Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.
| a. | bahwa dalam perkembangan pelaksanaan kebijakan energi nasional terdapat perubahan lingkungan strategis yang signifikan baik nasional maupun global, di antaranya target pertumbuhan ekonomi untuk menjadi negara maju pada tahun 2045, kemajuan pengembangan teknologi energi dan keanekaragaman jenis energi bam dan energi terbarukan secara pesat yang akan meningkatkan pangsa energi baru dan energi terbarukan dalam bauran energi primer nasional, serta kontribusi terbesar sektor energi dalam memenuhi komitmen nasional untuk mencapai target pengurangan emisi gas rumah kaca dan emisi nol bersih (net zero emission) pada tahun 2060; |
| b. | bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu dilakukan pembaman kebijakan energi nasional sebagaimana telah ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional; |
| c. | bahwa rancangan kebijakan energi nasional telah mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; |
| d. | bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Kebijakan Energi Nasional; |
| 1. | Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; |
| 2. | Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4746); |
| 1. | Energi adalah kemampuan untuk melakukan kerja yang dapat berupa panas, cahaya, mekanika, kimia, dan elektromagnetika. |
| 2. | Sumber Energi adalah sesuatu yang dapat menghasilkan Energi, baik secara langsung maupun melalui proses konversi atau transformasi. |
| 3. | Sumber Daya Energi adalah sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan, balk sebagai Sumber Energi maupun sebagai Energi. |
| 4. | Energi Baru adalah Energi yang berasal dari sumber energi baru. |
| 5. | Energi Terbamkan adalah Energi yang berasal dari sumber energi terbarukan. |
| 6. | Energi Tak Terbarukan adalah Energi yang berasal dari sumber energi tak terbarukan. |
| 7. | Emisi Nol Bersih (Net Zero Emission) adalah kondisi tercapainya keseimbangan jumlah emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dengan jumlah yang mampu diserap oleh lingkungan dan atmosfer untuk menjaga kenaikan suhu global tidak melebihi 1,5 °C. |
| 8. | Ekonomi Hijau adalah sistem kegiatan produksi, distribusi, hingga konsumsi berkelanjutan dan inklusif secara sosial. |
| 9. | Pengelolaan Energi adalah penyelenggaraan kegiatan penyediaan, pengusahaan, dan pemanfaatan Energi, serta penyediaan cadangan strategis dan konservasi Sumber Daya Energi. |
| 10. | Penyediaan Energi adalah kegiatan atau proses menyediakan Energi, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri. |
| 11. | Pemanfaatan Energi adalah kegiatan menggunakan Energi, baik langsung maupun tidak langsung dari Sumber Energi. |
| 12. | Kemandirian Energi adalah kondisi terjaminnya ketersediaan Energi dengan memanfaatkan semaksimal mungkin potensi dari Sumber Energi, teknologi, dan komponen lainnya yang berasal dari dalam negeri. |
| 13. | Ketahanan Energi adalah suatu kondisi terjaminnya ketersediaan Energi dan akses masyarakat terhadap Energi pada harga yang terjangkau dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan perlindungan dan pengelolaan terhadap lingkungan hidup. |
| 14. | Kedaulatan Energi adalah hak negara dan bangsa untuk secara mandiri menentukan kebijakan Pengelolaan Energi untuk mencapai Kemandirian Energi dan Ketahanan Energi. |
| 15. | Dekarbonisasi Sektor Energi adalah proses pengurangan emisi gas rumah kaca sektor Energi ke atmosfer untuk mencapai Ekonomi Hijau dan Emisi Nol Bersih (Net Zero Emission) pada tahun 2060 melalui transisi Energi secara bertahap. |
| 16. | Ketahanan Iklim adalah kemampuan untuk mengantisipasi, mempersiapkan dan merespons dampak, risiko dan kerentanan akibat perubahan iklim pada wilayah dan kehidupan masyarakat. |
| 17. | Ekonomi Sirkular adalah pendekatan sistem ekonomi sirkular tertutup, dengan memaksimalkan penggunaan dan nilai material, komponen, produk, serta pemanfaatan limbah. |
| 18. | Konservasi Energi adalah upaya sistematis, terencana, dan terpadu guna melestarikan Sumber Daya Energi dalam negeri serta meningkatkan efisiensi pemanfaatannya. |
| 19. | Konservasi Sumber Daya Energi adalah pengelolaan Sumber Daya Energi yang menjamin pemanfaatannya dan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragamannya. |
| 20. | Lingkungan Hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengamhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. |
| 21. | Energi Primer adalah Energi yang bersumber dari alam dan belum mengalami proses konversi atau transformasi. |
| 22. | Energi Final adalah Sumber Energi dan Energi yang langsung dapat dikonsumsi oleh pengguna akhir. |
| 23. | Energi Hijau adalah Sumber Energi dan Energi yang bersih dan ramah lingkungan. |
| 24. | Industri Energi adalah semua industri yang bergerak dalam produksi dan penjualan Energi, manufaktur peralatan produksi, dan Pemanfaatan Energi termasuk kegiatan ekstraksi Sumber Energi, pengolahan, penyimpanan, transmisi, dan distribusi. |
| 25. | Industri Energi Hijau adalah Industri Energi yang dalam proses produksinya mengutamakan upaya efisiensi dan efektivitas pemanfaatan sumber daya secara berkelanjutan sehingga mampu menyelaraskan pembangunan industri dengan kelestarian fungsi Lingkungan Hidup serta dapat memberikan manfaat bagi masyarakat. |
| 26. | Intensitas Energi adalah jumlah total konsumsi Energi dengan satuan tonnes of oil equivalent (TOE) per unit produk domestik bruto dengan satuan US dolar (USD). |
| 27. | Intensitas Emisi Sektor Energi adalah jumlah Emisi GRK Sektor Energi dengan satuan ton karbon dioksida ekuivalen (C02e) per unit input Energi Primer dengan satuan tonnes of oil equivalent (TOE). |
| 28. | Cadangan Energi adalah Sumber Daya Energi yang sudah diketahui lokasi, jumlah, dan mutunya. |
| 29. | Cadangan Strategis adalah Cadangan Energi untuk masa depan. |
| 30. | Cadangan Penyangga Energi adalah jumlah ketersediaan Sumber Energi dan Energi yang disimpan secara nasional yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan Energi nasional pada kurun waktu tertentu. |
| 31. | Cadangan Operasional adalah jumlah ketersediaan Sumber Energi dan Energi yang dimiliki oleh Penyedia Energi yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan konsumen. |
| 32. | Diversifikasi Energi adalah penganekaragaman pemanfaatan Sumber Energi. |
| 33. | Emisi Gas Rumah Kaca Sektor Energi yang selanjutnya disebut Emisi GRK Sektor Energi adalah emisi yang dihasilkan oleh proses produksi dan pemanfaatan Sumber Energi terutama sumber energi tak terbarukan. |
| 34. | Nilai Ekonomi Karbon yang selanjutnya disingkat NEK adalah nilai terhadap setiap unit emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari kegiatan manusia dan kegiatan ekonomi. |
| 35. | Elektrifikasi adalah pemakaian atau penggantian pemanfaatan Energi non-listrik menjadi Energi listrik. |
| 36. | Penyimpanan Energi adalah serangkaian proses, metode, alat, dan/atau teknologi yang digunakan untuk menyimpan Energi listrik, elektrokimia, kimia, mekanik (mekanis), termal (panas), atau Energi lainnya yang bisa digunakan pada suatu waktu tertentu untuk berbagai kepentingan. |
