16 November 2022 | 1 year ago

Daya Pungut Pajak Terus Menanjak

Harian Bisnis Indonesia

0 Views

Bisnis, JAKARTA — Daya pungut pemerintah dalam mengejar setoran pajak atas konsumsi masyarakat terus meningkat, kendati daya beli sepanjang tahun ini masih menghadapi tantangan inflasi dan imbas kenaikan harga bahan bakar minyak.

Berdasarkan penghitungan Bisnis, kemampuan pemerintah dalam memungut pajak pertambahan nilai (PPN) yang tecermin pada value added tax (VAT) gross collection ratio pada kuartal III/2022 mencapai 72,15%.

Angka capaian VAT gross collection ratio itu menandakan pemerintah berhasil memungut 72,15% dari total potensi pajak atas konsumsi sepanjang periode Juli—September 2022.

Angka itu bersumber dari konsumsi rumah tangga yang pada periode tersebut mencapai Rp2.564,7 triliun serta tarif PPN sebesar 11%.

Jika dihitung lebih dalam dengan menggunakan tarif 11%, maka potensi penerimaan PPN pada kuartal III/2022 mencapai Rp282,11 triliun, di atas realisasi yang terpantau senilai Rp203,55 triliun.

Akan tetapi, pencapaian otoritas fiskal itu bisa dibilang cukup positif karena secara historis daya pungut negara atas pajak konsumsi selalu rendah.

Pada kuartal I/2022 misalnya, VAT gross collection ratio hanya 53,74%, dan pada kuartal II/2022 mendaki pada posisi 61,29%.

Kalangan pemerhati pajak memandang pencapaian VAT gross collection ratio yang cukup positif itu menandai jalan mulus pemerintah untuk mengubah ketergantungan pada pajak penghasilan (PPh) ke PPN.

Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institue Prianto Budi Saptono mengatakan performa VAT gross collection ratio amat bergantung pada beberapa faktor.

“Ini mengacu pada kinerja konsumsi transaksi barang atau jasa dan impor barang kena pajak,” kata dia kepada Bisnis, Selasa (15/11).

RISIKO MENGANGA

Kendati sepanjang tahun berjalan 2022 daya pungut PPN menguat, Prianto memandang ada risiko besar yang dapat membalikkan kinerja moncer itu, yakni yang berasal dari inflasi.

Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang mengatrol biaya konsumsi pada seluruh jenis barang akan memengaruhi konsumsi masyarakat yang pada gilirannya berimpak pada penurunan PPN.

“Apalagi, meskipun konsumsi rumah tangga meningkat, PPN tidak menanjak secara paralel karena masih ada fasilitas pajak dibebaskan,” ujarnya.

Manajer Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menambahkan pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada kuartal III/2022 didorong oleh harga jual barang di pasaran yang makin mahal.

Sejalan dengan kenaikan harga sejumlah barang, terutama komoditas pangan, maka konsumsi rumah tangga meningkat dan potensi pajak atas barang dan jasa pun terkatrol.

Menurutnya, pemerintah masih memiliki peluang untuk memacu VAT gross collection ratio, salah satunya memangkas fasilitas pembebasan atau pengecualian pajak.

“Juga menurunkan besaran PKP [pengusaha kena pajak], sehingga makin banyak aktivitas ekonomi yang masuk ke dalam sistem PPN, dan otomatis VAT gross collection ratio naik,” jelasnya.

Saat ini, batas PKP yang diterapkan oleh pemerintah masih cukup tinggi, yakni Rp4,8 miliar per tahun, sehingga membatasi gerak otoritas pajak dalam menarik pungutan.

Dia menjelaskan, rezim PPN yang saat ini berlaku berisiko menggerus daya pungut pemerintah. Idealnya, sistem PPN lebih netral, yakni ketika terjadi kenaikan tarif maka tidak akan mengubah VAT gross collection ratio.

Sementara itu, UU No. 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) memang memberikan perluasan barang dan jasa yang dikenai PPN. Namun, di sisi lain, pemerintah juga memberikan beragam pembebasan di dalam regulasi sapu jagat bidang perpajakan itu.

Pembebasan itu dilakukan di antaranya pada kegiatan di kawasan tertentu atau tempat tertentu dalam daerah pabean, penyerahan barang kena pajak (BKP) tertentu atau jasa kena pajak (JKP) tertentu, dan impor BKP tertentu.

Ada pula pembebasan PPN pada pemanfaatan BKP tidak berwujud tertentu dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean, serta pemanfaatan JKP tertentu dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean.