Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 81 Tahun 2024

Kategori : KUP

Ketentuan Perpajakan Dalam Rangka Pelaksanaan Sistem Inti Administrasi Perpajakan


PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 81 TAHUN 2024

TENTANG

KETENTUAN PERPAJAKAN DALAM RANGKA PELAKSANAAN SISTEM INTI ADMINISTRASI PERPAJAKAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

  
Menimbang :

  1. bahwa untuk melaksanakan pembaruan sistem administrasi perpajakan yang lebih transparan, efektif, efisien, akuntabel, dan fleksibel, perlu dilakukan penataan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang berkeadilan dan berkepastian hukum guna meningkatkan penerimaan pajak dan mendukung perekonomian nasional;
  2. bahwa penataan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dilakukan dalam lingkup proses bisnis, serta teknologi informasi dan basis data di antaranya melalui penyesuaian pengaturan pendaftaran wajib pajak dan pengukuhan pengusaha kena pajak, pembayaran dan penyetoran pajak, pelaporan pajak, serta layanan administrasi perpajakan;
  3. berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 9 Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2018 tentang Pembaruan Sistem Administrasi Perpajakan, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Ketentuan Perpajakan dalam Rangka Pelaksanaan Sistem Inti Administrasi Perpajakan;


Mengingat :

  1. Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang­-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856);
  3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856);
  4. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang­-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856);
  5. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3312) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3569);
  6. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916);
  7. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2020 tentang Bea Meterai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 240, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6571);
  8. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 246, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6736);
  9. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Bersama Sumber Daya Alam Minyak dan Gas Bumi di Aceh (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 99, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5696);
  10. Peraturan Pemerintah Nomor 93 Tahun 2021 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan atas Pengalihan Partisipasi Interes pada Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 201, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6717);
  11. Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2022 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 226, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6834);
  12. Peraturan Presiden Nomor 57 Tahun 2020 tentang Kementerian Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 98);
  13. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.03/2021 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja di Bidang Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, serta Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 153);
  14. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.01/2021 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 1031) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 135 Tahun 2023 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.01/2021 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 977);
  15. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 112/PMK.03/2022 tentang Nomor Pokok Wajib Pajak bagi Wajib Pajak Orang Pribadi, Wajib Pajak Badan, dan Wajib Pajak Instansi Pemerintah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 660) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 136 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 112/PMK.03/2022 tentang Nomor Pokok Wajib Pajak bagi Wajib Pajak Orang Pribadi, Wajib Pajak Badan, dan Wajib Pajak Instansi Pemerintah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 983);

 

MEMUTUSKAN:


Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG KETENTUAN PERPAJAKAN DALAM RANGKA PELAKSANAAN SISTEM INTI ADMINISTRASI PERPAJAKAN.

 

 
BAB I
KETENTUAN UMUM
 
Pasal 1


Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan:

  1. Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang.
  2. Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah Undang­-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang.
  3. Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang.
  4. Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan adalah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan.
  5. Undang-Undang Bea Meterai adalah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2020 tentang Bea Meterai.
  6. Pajak Penghasilan adalah pajak penghasilan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan.
  7. Pajak Penghasilan Pasal 22 adalah Pajak Penghasilan sebagaimana diatur dalam Pasal 22 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
  8. Pajak Penghasilan Pasal 29 adalah Pajak Penghasilan sebagaimana diatur dalam Pasal 29 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
  9. Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak pertambahan nilai sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.
  10. Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah pajak penjualan atas barang mewah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.
  11. Pajak Bumi dan Bangunan adalah pajak bumi dan bangunan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan selain pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan.
  12. Bea Meterai adalah pajak atas dokumen sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Bea Meterai.
  13. Pajak Karbon adalah pajak yang dikenakan atas emisi karbon yang memberikan dampak negatif bagi lingkungan hidup.
  14. Pajak Penjualan adalah pajak yang dipungut atas penyerahan barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh pengusaha di dalam daerah pabean dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Darurat Nomor 19 Tahun 1951 tentang Pemungutan Pajak Penjualan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1968 tentang Perobahan/Tambahan Undang-Undang Pajak Penjualan 1951.
  15. Pajak Dalam Rangka Impor adalah Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 22.
  16. Pajak Keluaran adalah Pajak Pertambahan Nilai terutang yang wajib dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan barang kena pajak, penyerahan jasa kena pajak, ekspor barang kena pajak berwujud, ekspor barang kena pajak tidak berwujud, dan/atau ekspor jasa kena pajak.
  17. Pajak Masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar oleh pengusaha kena pajak karena perolehan barang kena pajak dan/atau perolehan jasa kena pajak dan/atau pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean dan/atau pemanfaatan jasa kena pajak dari luar daerah pabean dan/atau impor barang kena pajak.
  18. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
  19. Pengusaha Kena Pajak adalah pengusaha yang melakukan penyerahan barang kena pajak dan/atau penyerahan jasa kena pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.
  20. Surat Pemberitahuan adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­-undangan di bidang perpajakan.
  21. Portal Wajib Pajak adalah sarana Wajib Pajak untuk melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan secara elektronik pada laman Direktorat Jenderal Pajak.
  22. Contact Center adalah saluran interaksi antara Wajib Pajak dan Direktorat Jenderal Pajak secara elektronik yang dikelola unit tertentu di Direktorat Jenderal Pajak dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.
  23. Kantor Pelayanan Pajak adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Pajak yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak.
  24. Kantor Pelayanan, Penyuluhan, dan Konsultasi Perpajakan adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Pajak yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak.
  25. Waktu Indonesia Barat adalah waktu Indonesia barat sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden tentang pembagian wilayah Republik Indonesia menjadi 3 (tiga) wilayah waktu.
  26. Akun Wajib Pajak adalah tempat pencatatan, penyimpanan, dan penyampaian dokumen, data, dan/atau informasi terkait pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak maupun dari pelaksanaan tugas dan fungsi Direktorat Jenderal Pajak, yang diidentifikasi menggunakan nomor pokok wajib pajak.
  27. Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange, surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
  28. Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui komputer atau sistem elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
  29. Surat Ketetapan Pajak adalah surat ketetapan yang meliputi surat ketetapan pajak kurang bayar, surat ketetapan pajak kurang bayar tambahan, surat ketetapan pajak nihil, atau surat ketetapan pajak lebih bayar.
  30. Tanda Tangan Elektronik adalah tanda tangan yang terdiri atas Informasi Elektronik yang dilekatkan, terasosiasi atau terkait dengan Informasi Elektronik lainnya yang digunakan sebagai alat verifikasi dan autentikasi.
  31. Sertifikat Elektronik adalah sertifikat yang bersifat elektronik yang memuat Tanda Tangan Elektronik dan identitas yang menunjukkan status subjek hukum para pihak dalam transaksi elektronik yang dikeluarkan oleh penyelenggara sertifikasi elektronik.
  32. Penyelenggara Sertifikasi Elektronik adalah badan hukum yang berfungsi sebagai pihak yang layak dipercaya, yang memberikan dan mengaudit Sertifikat Elektronik.
  33. Instansi Pemerintah adalah instansi pemerintah pusat, instansi pemerintah daerah, dan instansi pemerintah desa, yang melaksanakan kegiatan pemerintahan serta memiliki kewenangan dan tanggungjawab penggunaan anggaran.
  34. Kode Otorisasi adalah alat verifikasi dan autentikasi yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk melakukan Tanda Tangan Elektronik tidak tersertifikasi yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
  35. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya, termasuk kontrak investasi kolektif, bentuk usaha tetap, serta kantor perwakilan perusahaan asing dan kontrak investasi bersama.
  36. Wajib Pajak warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak yang selanjutnya disebut Wajib Pajak Warisan Belum Terbagi adalah Wajib Pajak warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
  37. Instansi Pemerintah Pusat adalah satuan kerja pada kementerian, lembaga pemerintah nonkementerian, kesekretariatan lembaga negara, dan kesekretariatan lembaga nonstruktural, termasuk badan layanan umum, selaku pengguna anggaran pendapatan dan belanja negara yang wajib menyelenggarakan akuntansi dan menyusun laporan keuangan sesuai standar akuntansi pemerintahan.
  38. Instansi Pemerintah Daerah adalah satuan kerja perangkat daerah provinsi dan satuan kerja perangkat daerah kabupaten/kota, termasuk badan layanan umum daerah, selaku pengguna anggaran pendapatan dan belanja daerah yang wajib menyelenggarakan akuntansi dan menyusun laporan keuangan sesuai standar akuntansi pemerintahan.
  39. Instansi Pemerintah Desa adalah unit organisasi penyelenggara pemerintahan desa selaku pengguna anggaran pendapatan dan belanja desa yang wajib menyelenggarakan akuntansi dan menyusun laporan keuangan sesuai standar akuntansi pemerintahan.
  40. Surat Tagihan Pajak adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
  41. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar adalah Surat Ketetapan Pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administratif, dan jumlah pajak yang masih harus dibayar.
  42. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan adalah Surat Ketetapan Pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan.
  43. Surat Ketetapan Pajak Nihil adalah Surat Ketetapan Pajak yang menentukan jumlah pokok pajak sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.
  44. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar adalah Surat Ketetapan Pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar daripada pajak yang terutang atau seharusnya tidak terutang.
  45. Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan adalah surat ketetapan yang menentukan besarnya pokok Pajak Bumi dan Bangunan atau selisih pokok Pajak Bumi dan Bangunan, besarnya denda administratif, dan jumlah Pajak Bumi dan Bangunan yang masih harus dibayar.
  46. Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan adalah Surat Tagihan Pajak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan.
  47. Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan yang membetulkan kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan yang terdapat dalam Surat Ketetapan Pajak, Surat Tagihan Pajak, surat keputusan pembetulan, surat keputusan keberatan, surat keputusan pengurangan sanksi administratif, surat keputusan penghapusan sanksi administratif, surat keputusan pengurangan ketetapan pajak, surat keputusan pembatalan ketetapan pajak, surat keputusan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak, surat keputusan pemberian imbalan bunga, surat pemberitahuan pajak terutang, Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan, Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan, surat keputusan pemberian pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan, surat keputusan pengurangan denda administrasi Pajak Bumi dan Bangunan, atau surat keputusan persetujuan bersama.
  48. Surat Keputusan Persetujuan Bersama adalah surat keputusan yang diterbitkan untuk menindaklanjuti kesepakatan dalam persetujuan bersama.
  49. Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Nihil, Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, surat pemberitahuan pajak terutang, Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan, pemotongan pajak oleh pihak ketiga, atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga.
  50. Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi adalah surat keputusan yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak yang berisi mengenai:
    1. pengurangan sanksi administratif sebagaimana tercantum dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, atau Surat Tagihan Pajak; atau
    2. penolakan atas permohonan pengurangan sanksi administratif yang diajukan oleh Wajib Pajak.
  51. Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi adalah surat keputusan yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak yang berisi mengenai:
    1. penghapusan sanksi administratif sebagaimana tercantum dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, atau Surat Tagihan Pajak; atau
    2. penolakan atas permohonan penghapusan sanksi administratif yang diajukan oleh Wajib Pajak.
  52. Surat Keputusan Pengurangan Denda Administrasi Pajak Bumi dan Bangunan adalah surat keputusan yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak yang berisi mengenai:
    1. pengurangan denda administratif Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana tercantum dalam Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan atau Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan; atau
    2. penolakan atas permohonan pengurangan denda administratif Pajak Bumi dan Bangunan yang diajukan oleh Wajib Pajak.
  53. Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak adalah surat keputusan yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak yang berisi mengenai:
    1. pengurangan atas materi penetapan yang tidak benar dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Nihil, Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, atau Surat Tagihan Pajak;
    2. pengurangan atas jumlah pajak yang tidak benar dalam surat pemberitahuan pajak terutang;
    3. pengurangan jumlah pokok pajak, jumlah selisih pokok pajak, dan/atau denda administratif yang tidak benar dalam Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan; atau
    4. penolakan atas permohonan pengurangan yang diajukan oleh Wajib Pajak.
  54. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang adalah surat yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk memberitahukan besarnya Pajak Bumi dan Bangunan yang terutang kepada Wajib Pajak.
  55. Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak adalah surat keputusan yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak yang berisi mengenai:
    1. pembatalan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Nihil, Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, Surat Tagihan Pajak, Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan, atau Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan; atau
    2. penolakan atas permohonan pembatalan yang diajukan oleh Wajib Pajak.
  56. Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak adalah surat keputusan yang menentukan jumlah pengembalian pendahuluan kelebihan pajak untuk Wajib Pajak tertentu.
  57. Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga adalah surat keputusan yang menentukan besarnya imbalan bunga yang diberikan kepada Wajib Pajak.
  58. Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak adalah surat keputusan yang digunakan sebagai dasar untuk menerbitkan surat perintah membayar kelebihan pajak.
  59. Segel Elektronik adalah data elektronik yang dilekatkan, terasosiasi, atau terkait dengan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik untuk menjamin asal, integritas, dan keutuhan dari Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang digunakan oleh badan usaha atau instansi.
  60. Nomor Pokok Wajib Pajak adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.
  61. Warga Negara Indonesia adalah orang bangsa Indonesia asli atau orang bangsa lain yang telah disahkan sebagai warga negara Indonesia berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kewarganegaraan Republik Indonesia.
  62. Penduduk adalah Warga Negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia.
  63. Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu adalah Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha perdagangan atau jasa, tidak termasuk jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, pada 1 (satu) atau lebih tempat kegiatan usaha yang berbeda dengan tempat tinggal Wajib Pajak sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
  64. Nomor Identitas Tempat Kegiatan Usaha adalah nomor identitas yang diberikan untuk setiap tempat kegiatan usaha Wajib Pajak, termasuk tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak.
  65. Nomor Induk Kependudukan adalah nomor identitas Penduduk yang bersifat unik atau khas, tunggal, dan melekat pada seseorang yang terdaftar sebagai Penduduk Indonesia.
  66. Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender kecuali untuk Pajak Penghasilan dapat menggunakan tahun buku dalam hal Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
  67. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang­-undangan di bidang perpajakan.
  68. Wajib Pajak Nonaktif adalah Wajib Pajak yang tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif namun belum dilakukan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak.
  69. Surat Keterangan Warga Negara Indonesia Memenuhi Persyaratan Menjadi Subjek Pajak Luar Negeri adalah surat yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak atas nama Direktur Jenderal Pajak yang menerangkan bahwa Warga Negara Indonesia memenuhi persyaratan menjadi subjek pajak luar negeri.
  70. Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak adalah tindakan menghapuskan Nomor Pokok Wajib Pajak dari administrasi Direktorat Jenderal Pajak.
  71. Utang Pajak adalah pajak yang masih harus dibayar termasuk sanksi administratif berupa bunga, denda, atau kenaikan yang tercantum dalam surat ketetapan pajak atau surat sejenisnya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
  72. Prosedur Persetujuan Bersama (Mutual Agreement Procedure) adalah prosedur administratif yang diatur dalam persetujuan penghindaran pajak berganda untuk menyelesaikan permasalahan yang timbul dalam penerapan persetujuan penghindaran pajak berganda.
  73. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
  74. Pengusaha adalah orang pribadi atau Badan dalam bentuk apapun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar daerah pabean, melakukan usaha jasa termasuk mengekspor jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar daerah pabean.
  75. Kantor Virtual (virtual office) atau Kantor Bersama (co­-working space), yang selanjutnya disebut Kantor Virtual, adalah suatu kantor yang memiliki ruangan fisik dan dilengkapi dengan layanan pendukung kantor yang disediakan oleh Pengusaha jasa kantor virtual untuk dapat digunakan sebagai tempat kedudukan, tempat kegiatan usaha, atau korespondensi secara bersama-sama oleh 2 (dua) atau lebih Pengusaha yang atas pemanfaatan kantor dimaksud terdapat pembayaran dalam bentuk apapun, tidak termasuk jasa persewaan gedung dan jasa persewaan kantor (serviced office).
  76. Warga Negara Asing adalah setiap orang yang bukan Warga Negara Indonesia.
  77. Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan barang kena pajak atau penyerahan jasa kena pajak.
  78. Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak adalah tindakan mencabut pengukuhan Pengusaha Kena Pajak dari administrasi Direktorat Jenderal Pajak.
  79. Masa Pajak adalah jangka waktu yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang dalam suatu jangka waktu tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
  80. Bagian Tahun Pajak adalah bagian dari jangka waktu 1 (satu) Tahun Pajak.
  81. Kontrak Kerja Sama adalah kontrak bagi hasil atau bentuk kontrak kerja sama lain dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi yang lebih menguntungkan negara dan hasilnya dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
  82. Surat Keterangan Terdaftar Objek Pajak adalah surat keterangan yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak sebagai pemberitahuan bahwa objek pajak dan Wajib Pajak telah terdaftar dalam sistem administrasi perpajakan Direktorat Jenderal Pajak.
  83. Kontraktor adalah badan usaha atau bentuk usaha tetap yang ditetapkan untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi pada suatu wilayah kerja berdasarkan Kontrak Kerja Sama dengan satuan kerja khusus pelaksana kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi atau badan pengelola migas Aceh sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  84. Lembaga Pengelola dan Penyelenggara Online Single Submission yang selanjutnya disebut Lembaga Online Single Submission adalah lembaga pemerintah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang investasi/koordinasi penanaman modal.
  85. Nomor Objek Pajak adalah nomor identitas objek pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
  86. Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan yang selanjutnya disebut Objek Pajak adalah bumi dan/atau bangunan yang merupakan objek pajak Pajak Bumi dan Bangunan sektor perkebunan, Pajak Bumi dan Bangunan sektor perhutanan, Pajak Bumi dan Bangunan sektor pertambangan minyak dan gas bumi, Pajak Bumi dan Bangunan sektor pertambangan untuk pengusahaan panas bumi, Pajak Bumi dan Bangunan sektor pertambangan mineral atau batubara, dan Pajak Bumi dan Bangunan sektor lainnya.
  87. Surat Pemberitahuan Objek Pajak adalah surat yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk melaporkan data Objek Pajak menurut ketentuan Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan yang dilampiri dengan lampiran surat pemberitahuan Objek Pajak yang merupakan bagian tidak terpisahkan dengan surat pemberitahuan Objek Pajak.
  88. Surat Pemberitahuan Objek Pajak Elektronik adalah Surat Pemberitahuan Objek Pajak dalam bentuk Dokumen Elektronik.
  89. Pendataan adalah kegiatan Direktorat Jenderal Pajak untuk memperoleh, melengkapi, dan menatausahakan data Objek Pajak dan/atau Wajib Pajak, termasuk informasi geografis Objek Pajak untuk keperluan administrasi perpajakan.
  90. Barang Kena Pajak adalah barang yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.
  91. Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai adalah surat yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran Pajak Pertambahan Nilai, objek Pajak Pertambahan Nilai dan/atau bukan objek Pajak Pertambahan Nilai sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan untuk suatu Masa Pajak.
  92. Jasa Kena Pajak adalah jasa yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.
  93. Surat Pemberitahuan Masa adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu Masa Pajak.
  94. Pemungut Pajak Pertambahan Nilai adalah bendahara pemerintah, Badan, atau Instansi Pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk memungut, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang oleh Pengusaha Kena Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada bendahara pemerintah, Badan, atau Instansi Pemerintah tersebut.
  95. Pihak Lain adalah pihak yang terlibat langsung atau memfasilitasi transaksi antarpihak yang bertransaksi yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk melakukan pemotongan, pemungutan, penyetoran, dan/atau pelaporan pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 32A Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
  96. Surat Pemberitahuan Tahunan adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak.
  97. Putusan Banding adalah putusan badan peradilan pajak atas banding terhadap Surat Keputusan Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak.
  98. Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan adalah pembahasan antara Wajib Pajak dan pemeriksa pajak atas temuan Pemeriksaan yang hasilnya dituangkan dalam berita acara pembahasan akhir hasil Pemeriksaan yang ditandatangani oleh kedua belah pihak dan berisi koreksi pokok pajak terutang baik yang disetujui maupun yang tidak disetujui dan perhitungan sanksi administratif.
  99. Putusan Peninjauan Kembali adalah putusan Mahkamah Agung atas permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Wajib Pajak atau oleh Direktur Jenderal Pajak terhadap Putusan Banding atau putusan gugatan dari badan peradilan pajak.
  100. Jasa adalah setiap kegiatan pelayanan yang berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang, fasilitas, kemudahan, atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dihasilkan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan.
  101. Kas Negara adalah tempat penyimpanan uang negara yang ditentukan oleh Menteri Keuangan selaku bendahara umum negara untuk menampung seluruh penerimaan negara dan untuk membayar seluruh pengeluaran negara.
  102. Collecting Agent adalah agen penerimaan meliputi bank persepsi, pos persepsi, bank persepsi valas, lembaga persepsi lainnya, atau lembaga persepsi lainnya valas yang ditunjuk oleh kuasa bendahara umum negara pusat untuk menerima setoran penerimaan negara.
  103. Surat Setoran Pajak adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke Kas Negara melalui Collecting Agent.
  104. Meterai adalah label atau carik dalam bentuk tempel, elektronik, atau bentuk lainnya yang memiliki ciri dan mengandung unsur pengaman yang dikeluarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia, yang digunakan untuk membayar pajak atas dokumen.
  105. Bukti Penerimaan Negara adalah dokumen yang diterbitkan oleh Collecting Agent atas transaksi penerimaan negara yang mencantumkan nomor transaksi penerimaan negara dan nomor transaksi bank/nomor transaksi pos/nomor transaksi lembaga persepsi lainnya sebagai sarana administrasi lain yang kedudukannya disamakan dengan surat setoran.
  106. Surat Setoran Pabean, Cukai, dan Pajak adalah surat setoran atas penerimaan negara dalam rangka impor berupa bea masuk, denda administrasi, penerimaan pabean lainnya, cukai, penerimaan cukai lainnya, jasa pekerjaan, bunga dan Pajak Penghasilan Pasal 22 Impor, Pajak Pertambahan Nilai Impor, serta Pajak Penjualan atas Barang Mewah Impor.
  107. Bukti Pemindahbukuan adalah bukti yang menunjukkan bahwa telah dilakukan pemindahbukuan.
  108. Pemindahbukuan adalah suatu proses memindahbukukan penerimaan pajak untuk dibukukan pada penerimaan pajak yang sesuai.
  109. Surat Perintah Pencairan Dana adalah surat perintah yang diterbitkan oleh kantor pelayanan perbendaharaan negara selaku kuasa bendahara umum negara untuk pelaksanaan pengeluaran atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara berdasarkan surat perintah membayar kelebihan pajak atau surat perintah membayar imbalan bunga.
  110. Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi adalah satuan kerja penyelenggara pengelolaan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi yang dibentuk sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pengelolaan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.
  111. Badan Pengelola Migas Aceh adalah suatu badan pemerintah yang dibentuk untuk melakukan pengelolaan dan pengendalian bersama kegiatan usaha hulu di bidang minyak dan gas bumi yang berada di darat dan laut di wilayah kewenangan Aceh (0 s.d. 12 mil laut).
  112. Deposit Pajak adalah pembayaran pajak yang belum merujuk pada kewajiban pajak tertentu.
  113. Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau Jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca, dan laporan laba rugi untuk periode Tahun Pajak tersebut.
  114. Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat tertentu di zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen yang di dalamnya berlaku undang-undang yang mengatur mengenai kepabeanan.
  115. Perdagangan Melalui Sistem Elektronik adalah perdagangan yang transaksinya dilakukan melalui serangkaian perangkat dan prosedur elektronik.
  116. Bank Persepsi Valas adalah bank devisa yang ditunjuk oleh kuasa bendahara umum negara pusat untuk menerima setoran penerimaan negara dalam mata uang asing dari dalam negeri dan/atau luar negeri.
  117. Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak adalah surat perintah dari Kepala Kantor Pelayanan Pajak kepada kantor pelayanan perbendaharaan negara untuk menerbitkan Surat Perintah Pencairan Dana sebagai dasar kompensasi Utang Pajak dan/atau dasar pembayaran kembali kelebihan pembayaran pajak kepada Wajib Pajak.
  118. Penghasilan Bruto adalah semua penghasilan yang diterima dan/atau diperoleh dari kegiatan usaha dan dari luar kegiatan usaha, setelah dikurangi dengan retur dan pengurangan penjualan serta potongan tunai dalam Tahun Pajak yang bersangkutan, sebelum dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia.
  119. Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda adalah perjanjian antara Pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara mitra atau yurisdiksi mitra dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak.
  120. Surat Penetapan Tarif dan/atau Nilai Pabean adalah surat penetapan pejabat bea dan cukai sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri yang mengatur mengenai tata cara penetapan tarif, nilai pabean, dan sanksi administratif, serta penetapan Direktur Jenderal Bea dan Cukai atau pejabat bea dan cukai.
  121. Surat Penetapan Kembali Tarif dan/atau Nilai Pabean adalah surat penetapan pejabat bea dan cukai sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri yang mengatur mengenai tata cara penetapan tarif, nilai pabean, dan sanksi administratif, serta penetapan Direktur Jenderal Bea dan Cukai atau pejabat bea dan cukai.
  122. Surat Pemberitahuan Kekurangan Pembayaran Bea Masuk, Cukai, Denda Administrasi, Bunga, dan Pajak Dalam Rangka Impor adalah formulir penagihan untuk menagih bea masuk, cukai, denda administrasi, bunga, dan Pajak Dalam Rangka Impor yang tidak atau kurang dibayar oleh importir, pengangkut, pengusaha tempat penimbunan sementara, pengusaha tempat penimbunan berikat, atau pengusaha pengurusan jasa kepabeanan, yang diterbitkan oleh pejabat bea dan cukai sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri yang mengatur mengenai tata cara penagihan piutang bea masuk, cukai, denda administrasi, bunga, dan Pajak Dalam Rangka Impor.
  123. Surat Penetapan Pabean adalah surat penetapan pejabat bea dan cukai sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri yang mengatur mengenai tata cara penetapan tarif, nilai pabean, dan sanksi administratif, serta penetapan Direktur Jenderal Bea dan Cukai atau pejabat bea dan cukai.
  124. Persetujuan Bersama adalah hasil yang telah disepakati dalam penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda oleh pejabat berwenang dari pemerintah Indonesia dan pejabat berwenang dari pemerintah mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda sehubungan dengan Prosedur Persetujuan Bersama (Mutual Agreement Procedure) yang telah dilaksanakan.
  125. Surat Keterangan Domisili Wajib Pajak Luar Negeri adalah surat keterangan yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang di bidang perpajakan (competent authority) atau pejabat yang ditunjuk berdasarkan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang berisi status domisili (resident) subjek pajak luar negeri dengan menggunakan formulir sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
  126. Surat Perintah Membayar Imbalan Bunga adalah surat yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak atas nama Menteri untuk membayar imbalan bunga kepada Wajib Pajak.
  127. Arsip Data Komputer adalah arsip data dalam bentuk softcopy yang disimpan dalam media penyimpanan digital.
  128. Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang memperoleh kuasa dari bendahara umum negara untuk melaksanakan sebagian fungsi kuasa bendahara umum negara.
  129. Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Unifikasi adalah Surat Pemberitahuan Masa yang digunakan oleh pemotong atau pemungut Pajak Penghasilan untuk melaporkan kewajiban pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan, penyetoran atas pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan, dan/atau penyetoran sendiri atas beberapa jenis Pajak Penghasilan dalam 1 (satu) Masa Pajak, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
  130. Lifting adalah sejumlah minyak bumi dan/atau gas bumi yang tersedia untuk dijual atau dibagi di titik penyerahan (custody transfer point).
  131. Real Estat adalah tanah secara fisik dan bangunan yang ada di atasnya.
  132. Kontrak Investasi Kolektif adalah kontrak investasi kolektif sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pasar modal.
  133. Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 adalah angsuran Pajak Penghasilan dalam Tahun Pajak berjalan untuk suatu bulan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 25 Undang­-Undang Pajak Penghasilan.
  134. Penelitian Surat Pemberitahuan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menilai kelengkapan pengisian Surat Pemberitahuan dan lampiran­-lampirannya termasuk penilaian tentang kebenaran penulisan dan perhitungannya.
  135. Badan Usaha Milik Negara adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.
  136. Special Purpose Company adalah perseroan terbatas yang sahamnya dimiliki oleh dana investasi Real Estat berbentuk Kontrak Investasi Kolektif paling kurang 99,9% (sembilan puluh sembilan koma sembilan persen) dari modal disetor yang dibentuk semata-mata untuk kepentingan dana investasi Real Estat berbentuk Kontrak Investasi Kolektif.
  137. Dana Investasi Real Estat adalah wadah yang dipergunakan untuk menghimpun dana dari masyarakat pemodal untuk selanjutnya diinvestasikan pada aset Real Estat, aset yang berkaitan dengan Real Estat, dan/atau kas dan setara kas.
  138. Surat Keterangan Fiskal adalah informasi mengenai kepatuhan Wajib Pajak selama periode tertentu untuk memenuhi persyaratan memperoleh pelayanan atau dalam rangka pelaksanaan kegiatan tertentu yang diberikan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
  139. Kontraktor Kontrak Kerja Sama Minyak dan Gas Bumi adalah badan usaha atau bentuk usaha tetap yang ditetapkan untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi pada suatu wilayah kerja berdasarkan Kontrak Kerja Sama dengan badan pelaksana.
  140. Uplift adalah imbalan yang diterima oleh Kontraktor sehubungan dengan penyediaan dana talangan untuk pembiayaan operasi kontrak bagi hasil yang seharusnya merupakan kewajiban partisipasi Kontraktor lain, yang ada dalam satu Kontrak Kerja Sama, dalam pembiayaan.
  141. Partisipasi Interes adalah hak, kepentingan, dan kewajiban kontraktor berdasarkan Kontrak Kerja Sama di bidang minyak dan gas bumi.
  142. Eksploitasi adalah rangkaian kegiatan yang bertujuan untuk menghasilkan minyak dan gas bumi dari wilayah kerja yang ditentukan, yang terdiri atas pengeboran dan penyelesaian sumur, pembangunan sarana pengangkutan, penyimpanan, dan pengolahan untuk pemisahan dan pemurnian minyak dan gas bumi di lapangan, serta kegiatan lain yang mendukungnya.
  143. Eksplorasi adalah kegiatan yang bertujuan memperoleh informasi mengenai kondisi geologi untuk menemukan dan memperoleh perkiraan cadangan minyak dan gas bumi di wilayah kerja yang ditentukan.
  144. Uang Persediaan adalah uang muka kerja dalam jumlah tertentu yang diberikan kepada bendahara pengeluaran untuk membiayai kegiatan operasional sehari-hari satuan kerja atau membiayai pengeluaran yang menurut sifat dan tujuannya tidak mungkin dilakukan melalui mekanisme pembayaran langsung.
  145. Wajib Pajak Baru adalah Wajib Pajak orang pribadi dan Badan yang baru terdaftar pada suatu Tahun Pajak, termasuk Wajib Pajak dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, pengambilalihan usaha dan/atau perubahan bentuk badan usaha.
  146. Wajib Pajak lainnya yang berdasarkan ketentuan diharuskan membuat laporan keuangan berkala yang selanjutnya disebut Wajib Pajak Lainnya adalah Wajib Pajak yang melaksanakan kegiatan di sektor perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan dan lembaga jasa keuangan lainnya sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang­-undangan.
  147. Penanaman Modal adalah segala bentuk kegiatan menanam modal, baik oleh penanam modal dalam negeri maupun penanam modal asing untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia.
  148. Pelaku Usaha adalah orang perseorangan atau badan usaha yang melakukan usaha dan/atau kegiatan pada bidang tertentu.
  149. Perseroan adalah perseroan terbatas dalam negeri yang sahamnya diperjualbelikan oleh pemegang saham Wajib Pajak luar negeri dan tidak berstatus sebagai emiten atau perusahaan publik sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan.
  150. Perusahaan Asuransi adalah perusahaan asuransi umum dan perusahaan asuransi jiwa.
  151. Dividen adalah bagian laba yang diterima atau diperoleh pemegang saham.
  152. Wilayah Kerja adalah daerah tertentu di dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia untuk pelaksanaan eksplorasi dan eksploitasi.
  153. Harga Minyak Mentah Indonesia (Indonesian Crude Price) adalah harga minyak mentah yang ditetapkan oleh pemerintah dengan suatu formula dalam rangka pelaksanaan Kontrak Kerja Sama minyak bumi dan/atau gas bumi serta penjualan minyak mentah bagian pemerintah yang berasal dari pelaksanaan Kontrak Kerja Sama minyak bumi dan/atau gas bumi.
  154. Overlifting Kontraktor adalah kelebihan pengambilan minyak dan/atau gas bumi oleh Kontraktor dibandingkan dengan haknya yang diatur dalam Kontrak Kerja Sama pada periode tertentu.
  155. Underlifting Kontraktor adalah kekurangan pengambilan minyak dan/atau gas bumi oleh Kontraktor dibandingkan dengan haknya yang diatur dalam Kontrak Kerja Sama pada periode tertentu.
  156. Nomor Transaksi Penerimaan Negara adalah nomor unik tanda bukti pembayaran/penyetoran ke Kas Negara yang diterbitkan sistem settlement terdiri dari kombinasi huruf dan angka.
  157. Nomor Transaksi Bank adalah nomor bukti transaksi penyetoran penerimaan negara yang diterbitkan bank persepsi atau Bank Persepsi Valas.
  158. Operator adalah Kontraktor atau dalam hal Kontraktor terdiri atas beberapa pemegang Partisipasi Interes, salah satu pemegang Partisipasi Interes yang ditunjuk sebagai wakil oleh pemegang Partisipasi Interes lainnya sesuai dengan Kontrak Kerja Sama.
  159. Partner adalah Kontraktor yang memiliki Partisipasi Interes dalam suatu Wilayah Kerja dan tidak bertindak sebagai Operator.
  160. Barang Bawaan adalah Barang Kena Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang dibeli oleh turis asing dari Pengusaha Kena Pajak toko retail dan dibawa keluar Daerah Pabean sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan oleh yang bersangkutan dengan menggunakan moda transportasi pesawat udara.
  161. Orang Pribadi Pemegang Paspor Luar Negeri yang selanjutnya disebut Turis Asing adalah orang pribadi yang memiliki paspor yang diterbitkan oleh negara lain.
  162. Pengusaha Kena Pajak Toko Retail adalah Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak melalui toko retail.
  163. Unit Pelaksana Restitusi Pajak Pertambahan Nilai Bandar Udara adalah unit khusus dari Kantor Pelayanan Pajak, yang lokasi kerjanya meliputi suatu tempat sebelum check in counter di bandar udara dan bertugas memproses permintaan pengembalian Pajak Pertambahan Nilai bagi Turis Asing.
  164. Konter Pemeriksaan Barang Bawaan yang selanjutnya disebut Konter Pemeriksaan adalah bagian dari Unit Pelaksana Restitusi Pajak Pertambahan Nilai Bandar Udara yang bertugas memeriksa Barang Bawaan.
  165. Formulir Permintaan Pengembalian Pajak Pertambahan Nilai adalah formulir yang digunakan oleh Turis Asing untuk meminta kembali Pajak Pertambahan Nilai atas pembelian Barang Bawaan.
  166. Bendahara Pengeluaran Pembantu adalah pegawai yang ditunjuk untuk membantu bendahara pengeluaran untuk melaksanakan pembayaran kepada yang berhak guna kelancaran pelaksanaan kegiatan tertentu.
  167. Pemegang Uang Persediaan Pengembalian Pajak adalah:
    1. bendahara pengeluaran; atau
    2. Bendahara Pengeluaran Pembantu pada Unit Pelaksana Restitusi Pajak Pertambahan Nilai Bandar Udara yang melakukan pembayaran­-pengembalian Pajak Pertambahan Nilai
  168. Konter Pembayaran adalah bagian dari Unit Pelaksana Restitusi Pajak Pertambahan Nilai Bandar Udara yang bertugas mengembalikan Pajak Pertambahan Nilai yang bernilai kurang dari atau sama dengan Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) yang telah dibayar oleh Turis Asing.
  169. Uang Persediaan Pengembalian Pajak adalah Uang Persediaan untuk membayar pengembalian Pajak Pertambahan Nilai bagi Turis Asing.
  170. Pejabat Penanda Tangan Surat Perintah Membayar adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran untuk melakukan pengujian atas permintaan pembayaran dan menerbitkan perintah pembayaran.
  171. Surat Perintah Membayar Uang Persediaan adalah dokumen yang diterbitkan oleh Pejabat Penanda Tangan Surat Perintah Membayar untuk mencairkan Uang Persediaan.
  172. Surat Perintah Membayar Uang Persediaan Pengembalian Pajak adalah Surat Perintah Membayar Uang Persediaan yang diterbitkan untuk membayar Uang Persediaan Pengembalian Pajak.
  173. Surat Perintah Membayar Penggantian Uang Persediaan adalah dokumen yang diterbitkan oleh Pejabat Penanda Tangan Surat Perintah Membayar dengan membebani daftar isian pelaksanaan anggaran sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­-undangan, yang dananya dipergunakan untuk menggantikan Uang Persediaan yang telah dipakai.
  174. Surat Perintah Membayar Penggantian Uang Persediaan Pengembalian Pajak adalah Surat Perintah Membayar Penggantian Uang Persediaan yang diterbitkan untuk menggantikan Uang Persediaan Pengembalian Pajak yang telah digunakan.
  175. Bendahara Pengeluaran adalah pegawai yang ditunjuk untuk menerima, menyimpan, membayarkan, menatausahakan, dan mempertanggungjawabkan uang untuk keperluan belanja negara dalam pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara pada kantor/satuan kerja kementerian negara/lembaga pemerintah nonkementerian.
  176. Tambahan Uang Persediaan adalah uang muka kerja yang diberikan kepada Bendahara Pengeluaran untuk kebutuhan yang sangat mendesak dalam 1 (satu) bulan melebihi pagu Uang Persediaan yang telah ditetapkan.
  177. Tambahan Uang Persediaan Pengembalian Pajak adalah Tambahan Uang Persediaan untuk membayar pengembalian Pajak Pertambahan Nilai bagi Turis Asing.
  178. Surat Perintah Membayar Tambahan Uang Persediaan adalah dokumen yang diterbitkan oleh Pejabat Penanda Tangan Surat Perintah Membayar untuk mencairkan tambahan Uang Persediaan.
  179. Surat Perintah Membayar Tambahan Uang Persediaan Pengembalian Pajak adalah Surat Perintah Membayar Tambahan Uang Persediaan yang diterbitkan untuk membayar Tambahan Uang Persediaan Pengembalian Pajak.
  180. Ekspor Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan penyerahan Jasa Kena Pajak yang dihasilkan di dalam Daerah Pabean untuk dimanfaatkan oleh penerima ekspor Jasa Kena Pajak di luar Daerah Pabean.
  181. Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh Pengusaha karena penyerahan Jasa Kena Pajak, Ekspor Jasa Kena Pajak, atau ekspor Barang Kena Pajak tidak berwujud, tetapi tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak atau nilai berupa uang yang dibayar atau seharusnya dibayar oleh penerima jasa karena pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan/atau oleh penerima manfaat Barang Kena Pajak tidak berwujud karena pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
  182. Penerima Ekspor Jasa Kena Pajak adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan perikatan dan menerima manfaat langsung atas Ekspor Jasa Kena Pajak, berada di luar Daerah Pabean, dan merupakan Wajib Pajak luar negeri yang tidak mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia sebagaimana diatur dalam Undang­-Undang Pajak Penghasilan beserta perubahannya.
  183. Penerima Jasa adalah orang pribadi atau Badan yang menerima atau seharusnya menerima penyerahan Jasa Kena Pajak dan yang membayar atau seharusnya membayar Penggantian atas Jasa Kena Pajak tersebut.
  184. Pengembalian Barang Kena Pajak adalah pengembalian Barang Kena Pajak baik sebagian maupun seluruhnya oleh pembeli Barang Kena Pajak.
  185. Pembatalan Jasa Kena Pajak adalah pembatalan Jasa Kena Pajak baik sebagian maupun seluruh hak atau fasilitas atau kemudahan oleh Penerima Jasa.
  186. Agen Asuransi adalah orang yang bekerja sendiri atau bekerja pada badan usaha, yang bertindak untuk dan atas nama Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi syariah dan memenuhi persyaratan untuk mewakili Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi syariah memasarkan produk asuransi atau produk asuransi syariah.
  187. Perusahaan Asuransi Syariah adalah Perusahaan Asuransi umum syariah dan Perusahaan Asuransi jiwa syariah.
  188. Pelaku Usaha Perdagangan Melalui Sistem Elektronik adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan kegiatan usaha di bidang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik yang terdiri dari pedagang luar negeri, penyedia jasa luar negeri, penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik luar negeri, dan/atau penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik dalam negeri.
  189. Pedagang Luar Negeri adalah orang pribadi atau Badan yang bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di luar Daerah Pabean yang melakukan transaksi dengan pemanfaat barang di dalam Daerah Pabean melalui sistem elektronik.
  190. Penyedia Jasa Luar Negeri adalah orang pribadi atau Badan yang bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di luar Daerah Pabean yang melakukan transaksi dengan pemanfaat Jasa di dalam Daerah Pabean melalui sistem elektronik.
  191. Pemanfaat Barang adalah orang pribadi atau Badan yang menerima atau seharusnya menerima penyerahan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan yang membayar atau seharusnya membayar Penggantian atas Barang Kena Pajak tidak berwujud karena pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean melalui sistem elektronik.
  192. Pemanfaat Jasa adalah orang pribadi atau Badan yang menerima atau seharusnya menerima penyerahan Jasa Kena Pajak dan yang membayar atau seharusnya membayar Penggantian atas Jasa Kena Pajak karena pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean melalui sistem elektronik.
  193. Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik adalah pelaku usaha penyedia sarana komunikasi elektronik yang digunakan untuk transaksi perdagangan.
  194. Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik Dalam Negeri adalah Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik yang bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di dalam Daerah Pabean.
  195. Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik Luar Negeri adalah Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik yang bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di luar Daerah Pabean.
  196. Barang Digital adalah setiap barang tidak berwujud yang berbentuk Informasi Elektronik atau digital meliputi baik barang yang merupakan hasil konversi atau pengalihwujudan maupun barang yang secara originalnya berbentuk elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada peranti lunak, multimedia, dan/atau data elektronik.
  197. Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada inventor atas hasil invensinya di bidang teknologi untuk jangka waktu tertentu melaksanakan sendiri invensi tersebut atau memberikan persetujuan kepada pihak lain untuk melaksanakannya.
  198. Jasa Digital adalah jasa yang dikirim melalui internet atau jaringan elektronik, bersifat otomatis atau hanya melibatkan sedikit campur tangan manusia, dan tidak mungkin untuk memastikannya tanpa adanya teknologi informasi, termasuk tetapi tidak terbatas pada layanan jasa berbasis peranti lunak.
  199. Aset Kripto adalah komoditi tidak berwujud yang berbentuk digital, menggunakan kriptografi, jaringan informasi teknologi, dan buku besar yang terdistribusi, untuk mengatur penciptaan unit baru, memverifikasi transaksi, dan mengamankan transaksi tanpa campur tangan pihak lain.
  200. Sarana Elektronik adalah sarana komunikasi melalui sistem elektronik yang digunakan dalam perdagangan Aset Kripto, diantaranya mencakup pernyataan, deklarasi, permintaan, pemberitahuan atau permohonan, konfirmasi, penawaran atau penerimaan terhadap penawaran, yang memuat kesepakatan para pihak untuk pembentukan atau pelaksanaan perjanjian.
  201. Penjual Aset Kripto adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan penjualan dan/atau pertukaran Aset Kripto.
  202. Penambang Aset Kripto adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan kegiatan verifikasi transaksi Aset Kripto untuk mendapatkan imbalan berupa Aset Kripto, baik sendiri-sendiri maupun dalam kelompok penambang Aset Kripto (mining pool).
  203. Pedagang Fisik Aset Kripto adalah pihak yang telah memperoleh persetujuan dari pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­-undangan yang mengatur mengenai perdagangan berjangka komoditi, untuk melakukan transaksi Aset Kripto baik atas nama diri sendiri dan/atau memfasilitasi transaksi Penjual Aset Kripto atau pembeli Aset Kripto.
  204. Pembeli Aset Kripto adalah orang pribadi atau Badan yang menerima atau seharusnya menerima penyerahan Aset Kripto dan yang membayar atau seharusnya membayar harga Aset Kripto tersebut.
  205. Dokumen yang Dipersamakan dengan Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi adalah dokumen berupa formulir kertas atau Dokumen Elektronik yang memuat data atau informasi pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan tertentu dan kedudukannya dipersamakan dengan bukti pemotongan/pemungutan unifikasi berformat standar.
  206. Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi adalah dokumen dalam format standar atau dokumen lain yang dipersamakan, yang dibuat oleh pemotong atau pemungut Pajak Penghasilan sebagai bukti atas pemotongan/pemungutan Pajak Penghasilan dan menunjukkan besarnya Pajak Penghasilan yang telah dipotong/dipungut.
  207. Bidang-bidang Usaha Tertentu adalah bidang usaha di sektor kegiatan ekonomi yang mendapat prioritas tinggi dalam skala nasional.
  208. Bidang-bidang Usaha Tertentu dan di Daerah-daerah Tertentu adalah bidang usaha di sektor kegiatan ekonomi dan daerah yang secara ekonomis mempunyai potensi yang layak dikembangkan yang mendapat prioritas tinggi dalam skala nasional.
  209. Aktiva Tetap Berwujud adalah aktiva berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun yang diperoleh dalam bentuk siap pakai atau dibangun dan/atau dirakit lebih dahulu, yang digunakan dalam operasi perusahaan, dan tidak dimaksudkan untuk diperjualbelikan atau dipindahtangankan.
  210. Aktiva Tak Berwujud adalah aktiva tidak berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun yang digunakan dalam operasi perusahaan, dan tidak dimaksudkan untuk diperjualbelikan atau dipindahtangankan.
  211. Kegiatan Usaha Utama adalah bidang usaha dan jenis produksi sebagaimana tercantum dalam izin prinsip, izin investasi, pendaftaran Penanaman Modal, atau perizinan berusaha pada saat pengajuan permohonan pengurangan Pajak Penghasilan Badan atau fasilitas Pajak Penghasilan.
  212. Sistem Perizinan Berusaha Terintegrasi secara Elektronik (Online Single Submission) yang selanjutnya disebut Sistem Online Single Submission adalah sistem elektronik terintegrasi yang dikelola dan diselenggarakan oleh Lembaga Online Single Submission untuk penyelenggaraan perizinan berusaha berbasis risiko.
  213. Saat Mulai Berproduksi Komersial adalah saat pertama kali hasil produksi atau Jasa dari Kegiatan Usaha Utama dijual atau diserahkan, atau digunakan sendiri untuk proses produksi lebih lanjut.
  214. Perizinan Berusaha adalah legalitas yang diberikan kepada Pelaku Usaha untuk memulai dan menjalankan usaha dan/atau kegiatannya.
  215. Penelitian adalah kegiatan yang dilakukan menurut metodologi ilmiah untuk memperoleh data dan informasi yang berkaitan dengan pemahaman tentang fenomena alam dan/atau sosial, pembuktian kebenaran atau ketidakbenaran suatu asumsi dan/atau hipotesis, dan penarikan kesimpulan ilmiah.
  216. Pengembangan adalah kegiatan untuk peningkatan manfaat dan daya dukung ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah terbukti kebenaran dan keamanannya untuk meningkatkan fungsi dan manfaat ilmu pengetahuan dan teknologi.
  217. Kekayaan Intelektual adalah kekayaan yang timbul karena hasil olah pikir manusia yang menghasilkan suatu produk atau proses yang berguna bagi kehidupan manusia.
  218. Hak Perlindungan Varietas Tanaman adalah hak khusus yang diberikan negara kepada pemulia dan/atau pemegang hak perlindungan varietas tanaman untuk menggunakan sendiri varietas hasil pemuliaannya atau memberi persetujuan kepada orang atau Badan hukum lain untuk menggunakannya selama waktu tertentu.
  219. Komersialisasi adalah kegiatan produksi di Indonesia dan penjualan atas barang dan/atau jasa hasil Penelitian dan Pengembangan.
  220. Pemberi Kerja adalah Badan hukum atau Badan-Badan lainnya yang mempekerjakan Warga Negara Asing dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
  221. Norma Penghitungan Penghasilan Neto adalah pedoman untuk menentukan besarnya penghasilan neto yang dibuat dan disempurnakan secara terus menerus serta diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 14 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
  222. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.

 
 

BAB II
RUANG LINGKUP
 
Pasal 2


Ruang lingkup dalam Peraturan Menteri ini:

a. tata cara pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan dan penerbitan, penandatanganan, serta pengiriman keputusan dan Dokumen Elektronik;
b. tata cara pendaftaran Wajib Pajak, pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, dan pendaftaran Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan;
c. tata cara pembayaran dan penyetoran pajak, pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang, imbalan bunga, serta pengembalian kelebihan pembayaran pajak;
d. tata cara penyampaian dan pengolahan Surat Pemberitahuan;
e. tata cara pemberian pelayanan administrasi perpajakan;
f. ketentuan teknis pelaksanaan sistem inti administrasi perpajakan; dan
g. contoh format dokumen dan contoh penghitungan, pemungutan, dan/atau pelaporan.


 

BAB III
TATA CARA PELAKSANAAN HAK DAN PEMENUHAN KEWAJIBAN PERPAJAKAN DAN PENERBITAN, PENANDATANGANAN, SERTA PENGIRIMAN KEPUTUSAN DAN DOKUMEN ELEKTRONIK
 
Pasal 3

 

Pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan merupakan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­-undangan di bidang perpajakan.

 
  

Pasal 4

 

(1) Pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan oleh Wajib Pajak dilaksanakan secara elektronik.
(2) Pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
a. Portal Wajib Pajak;
b. laman atau aplikasi lain yang terintegrasi dengan sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak; dan/atau
c. Contact Center.
(3) Pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan secara elektronik melalui Contact Center sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c merupakan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan yang persyaratannya dapat dikonfirmasi secara langsung oleh petugas Contact Center.
(4) Dalam hal Wajib Pajak tidak dapat melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wajib Pajak dapat melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan:
a. secara langsung; atau
b. melalui pos, perusahaan jasa ekspedisi, atau jasa kurir,
ke Kantor Pelayanan Pajak, Kantor Pelayanan, Penyuluhan, dan Konsultasi Perpajakan, atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
(5) Penyebab pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan tidak dapat dilakukan oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dapat berupa:
a. infrastruktur yang belum tersedia di daerah tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak;
b. sistem atau fasilitas komunikasi yang digunakan oleh Wajib Pajak mengalami gangguan teknis; dan
c. terdapat bencana.


 

Pasal 5

 

Waktu pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan secara elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dilakukan dengan standar Waktu Indonesia Barat.

 
 

Pasal 6

 

(1) Untuk pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan secara elektronik melalui Portal Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a, Direktur Jenderal Pajak menyediakan Akun Wajib Pajak untuk setiap Wajib Pajak.
(2) Akun Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat digunakan oleh Wajib Pajak dengan melakukan aktivasi Akun Wajib Pajak.
(3) Pengajuan aktivasi Akun Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan secara:
a. elektronik melalui Portal Wajib Pajak; atau
b. langsung ke Kantor Pelayanan Pajak atau Kantor Pelayanan, Penyuluhan, dan Konsultasi Perpajakan.
(4) Pengajuan aktivasi Akun Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat disetujui sepanjang alamat pos elektronik dan nomor telepon seluler Wajib Pajak telah tervalidasi.


 

Pasal 7

 

(1) Dokumen yang digunakan dalam pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 disampaikan oleh Wajib Pajak dalam bentuk Dokumen Elektronik untuk pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) atau dokumen kertas untuk pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4).
(2) Dalam hal pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dilakukan oleh kuasa Wajib Pajak, dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri surat kuasa khusus sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(3) Atas penyampaian dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan bukti penerimaan dalam hal dokumen telah diterima secara lengkap oleh Direktur Jenderal Pajak.
(4) Tanggal yang tercantum dalam bukti penerimaan merupakan tanggal diterimanya dokumen.
(5) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4), tanda bukti dan tanggal pengiriman surat merupakan tanda bukti dan tanggal penerimaan atas penyampaian dokumen kertas melalui pos, jasa ekspedisi, atau jasa kurir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4) huruf b terkait dengan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan berupa:
a. penyampaian Surat Pemberitahuan sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
b. permohonan pembetulan sebagaimana diatur dalam Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
c. pengajuan keberatan sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan Pasal 15 Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan;
d. permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 36 ayat (1) huruf a Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
e. permohonan pengurangan atau pembatalan Surat Ketetapan Pajak yang tidak benar sebagaimana diatur dalam Pasal 36 ayat (1) huruf b Undang­-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
f. permohonan pengurangan atau pembatalan Surat Tagihan Pajak yang tidak benar sebagaimana diatur dalam Pasal 36 ayat (1) huruf c Undang­-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
g. permohonan pembatalan Surat Ketetapan Pajak hasil Pemeriksaan sebagaimana diatur dalam Pasal 36 ayat (1) huruf d Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
h. penyampaian Surat Pemberitahuan Objek Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan;
i. permohonan pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan; dan
j. permintaan pengurangan denda administratif pajak bumi dan bangunan sebagaimana diatur dalam Pasal 20 Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan.
(6) Dalam hal Wajib Pajak menyampaikan Dokumen Elektronik dan/atau dokumen kertas yang sama untuk pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan yang sama, dokumen yang diakui sebagai pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan merupakan dokumen yang pertama kali terekam dalam sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak.
(7) Bukti penerimaan atau bukti pengiriman surat atas dokumen yang pertama kali terekam ke dalam sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (6) menjadi tanda bukti penerimaan dokumen.
(8) Tanggal yang tercantum dalam tanda bukti penerimaan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (7) merupakan tanggal dokumen diterima oleh Direktorat Jenderal Pajak.
(9) Dokumen yang telah diterbitkan bukti penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (5), dan ayat (7) ditindaklanjuti oleh:
a. sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak atau sistem yang terintegrasi dengan sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak;
b. pejabat atau pegawai Direktorat Jenderal Pajak; atau
c. pejabat atau pegawai di kementerian atau lembaga yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


 

Pasal 8

 

(1) Penandatanganan Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) yang harus ditandatangani oleh Wajib Pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, dilaksanakan dengan menggunakan Tanda Tangan Elektronik.
(2) Tanda Tangan Elektronik meliputi:
a. Tanda Tangan Elektronik tersertifikasi; dan
b. Tanda Tangan Elektronik tidak tersertifikasi,
sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah mengenai penyelenggaraan sistem dan transaksi elektronik.
(3) Tanda Tangan Elektronik tersertifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a merupakan Tanda Tangan Elektronik yang dibuat dengan menggunakan Sertifikat Elektronik yang diterbitkan oleh:
a. Penyelenggara Sertifikasi Elektronik instansi, untuk Wajib Pajak Instansi Pemerintah yang diwakili oleh aparatur sipil negara, Tentara Nasional Indonesia, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan secara elektronik; atau
b. Penyelenggara Sertifikasi Elektronik noninstansi dalam hal Wajib Pajak merupakan Wajib Pajak selain sebagaimana dimaksud dalam huruf a.
(4) Penyelenggara Sertifikasi Elektronik merupakan Penyelenggara Sertifikasi Elektronik yang:
a. sudah diakui oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika; dan
b. ditunjuk oleh Menteri.
(5) Tanda Tangan Elektronik tidak tersertifikasi merupakan Tanda Tangan Elektronik yang dibuat dengan menggunakan Kode Otorisasi.
(6) Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Kode Otorisasi bersamaan dengan persetujuan dan aktivasi Akun Wajib Pajak.
(7) Dokumen Elektronik yang disampaikan melalui sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf c, dianggap telah ditandatangani setelah Wajib Pajak menjawab pertanyaan validasi identitas dan menyampaikan afirmasi kepada petugas Contact Center.


 

Pasal 9

 

(1) Untuk memperoleh Sertifikat Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3), Wajib Pajak harus mengajukan permohonan penerbitan Sertifikat Elektronik kepada Penyelenggara Sertifikasi Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4).
(2) Tata cara pengajuan permohonan penerbitan dan masa berlaku Sertifikat Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur oleh Penyelenggara Sertifikasi Elektronik.


 

Pasal 10

 

(1) Penandatanganan Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) untuk Wajib Pajak orang pribadi dilakukan dengan menggunakan Sertifikat Elektronik atau Kode Otorisasi yang dimiliki oleh:
a. Wajib Pajak orang pribadi yang bersangkutan;
b. wali atau pengampu, bagi anak yang belum dewasa atau orang yang berada dalam pengampuan; atau
c. orang pribadi yang ditunjuk oleh Wajib Pajak orang pribadi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan untuk menandatangani Dokumen Elektronik.
(2) Penandatanganan Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) untuk Wajib Pajak Badan, Wajib Pajak Instansi Pemerintah, dan Wajib Pajak Warisan Belum Terbagi dilakukan dengan menggunakan Sertifikat Elektronik atau Kode Otorisasi yang dimiliki oleh:
a. orang pribadi yang merupakan wakil Wajib Pajak; atau
b. orang pribadi selain wakil Wajib Pajak yang ditunjuk oleh wakil Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan untuk menandatangani Dokumen Elektronik.
(3) Wakil Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yaitu:
a. pengurus, bagi Wajib Pajak Badan;
b. kurator, bagi Wajib Pajak Badan yang dinyatakan pailit;
c. orang atau orang pribadi yang mewakili Badan yang ditugasi untuk melakukan pemberesan, bagi Wajib Pajak Badan dalam pembubaran;
d. likuidator, bagi Wajib Pajak Badan dalam likuidasi;
e. salah seorang ahli waris, pelaksana wasiat, atau pihak yang mengurus harta peninggalan, bagi Wajib Pajak Warisan Belum Terbagi;
f. kepala Instansi Pemerintah Pusat, kuasa pengguna anggaran, kepala badan layanan umum atau pejabat yang melaksanakan fungsi tata usaha keuangan pada Instansi Pemerintah Pusat, untuk Instansi Pemerintah Pusat;
g. kepala Instansi Pemerintah Daerah pengguna anggaran, kepala badan layanan umum daerah atau pejabat yang melaksanakan fungsi tata usaha keuangan pada satuan kerja perangkat daerah, untuk Instansi Pemerintah Daerah; atau
h. kepala desa atau perangkat desa yang melaksanakan pengelolaan keuangan desa berdasarkan keputusan kepala desa, untuk Instansi Pemerintah Desa.
(4) Dalam hal Wajib Pajak menunjuk seorang kuasa, kuasa Wajib Pajak menandatangani Dokumen Elektronik dengan menggunakan Sertifikat Elektronik atau Kode Otorisasi yang dimiliki oleh kuasa Wajib Pajak tersebut.
(5) Dokumen Elektronik memiliki kekuatan hukum yang sama dengan dokumen kertas.


  

Pasal 11

 

(1) Menteri, Direktur Jenderal Pajak, dan pejabat tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang diberi kewenangan berdasarkan peraturan perundang­-undangan di bidang perpajakan dapat menerbitkan keputusan dalam bentuk elektronik dan Dokumen Elektronik.
(2) Keputusan dalam bentuk elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
a. Surat Tagihan Pajak;
b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar;
c. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan;
d. Surat Ketetapan Pajak Nihil;
e. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar;
f. Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan;
g. Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan;
h. Surat Keputusan Pembetulan;
i. Surat Keputusan Persetujuan Bersama;
j. Surat Keputusan Keberatan;
k. Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi;
l. Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi;
m. Surat Keputusan Pemberian Pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan;
n. Surat Keputusan Pengurangan Denda Administrasi Pajak Bumi dan Bangunan;
o. Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, termasuk pengurangan atas Surat Pemberitahuan Pajak Terutang atau Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan;
p. Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, termasuk pembatalan atas Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan, atau Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan;
q. Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak;
r. Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga;
s. Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak;
t. Surat Keputusan Penghitungan Pemberian Imbalan Bunga;
u. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang;
v. Surat Keputusan Pemberlakuan Kesepakatan Harga Transfer;
ww. surat pemberitahuan;
x. surat teguran;
y. surat peringatan;
z. surat keterangan;
aa. surat persetujuan; dan
bb. surat penolakan.
(3) Keputusan dalam bentuk elektronik diberikan:
a. Tanda Tangan Elektronik tersertifikasi; atau
b. Segel Elektronik tersertifikasi.
(4) Tanda Tangan Elektronik dan Segel Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan Tanda Tangan Elektronik dan Segel Elektronik tersertifikasi yang dibuat dengan menggunakan Sertifikat Elektronik yang diterbitkan oleh Penyelenggara Sertifikasi Elektronik instansi.
(5) Dalam hal penerbitan keputusan diproses oleh sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak atau sistem yang terintegrasi dengan sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak, penandatanganan dilakukan menggunakan Segel Elektronik.
(6) Selain keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Tanda Tangan Elektronik dan Segel Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat digunakan untuk menandatangani Dokumen Elektronik dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang­-undangan di bidang perpajakan, dapat berupa:
a. surat permintaan;
b. surat undangan;
c. berita acara;
d. risalah; dan
e. nota penghitungan.
(7) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (6) yang memuat jumlah pajak yang masih harus dibayar atau pajak yang lebih dibayar atau seharusnya tidak terutang, dibuat dengan ketentuan sebagai berikut:
a. dalam hal pajak dihitung dengan menggunakan mata uang rupiah, keputusan atau Dokumen Elektronik dibuat dalam satuan mata uang rupiah penuh dengan pembulatan ke bawah; atau
b. dalam hal pajak dihitung dengan menggunakan mata uang dolar Amerika Serikat, keputusan atau Dokumen Elektronik dibuat dalam satuan mata uang dolar Amerika Serikat dengan pembulatan ke bawah hingga 2 (dua) desimal.
(8) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (6) berkekuatan hukum sama dengan keputusan dan dokumen dalam bentuk kertas.
(9) Dalam hal keputusan dan dokumen diterbitkan dalam bentuk elektronik, tidak diterbitkan keputusan dan dokumen dalam bentuk kertas.



Pasal 12

 

(1) Direktur Jenderal Pajak mengirim keputusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) dan Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (6) kepada Wajib Pajak dalam bentuk elektronik melalui Akun Wajib Pajak dan/atau pos elektronik Wajib Pajak yang terdaftar dalam sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak, kecuali keputusan dan Dokumen Elektronik yang harus dikirimkan oleh Direktur Jenderal Pajak dalam bentuk kertas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(2) Dalam hal terdapat permintaan dari Wajib Pajak atau berdasarkan pertimbangan Direktur Jenderal Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat mengirim kertas hasil cetakan dari keputusan dalam bentuk elektronik dan Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
a. secara langsung;
b. melalui faksimile dengan bukti pengiriman faksimile; atau
c. melalui pos, jasa ekspedisi, atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat.
(3) Waktu pengiriman keputusan dalam bentuk elektronik dan Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan standar Waktu Indonesia Barat.
(4) Tanggal pengiriman keputusan dan Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melalui Akun Wajib Pajak atau pos elektronik Wajib Pajak juga merupakan tanggal keputusan berbentuk elektronik dan Dokumen Elektronik dikirim oleh Direktur Jenderal Pajak dan tanggal keputusan dan Dokumen Elektronik diterima oleh Wajib Pajak.
(5) Tanggal pengiriman keputusan dan Dokumen Elektronik dalam bentuk kertas hasil cetakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) oleh Direktur Jenderal Pajak dan tanggal diterimanya oleh Wajib Pajak merupakan tanggal:
a. keputusan disampaikan atau diterima, dalam hal disampaikan secara langsung;
b. bukti pengiriman faksimile, dalam hal disampaikan melalui faksimile; atau
c. bukti pengiriman surat, dalam hal dikirimkan melalui pos, jasa ekspedisi, atau jasa kurir.
(6) Dalam hal suatu keputusan atau Dokumen Elektronik disampaikan melalui lebih dari 1 (satu) saluran penyampaian, tanggal dikirim oleh Direktur Jenderal Pajak dan tanggal diterimanya oleh Wajib Pajak yang berlaku yaitu:
a. dalam hal Wajib Pajak telah memberikan persetujuan untuk menggunakan Akun Wajib Pajak sebagai sarana penerimaan keputusan dan dokumen perpajakan, tanggal pengiriman ke Akun Wajib Pajak; atau
b. dalam hal Wajib Pajak belum memberikan persetujuan untuk menggunakan Akun Wajib Pajak, tanggal yang lebih dahulu antara:
1. tanggal pengiriman melalui pos elektronik Wajib Pajak yang terdaftar dalam sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak;
2. tanggal disampaikan secara langsung;
3. tanggal pengiriman faksimile; atau
4. tanggal pengiriman yang tercantum pada bukti pengiriman surat.
(7) Persetujuan untuk menggunakan Akun Wajib Pajak sebagai sarana penerimaan keputusan dan dokumen perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilakukan secara elektronik pada saat aktivasi Wajib Pajak.


 

Pasal 13

 

(1) Menteri dapat melakukan kerja sama dengan Instansi Pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain untuk menyediakan fasilitas pelaksanaan hak dan/atau pemenuhan kewajiban perpajakan secara elektronik, melalui sistem administrasi yang terintegrasi dengan sistem di Direktorat Jenderal Pajak.
(2) Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
a. pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak;
b. pemberian konfirmasi status Wajib Pajak;
c. penyelenggaraan bukti pemotongan elektronik dan Faktur Pajak elektronik; dan
d. penyelenggaraan pembayaran pajak dan/atau pelaporan Surat Pemberitahuan elektronik.
(3) Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilaksanakan melalui perjanjian kerja sama atau penunjukan.


 

Pasal 14

 

(1) Menteri dapat melimpahkan kewenangan dalam bentuk delegasi untuk menunjuk Penyelenggara Sertifikasi Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) huruf b kepada Direktur Jenderal Pajak.
(2) Menteri dapat melimpahkan kewenangan dalam bentuk delegasi kepada Direktur Jenderal Pajak untuk membuat dan melaksanakan perjanjian kerja sama dan penunjukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3).
(3) Menteri dapat melimpahkan kewenangan dalam bentuk delegasi atau mandat untuk menerbitkan keputusan kepada:
a. pejabat atau pegawai di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak; dan
b. menteri atau kepala lembaga lain.
(4) Direktur Jenderal Pajak dapat melimpahkan kewenangan dalam bentuk delegasi atau mandat untuk menerbitkan keputusan kepada pejabat atau pegawai di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak.

 

 
BAB IV
TATA CARA PENDAFTARAN WAJIB PAJAK, PENGUKUHAN PENGUSAHA KENA PAJAK, DAN PENDAFTARAN OBJEK PAJAK PAJAK BUMI DAN BANGUNAN
 
Bagian Kesatu
Tata Cara Pendaftaran Wajib Pajak
 
Pasal 15

 

(1) Setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif wajib mendaftarkan diri pada Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal Wajib Pajak atau tempat kedudukan Wajib Pajak.
(2) Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menetapkan:
a. tempat tinggal Wajib Pajak orang pribadi atau tempat kedudukan Wajib Pajak Badan, dalam hal orang pribadi atau Badan memiliki lebih dari satu tempat tinggal atau tempat kedudukan;
b. tempat terdaftar bagi Wajib Pajak dengan kriteria tertentu pada Kantor Pelayanan Pajak tertentu; dan
c. tempat pendaftaran tertentu sebagai tempat pendaftaran Wajib Pajak.
(3) Wajib Pajak yang telah mendaftarkan diri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak.
(4) Persyaratan subjektif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan persyaratan yang sesuai dengan ketentuan mengenai subjek pajak dalam Undang­-Undang Pajak Penghasilan
(5) Persyaratan objektif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan persyaratan bagi subjek pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan atau diwajibkan untuk melakukan pemotongan dan/atau pemungutan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan.
(6) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Wajib Pajak orang pribadi;
b. Wajib Pajak Warisan Belum Terbagi;
c. Wajib Pajak Badan; dan
d. Instansi Pemerintah yang ditunjuk sebagai pemotong dan/atau pemungut pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan di bidang perpajakan.
(7) Wajib Pajak yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.


 

Pasal 16

 

(1) Wajib Pajak orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (6) huruf a wajib mendaftarkan diri pada Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal Wajib Pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak.
(2) Nomor Pokok Wajib Pajak yang diberikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. Nomor Induk Kependudukan yang telah diaktivasi sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak dalam administrasi perpajakan, bagi Wajib Pajak orang pribadi yang merupakan Penduduk; dan
b. nomor dengan format 16 (enam belas) digit yang dihasilkan oleh sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak, bagi Wajib Pajak orang pribadi bukan Penduduk.
(3) Wajib Pajak orang pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi Wajib Pajak orang pribadi yang merupakan Penduduk dan bukan Penduduk yang:
a. melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas, termasuk Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu; dan
b. tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan menerima atau memperoleh penghasilan di atas penghasilan tidak kena pajak.
(4) Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a diharuskan untuk melaporkan tempat kegiatan usahanya ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak orang pribadi terdaftar untuk memperoleh Nomor Identitas Tempat Kegiatan Usaha bagi setiap tempat kegiatan usaha.
(5) Kewajiban mendaftarkan diri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula terhadap wanita kawin yang dikenai pajak secara terpisah karena:
a. hidup berpisah berdasarkan putusan hakim;
b. menghendaki secara tertulis berdasarkan perjanjian pemisahan penghasilan dan harta; atau
c. memilih melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan terpisah dari hak dan kewajiban perpajakan suaminya.
(6) Orang pribadi yang:
a. belum memenuhi persyaratan objektif sebagai Wajib Pajak;
b. tidak memenuhi persyaratan subjektif sebagai subjek pajak dalam negeri; atau
c. tidak termasuk subjek pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Penghasilan,
dapat diberikan nomor identitas perpajakan dalam bentuk Nomor Pokok Wajib Pajak untuk kepentingan administrasi perpajakan.
(7) Orang pribadi yang belum memenuhi persyaratan objektif sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf a mendaftarkan diri pada Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal orang pribadi tersebut.
(8) Orang pribadi yang tidak memenuhi persyaratan subjektif sebagai subjek pajak dalam negeri dan tidak termasuk subjek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf b dan huruf c diadministrasikan pada Kantor Pelayanan Pajak yang ditetapkan Direktur Jenderal Pajak.


 

Pasal 17

 

(1) Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas, termasuk Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3) huruf a, wajib mendaftarkan diri paling lama 1 (satu) bulan setelah kegiatan usaha atau pekerjaan bebas mulai dilakukan.
(2) Wajib Pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan menerima atau memperoleh penghasilan di atas penghasilan tidak kena pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3) huruf b, wajib mendaftarkan diri paling lambat akhir bulan berikutnya setelah diterimanya penghasilan yang menyebabkan akumulasi penghasilan pada Tahun Pajak berjalan sama dengan atau melebihi penghasilan tidak kena pajak.

 
 

Pasal 18

 

(1) Wajib Pajak orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) yang merupakan Penduduk dan menerima atau memperoleh penghasilan dengan akumulasi belum melebihi penghasilan tidak kena pajak, orang pribadi dimaksud menggunakan Nomor Induk Kependudukan yang tervalidasi sebagai identitas perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (6) huruf a.
(2) Wajib Pajak orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) yang merupakan bukan Penduduk dan menerima atau memperoleh penghasilan dengan akumulasi belum melebihi penghasilan tidak kena pajak, orang pribadi dimaksud menggunakan nomor identitas perpajakan dengan format 16 (enam belas) digit setelah mendaftarkan identitasnya dalam administrasi perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (6) huruf a.


 

Pasal 19

 

Pendaftaran Wajib Pajak orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dilakukan dengan mengajukan permohonan yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud.dalam Pasal 4.

 

Pasal 20

 

(1) Untuk Wajib Pajak orang pribadi yang merupakan Penduduk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3), permohonan pendaftaran Wajib Pajak dilakukan dengan mengisi formulir permohonan pendaftaran Wajib Pajak.
(2) Untuk Wajib Pajak orang pribadi bukan Penduduk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3), permohonan pendaftaran Wajib Pajak dilakukan dengan mengisi formulir permohonan pendaftaran dan dilampiri dokumen sebagai berikut:
a. salinan paspor;
b. pasfoto berwarna Wajib Pajak yang bersangkutan; dan
c. pasfoto berwarna Wajib Pajak yang bersangkutan dengan memegang paspor.


 

Pasal 21

 

Berdasarkan permohonan pendaftaran Wajib Pajak orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Kepala Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak paling lama 1 (satu) hari kerja setelah permohonan diterima secara lengkap.

 

Pasal 22

 

(1) Dalam hal Wajib Pajak orang pribadi tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Kepala Kantor Pelayanan Pajak dapat menerbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan.
(2) Penerbitan Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan hasil penelitian administrasi sesuai dengan data dan/atau informasi yang dimiliki atau diperoleh Direktorat Jenderal Pajak, termasuk data dan/atau informasi yang diperoleh dari kegiatan ekstensifikasi.


 

Pasal 23

 

(1) Kepala Kantor Pelayanan Pajak berdasarkan permohonan Wajib Pajak orang pribadi atau secara jabatan dapat melakukan perubahan data Wajib Pajak orang pribadi dalam hal data dan/atau informasi yang terdapat dalam administrasi perpajakan berbeda dengan keadaan yang sebenarnya.
(2) Permohonan perubahan data Wajib Pajak orang pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, serta dilampiri dengan dokumen yang menunjukkan adanya perubahan data Wajib Pajak orang pribadi.
(3) Setelah melakukan penelitian atas permohonan perubahan data Wajib Pajak orang pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan keputusan dan memberitahukannya kepada Wajib Pajak orang pribadi.
(4) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diterbitkan paling lama 1 (satu) hari kerja setelah permohonan diterima secara lengkap.


 

Pasal 24

 

(1) Selain dalam hal data dan/atau informasi yang terdapat dalam administrasi perpajakan berbeda dengan keadaan yang sebenarnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1), perubahan data Wajib Pajak orang pribadi dilakukan dalam hal terdapat perubahan alamat tempat tinggal Wajib Pajak orang pribadi yang menyebabkan pemindahan wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar.
(2) Setelah melakukan penelitian atas permohonan pemindahan tempat Wajib Pajak orang pribadi terdaftar sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan keputusan dan memberitahukannya kepada Wajib Pajak orang pribadi.
(3) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterbitkan paling lama 5 (lima) hari kerja setelah permohonan diterima secara lengkap.


 

Pasal 25

 

(1) Kepala Kantor Pelayanan Pajak berdasarkan permohonan Wajib Pajak orang pribadi atau secara jabatan dapat menetapkan Wajib Pajak orang pribadi sebagai Wajib Pajak Nonaktif.
(2) Penetapan Wajib Pajak Nonaktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam hal Wajib Pajak orang pribadi:
a. melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas namun tidak memenuhi syarat objektif karena menghentikan usahanya atau pekerjaan bebasnya;
b. tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas namun tidak memenuhi syarat objektif karena belum atau tidak memperoleh penghasilan, atau memiliki penghasilan di bawah penghasilan tidak kena pajak;
c. Warga Negara Indonesia berstatus sebagai Penduduk yang berniat menjadi subjek pajak luar negeri namun belum memenuhi syarat sebagai subjek pajak luar negeri;
d. Warga Negara Indonesia berstatus sebagai Penduduk yang tidak lagi memenuhi persyaratan subjektif dan objektif;
e. wanita kawin yang telah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak yang kemudian memilih untuk melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya digabungkan dengan suaminya; atau
f. memenuhi kriteria tertentu yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
(3) Permohonan penetapan Wajib Pajak Nonaktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, serta dilampiri dengan dokumen yang menunjukkan bahwa Wajib Pajak orang pribadi memenuhi kriteria Wajib Pajak Nonaktif.
(4) Setelah melakukan penelitian atas permohonan penetapan Wajib Pajak Nonaktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan keputusan dan memberitahukannya kepada Wajib Pajak orang pribadi.
(5) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diterbitkan paling lama 5 (lima) hari kerja setelah permohonan diterima secara lengkap.
(6) Dalam hal Wajib Pajak orang pribadi tidak lagi memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kepala Kantor Pelayanan Pajak berdasarkan permohonan Wajib Pajak orang pribadi atau secara jabatan dapat mengaktifkan kembali Wajib Pajak Nonaktif.


 

Pasal 26

 

(1) Wajib Pajak orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) huruf d yang:
a. memenuhi persyaratan penetapan status Warga Negara Indonesia sebagai subjek pajak luar negeri, diterbitkan keputusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (4) atas penetapan Wajib Pajak sebagai Wajib Pajak Nonaktif sebagai pengganti Surat Keterangan Warga Negara Indonesia Memenuhi Persyaratan Menjadi Subjek Pajak Luar Negeri; atau
b. tidak memenuhi persyaratan penetapan status Warga Negara Indonesia sebagai subjek pajak luar negeri, diterbitkan keputusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (4) atas penolakan penetapan Wajib Pajak sebagai Wajib Pajak Nonaktif sebagai pengganti surat penolakan atas permohonan penetapan status Warga Negara Indonesia sebagai subjek pajak luar negeri,
sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja di Bidang Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, serta Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
(2) Persyaratan dan tata cara penyelesaian permohonan penetapan status Warga Negara Indonesia sebagai subjek pajak luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selain mengenai jangka waktu penyelesaian, dilaksanakan berdasarkan ketentuan Peraturan Menteri Keuangan mengenai Pelaksanaan Undang­-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja di Bidang Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, serta Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.


 

Pasal 27

 

Dalam hal Wajib Pajak orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) huruf c di kemudian hari tidak memenuhi persyaratan atau tidak mengajukan permohonan untuk memperoleh Surat Keterangan Warga Negara Indonesia Memenuhi Persyaratan Menjadi Subjek Pajak Luar Negeri, terhadap Wajib Pajak orang pribadi dimaksud:

a. penetapan sebagai Wajib Pajak Nonaktif menjadi batal;
b. tetap merupakan subjek pajak dalam negeri; dan
c. dikenai pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang berlaku bagi subjek pajak dalam negeri.

