Home
/
Data Center
/
Peraturan
/
40 TAHUN 2025
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 40 TAHUN 2025
TENTANG

KEBIJAKAN ENERGI NASIONAL

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


 Menimbang:
a. bahwa dalam perkembangan pelaksanaan kebijakan energi nasional terdapat perubahan lingkungan strategis yang signifikan baik nasional maupun global, di antaranya target pertumbuhan ekonomi untuk menjadi negara maju pada tahun 2045, kemajuan pengembangan teknologi energi dan keanekaragaman jenis energi bam dan energi terbarukan secara pesat yang akan meningkatkan pangsa energi baru dan energi terbarukan dalam bauran energi primer nasional, serta kontribusi terbesar sektor energi dalam memenuhi komitmen nasional untuk mencapai target pengurangan emisi gas rumah kaca dan emisi nol bersih (net zero emission) pada tahun 2060;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu dilakukan pembaman kebijakan energi nasional sebagaimana telah ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional;
c. bahwa rancangan kebijakan energi nasional telah mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Kebijakan Energi Nasional;


 Mengingat:
1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4746);


MEMUTUSKAN:

Menetapkan :
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG KEBIJAKAN ENERGI NASIONAL.


BAB I
KETENTUAN UMUM

 Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1. Energi adalah kemampuan untuk melakukan kerja yang dapat berupa panas, cahaya, mekanika, kimia, dan elektromagnetika.
2. Sumber Energi adalah sesuatu yang dapat menghasilkan Energi, baik secara langsung maupun melalui proses konversi atau transformasi.
3. Sumber Daya Energi adalah sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan, balk sebagai Sumber Energi maupun sebagai Energi.
4. Energi Baru adalah Energi yang berasal dari sumber energi baru.
5. Energi Terbamkan adalah Energi yang berasal dari sumber energi terbarukan.
6. Energi Tak Terbarukan adalah Energi yang berasal dari sumber energi tak terbarukan.
7. Emisi Nol Bersih (Net Zero Emission) adalah kondisi tercapainya keseimbangan jumlah emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dengan jumlah yang mampu diserap oleh lingkungan dan atmosfer untuk menjaga kenaikan suhu global tidak melebihi 1,5 °C.
8. Ekonomi Hijau adalah sistem kegiatan produksi, distribusi, hingga konsumsi berkelanjutan dan inklusif secara sosial.
9. Pengelolaan Energi adalah penyelenggaraan kegiatan penyediaan, pengusahaan, dan pemanfaatan Energi, serta penyediaan cadangan strategis dan konservasi Sumber Daya Energi.
10. Penyediaan Energi adalah kegiatan atau proses menyediakan Energi, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri.
11. Pemanfaatan Energi adalah kegiatan menggunakan Energi, baik langsung maupun tidak langsung dari Sumber Energi.
12. Kemandirian Energi adalah kondisi terjaminnya ketersediaan Energi dengan memanfaatkan semaksimal mungkin potensi dari Sumber Energi, teknologi, dan komponen lainnya yang berasal dari dalam negeri.
13. Ketahanan Energi adalah suatu kondisi terjaminnya ketersediaan Energi dan akses masyarakat terhadap Energi pada harga yang terjangkau dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan perlindungan dan pengelolaan terhadap lingkungan hidup.
14. Kedaulatan Energi adalah hak negara dan bangsa untuk secara mandiri menentukan kebijakan Pengelolaan Energi untuk mencapai Kemandirian Energi dan Ketahanan Energi.
15. Dekarbonisasi Sektor Energi adalah proses pengurangan emisi gas rumah kaca sektor Energi ke atmosfer untuk mencapai Ekonomi Hijau dan Emisi Nol Bersih (Net Zero Emission) pada tahun 2060 melalui transisi Energi secara bertahap.
16. Ketahanan Iklim adalah kemampuan untuk mengantisipasi, mempersiapkan dan merespons dampak, risiko dan kerentanan akibat perubahan iklim pada wilayah dan kehidupan masyarakat.
17. Ekonomi Sirkular adalah pendekatan sistem ekonomi sirkular tertutup, dengan memaksimalkan penggunaan dan nilai material, komponen, produk, serta pemanfaatan limbah.
18. Konservasi Energi adalah upaya sistematis, terencana, dan terpadu guna melestarikan Sumber Daya Energi dalam negeri serta meningkatkan efisiensi pemanfaatannya.
19. Konservasi Sumber Daya Energi adalah pengelolaan Sumber Daya Energi yang menjamin pemanfaatannya dan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragamannya.
20. Lingkungan Hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengamhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.
21. Energi Primer adalah Energi yang bersumber dari alam dan belum mengalami proses konversi atau transformasi.
22. Energi Final adalah Sumber Energi dan Energi yang langsung dapat dikonsumsi oleh pengguna akhir.
23. Energi Hijau adalah Sumber Energi dan Energi yang bersih dan ramah lingkungan.
24. Industri Energi adalah semua industri yang bergerak dalam produksi dan penjualan Energi, manufaktur peralatan produksi, dan Pemanfaatan Energi termasuk kegiatan ekstraksi Sumber Energi, pengolahan, penyimpanan, transmisi, dan distribusi.
25. Industri Energi Hijau adalah Industri Energi yang dalam proses produksinya mengutamakan upaya efisiensi dan efektivitas pemanfaatan sumber daya secara berkelanjutan sehingga mampu menyelaraskan pembangunan industri dengan kelestarian fungsi Lingkungan Hidup serta dapat memberikan manfaat bagi masyarakat.
26. Intensitas Energi adalah jumlah total konsumsi Energi dengan satuan tonnes of oil equivalent (TOE) per unit produk domestik bruto dengan satuan US dolar (USD).
27. Intensitas Emisi Sektor Energi adalah jumlah Emisi GRK Sektor Energi dengan satuan ton karbon dioksida ekuivalen (C02e) per unit input Energi Primer dengan satuan tonnes of oil equivalent (TOE).
28. Cadangan Energi adalah Sumber Daya Energi yang sudah diketahui lokasi, jumlah, dan mutunya.
29. Cadangan Strategis adalah Cadangan Energi untuk masa depan.
30. Cadangan Penyangga Energi adalah jumlah ketersediaan Sumber Energi dan Energi yang disimpan secara nasional yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan Energi nasional pada kurun waktu tertentu.
31. Cadangan Operasional adalah jumlah ketersediaan Sumber Energi dan Energi yang dimiliki oleh Penyedia Energi yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan konsumen.
32. Diversifikasi Energi adalah penganekaragaman pemanfaatan Sumber Energi.
33. Emisi Gas Rumah Kaca Sektor Energi yang selanjutnya disebut Emisi GRK Sektor Energi adalah emisi yang dihasilkan oleh proses produksi dan pemanfaatan Sumber Energi terutama sumber energi tak terbarukan.
34. Nilai Ekonomi Karbon yang selanjutnya disingkat NEK adalah nilai terhadap setiap unit emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari kegiatan manusia dan kegiatan ekonomi.
35. Elektrifikasi adalah pemakaian atau penggantian pemanfaatan Energi non-listrik menjadi Energi listrik.
36. Penyimpanan Energi adalah serangkaian proses, metode, alat, dan/atau teknologi yang digunakan untuk menyimpan Energi listrik, elektrokimia, kimia, mekanik (mekanis), termal (panas), atau Energi lainnya yang bisa digunakan pada suatu waktu tertentu untuk berbagai kepentingan.
37. Sistem Energi adalah infrastruktur yang digunakan untuk mengekstraksi, mentransformasi, menyalurkan, dan mengonversi Energi dalam rangka Penyediaan Energi.
38. Pembangunan Berkelanjutan adalah upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek Lingkungan Hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan Lingkungan Hidup, serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan.
39. Penyedia Tenaga Listrik adalah badan usaha pembangkitan tenaga listrik baik untuk kepentingan umum maupun kepentingan sendiri.
40. Sistem Tenaga Listrik adalah sistem penyediaan tenaga listrik yang terdiri dari sekumpulan pembangkit dan gardu induk yang terhubung satu dengan lainnya oleh jaringan transmisi dengan pusat beban atau jaringan distribusi.
41. Tenaga Nuklir adalah tenaga dalam bentuk apa pun yang dibebaskan dalam proses transformasi inti, termasuk tenaga yang berasal dari sumber radiasi pengion.
42. Tonnes of Oil Equivalent yang selanjutnya disingkat TOE adalah kuantitas energi yang terkandung dalam satu ton minyak mentah.
43. Badan Usaha adalah badan usaha berbentuk badan hukum atau tidak berbentuk badan hukum yang menjalankan jenis usaha/kegiatan pada bidang tertentu, terns-menerns, serta bekerja dan berkedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
44. Penyedia Energi adalah Badan Usaha, bentuk usaha tetap, koperasi, dan swadaya masyarakat yang melaksanakan Penyediaan Energi.
45. Pengguna Energi adalah pemerintah pusat, pemerintah daerah, Badan Usaha, bentuk usaha tetap, dan masyarakat yang melaksanakan Pemanfaatan Energi.
46. Pengguna Sumber Energi adalah pemerintah pusat, pemerintah daerah, Badan Usaha, bentuk usaha tetap, dan masyarakat yang melaksanakan pemanfaatan Sumber Energi.
47. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
48. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
49. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Energi.
50. Dewan Energi Nasional adalah suatu lembaga bersifat nasional, mandiri, dan tetap yang bertanggungjawab atas kebijakan energi nasional.


BAB II

TUJUAN DAN SASARAN

Bagian Kesatu
Tujuan

Pasal 2

Kebijakan energi nasional bertujuan memberikan arah dalam upaya mewujudkan kebijakan Pengelolaan Energi yang berdasarkan prinsip berkeadilan, berkelanjutan, keterpaduan, efisiensi, produktivitas, dan berwawasan lingkungan guna terciptanya Kemandirian Energi nasional, Ketahanan Energi nasional, dan pemenuhan komitmen Indonesia dalam Dekarbonisasi Sektor Energi untuk mewujudkan Ketahanan Iklim nasional dan mendukung pembangunan Ekonomi Hijau.


Pasal 3

Kebijakan energi nasional dilaksanakan untuk periode sampai dengan tahun 2060.


Pasal 4

(1) Kebijakan energi nasional menjadi pedoman dalam penyusunan rencana umurn nasional terkait ketenagalistrikan, minyak, gas, batubara, dan energi lainnya.
(2) Kebijakan energi nasional menjadi acuan dalam penyusunan rencana pembangunan jangka menengah nasional dan rencana strategis kementerian/lembaga yang terkait dengan Pengelolaan Energi nasional dan daerah.


 Pasal 5

(1) Kebijakan energi nasional dapat ditinjau setiap 5 (lima) tahun atau lebih cepat dari 5 (lima) tahun apabila diperlukan.
(2) Peninjauan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam hal terdapat perubahan kondisi dan lingkungan strategis.


Pasal 6

Kemandirian Energi nasional, Ketahanan Energi nasional, dan pemenuhan komitmen Indonesia dalam Dekarbonisasi Sektor Energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, dicapai dengan mewujudkan:
a. Sumber Daya Energi sebagai modal pembangunan diutamakan untuk memenuhi kebutuhan Energi dalam negeri dan Cadangan Strategis, dalam rangka mengamankan Penyediaan Energi dalam jangka panjang;
b. Ketahanan Energi dengan kondisi tahan dalam jangka panjang;
c. Pengelolaan Energi yang bertumpu kepada Sumber Daya Energi dan potensi nasional;
d. pemenuhan kebutuhan Energi yang rasional untuk mencapai target indeks pembangunan manusia dan Ekonomi Hijau;
e. ketersediaan Energi dan terpenuhinya kebutuhan Sumber Energi dalam negeri;
f. pengelolaan Sumber Daya Energi secara optimal, terpadu, dan berkelanjutan;
g. Penyediaan Energi dan Pemanfaatan Energi secara efisien di semua sektor;
h. akses untuk masyarakat terhadap Energi secara adil dan merata;
i. akselerasi penelitian, pengembangan, pengkajian dan penerapan teknologi melalui riset dan inovasi teknologi, lndustri Energi, dan peran jasa Energi terutama berbasis pada pemanfaatan Sumber Daya Energi nasional;
j. transfer, kliring dan audit teknologi, serta pendidikan dan pelatihan;
k. Kedaulatan Energi dengan produktivitas Energi yang tinggi;
l. perluasan lapangan kerja, kesempatan kerja, dan berusaha;
m. kelestarian fungsi Lingkungan Hidup;
n. optimalisasi pemanfaatan teknologi rendah karbon dalam pemanfaatan Energi Tak Terbarukan; dan
o. pengelolaan sarana dan prasarana Energi yang optimal dengan aset terlantar (stranded asset) yang minimum.


Bagian Kedua
Sasaran

Pasal 7

Sasaran kebijakan energi nasional dalam Pengelolaan Energi, meliputi:
a. terwujudnya paradigma bahwa Sumber Daya Energi merupakan modal Pembangunan Berkelanjutan;
b. terwujudnya optimalisasi Pemanfaatan Energi bagi pembangunan ekonomi nasional;
c. terpenuhinya kebutuhan Energi nasional secara adil dan merata dalam rangka mendukung pembangunan ekonomi yang berkelanjutan;
d. terwujudnya Kedaulatan Energi, Kemandirian Energi, dan Ketahanan Energi nasional;
e. terwujudnya Dekarbonisasi Sektor Energi melalui transisi Energi untuk mendukung tercapainya target pengurangan Emisi GRK Sektor Energi dan Emisi Nol Bersih (Net Zero Emission) pada tahun 2060 dengan tetap mengutamakan Kemandirian Energi dan Ketahanan Energi nasional;
f. terciptanya nilai tambah di dalam negeri; dan
g. terwujudnya penyerapan tenaga kerja.


 Pasal 8

(1) Dalam mewujudkan sasaran kebijakan energi nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ditetapkan sasaran pemanfaatan Energi Final dan penyediaan Energi Primer dengan mempertimbangkan sasaran pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan penduduk, dan perubahan lingkungan strategis.
(2) Sasaran pemanfaatan Energi Final dan penyediaan Energi Primer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicapai dengan mengutamakan keamanan pasokan Energi dan keterjangkauan harga Energi dengan tetap memperhatikan nilai keekonomian berkeadilan dan kemampuan keuangan negara.
(3) Pencapaian sasaran pemanfaatan Energi Final dan penyediaan Energi Primer sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui transisi Energi dengan pengembangan Energi rendah karbon dalam jangka menengah dan jangka panjang secara bertahap, rasional, terukur, dan berkelanjutan.


