10 November 2022 | 1 year ago

Kebijakan Fiskal Daerah : Ruang Insentif Menyempit

Harian Bisnis Indonesia

0 Views

Bisnis, JAKARTA — Pelaku usaha bakal gigit jari, lantaran pemangku kebijakan di tingkat pusat membatasi keleluasaan pemerintah daerah dalam memberikan insentif fiskal berbentuk diskon atau penghapusan pajak dan retribusi, yang sejatinya mampu menarik investasi.

Ketentuan itu tertuang di dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang menjadi beleid turunan UU No. 1/2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah alias UU HKPD.

Rumusan beleid itu sejatinya memberikan ruang bagi gubernur/bupati/wali kota untuk memberikan insentif fiskal kepada pelaku usaha dalam rangka mendukung kebijakan keudahan berinvestasi.

Insentif itu berupa pengurangan, keringanan, dan pembebasan atau penghapusan pokok pajak daerah dan retribusi daerah (PDRD) dan/atau sanksinya.

Persoalannya, ada sederet pertimbangan yang wajib dijadikan acuan oleh pemerintah daerah (pemda) sebelum memberikan stimulus fiskal tersebut.

Pertama, mempertimbangkan kepatuhan wajib pajak dalam menjalankan kewajiban perpajakannya, setidaknya dalam 2 tahun terakhir. Kedua, prospek keberlanjutan bisnis wajib pajak.

Ketiga, besaran kontribusi usaha atau penanaman modal tersebut terhadap pengembangan ekonomi daerah serta penyediaan lapangan kerja.

Selain itu, insentif tersebut juga harus memiliki korelasi dengan rencana pembangunan jangka menengah daerah, serta selaras dengan percepatan penyelesaian proyek strategis nasional.

Pemberian insentif yang lebih selektif juga tecermin dalam terbukanya ruang bagi pejabat daerah untuk melakukan pemeriksaan pajak dan/atau retribusi untuk tujuan lain, dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundangundangan pajak dan retribusi.

“Pemeriksaan pajak dan/atau retribusi bertujuan untuk memastikan bahwa wajib pajak dan/atau wajib retribusi yang mengajukan permohonan berhak menerima insentif,” tulis Pasal 102 RPP yang dikutip Bisnis.

Jika ditelusuri, pengetatan insentif ini bak pedang bermata dua. Di satu sisi, rumusan dalam beleid ini bertujuan untuk menjaga insentif tepat sasaran serta menjamin keberlanjutan pengerjaan proyek strategis nasional.

Akan tetapi di lain sisi, kebijakan ini berisiko kontra produktif dengan misi pemerintah yang tengah memacu geliat investasi secara lebih merata, baik untuk penanaman modal dalam negeri (PMDN) maupun penanaman modal asing (PMA).

Tak bisa dimungkiri, insentif pajak selalu menjadi pemanis utama bagi pelaku usaha untuk melakukan investasi maupun ekspansi atau penambahan penanaman modal.

Adapun, sejauh ini insentif fiskal yang tersedia untuk pebisnis hanya terbatas pada kebijakan yang diatur oleh pemerintah pusat.

Di antaranya adalah tax holiday, tax allowance, investment allowance, serta super tax deduction.

Sementara itu, tidak sedikit kalangan pelaku usaha yang mengharapkan adanya insentif fiskal di level daerah.

Musababnya, hampir seluruh operasional bisnis atau proses investasi berhubungan langsung dengan kebijakan yang diterbitkan oleh pemda.

Dalam kaitan ini, Dirjen Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan Luky Alfirman, menegaskan pemda masih bisa memberikan insentif atau fasilitas fiskal di luar proyek strategis nasional.

Komitmen itu memang tertuang di dalam UU HKPD. Akan tetapi dalam rancangan RPP Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, arah kebijakan insentif masih berfokus pada proyek strategis nasional.

“Nanti selanjutnya diatur lebih lanjut dalam RPP KUPDRD [Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah],” kata Luky kepada Bisnis, Rabu (9/11).

Dia menjelaskan, kebijakan pemberian insentif fiskal, baik yang diberikan oleh kepala daerah maupun pemerintah pusat bertujuan untuk mendukung pencapaian program prioritas nasional dan arah kebijakan fiskal nasional.

Hal ini dilakukan agar pelaksanaan kebijakan baik di tingkat pusat maupun daerah dapat lebih optimal dalam mendukung pencapaian outcome pembangunan dan pertumbuhan ekonomi.

Namun demikian, Luky menegaskan bahwa ruang diberikannya insentif di luar proyek strategis nasional masih amat terbuka.

“Insentif di luar proyek strategis nasional tetap dapat diberikan oleh kepala daerah sesuai dengan kewenangan masing-masing,” tegasnya.

PENGETATAN

Saat dimintai tanggapan, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Armand Suparman, memandang menyempitnya ruang pemberian insentif itu menandakan bahwa pemerintah tengah mendorong adanya pengetatan fiskal.

Hal tersebut menurutnya terefleksi dalam klausul yang mewajibkan adanya pemeriksaan pajak serta kewajiban kepatuhan wajib pajak dalam melaksanakan kewajibannya minimal selama 2 tahun terakhir.

Apalagi, kapasitas fiskal masing-masing daerah berbeda sehingga insentif yang jorjoran berisiko menggoyahkan keseimbangan fiskal yang belum mampu mengoptimalisasi pendapatan asli daerah (PAD).

“Ruang, kemampuan, dan kapasitas fiskal daerah memang berbeda-beda sehingga kebijakannya tidak bisa disamaratakan,” kata dia.

Menurut Armand, kebijakan ini memang berpotensi meningkatkan kepatuhan wajib pajak sehingga mengatrol penerimaan pajak dan retribusi.

Akan tetapi, apabila pengetatan insentif tidak dikelola dengan baik, kondisi ini juga berisiko menghambat masuknya aliran modal dan mengaburkan misi pemerintah dalam memeratakan investasi.

Oleh karena itu, dia menyarankan kepada otoritas fiskal untuk melakukan pembahasan lebih lanjut dengan pemda guna menentukan daerah yang masih membutuhkan tebar insentif dalam mengundang investasi, dan kawasan yang siap dengan pengetatan.

“Kajian dalam mengeksekusi kebijakan wajib melibatkan pemda karena ini berkaitan erat dengan kondisi fiskal di daerah yang selalu berbeda,” ujarnya.

Sementara itu, Ketua Bidang Keuangan dan Perbankan Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Anggawira, mengatakan pada dasarnya pebisnis masih membutuhkan dukungan fiskal negara.

Akan tetapi menurutnya insentif yang disediakan pemerintah harus mempertimbangkan kemampuan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta menyasar pada sektor-sektor usaha yang masih membutuhkan sokongan dari pemangku kebijakan.

“Namanya insentif kalau diberikan kita senang. Tetapi harus disesuaikan dengan priotitas dan kemampuan pemerintah,” kata dia.