 
 

Pasal 28

(1) Kepala Kantor Pelayanan Pajak berdasarkan permohonan Wajib Pajak orang pribadi atau secara jabatan dapat melakukan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak terhadap Wajib Pajak orang pribadi yang sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(2) Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam hal:
a. Wajib Pajak orang pribadi telah meninggal dunia dan tidak meninggalkan warisan;
b. Wajib Pajak orang pribadi:
1. telah meninggalkan Indonesia untuk selama­-lamanya dan tidak lagi berstatus sebagai Penduduk, bagi orang pribadi yang semula berstatus sebagai Penduduk; atua
2. telah meninggalkan Indonesia untuk selama­-lamanya, bagi orang pribadi yang berstatus bukan Penduduk; atua
c. Wajib Pajak orang pribadi memiliki lebih dari 1 (satu) Nomor Pokok Wajib Pajak.

 
 

Pasal 29

 

(1) Permohonan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, serta dilampiri dengan dokumen yang disyaratkan.
(2) Dokumen yang disyaratkan sebagai lampiran permohonan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan dokumen pendukung yang menunjukkan bahwa Wajib Pajak orang pribadi tidak lagi memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif, berupa:
a. bagi Wajib Pajak orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) huruf a, yaitu dokumen yang menunjukkan Wajib Pajak orang pribadi sudah meninggal dunia beserta surat pernyataan bahwa tidak mempunyai warisan atau surat pernyataan bahwa warisan sudah terbagi dengan menyebutkan ahli waris;
b. bagi Wajib Pajak orang pribadi yang semula berstatus sebagai Penduduk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) huruf b angka 1:
1. dokumen yang menyatakan bahwa Wajib Pajak orang pribadi telah meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya; dan/atau
2. dokumen yang menunjukkan Wajib Pajak orang pribadi yang merupakan Penduduk sebagai Warga Negara Indonesia sudah tidak berstatus sebagai Penduduk karena kehilangan kewarganegaraan Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kependudukan;dan
c. bagi Wajib Pajak orang pribadi bukan Penduduk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) huruf b angka 2, yaitu dokumen yang menyatakan bahwa Wajib Pajak telah meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya.
(3) Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak atas permohonan Wajib Pajak orang pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan hasil Pemeriksaan.
(4) Berdasarkan hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Kepala Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan keputusan atas permohonan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak tersebut paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal permohonan Wajib Pajak orang pribadi diterima secara lengkap.
(5) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) terlampaui dan Kepala Kantor Pelayanan Pajak tidak menerbitkan keputusan, permohonan Wajib Pajak orang pribadi dianggap dikabulkan dan Kepala Kantor Pelayanan Pajak harus menerbitkan surat keputusan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak paling lama 1 (satu) bulan setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berakhir.


 

Pasal 30

 

(1) Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dilakukan Kepala Kantor Pelayanan Pajak berdasarkan data dan/atau informasi perpajakan yang dimiliki atau diperoleh Direktorat Jenderal Pajak.
(2) Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan hasil Pemeriksaan.
(3) Selain dilakukan berdasarkan hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kepala Kantor Pelayanan Pajak juga dapat melakukan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan berdasarkan hasil penelitian administrasi terhadap:
a. Wajib Pajak orang pribadi telah meninggal dunia dan tidak meninggalkan warisan;
b. Wajib Pajak orang pribadi memiliki lebih dari 1 (satu) Nomor Pokok Wajib Pajak; atau
c. Wajib Pajak orang pribadi dengan kriteria tertentu yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
(4) Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui penerbitan keputusan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak.


 

Pasal 31

 

Selain memperhatikan pemenuhan persyaratan subjektif dan/atau objektif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1), Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dilakukan sepanjang Wajib Pajak orang pribadi memenuhi ketentuan sebagai berikut:

a. tidak mempunyai utang pajak;
b. tidak sedang dilakukan tindakan:
1. Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan;
2. pemeriksaan bukti permulaan;
3. penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan; atau
4. penuntutan tindak pidana di bidang perpajakan;
c. tidak sedang dalam proses penyelesaian Prosedur Persetujuan Bersama (Mutual Agreement Procedure);
d. tidak sedang dalam proses penyelesaian kesepakatan harga transfer (advance pricing agreement); dan
e. tidak sedang dalam proses penyelesaian upaya administratif dan upaya hukum, berupa:
1. pembetulan sebagaimana diatur dalam Pasal 16 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
2. pengajuan keberatan;
3. pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan;
4. pengurangan atau penghapusan sanksi administratif;
5. pengurangan denda administratif Pajak Bumi dan Bangunan;
6. pengurangan atau pembatalan Surat Ketetapan Pajak yang tidak benar;
7. pengurangan atau pembatalan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang atau Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan yang tidak benar;
8. pengurangan atau pembatalan Surat Tagihan Pajak yang tidak benar;
9. pembatalan Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan yang tidak benar;
10. pembatalan hasil pemeriksaan pajak atau surat ketetapan pajak dari hasil pemeriksaan;
11. gugatan;
12. banding; dan/atau
13. peninjauan kembali.


  

Pasal 32

 

(1) Pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak Warisan Belum Terbagi menggunakan Nomor Pokok Wajib Pajak dari Wajib Pajak orang pribadi yang meninggalkan warisan tersebut.
(2) Dalam hal Wajib Pajak orang pribadi yang meninggalkan warisan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, dan dari warisan tersebut diterima atau diperoleh penghasilan, wakil dari Wajib Pajak Warisan Belum Terbagi wajib mendaftarkan Warisan Belum Terbagi pada Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal orang pribadi yang meninggalkan warisan untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak.
(3) Wakil dari Wajib Pajak Warisan Belum Terbagi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diharuskan untuk melaporkan tempat kegiatan usaha Warisan Belum Terbagi ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar untuk memperoleh Nomor Identitas Tempat Kegiatan Usaha bagi setiap tempat kegiatan usaha.
(4) Pendaftaran diri oleh wakil sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan paling lambat akhir bulan berikutnya setelah Wajib Pajak orang pribadi yang meninggalkan warisan tersebut meninggal dunia.
(5) Wakil sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yaitu:
a. salah seorang ahli waris;
b. pelaksana wasiat; atau
c. pihak yang mengurus harta peninggalan,
dari Wajib Pajak orang pribadi yang meninggalkan warisan.
(6) Wakil sebagaimana dimaksud pada ayat (5) melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan atas Wajib Pajak Warisan Belum Terbagi.


 

Pasal 33

 

(1) Pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) dilakukan dengan mengajukan permohonan yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.
(2) Berdasarkan permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak paling lama 1 (satu) hari kerja setelah permohonan Wajib Pajak Warisan Belum Terbagi diterima secara lengkap.


  

Pasal 34

 

(1) Dalam hal wakil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (4), Kepala Kantor Pelayanan Pajak dapat menerbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan untuk Wajib Pajak Warisan Belum Terbagi.
(2) Penerbitan Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan hasil penelitian administrasi sesuai data dan/atau informasi yang dimiliki atau diperoleh Direktorat Jenderal Pajak, termasuk data dan/atau informasi yang diperoleh dari kegiatan ekstensifikasi.


 

Pasal 35

 

(1) Kepala Kantor Pelayanan Pajak berdasarkan permohonan Wajib Pajak Warisan Belum Terbagi atau secara jabatan dapat melakukan perubahan data Wajib Pajak Warisan Belum Terbagi, dalam hal:
a. data dan/atau informasi yang terdapat dalam administrasi perpajakan berbeda dengan keadaan yang sebenarnya; dan
b. perubahan data dimaksud tidak mengakibatkan pemindahan tempat Wajib Pajak Warisan Belum Terbagi terdaftar.
(2) Permohonan perubahan data Wajib Pajak Warisan Belum Terbagi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, serta dilampiri dengan dokumen yang menunjukkan adanya perubahan data Wajib Pajak Warisan Belum Terbagi.
(3) Setelah melakukan penelitian atas permohonan perubahan data Wajib Pajak Warisan Belum Terbagi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan keputusan dan memberitahukannya kepada Wajib Pajak Warisan Belum Terbagi.
(4) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diterbitkan paling lama 1 (satu) hari kerja setelah permohonan diterima secara lengkap.



Pasal 36

 

(1) Kepala Kantor Pelayanan Pajak berdasarkan permohonan Wajib Pajak Warisan Belum Terbagi atau secara jabatan dapat melakukan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak terhadap Wajib Pajak Warisan Belum Terbagi yang sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(2) Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam hal warisan sudah selesai dibagi.
(3) Permohonan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, serta dilampiri dengan dokumen yang menunjukkan bahwa warisan sudah selesai dibagi kepada seluruh ahli waris.
(4) Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak atas permohonan Wajib Pajak Warisan Belum Terbagi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan hasil Pemeriksaan.
(5) Berdasarkan hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Kepala Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan keputusan atas permohonan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak atas Wajib Pajak Warisan Belum Terbagi tersebut paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal permohonan Wajib Pajak Warisan Belum Terbagi diterima secara lengkap.
(6) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) terlampaui dan Kepala Kantor Pelayanan Pajak tidak menerbitkan keputusan, permohonan Wajib Pajak Warisan Belum Terbagi dianggap dikabulkan dan Kepala Kantor Pelayanan Pajak harus menerbitkan surat keputusan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak paling lama 1 (satu) bulan setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berakhir.


 

Pasal 37

 

(1) Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) dilakukan Kepala Kantor Pelayanan Pajak berdasarkan data dan/atau informasi perpajakan yang dimiliki atau diperoleh Direktorat Jenderal Pajak.
(2) Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan hasil Pemeriksaan.
(3) Selain dilakukan berdasarkan hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kepala Kantor Pelayanan Pajak juga dapat melakukan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan berdasarkan hasil penelitian administrasi terhadap Wajib Pajak Warisan Belum Terbagi yang memenuhi kriteria tertentu.
(4) Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui penerbitan keputusan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak.


 

Pasal 38

 

Selain memperhatikan pemenuhan persyaratan subjektif dan/atau objektif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1), Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dilakukan sepanjang Wajib Pajak Warisan Belum Terbagi memenuhi ketentuan sebagai berikut:

a. tidak mempunyai utang pajak;
b. tidak sedang dilakukan tindakan:
1. Pemeriksaan dengan tujuan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan;
2. pemeriksaan bukti permulaan;
3. penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan; atau
4. penuntutan tindak pidana di bidang perpajakan;
c. tidak sedang dalam proses penyelesaian Prosedur Persetujuan Bersama (Mutual Agreement Procedure);
d. tidak sedang dalam proses penyelesaian kesepakatan harga transfer (advance pricing agreement); dan
e. tidak sedang dalam proses penyelesaian upaya administratif dan upaya hukum, berupa:
1. pembetulan sebagaimana diatur dalam Pasal 16 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
2. pengajuan keberatan;
3. pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan;
4. pengurangan atau penghapusan sanksi administratif;
5. pengurangan denda administratif Pajak Bumi dan Bangunan;
6. pengurangan atau pembatalan Surat Ketetapan Pajak yang tidak benar;
7. pengurangan atau pembatalan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang atau Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan yang tidak benar;
8. pengurangan atau pembatalan Surat Tagihan Pajak yang tidak benar;
9. pembatalan Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan yang tidak benar;
10. pembatalan hasil pemeriksaan pajak atau surat ketetapan pajak dari hasil pemeriksaan;
11. gugatan;
12. banding; dan/atau
13. peninjauan kembali.


 

Pasal 39

 

(1) Wajib Pajak Badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (6) huruf c wajib mendaftarkan diri pada Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat kedudukan Wajib Pajak.
(2) Wajib Pajak Badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Wajib Pajak Badan yang memiliki kewajiban perpajakan sebagai pembayar pajak, pemotong dan/atau pemungut pajak; dan
b. Wajib Pajak Badan yang hanya memiliki kewajiban perpajakan sebagai pemotong dan/atau pemungut pajak.
(3) Wajib Pajak Badan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diharuskan untuk melaporkan tempat kegiatan usahanya ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar untuk memperoleh Nomor Identitas Tempat Kegiatan Usaha bagi setiap tempat kegiatan usaha.
(4) Badan yang:
a. tidak memenuhi persyaratan subjektif sebagai subjek pajak dalam negeri; atau
b. tidak termasuk subjek pajak sesuai dengan ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Pajak Penghasilan,
dapat diberikan nomor identitas perpajakan dalam bentuk Nomor Pokok Wajib Pajak untuk kepentingan administrasi perpajakan.
(5) Badan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diadministrasikan pada Kantor Pelayanan Pajak yang ditetapkan Direktur Jenderal Pajak.


 

Pasal 40

 

Wajib Pajak Badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1), wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak paling lama 1 (satu) bulan setelah saat didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia.

 
 

Pasal 41

 

(1) Pendaftaran Wajib Pajak Badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1) dilakukan dengan mengajukan permohonan yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, serta dilampiri dengan dokumen yang disyaratkan.
(2) Dokumen yang disyaratkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa dokumen yang menunjukkan pendirian atau pembentukan Badan dan perubahannya.
(3) Berdasarkan permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak paling lama 1 (satu) hari kerja setelah permohonan diterima secara lengkap.


 

Pasal 42

 

(1) Dalam hal Wajib Pajak Badan tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1), Kepala Kantor Pelayanan Pajak dapat menerbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan.
(2) Penerbitan Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan hasil penelitian administrasi sesuai data dan/atau informasi yang dimiliki atau diperoleh Direktorat Jenderal Pajak, termasuk data dan/atau informasi yang diperoleh dari kegiatan ekstensifikasi.


 

Pasal 43

 

(1) Kepala Kantor Pelayanan Pajak berdasarkan permohonan Wajib Pajak Badan atau secara jabatan dapat melakukan perubahan data Wajib Pajak Badan dalam hal data dan/atau informasi yang terdapat dalam administrasi perpajakan berbeda dengan keadaan yang sebenarnya.
(2) Permohonan perubahan data Wajib Pajak Badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mengajukan permohonan yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, serta dilampiri dengan dokumen yang menunjukkan adanya perubahan data Wajib Pajak Badan.
(3) Setelah melakukan penelitian atas permohonan perubahan data Wajib Pajak Badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan keputusan dan memberitahukannya kepada Wajib Pajak Badan.
(4) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diterbitkan paling lama 1 (satu) hari kerja setelah permohonan diterima secara lengkap.

 
 

Pasal 44

 

(1) Selain dalam hal data dan/atau informasi yang terdapat dalam administrasi perpajakan berbeda dengan keadaan yang sebenarnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1), perubahan data Wajib Pajak Badan dilakukan dalam hal terdapat perubahan alamat tempat kedudukan Wajib Pajak yang menyebabkan pemindahan wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar.
(2) Setelah melakukan penelitian atas permohonan pemindahan tempat Wajib Pajak terdaftar sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan keputusan dan memberitahukannya kepada Wajib Pajak Badan.
(3) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterbitkan paling lama 5 (lima) hari kerja setelah permohonan diterima secara lengkap.


 

Pasal 45

 

(1) Kepala Kantor Pelayanan Pajak berdasarkan permohonan Wajib Pajak Badan atau secara jabatan dapat menetapkan Wajib Pajak Badan sebagai Wajib Pajak Nonaktif.
(2) Penetapan Wajib Pajak Nonaktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam hal Wajib Pajak Badan:
a. tidak memenuhi persyaratan subjektif dan objektif namun masih dalam proses atau belum dilakukan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak; atau
b. memenuhi kriteria tertentu yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
(3) Permohonan penetapan Wajib Pajak Nonaktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, serta dilampiri dengan dokumen yang menunjukkan bahwa Wajib Pajak Badan memenuhi kriteria Wajib Pajak Nonaktif.
(4) Setelah melakukan penelitian atas permohonan penetapan Wajib Pajak Nonaktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan keputusan dan memberitahukannya kepada Wajib Pajak Badan.
(5) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diterbitkan paling lama 5 (lima) hari kerja setelah permohonan diterima secara lengkap.
(6) Dalam hal Wajib Pajak Badan tidak lagi memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kepala Kantor Pelayanan Pajak berdasarkan permohonan Wajib Pajak Badan atau secara jabatan dapat mengaktifkan kembali Wajib Pajak Nonaktif.


 

Pasal 46

 

(1) Kepala Kantor Pelayanan Pajak berdasarkan permohonan Wajib Pajak Badan atau secara jabatan dapat melakukan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak terhadap Wajib Pajak Badan yang sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(2) Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam hal:
a. Wajib Pajak Badan dilikuidasi atau dibubarkan karena penghentian atau penggabungan usaha;
b. Wajib Pajak bentuk usaha tetap telah menghentikan kegiatan usahanya di Indonesia; atau
c. Wajib Pajak Badan memiliki lebih dari 1 (satu) Nomor Pokok Wajib Pajak.


 

Pasal 47

 

(1) Permohonan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, serta dilampiri dengan dokumen yang disyaratkan.
(2) Dokumen yang disyaratkan sebagai lampiran permohonan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. dokumen yang menunjukkan bahwa Wajib Pajak Badan telah dilikuidasi atau dibubarkan; atau
b. dokumen yang menunjukkan bahwa Wajib Pajak bentuk usaha tetap telah menghentikan kegiatan usahanya di Indonesia.
(3) Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak atas permohonan Wajib Pajak Badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan hasil Pemeriksaan.
(4) Berdasarkan hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Kepala Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan keputusan atas permohonan tersebut paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal permohonan Wajib Pajak Badan diterima secara lengkap.
(5) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) terlampaui dan Kepala Kantor Pelayanan Pajak tidak menerbitkan keputusan, permohonan Wajib Pajak Badan dianggap dikabulkan dan Kepala Kantor Pelayanan Pajak harus menerbitkan surat keputusan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak paling lama 1 (satu) bulan setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berakhir.


 

Pasal 48

 

(1) Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) dilakukan Kepala Kantor Pelayanan Pajak berdasarkan data dan/atau informasi perpajakan yang dimiliki atau diperoleh Direktorat Jenderal Pajak.
(2) Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan hasil Pemeriksaan.
(3) Selain dilakukan berdasarkan hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kepala Kantor Pelayanan Pajak juga dapat melakukan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan berdasarkan hasil penelitian administrasi terhadap Wajib Pajak Badan yang memenuhi kriteria tertentu.
(4) Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui penerbitan keputusan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak.


 

Pasal 49

 

Selain memperhatikan pemenuhan persyaratan subjektif dan/atau objektif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1), Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dilakukan sepanjang Wajib Pajak Badan memenuhi ketentuan sebagai berikut:

a. tidak mempunyai utang pajak;
b. tidak sedang dilakukan tindakan:
1. Pemeriksaan dengan tujuan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan;
2. pemeriksaan bukti permulaan;
3. penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan; atau
4. penuntutan tindak pidana di bidang perpajakan;
c. tidak sedang dalam proses penyelesaian Prosedur Persetujuan Bersama (Mutual Agreement Procedure);
d. tidak sedang dalam proses penyelesaian kesepakatan harga transfer (advance pricing agreement); dan
e. tidak sedang dalam proses penyelesaian upaya administratif dan upaya hukum, berupa:
1. pembetulan sebagaimana diatur dalam Pasal 16 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
2. pengajuan keberatan;
3. pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan;
4. pengurangan atau penghapusan sanksi administratif;
5. pengurangan denda administratif Pajak Bumi dan Bangunan;
6. pengurangan atau pembatalan Surat Ketetapan Pajak yang tidak benar;
7. pengurangan atau pembatalan Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang atau Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan yang tidak benar;
8. pengurangan atau pembatalan Surat Tagihan Pajak yang tidak benar;
9. pembatalan Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan yang tidak benar;
10. pembatalan hasil pemeriksaan pajak atau surat ketetapan pajak dari hasil pemeriksaan;
11. gugatan;
12. banding; dan/atau
13. peninjauan kembali.


  

Pasal 50

 

(1) Wajib Pajak Instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (6) huruf d wajib mendaftarkan diri pada Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat kedudukan Wajib Pajak.
(2) Pendaftaran diri Wajib Pajak Instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lambat sebelum melakukan pemotongan dan/atau pemungutan pajak.
(3) Wajib Pajak Instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diharuskan untuk melaporkan subunit organisasinya ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak Instansi Pemerintah terdaftar untuk memperoleh Nomor Identitas Tempat Kegiatan Usaha bagi setiap subunit organisasinya.

 
 

Pasal 51

 

(1) Pendaftaran Wajib Pajak Instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 dilakukan dengan mengajukan permohonan yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, serta dilampiri dengan dokumen yang disyaratkan.
(2) Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh:
a. kepala Instansi Pemerintah Pusat, kuasa pengguna anggaran, kepala badan layanan umum atau pejabat yang melaksanakan fungsi tata usaha keuangan pada Instansi Pemerintah Pusat, untuk Instansi Pemerintah Pusat;
b. kepala Instansi Pemerintah Daerah, pengguna anggaran, kepala badan layanan umum daerah atau pejabat yang melaksanakan fungsi tata usaha keuangan pada satuan kerja perangkat daerah, untuk Instansi Pemerintah Daerah; atau
c. kepala desa atau perangkat desa yang melaksanakan pengelolaan keuangan desa berdasarkan keputusan kepala desa, untuk Instansi Pemerintah Desa.
(3) Dokumen yang disyaratkan sebagai lampiran permohonan pendaftaran Nomor Pokok Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. dokumen yang menunjukkan bahwa Wajib Pajak Instansi Pemerintah merupakan satuan kerja yang bertindak selaku pengguna Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang memiliki tugas dan wewenang untuk menyusun daftar isian pelaksanaan anggaran serta wajib menyelenggarakan akuntansi dan menyusun laporan keuangan dengan standar akuntansi pemerintahan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang keuangan negara, untuk Instansi Pemerintah Pusat;
b. dokumen yang menunjukkan bahwa Wajib Pajak Instansi Pemerintah merupakan satuan kerja perangkat daerah provinsi dan kabupaten/kota yang bertindak selaku pengguna Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang memiliki tugas dan wewenang untuk menyusun dokumen pelaksanaan anggaran serta wajib menyelenggarakan akuntansi dan menyusun laporan keuangan dengan standar akuntansi pemerintahan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang keuangan negara, untuk Instansi Pemerintah Daerah;
c. dokumen yang menunjukkan bahwa Wajib Pajak Instansi Pemerintah merupakan unit kerja yang menerapkan pola pengelolaan keuangan badan layanan umum, untuk Instansi Pemerintah Pusat berbentuk badan layanan umum;
d. dokumen yang menunjukkan bahwa Wajib Pajak Instansi Pemerintah merupakan unit kerja yang menerapkan pola pengelolaan keuangan badan layanan umum daerah, untuk Instansi Pemerintah Daerah berbentuk badan layanan umum daerah; atau
e. dokumen yang menunjukkan bahwa Wajib Pajak Instansi Pemerintah merupakan unit organisasi penyelenggara pemerintahan desa yang bertindak selaku pengguna Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, untuk Instansi Pemerintah Desa.
(4) Berdasarkan permohonan pendaftaran Wajib Pajak Instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak paling lama 1 (satu) hari kerja setelah permohonan diterima secara lengkap.


 

Pasal 52

 

(1) Dalam hal Wajib Pajak Instansi Pemerintah tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50, Kepala Kantor Pelayanan Pajak dapat menerbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan.
(2) Penerbitan Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan hasil penelitian administrasi sesuai data dan/atau informasi yang dimiliki atau diperoleh Direktorat Jenderal Pajak, termasuk data dan/atau informasi yang diperoleh dari kegiatan ekstensifikasi.

 
 

Pasal 53

 

(1) Kepala Kantor Pelayanan Pajak berdasarkan permohonan Wajib Pajak Instansi Pemerintah atau secara jabatan dapat melakukan perubahan data Wajib Pajak Instansi Pemerintah dalam hal data dan/atau informasi yang terdapat dalam administrasi perpajakan berbeda dengan keadaan yang sebenarnya.
(2) Permohonan perubahan data Wajib Pajak Instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan sesuai dengan ketentuan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, serta dilampiri dengan dokumen yang menunjukkan adanya perubahan data Wajib Pajak Instansi Pemerintah.
(3) Setelah melakukan penelitian atas permohonan perubahan data Wajib Pajak Instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan keputusan dan memberitahukannya kepada Wajib Pajak Instansi Pemerintah.
(4) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diterbitkan paling lama 1 (satu) hari kerja setelah permohonan diterima secara lengkap.


 

Pasal 54

 

(1) Selain dalam hal data dan/atau informasi yang terdapat dalam administrasi perpajakan berbeda dengan keadaan yang sebenarnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1), perubahan data Wajib Pajak Instansi Pemerintah dilakukan dalam hal terdapat perubahan alamat tempat kedudukan Wajib Pajak Instansi Pemerintah yang menyebabkan pemindahan wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar.
(2) Setelah melakukan penelitian atas permohonan pemindahan tempat Wajib Pajak Instansi Pemerintah terdaftar sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan keputusan dan memberitahukannya kepada Wajib Pajak Instansi Pemerintah.
(3) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterbitkan paling lama 5 (lima) hari kerja setelah permohonan diterima secara lengkap.


 

Pasal 55

 

(1) Kepala Kantor Pelayanan Pajak berdasarkan permohonan Wajib Pajak Instansi Pemerintah atau secara jabatan dapat menetapkan Wajib Pajak Instansi Pemerintah sebagai Wajib Pajak Nonaktif.
(2) Penetapan Wajib Pajak Nonaktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam hal Wajib Pajak Instansi Pemerintah:
a. tidak memenuhi persyaratan sebagai pemotong dan/atau pemungut pajak namun belum dilakukan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak; atau
b. memenuhi kriteria tertentu yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
(3) Permohonan penetapan Wajib Pajak Nonaktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, serta dilampiri dengan dokumen yang menunjukkan bahwa Wajib Pajak Instansi Pemerintah memenuhi kriteria Wajib Pajak Nonaktif.
(4) Setelah melakukan penelitian atas permohonan penetapan Wajib Pajak Nonaktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan keputusan dan memberitahukannya kepada Wajib Pajak Instansi Pemerintah.
(5) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diterbitkan paling lama 5 (lima) hari kerja setelah permohonan diterima secara lengkap.
(6) Dalam hal Wajib Pajak Instansi Pemerintah tidak lagi memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kepala Kantor Pelayanan Pajak berdasarkan permohonan Wajib Pajak Instansi Pemerintah atau secara jabatan dapat mengaktifkan kembali Wajib Pajak Nonaktif.


 

Pasal 56

 

(1) Kepala Kantor Pelayanan Pajak berdasarkan permohonan Wajib Pajak Instansi Pemerintah atau secara jabatan dapat melakukan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak terhadap Wajib Pajak Instansi Pemerintah yang sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(2) Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam hal Wajib Pajak Instansi Pemerintah:
a. tidak memenuhi persyaratan sebagai pemotong dan/atau pemungut pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan; atau
b. memiliki lebih dari 1 (satu) Nomor Pokok Wajib Pajak.
(3) Permohonan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak oleh Wajib Pajak Instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, serta dilampiri dengan dokumen yang menyatakan bahwa Wajib Pajak Instansi Pemerintah tidak memenuhi persyaratan sebagai pemotong dan/atau pemungut pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(4) Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak atas permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan hasil Pemeriksaan.
(5) Berdasarkan hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Kepala Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan keputusan atas permohonan tersebut paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal permohonan Wajib Pajak Instansi Pemerintah diterima secara lengkap.
(6) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) terlampaui dan Kepala Kantor Pelayanan Pajak tidak menerbitkan keputusan, permohonan Wajib Pajak Instansi Pemerintah dianggap dikabulkan dan Kepala Kantor Pelayanan Pajak harus menerbitkan surat keputusan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak paling lama 1 (satu) bulan setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) berakhir.



Pasal 57

 

(1) Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) dilakukan Kepala Kantor Pelayanan Pajak berdasarkan data dan/atau informasi perpajakan yang dimiliki atau diperoleh Direktorat Jenderal Pajak.
(2) Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan hasil Pemeriksaan.
(3) Selain dilakukan berdasarkan hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak juga dapat melakukan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan melalui penelitian administrasi terhadap Wajib Pajak Instansi Pemerintah dengan kriteria tertentu yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
(4) Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui penerbitan keputusan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak.


 

Pasal 58

 

Selain memperhatikan pemenuhan persyaratan subjektif dan/atau objektif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1), Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dilakukan sepanjang Wajib Pajak Instansi Pemerintah memenuhi ketentuan sebagai berikut:

a. tidak mempunyai utang pajak;
b. tidak sedang dilakukan tindakan:
1. Pemeriksaan dengan tujuan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan;
2. pemeriksaan bukti permulaan;
3. penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan; atau
4. penuntutan tindak pidana di bidang perpajakan; dan
c. tidak sedang dalam proses penyelesaian upaya administratif dan upaya hukum, berupa:
1. pembetulan sebagaimana diatur dalam Pasal 16 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
2. pengajuan keberatan;
3. pengurangan atau penghapusan sanksi administratif;
4. pengurangan atau pembatalan Surat Ketetapan Pajak yang tidak benar;
5. pengurangan atau pembatalan Surat Tagihan Pajak yang tidak benar;
6. pembatalan hasil pemeriksaan pajak atau surat ketetapan pajak dari hasil pemeriksaan;
7. gugatan;
8. banding; dan/atau
9. peninjauan kembali.


 

Pasal 59


Direktur Jenderal Pajak secara jabatan dapat:

a. menerbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak terhadap Wajib Pajak yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1), Pasal 17 ayat (2), Pasal 32 ayat (4), Pasal 40, dan Pasal 50 ayat (2);
b. memberikan nomor identitas perpajakan dalam bentuk Nomor Pokok Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (6) dan Pasal 39 ayat (4); dan
c. melakukan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak terhadap Wajib Pajak yang tidak lagi memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan,

untuk memberikan kemudahan dalam administrasi perpajakan.

 

Bagian Kedua
Tata Cara Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak
 
Pasal 60

 

(1) Pengusaha yang melakukan penyerahan dan/atau ekspor sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai, wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
(2) Ketentuan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan oleh Menteri.
(3) Pengusaha kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat memilih untuk melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak kecuali yang diwajibkan untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(4) Pengusaha yang sejak semula bermaksud melakukan penyerahan dan/atau ekspor sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dapat melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
(5) Kewajiban melaporkan usaha untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri mengenai kewajiban pelaporan usaha untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
(6) Pengusaha yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

 
 

Pasal 61

 

(1) Pengusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) melaporkan usahanya pada Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1).
(2) Dalam hal Pengusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) memiliki:
a. tempat tinggal atau tempat kedudukan yang berada di kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas; dan
b. tempat kegiatan usaha di luar kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas,
Pengusaha dimaksud harus menentukan tempat kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam huruf b sebagai tempat pelaporan usaha.
(3) Dalam hal Pengusaha memiliki lebih dari 1 (satu) tempat kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, Pengusaha harus menentukan salah satu tempat kegiatan usaha sebagai tempat pelaporan usaha.
(4) Dalam hal tempat kedudukan Pengusaha Badan menggunakan Kantor Virtual, Kantor Virtual tersebut dapat digunakan sebagai tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan sepanjang Pengusaha yang menyediakan jasa Kantor Virtual memenuhi ketentuan:
a. telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
b. menyediakan ruangan fisik untuk tempat melakukan kegiatan usaha bagi Pengusaha yang akan dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak; dan
c. secara nyata melakukan kegiatan layanan pendukung kantor.
(5) Selain harus memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Pengusaha yang menyediakan jasa Kantor Virtual harus memiliki:
a. dokumen yang menunjukkan adanya kontrak, perjanjian, atau dokumen sejenis yang masih berlaku antara Pengusaha yang menyediakan jasa Kantor Virtual dan Pengusaha; dan
b. dokumen yang menunjukkan adanya pemberian izin, keterangan usaha, atau keterangan kegiatan dari pejabat atau instansi yang berwenang, yaitu nomor induk berusaha atau dokumen lain yang sejenis.
(6) Dalam hal tempat kedudukan Pengusaha Badan berada di kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas dan memilih untuk menggunakan tempat kegiatan usaha berupa Kantor Virtual di luar kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas sebagai tempat pelaporan usaha, ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) berlaku juga bagi Kantor Virtual tersebut.


 

Pasal 62

 

(1) Pengusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dengan menyampaikan permohonan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.
(2) Dalam hal Pengusaha menggunakan Kantor Virtual sebagai tempat pelaporan usaha, Pengusaha harus memberikan pernyataan tentang kegiatan usaha dan tempat kegiatan usaha yang sebenarnya.
(3) Permohonan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.


 

Pasal 63

 

(1) Berdasarkan permohonan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1), Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Pengusaha terdaftar:
a. menerbitkan surat keterangan permohonan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak; dan
b. melakukan penelitian atas permohonan Pengusaha.
(2) Surat keterangan permohonan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diterbitkan paling lama 1 (satu) hari kerja setelah permohonan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak diterima lengkap.
(3) Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
a. penelitian atas kelengkapan data dan/atau dokumen yang terkait dengan identitas, pendirian, dan/atau kegiatan usaha;
b. penelitian atas kesesuaian kegiatan usaha di tempat tinggal, tempat kedudukan, dan/atau tempat kegiatan usaha Pengusaha dengan kelengkapan data dan/atau dokumen sebagaimana dimaksud dalam huruf a; dan
c. penelitian atas ketentuan penggunaan Kantor Virtual sebagai tempat pelaporan usaha dan pernyataan Pengusaha mengenai kegiatan usaha serta tempat kegiatan usaha yang sebenarnya, dalam hal Pengusaha menggunakan jasa Kantor Virtual.
(4) Penelitian terhadap data dan/atau dokumen atas identitas, pendirian, dan/atau kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dilakukan dengan meneliti data dan/atau dokumen yang tersedia dalam sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak, meliputi:
a. untuk Pengusaha orang pribadi dapat berupa data dan/atau dokumen identitas diri Pengusaha untuk Warga Negara Indonesia maupun Warga Negara Asing; dan
b. untuk Pengusaha Badan dapat berupa:
1. data dan/atau dokumen yang menunjukkan pendirian atau pembentukan Badan dan perubahannya; dan
2. data dan/atau dokumen yang menunjukkan identitas diri seluruh pengurus atau penanggung jawab Pengusaha.
(5) Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Pengusaha diadministrasikan memberikan keputusan berupa:
a. menerima permohonan Pengusaha untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dalam hal permohonan memenuhi ketentuan untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak; atau
b. menolak permohonan Pengusaha untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, dalam hal permohonan tidak memenuhi ketentuan untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
(6) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diberikan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah permohonan diterima secara lengkap.


 

Pasal 64

 

(1) Dalam hal permohonan Pengusaha untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak diterima sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (5) huruf a, Kepala Kantor Pelayanan Pajak memberikan akses pembuatan Faktur Pajak.
(2) Akses pembuatan Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat digunakan oleh Pengusaha sejak tanggal dimulainya kewajiban sebagai Pengusaha Kena Pajak sebagaimana tercantum dalam keputusan pengukuhan sebagai Pengusaha Kena Pajak.


 

Pasal 65

 

(1) Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menonaktifkan akses pembuatan Faktur Pajak terhadap:
a. Pengusaha Kena Pajak yang terindikasi menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak pengukuhan Pengusaha Kena Pajak; dan/atau
b. Pengusaha Kena Pajak selain sebagaimana dimaksud dalam huruf a yang tidak melaksanakan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan sesuai dengan kriteria yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
(2) Terhadap penonaktifan akses pembuatan Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pengusaha Kena Pajak dapat menyampaikan klarifikasi kepada Direktur Jenderal Pajak.
(3) Dalam hal berdasarkan klarifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau data dan/atau informasi yang dimiliki Direktorat Jenderal Pajak diketahui bahwa Pengusaha Kena Pajak tidak memenuhi kriteria penonaktifan akses pembuatan Faktur Pajak, Direktur Jenderal Pajak mengaktifkan kembali akses pembuatan Faktur Pajak.
(4) Dalam hal Pengusaha Kena Pajak tidak menyampaikan klarifikasi sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak penonaktifan akses pembuatan Faktur Pajak atau klarifikasi Pengusaha Kena Pajak ditolak, Kepala Kantor Pelayanan Pajak melakukan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak secara jabatan.
(5) Pengusaha yang telah dilakukan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat dikukuhkan kembali sebagai Pengusaha Kena Pajak sepanjang telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).


 

Pasal 66

 

(1) Kepala Kantor Pelayanan Pajak dapat mengukuhkan Pengusaha Kena Pajak secara jabatan dalam hal Pengusaha tidak melaksanakan kewajiban pelaporan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1).
(2) Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak secara jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan hasil Pemeriksaan atau hasil penelitian administrasi, sesuai dengan data dan/atau informasi yang dimiliki atau diperoleh Direktorat Jenderal Pajak, termasuk data dan/atau informasi yang diperoleh dari kegiatan ekstensifikasi.
(3) Kepala Kantor Pelayanan Pajak memberikan keputusan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak secara jabatan dan akses pembuatan Faktur Pajak kepada Pengusaha yang dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).


 

Pasal 67

 

Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak dapat dilakukan oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak berdasarkan permohonan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak atau secara jabatan.

 
 

Pasal 68

 

(1) Pengusaha Kena Pajak menyampaikan permohonan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 pada Kantor Pelayanan Pajak tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan.
(2) Permohonan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, serta dilampiri dengan dokumen yang menunjukkan bahwa Pengusaha Kena Pajak tidak lagi memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1).
(3) Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak berdasarkan permohonan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan hasil Pemeriksaan.
(4) Berdasarkan hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Kepala Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan keputusan atas permohonan tersebut paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal permohonan Pengusaha Kena Pajak diterima secara lengkap.
(5) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) telah terlampaui dan Kepala Kantor Pelayanan Pajak tidak menerbitkan keputusan, permohonan Pengusaha Kena Pajak dianggap dikabulkan dan Kepala Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan surat keputusan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak paling lama 1 (satu) bulan setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berakhir.

 
 

Pasal 69

 

(1) Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak secara jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67, dilakukan terhadap Pengusaha Kena Pajak yang tidak lagi memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60.
(2) Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak secara jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan hasil Pemeriksaan atau hasil penelitian administrasi.
(3) Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak secara jabatan melalui penelitian administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan terhadap Pengusaha Kena Pajak yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. Pengusaha Kena Pajak dengan status Wajib Pajak Nonaktif;
b. Pengusaha Kena Pajak telah dinonaktifkan akses pembuatan Faktur Pajak dan tidak melakukan klarifikasi dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak penonaktifan atau klarifikasinya ditolak;
c. Pengusaha Kena Pajak menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak pengukuhan Pengusaha Kena Pajak yang telah mendapatkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap;
d. Pengusaha Kena Pajak orang pribadi telah meninggal dunia dan tidak meninggalkan warisan;
e. Pengusaha Kena Pajak bentuk usaha tetap telah menghentikan kegiatan usaha di Indonesia; dan/atau
f. Pengusaha Kena Pajak dengan keadaan tertentu yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
(4) Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui penerbitan keputusan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.
(5) Berdasarkan pertimbangan kemudahan administratif, Direktur Jenderal Pajak secara jabatan dapat melakukan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak terhadap Pengusaha Kena Pajak yang tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai Pengusaha Kena Pajak.

 
 

Pasal 70

 

(1) Kewajiban perpajakan bagi Wajib Pajak yang diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak berdasarkan permohonan Wajib Pajak atau secara jabatan dimulai sejak saat Wajib Pajak memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, paling lama 5 (lima) tahun sebelum diterbitkannya Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
(2) Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak dan/atau Surat Tagihan Pajak untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sebelum Wajib Pajak diberikan atau diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, dalam hal diperoleh data dan/atau informasi yang menunjukkan adanya kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi oleh Wajib Pajak.
(3) Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak dan/atau Surat Tagihan Pajak untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sebelum dan/atau setelah Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, dalam hal setelah Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, diperoleh data dan/atau informasi yang menunjukkan adanya kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi oleh Wajib Pajak.
(4) Penerbitan Surat Ketetapan Pajak dan/atau Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) yang terkait dengan kewajiban perpajakan berupa Pajak Pertambahan Nilai, Pengusaha tidak perlu dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
(5) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dalam hal perhitungan Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan menerapkan pedoman pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (9a) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai, Pengusaha harus dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak terlebih dahulu.
(6) Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak dimaksudkan untuk kepentingan administrasi perpajakan serta tidak menghilangkan hak dan kewajiban perpajakan yang harus dilaksanakan oleh Wajib Pajak dan/atau Pengusaha Kena Pajak yang bersangkutan.


 

Bagian Ketiga
Tata Cara Pendaftaran, Pelaporan, dan Pendataan Objek Pajak Bumi dan Bangunan
 
Pasal 71

 

(1) Setiap Wajib Pajak wajib melakukan pendaftaran pada Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar paling lama 1 (satu) bulan setelah saat terpenuhinya persyaratan subjektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Bumi dan Bangunan untuk diberikan Surat Keterangan Terdaftar Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan.
(2) Saat terpenuhinya persyaratan subjektif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. tanggal izin usaha perkebunan yang diterbitkan oleh pemerintah daerah atau Lembaga Online Single Submission, atau tanggal hak guna usaha yang diterbitkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanahan, untuk Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan sektor perkebunan;
b. tanggal penugasan atau tanggal izin usaha yang diterbitkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan atau Lembaga Online Single Submission, untuk Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan sektor perhutanan;
c. tanggal efektif berlakunya Kontrak Kerja Sama yang ditandatangani oleh pemerintah dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama atau tanggal Kontrak Kerja Sama ditandatangani dalam hal tidak terdapat tanggal efektif berlakunya kontrak, untuk Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan sektor pertambangan minyak dan gas bumi;
d. tanggal izin, kuasa, atau penugasan, yang diterbitkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral atau Lembaga Online Single Submission, atau tanggal kontrak ditandatangani, untuk Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan sektor pertambangan untuk pengusahaan panas bumi;
e. tanggal izin yang diterbitkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral, pemerintah daerah atau Lembaga Online Single Submission, atau tanggal kontrak atau perjanjian, untuk Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan sektor pertambangan mineral atau batubara; atau
f. tanggal izin usaha perikanan yang diterbitkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan atau Lembaga Online Single Submission, atau tanggal izin perairan yang diterbitkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perhubungan, untuk Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan sektor lainnya.
(3) Surat Keterangan Terdaftar Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat identitas Objek Pajak berupa Nomor Objek Pajak.



Pasal 72

 

Pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 dilakukan dengan mengajukan permohonan yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.


 

Pasal 73

 

(1) Permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 dilampiri dokumen Objek Pajak.
(2) Dokumen Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
a. dokumen izin usaha perkebunan yang diterbitkan oleh pemerintah daerah atau Lembaga Online Single Submission dan/atau hak guna usaha yang diterbitkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanahan, untuk Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan sektor perkebunan;
b. dokumen penugasan atau izin yang diterbitkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan atau Lembaga Online Single Submission, untuk Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan sektor perhutanan;
c. dokumen Kontrak Kerja Sama yang ditandatangani oleh pemerintah dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama, untuk Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan sektor pertambangan minyak dan gas bumi;
d. dokumen izin, kuasa, atau penugasan yang diterbitkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral atau Lembaga Online Single Submission, atau dokumen kontrak, untuk Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan sektor pertambangan untuk pengusahaan panas bumi;
e. dokumen izin yang diterbitkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral atau pemerintah daerah atau Lembaga Online Single Submission, dokumen kontrak, atau perjanjian, untuk Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan sektor pertambangan mineral atau batubara; atau
f. dokumen izin yang diterbitkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan atau Lembaga Online Single Submission, atau di bidang perhubungan, untuk Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan sektor lainnya.


 

Pasal 74

 

(1) Berdasarkan permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72, Kepala Kantor Pelayanan Pajak melakukan penelitian administrasi.
(2) Berdasarkan penelitian administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan keputusan berupa:
a. menerima permohonan dengan menerbitkan Surat Keterangan Terdaftar Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan; atau
b. menolak permohonan dengan menerbitkan surat penolakan permohonan pendaftaran Objek Pajak,
paling lama 10 (sepuluh) hari kerja terhitung setelah permohonan diterima secara lengkap.
(3) Dalam hal Kepala Kantor Pelayanan Pajak tidak menerbitkan keputusan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), permohonan dianggap dikabulkan dan Kepala Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan Surat Keterangan Terdaftar Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan paling lama 1 (satu) hari kerja setelah jangka waktu pemberian keputusan berakhir.


   

Pasal 75

 

(1) Dalam hal Wajib Pajak tidak melaksanakan kewajiban pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (1), Kepala Kantor Pelayanan Pajak melakukan Pemeriksaan atau penelitian administrasi.
(2) Berdasarkan hasil Pemeriksaan atau penelitian administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan Surat Keterangan Terdaftar Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan berdasarkan kewenangan secara jabatan.
(3) Surat Keterangan Terdaftar Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikirimkan kepada Wajib Pajak paling lama 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak tanggal penerbitan Surat Keterangan Terdaftar Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan.


 

Pasal 76

 

(1) Kepala Kantor Pelayanan Pajak berdasarkan permohonan Wajib Pajak atau berdasarkan kewenangan secara jabatan dapat melakukan perubahan data objek pajak Pajak Bumi dan Bangunan yang tercantum dalam Surat Keterangan Terdaftar Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan.
(2) Permohonan perubahan data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan sesuai dengan ketentuan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.


 

Pasal 77

 

(1) Kepala Kantor Pelayanan Pajak berdasarkan permohonan Wajib Pajak atau berdasarkan kewenangan secara jabatan dapat melakukan pencabutan Surat Keterangan Terdaftar Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan terhadap Objek Pajak yang sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Bumi dan Bangunan.
(2) Permohonan pencabutan Surat Keterangan Terdaftar Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan sesuai dengan ketentuan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.
(3) Permohonan pencabutan Surat Keterangan Terdaftar Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilampiri dengan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (2), yang sudah berakhir dan tidak dilakukan perpanjangan masa berlakunya.
(4) Pencabutan Surat Keterangan Terdaftar Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan berdasarkan kewenangan secara jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak berdasarkan data dan/atau informasi perpajakan yang dimiliki atau diperoleh Direktorat Jenderal Pajak.
(5) Pencabutan Surat Keterangan Terdaftar Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan atas permohonan Wajib Pajak atau berdasarkan kewenangan secara jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan hasil Pemeriksaan atau penelitian administrasi.
(6) Berdasarkan hasil Pemeriksaan atau penelitian administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Kepala Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan keputusan berupa:
a. menerima permohonan Wajib Pajak dengan menerbitkan surat keputusan pencabutan Surat Keterangan Terdaftar Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan; atau
b. menolak permohonan Wajib Pajak dengan menerbitkan surat penolakan pencabutan Surat Keterangan Terdaftar Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan.
(7) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diterbitkan paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal permohonan Wajib Pajak diterima secara lengkap.
(8) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (7) terlampaui dan Kepala Kantor Pelayanan Pajak tidak menerbitkan keputusan, permohonan Wajib Pajak dianggap dikabulkan.
(9) Kepala Kantor Pelayanan Pajak harus menerbitkan surat keputusan pencabutan Surat Keterangan Terdaftar Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan paling lama 1 (satu) bulan setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (8) berakhir.


 

Pasal 78

 

(1) Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang dan/atau Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan untuk Tahun Pajak sebelum Wajib Pajak diberikan atau diterbitkan Surat Keterangan Terdaftar Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan, apabila diperoleh data dan/atau informasi yang menunjukkan adanya kewajiban perpajakan Pajak Bumi dan Bangunan yang belum dipenuhi Wajib Pajak.
(2) Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan dan/atau Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan sebelum dan/atau setelah pencabutan Surat Keterangan Terdaftar Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan, apabila setelah pencabutan Surat Keterangan Terdaftar Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan diperoleh data dan/atau informasi yang menunjukkan adanya kewajiban perpajakan Pajak Bumi dan Bangunan yang belum dipenuhi Wajib Pajak.
(3) Surat Pemberitahuan Pajak Terutang dan/atau Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diterbitkan dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun setelah saat berakhirnya Tahun Pajak.


 

Pasal 79

 

(1) Wajib Pajak wajib melakukan pelaporan atas Objek Pajak yang telah terdaftar dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Objek Pajak yang disampaikan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
(2) Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk setiap Tahun Pajak.
(3) Tanggal penyampaian Surat Pemberitahuan Objek Pajak oleh Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tanggal diterimanya Surat Pemberitahuan Objek Pajak oleh Wajib Pajak, meliputi:
a. tanggal 1 Februari Tahun Pajak Pajak Bumi dan Bangunan terutang, untuk Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan sektor perkebunan, Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan sektor pertambangan minyak dan gas bumi, dan Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan sektor pertambangan untuk pengusahaan panas bumi;
b. tanggal 31 Maret Tahun Pajak Pajak Bumi dan Bangunan terutang, untuk Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan sektor perhutanan, Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan sektor pertambangan mineral atau batubara, dan Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan sektor lainnya; atau
c. tanggal Objek Pajak terdaftar sebagaimana tercantum dalam Surat Keterangan Terdaftar Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan, dalam hal Pendaftaran Objek Pajak diterbitkan Surat Keterangan Terdaftar Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan setelah 1 Februari Tahun Pajak Pajak Bumi dan Bangunan terutang sebagaimana dimaksud dalam huruf a atau tanggal 31 Maret Tahun Pajak Pajak Bumi dan Bangunan terutang sebagaimana dimaksud dalam huruf b, dan terpenuhi kondisi saat terutang Pajak Bumi dan Bangunan menurut keadaan Objek Pajak pada tanggal 1 Januari Tahun Pajak Pajak Bumi dan Bangunan terutang.


 

Pasal 80

 

(1) Surat Pemberitahuan Objek Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (1) merupakan Surat Pemberitahuan Objek Pajak Elektronik.
(2) Direktorat Jenderal Pajak menyampaikan Surat Pemberitahuan Objek Pajak Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Wajib Pajak melalui Akun Wajib Pajak.
(3) Direktorat Jenderal Pajak menyampaikan pemberitahuan penyampaian Surat Pemberitahuan Objek Pajak Elektronik kepada Wajib Pajak.
(4) Wajib Pajak wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Objek Pajak Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Direktorat Jenderal Pajak melalui:
a. Portal Wajib Pajak; atau
b. laman atau aplikasi lain yang terintegrasi dengan sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak.
(5) Tanggal penyampaian Surat Pemberitahuan Objek Pajak Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan tanggal yang tercantum dalam bukti penerimaan elektronik.



Pasal 81

 

(1) Surat Pemberitahuan Objek Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (1) wajib diisi dengan jelas, benar, dan lengkap serta ditandatangani oleh Wajib Pajak dan disampaikan kepada Direktorat Jenderal Pajak paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal diterimanya Surat Pemberitahuan Objek Pajak.
(2) Jelas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berarti bahwa pengisian data dalam Surat Pemberitahuan Objek Pajak tidak menimbulkan salah tafsir yang dapat merugikan negara maupun Wajib Pajak sendiri.
(3) Benar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berarti bahwa semua data yang dilaporkan harus sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.
(4) Lengkap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berarti bahwa Surat Pemberitahuan Objek Pajak memuat semua unsur yang harus dilaporkan dan dilampiri dokumen pendukung isian Surat Pemberitahuan Objek Pajak.



Pasal 82

 

(1) Dalam hal jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (1) tidak dapat dipenuhi, Wajib Pajak dapat menyampaikan surat pemberitahuan penundaan penyampaian Surat Pemberitahuan Objek Pajak.
(2) Surat pemberitahuan penundaan penyampaian Surat Pemberitahuan Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diterima sebelum jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (1) berakhir.
(3) Penundaan penyampaian Surat Pemberitahuan Objek Pajak dilakukan paling lama 7 (tujuh) hari setelah jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (1) berakhir.


  

Pasal 83

 

(1) Dalam hal Surat Pemberitahuan Objek Pajak belum disampaikan kepada Direktorat Jenderal Pajak setelah jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (1), dan Wajib Pajak tidak menyampaikan surat pemberitahuan penundaan penyampaian Surat Pemberitahuan Objek Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (1), Kepala Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan surat teguran dan menyampaikan kepada Wajib Pajak melalui Akun Wajib Pajak.
(2) Dalam hal Surat Pemberitahuan Objek Pajak belum disampaikan kepada Direktorat Jenderal Pajak setelah jangka waktu 7 (tujuh) hari sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (3), Kepala Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan surat teguran dan menyampaikan kepada Wajib Pajak melalui Akun Wajib Pajak.
(3) Wajib Pajak wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Objek Pajak dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari setelah tanggal diterimanya surat teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
(4) Tanggal diterimanya surat teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan tanggal dikirimnya surat teguran ke Akun Wajib Pajak.
(5) Dalam hal Wajib Pajak tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan Objek Pajak dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Kantor Pelayanan Pajak membuat analisis risiko untuk usulan Pemeriksaan.


 

Pasal 84

 

(1) Dokumen pendukung isian Surat Pemberitahuan Objek Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (4) untuk Pajak Bumi dan Bangunan sektor perkebunan, meliputi:
a. dokumen izin usaha perkebunan yang diterbitkan oleh pemerintah daerah atau Lembaga Online Single Submission dan/atau hak guna usaha yang diterbitkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanahan; dan
b. laporan perkembangan usaha perkebunan dan peta tahun tanam tahun terakhir sebelum Tahun Pajak Pajak Bumi dan Bangunan terutang dalam format tertentu.
(2) Dokumen pendukung isian Surat Pemberitahuan Objek Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (4) untuk Pajak Bumi dan Bangunan sektor perhutanan, meliputi:
a. dokumen izin atau penugasan yang diterbitkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan atau Lembaga Online Single Submission;
b. rencana kerja usaha Tahun Pajak Pajak Bumi dan Bangunan terutang;dan
c. rencana kerja tahunan beserta peta kerja Tahun Pajak Pajak Bumi dan Bangunan terutang atau tahun terakhir sebelum Tahun Pajak Pajak Bumi dan Bangunan terutang dalam format tertentu.
(3) Dokumen pendukung isian Surat Pemberitahuan Objek Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (4) untuk Pajak Bumi dan Bangunan sektor pertambangan minyak dan gas bumi, meliputi:
a. dokumen Kontrak Kerja Sama yang ditandatangani oleh pemerintah dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama;
b. peta wilayah kerja minyak dan gas bumi dalam format tertentu;
c. authorization for expenditure, dan financial quarterly report triwulan IV tahun terakhir sebelum Tahun Pajak Pajak Bumi dan Bangunan terutang; dan
d. dokumen kontrak atau perjanjian jual beli gas untuk pertambangan gas bumi tahun terakhir sebelum Tahun Pajak Pajak Bumi dan Bangunan terutang.
(4) Dokumen pendukung isian Surat Pemberitahuan Objek Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (4) untuk Pajak Bumi dan Bangunan sektor pertambangan untuk pengusahaan panas bumi, meliputi:
a. dokumen izin, kuasa, atau penugasan yang diterbitkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral atau Lembaga Online Single Submission, atau dokumen kontrak;
b. peta wilayah kerja panas bumi dalam format tertentu; dan
c. rencana kerja dan anggaran biaya Tahun Pajak Pajak Bumi dan Bangunan terutang.
(5) Dokumen pendukung isian Surat Pemberitahuan Objek Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (4) untuk Pajak Bumi dan Bangunan sektor pertambangan mineral atau batubara, meliputi:
a. dokumen izin yang diterbitkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral atau pemerintah daerah atau Lembaga Online Single Submission, dokumen kontrak atau perjanjian; dan
b. rencana kerja dan anggaran biaya tahun terakhir sebelum Tahun Pajak Pajak Bumi dan Bangunan terutang.
(6) Dokumen pendukung isian Surat Pemberitahuan Objek Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (4) untuk Pajak Bumi dan Bangunan sektor lainnya, meliputi:
a. dokumen izin yang diterbitkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan atau Lembaga Online Single Submission, atau bidang perhubungan; dan
b. dokumen lain yang menjadi dasar pengisian Surat Pemberitahuan Objek Pajak.
(7) Dokumen pendukung isian Surat Pemberitahuan Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, ayat (2) huruf a, ayat (3) huruf a dan huruf b, ayat (4) huruf a dan huruf b, ayat (5) huruf a, dan ayat (6) huruf a, tidak harus dilampirkan pada Surat Pemberitahuan Objek Pajak jika sudah dilampirkan pada saat pendaftaran atau sudah dilaporkan pada saat pelaporan data Objek Pajak pada Tahun Pajak sebelumnya.
(8) Dokumen pendukung isian Surat Pemberitahuan Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, ayat (2) huruf a, ayat (3) huruf a dan huruf b, ayat (4) huruf a dan huruf b, ayat (5) huruf a, dan ayat (6) huruf a, tidak harus dilampirkan pada Surat Pemberitahuan Objek Pajak jika tidak ada perubahan.
(9) Dalam hal terdapat dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) yang belum dapat dilampirkan, Surat Pemberitahuan Objek Pajak dianggap lengkap sepanjang Wajib Pajak melampirkan pernyataan tertulis yang:
a. ditandatangani oleh Wajib Pajak;
b. mencantumkan jenis dokumen yang belum dapat dilampirkan;
c. menjelaskan alasan belum dapat dilampirkannya dokumen dimaksud; dan
d. menyatakan akan menyampaikan dokumen dimaksud paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak:
1. berakhirnya jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (1);
2. Surat Pemberitahuan Objek Pajak disampaikan oleh Wajib Pajak melalui penundaan penyampaian Surat Pemberitahuan Objek Pajak; atau
3. Surat Pemberitahuan Objek Pajak disampaikan oleh Wajib Pajak setelah diterbitkan surat teguran penyampaian Surat Pemberitahuan Objek Pajak.


 

Pasal 85

 

(1) Direktorat Jenderal Pajak melakukan penelitian formal terhadap Surat Pemberitahuan Objek Pajak yang disampaikan oleh Wajib Pajak, atas:
a. kelengkapan pengisian Surat Pemberitahuan Objek Pajak;
b. Surat Pemberitahuan Objek Pajak yang ditandatangani oleh Wajib Pajak atau kuasa Wajib Pajak;
c. Surat Pemberitahuan Objek Pajak yang dilengkapi dengan dokumen pendukung isian Surat Pemberitahuan Objek Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84; dan
d. Surat Pemberitahuan Objek Pajak yang disampaikan oleh Wajib Pajak dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (1), Pasal 82 ayat (3), atau Pasal 83 ayat (3).
(2) Dalam hal hasil penelitian formal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terpenuhi, Direktorat Jenderal Pajak menerbitkan bukti penerimaan elektronik.
(3) Dalam hal hasil penelitian formal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak terpenuhi, Surat Pemberitahuan Objek Pajak dianggap tidak disampaikan.


 

Pasal 86

 

(1) Direktorat Jenderal Pajak melalui Kantor Pelayanan Pajak tempat Objek Pajak terdaftar melakukan penelitian material terhadap Surat Pemberitahuan Objek Pajak yang telah disampaikan oleh Wajib Pajak dan telah dilakukan penelitian formal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1).
(2) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian material sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdapat indikasi kewajiban perpajakan dalam pengisian Surat Pemberitahuan Objek Pajak tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, Direktorat Jenderal Pajak melalui Kantor Pelayanan Pajak tempat Objek Pajak terdaftar dapat meminta klarifikasi kepada Wajib Pajak.
(3) Klarifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan menerbitkan dan menyampaikan surat permintaan klarifikasi.
(4) Klarifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilanjutkan dengan melakukan peninjauan Objek Pajak.
(5) Berdasarkan surat permintaan klarifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Wajib Pajak menanggapi dengan:
a. membuat surat tanggapan atas surat permintaan klarifikasi; dan/atau
b. melakukan pembetulan Surat Pemberitahuan Objek Pajak.
(6) Direktorat Jenderal Pajak melalui Kantor Pelayanan Pajak tempat Objek Pajak terdaftar membuat laporan pelaksanaan klarifikasi berdasarkan hasil klarifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(7) Laporan pelaksanaan klarifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat digunakan sebagai bahan analisis risiko untuk usulan Pemeriksaan dalam hal:
a. Wajib Pajak tidak membuat surat tanggapan atas surat permintaan klarifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a;
b. Wajib Pajak tidak melakukan pembetulan Surat Pemberitahuan Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b; atau
c. Wajib Pajak melakukan pembetulan Surat Pemberitahuan Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b tetapi tidak sesuai dengan surat permintaan klarifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3).


 

Pasal 87

 

(1) Wajib Pajak dapat membetulkan Surat Pemberitahuan Objek Pajak yang telah disampaikan kepada Direktorat Jenderal Pajak melalui penyampaian Surat Pemberitahuan Objek Pajak pembetulan.
(2) Surat Pemberitahuan Objek Pajak pembetulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lama 15 (lima belas) hari setelah berakhirnya jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (1).
(3) Dalam hal surat permintaan klarifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (3) disampaikan kepada Wajib Pajak setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berakhir, Surat Pemberitahuan Objek Pajak pembetulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (5) huruf b disampaikan paling lama 7 (tujuh) hari sejak tanggal diterimanya surat permintaan klarifikasi.
(4) Tanggal diterimanya surat permintaan klarifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan tanggal dikirimnya surat permintaan klarifikasi ke Akun Wajib Pajak.


 

Pasal 88

 

(1) Wajib Pajak yang melakukan pembetulan Surat Pemberitahuan Objek Pajak harus menyampaikan Surat Pemberitahuan Objek Pajak pembetulan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (2) atau ayat (3).
(2) Dalam hal Surat Pemberitahuan Objek Pajak pembetulan disampaikan Wajib Pajak melewati jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Surat Pemberitahuan Objek Pajak pembetulan dianggap tidak disampaikan.


 

Pasal 89

 

(1) Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan Pendataan terhadap Objek Pajak yang telah terdaftar.
(2) Jenis Pendataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Pendataan kantor; dan/atau
b. Pendataan lapangan.
(3) Pendataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh petugas Pendataan.
(4) Hasil Pendataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan dalam bentuk laporan hasil Pendataan.


 

Pasal 90

 

(1) Pendataan kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (2) huruf a dilakukan dengan cara mengolah data Objek Pajak yang dilaporkan oleh Wajib Pajak melalui Surat Pemberitahuan Objek Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (1) dan/atau mengolah data dan informasi yang terdapat dalam sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak.
(2) Ruang lingkup Pendataan kantor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. pengumpulan data; dan
b. pemetaan.
(3) Pengumpulan data sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a merupakan kegiatan yang meliputi:
a. pengumpulan data Objek Pajak yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Objek Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (1); dan
b. pengolahan data Objek Pajak yang bersumber dari Instansi Pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan tentang pemberian dan penghimpunan data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan.
(4) Pemetaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilakukan melalui pengkonversian peta Objek Pajak, yang meliputi:
a. transformasi antar sistem proyeksi; dan/atau
b. digitasi peta analog ke peta digital.



Pasal 91

 

(1) Pendataan lapangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (2) huruf b dilakukan dengan cara melakukan peninjauan pada lokasi fisik Objek Pajak dan/atau lokasi lain di luar lokasi fisik Objek Pajak, atas data Objek Pajak yang seharusnya dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Objek Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (1).
(2) Ruang lingkup Pendataan lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. pengumpulan data; dan
b. pemetaan.
(3) Pengumpulan data sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a merupakan kegiatan pengumpulan data Objek Pajak yang tidak atau belum dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Objek Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (1).
(4) Pemetaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilakukan melalui pengukuran Objek Pajak, yang meliputi:
a. pengukuran menggunakan sistem pengukuran berbasis satelit;
b. pengukuran dengan bantuan data penginderaan jauh; dan/atau
c. pengukuran dengan alat ukur manual.


 

Pasal 92

 

(1) Dalam hal Wajib Pajak menyatakan menolak untuk dilakukan Pendataan lapangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (1), Wajib Pajak harus menandatangani surat pernyataan penolakan Pendataan.
(2) Dalam hal Wajib Pajak menolak menandatangani surat pernyataan penolakan Pendataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), petugas Pendataan membuat berita acara penolakan Pendataan yang ditandatangani oleh petugas Pendataan.
(3) Dalam hal Wajib Pajak menyatakan menolak untuk dilakukan Pendataan lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau menolak menandatangani surat pernyataan penolakan Pendataan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), petugas Pendataan tetap melakukan Pendataan berdasarkan data dan/atau informasi yang dimiliki dan/atau diperoleh Direktorat Jenderal Pajak.
(4) Pendataan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaporkan dalam bentuk laporan hasil Pendataan.


 

Pasal 93

 

Laporan hasil Pendataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (4) dan Pasal 92 ayat (4) merupakan dokumen yang dapat digunakan sebagai:

a. bahan penelitian material sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (1); atau
b. bahan analisis risiko untuk usulan Pemeriksaan.

 
  

BAB V
TATA CARA PEMBAYARAN DAN PENYETORAN PAJAK, PENGEMBALIAN ATAS KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK YANG SEHARUSNYA TIDAK TERUTANG, IMBALAN BUNGA, SERTA PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK
 
Bagian Kesatu
Tata Cara Pembayaran dan Penyetoran Pajak
 
Pasal 94

 

(1) Pajak yang terutang wajib dibayar dan disetor sebelum melewati tanggal jatuh tempo.
(2) Pembayaran dan penyetoran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan paling lambat tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir meliputi:
a. Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2);
b. Pajak Penghasilan Pasal 15;
c. Pajak Penghasilan Pasal 21;
d. Pajak Penghasilan Pasal 22;
e. Pajak Penghasilan Pasal 23;
f. Pajak Penghasilan Pasal 25;
g. Pajak Penghasilan Pasal 26;
h. Pajak Penghasilan minyak bumi dan/atau gas bumi dari kegiatan usaha hulu minyak bumi dan/atau gas bumi yang dibayarkan setiap Masa Pajak;
i. Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean;
j. Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas kegiatan membangun sendiri;
k. Bea Meterai yang dipungut oleh pemungut Bea Meterai;
l. Pajak Penjualan; dan
m. Pajak Karbon yang dipungut oleh pemungut Pajak Karbon.
(3) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pembayaran dan penyetoran pajak atas:
a. Pajak Penghasilan Pasal 22 dan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas impor yang:
1. disetor sendiri oleh Wajib Pajak/importir wajib dilunasi bersamaan dengan saat pembayaran bea masuk, dalam hal bea masuk ditunda atau dibebaskan Pajak Penghasilan Pasal 22 dan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas impor wajib dilunasi pada saat penyelesaian dokumen pemberitahuan pabean impor; dan
2. dipungut oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai wajib disetor dalam jangka waktu 1 (satu) hari kerja setelah dilakukan pemungutan pajak;
b. Pajak Penghasilan Pasal 25 bagi Wajib Pajak dengan kriteria tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (3b) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang melaporkan beberapa Masa Pajak dalam satu Surat Pemberitahuan Masa wajib dibayar paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak terakhir;
c. Pembayaran masa selain Pajak Penghasilan Pasal 25 bagi Wajib Pajak dengan kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam huruf b wajib dibayar paling lama sesuai dengan batas waktu untuk masing-masing jenis pajak;
d. Tambahan Pajak Penghasilan atas saham pendiri yang dipungut oleh emiten, wajib disetorkan paling lama 1 (satu) bulan setelah saat terutangnya tambahan Pajak Penghasilan;
e. Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang dalam satu Masa Pajak wajib disetor paling lambat akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir dan sebelum Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai disampaikan; dan
f. Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai dan Pihak Lain wajib disetor paling lambat akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir dan sebelum Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai disampaikan.
(4) Wajib Pajak yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam Undang­-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan


 

Pasal 95

 

(1) Kekurangan pembayaran pajak yang terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan untuk Pajak Penghasilan dan Pajak Karbon, wajib dibayar secara lunas sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan disampaikan tetapi tidak melebihi batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan.
(2) Wajib Pajak yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.


 

Pasal 96

 

(1) Bea Meterai wajib dibayar secara lunas pada saat terutang Bea Meterai.
(2) Wajib Pajak yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.


 

Pasal 97

 

(1) Pajak yang masih harus dibayar berdasarkan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang harus dilunasi paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal diterimanya Surat Pemberitahuan Pajak Terutang oleh Wajib Pajak.
(2) Pajak yang masih harus dibayar berdasarkan Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan harus dilunasi paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan oleh Wajib Pajak.
(3) Pajak yang masih harus dibayar berdasarkan Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan harus dilunasi paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan oleh Wajib Pajak.
(4) Wajib Pajak yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam Undang­-Undang Pajak Bumi dan Bangunan


 

Pasal 98

 

(1) Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Persetujuan Bersama, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah, wajib dilunasi dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan.
(2) Dalam hal Wajib Pajak tidak mengajukan keberatan, atas jumlah pajak dalam Surat Ketetapan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang tidak disetujui Wajib Pajak dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan baik sebagian atau seluruhnya wajib dilunasi paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan.
(3) Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan dan tidak mengajukan permohonan banding, atas jumlah pajak dalam Surat Ketetapan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang tidak disetujui Wajib Pajak dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dan belum dibayar sampai dengan diterbitkan Surat Keputusan Keberatan wajib dilunasi paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan dengan memperhitungkan jumlah pajak berdasarkan Surat Keputusan Keberatan.
(4) Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan banding, atas jumlah pajak dalam Surat Ketetapan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang tidak disetujui Wajib Pajak dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dan belum dibayar sampai dengan diterbitkan Putusan Banding wajib dilunasi paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal penerbitan Putusan Banding dengan memperhitungkan jumlah pajak berdasarkan Putusan Banding.
(5) Dalam hal Wajib Pajak menyetujui seluruh jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan, pelunasan atas jumlah pajak yang masih harus dibayar wajib dilakukan paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal penerbitan Surat Ketetapan Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (3) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
(6) Jangka waktu pelunasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) juga berlaku atas sanksi administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (4) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dalam Surat Tagihan Pajak yang terkait dengan jumlah pajak dalam Surat Ketetapan Pajak yang tidak disetujui dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan.
(7) Tanggal diterbitkannya Putusan Banding dan Putusan Peninjauan Kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tanggal Putusan Banding dan Putusan Peninjauan Kembali diterima oleh kantor Direktorat Jenderal Pajak yang berwenang melaksanakan putusan.
(8) Wajib Pajak yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (6) dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.


 

Pasal 99

 

(1) Bagi Wajib Pajak usaha kecil dan Wajib Pajak di daerah tertentu, jangka waktu pelunasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (1) dapat diperpanjang menjadi paling lama 2 (dua) bulan sejak tanggal penerbitan.
(2) Wajib Pajak usaha kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari Wajib Pajak orang pribadi dan Wajib Pajak Badan.
(3) Wajib Pajak orang pribadi usaha kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas; dan
b. memiliki peredaran bruto tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak.
(4) Wajib Pajak Badan usaha kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. Wajib Pajak Badan tidak termasuk bentuk usaha tetap; dan
b. menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak.
(5) Untuk mendapatkan perpanjangan jangka waktu pelunasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wajib Pajak usaha kecil atau Wajib Pajak di daerah tertentu harus mengajukan permohonan perpanjangan jangka waktu pelunasan kepada Direktur Jenderal Pajak, paling lama 9 (sembilan) hari kerja sebelum tanggal jatuh tempo pembayaran dengan menggunakan surat permohonan perpanjangan jangka waktu pelunasan.
(6) Atas permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Direktur Jenderal Pajak menerbitkan keputusan dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah tanggal diterimanya permohonan.
(7) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) berupa:
a. menyetujui; atau
b. menolak permohonan Wajib Pajak.
(8) Dalam hal permohonan Wajib Pajak disetujui sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf a, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan keputusan persetujuan perpanjangan jangka waktu pelunasan pajak.
(9) Dalam hal permohonan Wajib Pajak ditolak sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf b, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan keputusan penolakan perpanjangan jangka waktu pelunasan pajak.
(10) Apabila jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (6) telah terlampaui dan Direktur Jenderal Pajak tidak menerbitkan suatu keputusan, permohonan Wajib Pajak dianggap diterima.
(11) Keputusan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (10) harus diterbitkan paling lama 5 (lima) hari kerja setelah jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja tersebut berakhir.


 

Pasal 100

 

(1) Dalam hal tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 bertepatan dengan hari libur, pembayaran atau penyetoran pajak dapat dilakukan paling lambat pada hari kerja berikutnya.
(2) Hari libur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu hari Sabtu, hari Minggu, hari libur nasional, hari yang diliburkan untuk penyelenggaraan pemilihan umum, atau hari yang ditetapkan sebagai cuti bersama secara nasional.


 

Pasal 101

 

Pembayaran dan penyetoran pajak dilakukan ke Kas Negara melalui layanan atau kanal pembayaran yang disediakan oleh Collecting Agent sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai sistem penerimaan negara secara elektronik.

  
 

Pasal 102

 

(1) Pembayaran dan penyetoran pajak dilakukan dengan menggunakan:
a. Surat Setoran Pajak;
b. Meterai, untuk pembayaran Bea Meterai; atau
c. sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak.
(2) Pembayaran dan penyetoran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pembayaran dan penyetoran Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Bea Meterai, Pajak Bumi Bangunan, Pajak Penjualan, dan Pajak Karbon.
(3) Pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan menggunakan Nomor Pokok Wajib Pajak pihak yang wajib melakukan pembayaran atau penyetoran pajak yang telah dipungut atau dipotong sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­-undangan di bidang perpajakan
(4) Sarana administrasi lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat berupa:
a. Bukti Penerimaan Negara atas pembayaran dan penyetoran pajak melalui sistem penerimaan negara secara elektronik;
b. Surat Setoran Pabean, Cukai, dan Pajak atas pembayaran dan penyetoran Pajak Penghasilan Pasal 22 impor, Pajak Pertambahan Nilai impor, dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah impor serta Pajak Pertambahan Nilai hasil tembakau buatan dalam negeri;
c. Bukti Pemindahbukuan atas pembayaran dan penyetoran pajak melalui Pemindahbukuan;
d. Surat Perintah Pencairan Dana atas pembayaran pajak; dan
e. bukti penerimaan pajak lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Surat Setoran Pajak dan sarana administrasi lain berupa Bukti Penerimaan Negara dan Surat Setoran Pabean, Cukai, dan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a dan huruf b dinyatakan sah, dalam hal telah divalidasi dengan Nomor Transaksi Penerimaan Negara.
(6) Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diakui sebagai bukti pembayaran yang sah dalam hal telah divalidasi oleh pejabat yang ditunjuk pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kegiatan usaha minyak dan gas bumi, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, atau Badan Pengelola Migas Aceh.
(7) Bukti Pemindahbukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c dinyatakan sah dalam hal telah ditandatangani oleh pejabat yang berwenang untuk menerbitkan Bukti Pemindahbukuan.
(8) Surat Perintah Pencairan Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf d dinyatakan sah dalam hal telah divalidasi oleh sistem perbendaharaan dan anggaran negara.
(9) Bukti penerimaan pajak lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf e dinyatakan sah dalam hal telah divalidasi oleh sistem atau pejabat yang berwenang mengesahkan bukti penerimaan dimaksud sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­-undangan
(10) Tanggal pembayaran dan penyetoran pajak diakui sesuai dengan:
a. tanggal bayar yang tertera pada Bukti Penerimaan Negara;
b. tanggal pembubuhan Meterai sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai tata cara pembayaran bea meterai;
c. tanggal bayar yang tertera pada Bukti Pemindahbukuan;
d. tanggal terbit Surat Perintah Pencairan Dana, untuk pembayaran dalam rangka pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
e. tanggal terbit Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak, untuk pelunasan Utang Pajak melalui perhitungan kelebihan pembayaran pajak; atau
f. tanggal bayar berdasarkan validasi pada sarana administrasi lain.


 

Pasal 103

 

(1) Wajib Pajak dapat melakukan pembayaran dan penyetoran pajak menggunakan Deposit Pajak.
(2) Pembayaran dan penyetoran pajak menggunakan Deposit Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui Pemindahbukuan.
(3) Pengisian Deposit Pajak dilakukan dengan:
a. pembayaran melalui sistem penerimaan negara secara elektronik;
b. permohonan Pemindahbukuan; atau
c. permohonan atas sisa kelebihan pembayaran pajak atau sisa imbalan bunga setelah diperhitungkan dengan Utang Pajak.
(4) Tanggal pengisian Deposit Pajak yang dilakukan dengan:
a. pembayaran melalui sistem penerimaan negara secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a diakui sebagai tanggal pembayaran dan penyetoran pajak sesuai dengan tanggal bayar yang tertera pada Bukti Penerimaan Negara;
b. permohonan Pemindahbukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b diakui sebagai tanggal pembayaran dan penyetoran pajak sesuai dengan tanggal bayar yang tertera pada Bukti Pemindahbukuan;dan
c. permohonan atas sisa kelebihan pembayaran pajak atau sisa imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c diakui sebagai tanggal pembayaran dan penyetoran pajak sesuai tanggal penerbitan Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak.


 

Pasal 104

 

(1) 1 (satu) Surat Setoran Pajak dapat digunakan untuk pembayaran dan penyetoran 1 (satu) atau beberapa:
a. jenis pajak;
b. Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak; atau
c. Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan, Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan, Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Persetujuan Bersama, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah.
(2) Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit berisi:
a. Nomor Pokok Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 ayat (3);
b. kode akun pajak;
c. kode jenis setoran;
d. Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak; dan
e. nominal yang disetor atau dibayar.
(3) Dalam hal Surat Setoran Pajak digunakan untuk pembayaran atas:
a. Surat Tagihan Pajak;
b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar;
c. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan;
d. Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan;
e. Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan;
f. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang; dan
g. Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Persetujuan Bersama, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah,
Surat Setoran Pajak harus memuat nomor ketetapan, keputusan, atau putusan.


 

Pasal 105

 

(1) Tata cara pembayaran dan penyetoran Pajak Dalam Rangka Impor yang diadministrasikan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pembayaran dan penyetoran Pajak Dalam Rangka Impor.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diberlakukan untuk penyetoran kekurangan Pajak Dalam Rangka Impor yang ditagih dengan Surat Tagihan Pajak atau Surat Ketetapan Pajak yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak.