Pasal 9

(1) Sasaran pemanfaatan Energi Final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 meliputi tercapainya pemanfaatan Energi Final pada:
a. tahun 2030 antara 255,1 (dua ratus lima puluh lima koma satu) juta TOE sampai dengan 299,0 (dua ratus sembilan puluh sembilan koma nol) juta TOE;
b. tahun 2040 antara 303,9 (tiga ratus tiga koma sembilan) juta TOE sampai dengan 358,9 (tiga ratus lima puluh delapan koma sembilan) juta TOE;
c. tahun 2050 antara 354,6 (tiga ratus lima puluh empat koma enam) juta TOE sampai 414,7 (empat ratus empat belas koma tujuh) juta TOE; dan
d. tahun 2060 antara 378,5 (tiga ratus tujuh puluh delapan koma lima) juta TOE sampai dengan 432,8 (empat ratus tiga puluh dua koma delapan) juta TOE.
(2) Tercapainya pemanfaatan Energi Final sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melalui tahapan:
a. tercapainya pemanfaatan Energi Final untuk:
1. sektor industri, pada:
a) tahun 2030 antara 127,9 (seratus dua puluh tujuh koma sembilan) juta TOE sampai dengan 153,4 (seratus lima puluh tiga koma empat) juta TOE;
b) tahun 2040 antara 168,9 (seratus enam puluh delapan koma sembilan) juta TOE sampai dengan 196,6 (seratus sembilan puluh enam koma enam) juta TOE;
c) tahun 2050 antara 215,4 (dua ratus lima belas koma empat) juta TOE sampai dengan 252,0 (dua ratus lima puluh dua koma nol) juta TOE; dan
d) tahun 2060 antara 246,7 (dua ratus empat puluh enam koma tujuh) juta TOE sampai dengan 274,0 (dua ratus tujuh puluh empat koma nol) juta TOE,
2. sektor transportasi, pada:
a) tahun 2030 antara 87,0 (delapan puluh tujuh koma nol) juta TOE sampai dengan 95,6 (sembilan puluh lima koma enam) juta TOE;
b) tahun 2040 antara 85,8 (delapan puluh lima koma delapan) juta TOE sampai dengan 96,8 (sembilan puluh enam koma delapan) juta TOE;
c) tahun 2050 antara 79,6 (tujuh puluh sembilan koma enam) juta TOE sampai dengan 90,1 (sembilan puluh koma satu) juta TOE; dan
d) tahun 2060 antara 64,7 (enam puluh empat koma tujuh) juta TOE sampai dengan 80,0 (delapan puluh koma nol) juta TOE,
3. sektor komersial, pada:
a) tahun 2030 antara 11,2 (sebelas koma dua) juta TOE sampai dengan 15,6 (lima belas koma enam) juta TOE;
b) tahun 2040 antara 14,8 (empat belas koma delapan) juta TOE sampai dengan 20,9 (dua puluh koma sembilan) juta TOE;
c) tahun 2050 antara 18,4 (delapan belas koma empat) juta TOE sampai dengan 25,6 (dua puluh lima koma enam) juta TOE; dan
d) tahun 2060 antara 20,8 (dua puluh koma delapan) juta TOE sampai dengan 27,2 (dua puluh tujuh koma dua) juta TOE,
4. sektor rumah tangga, pada:
a) tahun 2030 antara 29,0 (dua puluh sembilan koma nol) juta TOE sampai dengan 34,3 (tiga puluh empat koma tiga) juta TOE;
b) tahun 2040 antara 34,3 (tiga puluh empat koma tiga) juta TOE sampai dengan 44,6 (empat puluh empat koma enam) juta TOE;
c) tahun 2050 antara 41,2 (empat puluh satu koma dua) juta TOE sampai dengan 46,9 (empat puluh enam koma sembilan) juta TOE; dan
d) tahun 2060 antara 46,3 (empat puluh enam koma tiga) juta TOE sampai dengan 51,7 (lima puluh satu koma tujuh) juta TOE.
b. Tercapainya pemanfaatan Energi Final untuk jenis Energi:
1. surya, pada:
a) tahun 2030 antara 1,2 (satu koma dua) juta TOE sampai dengan 1,5 (satu koma lima) juta TOE;
b) tahun 2040 antara 1,8 (satu koma delapan) juta TOE sampai dengan 1,9 (satu koma sembilan) juta TOE;
c) tahun 2050 antara 4,3 (empat koma tiga) juta TOE sampai dengan 4,5 (empat koma lima) juta TOE; dan
d) tahun 2060 antara 11,6 (sebelas koma enam) juta TOE sampai dengan 12,7 (dua belas koma tujuh) juta TOE,
2. biomassa, pada:
a) tahun 2030 antara 15,8 (lima belas koma delapan) juta TOE sampai dengan 23,1 (dua puluh tiga koma satu) juta TOE;
b) tahun 2040 antara 21,9 (dua puluh satu koma sembilan) juta TOE sampai dengan 24,7 (dua puluh empat koma tujuh) juta TOE;
c) tahun 2050 antara 30,3 (tiga puluh koma tiga) juta TOE sampai dengan 35,0 (tiga puluh lima koma nol) juta TOE; dan
d) tahun 2060 antara 67,5 (enam puluh tujuh koma lima) juta TOE sampai dengan 71,9 (tujuh puluh satu koma sembilan) juta TOE,
3. biogas, pada:
a) tahun 2030 antara 48,4 (empat puluh delapan koma empat) ribu TOE sampai dengan 65,1 (enam puluh lima koma satu) ribu TOE;
b) tahun 2040 antara 87,5 (delapan puluh tujuh koma lima) ribu TOE sampai dengan 118,2 (seratus delapan belas koma dua) ribu TOE;
c) tahun 2050 antara 158,4 (seratus lima puluh delapan koma empat) ribu TOE sampai dengan 200,7 (dua ratus koma tujuh) ribu TOE; dan
d) tahun 2060 antara 286,7 (dua ratus delapan puluh enam koma tujuh) ribu TOE sampai dengan 378,3 (tiga ratus tujuh puluh delapan koma tiga) ribu TOE,
4. bahan bakar nabati, pada:
a) tahun 2030 antara 18,7 (delapan belas koma tujuh) juta TOE sampai dengan 22,7 (dua puluh dua koma tujuh) juta TOE;
b) tahun 2040 antara 21,9 (dua puluh satu koma sembilan) juta TOE sampai dengan 25,2 (dua puluh lima koma dua) juta TOE;
c) tahun 2050 antara 18,7 (delapan belas koma tujuh) juta TOE sampai 22,1 (dua puluh dua koma satu) juta TOE; dan
d) tahun 2060 antara 13,6 (tiga belas koma enam) juta TOE sampai dengan 19,9 (sembilan belas koma sembilan) juta TOE,
5. hidrogen, pada:
a) tahun 2030 antara 0,7 (nol koma tujuh) ribu TOE sampai dengan 1,4 (satu koma empat) ribu TOE;
b) tahun 2040 antara 5,4 (lima koma empat) juta TOE sampai dengan 6,4 (enam koma empat) juta TOE;
c) tahun 2050 antara 20,4 (dua puluh koma empat) juta TOE sampai dengan 23,2 (dua puluh tiga koma dua) juta TOE; dan
d) tahun 2060 antara 31,4 (tiga puluh satu koma empat) juta TOE sampai dengan 35,4 (tiga puluh lima koma empat) juta TOE,
6. amonia, pada:
a) tahun 2030 antara 2,4 (dua koma empat) ribu TOE sampai dengan 2,9 (dua koma sembilan) ribu TOE;
b) tahun 2040 antara 1 (satu) juta TOE sampai dengan 1,2 (satu koma dua) juta TOE;
c) tahun 2050 antara 3,5 (tiga koma lima) juta TOE sampai dengan 4,3 (empat koma tiga) juta TOE; dan
d) tahun 2060 antara 3,5 (tiga koma lima) juta TOE sampai dengan 7,5 (tujuh koma lima) juta TOE,
7. dimethyl ether, pada:
a) tahun 2030 antara O (nol) TOE sampai dengan 600 (enam ratus) ribu TOE;
b) tahun 2040 antara 3,0 (tiga koma nol) juta TOE sampai dengan 3,6 (tiga koma enam) juta TOE;
c) tahun 2050 antara 3,0 (tiga koma nol) juta TOE sampai dengan 3,6 (tiga koma enam) juta TOE; dan
d) tahun 2060 antara 3,0 (tiga koma nol) juta TOE sampai dengan 3,6 (tiga koma enam) juta TOE,
8. bahan bakar minyak, pada:
a) tahun 2030 antara 75,3 (tujuh puluh lima koma tiga) juta TOE sampai dengan 82,1 (delapan puluh dua koma satu) juta TOE;
b) tahun 2040 antara 64,3 (enam puluh empat koma tiga) juta TOE sampai dengan 73,5 (tujuh puluh tiga koma lima) juta TOE;
c) tahun 2050 antara 45,8 (empat puluh lima koma delapan) juta TOE sampai dengan 54,7 (lima puluh empat koma tujuh) juta TOE; dan
d) tahun 2060 antara 22,8 (dua puluh dua koma delapan) juta TOE sampai dengan 32,0 (tiga puluh dua koma nol) juta TOE,
9. gas bumi, pada:
a) tahun 2030 antara 18,8 (delapan betas koma delapan) juta TOE sampai dengan 20,1 (dua puluh koma satu) juta TOE;
b) tahun 2040 antara 24,9 (dua puluh empat koma sembilan) juta TOE sampai dengan 27,3 (dua puluh tujuh koma tiga) juta TOE;
c) tahun 2050 antara 40,4 (empat puluh koma empat) juta TOE sampai dengan 47,4 (empat puluh tujuh koma empat) juta TOE; dan
d) tahun 2060 antara 56,6 (lima puluh enam koma enam) juta TOE sampai dengan 71,1 (tujuh puluh satu koma satu) juta TOE,
10. liquefied petroleum gas, pada:
a) tahun 2030 antara 11,0 (sebelas koma nol) juta TOE sampai dengan 11,2 (sebelas koma dua) juta TOE;
b) tahun 2040 antara 2,8 (dua koma delapan) juta TOE sampai dengan 3,0 (tiga koma nol) juta TOE;
c) tahun 2050 antara 1,0 (satu koma nol) juta TOE sampai dengan 1,1 (satu koma satu) juta TOE; dan
d) tahun 2060 antara 0,8 (nol koma delapan) juta TOE sampai dengan 0,9 (nol koma sembilan) juta TOE,
11. batubara, pada:
a) tahun 2030 antara 67,2 (enam puluh tujuh koma dua) juta TOE sampai dengan 68,7 (enam puluh delapan koma tujuh) juta TOE;
b) tahun 2040 antara 83,3 (delapan puluh tiga koma tiga) juta TOE sampai dengan 85,3 (delapan puluh lima koma tiga) juta TOE;
c) tahun 2050 antara 80,3 (delapan puluh koma tiga) juta TOE sampai dengan 81,8 (delapan puluh satu koma delapan) juta TOE; dan
d) tahun 2060 antara 25,3 (dua puluh lima koma tiga) juta TOE sampai dengan 38,6 (tiga puluh delapan koma enam) juta TOE,
12. listrik, pada:
a) tahun 2030 antara 46,8 (empat puluh enam koma delapan) juta TOE setara dengan 544 TWh (lima ratus empat puluh empat terawatt-hours) sampai dengan 69,3 (enam puluh sembilan koma tiga) juta TOE setara dengan 806 TWh (delapan ratus enam terawatt-hours) tanpa memperhitungkan captive power atau antara 60, 1 (enam puluh koma satu) juta TOE setara dengan 699 TWh (enam ratus sembilan    puluh    sembilan terawatt-hours) sampai dengan 84,5 (delapan puluh empat koma lima) juta TOE setara dengan 983 TWh (sembilan ratus delapan puluh tiga terawatt-hours) dengan memperhitungkan captive power;
b) tahun 2040 antara 73,5 (tujuh puluh tiga koma lima) juta TOE setara dengan 855 TWh (delapan ratus lima puluh lima terawatt-hours) sampai dengan 106,7 (seratus enam koma tujuh) juta TOE setara dengan 1.240 TWh (seribu dua ratus empat puluh terawatt-hours) tanpa memperhitungkan captive power atau antara 91,5 (sembilan puluh satu koma lima) juta TOE setara dengan 1064 TWh (seribu enam puluh empat terawatt-hours) sampai dengan 132,2 (seratus tiga puluh dua koma dua) juta TOE setara dengan 1.538 TWh (seribu lima ratus tiga puluh delapan terawatt-hours) dengan memperhitungkan captive power,
c) tahun 2050 antara 106,6 (seratus enam koma enam) juta TOE setara dengan 1.240 TWh (seribu dua ratus empat puluh terawatt-hours) sampai dengan 137,0 (seratus tiga puluh tujuh koma nol) juta TOE setara dengan 1.593 TWh (seribu lima ratus sembilan puluh tiga terawatt- hours) tanpa memperhitungkan captive power atau antara 129,2 (seratus dua puluh sembilan koma dua) juta TOE setara dengan 1.502 TWh (seribu lima ratus dua terawatt-hours) sampai dengan 174,2 (seratus tujuh puluh empat koma dua) juta TOE setara dengan 2.026 TWh (dua ribu dua puluh enam terawatt-hours) dengan memperhitungkan captive power, dan
d) tahun 2060 antara 128,8 (seratus dua puluh delapan koma delapan) juta TOE setara dengan 1.498 TWh (seribu empat ratus sembilan puluh delapan terawatt-hours) sampai dengan 152,1 (seratus lima puluh dua koma satu) juta TOE setara dengan 1.769 TWh (seribu tujuh ratus enam puluh sembilan terawatt-hours) tanpa memperhitungkan captive power atau antara 155,9 (seratus lima puluh lima koma sembilan) juta TOE setara dengan 1.813 TWh (seribu delapan ratus tiga belas terawatt-hours) sampai dengan 201,9 (dua ratus satu koma sembilan) juta TOE setara dengan 2.349 TWh (dua ribu tiga ratus empat puluh sembilan terawatt- hours) dengan memperhitungkan captive power.


 Pasal 10

Sasaran penyediaan Energi Primer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 meliputi:
a. tercapainya penyediaan Energi Primer:
1. tahun 2030 antara 368 (tiga ratus enam puluh delapan) juta TOE sampai 454 (empat ratus lima puluh empat) juta TOE dengan bauran Energi Baru dan Energi Terbarukan antara 19% (sembilan belas persen) sampai dengan 23% (dua puluh tiga persen);
2. tahun 2040 antara 468 (empat ratus enam puluh delapan) juta TOE sampai dengan 596 (lima ratus sembilan puluh enam) juta TOE dengan bauran Energi Baru dan Energi Terbarukan antara 36% (tiga puluh enam persen) sampai dengan 40% (empat puluh persen);
3. tahun 2050 antara 595 (lima ratus sembilan puluh lima) juta TOE sampai dengan 712 (tujuh ratus dua belas) juta TOE dengan bauran Energi Bam dan Energi Terbarukan antara 53% (lima puluh tiga persen) sampai dengan 55% (lima puluh lima persen); dan
4. tahun 2060 antara 665 (enam ratus enam puluh lima) juta TOE sampai dengan 775 (tujuh ratus tujuh puluh lima) juta TOE dengan bauran Energi Baru dan Energi Terbarukan antara 70% (tujuh puluh persen) sampai dengan 72% (tujuh puluh dua persen).
b. tercapainya Intensitas Energi Primer pada:
1. tahun 2030 antara 306,3 (tiga ratus enam koma tiga) TOE per juta USD (US dolar) sarnpai dengan 351,8 (tiga ratus lima puluh satu koma delapan) TOE per juta USD (US dolar);
2. tahun 2040 antara 205,1 (dua ratus lima koma satu) TOE per juta USD (US dolar) sampai dengan 220,3 (dua ratus dua puluh koma tiga) TOE per juta USD (US dolar);
3. tahun 2050 antara 151,3 (seratus lima puluh satu koma tiga) TOE per juta USD (US dolar) sarnpai dengan 157,4 (seratus lima puluh tujuh koma empat) TOE per juta USD (US dolar); dan
4. tahun 2060 antara 96,1 (sembilan puluh enam koma satu) TOE per juta USD (US dolar) sampai dengan 114,0 (seratus empat belas koma nol) TOE per juta USD (US dolar).


 Pasal 11

Dalam rangka pencapaian sasaran pemanfaatan Energi Final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, rincian target ditetapkan sebagai berikut:
a. tercapainya pemanfaatan Energi Final per kapita pada:
1. tahun 2030 antara 0,9 (nol koma sembilan) TOE sampai dengan 1,0 (satu koma nol) TOE;
2. tahun 2040 antara 1,0 (satu koma nol) TOE sampai dengan 1,1 (satu koma satu) TOE;
3. tahun 2050 antara 1,0 (satu koma nol) TOE sarnpai dengan 1,2 (satu koma dua) TOE; dan
4. pada tahun 2060 antara 1,1 (satu koma satu) TOE sampai dengan 1,2 (satu koma dua) TOE.
b. tercapainya konsumsi Energi listrik per kapita pada:
1. tahun 2030 antara 2.346 kWh (dua ribu tiga ratus empat puluh enam kilowatt-hours) sampai dengan 3.075 kWh (tiga ribu tujuh puluh lima kilowatt-hours);
2. tahun 2040 antara 3.328 kWh (tiga ribu tiga ratus dua puluh delapan kilowatt-hours) sampai dengan 4.809 kWh (empat ribu delapan ratus sembilan kilowatt-hours);
3. tahun 2050 antara 4.444 kWh (empat ribu empat ratus empat puluh empat kilowatt-hours) sampai dengan 5.994 kWh (lima ribu sembilan ratus sembilan puluh empat kilowatt-hours); dan
4. tahun 2060 antara 5.038 kWh (lima ribu tiga puluh delapan kilowatt-hours) sampai dengan 6.526 kWh (enam ribu lima ratus dua puluh enam kilowatt-hours).
c. tercapainya penggunaan gas rumah tangga pada:
1. tahun 2030 antara 1.745.000 SR (satu juta tujuh ratus empat puluh lima ribu sambungan rumah tangga) sampai dengan 2.025.000 SR (dua juta dua puluh lima ribu sambungan rumah tangga);
2. tahun 2040 ant.ara 3.045.794 SR (tiga juta empat puluh lima ribu tujuh ratus sembilan puluh empat sambungan rumah tangga) sampai dengan 4.031.074 SR (empat juta tiga puluh satu ribu tujuh puluh empat sambungan rumah tangga);
3. tahun 2050 antara 4.345.794 SR (empat juta tiga ratus empat puluh lima ribu tujuh ratus sembilan puluh empat sambungan rumah tangga) sampai dengan 5.631.527 SR (lima juta enam ratus tiga puluh satu ribu lima ratus dua puluh tujuh sambungan rumah tangga); dan
4. tahun 2060 antara 5.645.794 SR (lima juta enam ratus empat puluh lima ribu tujuh ratus sembilan puluh empat sambungan rumah tangga) sampai dengan 7.568.301 SR (tujuh juta lima ratus enam puluh delapan ribu tiga ratus satu sambungan rumah tangga).


