09 November 2022 | 1 year ago

Sinyal Waspada di Balik Soliditas Ekonomi

Harian Bisnis Indonesia

0 Views

Kondisi ekonomi boleh saja diklaim cukup solid. Asumsi itu tak berlebihan, mengingat laju ekonomi pada kuartal III/2022 mencapai 5,72% (year-on-year/YoY), lebih tinggi jika dibandingkan dengan kuartal II/2022 sebesar 5,44% (YoY).

Pun dengan data terbaru Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) yang berada pada level optimistis pada Oktober 2022 yakni 120,3, naik dibandingkan dengan September 2022 yang hanya 117,2.

Namun, apabila dicermati dengan saksama, struktur produk domestik bruto (PDB) masih rapuh. Kepercayaan diri konsumen pun terbilang prematur apabila diasumsikan optimistis.

Ada dua hal penting yang patut disimak. Pertama, struktur produk domestik bruto (PDB) yang masih amat bergantung pada konsumsi rumah tangga.

Celakanya, konsumsi rumah tangga pada kuartal III/2022 terpantau melandai, yakni hanya tumbuh 5,39%, lebih rendah dibandingkan dengan kuartal II/2022 yang mencapai 5,51%.

Kontribusinya pada PDB pun kian tergerus, yakni dari 53,65% pada kuartal I/2022, menjadi 51,47% pada kuartal II/2022, dan 50,38% pada kuartal III/2022.

Kedua, data Indeks Ekspektasi Ekonomi (IEK) yang menjadi salah satu komponen IKK. Sejauh ini, IEK terbilang stagnan, yakni 128,3 pada bulan lalu, naik tipis dibandingkan dengan September yakni 126,1.

Hal yang perlu diingat IEK pada Agustus 2022 mencapai 137,7. Artinya, ekspektasi masyarakat terhadap kondisi ekonomi ke depan tak baik-baik amat.

Lunglainya konsumsi juga terefleksi dari penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Untuk pertama kalinya sejak perubahan tarif dari 10% menjadi 11% pada April 2022, setoran PPN mencatatkan penurunan pada September lalu.

Fakta ini sekaligus menandakan besarnya impak penaikan harga bahan bakar minyak (BBM) terhadap kemampuan konsumsi masyarakat.

Berdasarkan data Kementerian Keuangan, penambahan penerimaan PPN pada September lalu hanya Rp6,87 triliun, turun sebesar 5,63% dibandingkan dengan Agustus yang senilai Rp7,28 triliun.

Data tersebut juga menjadi penurunan pertama kalinya sejak April 2022 atau setelah pemerintah menaikkan tarif PPN dari 10% menjadi 11% sebagaimana amanat UU No. 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).

Faktanya, sejak pengenaan tarif baru, penerimaan PPN terus menanjak. Data tersebut makin mengonfirmasi bahwa kenaikan harga BBM per 3 September 2022 menindih daya beli masyarakat.

Penurunan ini sejatinya menjadi gambaran riil daya beli masyarakat, karena PPN yang diterima oleh pemerintah bersumber dari transaksi barang dan jasa yang tidak mendapatkan fasilitas pembebasan atau pengecualian.

Pada gilirannya, kondisi ini juga berisiko menggembosi pertumbuhan ekonomi pada sisa tahun ini ataupun pada warsa-warsa mendatang.

“Karena konsumsi terlalu mendominasi pertumbuhan ekonomi,” kata Ekonom Institute of Development on Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti, kepada Bisnis, Selasa (8/11).

Apabila didalami lebih jauh, penggerusan konsumsi ini tidak hanya berkorelasi pada struktur PDB dan laju ekonomi. Lebih dari itu, fakta dan data ini juga mengancam tergerusnya setoran pajak.

Apalagi, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), konsumsi rumah tangga pada kuartal III/2022 amat bergantung pada kelompok masyarakat menengah ke atas.

Hal ini pun sejalan dengan esensi dari pengenaan PPN alias pajak atas konsumsi, yang menyasar masyarakat kalangan menengah ke atas, baik untuk transaksi barang maupun jasa.

Berdasarkan Kajian Pola Konsumsi dan Beban PPN Kelas Menengah Indonesia yang dipublikasikan oleh Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan pada 2020, analisis insiden PPN menunjukkan bahwa masyarakat pada kelas menengah merupakan kontributor utama PPN dengan kontribusi rata-rata sebesar 43%.