 

Pasal 106

 

(1) Pembayaran dan penyetoran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 dilakukan dalam mata uang rupiah.
(2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Wajib Pajak yang:
a. telah mendapatkan izin menyelenggarakan Pembukuan dalam bahasa Inggris dan mata uang dolar Amerika Serikat melalui permohonan atau pemberitahuan secara tertulis harus melakukan pembayaran:
1. Pajak Penghasilan Pasal 25;
2. Pajak Penghasilan Pasal 29;
3. Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Persetujuan Bersama, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah yang diterbitkan dalam mata uang dolar Amerika Serikat; dan
4. Deposit Pajak yang digunakan untuk pembayaran sebagaimana dimaksud dalam angka 1 sampai dengan angka 3,
dengan menggunakan mata uang dolar Amerika Serikat; dan
b. ditunjuk sebagai Pihak Lain yang bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di luar Daerah Pabean dan memilih untuk melaksanakan kewajiban pembayaran dan pelaporan atas Pajak Pertambahan Nilai Perdagangan Melalui Sistem Elektronik menggunakan mata uang dolar Amerika Serikat, harus melakukan penyetoran Pajak Pertambahan Nilai Perdagangan Melalui Sistem Elektronik yang dipungut dengan menggunakan mata uang dolar Amerika Serikat.
(3) Pembayaran pajak dalam mata uang dolar Amerika Serikat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ke Kas Negara dilakukan melalui Bank Persepsi Valas atau lembaga persepsi lainnya valas.
(4) Dalam hal pembayaran dilakukan atas ketetapan, keputusan, atau putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a angka 3 melalui potongan Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak, pembayaran tersebut dilakukan dalam mata uang rupiah dengan menggunakan kurs yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri yang berlaku pada tanggal:
a. diterbitkannya ketetapan;
b. diterbitkannya keputusan; atau
c. diterimanya putusan oleh kantor Direktorat Jenderal Pajak yang berwenang melaksanakan putusan.


 

Pasal 107

 

(1) Wajib Pajak yang melakukan pembayaran dan penyetoran pajak melalui sistem pembayaran pajak secara elektronik diberikan Bukti Penerimaan Negara.
(2) Bukti Penerimaan Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa dokumen bukti pembayaran yang diberikan oleh tempat pembayaran, termasuk dokumen bukti pembayaran dalam format elektronik atau dokumen lain yang disamakan dengan Bukti Penerimaan Negara.



Pasal 108


Pemindahbukuan dapat dilakukan:

a. berdasarkan permohonan Wajib Pajak; atau
b. secara jabatan.

   
 

Pasal 109

 

(1) Pemindahbukuan berdasarkan permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 huruf a diajukan kepada Direktur Jenderal Pajak atas:
a. penggunaan Deposit Pajak;
b. pembayaran Pajak Penghasilan atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang belum dilakukan penelitian untuk penerbitan surat keterangan penelitian formal bukti pemenuhan kewajiban penyetoran Pajak Penghasilan;
c. penyetoran di muka Bea Meterai yang belum digunakan untuk menambah saldo deposit pada mesin teraan Meterai digital; dan
d. jumlah pembayaran yang lebih besar daripada pajak yang terutang.
(2) Pemindahbukuan dapat dilakukan untuk pembayaran Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Bea Meterai, Pajak Bumi dan Bangunan, Pajak Penjualan, dan Pajak Karbon.
(3) Pemindahbukuan atas jumlah pembayaran yang lebih besar daripada pajak yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d tidak dapat diajukan dalam hal pembayaran dimaksud merupakan:
a. pembayaran melalui Surat Setoran Pajak yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak, yang tidak dapat dikreditkan berdasarkan ketentuan Pasal 9 ayat (8) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai;
b. pembayaran atas penyetoran Bea Meterai atau pembayaran untuk penyetoran Bea Meterai dalam rangka:
1. pendistribusian Meterai elektronik kepada badan usaha yang bekerja sama dengan Perusahaan Umum (Perum) Percetakan Uang Republik Indonesia untuk melaksanakan pendistribusian Meterai elektronik; dan
2. penjualan Meterai tempel yang dilakukan oleh PT Pos Indonesia (Persero);
c. pembayaran pajak yang kode billing-nya diterbitkan oleh sistem billing selain yang diadministrasikan Direktorat Jenderal Pajak;
d. pembayaran pajak yang dianggap sebagai penyampaian Surat Pemberitahuan Masa;
e. pembayaran pajak sebagai satu kesatuan dengan penyampaian Surat Pemberitahuan; atau
f. pembayaran pajak yang sudah diperhitungkan dengan pajak terutang dalam Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan, Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan, Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Persetujuan Bersama, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah.
(4) Pemindahbukuan hanya dapat dilakukan antarpembayaran pajak dalam mata uang yang sama.
(5) Permohonan Pemindahbukuan diajukan oleh Wajib Pajak yang identitasnya tertera dalam bukti pembayaran.
(6) Tata cara penyampaian permohonan Pemindahbukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan sesuai dengan ketentuan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.
(7) Dalam hal Wajib Pajak melakukan penggabungan usaha, permohonan Pemindahbukuan atas pembayaran dan penyetoran pajak yang mencantumkan Nomor Pokok Wajib Pajak dari Wajib Pajak yang melakukan penggabungan usaha diajukan paling lama sebelum Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dari Wajib Pajak yang melakukan penggabungan usaha.
(8) Permohonan Pemindahbukuan atas kesalahan pembayaran atau penyetoran atas Pajak Penghasilan atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan harus dilampiri dengan dokumen yang menunjukkan adanya pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.

 
 

Pasal 110


Pemindahbukuan secara jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 huruf b dilakukan atas:

a. Bukti Pemindahbukuan yang terdapat kesalahan dalam penerbitan;
b. pembayaran dan/atau penyetoran pajak yang berdasarkan data dan informasi perlu dilakukan Pemindahbukuan;
c. Deposit Pajak untuk melunasi Utang Pajak yang masih tersisa pada saat dilakukan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak;
d. Deposit Pajak Wajib Pajak yang dilakukan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak karena penggabungan usaha ke Wajib Pajak hasil penggabungan usaha;
e. pembayaran dan/atau penyetoran pajak yang terdapat perbaikan data penerimaan dari Direktorat Jenderal Perbendaharaan; dan
f. pembayaran dan/atau penyetoran pajak sebagai tindak lanjut atas pelaksanaan penyitaan oleh juru sita.


  

Pasal 111

 

(1) Direktur Jenderal Pajak menerbitkan:
a. Bukti Pemindahbukuan dalam hal permohonan Pemindahbukuan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 atau Pemindahbukuan secara jabatan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110; atau
b. surat pemberitahuan penolakan permohonan Pemindahbukuan dalam hal permohonan Pemindahbukuan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109.
(2) Tanggal pembayaran pajak yang tertera dalam Bukti Pemindahbukuan mengacu pada tanggal pembayaran pajak dalam Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak yang diajukan Pemindahbukuan atau tanggal pengisian Deposit Pajak yang diajukan Pemindahbukuan.
(3) Bukti Pemindahbukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan dasar penyesuaian atas pembayaran dan penyetoran pajak yang dilakukan Wajib Pajak.



Pasal 112

 

(1) Meterai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 ayat (1) huruf b berupa:
a. Meterai tempel;
b. Meterai elektronik; atau
c. Meterai dalam bentuk lain.
(2) Meterai dalam bentuk lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi:
a. Meterai teraan;
b. Meterai komputerisasi;
c. Meterai percetakan; dan
d. Meterai teraan digital.
(3) Dalam pembayaran Bea Meterai menggunakan Meterai teraan, Wajib Pajak yang telah memperoleh izin pembuatan Meterai teraan harus:
a. melakukan penyetoran di muka Bea Meterai; dan
b. mengajukan permohonan penambahan saldo deposit pada mesin teraan Meterai digital,
sebelum membubuhkan Meterai teraan.
(4) Permohonan penambahan saldo deposit pada mesin teraan Meterai digital dilakukan dengan ketentuan:
a. mencantumkan nomor seri mesin yang akan dilakukan penambahan saldo deposit; dan
b. nilai nominal penambahan saldo deposit sebesar Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah) atau kelipatannya.
(5) Berdasarkan permohonan penambahan saldo deposit pada mesin teraan Meterai digital sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Wajib Pajak akan memperoleh:
a. tambahan saldo deposit pada mesin teraan Meterai digital; atau
b. kode yang harus diinput untuk menambah saldo deposit pada mesin teraan Meterai digital,
dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak bukti penerimaan diterbitkan.
(6) Permohonan penambahan saldo deposit pada mesin teraan Meterai digital yang tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) mengakibatkan sistem Meterai teraan gagal menghasilkan tambahan saldo deposit pada mesin teraan Meterai digital atau kode sebagaimana dimaksud pada ayat (5).
(7) Permohonan penambahan saldo deposit pada mesin teraan Meterai digital disampaikan sesuai dengan ketentuan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.


 

Pasal 113

 

Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak atas:

a. kekurangan pembayaran pajak yang terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1); dan
b. pajak yang masih harus dibayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (3) dan kewajiban pelunasan Pasal 98 ayat (1),

dalam hal Wajib Pajak mengalami kesulitan likuiditas atau mengalami keadaan di luar kekuasaannya sehingga Wajib Pajak tidak mampu memenuhi kewajiban pajak pada waktunya.

 
 

Pasal 114

 

(1) Permohonan pengangsuran atau penundaan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 huruf a harus disampaikan menggunakan surat permohonan pengangsuran pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 29 atau surat permohonan penundaan pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 29.
(2) Dalam hal Wajib Pajak mengalami kesulitan likuiditas, permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. Wajib Pajak telah menyampaikan:
1. Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan untuk 2 (dua) Tahun Pajak terakhir; dan
2. Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai untuk 3 (tiga) Masa Pajak terakhir,
yang sudah menjadi kewajibannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan;
b. Wajib Pajak menyampaikan surat permohonan yang mencantumkan:
1. alasan pengajuan permohonan karena kesulitan likuiditas; dan
2. jumlah kekurangan pembayaran pajak yang pembayarannya dimohonkan untuk diangsur, masa angsuran, dan besarnya angsuran atau jumlah kekurangan pembayaran pajak yang pembayarannya dimohonkan untuk ditunda dan jangka waktu penundaan;
c. surat permohonan sebagaimana dimaksud dalam huruf b dilampiri dokumen berupa:
1. laporan keuangan interim atau laporan keuangan untuk Wajib Pajak yang menyelenggarakan Pembukuan; atau
2. catatan tentang peredaran atau penerimaan bruto dan/atau Penghasilan Bruto untuk Wajib Pajak yang melakukan pencatatan,
untuk Tahun Pajak yang diajukan pengangsuran atau penundaan; dan
d. Wajib Pajak memberikan jaminan berupa dokumen aset berwujud, dengan kriteria:
1. merupakan milik Wajib Pajak pemohon yang dibuktikan dengan bukti kepemilikan atas aset berwujud tersebut; dan
2. tidak sedang dijadikan jaminan atas utang.
(3) Dalam hal Wajib Pajak mengalami keadaan di luar kekuasaannya (force majeur), permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. Wajib Pajak telah menyampaikan:
1. Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan untuk 2 (dua) Tahun Pajak terakhir; dan
2. Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai untuk 3 (tiga) Masa Pajak terakhir,
yang sudah menjadi kewajibannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
b. Wajib Pajak menyampaikan surat permohonan yang mencantumkan:
1. alasan pengajuan permohonan karena keadaan di luar kekuasaannya (force majeur), dan
2. jumlah kekurangan pembayaran pajak yang pembayarannya dimohonkan untuk diangsur, masa angsuran, dan besarnya angsuran atau jumlah kekurangan pembayaran pajak yang pembayarannya dimohonkan untuk ditunda dan jangka waktu penundaan;
c. surat permohonan sebagaimana dimaksud dalam huruf b dilampiri dokumen berupa surat keterangan bahwa Wajib Pajak mengalami keadaan di luar kekuasaannya (force majeur) dari pihak yang berwenang; dan
d. Wajib Pajak memberikan jaminan berupa dokumen aset berwujud, dengan kriteria:
1. merupakan milik Wajib Pajak pemohon yang dibuktikan dengan bukti kepemilikan atas aset berwujud tersebut; dan
2. tidak sedang dijadikan jaminan atas utang.
(4) Surat permohonan pengangsuran pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 29 atau surat permohonan penundaan pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 29 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lama sebelum batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan dan sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan.
(5) Tata cara penyampaian permohonan pengangsuran dan penundaan kekurangan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.


 

Pasal 115

 

(1) Permohonan pengangsuran atau penundaan pembayaran pajak yang masih harus dibayar atau kewajiban pelunasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 huruf b harus diajukan menggunakan surat permohonan pengangsuran pembayaran utang pajak atau surat permohonan penundaan pembayaran utang pajak.
(2) Dalam hal Wajib Pajak mengalami kesulitan likuiditas, permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. Wajib Pajak menyampaikan surat permohonan yang mencantumkan:
1. alasan pengajuan permohonan karena kesulitan likuiditas; dan
2. jumlah pajak yang masih harus dibayar atau kewajiban pelunasan yang pembayarannya dimohonkan untuk diangsur, masa angsuran, dan besarnya angsuran atau jumlah pajak yang masih harus dibayar atau kewajiban pelunasan yang pembayarannya dimohonkan untuk ditunda dan jangka waktu penundaan;
b. surat permohonan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dilampiri dokumen berupa:
1. surat pernyataan Wajib Pajak mengalami kesulitan likuiditas; dan
2. rekening koran 3 (tiga) bulan terakhir;
dan
c. Wajib Pajak memberikan jaminan aset berwujud, dengan kriteria:
1. minimal sebesar pajak yang masih harus dibayar atau kewajiban pelunasan yang diajukan permohonan pengangsuran atau penundaan pembayaran pajak yang dibuktikan dengan dokumen yang menyatakan nilai dari aset tersebut;
2. merupakan milik Penanggung Pajak pemohon yang dibuktikan dengan bukti kepemilikan atas aset berwujud tersebut; dan
3. tidak sedang dijadikan jaminan atas utang.
(3) Dalam hal Wajib Pajak mengalami keadaan di luar kekuasaannya (force majeur), permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. Wajib Pajak menyampaikan surat permohonan yang mencantumkan:
1. alasan pengajuan permohonan karena keadaan di luar kekuasaannya (force majeur);
2. jumlah pajak yang masih harus dibayar atau kewajiban pelunasan yang pembayarannya dimohonkan untuk diangsur, masa angsuran, dan besarnya angsuran atau jumlah pajak yang masih harus dibayar atau kewajiban pelunasan yang pembayarannya dimohonkan untuk ditunda dan jangka waktu penundaan;
b. surat permohonan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dilampiri dokumen berupa surat keterangan bahwa Wajib Pajak mengalami keadaan di luar kekuasaannya (force majeur) dari pihak yang berwenang; dan
c. Wajib Pajak memberikan jaminan aset berwujud, dengan kriteria:
1. minimal sebesar pajak yang masih harus dibayar atau kewajiban pelunasan yang diajukan permohonan pengangsuran atau penundaan pembayaran pajak yang dibuktikan dengan dokumen yang menyatakan nilai dari aset tersebut;
2. merupakan milik Penanggung Pajak pemohon yang dibuktikan dengan bukti kepemilikan atas aset berwujud tersebut; dan
3. tidak sedang dijadikan jaminan atas utang.
(4) Dalam hal permohonan diajukan atas pajak yang masih harus dibayar atau kewajiban pelunasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 huruf b terkait dengan Pajak Bumi dan Bangunan, selain memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) juga harus dilampiri salinan Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan yang dimohonkan pengangsuran atau penundaan pembayaran pajak.
(5) Dalam hal dokumen yang disyaratkan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) telah tersedia dan tervalidasi dalam sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak, dokumen dimaksud tidak harus dilampirkan sebagai lampiran permohonan.
(6) Dalam hal permohonan diajukan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (1) berlaku ketentuan: 
a. Wajib Pajak menyetujui seluruh nilai pajak yang masih harus dibayar dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan;
b. terdapat nilai yang tidak disetujui dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dan Wajib Pajak tidak mengajukan permohonan keberatan sampai dengan jatuh tempo pengajuan keberatan; atau
c. Wajib Pajak mengajukan permohonan keberatan tetapi tidak mengajukan banding.
(7) Jaminan aset berwujud sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dan ayat (3) huruf c diserahkan kepada Direktur Jenderal Pajak paling lama 3 (tiga) hari kerja setelah permohonan disampaikan.
(8) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disampaikan oleh Wajib Pajak paling lama sebelum permohonan lelang atas barang sitaan untuk pelunasan utang pajak berupa pajak yang masih harus dibayar atau kewajiban pelunasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 huruf b diajukan secara tertulis oleh pejabat untuk penagihan pajak pusat kepada Instansi Pemerintah yang berwenang menyelenggarakan lelang.
(9) Dalam hal pejabat untuk penagihan pajak pusat telah mengajukan permohonan lelang atas barang sitaan dan setelah dilakukan pelaksanaan lelang untuk pelunasan utang pajak berupa pajak yang masih harus dibayar atau kewajiban pelunasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 huruf b masih terdapat sisa utang pajak, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pengangsuran atau penundaan atas sisa utang pajak tersebut.
(10) Tata cara penyampaian permohonan pengangsuran dan penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.


 

Pasal 116

 

(1) Dalam hal permohonan Wajib Pajak untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak belum diterbitkan suatu keputusan, dan kepada Wajib Pajak dimaksud diterbitkan surat ketetapan/keputusan/putusan yang mengakibatkan kelebihan pembayaran pajak dan/atau pemberian imbalan bunga, kelebihan pembayaran pajak dan/atau pemberian imbalan bunga tersebut diperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu pajak yang masih harus dibayar atau kewajiban pelunasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 huruf b, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(2) Dalam hal besarnya kelebihan pembayaran pajak dan/atau pemberian imbalan bunga tidak mencukupi untuk melunasi pajak yang masih harus dibayar atau kewajiban pelunasan yang diajukan permohonan pengangsuran atau penundaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 huruf b, jumlah pajak yang masih harus dibayar atau kewajiban pelunasan yang menjadi dasar pemberian keputusan pengangsuran atau penundaan yaitu jumlah pajak yang masih harus dibayar atau kewajiban pelunasan setelah dikurangi dengan kelebihan pembayaran pajak dan/atau pemberian imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1).


 

Pasal 117

 

(1) Berdasarkan permohonan penundaan atau pengangsuran pembayaran pajak, Direktur Jenderal Pajak melakukan penelitian terhadap pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 dan Pasal 115.
(2) Berdasarkan penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak memberikan keputusan dalam jangka waktu paling lama:
a. 3 (tiga) hari kerja setelah bukti penerimaan diterbitkan untuk permohonan pengangsuran atau penundaan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 ayat (1); dan
b. 7 (tujuh) hari kerja setelah bukti penerimaan diterbitkan untuk permohonan pengangsuran atau penundaan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115 ayat (1).
(3) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa persetujuan atau penolakan permohonan.
(4) Persetujuan berupa surat keputusan persetujuan pengangsuran atau penundaan pembayaran pajak dapat diberikan untuk jangka waktu paling lama:
a. sampai dengan batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak berikutnya, untuk keputusan atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114; atau
b. 24 (dua puluh empat) bulan sejak diterbitkannya surat persetujuan pengangsuran atau penundaan untuk keputusan atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115.
(5) Besarnya pembayaran atas angsuran pembayaran pajak dalam surat keputusan persetujuan pengangsuran pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dalam jumlah yang sama besar untuk setiap angsuran per bulan.
(6) Besarnya pelunasan atas penundaan pembayaran pajak dalam surat keputusan persetujuan penundaan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan sejumlah pembayaran pajak yang ditunda pelunasannya.
(7) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah terlampaui dan Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan keputusan, permohonan disetujui sesuai dengan permohonan Wajib Pajak, dan keputusan persetujuan pengangsuran pembayaran pajak atau keputusan persetujuan penundaan pembayaran pajak harus diterbitkan paling lama 3 (tiga) hari kerja setelah jangka waktu tersebut berakhir.
(8) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12.


 

Pasal 118

 

Surat keputusan persetujuan pengangsuran atau penundaan pembayaran pajak atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115 menjadi tidak berlaku dan dilakukan tindakan penagihan pajak dalam hal Wajib Pajak tidak memenuhi pembayaran pajak berdasarkan:

a. surat keputusan persetujuan pengangsuran paling banyak 2 (dua) kali; atau
b. surat keputusan persetujuan penundaan sesuai lamanya penundaan.



Pasal 119

 

(1) Dalam hal setelah diterbitkan surat keputusan persetujuan pengangsuran atau penundaan pembayaran pajak atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115, diterbitkan surat ketetapan/keputusan/putusan yang mengakibatkan kelebihan pembayaran pajak dan/atau pemberian imbalan bunga, kelebihan pembayaran pajak dan/atau pemberian imbalan bunga tersebut terlebih dahulu harus diperhitungkan dengan sisa pajak yang masih harus dibayar atau kewajiban pelunasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 huruf b yang belum diangsur atau ditunda pembayarannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(2) Dalam hal pajak yang masih harus dibayar atau kewajiban pelunasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 huruf b telah diterbitkan surat keputusan persetujuan pengangsuran atau penundaan pembayaran pajak dan terhadap pajak yang masih harus dibayar atau kewajiban pelunasan tersebut: 
a. diperhitungkan dengan kelebihan pembayaran pajak dan/atau pemberian imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan masih terdapat sisa pajak yang masih harus dibayar atau kewajiban pelunasan; atau
b. diterbitkan keputusan atau putusan yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar atau kewajiban pelunasan berkurang,
Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat penetapan kembali keputusan persetujuan angsuran atau penundaan pembayaran pajak.
(3) Surat penetapan kembali keputusan persetujuan angsuran atau penundaan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12.


 

Pasal 120

 

(1) Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan atas suatu Surat Ketetapan Pajak yang pelunasannya telah memperoleh persetujuan untuk diangsur atau ditunda, Wajib Pajak wajib melunasi seluruh pajak yang masih harus dibayar yang telah disetujui dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan, sebelum keberatan diajukan.
(2) Pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan surat keputusan persetujuan pengangsuran atau penundaan pembayaran pajak atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115 menjadi tidak berlaku.
(3) Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan, pengurangan, pembetulan, banding, atau peninjauan kembali atas ketetapan atau keputusan terkait Pajak Bumi dan Bangunan yang masih harus dibayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (3) yang pelunasannya telah memperoleh persetujuan untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak, persetujuan untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak tersebut tetap berlaku dan Wajib Pajak wajib melunasi sesuai dengan jadwal waktu yang telah ditetapkan.

 
  

Pasal 121

 

(1) Dalam hal Wajib Pajak diterbitkan surat keputusan persetujuan pengangsuran atau penundaan pembayaran pajak atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam:
a. Pasal 114; dan
b. Pasal 115 atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah,
Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa bunga sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, yang dihitung sejak jatuh tempo pembayaran sampai dengan pembayaran angsuran atau pelunasan.
(2) Dalam hal Wajib Pajak diterbitkan surat keputusan persetujuan pengangsuran atau penundaan pembayaran pajak atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115 terkait Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan, Wajib Pajak dikenai denda administratif sebesar 2% (dua persen) sebulan sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (3) Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan.
(3) Denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihitung dari saat jatuh tempo Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (3) sampai dengan tanggal pelunasan atas pengangsuran atau penundaan.
(4) Pengenaan denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak melampaui jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan sejak jatuh tempo Surat Pemberitahuan Pajak Terutang atau Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (1) dan ayat (2).
(5) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang timbul akibat diterbitkan:
a. surat keputusan persetujuan pengangsuran pembayaran pajak dihitung berdasarkan saldo pajak yang masih harus dibayar atau kewajiban pelunasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 huruf b yang diajukan permohonan pengangsuran pada setiap periode pembayaran angsuran; atau
b. surat keputusan persetujuan penundaan pembayaran pajak dihitung berdasarkan jumlah pajak yang masih harus dibayar atau kewajiban pelunasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 huruf b yang diajukan permohonan penundaan.
(6) Pajak yang masih harus dibayar sebagaimana dimaksud pada ayat (5) untuk penghitungan denda administratif Pajak Bumi dan Bangunan merupakan jumlah Pajak Bumi dan Bangunan terutang yang masih harus dibayar dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terutang atau Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan.
(7) Sanksi administratif berupa bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditagih dengan menerbitkan Surat Tagihan Pajak.
(8) Denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditagih dengan menerbitkan Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan.
(9) Sanksi administratif berupa bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dikenakan terhadap angsuran atau penundaan atas Surat Tagihan Pajak.
(10) Denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dikenakan terhadap angsuran atau penundaan atas pembayaran Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan yang hanya memuat denda administratif.


 

Bagian Kedua
Tata Cara Pengembalian atas Kelebihan Pembayaran Pajak yang Seharusnya Tidak Terutang
 
Pasal 122

 

(1) Permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang dapat diajukan dalam hal:
a. terdapat pembayaran pajak yang bukan merupakan objek pajak yang terutang atau yang seharusnya tidak terutang;
b. terdapat kelebihan pembayaran pajak oleh Wajib Pajak yang terkait dengan Pajak Dalam Rangka Impor;
c. terdapat kesalahan pemotongan atau pemungutan yang mengakibatkan pajak yang dipotong atau dipungut lebih besar daripada pajak yang seharusnya dipotong atau dipungut;
d. terdapat kesalahan pemotongan atau pemungutan yang:
1) bukan merupakan objek pajak; atau
2) objek pajak dan/atau subjek pajak yang mendapatkan fasilitas perpajakan;
atau 
e. terdapat kelebihan pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan terkait penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda bagi subjek pajak luar negeri.
(2) Jenis pajak yang dapat diajukan permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
a. Pajak Penghasilan;
b. Pajak Pertambahan Nilai;
c. Pajak Penjualan atas Barang Mewah;
d. Pajak Bumi dan Bangunan;
e. Bea Meterai;
f. Pajak Penjualan; dan
g. Pajak Karbon.
(3) Selain jenis pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pembayaran Deposit Pajak yang tidak digunakan untuk pelunasan pajak yang terutang juga dapat diajukan permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang.

 
 

Pasal 123

 

Pembayaran pajak yang bukan merupakan objek pajak yang terutang atau yang seharusnya tidak terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122 ayat (1) huruf a dapat berupa:

a. pembayaran pajak yang lebih besar dari pajak yang terutang;
b. pembayaran pajak atas transaksi yang dibatalkan;
c. pembayaran pajak yang seharusnya tidak dibayar;
d. pembayaran pajak dalam rangka pelunasan sebagaimana diatur dalam Pasal 44B Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang:
1. masih terdapat kelebihan pembayaran pajak setelah terdapat keputusan penghentian penyidikan;
2. tidak diakui sebagai pertimbangan untuk dituntut tanpa disertai penjatuhan pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap;
3. tidak diakui sebagai pembayaran pidana denda yang dibebankan kepada terdakwa berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap; dan/atau
4. menggunakan Nomor Pokok Wajib Pajak selain Nomor Pokok Wajib Pajak tersangka setelah dilakukan penetapan tersangka sepanjang belum dilakukan penyerahan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti ke penuntut umum.
e. pembayaran Pajak Penghasilan yang bersifat final atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu sebagaimana diatur dalam peraturan pemerintah yang mengatur mengenai Pajak Penghasilan atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu yang seharusnya tidak dikenai Pajak Penghasilan; atau
f. penyetoran di muka Bea Meterai yang belum digunakan dan/atau masih tersisa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Bea Meterai.

 
  

Pasal 124

 

(1) Pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 dapat diminta kembali oleh pihak pembayar yang bersangkutan dengan mengajukan permohonan.
(2) Pihak pembayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Wajib Pajak orang pribadi; dan
b. Wajib Pajak Badan termasuk Instansi Pemerintah.
(3) Permohonan pengembalian diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia.
(4) Permohonan pengembalian atas pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, dan huruf f harus dilampiri dengan dokumen berupa:
a. penghitungan pajak yang seharusnya tidak terutang; dan/atau
b. alasan permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang.
(5) Permohonan pengembalian atas pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 huruf d harus dilampiri dengan dokumen berupa:
a. penghitungan pajak yang seharusnya tidak terutang;
b. alasan permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang;
c. surat keterangan dari penyidik dan surat pemberitahuan penghentian penyidikan untuk permohonan pengembalian pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 huruf d butir 1;
d. surat keterangan dari penyidik dan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap untuk permohonan pengembalian pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 huruf d butir 2 dan/atau butir 3; dan/atau
e. surat keterangan dari penyidik yang menyatakan bahwa telah terjadi kesalahan pembayaran dan belum dilakukan penyerahan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti ke penuntut umum untuk permohonan pengembalian pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 huruf d butir 4.
(6) Tata cara penyampaian permohonan pengembalian atas pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan sesuai dengan ketentuan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.


 

Pasal 125

 

(1) Direktur Jenderal Pajak meneliti kebenaran pembayaran pajak berdasarkan permohonan pengembalian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124.
(2) Dalam rangka meneliti kebenaran pembayaran pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat meminta dokumen dan/atau keterangan kepada pemohon.
(3) Hasil penelitian berupa pengembalian diberikan dalam hal memenuhi ketentuan:
a. pajak yang seharusnya tidak terutang telah dibayar ke Kas Negara; dan
b. pajak yang seharusnya tidak terutang telah dibayar sebagaimana dimaksud dalam huruf a tidak dikreditkan dalam Surat Pemberitahuan.
(4) Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam laporan hasil penelitian.
(5) Dalam hal berdasarkan laporan hasil penelitian terdapat kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.
(6) Dalam hal berdasarkan laporan hasil penelitian tidak terdapat kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang, Direktur Jenderal Pajak menyampaikan pemberitahuan penolakan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang kepada pemohon sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12.



Pasal 126

 

Kelebihan pembayaran pajak yang terkait dengan Pajak Dalam Rangka Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122 ayat (1) huruf b meliputi Pajak Penghasilan Pasal 22 impor, Pajak Pertambahan Nilai impor, dan/atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah impor yang telah dibayar dan tercantum dalam:

a. Surat Penetapan Tarif dan/atau Nilai Pabean atau Surat Penetapan Kembali Tarif dan/atau Nilai Pabean;
b. Surat Pemberitahuan Kekurangan Pembayaran Bea Masuk, Cukai, Denda Administrasi, Bunga, dan Pajak Dalam Rangka Impor, Surat Penetapan Tarif dan/atau Nilai Pabean, atau Surat Penetapan Pabean yang telah diterbitkan keputusan keberatan;
c. Surat Pemberitahuan Kekurangan Pembayaran Bea Masuk, Cukai, Denda Administrasi, Bunga, dan Pajak Dalam Rangka Impor, Surat Penetapan Tarif dan/atau Nilai Pabean, atau Surat Penetapan Pabean yang telah diterbitkan keputusan keberatan dan putusan banding;
d. Surat Pemberitahuan Kekurangan Pembayaran Bea Masuk, Cukai, Denda Administrasi, Bunga, dan Pajak Dalam Rangka Impor, Surat Penetapan Tarif dan/atau Nilai Pabean, atau Surat Penetapan Pabean yang telah diterbitkan keputusan keberatan, putusan banding, dan putusan peninjauan kembali;
e. Surat Penetapan Kembali Tarif dan/atau Nilai Pabean yang telah diterbitkan putusan banding;
f. Surat Penetapan Kembali Tarif dan/atau Nilai Pabean yang telah diterbitkan putusan banding dan putusan peninjauan kembali; dan
g. dokumen yang berisi pembatalan impor yang telah disetujui oleh pejabat yang berwenang,

yang menyebabkan terjadinya kelebihan pembayaran pajak.

 
  

Pasal 127

 

(1) Kelebihan pembayaran pajak oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 dapat diminta kembali oleh Wajib Pajak yang bersangkutan dengan mengajukan permohonan.
(2) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi Wajib Pajak orang pribadi dan Wajib Pajak Badan termasuk Instansi Pemerintah.
(3) Permohonan pengembalian diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia.
(4) Permohonan pengembalian harus dilampiri dengan dokumen berupa:
a. salinan bukti pembayaran pajak berupa Surat Setoran Pabean, Cukai, dan Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pabean, Cukai, dan Pajak;
b. salinan Surat Penetapan Tarif dan/atau Nilai Pabean, Surat Penetapan Kembali Tarif dan/atau Nilai Pabean, Surat Pemberitahuan Kekurangan Pembayaran Bea Masuk, Cukai, Denda Administrasi, Bunga, dan Pajak Dalam Rangka Impor, Surat Penetapan Pabean, atau dokumen yang berisi pembatalan impor yang telah disetujui oleh pejabat yang berwenang;
c. salinan keputusan keberatan, putusan banding, dan/atau putusan peninjauan kembali yang terkait dengan Surat Penetapan Tarif dan/atau Nilai Pabean, Surat Penetapan Kembali Tarif dan/atau Nilai Pabean, Surat Pemberitahuan Kekurangan Pembayaran Bea Masuk, Cukai, Denda Administrasi, Bunga, dan Pajak Dalam Rangka Impor, Surat Penetapan Pabean, dalam hal diajukan keberatan, banding, dan/atau peninjauan kembali terhadap Surat Penetapan Tarif dan/atau Nilai Pabean, Surat Penetapan Kembali Tarif dan/atau Nilai Pabean, Surat Pemberitahuan Kekurangan Pembayaran Bea Masuk, Cukai, Denda Administrasi, Bunga, dan Pajak Dalam Rangka Impor, dan/atau Surat Penetapan Pabean;
d. penghitungan pajak yang seharusnya tidak terutang; dan
e. alasan permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang.
(5) Tata cara penyampaian permohonan pengembalian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan sesuai dengan ketentuan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.


 

Pasal 128

 

(1) Direktur Jenderal Pajak meneliti kebenaran pembayaran pajak berdasarkan permohonan pengembalian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127.
(2) Dalam rangka meneliti kebenaran pembayaran pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat meminta dokumen dan/atau keterangan kepada pemohon.
(3) Hasil penelitian berupa pengembalian diberikan dalam hal memenuhi ketentuan:
a. pajak yang seharusnya tidak terutang telah dibayar atau disetor ke Kas Negara;
b. dalam hal pajak yang telah dibayar atau disetor sebagaimana dimaksud dalam huruf a terkait dengan Pajak Penghasilan Pasal 22 impor, pajak tersebut tidak dikreditkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan;
c. dalam hal pajak yang telah dibayar atau disetor sebagaimana dimaksud dalam huruf a terkait dengan Pajak Pertambahan Nilai impor dan Surat Pemberitahuan Tahunan Tahun Pajak terjadinya pembayaran telah dilaporkan, pajak tersebut tidak dikreditkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai, tidak dibebankan sebagai biaya dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan, atau tidak dikapitalisasi dalam harga perolehan; dan
d. dalam hal pajak yang telah dibayar atau disetor sebagaimana dimaksud dalam huruf a terkait dengan Pajak Penjualan atas Barang Mewah impor, pajak tersebut tidak dibebankan sebagai biaya dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan atau tidak dikapitalisasi dalam harga perolehan.
(4) Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam laporan hasil penelitian.
(5) Dalam hal berdasarkan laporan hasil penelitian terdapat kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.
(6) Dalam hal berdasarkan laporan hasil penelitian tidak terdapat kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang, Direktur Jenderal Pajak menyampaikan pemberitahuan penolakan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang kepada pemohon sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12.


 

Pasal 129

 

(1) Kesalahan pemotongan atau pemungutan yang mengakibatkan pajak yang dipotong atau dipungut lebih besar daripada pajak yang seharusnya dipotong atau dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122 ayat (1) huruf c dapat berupa:
a. pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan yang mengakibatkan Pajak Penghasilan yang dipotong atau dipungut lebih besar daripada Pajak Penghasilan yang seharusnya dipotong atau dipungut;
b. pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan atas penghasilan yang diterima oleh bukan subjek pajak;
c. pemungutan Pajak Pertambahan Nilai yang lebih besar daripada pajak yang seharusnya dipungut;
d. pemungutan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang lebih besar daripada pajak yang seharusnya dipungut; atau
e. pemungutan Bea Meterai yang lebih besar daripada Bea Meterai yang seharusnya dipungut.
(2) Kesalahan pemotongan atau pemungutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122 ayat (1) huruf d dapat berupa:
a. pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan yang seharusnya tidak dipotong atau tidak dipungut;
b. pemungutan Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya tidak dipungut; atau
c. pemungutan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang seharusnya tidak dipungut, termasuk:
1) diberikan pembebasan atau pengecualian Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas impor atau penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah; atau
2) ekspor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas perolehannya telah dibayar.


 

Pasal 130

 

(1) Dalam hal terjadi kesalahan pemotongan atau pemungutan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129 yang terkait dengan Pajak Penghasilan, pajak yang seharusnya tidak dipotong atau tidak dipungut tersebut dapat diminta kembali oleh pemotong atau pemungut pajak dengan mengajukan permohonan.
(2) Dalam hal terjadi kesalahan pemungutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129 yang terkait dengan Pajak Pertambahan Nilai, pajak yang seharusnya tidak dipungut tersebut dapat diminta kembali oleh pihak yang terpungut.
(3) Dalam hal Pajak Pertambahan Nilai yang salah dipungut sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah dikreditkan sebagai Pajak Masukan, Pajak Pertambahan Nilai tersebut dianggap telah diminta kembali oleh pihak yang terpungut.
(4) Dalam hal Pajak Pertambahan Nilai yang salah dipungut sebagaimana dimaksud pada ayat (2) belum:
a. dikreditkan sebagai Pajak Masukan;
b. dibebankan sebagai biaya; dan
c. dikapitalisasi dalam harga perolehan,
dan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai yang melakukan penyerahan sudah tidak dapat dibetulkan, Pajak Pertambahan Nilai yang salah dipungut tersebut dapat diminta kembali oleh pihak yang terpungut dengan mengajukan permohonan.
(5) Dalam hal terjadi kesalahan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai, pajak yang seharusnya tidak dipungut tersebut dapat diminta kembali oleh pihak yang terpungut dengan mengajukan permohonan.
(6) Dalam hal Pajak Pertambahan Nilai yang salah dipungut sebagaimana dimaksud pada ayat (5) telah diperhitungkan dengan Pajak Keluaran oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai yang merupakan Pengusaha Kena Pajak, Pajak Pertambahan Nilai tersebut dianggap telah diminta kembali oleh pihak yang terpungut.
(7) Dalam hal terjadi kesalahan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai oleh Pihak Lain, pajak yang seharusnya tidak dipungut tersebut dapat diminta kembali oleh Pihak Lain dengan mengajukan permohonan.
(8) Dalam hal Pajak Pertambahan Nilai yang salah dipungut sebagaimana dimaksud pada ayat (7) belum:
a. dikreditkan sebagai Pajak Masukan;
b. dibebankan sebagai biaya; dan
c. dikapitalisasi dalam harga perolehan,
dan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai pihak yang melakukan penyerahan sudah tidak dapat dibetulkan, Pajak Pertambahan Nilai yang salah dipungut tersebut dapat diminta kembali oleh pihak yang terpungut dengan mengajukan permohonan.
(9) Dalam hal terjadi kesalahan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai terhadap perwakilan negara asing dan badan internasional serta pejabatnya yang dibebaskan dari Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Pertambahan Nilai tersebut dapat diminta kembali oleh pihak yang menerima perolehan.
(10) Dalam hal terjadi kesalahan pemungutan pajak terkait dengan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, pajak yang seharusnya tidak dipungut tersebut dapat diminta kembali melalui pengajuan permohonan oleh:
a. pihak yang melakukan penyerahan;
b. pihak yang menerima perolehan; atau
c. pihak yang melakukan ekspor,
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(11) Dalam hal Wajib Pajak yang melakukan pemotongan atau pemungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
a. tidak dapat ditemukan yang dapat berupa pembubaran usaha; atau
b. tidak dapat melakukan pembetulan Surat Pemberitahuan,
permohonan diajukan oleh pihak yang dipotong atau dipungut.
(12) Surat Pemberitahuan yang tidak dapat dibetulkan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), ayat (8), dan ayat (11) meliputi:
a. Surat Pemberitahuan telah dilakukan tindakan Pemeriksaan; dan
b. Surat Pemberitahuan rugi atau lebih bayar yang disampaikan melebihi jangka waktu 2 (dua) tahun sebelum daluwarsa penetapan sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (1a) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.


 

Pasal 131

 

(1) Permohonan pengembalian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 130 diajukan secara tertulis atau secara elektronik dalam bahasa Indonesia.
(2) Permohonan pengembalian yang diajukan oleh pemotong atau pemungut pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 130 ayat (1) dan pihak yang dipotong atau dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 130 ayat (11) harus dilampiri dengan dokumen berupa:
a. penghitungan pajak yang seharusnya tidak terutang;
b. alasan permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang;
c. bukti pemotongan atau pemungutan pajak atau dokumen lain yang dipersamakan dengan bukti pemotongan atau pemungutan;
d. surat kuasa dari pihak yang dipotong atau dipungut dalam hal permohonan diajukan oleh pemotong atau pemungut pajak; dan
e. surat pernyataan subjek pajak luar negeri bahwa pajak yang dimintakan pengembalian belum diperhitungkan dengan pajak yang terutang di luar negeri dan/atau belum dibebankan sebagai biaya dalam penghitungan penghasilan kena pajak di luar negeri, dalam hal kesalahan pemotongan pemungutan dilakukan terhadap subjek pajak luar negeri.
(3) Permohonan pengembalian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 130 ayat (2), ayat (4), ayat (5), ayat (7), ayat (8), ayat (9), dan ayat (10) harus dilampiri dengan dokumen berupa:
a. penghitungan pajak yang seharusnya tidak terutang;
b. alasan permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang;
c. Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang dipersamakan dengan Faktur Pajak yang merupakan bukti pemungutan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah;
d. dokumen ekspor dalam hal ekspor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah; dan
e. dokumen lain sesuai dengan peraturan Menteri yang mengatur mengenai pembebasan Pajak Pertambahan Nilai dan/atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah, tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai atau pengecualian Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
(4) Dalam hal dokumen yang disyaratkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) telah tersedia dan tervalidasi dalam sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak, dokumen dimaksud tidak harus dilampirkan sebagai lampiran permohonan.
(5) Tata cara penyampaian permohonan pengembalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.


 

Pasal 132

 

(1) Direktur Jenderal Pajak meneliti kebenaran pembayaran pajak berdasarkan permohonan pengembalian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 131.
(2) Dalam rangka meneliti kebenaran pembayaran pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat meminta dokumen dan/atau keterangan kepada pemohon.
(3) Hasil penelitian berupa pengembalian terkait dengan pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 130 ayat (1) dan ayat (11) diberikan dalam hal memenuhi ketentuan: 
a. pajak yang seharusnya tidak terutang telah disetor ke Kas Negara;
b. dalam hal pajak yang telah disetor sebagaimana dimaksud dalam huruf a terkait dengan pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan yang bersifat tidak final, Pajak Penghasilan tersebut tidak dikreditkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak yang dipotong atau dipungut;
c. pajak yang dipotong atau dipungut telah dilaporkan oleh pemotong atau pemungut pajak dalam Surat Pemberitahuan Masa Wajib Pajak pemotong atau pemungut pajak;
d. pajak yang dipotong atau dipungut tidak diajukan keberatan oleh Wajib Pajak yang dipotong atau dipungut sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (1) huruf e Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan; dan
e. pajak yang telah disetor sebagaimana dimaksud dalam huruf a tidak diperhitungkan dengan pajak subjek pajak luar negeri yang terutang di luar negeri dan tidak dibebankan sebagai biaya dalam penghitungan penghasilan kena pajak subjek pajak luar negeri di luar negeri dalam hal pihak yang dipotong atau dipungut subjek pajak luar negeri.
(4) Hasil penelitian berupa pengembalian terkait dengan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 130 ayat (2), ayat (4), ayat (5), ayat (7), ayat (8), dan ayat (9) diberikan dalam hal:
a. pajak yang seharusnya tidak terutang telah disetor ke Kas Negara;
b. pajak yang telah disetor sebagaimana dimaksud dalam huruf a tidak dikreditkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai, tidak dibebankan sebagai biaya dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan, atau tidak dikapitalisasi dalam harga perolehan;
c. pajak yang dipungut telah dilaporkan oleh Pengusaha Kena Pajak, Pemungut Pajak Pertambahan Nilai, atau Pihak Lain dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai Wajib Pajak Pemungut Pajak Pertambahan Nilai atau Pihak Lain;
d. pajak yang dipungut tidak diajukan keberatan oleh Wajib Pajak yang dipungut sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (1) huruf e Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan; dan
e. memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam peraturan Menteri mengenai pembebasan Pajak Pertambahan Nilai tidak dipungut atau dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
(5) Hasil penelitian berupa pengembalian terkait dengan pemungutan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 130 ayat (10) diberikan dalam hal:
a. pajak yang seharusnya tidak terutang telah disetor ke Kas Negara;
b. pajak yang telah disetor sebagaimana dimaksud dalam huruf a tidak dibiayakan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak yang dipungut atau tidak dikapitalisasi dalam harga perolehan;
c. pajak yang dipungut telah dilaporkan oleh Pengusaha Kena Pajak dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai Pengusaha Kena Pajak;
d. pajak yang dipungut tidak diajukan keberatan oleh Wajib Pajak yang dipungut sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (1) huruf e Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan; dan
e. memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam peraturan Menteri mengenai pembebasan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atau pengecualian Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
(6) Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam laporan hasil penelitian.
(7) Dalam hal berdasarkan laporan hasil penelitian terdapat kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.
(8) Dalam hal berdasarkan laporan hasil penelitian tidak terdapat kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang, Direktur Jenderal Pajak menyampaikan pemberitahuan penolakan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang kepada pemohon sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12.
(9) Dalam hal atas permohonan kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang telah diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar terhadap subjek pajak luar negeri, Direktur Jenderal Pajak mengirimkan informasi kepada otoritas perpajakan negara domisili subjek pajak luar negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.


 

Pasal 133

 

Kelebihan pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan terkait penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda bagi subjek pajak luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122 ayat (1) huruf e disebabkan:

a. kesalahan penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda;
b. keterlambatan pemenuhan persyaratan administratif untuk menerapkan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda setelah terjadi pemotongan atau pemungutan; atau
c. Persetujuan Bersama.

   
 

Pasal 134

 

(1) Dalam hal terdapat kelebihan pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan terhadap subjek pajak luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 133, pajak yang seharusnya tidak dipotong atau tidak dipungut tersebut dapat diminta kembali oleh Wajib Pajak pemotong atau pemungut pajak dengan mengajukan permohonan.
(2) Dalam hal Wajib Pajak yang melakukan pemotongan atau pemungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
a. tidak dapat ditemukan yang dapat berupa pembubaran usaha; atau
b. tidak dapat melakukan pembetulan Surat Pemberitahuan,
permohonan diajukan oleh subjek pajak luar negeri.


 

Pasal 135

 

(1) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134 ayat (1) dan ayat (2) diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri dengan dokumen berupa:
a. penghitungan pajak yang seharusnya tidak terutang;
b. alasan permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang;
c. bukti pemotongan atau pemungutan pajak atau dokumen lain yang dipersamakan dengan bukti pemotongan atau pemungutan;
d. surat kuasa dari subjek pajak luar negeri yang dipotong atau dipungut dalam hal permohonan diajukan oleh pemotong atau pemungut pajak;
e. surat pernyataan subjek pajak luar negeri bahwa pajak yang dimintakan pengembalian belum diperhitungkan dengan pajak yang terutang di luar negeri dan/atau belum dibebankan sebagai biaya dalam penghitungan penghasilan kena pajak di luar negeri;
f. Surat Keterangan Domisili Wajib Pajak Luar Negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan;
g. salinan Surat Keputusan Persetujuan Bersama, dalam hal kelebihan pemotongan atau pemungutan disebabkan adanya Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 133 huruf c; dan
h. dokumen pendukung bagi subjek pajak luar negeri yang menerima atau memperoleh penghasilan terkait dengan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda.
(3) Tata cara penyampaian permohonan pengembalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.


 

Pasal 136

 

(1) Direktur Jenderal Pajak meneliti kebenaran pembayaran pajak berdasarkan permohonan pengembalian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 135.
(2) Dalam rangka meneliti kebenaran pembayaran pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat meminta dokumen dan/atau keterangan kepada pemohon.
(3) Hasil penelitian berupa pengembalian diberikan dalam hal memenuhi ketentuan:
a. pajak yang seharusnya tidak terutang telah disetor ke Kas Negara;
b. pajak yang dipotong atau dipungut telah dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Wajib Pajak pemotong atau pemungut pajak;
c. pajak yang telah disetor sebagaimana dimaksud dalam huruf a tidak diperhitungkan dengan pajak subjek pajak luar negeri yang terutang di luar negeri;
d. pajak yang telah disetor sebagaimana dimaksud dalam huruf a tidak dibebankan sebagai biaya dalam penghitungan penghasilan kena pajak subjek pajak luar negeri di luar negeri; dan
e. tidak ditemukan adanya penyalahgunaan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda oleh subjek pajak luar negeri, dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 133 huruf a dan huruf b.
(4) Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam laporan hasil penelitian.
(5) Dalam hal berdasarkan laporan hasil penelitian terdapat kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.
(6) Dalam hal berdasarkan laporan hasil penelitian tidak terdapat kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang, Direktur Jenderal Pajak menyampaikan pemberitahuan penolakan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12.
(7) Dalam hal atas permohonan kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang telah diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, Direktur Jenderal Pajak mengirimkan informasi kepada otoritas perpajakan negara domisili subjek pajak luar negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.


 

Pasal 137

 

(1) Direktur Jenderal Pajak menerbitkan:
a. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 125 ayat (5), Pasal 128 ayat (5), Pasal 132 ayat (7), dan Pasal 136 ayat (5); atau
b. surat pemberitahuan penolakan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 125 ayat (6), Pasal 128 ayat (6), Pasal 132 ayat (8), dan Pasal 136 ayat (6),
paling lama 3 (tiga) bulan sejak permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang diterima.
(2) Dalam hal sampai dengan berakhirnya batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Direktur Jenderal Pajak tidak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar atau pemberitahuan penolakan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang, permohonan Wajib Pajak dianggap dikabulkan dan Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.
(3) Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterbitkan Direktur Jenderal Pajak paling lama 5 (lima) hari kerja sejak berakhirnya batas waktu penerbitan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1).


 

Bagian Ketiga
Tata Cara Pemberian Imbalan Bunga
 
Pasal 138

 

(1) Imbalan bunga yang terkait dengan Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah diberikan kepada Wajib Pajak dalam hal terdapat:
a. keterlambatan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (3) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
b. keterlambatan penerbitan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana diatur dalam Pasal 17B ayat (3) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
c. keterlambatan penerbitan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana diatur dalam Pasal 17B ayat (4) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
d. kelebihan pembayaran pajak karena pengajuan keberatan, permohonan banding, atau permohonan peninjauan kembali, dikabulkan sebagian atau seluruhnya sebagaimana diatur dalam Pasal 27B ayat (1) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan; atau
e. kelebihan pembayaran pajak karena Surat Keputusan Pembetulan, surat keputusan pengurangan atau pembatalan Surat Ketetapan Pajak, atau surat keputusan pengurangan atau pembatalan Surat Tagihan Pajak yang mengabulkan sebagian atau seluruh permohonan Wajib Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 27B ayat (3) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, kecuali:
1. kelebihan pembayaran pajak karena Surat Keputusan Pembetulan yang terkait dengan Persetujuan Bersama; atau
2. kelebihan pembayaran pajak karena surat keputusan pembatalan Surat Ketetapan Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 36 ayat (1) huruf d Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
(2) Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d diberikan terhadap kelebihan pembayaran pajak paling banyak sebesar jumlah lebih bayar yang disetujui Wajib Pajak dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan atas Surat Pemberitahuan yang menyatakan lebih bayar yang telah diterbitkan:
a. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar;
b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan;
c. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar; atau
d. Surat Ketetapan Pajak Nihil.
(3) Jumlah lebih bayar yang disetujui Wajib Pajak dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan jumlah lebih bayar menurut Wajib Pajak yang disampaikan oleh Wajib Pajak pada saat Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan.
(4) Surat Pemberitahuan yang menyatakan lebih bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan Surat Pemberitahuan yang menyatakan lebih bayar dengan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak.
(5) Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d tidak diberikan terhadap kelebihan pembayaran pajak karena diterbitkannya Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali, yang berasal dari pembayaran atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, baik yang disetujui maupun tidak disetujui Wajib Pajak dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan.


 

Pasal 139

 

(1) Imbalan bunga yang terkait dengan Pajak Bumi dan Bangunan diberikan kepada Wajib Pajak dalam hal terdapat keterlambatan pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan.
(2) Keterlambatan pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), merupakan keterlambatan penerbitan Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (3) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan atas:
a. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar;
b. Surat Keputusan Keberatan;
c. Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali;
d. Surat Keputusan Pemberian Pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan;
e. Surat Keputusan Pengurangan Denda Administrasi Pajak Bumi dan Bangunan;
f. Surat Keputusan Pembetulan;
g. Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi atau Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi;
h. Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak atas Surat Pemberitahuan Pajak Terutang atau Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan; atau
i. Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak atas Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan, atau Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan.


          

Pasal 140

 

(1) Imbalan bunga karena keterlambatan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138 ayat (1) huruf a diberikan dengan tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri, dari jumlah kelebihan pembayaran pajak.
(2) Jumlah bulan sebagai dasar pemberian imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak batas waktu penerbitan Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak berakhir sampai dengan tanggal penerbitan Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak.
(3) Batas waktu penerbitan Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 1 (satu) bulan sejak:
a. permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak diterima sehubungan dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
b. diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (2) atau Pasal 17B Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
c. diterbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak untuk Wajib Pajak dengan kriteria tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 17C Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 17D Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, dan Pengusaha Kena Pajak berisiko rendah sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (4c) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai;
d. diterbitkan Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi, surat keputusan pengurangan atau pembatalan Surat Ketetapan Pajak, surat keputusan pengurangan atau pembatalan Surat Tagihan Pajak, atau Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga, yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak; atau
e. diterima Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali oleh kantor Direktorat Jenderal Pajak yang berwenang melaksanakan Putusan Pengadilan, yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak.
(4) Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
(5) Tarif bunga per bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tarif bunga yang berlaku pada tanggal dimulainya penghitungan imbalan bunga.


 

Pasal 141

 

(1) Imbalan bunga karena keterlambatan penerbitan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138 ayat (1) huruf b diberikan dengan tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri, dari jumlah kelebihan pembayaran pajak.
(2) Jumlah bulan sebagai dasar pemberian imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak jangka waktu 1 (satu) bulan untuk penerbitan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 17B ayat (2) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan berakhir sampai dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.
(3) Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
(4) Tarif bunga per bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tarif bunga yang berlaku pada tanggal dimulainya penghitungan imbalan bunga.



Pasal 142

 

(1) Imbalan bunga karena keterlambatan penerbitan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138 ayat (1) huruf c diberikan dengan tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri, dari jumlah kelebihan pembayaran pajak.
(2) Jumlah bulan sebagai dasar pemberian imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak tanggal surat permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak diterima secara lengkap berakhir sampai dengan saat diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.
(3) Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
(4) Tarif bunga per bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tarif bunga yang berlaku pada tanggal dimulainya penghitungan imbalan bunga.


 

Pasal 143

 

(1) Imbalan bunga atas kelebihan pembayaran pajak karena pengajuan keberatan, permohonan banding, atau permohonan peninjauan kembali yang terkait dengan Surat Pemberitahuan yang menyatakan lebih bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138 ayat (1) huruf d diberikan dengan tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri, dari jumlah kelebihan pembayaran pajak.
(2) Jumlah bulan sebagai dasar pemberian imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak tanggal penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, atau Surat Ketetapan Pajak Nihil sampai dengan:
a. diterbitkannya Surat Keputusan Keberatan; dan/atau
b. diterimanya Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali oleh kantor Direktorat Jenderal Pajak yang berwenang melaksanakan putusan.
(3) Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
(4) Tarif bunga per bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tarif bunga yang berlaku pada tanggal dimulainya penghitungan imbalan bunga.


 

Pasal 144

 

(1) Imbalan bunga atas kelebihan pembayaran pajak karena Surat Keputusan Pembetulan, surat keputusan pengurangan atau pembatalan Surat Ketetapan Pajak, atau surat keputusan pengurangan atau pembatalan Surat Tagihan Pajak, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138 ayat (1) huruf e diberikan dengan tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri, dari jumlah kelebihan pembayaran pajak.
(2) Jumlah bulan sebagai dasar pemberian imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak:
a. tanggal pembayaran Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan sampai dengan tanggal diterbitkannya Surat Keputusan Pembetulan, atau surat keputusan pengurangan atau pembatalan Surat Ketetapan Pajak;
b. tanggal penerbitan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Nihil sampai dengan tanggal diterbitkannya Surat Keputusan Pembetulan, atau surat keputusan pengurangan atau pembatalan Surat Ketetapan Pajak; atau
c. tanggal pembayaran Surat Tagihan Pajak sampai dengan tanggal diterbitkannya Surat Keputusan Pembetulan atau surat keputusan pengurangan atau pembatalan Surat Tagihan Pajak.
(3) Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
(4) Tarif bunga per bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tarif bunga yang berlaku pada tanggal dimulainya penghitungan imbalan bunga.

 
 

Pasal 145

 

(1) Imbalan bunga karena keterlambatan pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139 ayat (1) diberikan dengan tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri, dari jumlah kelebihan pembayaran pajak.
(2) Jumlah bulan sebagai dasar pemberian imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak batas waktu penerbitan Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak berakhir sampai dengan tanggal penerbitan Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak.
(3) Batas waktu penerbitan Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 1 (satu) bulan sejak:
a. diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar;
b. diterbitkannya Surat Keputusan Keberatan;
c. diterimanya Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali oleh kantor Direktorat Jenderal Pajak yang berwenang melaksanakan Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali;
d. diterbitkannya Surat Keputusan Pemberian Pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan;
e. diterbitkannya Surat Keputusan Pengurangan Denda Administrasi Pajak Bumi dan Bangunan;
f. diterbitkannya Surat Keputusan Pembetulan;
g. diterbitkannya Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi atau Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi;
h. diterbitkannya Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak atas Surat Pemberitahuan Pajak Terutang atau Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan; atau
i. diterbitkannya Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak atas Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan, atau Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan.
(4) Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
(5) Tarif bunga per bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tarif bunga yang berlaku pada tanggal dimulainya penghitungan imbalan bunga.


 

Pasal 146

 

(1) Dalam hal terdapat imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138 dan Pasal 139, Wajib Pajak mengajukan permohonan pemberian imbalan bunga kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar.
(2) Penyampaian permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.


 

Pasal 147

 

(1) Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga jika permohonan pemberian imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 146 memenuhi ketentuan pemberian imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138 atau Pasal 139;
(2) Penerbitan Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang terkait dengan pemberian imbalan bunga atas kelebihan pembayaran pajak karena pengajuan keberatan, permohonan banding, atau permohonan peninjauan kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138 ayat (1) huruf d, dapat dilakukan jika:
a. Surat Keputusan Keberatan tidak diajukan permohonan banding ke Pengadilan Pajak;
b. Putusan Banding telah diterima oleh kantor Direktorat Jenderal Pajak yang berwenang memberikan imbalan bunga; atau
c. Putusan Peninjauan Kembali telah diterima oleh kantor Direktorat Jenderal Pajak yang berwenang memberikan imbalan bunga.
(3) Dalam hal Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga tidak diterbitkan karena permohonan pemberian imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 146 ayat (1) tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Direktur Jenderal Pajak menerbitkan pemberitahuan Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga tidak diterbitkan kepada Wajib Pajak.
(4) Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau pemberitahuan Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga tidak diterbitkan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diterbitkan paling lama 1 (satu) bulan sejak permohonan pemberian imbalan bunga diterima secara lengkap oleh Kantor Pelayanan Pajak.
(5) Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan berdasarkan nota penghitungan pemberian imbalan bunga, yang memuat penghitungan besarnya imbalan bunga yang diberikan kepada Wajib Pajak.
(6) Bagi Wajib Pajak yang telah mendapatkan izin menyelenggarakan Pembukuan dalam bahasa Inggris dan mata uang dolar Amerika Serikat, pemberian imbalan bunga terkait pajak yang terutang dalam mata uang dolar Amerika Serikat diberikan dalam mata uang rupiah, yang dihitung menggunakan nilai tukar atau kurs yang ditetapkan oleh Menteri yang berlaku pada saat:
a. diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana diatur dalam Pasal 17B Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
b. diterbitkannya Surat Keputusan Keberatan atau diucapkannya Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali;
c. diterbitkannya Surat Keputusan Pembetulan;
d. diterbitkannya surat keputusan pengurangan atau pembatalan Surat Ketetapan Pajak; atau
e. diterbitkannya surat keputusan pengurangan atau pembatalan Surat Tagihan Pajak.



Pasal 148

 

Pembayaran imbalan bunga merupakan bagian dari pengurang penerimaan pajak.

 
 

Pasal 149

 

Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Tagihan Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (1) huruf h Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan untuk menagih kembali imbalan bunga yang seharusnya tidak diberikan kepada Wajib Pajak dalam hal diterbitkan keputusan, diterima putusan, atau ditemukan data atau informasi, yang menunjukkan adanya imbalan bunga yang seharusnya tidak diberikan kepada Wajib Pajak.

 
  

Bagian Keempat
Tata Cara Penghitungan dan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak 
 
Pasal 150

 

Wajib Pajak memperoleh pengembalian kelebihan pembayaran pajak dalam hal:

a. terdapat kelebihan pembayaran pajak; dan
b. diberikan imbalan bunga,

yang terkait dengan Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Meterai, Pajak Penjualan, dan Pajak Karbon berdasarkan peraturan perundang-undangan.

 
 

Pasal 151

 

Kelebihan pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 150 huruf a yang terkait dengan Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Bea Meterai, Pajak Penjualan, dan Pajak Karbon dapat dikembalikan dalam hal terdapat:

a. pajak yang lebih dibayar sebagaimana tercantum dalam Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
b. pajak yang seharusnya tidak terutang sebagaimana tercantum dalam Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (2) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
c. pajak yang lebih dibayar sebagaimana tercantum dalam Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana diatur dalam Pasal 17B Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
d. pajak yang lebih dibayar sebagaimana tercantum dalam Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 17C Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
e. pajak yang lebih dibayar sebagaimana tercantum dalam Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 17D Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
f. pajak yang telah dibayar atas pembelian Barang Kena Pajak yang dibawa ke luar Daerah Pabean oleh orang pribadi pemegang paspor luar negeri sebagaimana diatur dalam Pasal 17E Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan Pasal 16E Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai;
g. pajak yang lebih dibayar sebagaimana tercantum dalam Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (4c) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai;
h. pajak yang lebih dibayar karena diterbitkan Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali oleh Mahkamah Agung;
i. pajak yang lebih dibayar karena diterbitkan Surat Keputusan Pembetulan sebagaimana diatur dalam Pasal 16 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
j. pajak yang lebih dibayar karena diterbitkan Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi atau Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi sebagaimana diatur dalam Pasal 36 ayat (1) huruf a Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
k. pajak yang lebih dibayar karena diterbitkan Surat Keputusan Pengurangan Surat Ketetapan Pajak atau Surat Keputusan Pembatalan Surat Ketetapan Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 36 ayat (1) huruf b Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
l. pajak yang lebih dibayar karena diterbitkan Surat Keputusan Pengurangan Surat Tagihan Pajak atau Surat Keputusan Pembatalan Surat Tagihan Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 36 ayat (1) huruf c Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
m. pajak yang lebih dibayar karena diterbitkan Surat Keputusan Pembatalan Surat Ketetapan Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 36 ayat (1) huruf d Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan; atau
n. pajak yang lebih dibayar karena diterbitkan Surat Keputusan Persetujuan Bersama sebagaimana diatur dalam Pasal 27C ayat (6) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

 
  

Pasal 152

 

Kelebihan pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 150 huruf a yang terkait dengan Pajak Bumi dan Bangunan dapat dikembalikan dalam hal terdapat:

a. Pajak Bumi dan Bangunan yang lebih dibayar karena diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar;
b. Pajak Bumi dan Bangunan yang lebih dibayar karena diterbitkan Surat Keputusan Keberatan;
c. Pajak Bumi dan Bangunan yang lebih dibayar karena diterbitkan Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali;
d. Pajak Bumi dan Bangunan yang lebih dibayar karena diterbitkan Surat Keputusan Pemberian Pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana diatur dalam Pasal 19 Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan;
e. Pajak Bumi dan Bangunan yang lebih dibayar karena diterbitkan Surat Keputusan Pengurangan Denda Administrasi Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana diatur dalam Pasal 20 Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan;
f. Pajak Bumi dan Bangunan yang lebih dibayar karena diterbitkan Surat Keputusan Pembetulan sebagaimana diatur dalam Pasal 16 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
g. Pajak Bumi dan Bangunan yang lebih dibayar karena diterbitkan Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi atau Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi sebagaimana diatur dalam Pasal 36 ayat (1) huruf a Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
h. Pajak Bumi dan Bangunan yang lebih dibayar karena diterbitkan Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak atas Surat Pemberitahuan Pajak Terutang atau Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana diatur dalam Pasal 36 ayat (1) huruf b Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
i. Pajak Bumi dan Bangunan yang lebih dibayar karena diterbitkan Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak atas Surat Pemberitahuan Pajak Terutang atau Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana diatur dalam Pasal 36 ayat (1) huruf b Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
j. Pajak Bumi dan Bangunan yang lebih dibayar karena diterbitkan Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak atas Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana diatur dalam Pasal 36 ayat (1) huruf c Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan; atau
k. Pajak Bumi dan Bangunan yang lebih dibayar karena diterbitkan Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak atas Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana diatur dalam Pasal 36 ayat (1) huruf d Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

 
  

Pasal 153

 

Imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 150 huruf b diberikan dalam hal diterbitkan:

a. Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga; dan
b. Surat Keputusan Pembetulan atas Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga yang menambah jumlah imbalan bunga.


 

Pasal 154

 

(1) Kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 dan Pasal 152 serta imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 153 harus diperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu Utang Pajak Wajib Pajak sebagaimana tercantum dalam:
a. Surat Tagihan Pajak, kecuali Surat Tagihan Pajak yang terkait dengan jumlah pajak dalam Surat Ketetapan Pajak yang tidak disetujui dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dan atas Surat Ketetapan Pajak tersebut diajukan keberatan dan/atau banding sampai dengan diterbitkan Surat Keputusan Keberatan dan/atau Putusan Banding;
b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, atas jumlah yang disetujui oleh Wajib Pajak dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan;
c. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, atas jumlah yang tidak disetujui oleh Wajib Pajak dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan, yang:
1. tidak diajukan keberatan;
2. diajukan keberatan tetapi Surat Keputusan Keberatan mengabulkan sebagian, menolak, atau menambah jumlah pajak terutang dan atas Surat Keputusan Keberatan tersebut tidak diajukan banding; atau
3. diajukan keberatan dan atas Surat Keputusan Keberatan tersebut diajukan banding tetapi Putusan Banding mengabulkan sebagian, menolak, atau menambah jumlah pajak terutang;
d. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang;
e. Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan;
f. Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan;
g. Surat Keputusan Keberatan yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah tetapi tidak diajukan banding;
h. Surat Keputusan Pembetulan yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah;
i. Surat Keputusan Persetujuan Bersama yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah; dan/atau
j. Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah.
(2) Jika setelah dilakukan perhitungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) masih terdapat sisa kelebihan pembayaran pajak, sisa kelebihan pembayaran pajak tersebut dikembalikan kepada Wajib Pajak atau dapat digunakan untuk:
a. membayar Utang Pajak atas nama Wajib Pajak lain; dan/atau
b. mengisi Deposit Pajak atas nama Wajib Pajak,
berdasarkan persetujuan Wajib Pajak.
(3) Persetujuan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam hal Direktorat Jenderal Pajak mengirimkan permintaan konfirmasi kompensasi kelebihan pembayaran pajak ke Utang Pajak Wajib Pajak lain dan/atau Deposit Pajak.
(4) Persetujuan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan dalam jangka waktu paling lama:
a. 7 (tujuh) hari sejak permintaan konfirmasi disampaikan; atau
b. 1 (satu) hari sebelum jatuh tempo penerbitan Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak,
tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu.
(5) Dalam hal Wajib Pajak tidak menyampaikan persetujuan atas konfirmasi dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4), sisa kelebihan pembayaran pajak dikembalikan kepada Wajib Pajak.


 

Pasal 155

 

(1) Pengembalian kelebihan pembayaran pajak dilakukan menggunakan nomor rekening dalam negeri atas nama Wajib Pajak yang tersedia pada profil Wajib Pajak dalam basis data perpajakan.
(2) Dalam hal nomor rekening dalam negeri atas nama Wajib Pajak belum tersedia pada profil Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak dapat meminta Wajib Pajak melakukan pemutakhiran nomor rekening pada profil Wajib Pajak dalam basis data perpajakan.
(3) Dikecualikan dari penggunaan rekening dalam negeri atas nama Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam hal:
a. pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 huruf f, dapat menggunakan rekening luar negeri atas nama Turis Asing;
b. pengembalian kepada perwakilan negara asing/badan internasional atau pejabatnya, dapat menggunakan rekening luar negeri atas nama perwakilan negara asing/badan internasional atau pejabatnya;
c. pengembalian kepada subjek pajak luar negeri yang pemotong atau pemungut pajak tidak dapat ditemukan atau pengembalian yang dapat diajukan sendiri oleh subjek pajak luar negeri, dapat menggunakan rekening luar negeri atas nama subjek pajak luar negeri yang berkenaan atau rekening dalam negeri orang pribadi atau Badan yang ditunjuk oleh subjek pajak luar negeri;
d. pengembalian kepada Wajib Pajak yang melakukan penggabungan usaha atau peleburan usaha, dapat menggunakan rekening dalam negeri atas nama entitas yang menerima penggabungan usaha atau entitas baru hasil peleburan usaha;
e. pengembalian kepada penanggung pajak atas pembayaran Utang Pajak Wajib Pajak yang tidak seharusnya dibayar, dapat menggunakan rekening dalam negeri atas nama penanggung pajak;
f. pengembalian kepada Wajib Pajak yang dinyatakan pailit, dapat menggunakan rekening dalam negeri atas nama kurator;
g. pengembalian kepada Wajib Pajak yang dalam pembubaran, dapat menggunakan rekening dalam negeri atas nama orang atau Badan yang ditugasi untuk melakukan pemberesan;
h. pengembalian kepada Wajib Pajak yang dilikuidasi, dapat menggunakan rekening dalam negeri atas nama likuidator;
i. pengembalian kepada Wajib Pajak warisan yang belum terbagi, dapat menggunakan rekening dalam negeri atas nama salah seorang ahli warisnya, pelaksana wasiatnya, atau yang mengurusi harta peninggalannya; dan
j. pengembalian lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.



Pasal 156

 

(1) Perhitungan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dan/atau pemberian imbalan bunga dengan Utang Pajak dan/atau pajak yang akan terutang atau Deposit Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 154 ayat (2) dituangkan dalam nota penghitungan kelebihan pembayaran pajak.
(2) Dalam hal kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 menggunakan satuan mata uang dolar Amerika Serikat, pengembalian pembayaran pajak diberikan dalam satuan mata uang rupiah yang dihitung menggunakan nilai tukar atau kurs yang ditetapkan oleh Menteri yang berlaku pada saat:
a. diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 huruf a, huruf b, dan huruf c;
b. diterbitkannya Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 huruf d dan huruf e;
c. diterbitkannya Surat Keputusan Keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 huruf h;
d. diterimanya Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 huruf h oleh kantor Direktorat Jenderal Pajak yang berwenang melaksanakan Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali; atau
e. diterbitkannya surat keputusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 huruf i, huruf j, huruf k, huruf 1, huruf m, dan huruf n.


 

Pasal 157

 

(1) Kepala Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak berdasarkan nota penghitungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 ayat (1).
(2) Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan:
a. Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak dengan nomor rekening, dalam hal terdapat nomor rekening pada profil Wajib Pajak dalam basis data perpajakan; atau
b. Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak tanpa nomor rekening, dalam hal tidak terdapat nomor rekening pada profil Wajib Pajak dalam basis data perpajakan.
(3) Tanggal penerbitan Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui sebagai tanggal:
a. pelunasan Utang Pajak Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 154 ayat (1); dan
b. pelunasan Utang Pajak atas nama Wajib Pajak lain dan/atau pengisian Deposit Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 154 ayat (2).
(4) Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas kelebihan pembayaran Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Bea Meterai, Pajak Penjualan, dan/atau Pajak Karbon diterbitkan paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak:
a. permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sehubungan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 huruf a diterima;
b. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 huruf b atau huruf c diterbitkan;
c. Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 huruf d, huruf e, atau huruf g diterbitkan;
d. Surat Keputusan Keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 huruf h diterbitkan;
e. Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 huruf h diterima kantor Direktorat Jenderal Pajak yang berwenang melaksanakan Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali;
f. Surat Keputusan Pembetulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 huruf i diterbitkan;
g. Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi atau Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 huruf j diterbitkan;
h. Surat Keputusan Pengurangan Surat Ketetapan Pajak atau Surat Keputusan Pembatalan Surat Ketetapan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 huruf k diterbitkan;
i. Surat Keputusan Pengurangan Surat Tagihan Pajak atau Surat Keputusan Pembatalan Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 huruf 1 diterbitkan;
j. Surat Keputusan Pembatalan Surat Ketetapan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 huruf m diterbitkan; atau
k. Surat Keputusan Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 huruf n diterbitkan.
(5) Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas kelebihan pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan diterbitkan paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak:
a. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 152 huruf a diterbitkan;
b. Surat Keputusan Keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 152 huruf b diterbitkan;
c. Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 152 huruf c diterima kantor Direktorat Jenderal Pajak yang berwenang melaksanakan Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali;
d. Surat Keputusan Pemberian Pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 152 huruf d diterbitkan;
e. Surat Keputusan Pengurangan Denda Administrasi Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 152 huruf e diterbitkan;
f. Surat Keputusan Pembetulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 152 huruf f diterbitkan;
g. Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi atau Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 152 huruf g diterbitkan;
h. Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak atas Surat Pemberitahuan Pajak Terutang atau Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 152 huruf h diterbitkan; atau
i. Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak atas Surat Pemberitahuan Pajak Terutang atau Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 152 huruf i diterbitkan;
j. Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak atas Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 152 huruf j diterbitkan; atau
k. Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak atas Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 152 huruf k diterbitkan.
(6) Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas pemberian imbalan bunga diterbitkan paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak diterbitkan:
a. Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga; atau
b. Surat Keputusan Pembetulan atas Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga yang menambah jumlah imbalan bunga.


 

Pasal 158

 

(1) Atas dasar Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 157 ayat (1), Kepala Kantor Pelayanan Pajak atas nama Menteri:
a. menerbitkan Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak atau Surat Perintah Membayar Imbalan Bunga, dalam hal Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak diterbitkan dengan nomor rekening; atau
b. tidak menerbitkan Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak atau Surat Perintah Membayar Imbalan Bunga, dalam hal Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak diterbitkan tanpa nomor rekening.
(2) Dalam hal tidak diterbitkan Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak atau Surat Perintah Membayar Imbalan Bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, Kepala Kantor Pelayanan Pajak:
a. menyampaikan pemberitahuan kepada Wajib Pajak bahwa Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak atau Surat Perintah Membayar Imbalan Bunga tidak diterbitkan; dan
b. meminta Wajib Pajak melakukan pemutakhiran nomor rekening pada profil Wajib Pajak dalam basis data perpajakan.
(3) Dalam hal Wajib Pajak telah melakukan pemutakhiran nomor rekening sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, Kepala Kantor Pelayanan Pajak:
a. melengkapi Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak dengan rekening yang diberitahukan oleh Wajib Pajak; dan
b. menerbitkan Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak atau Surat Perintah Membayar Imbalan Bunga.
(4) Dalam hal terdapat kesalahan dalam penerbitan Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak atau Surat Perintah Membayar Imbalan Bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3), Kepala Kantor Pelayanan Pajak atas nama Menteri membetulkan Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak atau Surat Perintah Membayar Imbalan Bunga sepanjang belum diterbitkan Surat Perintah Pencairan Dana.
(5) Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak dan Surat Perintah Membayar Imbalan Bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak:
a. diterbitkan Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak, dalam hal Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak diterbitkan dengan nomor rekening; atau
b. Wajib Pajak menyampaikan nomor rekening, dalam hal Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak diterbitkan tanpa nomor rekening.

 
 

Pasal 159

 

(1) Perhitungan kelebihan pembayaran pajak atau pemberian imbalan bunga untuk:
a. pelunasan Utang Pajak Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 154 ayat (1); dan/atau
b. pelunasan Utang Pajak atas nama Wajib Pajak lain dan/atau pengisian Deposit Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 154 ayat (2),
ditindaklanjuti dengan kompensasi ke Utang Pajak dan/atau Deposit Pajak.
(2) Kompensasi kelebihan pembayaran pajak atau pemberian imbalan bunga ke Deposit Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan berdasarkan persetujuan Wajib Pajak.
(3) Dalam hal tidak dilakukan kompensasi ke Utang Pajak dan/atau Deposit Pajak:
a. seluruh kelebihan pembayaran pajak dikembalikan kepada Wajib Pajak yang bersangkutan; atau
b. seluruh imbalan bunga diberikan kepada Wajib Pajak bersangkutan.
(4) Kompensasi ke Utang Pajak dan/atau Deposit Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui potongan Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak dan Surat Perintah Membayar Imbalan Bunga.
(5) Potongan Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak dan Surat Perintah Membayar Imbalan Bunga dianggap sah dalam hal telah mendapatkan nomor Surat Perintah Pencairan Dana sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang perbendaharaan.
(6) Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak dan Surat Perintah Membayar Imbalan Bunga dibebankan pada akun pendapatan pajak tahun anggaran berjalan, yaitu pada akun yang sama dengan akun pada saat diakuinya pendapatan pajak semula.
(7) Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak, Surat Perintah Membayar Imbalan Bunga, Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak, dan Arsip Data Komputer disampaikan ke Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara secara elektronik atau secara langsung oleh petugas yang ditunjuk.
(8) Berdasarkan Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak dan Surat Perintah Membayar Imbalan Bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (7), Kepala Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara atas nama Menteri menerbitkan Surat Perintah Pencairan Dana.