| 37. | Sistem Energi adalah infrastruktur yang digunakan untuk mengekstraksi, mentransformasi, menyalurkan, dan mengonversi Energi dalam rangka Penyediaan Energi. |
| 38. | Pembangunan Berkelanjutan adalah upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek Lingkungan Hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan Lingkungan Hidup, serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan. |
| 39. | Penyedia Tenaga Listrik adalah badan usaha pembangkitan tenaga listrik baik untuk kepentingan umum maupun kepentingan sendiri. |
| 40. | Sistem Tenaga Listrik adalah sistem penyediaan tenaga listrik yang terdiri dari sekumpulan pembangkit dan gardu induk yang terhubung satu dengan lainnya oleh jaringan transmisi dengan pusat beban atau jaringan distribusi. |
| 41. | Tenaga Nuklir adalah tenaga dalam bentuk apa pun yang dibebaskan dalam proses transformasi inti, termasuk tenaga yang berasal dari sumber radiasi pengion. |
| 42. | Tonnes of Oil Equivalent yang selanjutnya disingkat TOE adalah kuantitas energi yang terkandung dalam satu ton minyak mentah. |
| 43. | Badan Usaha adalah badan usaha berbentuk badan hukum atau tidak berbentuk badan hukum yang menjalankan jenis usaha/kegiatan pada bidang tertentu, terns-menerns, serta bekerja dan berkedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. |
| 44. | Penyedia Energi adalah Badan Usaha, bentuk usaha tetap, koperasi, dan swadaya masyarakat yang melaksanakan Penyediaan Energi. |
| 45. | Pengguna Energi adalah pemerintah pusat, pemerintah daerah, Badan Usaha, bentuk usaha tetap, dan masyarakat yang melaksanakan Pemanfaatan Energi. |
| 46. | Pengguna Sumber Energi adalah pemerintah pusat, pemerintah daerah, Badan Usaha, bentuk usaha tetap, dan masyarakat yang melaksanakan pemanfaatan Sumber Energi. |
| 47. | Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. |
| 48. | Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom. |
| 49. | Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Energi. |
| 50. | Dewan Energi Nasional adalah suatu lembaga bersifat nasional, mandiri, dan tetap yang bertanggungjawab atas kebijakan energi nasional. |
| (1) | Kebijakan energi nasional menjadi pedoman dalam penyusunan rencana umurn nasional terkait ketenagalistrikan, minyak, gas, batubara, dan energi lainnya. |
| (2) | Kebijakan energi nasional menjadi acuan dalam penyusunan rencana pembangunan jangka menengah nasional dan rencana strategis kementerian/lembaga yang terkait dengan Pengelolaan Energi nasional dan daerah. |
| (1) | Kebijakan energi nasional dapat ditinjau setiap 5 (lima) tahun atau lebih cepat dari 5 (lima) tahun apabila diperlukan. |
| (2) | Peninjauan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam hal terdapat perubahan kondisi dan lingkungan strategis. |
| a. | Sumber Daya Energi sebagai modal pembangunan diutamakan untuk memenuhi kebutuhan Energi dalam negeri dan Cadangan Strategis, dalam rangka mengamankan Penyediaan Energi dalam jangka panjang; |
| b. | Ketahanan Energi dengan kondisi tahan dalam jangka panjang; |
| c. | Pengelolaan Energi yang bertumpu kepada Sumber Daya Energi dan potensi nasional; |
| d. | pemenuhan kebutuhan Energi yang rasional untuk mencapai target indeks pembangunan manusia dan Ekonomi Hijau; |
| e. | ketersediaan Energi dan terpenuhinya kebutuhan Sumber Energi dalam negeri; |
| f. | pengelolaan Sumber Daya Energi secara optimal, terpadu, dan berkelanjutan; |
| g. | Penyediaan Energi dan Pemanfaatan Energi secara efisien di semua sektor; |
| h. | akses untuk masyarakat terhadap Energi secara adil dan merata; |
| i. | akselerasi penelitian, pengembangan, pengkajian dan penerapan teknologi melalui riset dan inovasi teknologi, lndustri Energi, dan peran jasa Energi terutama berbasis pada pemanfaatan Sumber Daya Energi nasional; |
| j. | transfer, kliring dan audit teknologi, serta pendidikan dan pelatihan; |
| k. | Kedaulatan Energi dengan produktivitas Energi yang tinggi; |
| l. | perluasan lapangan kerja, kesempatan kerja, dan berusaha; |
| m. | kelestarian fungsi Lingkungan Hidup; |
| n. | optimalisasi pemanfaatan teknologi rendah karbon dalam pemanfaatan Energi Tak Terbarukan; dan |
| o. | pengelolaan sarana dan prasarana Energi yang optimal dengan aset terlantar (stranded asset) yang minimum. |
| a. | terwujudnya paradigma bahwa Sumber Daya Energi merupakan modal Pembangunan Berkelanjutan; |
| b. | terwujudnya optimalisasi Pemanfaatan Energi bagi pembangunan ekonomi nasional; |
| c. | terpenuhinya kebutuhan Energi nasional secara adil dan merata dalam rangka mendukung pembangunan ekonomi yang berkelanjutan; |
| d. | terwujudnya Kedaulatan Energi, Kemandirian Energi, dan Ketahanan Energi nasional; |
| e. | terwujudnya Dekarbonisasi Sektor Energi melalui transisi Energi untuk mendukung tercapainya target pengurangan Emisi GRK Sektor Energi dan Emisi Nol Bersih (Net Zero Emission) pada tahun 2060 dengan tetap mengutamakan Kemandirian Energi dan Ketahanan Energi nasional; |
| f. | terciptanya nilai tambah di dalam negeri; dan |
| g. | terwujudnya penyerapan tenaga kerja. |
| (1) | Dalam mewujudkan sasaran kebijakan energi nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ditetapkan sasaran pemanfaatan Energi Final dan penyediaan Energi Primer dengan mempertimbangkan sasaran pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan penduduk, dan perubahan lingkungan strategis. |
| (2) | Sasaran pemanfaatan Energi Final dan penyediaan Energi Primer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicapai dengan mengutamakan keamanan pasokan Energi dan keterjangkauan harga Energi dengan tetap memperhatikan nilai keekonomian berkeadilan dan kemampuan keuangan negara. |
| (3) | Pencapaian sasaran pemanfaatan Energi Final dan penyediaan Energi Primer sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui transisi Energi dengan pengembangan Energi rendah karbon dalam jangka menengah dan jangka panjang secara bertahap, rasional, terukur, dan berkelanjutan. |
| (1) | Sasaran pemanfaatan Energi Final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 meliputi tercapainya pemanfaatan Energi Final pada:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
| (2) | Tercapainya pemanfaatan Energi Final sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melalui tahapan:
|
| a. | tercapainya penyediaan Energi Primer:
|
||||||||
| b. | tercapainya Intensitas Energi Primer pada:
|
| a. | tercapainya pemanfaatan Energi Final per kapita pada:
|
||||||||
| b. | tercapainya konsumsi Energi listrik per kapita pada:
|
||||||||
| c. | tercapainya penggunaan gas rumah tangga pada:
|
| a. | tercapainya penyediaan Energi Primer per kapita pada:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
| b. | tercapainya bauran Energi Primer nasional yang optimal untuk menjamin keseimbangan antara pasokan dan kebutuhan Energi nasional serta. penurunan Emisi GRK Sektor Energi dengan:
|
| (1) | Selain pencapaian sasaran dan target sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 sampai dengan Pasal 12, kebijakan energi nasional juga bertujuan untuk mencapai penurunan Emisi GRK Sektor Energi dalam rangka pemenuhan komitmen Indonesia dalam Dekarbonisasi Sektor Energi. | ||||||||||||||||||||||||||||||
| (2) | Penurunan Emisi GRK Sektor Energi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara bertahap, terukur, dan rasional melalui:
|
||||||||||||||||||||||||||||||
| (3) | Pencapaian penurunan Emisi GRK Sektor Energi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup:
|
| (1) | Arah kebijakan energi nasional terdiri dari kebijakan utama dan kebijakan pendukung. | ||||||||||||||||||||
| (2) | Kebijakan utama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
||||||||||||||||||||
| (3) | Kebijakan pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kebijakan untuk mendukung terwujudnya kebijakan utama sebagaimana dimaksud pada ayat (2). | ||||||||||||||||||||
| (4) | Kebijakan pendukung dalam mewujudkan ketersediaan Energi untuk kebutuhan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a meliputi:
|
||||||||||||||||||||
| (5) | Kebijakan pendukung dalam mewujudkan pemanfaatan Sumber Daya Energi nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, meliputi:
|
||||||||||||||||||||
| (6) | Kebijakan pendukung dalam mewujudkan prioritas pengembangan Energi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, meliputi:
|
||||||||||||||||||||
| (7) | Kebijakan pendukung dalam mewujudkan Cadangan Energi nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d, meliputi:
|
||||||||||||||||||||
| (8) | Selain kebijakan pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (4) sampai dengan ayat (7), kebijakan utama harus didukung:
|
| (1) | Ketersediaan Energi untuk kebutuhan nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) huruf a dilakukan dengan strategi:
|
||||||||||||
| (2) | Dalam mewujudkan ketersediaan Energi untuk kebutuhan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (I) dilaksanakan dengan:
|
||||||||||||
| (3) | Dalam hal pelaksanaan Penyediaan Energi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terjadi tumpang tindih pemanfaatan lahan maka mendahulukan yang memiliki nilai Ketahanan Energi nasional dan/atau nilai strategis lebih tinggi. |
| (1) | Pemanfaatan Sumber Daya Energi nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) huruf b dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah mengacu pada strategi:
|
||||||||||||||||||||||||||||
| (2) | Pemanfaatan Sumber Daya Energi nasional diutamakan untuk memenuhi kebutuhan Energi dan bahan baku industri dalam negeri. | ||||||||||||||||||||||||||||
| (3) | Pengutamaan pemanfaatan Sumber Daya Energi nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan pertimbangan menyeluruh atas kapasitas, kontinuitas, keekonomian, kesel^natan, dan kesehatan kerja, keamanan, dan dampak Lingkungan Hidup. | ||||||||||||||||||||||||||||
| (4) | Pelaksanaan pemanfaatan Sumber Daya Energi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diupayakan dengan:
|
| (1) | Prioritas pengembangan Energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) huruf c dilakukan dengan mempertimbangkan keseimbangan aspek:
|
||||||||||||
| (2) | Prioritas pengembangan Energi dengan mempertimbangkan keseimbangan aspek sebagaimana dimaksud pada ayat (1), didasarkan pada prinsip:
|
||||||||||||
| (3) | Prioritas Pengembangan Energi sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1) dan ayat (2) dilakukan melalui:
|
| a. | Cadangan Strategis; |
| b. | Cadangan Penyangga Energi; dan |
| c. | Cadangan Operasional. |
| (1) | Cadangan Strategis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf a diatur dan dialokasikan oleh Pemerintah Pusat untuk menjamin Ketahanan Energi jangka panjang. |
| (2) | Cadangan Strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diusahakan sesuai waktu yang telah ditetapkan atau sewaktu-waktu diperlukan untuk kepentingan nasional. |
| (1) | Cadangan Penyangga Energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf b disediakan untuk menjamin keamanan pasokan dan Ketahanan Energi nasional. | ||||||
| (2) | Cadangan Penyangga Energi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kewajiban yang harus disediakan oleh Pemerintah Pusat dengan ketentuan:
|
||||||
| (3) | Dewan Energi Nasional mengatur jenis, jumlah, waktu, dan lokasi Cadangan Penyangga Energi. |
| (1) | Cadangan Operasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf c wajib disediakan untuk jenis Energi Final yang dikonsumsi secara luas dan terus-menerus serta tersedia sistem penyimpanannya. |
| (2) | Cadangan Operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disediakan oleh Penyedia Energi untuk menjamin kontinuitas pasokan Energi. |
| (3) | Penyediaan Cadangan Operasional oleh Penyedia Energi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi bahan bakar padat, bahan bakar cair, bahan bakar gas, pengoperasian listrik, dan/atau Penyimpanan Energi. |
| (4) | Jenis, jumlah, waktu, dan lokasi Cadangan Operasional dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
| (1) | Penyediaan tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4) huruf a diutamakan dengan pemanfaatan sumber energi terbarukan dan Sumber Energi setempat. |
| (2) | Penyediaan tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya. |
| (3) | Usaha penyediaan tenaga listrik oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan oleh badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah. |
| (4) | Badan Usaha, koperasi, dan swadaya masyarakat dapat berpartisipasi dalam usaha penyediaan tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berdasarkan ketentuan produksi tenaga listrik yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
| (5) | Usaha penyediaan tenaga listrik oleh badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) termasuk interkoneksi Sistem Tenaga Listrik setempat atau antar daerah atau antar pulau. |
| (6) | Usaha penyediaan tenaga listrik oleh Badan Usaha, koperasi, dan swadaya masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tennasuk alokasi risiko yang diatur dalam Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik antara perusahaan listrik milik negara selaku pembeli dengan Badan Usaha, koperasi, atau swadaya masyarakat selaku penjual. |
| (7) | Ketentuan pelaksanaan penyediaan tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan ayat (6) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
| (1) | Interkoneksi Sistem Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (5) dilakukan untuk meningkatkan efisiensi, keandalan, dan/atau penetrasi Energi Baru dan Energi Terbarukan. |
| (2) | lnterkoneksi Sistem Tenaga Listrik antar daerah atau antar pulau dilakukan setelah terbangunnya interkoneksi Sistem Tenaga Listrik setempat. |
| (3) | lnterkoneksi Sistem Tenaga Listrik antar daerah atau antar pulau sebagaimana dimaksud pada ayat (2) direncanakan dan dibangun berdasarkan hasil studi kelayakan dan terpenuhinya persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