 Pasal 12

Dalam rangka pencapaian sasaran penyediaan Energi Primer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, rincian target ditetapkan sebagai berikut:
a. tercapainya penyediaan Energi Primer per kapita pada:
1. tahun 2030 antara 1,2 (satu koma dua) TOE sampai dengan 1,4 (satu koma empat) TOE;
2. tahun 2040 antara 1,5 (satu koma lima) TOE sampai dengan 1,9 (satu koma sembilan) TOE;
3. tahun 2050 antara 1,8 (satu koma delapan) TOE sampai dengan 2, 1 (dua koma satu) TOE; dan
4. tahun 2060 antara 1,9 (satu koma sembilan) TOE sampai dengan 2,2 (dua koma dua) TOE.
b. tercapainya bauran Energi Primer nasional yang optimal untuk menjamin keseimbangan antara pasokan dan kebutuhan Energi nasional serta. penurunan Emisi GRK Sektor Energi dengan:
1. memaksimalkan peran Energi hidro sepanjang keekonomiannya terpenuhi pada:
a) tahun 2030 antara 1,8% (satu koma delapan persen) sampai dengan 2,3% (dua koma tiga persen);
b) tahun 2040 antara 3,6% (tiga koma enam persen) sampai dengan 3,8% (tiga koma delapan persen);
c) tahun 2050 antara 4,6% (empat koma enam persen) sampai dengan 4,9% (empat koma sembilan persen); dan
d) tahun 2060 antara 4,9% (empat koma sembilan persen) sampai dengan 5, 1% (lima koma satu persen),
2. memaksimalkan peran Energi surya sepanjang keekonomiannya terpenuhi pada:
a) tahun 2030 antara 1,3% (satu koma tiga persen) sampai dengan 1,6% (satu koma enam persen);
b) tahun 2040 antara 13, 1% (tiga belas koma satu persen) sampai dengan 16,0% (enam belas koma nol persen);
c) tahun 2050 antara 23,3% (dua puluh tiga koma tiga persen) sampai dengan 25,3% (dua puluh lima koma tiga persen); dan
d) tahun 2060 antara 29,8% (dua puluh sembilan koma delapan persen) sampai dengan 32,0% (tiga puluh dua koma nol persen),
3. memaksimalkan peran Energi angin sepanjang keekonomiannya terpenuhi pada:
a) tahun 2030 antara 0,3% (nol koma tiga persen) sampai dengan 0,5% (nol koma lima persen);
b) tahun 2040 antara 0,9% (nol koma sembilan persen) sampai dengan 1, 1% (satu koma satu persen);
c) tahun 2050 antara 1,0% (satu koma nol persen) s^pai dengan 1,2% (satu koma dua persen); dan
d) tahun 2060 antara 1,2% (satu koma dua persen) s^pai dengan 1,3% (satu koma tiga persen),
4. memaksimalkan peran Energi biomassa sepanjang keekonomiannya terpenuhi pada:
a) tahun 2030 antara 7,2% (tujuh koma dua persen) sampai dengan 9,0% (sembilan korna nol persen);
b) tahun 2040 antara 6,5% (enam koma lima persen) sampai dengan 6,7% (enam koma tujuh persen);
c) tahun 2050 antara 7,4% (tujuh koma empat persen) sampai dengan 7,6% (tujuh koma enam persen); dan
d) tahun 2060 antara 12,2% (dua belas koma dua persen) sampai dengan 13,4% (tiga belas koma empat persen),
5. memaksimalkan peran Energi panas bumi sepanjang keekonomiannya terpenuhi pada:
a) tahun 2030 antara 3,4% (tiga koma empat persen) sampai dengan 4,0% (tiga koma nol persen);
b) tahun 2040 antara 3,8% (tiga koma delapan persen) sampai dengan 4,4% (empat koma empat persen);
c) tahun 2050 antara 4,8% (empat koma delapan persen) sampai dengan 5,1% (lima koma satu persen); dan
d) tahun 2060 antara 4,9% (empat koma sembilan persen) sampai dengan 5,2% (lima koma dua persen),
6. memaksimalkan peran Energi biogas sepanjang keekonomiannya terpenuhi pada:
a) tahun 2030 antara 0,013% (nol koma nol satu tiga persen) sampai dengan 0,014% (nol koma nol satu empat persen);
b) tahun 2040 antara 0,019% (nol koma nol satu sembilan persen) s^pai dengan 0,020% (nol koma nol dua nol persen);
c) tahun 2050 antara 0,027% (nol koma nol dua tujuh persen) sampai dengan 0,028% (nol korna nol dua puluh delapan persen); dan
d) tahun 2060 antara 0,043% (nol koma nol empat tiga persen) sampai dengan 0,049% (nol koma nol empat sembilan persen),
7. memaksimalkan peran Energi bahan bakar nabati sepanjang keekonomiannya terpenuhi pada:
a) tahun 2030 antara 5,1% (lima koma satu persen) sampai dengan 5,2% (lima koma dua persen);
b) tahun 2040 antara 4,2% (empat koma dua persen) sampai dengan 4,7% (empat koma tujuh persen);
c) tahun 2050 antara 3,1% (tiga koma satu persen) sampai dengan 3,2% (tiga koma dua persen); dan
d) tahun 2060 antara 2,1% (dua koma satu persen) sampai dengan 2,6% (dua koma enam persen),
8. memaksimalkan peran Energi nuklir sepanjang keekonomiannya terpenuhi pada:
a) tahun 2032 antara 0,4% (nol koma empat persen) sampai dengan 0,5% (nol koma lima persen);
b) tahun 2040 antara 2,8% (dua koma delapan persen) sampai dengan 3,4% (tiga koma empat persen);
c) tahun 2050 antara 6,8% (enam koma delapan persen) sampai dengan 7,0% (tujuh koma nol persen); dan
d) tahun 2060 antara 11,7% (sebelas koma tujuh persen) sampai dengan 12,1% (dua belas koma satu persen),
9. memaksimalkan peran Energi Baru dan Energi Terbarukan lainnya sepanjang keekonomiannya terpenuhi pada:
a) tahun 2030 antara 0,1% (nol koma satu persen) sampai dengan 0,2% (nol koma dua persen);
b) tahun 2040 antara 0,5% (nol koma lima persen) sampai dengan 0,6% (nol koma enam persen);
c) tahun 2050 antara 1,2% (satu koma dua persen) sampai dengan 1,5% (satu koma lima persen); dan
d) tahun 2060 antara 1,5% (satu koma lima persen) sampai dengan 1,6% (satu koma enam persen),
10. mengurangi peran Energi minyak bumi pada:
a) tahun 2030 antara 22,4% (dua puluh dua koma empat persen) sampai dengan 26,3% (dua puluh enam koma tiga persen);
b) tahun 2040 antara 14,3% (empat belas koma tiga persen) sampai dengan 15,9% (lima belas koma sembilan persen);
c) tahun 2050 antara 8,7% (delapan koma tujuh persen) sampai dengan 8,8% (delapan koma delapan persen); dan
d) tahun 2060 antara 3,9% (tiga koma sembilan persen) sampai dengan 4, 7% (empat koma tujuh persen),
11. mengurangi peran Energi batubara pada:
a) tahun 2030 antara 40,7% (empat puluh koma tujuh persen) sampai dengan 41,6% (empat puluh satu koma enam persen);
b) tahun 2040 antara 28,9% (dua puluh delapan koma sembilan persen) sampai dengan 31,0% (tiga puluh satu koma nol persen);
c) tahun 2050 antara 19,1% (sembilan belas koma satu persen) sampai dengan 20,9% (dua puluh koma sembilan persen); dan
d) tahun 2060 antara 7,8% (tujuh koma delapan persen) sampai dengan 11,9% (sebelas koma sembilan persen),
12. memanfaatkan Energi gas bumi pada:
a) tahun 2030 antara 12,9% (dua belas koma sembilan persen) sampai dengan 14,2% (empat belas koma dua persen);
b) tahun 2040 antara 16,7% (enam belas koma tujuh persen) sampai dengan 16,8% (enam belas koma delapan persen);
c) tahun 2050 antara 17,1% (tujuh belas koma satu persen) sampai dengan 17,3% (tujuh belas koma tiga persen); dan
d) tahun 2060 antara 14,4% (empat belas koma empat persen) sampai dengan 15,4% (lima belas koma empat persen).


Pasal 13

(1) Selain pencapaian sasaran dan target sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 sampai dengan Pasal 12, kebijakan energi nasional juga bertujuan untuk mencapai penurunan Emisi GRK Sektor Energi dalam rangka pemenuhan komitmen Indonesia dalam Dekarbonisasi Sektor Energi.
(2) Penurunan Emisi GRK Sektor Energi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara bertahap, terukur, dan rasional melalui:
a. penurunan tingkat Emisi GRK Sektor Energi sampai tercapainya puncak Emisi GRK Sektor Energi;
b. pencapaian puncak Emisi GRK Sektor Energi sebagaimana dimaksud pada huruf a pada tahun 2035;
c. pengurangan Emisi GRK Sektor Energi secara masif setelah tercapainya puncak Emisi GRK Sektor Energi; dan
d. pencapaian Emisi Nol Bersih (Net Zero Emission) pada tahun 2060 dengan tingkat Emisi GRK Sektor Energi sebesar 129 (seratus dua puluh sembilan) juta ton CO2e (karbon dioksida ekuivalen), yang akan dapat diserap oleh sektor kehutanan dan penggunaan lahan lainnya.
(3) Pencapaian penurunan Emisi GRK Sektor Energi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup:
a. tercapainya tingkat Emisi GRK Sektor Energi pada:
1. tahun 2030 antara 1.017 (seribu tujuh belas) juta ton CO2e (karbon dioksida ekuivalen) sampai dengan 1.184 (seribu seratus delapan puluh empat) juta ton CO2e (karbon dioksida ekuivalen);
2. tahun 2040 antara 925 (sembilan ratus dua puluh lima) juta ton CO2e (karbon dioksida ekuivalen) sampai dengan 1.086 (seribu delapan puluh enam) juta ton CO2e (karbon dioksida ekuivalen);
3. tahun 2050 antara 676 (enam ratus tujuh puluh enam) juta ton CO2e (karbon dioksida ekuivalen) sampai dengan 744 (tujuh ratus empat puluh empat) juta ton CO2e (karbon dioksida ekuivalen); dan
4. tahun 2060 paling banyak 129 (seratus dua puluh sembilan) juta ton CO2e (karbon dioksida ekuivalen).
b. tercapainya Emisi GRK Sektor Energi per kapita pada:
1. tahun 2030 antara 3,41 (tiga koma empat satu) ton CO2e (karbon dioksida ekuivalen) sampai dengan 3,70 (tiga koma tujuh puluh) ton CO2e (karbon dioksida ekuivalen);
2. tahun 2040 antara 2,89 (dua koma delapan sembilan) ton CO2e (karbon dioksida elruivalen) sampai dengan 3,40 (tiga koma empat puluh) ton CO2e (karbon dioksida ekuivalen);
3. tahun 2050 antara 2,0 (dua koma nol) ton CO2e (karbon dioksida ekuivalen) sampai dengan 2,20 (dua koma dua puluh) ton CO2e (karbon dioksida ekuivalen); dan
4. tahun 2060 paling banyak 0,36 (nol koma tiga enam) ton CO2e (karbon dioksida ekuivalen).
c. tercapainya intensitas emisi Energi Primer pada:
1. tahun 2030 antara 2,61 (dua koma enam satu) ton CO2e (karbon dioksida ekuivalen) per TOE sampai dengan 2,76 (dua koma tujuh enam) ton C02e (karbon dioksida ekuivalen) per TOE;
2. tahun 2040 antara 1,82 (satu koma delapan dua) ton CO2e (karbon dioksida ekuivalen) per TOE sampai dengan 1,98 (satu koma sembilan delapan) ton CO2e (karbon dioksida ekuivalen) per TOE;
3. tahun 2050 antara 1,05 (satu koma nol lima) ton CO2e (karbon dioksida ekuivalen) per TOE sampai dengan 1,14 (satu koma satu empat) ton cO2e (karbon dioksida ekuivalen) per TOE; dan
4. tahun 2060 antara 0, 17 (nol koma satu tujuh) ton CO2e (karbon dioksida ekuivalen) per TOE sampai dengan 0, 19 (nol koma satu sembilan) ton CO2e (karbon dioksida ekuivalen) per TOE.


BAB III
ARAH KEBIJAKAN ENERGI NASIONAL

Pasal 14

(1) Arah kebijakan energi nasional terdiri dari kebijakan utama dan kebijakan pendukung.
(2) Kebijakan utama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. ketersediaan Energi untuk kebutuhan nasional;
b. pemanfaatan Sumber Daya Energi nasional;
c. prioritas pengembangan Energi; dan
d. Cadangan Energi nasional.
(3) Kebijakan pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kebijakan untuk mendukung terwujudnya kebijakan utama sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Kebijakan pendukung dalam mewujudkan ketersediaan Energi untuk kebutuhan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a meliputi:
a. penyediaan tenaga listrik;
b. penyediaan Energi Final nonlistrik;
c. ekspor dan impor Sumber Energi;
d. Diversifikasi Energi;
e. Konservasi Sumber Daya Energi dan Konservasi Energi; dan
f. lndustri Energi, sarana, dan prasarana Penyediaan Energi.
(5) Kebijakan pendukung dalam mewujudkan pemanfaatan Sumber Daya Energi nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, meliputi:
a. Dekarbonisasi Sektor Energi dan transisi Energi;
b. sarana dan prasarana Pemanfaatan Energi;
c. konversi Energi;
d. industri peralatan pemanfaat Energi; dan
e. Energi Hijau dan Ekonomi Sirkular.
(6) Kebijakan pendukung dalam mewujudkan prioritas pengembangan Energi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, meliputi:
a. pengembangan sumber energi baru
b. pengembangan sumber energi terbarukan; dan
c. pengembangan sumber energi tak terbarukan.
(7) Kebijakan pendukung dalam mewujudkan Cadangan Energi nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d, meliputi:
a. pengelolaan Cadangan Strategis;
b. pengelolaan Cadangan Penyangga Energi;
c. pengelolaan Cadangan Operasional; dan
d. pengelolaan Penyimpanan Energi.
(8) Selain kebijakan pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (4) sampai dengan ayat (7), kebijakan utama harus didukung:
a. pendanaan dalam rangka mewujudkan Ketahanan Energi dan Dekarbonisasi Sektor Energi;
b. harga Energi, pasar Energi, dan dukungan pemerintah untuk sektor Energi;
c. penelitian, pengembangan, pengkajian dan penerapan teknologi Energi, dan pengembangan sumber daya manusia;
d. kliring dan audit teknologi;
e. perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup, serta keselamatan dan kesehatan kerja;
f. kelembagaan;
g. kerja sama dan diplomasi Energi tingkat intemasional;
h. tingkat komponen dalam negeri dan peningkatan nilai tambah;
i. pajak karbon dan insentif atau pembayaran berbasis kinerja dari upaya pengurangan Emisi GRK Sektor Energi; dan
j. penetapan dan penanggulangan kondisi krisis Energi dan/atau darurat Energi.


BAB IV
STRATEGI KEBIJAKAN ENERGI NASIONAL

Bagian Kesatu
Kebijakan Utama

Paragraf 1
Ketersediaan Energi untuk Kebutuhan Nasional

Pasal 15

(1) Ketersediaan Energi untuk kebutuhan nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) huruf a dilakukan dengan strategi:
a. menginventarisasi potensi dan/atau cadangan terbukti dengan meningkatkan eksplorasi Sumber Daya Energi terbarukan dan Sumber Daya Energi lainnya;
b. meningkatkan produksi Energi dan Sumber Energi dalam negeri serta memenuhi kekurangannya melalui impor dan/atau pengembangan Sumber Energi di luar negeri dengan memprioritaskan Energi rendah karbon;
c. meningkatkan keandalan sistem produksi, penyimpanan, transportasi, dan distribusi Penyediaan Energi;
d. mengendalikan ekspor Sumber Daya Energi dan Sumber Energi dengan mengutamakan kebutuhan dalam negeri serta memperhatikan kebutuhan jangka panjang;
e. mewujudkan keseimbangan antara laju pertambahan Cadangan Energi dengan laju produksi terutama sumber energi tak terbarukan; dan
f. memastikan terjaminnya daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup untuk menjaga ketersediaan Sumber Daya Energi dan Sumber Energi yang berkelanjutan.
(2) Dalam mewujudkan ketersediaan Energi untuk kebutuhan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (I) dilaksanakan dengan:
a. mengutamakan Penyediaan Energi rendah karbon dalam rangka mewujudkan Ketahanan Energi nasional; dan
b. menjaga keandalan sistem Penyediaan Energi.
(3) Dalam hal pelaksanaan Penyediaan Energi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terjadi tumpang tindih pemanfaatan lahan maka mendahulukan yang memiliki nilai Ketahanan Energi nasional dan/atau nilai strategis lebih tinggi.


