Jasa Keuangan, dan Pemerintah Daerah sesuai kewenangan masing-masing. |
(4) |
Monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara terpadu dan dilakukan dengan membangun sistem informasi yang terhubung secara interoperabilitas dengan sistem informasi yang dimiliki oleh kementerian/lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (3). |
(5) |
Pelaksanaan monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dikoordinasikan oleh Dewan Jaminan Sosial Nasional. |
(6) |
BPJS Kesehatan memberikan akses data dan informasi untuk kepentingan monitoring dan evaluasi kepada kementerian/lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dalam lingkup aspek sebagaimana dimaksud pada ayat (2). |
(7) |
Pemberian data dan informasi di luar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilakukan melalui perjanjian kerja sama sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
|
|
|
23. |
Ketentuan ayat (2) huruf c dan ayat (5) Pasal 99 diubah sehingga Pasal 99 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 99
(1) |
Pemerintah Daerah wajib mendukung penyelenggaraan program Jaminan Kesehatan. |
(2) |
Dukungan Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
a. |
peningkatan pencapaian kepesertaan di wilayahnya; |
b. |
kepatuhan pembayaran Iuran; |
c. |
ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan peningkatan kualitas pelayanan kesehatan; dan |
d. |
dukungan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dalam rangka menjamin kesinambungan program Jaminan Kesehatan. |
|
(3) |
Dukungan peningkatan pencapaian kepesertaan di wilayahnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilaksanakan melalui penerbitan regulasi yang mempersyaratkan kepesertaan program Jaminan Kesehatan dalam memperoleh pelayanan publik. |
(4) |
Dukungan kepatuhan pembayaran Iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilaksanakan melalui pelaksanaan pembayaran Iuran secara tepat jumlah dan tepat waktu. |
(5) |
Dukungan ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan peningkatan kualitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dilaksanakan melalui penyediaan Fasilitas Kesehatan, pemenuhan standar pelayanan minimal, dan pelaksanaan program kesehatan yang memiliki daya ungkit dalam peningkatan akses dan mutu layanan kesehatan. |
(6) |
Dukungan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d dilaksanakan melalui kontribusi dari pajak rokok bagian hak masing-masing Daerah provinsi/kabupaten/kota. |
|
|
|
24. |
Di antara Pasal 103A dan Pasal 104 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 103B sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 103B
(1) |
Penerapan fasilitas ruang perawatan pada pelayanan rawat inap berdasarkan Kelas Rawat Inap Standar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46A dilaksanakan secara menyeluruh untuk rumah sakit yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan paling lambat tanggal 30 Juni 2025. |
(2) |
Dalam jangka waktu sebelum tanggal 30 Juni 2025 sebagaimana dimaksud pada ayat (1), rumah sakit dapat menyelenggarakan sebagian atau seluruh pelayanan rawat inap berdasarkan Kelas Rawat Inap Standar sesuai dengan kemampuan rumah sakit. |
(3) |
Dalam hal rumah sakit telah menerapkan fasilitas ruang perawatan pada pelayanan rawat inap berdasarkan Kelas Rawat Inap Standar dalam jangka waktu sebelum tanggal 30 Juni 2025 sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pembayaran tarif oleh BPJS Kesehatan dilakukan sesuai tarif kelas rawat inap rumah sakit yang menjadi hak Peserta sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(4) |
Penerapan fasilitas ruang perawatan pada pelayanan rawat inap berdasarkan Kelas Rawat Inap Standar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dilakukan evaluasi dengan mempertimbangkan keberlangsungan program Jaminan Kesehatan. |
(5) |
Dalam masa penerapan fasilitas ruang perawatan pada pelayanan rawat inap berdasarkan Kelas Rawat Inap Standar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Menteri melakukan pembinaan terhadap Fasilitas Kesehatan. |
(6) |
Evaluasi fasilitas ruang perawatan pada pelayanan rawat inap sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan oleh Menteri dengan berkoordinasi dengan BPJS Kesehatan, Dewan Jaminan Sosial Nasional, dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan. |
(7) |
Hasil evaluasi dan koordinasi fasilitas ruang perawatan pada pelayanan rawat inap sebagaimana dimaksud pada ayat (6) menjadi dasar penetapan Manfaat, tarif dan Iuran. |
(8) |
Penetapan Manfaat, tarif, dan Iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (7) ditetapkan paling lambat tanggal 1 Juli 2025. |
|