Besarnya kontribusi PPN pada kelas menengah tidak terlepas dari jumlah rumah tangga pada kelas tersebut yang jauh lebih besar dari kelas lainnya. Lebih lanjut, kontribusi rumah tangga yang berada pada kelas bawah (poor dan lower middle) terus mengalami penurunan. Sementara itu, kontribusi rumah tangga pada kelas menengah atas (upper middle dan upper) terus mengalami kenaikan.

Di sisi lain, Survei Konsumen Bank Indonesia (BI) memotret bahwa IKK masyarakat kalangan menengah ke atas atau yang memiliki pengeluaran di atas Rp5 juta per bulan naik paling rendah dibandingkan dengan kelompok lain, yakni hanya tumbuh 2,5 poin.

Dari sisi IEK pun kelas ini pada bulan lalu hanya mampu menanjak 1,8 poin, terendah dibandingkan dengan kelompok pengeluaran yang lebih kecil lainnya. Dengan demikian, risiko tergerusnya konsumsi rumah tangga dan setoran PPN amat besar.

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengatakan bencana konsumsi rumah tangga masih berlanjut seiring dengan potensi melambungnya harga seluruh barang akibat tersengat kenaikan BBM.

Dia pun memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal IV/2022 melambat dibandingkan dengan capaian pertumbuhan yang tinggi pada kuartal III/2022.

Laju inflasi yang tercatat tinggi pada September dan Oktober, serta diprediksi berlanjut pada bulan ini menjadi pemberat daya beli masyarakat.

“Dengan situasi ini, akan mengurangi potensi konsumsi kuartal IV/2022 yang lebih rendah dibanding dengan kuartal III/2022,” ujarnya.

Tak hanya pertumbuhan ekonomi, gontainya daya beli juga berpotensi mengaburkan misi pemerintah untuk mengubah ketergantungan penerimaan pajak dari yang berbasis penghasilan ke konsumsi.

Berdasarkan informasi yang diperoleh Bisnis, penyusunan UU HPP adalah hasil negosiasi antara eksekutif, legislatif, dengan pelaku usaha untuk mengubah ketergantungan penerimaan negara dari Pajak Penghasilan (PPh) ke PPN.

Terlepas dari adanya muatan politis, secara teori perubahan ketergantungan dari PPh ke PPN memang cukup masuk akal.

Pasalnya, penghitungan pajak berbasis konsumsi jauh lebih mudah karena berbasis dari transaksi barang atau jasa. Selain itu, amat jarang terjadi praktik penghindaran pajak untuk PPN.

Potensi bonus demografi juga memungkinkan golongan muda menjadi penyumbang signifikan untuk konsumsi dalam negeri.

Dengan demikian, wajar apabila PPN tetap menjadi sumber penerimaan pajak di masa mendatang, termasuk di saat kondisi resesi berlangsung. Terlebih, konsumsi menjadi sektor yang paing cepat pulih tatkala ekonomi dalam impitan.

Persoalannya, teori itu akan mudah diaplikasikan apabila kondisi ekonomi stabil, daya beli terjaga, serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) cukup prima.

Skenario berbeda terjadi pada tahun ini dan tahun depan, ketika ekonomi nasional dibayangi dampak resesi dari negara-negara utama, serta terus melesatnya indeks harga konsumen (IHK).

“Faktor penghambat PPN adalah ketika dampak resesi menimpa konsumsi dalam negeri. Pada akhirnya, iklim berusaha juga akan terdampak,” kata Pengajar Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia Prianto Budi Saptono.

Pemerintah pun sejatinya menyadari betul besarnya ancaman ekonomi yang bersumber dari penggerusan konsumsi tersebut.

Deputi III Kepala Staf Kepresiden an Edy Priyono, mengatakan pemerintah menyiapkan sederet siasat untuk merespons dampak dari resesi yang diprediksi mulai mengintai pada pengujung tahun ini.

Di antaranya adalah melaksanakan bauran kebijakan pengendalian inflasi, peningkatan investasi, dan mendorong pertumbuhan ekspor.

Pemerintah pun menganggarkan beragam insentif dan bantuan sosial (bansos) guna membantu industri dan masyarakat yang terdampak. “Kewaspadaan terhadap potensi ancaman resesi masih harus dijaga,” ujarnya. (Maria Elena/Ni Luh Anggela/Wibi Pangestu Pratama)