Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.
(1) |
Setiap penyelenggaraan hiburan di Daerah Khusus Ibukota Jakarta harus dengan izin tertulis dari Gubernur Kepala Daerah.
|
(2) |
Untuk memperoleh izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini, penyelenggara hiburan harus mengajukan permohonan secara tertulis kepada Gubernur Kepala Daerah.
|
(3) |
Permohonan Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pasal ini sekurang-kurangnya memuat :
|
|
|
(4) |
Izin penyelenggaraan hiburan insidental dapat diberikan setelah membayar uang jaminan pajak hiburan.
|
(5) |
Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini tidak dapat dipindahtangankan kepada pihak lain kecuali dengan persetujuan tertulis dari Gubernur Kepala Daerah.
|
(1) |
Permohonan izin penyelenggaraan hiburan insidental harus diajukan selambat-lambatnya 14 hari kerja sebelum tanggal dimulai atau diselenggarakannya suatu hiburan.
|
(2) | Permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dapat ditolak oleh Gubernur Kepala Daerah apabila : |
|
|
(3) |
Persyaratan dan tata cara pengajuan permohonan izin penyelenggaraan hiburan ditetapkan oleh Gubernur Kepala Daerah.
|
(1) |
Izin penyelenggaraan hiburan hanya diberikan kepada penyelenggara hiburan untuk setiap jenis hiburan pada suatu lokasi atau satu tempat tertentu.
|
(2) |
Setiap penyelenggaraan hiburan berkewajiban memasang maklumat pajak hiburan di tempat yang mudah dilihat oleh pengunjung.
|
(3) | Penyelenggara Hiburan yang menggunakan tanda masuk berkewajiban : |
|
|
(4) | Penyelenggara Hiburan dilarang : |
|
|
(5) |
Penyelenggara Hiburan, dan yang ketempatan diselenggarakannya hiburan bertanggung jawab atas seluruh kegiatan yang terjadi di tempat hiburan yang bersangkutan.
|
(6) | Gubernur Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk berwenang mencabut izin dan atau menghentikan penyelenggaraan hiburan yang sedang berlangsung apabila : |
|
|
(7) |
Terhadap penyelenggaraan hiburan tanpa izin tertulis dari Gubernur Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), penyelenggaraan hiburan dapat dihentikan dan pajaknya ditetapkan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 22 ayat (1) huruf b.
|
(1) |
Gubernur Kepala Daerah menetapkan jenis-jenis hiburan yang menggunakan tanda masuk.
|
(2) |
Tanda masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini harus disahkan oleh Kepala Dinas Pendapatan Daerah.
|
(3) |
Persyaratan, pengesahan dan penggunaan Tanda Masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) pasal ini ditetapkan oleh Gubernur Kepala Daerah.
|
(1) |
Gubernur Kepala Daerah berwenang menetapkan penggolongan bioskop.
|
(2) |
Persyaratan dan tata cara penggolongan bioskop sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini ditetapkan oleh Gubernur Kepala Daerah.
|
(1) |
Gubernur Kepala Daerah berwenang menetapkan HTM untuk masing-masing golongan bioskop dan jenis-jenis hiburan lainnya.
|
(2) |
Tata cara perhitungan dan besarnya HTM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini ditetapkan oleh Gubernur Kepala Daerah.
|
(1) |
Subjek Pajak adalah orang pribadi atau badan yang menonton dan atau menikmati hiburan.
|
(2) |
Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang menyelenggarakan hiburan.
|
(1) |
Tarif pajak untuk pertunjukan film di bioskop adalah :
|
|
|
(2) | Besarnya tarif pajak untuk jenis hiburan selain pertunjukan film di bioskop sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini ditetapkan sebagai berikut : |
|
(1) |
Wajib Pajak, kecuali Wajib Pajak hiburan insidental, wajib melaporkan usahanya kepada Dinas Pendapatan Daerah dalam jangka waktu selambat-lambatnya 30 hari setelah izin penyelenggaraan hiburan diperoleh untuk dikukuhkan dan diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak Daerah.
|
(2) |
Apabila Wajib Pajak tidak melaporkan usahanya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini, Kepala Dinas Pendapatan Daerah menetapkan secara jabatan.
|
(3) |
Tata cara pelaporan dan pengukuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini ditetapkan oleh Gubernur Kepala Daerah.
|
(1) |
Masa pajak adalah jangka waktu yang lamanya sama dengan satu bulan takwim kecuali ditetapkan lain.
|
(2) |
Bagian dari bulan dihitung 1 bulan penuh.
|
(3) |
Tahun Pajak adalah jangka waktu yang lamanya satu tahun takwim kecuali apabila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun takwim.
|
(1) |
Pajak terutang dalam masa pajak terjadi pada saat penyelenggaraan hiburan.
|
(2) |
Dalam hal pembayaran diterima Penyelenggara Hiburan sebelum hiburan diselenggarakan, pajak terutang dalam masa pajak terjadi pada saat pembayaran.
|
(1) |
Wajib Pajak wajib melaporkan kepada Gubernur Kepala Daerah tentang penghitungan dan pembayaran pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 13 dan Pasal 28 ayat (1) dalam jangka waktu selambat-lambatnya 20 hari setelah akhir masa pajak dengan menggunakan SPTPD yang diisi dengan jelas, benar, lengkap, dan ditandatangani.
|
(2) |
Wajib Pajak yang menggunakan tanda masuk, wajib menyampaikan SPTPD selambat- lambatnya 20 hari setelah penyelenggaraan hiburan berakhir.
|
(3) |
Gubernur Kepala Daerah atas permohonan Wajib Pajak dengan alasan yang sah dan dapat diterima dapat memperpanjang penyampaian SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini, paling lama 60 hari.
|
(4) |
Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) pasal ini harus diajukan secara tertulis disertai surat pernyataan mengenai perhitungan sementara pajak terutang dalam satu masa pajak, dan juga bukti pelunasan pajak terutang, berdasarkan perhitungan tersebut.
|
(5) |
Keterangan dan dokumen yang harus dilampirkan serta tata cara penyampaian SPTPD ditetapkan oleh Gubernur Kepala Daerah.
|
(6) |
SPTPD dianggap tidak dimasukkan, jika Wajib Pajak tidak melaksanakan atau tidak sepenuhnya melaksanakan ketentuan sebagaimana diatur pada ayat (1) sampai dengan (4) pasal ini.
|
(1) |
Wajib Pajak dapat membetulkan sendiri SPTPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) dengan menyampaikan pernyataan tertulis dalam jangka waktu 2 tahun sesudah saat terutangnya pajak atau berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak atau tahun pajak sepanjang Kepala Dinas Pendapatan Daerah belum melakukan tindakan pemeriksaan.
|
(2) |
Dalam hal Wajib Pajak membetulkan sendiri SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini yang mengakibatkan pajak terutang lebih besar dari jumlah yang telah dibayar, dikenakan sanksi administrasi berupa bunga 2% sebulan dari jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung mulai saat penyampaian SPTPD berakhir sampai dengan tanggal pembayaran karena pembetulan.
|
(3) |
Sekalipun telah dilakukan pemeriksaan tetapi sepanjang belum dilakukan tindakan penyidikan mengenai adanya ketidakbenaran yang dilakukan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51, terhadap ketidakbenaran perbuatan Wajib Pajak, tidak akan dilakukan penyidikan apabila Wajib Pajak dengan kemauan sendiri mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya tersebut dengan disertai pelunasan pembayaran jumlah pajak terutang beserta tambahan sebesar 2 kali jumlah pajak yang kurang dibayar.
|
(1) |
Setiap Wajib Pajak wajib menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri pajak yang terutang dengan menggunakan SPTPD.
|
(2) |
Penyelenggaraan hiburan yang menggunakan tanda masuk besarnya pajak terutang ditetapkan oleh Gubernur Kepala Daerah.
|
(1) | Dalam jangka waktu 5 tahun sesudah saat terutangnya pajak, Gubernur Kepala Daerah menerbitkan : |
|
|
(2) |
Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPDKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 1) dan angka 2) dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% sebulan dihitung dari pajak yang kurang atau terlambat dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 bulan dihitung sejak saat terutang pajak.
|
(3) |
Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPDKBT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% dari jumlah kekurangan pajak tersebut.
|
(4) |
Kenaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) pasal ini, tidak dikenakan apabila Wajib Pajak melaporkan sendiri sebelum dilakukan tindakan pemeriksaan.
|
(5) |
Jumlah pajak yang terutang dalam SKPDKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 3) dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 25% dari pokok pajak ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% sebulan dihitung dari pajak yang kurang atau terlambat dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 bulan dihitung sejak saat terutangnya pajak.
|
(1) | Gubernur Kepala Daerah dapat menerbitkan STPD apabila : |
|
|
(2) |
Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam STPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b, ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% setiap bulan untuk paling lama 15 bulan sejak saat terutangnya pajak.