| (1) | Penyediaan Energi Final nonlistrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4) huruf b dilakukan dengan memaksimalkan pemanfaatan Sumber Energi yang rendah karbon dan meminimalkan pemanfaatan Sumber Energi yang tinggi karbon. |
| (2) | Pengembangan infrastruktur penyediaan Energi Final nonlistrik dilakukan dengan memperhatikan capaian Dekarbonisasi Sektor Energi. |
| (3) | Penyediaan Energi Final nonlistrik dari sumber energi tak terbarukan dilakukan dengan teknologi rendah karbon. |
| (4) | Perencanaan terkait penyediaan Energi Final nonlistrik dan pengembangan infrastrukturnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dituangkan dalam rencana umum energi nasional dan dijabarkan dalam rencana umum energi daerah. |
| (5) | Dalam hal keamanan pasokan penyediaan Energi Final nonlistrik belum memenuhi mekanisme pasar yang seimbang, pelaksanaan penyediaan Energi Final nonlistrik dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
| (1) | Dalam rangka mengamankan Penyediaan Energi dalam jangka panjang, Pemerintah Pusat dapat melakukan ekspor dan impor Sumber Energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4) huruf c. |
| (2) | Impor Sumber Energi berupa Sumber Daya Energi yang tersedia atau dapat disediakan di dalam negeri, dilakukan dengan cara terbatas dan terencana. |
| (1) | Ekspor Sumber Energi berupa tenaga listrik lintas negara dapat dilakukan dengan tujuan peningkatan efisiensi, keandalan, dan keamanan pasokan Penyediaan Energi dengan memprioritaskan pemenuhan kebutuhan listrik setempat demi memijudkan peningkatan ekonomi nasional. |
| (2) | Impor Sumber Energi berupa tenaga listrik lintas negara dapat dilakukan dengan tujuan peningkatan efisiensi, keandalan, dan keamanan pasokan Penyediaan Energi dengan pertimbangan belum tersedianya infrastruktur. |
| (3) | Ekspor dan impor Sumber Energi berupa tenaga listrik lintas negara dilakukan oleh perusahaan listrik milik negara pengekspor atau pengimpor atau entitas bisnis yang ditunjuk mewakili negara pengekspor atau pengimpor. |
| (1) | Ekspor dan impor Sumber Energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dan Pasal 26 dapat dilakukan dengan cara transaksi penukaran (swap). | ||||
| (2) | Ketentuan pelaksanaan transaksi penukaran (swap) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan perjanjian jual dan beli dalam hal:
|
| a. | pengurangan ketergantungan terhadap impor Sumber Energi; |
| b. | diversifikasi sumber impor suatu jenis Sumber Energi yang jumlahnya besar untuk menghindari ketergantungan impor dari satu sumber atau satu negara; |
| c. | pengaturan ekspor batubara, gas bumi, bahan bakar nabati, dan listrik melalui pelayanan terpadu satu pintu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan |
| d. | pengutamaan pemenuhan kebutuhan domestik dengan mengendalikan ekspor Sumber Energi terutama batubara, gas bumi, bahan bakar nabati, dan listrik. |
| (1) | Penerimaan negara yang berasal dari sektor Energi dapat dimanfaatkan untuk:
|
||||
| (2) | Pemanfaatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disesuaikan dengan prioritas nasional. | ||||
| (3) | Pemanfaatan dari penerimaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang keuangan. |
| (1) | Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya harus melaksanakan Diversifikasi Energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4) humf d untuk meningkatkan Konservasi Sumber Daya Energi, Kemandirian Energi, dan Ketahanan Energi nasional dan daerah. | ||||||||||||
| (2) | Diversifikasi Energi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui:
|
| (1) | Untuk melaksanakan Konservasi Sumber Daya Energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4) huruf e, Penyediaan Energi mengutamakan sumber daya energi terbarukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
| (2) | Konservasi Sumber Daya Energi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bersifat lintas sektor diwujudkan melalui pengaturan rencana tata ruang wilayah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
| (3) | Pengaturan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditujukan untuk Sumber Daya Energi yang diprioritaskan untuk diusahakan dan/ atau disediakan. |
| (1) | Konservasi Energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4) huruf e dilaksanakan pada seluruh tahap Pengelolaan Energi dari hulu hingga hilir. |
| (2) | Pelaksanaan Konservasi Energi pada seluruh tahap Pengelolaan Energi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk melestarikan Sumber Daya Energi dan meningkatkan efisiensi Energi serta mendukung Dekarbonisasi Sektor Energi. |
| (1) | Untuk menjamin ketersediaan Energi yang berkelanjutan, Penyedia Energi, Pengguna Sumber Energi, dan/ atau Pengguna Energi harus melakukan Konservasi Sumber Daya Energi dan Konservasi Energi dalam kegiatan Penyediaan Energi dan Pemanfaatan Energi. |
| (2) | Penyedia Energi, Pengguna Sumber Energi, dan/ atau Pengguna Energi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat bekerja sama dengan Badan Usaha, badan layanan usaha, dan/atau unit pelayanan teknis yang memberikan jasa Konservasi Energi. |
| (1) | Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya menetapkan pedoman penerapan kebijakan Konservasi Sumber Daya Energi dan Konservasi Energi. |
| (2) | Pedoman penerapan kebijakan Konservasi Sumber Daya Energi dan Konservasi Energi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat kewajiban manajemen Energi, standardisasi, labelisasi, dan penggunaan teknologi efisien. |
| (1) | Penyedia Energi harus menerapkan prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dalam kegiatan usaha dan produksinya. |
| (2) | Penyedia Energi menyampaikan laporan manajemen Energi setiap tahun paling lambat pada triwulan pertama tahun berikutnya. |
| (3) | Laporan manajemen Energi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), paling sedikit memuat produksi tahunan, pemanfaatan Energi Primer, efisiensi produksi, emisi karbon dioksida, kinerja manajemen Energi, dan hasil audit Energi. |
| (1) | Pengguna Sumber Energi dan/atau Pengguna Energi dengan konsumsi Energi melebihi jumlah tertentu harus melakukan manajemen Energi. |
| (2) | Pengguna Sumber Energi dan/atau Pengguna Energi menyampaikan laporan manajemen Energi setiap tahun paling lambat pada triwulan pertama tahun berikutnya. |
| (3) | Laporan manajemen Energi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), paling sedikit memuat konsumsi Energi tahunan, indikator efisiensi, kinerja manajemen Energi, dan hasil audit Energi. |
| (1) | Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah mendorong pembangunan dan pengembangan Industri Energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4) huruf f yang berkelanjutan dan memiliki daya saing, dengan tujuan:
|
||||||||||||||||
| (2) | Pengembangan Industri Energi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan mengutamakan Industri Energi Hijau. | ||||||||||||||||
| (3) | Pembangunan dan pengembangan lndustri Energi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan:
|
| (1) | Pelaksanaan Dekarbonisasi Sektor Energi, Industri Energi yang berbasis Energi Tak Terbarukan harus:
|
||||
| (2) | Dalam hal Industri Energi yang berbasis Energi Tak Terbarukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak memenuhi Standar Portofolio Energi Baru dan/atau Energi Terbarukan, Industri Energi harus memiliki sertifikat Energi Terbarukan. |
| (1) | Pembangunan dan pengembangan sarana dan prasarana Penyediaan Energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4) huruf f untuk meningkatkan keandalan sistem produksi, penyimpanan, transportasi, dan distribusi Penyediaan Energi diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya. | ||||||||||||
| (2) | Pembangunan dan pengembangan sarana dan prasarana Penyediaan Energi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan:
|
| (1) | Strategi Dekarbonisasi Sektor Energi dan transisi Energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (5) huruf a dilakukan dengan:
|
||||||||||||
| (2) | Pelaksanaan program transisi Energi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
|
||||||||||||
| (3) | Dalam hal ketersediaan Energi Baru dan Energi Terbarukan belum cukup memenuhi kebutuhan Sistem Energi setempat, program transisi Energi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b dapat dilakukan pada Sistem Energi berbasis Energi Tak Terbarukan dengan penggunaan teknologi rendah karbon. |
| a. | menjaga keandalan sistem; dan |
| b. | pemanfaatan teknologi yang andal dalam menerima Energi Baru dan/atau Energi Terbarukan |
| (1) | Dalam rangka mendorong transisi Energi, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menetapkan target Dekarbonisasi Sektor Energi, paling sedikit berupa:
|
||||||
| (2) | Target yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam rencana umum energi nasional atau rencana umum energi daerah. | ||||||
| (3) | Penyedia Energi dan Pengguna Energi dalam menyusun rencana usaha harus mengacu pada penetapan target yang tercantum dalam rencana umum energi nasional atau rencana umum energi daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2). |
| (1) | Pembangunan dan pengembangan sarana dan prasarana Pemanfaatan Energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (5) huruf b untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap Energi diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya. | ||||||||||||
| (2) | Pembangunan dan pengembangan sarana dan prasarana Pemanfaatan Energi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan:
|
| (1) | Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah mendorong langkah konversi Energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (5) huruf c untuk keanekaragaman Energi Final. |
| (2) | Konversi Energi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap seluruh jenis Energi, dengan mempertimbangkan efisiensi, rendah karbon, dan ramah lingkungan. |
| (3) | Dalam mendorong langkah konversi Energi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan memaksimalkan pemanfaatan sumber bahan baku dari dalam negeri. |
| (1) | Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah mendorong pengembangan industri peralatan pemanfaat Energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (5) huruf d untuk memenuhi persyaratan tingkat komponen dalam negeri. |
| (2) | Pengembangan industri peralatan pemanfaat Energi sebagaimana dimaksud ayat (1) berasal dari hilirisasi hasil riset dan inovasi serta industri dalam negeri dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
| (1) | Industri peralatan pemanfaat Energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 harus:
|
||||
| (2) | Standar kinerja energi minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
| a. | peningkatan pertumbuhan ekonomi yang memperhatikan ketersediaan Sumber Daya Energi dan menjaga keseimbangan Sistem Energi yang berkelanjutan; |
| b. | penyelenggaraan NEK sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; |
| c. | penyediaan dan penguatan pelaksanaan program Dekarbonisasi Sektor Energi; |
| d. | penguatan kerja sama dengan negara lain dalam mengembangkan infrastruktur Energi Hijau yang inovatif dan terjangkau; |
| e. | percepatan Elektrifikasi terutama di wilayah tertinggal, terdepan, terluar, terpencil, dan pulau kecil berpenduduk; |
| f. | kepastian jaminan keamanan pasokan dan harga Energi yang terjangkau dan berkeadilan; dan/atau |
| g. | perluasan jenis usaha Energi Hijau dan transformasi keahlian dan keterampilan. |
| (1) | Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah mendorong pengembangan Ekonomi Sirkular sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (5) huruf e dalam Pengelolaan Energi nasional dengan mempertimbangkan aspek ekonomi, sosial, dan Lingkungan Hidup. | ||||||||||
| (2) | Pengembangan Ekonomi Sirkular sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling sedikit dilakukan melalui:
|
| (1) | Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah mendorong pengembangan sumber energi baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (6) huruf a terutama untuk mencapai target Dekarbonisasi Sektor Energi. | ||||||||
| (2) | Dalam rangka mendorong pengembangan sumber energi baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah melakukan:
|
||||||||
| (3) | Pengembangan sumber energi baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
| (1) | Pengembangan sumber energi baru berupa hidrogen dan amonia serta Energi Baru lainnya ditujukan sebagai bahan bakar dan dapat disimpan. |
| (2) | Hidrogen dan amonia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diutamakan diproduksi dari sumber energi terbarukan untuk menghasilkan hidrogen hijau dengan teknologi yang efisien. |
| (3) | Dalam hal hidrogen dan amonia tidak dapat diproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), hidrogen dan amonia dapat diproduksi dari sumber energi baru atau sumber energi tak terbarukan dengan menggunakan teknologi rendah karbon. |
| (1) | Pengembangan sumber energi baru berupa nuklir ditujukan sebagai pembangkit listrik Tenaga Nuklir dan/atau dalam bentuk panas untuk co-generation. |
| (2) | Pembangkit listrik Tenaga Nuklir sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dibangun dan dioperasikan sesuai dengan persyaratan keselamatan, keamanan, garda-aman, jaminan pasokan bahan bakar nuklir, dan pengelolaan limbah radioaktif. |
| (3) | Pembangunan pembangkit listrik Tenaga Nuklir sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemilihan lokasi di suatu wilayah dilakukan dengan pertimbangan, paling sedikit lokasi yang aman dari ancaman bencana geologi, daerah tidak padat penduduk, dan daerah bukan lumbung pangan. |
| (4) | Untuk memastikan jaminan pasokan bahan bakar nuklir sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diperlukan pencadangan sumber daya bahan galian nuklir nasional. |
| (5) | Pembangunan dan pengoperasian pembangkit listrik Tenaga Nuklir sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus disetujui oleh badan pengawas tenaga nuklir. |
| (6) | Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan dalam rangka pelaksanaan pengawasan untuk memastikan keselamatan dan keamanan pembangunan dan pengoperasian pembangkit listrik Tenaga Nuklir. |
| (7) | Pembangunan dan pengoperasian pembangkit listrik Tenaga Nuklir sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berdasarkan rekomendasi dari organisasi pelaksana program energi nuklir. |
| (8) | Pembangunan dan pengoperasian serta pengawasan keselamatan pembangkit listrik Tenaga Nuklir sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan ayat (7) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
| (9) | Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembangan nuklir untuk co-generation sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Presiden. |
| (10) | Ketentuan lebih lanjut mengenai organisasi pelaksana program energi nuklir sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diatur dalam Peraturan Presiden. |
| (1) | Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memaksimalkan pengembangan sumber energi terbarukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (6) huruf b untuk Penyediaan Energi dalam suatu wilayah. | ||||||||
| (2) | Dalam rangka memaksimalkan pengembangan sumber energi terbarukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah melakukan:
|
||||||||
| (3) | Selain Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Badan Usaha dan bentuk usaha tetap yang memproduksi Energi Tak Terbarukan harus berperan serta dalam penurunan Emisi GRK Sektor Energi dan/atau pengembangan sumber energi terbarukan. | ||||||||
| (4) | Pengembangan sumber energi terbarukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
| (1) | Pengembangan sumber energi tak terbarukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (6) huruf c dilakukan untuk memenuhi kebutuhan yang belum dapat digantikan oleh sumber energi b^^ dan/atau sumber energi terbarukan. | ||||||||
| (2) | Pengembangan sumber energi tak terbarukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menggunakan teknologi rendah karbon pada kegiatan:
|
||||||||
| (3) | Teknologi rendah karbon sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan teknologi yang menghasilkan emisi gas rumah kaca yang rendah, meliputi:
|
||||||||
| (4) | Penyelenggaraan kegiatan penggunaan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (carbon capture and storage) atau penangkapan, pemanfaatan, dan penyimpanan karbon (carbon capture utilization and storage) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. | ||||||||
| (5) | Dalam rangka pengembangan sumber energi tak terbarukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah melakukan:
|
||||||||
| (6) | Penetapan rencana pengembangan sumber energi tak terbarukan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b diselaraskan dengan target perencanaan pengembangan sumber energi baru dan sumber energi terbarukan. | ||||||||
| (7) | Pengembangan sumber energi tak terbarukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (6) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
| (1) | Pengelolaan Cadangan Strategis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (7) huruf a terdiri atas Energi Tak Terbarukan, Energi Baru, dan Energi Terbarukan serta mineral lainnya yang masih terdapat di bawah permukaan bumi dan dapat menjadi Sumber Energi. |
| (2) | Pengelolaan Cadangan Strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
| (1) | Pengelolaan Cadangan Penyangga Energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (7) huruf b, meliputi:
|
||||||||||
| (2) | Jenis Cadangan Penyangga Energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) ditetapkan dengan mempertimbangkan:
|
||||||||||
| (3) | Jumlah Cadangan Penyangga Energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) ditetapkan dengan mempertimbangkan jumlah konsumsi per jenis energi, jumlah impor per jenis energi, dan kemampuan keuangan negara. | ||||||||||
| (4) | Waktu Cadangan Penyangga Energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) ditetapkan dengan mempertimbangkan jumlah cadangan penyangga energi yang hams dipenuhi dan kemampuan keuangan negara. | ||||||||||
| (5) | Lokasi Cadangan Penyangga Energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) ditetapkan dengan mempertimbangkan pemenuhan persyaratan kelayakan teknis dan ekonomi, serta kemudahan dalam penggunaan. | ||||||||||
| (6) | Ketentuan mengenai Cadangan Penyangga Energi dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
| (1) | Pengelolaan Cadangan Operasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (7) huruf c disediakan untuk mengamankan ketersediaan Energi dari kemungkinan gangguan pasokan jangka pendek. |
| (2) | Cadangan Operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disimpan pada lokasi penyimpanan yang memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
| (3) | Penyimpanan Cadangan Operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib terdistribusi ke semua wilayah dalam jumlah yang proporsional sesuai dengan konsumsinya. |
| (4) | Pengelolaan Cadangan Operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh badan usaha milik negara dan badan usaha swasta Penyedia Energi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
| (1) | Pengelolaan Penyimpanan Energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (7) huruf d dari hasil produksi Energi Baru, Energi Terbarukan, dan Energi Tak Terbarukan dilakukan untuk menjaga keandalan sistem dan menjamin kontinuitas pasokan Energi. |
| (2) | Pengelolaan Penyimpanan Energi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam sistem Penyimpanan Energi yang andal, aman, dan ramah lingkungan. |
| (3) | Pengelolaan Penyimpanan Energi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
| (1) | Pendanaan dalam rangka mewujudkan Ketahanan Energi dan Dekarbonisasi Sektor Energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (8) huruf a bersumber dari:
|
||||||
| (2) | Pendanaan yang bersumber dari anggaran pendapatan belanja negara dan anggaran pendapatan belanja daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b dilaksanakan sesuai dengan kemampuan keuangan negara dan kemampuan keuangan daerah. |
| (1) | Pendanaan dalam rangka mewujudkan Ketahanan Energi dan Dekarbonisasi Sektor Energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1) dialokasikan untuk:
|
||||||||||||||
| (2) | Pendanaan Dekarbonisasi Sektor Energi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam rangka pencapaian sasaran pembangunan rendah karbon. | ||||||||||||||
| (3) | Pengelolaan pendanaan dalam rangka mewujudkan Ketahanan Energi dan Dekarbonisasi Sektor Energi dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
| (1) | Harga Energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (8) huruf b ditetapkan berdasarkan nilai keekonomian berkeadilan dengan tetap mempertimbangkan prinsip keberlanjutan. | ||||
| (2) | Harga Energi untuk Energi Baru, Energi Terbarukan, dan Energi Tak Terbarukan ditetapkan berdasarkan:
|
||||
| (3) | Penetapan harga Energi untuk Energi Baru, Energi Terbarukan, dan Energi Tak Terbarukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
| (1) | Pemerintah Pusat mengatur pasar Energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (8) huruf b, termasuk kuota minimum tenaga listrik. | ||||||||
| (2) | Pemerintah Pusat mewujudkan pasar tenaga listrik, paling sedikit melalui:
|
||||||||
| (3) | Pengembangan ekosistem pasar Energi serta pasar Tenaga Listrik dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
| (1) | Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya dapat memberikan dukungan untuk sektor Energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (8) huruf b dalam bentuk insentif dan dukungan lainnya kepada Penyedia Energi dan Pengguna Energi dalam kegiatan penyediaan, pengusahaan, pemanfaatan, dan pengembangan Energi Baru, Energi Terbarukan, dan Energi Tak Terbarukan. | ||||||||||
| (2) | Insentif dan dukungan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan untuk jangka waktu tertentu hingga tercapai nilai keekonomiannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. | ||||||||||
| (3) | Insentif dan dukungan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam rangka mendorong:
|
| (1) | Insentif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1) berupa:
|
||||
| (2) | Insentif fiskal dan non fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Penyedia Energi yang mengembangkan teknologi inti pada kegiatan pengembangan Energi Bam dan Energi Terbarukan. | ||||
| (3) | Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah dapat memberikan insentif fiskal dan/ atau insentif non fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Penyedia Energi dan Pengguna Energi yang melaksanakan kewajiban Konservasi Energi dalam kegiatan penyediaan, pengusahaan, dan pemanfaatan Energi Baru, Energi Terbarukan, dan Energi Tak Terbarukan. | ||||
| (4) | Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah dapat memberikan disinsentif kepada Penyedia Energi dan Pengguna Energi yang tidak melaksanakan kewajiban Konservasi Energi dalam kegiatan penyediaan, pengusahaan, dan pemanfaatan Energi Baru, Energi Terbarukan, dan Energi Tak Terbarukan. | ||||
| (5) | Pemberian insentif dan disinsentif dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
| (1) | Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya dapat memberikan dukungan dalam bentuk subsidi untuk konsumen masyarakat yang tidak mampu secara tepat sasaran, sesuai dengan kemampuan keuangan negara atau keuangan daerah. |
| (2) | Pemberian subsidi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akan dikurangi secara bertahap untuk bahan bakar minyak, liquefied petroleum gas, listrik, dan/atau energi lainnya sampai kemampuan daya beli masyarakat tercapai. |
| (3) | Pemberian subsidi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
| (1) | Dukungan lainnya kepada Penyedia Energi dan Pengguna Energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 dapat diberikan sesuai dengan kemampuan keuangan negara dalam bentuk:
|
||||
| (2) | Pemberian dukungan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
| (1) | Kegiatan penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan teknologi Energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (8) huruf c diarahkan untuk pemetaan, eksplorasi, dan identifikasi dari seluruh rantai pasokan dalam pengembangan, penyediaan, dan pemanfaatan Energi Baru dan Energi Terbarukan. |
| (2) | Kegiatan penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan teknologi Energi berupa proses konversi, distribusi, dan Pemanfaatan Energi diarahkan untuk peningkatan dan pengembangan lndustri Energi nasional. |
| (3) | Pengembangan sumber daya manusia sebagaimana dimaksud dal^ Pasal 14 ayat (8) huruf c diarahkan untuk peningkatan kualitas kompetensi dan keterampilan dalam pengembangan, penyediaan, dan pemanfaatan Energi Baru dan Energi Terbarukan serta peningkatan dan pengembangan Industri Energi nasional. |
| a. | penyiapan dan peningkatan kemampuan somber daya manusia dalam penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan teknologi Energi; |
| b. | penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan teknologi Energi berbasis Ekonomi Sirkular yang efisien, mandiri, dan berkelanjutan; |
| c. | penguatan ekosistem dan infrastruktur penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan teknologi Energi yang berstandar global sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; |
| d. | peningkatan mobilitas periset bidang Energi melalui skema kolaborasi antar lembaga riset dan perguruan tinggi, masyarakat, serta industri nasional dan internasional; dan/atau |
| e. | fasilitasi komersialisasi hasil penelitian, pengembangan, pengkajian dan penerapan teknologi Energi serta alih teknologi melalui kerja sama dengan Badan Usaha. |
| (1) | Pemerintah Pusat melakukan kliring dan audit teknologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (8) huruf d untuk memastikan kemanfaatan penerapan teknologi dalam menyelesaikan permasalahan Energi dan proses transisi Energi. |
| (2) | Kliring Teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui penyaringan atau seleksi teknologi impor dan/atau teknologi baru agar bermanfaat dengan baik dan selaras dengan kepentingan nasional. |
| (3) | Penyaringan atau seleksi teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui penilaian aspek kesiapan teknologi, manfaat, dampak, dan implikasi kebijakan. |
| (4) | Audit teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui perolehan informasi objektif atas kondisi aset teknologi sehingga tindakan pengendalian, pembinaan, dan pemberdayaan teknologi lebih terarah dan terukur. |
| (1) | Kliring dan audit teknologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (1) dilakukan terhadap teknologi yang bersifat strategis. |
| (2) | Objek dan pelaksanaan kliring dan audit teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
| (1) | Kegiatan Pengelolaan Energi nasional diselenggarakan dengan memperhatikan perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup, serta keselamatan dan kesehatan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (8) huruf e. | ||||
| (2) | Kegiatan Pengelolaan Energi nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan:
|
||||
| (3) | Pelaksanaan perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup, keselamatan, dan kesehatan kerja dalam kegiatan Pengelolaan Energi nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
| (1) | Setiap pengusahaan instalasi keenergian bertanggung jawab atas perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup, keselamatan, dan kesehatan kerja termasuk kerugian yang terjadi akibat kecelakaan. |
| (2) | Perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup, keselamatan, dan kesehatan kerja termasuk kerugian yang terjadi akibat kecelakaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
| (3) | Dalam hal pengusahaan instalasi keenergian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pengusahaan energi nuklir, pengusahaan energi nuklir wajib memenuhi persyaratan keselamatan, keamanan dan garda-aman, serta menetapkan program kesiapsiagaan dan kedaruratan radiasi nuklir. |
| (4) | Persyaratan keselamatan, keamanan dan garda-aman, serta penetapan program kesiapsiagaan dan kedaruratan radiasi nuklir sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
| (1) | Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya melakukan penguatan kelembagaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (8) huruf f untuk mendukung tercapainya tujuan, sasaran, dan strategi kebijakan energi nasional. | ||||||||||||||||
| (2) | Penguatan kelembagaan sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1) dilaksanakan dengan:
|
||||||||||||||||
| (3) | Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya bertanggung jawab dalam menangani dan mengatasi permasalahan Pengelolaan Energi yang meliputi:
|
| (1) | Pemerintah Pusat bersinergi dengan Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan untuk mendorong lembaga di sektor keuangan untuk mendukung pendanaan dalam rangka mewujudkan Ketahanan Energi nasional dan Dekarbonisasi Sektor Energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63. |
| (2) | Pemerintah Pusat mendorong Badan Usaha dan pihak lain untuk menyediakan pendanaan dalam rangka mewujudkan Ketahanan Energi nasional dan Dekarbonisasi Sektor Energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63. |
| (1) | Pemerintah Pusat memperkuat posisi keenergian Indonesia dalam implementasi kebijakan Dekarbonisasi Sektor Energi untuk mewujudkan transisi Energi yang berkeadilan melalui kerja sama dan diplomasi Energi tingkat intemasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (8) huruf g. | ||||||
| (2) | Kerja sama dan diplomasi Energi tingkat internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimaksudkan untuk:
|
||||||
| (3) | Pelaksanaan kerja sama dan diplomasi Energi tingkat intemasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
| (1) | Pemerintah Pusat melakukan strategi Energi nasional dalam rangka implementasi kebijakan Dekarbonisasi Sektor Energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (1) dengan mengacu pada referensi lembaga yang terkait dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk memastikan perlakuan yang berkeadilan dalam rangka implementasi komitmen internasional. |
| (2) | Pemerintah Pusat menyampaikan fakta pembangunan sektor Energi yang kurang sejalan dengan implementasi kebijakan Dekarbonisasi Sektor Energi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada para pihak terkait yang diperlukan untuk mendukung perekonomian, Ketahanan Energi, dan Kemandirian Energi nasional sejalan dengan tujuan Pembangunan Berkelanjutan. |
| (1) | Badan Usaha dalam menyelenggarakan kegiatan pengusahaan Energi wajib mengutamakan tingkat komponen dalam negeri dan peningkatan nilai tambah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (8) huruf h. | ||||||||||
| (2) | Tingkat komponen dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri atas:
|
||||||||||
| (3) | Peningkatan nilai tambah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri atas:
|
||||||||||
| (4) | Pengutamaan tingkat komponen dalam negeri dan peningkatan nilai tambah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
| (1) | Pemerintah Pusat dapat mengenakan pajak karbon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (8) huruf i terhadap pemanfaatan Energi Tak Terbarukan yang dilakukan secara bertahap dengan memperhatikan dampak sosial, ekonomi, dan Lingkungan Hidup. |
| (2) | Pengenaan pajak karbon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
| (1) | Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, atau Badan Usaha dapat memperoleh insentif atau pembayaran berbasis kinerja dari upaya pengurangan Emisi GRK Sektor Energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (8) huruf i pada kegiatan Penyediaan Energi dan Pemanfaatan Energi melalui mekanisme NEK. |
| (2) | Pemberian insentif atau pembayaran berbasis kinerja dari upaya menurunkan Emisi GRK Sektor Energi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
| (1) | Dalam hal terjadi krisis Energi dan/atau darurat Energi, Pemerintah Pusat menetapkan krisis Energi dan/atau darurat Energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (8) huruf j. |
| (2) | Untuk menindaklanjuti penetapan krisis Energi dan/atau darurat Energi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Dewan Energi Nasional menetapkan langkah penanggulangan krisis Energi dan/atau darurat Energi. |
| (3) | Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Badan Usaha, pihak lain yang terkait, dan masyarakat wajib melaksanakan tindakan penanggulangan berdasarkan langkah penanggulangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). |
| (4) | Penetapan, langkah penanggulangan, dan tindakan penanggulangan krisis energi dan/atau darurat energi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
| (1) | Rencana umum energi nasional disusun oleh Pemerintah Pusat berdasarkan kebijakan energi nasional. | ||||||||||||||
| (2) | Rencana umum energi nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun:
|
||||||||||||||
| (3) | Rencana umum energi nasional, paling sedikit memuat:
|
||||||||||||||
| (4) | Region sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b terdiri dari 7 (tujuh) region, yaitu:
|
| (1) | Rencana umum energi daerah disusun oleh Pemerintah Daerah Provinsi dengan memperhatikan kondisi dan perubahan lingkungan strategis. |
| (2) | Rencana umum energi daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dengan mengacu rencana umum Energi nasional. |
| (1) | Dewan Energi Nasional melakukan pembinaan terhadap penyusunan rencana umum energi nasional dan rencana umum energi daerah serta pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan di bidang Energi yang bersifat lintas sektoral. |
| (2) | Dalam melakukan pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kementerian, lembaga pemerintah nonkementerian, Pemerintah Daerah, dan pihak lain harus memberikan data dan informasi yang diperlukan oleh Dewan Energi Nasional. |
| (3) | Tata cara pelaksanaan pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
| (1) | Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya melaksanakan pembinaan dan pengawasan dalam Pengelolaan Energi. | ||||||||||||||||||
| (2) | Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling sedikit meliputi:
|
||||||||||||||||||
| (3) | Dalam melaksanakan pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya dapat melakukan kerja sama dengan pihak lain. | ||||||||||||||||||
| (4) | Pembinaan dan pengawasan terhadap Pengelolaan Energi sebagaimana dimaksud pada ayat 1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.