Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 78 Tahun 2024

Kategori : Bea Meterai

Ketentuan Pelaksanaan Bea Meterai


PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 78 TAHUN 2024

TENTANG

KETENTUAN PELAKSANAAN BEA METERAI
 
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

 
Menimbang :
  1. bahwa untuk meningkatkan pelayanan dan memberikan kemudahan dalam pemenuhan kewajiban pembayaran bea meterai, serta untuk memberikan rasa keadilan dan kepastian hukum dalam pelaksanaan pemungutan bea meterai sesuai dengan prinsip simplifikasi regulasi, perlu dilakukan pengaturan kembali terhadap ketentuan pelaksanaan bea meterai;
  2. bahwa pengaturan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 133/PMK.03/2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2021 tentang Pengadaan, Pengelolaan, dan Penjualan Meterai, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 134/PMK.03/2021 tentang Pembayaran Bea Meterai, Ciri Umum dan Ciri Khusus pada Meterai Tempel, Kode Unik dan Keterangan Tertentu pada Meterai Elektronik, Meterai Dalam Bentuk Lain, dan Penentuan Keabsahan Meterai, serta Pemeteraian Kemudian, dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 151/PMK.03/2021 tentang Penetapan Pemungut Bea Meterai dan Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Bea Meterai, belum sepenuhnya mengatur simplifikasi regulasi dalam meningkatkan pelayanan dan memberikan kemudahan dalam pemenuhan kewajiban pembayaran bea meterai, serta untuk memberikan rasa keadilan dan kepastian hukum, sehingga perlu diganti;
  3. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 10 ayat (2), Pasal 11 ayat (5), Pasal 12 ayat (4), Pasal 13 ayat (5), Pasal 14 ayat (2), Pasal 15 ayat (2), Pasal 16 ayat (2), dan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2020 tentang Bea Meterai, serta ketentuan Pasal 6, Pasal 7 ayat (4), Pasal 9 ayat (4), dan Pasal 11 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2021 tentang Pengadaan, Pengelolaan, dan Penjualan Meterai, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Ketentuan Pelaksanaan Bea Meterai;
 
Mengingat :
  1. Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856);
  3. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286);
  4. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916);
  5. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2020 tentang Bea Meterai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 240, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6571);
  6. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 92, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5533) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 142, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6523);
  7. Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2021 tentang Pengadaan, Pengelolaan, dan Penjualan Meterai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 189, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6711);
  8. Peraturan Presiden Nomor 57 Tahun 2020 tentang Kementerian Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 98);
  9. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.01/2021 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 1031) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 135 Tahun 2023 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.01/2021 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 977);
 

MEMUTUSKAN:


Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG KETENTUAN PELAKSANAAN BEA METERAI.
  

BAB I
KETENTUAN UMUM
 
Pasal 1


Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
  1. Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang­-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang.
  2. Bea Meterai adalah pajak atas dokumen.
  3. Dokumen adalah sesuatu yang ditulis atau tulisan, dalam bentuk tulisan tangan, cetakan, atau elektronik, yang dapat dipakai sebagai alat bukti atau keterangan.
  4. Tanda Tangan adalah tanda sebagai lambang nama sebagaimana lazimnya dipergunakan, termasuk paraf, teraan atau cap tanda tangan atau cap paraf, teraan atau cap nama, atau tanda lainnya sebagai pengganti tanda tangan, atau tanda tangan elektronik sebagaimana dimaksud dalam undang-undang di bidang informasi dan transaksi elektronik..
  5. Meterai adalah label atau carik dalam bentuk tempel, elektronik, atau bentuk lainnya yang memiliki ciri dan mengandung unsur pengaman yang dikeluarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia, yang digunakan untuk membayar pajak atas Dokumen.
  6. Meterai Tempel adalah Meterai berupa carik yang penggunaannya dilakukan dengan cara ditempel pada Dokumen.
  7. Meterai Elektronik adalah Meterai berupa label yang penggunaannya dilakukan dengan cara dibubuhkan pada Dokumen melalui sistem tertentu.
  8. Sistem Meterai Elektronik adalah sistem tertentu berupa serangkaian perangkat dan prosedur elektronik dalam sistem atau aplikasi terintegrasi yang berfungsi membuat, mendistribusikan, dan membubuhkan Meterai Elektronik.
  9. Meterai Dalam Bentuk Lain adalah Meterai yang dibuat dengan menggunakan mesin teraan Meterai digital, sistem komputerisasi, teknologi percetakan, dan pencetak (printer) Meterai teraan digital.
  10. Meterai Teraan adalah Meterai berupa label yang penggunaannya dilakukan dengan cara dibubuhkan pada Dokumen dengan menggunakan mesin teraan Meterai digital.
  11. Meterai Komputerisasi adalah Meterai berupa label yang penggunaannya dilakukan dengan cara dibubuhkan pada Dokumen dengan menggunakan sistem komputerisasi.
  12. Meterai Percetakan adalah Meterai berupa label yang penggunaannya dilakukan dengan cara dibubuhkan pada Dokumen dengan menggunakan teknologi percetakan.
  13. Meterai Teraan Digital adalah Meterai berupa label yang penggunaannya dilakukan dengan cara dibubuhkan pada Dokumen dengan menggunakan pencetak (printer) meterai teraan Digital.
  14. Sistem Meterai Teraan Digital adalah serangkaian perangkat dan prosedur elektronik dalam sistem atau aplikasi terintegrasi yang dimiliki oleh Direktorat Jenderal Pajak dan berfungsi membuat, mendistribusikan, dan membubuhkan Meterai Teraan Digital.
  15. Pihak Yang Terutang adalah pihak yang dikenai Bea Meterai dan wajib membayar Bea Meterai yang terutang.
  16. Distributor adalah badan usaha yang memiliki kemampuan dan kualifikasi dalam mendukung pendistribusian dan penjualan Meterai Elektronik melalui Sistem Meterai Elektronik.
  17. Pejabat Pembuat Komitmen adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran untuk mengambil keputusan dan/atau melakukan tindakan yang dapat mengakibatkan pengeluaran anggaran belanja negara.
  18. Kontrak adalah perjanjian tertulis antara Pejabat Pembuat Komitmen dengan pihak yang mendapatkan penugasan dalam pelaksanaan pengadaan, pengelolaan, dan penjualan Meterai.
  19. Rancangan Kontrak adalah rancangan perjanjian tertulis antara Pejabat Pembuat Komitmen dengan pihak yang mendapatkan penugasan, yang disusun sesuai dengan standar Dokumen Kontrak dan ditetapkan oleh Pejabat Pembuat Komitmen.
  20. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
  21. Pemeteraian Kemudian adalah pemeteraian yang memerlukan pengesahan dari pejabat yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
  22. Pejabat Pos adalah pejabat PT Pos Indonesia (Persero) yang diserahi tugas melayani permintaan Pemeteraian Kemudian.
  23. Pejabat Direktorat Jenderal Pajak yang selanjutnya disebut Pejabat DJP adalah pegawai negeri sipil di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang menduduki jabatan pengawas dan diserahi tugas melayani permintaan Pemeteraian Kemudian.
  24. Pemungut Bea Meterai adalah pihak yang wajib memungut Bea Meterai yang terutang atas Dokumen tertentu dari Pihak Yang Terutang, menyetorkan Bea Meterai ke kas negara, dan melaporkan pemungutan dan penyetoran Bea Meterai ke Direktorat Jenderal Pajak.
  25. Masa Pajak adalah jangka waktu yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang dalam suatu jangka waktu tertentu sebagaimana ditentukan dalam Undang­-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
  26. Kantor Pelayanan Pajak adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Pajak yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak.
  27. Surat Pemberitahuan Masa Bea Meterai yang selanjutnya disebut SPT Masa Bea Meterai adalah surat pemberitahuan yang digunakan oleh Pemungut Bea Meterai untuk melaporkan pemungutan Bea Meterai dari Pihak Yang Terutang dan penyetoran Bea Meterai ke kas negara untuk suatu Masa Pajak.
  28. Bukti Penerimaan adalah bukti yang diterbitkan atas permohonan atau pelaporan yang telah diterima secara lengkap.
  29. Deposit adalah penyetoran di muka Bea Meterai.
  30. Surat Setoran Pajak adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas negara melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
  31. Nomor Transaksi Penerimaan Negara adalah nomor unik tanda bukti pembayaran/penyetoran ke kas negara yang diterbitkan sistem settlement terdiri dari kombinasi huruf dan angka.
  32. Surat Ketetapan Pajak adalah surat ketetapan yang meliputi surat ketetapan pajak kurang bayar, surat ketetapan pajak kurang bayar tambahan, surat ketetapan pajak nihil, atau surat ketetapan pajak lebih bayar.
  33. Surat Tagihan Pajak adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
  34. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
 

Pasal 2


Lingkup pengaturan dalam Peraturan Menteri ini meliputi:
  1. objek, saat terutang, dan Pihak Yang Terutang Bea Meterai;
  2. tata cara pembayaran Bea Meterai, pelaksanaan pengadaan, pengelolaan, dan penjualan Meterai, serta penentuan keabsahan Meterai;
  3. Pemeteraian Kemudian;
  4. pemungutan Bea Meterai; dan
  5. pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang.
 

BAB II
OBJEK, SAAT TERUTANG, DAN PIHAK YANG TERUTANG BEA METERAI
 
Pasal 3


(1) Bea Meterai dikenakan atas:
a. Dokumen yang dibuat sebagai alat untuk menerangkan mengenai suatu kejadian yang bersifat perdata; dan
b. Dokumen yang digunakan sebagai alat bukti di pengadilan.
(2) Dokumen yang bersifat perdata sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, meliputi:
a. surat perjanjian, surat keterangan, surat pernyataan, atau surat lainnya yang sejenis, beserta rangkapnya;
b. akta notaris beserta grosse, salinan, dan kutipannya;
c. akta Pejabat Pembuat Akta Tanah beserta salinan dan kutipannya;
d. surat berharga dengan nama dan dalam bentuk apa pun;
e. Dokumen transaksi surat berharga, termasuk Dokumen transaksi kontrak berjangka, dengan nama dan dalam bentuk apa pun;
f. Dokumen lelang yang berupa kutipan risalah lelang, minuta risalah lelang, salinan risalah lelang, dan grosse risalah lelang;
g. Dokumen yang menyatakan jumlah uang dengan nilai nominal lebih dari Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) yang:
1. menyebutkan penerimaan uang; atau
2. berisi pengakuan bahwa utang seluruhnya atau sebagiannya telah dilunasi atau diperhitungkan     
  dan
h. Dokumen lain yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
(3) Bea Meterai tidak dikenakan atas Dokumen yang berupa:
a. Dokumen yang terkait lalu lintas orang dan barang:
1. surat penyimpanan barang;
2. konosemen;
3. surat angkutan penumpang dan barang;
4. bukti untuk pengiriman dan penerimaan barang;
5. surat pengiriman barang untuk dijual atas tanggungan pengirim; dan
6. surat lainnya yang dapat dipersamakan dengan surat sebagaimana dimaksud pada angka 1 sampai dengan angka 5;
b. segala bentuk ijazah;
c. tanda terima pembayaran gaji, uang tunggu, pensiun, uang tunjangan, dan pembayaran lainnya yang berkaitan dengan hubungan kerja, serta surat yang diserahkan untuk mendapatkan pembayaran dimaksud;
d. tanda bukti penerimaan uang negara dari kas negara, kas pemerintah daerah, bank, dan lembaga lainnya yang ditunjuk oleh negara berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
e. kuitansi untuk semua jenis pajak dan untuk penerimaan lainnya yang dapat dipersamakan dengan itu yang berasal dari kas negara, kas pemerintahan daerah, bank, dan lembaga lainnya yang ditunjuk berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
f. tanda penerimaan uang yang dibuat untuk keperluan intern organisasi;
g. Dokumen yang menyebutkan simpanan uang atau surat berharga, pembayaran uang simpanan kepada penyimpan oleh bank, koperasi, dan badan lainnya yang menyelenggarakan penyimpanan uang, atau pengeluaran surat berharga oleh kustodian kepada nasabah;
h. surat gadai;
i. tanda pembagian keuntungan, bunga, atau imbal hasil dari surat berharga, dengan nama dan dalam bentuk apa pun; dan
j. Dokumen yang diterbitkan atau dihasilkan oleh Bank Indonesia dalam rangka pelaksanaan kebijakan moneter.

 

Pasal 4


Bea Meterai terutang pada saat:
a. Dokumen dibubuhi Tanda Tangan, untuk:
1. surat perjanjian beserta rangkapnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a;
2. akta notaris beserta grosse, salinan, dan kutipannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b; dan
3. akta Pejabat Pembuat Akta Tanah beserta salinan dan kutipannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf c;
b. Dokumen selesai dibuat, untuk:
1. surat berharga dengan nama dan dalam bentuk apa pun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf d; dan
2. Dokumen transaksi surat berharga, termasuk Dokumen transaksi kontrak berjangka, dengan nama dan dalam bentuk apa pun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf e;
c. Dokumen diserahkan kepada pihak untuk siapa Dokumen tersebut dibuat, untuk:
1. surat keterangan, surat pernyataan, atau surat lainnya yang sejenis, beserta rangkapnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a;
2. Dokumen lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf f; dan
3. Dokumen yang menyatakan jumlah uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf g;
d. Dokumen diajukan ke pengadilan, untuk Dokumen yang digunakan sebagai alat bukti di pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b;
e. Dokumen digunakan di Indonesia, untuk Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) yang dibuat di luar negeri.

 

Pasal 5


(1) Dokumen yang dibuat sepihak, Bea Meterai terutang oleh pihak yang menerima Dokumen.
(2) Dokumen yang dibuat oleh 2 (dua) pihak atau lebih, Bea Meterai terutang oleh masing-masing pihak atas Dokumen yang diterimanya.
(3) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Dokumen berupa surat berharga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf d, Bea Meterai terutang oleh pihak yang menerbitkan surat berharga.
(4) Dokumen yang digunakan sebagai alat bukti di pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b, Bea Meterai terutang oleh pihak yang mengajukan Dokumen.
(5) Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 yang dibuat di luar negeri dan digunakan di Indonesia, Bea Meterai terutang oleh pihak yang menerima manfaat atas Dokumen.
(6) Ketentuan Pihak Yang Terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) tidak menghalangi pihak atau para pihak untuk bersepakat atau menentukan mengenai pihak yang membayar Bea Meterai.

  

BAB III
TATA CARA PEMBAYARAN BEA METERAI, PELAKSANAAN PENGADAAN, PENGELOLAAN, DAN PENJUALAN METERAI, SERTA PENENTUAN KEABSAHAN METERAI
 
Bagian Kesatu
Umum
 
Pasal 6


(1) Pembayaran Bea Meterai dilakukan oleh Pihak Yang Terutang pada saat terutang Bea Meterai.
(2) Pembayaran Bea Meterai dilaksanakan dengan menggunakan:
a. Meterai; atau
b. Surat Setoran Pajak.
(3) Meterai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a berupa:
a. Meterai Tempel;
b. Meterai Elektronik; atau
c. Meterai Dalam Bentuk Lain.
(4) Perusahaan Umum (Perum) Percetakan Uang Republik Indonesia melaksanakan:
a. pencetakan Meterai Tempel; dan
b. pembuatan dan distribusi Meterai Elektronik,
melalui penugasan Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Bea Meterai.
(5) PT Pos Indonesia (Persero) melaksanakan distribusi dan penjualan Meterai Tempel melalui penugasan Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Bea Meterai.
(6) Pembuatan Meterai Dalam Bentuk Lain dilakukan setelah Wajib Pajak memperoleh izin Menteri sesuai dengan kewenangannya.
(7) Menteri melimpahkan kewenangan pemberian dan pencabutan izin pembuatan Meterai Dalam Bentuk Lain sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dalam bentuk delegasi kepada Direktur Jenderal Pajak.

 

Bagian Kedua
Pengaturan Meterai Tempel
 
Pasal 7


(1) Pembayaran Bea Meterai dengan menggunakan Meterai Tempel sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) huruf a dilakukan dengan membubuhkan Meterai Tempel yang sah dan berlaku serta belum pernah dipakai untuk pembayaran Bea Meterai atas suatu Dokumen, pada Dokumen yang terutang Bea Meterai.
(2) Pembubuhan Meterai Tempel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan ketentuan:
a. Meterai Tempel direkatkan seluruhnya dengan utuh dan tidak rusak di tempat Tanda Tangan akan dibubuhkan; dan
b. Tanda Tangan dibubuhkan sebagian di atas kertas dan sebagian di atas Meterai Tempel disertai dengan pencantuman tanggal, bulan, dan tahun dilakukannya penandatanganan.


Pasal 8


(1) Meterai Tempel sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) huruf a memiliki ciri umum dan ciri khusus.
(2) Ciri umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. gambar lambang negara Garuda Pancasila;
b. tulisan "METERAI TEMPEL";
c. angka dan tulisan yang menunjukkan tarif Bea Meterai;
d. teks mikro modulasi "INDONESIA";
e. blok ornamen khas Indonesia berupa tulisan dan/atau gambar; dan
f. tulisan "TGL. 20".
(3) Ciri khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran huruf A yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(4) Dalam hal dibutuhkan tambahan unsur pengaman dalam pencetakan Meterai Tempel, tambahan ciri khusus berupa desain, bahan, dan teknik cetak ditetapkan oleh Menteri.


Pasal 9


(1) Menteri menetapkan penugasan kepada:
a. Perusahaan Umum (Perum) Percetakan Uang Republik Indonesia untuk melaksanakan pencetakan Meterai Tempel; dan
b. PT Pos Indonesia (Persero) untuk melaksanakan distribusi dan penjualan Meterai Tempel.
(2) Kewenangan penetapan penugasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilimpahkan dalam bentuk mandat kepada Direktur Jenderal Pajak.
(3) Pencetakan Meterai Tempel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a minimal berupa:
a. penyusunan konsep desain;
b. penyediaan bahan baku;
c. penentuan teknik cetak; dan
d. pencetakan.
(4) Penugasan pencetakan Meterai Tempel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan secara kontraktual antara Direktorat Jenderal Pajak dan Perusahaan Umum (Perum) Percetakan Uang Republik Indonesia.
(5) Penugasan distribusi dan penjualan Meterai Tempel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan secara kontraktual antara Direktorat Jenderal Pajak dan PT Pos Indonesia (Persero).
(6) Pelaksanaan penugasan secara kontraktual sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) pada Direktorat Jenderal Pajak dilakukan oleh Pejabat Pembuat Komitmen.
(7) Penugasan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilaksanakan dengan memperhatikan ketersediaan anggaran yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
(8) Ketentuan mengenai prosedur dan contoh format Dokumen dalam pelaksanaan penugasan pencetakan Meterai Tempel serta distribusi dan penjualan Meterai Tempel secara kontraktual sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tercantum dalam Lampiran huruf B yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
 
 

Pasal 10


(1) Perusahaan Umum (Perum) Percetakan Uang Republik Indonesia bertanggung jawab atas pelaksanaan Kontrak dalam pencetakan Meterai Tempel.
(2) Pelaksanaan Kontrak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam Dokumen Kontrak, termasuk memastikan ketepatan:
a. perhitungan jumlah;
b. waktu penyerahan; dan
c. tempat penyerahan.
(3) Perusahaan Umum (Perum) Percetakan Uang Republik Indonesia harus melaporkan pelaksanaan pencetakan Meterai Tempel kepada Menteri melalui Direktur Jenderal Pajak dengan menyediakan data dan/atau informasi mengenai:
a. nomor seri Meterai Tempel yang dicetak; dan
b. tanggal penyerahan.
(4) Penyediaan data dan/atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan secara terintegrasi dengan sistem Direktorat Jenderal Pajak.
(5) Dalam hal sistem sebagaimana dimaksud pada ayat (4) belum tersedia, Perusahaan Umum (Perum) Percetakan Uang Republik Indonesia harus menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada Menteri melalui Direktur Jenderal Pajak paling lambat tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah masa Kontrak berakhir.


Pasal 11


(1) PT Pos Indonesia (Persero) bertanggung jawab atas pelaksanaan Kontrak dalam distribusi dan penjualan Meterai Tempel.
(2) Pelaksanaan Kontrak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam Dokumen Kontrak, termasuk memastikan:
a. ketersediaan Meterai Tempel; dan
b. penyetoran hasil penjualan Meterai Tempel.
(3) Dalam memastikan ketersediaan Meterai Tempel sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, PT Pos Indonesia (Persero) harus:
a. mendistribusikan Meterai Tempel ke loket PT Pos Indonesia (Persero) di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia; dan
b. menjual Meterai Tempel yang sah dan berlaku berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Penjualan Meterai Tempel sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dilakukan dengan harga jual sebesar nilai nominal Meterai Tempel.
(5) Penyetoran hasil penjualan Meterai Tempel sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilakukan pada akhir hari dilakukannya penjualan Meterai Tempel dengan menggunakan Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(6) PT Pos Indonesia (Persero) harus melaporkan pelaksanaan distribusi dan penjualan Meterai Tempel kepada Menteri melalui Direktur Jenderal Pajak dengan menyediakan data dan/atau informasi mengenai:
a. penerimaan dan distribusi Meterai Tempel;
b. penjualan Meterai Tempel;
c. penyetoran hasil penjualan Meterai Tempel; dan
d. inventarisasi Meterai Tempel, termasuk Meterai Tempel yang berada dalam penguasaannya:
1. yang masih berlaku namun dalam kondisi rusak sehingga tidak jelas lagi ciri-ciri keasliannya; dan/atau
2. yang sudah dinyatakan tidak berlaku berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(7) Penyediaan data dan/atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilakukan secara terintegrasi dengan sistem Direktorat Jenderal Pajak.
(8) Dalam hal sistem sebagaimana dimaksud pada ayat (7) belum tersedia, PT Pos Indonesia (Persero) harus menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) kepada Menteri melalui Direktur Jenderal Pajak paling lambat tanggal 10 (sepuluh) setiap bulan.