|
(3) |
SKPD yang tidak atau kurang dibayar setelah jatuh tempo pembayaran dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% sebulan, dan ditagih melalui STPD.
|
(1) |
Setiap penyelenggaraan hiburan yang menggunakan Tanda Masuk berupa pertunjukan film diwajibkan melakukan pembayaran dimuka (PDM) sedangkan untuk penyelenggaraan hiburan insidental diwajibkan membayar uang jaminan pajak hiburan.
|
(2) |
Tata cara perhitungan pembayaran di muka (PDM) dan uang jaminan beserta pengembaliannya ditetapkan oleh Gubernur Kepala Daerah.
|
(1) |
Pajak terutang dilunasi selambat-lambatnya pada tanggal 15 bulan berikutnya dari Masa Pajak yang terutang setelah berakhirnya Masa Pajak.
|
(2) |
Terhadap penyelenggaraan hiburan yang menggunakan tanda masuk, pajak terutang dilunasi selambat-lambatnya 15 hari setelah berakhirnya penyelenggaraan hiburan dengan menggunakan SKPD.
|
(3) |
Pembayaran dilakukan di Kantor Kas Daerah, bank atau tempat lain yang ditunjuk oleh Gubernur Kepala Daerah.
|
(4) |
Apabila tanggal jatuh tempo pembayaran pada hari libur maka pembayaran dilakukan pada hari kerja berikutnya.
|
(5) |
Gubernur Kepala Daerah atas permohonan Wajib Pajak setelah memenuhi persyaratan yang ditentukan, dapat memberikan persetujuan kepada Wajib Pajak untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak, dengan dikenakan bunga sebesar 2% sebulan.
|
(1) |
SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, harus dilunasi dalam jangka waktu paling lama satu bulan sejak tanggal diterbitkan.
|
(2) |
Tata cara pembayaran, angsuran, dan penundaan pembayaran pajak ditetapkan oleh Gubernur Kepala Daerah.
|
(1) |
Jika hiburan diselenggarakan atas nama atau tanggungan beberapa penyelenggara atau oleh satu atau beberapa badan maka masing-masing anggota penyelenggara atau pengurus badan dianggap sebagai Wajib Pajak dan bertanggung jawab renteng atas pembayaran pajaknya.
|
(2) |
Hotel atau tempat-tempat lain yang ketempatan diselenggarakannya hiburan ikut bertanggung jawab terhadap pembayaran pajak hiburan terutang atas penyelenggaraan hiburan pada tempat tersebut.
|
(1) | Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dan Pasal 29 ayat (1), jumlah pajak yang terutang berdasarkan SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan dan Putusan Banding dapat ditagih seketika dan sekaligus apabila : |
|
(1) |
Pajak terutang berdasarkan SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan dan Putusan Banding yang tidak atau kurang dibayar oleh Wajib Pajak pada waktunya dapat ditagih dengan Surat Paksa.
|
(2) |
Penagihan pajak dengan Surat Paksa dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
|
(1) |
Pemerintah Daerah mempunyai hak mendahului (hak preferensi) untuk tagihan pajak atas barang-barang Wajib Pajak, begitu pula atas barang-barang milik wakilnya serta orang pribadi atau badan yang menurut Pasal 34 ayat (2) bertanggung jawab secara pribadi dan atau secara tanggung renteng.
|
(2) |
Hak untuk mendahului sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini meliputi pokok pajak, sanksi administrasi berupa bunga, denda dan tambahan serta biaya penagihan.
|
(3) |
Hak mendahului hilang setelah lampau waktu 2 tahun sejak tanggal diterbitkan SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan dan Putusan Banding, kecuali apabila dalam jangka waktu tersebut Surat Paksa diberitahukan secara resmi atau diberikan penundaan pembayaran.
|
(4) |
Dalam hal Surat Paksa diberitahukan secara resmi, jangka waktu 2 tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (3) pasal ini dihitung sejak tanggal pemberitahuan Surat Paksa atau dalam hal diberikan penundaan pembayaran, maka jangka waktu 2 tahun ditambah dengan jangka waktu penundaan pembayaran tersebut.
|
(1) | Dalam menjalankan hak dan memenuhi kewajiban menurut ketentuan Peraturan Daerah ini, Wajib Pajak dapat diwakili : |
|
|
(2) |
Wakil Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini bertanggung jawab secara pribadi, dan atau secara tanggung renteng atas pembayaran pajak terutang, kecuali apabila dapat membuktikan dan meyakinkan Gubernur Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuk, bahwa mereka dalam kedudukannya benar-benar tidak mungkin untuk dibebani tanggung jawab atas pajak terutang tersebut.
|
(3) |
Orang pribadi atau badan dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban menurut Peraturan Daerah ini.
|
(1) |
Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Gubernur Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuk atas suatu :
|
|
|
(2) |
Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan disertai alasan-alasan yang jelas, sekaligus menyebutkan jumlah pajak terutang menurut perhitungan Wajib Pajak.
|
(3) |
Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan atas ketetapan pajak secara jabatan, Wajib Pajak harus dapat membuktikan ketidakbenaran ketetapan pajak tersebut.
|
(4) |
Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 bulan sejak tanggal Surat Ketetapan Pajak Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini, kecuali apabila Wajib Pajak dapat menunjukan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan diluar kekuasaannya.
|
(5) |
Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), (3) dan ayat (4) pasal ini tidak dianggap sebagai Surat Keberatan, sehingga tidak dipertimbangkan.
|
(6) |
Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan penagihan pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
|
(1) |
Gubernur Kepala Daerah dalam jangka waktu paling lama 12 bulan sejak tanggal Surat Keberatan diterima, harus memberi suatu keputusan atas keberatan yang diajukan.
|
(2) |
Keputusan Gubernur Kepala Daerah atas keberatan dapat berupa menerima seluruhnya atau sebagian, menolak, atau menambah besarnya pajak yang terutang.
|
(3) |
Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini telah lewat dan Gubernur Kepala Daerah tidak memberi keputusan, keberatan yang diajukan tersebut dianggap dikabulkan.
|
(1) |
Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada Badan Penyelesaian Sengketa Pajak terhadap keputusan mengenai keberatan yang ditetapkan oleh Gubernur Kepala Daerah.
|
(2) |
Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia, dengan alasan yang jelas, dalam jangka waktu 3 bulan sejak keputusan diterima, dilampiri salinan dari surat Keputusan tersebut.
|
(3) |
Pengajuan permohonan banding tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan penagihan pajak.
|
(1) |
Gubernur Kepala Daerah karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat membetulkan SKPD atau SKPDKB atau SKPDKBT atau STPD yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung dan atau kekeliruan dalam penerapan Peraturan Daerah ini.
|
(2) | Kepala Dinas Pendapatan Daerah dapat : |
|
|
(3) |
Tata cara pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi dan pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pasal ini ditetapkan oleh Gubernur Kepala Daerah.
|
(1) |
Atas kelebihan pembayaran pajak, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pengembalian kepada Gubernur Kepala Daerah.
|
(2) |
Gubernur Kepala Daerah dalam jangka waktu paling lama 12 bulan sejak diterimanya permohonan kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini, harus memberikan keputusan.
|
(3) |
Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pasal ini telah dilampaui dan Gubernur Kepala Daerah tidak memberikan suatu keputusan, permohonan pengembalian pembayaran pajak dianggap dikabulkan dan SKPDLB harus diterbitkan dalam jangka waktu paling lama satu bulan.
|
(4) |
Apabila Wajib Pajak mempunyai utang pajak daerah lainnya kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini, langsung diperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu utang pajak daerah tersebut.
|
(5) |
Pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 bulan sejak diterbitkannya SKPDLB.
|
(6) |
Apabila pengembalian kelebihan pembayaran pajak dilakukan setelah lewat jangka waktu 2 bulan, Gubernur Kepala Daerah memberikan imbalan bunga sebesar 2% sebulan atas keterlambatan pembayaran kelebihan pembayaran pajak.
|
(1) | Permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) harus diajukan kepada Gubernur Kepala Daerah dengan melampirkan : |
|
|
(2) |
Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini diajukan selambat-lambatnya 6 bulan setelah akhir tahun pajak.
|
(3) | Gubernur Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk segera mengadakan penelitian atau pemeriksaan terhadap : |
|
(1) |
Hak untuk melakukan penagihan pajak, kedaluwarsa setelah melampaui jangka waktu 5 tahun terhitung sejak saat terutangnya pajak, kecuali apabila Wajib Pajak melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 Peraturan Daerah ini.
|
(2) | Kedaluwarsa penagihan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini tertangguh, apabila : |
|
(1) |
Piutang Pajak yang sudah kedaluwarsa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 dapat dilakukan penghapusan.
|
(2) |
Penghapusan piutang pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini, berdasarkan permohonan penghapusan piutang dari Dinas Pendapatan Daerah.
|
(3) |
Permohonan penghapusan piutang pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pasal ini, sekurang-kurangnya memuat :
|
|
|
(4) | Permohonan penghapusan piutang pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) pasal ini, harus melampirkan : |
|
|
(5) |
Berdasarkan permohonan penghapusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pasal ini, Gubernur Kepala Daerah menetapkan penghapusan piutang pajak, dengan terlebih dahulu mendapat pertimbangan dari tim yang dibentuk oleh Gubernur Kepala Daerah.
|
(6) |
Pelaksanaan lebih lanjut penghapusan piutang pajak ditetapkan oleh Gubernur Kepala Daerah.
|
(1) |
Wajib Pajak dengan peredaran usaha Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) ke atas wajib menyelenggarakan pembukuan, yang menyajikan keterangan yang cukup untuk menghitung harga perolehan, harga jual dan harga penggantian atas penyelenggaraan hiburan.
|
(2) |
Bagi Wajib Pajak yang tidak diwajibkan membuat pembukuan, tetap diwajibkan menyelenggarakan pencatatan nilai peredaran usaha secara teratur, yang menjadi dasar pengenaan pajak.
|
(3) |
Pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pasal ini diselenggarakan dengan sebaik-baiknya yang mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha sebenarnya.
|
(4) |
Pembukuan atau pencatatan serta dokumen lain yang berhubungan dengan kegiatan usaha atau pekerjaan dari Wajib Pajak harus disimpan selama 5 tahun.
|
(5) |
Tata cara pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pasal ini ditetapkan oleh Gubernur Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuk.
|
(1) |
Gubernur Kepala Daerah berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan kewajiban perpajakan daerah, dan tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan Peraturan Daerah ini.
|
(2) |
Untuk keperluan pemeriksaan, petugas pemeriksa harus dilengkapi dengan Tanda Pengenal Pemeriksa dan Surat Perintah Pemeriksaan serta harus memperlihatkan kepada Wajib Pajak yang diperiksa.
|
(3) | Wajib Pajak yang diperiksa atau kuasanya wajib : |
|
|
(4) |
Dalam hal Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a pasal ini maka pajak terutang ditetapkan secara jabatan.
|
(5) |
Apabila dalam pengungkapan pembukuan, pencatatan atau dokumen serta memberikan keterangan yang diminta, Wajib Pajak terikat oleh suatu kewajiban untuk merahasiakan maka kewajiban untuk merahasiakan itu ditiadakan oleh permintaan untuk keperluan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) pasal ini.
|
(1) |
Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain yang tidak berhak, segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan Peraturan Daerah ini, kecuali sebagai saksi atau sakti ahli dalam sidang pengadilan.
|
(2) |
Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini berlaku juga terhadap ahli-ahli yang ditunjuk oleh Gubernur Kepala Daerah untuk membantu dalam pelaksanaan Peraturan Daerah ini, kecuali sebagai saksi atau saksi ahli dalam sidang pengadilan.
|
(3) |
Untuk kepentingan Daerah, Gubernur Kepala Daerah berwenang memberi izin tertulis kepada pejabat dimaksud pada ayat (1) pasal ini dan tenaga-tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pasal ini, supaya memberikan keterangan, memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak kepada pihak yang ditunjuknya.
|
(4) |
Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau perdata atas permintaan hakim sesuai dengan Hukum Acara pidana dan Hukum Acara perdata Gubernur Kepala Daerah dapat memberi izin tertulis untuk meminta kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini, dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pasal ini, bukti tertulis dan keterangan Wajib Pajak yang ada padanya.
|
(5) |
Permintaan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (4) pasal ini, harus menyebutkan nama terdakwa atau nama tergugat, keterangan-keterangan yang diminta serta kaitan antara perkara pidana atau perdata yang bersangkutan dengan keterangan yang diminta tersebut.
|
(1) |
Dalam rangka pembinaan dan pengembangan olahraga kesenian daerah dan Perfilman Nasional, Gubernur Kepala Daerah dapat memberikan keringanan setinggi-tingginya 50% dari jumlah pajak terutang.
|
(2) |
Pelaksanaan pemberian keringanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Gubernur Kepala Daerah.
|
(1) |
Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak menyampaikan SPTPD atau mengisi dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar sehingga merugikan keuangan daerah dapat dipidana dengan pidana kurungan paling lama satu tahun dan atau denda paling banyak 2 kali jumlah pajak yang terutang.
|
(2) |
Wajib Pajak yang dengan sengaja tidak menyampaikan SPTPD atau mengisi dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar sehingga merugikan keuangan daerah dapat dipidana penjara paling lama 2 tahun dan atau denda paling banyak 4 kali jumlah pajak yang terutang.
|
(1) |
Pejabat yang karena kealpaannya tidak memenuhi kewajiban merahasiakan hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1) dan (2), dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 bulan, atau denda paling banyak Rp 2.000.000,00 (dua juta rupiah).
|
(2) |
Pejabat yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajibannya atau seseorang yang menyebabkan tidak dipenuhi kewajiban pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1) dan (2), dipidana dengan pidana kurungan paling lama satu tahun, atau denda paling banyak Rp 5.000.000,00 (lima ratus rupiah).
|
(3) |
Penuntutan terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) pasal ini, hanya dilakukan atas pengaduan orang yang kerahasiaannya dilanggar.
|
(1) |
Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu dilingkungan Pemerintahan Daerah diberi wewenang khusus sebagai Penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana terhadap Peraturan Daerah ini.
|
(2) | Wewenang Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini adalah : |
|
|
(3) |
Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum, sesuai dengan ketentuan yang di atur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
|
(1) |
Terhadap Pajak Hiburan yang terutang dalam Masa Pajak yang berakhir setelah berlakunya ketentuan Peraturan Daerah Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 7 Tahun 1996 tentang Penyelenggaraan Hiburan dan Pajak Hiburan.
|
(2) |
Selama peraturan pelaksanaan Peraturan Daerah ini belum dikeluarkan maka peraturan pelaksanaan yang ada tetap berlaku, sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Daerah ini.
|
(1) |
Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini maka Peraturan Daerah Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 7 Tahun 1996 tentang Penyelenggaraan Hiburan dan Pajak Hiburan (Lembaran Daerah Khusus Ibukota Jakarta Tahun 1996 Nomor 85 Seri A Nomor 2), dinyatakan tidak berlaku lagi.
|
(2) |
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
|
Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Khusus Ibukota Jakarta. |
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 20 Juli 1998 GUBERNUR KEPALA DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA ttd. SUTIYOSO |
I. | Penjelasan Umum Peraturan Daerah ini merupakan pengaturan kembali dan sebagai pengganti Peraturan Daerah Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 7 Tahun 1996 tentang Penyelenggaraan Hiburan dan Pajak Hiburan.
Pengaturan kembali pemungutan Pajak Hiburan dalam Peraturan Daerah ini selain dimaksudkan untuk lebih meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari sektor Pajak Daerah khususnya Pajak Hiburan yang merupakan salah satu sumber pendapatan Daerah untuk pembiayaan kegiatan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan, juga untuk menyesuaikan dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah serta Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah. Dalam Peraturan Daerah ini diatur sistem pemungutan Pajak Hiburan dengan Sistem Setor Tunai dan Sistem Surat Ketetapan Pajak. Sistem Setor Tunai pelaksanaan pemungutannya diawali dengan kewajiban untuk melaporkan penyelenggaraan hiburan sebelum hiburan diselenggarakan dan dilanjutkan memasukan Surat Pemberitahuan Pajak Daerah (SPTPD). Sedangkan untuk Sistem Surat Ketetapan Pajak, khususnya untuk penyelenggaraan hiburan yang menggunakan tanda masuk antara lain bioskop dan hiburan insidential, pembayaran pajak dilakukan sebelum penyelenggaraan hiburan dimulai dalam bentuk titipan atau jaminan pembayaran pajak sebagai pembayaran dimuka. Pembayaran dimuka dalam hal ini merupakan bagian sistem ketetapan yang melalui proses realisasi dapat ditetapkan besarnya pajak terutang dalam Surat Ketetapan Pajak. Ketentuan untuk mendukung pelaksanaan sistem ini dipertegas dengan mengatur tentang kewajiban penyelenggaraan hiburan