Paragraf 2
Pemanfaatan Sumber Daya Energi Nasional

Pasal 16

(1) Pemanfaatan Sumber Daya Energi nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) huruf b dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah mengacu pada strategi:
a. pemanfaatan sumber energi tak terbarukan seperti batubara, bahan bakar minyak, dan gas dilakukan dengan memanfaatkan teknologi rendah karbon guna menjaga Ketahanan Energi;
b. pemanfaatan sumber energi terbarukan dari jenis Energi aliran dan terjunan air, panas bumi, angin, dan gerakan dan perbedaan suhu lapisan laut diarahkan untuk ketenagalistrikan;
c. pemanfaatan sumber energi terbarukan dari jenis Energi surya diarahkan untuk ketenagalistrikan, produksi hidrogen, amonia, dan Energi nonlistrik untuk industri, rumah tangga, dan transportasi;
d. pemanfaatan sumber energi terbarukan dari jenis bahan bakar nabati diarahkan sebagai bahan campuran dan/atau untuk menggantikan bahan bakar minyak terutama untuk transportasi dan industri;
e. pemanfaatan sumber energi terbarukan dari jenis bahan bakar nabati dilakukan dengan memperhatikan keseimbangan Ketahanan Energi dan ketahanan pangan;
f. pemanfaatan sumber energi baru dari jenis Energi nuklir diarahkan untuk pembangkitan listrik termasuk re-powering dan co-generation yang dapat menghasilkan hidrogen dan amonia;
g. pemanfaatan sumber energi terbarukan dari jenis biomassa dan sampah diarahkan untuk menggantikan sebagian batubara pada ketenagalistrikan dan memproduksi biogas untuk transportasi dan industri;
h. pemanfaatan sumber energi tak terbarukan dari jenis minyak bumi diarahkan untuk digunakan secara terbatas bagi industri, ketenagalistrikan, transportasi, dan komersial khususnya dalam hal belum bisa digantikan dengan Energi rendah karbon;
i. pemanfaatan sumber energi tak terbarukan dari jenis gas bumi diarahkan untuk ketenagalistrikan, industri, rumah tangga, dan transportasi sebagai pengantar transisi menuju pemanfaatan Energi Baru dan Energi Terbarukan yang lebih besar;
j. pemanfaatan sumber energi terbarukan dari jenis Energi laut sebagai langkah awal didorong dengan membangun pembangkit tenaga listrik di daerah terpencil yang memiliki potensi Energi laut untuk menggantikan Energi Tak Terbarukan;
k. pemanfaatan sumber energi tak terbarukan dari jenis batubara diarahkan untuk digunakan secara terbatas dalam memproduksi batubara tercairkan (liquefied coal), batubara tergaskan (gasified coal) dan listrik serta untuk industri khususnya dalam hal belum bisa digantikan dengan Energi rendah karbon;
l. pemanfaatan sumber energi terbarukan dari jenis Energi surya dimaksimalkan dengan mengandalkan komponen pembangkit listrik tenaga surya yang diproduksi dalam negeri;
m. pemanfaatan sumber energi tak terbarukan dari jenis bahan bakar minyak yang tak tergantikan, yang diproduksi dengan menggunakan teknologi rendah karbon, terutama untuk memenuhi Penyediaan Energi di wilayah tertinggal, terdepan, terluar, terpencil, dan pulau kecil berpenduduk;dan
n. pemanfaatan sumber energi tak terbarukan dari jenis batubara di masa depan untuk Cadangan Strategis jangka panjang di samping untuk memenuhi kebutuhan Energi sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf k.
(2) Pemanfaatan Sumber Daya Energi nasional diutamakan untuk memenuhi kebutuhan Energi dan bahan baku industri dalam negeri.
(3) Pengutamaan pemanfaatan Sumber Daya Energi nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan pertimbangan menyeluruh atas kapasitas, kontinuitas, keekonomian, kesel^natan, dan kesehatan kerja, keamanan, dan dampak Lingkungan Hidup.
(4) Pelaksanaan pemanfaatan Sumber Daya Energi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diupayakan dengan:
a. Konservasi Sumber Daya Energi;
b. pengurangan Emisi GRK Sektor Energi; dan
c. penyelenggaraan NEK.


Paragraf 3
Prioritas Pengembangan Energi

Pasal 17

(1) Prioritas pengembangan Energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) huruf c dilakukan dengan mempertimbangkan keseimbangan aspek:
a. keekonomian;
b. keterjangkauan harga;
c. keamanan pasokan Energi; dan
d. pelestarian Lingkungan Hidup.
(2) Prioritas pengembangan Energi dengan mempertimbangkan keseimbangan aspek sebagaimana dimaksud pada ayat (1), didasarkan pada prinsip:
a. memaksimalkan pemanfaatan Energi Terbarukan dengan memperhatikan tingkat keekonomian dan beroperasi secara berkesinambungan;
b. meminimalkan pemanfaatan Energi Tak Terbarukan;
c. memanfaatkan Energi Baru; dan
d. memanfaatkan Energi Tak Terbarukan dengan teknologi rendah karbon.
(3) Prioritas Pengembangan Energi sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1) dan ayat (2) dilakukan melalui:
a. Penyediaan Energi bagi masyarakat yang belum memiliki akses Energi terutama wilayah tertinggal, terdepan, terluar, terpencil, dan pulau kecil berpenduduk;
b. Penyediaan Energi yang menyinergikan antara pengembangan Sumber Daya Energi setempat dengan pengembangan kluster ekonomi secara terpadu;
c. Penyediaan Energi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri;
d. Penyediaan Energi yang mengintegrasikan pengembangan wilayah yang cukup memiliki potensi Sumber Daya Energi dengan pengembangan industri untuk menciptakan pertumbuhan industri dan pemerataan pembangunan;
e. regionalisasi Sistem Tenaga Listrik nasional untuk mendorong pemerataan penyediaan tenaga listrik; dan
f. pengembangan Energi di kawasan perbatasan dalam kerja sama regional.


Paragraf 4
Cadangan Energi Nasional

Pasal 18

Cadangan Energi nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) huruf d meliputi:
a. Cadangan Strategis;
b. Cadangan Penyangga Energi; dan
c. Cadangan Operasional.


 Pasal 19

(1) Cadangan Strategis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf a diatur dan dialokasikan oleh Pemerintah Pusat untuk menjamin Ketahanan Energi jangka panjang.
(2) Cadangan Strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diusahakan sesuai waktu yang telah ditetapkan atau sewaktu-waktu diperlukan untuk kepentingan nasional.


 Pasal 20

(1) Cadangan Penyangga Energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf b disediakan untuk menjamin keamanan pasokan dan Ketahanan Energi nasional.
(2) Cadangan Penyangga Energi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kewajiban yang harus disediakan oleh Pemerintah Pusat dengan ketentuan:
a. Cadangan Penyangga Energi merupakan cadangan di luar Cadangan Operasional yang disediakan oleh Penyedia Energi;
b. Cadangan Penyangga Energi digunakan untuk mengatasi kondisi krisis dan darurat Energi; dan/atau
c. Cadangan Penyangga Energi disediakan secara bertahap sesuai dengan kemampuan keuangan negara.
(3) Dewan Energi Nasional mengatur jenis, jumlah, waktu, dan lokasi Cadangan Penyangga Energi.


 Pasal 21

(1) Cadangan Operasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf c wajib disediakan untuk jenis Energi Final yang dikonsumsi secara luas dan terus-menerus serta tersedia sistem penyimpanannya.
(2) Cadangan Operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disediakan oleh Penyedia Energi untuk menjamin kontinuitas pasokan Energi.
(3) Penyediaan Cadangan Operasional oleh Penyedia Energi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi bahan bakar padat, bahan bakar cair, bahan bakar gas, pengoperasian listrik, dan/atau Penyimpanan Energi.
(4) Jenis, jumlah, waktu, dan lokasi Cadangan Operasional dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Bagian Kedua
Kebijakan Pendukung dalam Mewujudkan
Ketersediaan Energi untuk Kebutuhan Nasional

Paragraf 1
Penyediaan Tenaga Listrik

Pasal 22

(1) Penyediaan tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4) huruf a diutamakan dengan pemanfaatan sumber energi terbarukan dan Sumber Energi setempat.
(2) Penyediaan tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya.
(3) Usaha penyediaan tenaga listrik oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan oleh badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah.
(4) Badan Usaha, koperasi, dan swadaya masyarakat dapat berpartisipasi dalam usaha penyediaan tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berdasarkan ketentuan produksi tenaga listrik yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Usaha penyediaan tenaga listrik oleh badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) termasuk interkoneksi Sistem Tenaga Listrik setempat atau antar daerah atau antar pulau.
(6) Usaha penyediaan tenaga listrik oleh Badan Usaha, koperasi, dan swadaya masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tennasuk alokasi risiko yang diatur dalam Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik antara perusahaan listrik milik negara selaku pembeli dengan Badan Usaha, koperasi, atau swadaya masyarakat selaku penjual.
(7) Ketentuan pelaksanaan penyediaan tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan ayat (6) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


 Pasal 23

(1) Interkoneksi Sistem Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (5) dilakukan untuk meningkatkan efisiensi, keandalan, dan/atau penetrasi Energi Baru dan Energi Terbarukan.
(2) lnterkoneksi Sistem Tenaga Listrik antar daerah atau antar pulau dilakukan setelah terbangunnya interkoneksi Sistem Tenaga Listrik setempat.
(3) lnterkoneksi Sistem Tenaga Listrik antar daerah atau antar pulau sebagaimana dimaksud pada ayat (2) direncanakan dan dibangun berdasarkan hasil studi kelayakan dan terpenuhinya persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Paragraf 2
Penyediaan Energi Final Nonlistrik

Pasal 24

(1) Penyediaan Energi Final nonlistrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4) huruf b dilakukan dengan memaksimalkan pemanfaatan Sumber Energi yang rendah karbon dan meminimalkan pemanfaatan Sumber Energi yang tinggi karbon.
(2) Pengembangan infrastruktur penyediaan Energi Final nonlistrik dilakukan dengan memperhatikan capaian Dekarbonisasi Sektor Energi.
(3) Penyediaan Energi Final nonlistrik dari sumber energi tak terbarukan dilakukan dengan teknologi rendah karbon.
(4) Perencanaan terkait penyediaan Energi Final nonlistrik dan pengembangan infrastrukturnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dituangkan dalam rencana umum energi nasional dan dijabarkan dalam rencana umum energi daerah.
(5) Dalam hal keamanan pasokan penyediaan Energi Final nonlistrik belum memenuhi mekanisme pasar yang seimbang, pelaksanaan penyediaan Energi Final nonlistrik dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Paragraf 3
Ekspor dan Impor Sumber Energi

Pasal 25

(1) Dalam rangka mengamankan Penyediaan Energi dalam jangka panjang, Pemerintah Pusat dapat melakukan ekspor dan impor Sumber Energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4) huruf c.
(2) Impor Sumber Energi berupa Sumber Daya Energi yang tersedia atau dapat disediakan di dalam negeri, dilakukan dengan cara terbatas dan terencana.


 Pasal 26

(1) Ekspor Sumber Energi berupa tenaga listrik lintas negara dapat dilakukan dengan tujuan peningkatan efisiensi, keandalan, dan keamanan pasokan Penyediaan Energi dengan memprioritaskan pemenuhan kebutuhan listrik setempat demi memijudkan peningkatan ekonomi nasional.
(2) Impor Sumber Energi berupa tenaga listrik lintas negara dapat dilakukan dengan tujuan peningkatan efisiensi, keandalan, dan keamanan pasokan Penyediaan Energi dengan pertimbangan belum tersedianya infrastruktur.
(3) Ekspor dan impor Sumber Energi berupa tenaga listrik lintas negara dilakukan oleh perusahaan listrik milik negara pengekspor atau pengimpor atau entitas bisnis yang ditunjuk mewakili negara pengekspor atau pengimpor.


 Pasal 27

(1) Ekspor dan impor Sumber Energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dan Pasal 26 dapat dilakukan dengan cara transaksi penukaran (swap).
(2) Ketentuan pelaksanaan transaksi penukaran (swap) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan perjanjian jual dan beli dalam hal:
a. melakukan transaksi penukaran (swap) Sumber Energi dengan Sumber Energi lain; atau
b. melakukan transaksi penukaran (swap) Sumber Energi dengan komoditas lain.


 Pasal 28

Untuk menjaga Ketahanan Energi nasional dilakukan melalui:
a. pengurangan ketergantungan terhadap impor Sumber Energi;
b. diversifikasi sumber impor suatu jenis Sumber Energi yang jumlahnya besar untuk menghindari ketergantungan impor dari satu sumber atau satu negara;
c. pengaturan ekspor batubara, gas bumi, bahan bakar nabati, dan listrik melalui pelayanan terpadu satu pintu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
d. pengutamaan pemenuhan kebutuhan domestik dengan mengendalikan ekspor Sumber Energi terutama batubara, gas bumi, bahan bakar nabati, dan listrik.


 Pasal 29

Ketentuan mengenai pelaksanaan ekspor dan impor Sumber Energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 sampai dengan Pasal 28 dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 30

(1) Penerimaan negara yang berasal dari sektor Energi dapat dimanfaatkan untuk:
a. mendukung Ketahanan Energi nasional; dan
b. pengembangan Energi Baru dan Energi Terbarukan.
(2) Pemanfaatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disesuaikan dengan prioritas nasional.
(3) Pemanfaatan dari penerimaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang keuangan.


Paragraf 4
Diversifikasi Energi

Pasal 31

(1) Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya harus melaksanakan Diversifikasi Energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4) humf d untuk meningkatkan Konservasi Sumber Daya Energi, Kemandirian Energi, dan Ketahanan Energi nasional dan daerah.
(2) Diversifikasi Energi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui:
a. transisi penyediaan dan pemanfaatan dari Energi Tak Terbarukan ke berbagai jenis sumber energi baru dan sumber energi terbarukan;
b. pengalihan Energi di sektor transportasi dari bahan bakar minyak ke penggunaan listrik, bioenergi, hidrogen, gas, dan/atau Energi rendah karbon lainnya;
c. pengalihan liquefied petroleum gas untuk keperluan rumah tangga dan komersial ke penggunaan gas, biogas, dimethyl ether, listrik, dan/atau Energi rendah karbon lainnya;
d. pengalihan sebagian batubara untuk pembangkit listrik tenaga uap ke penggunaan gas, hidrogen, amonia, biomassa, dan/ atau Energi rendah karbon lainnya;
e. pengalihan bahan bakar minyak dan gas ke penggunaan biomassa dan biogas, listrik, hidrogen, dan/ atau Energi rendah karbon lainnya untuk industri, usaha mikro, kecil, dan menengah, komersial, dan rumah tangga; dan/atau
f. pemenuhan sebagian keperluan bahan bakar minyak dan bahan bakar gas ke penggunaan likuifikasi dan gasifikasi batubara yang dihasilkan menggunakan teknologi rendah karbon dengan memperhatikan keekonomian.


Paragraf 5
Konservasi Sumber Daya Energi dan Konservasi Energi

Pasal 32

(1) Untuk melaksanakan Konservasi Sumber Daya Energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4) huruf e, Penyediaan Energi mengutamakan sumber daya energi terbarukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Konservasi Sumber Daya Energi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bersifat lintas sektor diwujudkan melalui pengaturan rencana tata ruang wilayah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Pengaturan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditujukan untuk Sumber Daya Energi yang diprioritaskan untuk diusahakan dan/ atau disediakan.


 Pasal 33

(1) Konservasi Energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4) huruf e dilaksanakan pada seluruh tahap Pengelolaan Energi dari hulu hingga hilir.
(2) Pelaksanaan Konservasi Energi pada seluruh tahap Pengelolaan Energi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk melestarikan Sumber Daya Energi dan meningkatkan efisiensi Energi serta mendukung Dekarbonisasi Sektor Energi.


 Pasal 34

(1) Untuk menjamin ketersediaan Energi yang berkelanjutan, Penyedia Energi, Pengguna Sumber Energi, dan/ atau Pengguna Energi harus melakukan Konservasi Sumber Daya Energi dan Konservasi Energi dalam kegiatan Penyediaan Energi dan Pemanfaatan Energi.
(2) Penyedia Energi, Pengguna Sumber Energi, dan/ atau Pengguna Energi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat bekerja sama dengan Badan Usaha, badan layanan usaha, dan/atau unit pelayanan teknis yang memberikan jasa Konservasi Energi.


Pasal 35

(1) Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya menetapkan pedoman penerapan kebijakan Konservasi Sumber Daya Energi dan Konservasi Energi.
(2) Pedoman penerapan kebijakan Konservasi Sumber Daya Energi dan Konservasi Energi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat kewajiban manajemen Energi, standardisasi, labelisasi, dan penggunaan teknologi efisien.


Pasal 36

(1) Penyedia Energi harus menerapkan prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dalam kegiatan usaha dan produksinya.
(2) Penyedia Energi menyampaikan laporan manajemen Energi setiap tahun paling lambat pada triwulan pertama tahun berikutnya.
(3) Laporan manajemen Energi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), paling sedikit memuat produksi tahunan, pemanfaatan Energi Primer, efisiensi produksi, emisi karbon dioksida, kinerja manajemen Energi, dan hasil audit Energi.


 Pasal 37

(1) Pengguna Sumber Energi dan/atau Pengguna Energi dengan konsumsi Energi melebihi jumlah tertentu harus melakukan manajemen Energi.
(2) Pengguna Sumber Energi dan/atau Pengguna Energi menyampaikan laporan manajemen Energi setiap tahun paling lambat pada triwulan pertama tahun berikutnya.
(3) Laporan manajemen Energi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), paling sedikit memuat konsumsi Energi tahunan, indikator efisiensi, kinerja manajemen Energi, dan hasil audit Energi.

 
Pasal 38

Pedoman penerapan kebijakan Konservasi Sumber Daya Energi dan Konservasi Energi, laporan manajemen Energi tahunan oleh Penyedia Energi, dan laporan manajemen Energi Pengguna Sumber Energi, dan/atau Pengguna Energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat 2), Pasal 36, dan Pasal 37 dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.


Paragraf 6
Industri Energi, Sarana, dan Prasarana Penyediaan Energi

Pasal 39

(1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah mendorong pembangunan dan pengembangan Industri Energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4) huruf f yang berkelanjutan dan memiliki daya saing, dengan tujuan:
a. mempercepat tercapainya sasaran Penyediaan Energi dan Pemanfaatan Energi;
b. meningkatkan perekonomian nasional dan daerah;
c. memperluas dan meningkatkan lapangan kerja; dan
d. mewujudkan Kemandirian Energi dan Ketahanan Energi nasional dan daerah.
(2) Pengembangan Industri Energi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan mengutamakan Industri Energi Hijau.
(3) Pembangunan dan pengembangan lndustri Energi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan:
a. meningkatkan kemampuan Industri Energi dan peran jasa Energi dalam negeri dalam pelaksanaan efisiensi Pemanfaatan Energi dan Dekarbonisasi Sektor Energi;
b. meningkatkan pembangunan dan pengembangan industri peralatan produksi dan pemanfaat Energi Baru dan Energi Terbarukan dalam negeri;
c. meningkatkan kemampuan sumber daya manusia dan penguasaan teknologi dalam industri peralatan produksi dan pemanfaat Energi;
d. meningkatkan komponen dalam negeri menuju kemandirian dalam penggunaan teknologi dan bahan baku pada Industri Energi;
e. mengembangkan ekosistem industri komponen dan peralatan dalam Penyediaan Energi, Penyimpanan Energi, dan Pemanfaatan Energi termasuk peralatan transportasi untuk mendukung Kemandirian Energi nasional;
f. mendorong industri nasional dalam penyediaan peralatan dan komponen Industri Energi dan Pemanfaatan Energi;
g. membangun Industri Energi dalam negeri termasuk melalui pembelian lisensi pabrik; dan
h. menciptakan iklim investasi yang kondusif.


 Pasal 40

(1) Pelaksanaan Dekarbonisasi Sektor Energi, Industri Energi yang berbasis Energi Tak Terbarukan harus:
a. memenuhi standar portofolio Energi Baru dan/atau Energi Terbarukan; dan/atau
b. menggunakan teknologi untuk mencapai target pengurangan Emisi GRK Sektor Energi.
(2) Dalam hal Industri Energi yang berbasis Energi Tak Terbarukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak memenuhi Standar Portofolio Energi Baru dan/atau Energi Terbarukan, Industri Energi harus memiliki sertifikat Energi Terbarukan.


 Pasal 41

(1) Pembangunan dan pengembangan sarana dan prasarana Penyediaan Energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4) huruf f untuk meningkatkan keandalan sistem produksi, penyimpanan, transportasi, dan distribusi Penyediaan Energi diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya.
(2) Pembangunan dan pengembangan sarana dan prasarana Penyediaan Energi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan:
a. menyiapkan rencana pembangunan sarana dan prasarana Penyediaan Energi berdasarkan kewilayahan dengan pendekatan holistik-tematik, integratif, dan spasial;
b. meningkatkan kemampuan industri nasional dalam melaksanakan pengembangan sarana dan prasarana Penyediaan Energi;
c. mengembangkan sarana dan prasarana Penyediaan Energi yang terintegrasi mulai dari Industri Energi hingga masyarakat Pengguna Energi;
d. meningkatkan kerja sama dan kemitraan dalam pendanaan dan investasi untuk pembangunan dan pengembangan sarana dan prasarana Penyediaan Energi;
e. menyediakan informasi dan pelayanan terpadu untuk meningkatkan keandalan sistem produksi, penyimpanan, transportasi, dan distribusi dalam pemenuhan kebutuhan Energi; dan
f. memanfaatkan potensi Sumber Daya Energi setempat untuk mendukung pengembangan sarana dan prasarana industri dan ekonomi masyarakat.


Bagian Ketiga
Kebijakan Pendukung dalam Mewujudkan
Pemanfaatan Sumber Daya Energi Nasional


Paragraf 1
Dekarbonisasi Sektor Energi dan Transisi Energi

Pasal 42

(1) Strategi Dekarbonisasi Sektor Energi dan transisi Energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (5) huruf a dilakukan dengan:
a. memastikan kesiapan Dekarbonisasi Sektor Energi nasional secara menyeluruh;
b. memasukkan dan/atau mengintegrasikan program transisi Energi; dan
c. menjaga keamanan pasokan Energi nasional.
(2) Pelaksanaan program transisi Energi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
a. pembangunan sarana dan prasarana penyediaan Energi Barn dan Energi Terbarukan termasuk pembangunan pembangkit listrik berbasis Energi Baru dan Energi Terbarukan;
b. konversi sistem energi tak terbarukan menjadi Energi Baru dan Energi Terbarukan termasuk pembangkit listrik berbasis Energi Tak Terbarukan menjadi pembangkit listrik berbasis Energi Baru dan Energi Terbarukan;
c. pemanfaatan kemajuan teknologi rendah karbon pada Sistem Energi termasuk pembangkit listrik berbasis Energi Tak Terbarukan;
d. penyerapan, penyimpanan, dan pemanfaatan karbon;
e. pengakhiran masa operasional pembangkit listrik berbasis batubara secara bertahap; dan/atau
f. pelarangan pengembangan pembangkit listrik baru berbasis batubara dengan mengacu pada kondisi Ketahanan Energi nasional dan pemenuhan penurunan Emisi GRK Sektor Energi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Dalam hal ketersediaan Energi Baru dan Energi Terbarukan belum cukup memenuhi kebutuhan Sistem Energi setempat, program transisi Energi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b dapat dilakukan pada Sistem Energi berbasis Energi Tak Terbarukan dengan penggunaan teknologi rendah karbon.


 Pasal 43

Selain program transisi Energi dilaksanakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2), program transisi Energi untuk bidang ketenagalistrikan dilaksanakan melalui penetrasi Energi Baru dan/atau Energi Terbarukan yang lebih besar dengan:
a. menjaga keandalan sistem; dan
b. pemanfaatan teknologi yang andal dalam menerima Energi Baru dan/atau Energi Terbarukan


Pasal 44

(1) Dalam rangka mendorong transisi Energi, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menetapkan target Dekarbonisasi Sektor Energi, paling sedikit berupa:
a. bauran Energi Primer;
b. Intensitas Emisi Sektor Energi; dan
c. target penurunan Emisi GRK Sektor Energi.
(2) Target yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam rencana umum energi nasional atau rencana umum energi daerah.
(3) Penyedia Energi dan Pengguna Energi dalam menyusun rencana usaha harus mengacu pada penetapan target yang tercantum dalam rencana umum energi nasional atau rencana umum energi daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2).


Paragraf 2
Sarana dan Prasarana Pemanfaatan Energi

Pasal 45

(1) Pembangunan dan pengembangan sarana dan prasarana Pemanfaatan Energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (5) huruf b untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap Energi diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya.
(2) Pembangunan dan pengembangan sarana dan prasarana Pemanfaatan Energi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan:
a. menyiapkan rencana pembangunan sarana dan prasarana Pemanfaatan Energi berdasarkan kewilayahan dengan pendekatan holistik-tematik, integratif, dan spasial;
b. meningkatkan kemampuan industri nasional dalam melaksanakan pengembangan sarana dan prasarana Pemanfaatan Energi;
c. mengembangkan sarana dan prasarana Pemanfaatan Energi yang terintegrasi mulai dari Industri Energi hingga masyarakat Pengguna Energi;
d. meningkatkan kerja sama dan kemitraan dalam pendanaan dan investasi untuk pembangunan dan pengembangan sarana dan prasarana Pemanfaatan Energi;
e. menyediakan informasi dan pelayanan untuk memudahkan akses masyarakat terhadap pemenuhan kebutuhan Energi; dan
f. memanfaatkan potensi Sumber Daya Energi setempat untuk mendukung pengembangan sarana dan prasarana industri dan ekonomi masyarakat.


Paragraf 3
Konversi Energi

Pasal 46

(1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah mendorong langkah konversi Energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (5) huruf c untuk keanekaragaman Energi Final.
(2) Konversi Energi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap seluruh jenis Energi, dengan mempertimbangkan efisiensi, rendah karbon, dan ramah lingkungan.
(3) Dalam mendorong langkah konversi Energi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan memaksimalkan pemanfaatan sumber bahan baku dari dalam negeri.


 Pasal 47

Sumber Energi hasil konversi Energi diutamakan untuk mendukung Kemandirian Energi dan Ketahanan Energi nasional.


Paragraf 4
Industri Peralatan Pemanfaat Energi

Pasal 48

(1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah mendorong pengembangan industri peralatan pemanfaat Energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (5) huruf d untuk memenuhi persyaratan tingkat komponen dalam negeri.
(2) Pengembangan industri peralatan pemanfaat Energi sebagaimana dimaksud ayat (1) berasal dari hilirisasi hasil riset dan inovasi serta industri dalam negeri dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


 Pasal 49

(1) Industri peralatan pemanfaat Energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 harus:
a. berorientesi kepada teknologi yang efisien; dan
b. memenuhi standar kinerja Energi minimum yang ditetapkan oleh Pemerintah.
(2) Standar kinerja energi minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Paragraf 5
Energi Hijau dan Ekonomi Sirkular

Pasal 50

Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah melakukan peningkatan penyediaan dan pemanfaatan Energi Hijau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (5) huruf e untuk mendukung terwujudnya Ekonomi Hijau.


Pasal 51

Peningkatan penyediaan dan pemanfaatan Energi Hijau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 dilaksanakan melalui:
a. peningkatan pertumbuhan ekonomi yang memperhatikan ketersediaan Sumber Daya Energi dan menjaga keseimbangan Sistem Energi yang berkelanjutan;
b. penyelenggaraan NEK sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
c. penyediaan dan penguatan pelaksanaan program Dekarbonisasi Sektor Energi;
d. penguatan kerja sama dengan negara lain dalam mengembangkan infrastruktur Energi Hijau yang inovatif dan terjangkau;
e. percepatan Elektrifikasi terutama di wilayah tertinggal, terdepan, terluar, terpencil, dan pulau kecil berpenduduk;
f. kepastian jaminan keamanan pasokan dan harga Energi yang terjangkau dan berkeadilan; dan/atau
g. perluasan jenis usaha Energi Hijau dan transformasi keahlian dan keterampilan.


 Pasal 52

(1) Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah mendorong pengembangan Ekonomi Sirkular sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (5) huruf e dalam Pengelolaan Energi nasional dengan mempertimbangkan aspek ekonomi, sosial, dan Lingkungan Hidup.
(2) Pengembangan Ekonomi Sirkular sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling sedikit dilakukan melalui:
a. minimalisasi produksi limbah;
b. penggunaan kembali limbah dalam proses produksi;
c. pengurangan pemanfaatan Sumber Energi, lahan, bangunan, dan material dalam proses produksi;
d. penggunaan kembali limbah untuk manfaat lain; dan/atau
e. daur ulang material yang masih memiliki manfaat ekonomi.


Bagian Keempat
Kebijakan Pendukung dalam Mewujudkan
Prioritas Pengembangan Energi

Paragraf 1
Pengembangan Sumber Energi Baru

Pasal 53

(1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah mendorong pengembangan sumber energi baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (6) huruf a terutama untuk mencapai target Dekarbonisasi Sektor Energi.
(2) Dalam rangka mendorong pengembangan sumber energi baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah melakukan:
a. identifikasi dan inventarisasi sumber energi baru yang meliputi jenis, lokasi, kapasitas, dan keekonomiannya;
b. penetap am rencana pengembangan sumber energi baru;
c. pengalokasian lahan; dan
d. pemberian kemudahan yang diperlukan.
(3) Pengembangan sumber energi baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


 Pasal 54

(1) Pengembangan sumber energi baru berupa hidrogen dan amonia serta Energi Baru lainnya ditujukan sebagai bahan bakar dan dapat disimpan.
(2) Hidrogen dan amonia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diutamakan diproduksi dari sumber energi terbarukan untuk menghasilkan hidrogen hijau dengan teknologi yang efisien.
(3) Dalam hal hidrogen dan amonia tidak dapat diproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), hidrogen dan amonia dapat diproduksi dari sumber energi baru atau sumber energi tak terbarukan dengan menggunakan teknologi rendah karbon.


 Pasal 55

(1) Pengembangan sumber energi baru berupa nuklir ditujukan sebagai pembangkit listrik Tenaga Nuklir dan/atau dalam bentuk panas untuk co-generation.
(2) Pembangkit listrik Tenaga Nuklir sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dibangun dan dioperasikan sesuai dengan persyaratan keselamatan, keamanan, garda-aman, jaminan pasokan bahan bakar nuklir, dan pengelolaan limbah radioaktif.
(3) Pembangunan pembangkit listrik Tenaga Nuklir sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemilihan lokasi di suatu wilayah dilakukan dengan pertimbangan, paling sedikit lokasi yang aman dari ancaman bencana geologi, daerah tidak padat penduduk, dan daerah bukan lumbung pangan.
(4) Untuk memastikan jaminan pasokan bahan bakar nuklir sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diperlukan pencadangan sumber daya bahan galian nuklir nasional.
(5) Pembangunan dan pengoperasian pembangkit listrik Tenaga Nuklir sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus disetujui oleh badan pengawas tenaga nuklir.
(6) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan dalam rangka pelaksanaan pengawasan untuk memastikan keselamatan dan keamanan pembangunan dan pengoperasian pembangkit listrik Tenaga Nuklir.
(7) Pembangunan dan pengoperasian pembangkit listrik Tenaga Nuklir sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berdasarkan rekomendasi dari organisasi pelaksana program energi nuklir.
(8) Pembangunan dan pengoperasian serta pengawasan keselamatan pembangkit listrik Tenaga Nuklir sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan ayat (7) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(9) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembangan nuklir untuk co-generation sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Presiden.
(10) Ketentuan lebih lanjut mengenai organisasi pelaksana program energi nuklir sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diatur dalam Peraturan Presiden.


Paragraf 2
Pengembangan Sumber Energi Terbarukan

Pasal 56

(1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memaksimalkan pengembangan sumber energi terbarukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (6) huruf b untuk Penyediaan Energi dalam suatu wilayah.
(2) Dalam rangka memaksimalkan pengembangan sumber energi terbarukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah melakukan:
a. inventarisasi sumber daya energi terbarukan yang meliputi jenis, lokasi, kapasitas atau cadangan, dan keekonomiannya;
b. penetapan rencana pengembangan sumber energi terbarukan;
c. pengalokasian lahan; dan
d. pemberian kemudahan yang diperlukan.
(3) Selain Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Badan Usaha dan bentuk usaha tetap yang memproduksi Energi Tak Terbarukan harus berperan serta dalam penurunan Emisi GRK Sektor Energi dan/atau pengembangan sumber energi terbarukan.
(4) Pengembangan sumber energi terbarukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


 Pasal 57

Penyedia Tenaga Listrik harus memaksimalkan produksi listrik dari sumber energi terbarukan.


Paragraf 3

Pengembangan Sumber Energi Tak Terbarukan

Pasal 58

(1) Pengembangan sumber energi tak terbarukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (6) huruf c dilakukan untuk memenuhi kebutuhan yang belum dapat digantikan oleh sumber energi b^^ dan/atau sumber energi terbarukan.
(2) Pengembangan sumber energi tak terbarukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menggunakan teknologi rendah karbon pada kegiatan:
a. eksplorasi;
b. penambangan/ eksploitasi; dan/atau
c. pengolahan/ ekstraksi.
(3) Teknologi rendah karbon sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan teknologi yang menghasilkan emisi gas rumah kaca yang rendah, meliputi:
a. teknologi yang efisien;
b. teknologi yang menggunakan Energi Terbarukan atau Energi rendah karbon;
c. teknologi yang dilengkapi dengan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (carbon capture and storage) atau penangkapan, pemanfaatan, dan penyimpanan karbon (carbon capture utilization and storage); dan
d. teknologi rendah karbon lainnya.
(4) Penyelenggaraan kegiatan penggunaan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (carbon capture and storage) atau penangkapan, pemanfaatan, dan penyimpanan karbon (carbon capture utilization and storage) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Dalam rangka pengembangan sumber energi tak terbarukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah melakukan:
a. identifikasi dan inventarisasi sumber daya energi tak terbarukan yang meliputi jenis, lokasi, kapasitas atau cadangan, dan keekonomiannya;
b. penetapan rencana pengembangan sumber energi tak terbarukan;
c. pengalokasian lahan; dan
d. pemberian kemudahan yang diperlukan.
(6) Penetapan rencana pengembangan sumber energi tak terbarukan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b diselaraskan dengan target perencanaan pengembangan sumber energi baru dan sumber energi terbarukan.
(7) Pengembangan sumber energi tak terbarukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (6) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Bagian Kelima
Kebijakan Pendukung dalam Mewujudkan
Cadangan Energi Nasional

Paragraf 1
Pengelolaan Cadangan Strategis

Pasal 59

(1) Pengelolaan Cadangan Strategis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (7) huruf a terdiri atas Energi Tak Terbarukan, Energi Baru, dan Energi Terbarukan serta mineral lainnya yang masih terdapat di bawah permukaan bumi dan dapat menjadi Sumber Energi.
(2) Pengelolaan Cadangan Strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Paragraf 2
Pengelolaan Cadangan Penyangga Energi

Pasal 60

(1) Pengelolaan Cadangan Penyangga Energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (7) huruf b, meliputi:
a. pengadaan persediaan;
b. penyediaan infrastruktur;
c. pemeliharaan;
d. penggunaan;dan
e. pemulihan.
(2) Jenis Cadangan Penyangga Energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) ditetapkan dengan mempertimbangkan:
a. peran strategis dalam konsumsi nasional;
b. sumber perolehan yang berasal dari impor;
c. sebagai modal pembangunan nasional;
d. neraca Energi nasional; dan/atau
e. Sumber Energi yang siap ditransformasikan atau dipergunakan.
(3) Jumlah Cadangan Penyangga Energi  sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) ditetapkan dengan mempertimbangkan jumlah konsumsi per jenis energi, jumlah impor per jenis energi, dan kemampuan keuangan negara.
(4) Waktu Cadangan Penyangga Energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) ditetapkan dengan mempertimbangkan jumlah cadangan penyangga energi yang hams dipenuhi dan kemampuan keuangan negara.
(5) Lokasi Cadangan Penyangga Energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) ditetapkan dengan mempertimbangkan pemenuhan persyaratan kelayakan teknis dan ekonomi, serta kemudahan dalam penggunaan.
(6) Ketentuan mengenai Cadangan Penyangga Energi dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Paragraf 3
Pengelolaan Cadangan Operasional

Pasal 61

(1) Pengelolaan Cadangan Operasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (7) huruf c disediakan untuk mengamankan ketersediaan Energi dari kemungkinan gangguan pasokan jangka pendek.
(2) Cadangan Operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disimpan pada lokasi penyimpanan yang memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Penyimpanan Cadangan Operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib terdistribusi ke semua wilayah dalam jumlah yang proporsional sesuai dengan konsumsinya.
(4) Pengelolaan Cadangan Operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh badan usaha milik negara dan badan usaha swasta Penyedia Energi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Paragraf 4
Pengelolaan Penyimpanan Energi

Pasal 62

(1) Pengelolaan Penyimpanan Energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (7) huruf d dari hasil produksi Energi Baru, Energi Terbarukan, dan Energi Tak Terbarukan dilakukan untuk menjaga keandalan sistem dan menjamin kontinuitas pasokan Energi.
(2) Pengelolaan Penyimpanan Energi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam sistem Penyimpanan Energi yang andal, aman, dan ramah lingkungan.
(3) Pengelolaan Penyimpanan Energi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Bagian Keenan
Kebijakan Pendukung lain
dalam Mewujudkan Kebijakan Utama

Paragraf 1
Pendanaan Dalam Rangka Mewujudkan
Ketahanan Energi dan Dekarbonisasi Sektor Energi

Pasal 63

(1) Pendanaan dalam rangka mewujudkan Ketahanan Energi dan Dekarbonisasi Sektor Energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (8) huruf a bersumber dari:
a. anggaran pendapatan belanja negara;
b. anggaran pendapatan belanja daerah; dan/atau
c. sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Pendanaan yang bersumber dari anggaran pendapatan belanja negara dan anggaran pendapatan belanja daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b dilaksanakan sesuai dengan kemampuan keuangan negara dan kemampuan keuangan daerah.


Pasal 64

(1) Pendanaan dalam rangka mewujudkan Ketahanan Energi dan Dekarbonisasi Sektor Energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1) dialokasikan untuk:
a. menyediakan Energi rendah karbon dari Sumber Energi dan teknologi dalam negeri;
b. riset, inovasi, dan implementasi hingga tahap komersialisasi untuk mendukung transisi Energi;
c. menyediakan sarana dan prasarana Energi rendah karbon di seluruh wilayah secara merata dan berkeadilan;
d. alih fungsi sarana dan prasarana penyediaan Energi Tak Terbarukan menjadi sarana dan prasarana Energi yang rendah karbon;
e. konversi peralatan dari yang bersumber Energi Tak Terbarukan menjadi yang bersumber Energi rendah karbon;
f. kegiatan eksplorasi dalam rangka peningkatan Sumber Daya Energi dan Cadangan Energi nasional; dan/ atau
g. kegiatan lain yang mendukung Ketahanan Energi nasional dan Dekarbonisasi Sektor Energi.
(2) Pendanaan Dekarbonisasi Sektor Energi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam rangka pencapaian sasaran pembangunan rendah karbon.
(3) Pengelolaan pendanaan dalam rangka mewujudkan Ketahanan Energi dan Dekarbonisasi Sektor Energi dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Paragraf 2
Harga Energi, Pasar Energi, dan Dukungan Pemerintah
untuk Sektor Energi

Pasal 65

(1)  Harga Energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (8) huruf b ditetapkan berdasarkan nilai keekonomian berkeadilan dengan tetap mempertimbangkan prinsip keberlanjutan.
(2) Harga Energi untuk Energi Baru, Energi Terbarukan, dan Energi Tak Terbarukan ditetapkan berdasarkan:
a. kesepakatan para pihak dengan mempertimbangkan nilai keekonomian dan tingkat pengembalian yang layak bagi Badan Usaha; atau
b. penetapan Pemerintah Pusat berupa patokan harga Energi tertinggi yang layak dengan tingkat pengembalian yang wajar bagi Badan Usaha pengembang dan berkeadilan bagi Badan Usaha pembeli.
(3) Penetapan harga Energi untuk Energi Baru, Energi Terbarukan, dan Energi Tak Terbarukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 66

(1) Pemerintah Pusat mengatur pasar Energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (8) huruf b, termasuk kuota minimum tenaga listrik.
(2) Pemerintah Pusat mewujudkan pasar tenaga listrik, paling sedikit melalui:
a. pengaturan harga Energi tertentu untuk pembangkit tenaga listrik;
b. penetapan tarif tenaga listrik secara progresif;
c. penerapan mekanisme harga patokan tertinggi dalam penerapan harga Energi Baru dan Energi Terbarukan; dan
d. penyempurnaan Pengelolaan Energi panas bumi melalui pembagian risiko antara pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik yang memiliki wilayah usaha dan pengembang panas bumi.
(3) Pengembangan ekosistem pasar Energi serta pasar Tenaga Listrik dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 67

(1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya dapat memberikan dukungan untuk sektor Energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (8) huruf b dalam bentuk insentif dan dukungan lainnya kepada Penyedia Energi dan Pengguna Energi dalam kegiatan penyediaan, pengusahaan, pemanfaatan, dan pengembangan Energi Baru, Energi Terbarukan, dan Energi Tak Terbarukan.
(2) Insentif dan dukungan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan untuk jangka waktu tertentu hingga tercapai nilai keekonomiannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Insentif dan dukungan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam rangka mendorong:
a. diversifikasi Sumber Energi;
b. pengembangan Energi Baru, Energi Terbarukan, dan Energi Tak Terbarukan;
c. efisiensi dan Konservasi Energi;
d. pengembangan dan penerapan teknologi rendah karbon; dan/atau
e. Penyediaan Energi dan Pemanfaatan Energi di wilayah tertinggal, terdepan, terluar, terpencil, dan pulau kecil berpenduduk.


Pasal 68

(1) Insentif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1) berupa:
a. insentif fiskal; dan/ atau
b. insentif non fiskal,
sesuai dengan kemampuan keuangan negara dan keuangan daerah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Insentif fiskal dan non fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Penyedia Energi yang mengembangkan teknologi inti pada kegiatan pengembangan Energi Bam dan Energi Terbarukan.
(3) Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah dapat memberikan insentif fiskal dan/ atau insentif non fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Penyedia Energi dan Pengguna Energi yang melaksanakan kewajiban Konservasi Energi dalam kegiatan penyediaan, pengusahaan, dan pemanfaatan Energi Baru, Energi Terbarukan, dan Energi Tak Terbarukan.
(4) Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah dapat memberikan disinsentif kepada Penyedia Energi dan Pengguna Energi yang tidak melaksanakan kewajiban Konservasi Energi dalam kegiatan penyediaan, pengusahaan, dan pemanfaatan Energi Baru, Energi Terbarukan, dan Energi Tak Terbarukan.
(5) Pemberian insentif dan disinsentif dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 69

(1) Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya dapat memberikan dukungan dalam bentuk subsidi untuk konsumen masyarakat yang tidak mampu secara tepat sasaran, sesuai dengan kemampuan keuangan negara atau keuangan daerah.
(2) Pemberian subsidi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akan dikurangi secara bertahap untuk bahan bakar minyak, liquefied petroleum gas, listrik, dan/atau energi lainnya sampai kemampuan daya beli masyarakat tercapai.
(3) Pemberian subsidi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 70

(1) Dukungan lainnya kepada Penyedia Energi dan Pengguna Energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 dapat diberikan sesuai dengan kemampuan keuangan negara dalam bentuk:
a. pembiayaan kepada badan usaha milik negara dan Badan Usaha; dan/atau
b. penjaminan dan/atau kompensasi kepada badan usaha milik negara.
(2) Pemberian dukungan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Paragraf 3
Penelitian, Pengembangan, Pengkajian, dan Penerapan Teknologi Energi,
dan Pengembangan Sumber Daya Manusia

Pasal 71

(1) Kegiatan penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan teknologi Energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (8) huruf c diarahkan untuk pemetaan, eksplorasi, dan identifikasi dari seluruh rantai pasokan dalam pengembangan, penyediaan, dan pemanfaatan Energi Baru dan Energi Terbarukan.
(2) Kegiatan penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan teknologi Energi berupa proses konversi, distribusi, dan Pemanfaatan Energi diarahkan untuk peningkatan dan pengembangan lndustri Energi nasional.
(3) Pengembangan sumber daya manusia sebagaimana dimaksud dal^ Pasal 14 ayat (8) huruf c diarahkan untuk peningkatan kualitas kompetensi dan keterampilan dalam pengembangan, penyediaan, dan pemanfaatan Energi Baru dan Energi Terbarukan serta peningkatan dan pengembangan Industri Energi nasional.


Pasal 72

Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah melakukan penguatan dan mendorong terciptanya iklim pemanfaatan hasil penelitian, pengembangan, pengkajian dan penerapan teknologi Energi, dan pengembangan sumber daya manusia sebagaimana dimaksud Pasal 71 melalui:
a. penyiapan dan peningkatan kemampuan somber daya manusia dalam penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan teknologi Energi;
b. penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan teknologi Energi berbasis Ekonomi Sirkular yang efisien, mandiri, dan berkelanjutan;
c. penguatan ekosistem dan infrastruktur penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan teknologi Energi yang berstandar global sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
d. peningkatan mobilitas periset bidang Energi melalui skema kolaborasi antar lembaga riset dan perguruan tinggi, masyarakat, serta industri nasional dan internasional; dan/atau
e. fasilitasi komersialisasi hasil penelitian, pengembangan, pengkajian dan penerapan teknologi Energi serta alih teknologi melalui kerja sama dengan Badan Usaha.


Pasal 73

Pendanaan dan/atau pembiayaan kegiatan penelitian, pengembangan, pengkajian dan penerapan teknologi Energi, dan pengembangan sumber daya manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 dan Pasal 72 difasilitasi oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya, dan/atau Badan Usaha.


Paragraf 4
Kliring dan Audit Teknologi

Pasal 74

(1) Pemerintah Pusat melakukan kliring dan audit teknologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (8) huruf d untuk memastikan kemanfaatan penerapan teknologi dalam menyelesaikan permasalahan Energi dan proses transisi Energi.
(2) Kliring Teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui penyaringan atau seleksi teknologi impor dan/atau teknologi baru agar bermanfaat dengan baik dan selaras dengan kepentingan nasional.
(3) Penyaringan atau seleksi teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui penilaian aspek kesiapan teknologi, manfaat, dampak, dan implikasi kebijakan.
(4) Audit teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui perolehan informasi objektif atas kondisi aset teknologi sehingga tindakan pengendalian, pembinaan, dan pemberdayaan teknologi lebih terarah dan terukur.


Pasal 75

(1) Kliring dan audit teknologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (1) dilakukan terhadap teknologi yang bersifat strategis.
(2) Objek dan pelaksanaan kliring dan audit teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Paragraf 5
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta
Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Pasal 76

(1) Kegiatan Pengelolaan Energi nasional diselenggarakan dengan memperhatikan perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup, serta keselamatan dan kesehatan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (8) huruf e.
(2) Kegiatan Pengelolaan Energi nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan:
a. melakukan pencegahan, penanggulangan, dan pemulihan dampak, serta pemberian ganti rugi yang adil bagi pihak yang terkena dampak; dan
b. menggunakan teknologi rendah karbon dan ramah lingkungan.
(3) Pelaksanaan perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup, keselamatan, dan kesehatan kerja dalam kegiatan Pengelolaan Energi nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 77

(1) Setiap pengusahaan instalasi keenergian bertanggung jawab atas perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup, keselamatan, dan kesehatan kerja termasuk kerugian yang terjadi akibat kecelakaan.
(2) Perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup, keselamatan, dan kesehatan kerja termasuk kerugian yang terjadi akibat kecelakaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Dalam hal pengusahaan instalasi keenergian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pengusahaan energi nuklir, pengusahaan energi nuklir wajib memenuhi persyaratan keselamatan, keamanan dan garda-aman, serta menetapkan program kesiapsiagaan dan kedaruratan radiasi nuklir.
(4) Persyaratan keselamatan, keamanan dan garda-aman, serta penetapan program kesiapsiagaan dan kedaruratan radiasi nuklir sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Paragraf 6
Kelembagaan

Pasal 78

(1) Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya melakukan penguatan kelembagaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (8) huruf f untuk mendukung tercapainya tujuan, sasaran, dan strategi kebijakan energi nasional.
(2) Penguatan kelembagaan sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1) dilaksanakan dengan:
a. menyempumakan sistem kelembagaan dan layanan birokrasi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah serta peningkatan koordinasi lintas sektoral antar kementerian/lembaga di bidang Energi;
b. meningkatkan kerja sama dan koordinasi antar organisasi dan lembaga di bidang keenergian dalam rangka mempercepat penguasaan dan penerapan teknologi Energi;
c. meningkatkan kerja sama dan koordinasi antar organisasi dan lembaga di bidang keenergian dalam rangka mempercepat pemberdayaan sumber daya manusia yang siap kerja di bidang Energi;
d. memberikan dukungan pembiayaan untuk penguatan peran organisasi dan lembaga di bidang keenergian di pusat dan daerah, termasuk untuk Dewan Energi Nasional;
e. memastikan akuntabilitas dan transparansi serta peran kelembagaan dengan mengintegrasikan fungsi dan kewenangan kelembagaan di tingkat pusat dan daerah;
f. meningkatkan kemampuan sumber daya manusia pada kelembagaan Energi di pusat dan daerah dalam Pengelolaan Energi yang berkelanjutan;
g. memperkuat kapasitas organisasi bidang Energi di tingkat provinsi yang bertanggung jawab dalam perencanaan, pengembangan, dan Pengelolaan Energi di daerah; dan/atau
h. meningkatkan kapasitas dan peran Pemerintah Daerah dalam implementasi kebijakan energi nasional, rencana umum energi nasional, dan rencana umum energi daerah, serta Pengelolaan Energi di daerahnya.
(3) Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya bertanggung jawab dalam menangani dan mengatasi permasalahan Pengelolaan Energi yang meliputi:
a. pemantauan dan antisipasi kondisi krisis Energi dan/atau darurat Energi;
b. penyediaan lapangan kerja yang terjadi akibat implementasi transisi Energi;
c. implementasi standarisasi produk dan pemanfaatan hasil inovasi bidang Energi;
d. penyelesaian pembebasan dan tumpang tindih lahan untuk keperluan pengembangan dan pembangunan sarana dan prasarana Industri Energi; dan
e. permasalahan Pengelolaan Energi lainnya.


Pasal 79

(1) Pemerintah Pusat bersinergi dengan Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan untuk mendorong lembaga di sektor keuangan untuk mendukung pendanaan dalam rangka mewujudkan Ketahanan Energi nasional dan Dekarbonisasi Sektor Energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63.
(2) Pemerintah Pusat mendorong Badan Usaha dan pihak lain untuk menyediakan pendanaan dalam rangka mewujudkan Ketahanan Energi nasional dan Dekarbonisasi Sektor Energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63.


Paragraf 7
Kerja Sama dan Diplomasi Energi Tingkat Internasional

Pasal 80

(1) Pemerintah Pusat memperkuat posisi keenergian Indonesia dalam implementasi kebijakan Dekarbonisasi Sektor Energi untuk mewujudkan transisi Energi yang berkeadilan melalui kerja sama dan diplomasi Energi tingkat intemasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (8) huruf g.
(2) Kerja sama dan diplomasi Energi tingkat internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimaksudkan untuk:
a. memperkuat landasan dalam penentuan dan implementasi kebijakan dan regulasi yang akomodatif dan responsif termasuk perdagangan karbon dan insentif atau pembayaran berbasis kinerja dari upaya pengurangan emisi gas rumah kaca;
b. memfokuskan untuk peningkatan sumber daya manusia, pengembangan dan alih teknologi, serta implementasinya secara komersial; dan/atau
c. mengutamakan pemenuhan kebutuhan Energi dalam negeri dan mendukung Ketahanan Energi di kawasan regional yang saling menguntungkan.
(3) Pelaksanaan kerja sama dan diplomasi Energi tingkat intemasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 81

(1) Pemerintah Pusat melakukan strategi Energi nasional dalam rangka implementasi kebijakan Dekarbonisasi Sektor Energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (1) dengan mengacu pada referensi lembaga yang terkait dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk memastikan perlakuan yang berkeadilan dalam rangka implementasi komitmen internasional.
(2) Pemerintah Pusat menyampaikan fakta pembangunan sektor Energi yang kurang sejalan dengan implementasi kebijakan Dekarbonisasi Sektor Energi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada para pihak terkait yang diperlukan untuk mendukung perekonomian, Ketahanan Energi, dan Kemandirian Energi nasional sejalan dengan tujuan Pembangunan Berkelanjutan.


Paragraf 8
Tingkat Komponen Dalam Negeri dan Peningkatan Nilai Tambah

Pasal 82

(1) Badan Usaha dalam menyelenggarakan kegiatan pengusahaan Energi wajib mengutamakan tingkat komponen dalam negeri dan peningkatan nilai tambah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (8) huruf h.
(2) Tingkat komponen dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri atas:
a. teknologi dan rancang bangun dalam negeri;
b. bahan material dalam negeri;
c. komponen dalam negeri lainnya yang terkait pengusahaan Energi;
d. tenaga kerja Indonesia; dan/ atau
e. sumber pendanaan dalam negeri.
(3) Peningkatan nilai tambah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri atas:
a. peningkatan nilai produk;
b. peningkatan nilai manfaat; dan/atau
c. peningkatan nilai ekonomi.
(4) Pengutamaan tingkat komponen dalam negeri dan peningkatan nilai tambah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Paragraf 9
Pajak Karbon dan Insentif atau Pembayaran Berbasis Kinerja dari Upaya
Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca Sektor Energi

Pasal 83

(1) Pemerintah Pusat dapat mengenakan pajak karbon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (8) huruf i terhadap pemanfaatan Energi Tak Terbarukan yang dilakukan secara bertahap dengan memperhatikan dampak sosial, ekonomi, dan Lingkungan Hidup.
(2) Pengenaan pajak karbon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.


Pasal 84

(1) Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, atau Badan Usaha dapat memperoleh insentif atau pembayaran berbasis kinerja dari upaya pengurangan Emisi GRK Sektor Energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (8) huruf i pada kegiatan Penyediaan Energi dan Pemanfaatan Energi melalui mekanisme NEK.
(2) Pemberian insentif atau pembayaran berbasis kinerja dari upaya menurunkan Emisi GRK Sektor Energi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Paragraf 10
Penetapan dan Penanggulangan Kondisi Krisis Energi
dan/atau Darurat Energi

Pasal 85

(1) Dalam hal terjadi krisis Energi dan/atau darurat Energi, Pemerintah Pusat menetapkan krisis Energi dan/atau darurat Energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (8) huruf j.
(2) Untuk menindaklanjuti penetapan krisis Energi dan/atau darurat Energi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Dewan Energi Nasional menetapkan langkah penanggulangan krisis Energi dan/atau darurat Energi.
(3) Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Badan Usaha, pihak lain yang terkait, dan masyarakat wajib melaksanakan tindakan penanggulangan berdasarkan langkah penanggulangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Penetapan, langkah penanggulangan, dan tindakan penanggulangan krisis energi dan/atau darurat energi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


BAB V
RENCANA UMUM ENERGI NASIONAL
DAN RENCANA UMUM ENERGI DAERAH

Pasal 86

(1) Rencana umum energi nasional disusun oleh Pemerintah Pusat berdasarkan kebijakan energi nasional.
(2) Rencana umum energi nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun:
a. dalam periodisasi 10 (sepuluh) tahun dan dapat ditinjau setiap 5 (lima) tahun atau sewaktu-waktu apabila diperlukan dengan mempertimbangkan adanya perubahan lingkungan strategis; dan
b. memperhatikan rencana umum energi daerah dan realisasi periode sebelumnya.
(3) Rencana umum energi nasional, paling sedikit memuat:
a. kebutuhan Energi dan rencana Penyediaan Energi nasional, di antaranya kebutuhan Energi, potensi Sumber Daya Energi, Penyediaan Energi, strategi pemenuhan Energi, strategi dan target dekarbonisasi, indikator Energi, serta perkiraan investasi dan strategi pembiayaan; dan
b. kebutuhan dan rencana Penyediaan Energi per region beserta indikator.
(4) Region sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b terdiri dari 7 (tujuh) region, yaitu:
a. Sumatera;
b. Jawa-Bali;
c. Kalimantan;
d. Sulawesi;
e. Nusa Tenggara;
f. Maluku; dan
g. Papua.


Pasal 87

(1) Rencana umum energi daerah disusun oleh Pemerintah Daerah Provinsi dengan memperhatikan kondisi dan perubahan lingkungan strategis.
(2) Rencana umum energi daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dengan mengacu rencana umum Energi nasional.


Pasal 88

Pedoman penyusunan rencana umum energi nasional dan rencana umum energi daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 dan Pasal 87 dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
 

BAB VI
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

Pasal 89

(1) Dewan Energi Nasional melakukan pembinaan terhadap penyusunan rencana umum energi nasional dan rencana umum energi daerah serta pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan di bidang Energi yang bersifat lintas sektoral.
(2) Dalam melakukan pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kementerian, lembaga pemerintah nonkementerian, Pemerintah Daerah, dan pihak lain harus memberikan data dan informasi yang diperlukan oleh Dewan Energi Nasional.
(3) Tata cara pelaksanaan pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 90

(1) Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya melaksanakan pembinaan dan pengawasan dalam Pengelolaan Energi.
(2) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling sedikit meliputi:
a. pemberian perizinan berusaha;
b. pengusahaan Penyediaan Energi, Penyimpanan Energi, dan Pemanfaatan Energi;
c. pelaksanaan Dekarbonisasi Sektor Energi;
d. pelaksanaan Konservasi Energi dan efisiensi Energi;
e. pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja;
f. pengawasan keselamatan dan keamanan dalam pembangunan, pengoperasian, dan penghentian operasi sarana dan prasarana Energi;
g. perlindungan lingkungan dan penerapan kaidah keteknikan yang baik dan benar;
h. pengelolaan data dan informasi Energi;dan
i. pelaporan oleh penyedia dan Pengguna Energi.
(3) Dalam melaksanakan pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya dapat melakukan kerja sama dengan pihak lain.
(4) Pembinaan dan pengawasan terhadap Pengelolaan Energi sebagaimana dimaksud pada ayat 1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


BAB VII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 91

Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 201'4 Nomor 300, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5609), dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini.


Pasal 92

Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Peraturan Presiden Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 300, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5609), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.


Pasal 93

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintah pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatan nya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.


Ditetapkan di Jakarta,
pada tanggal 15 September 2025
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

PRABOWO SUBIANTO


Diundangkan di Jakarta,
pada tanggal 15 September 2025
MENTERI SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

PRASETYO HADI

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2025 NOMOR 149


PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 40 TAHUN 2025

TENTANG

KEBIJAKAN ENERGI NASIONAL

I. UMUM

Energi mempunyai peran penting dan strategis untuk pencapaian tujuan sosial, ekonomi, dan Lingkungan Hidup dalam pembangunan nasional berkelanjutan. Namun, saat ini sebagian besar masih dipenuhi dari Energi Tak Terbarukan, yaitu minyak bumi, gas bumi, dan batubara yang merupakan sumber energi tak terbarukan.

Kebutuhan Energi diperkirakan akan terus mengalami peningkatan sejalan dengan peningkatan laju pertumbuhan penduduk dan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi terutama bertumpu dari sektor industri untuk mencapai target Indonesia menjadi negara maju di tahun 2045 dan mewujudkan Emisi Nol Bersih (Net Zero Emission) pada tahun 2060 atau lebih cepat. Dengan demikian, untuk meningkatkan Kedaulatan Energi, Ketahanan Energi, dan Kemandirian Energi nasional di masa datang, perlu menerapkan manajemen Energi dalam Pengelolaan Energi serta mengupayakan peningkatan pasokan Energi baik yang berasal dari Sumber Energi Baru, Energi Terbarukan, dan Energi Tak Terbarukan yang lebih efisien, lebih bersih, dan rendah karbon.

Pengelolaan Energi khususnya pengelolaan Sumber Daya Energi belum dilakukan secara optimal untuk memenuhi kebutuhan Energi di dalam negeri. Pasokan energi yang handal dan harga Energi yang terjangkau untuk keperluan masyarakat, pembangkitan listrik, transportasi, dan industri sampai dengan saat ini belum terpenuhi secara optimal. Selain itu, sebagian Energi Primer masih dialokasikan untuk ekspor guna menghasilkan devisa negara dan sumber penerimaan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara. Akibatnya, kebutuhan Energi di dalam negeri baik sebagai bahan bakar maupun bahan baku industri masih belum terpenuhi secara optimal sebagaimana diamanatkan dalam ketentuan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Paradigma Pengelolaan Energi yang selama ini berjalan menempatkan Sumber Daya Energi sebagai komoditi ekspor untuk menghasilkan devisa. Kondisi ini mengakibatkan pasokan Energi dalam negeri tidak dapat terjamin dengan baik, peningkatan nilai tambah belum optimal, dan hilangnya peluang terciptanya lapangan kerja baru sehingga menjadi salah satu sumber penghambat pertumbuhan perekonomian. Oleh karena itu, paradigma kebijakan Pengelolaan Energi perlu diubah dengan menjadikan Energi sebagai modal pembangunan nasional berkelanjutan. Melalui perubahan paradigma tersebut, diharapkan pemanfaatan Sumber Daya Energi secara optimal untuk kebutuhan di dalam negeri baik sebagai bahan baku maupun Sumber Energi terutama bagi industri nasional, yang menjadikan energi sebagai modal Pembangunan Berkelanjutan dan memberikan nilai tambah ekonomi (added value) serta dampak berganda (multiplier effect). Dengan terjaminnya pasokan Energi di dalam negeri, industri akan berkembang untuk menciptakan lapangan kerja baru dan peningkatan penerimaan negara. Sebagian penerimaan negara dari sektor Energi dapat digunakan terutama untuk mendukung penguatan dana Ketahanan Energi dan Dekarbonisasi Sektor Energi.

Pemanfaatan dana Ketahanan Energi dan Dekarbonisasi Sektor Energi akan mendorong pengembangan sektor Energi dan mendukung transisi Energi menuju Emisi Nol Bersih (Net Zero Emission) pada tahun 2060, antara lain melalui pencarian dan peningkatan cadangan Energi Tak Terbarukan, peningkatan potensi dan pengembangan Energi Baru dan Energi Terbarukan, pemulihan fungsi Lingkungan Hidup, Konservasi Sumber Daya Energi, dan efisiensi Energi.

Transisi Energi dan Dekarbonisasi Sektor Energi akan menjadi sangat penting dalam Pengelolaan Energi yang berkelanjutan, hal ini mengingat dalam perkembangan terakhir perhatian dunia dan juga Indonesia semakin tinggi terhadap isu global mengenai perubahan iklim yang terjadi sebagai akibat dari meningkatnya konsentrasi emisi gas rumah kaca di atmosfer, dimana sektor Energi merupakan salah satu sumber utama penyumbang emisi gas rumah kaca. Dalam rangka mendukung Perjanjian Paris, Pemerintah telah menyampaikan komitmen Indonesia di dalam mitigasi perubahan iklim dengan menetapkan target penurunan Emisi GRK Sektor Energi pada tahun 2030 terhadap dampak perubahan iklim dan menyatakan akan mencapai Emisi Nol Bersih (Net Zero Emission) pada tahun 2060 atau lebih cepat.

Tantangan dan permasalahan lain yang dihadapi sektor Energi saat ini dan di masa datang, antara lain:
1. Pemanfaatan Energi belum efisien;
2. subsidi Energi yang belum tepat sasaran;
3. harga Energi belum mencapai harga keekonomian;
4. investasi Energi belum berkembang optimal dan minat investor masih rendah;
5. ketergantungan terhadap Energi Tak Terbarukan yang masih tinggi tidak diimbangi dengan peningkatan penyediaan cadangan;
6. keterbatasan infrastrnktur Energi;
7. pengembangan infrastrnktur Energi belum didukung oleh industri nasional yang kuat dan mandiri;
8. keterbatasan anggaran;
9. lemahnya keberpihakan terhadap produk teknologi dalam negeri;
10. ketergantungan impor teknologi yang tinggi belum didukung oleh industri nasional yang adaptif dan inovatif;
11. penelitian, pengembangan, pengkajian dan penerapan teknologi melalui riset dan inovasi teknologi belum terintegrasi dengan baik dan kurangnya komersialisasi terhadap hasil inovasi teknologi;
12. belum adanya penetapan prioritas pengembangan Energi;
13. akses untuk masyarakat terhadap Energi yang masih rendah;
14. Pengelolaan Energi belum sepenuhnya menerapkan prinsip berkeadilan dan berkelanjutan; dan
15. nilai tambah Pengelolaan Energi belum optimal.
Dengan memperhatikan kondisi keenergian saat ini dan sejumlah permasalahan yang dihadapi di sektor Energi, maka Pemerintah perlu melakukan pembaruan kebijakan energi nasional untuk mengatur dan menyelaraskan kebijakan energi dengan kebijakan lintas sektoral yang terkait guna mengantisipasi berbagai perubahan lingkungan strategis dan mencapai tujuan strategis dalam sektor Energi. Pengelolaan Energi secara tepat baik pada sisi penyediaan (supply side management) maupun pada sisi pemanfaatan (demand side management) diperlukan dalam rangka mewujudkan Pengelolaan Energi yang berdasarkan berkeadilan, berkelanjutan, keterpaduan, efisiensi, produktivitas, dan berwawasan lingkungan guna terciptanya Kemandirian Energi nasional, Ketahanan Energi nasional, dan pemenuhan komitmen Indonesia dalam Dekarbonisasi Sektor Energi untuk mewujudkan Ketahanan Iklim nasional dan mendukung pembangunan Ekonomi Hijau. Kebijakan energi nasional ditujukan untuk memenuhi kebutuhan Energi secara adil dan merata dalam rangka mendukung pembangunan ekonomi yang berkelanjutan melalui transisi energi untuk terwujudnya Emisi Nol Bersih (Net Zero Emission) pada tahun 2060 dengan tetap mengutamakan Ketahanan Energi dan Kemandirian Energi nasional.

Pembaruan kebijakan energi nasional disusun sebagai pedoman untuk memberi arah Pengelolaan Energi guna mewujudkan Ketahanan Energi dan Kemandirian Energi Nasional serta memenuhi target Dekarbonisasi Sektor Energi dalam rangka pengendalian perubahan iklim dan mendukung pembangunan Ekonomi Hijau.

Kebijakan energi nasional mengatur mengenai:
1. tujuan dan sasaran;
2. arah kebijakan energi nasional;
3. strategi kebijakan energi nasional;
4. rencana umum energi nasional dan rencana umum energi daerah;
5. pembinaan dan pengawasan.
II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
  Cukup jelas.
Pasal 2
  Cukup jelas.
Pasal 3
  Periode sampai dengan tahun 2060 berdasarkan dokumen Long Term Strategy/or Low Carbon and Climate Resilience (LTS-LCCR) tahun 2050 yang telah disampaikan ke UNFCCC tahun 2021 terkait Indonesia akan mencapai target Emisi Nol Bersih (Net Zero Emission) pada tahun 2060 atau lebih awal.
Pasal 4
  Cukup jelas.
Pasal 5
  Ayat (1)
  Cukup jelas.
  Ayat (2)
  Yang dimaksud dengan "perubahan kondisi dan lingkungan strategis" antara lain perubahan pertumbuhan ekonomi nasional, pertumbuhan penduduk nasional, kemampuan keuangan negara, perkembangan teknologi, dan/ atau perubahan kebijakan Pemerintah Pusat.
Pasal 6
  Huruf a
  Cukup jelas.
  Huruf b
  Yang dimaksud dengan "Ketahanan Energi dengan kondisi tahan dalam jangka panjang" merupakan proyeksi kondisi terjaminnya ketersediaan Energi dan akses masyarakat terhadap Energi pada harga yang terjangkau dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan perlindungan terhadap Lingkungan Hidup, dengan pendekatan indeks Ketahanan Energi dengan kondisi tahan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Energi.
  Huruf c
  Cukup jelas.
  Huruf d
  Cukup jelas.
  Huruf e
  Cukup jelas.
  Huruf f
  Cukup jelas.
  Huruf g
  Cukup jelas.
  Huruf h
  Cukup jelas.
  Huruf i
  Cukup jelas.
  Huruf j
  Yang dimaksud dengan "kliring teknologi" merupakan mekanisme dalam melakukan verifikasi untuk memastikan bahwa teknologi layak digunakan secara aman di dalam negeri.
  Huruf k
  Cukup jelas.
  Huruf l
  Cukup jelas.
  Huruf m
  Cukup jelas.
  Huruf n
  Cukup jelas.
  Huruf o
  Yang dimaksud dengan "sarana" merupakan fasilitas utama yang diperlukan dalam. Penyediaan Energi atau Pemanfaatan Energi.
Yang dimaksud dengan "prasarana" merupakan fasilitas pendukung yang diperlukan dalam Penyediaan Energi atau Pemanfaatan Energi.
Yang dimaksud dengan "aset terlantar (stranded asset)" merupakan aset yang tidak dimanfaatkan sehingga mengalami penurunan nilai yang tidak terduga atau prematur, devaluasi, atau konversi yang menjadi kewajiban pengelola aset.
Pasal 7
  Cukup jelas.
Pasal 8
  Cukup jelas.
Pasal 9
  Ayat (1)
  Penghitungan Energi Final belum termasuk konsumsi listrik di sektor industri dari captive power.
  Ayat (2)
  Huruf a
  Angka 1
  Penghitungan Energi Final belum termasuk konsumsi listrik di sektor industri dari captive power.
  Angka 2
  Cukup jelas.
  Angka 3
  Cukup jelas.
  Angka 4
  Cukup jelas.
  Huruf b
  Angka 1
  Cukup jelas.
  Angka 2
  Cukup jelas.
  Angka 3
  Cukup jelas.
  Angka 4
  Cukup jelas.
  Angka 5
  Cukup jelas.
  Angka 6
  Cukup jelas.
  Angka 7
  Cukup jelas.
  Angka 8
  Cukup jelas.
  Angka 9
  Cukup jelas.
  Angka 10
  Penghitungan pencapaian pemanfaatan Energi Final untuk jenis Energi liquefied petroleum gas telah memperhitungkan substitusi liquefied petroleum gas ke dimethyl ether.
  Angka 11
  Cukup jelas.
  Angka 12
  Cukup jelas.
Pasal 10
  Huruf a
  Penghitungan penyediaan Energi Primer termasuk produksi amonia, hidrogen, dan penggunaan gas untuk produksi dimethyl ether.
  Huruf b
  Penghitungan Intensitas Energi Primer termasuk produksi hidrogen, dimethyl ether, dan amonia.
Pasal 11
  Huruf a
  Penghitungan Energi Final per kapita belum termasuk konsumsi listrik di sektor industri dari captive power.
  Huruf b
  Penghitungan konsumsi Energi listrik per kapita sudah termasuk konsumsi listrik di sektor industri dari captive power.
  Huruf c
  Cukup jelas.
Pasal 12
  Huruf a
  Cukup jelas.
  Huruf b
  Angka 1
  Perhitungan bauran Energi Primer termasuk penggunaan Energi hidro untuk produksi hidrogen hijau.
  Angka 2
  Cukup jelas.
  Angka 3
  Cukup jelas.
  Angka 4
  Cukup jelas.
  Angka 5
  Cukup jelas.
  Angka 6
  Cukup jelas.
  Angka 7
  Cukup jelas.
  Angka 8
  Cukup jelas.
  Angka 9
  Yang dimaksud dengan "Energi Baru dan Energi Terbarukan lainnya", antara lain Energi laut dan methanol.
  Angka 10
  Cukup jelas.
  Angka 11
  Cukup jelas.
  Angka 12
  Cukup jelas.
Pasal 13
  Ayat (1)
  Cukup jelas.
  Ayat (2)
  Huruf a
  Cukup jelas.
  Huruf b
  Cukup jelas.
  Huruf c
  Cukup jelas.
  Huruf d
  Yang dimaksud dengan "tingkat Emisi GRK Sektor Energi sebesar 129 (seratus dua puluh sembilan) juta ton C02e (karbon dioksida ekuivalen)" menunjukkan bahwa masih terdapat sisa emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari sektor Energi berupa:
a. sisa emisi karbon dioksida yang tidak dapat dikurangi oleh teknologi rendah karbon dan teknologi carbon capture and storage atau carbon capture utilization and storage;
b. emisi karbon dioksida yang berasal dari konsumsi Energi per sektor Pengguna Energi, seperti transportasi, industri, rumah tangga, komersial, dan pembangkitan tenaga listrik; dan
c. emisi fugitive yang berasal dari kegiatan produksi dan penyediaan bahan bakar, seperti eksploitasi minyak dan gas bumi dan proses pengolahan minyak dan gas bumi di kilang,
dan gas bumi dan proses pengolahan minyak dan gas bumi di kilang,
dengan pertimbangan sektor kehutanan telah mencapai penyerapan emisi karbon dioksida bersih (carbon net sink) di tahun 2030.
  Ayat (3)
  Cukup jelas.
Pasal 14
  Cukup jelas.
Pasal 15
  Ayat (1)
  Huruf a
  Yang dimaksud dengan "Sumber Daya Energi lainnya" merupakan sumber Energi lain yang kemudian hari ditemukan.
  Huruf b
  Yang dimaksud dengan "pengembangan Sumber Energi di luar negeri" merupakan upaya memperoleh peluang pengusahaan Sumber Energi yang cadangan energinya berada di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang dapat dilakukan melalui hubungan kerja sama dengan negara lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  Huruf c
  Cukup jelas.
  Huruf d
  Cukup jelas.
  Huruf e
  Cukup jelas.
  Huruf f
  Cukup jelas.
  Ayat (2)
  Cukup jelas.
  Ayat (3)
  Cukup jelas.
Pasal 16
  Ayat (1)
  Huruf a
  Cukup jelas.
  Huruf b
  Cukup jelas.
  Huruf c
  Cukup jelas.
  Huruf d
  Cukup jelas.
  Huruf e
  Cukup jelas.
  Huruf f
  Yang dimaksud dengan "re-powering" merupakan proses pembaharuan tenaga utama pada sistem pembangkit Listrik yang lebih efisien sehingga menghasilkan peningkatan Energi listrik yang lebih bersih, contoh boiler batubara diganti dengan reaktor nuklir dan panas bumi.
  Huruf g
  Cukup jelas.
  Huruf h
  Cukup jelas.
  Huruf i
  Cukup jelas.
  Huruf j
  Cukup jelas.
  Huruf k
  Cukup jelas.
  Huruf l
  Cukup jelas.
  Huruf m
  Cukup jelas.
  Huruf n
  Cukup jelas.
  Ayat (2)
  Cukup jelas.
  Ayat (3)
  Cukup jelas.
  Ayat (4)
  Cukup jelas.
Pasal 17
  Ayat (1)
  Cukup jelas.
  Ayat (2)
  Huruf a
  Cukup jelas.
  Huruf b
  Cukup jelas.
  Huruf c
  Contoh Energi Baru, antara lain nuklir, hidrogen, dan amonia. 
  Huruf d
  Cukup jelas.
  Ayat (3)
  Huruf a
  Cukup jelas.
  Huruf b
  Cukup jelas.
  Huruf c
  Cukup jelas.
  Huruf d
  Cukup jelas.
  Huruf e
  Regionalisasi Sistem Tenaga Listrik nasional bertujuan untuk memanfaatkan Sumber Energi setempat secara maksimal.
  Huruf f
  Kerja sama regional, antara lain kerja sama ASEAN Power Grid.
Pasal 18
  Cukup jelas.
Pasal 19
  Cukup jelas.
Pasal 20
  Cukup jelas.
Pasal 21
  Cukup jelas.
Pasal 22
  Cukup jelas.
Pasal 23
  Cukup jelas.
Pasal 24
  Cukup jelas.
Pasal 25
  Cukup jelas.
Pasal 26
  Cukup jelas.
Pasal 27
  Cukup jelas.
Pasal 28
  Cukup jelas.
Pasal 29
  Cukup jelas.
Pasal 30
  Cukup jelas.
Pasal 31
  Ayat (1)
  Cukup jelas.
  Ayat (2)
  Huruf a
  Cukup jelas.
  Huruf b
  Cukup jelas.
  Huruf c
  Yang dimaksud dengan "dimethyl ether" merupakan suatu senyawa organik dengan rumus kimia CH30CH3 yang dapat dihasilkan dari pengolahan gas bumi, batubara, biomassa, dan hidrokarbon lainnya yang dimanfaatkan untuk bahan bakar.
  Huruf d
  Cukup jelas.
  Huruf e
  Cukup jelas.
  Huruf f
  Cukup jelas.
Pasal 32
  Cukup jelas.
Pasal 33
  Cukup jelas.
Pasal 34
  Cukup jelas.
Pasal 35
  Cukup jelas.
Pasal 36
  Cukup jelas.
Pasal 37
  Cukup jelas.
Pasal 38
  Cukup jelas.
Pasal 39
  Cukup jelas.
Pasal 40
  Ayat (1)
  Huruf a
  Yang dimaksud dengan "standar portofolio Energi Baru dan/atau Energi Terbarukan" merupakan standar minimum yang diterapkan kepada Badan Usaha yang membangkitkan listrik dari sumber energi tak terbarukan untuk menyediakan listrik dari sumber energi baru dan/atau
sumber energi terbarukan.
Standar minimum yang diterapkan kepada Badan Usaha yang membangkitkan listrik dari sumber energi tak terbarukan untuk menyediakan listrik dari sumber energi baru dan/ atau sumber energi terbarukan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  Huruf b
  Cukup jelas.
  Ayat (2)
  Yang dimaksud dengan "sertifikat Energi Terbarukan" merupakan sertifikat yang membuktikan bahwa produksi tenaga listrik dalam watt-hour berasal dari pembangkit listrik berbasis Energi Terbarukan.
Pasal 41
  Cukup jelas.
Pasal 42
  Cukup jelas.
Pasal 43
  Cukup jelas.
Pasal 44
  Cukup jelas.
Pasal 45
  Cukup jelas.
Pasal 46
  Cukup jelas.
Pasal 47
  Cukup jelas.
Pasal 48
  Cukup jelas.
Pasal 49
  Ayat (1)
  Huruf a
  Cukup jelas.
  Huruf b
  Pemenuhan standar kinerja Energi minimum, antara lain melalui pencantuman label tanda hemat Energi.
  Ayat (2)
  Cukup jelas.
Pasal 50
  Cukup jelas.
Pasal 51
  Cukup jelas.
Pasal 52
  Cukup jelas.
Pasal 53
  Cukup jelas.
Pasal 54
  Cukup jelas.
Pasal 55
  Ayat (1)
  Cukup jelas.
  Ayat (2)
  Yang dimaksud dengan "garda-aman" adalah setiap tindakan yang ditujukan untuk memastikan bahwa tujuan pemanfaatan bahan nuklir hanya untuk maksud damai.
  Ayat (3)
  Cukup jelas.
  Ayat (4)
  Cukup jelas.
  Ayat (5)
  Cukup jelas.
  Ayat (6)
  Cukup jelas.
  Ayat (7)
  Cukup jelas.
  Ayat (8)
  Cukup jelas.
  Ayat (9)
  Cukup jelas.
  Ayat (10)
  Cukup jelas.
Pasal 56
  Ayat (1)
  Cukup jelas.
  Ayat (2)
  Cukup jelas.
  Ayat (3)
  Yang dimaksud dengan "berperan serta dalam pengembangan sumber energi terbarukan" di antaranya Badan Usaha membentuk entitas baru untuk mengembangkan sumber energi terbarukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  Ayat (4)
  Cukup jelas.
Pasal 57
  Cukup jelas.
Pasal 58
  Cukup jelas.
Pasal 59
  Ayat (1)
  Cadangan Strategis masuk di dalam wilayah pertambangan nasional yang pemanfaatannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  Ayat (2)
  Cukup jelas.
Pasal 60
  Cukup jelas.
Pasal 61
  Cukup jelas.
Pasal 62
  Cukup jelas.
Pasal 63
  Ayat (1)
  Huruf a
  Cukup jelas.
  Huruf b
  Cukup jelas.
  Huruf c
  Yang dimaksud dengan "sumber lain yang sah", antara lain dana yang diperoleh dari Badan Usaha, filantropis, lembaga intemasional, dan negara donor mitra pembangunan.
  Ayat (2)
  Cukup jelas.
Pasal 64
  Cukup jelas.
Pasal 65
  Ayat (1)
  Yang dimaksud dengan "nilai keekonomian berkeadilan" merupakan suatu nilai/biaya yang merefleksikan biaya produksi energi, termasuk biaya lingkungan dan biaya konservasi serta keuntungan yang dikaji berdasarkan kemampuan masyarakat dan ditetapkan oleh Pemerintah.
Yang dimaksud dengan "prinsip keberlanjutan" merupakan prinsip Pengelolaan Energi yang harus menjamin Penyediaan Energi dan Pemanfaatan Energi untuk generasi sekarang dan yang akan datang.
  Ayat (2)
  Cukup jelas.
  Ayat (3)
  Cukup jelas.
Pasal 66
  Ayat (1)
  Yang dimaksud dengan "pasar Energi" adalah pasar Energi yang secara khusus mendukung penciptaan ekosistem pasar energi yang baru dalam pengembangan Energi Baru dan Energi Terbarukan, termasuk pasar listrik yang berasal dari pembangkit listrik berbasis Energi Baru dan Energi Terbarukan. Contoh penerapan kuota tertentu minimum tenaga listrik pada wilayah usaha ketenagalistrikan tertentu untuk produksi listrik yang bersumber dari pembangkit listrik berbasis panas bumi.
  Ayat (2)
  Cukup jelas.
  Ayat (3)
  Cukup jelas.
Pasal 67
  Cukup jelas.
Pasal 68
  Ayat (1)
  Huruf a
  Yang dimaksud dengan "insentif fiskal" antara lain pemberian keringanan pajak (pajak penghasilan, pajak bumi dan bangunan), kepabeanan, retribusi, penerimaan negara bukan pajak, dan/atau keringanan iuran dan pungutan dalam berbagai bentuk sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, kepabeanan, dan penerimaan negara bukan pajak.
  Huruf b
  Yang dimaksud dengan "insentif non fiskal" antara lain pemberian kompensasi, subsidi, kemudahan perizinan terkait pengadaan tanah dan infrastruktur, pemanfaatan wilayah hutan, dan pemanfaatan air baik sebagai media maupun sebagai Sumber Energi terbarukan.
  Ayat (2)
  Cukup jelas.
  Ayat (3)
  Cukup jelas.
  Ayat (4)
  Cukup jelas.
  Ayat (5)
  Cukup jelas.
Pasal 69
  Cukup jelas.
Pasal 70
  Ayat (1)
  Huruf a
  Pembiayaan kepada badan usaha milik negara dan Badan Usaha dilaksanakan dalam rangka penugasan Pemerintah Pusat.
  Huruf b
  Pemerintah dapat memberikan jaminan atas upaya pembiayaan yang dilakukan badan usaha milik negara dalam rangka penugasan.
Kompensasi kepada badan usaha milik negara dalam hal penugasan menyebabkan peningkatan biaya pokok produksi energi termasuk komponen biaya bahan bakar diberikan kompensasi atas biaya yang dikeluarkan, termasuk margin yang diharapkan sepanjang dalam tingkat kewajaran dan pembayarannya dilaksanakan sesuai dengan kemampuan keuangan negara.
  Ayat (2)
  Cukup jelas.
Pasal 71
  Cukup jelas.
Pasal 72
  Cukup jelas.
Pasal 73
  Cukup jelas.
Pasal 74
  Cukup jelas.
Pasal 75
  Cukup jelas.
Pasal 76
  Cukup jelas.
Pasal 77
  Cukup jelas.
Pasal 78
  Cukup jelas.
Pasal 79
  Ayat (1)
  Cukup jelas.
  Ayat (2)
  Yang dimaksud dengan "pihak lain" merupakan filantropis, lembaga internasional, dan negara donor mitra pembangunan.
Pasal 80
  Cukup jelas.
Pasal 81
  Cukup jelas.
Pasal 82
  Ayat (1)
  Cukup jelas.
  Ayat (2)
  Cukup jelas.
  Ayat (3)
  Peningkatan nilai tambah khususnya atas produk mineral dalam negeri dilakukan untuk mendukung transisi Energi yang mampu memberikan manfaat ekonomi secara optimal bagi negara dan mendukung tersedianya rantai pasok (supply chain) mineral dalam rangka penyediaan dan pengembangan industri baterai dalam negeri dengan mempertimbangkan keunggulan komparatif sumber daya mineral dan kelanjutan operasi pertambangan, antara lain nikel, mangan, dan cobalt (NMC) dan litium menjadi baterai.
  Ayat (4)
  Cukup jelas.
Pasal 83
  Ayat (1)
  Cukup jelas.
  Ayat (2)
  Pengenaan pajak karbon dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai harmonisasi peraturan perpajakan.
Pengenaan pajak karbon, antara lain pengenaan pajak karbon pada sektor transportasi, industri termasuk pembangkitan tenaga listrik, dan komersial.
Pasal 84
  Ayat (1)
  Cukup jelas.
  Ayat (2)
  Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah provinsi dalam lingkup internasional, memperoleh insentif atau pembayaran berbasis kinerja dari pihak internasional.
Pasal 85
  Cukup jelas.
Pasal 86
  Cukup jelas.
Pasal 87
  Cukup jelas.
Pasal 88
  Cukup jelas.
Pasal 89
  Ayat (1)
  Yang dimaksud dengan "kebijakan di bidang Energi yang bersifat lintas sektoral" merupakan instrumen kebijakan Energi yang diterbitkan dan/ atau dilaksanakan oleh:
a. kementerian yang merupakan unsur anggota Dewan EnergiNasional;
b. kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian terkait;dan
c. Pemerintah Daerah.
  Ayat (2)
  Cukup jelas.
  Ayat (3)
  Cukup jelas.
Pasal 90
  Ayat (1)
  Cukup jelas.
  Ayat (2)
  Cukup jelas.
  Ayat (3)
  Yang dimaksud dengan "pihak lain" merupakan filantropis, lembaga internasional, dan negara donor mitra pembangunan.
  Ayat (4)
  Cukup jelas.
Pasal 91
  Cukup jelas.
Pasal 92
  Cukup jelas.
Pasal 93
  Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7136

© Copyright 2025 PT INTEGRAL DATA PRIMA