21 November 2022 | 1 year ago

Rasio Pajak Tak Ideal, Ekonom: Beban Utang Akan Semakin Berat

kontan.co.id

0 Views

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kemampuan pemerintah dalam membayar utang patut diperhatikan ke depannya. Pasalnya, ketidakseimbangan rasio utang dengan rasio pajak saat ini akan berdampak kepada kerentanan pemerintah dalam membayar utang di masa mendatang.

Kementerian Keuangan mencatat, rasio utang per September 2022 berada pada kisaran 39,3% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Angka ini naik jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya yang sebesar 38,3% terhadap PDB.

Apabila bila dilihat, memang rasio utang tersebut masih cukup aman lantaran masih di bawah batas 60%  terhadap PDB yang tertuang dalam Undang-Undang Keuangan Negara.

Hanya saja, rasio utang terus meningkat setiap tahunnya, sebut saja pada tahun 2019 yang sebesar 30,23%, kemudian 39,35% pada tahun 2020, dan melonjak lagi menjadi 40,73% di tahun 2021. 

Di sisi lain, rasio pajak justru cenderung rendah dan menunjukkan penurunan. Adapun rasio pajak pada tahun 2019 mencapai 8,42% terhadap PDB. Kemudian pada tahun 2020 menurun menjadi 6,95% terhadap PDB.

Meskipun pada akhirnya, di tahun 2021 kembali naik menjadi 7,53% namun angka tersebut masih rendah jika dibandingkan dengan rasio pajak 2019. Begitu juga dengan rasio pajak yang hanya ditargetkan sebesar 8,17% pada tahun 2030, atau lebih rendah dibandingkan dengan outlook tahun ini yang sebesar 8,35%.

Oleh karena itu, ketidakseimbangan antara pergerakan rasio utang dengan rasio pajak diperkirakan akan berdampak kepada beban utang yang harus dibayar oleh pemerintah.

Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto mengakui memang rasio utang pemerintah masih di bawah batas maksimal UU Keuangan Negara dan akan dijaga selalu di bawah batas 60% terhada PDB.

Hanya saja, Eko melihat rasio pajak saat ini masih rendah. Pasalnya, rasio pajak yang ideal untuk negara berkembang seperti Indonesia setidaknya berkisar 15% terhadap PDB. Oleh karena itu, menurutnya apabila Indonesia tidak bisa mencapai rasio ideal tersebut, maka dalam jangka menengah panjang utang bisa menjadi beban.

"Pemerintah perlu punya strategi menaikkan tax ratio. Kalau menurut saya, jika komitmen ke sustainability ke depan kuat maka pajak untuk kegiatan ekstraktif sumber daya alam (SDA) harus dinaikkan," ujar Eko kepada Kontan.co.id, Minggu (20/11).

Sementara itu, Direktur Eksekutif Segara Intitute Piter Abdullah justru tidak mempermasalahkan antara angka rasio utang dan rasio pajak saat ini. Hal ini lantaran pajak bukan semata-mata untuk membayar utang, melainkan utang adalah konsekuensi dari rendahnya rasio pajak.

"Kalau rasio pajak sudah sangat tinggi sehingga APBN tidak lagi mengalami defisit, itu artinya kita tidak perlu berutang. Kita mengalami defisit APBN karena penerimaan pajak tidak cukup menutup belanja APBN," katanya.

Piter mengakui memang rasio pajak Indonesia masih terbilang rendah, hanya saja dirinya melihat selama ini Indonesia belum pernah gagal dalam membayar kewajiban utangnya. Menurutnya, rasio utang yang terbilang rendah menyiratkan bahwa kewajiban-kewajiban pembayaran utang masih mampu dikelola pemerintah dengan baik.

"Meningkatkan rasio pajak tidak bisa dilakukan dalam jangka pendek. Hanya bisa dengan memperluas pembayar pajak dan meningkatkan kepatuhan wajib pajak membayar pajak," tandas Piter.