yang ditetapkan dengan menggunakan tanda masuk untuk melakukan pembayaran dimuka. Dalam Peraturan Daerah ini ketentuan tarif Pajak Hiburan lebih disesuaikan dengan kondisi dari masing-masing jenis hiburan yang terus berkembang sejalan dengan kemajuan dan perkembangan perekonomian Daerah. Peranan tarif dalam hal ini lebih diutamakan untuk mengatur perkembangan jenis-jenis hiburan terutama terhadap jenis hiburan yang diperkirakan dapat menggeser nilai tinggi budaya bangsa, sehingga diharapkan akan timbul pemikiran alternatif untuk mengembangkan jenis hiburan yang lebih bermanfaat dan dapat dinikmati oleh semua pihak dengan tidak meninggalkan norma- norma yang berlaku di masyarakat. Sehubungan dengan hal-hal tersebut dan untuk lebih meningkatkan daya guna dan hasil guna dalam pemungutan Pajak Hiburan di wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, maka perlu menetapkan kembali Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Hiburan dan Pajak Hiburan yang disesuaikan dengan Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah dimaksud. |
|||||||||||||||
II. | Penjelasan Pasal Demi Pasal Pasal 1
huruf a s.d. k : Cukup jelas. huruf l : Yang dimaksud dengan pembayaran adalah jumlah yang diterima untuk seharusnya diterima termasuk yang akan diterima, antara lain pembayaran yang dilakukan tidak secara tunai. huruf m :
huruf n s.d. ab : Cukup jelas Pasal 2 Cukup jelas Pasal 3 ayat (1) : Yang dimaksud dengan hari kerja disini adalah hari Senin sampai dengan Jumat. ayat (2) dan (3) : Cukup jelas Pasal 4 ayat (1)
Contoh : Penyelenggaraan hiburan diskotek "A" juga terdapat hiburan lain sepertikaraoke maka masing-masing bagian hiburan tersebut harus juga memiliki izin. Sedangkan yang dimaksud dengan satu tempat tertentu adalah penyelenggaraan hiburan dilakukan pada satu tempat tersendiri. ayat (2) s.d. (4) : Cukup jelas ayat (5) : Yang dimaksud dengan ketempatan dalam ayat ini adalah lokasi untuk tempat penyelenggaraan hiburan yang kepemilikannya tidak menyatu dengan penyelenggara. ayat (6) dan (7) : Cukup jelas Pasal 5 s.d. 8 Cukup jelas Pasal 9 Huruf a s.d h : Cukup jelas Huruf i : Yang dimaksud komidi putar adalah komidi putar yang digerakkan dengan peralatan eletronik. Huruf j : Cukup jelas Pasal 10 Cukup jelas Pasal 11 Yang dimaksud dengan yang seharusnya dibayar adalah termasuk pemberian potongan harga dan tiket cuma-cuma. Pasal 12 dan 13 : Cukup jelas Pasal 14 : ayat (1) :
ayat (2) : Penetapan secara jabatan disini dimaksudkan untuk pemberian nomor pengukuhan dan Nomor Pokok Wajib Pajak Daerah dan bukan merupakan penetapan besarnya pajak terutang. ayat (3) : Cukup jelas Pasal 15 s.d. 21 : Cukup jelas Pasal 22 Pasal ini mengatur tentang penerbitan surat ketetapan pajak atas pajak yang dibayar sendiri. Penerbitan surat ketetapan pajak ditujukan kepada Wajib Pajak tertentu yang disebabkan oleh ketidakbenaran dalam pengisian Surat Pemberitahuan Pajak Daerah atau karena ditemukannya data fiskal yang tidak dilaporkan oleh Wajib Pajak. ayat (1) : Ketentuan ayat ini memberi kewenangan kepada Kepala Daerah untuk dapat menerbitkan SKPDKB, SKPDKBT, atau SKPDN hanya terhadap kasus-kasus tertentu seperti tersebut dalam ayat ini, dengan perkataan lain hanya terhadap Wajib Pajak tertentu yang nyata-nyata atau berdasarkan hasil pemeriksaan tidak memenuhi kewajiban formal dan atau kewajiban material. Contoh :
ayat (2) : Ayat ini mengatur sanksi terhadap Wajib Pajak yang tidak memenuhi kewajiban perpajakannya yaitu mengenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% sebulan dari pajak yang tidak atau terlambat dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 bulan atau pajak yang tidak atau terlambat dibayar. Sanksi administrasi berupa bunga dihitung sejak saat terutangnya pajak sampai dengan diterbitkannya SKPDKB. Ayat (3) : Dalam hal Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban perpajakannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, yaitu dengan ditemukannya data baru dan atau data yang semula belum terungkap yang berasal dari hasil pemeriksaan sehingga pajak yang terutang bertambah maka terhadap Wajib Pajak dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan 100% dari jumlah kekurangan pajak. Sanksi administrasi ini tidak dikenakan apabila Wajib Pajak melaporkannya sebelum diadakan tindakan pemeriksaan. ayat (4) : Cukup jelas ayat (5) : Dalam hal Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban perpajakannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 3), yaitu Wajib Pajak tidak mengisi SPTPD yang seharusnya dilakukannya maka dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan pajak sebesar 25% dari pokok pajak yang terutang. Dalam kasus ini maka Gubernur Kepala Daerah menetapkan pajak yang terutang secara jabatan melalui penerbitan SKPDKB. Selain sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 25% dari pokok pajak yang terutang juga dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% sebulan dihitung dari pajak yang kurang atau terlambat dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 bulan. Sanksi administrasi berupa bunga dihitung sejak saat terutangnya pajak sampai dengan diterbitkannya SKPDKB. Pasal 23 : Cukup jelas Pasal 24 : ayat (1) :
Surat Tagihan Pajak Daerah diterbitkan baik terhadap Wajib Pajak yang melakukan kewajiban pajak yang dibayar sendiri maupun terhadap Wajib Pajak yang melaksanakan kewajiban pajak yang dipungut. Sanksi administrasi berupa bunga dikenakan kepada Wajib Pajak yang tidak atau kurang membayar pajak yang terutang, sedangkan sanksi administrasi berupa denda dikenakan karena tidak dipenuhinya ketentuan formal, misalnya tidak atau terlambat menyampaikan SPTPD. ayat (2) :
Cukup jelas ayat (3) :
Ayat ini mengatur pengenaan bunga atas pajak yang tidak atau kurang dibayar pada saat jatuh tempo pembayaran atau terlambat dibayar. Pasal 25 : Cukup jelas Pasal 26 : Yang dimaksud dengan tidak dapat diborongkan adalah bahwa seluruh proses kegiatan pemungutan pajak tidak dapat diserahkan kepada pihak ketiga. Namun, dimungkinkan adanya kerja sama dengan pihak ketiga dalam rangka proses pemungutan pajak, antara lain pencetakan formulir perpajakan, pengiriman surat-surat kepada Wajib Pajak, atau penghimpunan data obyek dan subyek pajak. Kegiatan yang tidak dapat dikerjasamakan dengan pihak ketiga adalah kegiatan penghitungan besarnya pajak yang terutang, pengawasan penyetoran pajak, dan penagihan pajak. Pasal 27 s.d. 29 : Cukup jelas Pasal 30 : ayat (1) : Cukup jelas ayat (2) : Hiburan insidental diselenggarakan di hotel atau restoran atau tempat lainnya. Penyelenggaraan uang jaminan Pajak Hiburan dan hingga saat hiburan berakhir, Penyelenggara tidak membayar Pajak Hiburan oleh karenanya pemilik hotel dan atau restoran atau tempat lainnya bertanggung jawab melunasi pajak hiburan yang terutang sebagai akibat di selenggarakan hiburan insidental tersebut. Pasal 31 dan 32 : Cukup jelas Pasal 33 : ayat (1) : Maksud dan tujuan pada ayat ini adalah untuk memberi kesempatan pada Daerah untuk mendapatkan pembagian lebih dahulu dari kreditur lain atas hasil pelelangan di muka umum barang-barang milik Wajib Pajak atau wilayah guna menutupi atau melunasi tunggakan pajak dengan tidak mengurangi ketentuan dalam Pasal 1139 KUH Perdata dan Pasal 80 serta 81 KUHP. ayat (2) dan (3) : Cukup jelas Pasal 34 s.d. 36 : Cukup jelas Pasal 37 : ayat (1) : Permohonan banding dapat diajukan apabila sudah melunasi pembayaran pajak. ayat (2) dan (3) : Cukup jelas Pasal 38 : Besarnya imbalan bunga atas keterlambatan pengembalian kelebihan pembayaran pajak atau retribusi dihitung dari batas waktu 2 bulan sejak diterbitkannya SKPDLB sampai dengan saat dilakukannya pembayaran kelebihan. Pasal 39 s.d. 41 : Cukup jelas Pasal 42 : ayat (1) : Surat Kedaluwarsa Penagihan Pajak ini perlu ditetapkan untuk memberi kepastian hukum kapan utang pajak tersebut tidak dapat ditagih lagi. ayat (2) : Dalam hal diterbitkan Surat Teguran dan Surat Paksa Penagihan dihitung sejak tanggal Penyampaian Surat Paksa tersebut. Pasal 43 s.d. 54 : Cukup jelas Pasal 55 : ayat (1) : Yang dimaksud dengan Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu adalah Dinas Pendapatan Daerah dan Dinas Pariwisata. ayat (2) s.d. (3) : Cukup jelas Pasal 56 s.d. 58 : Cukup jelas. |
Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.