 

Pasal 12


(1) Terhadap pelaksanaan Kontrak dalam pencetakan Meterai Tempel sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Perusahaan Umum (Perum) Percetakan Uang Republik Indonesia berhak mendapatkan kompensasi atas setiap keping Meterai Tempel yang dicetak.
(2) Terhadap pelaksanaan Kontrak dalam distribusi dan penjualan Meterai Tempel sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, PT Pos Indonesia (Persero) berhak mendapatkan kompensasi atas setiap keping Meterai Tempel yang dijual.
(3) Besaran dan perubahan besaran kompensasi:
a. pencetakan per keping Meterai Tempel; dan
b. distribusi dan penjualan per keping Meterai Tempel,
ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak setelah mendapat pertimbangan aparat pengawasan intern Pemerintah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan keuangan negara/daerah dan pembangunan nasional.
(4) Usulan perubahan besaran kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat berasal dari:
a. Perusahaan Umum (Perum) Percetakan Uang Republik Indonesia, untuk kompensasi pencetakan per keping Meterai Tempel; atau
b. PT Pos Indonesia (Persero), untuk kompensasi distribusi dan penjualan per keping Meterai Tempel.
 
 

Pasal 13


(1) Pembayaran atas pelaksanaan Kontrak dalam pencetakan Meterai Tempel dilakukan sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam Dokumen Kontrak dan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang keuangan negara.
(2) Pembayaran atas pelaksanaan Kontrak dalam distribusi dan penjualan Meterai Tempel dilakukan sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam Dokumen Kontrak dan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang keuangan negara.


Pasal 14


(1) Direktur Jenderal Pajak melakukan penatausahaan dan pengawasan atas penjualan Meterai Tempel.
(2) Penatausahaan Meterai Tempel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. pencatatan, pelaporan, dan penghitungan fisik persediaan Meterai Tempel; dan
b. pemusnahan Meterai Tempel yang rusak atau sudah tidak berlaku,
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengelolaan barang milik negara/daerah.
(3) Penatausahaan Meterai Tempel sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan mempertimbangkan data dan/atau informasi yang diperoleh dari laporan pelaksanaan distribusi dan penjualan Meterai Tempel sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (6).
(4) Dalam pengawasan atas penjualan Meterai Tempel sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak secara periodik melakukan verifikasi kesesuaian:
a. nilai penyetoran hasil penjualan Meterai Tempel sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (5); dan
b. jumlah persediaan Meterai Tempel berdasarkan penghitungan fisik persediaan Meterai Tempel,
dengan nilai penjualan Meterai Tempel yang dilaporkan dalam laporan pelaksanaan distribusi dan penjualan Meterai Tempel sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (6).
(5) Dalam hal berdasarkan hasil verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) terdapat nilai penjualan yang belum dilaporkan, PT Pos Indonesia (Persero) wajib menyetorkan Bea Meterai sebesar nilai penjualan yang belum dilaporkan.

 

Pasal 15


(1) Dalam hal Perusahaan Umum (Perum) Percetakan Uang Republik Indonesia menyatakan tidak sanggup melaksanakan pencetakan Meterai Tempel yang disebabkan oleh keadaan kahar, Perusahaan Umum (Perum) Percetakan Uang Republik Indonesia dapat menunjuk pihak lain untuk melakukan pencetakan Meterai Tempel.
(2) Dalam hal PT Pos Indonesia (Persero) menyatakan tidak sanggup melaksanakan distribusi dan/atau penjualan Meterai Tempel yang disebabkan oleh keadaan kahar, PT Pos Indonesia (Persero) dapat menunjuk pihak lain untuk melakukan distribusi dan/atau penjualan Meterai Tempel.
(3) Keadaan kahar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) merupakan keadaan kahar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Bea Meterai.
(4) Pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) merupakan Wajib Pajak yang memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. telah menyampaikan:
1. surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan untuk 2 (dua) tahun pajak terakhir; dan
2. surat pemberitahuan masa pajak pertambahan nilai untuk 3 (tiga) Masa Pajak terakhir,
yang sudah menjadi kewajibannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan;
b. tidak mempunyai utang pajak atau mempunyai utang pajak namun atas keseluruhan utang pajak tersebut telah mendapatkan izin untuk menunda atau mengangsur pembayaran pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan; dan
c. tidak sedang dalam proses penanganan tindak pidana di bidang perpajakan yaitu pemeriksaan bukti permulaan secara terbuka, penyidikan, atau penuntutan.
(5) Penunjukan pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan dengan persetujuan Menteri.
(6) Kewenangan pemberian persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilimpahkan dalam bentuk mandat kepada Direktur Jenderal Pajak.
(7) Pencetakan Meterai Tempel melalui pihak lain tidak mengubah besaran kompensasi dan nilai Kontrak dalam pencetakan Meterai Tempel.
(8) Distribusi dan/atau penjualan Meterai Tempel melalui pihak lain tidak mengubah besaran kompensasi dan nilai Kontrak dalam distribusi dan penjualan Meterai Tempel.
(9) Ketentuan mengenai prosedur pemberian persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tercantum dalam Lampiran huruf C yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

 
Bagian Ketiga
Pengaturan Meterai Elektronik
 
Pasal 16


(1) Pembayaran Bea Meterai dengan menggunakan Meterai Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) huruf b dilakukan dengan membubuhkan Meterai Elektronik pada Dokumen yang terutang Bea Meterai yang berbentuk elektronik melalui Sistem Meterai Elektronik.
(2) Pembubuhan Meterai Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan petunjuk penggunaan yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Sistem Meterai Elektronik.

   

Pasal 17


(1) Meterai Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) huruf b memiliki kode unik dan keterangan tertentu.
(2) Kode unik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kode yang dapat dibaca dengan menggunakan aplikasi pemindai yang menampilkan informasi minimal berupa 22 (dua puluh dua) alfanumerik nomor seri Meterai Elektronik.
(3) Keterangan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. gambar lambang negara Garuda Pancasila;
b. tulisan "METERAI ELEKTRONIK"; dan
c. angka dan tulisan yang menunjukkan tarif Bea Meterai.

 

Pasal 18


(1) Menteri menetapkan penugasan kepada Perusahaan Umum (Perum) Percetakan Uang Republik Indonesia untuk melaksanakan pembuatan dan distribusi Meterai Elektronik.
(2) Kewenangan penetapan penugasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilimpahkan dalam bentuk mandat kepada Direktur Jenderal Pajak.
(3) Pembuatan Meterai Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal berupa:
a. penyusunan konsep desain;
b. penyediaan Sistem Meterai Elektronik; dan
c. pembuatan.
(4) Dalam mendistribusikan Meterai Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Perusahaan Umum (Perum) Percetakan Uang Republik Indonesia bekerja sama dengan Distributor.
(5) Penugasan pembuatan dan distribusi Meterai Elektronik dilakukan secara kontraktual antara Direktorat Jenderal Pajak dan Perusahaan Umum (Perum) Percetakan Uang Republik Indonesia.
(6) Pelaksanaan penugasan secara kontraktual sebagaimana dimaksud pada ayat (5) pada Direktorat Jenderal Pajak dilakukan oleh Pejabat Pembuat Komitmen.
(7) Penugasan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilaksanakan dengan memperhatikan ketersediaan anggaran yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
(8) Ketentuan mengenai prosedur dan contoh format Dokumen dalam pelaksanaan penugasan pembuatan dan distribusi Meterai Elektronik secara kontraktual sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tercantum dalam Lampiran huruf D yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

 

Pasal 19


(1) Perusahaan Umum (Perum) Percetakan Uang Republik Indonesia bertanggung jawab atas pelaksanaan Kontrak dalam pembuatan dan distribusi Meterai Elektronik.
(2) Pelaksanaan Kontrak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam Dokumen Kontrak, termasuk memastikan ketersediaan Meterai Elektronik.
(3) Dalam memastikan ketersediaan Meterai Elektronik, Perusahaan Umum (Perum) Percetakan Uang Republik Indonesia harus menyediakan Meterai Elektronik untuk:
a. Distributor; dan
b. Pemungut Bea Meterai.
(4) Penyediaan Meterai Elektronik untuk Distributor dilakukan setelah memastikan bahwa Distributor telah melakukan Deposit ke kas negara dengan menggunakan Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(5) Deposit sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan tanda dilakukannya penjualan Meterai Elektronik sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai pengadaan, pengelolaan, dan penjualan Meterai.
(6) Penyediaan Meterai Elektronik untuk Pemungut Bea Meterai dilakukan tanpa didahului Deposit oleh Pemungut Bea Meterai.
(7) Pemungut Bea Meterai wajib menyetorkan Bea Meterai sebesar nilai nominal Meterai Elektronik yang telah dibubuhkan pada Dokumen ke kas negara.
(8) Perusahaan Umum (Perum) Percetakan Uang Republik Indonesia harus melaporkan pelaksanaan pembuatan dan distribusi Meterai Elektronik kepada Menteri melalui Direktur Jenderal Pajak dengan menyediakan data dan/atau informasi mengenai pembuatan, pendistribusian, penjualan, dan penggunaan Meterai Elektronik pada setiap transaksi.
(9) Penyediaan data dan/atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dilakukan secara terintegrasi dengan sistem Direktorat Jenderal Pajak.


Pasal 20


(1) Distributor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (3) huruf a harus memenuhi kualifikasi:
a. Wajib Pajak yang memenuhi ketentuan sebagai berikut:
1. telah menyampaikan:
a) surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan untuk 2 (dua) tahun pajak terakhir; dan
b) surat pemberitahuan masa pajak pertambahan nilai untuk 3 (tiga) Masa Pajak terakhir,
yang sudah menjadi kewajibannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­-undangan di bidang perpajakan
2. tidak mempunyai utang pajak atau mempunyai utang pajak namun atas keseluruhan utang pajak tersebut telah mendapatkan izin untuk menunda atau mengangsur pembayaran pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­-undangan di bidang perpajakan;dan
3. tidak sedang dalam proses penanganan tindak pidana di bidang perpajakan yaitu pemeriksaan bukti permulaan secara terbuka, penyidikan, atau penuntutan;
b. memiliki kemampuan finansial untuk menjamin ketersediaan Meterai Elektronik; dan
c. memiliki kemampuan untuk menjaga keamanan Sistem Meterai Elektronik.
(2) Distributor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menjual Meterai Elektronik kepada pengecer dan masyarakat umum.
(3) Distributor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjual Meterai Elektronik dengan harga jual sebesar nilai nominal Meterai Elektronik.
(4) Pengecer sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat menjual Meterai Elektronik dengan harga jual yang berbeda dengan nilai nominal Meterai Elektronik.
 
 

Pasal 21


(1) Terhadap pelaksanaan Kontrak dalam pembuatan dan distribusi Meterai Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Perusahaan Umum (Perum) Percetakan Uang Republik Indonesia berhak mendapatkan kompensasi atas setiap unit Meterai Elektronik yang disediakan untuk:
a. Distributor, untuk dijual kepada pengecer dan masyarakat umum; dan
b. Pemungut Bea Meterai, untuk pelaksanaan pemungutan Bea Meterai dan atas pemungutan Bea Meterainya telah disetorkan ke kas negara.
(2) Besaran dan perubahan besaran kompensasi pembuatan dan distribusi per unit Meterai Elektronik ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak setelah mendapat pertimbangan aparat pengawasan intern Pemerintah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan keuangan negara/daerah dan pembangunan nasional.
(3) Usulan perubahan besaran kompensasi pembuatan dan distribusi per unit Meterai Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berasal dari Perusahaan Umum (Perum) Percetakan Uang Republik Indonesia.

 

Pasal 22


Pembayaran atas pelaksanaan Kontrak dalam pembuatan dan distribusi Meterai Elektronik dilakukan sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam Dokumen Kontrak dan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang keuangan negara.
 
 

Pasal 23


(1) Direktur Jenderal Pajak melakukan pengawasan atas penjualan Meterai Elektronik.
(2) Dalam pengawasan atas penjualan Meterai Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan audit atas Sistem Meterai Elektronik.
(3) Audit atas Sistem Meterai Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan untuk memastikan:
a. keamanan Sistem Meterai Elektronik;
b. terdapat pemisahan fungsi pendistribusian Meterai Elektronik kepada:
1. Distributor untuk dijual kepada pengecer dan masyarakat umum; dan
2. Pemungut Bea Meterai;
c. pendistribusian Meterai Elektronik kepada Distributor untuk dijual kepada pengecer dan masyarakat umum dilakukan berdasarkan Deposit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (4); dan
d. kesesuaian nilai Meterai Elektronik yang didistribusikan kepada Pemungut Bea Meterai dengan nilai penyetoran yang dilakukan oleh Pemungut Bea Meterai dan nilai Meterai Elektronik yang tersedia untuk kebutuhan pemungutan Bea Meterai.

 

Pasal 24


(1) Dalam hal Perusahaan Umum (Perum) Percetakan Uang Republik Indonesia menyatakan tidak sanggup melaksanakan pembuatan Meterai Elektronik yang disebabkan oleh keadaan kahar, Perusahaan Umum (Perum) Percetakan Uang Republik Indonesia dapat menunjuk pihak lain untuk melakukan pembuatan Meterai Elektronik.
(2) Keadaan kahar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan keadaan kahar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Bea Meterai.
(3) Pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Wajib Pajak yang memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. telah menyampaikan:
1. surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan untuk 2 (dua) tahun pajak terakhir; dan
2. surat pemberitahuan masa pajak pertambahan nilai untuk 3 (tiga) Masa Pajak terakhir,
yang sudah menjadi kewajibannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan;
b. tidak mempunyai utang pajak atau mempunyai utang pajak namun atas keseluruhan utang pajak tersebut telah mendapatkan izin untuk menunda atau mengangsur pembayaran pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan; dan
c. tidak sedang dalam proses penanganan tindak pidana di bidang perpajakan yaitu pemeriksaan bukti permulaan secara terbuka, penyidikan, atau penuntutan.
(4) Penunjukan pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan persetujuan Menteri.
(5) Kewenangan pemberian persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilimpahkan dalam bentuk mandat kepada Direktur Jenderal Pajak.
(6) Pembuatan Meterai Elektronik melalui pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengubah besaran kompensasi dan nilai Kontrak dalam pembuatan dan distribusi Meterai Elektronik.
(7) Ketentuan mengenai prosedur pemberian persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tercantum dalam Lampiran huruf E yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

  
Bagian Keempat
Pengaturan Meterai Dalam Bentuk Lain
 
Pasal 25


(1) Meterai Dalam Bentuk Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) huruf c meliputi:
a. Meterai Teraan;
b. Meterai Komputerisasi;
c. Meterai Percetakan; dan
d. Meterai Teraan Digital.
(2) Meterai Percetakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan Meterai Teraan Digital sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d digunakan untuk pemungutan Bea Meterai oleh Pemungut Bea Meterai.


Pasal 26


(1) Pembayaran Bea Meterai dengan menggunakan Meterai Dalam Bentuk Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) dilakukan dengan membubuhkan Meterai Dalam Bentuk Lain pada Dokumen yang terutang Bea Meterai.
(2) Pembubuhan Meterai Dalam Bentuk Lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Wajib Pajak yang telah memperoleh izin pembuatan Meterai Dalam Bentuk Lain.
(3) Dalam hal Dokumen yang terutang Bea Meterai terdiri atas 2 (dua) lembar atau lebih, Meterai Dalam Bentuk Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) dibubuhkan pada lembar pertama Dokumen.

  

Pasal 27


(1) Meterai Teraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) huruf a memiliki unsur yang terdiri atas:
a. warna teraan merah;
b. logo Kementerian Keuangan;
c. tulisan "Direktorat Jenderal Pajak";
d. logo dan/atau tulisan nama Wajib Pajak pemilik izin;
e. tulisan "METERAI TERAAN";
f. angka yang menunjukkan tarif Bea Meterai;
g. tanggal, bulan, dan tahun pembubuhan;
h. nomor mesin; dan
i. kode unik.
(2) Meterai Komputerisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) huruf b memiliki unsur yang terdiri atas:
a. tulisan "METERAI KOMPUTERISASI";
b. angka yang menunjukkan tarif Bea Meterai; dan
c. tanggal, bulan, dan tahun pembubuhan.
(3) Meterai Percetakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) huruf c memiliki unsur yang terdiri atas:
a. tulisan "METERAI PERCETAKAN";
b. logo Kementerian Keuangan;
c. angka yang menunjukkan tarif Bea Meterai; dan
d. nama Wajib Pajak pemilik izin.
(4) Meterai Teraan Digital sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) huruf d memiliki unsur yang terdiri atas:
a. warna teraan merah berpendar;
b. tulisan "METERAI TERAAN DIGITAL";
c. logo Kementerian Keuangan;
d. angka dan tulisan yang menunjukkan tarif Bea Meterai; dan
e. kode khusus yang dapat dibaca dengan menggunakan aplikasi pemindai yang menampilkan informasi minimal berupa:
1. nama Wajib Pajak pemilik izin;
2. 22 (dua puluh dua) digit nomor seri; dan
3. nomor seri pencetak (printer) yang terdaftar pada sistem Direktorat Jenderal Pajak.
  
 

Pasal 28


(1) Pemberian izin pembuatan Meterai Dalam Bentuk Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (7) dilaksanakan oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Untuk memperoleh izin pembuatan Meterai Dalam Bentuk Lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wajib Pajak harus mengajukan permohonan izin kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar.
(3) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), izin pembuatan Meterai Teraan Digital diberikan secara otomatis kepada Wajib Pajak yang telah ditetapkan sebagai Pemungut Bea Meterai, dengan menerbitkan surat izin pembuatan Meterai Dalam Bentuk Lain.
(4) Wajib Pajak yang dapat mengajukan permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan Wajib Pajak yang:
a. memiliki mesin teraan Meterai digital, untuk membuat Meterai Teraan;
b. menerbitkan Dokumen surat berharga selain cek dan bilyet giro dengan jumlah lebih dari 1.000 (seribu) Dokumen dalam 1 (satu) bulan dan memiliki komputer, untuk membuat Meterai Komputerisasi; dan
c. menyelenggarakan usaha percetakan dan telah mendapatkan izin operasional di bidang pencetakan Dokumen sekuriti dari Badan Koordinasi Pemberantasan Rupiah Palsu, untuk membuat Meterai Percetakan.
(5) Permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilampiri dengan:
a. untuk pembuatan Meterai Teraan:
1. surat keterangan layak pakai dari penyedia mesin teraan Meterai digital; dan
2. surat pernyataan kepemilikan mesin teraan Meterai digital;
b. untuk pembuatan Meterai Komputerisasi, surat pernyataan penggunaan Meterai Komputerisasi; dan
c. untuk pembuatan Meterai Percetakan:
1. bentuk Meterai Percetakan yang memenuhi unsur-unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3); dan
2. salinan Dokumen izin operasional di bidang pencetakan Dokumen sekuriti dari Badan Koordinasi Pemberantasan Rupiah Palsu.
(6) Permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (5) disampaikan:
a. secara langsung;
b. melalui pos, perusahaan jasa ekspedisi, atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat; atau
c. secara elektronik.
(7) Penyampaian permohonan izin secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf c dilakukan dalam hal sistem sudah tersedia.
(8) Tata cara penyampaian permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai tata cara pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan.
(9) Terhadap permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (6) yang telah diterima secara lengkap diterbitkan Bukti Penerimaan.

 

Pasal 29


(1) Berdasarkan permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2), Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar menerbitkan:
a. surat izin pembuatan Meterai Dalam Bentuk Lain dalam hal permohonan izin memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (4) dan ayat (5); atau
b. surat penolakan pemberian izin pembuatan Meterai Dalam Bentuk Lain dalam hal permohonan izin tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (4) atau ayat (5),
paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak Bukti Penerimaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (9) diterbitkan.
(2) Tata cara penyampaian surat izin dan surat penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Wajib Pajak dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­-undangan yang mengatur mengenai tata cara pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan.

 

Pasal 30


(1) Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) dapat melakukan pembetulan surat izin pembuatan Meterai Dalam Bentuk Lain berdasarkan permohonan Wajib Pajak dalam hal terdapat kesalahan data akibat salah tulis atau salah input ke dalam aplikasi yang digunakan untuk melayani pendaftaran mesin teraan Meterai digital.
(2) Permohonan pembetulan surat izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disampaikan:
a. secara langsung;
b. melalui pos, perusahaan jasa ekspedisi, atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat; atau
c. secara elektronik.
(3) Penyampaian permohonan pembetulan surat izin secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dilakukan dalam hal sistem sudah tersedia.
(4) Terhadap permohonan pembetulan surat izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang telah diterima secara lengkap diterbitkan Bukti Penerimaan.
(5) Berdasarkan permohonan pembetulan surat izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar menerbitkan surat izin pembuatan Meterai Dalam Bentuk Lain hasil pembetulan, paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah Bukti Penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diterbitkan.
(6) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) telah terlampaui dan Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar tidak menerbitkan surat izin pembuatan Meterai Dalam Bentuk Lain hasil pembetulan, permohonan pembetulan surat izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap diterima dan Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar harus menerbitkan surat izin pembuatan Meterai Dalam Bentuk Lain hasil pembetulan paling lama 2 (dua) hari kerja terhitung sejak jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) berakhir.
(7) Tata cara penyampaian permohonan pembetulan surat izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan surat izin sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai tata cara pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan.

  

Pasal 31


(1) Dalam pembuatan Meterai Teraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) huruf a, Wajib Pajak yang telah memperoleh izin pembuatan Meterai Teraan wajib melakukan Deposit ke kas negara sebelum membuat Meterai Teraan.
(2) Deposit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan sebesar Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah) atau kelipatannya.
(3) Terhadap Deposit sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Wajib Pajak akan memperoleh:
a. tambahan saldo Deposit pada mesin teraan Meterai digital; atau
b. kode untuk menambah saldo Deposit pada mesin teraan Meterai digital,
paling lama 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak tanggal Deposit ke kas negara.
(4) Deposit ke kas negara yang tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan sistem Meterai Teraan gagal menghasilkan tambahan saldo Deposit pada mesin teraan Meterai digital atau kode sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(5) Pembubuhan Meterai Teraan mengurangi saldo Deposit pada mesin teraan Meterai digital sebesar nilai nominal Meterai Teraan yang dibubuhkan.
(6) Wajib Pajak dilarang membuat Meterai Teraan dengan jumlah yang melebihi saldo Deposit pada mesin teraan Meterai digital.
(7) Wajib Pajak yang membuat Meterai Teraan dengan jumlah yang melebihi saldo Deposit sebagaimana dimaksud pada ayat (6) harus melakukan Pemeteraian Kemudian atas Dokumen yang Bea Meterainya tidak atau kurang dibayar.

 

Pasal 32


(1) Kode sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (3) huruf b harus diinput ke dalam mesin teraan Meterai digital secara manual untuk menambah saldo Deposit pada mesin teraan Meterai digital.
(2) Kesalahan prosedur dalam memasukkan kode sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan mesin teraan Meterai digital terkunci.
(3) Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pembukaan (unlock) mesin teraan Meterai digital yang terkunci dengan melampirkan:
a. surat izin pembuatan Meterai Teraan atas mesin teraan Meterai digital yang terkunci; dan
b. surat pernyataan dari penyedia mesin teraan Meterai digital yang menyatakan bahwa mesin teraan Meterai digital terkunci sehingga tidak dapat digunakan.
(4) Permohonan pembukaan (unlock) mesin teraan Meterai digital yang terkunci sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan:
a. secara langsung;
b. melalui pos, perusahaan jasa ekspedisi, atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat; atau
c. secara elektronik.
(5) Penyampaian permohonan pembukaan (unlock) mesin teraan Meterai digital yang terkunci secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c dilakukan dalam hal sistem sudah tersedia.
(6) Tata cara penyampaian permohonan pembukaan (unlock) mesin teraan Meterai digital yang terkunci sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai tata cara pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan.
(7) Terhadap permohonan pembukaan (unlock) mesin teraan Meterai digital yang terkunci sebagaimana dimaksud pada ayat (4) yang telah diterima secara lengkap diterbitkan Bukti Penerimaan.
(8) Direktur Jenderal Pajak memberikan kode pembukaan (unlock) dan kode pengganti untuk menambah saldo Deposit pada mesin teraan Meterai digital paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak Bukti Penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diterbitkan.

 

Pasal 33


(1) Dalam pembuatan Meterai Komputerisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) huruf b, Wajib Pajak yang telah memperoleh izin pembuatan Meterai Komputerisasi wajib melakukan Deposit ke kas negara sebelum membuat Meterai Komputerisasi.
(2) Deposit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­-undangan di bidang perpajakan.
(3) Pembubuhan Meterai Komputerisasi mengurangi saldo Deposit sebesar nilai nominal Meterai Komputerisasi yang dibubuhkan.
(4) Wajib Pajak dilarang membuat Meterai Komputerisasi dengan jumlah yang melebihi nilai Deposit.
(5) Wajib Pajak yang membuat Meterai Komputerisasi dengan jumlah yang melebihi Deposit yang disetorkan ke kas negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus melakukan Pemeteraian Kemudian atas Dokumen yang Bea Meterainya tidak atau kurang dibayar.
(6) Wajib Pajak yang telah memperoleh izin pembuatan Meterai Komputerisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyampaikan laporan pembuatan Meterai Komputerisasi paling lambat tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah bulan dilakukannya pembuatan Meterai Komputerisasi berakhir.
(7) Dalam hal tidak terdapat pembuatan Meterai Komputerisasi, pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tetap dilakukan.

 

Pasal 34


(1) Dalam pembuatan Meterai Percetakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) huruf e, surat izin pembuatan Meterai Percetakan berlaku sampai dengan masa berlaku izin operasional di bidang pencetakan Dokumen sekuriti dari Badan Koordinasi Pemberantasan Rupiah Palsu berakhir.
(2) Meterai Percetakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya digunakan dalam pemungutan Bea Meterai atas surat berharga berupa cek dan bilyet giro.
(3) Pembubuhan Meterai Percetakan pada cek dan bilyet giro sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Wajib Pajak yang telah memperoleh izin pembuatan Meterai Percetakan berdasarkan permintaan Pemungut Bea Meterai tanpa didahului Deposit.
(4) Pemungut Bea Meterai sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib melakukan:
a. penyetoran Bea Meterai ke kas negara sebesar nilai nominal Meterai Percetakan yang dibubuhkan pada Dokumen; dan
b. pelaporan atas pemungutan dan penyetoran dalam SPT Masa Bea Meterai,
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Bea Meterai.
(5) Wajib Pajak yang telah memperoleh izin pembuatan Meterai Percetakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyampaikan laporan pembuatan Meterai Percetakan paling lambat tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah bulan dilakukannya penyerahan cek dan/atau bilyet giro kepada Pemungut Bea Meterai berakhir.
(6) Dalam hal tidak terdapat pembuatan Meterai Percetakan, pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tetap dilakukan.


Pasal 35


(1) Dalam pembuatan Meterai Teraan Digital sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) huruf d, surat izin pembuatan Meterai Teraan Digital berlaku selama Wajib Pajak berstatus sebagai Pemungut Bea Meterai.
(2) Pembubuhan Meterai Teraan Digital oleh Pemungut Bea Meterai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam rangka pemungutan Bea Meterai dilakukan melalui Sistem Meterai Teraan Digital tanpa didahului Deposit.
(3) Pemungut Bea Meterai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib melakukan:
a. penyetoran Bea Meterai ke kas negara sebesar nilai nominal Meterai Teraan Digital yang dibubuhkan pada Dokumen; dan
b. pelaporan atas pemungutan dan penyetoran dalam SPT Masa Bea Meterai,
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Bea Meterai.

 

Pasal 36


(1) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (6) dan Pasal 34 ayat (5) disampaikan:
a. secara langsung;
b. melalui pos, perusahaan jasa ekspedisi, atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat; atau
c. secara elektronik.
(2) Penyampaian laporan secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan dalam hal sistem sudah tersedia.
(3) Tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai tata cara pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan.
(4) Terhadap laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang telah diterima secara lengkap diterbitkan Bukti Penerimaan.

 

Pasal 37


(1) Pencabutan izin pembuatan Meterai Dalam Bentuk Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (7) dilaksanakan oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Pencabutan izin pembuatan Meterai Dalam Bentuk Lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan permohonan Wajib Pajak atau secara jabatan.

 

Pasal 38


(1) Wajib Pajak dapat menyampaikan permohonan pencabutan izin pembuatan Meterai Dalam Bentuk Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2) kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar dalam hal:
a. mesin teraan Meterai digital mengalami kerusakan sehingga tidak dapat digunakan;
b. Wajib Pajak tidak lagi akan membuat Meterai Teraan di kemudian hari; atau
c. Wajib Pajak tidak lagi akan membuat Meterai Komputerisasi di kemudian hari.
(2) Permohonan pencabutan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri dengan:
a. surat pernyataan dari penyedia mesin teraan Meterai digital yang menyatakan bahwa mesin teraan Meterai digital mengalami kerusakan sehingga tidak dapat digunakan, dalam hal permohonan pencabutan izin dikarenakan mesin teraan Meterai digital mengalami kerusakan; atau
b. surat pernyataan tidak lagi akan membuat Meterai Teraan atau Meterai Komputerisasi, dalam hal permohonan pencabutan izin dikarenakan Wajib Pajak tidak lagi akan membuat Meterai Teraan atau Meterai Komputerisasi di kemudian hari.
(3) Permohonan pencabutan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan:
a. secara langsung;
b. melalui pos, perusahaan jasa ekspedisi, atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat; atau
c. secara elektronik.
(4) Penyampaian permohonan pencabutan izin secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c dilakukan dalam hal sistem sudah tersedia.
(5) Tata cara penyampaian permohonan pencabutan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai tata cara pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan.
(6) Terhadap permohonan pencabutan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang telah diterima secara lengkap diterbitkan Bukti Penerimaan.

 

Pasal 39


(1) Pencabutan izin pembuatan Meterai Teraan atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) huruf a dan huruf b dilakukan berdasarkan hasil penelitian administrasi dan penelitian fisik mesin teraan Meterai digital.
(2) Pencabutan izin pembuatan Meterai Komputerisasi atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) huruf c dilakukan berdasarkan hasil penelitian administrasi.
(3) Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar menerbitkan surat pencabutan izin pembuatan Meterai Dalam Bentuk Lain paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak Bukti Penerimaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (6) diterbitkan.
(4) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) telah terlampaui dan Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar tidak menerbitkan surat pencabutan izin pembuatan Meterai Dalam Bentuk Lain, permohonan pencabutan izin pembuatan Meterai Dalam Bentuk Lain dianggap diterima dan Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar harus menerbitkan surat pencabutan izin pembuatan Meterai Dalam Bentuk Lain paling lama 2 (dua) hari kerja terhitung sejak jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berakhir.

 

Pasal 40


(1) Pencabutan izin pembuatan Meterai Dalam Bentuk Lain secara jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2) dilakukan dalam hal:
a. Wajib Pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (4) huruf b untuk membuat Meterai Komputerisasi;
b. Wajib Pajak tidak atau terlambat menyampaikan:
1. laporan pembuatan Meterai Komputerisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (6); atau
2. laporan pembuatan Meterai Percetakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (5);
atau
c. Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar menemukan terjadinya penyalahgunaan izin pembuatan Meterai Dalam Bentuk Lain.
(2) Pencabutan izin pembuatan Meterai Dalam Bentuk Lain secara jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menerbitkan surat pencabutan izin pembuatan Meterai Dalam Bentuk Lain secara jabatan.
(3) Tata cara penyampaian surat pencabutan izin pembuatan Meterai Dalam Bentuk Lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan dalam Pasal 39 ayat (3) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai tata cara pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan.

 

Pasal 41


Dokumen berupa:
a. surat permohonan izin pembuatan Meterai Dalam Bentuk Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2);
b. surat pernyataan kepemilikan mesin teraan Meterai digital sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (5) huruf a angka 2;
c. surat pernyataan penggunaan Meterai Komputerisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (5) huruf b;
d. surat izin pembuatan Meterai Dalam Bentuk Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (3), Pasal 29 ayat (1) huruf a, Pasal 30 ayat (5), dan Pasal 30 ayat (6);
e. surat penolakan pemberian izin pembuatan Meterai Dalam Bentuk Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) huruf b;
f. surat permohonan pembukaan (unlock) mesin teraan Meterai digital yang terkunci sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3);
g. laporan pembuatan Meterai Komputerisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (6);
h. laporan pembuatan Meterai Percetakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (5);
i. surat permohonan pencabutan izin pembuatan Meterai Dalam Bentuk Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1);
j. surat pernyataan tidak lagi akan membuat Meterai Teraan atau Meterai Komputerisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) huruf b;
k. surat pencabutan izin pembuatan Meterai Dalam Bentuk Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (3) dan ayat (4); dan
l. surat pencabutan izin pembuatan Meterai Dalam Bentuk Lain secara jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2),
dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf F yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

 

Bagian Kelima
Pembayaran Bea Meterai dengan Menggunakan Surat Setoran Pajak
 
Pasal 42


Pembayaran Bea Meterai dengan menggunakan Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf b dilakukan untuk pembayaran Bea Meterai oleh Pihak Yang Terutang dalam hal:
a. Pemeteraian Kemudian dengan jumlah lebih dari 50 (lima puluh) Dokumen;
b. pembayaran Bea Meterai dengan menggunakan Meterai Tempel tidak memungkinkan untuk dilakukan karena Meterai Tempel tidak tersedia atau tidak dapat digunakan; atau
c. pembayaran Bea Meterai dengan menggunakan Meterai Elektronik tidak memungkinkan untuk dilakukan karena Sistem Meterai Elektronik tidak dapat diakses dan/atau tidak memberikan respons pada proses pembubuhan Meterai Elektronik.
 
 

Pasal 43


(1) Pembayaran Bea Meterai dengan menggunakan Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 dilakukan dengan ketentuan:
a. membayar Bea Meterai yang terutang dengan menggunakan Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan;
b. membuat daftar Dokumen, dalam hal pembayaran Bea Meterai dilakukan atas 2 (dua) atau lebih Dokumen yang terutang Bea Meterai; dan
c. melekatkan Surat Setoran Pajak yang telah divalidasi dengan Nomor Transaksi Penerimaan Negara, bukti penerimaan negara yang telah divalidasi dengan Nomor Transaksi Penerimaan Negara, atau bukti pemindahbukuan dengan Dokumen yang terutang Bea Meterai atau daftar Dokumen sebagaimana dimaksud dalam huruf b.
(2) Dokumen berupa daftar Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf G yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

 

Bagian Keenam
Penentuan Keabsahan Meterai
 
Pasal 44


(1) Pembayaran Bea Meterai dengan menggunakan Meterai Tempel dinyatakan sah jika memenuhi ketentuan:
a. pembayaran Bea Meterai dilakukan dengan menggunakan Meterai Tempel yang sah dan berlaku, serta belum pernah dipakai untuk pembayaran Bea Meterai atas suatu Dokumen;
b. pembubuhan Meterai Tempel memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2); dan
c. Meterai Tempel yang dibubuhkan pada Dokumen memiliki ciri umum dan ciri khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8.
(2) Pembayaran Bea Meterai dengan menggunakan Meterai Elektronik dinyatakan sah jika memenuhi ketentuan:
a. pembubuhan Meterai Elektronik dilakukan melalui Sistem Meterai Elektronik; dan
b. Meterai Elektronik yang dibubuhkan pada Dokumen memiliki kode unik dan keterangan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17.
(3) Pembayaran Bea Meterai dengan menggunakan Meterai Dalam Bentuk Lain dinyatakan sah jika memenuhi ketentuan:
a. pembubuhan Meterai Dalam Bentuk Lain dilakukan oleh Wajib Pajak yang telah memperoleh izin pembuatan Meterai Dalam Bentuk Lain;
b. Meterai Dalam Bentuk Lain yang dibubuhkan pada Dokumen memenuhi unsur-unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27;
c. untuk Meterai Teraan, saldo Deposit pada mesin teraan Meterai digital mencukupi untuk melakukan pembubuhan Meterai Teraan;
d. untuk Meterai Komputerisasi, Deposit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) mencukupi untuk melakukan pembubuhan Meterai Komputerisasi;
e. untuk Meterai Percetakan:
1. pembubuhan Meterai Percetakan dilakukan berdasarkan permintaan Pemungut Bea Meterai; dan
2. Pemungut Bea Meterai telah menyetorkan Bea Meterai ke kas negara dan telah melaporkan pemungutan dan penyetoran dalam SPT Masa Bea Meterai;
dan
f. untuk Meterai Teraan Digital:
1. pembubuhan Meterai Teraan Digital dilakukan oleh Pemungut Bea Meterai melalui Sistem Meterai Teraan Digital; dan
2. Pemungut Bea Meterai telah menyetorkan Bea Meterai ke kas negara dan telah melaporkan pemungutan dan penyetoran dalam SPT Masa Bea Meterai.
   
 

Pasal 45


Pembayaran Bea Meterai tidak sah dan Dokumen dianggap tidak dibubuhi Meterai dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 tidak terpenuhi.
 

Pasal 46


(1) Direktur Jenderal Pajak dapat menentukan keabsahan Meterai berdasarkan permintaan penentuan keabsahan Meterai dari Pihak Yang Terutang atau pihak lain.
(2) Permintaan penentuan keabsahan Meterai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri dengan Meterai yang dimintakan penentuan keabsahannya.
(3) Keabsahan Meterai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan berdasarkan hasil penelitian keabsahan Meterai.
(4) Dalam hal diperlukan untuk penelitian keabsahan Meterai sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Direktur Jenderal Pajak dapat meminta keterangan atau penjelasan dari pihak yang melaksanakan pencetakan Meterai Tempel atau pembuatan Meterai Elektronik.
 
 

BAB IV
PEMETERAIAN KEMUDIAN
 
Pasal 47


Pemeteraian Kemudian dilakukan untuk:
a. Dokumen yang Bea Meterainya tidak atau kurang dibayar sebagaimana mestinya; dan/atau
b. Dokumen yang digunakan sebagai alat bukti di pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b.

  

Pasal 48


Pihak yang wajib membayar Bea Meterai melalui Pemeteraian Kemudian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 merupakan Pihak Yang Terutang.
 
 

Pasal 49


Bea Meterai yang wajib dibayar melalui Pemeteraian Kemudian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ditentukan sebesar:
a. Bea Meterai yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat terutangnya Bea Meterai ditambah dengan sanksi administratif sebesar 100% (seratus persen) dari Bea Meterai yang terutang, dalam hal Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 huruf a terutang Bea Meterai sejak tanggal 1 Januari 2021;
b. Bea Meterai yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat terutangnya Bea Meterai ditambah dengan sanksi administratif sebesar 200% (dua ratus persen) dari Bea Meterai yang terutang, dalam hal Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 huruf a terutang Bea Meterai sebelum tanggal 1 Januari 2021; dan
c. Bea Meterai yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat Pemeteraian Kemudian dilakukan atas Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 huruf b.

 

Pasal 50


(1) Pembayaran Bea Meterai yang terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 dilakukan dengan menggunakan:
a. Meterai Tempel;
b. Meterai Elektronik; atau
c. Surat Setoran Pajak.
(2) Pembayaran sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 huruf a dan huruf b dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

 

Pasal 51


(1) Pembayaran Bea Meterai melalui Pemeteraian Kemudian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 disahkan oleh:
a. Pejabat Pos; atau
b. Pejabat DJP.
(2) Pejabat Pos sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a melakukan pengesahan atas pembayaran Bea Meterai melalui Pemeteraian Kemudian yang dilakukan dengan menggunakan Meterai Tempel, dengan membubuhkan cap Pemeteraian Kemudian pada Dokumen atau daftar Dokumen yang Bea Meterainya telah dibayar melalui Pemeteraian Kemudian.
(3) Pengesahan atas pembayaran Bea Meterai melalui Pemeteraian Kemudian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan setelah Pejabat Pos memastikan pembayaran Bea Meterai dengan menggunakan Meterai Tempel memenuhi ketentuan keabsahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1).
(4) Pejabat DJP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b melakukan pengesahan atas pembayaran Bea Meterai melalui Pemeteraian Kemudian yang dilakukan dengan menggunakan Meterai Tempel, Meterai Elektronik, dan/atau Surat Setoran Pajak, dengan membubuhkan cap Pemeteraian Kemudian pada Dokumen atau daftar Dokumen yang Bea Meterainya telah dibayar melalui Pemeteraian Kemudian.
(5) Pengesahan atas pembayaran Bea Meterai melalui Pemeteraian Kemudian sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dilakukan setelah Pejabat DJP memastikan:
a. pembayaran Bea Meterai dengan menggunakan Meterai Tempel memenuhi ketentuan keabsahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) dan sanksi administratif telah dibayar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan;
b. pembayaran Bea Meterai dengan menggunakan Meterai Elektronik memenuhi ketentuan keabsahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2) dan sanksi administratif telah dibayar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan; atau
c. pembayaran Bea Meterai dengan menggunakan Surat Setoran Pajak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1) dan sanksi administratif telah dibayar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

 

Pasal 52


(1) Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak setelah dilakukan tindakan pemeriksaan dalam hal terdapat Pemeteraian Kemudian yang Bea Meterainya tidak atau kurang dibayar oleh Pihak Yang Terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 huruf a beserta sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 huruf a atau huruf b.
(2) Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan Pajak setelah dilakukan tindakan penelitian atau pemeriksaan dalam hal terdapat Pemeteraian Kemudian yang telah dibayar Bea Meterainya oleh Pihak Yang Terutang tetapi sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 huruf a atau huruf b belum dibayar.
(3) Penerbitan Surat Ketetapan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penerbitan Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan.
 
 

Pasal 53


(1) Pihak Yang Terutang dapat meminta pengesahan Pejabat DJP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) huruf b atas Dokumen yang:
a. Bea Meterainya ditetapkan dengan Surat Ketetapan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1); dan
b. Bea Meterainya telah dibayar tetapi sanksi administratifnya ditagih dengan Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2).
(2) Terhadap permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pejabat DJP melakukan pengesahan dengan membubuhkan cap Pemeteraian Kemudian pada Dokumen atau daftar Dokumen setelah memastikan:
a. Bea Meterai yang ditetapkan dengan Surat Ketetapan Pajak atau sanksi administratif yang ditagih dengan Surat Tagihan Pajak telah dibayar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan; dan
b. Pihak Yang Terutang tidak melakukan upaya hukum atas Surat Ketetapan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) atau Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2).

  

Pasal 54


Cap Pemeteraian Kemudian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (2), Pasal 51 ayat (4), dan Pasal 53 ayat (2) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf H yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
 
 

BAB V
PEMUNGUTAN BEA METERAI
 
Bagian Kesatu
Penetapan Pemungut Bea Meterai
 
Pasal 55


(1) Pemungutan Bea Meterai yang terutang atas Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) dapat dilakukan oleh Pemungut Bea Meterai.
(2) Dokumen yang wajib dipungut oleh Pemungut Bea Meterai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Dokumen tertentu yang meliputi:
a. surat berharga berupa cek dan/atau bilyet giro;
b. Dokumen transaksi surat berharga termasuk Dokumen transaksi kontrak berjangka, dengan nama dan dalam bentuk apa pun;
c. surat keterangan, surat pernyataan, atau surat lainnya yang sejenis, beserta rangkapnya; dan
d. Dokumen yang menyatakan jumlah uang dengan nilai nominal lebih dari Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah), yang:
1. menyebutkan penerimaan uang; atau
2. berisi pengakuan bahwa utang seluruhnya atau sebagiannya telah dilunasi atau diperhitungkan.
(3) Dokumen tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang mendapat fasilitas pembebasan dari pengenaan Bea Meterai dikecualikan dari pemungutan Bea Meterai.

  

Pasal 56


(1) Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan penetapan Wajib Pajak sebagai Pemungut Bea Meterai secara jabatan atau berdasarkan permohonan Wajib Pajak.
(2) Direktur Jenderal Pajak melimpahkan kewenangan penetapan Pemungut Bea Meterai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk delegasi kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar.
(3) Wajib Pajak yang ditetapkan sebagai Pemungut Bea Meterai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Wajib Pajak dengan kriteria:
a. memfasilitasi penerbitan Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2) huruf a;
b. menerbitkan dan/atau memfasilitasi penerbitan Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2) huruf b; dan/atau
c. menerbitkan dan/atau memfasilitasi penerbitan Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2) huruf c dan/atau huruf d dengan jumlah tertentu berdasarkan pertimbangan Direktur Jenderal Pajak.

 

Pasal 57


(1) Penetapan Pemungut Bea Meterai secara jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) dilakukan berdasarkan hasil pemeriksaan atau hasil penelitian administrasi sesuai dengan data dan/atau informasi yang dimiliki atau diperoleh Direktorat Jenderal Pajak, termasuk data dan/atau informasi yang diperoleh dari kegiatan ekstensifikasi bahwa Wajib Pajak memenuhi kriteria sebagai Pemungut Bea Meterai.
(2) Penetapan Pemungut Bea Meterai secara jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menerbitkan surat penetapan Pemungut Bea Meterai.
 
 

Pasal 58


(1) Wajib Pajak yang telah memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (3) tetapi belum ditetapkan sebagai Pemungut Bea Meterai dapat menyampaikan permohonan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar untuk ditetapkan sebagai Pemungut Bea Meterai.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disampaikan:
a. secara elektronik; atau
b. secara langsung,
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai tata cara pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan.
(3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilampiri dengan surat pernyataan kesediaan untuk ditetapkan sebagai Pemungut Bea Meterai.
(4) Penyampaian permohonan secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan dalam hal sistem sudah tersedia.
(5) Terhadap permohonan untuk ditetapkan sebagai Pemungut Bea Meterai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang telah diterima secara lengkap diterbitkan Bukti Penerimaan.

 

Pasal 59


(1) Berdasarkan surat permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1), Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar menerbitkan:
a. surat penetapan Pemungut Bea Meterai dalam hal permohonan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (3) dan Pasal 58 ayat (3); atau
b. surat penolakan penetapan Pemungut Bea Meterai dalam hal permohonan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (3) atau Pasal 58 ayat (3),
paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak Bukti Penerimaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (5) diterbitkan.
(2) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah terlampaui dan Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar tidak menerbitkan surat penetapan Pemungut Bea Meterai atau surat penolakan penetapan Pemungut Bea Meterai, permohonan dianggap diterima dan Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar harus menerbitkan surat penetapan Pemungut Bea Meterai paling lama 2 (dua) hari kerja terhitung sejak jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir.
(3) Tata cara penyampaian surat penetapan Pemungut Bea Meterai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan dalam Pasal 57 ayat (2) serta surat penolakan penetapan Pemungut Bea Meterai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai tata cara pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan.
(4) Penetapan Pemungut Bea Meterai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan dalam Pasal 57 ayat (2) mulai berlaku terhitung sejak awal bulan berikutnya setelah tanggal surat penetapan.

 

Bagian Kedua
Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Bea Meterai
 
Pasal 60


Pemungut Bea Meterai wajib:
a. memungut Bea Meterai yang terutang atas Dokumen tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2) dari Pihak Yang Terutang;
b. menyetorkan Bea Meterai ke kas negara; dan
c. melaporkan pemungutan dan penyetoran Bea Meterai, termasuk penerbitan Dokumen yang mendapat fasilitas pembebasan dari pengenaan Bea Meterai ke kantor Direktorat Jenderal Pajak.


Pasal 61


Pemungutan Bea Meterai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 huruf a dilakukan pada saat:
a. Dokumen diterima dari Wajib Pajak yang telah memperoleh izin pembuatan Meterai Percetakan, untuk Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2) huruf a;
b. Dokumen selesai dibuat oleh pihak yang menerbitkan atau memfasilitasi penerbitan Dokumen, untuk Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2) huruf b; atau
c. Dokumen diserahkan kepada Pihak Yang Terutang, untuk Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2) huruf c dan huruf d.
 
   

Pasal 62


(1) Pemungutan Bea Meterai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 huruf a dilakukan dengan membubuhkan:
a. Meterai Percetakan pada Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2) huruf a melalui Wajib Pajak yang telah memperoleh izin pembuatan Meterai Percetakan;
b. Meterai Elektronik pada Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2) huruf b, huruf c, dan huruf d yang berbentuk elektronik; dan
c. Meterai Teraan Digital pada Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2) huruf b, huruf c, dan huruf d yang berbentuk tulisan tangan atau cetakan.
(2) Pemungut Bea Meterai tetap wajib memungut Bea Meterai dengan membubuhkan tanda pemungutan pada Dokumen dalam hal pembubuhan Meterai Elektronik dan/atau Meterai Teraan Digital tidak memungkinkan untuk dilakukan yang disebabkan:
a. kegagalan sistem; atau
b. Pemungut Bea Meterai memerlukan pengadaan infrastruktur dan/atau penyesuaian sistem untuk dapat membubuhkan Meterai Elektronik dan/atau Meterai Teraan Digital.
(3) Kegagalan sistem sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a merupakan kondisi:
a. Sistem Meterai Elektronik tidak dapat diakses, tidak memberikan respons pada proses pembubuhan Meterai Elektronik, dan/atau Meterai Elektronik tidak dapat dibubuhkan pada suatu jenis Dokumen elektronik, berdasarkan pemberitahuan dari Perusahaan Umum (Perum) Percetakan Uang Republik Indonesia; dan/atau
b. Sistem Meterai Teraan Digital tidak dapat diakses dan/atau tidak memberikan respons pada proses pembubuhan Meterai Teraan Digital berdasarkan pemberitahuan dari Direktorat Jenderal Pajak.
(4) Tanda pemungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memuat:
a. tulisan "BEA METERAI LUNAS";
b. angka yang menunjukkan tarif Bea Meterai; dan
c. nama Pemungut Bea Meterai.


Pasal 63


(1) Penyetoran Bea Meterai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 huruf b atas Bea Meterai yang dipungut untuk setiap Masa Pajak wajib dilakukan paling lambat tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir
(2) Penyetoran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

  

Pasal 64


(1) Pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 huruf c wajib dilakukan dengan menyampaikan SPT Masa Bea Meterai ke kantor Direktorat Jenderal Pajak paling lambat tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
(2) SPT Masa Bea Meterai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk Dokumen elektronik dan disampaikan secara elektronik.
(3) Terhadap penyampaian SPT Masa Bea Meterai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan Bukti Penerimaan.
(4) Dalam hal tidak terdapat Dokumen yang wajib dipungut Bea Meterai dan/atau tidak terdapat penerbitan Dokumen yang mendapat fasilitas pembebasan dari pengenaan Bea Meterai, pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap dilakukan.
(5) Tata cara penyampaian SPT Masa Bea Meterai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai surat pemberitahuan.


 Pasal 65


(1) Dalam hal batas akhir penyetoran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1) dan pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1) merupakan hari libur, penyetoran dan pelaporan dapat dilakukan paling lama pada hari kerja berikutnya.
(2) Hari libur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan hari Sabtu, hari Minggu, hari libur nasional, hari yang diliburkan untuk penyelenggaraan Pemilihan Umum, atau cuti bersama secara nasional.

 

Pasal 66


(1) Pemungut Bea Meterai dengan kemauan sendiri dapat membetulkan SPT Masa Bea Meterai yang telah disampaikan dalam hal:
a. terdapat salah tulis atau salah hitung; atau
b. terdapat surat berharga berupa cek dan/atau bilyet giro sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2) huruf a yang Bea Meterainya telah dipungut tetapi tidak digunakan.
(2) Tata cara penyampaian pembetulan SPT Masa Bea Meterai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai surat pemberitahuan.


Pasal 67


(1) Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak kepada Pemungut Bea Meterai yang tidak melaksanakan kewajiban pemungutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 huruf a dan/atau penyetoran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 huruf b sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang ketentuan umum dan tata cara perpajakan.
(2) Jumlah kekurangan Bea Meterai dalam Surat Ketetapan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebesar Bea Meterai yang tidak atau kurang dipungut dan/atau tidak atau kurang disetor, ditambah sanksi administratif sebesar 100% (seratus persen) dari Bea Meterai yang tidak atau kurang dipungut dan/atau tidak atau kurang disetor.

  

Bagian Ketiga
Pencabutan Penetapan Pemungut Bea Meterai
 
Pasal 68


Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar dapat mencabut penetapan Pemungut Bea Meterai secara jabatan atau berdasarkan permohonan Wajib Pajak terhadap Wajib Pajak yang tidak lagi memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (3) selama 3 (tiga) bulan berturut-turut.
 
 

Pasal 69


(1) Pencabutan penetapan Pemungut Bea Meterai secara jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 dilakukan berdasarkan data dan/atau informasi perpajakan yang dimiliki atau diperoleh Direktorat Jenderal Pajak.
(2) Pencabutan penetapan Pemungut Bea Meterai secara jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 dilakukan dengan menerbitkan surat pencabutan penetapan Pemungut Bea Meterai.

 

Pasal 70


(1) Permohonan pencabutan penetapan Pemungut Bea Meterai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 harus dilampiri dengan surat pernyataan tidak lagi memenuhi kriteria sebagai Pemungut Bea Meterai
(2) Permohonan pencabutan penetapan Pemungut Bea Meterai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan:
a. secara elektronik; atau
b. secara langsung,
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai tata cara pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan.
(3) Penyampaian permohonan pencabutan penetapan Pemungut Bea Meterai secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan dalam hal sistem sudah tersedia.
(4) Terhadap permohonan pencabutan penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang telah diterima secara lengkap diterbitkan Bukti Penerimaan.

 

Pasal 71


(1) Berdasarkan permohonan pencabutan penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1), Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar menerbitkan:
a. surat pencabutan penetapan Pemungut Bea Meterai dalam hal permohonan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 dan Pasal 70 ayat (1); atau
b. surat penolakan pencabutan penetapan Pemungut Bea Meterai dalam hal permohonan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 atau Pasal 70 ayat (1),
paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak Bukti Penerimaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (4) diterbitkan.
(2) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah terlampaui dan Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar tidak menerbitkan surat pencabutan penetapan Pemungut Bea Meterai atau surat penolakan pencabutan penetapan Pemungut Bea Meterai, permohonan dianggap diterima dan Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar harus menerbitkan surat pencabutan penetapan Pemungut Bea Meterai paling lama 2 (dua) hari kerja terhitung sejak jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir.
(3) Pencabutan penetapan Pemungut Bea Meterai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, ayat (2), dan dalam Pasal 69 ayat (2) mulai berlaku terhitung sejak tanggal surat pencabutan penetapan.
(4) Tata cara penyampaian surat pencabutan penetapan Pemungut Bea Meterai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, ayat (2), dan dalam Pasal 69 ayat (2) serta surat penolakan pencabutan penetapan Pemungut Bea Meterai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­-undangan yang mengatur mengenai tata cara pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan.


Pasal 72


Dokumen berupa:
a. surat permohonan untuk ditetapkan sebagai Pemungut Bea Meterai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1);
b. surat pernyataan kesediaan untuk ditetapkan sebagai Pemungut Bea Meterai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (3);
c. surat penetapan Pemungut Bea Meterai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (2) dan Pasal 59 ayat (1) huruf a;
d. surat penolakan penetapan Pemungut Bea Meterai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) huruf b;
e. surat permohonan pencabutan penetapan Pemungut Bea Meterai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1);
f. surat pernyataan tidak lagi memenuhi kriteria sebagai Pemungut Bea Meterai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1);
g, surat pencabutan penetapan Pemungut Bea Meterai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (2) dan Pasal 71 ayat (1) huruf a; dan
h surat penolakan pencabutan penetapan Pemungut Bea Meterai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (1) huruf b,
dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
 
  

BAB VI
PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK YANG SEHARUSNYA TIDAK TERUTANG
 
Pasal 73


Permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang dapat diajukan dalam hal terdapat:
a. Deposit yang belum digunakan dan/atau masih tersisa; dan
b. pemungutan Bea Meterai yang lebih besar daripada Bea Meterai yang seharusnya dipungut karena pembetulan SPT Masa Bea Meterai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1).