 

Pasal 160

 

(1) Pejabat yang diberi wewenang untuk menandatangani Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak, Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak, dan Surat Perintah Membayar Imbalan Bunga menyampaikan spesimen tanda tangan kepada Kepala Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara setiap awal tahun anggaran.
(2) Dalam hal terjadi perubahan pejabat yang berwenang menandatangani Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak, Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak, dan Surat Perintah Membayar Imbalan Bunga, pejabat pengganti harus menyampaikan spesimen tanda tangan kepada Kepala Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara sejak yang bersangkutan menjabat.


 

BAB VI
TATA CARA PENYAMPAIAN DAN PENGOLAHAN SURAT PEMBERITAHUAN
 
Bagian Kesatu
Surat Pemberitahuan
 
Pasal 161

 

(1) Setiap Wajib Pajak wajib mengisi Surat Pemberitahuan dengan benar, lengkap, dan jelas, dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang rupiah, dan menandatangani serta menyampaikannya ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau dikukuhkan atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
(2) Wajib Pajak Badan yang diizinkan untuk menyelenggarakan Pembukuan dengan menggunakan bahasa Inggris dan satuan mata uang dolar Amerika Serikat, wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan beserta lampirannya dalam bahasa Indonesia kecuali lampiran berupa laporan keuangan, dan menggunakan satuan mata uang dolar Amerika Serikat.
(3) Wajib Pajak yang ditunjuk sebagai Pihak Lain yang bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di luar Daerah Pabean dan memilih melaksanakan kewajiban pembayaran dan pelaporan atas Pajak Pertambahan Nilai Perdagangan Melalui Sistem Elektronik menggunakan mata uang dolar Amerika Serikat, wajib mengisi Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai menggunakan satuan mata uang dolar Amerika Serikat.


 

Pasal 162

 

(1) Surat Pemberitahuan meliputi:
a. Surat Pemberitahuan Masa, yang terdiri atas:
1. Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan:
a) Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26;
b) Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Unifikasi;
c) Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan final pengungkapan harta bersih;
d) Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan final dalam rangka program pengungkapan sukarela; dan
e) laporan penerimaan negara dari kegiatan usaha hulu minyak bumi dan/atau gas bumi;
2. Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai:
a) Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai bagi Pengusaha Kena Pajak;
b) Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai bagi Pengusaha Kena Pajak yang menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan;
c) Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai bagi Pemungut Pajak Pertambahan Nilai dan Pihak Lain, yang bukan merupakan Pengusaha Kena Pajak; dan
d) Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai bagi Pemungut Pajak Pertambahan Nilai Perdagangan Melalui Sistem Elektronik;
3. Surat Pemberitahuan Masa Bea Meterai; dan
4. Surat Pemberitahuan Masa Pajak Karbon.
b. Surat Pemberitahuan Tahunan, yang terdiri atas:
1. Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan untuk Tahun Pajak;
2. Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan untuk Bagian Tahun Pajak; dan
3. Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Karbon;
dan
c. Surat Pemberitahuan Objek Pajak.
(2) Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk:
a. Dokumen Elektronik; atau
b. formulir kertas (hardcopy).
(3) Penyebutan Bagian Tahun Pajak dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan untuk Bagian Tahun Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b angka 2, berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. menggunakan tahun kalender, dalam hal Bagian Tahun Pajak meliputi 1 (satu) tahun kalender;
b. menggunakan tahun kalender yang di dalamnya memuat jumlah bulan yang lebih banyak, dalam hal Bagian Tahun Pajak meliputi 2 (dua) tahun kalender yang berbeda; atau
c. menggunakan tahun kalender pertama, dalam hal Bagian Tahun Pajak meliputi 2 (dua) tahun kalender dengan jumlah bulan yang sama pada masing-masing tahun kalender.


 

Pasal 163

 

(1) Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26 wajib disampaikan oleh pemotong pajak dalam bentuk Dokumen Elektronik.
(2) Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Unifikasi wajib disampaikan oleh Wajib Pajak yang melakukan pemotongan, pemungutan, pembayaran sendiri, dan/atau penyetoran sendiri, dalam bentuk Dokumen Elektronik.
(3) Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan final pengungkapan harta bersih wajib disampaikan oleh Wajib Pajak dalam bentuk Dokumen Elektronik.
(4) Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan final dalam rangka program pengungkapan sukarela wajib disampaikan oleh Wajib Pajak peserta program pengungkapan sukarela yang tidak memenuhi ketentuan realisasi pengalihan harta bersih dan/atau investasi dalam bentuk Dokumen Elektronik.
(5) Laporan penerimaan negara dari kegiatan usaha hulu minyak bumi dan/atau gas bumi wajib disampaikan oleh Wajib Pajak dalam bentuk Dokumen Elektronik.
(6) Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai bagi Pengusaha Kena Pajak wajib disampaikan oleh setiap Pengusaha Kena Pajak dalam bentuk Dokumen Elektronik.
(7) Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai bagi Pengusaha Kena Pajak yang menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan wajib disampaikan antara lain oleh:
a. Pengusaha Kena Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (9a) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai; dan
b. Pengusaha Kena Pajak sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri mengenai pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan bagi Pengusaha Kena Pajak yang mempunyai peredaran usaha tidak melebihi jumlah tertentu,
dalam bentuk Dokumen Elektronik.
(8) Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai bagi Pemungut Pajak Pertambahan Nilai dan Pihak Lain yang bukan merupakan Pengusaha Kena Pajak wajib disampaikan dalam bentuk Dokumen Elektronik oleh:
a. Pemungut Pajak Pertambahan Nilai; dan
b. Pihak Lain yang bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di dalam Daerah Pabean,
yang bukan merupakan Pengusaha Kena Pajak.
(9) Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai bagi Pemungut Pajak Pertambahan Nilai Perdagangan Melalui Sistem Elektronik wajib disampaikan oleh Pihak Lain yang bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di luar Daerah Pabean, dalam bentuk Dokumen Elektronik.
(10) Surat Pemberitahuan Masa Bea Meterai wajib disampaikan oleh setiap pemungut Bea Meterai dalam bentuk Dokumen Elektronik.
(11) Surat Pemberitahuan Masa Pajak Karbon wajib disampaikan oleh setiap pemungut Pajak Karbon dalam bentuk Dokumen Elektronik.
(12) Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan wajib disampaikan oleh Wajib Pajak dalam bentuk Dokumen Elektronik, sepanjang Wajib Pajak memenuhi kriteria:
a. merupakan Wajib Pajak Badan;
b. Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang disampaikan berstatus lebih bayar;
c. diwajibkan menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa dalam bentuk Dokumen Elektronik;
d. pernah menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan dalam bentuk Dokumen Elektronik;
e. terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak selain Kantor Pelayanan Pajak pratama;
f. menggunakan jasa konsultan pajak dalam pemenuhan kewajiban pengisian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan; dan/atau
g. laporan keuangannya diaudit oleh akuntan publik.
(13) Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Karbon wajib disampaikan oleh setiap Wajib Pajak dalam bentuk Dokumen Elektronik.
(14) Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan Wajib Pajak tertentu selain Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (13) untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan dalam bentuk Dokumen Elektronik atau dalam bentuk formulir kertas (hardcopy).
(15) Terhadap Wajib Pajak yang diwajibkan untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan dalam bentuk Dokumen Elektronik, tetapi Wajib Pajak yang bersangkutan tetap menyampaikan Surat Pemberitahuan dalam bentuk formulir kertas (hardcopy), Direktorat Jenderal Pajak tidak memberikan bukti penerimaan Surat Pemberitahuan.
(16) Terhadap Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (15) dianggap tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan.
(17) Terhadap Wajib Pajak yang tidak memenuhi kriteria untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan dalam bentuk Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (13), dapat menyampaikan Surat Pemberitahuan dalam bentuk formulir kertas (hardcopy) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 162 ayat (2) huruf b.



Pasal 164

 

(1) Surat Pemberitahuan paling sedikit berisi:
a. jenis pajak;
b. nama Wajib Pajak dan Nomor Pokok Wajib Pajak;
c. Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak yang bersangkutan; dan
d. tanda tangan Wajib Pajak atau kuasa Wajib Pajak.
(2) Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan, selain berisi data sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memuat data mengenai:
a. jumlah peredaran usaha;
b. jumlah penghasilan, termasuk penghasilan yang bukan merupakan objek pajak;
c. jumlah penghasilan kena pajak;
d. jumlah pajak yang terutang;
e. jumlah kredit pajak;
f. jumlah kekurangan atau kelebihan pajak;
g. jumlah harta dan kewajiban; dan
h. data lainnya yang terkait dengan kegiatan usaha Wajib Pajak.
(3) Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan, selain berisi data sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memuat data mengenai:
a. jumlah dasar pengenaan pajak;
b. jumlah pajak yang terutang dan/atau jumlah pajak dibayar; dan
c. data lainnya yang terkait dengan kegiatan usaha Wajib Pajak.
(4) Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai bagi Pengusaha Kena Pajak, selain berisi data sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memuat data mengenai:
a. jumlah penyerahan;
b. jumlah perolehan;
c. jumlah dasar pengenaan pajak;
d. jumlah Pajak Keluaran;
e. jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan;
f. jumlah kekurangan atau kelebihan pajak;
g. data lainnya yang terkait dengan kegiatan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai dan/atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai dan Pihak Lain yang bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di dalam Daerah Pabean; dan
h. data lainnya yang terkait dengan kegiatan usaha Pengusaha Kena Pajak.
(5) Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai bagi Pengusaha Kena Pajak yang menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan, selain berisi data sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memuat data mengenai:
a. jumlah penyerahan;
b. jumlah perolehan;
c. jumlah dasar pengenaan pajak;
d. jumlah Pajak Keluaran;
e. jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan;
f. jumlah kekurangan atau kelebihan pajak; dan
g. data lainnya yang terkait dengan kegiatan usaha Pengusaha Kena Pajak.
(6) Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai bagi Pemungut Pajak Pertambahan Nilai dan Pihak Lain, yang bukan merupakan Pengusaha Kena Pajak, selain berisi data sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memuat data mengenai:
a. jumlah dasar pengenaan pajak;
b. jumlah pajak yang dipungut;
c. jumlah pajak yang disetor;
d. tanggal pemungutan; dan
e. data lainnya yang terkait dengan kegiatan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai dan/atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai dan Pihak Lain yang bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di dalam Daerah Pabean.
(7) Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan final pengungkapan harta bersih, selain berisi data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3), memuat data mengenai:
a. daftar rincian harta;
b. daftar rincian utang; dan
c. penghitungan Pajak Penghasilan final terutang.
(8) Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan final dalam rangka program pengungkapan sukarela, selain berisi data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3), memuat data mengenai:
a. daftar rincian harta bersih yang tidak dialihkan dan/atau diinvestasikan; dan
b. penghitungan tambahan Pajak Penghasilan final terutang.
(9) Laporan penerimaan negara dari kegiatan usaha hulu minyak bumi dan/atau gas bumi, selain berisi data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3), memuat data mengenai:
a. Lifting minyak bumi dan/atau gas bumi;
b. equity to be split; dan
c. bagian negara.
(10) Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai bagi Pemungut Pajak Pertambahan Nilai Perdagangan Melalui Sistem Elektronik, selain berisi data sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memuat data mengenai:
a. jumlah Pemanfaat Barang dan/atau Pemanfaat Jasa;
b. jumlah pembayaran transaksi, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut;
c. jumlah Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut; dan
d. rincian transaksi Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut.
(11) Surat Pemberitahuan Masa Bea Meterai, selain berisi data sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memuat data mengenai:
a. jumlah dokumen dan Bea Meterai yang dipungut serta jumlah dokumen dan Bea Meterai yang dibebaskan, berdasarkan objek Bea Meterai;
b. jumlah dokumen dan Bea Meterai yang dipungut berdasarkan cara pemungutan;
c. jumlah penyetoran Bea Meterai; dan
d. data lainnya terkait dengan pemungutan Bea Meterai.
(12) Surat Pemberitahuan Objek Pajak selain berisi data sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memuat data mengenai:
a. Nomor Objek Pajak;
b. sektor;
c. jenis/subsektor;
d. data lokasi Objek Pajak;
e. data Wajib Pajak;
f. data luas bumi dan luas bangunan;
g. data pendapatan; dan
h. data lainnya yang terkait dengan kegiatan pengusahaan Objek Pajak.
(13) Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Karbon, selain berisi data sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memuat data mengenai:
a. perhitungan Pajak Karbon terutang;
b. perhitungan pengurang Pajak Karbon; dan
c. Pajak Karbon yang harus dibayar.
(14) Surat Pemberitahuan Masa Pajak Karbon, selain berisi data sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memuat data mengenai:
a. nilai penjualan barang mengandung karbon;
b. dasar pengenaan Pajak Karbon; dan
c. Pajak Karbon yang dipungut dan disetor.


 

Pasal 165

 

(1) Surat Pemberitahuan terdiri dari Surat Pemberitahuan induk dan lampiran yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan.
(2) Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri dengan keterangan dan/atau dokumen sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(3) Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan Pembukuan harus dilampiri dengan laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi, serta keterangan lain yang diperlukan untuk menghitung besarnya penghasilan kena pajak.
(4) Dalam hal laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diaudit oleh akuntan publik, Wajib Pajak harus melampirkan laporan keuangan yang telah diaudit.
(5) Dalam hal Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan secara elektronik, laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan dalam bentuk elektronik sesuai dengan format dan sarana yang ditetapkan atau disediakan oleh Direktur Jenderal Pajak.
(6) Laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan laporan keuangan masing-masing Wajib Pajak.
(7) Dalam hal Wajib Pajak merupakan perusahaan induk, selain menyampaikan laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) Wajib Pajak juga harus melampirkan laporan keuangan konsolidasi.


 

Pasal 166

 

(1) Surat Pemberitahuan berbentuk formulir kertas (hardcopy) dapat diambil secara langsung di Kantor Pelayanan Pajak atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
(2) Surat Pemberitahuan berbentuk Dokumen Elektronik dapat diakses atau diunduh oleh Wajib Pajak melalui:
a. Portal Wajib Pajak; atau
b. laman atau aplikasi lain yang terintegrasi dengan sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak.


 

Pasal 167

 

(1) Surat Pemberitahuan yang disampaikan wajib ditandatangani oleh Wajib Pajak atau kuasa Wajib Pajak.
(2) Dalam hal Surat Pemberitahuan ditandatangani oleh kuasa Wajib Pajak, Surat Pemberitahuan harus dilampiri dengan surat kuasa khusus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(3) Penandatanganan Surat Pemberitahuan dilakukan dengan cara:
a. tanda tangan biasa; atau
b. Tanda Tangan Elektronik.
(4) Tanda tangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan huruf b mempunyai kekuatan hukum yang sama.


 

Pasal 168

 

(1) Penyampaian Surat Pemberitahuan oleh Wajib Pajak dapat dilakukan:
a. secara elektronik melalui Portal Wajib Pajak atau aplikasi lain yang terintegrasi dengan sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak;
b. secara langsung ke Kantor Pelayanan Pajak, Kantor Pelayanan, Penyuluhan, dan Konsultasi Perpajakan, atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak; atau
c. melalui pos atau perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar dan tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
(2) Atas penyampaian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan bukti penerimaan.
(3) Wajib Pajak yang diwajibkan untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan dalam bentuk Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 163 wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
(4) Terhadap Wajib Pajak yang diwajibkan untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (3), tetapi Wajib Pajak yang bersangkutan tetap menyampaikan Surat Pemberitahuan selain dengan cara elektronik, Direktorat Jenderal Pajak tidak memberikan bukti penerimaan Surat Pemberitahuan.
(5) Terhadap Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dianggap tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan.


 

Pasal 169

 

(1) Wajib Pajak orang pribadi wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi paling lama 3 (tiga) bulan setelah akhir Tahun Pajak.
(2) Wajib Pajak Badan wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan paling lama 4 (empat) bulan setelah akhir Tahun Pajak.
(3) Wajib Pajak Pajak Karbon wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Karbon paling lama 4 (empat) bulan setelah akhir tahun kalender.


 

Pasal 170

 

(1) Wajib Pajak orang pribadi yang memiliki kewajiban penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan untuk Bagian Tahun Pajak, wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan tersebut paling lama 3 (tiga) bulan setelah akhir Bagian Tahun Pajak.
(2) Wajib Pajak Badan yang memiliki kewajiban penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan untuk Bagian Tahun Pajak, wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan tersebut paling lama 4 (empat) bulan setelah akhir Bagian Tahun Pajak.


 

Pasal 171

 

(1) Wajib Pajak yang melakukan pembayaran pajak sendiri maupun yang ditunjuk sebagai pemotong atau pemungut Pajak Penghasilan, wajib melaporkan:
a. Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) yang dipotong, dipungut, dibayar sendiri, dan/atau disetor sendiri;
b. Pajak Penghasilan Pasal 15 yang dipotong, dibayar sendiri, dan/atau disetor sendiri;
c. Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dipotong;
d. Pajak Penghasilan Pasal 22 yang dipungut dan/atau disetor sendiri;
e. Pajak Penghasilan Pasal 23 yang dipotong;
f. Pajak Penghasilan Pasal 25 yang dibayar sendiri; dan/atau
g. Pajak Penghasilan Pasal 26 yang dipotong dan/atau dipungut,
paling lama 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.
(2) Kewajiban melaporkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipenuhi dengan menyampaikan:
a. Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26 untuk melaporkan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 yang dipotong sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan orang pribadi; dan
b. Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Unifikasi untuk melaporkan Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) yang dipotong, dipungut, dibayar sendiri, dan/atau disetor sendiri, Pajak Penghasilan Pasal 15 yang dipotong, dibayar sendiri, dan/atau disetor sendiri, Pajak Penghasilan Pasal 22 yang dipungut dan/atau disetor sendiri, Pajak Penghasilan Pasal 23 yang dipotong, Pajak Penghasilan Pasal 26 yang dipotong dan/atau dipungut yang tidak berhubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan orang pribadi.
(3) Wajib Pajak yang telah melakukan penyetoran sendiri Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) dan telah mendapat validasi pembayaran pajak atas:
a. penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan atau perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dan/atau bangunan beserta perubahannya; dan
b. penghasilan dari pengalihan Real Estat dalam skema Kontrak Investasi Kolektif tertentu,
dianggap telah memenuhi kewajiban pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan tanggal pembayaran yang tercantum dalam Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak.
(4) Wajib Pajak yang telah melakukan penyetoran sendiri Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu dan telah mendapatkan validasi pembayaran pajak, dianggap telah memenuhi kewajiban pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan tanggal pembayaran yang tercantum dalam Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak.
(5) Ketentuan mengenai kewajiban melaporkan Pajak Penghasilan dengan menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a berlaku:
a. sepanjang terdapat pembayaran penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan orang pribadi, untuk Masa Pajak selain Masa Pajak terakhir; dan
b. untuk Masa Pajak terakhir.
(6) Masa pajak terakhir sebagaimana dimaksud pada ayat (5) yaitu masa Desember, Masa Pajak tertentu yang terdapat pegawai tetap berhenti bekerja, atau Masa Pajak tertentu yang terdapat pensiunan berhenti menerima uang terkait pensiun.
(7) Pensiunan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) yaitu orang pribadi atau ahli warisnya, termasuk janda, duda, anak, dan/atau ahli waris lainnya, yang menerima atau memperoleh imbalan secara periodik berupa uang pensiun, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, jaminan hari tua, untuk pekerjaan yang dilakukan di masa lalu.
(8) Ketentuan mengenai kewajiban melaporkan Pajak Penghasilan dengan menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Unifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b tidak berlaku dalam hal tidak terdapat transaksi yang wajib:
a. diterbitkan bukti pemotongan atau bukti pemungutan; dan
b. dilakukan penyetoran sendiri,
Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, dalam Masa Pajak yang bersangkutan.
(9) Ketentuan mengenai kewajiban untuk melaporkan Pajak Penghasilan Pasal 22 yang dipungut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d tidak berlaku untuk pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas impor barang atau ekspor komoditas tambang batubara, mineral logam, dan mineral bukan logam, oleh Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
(10) Wajib Pajak yang telah melakukan pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 25 dan telah mendapatkan validasi pembayaran pajak, dianggap telah memenuhi kewajiban pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan tanggal pembayaran yang tercantum dalam Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak.
(11) Ketentuan mengenai kewajiban melaporkan Pajak Penghasilan Pasal 25 yang dibayar sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi Wajib Pajak dengan Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 nihil.
(12) Ketentuan mengenai kewajiban untuk melaporkan laporan penerimaan negara dari kegiatan usaha hulu minyak bumi dan/atau gas bumi tidak berlaku bagi Wajib Pajak dengan jumlah pajak yang masih harus dibayar nihil.
(13) Pengusaha Kena Pajak wajib melaporkan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang dalam satu Masa Pajak, Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean, dan Pajak Pertambahan Nilai kegiatan membangun sendiri dengan menggunakan:
a. Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai bagi Pengusaha Kena Pajak; atau
b. Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai bagi Pengusaha Kena Pajak yang menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan,
paling lambat akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
(14) Pemungut Pajak Pertambahan Nilai dan Pihak Lain yang bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di dalam Daerah Pabean wajib melaporkan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang telah dipungut paling lambat akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir dengan menggunakan:
a. Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai bagi Pengusaha Kena Pajak untuk Pemungut Pajak Pertambahan Nilai dan Pihak Lain, yang merupakan Pengusaha Kena Pajak; atau
b. Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai bagi Pemungut Pajak Pertambahan Nilai dan Pihak Lain yang bukan merupakan Pengusaha Kena Pajak untuk:
1. Pemungut Pajak Pertambahan Nilai; dan
2. Pihak Lain yang bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di dalam Daerah Pabean,
yang bukan merupakan Pengusaha Kena Pajak
(15) Dalam hal pada suatu Masa Pajak tidak terdapat transaksi yang wajib dipungut Pajak Pertambahan Nilai dan/atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah, maka:
a. Pemungut Pajak Pertambahan Nilai; dan
b. Pihak Lain yang bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di dalam Daerah Pabean,
yang bukan merupakan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (14) huruf b dikecualikan dari kewajiban pelaporan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai bagi Pemungut Pajak Pertambahan Nilai dan Pihak Lain yang bukan merupakan Pengusaha Kena Pajak.
(16) Pihak Lain yang bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di luar Daerah Pabean, wajib melaporkan Pajak Pertambahan Nilai yang telah dipungut paling lambat akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai bagi Pemungut Pajak Pertambahan Nilai Perdagangan Melalui Sistem Elektronik.
(17) Kewajiban pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (13), ayat (14) huruf a, dan ayat (16) tetap berlaku dalam hal tidak terdapat pemungutan dan penyetoran Pajak Pertambahan Nilai dalam suatu Masa Pajak.
(18) Pemungut Bea Meterai wajib melaporkan Bea Meterai yang telah dipungut dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Masa Bea Meterai paling lama 15 (lima belas) hari setelah Masa Pajak berakhir.
(19) Pemungut Pajak Karbon wajib melaporkan Pajak Karbon yang telah dipungut dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Karbon paling lama 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.



Pasal 172

 

(1) Orang pribadi atau Badan, yang bukan Pengusaha Kena Pajak, wajib melaporkan Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas kegiatan membangun sendiri paling lambat akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
(2) Orang pribadi atau Badan, yang bukan Pengusaha Kena Pajak, yang melakukan pembayaran Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas kegiatan membangun sendiri dan telah mendapat validasi pembayaran pajak, dianggap telah memenuhi kewajiban pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan tanggal pembayaran yang tercantum dalam Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak.
(3) Orang pribadi atau Badan, yang bukan Pengusaha Kena Pajak, wajib melaporkan Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean yang telah disetor, paling lambat akhir bulan berikutnya setelah saat terutangnya pajak.
(4) Orang pribadi atau Badan, yang bukan Pengusaha Kena Pajak, yang melakukan pembayaran Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dan telah mendapat validasi pembayaran pajak, dianggap telah memenuhi kewajiban pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sesuai dengan tanggal pembayaran yang tercantum dalam Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak.



Pasal 173

(1) Dalam hal batas akhir pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 171 dan Pasal 172 bertepatan dengan hari libur, pelaporan dapat dilakukan paling lambat pada hari kerja berikutnya.
(2) Hari libur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu hari Sabtu, hari Minggu, hari libur nasional, hari yang diliburkan untuk penyelenggaraan pemilihan umum, atau hari yang ditetapkan sebagai cuti bersama secara nasional.

 

 

Pasal 174

 

(1) Wajib Pajak dapat memperpanjang jangka waktu penyampaian:
a. Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan; dan
b. Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Karbon,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 untuk paling lama 2 (dua) bulan sejak batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan dengan cara menyampaikan pemberitahuan perpanjangan Surat Pemberitahuan Tahunan.
(2) Pemberitahuan perpanjangan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a disampaikan dalam bentuk Dokumen Elektronik atau dalam bentuk formulir kertas (hardcopy).
(3) Pemberitahuan perpanjangan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Karbon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b disampaikan dalam bentuk Dokumen Elektronik.


 

Pasal 175

 

(1) Pemberitahuan perpanjangan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 174 ayat (1) huruf a disampaikan ke Direktur Jenderal Pajak sebelum batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan berakhir, dengan dilampiri:
a. penghitungan sementara pajak terutang dalam 1 (satu) Tahun Pajak yang batas waktu penyampaiannya diperpanjang;
b. perhitungan sementara Pajak Penghasilan Pasal 26 ayat (4) untuk Wajib Pajak bentuk usaha tetap;
c. laporan keuangan sementara;
d. Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak sebagai bukti pelunasan kekurangan pembayaran pajak yang terutang, dalam hal terdapat kekurangan pembayaran pajak; dan
e. surat pernyataan dari akuntan publik yang menyatakan audit laporan keuangan belum selesai, dalam hal laporan keuangan diaudit oleh akuntan publik.
(2) Pemberitahuan perpanjangan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Karbon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 174 ayat (1) huruf b disampaikan ke Direktur Jenderal Pajak sebelum batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Karbon berakhir, dengan dilampiri:
a. penghitungan sementara pajak terutang dalam 1 (satu) Tahun Pajak yang batas waktu penyampaiannya diperpanjang;
b. laporan emisi karbon sementara;
c. Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak sebagai bukti pelunasan kekurangan pembayaran pajak yang terutang, dalam hal terdapat kekurangan pembayaran pajak; dan
d. surat pernyataan dari verifikator independen yang menyatakan proses verifikasi laporan emisi karbon belum selesai.
(3) Pemberitahuan perpanjangan Surat Pemberitahuan Tahunan wajib ditandatangani oleh Wajib Pajak atau kuasa Wajib Pajak.
(4) Dalam hal pemberitahuan perpanjangan Surat Pemberitahuan Tahunan ditandatangani oleh kuasa Wajib Pajak, pemberitahuan perpanjangan Surat Pemberitahuan Tahunan harus dilampiri dengan surat kuasa khusus sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(5) Dalam hal Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak telah tervalidasi dalam sistem Direktorat Jenderal Pajak, pemberitahuan perpanjangan Surat Pemberitahuan tidak perlu dilampiri dengan Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak.


 

Pasal 176



Pemberitahuan perpanjangan Surat Pemberitahuan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 174 ayat (1) disampaikan sesuai dengan ketentuan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.


 

Pasal 177

 

(1) Pemberitahuan perpanjangan Surat Pemberitahuan Tahunan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 175 dan Pasal 176 dianggap bukan merupakan pemberitahuan perpanjangan Surat Pemberitahuan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 174 ayat (1).
(2) Apabila pemberitahuan perpanjangan Surat Pemberitahuan Tahunan dianggap bukan pemberitahuan perpanjangan Surat Pemberitahuan Tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak memberitahukan secara tertulis kepada Wajib Pajak.


 

Pasal 178

 

(1) Wajib Pajak yang menyampaikan pemberitahuan perpanjangan penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan dalam batas waktu perpanjangan sebagaimana tertera dalam pemberitahuan tersebut.
(2) Dalam hal Surat Pemberitahuan Tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menunjukkan nilai Pajak Penghasilan kurang bayar yang lebih kecil dari nilai pajak yang telah disetor dalam Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 175 ayat (1), atas kelebihan pembayaran tersebut dapat:
a. diajukan permohonan Pemindahbukuan; atau
b. diminta kembali melalui permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang.


 

Pasal 179

 

(1) Apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu penyampaian atau batas waktu perpanjangan penyampaian Surat Pemberitahuan, Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa denda sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
(2) Dikecualikan dari pengenaan sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi:
a. Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan final pengungkapan harta bersih;
b. Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan final dalam rangka program pengungkapan sukarela; dan
c. Surat Pemberitahuan Objek Pajak.
(3) Pengenaan sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan terhadap:
a. Wajib Pajak orang pribadi yang telah meninggal dunia dan tidak meninggalkan warisan yang belum terbagi;
b. Wajib Pajak orang pribadi yang sudah tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas;
c. Wajib Pajak orang pribadi yang berstatus sebagai Warga Negara Asing yang tidak tinggal lagi di Indonesia dan/atau tidak berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan;
d. bentuk usaha tetap yang tidak melakukan kegiatan lagi di Indonesia;
e. Wajib Pajak Badan yang tidak melakukan kegiatan usaha lagi tetapi belum dibubarkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
f. Instansi Pemerintah yang tidak melakukan pembayaran lagi;
g. Wajib Pajak yang terkena bencana, yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Menteri; atau
h. Wajib Pajak lain.
(4) Wajib Pajak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf h adalah Wajib Pajak yang tidak dapat menyampaikan Surat Pemberitahuan dalam jangka waktu yang telah ditentukan karena:
a. kerusuhan massal;
b. kebakaran;
c. ledakan bom atau aksi terorisme;
d. perang antarsuku;
e. kegagalan sistem administrasi penerimaan negara atau perpajakan; atau
f. keadaan lain berdasarkan pertimbangan Direktur Jenderal Pajak.
(5) Penetapan Wajib Pajak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (4) melalui Keputusan Direktur Jenderal Pajak.


 

Pasal 180

 

(1) Wajib Pajak Pajak Penghasilan tertentu dikecualikan dari kewajiban menyampaikan Surat Pemberitahuan.
(2) Wajib Pajak Pajak Penghasilan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Wajib Pajak orang pribadi yang memenuhi kriteria yang ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak.


 

Pasal 181

 

(1) Wajib Pajak dengan kemauan sendiri dapat membetulkan Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan dengan menyampaikan pernyataan tertulis, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum menyampaikan:
a. surat pemberitahuan Pemeriksaan; atau
b. surat pemberitahuan pemeriksaan bukti permulaan secara terbuka,
kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak.
(2) Pernyataan tertulis dalam pembetulan Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara memberi tanda pada tempat yang telah disediakan dalam Surat Pemberitahuan yang menyatakan bahwa Wajib Pajak yang bersangkutan membetulkan Surat Pemberitahuan.
(3) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan.
(4) Dalam hal pembetulan Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyatakan rugi atau lebih bayar, pembetulan Surat Pemberitahuan harus disampaikan paling lama 2 (dua) tahun sebelum daluwarsa penetapan.
(5) Dalam hal Wajib Pajak menerima Surat Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali Tahun Pajak sebelumnya atau beberapa Tahun Pajak sebelumnya, yang menyatakan rugi fiskal yang berbeda dengan rugi fiskal yang telah dikompensasikan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan yang akan dibetulkan tersebut, Wajib Pajak dapat membetulkan Surat Pemberitahuan Tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan setelah menerima Surat Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali.
(6) Dalam hal Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Tahunan yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar, kepadanya dikenai sanksi administratif berupa bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri dari jumlah pajak yang masih harus dibayar dan dikenakan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
(7) Dalam hal Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Masa yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar, kepadanya dikenai sanksi administratif berupa bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri dari jumlah pajak yang masih harus dibayar dan dikenakan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (2a) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.


 

Pasal 182


Terhadap Surat Pemberitahuan yang disampaikan oleh Wajib Pajak dilakukan pengolahan yang meliputi:

a. Penelitian Surat Pemberitahuan; dan
b. perekaman Surat Pemberitahuan.

  
 

Pasal 183

 

(1) Atas penyampaian Surat Pemberitahuan Masa dan Surat Pemberitahuan Tahunan, dilakukan Penelitian Surat Pemberitahuan sebagai berikut:
a. Surat Pemberitahuan ditandatangani oleh Wajib Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
b. Surat Pemberitahuan disampaikan dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan satuan mata uang selain rupiah, terhadap Wajib Pajak yang telah mendapatkan izin Menteri untuk menyelenggarakan Pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan dengan mata uang selain rupiah;
c. Surat Pemberitahuan sepenuhnya dilampiri keterangan dan/atau dokumen sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (6) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
d. Surat Pemberitahuan lebih bayar disampaikan dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun setelah berakhirnya Masa Pajak, Tahun Pajak, atau Bagian Tahun Pajak dan telah ditegur secara tertulis; dan
e. Surat Pemberitahuan disampaikan sebelum Direktur Jenderal Pajak melakukan Pemeriksaan, pemeriksaan bukti permulaan secara terbuka, atau menerbitkan Surat Ketetapan Pajak.
(2) Ketentuan telah ditegur secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, tidak berlaku atas Surat Pemberitahuan lebih bayar untuk Masa, Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak pada saat:
a. Wajib Pajak belum terdaftar;
b. Wajib Pajak merupakan Wajib Pajak Nonaktif; atau
c. Wajib Pajak dikecualikan dari kewajiban penyampaian Surat Pemberitahuan.
(3) Terhadap Surat Pemberitahuan yang dilakukan pembetulan, selain dilakukan penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), juga dilakukan penelitian atas pemenuhan ketentuan pembetulan atas Surat Pemberitahuan yang menyatakan rugi atau lebih bayar harus disampaikan paling lama 2 (dua) tahun sebelum daluwarsa penetapan.
(4) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dimulai pada tanggal surat pemberitahuan Pemeriksaan disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak.
(5) Pemeriksaan bukti permulaan secara terbuka sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dimulai pada tanggal surat pemberitahuan pemeriksaan bukti permulaan disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa, atau pihak yang dapat mewakili Wajib Pajak sesuai dengan peraturan perundang-undangan mengenai pemeriksaan bukti permulaan.
(6) Atas penyampaian Surat Pemberitahuan Objek Pajak, dilakukan Penelitian Surat Pemberitahuan sesuai dengan Pasal 85.



Pasal 184

 

Atas penyampaian Surat Pemberitahuan secara elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 168 ayat (1) huruf a yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 183, diberikan bukti penerimaan Surat Pemberitahuan.

 
 

Pasal 185

 

Berdasarkan Penelitian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 183, atas penyampaian Surat Pemberitahuan secara langsung ke Kantor Pelayanan Pajak, Kantor Pelayanan, Penyuluhan, dan Konsultasi Perpajakan, atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 168 ayat (1) huruf b, berlaku ketentuan sebagai berikut:

a. dalam hal Surat Pemberitahuan telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 183, diberikan bukti penerimaan Surat Pemberitahuan; atau
b. dalam hal Surat Pemberitahuan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 183, Surat Pemberitahuan dikembalikan kepada Wajib Pajak.


 

Pasal 186

 

Berdasarkan Penelitian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 183, atas penyampaian Surat Pemberitahuan melalui pos atau perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 168 ayat (1) huruf c, berlaku ketentuan sebagai berikut:

a. dalam hal Surat Pemberitahuan telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 183, tanda bukti dan tanggal pengiriman surat dianggap sebagai tanda bukti dan tanggal penyampaian Surat Pemberitahuan; atau
b. dalam hal Surat Pemberitahuan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 183, Surat Pemberitahuan dianggap tidak disampaikan.

 
   

Pasal 187

 

(1) Selain terhadap Surat Pemberitahuan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 183, Surat Pemberitahuan yang disampaikan melalui pos atau perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 168 ayat (1) huruf c dianggap tidak disampaikan dalam hal:
a. Nomor Pokok Wajib Pajak tidak valid;
b. Surat Pemberitahuan sudah disampaikan sebelumnya;
c. isi amplop bukan Surat Pemberitahuan;
d. dalam satu amplop terdapat lebih dari satu Surat Pemberitahuan;
e. tidak terdapat pembayaran untuk Surat Pemberitahuan berstatus kurang bayar;
f. terdapat kesalahan penghitungan dan/atau jumlah pajak yang dibayar tidak sama dengan jumlah kurang bayar dalam Surat Pemberitahuan; dan/atau
g. Wajib Pajak seharusnya menyampaikan Surat Pemberitahuan dalam bentuk Dokumen Elektronik.
(2) Atas Surat Pemberitahuan dianggap tidak disampaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak menyampaikan surat pemberitahuan Surat Pemberitahuan dianggap tidak disampaikan kepada Wajib Pajak.



Pasal 188


Surat Pemberitahuan yang:

a. telah diberikan bukti penerimaan Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 dan Pasal 185 atau bukti pengiriman surat yang dianggap sebagai tanda bukti penyampaian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 186; dan
b. tidak diterbitkan surat pemberitahuan bahwa Surat Pemberitahuan dianggap tidak disampaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 187 ayat (2),

direkam ke dalam sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak.
   
 

Pasal 189

 

Dalam hal Surat Pemberitahuan yang disampaikan oleh Wajib Pajak merupakan Surat Pemberitahuan dengan status lebih bayar dengan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak, jangka waktu penyelesaian permohonan pengembalian dihitung sejak tanggal Surat Pemberitahuan diterima lengkap.

 
  

Pasal 190

 

Dalam hal penyampaian Surat Pemberitahuan tidak dapat dilakukan melalui sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak, Direktur Jenderal Pajak menetapkan prosedur tertentu dalam rangka penyampaian Surat Pemberitahuan dimaksud. 

 

Bagian Kedua
Tata Cara Penyetoran, Pelaporan, dan Pengecualian Pengenaan Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan, dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli atas Tanah dan/atau Bangunan Beserta Perubahannya
 
Pasal 191

 

(1) Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau Badan dari:
a. pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan; atau
b. perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dan/atau bangunan beserta perubahannya,
terutang Pajak Penghasilan yang bersifat final.
(2) Hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan semua hak atas tanah dan/atau bangunan antara lain dapat berupa:
a. hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai, sebagaimana diatur dalam undang-undang mengenai peraturan dasar pokok-pokok agraria; dan
b. hak milik atas satuan rumah susun dan kepemilikan bangunan gedung satuan rumah susun sebagaimana diatur dalam undang-undang mengenai rumah susun.
(3) Perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan kesepakatan jual beli antara para pihak yang dapat berupa surat perjanjian pengikatan jual beli, surat pemesanan unit, kuitansi pembayaran uang muka, atau bentuk kesepakatan lainnya antara pihak yang menjual atau bermaksud menjual tanah dan/atau bangunan dan pihak yang membeli atau bermaksud membeli tanah dan/atau bangunan.
(4) Penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan penghasilan yang diterima atau diperoleh pihak yang mengalihkan hak atas tanah dan/atau bangunan melalui penjualan, tukar menukar, pelepasan hak, penyerahan hak, lelang, hibah, waris, atau cara lain yang disepakati antara para pihak.
(5) Penghasilan dari perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dan/atau bangunan beserta perubahannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan penghasilan yang diterima atau diperoleh:
a. pihak penjual yang namanya tercantum dalam perjanjian pengikatan jual beli pada saat perjanjian dimaksud pertama kali ditandatangani; atau
b. pihak pembeli yang namanya tercantum dalam perjanjian pengikatan jual beli sebelum terjadinya perubahan atau adendum perjanjian pengikatan jual beli, dalam hal terjadi perubahan pihak pembeli dalam perjanjian pengikatan jual beli tersebut.


 

Pasal 192

 

(1) Besarnya Pajak Penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 191 ayat (1) huruf a sebesar:
a. 0% (nol persen) atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada pemerintah, Badan Usaha Milik Negara yang mendapat penugasan khusus dari pemerintah, atau badan usaha milik daerah yang mendapat penugasan khusus dari kepala daerah, sebagaimana diatur dalam undang-undang yang mengatur mengenai pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum;
b. 1% (satu persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan berupa rumah sederhana dan rumah susun sederhana yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan; atau
c. 2,5% (dua koma lima persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, selain pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b.
(2) Nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a. nilai berdasarkan keputusan pejabat yang berwenang, dalam hal pengalihan hak kepada pemerintah;
b. nilai menurut risalah lelang, dalam hal pengalihan hak sesuai dengan peraturan lelang (Vendu Reglement Staatsblad Tahun 1908 Nomor 189 beserta perubahannya);
c. nilai yang sesungguhnya diterima atau diperoleh, dalam hal pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dilakukan melalui jual beli yang tidak dipengaruhi hubungan istimewa, selain pengalihan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b;
d. nilai yang seharusnya diterima atau diperoleh, dalam hal pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dilakukan melalui jual beli yang dipengaruhi hubungan istimewa, selain pengalihan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b; atau
e. nilai yang seharusnya diterima atau diperoleh berdasarkan harga pasar, dalam hal pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dilakukan melalui tukar menukar, pelepasan hak, penyerahan hak, hibah, waris, atau cara lain yang disepakati antara para pihak.
(3) Besarnya Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dan/atau bangunan beserta perubahannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 191 ayat (1) huruf b dihitung berdasarkan tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dari jumlah bruto, yaitu:
a. nilai yang sesungguhnya diterima atau diperoleh, dalam hal pengalihan tanah dan/atau bangunan dilakukan melalui pengalihan yang tidak dipengaruhi hubungan istimewa; atau
b. nilai yang seharusnya diterima atau diperoleh, dalam hal pengalihan tanah dan/atau bangunan dilakukan melalui pengalihan yang dipengaruhi hubungan istimewa.
(4) Rumah sederhana dan rumah susun sederhana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b sesuai dengan kriteria rumah sederhana dan rumah susun sederhana yang mendapat fasilitas dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
(5) Termasuk sebagai Wajib Pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan Wajib Pajak yang dalam kegiatan usahanya mengalihkan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagai barang dagangan.


 

Pasal 193

 

(1) Orang pribadi atau Badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 191 ayat (1) huruf a, wajib menyetor sendiri Pajak Penghasilan yang terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 192 ayat (1) huruf b dan huruf c ke Kas Negara, sebelum akta, keputusan, kesepakatan, atau risalah lelang atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan ditandatangani oleh pejabat yang berwenang.
(2) Dalam hal penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada Badan Usaha Milik Negara atau badan usaha milik daerah dikenai tarif 0% (nol persen) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 192 ayat (1) huruf a, orang pribadi atau Badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 191 ayat (1) huruf a tidak perlu mengisi Surat Setoran Pajak.
(3) Bagi orang pribadi atau Badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 191 ayat (1) huruf a, Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terutang pada saat diterimanya sebagian atau seluruh pembayaran atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.
(4) Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dihitung berdasarkan jumlah setiap pembayaran termasuk uang muka, bunga, pungutan, dan pembayaran tambahan lainnya yang dipenuhi oleh pembeli, sehubungan dengan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan tersebut.
(5) Pajak Penghasilan yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib dibayar oleh orang pribadi atau Badan yang bersangkutan ke Kas Negara paling lambat tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah bulan diterimanya pembayaran.
(6) Pembayaran Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) dilakukan untuk setiap pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.
(7) Pejabat yang berwenang hanya menandatangani akta, keputusan, kesepakatan, atau risalah lelang atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan jika kepadanya dibuktikan oleh orang pribadi atau Badan bahwa kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah dipenuhi.
(8) Pemenuhan kewajiban pihak pembeli sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dibuktikan dengan menyerahkan salinan Surat Setoran Pajak atau hasil cetakan sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak yang bersangkutan yang telah dilakukan penelitian oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak.
(9) Pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat (7) meliputi pejabat pembuat akta tanah, pejabat lelang, atau pejabat lain yang diberi wewenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(10) Orang pribadi atau Badan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (5) dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.



Pasal 194

 

(1) Orang pribadi atau Badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 191 ayat (1) huruf a kepada pemerintah, dipungut Pajak Penghasilan oleh Instansi Pemerintah.
(2) Instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyetor Pajak Penghasilan yang telah dipungut ke Kas Negara, sebelum melakukan pembayaran kepada orang pribadi atau Badan yang berhak menerimanya atau sebelum tukar menukar dilaksanakan.
(3) Penyetoran Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak atas nama Instansi Pemerintah.
(4) Instansi Pemerintah yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.


 

Pasal 195

 

(1) Pelunasan Pajak Penghasilan yang terutang atas penghasilan dari perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dan/atau bangunan beserta perubahannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 191 ayat (1) huruf b wajib dilakukan melalui penyetoran sendiri ke Kas Negara oleh orang pribadi atau Badan yang merupakan:
a. pihak penjual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 191 ayat (5) huruf a; atau
b. pihak pembeli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 191 ayat (5) huruf b.
(2) Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terutang pada saat diterimanya sebagian atau seluruh pembayaran.
(3) Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihitung berdasarkan jumlah setiap pembayaran termasuk uang muka, bunga, pungutan, dan pembayaran tambahan lainnya yang dipenuhi oleh pembeli, sehubungan dengan perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dan/atau bangunan tersebut.
(4) Pajak Penghasilan yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dibayar oleh orang pribadi atau Badan yang bersangkutan ke Kas Negara paling lambat tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah bulan diterimanya pembayaran.
(5) Pembayaran Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan untuk setiap perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dan/atau bangunan.
(6) Dalam hal penjual telah melakukan pembayaran Pajak Penghasilan yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dari perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dan/atau bangunan beserta perubahannya, pembayaran dimaksud diperhitungkan dalam pelunasan Pajak Penghasilan terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 192 ayat (1) huruf b dan huruf c sepanjang perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dan/atau bangunan dimaksud diakhiri dengan pembuatan akta pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.
(7) Pihak penjual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 191 ayat (5) huruf a hanya menandatangani perubahan atau adendum perjanjian pengikatan jual beli jika kepadanya dibuktikan bahwa kewajiban pihak pembeli yang namanya tercantum dalam perjanjian pengikatan jual beli sebelum terjadinya perubahan atau adendum atas perjanjian pengikatan jual beli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 191 ayat (5) huruf b telah dipenuhi.
(8) Pemenuhan kewajiban pihak pembeli sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dibuktikan dengan menyerahkan salinan Surat Setoran Pajak atau hasil cetakan sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak yang bersangkutan yang telah dilakukan penelitian oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak.
(9) Orang pribadi atau Badan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (4) dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

 
 

Pasal 196

 

Pembayaran dan penyetoran Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 193 ayat (1) dan ayat (5), Pasal 194 ayat (2), serta Pasal 195 ayat (4) ke Kas Negara dilakukan melalui layanan atau kanal pembayaran yang disediakan oleh Collecting Agent sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai sistem penerimaan negara secara elektronik.

 
 

Pasal 197

 

(1) Bagi orang pribadi atau Badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 191 ayat (1), Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 192 ayat (1) dan ayat (3) terutang di tempat tinggal orang pribadi yang bersangkutan atau tempat kedudukan Badan di mana Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi atau Badan yang bersangkutan diadministrasikan.
(2) Dalam hal orang pribadi atau Badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan pengalihan tanah dan/atau bangunan kepada Instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 194 ayat (1), Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 192 ayat (1) dan ayat (3) terutang di tempat kedudukan Wajib Pajak Instansi Pemerintah diadministrasikan.


 

Pasal 198

 

(1) Instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 194 ayat (1) harus membuat dan menyampaikan laporan mengenai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan paling lama 20 (dua puluh) hari setelah bulan dilakukannya pengalihan hak dimaksud ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Instansi Pemerintah unit yang bersangkutan terdaftar.
(2) Badan Usaha Milik Negara yang mendapat penugasan khusus dari pemerintah atau badan usaha milik daerah yang mendapat penugasan khusus dari kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 192 ayat (1) huruf a harus:
a. membuat daftar pihak yang mengalihkan hak atas tanah dan/atau bangunan dan tanah dan/atau bangunan yang akan dialihkan dimaksud disertai dengan salinan surat penugasan dimaksud dan menyampaikan kepada pejabat yang berwenang menandatangani akta pengalihan hak sebagai pengganti Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 193 ayat (7); dan
b. membuat dan menyampaikan laporan mengenai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dalam rangka penugasan dimaksud paling lama 20 (dua puluh) hari setelah bulan dilakukannya pengalihan hak dimaksud ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Badan Usaha Milik Negara atau badan usaha milik daerah yang bersangkutan terdaftar.
(3) Pejabat yang berwenang menandatangani akta, keputusan, kesepakatan, atau risalah lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 193 ayat (7) harus menyampaikan laporan bulanan mengenai penerbitan akta, keputusan, kesepakatan, atau risalah lelang atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling lama 20 (dua puluh) hari setelah bulan dilakukannya pengalihan hak dimaksud ke Kantor Pelayanan Pajak tempat pejabat yang bersangkutan terdaftar.
(4) Penjual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 191 ayat (5) huruf a harus menyampaikan laporan mengenai perubahan atau adendum perjanjian pengikatan jual beli atas pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan paling lama 20 (dua puluh) hari setelah bulan dilakukannya perubahan atau adendum perjanjian pengikatan jual beli dimaksud ke Kantor Pelayanan Pajak tempat penjual terdaftar.
(5) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan bukti pemenuhan kewajiban Pajak Penghasilan bagi pihak yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang penghasilannya dikenai tarif 0% (nol persen) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 192 ayat (1) huruf a.


 

Pasal 199

 

(1) Penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) yang telah disetor sendiri, dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) yang telah dipungut atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dan perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dan/atau bangunan beserta perubahannya wajib dilaporkan kepada Direktur Jenderal Pajak dengan menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Unifikasi oleh:
a. orang pribadi atau Badan yang wajib menyetor sendiri Pajak Penghasilan yang terutang; atau
b. Instansi Pemerintah yang wajib melakukan pemotongan Pajak Penghasilan yang terutang,
paling lama 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.
(2) Orang pribadi atau Badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a yang telah melakukan penyetoran Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) dan telah dilakukan penelitian pembayaran pajak dianggap telah menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Unifikasi sesuai dengan tanggal pembayaran yang tercantum dalam Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak.
(3) Instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b wajib menerbitkan bukti pemungutan dan menyampaikannya kepada pihak yang menerima atau memperoleh penghasilan.
(4) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tetap berlaku dalam hal penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada Instansi Pemerintah dikenai tarif 0% (nol persen).
(5) Orang pribadi atau Badan dan Instansi Pemerintah yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.


 

Pasal 200

 

(1) Dikecualikan dari kewajiban pembayaran atau pemungutan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 192 ayat (1) dan ayat (3) yaitu:
a. orang pribadi yang mempunyai penghasilan di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dengan jumlah bruto pengalihannya kurang dari Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dan bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah;
b. orang pribadi yang melakukan pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan dengan cara hibah kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri, sepanjang hibah tersebut tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan;
c. Badan yang melakukan pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan dengan cara hibah kepada badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri, sepanjang hibah tersebut tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan;
d. pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan karena waris;
e. Badan yang melakukan pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan dalam rangka penggabungan, peleburan, atau pemekaran usaha yang telah ditetapkan oleh Menteri untuk menggunakan nilai buku;
f. orang pribadi atau Badan yang melakukan pengalihan harta berupa bangunan dalam rangka melaksanakan perjanjian bangun guna serah, bangun serah guna, atau pemanfaatan barang milik negara berupa tanah dan/atau bangunan; atau
g. orang pribadi atau Badan yang tidak termasuk subjek pajak yang melakukan pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan.
(2) Pengecualian dari kewajiban pembayaran atau pemungutan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan penerbitan surat keterangan bebas Pajak Penghasilan atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan atau perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dan/atau bangunan beserta perubahannya.

 

 
Bagian Ketiga
Tata Cara Pembayaran dan Pelaporan Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Real Estat dalam Skema Kontrak Investasi Kolektif Tertentu
 
Pasal 201

 

(1) Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dari pengalihan Real Estat kepada Special Purpose Company atau Kontrak Investasi Kolektif dalam skema Kontrak Investasi Kolektif tertentu, terutang Pajak Penghasilan yang bersifat final.
(2) Skema Kontrak Investasi Kolektif tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan suatu skema investasi dalam bentuk Kontrak Investasi Kolektif dengan wadah Dana Investasi Real Estat dengan atau tanpa menggunakan Special Purpose Company.


 

Pasal 202

 

(1) Besarnya Pajak Penghasilan dari pengalihan Real Estat kepada Special Purpose Company atau Kontrak Investasi Kolektif dalam skema Kontrak Investasi Kolektif tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 201 ayat (1) adalah sebesar 0,5% (nol koma lima persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan Real Estat.
(2) Jumlah bruto nilai pengalihan Real Estat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. seluruh jumlah yang sesungguhnya diterima atau diperoleh Wajib Pajak dari Special Purpose Company atau Kontrak Investasi Kolektif atas pengalihan Real Estat dalam skema Kontrak Investasi Kolektif tertentu, dalam hal Wajib Pajak tidak memiliki hubungan istimewa dengan Special Purpose Company atau Kontrak Investasi Kolektif; atau
b. seluruh jumlah yang seharusnya diterima atau diperoleh Wajib Pajak dari Special Purpose Company atau Kontrak Investasi Kolektif atas pengalihan Real Estat dalam skema Kontrak Investasi Kolektif tertentu dalam hal Wajib Pajak memiliki hubungan istimewa dengan Special Purpose Company atau Kontrak Investasi Kolektif.

 
 

Pasal 203

 

(1) Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 202 ayat (1) wajib dibayar sendiri oleh Wajib Pajak yang mengalihkan Real Estat ke Kas Negara sebelum akta, keputusan, perjanjian, atau kesepakatan atas pengalihan Real Estat kepada Special Purpose Company atau Kontrak Investasi Kolektif dalam skema Kontrak Investasi Kolektif tertentu ditandatangani oleh pejabat yang berwenang.
(2) Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terutang pada saat diterimanya sebagian atau seluruh pembayaran atas pengalihan Real Estat kepada Special Purpose Company atau Kontrak Investasi Kolektif dalam skema Kontrak Investasi Kolektif tertentu.
(3) Pajak Penghasilan yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihitung berdasarkan jumlah setiap pembayaran termasuk uang muka, bunga, pungutan, dan pembayaran tambahan lainnya, sehubungan dengan pengalihan Real Estat tersebut.
(4) Pajak Penghasilan yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dibayar paling lambat tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah bulan diterimanya pembayaran.
(5) Pembayaran Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ke Kas Negara dilakukan melalui layanan atau kanal pembayaran yang disediakan oleh Collecting Agent sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai sistem penerimaan negara secara elektronik.
(6) Wajib Pajak yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (4) dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.


 

Pasal 204

 

Wajib Pajak yang melakukan pengalihan Real Estat dan dikenai Pajak Penghasilan dengan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 202 ayat (1) wajib:

a. menyampaikan surat pemberitahuan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar mengenai adanya pengalihan Real Estat kepada Special Purpose Company atau Kontrak Investasi Kolektif dalam skema Kontrak Investasi Kolektif tertentu yang dilengkapi dengan dokumen:
1. salinan surat pemberitahuan efektifnya pernyataan pendaftaran Dana Investasi Real Estat berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang diterbitkan dan telah dilegalisasi oleh Otoritas Jasa Keuangan;
2. keterangan dari Otoritas Jasa Keuangan bahwa Wajib Pajak yang mengalihkan Real Estat bertransaksi dengan Special Purpose Company atau Kontrak Investasi Kolektif dalam skema Kontrak Investasi Kolektif tertentu;
3. surat pernyataan bermeterai yang menyatakan bahwa Wajib Pajak melakukan pengalihan Real Estat kepada Special Purpose Company atau Kontrak Investasi Kolektif dalam skema Kontrak Investasi Kolektif tertentu; dan
4. salinan Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak atas penghasilan dari pengalihan Real Estat kepada Special Purpose Company atau Kontrak Investasi Kolektif dalam skema Kontrak Investasi Kolektif tertentu;
dan
b. memenuhi persyaratan untuk diberikan Surat Keterangan Fiskal sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai tata cara pemberian Surat Keterangan Fiskal.

 

Pasal 205

 

Bagi Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 201 ayat (1), Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 202 ayat (1) terutang di tempat terdaftar Wajib Pajak, di mana Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak diadministrasikan.

 
 

Pasal 206

 

(1) Wajib Pajak yang wajib membayar sendiri Pajak Penghasilan yang terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 203 ayat (1) wajib melaporkan penghasilan yang diterima atau diperoleh dan Pajak Penghasilan yang telah dibayar dalam suatu Masa Pajak kepada Direktur Jenderal Pajak.
(2) Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
a. Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Unifikasi; dan
b. surat pemberitahuan mengenai adanya pengalihan Real Estat kepada Special Purpose Company atau Kontrak Investasi Kolektif dalam skema Kontrak Investasi Kolektif tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 204 huruf a,
paling lama 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.
(3) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang telah melakukan penyetoran Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) dan telah dilakukan penelitian pembayaran pajak, dianggap telah menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Unifikasi sesuai dengan tanggal pembayaran yang tercantum dalam Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak.
(4) Wajib Pajak yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.


 

Pasal 207

 

(1) Pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 203 ayat (1) merupakan pejabat yang diberi wewenang untuk menandatangani akta, keputusan, perjanjian, atau kesepakatan atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan.
(2) Pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat menandatangani akta, keputusan, perjanjian, atau kesepakatan atas pengalihan Real Estat apabila kepadanya telah dibuktikan bahwa:
a. Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 202 ayat (1) telah dibayar dengan menyerahkan salinan Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak bersangkutan yang telah dilakukan penelitian Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak atas penghasilan dari pengalihan Real Estat, dengan menunjukkan aslinya; dan
b. kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 204 telah dipenuhi, dengan menyerahkan salinan surat dan/atau dokumen bersangkutan serta salinan tanda bukti penerimaan surat dari Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar.
(3) Pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menyampaikan laporan bulanan mengenai penerbitan akta, keputusan, kesepakatan, atau risalah lelang atas pengalihan Real Estat, paling lama 20 (dua puluh) hari setelah bulan dilakukannya penerbitan akta, keputusan, kesepakatan, atau risalah lelang atas pengalihan Real Estat dimaksud ke Kantor Pelayanan Pajak tempat pejabat yang bersangkutan terdaftar.
(4) Tata cara penelitian Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak atas penghasilan dari pengalihan Real Estat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 206 ayat (3) dilakukan sesuai dengan ketentuan mengenai tata cara penelitian Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dan perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dan/atau bangunan.


 

Bagian Keempat
Tata Cara Pemotongan dan Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan Lain Kontraktor Berupa Uplift atau Imbalan Lain yang Sejenis dan/atau Penghasilan Kontraktor dari Pengalihan Partisipasi Interes
 
Pasal 208

 

(1) Atas penghasilan lain Kontraktor Kontrak Kerja Sama Minyak dan Gas Bumi di luar Kontrak Kerja Sama berupa Uplift atau imbalan lain yang sejenis dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan tarif sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto.
(2) Atas penghasilan lain Kontraktor Kontrak Kerja Sama Minyak dan Gas Bumi di luar Kontrak Kerja Sama berupa pengalihan Partisipasi Interes dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan tarif sebesar:
a. 5% (lima persen) dari jumlah bruto, untuk pengalihan Partisipasi Interes selama masa Eksplorasi; atau
b. 7% (tujuh persen) dari jumlah bruto, untuk pengalihan Partisipasi Interes selama masa Eksploitasi.
(3) Masa Eksplorasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terhitung sejak tanggal efektif Kontrak Kerja Sama sampai dengan tanggal persetujuan rencana pengembangan lapangan pertama pada suatu Wilayah Kerja Kontraktor Kontrak Kerja Sama Minyak dan Gas Bumi.
(4) Masa Eksploitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b terhitung dari berakhirnya masa Eksplorasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sampai dengan tanggal berakhirnya Kontrak Kerja Sama.

  
 

Pasal 209

 

(1) Dalam rangka membagi risiko dalam masa Eksplorasi, pengalihan Partisipasi Interes dikecualikan dari pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 208 ayat (2) huruf a, dalam hal memenuhi kriteria:
a. tidak mengalihkan seluruh Partisipasi Interes yang dimilikinya;
b. Partisipasi Interes telah dimiliki lebih dari 3 (tiga) tahun;
c. di Wilayah Kerja telah dilakukan Eksplorasi dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama Minyak dan Gas Bumi telah mengeluarkan investasi untuk melaksanakan Eksplorasi dimaksud; dan
d. pengalihan Partisipasi Interes oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama Minyak dan Gas Bumi tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan.
(2) Pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 208 ayat (2) huruf b, dikecualikan sepanjang untuk melakukan kewajiban pengalihan Partisipasi Interes sesuai Kontrak Kerja Sama kepada perusahaan nasional sebagaimana tertuang dalam Kontrak Kerja Sama.



Pasal 210

 

Dasar pengenaan pajak untuk Pajak Penghasilan atas pengalihan Partisipasi Interes sebagaimana dimaksud dalam Pasal 208 ayat (2) yaitu:

a. jumlah yang sesungguhnya diterima atau diperoleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama Minyak dan Gas Bumi; atau
b. jumlah yang seharusnya diterima atau diperoleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama Minyak dan Gas Bumi, dalam hal terdapat hubungan istimewa sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Pajak Penghasilan antara pihak-pihak yang melakukan pengalihan Partisipasi Interes.



Pasal 211

(1) Dalam hal terjadi pengalihan Partisipasi Interes, Kontraktor Kontrak Kerja Sama Minyak dan Gas Bumi wajib melaporkan nilai pengalihan Partisipasi Interes dimaksud kepada Kantor Pelayanan Pajak tempat Kontraktor Kontrak Kerja Sama Minyak dan Gas Bumi terdaftar disertai dengan dokumen tertulis berupa perjanjian pengalihan Partisipasi Interes dan financial quarterly report (FQR) triwulan terakhir sebelum terjadinya pengalihan Partisipasi Interes.
(2) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dipenuhi oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama Minyak dan Gas Bumi, Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan secara jabatan besarnya nilai pengalihan Partisipasi Interes.
(3) Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh:
a. Kontraktor Kontrak Kerja Sama Minyak dan Gas Bumi yang menerima pengalihan Partisipasi Interes dalam hal penerima pengalihan Partisipasi Interes sudah terdaftar sebagai Wajib Pajak; atau
b. Kontraktor Kontrak Kerja Sama Minyak dan Gas Bumi yang mengalihkan Partisipasi Interes dalam hal penerima pengalihan Partisipasi Interes belum terdaftar sebagai Wajib Pajak.
(4) Kontraktor Kontrak Kerja Sama Minyak dan Gas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus melaporkan nilai pengalihan Partisipasi Interes sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak perjanjian pengalihan Partisipasi Interes ditandatangani.

 
 

Pasal 212

 

(1) Saat terutangnya Pajak Penghasilan atas penghasilan berupa Uplift atau imbalan lain yang sejenis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 208 ayat (1) yaitu pada saat penghasilan berupa Uplift atau imbalan lain yang sejenis dibayar atau diakui sebagai biaya, tergantung peristiwa mana yang lebih dahulu terjadi.
(2) Atas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 208 ayat (1) wajib dipotong oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama Minyak dan Gas Bumi yang melakukan pembayaran Uplift atau imbalan lain yang sejenis dengan menerbitkan bukti pemotongan/pemungutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


 

Pasal 213

 

(1) Saat terutangnya Pajak Penghasilan atas penghasilan dari pengalihan Partisipasi Interes sebagaimana dimaksud dalam Pasal 208 ayat (2) yaitu pada saat pembayaran, pada saat pengalihan Partisipasi Interes, atau pada saat diberikannya persetujuan pengalihan Partisipasi Interes oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral, tergantung peristiwa mana yang lebih dahulu terjadi.
(2) Atas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 208 ayat (2) wajib dipotong oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama Minyak dan Gas Bumi yang menerima pengalihan Partisipasi Interes dengan menerbitkan bukti pemotongan/pemungutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat dipenuhi karena Kontraktor Kontrak Kerja Sama Minyak dan Gas Bumi yang menerima pengalihan Partisipasi Interes belum terdaftar sebagai Wajib Pajak, Pajak Penghasilan yang terutang dimaksud wajib dipotong, disetorkan, dan dilaporkan oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama Minyak dan Gas Bumi yang menerima pengalihan Partisipasi Interes pada saat setelah terdaftar sebagai Wajib Pajak.
(4) Dalam hal pengalihan Partisipasi Interes dilakukan secara tidak langsung dan tidak mengubah Nomor Pokok Wajib Pajak, Kontraktor Kontrak Kerja Sama Minyak dan Gas Bumi yang mengalihkan Partisipasi Interes wajib menyetor sendiri Pajak Penghasilan yang terutang.


 

Pasal 214

 

Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 212 ayat (2) dan/atau Pasal 213 ayat (2), dan ayat (4), wajib disetorkan ke Kas Negara sesuai dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 ayat (2).

 
  

Pasal 215

 

(1) Pajak Penghasilan yang disetorkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 214 wajib dilaporkan oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama Minyak dan Gas Bumi yang melakukan pemotongan atau penyetoran sendiri Pajak Penghasilan yang terutang.
(2) Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 171.
(3) Kontraktor Kontrak Kerja Sama Minyak dan Gas Bumi yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 212 ayat (2), Pasal 213 ayat (2), Pasal 213 ayat (3), Pasal 213 ayat (4), Pasal 214, dan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.


 

Pasal 216

 

(1) Atas penghasilan kena pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan yang bersifat final yang berasal dari Uplift atau imbalan lain yang sejenis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 208 ayat (1) dan/atau penghasilan Kontraktor Kontrak Kerja Sama Minyak dan Gas Bumi dari pengalihan Partisipasi Interes sebagaimana dimaksud dalam Pasal 208 ayat (2), terutang Pajak Penghasilan sesuai peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Penghasilan.
(2) Perlakuan Pajak Penghasilan atas penghasilan lain Kontraktor Kontrak Kerja Sama Minyak dan Gas Bumi selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 208 ayat (1) dan ayat (2) berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Penghasilan yang berlaku secara umum.


 

Bagian Kelima
Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 sehubungan dengan Pembayaran atas Penyerahan Barang dan Kegiatan di Bidang Impor atau Kegiatan Usaha di Bidang Lain
 
Pasal 217

 

(1) Pemungut pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 Undang-Undang Pajak Penghasilan, yaitu:
a. Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atas:
1. impor barang; dan
2. ekspor komoditas tambang batubara, mineral logam, dan mineral bukan logam yang dilakukan oleh eksportir, kecuali yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang terikat dalam perjanjian kerja sama pengusahaan pertambangan dan kontrak karya.
b. Instansi Pemerintah berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang, yang dilakukan dengan mekanisme Uang Persediaan atau mekanisme pembayaran langsung;
c. badan usaha tertentu meliputi:
1. Badan Usaha Milik Negara;
2. badan usaha dan Badan Usaha Milik Negara yang merupakan hasil dari restrukturisasi yang dilakukan oleh pemerintah, dan restrukturisasi tersebut dilakukan melalui pengalihan saham milik negara kepada Badan Usaha Milik Negara lainnya; dan
3. badan usaha tertentu yang dimiliki secara langsung oleh Badan Usaha Milik Negara, meliputi PT Pupuk Sriwidjaja Palembang, PT Petrokimia Gresik, PT Pupuk Kujang, PT Pupuk Kalimantan Timur, PT Pupuk Iskandar Muda, PT Telekomunikasi Selular, PT Indonesia Power, PT Pembangkitan Jawa-Bali, PT Semen Padang, PT Semen Tonasa, PT Elnusa Tbk, PT Krakatau Wajatama, PT Rajawali Nusindo, PT Wijaya Karya Beton Tbk, PT Kimia Farma Apotek, PT Kimia Farma Trading & Distribution, PT Badak Natural Gas Liquefaction, PT Tambang Timah, PT Terminal Petikemas Surabaya, PT Indonesia Comnets Plus, PT Bank Syariah Indonesia Tbk,
berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang dan/atau bahan-bahan untuk keperluan kegiatan usahanya;
d. badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri kertas, industri baja, industri otomotif, dan industri farmasi, atas penjualan hasil produksinya kepada distributor di dalam negeri;
e. agen tunggal pemegang merek, agen pemegang merek, dan importir umum kendaraan bermotor, atas penjualan kendaraan bermotor di dalam negeri;
f. produsen atau importir bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas, atas penjualan bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas;
g. badan usaha industri atau eksportir yang melakukan pembelian bahan-bahan berupa hasil kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan perikanan yang belum melalui proses industri manufaktur, untuk keperluan industrinya atau ekspornya; dan
h. badan usaha yang melakukan pembelian komoditas tambang batubara, mineral logam, dan mineral bukan logam, dari Badan atau orang pribadi pemegang izin usaha pertambangan.
(2) Dalam hal badan usaha tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c angka 3 melakukan perubahan nama badan usaha, badan usaha tertentu tersebut tetap ditunjuk sebagai pemungut pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 22 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
(3) Dalam hal badan usaha tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c angka 3 tidak lagi dimiliki secara langsung oleh Badan Usaha Milik Negara, badan usaha tertentu dimaksud tidak lagi ditunjuk sebagai pemungut pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 22 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
(4) Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri baja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d adalah industri baja yang merupakan industri hulu, termasuk industri hulu yang terintegrasi dengan industri antara dan industri hilir.
(5) Izin usaha pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h adalah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertambangan mineral dan batubara.


 

Pasal 218

 

(1) Besarnya pungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 ditetapkan sebagai berikut:
a. untuk pemungutan yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atas:
1. impor:
a) barang tertentu sebesar 10% (sepuluh persen) dari nilai impor dengan atau tanpa menggunakan angka pengenal impor;
b) barang tertentu lainnya sebesar 7,5% (tujuh koma lima persen) dari nilai impor dengan atau tanpa menggunakan angka pengenal impor;
c) barang berupa kedelai, gandum, dan tepung terigu sebesar 0,5% (nol koma lima persen) dari nilai impor dengan menggunakan angka pengenal impor;
d) barang selain barang sebagaimana dimaksud dalam huruf a), huruf b), dan huruf c) yang menggunakan angka pengenal impor, sebesar 2,5% (dua koma lima persen) dari nilai impor;
e) barang sebagaimana dimaksud dalam huruf c) dan huruf d) yang tidak menggunakan angka pengenal impor, sebesar 7,5% (tujuh koma lima persen) dari nilai impor; dan
f) barang yang tidak dikuasai, sebesar 7,5% (tujuh koma lima persen) dari harga jual lelang;
dan
2. ekspor komoditas tambang batubara, mineral logam, dan mineral bukan logam, sesuai uraian barang dan pos tarif/harmonized system oleh eksportir kecuali yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang terikat dalam perjanjian kerja sama pengusahaan pertambangan dan kontrak karya, sebesar 1,5% (satu koma lima persen) dari nilai ekspor sebagaimana tercantum dalam pemberitahuan pabean ekspor;
b. atas pembelian barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 217 ayat (1) huruf b dan pembelian barang dan/atau bahan-bahan untuk keperluan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 217 ayat (1) huruf c, sebesar 1,5% (satu koma lima persen) dari harga pembelian tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai;
c. atas penjualan bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas oleh produsen atau importir bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas adalah sebagai berikut:
1. bahan bakar minyak sebesar:
a) 0,25% (nol koma dua puluh lima persen) dari penjualan tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai untuk penjualan kepada stasiun pengisian bahan bakar umum yang menjual bahan bakar minyak yang dibeli dari PT Pertamina (Persero) atau anak usaha PT Pertamina (Persero);
b) 0,3% (nol koma tiga persen) dari penjualan tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai untuk penjualan kepada stasiun pengisian bahan bakar umum yang menjual bahan bakar minyak yang dibeli selain dari PT Pertamina (Persero) atau anak usaha PT Pertamina (Persero); dan
c) 0,3% (nol koma tiga persen) dari penjualan tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai untuk penjualan kepada pihak selain sebagaimana dimaksud dalam huruf a) dan huruf b);
2. bahan bakar gas sebesar 0,3% (nol koma tiga persen) dari penjualan tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai; dan
3. pelumas sebesar 0,3% (nol koma tiga persen) dari penjualan tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai;
d. atas penjualan hasil produksi kepada distributor di dalam negeri oleh badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri kertas, industri baja, industri otomotif, dan industri farmasi:
1. penjualan semua jenis semen sebesar 0,25% (nol koma dua puluh lima persen);
2. penjualan kertas sebesar 0,1% (nol koma satu persen);
3. penjualan baja sebesar 0,3% (nol koma tiga persen);
4. penjualan semua jenis kendaraan bermotor beroda dua atau lebih, tidak termasuk alat berat, sebesar 0,45% (nol koma empat puluh lima persen); dan
5. penjualan semua jenis obat sebesar 0,3% (nol koma tiga persen), dari dasar pengenaan pajak untuk Pajak Pertambahan Nilai;
e. atas penjualan kendaraan bermotor di dalam negeri oleh agen tunggal pemegang merek, agen pemegang merek, dan importir umum kendaraan bermotor, tidak termasuk alat berat, sebesar 0,45% (nol koma empat puluh lima persen) dari dasar pengenaan pajak untuk Pajak Pertambahan Nilai;
f. atas pembelian bahan-bahan berupa hasil kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan perikanan yang belum melalui proses industri manufaktur oleh badan usaha industri atau eksportir sebesar 0,25% (nol koma dua puluh lima persen) dari harga pembelian tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai; dan
g. atas pembelian batubara, mineral logam, dan mineral bukan logam, dari Badan atau orang pribadi pemegang izin usaha pertambangan oleh industri atau badan usaha sebesar 1,5% (satu koma lima persen) dari harga pembelian tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai.
(2) Nilai impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 1 adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea masuk yaitu cost insurance and freight ditambah dengan bea masuk dan pungutan lainnya yang dikenakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan.
(3) Nilai ekspor sebagaimana tercantum dalam pemberitahuan pabean ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 2 adalah nilai free on board yang tercantum pada pemberitahuan pabean ekspor, termasuk pemberitahuan pabean ekspor yang nilai ekspornya telah dibetulkan.
(4) Besarnya pungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas pembelian bahan-bahan berupa hasil kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan perikanan yang belum melalui proses industri manufaktur oleh badan usaha tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 217 ayat (1) huruf c yang merupakan badan usaha industri atau eksportir dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f.


 

Pasal 219

 

(1) Dikecualikan dari pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22:
a. impor barang dan/atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan tidak terutang Pajak Penghasilan;
b. impor barang yang dibebaskan dari pungutan bea masuk dan/atau Pajak Pertambahan Nilai berupa:
1. barang perwakilan negara asing beserta para pejabatnya yang bertugas di Indonesia berdasarkan asas timbal balik;
2. barang untuk keperluan badan internasional beserta pejabatnya yang bertugas di Indonesia dan tidak memegang paspor Indonesia yang diakui dan terdaftar dalam Peraturan Menteri yang mengatur mengenai tata cara pemberian pembebasan bea masuk dan cukai atas impor barang untuk keperluan badan internasional beserta para pejabatnya yang bertugas di Indonesia;
3. barang kiriman hadiah/hibah untuk keperluan ibadah umum, amal, sosial, kebudayaan, atau untuk kepentingan penanggulangan bencana;
4. barang untuk keperluan museum, kebun binatang, konservasi alam dan tempat lain semacam itu yang terbuka untuk umum;
5. barang untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan;
6. barang untuk keperluan khusus kaum tunanetra dan penyandang cacat lainnya;
7. peti atau kemasan lain yang berisi jenazah atau abu jenazah;
8. barang pindahan;
9. barang yang diimpor oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah yang ditujukan untuk kepentingan umum;
10. persenjataan, amunisi, dan perlengkapan militer, termasuk suku cadang yang diperuntukkan bagi keperluan pertahanan dan keamanan negara;
11. barang dan bahan yang dipergunakan untuk menghasilkan barang bagi keperluan pertahanan dan keamanan negara;
12. vaksin polio dalam rangka pelaksanaan program pekan imunisasi nasional;
13. buku ilmu pengetahuan dan teknologi, buku pelajaran umum, kitab suci, buku pelajaran agama, dan buku ilmu pengetahuan lainnya;
14. kapal laut, kapal angkutan sungai, kapal angkutan danau dan kapal angkutan penyeberangan, kapal pandu, kapal tunda, kapal penangkap ikan, kapal tongkang, dan suku cadangnya, serta alat keselamatan pelayaran dan alat keselamatan manusia yang diimpor dan digunakan oleh Perusahaan Pelayaran Niaga Nasional atau Perusahaan Penangkapan Ikan Nasional, Perusahaan Penyelenggara Jasa Kepelabuhan Nasional atau Perusahaan Penyelenggara Jasa Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan Nasional, sesuai dengan kegiatan usahanya;
15 pesawat udara dan suku cadangnya serta alat keselamatan penerbangan dan alat keselamatan manusia, peralatan untuk perbaikan dan pemeliharaan yang diimpor dan digunakan oleh Perusahaan Angkutan Udara Niaga Nasional, dan suku cadangnya, serta peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan pesawat udara yang diimpor oleh pihak yang ditunjuk oleh Perusahaan Angkutan Udara Niaga Nasional yang digunakan dalam rangka pemberian jasa perawatan dan reparasi pesawat udara kepada Perusahaan Angkutan Udara Niaga Nasional;
16. kereta api dan suku cadangnya serta peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan serta prasarana perkeretaapian yang diimpor dan digunakan oleh badan usaha penyelenggara sarana perkeretaapian umum dan/atau badan usaha penyelenggara prasarana perkeretaapian umum, dan komponen atau bahan yang diimpor oleh pihak yang ditunjuk oleh badan usaha penyelenggara sarana perkeretaapian umum dan/atau badan usaha penyelenggara prasarana perkeretaapian umum yang digunakan untuk pembuatan kereta api, suku cadang, peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan, serta prasarana perkeretaapian yang akan digunakan oleh badan usaha penyelenggara sarana perkeretaapian umum dan/atau badan usaha penyelenggara prasarana perkeretaapian umum;
17. peralatan berikut suku cadangnya yang digunakan oleh Kementerian Pertahanan atau Tentara Nasional Indonesia untuk penyediaan data batas dan foto udara wilayah Negara Republik Indonesia yang dilakukan untuk mendukung pertahanan Nasional, yang diimpor oleh Kementerian Pertahanan, Tentara Nasional Indonesia atau pihak yang ditunjuk oleh Kementerian Pertahanan atau Tentara Nasional Indonesia;
18. barang untuk kegiatan hulu minyak dan gas bumi yang importasinya dilakukan oleh kontraktor kontrak kerja sama; dan
19. barang untuk kegiatan usaha panas bumi; impor sementara, jika pada waktu impornya nyata-nyata dimaksudkan untuk diekspor kembali; impor kembali, yang meliputi barang-barang yang telah diekspor kemudian diimpor kembali dalam kualitas yang sama atau barang-barang yang telah diekspor untuk keperluan perbaikan, pengerjaan dan pengujian, yang telah memenuhi syarat yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai;
c. impor sementara, jika pada waktu impornya nyata-nyata dimaksudkan untuk diekspor kembali;
d. impor kembali, yang meliputi barang-barang yang telah diekspor kemudian diimpor kembali dalam kualitas yang sama atau barang-barang yang telah diekspor untuk keperluan perbaikan, pengerjaan dan pengujian, yang telah memenuhi syarat yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai;
e. pembayaran yang dilakukan oleh pemungut pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 217 ayat (1) huruf b, huruf c, huruf g, dan huruf h berkenaan dengan:
1. pembayaran yang dilakukan oleh pemungut pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 217 ayat (1) huruf b:
a. yang jumlahnya paling banyak Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah) tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan bukan merupakan pembayaran yang dipecah dari suatu transaksi yang nilai sebenarnya lebih dari Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah);
b. pembayaran atas pembelian barang yang dilakukan dengan menggunakan kartu kredit Instansi Pemerintah;
c. pembayaran untuk pembelian bahan bakar minyak, bahan bakar gas, pelumas, benda pos atau pemakaian air dan listrik;
d. pembayaran untuk pembelian barang sehubungan dengan penggunaan dana bantuan operasional sekolah, bantuan operasional penyelenggaraan pendidikan anak usia dini, atau bantuan operasional penyelenggaraan pendidikan lainnya, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pendidikan;
e. pembayaran untuk pembelian gabah dan/atau beras;
f. pembayaran kepada rekanan pemerintah yang memiliki dan menyerahkan salinan surat keterangan yang menerangkan bahwa Wajib Pajak dikenai Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Pajak Penghasilan atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu;
g. pembayaran kepada rekanan pemerintah yang dapat menyerahkan salinan surat keterangan bebas pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai tata cara pengajuan permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan; atau
h. pembayaran dengan mekanisme Uang Persediaan atas pembelian barang yang dilakukan melalui Pihak Lain dalam sistem administrasi pengadaan pemerintah, yang telah dipungut Pajak Penghasilan Pasal 22 oleh Pihak Lain;
2. pembayaran yang dilakukan oleh pemungut pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 217 ayat (1) huruf c yang jumlahnya paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan bukan merupakan pembayaran yang dipecah dari suatu transaksi yang nilai sebenarnya lebih dari Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah);
3. pembayaran untuk:
a. pembelian bahan bakar minyak, bahan bakar gas, pelumas, benda-benda pos; dan
b. pemakaian air dan listrik;
4. pembayaran untuk pembelian minyak bumi, gas bumi, dan/atau produk sampingan dari kegiatan usaha hulu di bidang minyak dan gas bumi yang dihasilkan di Indonesia dari:
a. kontraktor yang melakukan eksplorasi dan eksploitasi berdasarkan kontrak kerja sama;
b. kantor pusat kontraktor yang melakukan eksplorasi dan eksploitasi berdasarkan kontrak kerja sama; atau
c. trading arms kontraktor yang melakukan eksplorasi dan eksploitasi berdasarkan kontrak kerja sama.
5. pembayaran untuk pembelian panas bumi atau listrik hasil pengusahaan panas bumi dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha di bidang usaha panas bumi berdasarkan kontrak kerja sama pengusahaan sumber daya panas bumi;
6. pembelian bahan-bahan berupa hasil kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan perikanan yang belum melalui proses industri manufaktur untuk keperluan industri atau ekspor oleh badan usaha industri atau eksportir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 217 ayat (1) huruf g yang jumlahnya paling banyak Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dalam satu Masa Pajak; dan
7. pembelian batubara, mineral logam, dan mineral bukan logam dari Badan atau orang pribadi pemegang izin usaha pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 217 ayat (1) huruf h yang telah dipungut Pajak Penghasilan Pasal 22 atas pembelian barang dan/atau bahan-bahan untuk keperluan kegiatan usaha oleh badan usaha tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 217 ayat (1) huruf c;
f. impor emas batangan yang akan diproses untuk menghasilkan barang perhiasan dari emas untuk tujuan ekspor;
g. penjualan kendaraan bermotor di dalam negeri yang dilakukan oleh industri otomotif, agen tunggal pemegang merek, agen pemegang merek, dan importir umum kendaraan bermotor, yang telah dikenai pemungutan Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan Pasal 22 ayat (1) huruf c Undang-Undang Pajak Penghasilan dan peraturan pelaksanaannya;
h. pembelian gabah dan/atau beras oleh perusahaan umum badan urusan logistik; dan
i. pembelian bahan pangan pokok dalam rangka menjaga ketersediaan pangan dan stabilisasi harga pangan oleh perusahaan umum badan urusan logistik atau Badan Usaha Milik Negara lain yang mendapatkan penugasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Pengecualian dari pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas barang impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tetap berlaku dalam hal barang impor tersebut:
a. dikenakan tarif bea masuk sebesar 0% (nol persen); atau
b. tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai.
(3) Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf f dinyatakan dengan surat keterangan bebas Pajak Penghasilan Pasal 22 yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
(4) Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, huruf e, huruf g, huruf h, dan huruf i dilakukan tanpa surat keterangan bebas.


 

Pasal 220

 

(1) Pajak Penghasilan Pasal 22 atas impor barang, terutang dan dilunasi bersamaan dengan saat pembayaran bea masuk.
(2) Dalam hal pembayaran bea masuk ditunda atau dibebaskan dan tidak termasuk dalam pengecualian dari pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 219 ayat (1) huruf b, Pajak Penghasilan Pasal 22 terutang dan dilunasi pada saat penyelesaian dokumen pemberitahuan pabean atas impor.
(3) Pajak Penghasilan Pasal 22 atas ekspor komoditas tambang batubara, mineral logam, dan mineral bukan logam terutang dan disetorkan bersamaan dengan saat penyelesaian dokumen pemberitahuan pabean atas ekspor.
(4) Pajak Penghasilan Pasal 22 atas pembelian barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 217 ayat (1) huruf b dan pembelian barang dan/atau bahan-bahan untuk keperluan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 217 ayat (1) huruf c terutang dan dipungut pada saat pembayaran.
(5) Pajak Penghasilan Pasal 22 atas penjualan hasil produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 217 ayat (1) huruf d dan penjualan kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 217 ayat (1) huruf e terutang dan dipungut pada saat penjualan.
(6) Pajak Penghasilan Pasal 22 atas penjualan bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 217 ayat (1) huruf f terutang dan dipungut pada saat penerbitan surat perintah pengeluaran barang.
(7) Pajak Penghasilan Pasal 22 atas pembelian bahan-bahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 217 ayat (1) huruf g dan pembelian batubara, mineral logam, dan mineral bukan logam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 217 ayat (1) huruf h terutang dan dipungut pada saat pembelian.



Pasal 221

 

(1) Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas impor barang dilaksanakan dengan cara penyetoran oleh:
a. importir yang bersangkutan; atau
b. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai,
ke Kas Negara melalui Collecting Agent.
(2) Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas ekspor komoditas tambang batubara, mineral logam, dan mineral bukan logam dilaksanakan dengan cara penyetoran oleh eksportir yang bersangkutan ke Kas Negara melalui Collecting Agent.
(3) Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 oleh pemungut pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 217 ayat (1) huruf b sampai dengan huruf h, wajib disetor oleh pemungut pajak ke Kas Negara dengan menggunakan Nomor Pokok Wajib Pajak pemungut pajak.
(4) Penyetoran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ke Kas Negara dilakukan melalui layanan atau kanal pembayaran yang disediakan oleh Collecting Agent sesuai dengan ketentuan perundang-undangan mengenai sistem penerimaan negara secara elektronik.
(5) Terhadap bukti penyetoran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Direktorat Jenderal Bea dan Cukai melakukan pemeriksaan formal atas bukti penyetoran pajak tersebut sebagai dokumen pelengkap pemberitahuan pabean ekspor dan dijadikan dasar pelayanan ekspor.
(6) Pemeriksaan formal sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilaksanakan oleh pejabat Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan/atau sistem komputer pelayanan.


 

Pasal 222

 

(1) Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak atas penyetoran Pajak Penghasilan Pasal 22 oleh importir, eksportir komoditas tambang batubara, mineral logam, dan mineral bukan logam, dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 217 ayat (1) huruf a berlaku sebagai bukti pemungutan pajak dalam hal telah mendapatkan validasi pembayaran pajak.
(2) Dalam hal Pajak Penghasilan Pasal 22 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetorkan secara digunggung, Pajak Penghasilan Pasal 22 yang disetorkan dapat diperhitungkan sebagai pembayaran Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan bagi pihak yang dipungut dengan menggunakan dokumen berupa surat penetapan pembayaran bea masuk cukai dan/atau pajak, bukti pembayaran, consignment note, atau dokumen lain yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, sebagai dokumen yang dipersamakan dengan bukti pemotongan/pemungutan, sepanjang Pajak Penghasilan Pasal 22 yang terutang telah disetorkan ke Kas Negara.
(3) Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak atas Pajak Penghasilan Pasal 22 yang disetorkan secara digunggung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku sebagai bukti pemungutan pajak.


 

Pasal 223

 

(1) Pemungut pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 217 ayat (1) huruf b sampai dengan huruf h, wajib memungut dan membuat bukti pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22.
(2) Pemungut pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyampaikan bukti pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 kepada Wajib Pajak yang dipungut.
(3) Pembuatan bukti pemungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan dokumen yang dipersamakan dengan bukti pemungutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 222 ayat (2) sesuai dengan ketentuan mengenai pembuatan bukti pemungutan Pajak Penghasilan.
(4) Pemungut pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melaporkan Pajak Penghasilan Pasal 22 kepada Direktur Jenderal Pajak paling lama 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Unifikasi.

 
 

Pasal 224

 

(1) Penyetoran Pajak Penghasilan Pasal 22 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 221 dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 dan pelaporan pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 223 dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 171.
(2) Pemungut pajak yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 221 dan Pasal 223 dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.


 

Pasal 225

 

(1) Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 217 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf g, dan huruf h, bersifat tidak final dan dapat diperhitungkan sebagai pembayaran Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan bagi Wajib Pajak yang dipungut.
(2) Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 217 ayat (1) huruf f atas penjualan bahan bakar minyak dan bahan bakar gas kepada:
a. penyalur/agen bersifat final; dan
b. selain penyalur/agen bersifat tidak final dan dapat diperhitungkan sebagai pembayaran Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan bagi Wajib Pajak yang dipungut.
(3) Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 217 ayat (1) huruf f atas penjualan pelumas bersifat tidak final dan dapat diperhitungkan sebagai pembayaran Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan bagi Wajib Pajak yang dipungut.


 

Bagian Keenam
Penghitungan Angsuran Pajak Penghasilan dalam Tahun Pajak Berjalan yang Harus Dibayar Sendiri oleh Wajib Pajak Baru, Bank, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Wajib Pajak Masuk Bursa, Wajib Pajak Lainnya yang Berdasarkan Ketentuan Diharuskan Membuat Laporan Keuangan Berkala dan Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu
 
Pasal 226

 

(1) Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 adalah sebesar Pajak Penghasilan yang terutang menurut Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Tahun Pajak yang lalu dikurangi dengan:
a. Pajak Penghasilan yang dipotong sebagaimana diatur dalam Pasal 21 Undang-Undang Pajak Penghasilan dan Pasal 23 Undang-Undang Pajak Penghasilan serta Pajak Penghasilan yang dipungut sebagaimana diatur dalam Pasal 22 Undang-Undang Pajak Penghasilan; dan
b. Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan sebagaimana diatur dalam Pasal 24 Undang-Undang Pajak Penghasilan,
dibagi 12 (dua belas) atau banyaknya bulan dalam Bagian Tahun Pajak.
(2) Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk penghitungan besarnya Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 bagi:
a. Wajib Pajak Baru;
b. bank, Badan Usaha Milik Negara, badan usaha milik daerah, Wajib Pajak masuk bursa, dan Wajib Pajak Lainnya; dan
c. Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu.


 

Pasal 227

 

(1) Dasar untuk penghitungan Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 bagi Wajib Pajak bank yaitu laporan keuangan yang disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan yang terdiri dari laporan posisi keuangan dan laporan laba rugi sejak awal Tahun Pajak sampai dengan Masa Pajak yang dilaporkan.
(2) Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 bagi Wajib Pajak bank dihitung berdasarkan penerapan tarif Pasal 17 Undang-Undang Pajak Penghasilan atas penghasilan neto berdasarkan laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikurangi dengan:
a. Pajak Penghasilan yang dipotong dan/atau dipungut sebagaimana diatur dalam Pasal 22 Undang-Undang Pajak Penghasilan sejak awal Tahun Pajak sampai dengan Masa Pajak yang dilaporkan; dan
b. Pajak Penghasilan sebagaimana diatur dalam Pasal 25 Undang-Undang Pajak Penghasilan yang seharusnya dibayar sejak awal Tahun Pajak sampai dengan Masa Pajak sebelum Masa Pajak yang dilaporkan.
(3) Penghasilan neto sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak termasuk:
a. penghasilan dari luar negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak; dan
b. penghasilan dan biaya sebagai pengurang penghasilan neto yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dan/atau bukan objek Pajak Penghasilan.
(4) Dalam hal Wajib Pajak memiliki kerugian yang dapat dikompensasikan, kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan neto sebagaimana dimaksud pada ayat (2).


 

Pasal 228

 

(1) Dasar untuk penghitungan Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 bagi:
a. Wajib Pajak Lainnya; dan
b. Wajib Pajak masuk bursa selain Wajib Pajak bank,
yaitu laporan keuangan yang disampaikan setiap 3 (tiga) bulan kepada bursa dan/atau Otoritas Jasa Keuangan yang terdiri dari laporan posisi keuangan dan laporan laba rugi sejak awal Tahun Pajak sampai dengan periode yang dilaporkan.
(2) Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 bagi Wajib Pajak sebagaimana diatur pada ayat (1) dihitung berdasarkan penerapan tarif sebagaimana diatur dalam Pasal 17 Undang-Undang Pajak Penghasilan atas penghasilan neto berdasarkan laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikurangi dengan:
a. Pajak Penghasilan yang dipotong dan/atau dipungut sebagaimana diatur dalam Pasal 22 dan Pasal 23 Undang-Undang Pajak Penghasilan sejak awal Tahun Pajak sampai dengan Masa Pajak periode yang dilaporkan; dan
b. Pajak Penghasilan sebagaimana diatur dalam Pasal 25 Undang-Undang Pajak Penghasilan yang seharusnya dibayar sejak awal Tahun Pajak sampai dengan Masa Pajak periode yang dilaporkan.
(3) Penghasilan neto sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak termasuk:
a. penghasilan dari luar negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak; dan
b. penghasilan dan biaya sebagai pengurang penghasilan neto yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dan/atau bukan objek Pajak Penghasilan.
(4) Dalam hal Wajib Pajak memiliki kerugian yang dapat dikompensasikan, kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan neto sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(5) Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk 3 (tiga) Masa Pajak setelah periode yang dilaporkan.


 

Pasal 229

 

(1) Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk Wajib Pajak Badan Usaha Milik Negara dan badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun selain:
a. Wajib Pajak bank;
b. Wajib Pajak masuk bursa; dan/atau
c. Wajib Pajak Lainnya,
dihitung berdasarkan penerapan tarif Pasal 17 Undang-Undang Pajak Penghasilan atas penghasilan neto fiskal berdasarkan Rencana Kerja dan Anggaran Pendapatan Tahun Pajak yang bersangkutan yang telah disahkan Rapat Umum Pemegang Saham dikurangi dengan pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 dan Pasal 23 serta Pajak Penghasilan Pasal 24 yang dibayar atau terutang di luar negeri Tahun Pajak yang lalu, dibagi 12 (dua belas).
(2) Rencana Kerja dan Anggaran Pendapatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan kepada Direktorat Jenderal Pajak melalui Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar.
(3) Rencana Kerja dan Anggaran Pendapatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus disampaikan tidak lewat dari batas waktu pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 25 Masa Pajak pertama Tahun Pajak berjalan.


 

Pasal 230

 

(1) Dalam hal laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 227 ayat (1) dan Pasal 228 ayat (1) belum dilaporkan, besarnya Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 sama dengan Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 Masa Pajak sebelumnya.
(2) Dalam hal Rencana Kerja dan Anggaran Pendapatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (1) belum disahkan, besarnya Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk bulan-bulan sebelum bulan pengesahan sama dengan Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 bulan terakhir Tahun Pajak sebelumnya.
(3) Dalam hal Wajib Pajak telah menyampaikan:
a. laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1); atau
b. Rencana Kerja dan Anggaran Pendapatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang telah mendapatkan pengesahan,
besarnya Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk bulan-bulan mulai batas waktu penyampaian laporan sampai dengan bulan sebelum disampaikan laporan tersebut dihitung kembali dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam Pasal 227, Pasal 228, dan Pasal 229 terhitung mulai batas waktu penyampaian laporan.
(4) Apabila besarnya Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 sebagaimana dimaksud pada ayat (3) lebih besar, atas kekurangan setoran Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25:
a. wajib disetor pada Masa Pajak saat laporan keuangan dan/atau Rencana Kerja dan Anggaran Pendapatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan; dan
b. Wajib Pajak dikenai sanksi administratif sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
(5) Apabila besarnya Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 sebagaimana dimaksud pada ayat (3) lebih kecil, atas kelebihan setoran Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 dapat dimintakan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang atau dapat dikreditkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.


 

Pasal 231

 

(1) Bagi Wajib Pajak bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 227, dalam hal laporan keuangan tahunan belum tersedia sampai dengan batas waktu penyetoran Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk Masa Pajak terakhir dalam tahun buku karena masih dalam proses audit sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perbankan, besarnya Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk Masa Pajak terakhir dalam tahun buku sama dengan Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk Masa Pajak sebelumnya.
(2) Bagi Wajib Pajak Lainnya dan Wajib Pajak masuk bursa selain Wajib Pajak bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 228 yang tidak memiliki kewajiban menyampaikan laporan keuangan triwulan keempat, besarnya Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 yang dibayarkan untuk Masa Pajak triwulan pertama tahun berjalan sama dengan Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk Masa Pajak terakhir Tahun Pajak sebelumnya.


 

Pasal 232

 

(1) Bagi Wajib Pajak masuk bursa yang Tahun Pajak sebelumnya mendapatkan fasilitas pengurangan tarif sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (2b) Undang-Undang Pajak Penghasilan, penghitungan Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 menggunakan tarif Tahun Pajak sebelumnya.
(2) Bagi Wajib Pajak Badan Usaha Milik Negara, badan usaha milik daerah, Wajib Pajak masuk bursa, dan Wajib Pajak Lainnya yang mendapatkan fasilitas pengurangan penghasilan neto sebagaimana diatur dalam:
a. Pasal 31A Undang-Undang Pajak Penghasilan;
b. Pasal 29A Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Pajak Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Pajak Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan; dan/atau
c. Pasal 78 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kawasan Ekonomi Khusus,
penghasilan neto yang menjadi dasar penghitungan Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 yaitu penghasilan neto dikurangi jumlah fasilitas yang diterima tersebut.
(3) Bagi Wajib Pajak bank, Badan Usaha Milik Negara, badan usaha milik daerah, Wajib Pajak masuk bursa, dan Wajib Pajak Lainnya yang mendapatkan fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan Badan sebagaimana diatur dalam:
a. Pasal 29 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Pajak Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Pajak Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan;
b. Pasal 75 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kawasan Ekonomi Khusus; dan/atau
c. Pasal 28, Pasal 30, Pasal 32, dan Pasal 35, Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2023 tentang Pemberian Perizinan Berusaha, Kemudahan Berusaha, dan Fasilitas Penanaman Modal bagi Pelaku Usaha di Ibu Kota Nusantara sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2023 tentang Pemberian Perizinan Berusaha, Kemudahan Berusaha, dan Fasilitas Penanaman Modal bagi Pelaku Usaha di Ibu Kota Nusantara,
Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 yang terutang memperhitungkan fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan tersebut.
(4) Bagi Wajib Pajak yang mendapat fasilitas pengurangan tarif sebesar 50% (lima puluh persen) sebagaimana diatur dalam Pasal 31E ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan pada Tahun Pajak sebelumnya, Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 yang terutang memperhitungkan fasilitas pengurangan tarif tersebut.


 

Pasal 233

 

Bank, Badan Usaha Milik Negara, badan usaha milik daerah, Wajib Pajak masuk bursa, dan Wajib Pajak Lainnya harus menyampaikan laporan penghitungan angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 kepada Direktur Jenderal Pajak paling lama 20 (dua puluh) hari setelah berakhirnya periode pelaporan.

 
 

Pasal 234

 

(1) Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu, ditetapkan sebesar 0,75% (nol koma tujuh puluh lima persen) dari jumlah peredaran bruto setiap bulan dari masing-masing tempat usaha termasuk tempat usaha yang berada di tempat tinggal Wajib Pajak.
(2) Pembayaran Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 dari masing-masing tempat usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kredit pajak atas Pajak Penghasilan yang terutang untuk Tahun Pajak yang bersangkutan.


 

Pasal 235

 

Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk Wajib Pajak Baru yang merupakan:

a. Wajib Pajak bank;
b. Wajib Pajak masuk bursa;
c. Wajib Pajak Badan Usaha Milik Negara;
d. Wajib Pajak badan usaha milik daerah;
e. Wajib Pajak Lainnya; dan/atau
f. Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu,

mengikuti ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 227, Pasal 228, Pasal 229, dan Pasal 231.

  
 

Pasal 236

 

(1) Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk Wajib Pajak Baru dalam rangka penggabungan, peleburan, dan/atau pengambilalihan usaha pada sisa Tahun Pajak berjalan ditetapkan sebesar penjumlahan Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 dari seluruh Wajib Pajak yang terkait sebelum penggabungan, peleburan, dan/atau pengambilalihan usaha.
(2) Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk Wajib Pajak dalam rangka pemekaran usaha, jumlah Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk seluruh Wajib Pajak hasil pemekaran usaha ditetapkan sebesar Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 sebelum pemekaran usaha.
(3) Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk masing-masing Wajib Pajak hasil pemekaran usaha dihitung berdasarkan persentase nilai harta yang dialihkan.
(4) Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk Wajib Pajak Baru yang merupakan hasil perubahan bentuk badan usaha pada Tahun Pajak berjalan ditetapkan sebesar Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 bulan terakhir sebelum terjadinya perubahan bentuk badan usaha.
(5) Dalam hal Wajib Pajak Baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 235 huruf a sampai dengan huruf e merupakan Wajib Pajak Baru hasil penggabungan, peleburan, pengambilalihan usaha, dan/atau pemekaran usaha, penghitungan Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 mengikuti ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).


 

Pasal 237

Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk Wajib Pajak Baru selain Wajib Pajak Baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 235 dan Pasal 236 pada Tahun Pajak berjalan ditetapkan nihil.

 

Bagian Ketujuh
Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 atas Penghasilan yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri selain Bentuk Usaha Tetap atas Penghasilan Berupa Keuntungan dari Penjualan Saham
 
Pasal 238

 

(1) Atas penghasilan dari penjualan saham Perseroan yang diperoleh Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan neto.
(2) Terhadap Wajib Pajak luar negeri berkedudukan di negara-negara yang telah mempunyai Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda dengan Indonesia, pemotongan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dilakukan jika berdasarkan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang berlaku, hak pemajakannya ada pada pihak Indonesia.
(3) Besarnya perkiraan penghasilan neto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu 25% (dua puluh lima persen) dari harga jual, sehingga besarnya Pajak Penghasilan Pasal 26 yaitu 20% x 25% atau 5% (lima persen) dari harga jual.
(4) Pembayaran Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat final.

 
 

Pasal 239

 

(1) Penghasilan dari penjualan saham di dalam negeri yang diperoleh atau diterima Wajib Pajak luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 238 ayat (1), dipotong pajak oleh pembeli.
(2) Pembeli sebagai pemotong pajak membuat bukti pemotongan dan menyampaikannya kepada pihak yang dipotong.
(3) Pembeli sebagai pemotong pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib menyetorkan Pajak Penghasilan Pasal 26 yang terutang paling lambat tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah bulan saat terutangnya pajak melalui Collecting Agent dan melaporkannya kepada Direktur Jenderal Pajak paling lama 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Unifikasi.
(4) Dalam hal pembeli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Wajib Pajak luar negeri, Perseroan ditunjuk sebagai pemungut pajak.
(5) Perseroan sebagai pemungut pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) membuat bukti pemungutan dan menyampaikannya kepada pihak yang dipungut.
(6) Perseroan sebagai pemungut pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib menyetorkan Pajak Penghasilan Pasal 26 yang dipungut paling lambat tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah bulan saat terutangnya pajak melalui Collecting Agent dan melaporkannya kepada Direktur Jenderal Pajak paling lama 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Unifikasi.


 

Pasal 240

 

(1) Perseroan hanya mencatat akta pemindahan hak atas saham dari penjualan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 239 ayat (1) apabila Wajib Pajak luar negeri telah membuktikan bahwa Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 238 ayat (1) yang terutang telah dibayar lunas dengan menyerahkan salinan bukti pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan.
(2) Pemotong atau pemungut pajak yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 239 dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.


 

Bagian Kedelapan
Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 atas Penghasilan Berupa Premi Asuransi dan Premi Reasuransi yang Dibayar kepada Perusahaan Asuransi di Luar Negeri
 
Pasal 241

 

(1) Atas pembayaran premi asuransi dan premi reasuransi kepada Perusahaan Asuransi di luar negeri dikenakan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 sebesar 20% (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan neto.
(2) Besarnya perkiraan penghasilan neto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai berikut:
a. atas premi dibayar tertanggung kepada Perusahaan Asuransi di luar negeri baik secara langsung maupun melalui pialang, sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah premi yang dibayar;
b. atas premi yang dibayar oleh Perusahaan Asuransi yang berkedudukan di Indonesia kepada Perusahaan Asuransi di luar negeri baik secara langsung maupun melalui pialang, sebesar 10% (sepuluh persen) dari jumlah premi yang dibayar;
c. atas premi yang dibayar oleh perusahaan reasuransi yang berkedudukan di Indonesia kepada Perusahaan Asuransi di luar negeri baik secara langsung maupun melalui pialang, sebesar 5% (lima persen) dari jumlah premi yang dibayar.


 

Pasal 242

 

Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 241 ayat (1) dilakukan oleh:

a. tertanggung, dalam hal dilakukan pembayaran premi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 241 ayat (2) huruf a;
b. Perusahaan Asuransi yang berkedudukan di Indonesia, dalam hal dilakukan pembayaran premi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 241 ayat (2) huruf b;
c. perusahaan reasuransi yang berkedudukan di Indonesia, dalam hal dilakukan pembayaran premi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 241 ayat (2) huruf c.

 
   

Pasal 243

 

(1) Pajak Penghasilan Pasal 26 atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 241 terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran premi atau pada akhir bulan terutangnya premi asuransi tersebut.
(2) Pemotong pajak wajib memotong dan membuat bukti pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26.
(3) Pemotong pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menyampaikan bukti pemotongan Penghasilan Pasal 26 kepada pihak yang dipotong.
(4) Pemotong pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib menyetor pajak Penghasilan Pasal 26 paling lama 15 (lima belas) hari setelah saat terutangnya pajak dengan menggunakan Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak.
(5) Pemotong pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib melaporkan Pajak Penghasilan Pasal 26 kepada Direktur Jenderal Pajak paling lama 20 (dua puluh) hari setelah saat terutangnya pajak dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Unifikasi.
(6) Pemotong pajak yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (4), dan ayat (5) dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.


 

Bagian Kesembilan
Pelaksanaan Pemungutan Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Transaksi Penjualan Saham di Bursa Efek
 
Pasal 244

 

Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau Badan dari transaksi penjualan saham di bursa efek dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final sebesar 0,1% (nol koma satu persen) dari jumlah bruto nilai transaksi penjualan saham.


 

Pasal 245

 

(1) Pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 244 dilakukan dengan cara pemotongan oleh penyelenggara bursa efek melalui perantara pedagang efek pada saat pelunasan transaksi penjualan saham.
(2) Penyelenggara bursa efek melalui perantara pedagang efek sebagai pemotong wajib membuat bukti pemotongan atas pemotongan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan menyampaikan bukti pemotongan kepada pihak yang dipotong.
(3) Bukti pemotongan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa dokumen yang dipersamakan dengan bukti pemotongan.
(4) Pembuatan dokumen yang dipersamakan dengan bukti pemotongan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sesuai dengan ketentuan mengenai bentuk dan tata cara pembuatan bukti pemotongan Pajak Penghasilan.
(5) Penyelenggara bursa efek wajib melakukan penyetoran Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ke Kas Negara paling lambat tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
(6) Penyelenggara bursa efek wajib melaporkan pemotongan dan penyetoran Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (5) melalui Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Unifikasi paling lama 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.
(7) Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Unifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) disusun berdasarkan data dan informasi dalam konfirmasi transaksi yang wajib disampaikan oleh perantara pedagang efek kepada penyelenggara bursa efek.
(8) Penyelenggara bursa efek yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (5), dan ayat (6) dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

 
 

Pasal 246

 

(1) Pemilik saham pendiri dikenakan tambahan Pajak Penghasilan yang bersifat final sebesar 0,5% (nol koma lima persen) dari nilai saham.
(2) Saham pendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu saham yang dimiliki oleh pendiri pada saat penawaran umum perdana.
(3) Termasuk dalam pengertian saham pendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yaitu:
a. saham yang diperoleh pendiri yang berasal dari kapitalisasi agio yang dikeluarkan setelah penawaran umum perdana; dan
b. saham yang berasal dari pemecahan saham pendiri.
(4) Tidak termasuk dalam pengertian saham pendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yaitu:
a. saham yang diperoleh pendiri yang berasal dari pembagian Dividen dalam bentuk saham;
b. saham yang diperoleh pendiri setelah penawaran umum perdana yang berasal dari pelaksanaan hak pemesanan efek terlebih dahulu, waran, obligasi konversi dan efek konversi lainnya; dan
c. saham yang diperoleh pendiri perusahaan reksa dana.
(5) Nilai saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan:
a. nilai saham pada saat penutupan bursa di akhir tahun 1996 atau pada tanggal 30 Desember 1996, apabila saham tersebut telah diperdagangkan di bursa efek dalam tahun 1996 atau sebelumnya; atau
b. nilai saham perusahaan pada saat penawaran umum perdana, apabila saham perusahaan diperdagangkan di bursa efek pada atau setelah 1 Januari 1997.


 

Pasal 247

 

(1) Pendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 246 ayat (2) yaitu orang pribadi atau Badan yang namanya tercatat dalam daftar pemegang saham perseroan terbatas atau tercantum dalam anggaran dasar perseroan terbatas sebelum pernyataan pendaftaran yang diajukan kepada Otoritas Jasa Keuangan dalam rangka penawaran umum perdana menjadi efektif.
(2) Termasuk dalam pengertian pendiri yaitu orang pribadi atau Badan yang menerima pengalihan saham dari pendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) karena:
a. warisan;
b. hibah yang memenuhi syarat Pasal 4 ayat (3) huruf a angka 2 Undang-Undang Pajak Penghasilan; dan
c. cara lain yang tidak dikenakan Pajak Penghasilan pada saat pengalihan tersebut.



Pasal 248

 

(1) Tambahan Pajak Penghasilan sebesar 0,5% (nol koma lima persen) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 246 ayat (1) dikenakan terhadap pemilik saham pendiri dan terutang pada saat saham perusahaan diperdagangkan di bursa efek.
(2) Pengenaan tambahan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. pengenaan tambahan Pajak Penghasilan dilakukan melalui pemungutan oleh emiten;
b. pemungutan dilakukan paling lama 1 (satu) bulan setelah saat terutangnya tambahan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan
c. emiten menerbitkan dan menyerahkan bukti pemungutan kepada pemilik saham pendiri.
(3) Tambahan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib:
a. disetorkan ke Kas Negara dengan menggunakan Nomor Pokok Wajib Pajak emiten paling lama 1 (satu) bulan setelah saat terutangnya tambahan Pajak Penghasilan; dan
b. dilaporkan ke Direktur Jenderal Pajak melalui Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Unifikasi, paling lama 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.
(4) Tambahan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat diperhitungkan sebagai biaya bagi emiten.
(5) Emiten yang telah menyetorkan Pajak Penghasilan ke Kas Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a namun tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.


 

Pasal 249

 

Tambahan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 246 ayat (1) yang pemungutannya dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 248 ayat (1) dan ayat (3) huruf a, atas penghasilan dari transaksi penjualan saham pendiri dikenai Pajak Penghasilan sesuai dengan tarif sebagaimana diatur dalam Pasal 17 Undang-Undang Pajak Penghasilan.

 

Bagian Kesepuluh
Tata Cara Penyetoran dan Pelaporan Penerimaan Negara dari Kegiatan Usaha Hulu Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi dan Penghitungan Pajak Penghasilan untuk Keperluan Pembayaran Pajak Penghasilan Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi Berupa Volume Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi
 
Pasal 250

 

(1) Penerimaan negara dari kegiatan usaha hulu minyak bumi dan/atau gas bumi merupakan penerimaan yang berasal dari hasil Kontrak Kerja Sama dari Wilayah Kerja pertambangan minyak bumi dan/atau gas bumi, yang terdiri atas:
a. bagian negara; dan
b. Pajak Penghasilan minyak bumi dan/atau gas bumi.
(2) Minyak bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan dan temperatur atmosfer berupa fasa cair atau padat, termasuk aspal, lilin mineral atau ozokerit, dan bitumen yang diperoleh dari proses penambangan, tetapi tidak termasuk batubara atau endapan hidrokarbon lain yang berbentuk padat yang diperoleh dari kegiatan yang tidak berkaitan dengan kegiatan usaha minyak dan gas bumi.
(3) Gas bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan dan temperatur atmosfer berupa fasa gas yang diperoleh dari proses penambangan minyak dan gas bumi.


 

Pasal 251

 

(1) Bagian negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 250 ayat (1) huruf a meliputi Lifting yang merupakan hak negara yang berasal dari total Lifting minyak bumi dan/atau gas bumi berdasarkan Kontrak Kerja Sama.
(2) Total Lifting sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jumlah keseluruhan minyak bumi dan/atau gas bumi yang terdiri dari jumlah Lifting dari suatu Wilayah Kerja yang merupakan hak negara dan hak Kontraktor.
(3) Lifting yang merupakan hak negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) meliputi sejumlah minyak bumi dan/atau gas bumi bagian Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi atau Badan Pengelola Migas Aceh sebagaimana diatur dalam Kontrak Kerja Sama.


 

Pasal 252

 

(1) Atas Lifting minyak bumi dan/atau gas bumi dari suatu Wilayah Kerja harus dilakukan penjualan dan/atau pengiriman sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan/atau Kontrak Kerja Sama.
(2) Penjualan dan/atau pengiriman minyak bumi dan/atau gas bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. Lifting yang merupakan hak negara;
b. Lifting yang merupakan hak Kontraktor; atau
c. Lifting yang merupakan hak negara dan Lifting yang merupakan hak Kontraktor (Joint Lifting).
(3) Lifting yang merupakan hak negara dan/atau Kontraktor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan Lifting yang bersifat sementara.
(4) Kontraktor dan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi atau Badan Pengelola Migas Aceh melakukan perhitungan final Lifting yang merupakan hak negara dan hak Kontraktor dari masing-masing Wilayah Kerja pada akhir tahun.
(5) Hasil perhitungan final Lifting yang merupakan hak negara dan hak Kontraktor sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat berupa jumlah Overlifting atau Underlifting.


 

Pasal 253

 

(1) Pajak Penghasilan yang wajib dibayar dan dilaporkan oleh Kontraktor terdiri atas:
a. angsuran pajak dalam tahun berjalan;
b. Pajak Penghasilan Badan yang terutang pada akhir tahun;
c. Pajak Penghasilan atas penghasilan kena pajak setelah dikurangi Pajak Penghasilan Badan yang dibayar secara bulanan; dan/atau
d. Pajak Penghasilan atas penghasilan kena pajak setelah dikurangi Pajak Penghasilan Badan yang dibayar secara tahunan.
(2) Kontraktor yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.


 

Pasal 254

 

(1) Dalam hal pemerintah membutuhkan minyak bumi dan/atau gas bumi untuk keperluan pemenuhan kebutuhan dalam negeri, pembayaran Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 253 ayat (1) huruf a dan huruf c dapat berupa volume minyak bumi dan/atau gas bumi dari bagian Kontraktor.
(2) Penentuan kebutuhan minyak bumi dan/atau gas bumi untuk keperluan pemenuhan kebutuhan dalam negeri yang digunakan sebagai pembayaran Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kegiatan usaha minyak dan gas bumi dan Menteri.


 

Pasal 255

 

(1) Besarnya Pajak Penghasilan dalam bentuk volume minyak bumi dari bagian Kontraktor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 254 ayat (1) yang harus diserahkan kepada pemerintah dihitung dengan menggunakan Harga Minyak Mentah Indonesia (Indonesian Crude Price) pada bulan saat Pajak Penghasilan tersebut terutang.
(2) Besarnya Pajak Penghasilan dalam bentuk volume gas bumi dari bagian Kontraktor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 254 ayat (1) yang harus diserahkan kepada pemerintah dihitung dengan menggunakan harga rata-rata tertimbang penjualan Kontraktor pada bulan saat Pajak Penghasilan tersebut terutang.
(3) Harga gas bumi yang digunakan untuk menghitung besarnya Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Menteri.

 
 

Pasal 256

 

(1) Hasil penjualan dan/atau pengiriman Lifting yang merupakan hak negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 252 ayat (2) huruf a dan huruf c, disetorkan sebagai bagian negara dalam jumlah penuh (full amount) sesuai Kontrak Kerja Sama dan/atau sesuai dengan peraturan perundang-undangan, tanpa pengurangan biaya-biaya administrasi.
(2) Hasil penjualan dan/atau pengiriman Lifting sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibukukan oleh Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi atau Badan Pengelola Migas Aceh ke dalam laporan yang dibuat per-Wilayah Kerja untuk setiap bulan berdasarkan nilai tagihan atau dokumen yang terkait dengan penjualan dan/atau pengiriman Lifting yang merupakan hak negara.
(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan ke Direktorat Jenderal Anggaran dan Direktorat Jenderal Pajak paling lambat akhir bulan berikutnya.
(4) Dalam hal hasil perhitungan final Lifting yang merupakan hak negara dan hak Kontraktor pada akhir tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 252 ayat (5) berupa Overlifting Kontraktor, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi atau Badan Pengelola Migas Aceh menagih Overlifting tersebut kepada Kontraktor.
(5) Dalam hal hasil perhitungan final Lifting yang merupakan hak negara dan hak Kontraktor pada akhir tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 252 ayat (5) berupa Underlifting Kontraktor, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi atau Badan Pengelola Migas Aceh menagih Underlifting tersebut kepada Pemerintah.
(6) Ketentuan mengenai tata cara penyetoran dan/atau pembayaran atas Overlifting Kontraktor dan Underlifting Kontraktor sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) diatur secara tersendiri dalam Peraturan Menteri.


 

Pasal 257

 

Pembayaran Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 253 ayat (1) dalam bentuk tunai, dilakukan ke Kas Negara melalui Bank Persepsi Valas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 
 

Pasal 258

 

(1) Dalam hal Pajak Penghasilan dibayarkan dalam bentuk volume minyak bumi dan/atau gas bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 254 ayat (1), pembayaran dimaksud dilakukan melalui penyerahan volume minyak bumi dan/atau gas bumi dari Kontraktor kepada pemerintah yang diwakili oleh Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi atau Badan Pengelola Migas Aceh.
(2) Pembayaran Pajak Penghasilan dalam bentuk volume minyak bumi dan/atau gas bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan paling lambat pada tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
(3) Kontraktor yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.


 

Pasal 259

 

(1) Pembayaran Pajak Penghasilan yang dilakukan dalam bentuk volume minyak bumi dan/atau gas bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 258 ayat (1), dituangkan dalam berita acara serah terima dan ditandatangani oleh Kontraktor dan pemerintah yang diwakili oleh Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi atau Badan Pengelola Migas Aceh.
(2) Berita acara serah terima sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan oleh Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi atau Badan Pengelola Migas Aceh kepada Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Anggaran paling lama 5 (lima) hari kerja setelah ditandatanganinya berita acara serah terima.
(3) Tanggal berita acara serah terima sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan sebagai bukti tanggal pembayaran Pajak Penghasilan dalam bentuk volume minyak bumi dan/atau gas bumi.
(4) Pada saat penyerahan volume minyak bumi dan/atau gas bumi dari Kontraktor kepada pemerintah yang diwakili oleh Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi atau Badan Pengelola Migas Aceh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 258 ayat (1), Kontraktor harus menyampaikan Surat Setoran Pajak untuk pembayaran Pajak Penghasilan berupa volume minyak bumi dan/atau gas bumi.


 

Pasal 260

 

(1) Dalam hal minyak bumi dan/atau gas bumi yang berasal dari pembayaran Pajak Penghasilan dalam bentuk volume minyak bumi dan/atau gas bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 258 ayat (1) dijual, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi atau Badan Pengelola Migas Aceh harus melaporkan hasil penjualan tersebut kepada Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Pajak.
(2) Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi atau Badan Pengelola Migas Aceh diminta untuk menyetorkan hasil penjualan minyak bumi dan/atau gas bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ke Kas Negara melalui Bank Persepsi Valas.


 

Pasal 261

 

(1) Pembayaran Pajak Penghasilan dalam bentuk tunai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 257, dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang kedudukannya disamakan dengan Surat Setoran Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang kedudukannya disamakan dengan Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui sebagai bukti pembayaran yang sah dalam hal telah memperoleh Nomor Transaksi Penerimaan Negara dan Nomor Transaksi Bank.
(3) Tanggal yang diakui sebagai tanggal pembayaran Pajak Penghasilan oleh Kontraktor adalah tanggal bayar yang tertera pada Bukti Penerimaan Negara.
(4) Dalam hal pembayaran Pajak Penghasilan dilakukan dalam bentuk volume minyak bumi dan/atau gas bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 258 ayat (1), berlaku ketentuan mengenai pembuatan dan pengisian Surat Setoran Pajak sebagai berikut:
a. Surat Setoran Pajak disusun berdasarkan berita acara serah terima sebagaimana dimaksud dalam Pasal 259 ayat (1) dan ayat (2); dan
b. Surat Setoran Pajak harus dilampiri dengan berita acara serah terima sebagaimana dimaksud dalam Pasal 259 ayat (1).
(5) Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diakui sebagai bukti pembayaran yang sah dalam hal telah divalidasi oleh pejabat yang ditunjuk pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kegiatan usaha minyak dan gas bumi atau Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi atau Badan Pengelola Migas Aceh.
(6) Validasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan berdasarkan berita acara serah terima sebagaimana diatur dalam Pasal 259 ayat (1).


 

Pasal 262

 

(1) Kontraktor yang bertindak sebagai Operator maupun Partner dalam suatu Wilayah Kerja, dalam melaksanakan Kontrak Kerja Sama, wajib menyusun laporan penerimaan negara dari kegiatan usaha hulu minyak bumi dan/atau gas bumi di Wilayah Kerja yang bersangkutan.
(2) Laporan Penerimaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara bulanan.
(3) Laporan penerimaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat informasi mengenai bagian negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 251 dan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 253
(4) Dalam hal Kontraktor bertindak sebagai Partner, laporan penerimaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun berdasarkan data kegiatan usaha hulu minyak bumi dan/atau gas bumi dari Operator.



Pasal 263


(1) Laporan penerimaan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 262 wajib disampaikan oleh Kontraktor yang bertindak sebagai Operator maupun Partner kepada:
a. Direktur Jenderal Anggaran c.q. Direktur Penerimaan Negara Bukan Pajak Sumber Daya Alam dan Kekayaan Dipisahkan;
b. Direktur Jenderal Pajak; dan
c. Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi atau Badan Pengelola Migas Aceh.
(2) Dalam hal pembayaran Pajak Penghasilan dilakukan dalam bentuk volume minyak bumi dan/atau gas bumi, laporan penerimaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampiri dengan berita acara serah terima.

                                        

Pasal 264


(1) Laporan penerimaan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 262 disampaikan paling lambat tanggal 20 (dua puluh) bulan berikutnya.
(2) Dalam hal tanggal untuk batas waktu penyampaian laporan penerimaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertepatan dengan hari libur, laporan disampaikan pada hari kerja berikutnya.
(3) Hari libur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yaitu hari Sabtu, hari Minggu, hari libur nasional, hari yang diliburkan untuk penyelenggaraan pemilihan umum, atau hari yang ditetapkan sebagai cuti bersama secara nasional.
(4) Laporan penerimaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak berfungsi sebagai Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan.
(5) Kontraktor yang tidak atau terlambat menyampaikan laporan penerimaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
      
                     

Bagian Kesebelas
Tata Cara Pengajuan dan Penyelesaian Permintaan Kembali Pajak Pertambahan Nilai Barang Bawaan Orang Pribadi Pemegang Paspor Luar Negeri
 
Pasal 265


(1) Pajak Pertambahan Nilai yang sudah dibayar atas Barang Bawaan dapat diminta kembali oleh Turis Asing.
(2) Pajak Pertambahan Nilai yang dapat diminta kembali oleh Turis Asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat:
a. nilai Pajak Pertambahan Nilai paling sedikit Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah); dan
b. pembelian Barang Bawaan dilakukan dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sebelum keberangkatan ke luar Daerah Pabean.
(3) Nilai Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a merupakan nilai Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum dalam 1 (satu) Faktur Pajak atau hasil penggabungan lebih dari 1 (satu) Faktur Pajak dengan nilai Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum pada masing-masing Faktur Pajak paling sedikit Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah).
(4) Jangka waktu 1 (satu) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b yaitu 30 (tiga puluh) hari kalender.
(5) Permintaan pengembalian Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan oleh Turis Asing bersangkutan.
(6) Permintaan pengembalian Pajak Pertambahan Nilai atas Barang Bawaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan 1 (satu) kali untuk 1 (satu) periode berkunjung ke Indonesia.
(7) Permintaan pengembalian Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada saat Turis Asing meninggalkan Indonesia dan disampaikan oleh Turis Asing kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kantor Direktorat Jenderal Pajak di bandar udara.
(8) Kantor Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (7) merupakan Unit Pelaksana Restitusi Pajak Pertambahan Nilai Bandar Udara.
(9) Turis Asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Turis Asing yang bukan Warga Negara Indonesia atau bukan permanent resident of Indonesia, yang tinggal atau berada di Indonesia tidak lebih dari 60 (enam puluh) hari sejak tanggal kedatangannya.

                                   

Pasal 266


Turis Asing yang menghendaki pengembalian Pajak Pertambahan Nilai atas pembelian Barang Bawaan harus memberitahukan dan menunjukkan Paspor Luar Negeri kepada Pengusaha Kena Pajak Toko Retail.

                                        

Pasal 267


Bandar udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 265 ayat (7) merupakan bandar udara tempat keberangkatan Turis Asing yang ditetapkan oleh Menteri.
   
                                    

Pasal 268


(1) Pengusaha Kena Pajak Toko Retail sebagaimana dimaksud dalam Pasal 266 harus mendaftarkan diri sebagai Pengusaha Kena Pajak yang berpartisipasi dalam skema pengembalian Pajak Pertambahan Nilai kepada Turis Asing.
(2) Pengusaha Kena Pajak Toko Retail sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
(3) Pengusaha Kena Pajak Toko Retail sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang menyerahkan Barang Bawaan kepada Turis Asing harus membuat Faktur Pajak.
(4) Faktur Pajak atas pembelian Barang Bawaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus memenuhi sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (5) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.
(5) Tata cara pembuatan, pembetulan atau penggantian, dan/atau pembatalan Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibuat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Faktur Pajak.

                                        

Pasal 269


(1) Pengusaha Kena Pajak Toko Retail wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai atas seluruh penyerahan Barang Kena Pajak yang dilakukannya, termasuk penyerahan Barang Bawaan kepada Turis Asing, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(2) Pengusaha Kena Pajak Toko Retail yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
 
                             

Pasal 270


(1) Turis Asing mengajukan permintaan pengembalian Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 265 dengan membawa Barang Bawaan dan menunjukkan dokumen berupa:
a. paspor;
b. pas naik (boarding pass) untuk keberangkatan Turis Asing ke luar Daerah Pabean; dan
c. Faktur Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 265 ayat (3).
(2) Petugas Konter Pemeriksaan melakukan penelitian pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 265 ayat (2), ayat (3), ayat (7), dan ayat (9).
(3) Berdasarkan penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), petugas Konter Pemeriksaan dapat:
a. melakukan pencocokan jenis dan jumlah Barang Bawaan dengan Faktur Pajak, dalam hal permintaan pengembalian memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 265 ayat (2), ayat (3), dan ayat (7); atau
b. menolak permintaan pengembalian Pajak Pertambahan Nilai, dalam hal permintaan pengembalian tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 265 ayat (2), ayat (3), dan/atau ayat (7).
(4) Hasil pencocokan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a meliputi:
a. kesesuaian seluruhnya;
b. kesesuaian sebagian; atau
c. ketidaksesuaian seluruhnya.
(5) Berdasarkan hasil pencocokan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a atau huruf b, petugas Konter Pemeriksaan memberikan persetujuan permintaan pengembalian Pajak Pertambahan Nilai seluruhnya atau sebagian.
(6) Berdasarkan hasil pencocokan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c, petugas Konter Pemeriksaan menolak permintaan pengembalian Pajak Pertambahan Nilai.
 
                                      

Pasal 271


(1) Berdasarkan persetujuan permintaan pengembalian Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 270 ayat (5), pengembalian Pajak Pertambahan Nilai dilakukan:
a. secara tunai dengan mata uang rupiah, dalam hal Pajak Pertambahan Nilai mempunyai nilai kurang dari atau sama dengan Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah); atau
b. secara transfer melalui penerbitan Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak dalam mata uang rupiah ke rekening Turis Asing, dalam hal Pajak Pertambahan Nilai mempunyai nilai lebih dari Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah).
(2) Untuk keperluan penerbitan Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak ke rekening Turis Asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, petugas Konter Pemeriksaan meminta nomor rekening dan nama bank tujuan transfer kepada Turis Asing untuk dicantumkan pada Formulir Permintaan Pengembalian Pajak Pertambahan Nilai.
(3) Segala biaya terkait transfer uang pengembalian Pajak Pertambahan Nilai ke rekening Turis Asing sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibebankan kepada Turis Asing dengan mengurangi jumlah pengembalian Pajak Pertambahan Nilai bersangkutan.
(4) Dalam hal Turis Asing sebagaimana dimaksud pada ayat (2):
a. tidak menyampaikan nomor rekening dan nama bank tujuan transfer; dan/atau
b. menghendaki pengembalian secara tunai dalam mata uang rupiah,
pengembalian Pajak Pertambahan Nilai dilakukan secara tunai paling banyak sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan atas selisihnya tidak dikembalikan kepada Turis Asing.
(5) Dalam hal pengembalian Pajak Pertambahan Nilai melalui penerbitan Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak ke rekening Turis Asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terjadi kegagalan transfer yang menyebabkan pengembalian Pajak Pertambahan Nilai tidak dapat diterima oleh rekening Turis Asing, atas pengembalian Pajak Pertambahan Nilai dimaksud diselesaikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai tata cara pembayaran dalam rangka pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

                                        

Pasal 272


(1) Dalam hal petugas Konter Pemeriksaan menyetujui pengembalian Pajak Pertambahan Nilai yang mempunyai nilai kurang dari atau sama dengan Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan pembayaran pengembalian dilakukan secara tunai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 271 ayat (1) huruf a:
a. Pemegang Uang Persediaan Pengembalian Pajak pada Konter Pembayaran mencetak dan menandatangani berita acara persetujuan pengembalian Pajak Pertambahan Nilai secara tunai;
b. Pemegang Uang Persediaan Pengembalian Pajak pada Konter Pembayaran melakukan pembayaran kepada Turis Asing secara tunai dengan mata uang rupiah;
c. petugas Konter Pemeriksaan membuat dan mencetak laporan pertanggungjawaban dan daftar nominatif pada setiap akhir hari;
d. petugas Konter Pemeriksaan dan Pemegang Uang Persediaan Pengembalian Pajak pada Konter Pembayaran menandatangani laporan pertanggungjawaban dan daftar nominatif sebagaimana dimaksud dalam huruf c; dan
e. Pemegang Uang Persediaan Pengembalian Pajak pada Konter Pembayaran mengirimkan laporan pertanggungjawaban, daftar nominatif, dan berita acara persetujuan pengembalian Pajak Pertambahan Nilai ke Kantor Pelayanan Pajak.
(2) Dalam hal petugas Konter Pemeriksaan menyetujui pengembalian Pajak Pertambahan Nilai yang mempunyai nilai lebih dari Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan pembayaran pengembalian dilakukan secara transfer melalui penerbitan Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak ke rekening Turis Asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 271 ayat (1) huruf b:
a. petugas Konter Pemeriksaan mengirim Formulir Permintaan Pengembalian Pajak Pertambahan Nilai ke Kantor Pelayanan Pajak yang ditunjuk sebagai unit pemroses pengembalian Pajak Pertambahan Nilai secara transfer; dan
b. Kantor Pelayanan Pajak sebagaimana dimaksud dalam huruf a menyelesaikan pengembalian Pajak Pertambahan Nilai paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan pengembalian.
(3) Berdasarkan permintaan pengembalian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kepala Kantor Pelayanan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak diterimanya Formulir Permintaan Pengembalian Pajak Pertambahan Nilai dari Unit Pelaksana Restitusi Pajak Pertambahan Nilai Bandar Udara.
(4) Setelah menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Kepala Kantor Pelayanan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a membuat Nota Penghitungan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak.
(5) Berdasarkan Formulir Permintaan Pengembalian Pajak Pertambahan Nilai yang telah disetujui, Kepala Kantor Pelayanan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.
(6) Atas dasar Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak, Kepala Kantor Pelayanan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a atas nama Menteri menerbitkan Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai tata cara penghitungan dan pengembalian kelebihan pembayaran pajak, dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana diatur pada ayat (2) huruf b.
(7) Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak, Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak, dan Arsip Data Komputer disampaikan ke Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara secara elektronik atau secara langsung oleh petugas yang ditunjuk.
(8) Berdasarkan Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (7), Kepala Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara menerbitkan Surat Perintah Pencairan Dana sesuai peraturan perundang-undangan di bidang perbendaharaan.
(9) Nota Penghitungan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dibuat sesuai contoh format yang tercantum dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai tata cara penghitungan dan pengembalian kelebihan pembayaran pajak.

                                       

Pasal 273


(1) Dalam rangka penyediaan Uang Persediaan Pengembalian Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 271 ayat (1) huruf a, Kepala Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan Surat Perintah Membayar Uang Persediaan Pengembalian Pajak atas dasar perkiraan pengeluaran pengembalian Pajak Pertambahan Nilai sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai tata cara pembayaran dalam rangka pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
(2) Besaran Uang Persediaan Pengembalian Pajak paling banyak 1/12 (satu per dua belas) dari total realisasi pengembalian Pajak Pertambahan Nilai tahun sebelumnya yang dibayarkan secara tunai menggunakan Uang Persediaan Pengembalian Pajak pada masing-masing Kantor Pelayanan Pajak, dengan besaran Uang Persediaan Pengembalian Pajak paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(3) Dalam hal tidak terdapat realisasi pengembalian Pajak Pertambahan Nilai tahun sebelumnya yang dibayarkan secara tunai sebagaimana dimaksud pada ayat (2), besaran Uang Persediaan Pengembalian Pajak sebesar rencana kebutuhan selama 1 (satu) bulan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

                              

Pasal 274


Pemegang Uang Persediaan Pengembalian Pajak melakukan penggantian Uang Persediaan Pengembalian Pajak dengan menggunakan Surat Perintah Membayar Penggantian Uang Persediaan Pengembalian Pajak setelah Uang Persediaan Pengembalian Pajak digunakan paling sedikit 50% (lima puluh persen).
                                        

Pasal 275


(1) Dalam hal sisa Uang Persediaan Pengembalian Pajak pada Bendahara Pengeluaran tidak cukup tersedia untuk melakukan pembayaran pengembalian Pajak Pertambahan Nilai secara tunai, Kepala Kantor Pelayanan Pajak dapat mengajukan penyediaan Tambahan Uang Persediaan Pengembalian Pajak kepada Kepala Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara dengan menggunakan Surat Perintah Membayar Tambahan Uang Persediaan Pengembalian Pajak.
(2) Tambahan Uang Persediaan Pengembalian Pajak harus dipertanggungjawabkan dalam waktu 1 (satu) bulan sejak Surat Perintah Pencairan Dana Tambahan Uang Persediaan Pengembalian Pajak diterbitkan Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara.
(3) Pertanggungjawaban Tambahan Uang Persediaan Pengembalian Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan secara bertahap.
(4) Sisa Tambahan Uang Persediaan Pengembalian Pajak yang tidak habis digunakan harus disetor ke Kas Negara paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

                                        

Pasal 276


(1) Tata cara penerbitan Surat Perintah Membayar Uang Persediaan Pengembalian Pajak, Surat Perintah Membayar Penggantian Uang Persediaan Pengembalian Pajak, dan Surat Perintah Membayar Tambahan Uang Persediaan Pengembalian Pajak dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai tata cara pembayaran dalam rangka pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
(2) Berdasarkan Surat Perintah Membayar Uang Persediaan Pengembalian Pajak, Surat Perintah Membayar Penggantian Uang Persediaan Pengembalian Pajak, dan Surat Perintah Membayar Tambahan Uang Persediaan Pengembalian Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara menerbitkan Surat Perintah Pencairan Dana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai tata cara pembayaran dalam rangka pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
(3) Kepala Kantor Pelayanan Pajak menyetorkan kembali sisa Uang Persediaan Pengembalian Pajak yang masih berada dalam pengelolaannya, pada setiap akhir tahun anggaran.
(4) Dalam hal penyetoran tidak dapat dilakukan hingga tahun anggaran berakhir, sisa Uang Persediaan Pengembalian Pajak yang masih berada dalam pengelolaan Kantor Pelayanan Pajak diperhitungkan dengan pemberian Uang Persediaan Pengembalian Pajak tahun berikutnya.
(5) Atas realisasi pembayaran pengembalian Pajak Pertambahan Nilai secara tunai yang telah dilakukan hingga tanggal 31 Desember, Kepala Kantor Pelayanan Pajak mempertanggungjawabkan dana Uang Persediaan atau Tambahan Uang Persediaan Pengembalian Pajak, sesuai batas waktu sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai tata cara pelaksanaan penerimaan dan pengeluaran negara pada akhir tahun anggaran.

                                        

Pasal 277


Kepala Kantor Pelayanan Pajak selaku Kuasa Pengguna Anggaran harus menyampaikan pertanggungjawaban atas pengelolaan Uang Persediaan Pengembalian Pajak berupa laporan pertanggungjawaban penyelenggaraan pembayaran pengembalian Pajak Pertambahan Nilai kepada Turis Asing yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari laporan keuangan satuan kerja bersangkutan.
                                        

Bagian Kedua Belas
Batasan Kegiatan dan Jenis Jasa Kena Pajak yang atas Ekspornya Dikenai Pajak Pertambahan Nilai
 
Pasal 278


(1) Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas Ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.
(2) Pajak Pertambahan Nilai yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan cara mengalikan tarif Pajak Pertambahan Nilai dengan dasar pengenaan pajak.
(3) Tarif Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yaitu 0% (nol persen).
(4) Dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yaitu Penggantian.

                       

Pasal 279


(1) Kegiatan Ekspor Jasa Kena Pajak merupakan kegiatan pelayanan di dalam Daerah Pabean yang menyebabkan suatu barang, fasilitas, kemudahan, atau hak tersedia untuk dimanfaatkan di luar Daerah Pabean.
(2) Kegiatan pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu:
a. kegiatan yang melekat pada barang bergerak yang dikeluarkan untuk dimanfaatkan di luar Daerah Pabean;
b. kegiatan yang melekat pada barang tidak bergerak yang berada di luar Daerah Pabean; atau
c. kegiatan selain kegiatan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b yang hasilnya diserahkan untuk dimanfaatkan di luar Daerah Pabean dengan cara:
1. penyampaian langsung atau tidak langsung antara lain melalui pos dan saluran elektronik; atau
2. berupa penyediaan hak untuk dipakai (akses) di luar Daerah Pabean,
berdasarkan permintaan Penerima Ekspor Jasa Kena Pajak.

                              

Pasal 280


(1) Jenis Jasa Kena Pajak berupa kegiatan pelayanan yang melekat pada barang bergerak yang dikeluarkan untuk dimanfaatkan di luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 279 ayat (2) huruf a meliputi:
a. jasa maklon;
b. jasa perbaikan dan perawatan; dan
c. jasa pengurusan transportasi (freight forwarding) terkait barang untuk tujuan ekspor.
(2) Jenis Jasa Kena Pajak berupa kegiatan pelayanan yang melekat pada barang tidak bergerak yang berada di luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 279 ayat (2) huruf b yaitu jasa konsultansi konstruksi yang meliputi pengkajian, perencanaan, dan perancangan konstruksi terkait dengan bangunan atau rencana bangunan yang berada di luar Daerah Pabean.
(3) Jenis Jasa Kena Pajak berupa kegiatan pelayanan yang hasilnya diserahkan untuk dimanfaatkan di luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 279 ayat (2) huruf c meliputi:
a. jasa teknologi dan informasi;
b. jasa penelitian dan pengembangan (research and development);
c. jasa persewaan alat angkut berupa persewaan pesawat udara dan/atau kapal laut untuk kegiatan penerbangan atau pelayaran internasional;
d. jasa konsultansi bisnis dan manajemen, jasa konsultansi hukum, jasa konsultansi desain arsitektur dan interior, jasa konsultansi sumber daya manusia, jasa konsultansi keinsinyuran (engineering services), jasa konsultansi pemasaran (marketing services), jasa akuntansi atau Pembukuan, jasa audit laporan keuangan, dan jasa perpajakan;
e. jasa perdagangan berupa jasa mencarikan penjual barang di dalam Daerah Pabean untuk tujuan ekspor; dan
f. jasa interkoneksi, penyelenggaraan satelit dan/atau komunikasi/konektivitas data.

                                        

Pasal 281


(1) Jasa maklon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280 ayat (1) huruf a memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. spesifikasi dan bahan baku dan/atau bahan setengah jadi disediakan oleh Penerima Ekspor Jasa Kena Pajak;
b. bahan baku dan/atau bahan setengah jadi sebagaimana dimaksud dalam huruf a akan diproses untuk menghasilkan Barang Kena Pajak;
c. kepemilikan atas Barang Kena Pajak yang dihasilkan berada pada Penerima Ekspor Jasa Kena Pajak; dan
d. pengusaha jasa maklon mengirim Barang Kena Pajak yang merupakan hasil pekerjaannya ke luar Daerah Pabean dengan menggunakan mekanisme ekspor barang.
(2) Jasa teknologi dan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280 ayat (3) huruf a meliputi:
a. layanan analisis sistem komputer, antara lain pemecahan masalah yang membutuhkan dukungan teknologi informasi;
b. layanan perancangan sistem komputer, antara lain spesifikasi peranti keras (hardware), peranti lunak (software), dan/atau jaringan komputer yang dibutuhkan;
c. layanan pembuatan sistem komputer dan/atau situs web menggunakan bahasa pemrograman, antara lain layanan pembuatan aplikasi;
d. layanan keamanan teknologi informasi (IT security), antara lain perlindungan informasi pada saat informasi diproses, ditransmisikan, dan/atau disimpan;
e. layanan pusat kontak (contact center), antara lain pemberian jawaban dan/atau tindak lanjut atas pertanyaan dan/atau pernyataan yang disampaikan kepada pusat kontak;
f. layanan dukungan teknik, antara lain layanan penanganan masalah pelanggan (client) dalam penerapan, pemakaian, pemrosesan data (data processing), dan konfigurasi peranti keras (hardware), peranti lunak (software), dan/atau jaringan komputer;
g. layanan komputasi awan (cloud computing) dan web hosting, antara lain data hosting atau data storage sepanjang server berada di dalam Daerah Pabean dan penerima layanan data hosting atau data storage merupakan penyedia layanan cloud computing atau web hosting; dan
h. layanan pembuatan konten dengan menggunakan bantuan teknologi informasi, antara lain pembuatan games, animasi, dan desain grafis.
(3) Jasa interkoneksi, penyelenggaraan satelit dan/atau komunikasi/konektivitas data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280 ayat (3) huruf f meliputi:
a. layanan interkoneksi panggilan dan/atau pesan singkat internasional yang dilakukan oleh penyelenggara telekomunikasi dalam negeri kepada penyelenggara telekomunikasi luar negeri;
b. layanan transmitter and responder (transponder) satelit yang dilakukan oleh penyelenggara satelit dalam negeri kepada penerima layanan di luar negeri, sepanjang stasiun bumi yang digunakan oleh penerima layanan berada di luar Daerah Pabean;
c. layanan pengendalian satelit yang dilakukan oleh penyelenggara satelit dalam negeri kepada penyelenggara satelit luar negeri, sepanjang stasiun bumi pengendali yang digunakan oleh penyelenggara satelit dalam negeri berada di dalam Daerah Pabean; dan/atau
d. layanan ketersambungan internet global melalui jaringan publik atau privat yang dilakukan oleh penyelenggara jaringan dalam negeri kepada penerima layanan di luar negeri.

                                        

Pasal 282


(1) Ekspor Jasa Kena Pajak dikenai Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 278 sepanjang memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. didasarkan atas perikatan atau perjanjian tertulis antara Pengusaha Kena Pajak dengan Penerima Ekspor Jasa Kena Pajak yang mencantumkan dengan jelas:
1. jenis;
2. rincian kegiatan yang dihasilkan di dalam Daerah Pabean untuk dimanfaatkan di luar Daerah Pabean oleh Penerima Ekspor Jasa Kena Pajak; dan
3. nilai penyerahan,
Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280 ayat (1), ayat (2), dan/atau ayat (3); dan
b. terdapat pembayaran disertai dengan bukti pembayaran yang sah dari Penerima Ekspor Jasa Kena Pajak kepada Pengusaha Kena Pajak sehubungan dengan Ekspor Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam huruf a.
(2) Kegiatan pelayanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 279 yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap sebagai penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dikenai Pajak Pertambahan Nilai sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Pertambahan Nilai.
(3) Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) yang dihasilkan dan dimanfaatkan di luar Daerah Pabean tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai.

                                        

Pasal 283


(1) Saat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai atas Ekspor Jasa Kena Pajak yaitu pada saat Ekspor Jasa Kena Pajak.
(2) Saat Ekspor Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pada saat Penggantian atas jasa yang diekspor tersebut dicatat atau diakui sebagai piutang atau penghasilan.

                                        

Pasal 284


(1) Pengusaha Kena Pajak yang melakukan Ekspor Jasa Kena Pajak wajib membuat Faktur Pajak pada saat Ekspor Jasa Kena Pajak.
(2) Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak.
(3) Dokumen tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa pemberitahuan ekspor Barang Kena Pajak tidak berwujud atau Jasa Kena Pajak dengan dilampiri faktur penjualan (invoice) yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan pemberitahuan ekspor Barang Kena Pajak tidak berwujud atau Jasa Kena Pajak.
(4) Atas kegiatan ekspor Barang Kena Pajak yang dihasilkan dari pelaksanaan kegiatan jasa maklon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280 ayat (1) huruf a, selain wajib membuat Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Pengusaha Kena Pajak wajib membuat pemberitahuan ekspor barang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan.
(5) Pemberitahuan ekspor Barang Kena Pajak tidak berwujud atau Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib dibuat melalui Portal Wajib Pajak atau laman lain yang terintegrasi dengan sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak.
(6) Pengusaha Kena Pajak yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (4), dan ayat (5) dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

                                        

Pasal 285


(1) Atas kegiatan Ekspor Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 279 dilaporkan sebagai Ekspor Jasa Kena Pajak dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai.
(2) Atas kegiatan ekspor jasa maklon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280 ayat (1) huruf a, selain melaporkan Ekspor Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pengusaha Kena Pajak melaporkan ekspor Barang Kena Pajak yang dihasilkan dari pelaksanaan kegiatan jasa maklon dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai.
(3) Pajak Pertambahan Nilai atas:
a. perolehan Barang Kena Pajak;
b. perolehan Jasa Kena Pajak;
c. pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean;
d. pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean; dan/atau
e. impor Barang Kena Pajak,
yang berhubungan langsung dengan kegiatan Ekspor Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ekspor Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Pertambahan Nilai.

      

Bagian Ketiga Belas
Tata Cara Pengurangan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas Barang Kena Pajak yang Dikembalikan dan Pajak Pertambahan Nilai atas Jasa Kena Pajak yang Dibatalkan
 
Pasal 286

(1) Dalam hal Barang Kena Pajak yang diserahkan ternyata dikembalikan (diretur) baik sebagian maupun seluruhnya oleh pembeli Barang Kena Pajak, Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dari Barang Kena Pajak yang dikembalikan (diretur) tersebut dapat mengurangi Pajak Keluaran dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang oleh Pengusaha Kena Pajak penjual dan mengurangi:
a.  Pajak Masukan dari Pengusaha Kena Pajak pembeli, dalam hal Pajak Masukan atas Barang Kena Pajak yang dikembalikan telah dikreditkan;
b. biaya atau harta bagi Pengusaha Kena Pajak pembeli, dalam hal pajak atas Barang Kena Pajak yang dikembalikan tersebut tidak dikreditkan dan telah dibebankan sebagai biaya atau telah ditambahkan (dikapitalisasi) dalam harga perolehan harta tersebut; atau
c. biaya atau harta bagi pembeli yang bukan Pengusaha Kena Pajak dalam hal Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas Barang Kena Pajak yang dikembalikan tersebut telah dibebankan sebagai biaya atau telah ditambahkan (dikapitalisasi) dalam harga perolehan harta tersebut.
(2) Pembeli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan orang pribadi atau Badan yang menerima atau seharusnya menerima penyerahan Barang Kena Pajak dan yang membayar atau seharusnya membayar harga Barang Kena Pajak tersebut.
(3) Dalam hal Jasa Kena Pajak yang diserahkan ternyata dibatalkan baik sebagian maupun seluruhnya oleh Penerima Jasa, Pajak Pertambahan Nilai dari Jasa Kena Pajak yang dibatalkan tersebut mengurangi Pajak Keluaran yang terutang oleh Pengusaha Kena Pajak pemberi Jasa Kena Pajak dan mengurangi:
a. Pajak Masukan dari Pengusaha Kena Pajak Penerima Jasa, dalam hal Pajak Masukan atas Jasa Kena Pajak yang dibatalkan telah dikreditkan;
b. biaya atau harta bagi Pengusaha Kena Pajak Penerima Jasa, dalam hal Pajak Pertambahan Nilai atas Jasa Kena Pajak yang dibatalkan tersebut tidak dikreditkan dan telah dibebankan sebagai biaya atau telah ditambahkan (dikapitalisasi) dalam harga perolehan harta tersebut; atau
c. biaya atau harta bagi Penerima Jasa yang bukan Pengusaha Kena Pajak dalam hal Pajak Pertambahan Nilai atas Jasa Kena Pajak yang dibatalkan tersebut telah dibebankan sebagai biaya atau telah ditambahkan (dikapitalisasi) dalam harga perolehan harta tersebut.
(4) Pengembalian Barang Kena Pajak dianggap tidak terjadi dalam hal Barang Kena Pajak yang dikembalikan diganti dengan Barang Kena Pajak yang sama, baik dalam jumlah fisik, jenis, maupun harganya.

                                    


Pasal 287


(1) Saat Pengembalian Barang Kena Pajak yaitu saat Barang Kena Pajak tersebut dikembalikan oleh pembeli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 286 ayat (1).
(2) Saat Pembatalan Jasa Kena Pajak yaitu saat dilakukannya pembatalan hak atau fasilitas atau kemudahan oleh pihak Penerima Jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 286 ayat (3).

                                

Pasal 288


(1) Dalam hal terjadi Pengembalian Barang Kena Pajak, pembeli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 286 ayat (1) harus membuat dan menyampaikan nota retur kepada Pengusaha Kena Pajak penjual.
(2) Nota retur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dengan ketentuan:
a. berbentuk elektronik;
b. dibuat dan diunggah melalui modul dalam Portal Wajib Pajak atau laman lain yang terintegrasi dengan sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak;
c. ditandatangani dengan menggunakan Tanda Tangan Elektronik; dan
d. memperoleh persetujuan Direktorat Jenderal Pajak.
(3) Nota retur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit mencantumkan:
a. nomor nota retur;
b. kode, nomor seri, dan tanggal Faktur Pajak dari Barang Kena Pajak yang dikembalikan, untuk nota retur atas Faktur Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (5) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai;
c. nomor dan tanggal dari dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak dari Barang Kena Pajak yang dikembalikan, untuk nota retur atas dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (6) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai;
d. nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 286 ayat (1);
e. nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak Pengusaha Kena Pajak penjual;
f. jenis barang dan jumlah harga jual Barang Kena Pajak yang dikembalikan;
g. Pajak Pertambahan Nilai atas Barang Kena Pajak yang dikembalikan atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang dikembalikan;
h. tanggal pembuatan nota retur; dan
i. nama dan tanda tangan yang berhak menandatangani nota retur.
(4) Nota retur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dibuat pada saat Barang Kena Pajak dikembalikan.
(5) Pengembalian Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap tidak terjadi dalam hal:
a. nota retur dibuat tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2);
b. nota retur tidak selengkapnya mencantumkan keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3);
c. nota retur tidak dibuat pada saat Barang Kena Pajak tersebut dikembalikan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4); dan/atau
d. nota retur tidak disampaikan kepada Pengusaha Kena Pajak penjual sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
  
                                        

Pasal 289


(1) Dalam hal terjadi Pembatalan Jasa Kena Pajak, Penerima Jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 286 ayat (3) harus membuat dan menyampaikan nota pembatalan kepada Pengusaha Kena Pajak pemberi Jasa Kena Pajak.
(2) Nota pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dengan ketentuan:
a. berbentuk elektronik;
b. dibuat dan diunggah melalui modul dalam Portal Wajib Pajak atau laman lain yang terintegrasi dengan sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak;
c. ditandatangani dengan menggunakan Tanda Tangan Elektronik; dan
d. memperoleh persetujuan Direktorat Jenderal Pajak.
(3) Nota pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit mencantumkan:
a. nomor nota pembatalan;
b. kode, nomor seri, dan tanggal Faktur Pajak dari Jasa Kena Pajak yang dibatalkan, untuk nota pembatalan atas Faktur Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (5) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai;
c. nomor dan tanggal dari dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak dari Jasa Kena Pajak yang dibatalkan, untuk nota pembatalan atas dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (6) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai;
d. nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak Penerima Jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 286 ayat (3);
e. nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak Pengusaha Kena Pajak pemberi Jasa Kena Pajak;
f. jenis jasa dan jumlah Penggantian Jasa Kena Pajak yang dibatalkan;
g. Pajak Pertambahan Nilai atas Jasa Kena Pajak yang dibatalkan;
h. tanggal pembuatan nota pembatalan; dan
i. nama dan tanda tangan yang berhak menandatangani nota pembatalan.
(4) Nota pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dibuat pada saat Jasa Kena Pajak dibatalkan.
(5) Pembatalan penyerahan Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap tidak terjadi dalam hal:
a. nota pembatalan dibuat tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2);
b. nota pembatalan tidak selengkapnya mencantumkan keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3);
c. nota pembatalan tidak dibuat pada saat Jasa Kena Pajak tersebut dibatalkan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4); dan/atau
d. nota pembatalan tidak disampaikan kepada Pengusaha Kena Pajak pemberi Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

                                        

Pasal 290


(1) Pengurangan Pajak Keluaran atau Pajak Keluaran dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah oleh Pengusaha Kena Pajak penjual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 286 ayat (1) dan/atau Pengusaha Kena Pajak pemberi Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 286 ayat (3) dilakukan dalam Masa Pajak saat terjadinya Pengembalian Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 287 ayat (1) dan/atau Pembatalan Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 287 ayat (2).
(2) Pengurangan Pajak Masukan, pengurangan harta, atau pengurangan biaya, oleh pembeli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 286 ayat (1) dan/atau Penerima Jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 286 ayat (3) dilakukan dalam Masa Pajak saat terjadinya Pengembalian Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 287 ayat (1) dan/atau Pembatalan Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 287 ayat (2).

                                        

Bagian Keempat Belas
Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah oleh Badan Usaha Milik Negara dan Perusahaan Tertentu yang Dimiliki secara Langsung oleh Badan Usaha Milik Negara sebagai Pemungut Pajak Pertambahan Nilai
 
Pasal 291


(1) Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak oleh rekanan kepada Pemungut Pajak Pertambahan Nilai dipungut, disetor, dan dilaporkan oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai.
(2) Rekanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada Pemungut Pajak Pertambahan Nilai.
(3) Dalam hal terjadi penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Pemungut Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) lainnya, Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang dipungut, disetor, dan dilaporkan oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak.

                                        

Pasal 292


(1) Pemungut Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 291 ayat (1) meliputi:
a. Badan Usaha Milik Negara;
b. Badan Usaha Milik Negara yang dilakukan restrukturisasi oleh pemerintah setelah tanggal 1 April 2015, dan restrukturisasi tersebut dilakukan melalui pengalihan saham milik negara kepada Badan Usaha Milik Negara lainnya; dan
c. perusahaan tertentu yang dimiliki secara langsung oleh Badan Usaha Milik Negara.
(2) Perusahaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan perusahaan yang dimiliki secara langsung oleh Badan Usaha Milik Negara dengan kepemilikan saham di atas 25% (dua puluh lima persen).
(3) Perusahaan tertentu yang dimiliki secara langsung oleh Badan Usaha Milik Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c ditetapkan oleh Menteri.
(4) Dalam hal perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c tidak lagi dimiliki secara langsung oleh Badan Usaha Milik Negara, perusahaan dimaksud tidak lagi ditunjuk sebagai Pemungut Pajak Pertambahan Nilai.

                                        

Pasal 293


(1) Jumlah Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 291 ayat (1) dihitung sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Pertambahan Nilai.
(2) Dalam hal atas penyerahan Barang Kena Pajak, selain terutang Pajak Pertambahan Nilai juga terutang Pajak Penjualan atas Barang Mewah, jumlah Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 291 ayat (1) dihitung sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Pertambahan Nilai.

                                        

Pasal 294


(1) Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah tidak dipungut oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai dalam hal:
a. pembayaran yang jumlahnya paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) termasuk jumlah Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang dan bukan merupakan pembayaran yang dipecah dari suatu transaksi yang nilai sebenarnya lebih dari Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah);
b. pembayaran atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, mendapat fasilitas Pajak Pertambahan Nilai tidak dipungut atau dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai;
c. pembayaran atas penyerahan bahan bakar minyak dan/atau bahan bakar bukan minyak oleh PT Pertamina (Persero) dan/atau anak usaha PT Pertamina (Persero);
d. pembayaran atas penyerahan jasa telekomunikasi oleh perusahaan telekomunikasi;
e. pembayaran atas jasa angkutan udara yang diserahkan oleh perusahaan penerbangan; dan/atau
f. pembayaran lainnya untuk penyerahan barang dan/atau jasa yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
(2) Anak usaha PT Pertamina (Persero) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi PT Pertamina Patra Niaga, PT Kilang Pertamina Internasional, PT Elnusa Petrofin, dan anak usaha PT Pertamina (Persero) lainnya yang ditunjuk untuk menjalankan fungsi penjualan dan/atau distribusi bahan bakar minyak dan/atau bahan bakar bukan minyak.
(3) Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, dipungut, disetor, dan dilaporkan oleh rekanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 291 ayat (1) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Pertambahan Nilai.

                                        

Pasal 295


(1) Rekanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 291 ayat (1) wajib membuat Faktur Pajak untuk setiap penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada Pemungut Pajak Pertambahan Nilai.
(2) Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dibuat pada:
a. saat penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak;
b. saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak;
c. saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan; atau
d. saat lain yang diatur oleh Menteri.
(3) Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan mengenai Faktur Pajak.
(4) Rekanan wajib melaporkan Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai.
 
                                        

Pasal 296


(1) Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 291 ayat (1) dilakukan pada saat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 295 ayat (2).
(2) Pemungut Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 291 ayat (1) wajib menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang telah dipungut dengan menggunakan Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak, paling lambat akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak dilakukannya pemungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Pertambahan Nilai.
(3) Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuat dengan menggunakan nama Pemungut Pajak Pertambahan Nilai.
(4) Pemungut Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 291 ayat (1) wajib melaporkan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang telah dipungut dan disetor paling lambat akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak dilakukannya pemungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai.
(5) Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (4) menggunakan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 162 ayat (1) huruf a angka 2.
(6) Pemungut Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 291 ayat (1) yang berstatus sebagai Pengusaha Kena Pajak, dapat memperhitungkan kelebihan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai sebagai pengurang Pajak Keluaran pada perhitungan Pajak Pertambahan Nilai kurang bayar atau Pajak Pertambahan Nilai lebih bayar dalam Masa Pajak yang sama pada Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai.
 
                                        

Pasal 297


(1) Dalam hal rekanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 291 ayat (1) tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 295 ayat (1) dan ayat (4), rekanan dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
(2) Dalam hal Pemungut Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 291 ayat (1) tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 296 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4), Pemungut Pajak Pertambahan Nilai dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

                                        

Bagian Kelima Belas
Penunjukan Kontraktor Kontrak Kerja Sama Pengusahaan Minyak dan Gas Bumi dan Kontraktor atau Pemegang Kuasa/Pemegang Izin Pengusahaan Sumber Daya Panas Bumi untuk Memungut, Menyetor, dan Melaporkan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, serta Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporannya
 
Pasal 298

(1) Kontraktor atau pemegang kuasa/pemegang izin ditunjuk sebagai Pemungut Pajak Pertambahan Nilai.
(2) Kontraktor atau pemegang kuasa/pemegang izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan:
a. kontraktor kontrak kerja sama pengusahaan minyak dan gas bumi; dan
b. kontraktor atau pemegang kuasa/pemegang izin pengusahaan sumber daya panas bumi,
yang meliputi kantor pusat, cabang, maupun unitnya.
                 


Pasal 299


(1) Kontraktor atau pemegang kuasa/pemegang izin memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak oleh rekanan kepada kontraktor atau pemegang kuasa/pemegang izin.
(2) Rekanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada kontraktor atau pemegang kuasa/pemegang izin.

                                  

Pasal 300


(1) Jumlah Pajak Pertambahan Nilai yang harus dipungut oleh kontraktor atau pemegang kuasa/pemegang izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 299 ayat (1) dihitung sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Pertambahan Nilai.
(2) Dalam hal atas penyerahan Barang Kena Pajak selain terutang Pajak Pertambahan Nilai juga terutang Pajak Penjualan atas Barang Mewah, jumlah Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut oleh kontraktor atau pemegang kuasa/pemegang izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 299 ayat (1) dihitung sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Pertambahan Nilai.
 
                                        

Pasal 301


(1) Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah tidak dipungut oleh kontraktor atau pemegang kuasa/pemegang izin dalam hal:
a. pembayaran yang jumlahnya paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) termasuk jumlah Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang dan bukan merupakan pembayaran yang dipecah dari suatu transaksi yang nilai sebenarnya lebih dari Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah);
b. pembayaran atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan mendapat fasilitas Pajak Pertambahan Nilai tidak dipungut atau dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai;
c. pembayaran atas penyerahan bahan bakar minyak dan/atau bahan bakar bukan minyak oleh PT Pertamina (Persero) dan/atau anak usaha PT Pertamina (Persero);
d. pembayaran atas penyerahan jasa telekomunikasi oleh perusahaan telekomunikasi;
e. pembayaran atas jasa angkutan udara yang diserahkan oleh perusahaan penerbangan; dan/atau
f. pembayaran lainnya untuk penyerahan barang dan/atau jasa yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
(2) Anak usaha PT Pertamina (Persero) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi PT Pertamina Patra Niaga, PT Kilang Pertamina Internasional, PT Elnusa Petrofin, dan anak usaha PT Pertamina (Persero) lainnya yang ditunjuk untuk menjalankan fungsi penjualan dan/atau distribusi bahan bakar minyak dan/atau bahan bakar bukan minyak.
(3) Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e dipungut, disetor, dan dilaporkan oleh rekanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Pertambahan Nilai.

                                        

Pasal 302


(1) Rekanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 299 ayat (2) wajib membuat Faktur Pajak untuk setiap penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada kontraktor atau pemegang kuasa/pemegang izin.
(2) Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dibuat pada:
a. saat penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak;
b. saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak;
c. saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan; atau
d. saat lain yang diatur oleh Menteri.
(3) Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Pertambahan Nilai yang mengatur mengenai Faktur Pajak.
(4) Rekanan wajib melaporkan Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai.

                                        

Pasal 303


(1) Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 299 ayat (1) dilakukan pada saat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 302 ayat (2).
(2) Kontraktor atau pemegang kuasa/pemegang izin wajib menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang telah dipungut dengan menggunakan Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak, paling lambat akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak dilakukannya pemungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Pertambahan Nilai.
(3) Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuat dengan menggunakan nama kontraktor atau pemegang kuasa/pemegang izin.
(4) Kontraktor atau pemegang kuasa/pemegang izin wajib melaporkan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang telah dipungut dan disetor paling lambat akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak dilakukannya pemungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai.
(5) Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (4) menggunakan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 162 ayat (1) huruf a angka 2.
(6) Kontraktor atau pemegang kuasa/pemegang izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 298 ayat (1) dapat memperhitungkan kelebihan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai sebagai pengurang Pajak Keluaran pada perhitungan Pajak Pertambahan Nilai kurang bayar atau Pajak Pertambahan Nilai lebih bayar dalam Masa Pajak yang sama pada Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai.

                                        

Pasal 304


(1) Kontraktor atau pemegang kuasa/pemegang izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 298 ayat (1) yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 303 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(2) Rekanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 299 ayat (2) yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 302 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

                                        

Bagian Keenam Belas
Penunjukan Pemegang Izin Usaha Pertambangan Khusus Operasi Produksi untuk Memungut, Menyetor, dan Melaporkan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, serta Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporannya
 
Pasal 305


(1) Pemegang izin usaha pertambangan khusus operasi produksi ditunjuk sebagai Pemungut Pajak Pertambahan Nilai.
(2) Pemegang izin usaha pertambangan khusus operasi produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pemegang izin usaha pertambangan khusus operasi produksi dengan kriteria:
a. merupakan perubahan bentuk usaha pertambangan dari kontrak karya yang belum berakhir kontraknya;
b. bergerak di bidang usaha pertambangan mineral; dan
c. izinnya diterbitkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral sampai dengan tanggal 31 Desember 2019,
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

                              

Pasal 306


(1) Pemegang izin usaha pertambangan khusus operasi produksi memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak oleh rekanan kepada pemegang izin usaha pertambangan khusus operasi produksi.
(2) Rekanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada pemegang izin usaha pertambangan khusus operasi produksi.

                               

Pasal 307


(1) Jumlah Pajak Pertambahan Nilai yang wajib dipungut oleh pemegang izin usaha pertambangan khusus operasi produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 306 ayat (1) dihitung sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Pertambahan Nilai.
(2) Dalam hal atas penyerahan Barang Kena Pajak selain terutang Pajak Pertambahan Nilai juga terutang Pajak Penjualan atas Barang Mewah, jumlah Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut oleh pemegang izin usaha pertambangan khusus operasi produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 306 ayat (1) dihitung sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Pertambahan Nilai.
  
                                        

Pasal 308


(1) Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah tidak dipungut oleh pemegang izin usaha pertambangan khusus operasi produksi dalam hal:
a. pembayaran yang jumlahnya paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) termasuk jumlah Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang dan bukan merupakan pembayaran yang dipecah dari suatu transaksi yang nilai sebenarnya lebih dari Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah);
b. pembayaran atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan mendapat fasilitas Pajak Pertambahan Nilai tidak dipungut atau dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai;
c. pembayaran atas penyerahan bahan bakar minyak dan/atau bahan bakar bukan minyak oleh PT Pertamina (Persero) dan/atau anak usaha PT Pertamina (Persero);
d. pembayaran atas penyerahan jasa telekomunikasi oleh perusahaan telekomunikasi;
e. pembayaran atas jasa angkutan udara yang diserahkan oleh perusahaan penerbangan; dan/atau
f. pembayaran lainnya untuk penyerahan barang dan/atau jasa yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
(2) Anak usaha PT Pertamina (Persero) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi PT Pertamina Patra Niaga, PT Kilang Pertamina Internasional, PT Elnusa Petrofin, dan anak usaha PT Pertamina (Persero) lainnya yang ditunjuk untuk menjalankan fungsi penjualan dan/atau distribusi bahan bakar minyak dan/atau bahan bakar bukan minyak.
(3) Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e dipungut, disetor, dan dilaporkan oleh rekanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

                             

Pasal 309


(1) Rekanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 306 ayat (2) wajib membuat Faktur Pajak untuk setiap penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada pemegang izin usaha pertambangan khusus operasi produksi.
(2) Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dibuat pada:
a. saat penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak;
b. saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak;
c. saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan; atau
d. saat lain yang diatur oleh Menteri.
(3) Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Faktur Pajak.
(4) Rekanan wajib melaporkan Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai.

                                        

Pasal 310


(1) Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 306 ayat (1) dilakukan pada saat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 309 ayat (2).
(2) Pemegang izin usaha pertambangan khusus operasi produksi wajib menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang telah dipungut dengan menggunakan Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak, paling lambat akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak dilakukannya pemungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(3) Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuat dengan menggunakan nama pemegang izin usaha pertambangan khusus operasi produksi.
(4) Pemegang izin usaha pertambangan khusus operasi produksi wajib melaporkan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang telah dipungut dan disetor paling lambat akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak dilakukannya pemungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai.
(5) Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (4) menggunakan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 162 ayat (1) huruf a angka 2.
(6) Pemegang izin usaha pertambangan khusus operasi produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 305 ayat (1) dapat memperhitungkan kelebihan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai sebagai pengurang Pajak Keluaran pada perhitungan Pajak Pertambahan Nilai kurang bayar atau Pajak Pertambahan Nilai lebih bayar dalam Masa Pajak yang sama pada Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai.

                                        

Pasal 311


(1) Pemegang izin usaha pertambangan khusus operasi produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 305 ayat (1) yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 310 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(2) Rekanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 306 ayat (2) yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 309 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

                                        

Bagian Ketujuh Belas
Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Jasa Agen Asuransi, Jasa Pialang Asuransi, dan Jasa Pialang Reasuransi
 
Pasal 312


(1) Pajak Pertambahan Nilai terutang atas penyerahan:
a. jasa agen asuransi oleh Agen Asuransi kepada Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah;
b. jasa pialang asuransi oleh perusahaan pialang asuransi kepada Perusahaan Asuransi dan/atau Perusahaan Asuransi Syariah; dan
c. jasa pialang reasuransi oleh perusahaan pialang reasuransi kepada perusahaan reasuransi dan/atau perusahaan reasuransi syariah.
(2) Jasa agen asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan kegiatan pelayanan oleh Agen Asuransi dalam rangka mewakili Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah untuk memasarkan produk asuransi atau produk asuransi syariah.
(3) Jasa pialang asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan kegiatan pelayanan konsultasi dan/atau keperantaraan dalam penutupan asuransi atau asuransi syariah serta penanganan penyelesaian klaimnya dengan bertindak untuk dan atas nama pemegang polis, tertanggung, atau peserta.
(4) Jasa pialang reasuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan kegiatan pelayanan konsultasi dan/atau keperantaraan dalam penempatan reasuransi atau penempatan reasuransi syariah serta penanganan penyelesaian klaimnya dengan bertindak untuk dan atas nama Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan penjaminan, perusahaan penjaminan syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah yang melakukan penempatan reasuransi atau reasuransi syariah.
(5) Perusahaan pialang asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan perusahaan yang menyelenggarakan usaha jasa konsultasi dan/atau keperantaraan dalam penutupan asuransi atau asuransi syariah serta penanganan penyelesaian klaimnya dengan bertindak untuk dan atas nama pemegang polis, tertanggung, atau peserta.
(6) Perusahaan pialang reasuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan perusahaan yang menyelenggarakan usaha jasa konsultasi dan/atau keperantaraan dalam penempatan reasuransi atau penempatan reasuransi syariah serta penanganan penyelesaian klaimnya dengan bertindak untuk dan atas nama Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan penjaminan, perusahaan penjaminan syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah yang melakukan penempatan reasuransi atau reasuransi syariah.
(7) Perusahaan reasuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan perusahaan yang menyelenggarakan usaha jasa pertanggungan ulang terhadap risiko yang dihadapi oleh Perusahaan Asuransi, perusahaan penjaminan, atau perusahaan reasuransi lainnya.
(8) Perusahaan reasuransi syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan perusahaan yang menyelenggarakan usaha pengelolaan risiko berdasarkan prinsip syariah atas risiko yang dihadapi oleh Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan penjaminan syariah, atau perusahaan reasuransi syariah lainnya.
(9) Pajak Pertambahan Nilai terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipungut, disetor, dan dilaporkan oleh Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah yang ditunjuk sebagai Pemungut Pajak Pertambahan Nilai berdasarkan Peraturan Menteri ini.
 
                                        

Pasal 313


(1) Pajak Pertambahan Nilai yang terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 312 ayat (1) dipungut dan disetor dengan besaran tertentu.
(2) Besaran tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu sebesar:
a. 10% (sepuluh persen) dari tarif Pajak Pertambahan Nilai dikalikan dengan komisi atau imbalan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang dibayarkan kepada Agen Asuransi; atau
b. 20% (dua puluh persen) dari tarif Pajak Pertambahan Nilai dikalikan dengan komisi atau imbalan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diterima oleh perusahaan pialang asuransi atau perusahaan pialang reasuransi.
(3) Tarif Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.
(4) Komisi atau imbalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan nilai pembayaran sebelum dipotong Pajak Penghasilan atau pungutan lainnya.
(5) Termasuk komisi atau imbalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a yaitu komisi atau imbalan yang dibayarkan oleh Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah kepada Agen Asuransi berdasarkan penerimaan komisi atau imbalan Agen Asuransi di bawah manajemennya.

                                        

Pasal 314


(1) Agen Asuransi, perusahaan pialang asuransi, dan perusahaan pialang reasuransi wajib melaporkan usahanya ke Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan dan/atau tempat kegiatan usaha dilakukan untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
(2) Kewajiban Agen Asuransi, perusahaan pialang asuransi, dan perusahaan pialang reasuransi untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku bagi Agen Asuransi, perusahaan pialang asuransi, dan perusahaan pialang reasuransi yang memenuhi kriteria sebagai pengusaha kecil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Pertambahan Nilai yang mengatur mengenai batasan pengusaha kecil Pajak Pertambahan Nilai.
(3) Agen Asuransi yang telah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak dianggap telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
(4) Agen Asuransi yang belum memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak wajib mendaftarkan diri ke Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan dan/atau tempat kegiatan usaha dilakukan untuk diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak.
(5) Dalam hal Agen Asuransi selain menyerahkan jasa Agen Asuransi juga menyerahkan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak lainnya, Agen Asuransi wajib melaporkan kegiatan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak sepanjang jumlah peredaran usahanya melebihi batasan pengusaha kecil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(6) Perusahaan pialang asuransi dan perusahaan pialang reasuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(7) Agen Asuransi, perusahaan pialang asuransi, atau perusahaan pialang reasuransi yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (4), dan ayat (5) dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

                    

Pasal 315


(1) Agen Asuransi, perusahaan pialang asuransi, dan perusahaan pialang reasuransi sebagai Pengusaha Kena Pajak wajib membuat Faktur Pajak atas penyerahan jasa Agen Asuransi, jasa pialang asuransi, dan jasa pialang reasuransi.
(2) Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
a. bukti pembayaran komisi (statement of account) dari Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah kepada Agen Asuransi; atau
b. bukti tagihan atas penyerahan jasa pialang asuransi atau jasa pialang reasuransi yang dibuat oleh perusahaan pialang asuransi dan perusahaan pialang reasuransi,
yang merupakan dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak.
(3) Dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dibuat melalui sistem Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah.
(4) Dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit memuat:
a. nama dan Nomor Pokok Wajib Pajak Pengusaha Kena Pajak yang menyerahkan jasa agen asuransi, jasa pialang asuransi, atau jasa pialang reasuransi;
b. nomor urut dan tanggal dokumen yang dibuat oleh sistem Pengusaha Kena Pajak;
c. nilai komisi atau imbalan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diterima oleh Pengusaha Kena Pajak; dan
d. jumlah Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut.
(5) Dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dibuat:
a. paling lambat akhir bulan berikutnya setelah bulan diterimanya pembayaran komisi atau imbalan dengan nama dan dalam bentuk apapun oleh Agen Asuransi; atau
b. pada saat penyerahan jasa pialang asuransi atau jasa pialang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Pertambahan Nilai.
(6) Agen Asuransi, perusahaan pialang asuransi, atau perusahaan pialang reasuransi yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (5) dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
                  
                     

Pasal 316


(1) Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah sebagai Pemungut Pajak Pertambahan Nilai wajib memungut Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 312 ayat (1) pada saat:
a. pembayaran komisi atau imbalan oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai kepada Agen Asuransi; atau
b. penerimaan pembayaran premi oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai dari perusahaan pialang asuransi atau perusahaan pialang reasuransi.
(2) Pemungut Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai yang telah dipungut atas seluruh komisi atau imbalan yang dibayarkan kepada semua Agen Asuransi, perusahaan pialang asuransi, atau perusahaan pialang reasuransi dalam 1 (satu) Masa Pajak dengan menggunakan 1 (satu) Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak.
(3) Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuat dengan menggunakan nama Pemungut Pajak Pertambahan Nilai.
(4) Penyetoran Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan paling lambat akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak dilakukannya pemungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir dan sebelum Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai disampaikan.
(5) Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
 
                                        

Pasal 317


(1) Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah wajib melaporkan Pajak Pertambahan Nilai yang telah dipungut dan disetor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 316 ayat (2) dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai paling lambat akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak dilakukannya pemungutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 316 ayat (1) berakhir.
(2) Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 162 ayat (1) huruf a angka 2.
(3) Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
                     
                   

Pasal 318


(1) Agen Asuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 314 ayat (1) dianggap telah melaporkan penghitungan Pajak Pertambahan Nilai atas penyerahan jasa agen asuransi.
(2)  Dalam hal Agen Asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
a. selain menyerahkan jasa agen asuransi juga menyerahkan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak lainnya; dan
b. sampai dengan suatu bulan dalam tahun buku jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan brutonya atas penyerahan jasa agen asuransi dan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak lainnya tidak melebihi batasan pengusaha kecil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan,
pelaporan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai bagi Agen Asuransi sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Dalam hal Agen Asuransi:
a. selain menyerahkan jasa agen asuransi juga menyerahkan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak lainnya; dan
b. sampai dengan suatu bulan dalam tahun buku, jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan brutonya atas penyerahan jasa agen asuransi dan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak lainnya melebihi batasan pengusaha kecil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Pertambahan Nilai,
Agen Asuransi wajib memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Pertambahan Nilai.
(4) Agen Asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib melaporkan penyerahan:
a. jasa agen asuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 312 ayat (1) huruf a; dan
b. penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak lainnya,
dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(5) Agen Asuransi yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

                                  

Pasal 319


(1) Perusahaan pialang asuransi dan perusahaan pialang reasuransi sebagai Pengusaha Kena Pajak wajib melaporkan penyerahan:
a. jasa pialang asuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 312 ayat (1) huruf b dan/atau jasa pialang reasuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 312 ayat (1) huruf c; dan/atau
b. Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak lainnya,
dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 162 ayat (1) huruf a angka 2.
(2) Perusahaan pialang asuransi dan perusahaan pialang reasuransi yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
            
                            

Pasal 320


Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak sehubungan dengan penyerahan jasa agen asuransi, jasa pialang asuransi, dan jasa pialang reasuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 312 ayat (1) tidak dapat dikreditkan oleh Agen Asuransi, perusahaan pialang asuransi, dan perusahaan pialang reasuransi.
 
                                       

Pasal 321


Dalam hal terjadi kesalahan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 313 ayat (1) yang mengakibatkan Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut lebih besar dari pajak yang seharusnya dipungut, atas kelebihan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai dapat:
a. diajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 312 ayat (9) yang bukan berstatus Pengusaha Kena Pajak; atau
b. diperhitungkan sebagai pengurang Pajak Keluaran pada perhitungan Pajak Pertambahan Nilai kurang bayar atau Pajak Pertambahan Nilai lebih bayar dalam Masa Pajak yang sama pada Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 312 ayat (9) yang berstatus Pengusaha Kena Pajak.

                                        

Pasal 322


Atas pembayaran komisi atau imbalan oleh pemungut Pajak Pertambahan Nilai sehubungan dengan penyerahan jasa Agen Asuransi, jasa pialang asuransi, dan jasa pialang reasuransi yang terutang dan telah dipungut Pajak Pertambahan Nilai oleh Agen Asuransi, perusahaan pialang asuransi, atau perusahaan pialang reasuransi untuk Masa Pajak sebelum tanggal 1 April 2022, Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah dikecualikan dari kewajiban pemungutan, penyetoran, dan pelaporan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 312 ayat (9).

                                        

Bagian Kedelapan Belas
Pajak Pertambahan Nilai atas Kegiatan Membangun Sendiri
 
Pasal 323


(1) Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas kegiatan membangun sendiri.
(2) Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terutang bagi orang pribadi atau Badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri.
(3) Kegiatan membangun sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kegiatan membangun bangunan, baik bangunan baru maupun perluasan bangunan lama, yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau Badan yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain.
(4) Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berupa 1 (satu) atau lebih konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada satu kesatuan tanah dan/atau perairan dengan kriteria:
a. konstruksi utamanya dapat berupa kayu, beton, pasangan batu bata atau bahan sejenis, dan/atau baja;
b. diperuntukkan bagi tempat tinggal atau tempat kegiatan usaha; dan
c. luas bangunan yang dibangun paling sedikit 200m2 (dua ratus meter persegi).
(5) Kegiatan membangun sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan secara:
a. sekaligus dalam suatu jangka waktu tertentu; atau
b. bertahap sebagai satu kesatuan kegiatan sepanjang tenggang waktu antara tahapan membangun tersebut tidak lebih dari 2 (dua) tahun.
(6) Dalam hal tenggang waktu antara tahapan kegiatan membangun bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b lebih dari 2 (dua) tahun, kegiatan tersebut merupakan kegiatan membangun bangunan yang terpisah sepanjang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
(7) Termasuk dalam kegiatan membangun sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yaitu kegiatan membangun bangunan oleh pihak lain bagi orang pribadi atau Badan namun Pajak Pertambahan Nilai atas kegiatan tersebut tidak dipungut oleh pihak lain.
(8) Pihak lain memungut Pajak Pertambahan Nilai atas kegiatan membangun bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Pertambahan Nilai.
(9) Orang pribadi atau Badan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dapat dikecualikan dari tanggung jawab untuk membayar Pajak Pertambahan Nilai atas kegiatan membangun sendiri sepanjang dapat memberikan data dan/atau informasi yang benar dari pihak lain tersebut, yang paling sedikit meliputi:
a. identitas; dan
b. alamat lengkap.

                                        

Pasal 324


(1) Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 323 ayat (1) dihitung, dipungut, dan disetor oleh orang pribadi atau Badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri dengan besaran tertentu.
(2) Besaran tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan hasil perkalian 20% (dua puluh persen) dengan tarif Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dikalikan dengan dasar pengenaan pajak.
(3) Dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa nilai tertentu sebesar jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk membangun bangunan untuk setiap Masa Pajak sampai dengan bangunan selesai, tidak termasuk biaya perolehan tanah.
            
                            

Pasal 325


(1) Saat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai atas kegiatan membangun sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 323 ayat (1) terjadi pada saat mulai dibangunnya bangunan sampai dengan bangunan selesai.
(2) Tempat Pajak Pertambahan Nilai terutang atas kegiatan membangun sendiri yaitu di tempat tinggal atau tempat kedudukan orang pribadi atau Badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri.
 
                                       

Pasal 326


(1) Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 323 ayat (1) wajib disetor ke Kas Negara dengan menggunakan Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak paling lambat tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak.
(2) Kolom Nomor Pokok Wajib Pajak pada Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diisi dengan Nomor Pokok Wajib Pajak orang pribadi atau Badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 323 ayat (2).
(3) Kolom Nomor Objek Pajak pada Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diisi dengan nomor objek pajak.
(4) Kewajiban untuk menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan bagi orang pribadi atau Badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri dalam hal jumlah Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 323 ayat (1) dalam Masa Pajak bersangkutan nihil.
 
                                        

Pasal 327


(1) Surat Setoran Pajak dan/atau sarana administrasi lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 326 ayat (1) yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam:
a. Pasal 326 ayat (2); atau
b. Pasal 326 ayat (2) dan ayat (3),
merupakan dokumen tertentu yang kedudukannya disamakan dengan Faktur Pajak.
(2) Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum dalam dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan sepanjang memenuhi ketentuan pengkreditan Pajak Masukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Pertambahan Nilai.

                             

Pasal 328


(1) Orang pribadi atau Badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri wajib melaporkan penyetoran Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 326 ayat (1) dengan ketentuan sebagai berikut:
a. orang pribadi atau Badan yang merupakan Pengusaha Kena Pajak melaporkan penyetoran Pajak Pertambahan Nilai dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai ke Kantor Pelayanan Pajak terdaftar; dan
b. orang pribadi atau Badan yang bukan merupakan Pengusaha Kena Pajak dianggap telah melaporkan penyetoran Pajak Pertambahan Nilai sepanjang telah melakukan penyetoran Pajak Pertambahan Nilai.
(2) Kewajiban melaporkan penyetoran Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan bagi orang pribadi atau Badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri dalam hal tidak terdapat penyetoran Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 326 ayat (4).

                                        

Pasal 329


Dalam hal orang pribadi atau Badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri:
a. tidak melakukan kewajiban penyetoran Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 326 ayat (1) dan/atau kewajiban pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 328 ayat (1); atau
b. telah melakukan penyetoran atau pelaporan Pajak Pertambahan Nilai atas kegiatan membangun sendiri namun berdasarkan data yang dimiliki dan diperoleh oleh Direktorat Jenderal Pajak masih terdapat Pajak Pertambahan Nilai yang kurang dibayar dan/atau dilaporkan,
Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak orang pribadi atau Badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri, dapat menyampaikan imbauan secara tertulis kepada orang pribadi atau Badan untuk memenuhi kewajiban perpajakan tersebut dan menindaklanjuti sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
                                        

Pasal 330


Dalam hal orang pribadi yang melakukan kegiatan membangun sendiri belum memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, Kepala Kantor Pelayanan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 329 dapat menerbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
                  
                     

Pasal 331


Pajak Masukan yang dibayar atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, impor Barang Kena Pajak, serta pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean sehubungan dengan kegiatan membangun sendiri tidak dapat dikreditkan.
                  
                     

Bagian Kesembilan Belas
Tata Cara Penunjukan Pihak Lain, Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean di Dalam Daerah Pabean melalui Perdagangan Melalui Sistem Elektronik
 
Pasal 332


(1) Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean melalui Perdagangan Melalui Sistem Elektronik.
(2) Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipungut, disetor, dan dilaporkan oleh Pelaku Usaha Perdagangan Melalui Sistem Elektronik yang ditunjuk oleh Menteri.
(3) Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean yang berasal dari transaksi antara Pedagang Luar Negeri atau Penyedia Jasa Luar Negeri dan Pemanfaat Barang dan/atau Pemanfaat Jasa secara langsung, dipungut, disetor, dan dilaporkan oleh Pedagang Luar Negeri atau Penyedia Jasa Luar Negeri tersebut yang ditunjuk sebagai Pihak Lain.
(4) Dalam hal Pedagang Luar Negeri atau Penyedia Jasa Luar Negeri melakukan transaksi dengan Pemanfaat Barang dan/atau Pemanfaat Jasa melalui Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik Luar Negeri atau Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik Dalam Negeri, Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean tersebut, dipungut, disetor, dan dilaporkan oleh Pedagang Luar Negeri, Penyedia Jasa Luar Negeri, Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik Luar Negeri, atau Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik Dalam Negeri yang:
a. ditunjuk sebagai Pihak Lain; dan
b. menerbitkan commercial invoice, billing, order receipt, atau dokumen lain yang sejenis.
(5) Atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean selain yang dipungut Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4), tetap terutang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Pertambahan Nilai tersebut dipungut, disetor, dan dilaporkan sendiri oleh Pemanfaat Barang dan/atau Pemanfaat Jasa sebagaimana diatur dalam Pasal 3A Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.

       

Pasal 333


(1) Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud sebagaimana dimaksud dalam Pasal 332 ayat (1) meliputi:
a. penggunaan atau hak menggunakan hak cipta di bidang kesusastraan, kesenian atau karya ilmiah, paten, desain atau model, rencana, formula atau proses rahasia, merek dagang, atau bentuk hak kekayaan intelektual, hak kekayaan industrial, atau hak serupa lainnya;
b. penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan industrial, komersial, atau ilmiah;
c. penggunaan pengetahuan atau informasi di bidang ilmiah, teknikal, industrial, atau komersial;
d. penggunaan bantuan tambahan atau pelengkap dalam penggunaan atau hak menggunakan hak sebagaimana dimaksud dalam huruf a, penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan sebagaimana dimaksud dalam huruf b, atau pemberian pengetahuan atau informasi sebagaimana dimaksud dalam huruf c, berupa:
1. penerimaan atau hak menerima rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya, yang disalurkan kepada masyarakat melalui satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang serupa;
2. penggunaan atau hak menggunakan rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya, untuk siaran televisi atau radio yang disiarkan/dipancarkan melalui satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang serupa; dan
3. penggunaan atau hak menggunakan sebagian atau seluruh spektrum radio komunikasi;
e. penggunaan atau hak menggunakan film gambar hidup (motion picture films), film atau pita video untuk siaran televisi, atau pita suara untuk siaran radio; dan
f. perolehan seluruhnya atau sebagian hak yang berkenaan dengan penggunaan atau pemberian hak kekayaan intelektual, hak kekayaan industrial, atau hak lainnya sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf e.
(2) Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud sebagaimana dimaksud dalam Pasal 332 ayat (1) termasuk pemanfaatan Barang Digital.
(3) Pemanfaatan Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 332 ayat (1) termasuk pemanfaatan Jasa Digital.

                                        

Pasal 334


(1) Pelaku Usaha Perdagangan Melalui Sistem Elektronik yang ditunjuk sebagai Pihak Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 332 ayat (2) merupakan Pelaku Usaha Perdagangan Melalui Sistem Elektronik yang telah memenuhi kriteria tertentu.
(2) Kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. nilai transaksi dengan Pemanfaat Barang dan/atau Pemanfaat Jasa di Indonesia melebihi jumlah tertentu dalam 12 (dua belas) bulan; dan/atau
b. jumlah traffic atau pengakses melebihi jumlah tertentu dalam 12 (dua belas) bulan.
(3) Nilai transaksi dan jumlah traffic atau pengakses melebihi jumlah tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
(4) Penunjukan sebagai Pihak Lain oleh Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 332 ayat (2) dilimpahkan kewenangannya kepada Direktur Jenderal Pajak.
(5) Penunjukan sebagai Pihak Lain sebagaimana dimaksud pada ayat (4) mulai berlaku awal bulan berikutnya setelah tanggal ditetapkan keputusan penunjukannya.
(6) Pihak Lain sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diberikan nomor identitas perpajakan dalam bentuk Nomor Pokok Wajib Pajak sebagai sarana administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Pihak Lain dalam melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya.
(7) Pelaku Usaha Perdagangan Melalui Sistem Elektronik yang belum ditunjuk sebagai Pihak Lain, tetapi memilih untuk ditunjuk sebagai Pihak Lain, dapat menyampaikan pemberitahuan kepada Direktur Jenderal Pajak.

                                        

Pasal 335


(1) Pemanfaat Barang dan/atau Pemanfaat Jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 332 ayat (3) dan ayat (4) merupakan orang pribadi atau Badan yang memenuhi kriteria:\
a. bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di Indonesia;
b. melakukan pembayaran menggunakan fasilitas debit, kredit, dan/atau fasilitas pembayaran lainnya yang disediakan oleh institusi di Indonesia; dan/atau
c. bertransaksi dengan menggunakan alamat internet protocol di Indonesia atau menggunakan nomor telepon dengan kode telepon negara Indonesia.
(2) Kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terpenuhi dalam hal:
a. alamat korespondensi atau penagihan Pemanfaat Barang dan/atau Pemanfaat Jasa berada di Indonesia; dan/atau
b. pemilihan negara saat registrasi di laman dan/atau sistem yang disediakan dan/atau ditentukan oleh Pihak Lain yaitu Indonesia.

                                        

Pasal 336


(1) Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut oleh Pihak Lain yaitu sebesar tarif sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dikalikan dengan dasar pengenaan pajak.
(2) Dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu sebesar nilai berupa uang yang dibayar oleh Pemanfaat Barang dan/atau Pemanfaat Jasa, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut.
(3) Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada saat pembayaran oleh Pemanfaat Barang dan/atau Pemanfaat Jasa.

                                        

Pasal 337


(1) Pihak Lain membuat bukti pungut Pajak Pertambahan Nilai atas Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 332 ayat (3) dan ayat (4).
(2) Bukti pungut Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa commercial invoice, billing, order receipt, atau dokumen lain yang sejenis, serta menyebutkan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai dan telah dilakukan pembayaran.
(3) Bukti pungut Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak.
(4) Dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus dibuat berdasarkan pedoman yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak.

                          

Pasal 338


(1) Pihak Lain wajib menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 332 ayat (3) dan ayat (4) untuk setiap Masa Pajak paling lambat akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
(2) Penyetoran Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara elektronik ke rekening Kas Negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai penyetoran pajak secara elektronik.
(3) Pihak Lain yang bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di dalam Daerah Pabean melakukan penyetoran Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan mata uang rupiah.
(4) Pihak Lain yang bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di luar Daerah Pabean melakukan penyetoran Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan:
a. mata uang rupiah, dengan kurs yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri yang berlaku pada tanggal penyetoran; atau
b. mata uang dolar Amerika Serikat.
(5) Dalam hal Pihak Lain tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pihak Lain dimaksud dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

                                        

Pasal 339


(1) Pihak Lain wajib melaporkan Pajak Pertambahan Nilai yang telah dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 332 ayat (3) dan ayat (4), dan yang telah disetor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 338 ayat (1), untuk setiap Masa Pajak, paling lambat akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir, dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 162 ayat (1) huruf a angka 2.
(2) Dalam hal Pihak Lain tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pihak Lain dimaksud dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

                                

Bagian Keduapuluh
Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penghasilan atas Transaksi Perdagangan Aset Kripto
 
Pasal 340


Atas penyerahan:
a. Barang Kena Pajak tidak berwujud berupa Aset Kripto oleh Penjual Aset Kripto;
b. Jasa Kena Pajak berupa jasa penyediaan Sarana Elektronik yang digunakan untuk transaksi perdagangan Aset Kripto, oleh Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik; dan/atau
c. Jasa Kena Pajak berupa jasa verifikasi transaksi Aset Kripto dan/atau jasa manajemen kelompok Penambang Aset Kripto (mining pool) oleh Penambang Aset Kripto,
dikenai Pajak Pertambahan Nilai.
       
                                 

Pasal 341


(1) Penyerahan Aset Kripto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 340 huruf a meliputi penyerahan Aset Kripto oleh Penjual Aset Kripto di dalam Daerah Pabean dan/atau kepada Pembeli Aset Kripto di dalam Daerah Pabean, melalui Sarana Elektronik yang diselenggarakan oleh Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik.
(2) Penyerahan Aset Kripto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu:
a. jual beli Aset Kripto dengan mata uang fiat;
b. tukar-menukar Aset Kripto dengan Aset Kripto lainnya (swap); dan/atau
c. tukar-menukar Aset Kripto dengan barang selain Aset Kripto dan/atau jasa.
   
                                        

Pasal 342


(1) Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas penyerahan Aset Kripto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 340 huruf a dipungut, disetor, dan dilaporkan oleh Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik.
(2) Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penyelenggara yang melakukan kegiatan pelayanan untuk memfasilitasi transaksi Aset Kripto yang paling sedikit berupa kegiatan pelayanan:
a. jual beli Aset Kripto menggunakan mata uang fiat;
b. tukar-menukar Aset Kripto dengan Aset Kripto lainnya (swap); dan/atau
c. dompet elektronik (e-wallet) meliputi deposit, penarikan dana (withdrawal), pemindahan (transfer) Aset Kripto ke akun pihak lain, dan penyediaan dan/atau pengelolaan media penyimpanan Aset Kripto.

                                        

Pasal 343


(1) Pajak Pertambahan Nilai yang terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 340 huruf a dipungut dan disetor dengan besaran tertentu.
(2) Besaran tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebesar:
a. 1% (satu persen) dari tarif Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dikalikan dengan nilai transaksi Aset Kripto, dalam hal Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik merupakan Pedagang Fisik Aset Kripto;
b. 2% (dua persen) dari tarif Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dikalikan dengan nilai transaksi Aset Kripto, dalam hal Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik bukan merupakan Pedagang Fisik Aset Kripto.
(3) Nilai transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yaitu:
a. nilai uang yang dibayarkan oleh Pembeli Aset Kripto, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dalam hal transaksi Aset Kripto merupakan jual beli Aset Kripto menggunakan mata uang fiat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 341 ayat (2) huruf a;
b. nilai masing-masing Aset Kripto yang diserahkan oleh para pihak yang bertransaksi, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dalam hal transaksi Aset Kripto merupakan tukar-menukar Aset Kripto dengan Aset Kripto lainnya (swap) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 341 ayat (2) huruf b; atau
c. nilai Aset Kripto yang dipindahkan (transfer) ke akun pihak lain, dalam hal transaksi merupakan tukar-menukar Aset Kripto dengan barang selain Aset Kripto dan/atau jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 341 ayat (2) huruf c.
(4) Dalam hal penyerahan Aset Kripto dilakukan dalam rangka jual beli Aset Kripto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 342 ayat (2) huruf a dengan menggunakan selain mata uang rupiah, nilai transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sebesar nilai konversi ke dalam mata uang rupiah berdasarkan kurs yang ditetapkan oleh Menteri yang berlaku pada saat pemungutan Pajak Pertambahan Nilai.
(5) Dalam hal penyerahan Aset Kripto dilakukan dalam rangka tukar-menukar Aset Kripto dengan Aset Kripto lainnya (swap) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 342 ayat (2) huruf b atau pemindahan (transfer) Aset Kripto ke akun pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 342 ayat (2) huruf c, nilai transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sebesar nilai konversi Aset Kripto ke dalam mata uang rupiah berdasarkan:
a. nilai yang ditetapkan oleh bursa berjangka yang menyelenggarakan perdagangan Aset Kripto; atau
b. nilai dalam sistem yang dimiliki oleh Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik,
yang diterapkan secara konsisten.

                                        

Pasal 344


(1) Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas penyerahan Aset Kripto oleh Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 342 ayat (1) dilakukan pada saat:
a. pembayaran dari Pembeli Aset Kripto diterima oleh Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik, dalam hal transaksi Aset Kripto merupakan jual beli Aset Kripto menggunakan mata uang fiat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 341 ayat (2) huruf a; atau
b. pertukaran Aset Kripto ke akun pihak lain, dalam hal transaksi Aset Kripto merupakan tukar-menukar Aset Kripto dengan Aset Kripto lainnya (swap) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 341 ayat (2) huruf b; atau
c. pemindahan Aset Kripto ke akun pihak lain, dalam hal transaksi Aset Kripto merupakan tukar-menukar Aset Kripto dengan barang selain Aset Kripto dan/atau jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 341 ayat (2) huruf c.
(2) Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik wajib membuat bukti pemungutan Pajak Pertambahan Nilai yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa Dokumen yang Dipersamakan dengan Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi.
(3) Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 342 ayat (1) wajib menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai yang telah dipungut dengan menggunakan Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak.
(4) Penyetoran Pajak Pertambahan Nilai yang telah dipungut sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan paling lambat akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak dilakukannya pemungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(5) Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
                           

Pasal 345


(1) Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 342 ayat (1) wajib melaporkan Pajak Pertambahan Nilai yang telah dipungut dan disetor dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai.
(2) Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan paling lambat akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak dilakukan pemungutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 344 ayat (1) berakhir.
(3) Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 162 ayat (1) huruf a angka 2.
(4) Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

                           

Pasal 346


Dalam hal terjadi kesalahan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 343 ayat (1) yang mengakibatkan Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut lebih besar dari pajak yang seharusnya dipungut, atas kelebihan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai dapat diajukan permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122 oleh Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 342 ayat (1).
          
                             

Pasal 347


(1) Dalam hal Penjual Aset Kripto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 340 huruf a merupakan Pengusaha Kena Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, atas penyerahan Aset Kripto oleh Penjual Aset Kripto berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. Penjual Aset Kripto wajib membuat Faktur Pajak atas penyerahan Aset Kripto;
b. Dokumen yang Dipersamakan dengan Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 344 ayat (2) yang dibuat melalui Sarana Elektronik yang diselenggarakan oleh Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik ditetapkan sebagai dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak;
c. Penjual Aset Kripto tidak melakukan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai atas penyerahan Aset Kripto melalui sistem Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik;
d. Penjual Aset Kripto melaporkan Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut oleh Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik atas penyerahan Aset Kripto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 342 ayat (1) dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai pada kolom penyerahan yang Pajak Pertambahan Nilai-nya dipungut oleh Pihak Lain; dan
e. Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak sehubungan dengan penyerahan Aset Kripto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 340 huruf a tidak dapat dikreditkan oleh Penjual Aset Kripto.
(2) Penjual Aset Kripto yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
   
                                        

Pasal 348


(1) Dalam hal Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 342 ayat (1) merupakan Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik Luar Negeri, Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik tersebut dapat ditunjuk sebagai Pihak Lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai tata cara penunjukan pemungut, pemungutan, dan penyetoran, serta pelaporan Pajak Pertambahan Nilai atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean melalui Perdagangan Melalui Sistem Elektronik.
(2) Tata cara penunjukan pemungut, penyetoran, dan pelaporan Pajak Pertambahan Nilai oleh Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 332 sampai dengan Pasal 339.

                   

Pasal 349


Jasa penyediaan Sarana Elektronik yang digunakan untuk memfasilitasi transaksi Aset Kripto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 340 huruf b, dapat berupa kegiatan pelayanan:
a. jual beli Aset Kripto menggunakan mata uang fiat;
b. tukar-menukar Aset Kripto dengan Aset Kripto lainnya (swap); dan/atau
c. dompet elektronik (e-wallet) meliputi deposit, penarikan dana (withdrawal), pemindahan (transfer) Aset Kripto ke akun pihak lain, dan penyediaan dan/atau pengelolaan media penyimpanan Aset Kripto.

                                        

Pasal 350


(1) Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas penyerahan jasa penyediaan Sarana Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 340 huruf b wajib dipungut oleh Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik.
(2) Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
(3) Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

                                        

Pasal 351


(1) Pajak Pertambahan Nilai yang terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 350 ayat (1) dihitung dengan mengalikan tarif Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dengan dasar pengenaan pajak.
(2) Dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa penggantian yaitu sebesar komisi atau imbalan dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk komisi atau imbalan yang diterima oleh Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik yang akan diteruskan kepada Penambang Aset Kripto.
(3) Dalam hal imbalan yang diterima oleh Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. mata uang fiat selain mata uang rupiah, mata uang fiat tersebut dikonversikan ke dalam mata uang rupiah berdasarkan kurs yang ditetapkan oleh Menteri; atau
b. Aset Kripto, Aset Kripto tersebut dikonversikan ke dalam mata uang rupiah berdasarkan:
1. nilai yang ditetapkan oleh bursa berjangka yang menyelenggarakan perdagangan Aset Kripto; atau
2. nilai dalam sistem yang dimiliki oleh Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik,
yang diterapkan secara konsisten.
 
                                        

Pasal 352


(1) Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik sebagai Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 350 ayat (2) wajib membuat Faktur Pajak atas penyerahan Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 340 huruf b.
(2) Bukti tagihan atas penyerahan jasa penyediaan Sarana Elektronik yang digunakan untuk memfasilitasi transaksi perdagangan Aset Kripto oleh Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik ditetapkan sebagai dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak.
(3) Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib:
a. menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 350 ayat (1) dengan menggunakan Surat Setoran Pajak; dan
b. melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran Pajak Pertambahan Nilai yang terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 340 huruf b dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 162 ayat (1) huruf a angka 2.
(4) Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

                                        

Pasal 353


(1) Pajak Pertambahan Nilai atas penyerahan jasa verifikasi transaksi Aset Kripto dan/atau jasa manajemen kelompok Penambang Aset Kripto (mining pool) oleh Penambang Aset Kripto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 340 huruf c dipungut oleh Penambang Aset Kripto.
(2) Penambang Aset Kripto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pengusaha yang dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.

                                        

Pasal 354


(1) Pajak Pertambahan Nilai yang terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 353 ayat (1) dipungut dan disetor dengan besaran tertentu.
(2) Besaran tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen) dari tarif Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dikalikan dengan nilai berupa uang atas Aset Kripto yang diterima oleh Penambang Aset Kripto, termasuk Aset Kripto yang diterima dari sistem Aset Kripto (block reward).
(3) Dalam hal imbalan yang diterima oleh Penambang Aset Kripto atas penyerahan Aset Kripto sehubungan jasa verifikasi transaksi dan/atau jasa manajemen kelompok Penambang Aset Kripto (mining pool) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa:
a. mata uang fiat selain mata uang rupiah, mata uang fiat tersebut dikonversikan ke dalam mata uang rupiah berdasarkan kurs yang ditetapkan oleh Menteri; atau
b. Aset Kripto, Aset Kripto tersebut dikonversikan ke dalam mata uang rupiah berdasarkan:
1. nilai yang ditetapkan oleh bursa berjangka yang menyelenggarakan perdagangan Aset Kripto; atau
2. nilai dalam sistem yang dimiliki oleh Penambang Aset Kripto,
yang diterapkan secara konsisten.

                                        

Pasal 355


(1) Penambang Aset Kripto yang dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 353 ayat (2) wajib membuat Faktur Pajak atas penyerahan Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 340 huruf c.
(2) Penambang Aset Kripto yang dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Pengusaha Kena Pajak pedagang eceran.
(3) Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat membuat Faktur Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Faktur Pajak atas penyerahan Jasa Kena Pajak kepada Penerima Jasa dengan karakteristik konsumen akhir.
(4) Penambang Aset Kripto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib:
a. menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 354 ayat (1) dengan menggunakan Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak; dan
b. melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran Pajak Pertambahan Nilai yang terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 340 huruf c
dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 162 ayat (1) huruf a angka 2.
(5) Penambang Aset Kripto yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (4) dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

                                        

Pasal 356


Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh:
a. Penjual Aset Kripto;
b. Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik; atau
c. Penambang Aset Kripto,
sehubungan dengan Aset Kripto dikenai Pajak Penghasilan.
            
                            

Pasal 357


(1) Penghasilan yang diterima atau diperoleh Penjual Aset Kripto sehubungan dengan transaksi Aset Kripto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 356 huruf a merupakan objek Pajak Penghasilan.
(2) Penghasilan sehubungan dengan transaksi Aset Kripto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penghasilan dari seluruh jenis transaksi Aset Kripto, berupa:
a. transaksi dengan pembayaran mata uang fiat;
b. tukar menukar Aset Kripto dengan Aset Kripto lainnya (swap); dan/atau
c. transaksi Aset Kripto selain transaksi sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b,
yang dilakukan melalui Sarana Elektronik yang disediakan oleh Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik.

                                        

Pasal 358


(1) Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 357 ayat (1) dikenai Pajak Penghasilan Pasal 22 dengan tarif sebesar 0,1% (nol koma satu persen) dari nilai transaksi Aset Kripto, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
(2) Pajak Penghasilan Pasal 22 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat final.
(3) Pajak Penghasilan Pasal 22 yang bersifat final sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipungut, disetor, dan dilaporkan oleh Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik.
(4) Dalam hal Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bukan merupakan Pedagang Fisik Aset Kripto, tarif Pajak Penghasilan Pasal 22 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebesar 0,2% (nol koma dua persen) yang bersifat final dari nilai transaksi Aset Kripto.
(5) Nilai transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (4) merupakan:
a. nilai uang yang dibayarkan oleh Pembeli Aset Kripto, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dalam hal transaksi Aset Kripto dilakukan dengan pembayaran berupa mata uang fiat;
b. nilai masing-masing Aset Kripto yang diserahkan oleh para pihak yang bertransaksi, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dalam hal transaksi Aset Kripto dilakukan dengan tukar menukar dengan Aset Kripto lainnya; atau
c. jumlah pembayaran yang diterima Penjual Aset Kripto, dalam hal transaksi Aset Kripto merupakan transaksi selain transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 357 ayat (2) huruf a dan huruf b.
(6) Dalam hal nilai uang yang dibayarkan oleh Pembeli Aset Kripto sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a berupa mata uang fiat selain mata uang rupiah, nilai tersebut dikonversikan ke dalam mata uang rupiah berdasarkan kurs yang ditetapkan oleh Menteri pada tanggal diterimanya pembayaran.
(7) Dalam hal transaksi Aset Kripto dilakukan dengan tukar menukar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 357 ayat (2) huruf b, nilai transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b sebesar nilai konversi Aset Kripto ke dalam mata uang rupiah berdasarkan:
a. nilai yang ditetapkan oleh bursa berjangka yang menyelenggarakan perdagangan Aset Kripto; atau
b. nilai dalam sistem yang dimiliki oleh Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik,
yang diterapkan secara konsisten.
(8) Dalam hal penghasilan lain dari transaksi Aset Kripto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 357 ayat (2) huruf c diterima atau diperoleh dalam mata uang selain mata uang rupiah maka penghasilan tersebut dikonversikan ke dalam mata uang rupiah berdasarkan kurs yang ditetapkan oleh Menteri pada tanggal diterima atau diperoleh penghasilan.
(9) Pajak Penghasilan Pasal 22 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (4) dipungut pada saat:
a. pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 357 ayat (2) huruf a dari Pembeli Aset Kripto diterima oleh Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik;
b. pelaksanaan tukar menukar Aset Kripto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 357 ayat (2) huruf b; dan/atau
c. pembayaran penghasilan lain selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 357 ayat (2) huruf a dan huruf b diterima oleh Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik.
(10) Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik wajib membuat Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi atas pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 sebagaimana dimaksud pada ayat (9).
(11) Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (10) dapat berupa Dokumen yang Dipersamakan dengan Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi.
(12) Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik wajib menyetorkan Pajak Penghasilan Pasal 22 yang telah dipungut sebagaimana dimaksud pada ayat (9) paling lambat tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
(13) Penyetoran Pajak Penghasilan Pasal 22 sebagaimana dimaksud pada ayat (12) dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak.
(14) Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik wajib melaporkan Pajak Penghasilan Pasal 22 yang telah dipungut dan disetor dengan menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Unifikasi paling lama 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.

                                        

Pasal 359


(1) Dikecualikan dari Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik yang wajib memungut Pajak Penghasilan Pasal 22 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 358 ayat (3), yaitu Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik yang:
a. hanya memberikan layanan dompet elektronik (e-wallet);
b. hanya mempertemukan Penjual Aset Kripto dan Pembeli Aset Kripto; dan/atau
c. tidak memfasilitasi transaksi perdagangan Aset Kripto.
(2) Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 357 ayat (1) yang diterima atau diperoleh dari transaksi Aset Kripto melalui Sarana Elektronik yang disediakan oleh Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai Pajak Penghasilan Pasal 22 dengan tarif sebesar:
a. 0,1% (nol koma satu persen) dari nilai transaksi Aset Kripto, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dalam hal Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik telah memperoleh persetujuan dari pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perdagangan berjangka komoditi; atau
b. 0,2% (nol koma dua persen) dari nilai transaksi Aset Kripto, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dalam hal Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik tidak memperoleh persetujuan dari pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perdagangan berjangka komoditi.
(3) Pajak Penghasilan Pasal 22 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bersifat final dan wajib disetor sendiri oleh Penjual Aset Kripto dan dilaporkan melalui Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Unifikasi.
(4) Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disetor paling lambat tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir dan dilaporkan paling lambat tanggal 20 (dua puluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
(5) Penjual Aset Kripto yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

                           

Pasal 360


Dikecualikan dari pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 22 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 358 ayat (1), dalam hal Penjual Aset Kripto:
a. merupakan Wajib Pajak luar negeri yang berkedudukan di negara-negara yang telah mempunyai Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda dengan Indonesia, yang hak pemajakan atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 357 ayat (1) tidak berada di Indonesia; dan
b. menyerahkan Surat Keterangan Domisili Wajib Pajak Luar Negeri negara mitra atau yurisdiksi mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, kepada Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik Dalam Negeri.
  
                                     

Pasal 361


Penghasilan dari transaksi Aset Kripto yang diterima atau diperoleh Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik yang bertindak atas nama sendiri yang dilakukan melalui Sarana Elektronik yang disediakan oleh Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik lain, dikenai Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 358.
       
                                 

Pasal 362


Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 358 ayat (10), ayat (12), dan ayat (14) dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

                                        

Pasal 363


(1) Dalam hal Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik Luar Negeri ditunjuk sebagai Pihak Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 348, Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik dimaksud sekaligus ditunjuk sebagai pemungut Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 358 ayat (9).
(2) Pemungut Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melakukan:
a. penyetoran Pajak Penghasilan yang telah dipungut ke rekening kas negara sesuai dengan ketentuan mengenai penyetoran pajak secara elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101; dan
b. pelaporan Pajak Penghasilan yang telah dipungut melalui Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Unifikasi sesuai dengan ketentuan mengenai Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 162.
(3) Pemungut Pajak Penghasilan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

                                        

Pasal 364


(1) Penghasilan yang diterima atau diperoleh Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 356 huruf b dari penyediaan Sarana Elektronik yang digunakan untuk transaksi Aset Kripto merupakan objek Pajak Penghasilan.
(2) Penghasilan dari penyediaan Sarana Elektronik yang digunakan untuk transaksi Aset Kripto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi seluruh imbalan yang diterima atau diperoleh Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik, berupa imbalan atas:
a. penyerahan jasa penyediaan Sarana Elektronik yang digunakan untuk transaksi Aset Kripto;
b. penyerahan jasa penarikan dana (withdrawal);
c. penyerahan jasa deposit;
d. penyerahan jasa pemindahan (transfer) Aset Kripto antar dompet elektronik (e-wallet);
e. penyerahan jasa penyediaan dan/atau pengelolaan media penyimpanan Aset Kripto atau dompet elektronik (e-wallet); dan/atau
f. penyerahan jasa lainnya sehubungan dengan Aset Kripto selain sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf e.
(3) Penghasilan dari penyediaan Sarana Elektronik yang digunakan untuk transaksi Aset Kripto sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif umum sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan.
 
                                        

Pasal 365


(1) Penghasilan yang diterima atau diperoleh Penambang Aset Kripto sehubungan dengan Aset Kripto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 356 huruf c merupakan objek Pajak Penghasilan.
(2) Penghasilan sehubungan dengan Aset Kripto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. penghasilan berupa imbalan jasa yang diterima atau diperoleh Penambang Aset Kripto;
b. penghasilan dari sistem Aset Kripto berupa block reward, imbalan atas jasa pelayanan verifikasi transaksi (transaction fee), atau penghasilan lain dari sistem Aset Kripto; dan/atau
c. penghasilan lainnya selain penghasilan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b.
  
                                        

Pasal 366


(1) Penghasilan sehubungan dengan Aset Kripto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 365 ayat (2) dikenai Pajak Penghasilan Pasal 22 dengan tarif sebesar 0,1% (nol koma satu persen) dari penghasilan yang diterima atau diperoleh Penambang Aset Kripto, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
(2) Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat final dan wajib disetor sendiri oleh Penambang Aset Kripto, serta dilaporkan melalui Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Unifikasi.
(3) Dalam hal penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa Aset Kripto, penghasilan tersebut harus dikonversikan ke dalam mata uang rupiah berdasarkan nilai Aset Kripto pada saat diterima atau diperoleh, dalam sistem Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik yang dipilih oleh Penambang Aset Kripto berdasarkan:
a. nilai yang ditetapkan oleh bursa berjangka yang menyelenggarakan perdagangan Aset Kripto; atau
b. nilai dalam sistem yang dimiliki oleh Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik yang dipilih oleh Penambang Aset Kripto,
yang diterapkan secara konsisten.
(4) Penambang Aset Kripto yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

                                        

Pasal 367


Penghasilan yang diterima atau diperoleh Penambang Aset Kripto dari transaksi Aset Kripto yang dilakukan melalui Sarana Elektronik yang disediakan oleh Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik, dikenai Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 358.
  
                                     

Pasal 368


Dokumen yang Dipersamakan dengan Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 344 ayat (2) dan Pasal 358 ayat (11) paling sedikit memuat keterangan sebagai berikut:
a. nama dan Nomor Pokok Wajib Pajak (tax identification number) Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik;
b. nama dan Nomor Pokok Wajib Pajak (tax identification number) atau Nomor Induk Kependudukan pihak yang dipungut dalam hal Penjual Aset Kripto dan/atau Pembeli Aset Kripto merupakan subjek pajak dalam negeri atau subjek pajak luar negeri berbentuk bentuk usaha tetap;
c. nama pihak yang dipungut dalam hal Penjual Aset Kripto dan/atau Pembeli Aset Kripto merupakan subjek pajak luar negeri;
d. nomor unik transaksi yang berkaitan dengan penghasilan yang dilakukan pemungutan;
e. dasar pengenaan pajak;
f. Tarif Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penghasilan;
g. jumlah Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penghasilan yang dipungut; dan
h. status Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi.

                                 

Pasal 369


Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik melaporkan Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas penyerahan Aset Kripto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 342 ayat (1) dan menyampaikan data dan/atau informasi yang tercantum dalam bukti transaksi (statement of account/transaction) Penjual Aset Kripto secara elektronik kepada Direktorat Jenderal Pajak.
   
                                    

Bagian Kedua Puluh Satu
Tata Cara Pengecualian Pengenaan Pajak Penghasilan atas Dividen atau Penghasilan Lain
 
Pasal 370


(1) Pengecualian dari objek Pajak Penghasilan atas Dividen yang berasal dari dalam negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri dilaksanakan dengan memenuhi:
a. kriteria bentuk investasi, tata cara investasi, dan jangka waktu investasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Pajak Penghasilan; dan
b. kewajiban penyampaian laporan realisasi investasi.
(2) Pengecualian dari objek Pajak Penghasilan atas Dividen yang berasal dari luar negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri dan Wajib Pajak Badan dalam negeri dilaksanakan dengan memenuhi:
a. kriteria bentuk investasi, tata cara investasi, dan jangka waktu investasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Pajak Penghasilan; dan
b. kewajiban penyampaian laporan realisasi investasi.

                                        

Pasal 371


Pengecualian dari objek Pajak Penghasilan atas penghasilan lain yang berasal dari luar negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri dan Wajib Pajak Badan dalam negeri dilaksanakan dengan memenuhi:
a. kriteria bentuk investasi, tata cara investasi, dan jangka waktu investasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Pajak Penghasilan; dan
b. kewajiban penyampaian laporan realisasi investasi.
 
                                       

Pasal 372


Dividen yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 370 atau penghasilan lain yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 371 terutang Pajak Penghasilan saat Dividen atau penghasilan lain diterima atau diperoleh.
       
                                 

Pasal 373


(1) Pajak Penghasilan yang terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 372 atas Dividen yang berasal dari dalam negeri, wajib disetor sendiri oleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri dengan tarif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetor paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak Dividen diterima atau diperoleh.
(3) Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan pembayaran Pajak Penghasilan yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Unifikasi.
(4) Wajib Pajak yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

                                        

Pasal 374


(1) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 370 dan Pasal 371 harus menyampaikan laporan realisasi investasi.
(2) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara elektronik melalui Portal Wajib Pajak.
(3) Wajib Pajak wajib menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
a. secara berkala paling lambat akhir bulan ketiga untuk Wajib Pajak orang pribadi atau akhir bulan keempat untuk Wajib Pajak Badan setelah Tahun Pajak berakhir; dan
b. disampaikan sampai dengan tahun ketiga sejak Tahun Pajak diterima atau diperolehnya Dividen atau penghasilan lain.
(4) Pajak Penghasilan yang terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 372 atas:
a. Dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 370 ayat (2); atau
b. penghasilan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 371,
dihitung berdasarkan ketentuan umum Pajak Penghasilan menggunakan tarif Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan dan dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan untuk Tahun Pajak saat Dividen atau penghasilan lain diterima atau diperoleh.


Bagian Kedua Puluh Dua
Tata Cara Pengkreditan Pajak Masukan
 
Pasal 375


(1) Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran dalam Masa Pajak yang sama.
(2) Bagi Pengusaha Kena Pajak yang telah melakukan penyerahan Barang Kena Pajak, penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena Pajak, dan/atau Ekspor Jasa Kena Pajak namun dalam suatu Masa Pajak tidak terdapat penyerahan dan/atau ekspor dimaksud, Pajak Masukan dalam Masa Pajak dimaksud dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(3) Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum dalam Faktur Pajak yang memenuhi ketentuan Pasal 13 ayat (5) dan ayat (9) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak dalam suatu Masa Pajak sejak Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(4) Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum dalam dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak yang memenuhi ketentuan Pasal 13 ayat (6) dan ayat (9) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak dalam suatu Masa Pajak sejak Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

                                        

Pasal 376


(1) Pajak Masukan yang dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 375 ayat (1), yang tercantum dalam dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak, tetapi belum dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak yang sama, dapat dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya paling lama 3 (tiga) Masa Pajak setelah berakhirnya Masa Pajak saat dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak dibuat.
(2) Pajak Masukan yang dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus merupakan Pajak Masukan yang belum dibebankan sebagai biaya atau belum ditambahkan (dikapitalisasi) dalam harga perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(3) Pengkreditan Pajak Masukan pada Masa Pajak berikutnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak melalui penyampaian atau pembetulan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai.


Pasal 377


(1) Faktur Pajak yang dibuat dengan mencantumkan identitas pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak berupa nama, alamat, dan Nomor Induk Kependudukan bagi subjek pajak dalam negeri orang pribadi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan merupakan Faktur Pajak yang memenuhi ketentuan Pasal 13 ayat (5) huruf b angka 1 Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.
(2) Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum dalam Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

                                

Pasal 378


(1) Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, impor Barang Kena Pajak, serta pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak.
(2) Ketentuan pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku untuk Masa Pajak sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak yaitu Masa Pajak sebelum tanggal pengukuhan Pengusaha sebagai Pengusaha Kena Pajak sebagaimana tercantum dalam surat pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.
(3) Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikreditkan dengan Pajak Keluaran yang seharusnya dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak terhitung sejak Pengusaha seharusnya dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan sampai dengan sebelum Pengusaha dimaksud dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
(4) Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan menggunakan pedoman pengkreditan Pajak Masukan sebesar 80% (delapan puluh persen) dari Pajak Keluaran yang seharusnya dipungut sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(5) Pedoman pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diberlakukan untuk Masa Pajak sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, yang dilakukan melalui:
a. penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai; dan/atau
b. penetapan kewajiban Pajak Pertambahan Nilai melalui Pemeriksaan.
(6) Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum dalam Faktur Pajak dan dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak untuk suatu Masa Pajak sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, merupakan Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan.
(7) Untuk menggunakan pedoman pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Pengusaha Kena Pajak tidak dapat menggunakan:
a. nilai lain sebagai dasar pengenaan pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 8A Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai; dan
b. besaran tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 9A ayat (1) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai,
untuk menghitung Pajak Keluaran yang seharusnya dipungut atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(8) Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a yaitu Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai bagi Pengusaha Kena Pajak yang menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan.
(9) Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (8) disampaikan oleh Pengusaha Kena Pajak sejak Pengusaha seharusnya dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak pada:
a. Masa Pajak terakhir dalam tahun buku sebelum tahun buku saat Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, yang meliputi Pajak Keluaran atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak untuk periode tahun buku yang bersangkutan; dan/atau
b. Masa Pajak terakhir sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dalam Tahun Buku saat Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, yang meliputi Pajak Keluaran atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak untuk periode tahun buku yang bersangkutan.(1)    

                                        

Pasal 379


(1) Pengusaha yang tidak membuat Faktur Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (1) huruf d Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan tidak dikenai sanksi administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (4) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
(2) Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 378 ayat (3), dikenai sanksi administratif berupa:
a. denda sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
b. bunga sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (2a) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan atau Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan; dan/atau
c. kenaikan sebagaimana diatur dalam Pasal 15 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
(3) Penghitungan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b yaitu:
a. untuk bunga sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (2a) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran untuk Masa Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 378 ayat (9) sampai dengan tanggal pembayaran, dan dikenakan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan; atau
b. untuk bunga sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, dihitung sejak berakhirnya Masa Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 378 ayat (9) sampai dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, dan dikenakan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
(4) Pajak Masukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 378 ayat (6) tidak dapat dibebankan sebagai biaya atau ditambahkan (dikapitalisasi) dalam harga perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak yang mengkreditkan Pajak Masukan dengan menggunakan pedoman pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 378 ayat (4).
(5) Dalam hal Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) telah dibebankan sebagai biaya atau telah ditambahkan (dikapitalisasi) dalam harga perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak:
a. Pengusaha Kena Pajak wajib melakukan pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan pada Tahun Pajak saat Pajak Masukan dimaksud telah dibebankan sebagai biaya atau telah ditambahkan (dikapitalisasi) dalam harga perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak; atau
b. Direktur Jenderal Pajak atas permohonan Pengusaha Kena Pajak atau karena jabatannya melakukan pembetulan atas ketetapan atau keputusan sesuai dengan ketentuan Pasal 16 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
(6) Pengusaha Kena Pajak yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

                                        

Pasal 380


(1) Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, impor Barang Kena Pajak, serta pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, yang tidak dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai yang diberitahukan dan/atau ditemukan pada waktu dilakukan Pemeriksaan, dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(2) Pajak Masukan yang tidak dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai yang diberitahukan dan/atau ditemukan pada waktu dilakukan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum dalam:
a. Faktur Pajak; dan/atau
b. dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak.
(3) Pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada saat Pemeriksaan untuk diperhitungkan dalam ketetapan pajak yang akan diterbitkan berdasarkan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang:
a. diberitahukan oleh Pengusaha Kena Pajak dengan memperlihatkan dan/atau meminjamkan dokumen dimaksud sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri mengenai tata cara Pemeriksaan; dan/atau
b. ditemukan oleh Direktur Jenderal Pajak.
(4) Pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan sepanjang surat pemberitahuan hasil Pemeriksaan belum disampaikan kepada Pengusaha Kena Pajak.

                          

Pasal 381


(1) Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, impor Barang Kena Pajak, serta pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, yang ditagih dengan penerbitan ketetapan pajak, dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak sebesar jumlah pokok pajak yang tercantum dalam ketetapan pajak, dengan ketentuan:
a. ketetapan pajak dimaksud merupakan Surat Ketetapan Pajak yang diterbitkan hanya untuk menagih Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, impor Barang Kena Pajak, serta pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
b. Pengusaha Kena Pajak menyetujui seluruh hasil Pemeriksaan atas ketetapan pajak;
c. jumlah Pajak Pertambahan Nilai yang masih harus dibayar meliputi pokok pajak dan sanksi sebagaimana tercantum dalam ketetapan pajak telah dilakukan pelunasan;
d. tidak dilakukan upaya hukum atas ketetapan pajak; dan
e. sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(2) Pelunasan atas jumlah Pajak Pertambahan Nilai yang masih harus dibayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak dengan menggunakan Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak.
(3) Tidak dilakukan upaya hukum atas ketetapan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d meliputi tidak diajukan permohonan:
a. keberatan sebagaimana diatur dalam Pasal 25 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
b. banding sebagaimana diatur dalam Pasal 27 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
c. pengurangan atau penghapusan sanksi administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 36 ayat (1) huruf a Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
d. pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 36 ayat (1) huruf b Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
e. pembatalan hasil Pemeriksaan pajak atau ketetapan pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 36 ayat (1) huruf d Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan; dan/atau
f. peninjauan kembali sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengadilan pajak.
(4) Termasuk tidak dilakukan upaya hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yaitu tidak diajukan gugatan sebagaimana diatur dalam Pasal 23 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
(5) Ketetapan pajak yang dilampiri dengan seluruh Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak atas pelunasan jumlah Pajak Pertambahan Nilai yang masih harus dibayar merupakan dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak.
(6) Pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan cara melaporkan dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai pada Masa Pajak dilakukannya pelunasan ketetapan pajak atau pada Masa Pajak berikutnya paling lama 3 (tiga) Masa Pajak setelah berakhirnya Masa Pajak saat pelunasan ketetapan pajak.

                             

Bagian Kedua Puluh Tiga
Tata Cara Pembuatan Faktur Pajak dan Tata Cara Pembetulan atau Penggantian Faktur Pajak
 
Pasal 382

(1) Pengusaha Kena Pajak wajib membuat Faktur Pajak untuk setiap:
a. penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a dan/atau Pasal 16D Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai;
b. penyerahan Jasa Kena Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) huruf c Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai;
c. ekspor Barang Kena Pajak berwujud sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) huruf f Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai;
d. ekspor Barang Kena Pajak tidak berwujud sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) huruf g Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai; dan/atau
e. ekspor Jasa Kena Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) huruf h Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.
(2) Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dibuat pada:
a. saat penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak;
b. saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak;
c. saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan;
d. saat ekspor Barang Kena Pajak berwujud, ekspor Barang Kena Pajak tidak berwujud, dan/atau Ekspor Jasa Kena Pajak; atau
e. saat lain yang diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Pertambahan Nilai.
(3) Pengusaha Kena Pajak yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

                  


Pasal 383


(1) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 382 ayat (1), Pengusaha Kena Pajak dapat membuat 1 (satu) Faktur Pajak yang meliputi seluruh penyerahan yang dilakukan kepada pembeli Barang Kena Pajak dan/atau penerima Jasa Kena Pajak yang sama selama 1 (satu) bulan kalender.
(2) Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disebut Faktur Pajak gabungan.
(3) Faktur Pajak gabungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dibuat paling lambat akhir bulan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak.
                                           

Pasal 384


(1) Faktur Pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak setelah melewati jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak saat Faktur Pajak seharusnya dibuat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 382 ayat (2) dan Pasal 383 ayat (3) tidak diperlakukan sebagai Faktur Pajak.
(2) Pengusaha Kena Pajak yang membuat Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap tidak membuat Faktur Pajak.
(3) Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
(4) Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum dalam Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan.
                                        

Pasal 385


(1) Dalam Faktur Pajak harus dicantumkan keterangan tentang penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang paling sedikit memuat:
a. nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak;
b. identitas pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak yang meliputi:
1. nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak, bagi Wajib Pajak dalam negeri Badan dan Instansi Pemerintah;
2. nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak atau Nomor Induk Kependudukan, bagi subjek pajak dalam negeri orang pribadi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
3. nama, alamat, dan nomor paspor, bagi subjek pajak luar negeri orang pribadi; atau
4. nama dan alamat, bagi subjek pajak luar negeri Badan atau bukan merupakan subjek pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Pajak Penghasilan;
c. jenis barang atau jasa, jumlah harga jual atau Penggantian, dan potongan harga;
d. Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut;
e. Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut;
f. kode, nomor seri, dan tanggal pembuatan Faktur Pajak; dan
g. nama dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak.
(2) Nomor Induk Kependudukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b angka 2 mempunyai kedudukan yang sama dengan Nomor Pokok Wajib Pajak dalam rangka pembuatan Faktur Pajak dan pengkreditan Pajak Masukan.

                             

Pasal 386


(1) Faktur Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 385 ayat (1) dan dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak atas ekspor Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Ekspor Jasa Kena Pajak:
a. berbentuk elektronik;
b. dibuat dengan menggunakan modul dalam Portal Wajib Pajak atau laman lain yang terintegrasi dengan sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak; dan
c. dicantumkan tanda tangan berbentuk Tanda Tangan Elektronik.
(2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Faktur Pajak atas:
a. penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada pembeli Barang Kena Pajak dan/atau penerima Jasa Kena Pajak dengan karakteristik konsumen akhir, dibuat sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (5a) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai; dan
b. penyerahan Barang Kena Pajak, penyerahan Jasa Kena Pajak, dan/atau ekspor Barang Kena Pajak berwujud, yang bukti pungutan Pajak Pertambahan Nilainya berupa dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak, dibuat sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (6) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.

                            

Pasal 387


(1) Faktur Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 386 ayat (1) wajib:
a. diunggah oleh Pengusaha Kena Pajak dengan menggunakan modul dalam Portal Wajib Pajak atau laman lain yang terintegrasi dengan sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak; dan
b. memperoleh persetujuan Direktorat Jenderal Pajak.
(2) Faktur Pajak berbentuk elektronik yang tidak memperoleh persetujuan Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b bukan merupakan Faktur Pajak.
(3) Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum dalam Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan.
(4) Pengusaha Kena Pajak yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

                                       

Pasal 388


Faktur penjualan yang diterbitkan oleh Pengusaha Kena Pajak termasuk dalam pengertian Faktur Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 386 ayat (1) sepanjang:
a. dicantumkan keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 385 ayat (1);
b. diunggah dengan menggunakan modul dalam Portal Wajib Pajak atau laman lain yang terintegrasi dengan sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak; dan
c. memperoleh persetujuan Direktorat Jenderal Pajak.

                                        

Pasal 389


(1) Pengusaha Kena Pajak dapat membuat Faktur Pajak pengganti atas Faktur Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 386 ayat (1) jika terdapat kesalahan dalam pengisian atau penulisan Faktur Pajak sehingga tidak memuat keterangan yang benar, lengkap, dan jelas.
(2) Pengusaha Kena Pajak harus melakukan pembatalan Faktur Pajak yang telah dibuat atas penyerahan:
a. Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang transaksinya dibatalkan; atau
b. barang dan/atau jasa yang seharusnya tidak dibuatkan Faktur Pajak.


Pasal 390


(1) Dalam hal terjadi keadaan kahar yang menyebabkan Pengusaha Kena Pajak tidak dapat membuat Faktur Pajak dan dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak atas ekspor Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Ekspor Jasa Kena Pajak berbentuk elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 386 ayat (1), Pengusaha Kena Pajak diperkenankan untuk membuat Faktur Pajak dan dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak atas ekspor Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Ekspor Jasa Kena Pajak tidak dalam bentuk elektronik.
(2) Keadaan kahar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu suatu kejadian yang terjadi di luar kemampuan manusia dan tidak dapat dihindarkan sehingga suatu kegiatan tidak dapat dilaksanakan atau tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya yang meliputi bencana alam, bencana nonalam, dan bencana sosial, yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.

                               

Pasal 391


(1) Faktur Pajak wajib diisi secara benar, lengkap, dan jelas.
(2) Pengusaha Kena Pajak yang membuat Faktur Pajak tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
(3) Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum dalam Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan.


BAB VII
TATA CARA PEMBERIAN PELAYANAN ADMINISTRASI PERPAJAKAN
 
Bagian Kesatu
Penggunaan Nilai Buku atas Pengalihan dan Perolehan Harta dalam Rangka Penggabungan, Peleburan, Pemekaran, atau Pengambilalihan Usaha
 
Pasal 392


(1) Wajib Pajak menggunakan nilai pasar atas pengalihan harta dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, atau pengambilalihan usaha.
(2) Untuk kepentingan penerapan ketentuan di bidang Pajak Penghasilan, Wajib Pajak dapat menggunakan nilai buku atas pengalihan harta dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, atau pengambilalihan usaha, setelah mendapatkan persetujuan Direktur Jenderal Pajak.
(3) Penggabungan usaha yang dapat menggunakan nilai buku sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yaitu:
a. penggabungan dari 2 (dua) atau lebih Wajib Pajak Badan dalam negeri yang modalnya terbagi atas saham dengan cara mengalihkan seluruh harta dan kewajiban kepada salah satu Wajib Pajak Badan yang tidak mempunyai sisa kerugian fiskal atau mempunyai sisa kerugian fiskal yang lebih kecil dan membubarkan Wajib Pajak Badan yang mengalihkan harta dan kewajiban tersebut; atau
b. penggabungan dari badan hukum yang didirikan atau bertempat kedudukan di luar negeri dengan Wajib Pajak Badan dalam negeri yang modalnya terbagi atas saham, dengan cara mengalihkan seluruh harta dan kewajiban badan hukum yang didirikan atau bertempat kedudukan di luar negeri kepada Wajib Pajak Badan dalam negeri yang modalnya terbagi atas saham dan membubarkan badan hukum yang didirikan atau bertempat kedudukan di luar negeri yang mengalihkan harta dan kewajiban tersebut.
(4) Peleburan usaha yang dapat menggunakan nilai buku sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yaitu:
a. peleburan dari 2 (dua) atau lebih Wajib Pajak Badan dalam negeri yang modalnya terbagi atas saham dengan cara mendirikan badan usaha baru di Indonesia dan mengalihkan seluruh harta dan kewajiban kepada Wajib Pajak Badan baru serta membubarkan Wajib Pajak Badan yang melebur tersebut; atau
b. peleburan dari badan hukum yang didirikan atau bertempat kedudukan di luar negeri dengan Wajib Pajak Badan dalam negeri yang modalnya terbagi atas saham, dengan cara mendirikan badan usaha baru di Indonesia dan mengalihkan seluruh harta dan kewajiban kepada badan usaha baru serta membubarkan badan hukum yang didirikan atau bertempat kedudukan di luar negeri dan Wajib Pajak Badan dalam negeri yang melebur tersebut.
(5) Pemekaran usaha yang dapat menggunakan nilai buku sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yaitu:
a. pemisahan usaha 1 (satu) Wajib Pajak Badan dalam negeri yang modalnya terbagi atas saham menjadi 2 (dua) Wajib Pajak Badan dalam negeri atau lebih dengan cara mendirikan badan usaha baru dan mengalihkan sebagian harta dan kewajiban kepada badan usaha baru tersebut, yang dilakukan tanpa melakukan likuidasi badan usaha yang lama;
b. pemisahan usaha 1 (satu) Wajib Pajak Badan dalam negeri yang modalnya terbagi atas saham dengan cara mengalihkan sebagian harta dan kewajiban kepada 1 (satu) atau lebih Wajib Pajak Badan dalam negeri yang modalnya terbagi atas saham, yang dilakukan tanpa membentuk badan usaha baru dan tanpa melakukan likuidasi badan usaha yang lama, dan merupakan pemecahan usaha sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Pertambahan Nilai; atau
c. suatu rangkaian tindakan untuk melakukan pemisahan usaha 2 (dua) atau lebih Wajib Pajak Badan dalam negeri yang modalnya terbagi atas saham dengan cara mengalihkan sebagian harta dan kewajiban dari usaha yang dipisahkan dan menggabungkan usaha yang dipisahkan tersebut kepada 1 (satu) badan usaha tanpa melakukan likuidasi badan usaha yang lama.
(6) Wajib Pajak yang dapat melakukan pemekaran usaha dengan menggunakan nilai buku sebagaimana dimaksud pada ayat (5) yaitu:
a. Wajib Pajak yang belum Go Public yang bermaksud melakukan penawaran umum perdana saham;
b. Wajib Pajak yang telah Go Public sepanjang seluruh badan usaha hasil pemekaran usaha melakukan penawaran umum perdana saham;
c. Wajib Pajak Badan yang melakukan pemisahan unit usaha syariah untuk menjalankan kewajiban pemisahan usaha berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
d. Wajib Pajak Badan dalam negeri sepanjang badan usaha hasil pemekaran usaha mendapatkan tambahan modal dari penanam modal asing paling sedikit Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah); atau
e. Wajib Pajak Badan Usaha Milik Negara yang menerima tambahan penyertaan modal Negara Republik Indonesia, sepanjang pemekaran usaha dilakukan terkait pembentukan perusahaan induk (holding) Badan Usaha Milik Negara.
(7) Wajib Pajak yang dapat menggunakan nilai buku dalam rangka pemekaran usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b dan huruf c, yaitu:
a. Wajib Pajak Badan Usaha Milik Negara yang menerima tambahan penyertaan modal Negara Republik Indonesia, sepanjang pemekaran usaha dilakukan terkait pembentukan perusahaan induk (holding) Badan Usaha Milik Negara; atau
b. Wajib Pajak Badan yang melakukan pemisahan usaha sehubungan dengan restrukturisasi Badan Usaha Milik Negara dengan syarat:
1. restrukturisasi dilakukan paling lama terhitung sejak awal Tahun Pajak 2021;
2. pengalihan harta tidak dilakukan dengan cara jual beli atau pertukaran harta; dan
3. restrukturisasi serta pengalihan harta telah memperoleh persetujuan dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pembinaan Badan Usaha Milik Negara.
(8) Pengambilalihan usaha yang dapat menggunakan nilai buku sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yaitu:
a. pengambilalihan usaha bentuk usaha tetap yang menjalankan kegiatan di bidang usaha bank yang dilakukan dengan cara mengalihkan seluruh atau sebagian harta dan kewajiban bentuk usaha tetap kepada Wajib Pajak Badan dalam negeri yang modalnya terbagi atas saham, dan membubarkan bentuk usaha tetap tersebut; atau
b. pengambilalihan usaha dari suatu Wajib Pajak Badan dalam negeri dengan cara mengalihkan kepemilikan atas saham Wajib Pajak Badan dalam negeri yang dimilikinya tersebut kepada Wajib Pajak Badan dalam negeri lainnya, yang dilakukan sehubungan dengan restrukturisasi Badan Usaha Milik Negara, dengan syarat:
1. kepemilikan atas saham Wajib Pajak Badan dalam negeri yang dialihkan:
a) lebih dari 50% (lima puluh persen) dari seluruh saham dengan hak suara yang telah disetor penuh; atau
b) mempunyai kemampuan untuk menentukan, baik langsung maupun tidak langsung, dengan cara apapun pengelolaan dan/atau kebijakan atas Wajib Pajak Badan dalam negeri yang dialihkan;
2. dalam hal Wajib Pajak Badan dalam negeri yang diambil alih berbentuk perseroan terbuka, wajib memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal;
3. restrukturisasi dilakukan paling lama terhitung sejak awal Tahun Pajak 2021;
4. pengalihan harta tidak dilakukan dengan cara jual beli atau pertukaran harta; dan
5. restrukturisasi serta pengalihan harta telah memperoleh persetujuan dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pembinaan Badan Usaha Milik Negara.

                                  

Pasal 393


(1) Wajib Pajak yang melakukan pengalihan atau menerima pengalihan harta dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, atau pengambilalihan usaha dengan menggunakan nilai buku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 392 ayat (2) wajib memenuhi syarat sebagai berikut:
a. mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak paling lama 6 (enam) bulan setelah tanggal efektif penggabungan, peleburan, pemekaran, atau pengambilalihan usaha dilakukan, dengan melampirkan alasan dan tujuan melakukan penggabungan, peleburan, pemekaran, atau pengambilalihan usaha;
b. memenuhi persyaratan tujuan bisnis (business purpose test); dan
c. memenuhi persyaratan untuk diberikan Surat Keterangan Fiskal sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai tata cara pemberian Surat Keterangan Fiskal, untuk tiap Wajib Pajak Badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap yang terkait.
(2) Persyaratan tujuan bisnis (business purpose test) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terpenuhi apabila:
a. tujuan utama dari penggabungan, peleburan, pemekaran, atau pengambilalihan usaha yaitu untuk menciptakan sinergi usaha yang kuat dan memperkuat struktur permodalan serta tidak dilakukan untuk penghindaran pajak;
b. kegiatan usaha Wajib Pajak yang mengalihkan harta masih berlangsung sampai dengan tanggal efektif dari penggabungan, peleburan, pemekaran, atau pengambilalihan usaha;
c. kegiatan usaha Wajib Pajak yang mengalihkan harta sebelum penggabungan, peleburan, atau pengambilalihan usaha terjadi, wajib dilanjutkan oleh Wajib Pajak yang menerima pengalihan harta paling singkat 5 (lima) tahun setelah tanggal efektif penggabungan, peleburan, atau pengambilalihan usaha;
d. kegiatan usaha Wajib Pajak yang menerima harta dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, atau pengambilalihan usaha tetap berlangsung paling singkat 5 (lima) tahun setelah tanggal efektif penggabungan, peleburan, pemekaran, atau pengambilalihan usaha; dan
e. harta berupa aktiva tetap yang dimiliki oleh Wajib Pajak yang menerima harta yang berasal dari penggabungan, peleburan, pemekaran, atau pengambilalihan usaha tidak dipindahtangankan oleh Wajib Pajak yang menerima harta paling singkat 2 (dua) tahun setelah tanggal efektif penggabungan, peleburan, pemekaran, pengambilalihan usaha kecuali pemindahtanganan tersebut dilakukan untuk efisiensi perusahaan.
(3) Harta yang dapat diajukan permohonan untuk menggunakan nilai buku merupakan harta yang telah dialihkan pada tanggal efektif penggabungan, peleburan, pemekaran, atau pengambilalihan usaha.
(4) Nilai buku sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan nilai buku pada tanggal efektif penggabungan, peleburan, pemekaran, atau pengambilalihan usaha.

                         

Pasal 394


(1) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 393 ayat (1) huruf a diajukan oleh:
a. Wajib Pajak yang menerima harta, untuk penggabungan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 392 ayat (3), peleburan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 392 ayat (4), atau pengambilalihan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 393 ayat (8) huruf a; atau
b. Wajib Pajak yang mengalihkan harta untuk pemekaran usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 392 ayat (5) atau pengambilalihan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 392 ayat (8) huruf b.
(2) Permohonan yang diajukan oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilengkapi dengan dokumen sebagai berikut:
a. surat pernyataan yang mengemukakan alasan dan tujuan melakukan penggabungan, peleburan, pemekaran, atau pengambilalihan usaha; dan
b. surat pernyataan yang menerangkan bahwa penggabungan, peleburan, pemekaran, atau pengambilalihan usaha yang dilakukan memenuhi persyaratan tujuan bisnis (business purpose test) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 393 ayat (2).
(3) Permohonan yang diajukan oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 392 ayat (6) huruf d selain dilampiri dengan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2), juga harus dilengkapi dengan:
a. akta pendirian atau perubahan dari Wajib Pajak hasil pemekaran usaha yang mencantumkan jumlah Penanaman Modal baru dari penanam modal asing; dan
b. bukti realisasi atau setoran penuh tambahan modal dalam akta pendirian atau akta perubahan.
(4) Permohonan yang diajukan oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 392 ayat (6) huruf e dan Pasal 392 ayat (7) huruf a, selain dilampiri dengan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2), juga harus dilengkapi dengan surat persetujuan dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pembinaan Badan Usaha Milik Negara.
(5) Permohonan yang diajukan oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 392 ayat (7) huruf b, atau diajukan oleh Wajib Pajak yang melakukan pengambilalihan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 392 ayat (8) huruf b, selain dilampiri dengan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2), juga harus dilengkapi dengan:
a. surat persetujuan dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pembinaan Badan Usaha Milik Negara; dan
b. akta pemisahan usaha atau pengambilalihan usaha.
(6) Permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilengkapi dengan dokumen pendukung atas surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b.
(7) Dalam hal permohonan Wajib Pajak tidak dilengkapi dengan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan/atau dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Direktur Jenderal Pajak menyampaikan surat permintaan kelengkapan kepada Wajib Pajak paling lama 15 (lima belas) hari kerja sejak diterimanya permohonan.
(8) Permintaan kelengkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) wajib dipenuhi oleh Wajib Pajak yang bersangkutan dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari kerja sejak diterimanya surat permintaan kelengkapan.
(9) Dalam hal Wajib Pajak tidak memenuhi permintaan kelengkapan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (8), Direktur Jenderal Pajak menyampaikan surat pemberitahuan yang menyatakan bahwa permohonan Wajib Pajak tidak dipertimbangkan dan tidak diterbitkan surat keputusan.
(10) Atas Permohonan Wajib Pajak yang tidak dipertimbangkan sebagaimana dimaksud pada ayat (9), Wajib Pajak dapat menyampaikan permohonan kembali secara lengkap sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) dengan memperhatikan jangka waktu penyampaian permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 393 ayat (1) huruf a.
 
                                        

Pasal 395


(1) Terhadap permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 394, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan keputusan persetujuan atau penolakan permohonan, paling lambat 1 (satu) bulan terhitung sejak diterimanya permohonan Wajib Pajak secara lengkap.
(2) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Direktur Jenderal Pajak belum menerbitkan keputusan, terhadap permohonan Wajib Pajak dianggap disetujui.
(3) Terhadap permohonan yang dianggap disetujui sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak jangka waktu 1 (satu) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terlampaui, harus menerbitkan keputusan persetujuan penggunaan nilai buku dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, atau pengambilalihan usaha.

                        

Pasal 396


(1) Wajib Pajak yang telah melakukan pemindahtanganan harta dengan tujuan peningkatan efisiensi perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 393 ayat (2) huruf e, harus mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak paling lama dalam jangka waktu 1 (satu) bulan setelah terjadinya pemindahtanganan harta.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilengkapi dengan dokumen sebagai berikut:
a. surat pernyataan yang mengemukakan bahwa harta tersebut layak dipindahtangankan demi meningkatkan efisiensi perusahaan; dan
b. rincian harta yang dipindahtangankan, dilengkapi data dengan informasi yang paling sedikit memuat:
1. nama harta;
2. tanggal perolehan harta;
3. nilai perolehan harta;
4. nilai buku harta saat penggabungan, peleburan, pemekaran, atau pengambilalihan usaha;
5. nilai buku, nilai jual, dan nilai pasar harta saat harta dipindahtangankan; dan
6. nama dan Nomor Pokok Wajib Pajak yang akan menerima pemindahtanganan harta.
(3) Surat Pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a harus dilengkapi dengan dokumen pendukung.
(4) Dalam hal permohonan Wajib Pajak tidak dilengkapi dengan dokumen dan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), Direktur Jenderal Pajak menyampaikan surat permintaan kelengkapan kepada Wajib Pajak paling lama 15 (lima belas) hari kerja sejak diterimanya permohonan.
(5) Permintaan kelengkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib dipenuhi oleh Wajib Pajak yang bersangkutan dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja sejak diterimanya surat permintaan kelengkapan.
(6) Dalam hal Wajib Pajak tidak menyampaikan kelengkapan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Direktur Jenderal Pajak menyampaikan surat pemberitahuan yang menyatakan bahwa permohonan Wajib Pajak tidak dipertimbangkan dan tidak diterbitkan surat keputusan.
(7) Atas permohonan Wajib Pajak yang tidak dipertimbangkan sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Wajib Pajak dapat menyampaikan permohonan kembali secara lengkap sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3).

                                        

Pasal 397


(1) Direktur Jenderal Pajak menerbitkan keputusan persetujuan atau penolakan atas permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 396 ayat (1), paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya permohonan secara lengkap.
(2) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Direktur Jenderal Pajak belum menerbitkan keputusan, terhadap permohonan Wajib Pajak dianggap disetujui.
(3) Terhadap permohonan yang dianggap disetujui sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak jangka waktu 1 (satu) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terlampaui, Direktur Jenderal Pajak harus menerbitkan keputusan persetujuan permohonan Wajib Pajak untuk melakukan pemindahtanganan dengan tujuan peningkatan efisiensi perusahaan.

                                  

Pasal 398


(1) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 392 ayat (6) huruf a dan huruf b yang bermaksud menjual sahamnya di bursa efek, dalam jangka waktu paling lambat 2 (dua) tahun terhitung sejak memperoleh persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak untuk melakukan pemekaran usaha dengan menggunakan nilai buku, harus telah mengajukan pernyataan pendaftaran kepada Otoritas Jasa Keuangan untuk penawaran umum perdana saham dan pernyataan pendaftaran tersebut telah menjadi efektif.
(2) Dalam hal terdapat keadaan di luar kekuasaan Wajib Pajak yang menyebabkan tidak dapat dipenuhinya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan perpanjangan jangka waktu tersebut kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Portal Wajib Pajak.
(3) Permohonan perpanjangan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus diajukan paling lama 1 (satu) bulan sebelum jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir.
(4) Perpanjangan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir.
(5) Permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilengkapi dengan dokumen sebagai berikut:
a. surat penjelasan penundaan penawaran umum perdana saham dengan memberikan alasan yang lengkap dan terperinci; dan
b. surat penjelasan mengenai harta yang dimiliki perusahaan hasil pemekaran usaha sejak tanggal efektif dilakukannya pemekaran usaha sampai dengan bulan terakhir sebelum pengajuan permohonan perpanjangan jangka waktu dari Wajib Pajak.
(6) Surat penjelasan penundaan penawaran umum perdana saham sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ayat a harus dilengkapi dengan dokumen pendukung.
(7) Dalam hal permohonan Wajib Pajak tidak dilengkapi dengan dokumen dan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6), Direktur Jenderal Pajak menyampaikan surat permintaan kelengkapan paling lama 15 (lima belas) hari kerja sejak diterimanya permohonan.
(8) Permintaan kelengkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) wajib dipenuhi oleh Wajib Pajak yang bersangkutan dengan jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja sejak diterimanya surat permintaan kelengkapan dari Direktur Jenderal Pajak.
(9) Dalam hal Wajib Pajak tidak menyampaikan kelengkapan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (8) Direktur Jenderal Pajak menyampaikan surat pemberitahuan yang menyatakan bahwa permohonan Wajib Pajak tidak dipertimbangkan dan tidak diterbitkan surat keputusan.
(10) Atas permohonan Wajib Pajak yang tidak dipertimbangkan sebagaimana dimaksud pada ayat (9), Wajib Pajak dapat menyampaikan permohonan kembali secara lengkap sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) dengan memperhatikan jangka waktu penyampaian permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).

                           

Pasal 399


(1) Direktur Jenderal Pajak menerbitkan keputusan persetujuan atau penolakan atas permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 398 ayat (3), paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya permohonan secara lengkap.
(2) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Direktur Jenderal Pajak belum menerbitkan keputusan, terhadap permohonan Wajib Pajak dianggap disetujui.
(3) Terhadap permohonan yang dianggap disetujui sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak jangka waktu 1 (satu) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terlampaui, Direktur Jenderal Pajak harus menerbitkan keputusan persetujuan.
                              

Pasal 400


(1) Wajib Pajak bentuk usaha tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 392 ayat (8) dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal efektif pengalihan harta harus membubarkan kegiatan usaha dengan memperoleh surat keputusan pencabutan izin usaha bank yang dikeluarkan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Dalam hal terdapat keadaan di luar kekuasaan Wajib Pajak, jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang dengan tambahan waktu paling lama 1 (satu) tahun, setelah mendapat persetujuan Direktur Jenderal Pajak.
(3) Wajib Pajak yang melakukan perpanjangan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), harus:
a. telah mengajukan permohonan persiapan pencabutan izin usaha kepada Otoritas Jasa Keuangan sebelum jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir; dan
b. mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Portal Wajib Pajak paling lama 1 (satu) bulan sebelum jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir.
(4) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b harus dilengkapi dengan dokumen berupa:
a. bukti telah menyampaikan permohonan persiapan pencabutan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a; dan
b. surat penjelasan belum dilakukannya pembubaran kegiatan usaha dengan memberikan alasan yang lengkap dan terperinci serta dokumen pendukungnya mengenai adanya keadaan di luar kekuasaan Wajib Pajak yang menyebabkan tidak dapat membubarkan usaha dalam jangka waktu 2 (dua) tahun.
(5) Dalam hal permohonan Wajib Pajak tidak dilengkapi dengan dokumen dan/atau dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Direktur Jenderal Pajak menyampaikan surat permintaan kelengkapan paling lama 15 (lima belas) hari kerja sejak diterimanya permohonan.
(6) Permintaan kelengkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) wajib dipenuhi oleh Wajib Pajak yang bersangkutan dengan jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja sejak diterimanya surat permintaan kelengkapan dari Direktur Jenderal Pajak.
(7) Dalam hal Wajib Pajak tidak menyampaikan kelengkapan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Direktur Jenderal Pajak menyampaikan surat pemberitahuan yang menyatakan bahwa permohonan Wajib Pajak tidak dipertimbangkan dan tidak diterbitkan surat keputusan.
(8) Atas permohonan Wajib Pajak yang tidak dipertimbangkan sebagaimana dimaksud pada ayat (7), Wajib Pajak dapat menyampaikan permohonan kembali secara lengkap sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dengan memperhatikan jangka waktu penyampaian permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b.

                                        

Pasal 401


(1) Direktur Jenderal Pajak menerbitkan keputusan persetujuan atau penolakan atas permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 400 ayat (3) huruf b, paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya permohonan secara lengkap.
(2) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Direktur Jenderal Pajak belum menerbitkan keputusan, terhadap permohonan Wajib Pajak dianggap disetujui.
(3) Terhadap permohonan yang dianggap disetujui sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak jangka waktu 1 (satu) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terlampaui, Direktur Jenderal Pajak harus menerbitkan keputusan persetujuan.

                              

Pasal 402


(1) Wajib Pajak yang menerima harta dengan menggunakan nilai buku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 392 ayat (2), tidak boleh mengompensasikan kerugian/sisa kerugian dari Wajib Pajak Badan, bentuk usaha tetap, atau badan hukum yang didirikan atau bertempat kedudukan di luar negeri yang mengalihkan harta dalam rangka penggabungan, peleburan, atau pengambilalihan usaha.
(2) Wajib Pajak dalam negeri yang menerima harta dalam rangka penggabungan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 392 ayat (3) huruf b atau peleburan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 392 ayat (4) huruf b, tidak dapat membebankan pajak dan/atau pungutan lain yang terutang di luar negeri dari badan hukum yang didirikan atau bertempat kedudukan di luar negeri yang mengalihkan harta.

                                 

Pasal 403


(1) Wajib Pajak yang menerima pengalihan harta dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, atau pengambilalihan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 392 ayat (2) mencatat nilai perolehan harta tersebut sesuai nilai buku sebagaimana tercantum dalam Pembukuan pihak yang mengalihkan.
(2) Nilai buku sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a. nilai perolehan dikurangi akumulasi penyusutan atau akumulasi amortisasi, untuk harta yang dilakukan penyusutan atau amortisasi; atau
b. nilai perolehan untuk harta yang tidak dilakukan penyusutan atau amortisasi.
(3) Penyusutan atau amortisasi atas harta yang diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan berdasarkan masa manfaat yang tersisa sebagaimana tercantum dalam Pembukuan pihak yang mengalihkan harta.
(4) Dalam hal terdapat utang piutang antara Wajib Pajak yang melakukan pengalihan harta dan Wajib Pajak yang menerima pengalihan harta dalam rangka penggabungan, peleburan, atau pengambilalihan usaha, pencatatannya dilakukan dengan cara saling hapus (offset) serta tidak diakui adanya pendapatan atas penghapusan utang dan biaya atas penghapusan piutang.

                              

Pasal 404


(1) Dalam hal penggabungan, peleburan, atau pengambilalihan usaha dilakukan dalam Tahun Pajak berjalan, jumlah angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 Wajib Pajak yang menerima harta setelah penggabungan, peleburan, atau pengambilalihan usaha tidak lebih kecil dari penjumlahan angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 dari seluruh Wajib Pajak yang terkait sebelum penggabungan, peleburan, atau pengambilalihan usaha.
(2) Dalam hal pemekaran usaha dilakukan dalam Tahun Pajak berjalan, jumlah angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 dari seluruh Wajib Pajak setelah pemekaran usaha tidak lebih kecil dari angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 dari Wajib Pajak yang terkait sebelum pemekaran usaha.
(3) Ketentuan jumlah angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berlaku sampai dengan kewajiban pelaporan Surat Pemberitahuan Tahunan disampaikan untuk Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak dilakukannya penggabungan, peleburan, pemekaran, atau pengambilalihan usaha.
(4) Dalam hal Wajib Pajak setelah melakukan penggabungan, peleburan, pemekaran, atau pengambilalihan usaha mengalami peningkatan usaha sehingga angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 seharusnya meningkat, besarnya angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dihitung kembali sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
(5) Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) merupakan angsuran Pajak Penghasilan sebagaimana diatur dalam Pasal 25 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
(6) Pelunasan Pajak Penghasilan Tahun Pajak berjalan melalui pembayaran, pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan sebelum dilakukannya penggabungan, peleburan, pemekaran, atau pengambilalihan usaha dari Wajib Pajak Badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap yang mengalihkan harta, dapat dipindahbukukan menjadi pelunasan Pajak Penghasilan tahun berjalan dari Wajib Pajak yang menerima pengalihan.

                                        

Pasal 405


(1) Dalam hal setelah mendapatkan persetujuan Direktur Jenderal Pajak untuk menggunakan nilai buku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 393 ayat (1), diketahui bahwa Wajib Pajak:
a. tidak memenuhi ketentuan persyaratan tujuan bisnis (business purpose test) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 393 ayat (1) huruf b;
b. melakukan pemindahtanganan harta, tetapi tidak mengajukan permohonan pemindahtanganan harta dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 396 ayat (1);
c. memperoleh penolakan pemindahtanganan harta dari Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 397 ayat (1) dan harta tersebut telah dipindahtangankan;
d. tidak mengajukan pernyataan pendaftaran kepada Otoritas Jasa Keuangan dalam rangka penawaran umum perdana (Initial Public Offering) atau pernyataan pendaftaran tersebut belum menjadi efektif dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 398 ayat (1) atau ayat (2);
e. memperoleh penolakan perpanjangan jangka waktu penawaran umum perdana (Initial Public Offering) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 399 ayat (1);
f. tidak membubarkan bentuk usaha tetap dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 400 ayat (1) atau ayat (2); dan/atau
g. memperoleh penolakan perpanjangan jangka waktu pembubaran bentuk usaha tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 401 ayat (1),
nilai pengalihan harta dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, atau pengambilalihan usaha berdasarkan nilai buku dihitung kembali berdasarkan nilai pasar pada saat pengalihan harta pada tanggal efektif penggabungan, peleburan, pemekaran, atau pengambilalihan usaha.
(2) Terhadap Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktorat Jenderal Pajak:
a. menerbitkan surat keputusan pencabutan atas surat keputusan persetujuan penggunaan nilai buku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 395; dan
b. menghitung kembali nilai pengalihan harta berdasarkan nilai pasar untuk menetapkan Pajak Penghasilan yang terutang.
(3) Pajak Penghasilan yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b ditanggung oleh:
a. Wajib Pajak yang menerima harta, dalam hal pengalihan harta dilakukan dalam rangka penggabungan, peleburan, atau pengambilalihan usaha; atau
b. Wajib Pajak yang mengalihkan harta, dalam hal pengalihan harta dilakukan dalam rangka pemekaran usaha.

                          

Pasal 406


(1) Terhadap hak dan kewajiban perpajakan dari Wajib Pajak yang mengalihkan harta dalam rangka penggabungan, peleburan, atau pengambilalihan usaha untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, dan/atau Tahun Pajak sebelum dilakukannya:
a. penggabungan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 392 ayat (3);
b. peleburan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 392 ayat (4); atau
c. pembubaran bentuk usaha tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 400 ayat (1) atau (2),
beralih kepada Wajib Pajak yang menerima pengalihan harta dalam rangka penggabungan, peleburan, atau pengambilalihan usaha.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 393 ayat (1) huruf a, Pasal 396 ayat (1), Pasal 398 ayat (2), dan Pasal 400 ayat (3) huruf b disampaikan sesuai dengan ketentuan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.

                              

Bagian Kedua
Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-daerah Tertentu
 
Pasal 407


Kepada Wajib Pajak Badan dalam negeri yang melakukan Penanaman Modal pada Kegiatan Usaha Utama, baik Penanaman Modal baru maupun perluasan dari usaha yang telah ada, di:
a. Bidang-bidang Usaha Tertentu sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2019 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-daerah Tertentu; dan/atau
b. Bidang-bidang Usaha Tertentu dan di Daerah-daerah Tertentu sebagaimana tercantum dalam Lampiran II Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2019 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-daerah Tertentu,
dan memenuhi kriteria dan persyaratan tertentu, dapat diberikan fasilitas Pajak Penghasilan.
                                        

Pasal 408


(1) Fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 407 berupa:
a. pengurangan penghasilan neto sebesar 30% (tiga puluh persen) dari jumlah nilai Penanaman Modal berupa aktiva tetap berwujud termasuk tanah, yang digunakan untuk Kegiatan Usaha Utama, dibebankan selama 6 (enam) tahun masing-masing sebesar 5% (lima persen) per tahun;
b. penyusutan yang dipercepat atas aktiva tetap berwujud dan amortisasi yang dipercepat atas aktiva tak berwujud yang diperoleh dalam rangka Penanaman Modal, dengan masa manfaat dan tarif penyusutan serta tarif amortisasi ditetapkan sebagai berikut:
1. untuk penyusutan yang dipercepat atas aktiva tetap berwujud:
a) bukan bangunan Kelompok I, masa manfaat menjadi 2 (dua) tahun, dengan tarif penyusutan berdasarkan metode garis lurus sebesar 50% (lima puluh persen) atau tarif penyusutan berdasarkan metode saldo menurun sebesar 100% (seratus persen) yang dibebankan sekaligus;
b) bukan bangunan Kelompok II, masa manfaat menjadi 4 (empat) tahun, dengan tarif penyusutan berdasarkan metode garis lurus sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau tarif penyusutan berdasarkan metode saldo menurun sebesar 50% (lima puluh persen);
c) bukan bangunan Kelompok III, masa manfaat menjadi 8 (delapan) tahun, dengan tarif penyusutan berdasarkan metode garis lurus sebesar 12,5% (dua belas koma lima persen) atau tarif penyusutan berdasarkan metode saldo menurun sebesar 25% (dua puluh lima persen);
d) bukan bangunan Kelompok IV, masa manfaat menjadi 10 (sepuluh) tahun, dengan tarif penyusutan berdasarkan metode garis lurus sebesar 10% (sepuluh persen) atau tarif penyusutan berdasarkan metode saldo menurun sebesar 20% (dua puluh persen);
e) bangunan permanen, masa manfaat menjadi 10 (sepuluh) tahun, dengan tarif penyusutan berdasarkan metode garis lurus sebesar 10% (sepuluh persen); dan
f) bangunan tidak permanen, masa manfaat menjadi 5 (lima) tahun, dengan tarif penyusutan berdasarkan metode garis lurus sebesar 20% (dua puluh persen).
2. untuk amortisasi yang dipercepat atas aktiva tak berwujud:
a) Kelompok I, masa manfaat menjadi 2 (dua) tahun, dengan tarif amortisasi berdasarkan metode garis lurus sebesar 50% (lima puluh persen) atau tarif amortisasi berdasarkan metode saldo menurun sebesar 100% (seratus persen) yang dibebankan sekaligus;
b) Kelompok II, masa manfaat menjadi 4 (empat) tahun, dengan tarif amortisasi berdasarkan metode garis lurus sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau tarif amortisasi berdasarkan metode saldo menurun sebesar 50% (lima puluh persen);
c) Kelompok III, masa manfaat menjadi 8 (delapan) tahun, dengan tarif amortisasi berdasarkan metode garis lurus sebesar 12,5% (dua belas koma lima persen) atau tarif amortisasi berdasarkan metode saldo menurun sebesar 25% (dua puluh lima persen); dan
d) Kelompok IV, masa manfaat menjadi 10 (sepuluh) tahun, dengan tarif amortisasi berdasarkan metode garis lurus sebesar 10% (sepuluh persen) atau tarif amortisasi berdasarkan metode saldo menurun sebesar 20% (dua puluh persen).
c. pengenaan Pajak Penghasilan atas Dividen yang dibayarkan kepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia sebesar 10% (sepuluh persen), atau tarif yang lebih rendah menurut perjanjian penghindaran pajak berganda yang berlaku; dan
d. kompensasi kerugian yang lebih lama dari 5 (lima) tahun tetapi tidak lebih dari 10 (sepuluh) tahun, dengan ketentuan sebagai berikut:
1. tambahan 1 (satu) tahun untuk Penanaman Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 407 yang dilakukan Wajib Pajak;
2. tambahan 1 (satu) tahun apabila Penanaman Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 407 dilakukan di kawasan industri dan/atau kawasan berikat;
3. tambahan 1 (satu) tahun apabila Penanaman Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 407 dilakukan pada bidang energi baru dan terbarukan;
4. tambahan 1 (satu) tahun apabila mengeluarkan biaya untuk infrastruktur ekonomi dan/atau sosial di lokasi usaha paling sedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah);
5. tambahan 1 (satu) tahun apabila menggunakan bahan baku dan/atau komponen hasil produksi dalam negeri paling sedikit 70% (tujuh puluh persen) paling lambat Tahun Pajak ke-2 (kedua);
6. tambahan 1 (satu) tahun atau 2 (dua) tahun:
a) tambahan 1 (satu) tahun apabila menambah paling sedikit 300 (tiga ratus) orang tenaga kerja Indonesia dan mempertahankan jumlah tersebut selama 4 (empat) tahun berturut-turut; atau
b) tambahan 2 (dua) tahun apabila menambah paling sedikit 600 (enam ratus) orang tenaga kerja Indonesia dan mempertahankan jumlah tersebut selama 4 (empat) tahun berturut-turut;
7. tambahan 2 (dua) tahun apabila mengeluarkan biaya penelitian dan pengembangan di dalam negeri dalam rangka pengembangan produk atau efisiensi produksi paling sedikit 5% (lima persen) dari jumlah Penanaman Modal dalam jangka waktu 5 (lima) tahun; dan/atau
8. tambahan 2 (dua) tahun apabila melakukan ekspor paling sedikit 30% (tiga puluh persen) dari nilai total penjualan dalam suatu Tahun Pajak, untuk Penanaman Modal pada bidang usaha yang diatur dalam Pasal 407 huruf a yang dilakukan di luar kawasan berikat.
(2) Fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diberikan kepada aktiva tetap berwujud, dan/atau aktiva tak berwujud yang dimiliki dan digunakan untuk Kegiatan Usaha Utama.
(3) Dalam hal Wajib Pajak memenuhi sebagian atau seluruh persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, Wajib Pajak dimaksud dapat memperoleh tambahan jangka waktu kompensasi kerugian paling lama untuk jangka waktu 5 (lima) tahun.

                                        

Pasal 409


(1) Fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 408 ayat (1) huruf a diberikan atas aktiva tetap berwujud termasuk tanah, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. diperoleh Wajib Pajak dalam keadaan baru, kecuali merupakan relokasi secara keseluruhan sebagai satu paket Penanaman Modal dari negara lain;
b. tercantum dalam izin prinsip, izin investasi, pendaftaran Penanaman Modal, yang telah diterbitkan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal/Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi/Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kabupaten/Kota atau Perizinan Berusaha yang diterbitkan oleh Lembaga Online Single Submission yang menjadi dasar pemberian fasilitas Pajak Penghasilan; dan
c. dimiliki dan digunakan untuk Kegiatan Usaha Utama.
(2) Selain memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk aktiva tetap berwujud selain tanah, aktiva tetap berwujud harus diperoleh setelah diterbitkan izin prinsip, izin investasi, pendaftaran Penanaman Modal, atau Perizinan Berusaha yang diterbitkan oleh Lembaga Online Single Submission.
(3) Aktiva tetap berwujud yang digunakan untuk Kegiatan Usaha Utama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c juga meliputi aktiva tetap berwujud penunjang utama yang terkait langsung dengan Kegiatan Usaha Utama dimaksud.
(4) Tidak termasuk aktiva yang dapat diberikan fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu aktiva tetap berwujud yang diperoleh melalui sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating lease) atau sewa guna usaha dengan hak opsi (financial lease) sebelum hak opsi atas aktiva tersebut dilakukan.


Pasal 410


Nilai aktiva tetap berwujud yang menjadi dasar penghitungan fasilitas pengurangan penghasilan neto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 408 ayat (1) huruf a ditetapkan oleh Menteri.

                     

Pasal 411


(1) Penentuan kesesuaian pemenuhan:
a. Bidang-bidang Usaha Tertentu sesuai dengan Lampiran I atau Bidang-bidang Usaha Tertentu dan di Daerah-daerah Tertentu sesuai dengan Lampiran II Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2019 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-daerah Tertentu; dan
b. kriteria dan persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2019 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-daerah Tertentu,
dilakukan melalui Sistem Online Single Submission.
(2) Dalam hal Penanaman Modal Wajib Pajak:
a. memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Sistem Online Single Submission menyampaikan pemberitahuan kepada Wajib Pajak bahwa Penanaman Modal memenuhi ketentuan untuk memperoleh fasilitas Pajak Penghasilan; atau
b. tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Sistem Online Single Submission menyampaikan pemberitahuan kepada Wajib Pajak bahwa Penanaman Modal tidak memperoleh fasilitas Pajak Penghasilan.
(3) Wajib Pajak yang telah memperoleh pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dianggap telah mengajukan permohonan secara daring melalui Sistem Online Single Submission fasilitas Pajak Penghasilan apabila:
a. para pemegang saham memenuhi persyaratan untuk diberikan Surat Keterangan Fiskal sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai tata cara pemberian Surat Keterangan Fiskal; dan
b. telah menyampaikan persyaratan kelengkapan berupa salinan digital rincian aktiva tetap dalam rencana nilai Penanaman Modal.
(4) Pengajuan permohonan fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib dilakukan sebelum Saat Mulai Berproduksi Komersial.
(5) Permohonan fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan:
a. bersamaan dengan pendaftaran untuk mendapatkan nomor induk berusaha bagi Wajib Pajak baru; atau
b. paling lama 1 (satu) tahun setelah penerbitan izin usaha yang diterbitkan oleh Lembaga Online Single Submission untuk Penanaman Modal dan/atau perluasan.
(6) Permohonan fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang telah diterima secara lengkap, disampaikan oleh Sistem Online Single Submission kepada Menteri sebagai usulan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan, dan Sistem Online Single Submission mengirimkan pemberitahuan kepada Wajib Pajak bahwa permohonan fasilitas Pajak Penghasilan sedang dalam proses.

             

Pasal 412

(1) Keputusan atas pemberian fasilitas Pajak Penghasilan ditetapkan oleh Menteri.
(2) Penetapan keputusan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah mendapat usulan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 411 ayat (6).

                                        

Pasal 413


(1) Pemberian fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 412 dilaksanakan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang investasi/koordinasi penanaman modal untuk dan atas nama Menteri.
(2) Keputusan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 412 ayat (2) yang dilaksanakan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang investasi/koordinasi penanaman modal diterbitkan paling lama 5 (lima) hari kerja setelah usulan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 411 ayat (6) diterima secara lengkap dan benar.
(3) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit memuat rincian informasi Penanaman Modal yang memperoleh fasilitas Pajak Penghasilan sebagai berikut:
a. nama, Nomor Pokok Wajib Pajak, dan alamat Wajib Pajak;
b. rincian jenis fasilitas Pajak Penghasilan;
c. nomor induk berusaha, izin prinsip, izin investasi, pendaftaran: Penanaman Modal, atau izin usaha, dan lokasi usaha atau proyek yang diajukan fasilitas;
d. saat mulai berlakunya fasilitas Pajak Penghasilan;
e. kewajiban bagi Wajib Pajak yang memperoleh fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 420;
f. larangan bagi Wajib Pajak yang memperoleh fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 421; dan
g. bidang usaha, Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia, cakupan produk, dan nilai rencana Penanaman Modal.
(4) Pelaksanaan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang investasi/koordinasi penanaman modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan kepada Menteri per triwulan.

                  

Pasal 414


(1) Fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 408 ayat (1) huruf a dapat dimanfaatkan sejak Tahun Pajak Saat Mulai Berproduksi Komersial.
(2) Fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 408 ayat (1) huruf b dan huruf c dapat dimanfaatkan sejak bulan ditetapkannya keputusan persetujuan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 412.
(3) Fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 408 ayat (1) huruf d:
a. angka 1 dan angka 2 mulai berlaku sejak bulan diterbitkannya keputusan persetujuan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 412 dan diberikan atas kerugian pada Tahun Pajak pertama, Tahun Pajak kedua, dan/atau Tahun Pajak ketiga sejak Saat Mulai Berproduksi Komersial; dan
b. angka 3, angka 4, angka 5, angka 6, angka 7, dan angka 8 mulai berlaku sejak ditetapkannya keputusan penambahan jangka waktu fasilitas kompensasi kerugian oleh Direktur Jenderal Pajak berdasarkan hasil Pemeriksaan untuk tujuan lain dan diberikan atas kerugian sampai dengan jangka waktu pemanfaatan fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 408 ayat (1) huruf a berakhir.

          

Pasal 415


(1) Pemanfaatan fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 408 ayat (1) huruf a ditetapkan berdasarkan hasil Pemeriksaan untuk tujuan lain yang dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak.
(2) Permohonan pemanfaatan fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Wajib Pajak secara daring melalui Sistem Online Single Submission dengan:
a. menyampaikan persyaratan kelengkapan berupa realisasi aktiva tetap beserta gambar tata letak;
b. memenuhi persyaratan untuk diberikan Surat Keterangan Fiskal sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai tata cara pemberian Surat Keterangan Fiskal; dan
c. menyampaikan persyaratan kelengkapan berupa dokumen yang berkaitan dengan:
1. transaksi penjualan hasil produksi ke pasaran pertama kali antara lain berupa Faktur Pajak atau bukti tagihan; atau
2. pertama kali hasil produksi digunakan sendiri untuk proses produksi lebih lanjut antara lain berupa laporan pemakaian sendiri.
(3) Pemeriksaan untuk tujuan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah Direktur Jenderal Pajak menerima permohonan pemanfaatan fasilitas Pajak Penghasilan melalui Sistem Online Single Submission sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Pemeriksaan untuk tujuan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam jangka waktu paling lama 45 (empat puluh lima) hari kerja sejak surat pemberitahuan Pemeriksaan disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa, atau pegawai dari Wajib Pajak.
(5) Pemeriksaan untuk tujuan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan:
a. penentuan mengenai Saat Mulai Berproduksi Komersial;
b. pengujian kesesuaian kriteria dan persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2019 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-daerah Tertentu;
c. penghitungan jumlah nilai aktiva tetap berwujud sebagaimana dimaksud dalam Pasal 408 ayat (1) huruf a; dan
d. pengujian atas pemenuhan ketentuan mengenai saat pengajuan permohonan fasilitas Pajak Penghasilan Badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 411 ayat (4).
(6) Dalam rangka Pemeriksaan untuk tujuan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b, Direktur Jenderal Pajak dapat meminta data, informasi, keterangan, atau bukti dari kementerian/lembaga pembina sektor.
(7) Jumlah nilai aktiva tetap berwujud yang ditetapkan berdasarkan hasil Pemeriksaan untuk tujuan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (5) menjadi dasar penghitungan fasilitas pengurangan penghasilan neto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 408 ayat (1) huruf a.
(8) Berdasarkan hasil Pemeriksaan untuk tujuan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Menteri menetapkan keputusan pemanfaatan fasilitas Pajak Penghasilan.
(9) Keputusan pemanfaatan fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dan penetapan nilai aktiva tetap berwujud yang menjadi dasar penghitungan pengurangan penghasilan neto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 410 dilimpahkan kewenangannya kepada Direktur Jenderal Pajak untuk dan atas nama Menteri.

                                        

Pasal 416


(1) Pemanfaatan fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 408 ayat (1) huruf b, dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Kelompok aktiva tetap berwujud sebagaimana dimaksud dalam Pasal 408 ayat (1) huruf b angka 1 dan kelompok aktiva tak berwujud sebagaimana dimaksud dalam Pasal 408 ayat (1) huruf b angka 2 dilakukan sesuai dengan ketentuan mengenai penyusutan dan amortisasi sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Penghasilan;
b. Dasar penyusutan dan amortisasi dipercepat:
1. Bagi Wajib Pajak yang menggunakan metode penyusutan dan amortisasi garis lurus adalah:
a) harga perolehan, untuk aktiva tetap berwujud dan/atau aktiva tak berwujud yang diperoleh setelah keputusan persetujuan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 412 diterbitkan; atau
b) nilai sisa buku, untuk aktiva tetap berwujud dan/atau aktiva tak berwujud yang diperoleh sebelum keputusan persetujuan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 412 diterbitkan;
2. Bagi Wajib Pajak yang menggunakan metode penyusutan dan amortisasi saldo menurun adalah nilai sisa buku aktiva tetap berwujud.
c. Tarif penyusutan yang dipercepat atas aktiva tetap berwujud adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 408 ayat (1) huruf b angka 1 dan tarif amortisasi yang dipercepat adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 408 ayat (1) huruf b angka 2;
d. Masa manfaat dipercepat aktiva adalah setengah dari sisa masa manfaat aktiva sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Penghasilan dengan ketentuan bagian bulan dihitung sebagai 1 (satu) bulan penuh.
(2) Penghitungan penyusutan atas aktiva tetap berwujud dan amortisasi atas aktiva tak berwujud untuk bulan sebelum berlakunya keputusan persetujuan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan, dilakukan sesuai dengan ketentuan mengenai penyusutan dan amortisasi sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Penghasilan.

                                   

Pasal 417


(1) Fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 408 ayat (1) huruf c dapat dimanfaatkan sejak berlakunya keputusan persetujuan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan dan berakhir pada saat Wajib Pajak tidak lagi memenuhi ketentuan bidang usaha, klasifikasi baku lapangan usaha Indonesia (KBLI), cakupan produk, kriteria, atau persyaratan dalam lampiran keputusan persetujuan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan.
(2) Dalam hal Wajib Pajak selain menghasilkan produk yang diberikan fasilitas juga menghasilkan produk yang tidak diberikan fasilitas, besaran Dividen yang mendapat fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 408 ayat (1) huruf c adalah sebesar persentase total nilai penjualan produk yang mendapat fasilitas terhadap total nilai penjualan seluruh produk pada Tahun Pajak sebelum Dividen dibagikan.
(3) Kepada Wajib Pajak yang melakukan perluasan usaha, besarnya Dividen yang mendapat fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 408 ayat (1) huruf c sebanding dengan persentase nilai buku fiskal aktiva yang mendapat fasilitas Pajak Penghasilan terhadap total nilai buku fiskal aktiva yang diperoleh sebelum perluasan usaha ditambah dengan nilai realisasi aktiva perluasan usaha pada waktu selesainya perluasan usaha.


Pasal 418


(1) Pemanfaatan fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 408 ayat (1) huruf d, diberikan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. tambahan 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 408 ayat (1) huruf d angka 4 berlaku untuk kerugian Tahun Pajak dicapainya pengeluaran untuk infrastruktur ekonomi dan/atau sosial di lokasi usaha paling sedikit sebesar Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah);
b. tambahan 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 408 ayat (1) huruf d angka 5 dapat dimanfaatkan sepanjang Wajib Pajak menggunakan bahan baku dan/atau komponen hasil produksi dalam negeri paling sedikit 70% (tujuh puluh persen):
1. paling lambat Tahun Pajak ke-2 (kedua) setelah Saat Mulai Berproduksi Komersial; dan
2. berlaku untuk Tahun Pajak diajukannya permohonan penetapan penambahan jangka waktu kompensasi kerugian;
c. tambahan 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 408 ayat (1) huruf d angka 6 butir a) berlaku untuk kerugian pada Tahun Pajak saat Wajib Pajak mencapai tambahan tenaga kerja Indonesia paling sedikit 300 (tiga ratus) orang dan dapat dimanfaatkan dalam hal Wajib Pajak mempertahankan jumlah tersebut selama 4 (empat) Tahun Pajak berturut-turut;
d. tambahan 2 (dua) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 408 ayat (1) huruf d angka 6 butir b) berlaku untuk kerugian pada Tahun Pajak saat Wajib Pajak mencapai tambahan tenaga kerja Indonesia paling sedikit 600 (enam ratus) orang dan dapat dimanfaatkan dalam hal Wajib Pajak mempertahankan jumlah tersebut selama 4 (empat) Tahun Pajak berturut-turut;
e. tambahan 2 (dua) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 408 ayat (1) huruf d angka 7 berlaku untuk kerugian Tahun Pajak saat dicapainya pengeluaran biaya penelitian dan pengembangan di dalam negeri dalam rangka pengembangan produk atau efisiensi produksi paling sedikit 5% (lima persen) dari jumlah realisasi Penanaman Modal, yang dipenuhi paling lambat dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak Saat Mulai Berproduksi Komersial; dan/atau
f. tambahan 2 (dua) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 408 ayat (1) huruf d angka 8 berlaku untuk Tahun Pajak dilakukannya ekspor paling sedikit 30% (tiga puluh persen) dari nilai total penjualan.
(2) Wajib Pajak yang melakukan Pembukuan secara terpisah atas Penanaman Modal yang mendapatkan fasilitas dan yang tidak mendapatkan fasilitas, penghitungan besarnya kerugian yang mendapat fasilitas tambahan jangka waktu kompensasi kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 408 ayat (1) huruf d sesuai dengan penghitungan berdasarkan Pembukuan secara terpisah atas Penanaman Modal yang mendapatkan fasilitas dan yang tidak mendapatkan fasilitas.
(3) Dalam hal Wajib Pajak tidak melakukan Pembukuan secara terpisah atas Penanaman Modal yang mendapatkan fasilitas dan tidak mendapatkan fasilitas, besarnya kerugian yang mendapat fasilitas tambahan jangka waktu kompensasi kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 408 ayat (1) huruf d dihitung dengan rumus.


Pasal 419


(1) Untuk memanfaatkan fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 408 ayat (1) huruf d angka 3, angka 4, angka 5, angka 6, angka 7 dan angka 8, Wajib Pajak harus mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak secara daring melalui Sistem Online Single Submission.
(2) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak menerbitkan keputusan penambahan jangka waktu fasilitas kompensasi kerugian setelah melakukan Pemeriksaan untuk tujuan lain.
(3) Jangka waktu Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 45 (empat puluh lima) hari kerja sejak saat surat pemberitahuan Pemeriksaan pajak disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa, atau pegawai dari Wajib Pajak.

                           

Pasal 420


(1) Wajib Pajak yang telah memperoleh keputusan persetujuan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan wajib menyampaikan laporan mengenai hal-hal sebagai berikut:
a. jumlah realisasi Penanaman Modal; dan
b. jumlah realisasi produksi.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh Wajib Pajak kepada Direktur Jenderal Pajak secara daring melalui Sistem Online Single Submission setiap tahun paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah berakhirnya Tahun Pajak yang bersangkutan dalam periode:
a. sejak diterbitkannya keputusan persetujuan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan sampai dengan diterbitkannya keputusan Saat Mulai Berproduksi Komersial untuk laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a; dan
b. sejak diterbitkannya keputusan Saat Mulai Berproduksi Komersial sampai dengan berakhirnya masa manfaat aktiva secara fiskal untuk laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b.
(3) Dalam hal Wajib Pajak tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau menyampaikan laporan namun tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), terhadap Wajib Pajak dimaksud dapat dilakukan Pemeriksaan oleh Direktorat Jenderal Pajak.

                                        

Pasal 421


(1) Terhadap aktiva tetap berwujud yang mendapatkan fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 408 ayat (1) huruf a dilarang digunakan selain untuk tujuan pemberian fasilitas atau dialihkan, kecuali diganti dengan aktiva tetap berwujud yang baru, sebelum berakhirnya jangka waktu yang lebih lama antara:
a. jangka waktu 6 (enam) tahun sejak Saat Mulai Berproduksi Komersial; atau
b. masa manfaat aktiva tetap berwujud sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 408 ayat (1) huruf b angka 1.
(2) Aktiva tak berwujud yang mendapatkan fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 408 ayat (1) huruf b angka 2 dilarang digunakan selain untuk tujuan pemberian fasilitas atau dialihkan, kecuali diganti dengan aktiva tak berwujud yang baru, sebelum berakhirnya masa manfaat aktiva tak berwujud dimaksud sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 408 ayat (1) huruf b angka 2.
(3) Dalam hal penggantian aktiva tetap berwujud sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
a. terjadi sebelum Saat Mulai Berproduksi Komersial, berlaku ketentuan:
1. nilai aktiva tetap berwujud yang dijadikan dasar penyusutan adalah nilai perolehan aktiva tetap berwujud yang baru; dan
2. metode penyusutan yang digunakan adalah sesuai dengan ketentuan mengenai penyusutan sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Penghasilan.
b. terjadi setelah Saat Mulai Berproduksi Komersial, berlaku ketentuan:
1. nilai aktiva tetap berwujud yang menjadi dasar fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 408 ayat (1) huruf a adalah nilai yang lebih rendah antara nilai aktiva tetap berwujud yang diganti dengan aktiva tetap berwujud pengganti;
2. dalam hal nilai aktiva tetap berwujud pengganti:
a) lebih rendah dari nilai aktiva tetap berwujud yang diganti, fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 408 ayat (1) huruf a dapat dimanfaatkan sampai berakhirnya jangka waktu pemanfaatan tersisa dengan nilai aktiva tetap berwujud pengganti; atau
b)  lebih tinggi dari nilai aktiva tetap berwujud yang diganti, fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 408 ayat (1) huruf a dapat dimanfaatkan sampai berakhirnya jangka waktu pemanfaatan tersisa dengan nilai aktiva tetap berwujud yang diganti.
3. nilai aktiva tetap berwujud yang dijadikan dasar penyusutan adalah nilai perolehan aktiva tetap berwujud yang baru;
4. metode penyusutan yang digunakan adalah sesuai dengan ketentuan mengenai penyusutan sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Penghasilan; dan
5. sebelum Wajib Pajak melakukan penggantian aktiva tetap berwujud sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wajib Pajak harus menyampaikan pemberitahuan tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak.
(4) Aktiva tetap berwujud pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dapat diberikan fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 408 ayat (1) huruf b.

                                   

Pasal 422


(1) Dalam hal Wajib Pajak yang telah memperoleh fasilitas Pajak Penghasilan tetapi tidak lagi memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 407, Pasal 411 ayat (4), dan/atau Pasal 421, Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa:
a. pencabutan keputusan persetujuan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan yang telah diberikan berdasarkan Peraturan Menteri ini; dan
b. dikenai pajak dan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(2) Selain dikenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wajib Pajak tidak dapat lagi diberikan fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di bidang-bidang usaha tertentu dan/atau di daerah-daerah tertentu.
(3) Pencabutan keputusan persetujuan pemberian fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a ditetapkan oleh Menteri.
(4) Menteri melimpahkan kewenangan pencabutan keputusan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dalam bentuk mandat kepada Direktur Jenderal Pajak.


Bagian Ketiga
Pemberian Fasilitas Pengurangan Penghasilan Neto atas Penanaman Modal Baru atau Perluasan Usaha pada Bidang Usaha Tertentu yang Merupakan Industri Padat Karya
 
Pasal 423


(1) Wajib Pajak yang melakukan Penanaman Modal pada industri padat karya dapat diberikan fasilitas Pajak Penghasilan berupa pengurangan penghasilan neto sampai tingkat tertentu terhadap jumlah Penanaman Modal dalam jangka waktu tertentu.
(2) Pengurangan penghasilan neto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebesar 60% (enam puluh persen) dari jumlah Penanaman Modal berupa aktiva tetap berwujud termasuk tanah, yang digunakan untuk Kegiatan Usaha Utama, dibebankan selama 6 (enam) tahun sejak Tahun Pajak Saat Mulai Berproduksi Komersial masing-masing sebesar 10% (sepuluh persen) per tahun.
(3) Industri padat karya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. merupakan Wajib Pajak Badan dalam negeri;
b. melakukan Kegiatan Usaha Utama sesuai bidang usaha dengan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia tahun 2020, memiliki cakupan produk tertentu, pada daerah tertentu, dengan persyaratan tertentu; dan
c. mempekerjakan tenaga kerja Indonesia atas Penanaman Modal yang mendapatkan fasilitas Pajak Penghasilan paling sedikit 300 (tiga ratus) orang.
(4) Jumlah tenaga kerja Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c adalah jumlah rata-rata tenaga kerja Indonesia dalam suatu Tahun Pajak.

                                        

Pasal 424


(1) Fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 423 ayat (1) diberikan atas aktiva tetap berwujud termasuk tanah, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. diperoleh Wajib Pajak dalam keadaan baru, kecuali merupakan relokasi secara keseluruhan sebagai satu paket Penanaman Modal dari negara lain;
b. tercantum dalam izin prinsip, izin investasi, pendaftaran Penanaman Modal, yang telah diterbitkan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal/Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi/Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kabupaten/Kota atau Perizinan Berusaha yang diterbitkan oleh Lembaga Online Single Submission yang menjadi dasar pemberian fasilitas Pajak Penghasilan; dan
c. dimiliki dan digunakan untuk Kegiatan Usaha Utama.
(2) Untuk aktiva tetap berwujud selain tanah, harus memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan diperoleh setelah:
a. izin prinsip;
b. izin investasi;
c. pendaftaran Penanaman Modal; dan/atau
d. Perizinan Berusaha yang diterbitkan oleh Lembaga Online Single Submission,
diterbitkan.

                     

Pasal 425


(1) Penentuan kesesuaian pemenuhan:
a. bidang usaha sesuai dengan Lampiran Peraturan Menteri ini; dan
b. persyaratan rencana mempekerjakan tenaga kerja Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 423 ayat (3) huruf c,
dilakukan secara daring melalui Sistem Online Single Submission.
(2) Dalam hal Penanaman Modal Wajib Pajak:
a. memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Sistem Online Single Submission menyampaikan pemberitahuan kepada Wajib Pajak bahwa Penanaman Modal memenuhi ketentuan untuk memperoleh fasilitas Pajak Penghasilan; atau
b. tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Sistem Online Single Submission menyampaikan pemberitahuan kepada Wajib Pajak bahwa Penanaman Modal tidak memenuhi ketentuan untuk memperoleh fasilitas Pajak Penghasilan.
(3) Wajib Pajak yang telah memperoleh pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dianggap telah mengajukan permohonan fasilitas Pajak Penghasilan secara daring melalui Sistem Online Single Submission apabila:
a. telah menyampaikan persyaratan kelengkapan berupa salinan digital rincian aktiva tetap dalam rencana nilai Penanaman Modal; dan
b. para pemegang saham memenuhi persyaratan untuk diberikan Surat Keterangan Fiskal sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai tata cara pemberian Surat Keterangan Fiskal.
(4) Permohonan fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus diajukan sebelum Saat Mulai Berproduksi Komersial.
(5) Permohonan fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan:
a. bersamaan dengan pendaftaran untuk mendapatkan nomor induk berusaha bagi Wajib Pajak baru; atau
b. paling lambat 1 (satu) tahun setelah penerbitan Perizinan Berusaha yang diterbitkan oleh Lembaga Online Single Submission untuk Penanaman Modal.
(6) Permohonan fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang telah diterima secara lengkap, disampaikan oleh Sistem Online Single Submission kepada Menteri sebagai usulan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan, dan Sistem Online Single Submission mengirimkan pemberitahuan kepada Wajib Pajak bahwa permohonan fasilitas Pajak Penghasilan sedang dalam proses.


Pasal 426


(1) Pemberian fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 423 ayat (1) dilakukan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang investasi/koordinasi penanaman modal untuk dan atas nama Menteri setelah mendapat usulan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 425 ayat (6).
(2) Pemberitahuan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lama 5 (lima) hari kerja setelah usulan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 425 ayat (6) diterima secara lengkap dan benar.

                          

Pasal 427


(1) Pemanfaatan fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 423 ayat (1) dimulai sejak Tahun Pajak Saat Mulai Berproduksi Komersial sampai dengan tahun keenam sejak Tahun Pajak Saat Mulai Berproduksi Komersial yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak untuk dan atas nama Menteri melalui Pemeriksaan untuk tujuan lain.
(2) Permohonan pemanfaatan fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Wajib Pajak secara daring melalui Sistem Online Single Submission dengan:
a. menyampaikan persyaratan kelengkapan berupa realisasi aktiva tetap beserta gambar tata letak;
b. memenuhi persyaratan untuk diberikan Surat Keterangan Fiskal sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai tata cara pemberian Surat Keterangan Fiskal; dan
c. menyampaikan persyaratan kelengkapan berupa dokumen yang berkaitan dengan:
1. transaksi penjualan hasil produksi ke pasaran pertama kali antara lain berupa Faktur Pajak atau bukti tagihan; atau
2. pertama kali hasil produksi digunakan sendiri untuk proses produksi lebih lanjut antara lain berupa laporan pemakaian sendiri.
(3) Pemeriksaan untuk tujuan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah Direktur Jenderal Pajak menerima permohonan pemanfaatan fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Pemeriksaan untuk tujuan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam jangka waktu paling lama 45 (empat puluh lima) hari kerja sejak surat pemberitahuan Pemeriksaan disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa, atau pegawai dari Wajib Pajak.
(5) Pemeriksaan untuk tujuan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan:
a. penentuan mengenai Saat Mulai Berproduksi Komersial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 425 ayat (4);
b. penghitungan jumlah nilai realisasi Penanaman Modal baru sampai dengan Saat Mulai Berproduksi Komersial;
c. pengujian kesesuaian hasil produksi dengan bidang usaha, Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia dari Kegiatan Usaha Utama; dan
d. pengujian jumlah tenaga kerja Indonesia yang dipekerjakan.

                                        

Pasal 428


(1) Wajib Pajak yang telah memperoleh fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 426 ayat (1) wajib menyampaikan laporan mengenai:
a. jumlah realisasi Penanaman Modal; dan
b. jumlah realisasi penggunaan tenaga kerja Indonesia.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak secara daring melalui Sistem Online Single Submission setiap tahun paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah berakhirnya Tahun Pajak yang bersangkutan dalam periode:
a. sejak pemberitahuan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan sampai dengan penetapan pemanfaatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 427 ayat (1) untuk laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a; dan
b. pemanfaatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 427 ayat (1) untuk laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b.
(3) Dalam hal Wajib Pajak tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau menyampaikan laporan namun tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), terhadap Wajib Pajak dimaksud dapat dilakukan Pemeriksaan oleh Direktorat Jenderal Pajak.

                             

Pasal 429


(1) Aktiva tetap berwujud yang mendapat fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 423 ayat (1) dilarang digunakan selain untuk tujuan pemberian fasilitas atau dialihkan sebelum berakhirnya jangka waktu 6 (enam) tahun sejak dimulainya pemanfaatan fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 427 ayat (1).
(2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam hal aktiva tetap berwujud yang mendapat fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 423 ayat (1) diganti dengan aktiva tetap berwujud yang baru.
(3) Dalam hal Wajib Pajak melakukan penggantian aktiva tetap berwujud sebagaimana dimaksud pada ayat (2), berlaku ketentuan:
a. nilai aktiva tetap berwujud yang menjadi dasar fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 423 ayat (1) adalah nilai yang lebih rendah antara nilai aktiva tetap berwujud yang diganti dengan nilai aktiva tetap berwujud pengganti;
b. dalam hal nilai perolehan aktiva tetap berwujud pengganti:
1. lebih rendah dari nilai perolehan aktiva tetap berwujud yang diganti, fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 423 ayat (1) dapat dimanfaatkan sampai berakhirnya jangka waktu pemanfaatan tersisa dengan nilai perolehan aktiva tetap berwujud pengganti; atau
2. lebih tinggi dari nilai perolehan aktiva tetap berwujud yang diganti, fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 423 ayat (1) dapat dimanfaatkan sampai berakhirnya jangka waktu pemanfaatan tersisa dengan nilai perolehan aktiva tetap berwujud yang diganti.
c. Wajib Pajak harus menyampaikan pemberitahuan tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak sebelum melakukan penggantian aktiva tetap berwujud sebagaimana dimaksud pada ayat (2).


Pasal 430


(1) Pembeban an pengurangan penghasilan neto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 423 ayat (1) tidak dapat dilakukan, dalam hal:
a. Kegiatan Usaha Utama Wajib Pajak tidak lagi memenuhi ketentuan bidang usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 423 ayat (3) huruf b;
b. Wajib Pajak, dalam masa pemanfaatan fasilitas Pajak Penghasilan, tidak memenuhi persyaratan jumlah tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 423 ayat (3) huruf c; atau
c. Wajib Pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 429.
(2) Terhadap Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf c:
a. dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan;
b. tidak dapat memanfaatkan fasilitas Penanaman Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 423 ayat (1) untuk Tahun Pajak berikutnya; dan
c. tidak dapat lagi diberikan fasilitas Pajak Penghasilan sesuai Peraturan Menteri ini.
(3) Terhadap Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b:
a. Pajak Penghasilan yang seharusnya terutang wajib dibayarkan kembali;
b. dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan;
c. dapat memanfaatkan fasilitas Penanaman Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 423 ayat (1) untuk Tahun Pajak berikutnya dalam hal telah terpenuhinya kembali jumlah minimal tenaga kerja; dan
d. tidak diberikan penambahan jangka waktu pemanfaatan fasilitas Penanaman Modal.


Pasal 431


Penanaman Modal yang telah memperoleh:
a. Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di bidang-bidang usaha tertentu dan/atau di daerah-daerah tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di bidang-bidang usaha tertentu dan/atau di daerah-daerah tertentu;
b. Fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan Badan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pemberian fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan; atau
c. Fasilitas Pajak Penghasilan pada Kawasan Ekonomi Khusus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai penyelenggaraan Kawasan Ekonomi Khusus, tidak dapat diberikan fasilitas Pajak Penghasilan berdasarkan Peraturan Menteri ini.

                                        

Bagian Keempat
Pemberian Pengurangan Penghasilan Bruto atas Kegiatan Penelitian dan Pengembangan Tertentu di Indonesia
 
Pasal 432

(1) Kepada Wajib Pajak yang melakukan kegiatan penelitian dan pengembangan tertentu di Indonesia, dapat diberikan pengurangan Penghasilan Bruto paling tinggi 300% (tiga ratus persen) dari jumlah biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan Penelitian dan Pengembangan tertentu di Indonesia yang dibebankan dalam jangka waktu tertentu.
(2) Pengurangan Penghasilan Bruto paling tinggi 300% (tiga ratus persen) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. pengurangan Penghasilan Bruto sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan Penelitian dan Pengembangan; dan
b. tambahan pengurangan Penghasilan Bruto sebesar paling tinggi 200% (dua ratus persen) dari akumulasi biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan Penelitian dan Pengembangan dalam jangka waktu tertentu.
(3) Besaran tambahan pengurangan Penghasilan Bruto sebesar paling tinggi 200% (dua ratus persen) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b meliputi:
a. 50% (lima puluh persen) jika Penelitian dan Pengembangan menghasilkan hak Kekayaan Intelektual berupa Paten atau Hak Perlindungan Varietas Tanaman yang terdaftar di kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia;
b. 25% (dua puluh lima persen) jika Penelitian dan Pengembangan menghasilkan hak Kekayaan Intelektual berupa Paten atau Hak Perlindungan Varietas Tanaman selain yang terdaftar di kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia sebagaimana dimaksud dalam huruf a, Juga didaftarkan di kantor Paten atau kantor Perlindungan Varietas Tanaman luar negeri;
c. 100% (seratus persen) jika Penelitian dan Pengembangan mencapai tahap Komersialisasi; dan/atau
d. 25% (dua puluh lima persen) jika Penelitian dan Pengem bangan yang menghasilkan hak kekayaan Intelektual berupa Paten atau Hak Perlindungan Varietas Tanaman sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan/atau mencapai tahap Komersialisasi sebagaimana dimaksud dalam huruf c, dilakukan melalui kerja sama dengan lembaga Penelitian dan Pengembangan pemerintah dan/atau lembaga pendidikan tinggi, di Indonesia.

                                          

Pasal 433


(1) Komersialisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 432 ayat (3) huruf c dan huruf d dapat dilakukan oleh:
a. Wajib Pajak yang melakukan kegiatan Penelitian dan Pengembangan; atau
b. Wajib Pajak lainnya.
(2) Dalam hal Komersialisasi dilakukan oleh Wajib Pajak lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, tambahan pengurangan Penghasilan Bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 432 ayat (3) huruf c dan/atau huruf d diberikan kepada Wajib Pajak yang melakukan kegiatan Penelitian dan Pengembangan.
(3) Komersialisasi oleh Wajib Pajak lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dilakukan jika Wajib Pajak yang melakukan kegiatan Penelitian dan Pengembangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 432 ayat (1):
a. telah mendapatkan hak Kekayaan Intelektual berupa Paten atau Hak Perlindungan Varietas Tanaman; dan
b. harus mendapatkan penghasilan dengan nilai yang sebenarnya atau seharusnya diterima atas pemanfaatan hak Kekayaan Intelektual berupa Paten atau Hak Perlindungan Varietas Tanaman, dari Wajib Pajak lainnya yang melakukan Komersialisasi.

                                        

Pasal 434


(1) Penelitian dan Pengembangan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 432 ayat (1) yang dapat diberikan tambahan pengurangan Penghasilan Bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 432 ayat (2) huruf b meliputi Penelitian dan Pengembangan yang:
a. dilakukan oleh Wajib Pajak, selain Wajib Pajak yang menjalankan usaha berdasarkan kontrak bagi hasil, kontrak karya, atau perjanjian kerja sama pengusahaan pertambangan yang penghasilan kena pajaknya dihitung berdasarkan ketentuan tersendiri dalam kontrak yang berbeda dengan ketentuan umum di bidang Pajak Penghasilan;
b. mulai dilaksanakan paling lama sejak berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan;
c. memenuhi kriteria:
1. bertujuan untuk memperoleh penemuan baru;
2. berdasarkan konsep atau hipotesa orisinal;
3. memiliki ketidakpastian atas hasil akhirnya;
4. terencana dan memiliki anggaran; dan
5. bertujuan untuk menciptakan sesuatu yang bisa ditransfer secara bebas atau diperdagangkan di pasar; dan
d. merupakan Penelitian dan Pengembangan dengan fokus dan tema prioritas.
(2) Kegiatan yang tidak diberikan tambahan pengurangan Penghasilan Bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 432 ayat (2) huruf b meliputi kegiatan:
a. penerapan rekayasa sepenuhnya dalam kegiatan produksi pada tahap awal produksi komersial;
b. kendali mutu selama produksi komersial, termasuk pengujian rutin terhadap hasil produksi;
c. perbaikan terhadap kerusakan yang terjadi selama produksi komersial;
d. perbaikan, penambahan, pengayaan atau peningkatan kualitas lainnya yang bersifat rutin dari produk yang telah ada;
e. penyesuaian dari kemampuan yang ada terhadap permintaan khusus atau kebutuhan pelanggan sebagai bagian dari kegiatan komersial yang berkesinambungan;
f. perubahan rancangan secara musiman atau pun periodik dari produk yang telah ada;
g. rancangan rutin dari peralatan dan cetakan;
h. rekayasa konstruksi dan rancang bangun sehubungan dengan konstruksi, relokasi, pengaturan kembali, atau fasilitas permulaan yang digunakan (start-up of facilities) dan peralatan; dan/atau
i. riset pemasaran.
(3) Biaya Penelitian dan Pengembangan yang dapat diberikan tambahan pengurangan Penghasilan Bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 432 ayat (2) huruf b meliputi biaya yang berkaitan dengan:
a. aktiva selain tanah dan bangunan, berupa:
1. biaya penyusutan aktiva tetap berwujud dan/atau biaya amortisasi aktiva tidak berwujud; dan
2. biaya penunjang aktiva tetap berwujud yang meliputi listrik, air, bahan bakar dan biaya pemeliharaan;
b. barang, dan/atau bahan;
c. gaji, honor, atau pembayaran sejenis yang dibayarkan kepada pegawai, peneliti, dan/atau perekayasa yang dipekerjakan;
d. pengurusan untuk mendapatkan hak Kekayaan Intelektual berupa Paten atau Hak Perlindungan Varietas Tanaman; dan/atau
e. imbalan yang dibayarkan kepada lembaga Penelitian dan Pengembangan dan/atau lembaga pendidikan tinggi, di Indonesia, yang dikontrak oleh Wajib Pajak untuk melakukan kegiatan Penelitian dan Pengembangan tanpa memiliki hak atas hasil dari Penelitian dan Pengembangan yang dilakukan.
(4) Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibebankan berdasarkan masing-masing proposal kegiatan Penelitian dan Pengembangan.
(5) Dalam hal biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dapat dipisahkan untuk masing-masing proposal Penelitian dan Pengembangan, pembebanan berdasarkan masing-masing proposal dilakukan secara proporsional berdasarkan waktu pemanfaatan atau penugasan.
(6) Tambahan pengurangan Penghasilan Bruto atas biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a tidak dapat diberikan dalam hal aktiva yang digunakan merupakan bagian dari Penanaman Modal yang telah mendapatkan fasilitas pengurangan penghasilan neto sebagaimana diatur dalam:
a. Pasal 31A Undang-Undang Pajak Penghasilan; atau
b. Pasal 29A Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Pajak Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Pajak Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan.

                                            

Pasal 435


(1) Besaran tambahan pengurangan Penghasilan Bruto yang dapat dimanfaatkan sebesar persentase tambahan pengurangan Penghasilan Bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 432 ayat (3) dikalikan akumulasi biaya penelitian dan pengembangan terkait untuk 5 (lima) Tahun Pajak terakhir sejak saat yang terjadi terlebih dahulu antara saat:
a. pendaftaran hak Kekayaan Intelektual berupa Paten atau Hak Perlindungan Varietas Tanaman; atau
b. mencapai tahap Komersialisasi.
(2) Tambahan pengurangan Penghasilan Bruto sebagaimana dimaksud ayat (1) mulai dibebankan pada saat Wajib Pajak memperoleh hak Kekayaan Intelektual berupa Paten atau Hak Perlindungan Varietas Tanaman, dan/atau mencapai tahap Komersialisasi.
(3) Besarnya tambahan pengurangan Penghasilan Bruto yang dapat dibebankan di setiap Tahun Pajak paling tinggi sebesar 40% (empat puluh persen) dari penghasilan kena pajak sebelum dikurangi dengan tambahan pengurangan Penghasilan Bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 432 ayat (2) huruf b.
(4) Dalam hal tambahan pengurangan Penghasilan Bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) lebih tinggi dari 40% (empat puluh persen) dari penghasilan kena pajak sebelum dikurangi dengan tambahan pengurangan Penghasilan Bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (3), selisih lebih tambahan pengurangan Penghasilan Bruto yang belum termanfaatkan dapat diperhitungkan untuk Tahun Pajak-Tahun Pajak berikutnya.

                                         

Pasal 436


(1) Wajib Pajak yang melakukan Penelitian dan Pengembangan untuk memperoleh tambahan pengurangan Penghasilan Bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 432 ayat (3) huruf a, huruf b, dan/atau huruf d wajib mendaftarkan hak Kekayaan Intelektual berupa Paten atau Hak Perlindungan Varietas Tanaman:
a. atas nama Wajib Pajak yang menerima tambahan pengurangan Penghasilan Bruto; atau
b. atas nama bersama Wajib Pajak-Wajib Pajak yang melakukan kerja sama kegiatan Penelitian dan Pengembangan di Indonesia.
(2) Hak Kekayaan Intelektual berupa Paten dan/atau Hak Perlindungan Varietas Tanaman yang dihasilkan dari kegiatan Penelitian dan Pengembangan yang mendapatkan tambahan pengurangan Penghasilan Bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dialihkan kepada pihak lain.
(3) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dalam hal pengalihan dilakukan setelah jangka waktu perlindungan hak Kekayaan Intelektual berupa Paten dan/atau Hak Perlindungan Varietas Tanaman tidak lagi dimiliki oleh Wajib Pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan.
(4) Dalam hal Wajib Pajak mengalihkan hak Kekayaan Intelektual berupa Paten dan/atau Hak Perlindungan Varietas Tanaman yang dihasilkan dari kegiatan Penelitian dan Pengembangan yang mendapatkan tambahan pengurangan Penghasilan Bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (2), atas tambahan pengurangan Penghasilan Bruto yang telah dimanfaatkan diperhitungkan sebagai penghasilan Wajib Pajak dan terutang Pajak Penghasilan pada saat dilakukannya pengalihan Kekayaan Intelektual tersebut.


Pasal 437


(1) Untuk mendapatkan tambahan pengurangan Penghasilan Bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 432 ayat (2) huruf b, Wajib Pajak harus mengajukan permohonan melalui Sistem Online Single Submission dengan:
a. mengunggah proposal kegiatan Penelitian dan Pengembangan; dan
b. memenuhi persyaratan untuk diberikan Surat Keterangan Fiskal sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai tata cara pemberian Surat Keterangan Fiskal.
(2) Proposal kegiatan Penelitian dan Pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a paling sedikit memuat:
a. nomor dan tanggal proposal kegiatan Penelitian dan Pengembangan;
b. nama dan Nomor Pokok Wajib Pajak;
c. fokus, tema, dan topik Penelitian dan Pengem bangan;
d. target capaian dari kegiatan Penelitian dan Pengembangan;
e. nama dan Nomor Pokok Wajib Pajak dari rekanan kerja sama, jika Penelitian dan Pengembangan dilakukan melalui kerja sama;
f. perkiraan waktu yang dibutuhkan sampai mencapai hasil akhir yang diharapkan dari kegiatan Penelitian dan Pengembangan;
g. perkiraan jumlah pegawai dan/atau pihak lain yang terlibat dalam kegiatan Penelitian dan Pengembangan; dan
h. perkiraan biaya dan tahun pengeluaran biaya.
(3) Terhadap permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepala lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan, serta invensi dan inovasi, penyelenggaraan ketenaganukliran, dan penyelenggaraan keantariksaan yang terintegrasi melakukan penelitian kesesuaian antara proposal kegiatan Penelitian dan Pengembangan yang diajukan dengan ketentuan proposal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan kriteria Penelitian dan Pengembangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 434.
(4) Terhadap penelitian kesesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan koordinasi antara kepala lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan, serta invensi dan inovasi, penyelenggaraan ketenaganukliran, dan penyelenggaraan keantariksaan yang terintegrasi dengan kementerian dan/atau lembaga pemerintah yang menangani bidang terkait tema Penelitian dan Pengembangan yang dimohonkan.
(5) Dalam hal proposal kegiatan Penelitian dan Pengembangan dinyatakan sesuai atau tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan dinyatakan sesuai atau tidak sesuai kriteria Penelitian dan Pengembangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 434, pemberitahuan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada Wajib Pajak melalui Sistem Online Single Submission untuk permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(6) Pemberitahuan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditembuskan kepada Direktur Jenderal Pajak serta kementerian dan/atau lembaga pemerintah yang menangani bidang terkait tema Penelitian dan Pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) melalui Sistem Online Single Submission.

                                       

Pasal 438


(1) Dalam hal kegiatan Penelitian dan Pengembangan dilakukan melalui kerja sama antara satu atau lebih Wajib Pajak, dan masing-masing Wajib Pajak menanggung sebagian atau seluruh biaya Penelitian dan Pengembangan, Wajib Pajak yang melakukan kerja sama harus membuat 1 (satu) proposal kegiatan Penelitian dan Pengembangan bersama.
(2) Proposal kegiatan Penelitian dan Pengembangan bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selain memuat hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 437 ayat (2) juga harus mencantumkan rencana kegiatan dan biaya yang ditanggung oleh masing-masing Wajib Pajak yang bekerja sama.
(3) Masing-masing Wajib Pajak menyampaikan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 437 ayat (1).
(4) Besarnya tambahan pengurangan Penghasilan Bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 435 ayat (1) untuk masing-masing Wajib Pajak ditentukan berdasarkan:
a. akumulasi biaya Penelitian dan Pengembangan yang ditanggung oleh masing-masing Wajib Pajak; dan
b. persentase tambahan pengurangan Penghasilan Bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 432 ayat (3), sesuai kepemilikan hak Kekayaan Intelektual berupa Paten atau Hak Perlindungan Varietas Tanaman dan/atau kondisi mencapai tahap Komersialisasi dari masing-masing Wajib Pajak.
  

Pasal 439


(1) Wajib Pajak yang telah memperoleh pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 437 ayat (5) wajib menyampaikan laporan biaya Penelitian dan Pengembangan setiap Tahun Pajak kepada Direktur Jenderal Pajak dan kepala lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan, serta invensi dan inovasi, penyelenggaraan ketenaganukliran, dan penyelenggaraan keantariksaan yang terintegrasi, melalui Sistem Online Single Submission.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan paling lama bersamaan dengan penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Badan Tahun Pajak bersangkutan.
(3) Dalam hal Wajib Pajak tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau menyampaikan laporan namun tidak memenuhi ketentuan contoh format yang tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri ini, Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar menerbitkan surat teguran kepada Wajib Pajak untuk menyampaikan laporan dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari sejak surat teguran disampaikan.

   

Pasal 440


(1) Untuk dapat memanfaatkan pembebanan tambahan pengurangan Penghasilan Bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 435, Wajib Pajak menyampaikan pemberitahuan beserta bukti pendukung bahwa Penelitian dan Pengembangan telah memperoleh hak Kekayaan Intelektual berupa Paten atau Hak Perlindungan Varietas Tanaman dan/atau mencapai tahap Komersialisasi kepada kepala lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan, serta invensi dan inovasi, penyelenggaraan ketenaganukliran, dan penyelenggaraan keantariksaan yang terintegrasi melalui Sistem Online Single Submission.
(2) Penelitian kesesuaian antara proposal dengan realisasi kegiatan Penelitian dan Pengembangan dilakukan oleh kepala lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan, serta invensi dan inovasi, penyelenggaraan ketenaganukliran, dan penyelenggaraan keantariksaan yang terintegrasi.
(3) Terhadap penelitian kesesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan koordinasi antara kepala lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan, serta invensi dan inovasi, penyelenggaraan ketenaganukliran, dan penyelenggaraan keantariksaan yang terintegrasi dengan kementerian dan/atau lembaga pemerintah yang menangani bidang terkait tema Penelitian dan Pengembangan yang dimohonkan.
(4) Hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menyatakan bahwa:
a. Wajib Pajak dapat memanfaatkan tambahan pengurangan Penghasilan Bruto, besaran persentase tambahan pengurangan Penghasilan Bruto yang dapat dimanfaatkan Wajib Pajak, dan Tahun Pajak saat Wajib Pajak dapat mulai memanfaatkan tambahan pengurangan Penghasilan Bruto; atau
b. Wajib Pajak tidak dapat memanfaatkan tambahan pengurangan Penghasilan Bruto.
(5) Hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Wajib Pajak dan ditembuskan kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Sistem Online Single Submission.
(6) Wajib pajak yang dapat memanfaatkan tambahan pengurangan Penghasilan Bruto, wajib menyampaikan laporan penghitungan pemanfaatan pengurangan Penghasilan Bruto setiap tahun kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Sistem Online Single Submission paling lambat bersamaan dengan penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Badan Tahun Pajak pemanfaatan tambahan pengurangan Penghasilan Bruto.
(7) Dalam hal Wajib Pajak tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) atau menyampaikan laporan namun tidak memenuhi ketentuan contoh format yang tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri ini, Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar menerbitkan surat teguran kepada Wajib Pajak untuk menyampaikan laporan dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari sejak surat teguran disampaikan.

                        

Pasal 441


(1) Dalam hal Wajib Pajak tidak memperoleh pemberitahuan kesesuaian pemenuhan ketentuan untuk memperoleh tambahan pengurangan Penghasilan Bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 437 ayat (5) dan/atau tidak memperoleh pemberitahuan dapat memanfaatkan tambahan pengurangan Penghasilan Bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 440 ayat (4), Direktorat Jenderal Pajak dapat melakukan koreksi tambahan pengurangan Penghasilan Bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 432 ayat (2) huruf b yang dibebankan oleh Wajib Pajak.
(2) Dalam hal Wajib Pajak tidak menyampaikan laporan kegiatan dan biaya Penelitian dan Pengembangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 439 ayat (1) dan/atau tidak menyampaikan laporan penghitungan pemanfaatan pengurangan Penghasilan Bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 440 ayat (6), Direktorat Jenderal Pajak dapat melakukan koreksi tambahan pengurangan Penghasilan Bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 432 ayat (2) huruf b yang dibebankan oleh Wajib Pajak.
(3) Dalam hal Wajib Pajak tidak melaporkan besaran dan jenis biaya Penelitian dan Pengembangan dengan benar, Direktorat Jenderal Pajak dapat melakukan koreksi tambahan pengurangan Penghasilan Bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 432 ayat (2) huruf b yang dibebankan oleh Wajib Pajak.


Bagian Kelima
Kriteria Keahlian Tertentu serta Tata Cara Pengenaan Pajak Penghasilan bagi Warga Negara Asing

Pasal 442


(1) Atas penghasilan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, dikenai Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Penghasilan.
(2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Warga Negara Asing yang telah menjadi subjek pajak dalam negeri sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang Pajak Penghasilan dikenai Pajak Penghasilan hanya atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dari Indonesia dengan ketentuan:
a. memiliki keahlian tertentu; dan
b. berlaku selama 4 (empat) Tahun Pajak yang dihitung sejak menjadi subjek pajak dalam negeri.
(3) Termasuk dalam pengertian penghasilan yang diterima atau diperoleh dari Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa penghasilan yang diterima atau diperoleh Warga Negara Asing sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan di Indonesia dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang dibayarkan di luar Indonesia.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku terhadap Warga Negara Asing yang memanfaatkan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda antara pemerintah Indonesia dan pemerintah negara mitra atau yurisdiksi mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda tempat Warga Negara Asing memperoleh penghasilan dari luar Indonesia.

                               

Pasal 443


(1) Warga Negara Asing dengan keahlian tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 442 ayat (2) huruf a meliputi tenaga kerja asing yang menduduki pos jabatan tertentu dan peneliti asing.
(2) Warga Negara Asing dengan keahlian tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dipekerjakan oleh Pemberi Kerja, wajib memenuhi persyaratan mengenai:
a. penggunaan tenaga kerja asing yang dapat menduduki pos jabatan tertentu yang ditetapkan oleh menteri yang membidangi urusan pemerintah di bidang ketenagakerjaan; atau
b. peneliti asing yang ditetapkan oleh menteri yang membidangi urusan pemerintah di bidang riset.
(3) Kriteria keahlian tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. memiliki keahlian di bidang ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau matematika, yang dibuktikan dengan:
1. sertifikat keahlian yang diterbitkan oleh lembaga yang telah ditunjuk oleh pemerintah Indonesia atau pemerintah negara asal tenaga kerja asing;
2. ijazah pendidikan; dan/atau
3. pengalaman kerja minimal 5 (lima) tahun,
di bidang ilmu atau bidang kerja yang sesuai dengan bidang keahlian tersebut; dan
b. memiliki kewajiban untuk melakukan alih pengetahuan.
  

Pasal 444


(1) Jangka waktu 4 (empat) Tahun Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 442 ayat (2) huruf b dihitung sejak Warga Negara Asing pertama kali menjadi subjek pajak dalam negeri.
(2) Dalam hal pada jangka waktu 4 (empat) Tahun Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Warga Negara Asing meninggalkan Indonesia, batas akhir jangka waktu tersebut tetap dihitung sejak Warga Negara Asing pertama kali menjadi subjek pajak dalam negeri.


Pasal 445


Warga Negara Asing dapat memilih untuk dikenai Pajak Penghasilan hanya atas penghasilan yang diterima atau diperoleh di Indonesia atau memanfaatkan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda antara pemerintah Indonesia dan pemerintah negara mitra atau yurisdiksi mitra tempat Warga Negara Asing memperoleh penghasilan dari luar Indonesia.


Pasal 446


(1) Warga Negara Asing yang memilih untuk dikenai Pajak Penghasilan hanya atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dari Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 442 ayat (2) harus mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak.
(2) Warga Negara Asing yang mengajukan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi ketentuan telah menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan 2 (dua) Tahun Pajak terakhir, yang sudah menjadi kewajibannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan sesuai dengan ketentuan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.
(4) Direktur Jenderal Pajak berdasarkan hasil penelitian menerbitkan:
a. surat persetujuan atas permohonan pengenaan Pajak Penghasilan hanya atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dari Indonesia, apabila persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 443 terpenuhi; atau
b. surat penolakan atas permohonan pengenaan Pajak Penghasilan hanya atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dari Indonesia, apabila persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 443 tidak terpenuhi,
dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah bukti penerimaan diterbitkan.

                                       

Pasal 447


(1) Warga Negara Asing melaporkan penghasilan melalui Surat Pemberitahuan Tahunan atas:
a. penghasilan yang diterima atau diperoleh dari Indonesia, jika diterbitkan surat persetujuan atas permohonan pengenaan Pajak Penghasilan hanya atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dari Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 446 ayat (4) huruf a; atau
b. penghasilan yang diterima atau diperolehnya dari Indonesia dan dari luar Indonesia, jika diterbitkan surat penolakan atas permohonan pengenaan Pajak Penghasilan hanya atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dari Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 446 ayat (4) huruf b.
(2) Sebelum melaporkan penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Warga Negara Asing melakukan penghitungan penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Bagian Keenam
Tata Cara Melakukan Pencatatan dan Kriteria Tertentu serta Tata Cara Menyelenggarakan Pembukuan untuk Tujuan Perpajakan
 
Pasal 448


(1) Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan Wajib Pajak Badan di Indonesia wajib menyelenggarakan Pembukuan.
(2) Dikecualikan dari kewajiban menyelenggarakan Pembukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tetapi wajib melakukan pencatatan, meliputi:
a. Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan diperbolehkan menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto;
b. Wajib Pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas; dan
c. Wajib Pajak orang pribadi yang memenuhi kriteria tertentu.

                                    

Pasal 449


(1) Pencatatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 448 ayat (2) terdiri atas data yang dikumpulkan secara teratur sebagai dasar untuk menghitung jumlah pajak terutang.
(2) Pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan:
a. dengan memperhatikan iktikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya serta didukung dengan dokumen yang menjadi dasar pencatatan;
b. di Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab dan satuan mata uang rupiah sebesar nilai yang sebenarnya dan/atau seharusnya terjadi dan disusun dalam bahasa Indonesia atau dalam bahasa asing yang diizinkan oleh Menteri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan;
c. dalam suatu Tahun Pajak berupa jangka waktu 1 (satu) tahun kalender mulai tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember; dan
d. secara kronologis dan sistematis berdasarkan urutan tanggal diterimanya peredaran bruto dan/atau Penghasilan Bruto.

                  

Pasal 450


(1) Wajib Pajak orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 448 ayat (2) huruf a merupakan Wajib Pajak orang pribadi yang:
a. melakukan kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas; dan
b. peredaran bruto dari kegiatan sebagaimana dimaksud dalam huruf a kurang dari Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak.
(2) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (i) dapat menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto dan melakukan pencatatan, dengan syarat memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan pertama dari Tahun Pajak yang bersangkutan.
(3) Dalam hal Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) baru terdaftar pada Tahun Pajak yang bersangkutan, pemberitahuan penggunaan Norma Penghitungan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan paling lambat:
a. pada 3 (tiga) bulan sejak saat terdaftar; atau
b. pada akhir Tahun Pajak,
tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu.
(4) Dalam hal Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau ayat (3), Wajib Pajak tersebut dianggap memilih menyelenggarakan Pembukuan.

            

Pasal 451


(1) Wajib Pajak orang pribadi yang memenuhi kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 448 ayat (2) huruf c merupakan Wajib Pajak orang pribadi yang:
a. melakukan kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas; dan
b. peredaran bruto dari kegiatan sebagaimana dimaksud dalam huruf a secara keseluruhan:
1. dikenai Pajak Penghasilan bersifat final dan/atau bukan objek pajak; dan
2. tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak.
(2) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melakukan pencatatan tanpa pemberitahuan penggunaan Norma Penghitungan Penghasilan Neto.
                                

Pasal 452


(1) Peredaran bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 450 ayat (1) huruf b dan Pasal 451 ayat (1) huruf b angka 2 didasarkan pada jumlah keseluruhan peredaran bruto dari setiap jenis dan/atau tempat usaha dan/atau pekerjaan bebas pada Tahun Pajak sebelumnya.
(2) Dalam hal Wajib Pajak orang pribadi merupakan suami istri yang:
a. menghendaki perjanjian pemisahan harta dan penghasilan secara tertulis; atau
b. istrinya menghendaki memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf b dan huruf c Undang-Undang Pajak Penghasilan, besarnya peredaran bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan berdasarkan penggabungan peredaran bruto dari usaha dan/atau pekerjaan bebas suami dan istri.


Pasal 453


(1) Pencatatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 449 ayat (1) yang harus dilakukan oleh:Pencatatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 449 ayat (1) yang harus dilakukan oleh:
a. Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 448 ayat (2) huruf a meliputi:
1. peredaran bruto yang berasal dari kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas yang dikenai Pajak Penghasilan yang tidak bersifat final;
2. Penghasilan Bruto yang berasal dari luar kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas yang dikenai Pajak Penghasilan yang tidak bersifat final, serta biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan tersebut; dan/atau
3. peredaran bruto dan/atau Penghasilan Bruto yang bukan objek pajak dan/atau dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final, baik yang berasal dari kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas maupun dari luar kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas;
b. Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 448 ayat (2) huruf b meliputi:
1. Penghasilan Bruto yang dikenai Pajak Penghasilan yang tidak bersifat final serta biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan tersebut; dan/atau
2. Penghasilan Bruto yang bukan objek pajak dan/atau yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final;
c. Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 448 ayat (2) huruf c meliputi:
1. Penghasilan Bruto yang berasal dari luar kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas yang dikenai Pajak Penghasilan yang tidak bersifat final, serta biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan tersebut; dan/atau
2. peredaran bruto dan/atau Penghasilan Bruto yang bukan objek pajak dan/atau dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final, baik yang berasal dari kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas maupun dari luar kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas.
(2) Bagi Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf c yang mempunyai lebih dari 1 (satu) jenis usaha, tempat usaha, dan/atau pekerjaan bebas, pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dapat menggambarkan jelas untuk setiap:
a. jenis dan/atau tempat usaha; dan/atau
b. pekerjaan bebas yang bersangkutan.
(3) Selain harus melakukan pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 448 ayat (2) harus melakukan pencatatan atas harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.


Pasal 454


(1) Pencatatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 449 ayat (1) dapat dilakukan oleh Wajib Pajak orang pribadi secara elektronik maupun non-elektronik.
(2) Buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data, wajib disimpan selama 10 (sepuluh) tahun di Indonesia, pada tempat tinggal dan/atau tempat kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas bagi Wajib Pajak orang pribadi.


Pasal 455


(1) Pembukuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 448 ayat (1) harus diselenggarakan berdasarkan standar akuntansi keuangan yang berlaku di Indonesia, kecuali peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan menentukan lain.
(2) Pembukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diselenggarakan:
a. dengan memperhatikan iktikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya;
b. di Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang rupiah, dan disusun dalam bahasa Indonesia; dan
c. secara konsisten dengan prinsip taat asas dan dengan stelsel akrual atau stelsel kas.
(3) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, Pembukuan dapat diselenggarakan dengan menggunakan:
a. bahasa asing; atau
b. bahasa asing dan mata uang selain rupiah,
setelah mendapat izin Menteri, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(4) Prinsip taat asas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c merupakan prinsip yang sama yang digunakan dalam metode Pembukuan dengan Tahun Pajak-Tahun Pajak sebelumnya untuk mencegah penggeseran laba atau rugi.
(5) Prinsip taat asas dalam metode Pembukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dapat berupa:
a. stelsel pengakuan penghasilan;
b. tahun buku;
c. metode penilaian persediaan; atau
d. metode penyusutan dan amortisasi.
(6) Perubahan terhadap metode Pembukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak.
(7) Pembukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) minimal terdiri atas catatan mengenai:
a. harta;
b. kewajiban;
c. modal;
d. penghasilan dan biaya; dan
e. harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa termasuk penjualan dan pembelian,
sehingga dapat dihitung besarnya pajak yang terutang.
(8) Pembukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) digunakan sebagai dasar untuk menyusun laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi untuk periode Tahun Pajak tersebut.

                                     

Pasal 456


(1) Untuk tujuan perpajakan, Pembukuan dengan stelsel kas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 455 ayat (2) huruf c yang merupakan bagian dari stelsel pengakuan penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 455 ayat (5) huruf a, dapat diselenggarakan oleh Wajib Pajak tertentu.
(2) Wajib Pajak tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan:
a. secara komersial berhak menyelenggarakan Pembukuan berdasarkan standar akuntansi keuangan yang berlaku bagi usaha mikro dan kecil; dan
b. merupakan Wajib Pajak:
1. orang pribadi yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 448 ayat (2) huruf a dan huruf c, tetapi memilih atau diwajibkan menyelenggarakan Pembukuan; atau
2. Badan yang memiliki peredaran bruto dari usaha tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak.
(3) Peredaran bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b angka 2 didasarkan pada jumlah keseluruhan peredaran bruto dari setiap jenis dan/atau tempat usaha pada Tahun Pajak sebelumnya.
(4) Stelsel kas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan suatu metode penghitungan yang didasarkan pada transaksi secara tunai, dengan ketentuan:
a. penghasilan diakui apabila telah diterima secara tunai dalam suatu Tahun Pajak; dan
b. biaya diakui apabila benar-benar telah dibayar secara tunai dalam suatu Tahun Pajak.
(5) Penyelenggaraan Pembukuan dengan stelsel kas sebagaimana dimaksud pada ayat (4) untuk tujuan perpajakan merupakan stelsel campuran dan harus tetap melaksanakan ketentuan sebagai berikut:
a. penghitungan jumlah penghasilan dari usaha dan/atau pekerjaan bebas termasuk penjualan dalam suatu Tahun Pajak harus meliputi seluruh transaksi, baik tunai maupun bukan tunai;
b. penghitungan harga pokok penjualan harus memperhitungkan seluruh pembelian dan persediaan, baik transaksi tunai maupun bukan tunai; dan
c. perolehan harta yang dapat disusutkan dan/atau hak-hak yang dapat diamortisasi karena mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, hanya dapat dikurangkan dari penghasilan melalui penyusutan dan/atau amortisasi.


Pasal 457


(1) Persediaan dan pemakaian persediaan untuk penghitungan harga pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 456 ayat (5) huruf b dinilai berdasarkan harga perolehan yang dilakukan secara rata-rata atau dengan cara mendahulukan persediaan yang diperoleh pertama.
(2) Penyusutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 456 ayat (5) huruf c dilakukan dalam bagian yang sama besar selama masa manfaat:
a. 4 (empat) tahun untuk harta berwujud bukan bangunan; atau
b. 20 (dua puluh) tahun untuk harta berwujud berupa bangunan.
(3) Amortisasi atas harta tak berwujud sebagaimana dimaksud dalam Pasal 456 ayat (5) huruf c dilakukan dalam bagian yang sama besar selama masa manfaat 4 (empat) tahun.
(4) Penyusutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan amortisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dimulai pada Tahun Pajak diperolehnya harta.
(5) Biaya yang merupakan pembayaran di muka untuk beberapa tahun yang dibayar sekaligus, pembebanannya dilakukan sekaligus pada Tahun Pajak dibayarkannya biaya tersebut secara tunai.
(6) Bagi Wajib Pajak tertentu yang menyelenggarakan Pembukuan dengan stelsel kas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 456 ayat (1) yang tidak dapat memisahkan antara biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan dan biaya yang dikeluarkan untuk kepentingan pribadi dalam rangka penghitungan besarnya penghasilan kena pajak, pembebanan biaya dilakukan sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah:
a. penyusutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan amortisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3); atau
b. biaya yang dibayarkan secara tunai pada Tahun Pajak yang bersangkutan untuk pengeluaran yang mempunyai masa manfaat tidak lebih dari 1 (satu) tahun, termasuk biaya yang merupakan pembayaran di muka sebagaimana dimaksud pada ayat (5).

                          

Pasal 458


(1) Wajib Pajak tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 456 ayat (2), harus menyampaikan pemberitahuan setiap Tahun Pajak untuk dapat menyelenggarakan Pembukuan dengan stelsel kas.
(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.
(3) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan paling lambat:
a. bersamaan dengan penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak sebelumnya; atau
b. akhir Tahun Pajak dalam hal Wajib Pajak tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak sebelumnya.
tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu.
(4) Untuk Wajib Pajak yang baru terdaftar, kewajiban pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lambat pada:
a. 3 (tiga) bulan sejak saat terdaftar; atau
b. akhir Tahun Pajak,
tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu.


Pasal 459


(1) Atas pemberitahuan penyelenggaraan Pembukuan dengan stelsel kas yang disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 458 ayat (3) dan ayat (4), Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat keterangan penyelenggaraan Pembukuan dengan stelsel kas, paling lama 1 (satu) hari kerja setelah diterbitkan bukti penerimaan.
(2) Surat keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12.
(3) Atas pemberitahuan penyelenggaraan Pembukuan dengan stelsel kas yang tidak memenuhi ketentuan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 458 ayat (3) dan ayat (4), Direktur Jenderal Pajak memberitahukan bahwa pemberitahuan Wajib Pajak tidak dapat diproses.
(4) Dalam hal Wajib Pajak tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 456 ayat (2):
a. tidak menyampaikan pemberitahuan; atau
b. menyampaikan pemberitahuan melewati jangka waktu sebagaimana dimaksud Pasal 458 ayat (3) dan ayat (4),
Wajib Pajak tersebut tidak dapat menyelenggarakan Pembukuan dengan stelsel kas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 456 ayat (1).
(5) Dalam hal Direktur Jenderal Pajak:
a. telah menerbitkan surat keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan
b. menemukan data atau informasi bahwa Wajib Pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 456 ayat (2),
Wajib Pajak tersebut tidak dapat menyelenggarakan Pembukuan dengan stelsel kas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 456 ayat (1) mulai Tahun Pajak berikutnya.
(6) Wajib Pajak yang tidak dapat menyelenggarakan Pembukuan dengan stelsel kas sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5), dianggap telah mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak untuk menyelenggarakan Pembukuan berdasarkan standar akuntansi keuangan yang berlaku di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 455 ayat (1) dengan stelsel akrual.


Pasal 460


(1) Pembukuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 456 ayat (1) dapat diselenggarakan oleh Wajib Pajak secara elektronik maupun non-elektronik.
(2) Buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar Pembukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data wajib disimpan selama 10 (sepuluh) tahun di Indonesia, pada:
a. tempat tinggal dan/atau tempat kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas bagi Wajib Pajak orang pribadi; atau
b. tempat kedudukan dan/atau tempat kegiatan usaha bagi Wajib Pajak Badan.


Pasal 461


(1) Wajib Pajak tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 456 ayat (2) yang Pembukuannya mengalami perubahan dari stelsel akrual menjadi stelsel kas berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. penghasilan dan/atau biaya yang sudah diakui saat penggunaan stelsel akrual, tidak lagi diakui saat penggunaan stelsel kas;
b. penghasilan dan/atau biaya yang belum diakui saat penggunaan stelsel akrual tetapi telah memenuhi syarat pengakuan penghasilan dan/atau biaya berdasarkan stelsel kas, maka penghasilan dan/atau biaya tersebut langsung diakui pada Tahun Pajak terjadinya perubahan menjadi stelsel kas; dan/atau
c. nilai sisa buku atas harta berwujud dan/atau harta tak berwujud berupa:
1. bangunan, disusutkan sesuai sisa masa manfaat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 457; dan/atau
2. selain bangunan yang masa manfaatnya:
a) kurang dari 4 (empat) tahun, disusutkan atau diamortisasi sekaligus pada Tahun Pajak terjadinya perubahan menjadi stelsel kas; dan/atau
b) sama dengan atau lebih dari 4 (empat) tahun, diperlakukan sebagai perolehan harta baru serta disusutkan atau diamortisasi sesuai dengan ketentuan Pasal 457.
(2) Wajib Pajak tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 456 ayat (2) yang Pembukuannya mengalami perubahan dari stelsel kas menjadi stelsel akrual berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. penghasilan dan/atau biaya yang sudah diakui saat penggunaan stelsel kas, tidak lagi diakui saat penggunaan stelsel akrual;
b. penghasilan dan/atau biaya yang belum diakui saat penggunaan stelsel kas tetapi telah memenuhi syarat pengakuan penghasilan dan/atau biaya berdasarkan stelsel akrual, maka penghasilan dan/atau biaya tersebut langsung diakui pada Tahun Pajak terjadinya perubahan menjadi stelsel akrual; dan/atau
c. nilai sisa buku atas harta berwujud dan/atau harta tak berwujud, tetap disusutkan dan/atau diamortisasi sesuai dengan ketentuan Pasal 457 sampai dengan akhir masa manfaat atau saat pengalihan harta tersebut.


Pasal 462


Wajib Pajak tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 456 ayat (2) yang pada:
a. suatu Tahun Pajak telah menyelenggarakan Pembukuan dengan stelsel kas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 456 ayat (1); dan
b. Tahun Pajak berikutnya memilih atau menyelenggarakan Pembukuan berdasarkan standar akuntansi keuangan yang berlaku di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 455 ayat (1) dengan stelsel akrual,
tidak dapat lagi menyelenggarakan Pembukuan dengan stelsel kas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 456 ayat (1) pada Tahun Pajak-Tahun Pajak berikutnya.


Pasal 463


Wajib Pajak orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 448 ayat (2) huruf a dan huruf c, yang pada suatu Tahun Pajak sejak Tahun Pajak 2022, telah menyelenggarakan Pembukuan, tidak dapat:
a. melakukan pencatatan; dan/atau
b. menghitung penghasilan netonya menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto,
pada Tahun Pajak-Tahun Pajak berikutnya.


BAB VIII
KETENTUAN TEKNIS PELAKSANAAN SISTEM INTI ADMINISTRASI PERPAJAKAN

Pasal 464


Pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak atas satu atau lebih tempat kegiatan usaha sejak:
a. Masa Pajak Januari 2025; dan
b. Tahun Pajak 2025 untuk jenis pajak Pajak Bumi dan Bangunan,
dilakukan secara terpusat menggunakan Nomor Pokok Wajib Pajak yang terdaftar sesuai tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak.


Pasal 465


Ketentuan lebih lanjut mengenai:
a. jenis pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan secara elektronik dan/atau selain secara elektronik dan tata cara penyampaian dokumen serta saluran yang digunakan dalam pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3;
b. tindak lanjut pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (9), tata cara penerbitan keputusan dalam bentuk elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2), Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (6), dan tata cara penyampaian keputusan dan Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12;
c. tata cara pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan dan penerbitan keputusan dalam hal keadaan kahar atau sebab lain berdasarkan pertimbangan Direktur Jenderal Pajak;
d. petunjuk teknis pelaksanaan pendaftaran Wajib Pajak dan pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak, perubahan data, pemindahan Wajib Pajak, penetapan Wajib Pajak Nonaktif dan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak;
e. petunjuk teknis pelaksanaan pelaporan usaha, pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, dan akses pembuatan Faktur Pajak;
f. petunjuk teknis pelaksanaan kegiatan ekstensifikasi untuk pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau pengukuhan Pengusaha Kena Pajak;
g. petunjuk teknis pelaksanaan penentuan tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak;
h. petunjuk teknis pelaksanaan kriteria Pengusaha Kena Pajak yang akses pembuatan Faktur Pajaknya dinonaktifkan;
i. petunjuk teknis pelaksanaan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak secara jabatan terhadap Pengusaha Kena Pajak yang tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
j. bentuk dan format Surat Pemberitahuan Objek Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (1);
k. Wajib Pajak di daerah tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 ayat (1);
l. tata cara penerapan sistem pembayaran pajak secara elektronik;
m. bentuk, isi, dan tata cara pengisian formulir Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104;
n. tata cara penerbitan Bukti Pemindahbukuan;
o. bentuk, isi, dan tata cara pengisian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 164;
p. keterangan dan/atau dokumen yang harus dilampirkan dalam Surat Pemberitahuan serta format dan sarana penyampaian keterangan dan/atau dokumen yang harus dilampirkan dalam Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 165;
q. tata cara penyampaian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 168;
r. tata cara pemberitahuan perpanjangan Surat Pemberitahuan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 174;
s. kriteria Wajib Pajak Pajak Penghasilan tertentu yang dikecualikan dari kewajiban pelaporan Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 180 ayat (2);
t. tata cara penelitian dan perekaman Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 182;
u. tata cara penelitian pemenuhan kewajiban penyetoran Pajak Penghasilan oleh Kantor Pelayanan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 193 ayat (8) dan Pasal 195 ayat (8);
v. tata cara pengecualian pembayaran dan penerbitan surat keterangan bebas Pajak Penghasilan atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan atau perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dan/atau bangunan beserta perubahannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 200;
w. tata cara dan prosedur pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang dan kegiatan di bidang impor, ekspor komoditas tambang batubara, mineral logam, dan mineral bukan logam oleh Badan atau orang pribadi pemegang izin usaha pertambangan, atau kegiatan usaha di bidang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 217 dan tata cara penerbitan surat keterangan bebas Pajak Penghasilan Pasal 22 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 219 ayat (3);
x. bentuk, isi, tata cara pengisian, dan penyampaian laporan penghitungan angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 233;
y. pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap atas penghasilan berupa keuntungan dari penjualan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 238 dan Pasal 239;
z. pelaksanaan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 atas penghasilan berupa premi asuransi dan premi reasuransi yang dibayar kepada Perusahaan Asuransi di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 241;
aa. tata cara pengajuan dan penerbitan keputusan mengenai penggunaan nilai buku atas pengalihan dan perolehan harta dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, atau pengambilalihan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 394 dan Pasal 395,
ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.


Pasal 466


Ketentuan lebih lanjut mengenai:
1. tata cara pembayaran pajak dalam mata uang dolar Amerika Serikat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (2); dan
2. pelaksanaan tata cara penghitungan dan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dan imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 155 sampai dengan Pasal 160,
ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak dan Direktur Jenderal Perbendaharaan sesuai dengan kewenangannya.

                       

Pasal 467


Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengecualian pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 219 ayat (1) huruf b dan huruf c dan ayat (2) ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak dan Direktur Jenderal Bea dan Cukai sesuai dengan kewenangannya.


BAB IX
CONTOH FORMAT DOKUMEN DAN CONTOH PENGHITUNGAN, PEMUNGUTAN, DAN/ATAU PELAPORAN
 
Pasal 468


Contoh format dokumen berupa:
a. surat pernyataan belum dapat melampirkan dokumen pendukung isian Surat Pemberitahuan Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (9) tercantum dalam Lampiran Huruf A;
b. surat pernyataan penolakan Pendataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1) tercantum dalam Lampiran Huruf B;
c. berita acara penolakan Pendataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (2) tercantum dalam Lampiran Huruf C;
d. surat permohonan perpanjangan jangka waktu pelunasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 ayat (5) tercantum dalam Lampiran Huruf D;
e. keputusan persetujuan perpanjangan jangka waktu pelunasan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 ayat (8) tercantum dalam Lampiran Huruf E;
f. keputusan penolakan perpanjangan jangka waktu pelunasan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 ayat (9) tercantum dalam Lampiran Huruf F;
g. surat atas permohonan Pemindahbukuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 ayat (1) tercantum dalam Lampiran Huruf G;
h. Bukti Pemindahbukuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 ayat (1) huruf a tercantum dalam Lampiran Huruf H;
i. surat pemberitahuan penolakan permohonan pemindahbukuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 ayat (1) huruf b tercantum dalam Lampiran Huruf I;
j. surat permohonan pengangsuran pembayaran Pajak Penghasilan 29 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 ayat (1) tercantum dalam Lampiran Huruf J;
k. surat permohonan penundaan pembayaran Pajak Penghasilan 29 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 ayat (1) tercantum dalam Lampiran Huruf K;
l. surat permohonan pengangsuran pembayaran utang pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115 ayat (1) tercantum dalam Lampiran Huruf L;
m. surat permohonan penundaan pembayaran utang pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115 ayat (1) tercantum dalam Lampiran Huruf M;
n. surat keputusan persetujuan pengangsuran pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117 ayat (4) huruf a untuk Pajak Penghasilan Pasal 29 tercantum dalam Lampiran Huruf N;
o. surat keputusan persetujuan penundaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117 ayat (4) huruf a untuk Pajak Penghasilan Pasal 29, tercantum dalam Lampiran Huruf O;
p. surat keputusan persetujuan pengangsuran pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117 ayat (4) huruf b untuk utang pajak, tercantum dalam Lampiran Huruf P;
q. surat keputusan persetujuan penundaan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117 ayat (4) huruf b untuk utang pajak, tercantum dalam Lampiran Huruf Q;
r. penolakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117 ayat (3) berupa surat pemberitahuan penolakan permohonan pengangsuran atau penundaan untuk Pajak Penghasilan 29 tercantum dalam Lampiran Huruf R;
s. penolakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117 ayat (3) berupa pemberitahuan surat permohonan pengangsuran pembayaran utang pajak tidak memenuhi persyaratan tercantum dalam Lampiran Huruf S;
t. penolakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117 ayat (3) berupa pemberitahuan surat permohonan penundaan pembayaran utang pajak tidak memenuhi persyaratan tercantum dalam Lampiran Huruf T;
u. surat keputusan penetapan kembali keputusan persetujuan pengangsuran pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 ayat (2) tercantum dalam Lampiran Huruf U;
v. surat keputusan penetapan kembali persetujuan penundaan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 ayat (2) tercantum dalam Lampiran Huruf V;
w. permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 ayat (3), Pasal 127 ayat (3), Pasal 131 ayat (1), dan Pasal 135 ayat (1) tercantum dalam Lampiran Huruf W;
x. surat kuasa pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Penghasilan yang seharusnya tidak terutang dari pihak yang dipotong atau dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 131 ayat (2) huruf d dan Pasal 135 ayat (2) huruf d tercantum dalam Lampiran Huruf X;
y. dokumen pendukung bagi subjek pajak luar negeri yang menerima atau memperoleh penghasilan terkait dengan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 135 ayat (2) huruf h tercantum dalam Lampiran Huruf Y;
z. surat pemberitahuan penolakan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 125 ayat (6), Pasal 128 ayat (6), Pasal 132 ayat (8), dan Pasal 136 ayat (6) tercantum dalam Lampiran Huruf Z;
aa. Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 147 ayat (1) tercantum dalam Lampiran Huruf AA;
bb. pemberitahuan Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga tidak diterbitkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 147 ayat (3), tercantum dalam Lampiran Huruf BB;
cc. nota penghitungan pemberian imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 147 ayat (5) tercantum dalam Lampiran Huruf CC;
dd. nota penghitungan kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 ayat (1) tercantum dalam Lampiran Huruf DD;
ee. Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 157 ayat (1) tercantum dalam Lampiran Huruf EE;
ff. permintaan konfirmasi kompensasi kelebihan pembayaran pajak ke Utang Pajak Wajib Pajak lain dan/atau Deposit Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 154 ayat (3) tercantum dalam Lampiran Huruf FF;
gg. Surat Pemberitahuan Tidak Diterbitkan Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak atau Surat Perintah Membayar Imbalan Bunga dan permintaan pemutakhiran nomor rekening sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158 ayat (2) tercantum dalam Lampiran Huruf GG;
hh. laporan Instansi Pemerintah atau pejabat yang melakukan pembayaran atau pejabat yang menyetujui tukar menukar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 198 ayat (1) tercantum dalam Lampiran Huruf HH;
ii. daftar pihak yang mengalihkan hak atas tanah dan/atau bangunan yang dialihkan kepada Badan Usaha Milik Negara atau badan usaha milik daerah berdasar penugasan khusus sebagaimana dimaksud Pasal 198 ayat (2) huruf a dan laporan Badan Usaha Milik Negara atau badan usaha milik daerah yang mendapat penugasan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 198 ayat (2) huruf b tercantum dalam Lampiran Huruf II;
jj. laporan bulanan pejabat pembuat akta tanah dan laporan bulanan pembuatan risalah lelang atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 198 ayat (3) tercantum dalam Lampiran Huruf JJ;
kk. laporan mengenai perubahan atau adendum perjanjian pengikatan jual beli tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 198 ayat (4) tercantum dalam Lampiran Huruf KK;
ll. surat pemberitahuan mengenai adanya pengalihan Real Estat kepada Special Purpose Company atau Kontrak Investasi Kolektif dalam skema Kontrak Investasi Kolektif tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 204 huruf a tercantum dalam Lampiran Huruf LL;
mm. Laporan bulanan mengenai penerbitan akta, keputusan, kesepakatan, atau risalah lelang atas pengalihan Real Estat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 207 ayat (3) tercantum dalam Lampiran Huruf MM;
nn. formulir laporan pengalihan Partisipasi Interes sebagaimana dimaksud dalam Pasal 211 ayat (4), tercantum dalam Lampiran Huruf NN;
oo. berita acara serah terima pembayaran Pajak Penghasilan berupa volume minyak bumi dan/atau gas bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 259 ayat (1) tercantum dalam Lampiran Huruf OO;
pp. Surat Setoran Pajak untuk pembayaran Pajak Penghasilan berupa volume minyak bumi dan/atau gas bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 259 ayat (4) tercantum dalam Lampiran Huruf PP;
qq. pemberitahuan ekspor Barang Kena Pajak tidak berwujud atau ekspor Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 284 ayat (3) tercantum dalam Lampiran Huruf QQ;
rr. nota retur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 288 ayat (1) tercantum dalam Lampiran Huruf RR;
ss. nota pembatalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 289 ayat (1) tercantum dalam Lampiran Huruf SS;
tt. laporan realisasi investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 374 ayat (1) tercantum dalam Lampiran Huruf TT;
uu. surat penyampaian laporan realisasi Penanaman Modal/realisasi produksi, laporan realisasi Penanaman Modal, dan pelaporan jumlah realisasi kegiatan produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 420 ayat (1) tercantum dalam Lampiran Huruf UU;
vv. surat penyampaian laporan jumlah realisasi tenaga kerja Indonesia dan/atau realisasi penanaman modal, laporan jumlah realisasi penggunaan tenaga kerja Indonesia, dan laporan realisasi Penanaman Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 428 ayat (1) tercantum dalam Lampiran Huruf W;
ww. surat penyampaian laporan biaya Penelitian dan Pengembangan setiap Tahun Pajak dan laporan rincian biaya atas kegiatan Penelitian dan Pengembangan setiap Tahun Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 439 ayat (1) tercantum dalam Lampiran Huruf WW;
xx. surat penyampaian laporan penghitungan pemanfaatan pengurangan penghasilan bruto dan laporan penghitungan pemanfaatan tambahan pengurangan penghasilan bruto atas kegiatan Penelitian dan Pengembangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 440 ayat (6) tercantum dalam Lampiran Huruf XX;
yy. permohonan untuk dikenai Pajak Penghasilan hanya atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dari Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 446 ayat (1) menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran Huruf YY;
zz. surat persetujuan atas permohonan pengenaan Pajak Penghasilan hanya atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dari Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 446 ayat (4) huruf a tercantum dalam Lampiran Huruf ZZ;
aaa. surat penolakan atas permohonan pengenaan Pajak Penghasilan hanya atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dari Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 446 ayat (4) huruf b tercantum dalam Lampiran Huruf AAA;
bbb. pemberitahuan penyelenggaraan Pembukuan dengan stelsel kas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 458 ayat (1) tercantum dalam Lampiran Huruf BBB;
ccc. surat keterangan penyelenggaraan Pembukuan dengan stelsel kas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 459 ayat (1), tercantum dalam Lampiran Huruf CCC;
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

 

Pasal 469


Contoh penghitungan, pemungutan, dan/atau pelaporan:
a. Pajak Penghasilan atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan serta perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dan/atau bangunan beserta perubahannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 191 ayat (1) tercantum dalam Lampiran Huruf DOD;
b. pajak atas penghasilan Kontraktor Kontrak Kerja Sama Minyak dan Gas Bumi berupa Uplift atau imbalan lain yang sejenis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 208 ayat (1) dan Pasal 216 ayat (1) tercantum dalam Lampiran Huruf EEE;
c. Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk Wajib Pajak bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 227 tercantum dalam Lampiran Huruf FFF;
d. Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk Wajib Pajak Lainnya dan Wajib Pajak masuk bursa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 228 tercantum dalam Lampiran Huruf GGG;
e. Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk Wajib Pajak Baru dalam rangka penggabungan, peleburan, dan/atau pengambilalihan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 236 ayat (1) tercantum dalam Lampiran Huruf HHH;
f. Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk Wajib Pajak dalam rangka pemekaran usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 236 ayat (2) tercantum dalam Lampiran Huruf III;
g. Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk Wajib Pajak Baru yang merupakan hasil perubahan bentuk badan usaha sebagaimana dimaksud dalam pasal 236 ayat (4) tercantum dalam Lampiran Huruf JJJ;
h. Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk Wajib Pajak Baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 237 tercantum dalam Lampiran Huruf KKK;
i. Pajak Pertambahan Nilai oleh Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah sebagai Pemungut Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 316 ayat (1) dan ayat (2) tercantum dalam Lampiran Huruf LLL;
j. Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai oleh Agen Asuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 318 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) tercantum dalam Lampiran Huruf MMM;
k. kegiatan membangun sendiri yang dilakukan secara sekaligus atau bertahap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 323 ayat (5) tercantum dalam Lampiran Huruf NNN;
l. Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 343 ayat (1) dan Pajak Penghasilan Pasal 22 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 358 ayat (9) atas jual beli Aset Kripto tercantum dalam Lampiran Huruf OOO;
m. Dividen Wajib Pajak yang menghasilkan produk selain yang diberikan fasilitas atau melakukan perluasan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 417 ayat (2) dan ayat (3) tercantum dalam Lampiran Huruf PPP;
n. rumus penghitungan kompensasi kerugian Wajib Pajak yang mendapat fasilitas tambahan jangka waktu kompensasi kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 418 ayat (3) tercantum dalam Lampiran Huruf QQQ;
o. nilai pengurang penghasilan neto dalam hal terjadi penggantian aktiva sebagaimana dimaksud dalam Pasal 421 ayat (3) tercantum dalam Lampiran Huruf RRR;
p. rata-rata tenaga kerja Indonesia dalam suatu Tahun Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 423 ayat (4) tercantum dalam Lampiran Huruf SSS;
q. besaran tambahan pengurangan Penghasilan Bruto dan pembebanan tambahan pengurangan penghasilan atas kegiatan Penelitian dan Pengem bangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 435 tercantum dalam Lampiran Huruf TTT; dan
r. pengenaan Pajak Penghasilan hanya atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dari Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 447 ayat (2) tercantum dalam Lampiran Huruf UUU;
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

                                        

Pasal 470


Ketentuan lebih lanjut mengenai:
a. penyampaian laporan realisasi investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 374 ayat (1) tercantum dalam Lampiran Huruf VVV;
b. pengkreditan Pajak Masukan pada Masa Pajak yang tidak sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 376 ayat (1) tercantum dalam Lampiran Huruf WWW;
c. pengkreditan Pajak Masukan atas Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum dalam Faktur Pajak yang dibuat dengan mencantumkan identitas Pengusaha Kena Pajak orang pribadi selaku pembeli Barang Kena Pajak atau Penerima Jasa Kena Pajak berupa nama, alamat, dan Nomor Induk Kependudukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 377 ayat (2) tercantum dalam Lampiran Huruf XXX;
d. pengkreditan Pajak Masukan sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 378 ayat (3) tercantum dalam Lampiran Huruf YYY;
e. pengkreditan Pajak Masukan yang tidak dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai yang diberitahukan dan/atau ditemukan pada waktu dilakukan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 380 ayat (1) tercantum dalam Lampiran Huruf ZZZ;
f. pengkreditan Pajak Masukan yang ditagih dengan penerbitan ketetapan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 381 ayat (1) tercantum dalam Lampiran Huruf AAAA;
g. bidang usaha tertentu pada daerah tertentu dengan persyaratan tertentu yang dapat diberikan fasilitas pengurangan penghasilan neto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 423 ayat (3) huruf b tercantum dalam Lampiran Huruf BBBB;
h. daftar fokus dan tema kegiatan Penelitian dan Pengembangan prioritas yang dapat diberikan fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 434 ayat (1) huruf d tercantum dalam Lampiran Huruf CCCC;
i. pos jabatan tertentu untuk Warga Negara Asing dengan keahlian tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 443 ayat (1) tercantum dalam Lampiran huruf DDDD,
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

                                        

Pasal 471


Ketentuan lebih lanjut barang tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 218 ayat (1) huruf a angka 1 butir a), barang tertentu lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 218 ayat (1) huruf a angka 1 butir b), barang berupa kedelai, gandum, dan tepung terigu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 218 ayat (1) huruf a angka 1 butir c), dan komoditas tambang batubara, mineral logam, dan mineral bukan logam, sesuai uraian barang dan pos tarif/harmonized system sebagaimana dimaksud dalam Pasal 218 ayat (1) huruf a angka 2 tercantum dalam Lampiran Huruf EEEE yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.


BAB X
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 472


Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:
1. Sertifikat Elektronik, electronic filing identification number, dan kode verifikasi yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pajak dapat digunakan untuk melakukan Tanda Tangan Elektronik tidak tersertifikasi sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri ini dalam pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban untuk:
a. Masa Pajak sampai dengan Masa Pajak Desember 2024;
b. Bagian Tahun Pajak sampai dengan Bagian Tahun Pajak yang berakhir pada Desember 2024; dan/atau
c. Tahun Pajak sampai dengan Tahun Pajak 2024;
2. penerbitan, penandatanganan, dan pengiriman keputusan berbentuk elektronik yang diterbitkan oleh Menteri dan Direktur Jenderal Pajak dengan menggunakan Tanda Tangan Elektronik tidak tersertifikasi dapat dilakukan atas keputusan untuk:
a. Masa Pajak sampai dengan Masa Pajak Desember 2024;
b. Bagian Tahun Pajak sampai dengan Bagian Tahun Pajak yang berakhir pada Desember 2024; dan/atau
c. Tahun Pajak sampai dengan Tahun Pajak 2024;
3. penggunaan Segel Elektronik untuk penandatanganan keputusan dalam bentuk elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 harus sudah diterapkan paling lambat mulai tanggal 1 Januari 2025; dan
4. sarana aktivasi Akun Wajib Pajak dan penggunaan Sertifikat Elektronik serta Kode Otorisasi dalam pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan secara elektronik harus tersedia paling lambat mulai tanggal 1 Januari 2025.


Pasal 473


Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:
1. permohonan pendaftaran Wajib Pajak, perubahan data Wajib Pajak, pemindahan Wajib Pajak, penetapan Wajib Pajak nonefektif, dan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak yang telah disampaikan oleh Wajib Pajak tetapi belum diselesaikan sampai dengan Peraturan Menteri ini berlaku, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.03/2017 tentang Tata Cara Pendaftaran Wajib Pajak dan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak serta Pengukuhan dan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak;
2. permohonan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak dan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak yang telah disampaikan oleh Wajib Pajak tetapi belum diselesaikan sampai dengan Peraturan Menteri ini berlaku, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.03/2017 tentang Tata Cara Pendaftaran Wajib Pajak dan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak serta Pengukuhan dan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak;
3. terhadap penonaktifan sementara Sertifikat Elektronik Pengusaha Kena Pajak karena tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.03/2017 tentang Tata Cara Pendaftaran Wajib Pajak dan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak serta Pengukuhan dan Pencabutan Pengukuhan, Pengusaha Kena Pajak dimaksud diberikan akses pembuatan Faktur Pajak berdasarkan Peraturan Menteri ini; dan
4. permohonan Pendaftaran objek Pajak Bumi dan Bangunan dan permohonan perubahan data Surat Keterangan Terdaftar Pajak Bumi dan Bangunan yang sudah disampaikan oleh Wajib Pajak tetapi belum diselesaikan sampai dengan Peraturan Menteri ini berlaku dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Menteri ini dalam jangka waktu:
a. 10 (sepuluh) hari kerja sejak Peraturan Menteri ini berlaku untuk permohonan Pendaftaran objek Pajak Bumi dan Bangunan; dan
b. 3 (tiga) hari kerja sejak Peraturan Menteri ini berlaku untuk permohonan perubahan data Surat Keterangan Terdaftar Pajak Bumi dan Bangunan.
                                        

Pasal 474


Ketentuan mengenai permohonan, pemberitahuan, pelaporan, dan penyampaian dokumen oleh Wajib Pajak yang dilaksanakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini, masih tetap berlaku sampai dengan Peraturan Menteri ini mulai berlaku.


Pasal 475


Ketentuan mengenai penerbitan, pengiriman, dan pelimpahan kewenangan atas keputusan dan dokumen yang dilaksanakan oleh Menteri atau Direktur Jenderal Pajak berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini, masih tetap berlaku sampai dengan Peraturan Menteri ini mulai berlaku.


Pasal 476


Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:
1. jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak untuk penghitungan sanksi administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (2a) dan Pasal 8 ayat (2a) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan atas Masa Pajak sebelum Peraturan Menteri ini berlaku, dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 242/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Pembayaran dan Penyetoran Pajak sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.03/2021 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja di Bidang Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, serta Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
2. permohonan Pemindahbukuan yang sudah disampaikan oleh Wajib Pajak tetapi belum diselesaikan sampai dengan Peraturan Menteri ini berlaku dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 242/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Pembayaran dan Penyetoran Pajak sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.03/2021 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja di Bidang Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, serta Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
3. permohonan penundaan dan pengangsuran yang belum diselesaikan sampai dengan Peraturan Menteri ini berlaku dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 242/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Pembayaran dan Penyetoran Pajak sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.03/2021 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja di Bidang Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, serta Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
4. permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang yang belum diselesaikan sampai dengan Peraturan Menteri ini mulai berlaku, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 187/PMK.03/2015 tentang Tata Cara Pengembalian Atas Kelebihan Pembayaran Pajak yang Seharusnya Tidak Terutang dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak Peraturan Menteri ini mulai berlaku;
5. permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan yang belum diselesaikan sampai dengan Peraturan Menteri ini mulai berlaku dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2011 tentang Permohonan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak Bumi Dan Bangunan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak Peraturan Menteri ini mulai berlaku;
6. pemberian imbalan bunga dan permohonan pemberian imbalan bunga yang belum diselesaikan sampai dengan sebelum Peraturan Menteri ini mulai berlaku, yang didasarkan pada ketetapan, keputusan, atau putusan, yang diterbitkan atau diucapkan:
a. sebelum tanggal 2 November 2020, diselesaikan sesuai dengan ketentuan Menteri Keuangan Nomor 226/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Penghitungan dan Pemberian Imbalan Bunga sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan ketentuan Peraturan Nomor 65/PMK.03/2018; atau
b. sejak tanggal 2 November 2020, diselesaikan sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri ini,
dan jangka waktu penyelesaian pemberian imbalan bunga paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal permohonan yang diajukan sejak Peraturan Menteri ini berlaku, diterima secara lengkap oleh Kantor Pelayanan Pajak; dan
7. permohonan pemberian imbalan bunga yang telah diterbitkan Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga namun belum diterbitkan Surat Keputusan Perhitungan Pemberian Imbalan Bunga sampai dengan Peraturan Menteri ini berlaku, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri ini.


Pasal 477


Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:
1. jenis, bentuk, dan isi Surat Pemberitahuan, penyampaian Surat Pemberitahuan, serta pengolahan Surat Pemberitahuan selain Surat Pemberitahuan Masa Bea Meterai untuk:
a. Masa Pajak sampai dengan Masa Pajak Desember 2024;
b. Bagian Tahun Pajak sampai dengan Bagian Tahun Pajak yang berakhir pada Desember 2024; dan/atau
c. Tahun Pajak sampai dengan Tahun Pajak 2024,
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 243/PMK.03/2014 tentang Surat Pemberitahuan (SPT) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.03/2021 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja di Bidang Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, serta Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
2. jenis, bentuk, dan isi Surat Pemberitahuan, penyampaian Surat Pemberitahuan, serta pengolahan Surat Pemberitahuan atas Surat Pemberitahuan Masa Bea Meterai untuk Masa Pajak sampai dengan Masa Pajak Desember 2024 dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri ini;
3. Wajib Pajak yang:
a. melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dan pembayaran atas pengalihan telah dilunasi sebelum tanggal 7 September 2016 dan atas pengalihan hak tersebut belum dibuatkan akta, keputusan, perjanjian, kesepakatan, atau risalah lelang oleh pejabat yang berwenang; dan
b. penghasilan atas pengalihan hak sebagaimana dimaksud dalam huruf a telah dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak yang bersangkutan dan Pajak Penghasilan atas penghasilan tersebut telah dilunasi sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku pada periode pengalihan hak atas tanah dan bangunan,
dikecualikan atas pengenaan Pajak Penghasilan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2016 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli atas Tanah dan/atau Bangunan beserta perubahannya dengan penerbitan surat keterangan bebas Pajak Penghasilan atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan atau perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dan/atau bangunan beserta perubahannya;
4. Wajib Pajak yang:
a. melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dan pembayaran atas pengalihan baru dilunasi sebagian sebelum tanggal 7 September 2016 dan atas pengalihan hak tersebut belum dibuatkan akta, keputusan, perjanjian, kesepakatan, atau risalah lelang oleh pejabat yang berwenang; dan
b. penghasilan atas pengalihan hak sebagaimana dimaksud dalam huruf a telah dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak yang bersangkutan dan Pajak Penghasilan atas penghasilan tersebut telah dilunasi sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku pada periode pengalihan hak atas tanah dan bangunan,
dikecualikan atas pengenaan Pajak Penghasilan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2016 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli atas Tanah dan/atau Bangunan beserta perubahannya dengan penerbitan surat keterangan bebas Pajak Penghasilan atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan atau perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dan/atau bangunan beserta perubahannya dengan melakukan penyetoran Pajak Penghasilan atas bagian pelunasan pembayaran pengalihan sejak tanggal 7 September 2016 berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2016 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli atas Tanah dan/atau Bangunan beserta perubahannya;
5. Wajib Pajak yang:
a. melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebelum tanggal 7 September 2016 dan atas pengalihan hak tersebut belum dibuatkan akta, keputusan, perjanjian, kesepakatan, atau risalah lelang oleh pejabat yang berwenang; dan
b. penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam huruf a belum dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak yang bersangkutan,
dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2016 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli atas Tanah dan/atau Bangunan beserta perubahannya, dengan dasar pengenaan pajak sebesar nilai transaksi saat dilakukan pembuatan akta, keputusan, perjanjian, kesepakatan, atau risalah lelang oleh pejabat yang berwenang;
6. Wajib Pajak yang:
a. melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dan pembayaran atas pengalihan tersebut telah dilunasi sebelum tanggal 7 September 2016 dan atas pengalihan hak tersebut belum dibuatkan akta, keputusan, perjanjian, kesepakatan, atau risalah lelang oleh pejabat yang berwenang; dan
b. pemenuhan kewajiban Pajak Penghasilan atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam huruf a belum dilaksanakan sepenuhnya sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku pada periode pengalihan hak atas tanah dan bangunan; dan
c. penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam huruf b telah dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak yang bersangkutan,
dikecualikan atas pengenaan Pajak Penghasilan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2016 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli atas Tanah dan/atau Bangunan beserta perubahannya dengan penerbitan surat keterangan bebas Pajak Penghasilan atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan atau perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dan/atau bangunan beserta perubahannya dengan melakukan penyetoran kekurangan Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku pada periode pengalihan hak atas tanah dan bangunan;
7. pengenaan Pajak Penghasilan atas penghasilan dari perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dan/atau bangunan beserta perubahannya berlaku ketentuan bahwa penghasilan dari pihak pembeli yang namanya tercantum dalam perjanjian pengikatan jual beli sebelum terjadinya perubahan atau adendum perjanjian pengikatan jual beli yang:
a. perubahan atau adendum perjanjian pengikatan jual beli dilakukan sebelum tanggal 7 September 2016, dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif Pasal 17 atau Pasal 26 Undang-Undang Pajak Penghasilan; atau
b. perubahan atau adendum perjanjian pengikatan jual beli dilakukan pada tanggal 7 September 2016 dan/atau setelahnya, dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2016 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan, dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli atas Tanah dan/atau Bangunan Beserta Perubahannya;
8. Wajib Pajak yang:
a. melakukan pengalihan Real Estat kepada Special Purpose Company atau Kontrak Investasi Kolektif dalam skema Kontrak Investasi Kolektif Tertentu dan pembayaran atas pengalihan tersebut telah dilunasi sebelum tanggal 17 Oktober 2016 dan atas pengalihan hak tersebut belum dibuatkan akta, keputusan, perjanjian, kesepakatan, atau risalah lelang oleh pejabat yang berwenang; dan
b. penghasilan atas pengalihan sebagaimana dimaksud dalam huruf a telah dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak yang bersangkutan dan Pajak Penghasilan atas penghasilan tersebut telah dilunasi sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku pada periode pengalihan hak atas tanah dan bangunan,
dikecualikan atas pengenaan Pajak Penghasilan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2016 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Real Estat dalam Skema Kontrak Investasi Kolektif Tertentu dengan penerbitan surat keterangan bebas Pajak Penghasilan atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan atau perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dan/atau bangunan beserta perubahannya;
9. Wajib Pajak yang:
a. melakukan pengalihan Real Estat kepada Special Purpose Company atau Kontrak Investasi Kolektif dalam skema Kontrak Investasi Kolektif Tertentu dan pembayaran atas pengalihan baru dilunasi sebagian sebelum tanggal 17 Oktober 2016 dan atas pengalihan hak tersebut belum dibuatkan akta, keputusan, perjanjian, kesepakatan, atau risalah lelang oleh pejabat yang berwenang; dan
b. penghasilan atas pengalihan hak sebagaimana dimaksud dalam huruf a telah dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak yang bersangkutan dan Pajak Penghasilan atas penghasilan tersebut telah dilunasi sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku pada periode pengalihan hak atas tanah dan bangunan,
dikecualikan atas pengenaan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2016 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Real Estat dalam Skema Kontrak Investasi Kolektif Tertentu dengan penerbitan surat keterangan bebas Pajak Penghasilan atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan atau perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dan/atau bangunan beserta perubahannya dengan melakukan penyetoran Pajak Penghasilan atas bagian pelunasan pembayaran pengalihan sejak tanggal 17 Oktober 2016 berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2016 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Real Estat dalam Skema Kontrak Investasi Kolektif Tertentu;
10. Wajib Pajak yang:
a. melakukan pengalihan Real Estat kepada Special Purpose Company atau Kontrak Investasi Kolektif dalam skema Kontrak Investasi Kolektif Tertentu sebelum tanggal 17 Oktober 2016 dan atas pengalihan hak tersebut belum dibuatkan akta, keputusan, perjanjian, kesepakatan, atau risalah lelang oleh pejabat yang berwenang; dan
b. penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam huruf a belum dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak yang bersangkutan,
dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2016 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Real Estat dalam Skema Kontrak Investasi Kolektif Tertentu beserta perubahannya, dengan Dasar Pengenaan Pajak sebesar nilai transaksi saat dilakukan pembuatan akta, keputusan, perjanjian, kesepakatan, atau risalah lelang oleh pejabat yang berwenang;
11. Wajib Pajak yang:
a. melakukan pengalihan Real Estat kepada Special Purpose Company atau Kontrak Investasi Kolektif dalam skema Kontrak Investasi Kolektif Tertentu dan pembayaran atas pengalihan tersebut telah dilunasi sebelum tanggal 17 Oktober 2016 dan atas pengalihan hak tersebut belum dibuatkan akta, keputusan, perjanjian, kesepakatan, atau risalah lelang oleh pejabat yang berwenang; dan
b. pemenuhan kewajiban Pajak Penghasilan atas penghasilan dari pengalihan sebagaimana dimaksud dalam huruf a belum dilaksanakan sepenuhnya sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku pada periode pengalihan hak atas tanah dan bangunan; dan
c. penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam huruf b telah dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak yang bersangkutan,
dikecualikan atas pengenaan Pajak Penghasilan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2016 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Real Estat dalam Skema Kontrak Investasi Kolektif Tertentu beserta perubahannya dengan penerbitan surat keterangan bebas Pajak Penghasilan atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan atau perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dan/atau bangunan beserta perubahannya dengan melakukan penyetoran kekurangan Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku pada periode pengalihan hak atas tanah dan bangunan;
12. Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas kegiatan membangun sendiri untuk Masa Pajak sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini penghitungan, penyetoran, dan pelaporan Pajak Pertambahan Nilai atas kegiatan membangun sendiri dimaksud dilakukan berdasarkan Peraturan Menteri yang mengatur mengenai Pajak Pertambahan Nilai atas Kegiatan Membangun Sendiri yang berlaku pada Masa Pajak tersebut; dan
13. tarif Pajak Pertambahan Nilai yang digunakan dalam penghitungan Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas kegiatan membangun sendiri menggunakan tarif Pajak Pertambahan Nilai yang berlaku pada saat penyetoran Pajak Pertambahan Nilai atas kegiatan membangun sendiri dimaksud.


Pasal 478


Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:
1. permohonan penggunaan nilai buku atas penggabungan, peleburan, pemekaran usaha, atau pengambilalihan usaha yang telah disampaikan oleh Wajib Pajak tetapi belum diselesaikan sampai dengan Peraturan Menteri ini berlaku, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 52/PMK.010/2017 tentang penggunaan nilai buku atas pengalihan dan perolehan harta dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran atau pengambilalihan usaha sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 56/PMK.010/2021 tentang perubahan kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 52/PMK.010/2017 tentang penggunaan nilai buku atas pengalihan dan perolehan harta dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran atau pengambilalihan usaha;
2. terhadap:
a. permohonan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 411 dan permohonan pemanfaatan fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 415 yang telah disampaikan oleh Wajib Pajak tetapi belum diselesaikan sampai dengan Peraturan Menteri ini berlaku; dan
b. permohonan pemanfaatan fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 415 yang disampaikan setelah berlakunya Peraturan Menteri ini oleh Wajib Pajak yang telah memperoleh pemberitahuan persetujuan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 412 sebelum Peraturan Menteri ini berlaku,
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 11/PMK.010/2020 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2019 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-Bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-Daerah Tertentu sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 96/PMK.010/2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 11/PMK.010/2020 Tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2019 Tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-Bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-Daerah Tertentu;
3. terhadap:
a. permohonan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 425 dan permohonan pemanfaatan fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 427 yang telah disampaikan oleh Wajib Pajak tetapi belum diselesaikan sampai dengan Peraturan Menteri ini berlaku; dan
b. permohonan pemanfaatan fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 427 yang disampaikan setelah berlakunya Peraturan Menteri ini oleh Wajib Pajak yang telah memperoleh pemberitahuan persetujuan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 426 sebelum Peraturan Menteri ini berlaku,
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 16/PMK.010/2020 tentang Pemberian Fasilitas Pengurangan Penghasilan Neto atas Penanaman Modal Baru atau Perluasan pada Bidang Usaha Tertentu yang Merupakan Industri Padat Karya; dan
4. permohonan Warga Negara Asing yang memilih untuk dikenai Pajak Penghasilan hanya atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dari Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 446 yang telah disampaikan oleh Wajib Pajak tetapi belum diselesaikan sampai dengan Peraturan Menteri ini berlaku, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.03/2021 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja di Bidang Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, serta Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.


BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
 
Pasal 479

Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, peraturan pelaksanaan dari Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.03/2017 tentang Tata Cara Pendaftaran Wajib Pajak dan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak serta Pengukuhan dan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 1516) dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri ini.


Pasal 480


Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, peraturan pelaksanaan dari Peraturan Menteri Keuangan Nomor 48/PMK.03/2021 tentang Tata Cara Pendaftaran, Pelaporan, dan Pendataan Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 519) dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri ini.

         

Pasal 481


Pada saat Peraturan Menteri ini berlaku:
1. peraturan pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 242/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Pembayaran dan Penyetoran Pajak (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 1973) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.03/2021 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja di Bidang Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, serta Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 153); dan
2. ketentuan terkait tata cara pembayaran dan penyetoran pajak serta jatuh tempo pembayaran dan penyetoran pajak yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan atau Keputusan Menteri Keuangan selain Peraturan Menteri Keuangan Nomor 242/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Pembayaran dan Penyetoran Pajak (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 1973) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.03/2021 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja di Bidang Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, serta Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 153),
dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri ini.


Pasal 482


Pada saat Peraturan Menteri ini berlaku:
1. peraturan pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 243/PMK.03/2014 tentang Surat Pemberitahuan (SPT) (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 1974) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.03/2021 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja di Bidang Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, serta Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 153); dan
2. ketentuan terkait jenis, bentuk, dan isi Surat Pemberitahuan, serta tata cara penyampaian dan jatuh tempo penyampaian Surat Pemberitahuan yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan atau Keputusan Menteri Keuangan selain Peraturan Menteri Keuangan Nomor 243/PMK.03/2014 tentang Surat Pemberitahuan (SPT) (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 1974) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.03/2021 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja di Bidang Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, serta Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 153),
dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri ini.


Pasal 483


Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:
1. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 624/KMK.04/1994 tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 atas Penghasilan Berupa Premi Asuransi dan Premi Reasuransi yang Dibayar kepada Perusahaan Asuransi di Luar Negeri;
2. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 282/KMK.04/1997 tentang Pelaksanaan Pemungutan Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Transaksi Penjualan Saham di Bursa Efek;
3. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 434/KMK.04/1999 tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 atas Penghasilan yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri selain Bentuk Usaha Tetap atas Penghasilan Berupa Keuntungan dari Penjualan Saham;
4. Pasal 7 ayat (2) dan ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 196/PMK.03/2007 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pembukuan dengan Menggunakan Bahasa Asing dan Satuan Mata Uang Selain Rupiah serta Kewajiban Penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 123/PMK.03/2019 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 196/PMK.03/2007 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pembukuan dengan Menggunakan Bahasa Asing dan Satuan Mata Uang selain Rupiah serta Kewajiban Penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 975);
5. Pasal 6 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 40/PMK.03/2010 tentang Tata Cara Penghitungan, Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 96);
6. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 65/PMK.03/2010 tentang Tata Cara Pengurangan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas Barang Kena Pajak yang Dikembalikan dan Pajak Pertambahan Nilai atas Jasa Kena Pajak yang Dibatalkan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 141);
7. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 73/PMK.03/2010 tentang Penunjukan Kontraktor Kontrak Kerja Sama Pengusahaan Minyak dan Gas Bumi dan Kontraktor atau Pemegang Kuasa/Pemegang Izin Pengusahaan Sumber Daya Panas Bumi untuk Memungut, Menyetor, dan Melaporkan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, serta Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporannya (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 156);
8. Pasal 5 ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 111/PMK.03/2010 tentang Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan atas Dividen yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi dalam Negeri (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 278);
9. Pasal 6 ayat (3) Peraturan Menteri keuangan Nomor 112/PMK.03/2010 tentang Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan atas Bunga Simpanan yang Dibayarkan oleh Koperasi kepada Anggota Koperasi Orang Pribadi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 279);
10. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2011 tentang Permohonan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak Bumi Dan Bangunan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 36);
11. Pasal 8 ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 85/PMK.03/2011 tentang Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan atas Bunga Obligasi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 307) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 7/PMK.011/2012 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 85/PMK.03/2011 tentang Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan atas Bunga Obligasi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 67);
12. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 257/PMK.011/2011 tentang Tata Cara Pemotongan dan Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan Lain Kontraktor Berupa Uplift atau Imbalan Lain yang Sejenis dan/atau Penghasilan Kontraktor dari Pengalihan Participating Interest (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 946);
13. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 79/PMK.02/2012 tentang Tata Cara Penyetoran dan Pelaporan Penerimaan Negara dari Kegiatan Usaha Hulu Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi dan Penghitungan Pajak Penghasilan untuk Keperluan Pembayaran Pajak Penghasilan Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi Berupa Volume Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 544) sebagaimana telah diubah dengan PMK-70/PMK.02/2015 tentang perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 79/PMK.02/2012 tentang Tata Cara Penyetoran dan Pelaporan Penerimaan Negara dari Kegiatan Usaha Hulu Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi dan Penghitungan Pajak Penghasilan untuk Keperluan Pembayaran Pajak Penghasilan Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi Berupa Volume Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 482);
14. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 10/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak yang Seharusnya Tidak Terutang, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 13);
15. Pasal 23 dan 24 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 76/PMK.03/2013 tentang Penatausahaan Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Pertambangan untuk Pertambangan Minyak Bumi, Gas Bumi, dan Panas Bumi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 573) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 131/PMK.03/2017 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 76/PMK.03/2013 tentang Penatausahaan Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Pertambangan untuk Pertambangan Minyak Bumi, Gas Bumi, dan Panas Bumi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 1381);
16. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 242/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Pembayaran dan Penyetoran Pajak (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 1973) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.03/2021 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja di Bidang Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, serta Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 153);
17. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 243/PMK.03/2014 tentang Surat Pemberitahuan (SPT) (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 1974) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.03/2021 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja di Bidang Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, serta Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 153);
18. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 187/PMK.03/2015 tentang Tata Cara Pengembalian atas Kelebihan Pembayaran Pajak yang Seharusnya Tidak Terutang (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 1471);
19. Pasal 4 dan Pasal 5 Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 200/PMK.03/2015 tentang Perlakuan Perpajakan bagi Wajib Pajak dan Pengusaha Kena Pajak yang Menggunakan Skema Kontrak Investasi Kolektif Tertentu dalam Rangka Pendalaman Sektor Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 1692);
20. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 244/PMK.03/2015 tentang Tata Cara Penghitungan dan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 1964);
21. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 261/PMK.03/2016 tentang Tata Cara Penyetoran, Pelaporan, dan Pengecualian Pengenaan Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan, dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli atas Tanah dan/atau Bangunan Beserta Perubahannya (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 29);
22. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 34/PMK.010/2017 tentang Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 Sehubungan dengan Pembayaran atas Penyerahan Barang dan Kegiatan di Bidang Impor atau Kegiatan Usaha di Bidang Lain (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 361) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 41/PMK.010/2022 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 34/PMK.010/2017 tentang Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 Sehubungan Dengan Pembayaran atas Penyerahan Barang dan Kegiatan di Bidang Impor atau Kegiatan Usaha di Bidang Lain (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 341);
23. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 37/PMK.03/2017 tentang Tata Cara Pembayaran dan Pelaporan Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Real Estat dalam Skema Kontrak Investasi Kolektif Tertentu (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 374);
24. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 52/PMK.010/2017 tentang Penggunaan Nilai Buku atas Pengalihan dan Perolehan Harta dalam Rangka Penggabungan, Peleburan, Pemekaran, atau Pengambilalihan Usaha (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 586) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 56/PMK.010/2021 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 52/PMK.010/2017 tentang Penggunaan Nilai Buku atas Pengalihan dan Perolehan Harta dalam Rangka Penggabungan, Peleburan, Pemekaran, atau Pengambilalihan Usaha (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 637);
25. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.03/2017 tentang Tata Cara Pendaftaran Wajib Pajak dan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak serta Pengukuhan dan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 1516);
26. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 166/PMK.03/2018 tentang Penunjukan Pemegang Izin Usaha Pertambangan Khusus Operasi Produksi untuk Memungut, Menyetor, dan Melaporkan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, serta Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporannya (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 1682);
27. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 215/PMK.03/2018 tentang Penghitungan Angsuran Pajak Penghasilan dalam Tahun Pajak Berjalan yang Harus Dibayar Sendiri oleh Wajib Pajak Baru, Bank, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Wajib Pajak Masuk Bursa, Wajib Pajak Lainnya yang Berdasarkan Ketentuan Diharuskan Membuat Laporan Keuangan Berkala dan Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 1860);
28. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 32/PMK.010/2019 tentang Batasan Kegiatan dan Jenis Jasa Kena Pajak yang atas Ekspornya Dikenai Pajak Pertambahan Nilai (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 354);
29. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 120/PMK.03/2019 tentang Tata Cara Pengajuan dan Penyelesaian Permintaan Kembali Pajak Pertambahan Nilai Barang Bawaan Orang Pribadi Pemegang Paspor Luar Negeri (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 954);
30. Pasal 2 sampai dengan Pasal 7 dan Pasal 23 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 231/PMK.03/2019 tentang Tata Cara Pendaftaran dan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak, Pengukuhan dan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, serta Pemotongan dan/atau Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak bagi Instansi Pemerintah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 1746) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 59/PMK.03/2022 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 231/PMK.03/2019 tentang Tata Cara Pendaftaran dan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak, Pengukuhan dan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, serta Pemotongan dan/atau Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak bagi Instansi Pemerintah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 359);
31. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 11/PMK.010/2020 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2019 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-Bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-Daerah Tertentu (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 114) sebagaimana telah diubah dengan PMK-96/PMK.010/2020 tentang Perubahan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 11/PMK.010/2020 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2019 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-Bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-Daerah Tertentu (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 839);
32. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 16/PMK.010/2020 tentang Pemberian Fasilitas Pengurangan Penghasilan Neto atas Penanaman Modal Baru atau Perluasan pada Bidang Usaha Tertentu yang Merupakan Industri Padat Karya (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 227);
33. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 153/PMK.010/2020 tentang Pemberian Pengurangan Penghasilan Bruto atas Kegiatan Penelitian dan Pengembangan Tertentu di Indonesia (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 1173);
34. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 8/PMK.03/2021 tentang Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah oleh Badan Usaha Milik Negara dan Perusahaan Tertentu yang Dimiliki Secara Langsung oleh Badan Usaha Milik Negara sebagai Pemungut Pajak Pertambahan Nilai (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 75);
35. Pasal 7 sampai dengan Pasal 13, Pasal 37 sampai dengan Pasal 41, Pasal 62 sampai dengan Pasal 78, Pasal 83 sampai dengan Pasal 102, Pasal 106, Pasal 109, dan Pasal 111 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.03/2021 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja di Bidang Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, serta Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 153);
36. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 48/PMK.03/2021 tentang Tata Cara Pendaftaran, Pelaporan, dan Pendataan Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 519);
37. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 54/PMK.03/2021 tentang Tata Cara Melakukan Pencatatan dan Kriteria Tertentu serta Tata Cara Menyelenggarakan Pembukuan untuk Tujuan Perpajakan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 591);
38. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 63/PMK.03/2021 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan serta Penerbitan, Penandatanganan, dan Pengiriman Keputusan atau Ketetapan Pajak Secara Elektronik (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 659);
39. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 60/PMK.03/2022 tentang Tata Cara Penunjukan Pemungut, Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean di Dalam Daerah Pabean melalui Perdagangan melalui Sistem Elektronik (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 360);
40. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 61/PMK.03/2022 tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Kegiatan Membangun Sendiri (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 361);
41. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 67/PMK.03/2022 tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Jasa Agen Asuransi, Jasa Pialang Asuransi, dan Jasa Pialang Reasuransi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 367); dan
42. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2022 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penghasilan atas Transaksi Perdagangan Aset Kripto (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 368),
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

    

Pasal 484


Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2025.
                                        
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.




  Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 14 Oktober 2024
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

SRI MULYANI INDRAWATI

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 18 Oktober 2024
PLT. DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

ASEP N. MULYANA


 

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2024 NOMOR 771