  

Pasal 74


(1) Deposit yang belum digunakan dan/atau masih tersisa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 huruf a berupa:
a. Deposit ke kas negara yang gagal menghasilkan kode atau tambahan saldo Deposit pada mesin teraan Meterai digital;
b. Deposit pada mesin teraan Meterai digital yang masih tersisa, dalam hal dilakukan pencabutan izin pembuatan Meterai Dalam Bentuk Lain berdasarkan permohonan Wajib Pajak;
c. Deposit untuk Meterai Komputerisasi yang masih tersisa, dalam hal dilakukan pencabutan izin pembuatan Meterai Dalam Bentuk Lain berdasarkan permohonan Wajib Pajak;
d. Deposit yang telah disetorkan ke kas negara atas tanda Bea Meterai lunas yang tercetak pada cek dan/atau bilyet giro yang tidak digunakan; dan
e. Deposit untuk Meterai Elektronik:
1. yang berasal dari penyetoran atas pemungutan Bea Meterai sampai dengan Masa Pajak Oktober 2024; dan
2. yang belum dibubuhkan untuk pemungutan Bea Meterai pada akhir Masa Pajak Oktober 2024.
(2) Deposit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diminta pengembalian oleh:
a. pihak pembayar yang bersangkutan, untuk Deposit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan huruf d; atau
b. Distributor, untuk Deposit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e,
dengan mengajukan permohonan pengembalian kepada Direktur Jenderal Pajak.
(3) Permohonan pengembalian yang diajukan oleh pihak pembayar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a harus dilampiri dengan Dokumen berupa:
a. penghitungan pajak yang seharusnya tidak terutang;
b. alasan permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang; dan
c. daftar cek dan/atau bilyet giro yang Bea Meterainya diajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang, untuk permohonan pengembalian Deposit yang telah disetorkan ke kas negara atas tanda Bea Meterai lunas yang tercetak pada cek dan/atau bilyet giro yang tidak digunakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d.
(4) Permohonan pengembalian yang diajukan oleh Distributor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b harus dilampiri dengan Dokumen berupa:
a. penghitungan pajak yang seharusnya tidak terutang;
b. alasan permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang;
c. surat pernyataan dari Perusahaan Umum (Perum) Percetakan Uang Republik Indonesia bahwa kompensasi atas Meterai Elektronik yang diajukan permohonan pengembalian belum dibayarkan, dalam hal kompensasi belum dibayarkan; dan
d. bukti pengembalian kompensasi ke kas negara atas Meterai Elektronik yang diajukan permohonan pengembalian, dalam hal kompensasi telah dibayarkan.

 

Pasal 75


(1) Pemungutan Bea Meterai yang lebih besar daripada Bea Meterai yang seharusnya dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 huruf b dapat diminta kembali oleh Pemungut Bea Meterai dengan mengajukan permohonan pengembalian.
(2) Permohonan pengembalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada Direktur Jenderal Pajak.
(3) Permohonan pengembalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri dengan Dokumen berupa:
a. SPT Masa Bea Meterai dan Bukti Penerimaan SPT Masa Bea Meterai yang menjadi dasar permohonan; dan
b. daftar cek dan/atau bilyet giro yang Bea Meterainya diajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang, dalam hal terdapat surat berharga berupa cek dan/atau bilyet giro yang Bea Meterainya telah dipungut tetapi tidak digunakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) huruf b.
(4) Dokumen berupa daftar cek dan/atau bilyet giro yang Bea Meterainya diajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan Pasal 74 ayat (3) huruf e dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf J yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

 

Pasal 76


(1) Permohonan pengembalian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 disampaikan:
a. secara langsung;
b. melalui pos, perusahaan jasa ekspedisi, atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat; atau
c. secara elektronik.
(2) Penyampaian permohonan pengembalian secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dilakukan dalam hal sistem sudah tersedia.
(3) Tata cara permohonan pengembalian dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai tata cara pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan serta yang mengatur mengenai tata cara pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang.
(4) Terhadap permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang diterima secara lengkap diterbitkan Bukti Penerimaan.

 

Pasal 77


(1) Direktur Jenderal Pajak meneliti kebenaran pembayaran pajak berdasarkan permohonan pengembalian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73.
(2) Dalam rangka penelitian kebenaran pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak dapat meminta Dokumen dan/atau keterangan kepada pemohon.
(3) Hasil penelitian berupa pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 huruf a diberikan dalam hal memenuhi ketentuan:
a. pajak yang seharusnya tidak terutang telah dibayar ke kas negara;
b. pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam huruf a belum diperhitungkan untuk pembayaran pajak yang terutang;
c. cek dan/atau bilyet giro tidak digunakan, untuk permohonan pengembalian Deposit yang telah disetorkan ke kas negara atas tanda Bea Meterai lunas yang tercetak pada cek dan/atau bilyet giro yang tidak digunakan; dan
d. kompensasi belum dibayarkan atau telah dikembalikan ke kas negara, untuk permohonan pengembalian Deposit Meterai Elektronik.
(4) Hasil penelitian berupa pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 huruf b diberikan dalam hal memenuhi ketentuan:
a. pajak yang seharusnya tidak terutang telah disetorkan ke kas negara;
b. penyetoran pajak sebagaimana dimaksud dalam huruf a belum diperhitungkan untuk pembayaran pajak yang terutang; dan
c. cek dan/atau bilyet giro tidak digunakan, untuk permohonan pengembalian yang disebabkan karena terdapat surat berharga berupa cek dan/atau bilyet giro yang Bea Meterainya telah dipungut tetapi tidak digunakan.
(5) Penelitian atas pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e dan ayat (4) huruf e dilakukan dengan:
a. mencocokkan fisik cek dan/atau bilyet giro dengan daftar cek dan/atau bilyet giro sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (3) huruf e atau Pasal 75 ayat (3) huruf b; dan
b. memastikan nomor seri cek dan/atau bilyet giro yang Bea Meterainya diajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang telah:
1. dilaporkan dalam SPT Masa Bea Meterai yang dibetulkan; dan
2. dikeluarkan dari daftar pemungutan dalam SPT Masa Bea Meterai pembetulan,
untuk permohonan pengembalian yang disebabkan karena pemungutan Bea Meterai yang lebih besar daripada Bea Meterai yang seharusnya dipungut.
(6) Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam laporan hasil penelitian atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang

  

Pasal 78


(1) Berdasarkan laporan hasil penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (6) Direktur Jenderal Pajak menerbitkan:
a. surat ketetapan pajak lebih bayar sebesar nilai lebih bayar berdasarkan hasil penelitian, dalam hal terdapat kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang; atau
b. surat pemberitahuan penolakan, dalam hal tidak terdapat kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang.
(2) Dalam hal terdapat kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang, selain menerbitkan surat ketetapan pajak lebih bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, Direktur Jenderal Pajak juga memusnahkan cek dan/atau bilyet giro yang Bea Meterainya diajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang, dengan cara dirajang atau dibakar.
(3) Pelaksanaan pemusnahan surat berharga berupa cek dan/atau bilyet giro sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan dengan bantuan Wajib Pajak yang membubuhkan Meterai Percetakan pada cek dan/atau bilyet giro.
(4) Pemusnahan cek dan/atau bilyet giro sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dituangkan dalam berita acara pemusnahan cek dan/atau bilyet giro.
(5) Tata cara penerbitan dan penyampaian surat ketetapan pajak lebih bayar dan surat pemberitahuan penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai tata cara pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan.
(6) Dokumen berupa berita acara pemusnahan cek dan/atau bilyet giro sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf K yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

 

Pasal 79


Direktur Jenderal Pajak melimpahkan kewenangan dalam bentuk delegasi kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar untuk:
a. menerbitkan surat ketetapan pajak lebih bayar dan surat pemberitahuan penolakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (1); dan
b. memusnahkan cek dan/atau bilyet giro sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (2).


BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN
 
Pasal 80


Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:
a. Kontrak dalam pencetakan Meterai Tempel, distribusi dan penjualan Meterai Tempel, serta pembuatan dan distribusi Meterai Elektronik yang dibuat berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 133/PMK.03/2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2021 tentang Pengadaan, Pengelolaan, dan Penjualan Meterai dinyatakan tetap berlaku sampai dengan terpenuhinya seluruh hak dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. besaran kompensasi pencetakan per keping Meterai Tempel, besaran kompensasi distribusi dan penjualan per keping Meterai Tempel, serta besaran kompensasi pembuatan dan distribusi per unit Meterai Elektronik yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 133/PMK.03/2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2021 tentang Pengadaan, Pengelolaan, dan Penjualan Meterai dinyatakan tetap berlaku;
c. izin pembuatan Meterai Dalam Bentuk Lain yang diterbitkan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 133/PMK.03/2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2021 tentang Pengadaan, Pengelolaan, dan Penjualan Meterai dinyatakan tetap berlaku sampai dengan masa berlaku izin berakhir atau izin dicabut;
d. tanda Bea Meterai lunas yang telah dibubuhkan pada surat berharga berupa cek dan bilyet giro dengan menggunakan teknologi percetakan berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 133b/KMK.04/2000 tentang Pelunasan Bea Meterai dengan Menggunakan Cara Lain dapat digunakan untuk pembayaran Bea Meterai yang terutang;
e. selisih antara Bea Meterai yang seharusnya terutang dan tarif Bea Meterai yang tertera pada tanda Bea Meterai lunas sebagaimana dimaksud dalam huruf d wajib dilunasi dengan menggunakan Meterai Teraan atau Surat Setoran Pajak, paling lama sebelum Dokumen digunakan;
f. pemungutan Bea Meterai atas Dokumen kertas dilakukan dengan menggunakan tanda pemungutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (4) sampai dengan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak berlakunya Peraturan Menteri ini;
g. penyetoran atas pemungutan Bea Meterai dengan menggunakan Meterai Elektronik sampai dengan Masa Pajak Oktober 2024 diperhitungkan sebagai Deposit yang merupakan:
1. Meterai Elektronik yang dapat dijual kepada pengecer dan masyarakat umum; atau
2. Deposit yang belum digunakan dan/atau masih tersisa yang dapat diajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang,
bagi Distributor;
h. Meterai Elektronik yang belum dibubuhkan untuk pemungutan Bea Meterai pada akhir Masa Pajak Oktober 2024 dikembalikan sebagai Deposit yang merupakan:
1. Meterai Elektronik yang dapat dijual kepada pengecer dan masyarakat umum; atau
2. Deposit yang belum digunakan dan/atau masih tersisa yang dapat diajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang,
bagi Distributor.
 
 

BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
 
Pasal 81


Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:
a. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 133/PMK.03/2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2021 tentang Pengadaan, Pengelolaan, dan Penjualan Meterai (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 1108);
b. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 134/PMK.03/2021 tentang Pembayaran Bea Meterai, Ciri Umum dan Ciri Khusus pada Meterai Tempel, Kode Unik dan Keterangan Tertentu pada Meterai Elektronik, Meterai Dalam Bentuk Lain, dan Penentuan Keabsahan Meterai, serta Pemeteraian Kemudian (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 1109); dan
c. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 151/PMK.03/2021 tentang Penetapan Pemungut Bea Meterai dan Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Bea Meterai (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 1203),
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
  

Pasal 82


Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal 1 November 2024.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
 



  Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 11 Oktober 2024
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

SRI MULYANI INDRAWATI

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 18 Oktober 2024
PLT. DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

ASEP N. MULYANA



BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2024 NOMOR 768