25 November 2022 | 1 year ago

Pertumbuhan Pajak Melandai : Akibat Bergantung Pada Faktor Musiman

Harian Bisnis Indonesia

0 Views

Melandainya pertumbuhan penerimaan pajak dalam beberapa bulan terakhir makin mengonfirmasi tingginya ketergantungan pada faktor musiman, terutama harga komoditas dan program yang tak berulang. Kondisi ini menjadi penanda bahwa masih ada luka dalam performa gemilang fiskal negara.

Tak bisa dimungkiri, setoran pajak sepanjang tahun berjalan 2022 yang berakhir Oktober memang cukup prima, bahkan telah berhasil melampaui realisasi 2022 sejak September lalu.

Sekadar informasi, total penerimaan pajak per Oktober 2022 mencapai Rp1.448,2 triliun, sementara torehan sepanjang tahun lalu hanya senilai Rp1.227,5 triliun.

Hampir dipastikan pada tahun ini otoritas fiskal kembali mengukir tinta emas dari sisi setoran pajak, dengan berhasil melampaui target yang tercatat senilai Rp1.485 triliun.

Artinya, dalam 2 tahun berturut-turut pemerintah berhasil menembus angka sasaran.

Akan tetapi, apabila ditelaah secara mendalam performa pajak pada tahun ini amat bergantung pada faktor musiman, atau yang tidak dipengaruhi oleh upaya ekstra pemangku kebijakan.

Pertama, harga komoditas yang menjadi juru selamat sejak pengujung tahun lalu, terutama minyak, gas, dan batu bara.

Kedua, Program Pengungkapan Sukarela (PPS) atau Tax Amnesty Jilid II. Ketiga, kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10% menjadi 11%.

Faktor kedua dan ketiga diakomodasi dalam UU No. 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). PPS dilaksanakan pada 1 April—30 Juni 2022, sementara itu kenaikan tarif PPN dieksekusi pada 1 April 2022.

Kini, setelah harga komoditas menuju normalisasi, berakhirnya program pengampunan pajak, dan berhentinya efek kenaikan tarif PPN pun telah berpengaruh besar pada penerimaan pajak.

Hal itu terbukti dengan tren perlambatan pertumbuhan penerimaan pajak. Secara kumulatif, pertumbuhan penerimaan pajak pada tahun ini terus tereduksi sejak Juli atau memasuki paruh kedua 2022.

Kementerian Keuangan mencatat, pada Juli pertumbuhan penerimaan pajak hanya 58,8%, kemudian menjadi 58,1% pada Agustus, 54,2% pada September, dan hanya 51,8% pada Oktober.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, pun memprediksi tren perlambatan ini akan berlanjut hingga tutup warsa.

“Kita semua tahu tahun ini ada UU HPP yang menambah kapasitas penerimaan pajak,” katanya, Kamis (24/11).

Berkaca pada faktor-faktor tersebut, sejatinya pemulihan ekonomi bukanlah menjadi aktor tunggal dari moncernya penerimaan pajak.

Apalagi, konsumsi yang digadang-gadang telah pulih juga tak baik-baik amat.

Cerminan itu terlihat dari realisasi masing-masing jenis pajak. Hingga Oktober, realisasi Pajak Penghasilan (PPh) Non-migas telah mencapai 104,7% dari target, dan PPh Migas 105,1% dari target.

Celakanya, capaian Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang merefleksikan konsumsi atas barang dan jasa masih 89,2%.

Kondisi ini pun menegaskan bahwa pemulihan dunia usaha tidak berkorelasi langsung pada tingkat konsumsi masyarakat.

“PPN kemungkinan akan tercapai targetnya pada akhir tahun,” kata Sri Mulyani dengan optimistis.

Terlepas dari kuatnya optimisme masyarakat, tak bisa dimungkiri bahwa konsumsi rumah tangga masih cukup tertatih pada paruh kedua tahun ini.

Terlebih, pada 3 September lalu pemerintah menelurkan kebijakan yang tak populis, yakni mengatrol harga bahan bakar minyak (BBM).

Kebijakan ini secara otomatis menggerakkan harga seluruh barang dan tarif ke atas yang pada akhirnya menekan daya beli masyarakat.

KATALIS SESAAT

Di sisi lain, melandainya penerimaan pajak juga makin menekankan bahwa negara butuh katalis sesaat untuk bisa mendulang penerimaan pajak.

Perlambatan pertumbuhan diprediksi juga berlanjut pada 2 bulan terakhir pada tahun ini yang disebabkan beberapa fak-tor, terutama normalisasi harga komoditas.

“Moderasi harga komoditas memang berdampak,” kata Manajer Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar, kepada Bisnis.

Selain komoditas, basis pembanding pajak pada akhir tahun lalu yang cukup tinggi juga bisa membatasi pertumbuhan penerimaan pada sisa tahun ini.

Sesungguhnya, besarnya ketergantungan pada pajak komoditas tidaklah sehat. Sebab hal ini berisiko mempercepat penggerusan penerimaan. Pemerintah pun perlu melakukan langkah antisipatif agar penerimaan pajak tetap optimal.

Apalagi, harga komoditas bersifat cyclical atau berlaku dalam periode tertentu alias sementara. Artinya, tingginya harga komoditas bukan karena faktor struktural yang bertahan lama.

Pengajar Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia Prianto Budi Saptono, menambahkan ada beberapa tantangan yang berisiko menjegal pencapaian target pajak, baik pada 2022 maupun 2023.

Pertama, volatilitas harga komoditas. Kedua, melesatnya inflasi global karena dampak pandemi Covid-19 dan perang dengan kombinasi stimulus fiskal serta moneter yang berlebihan di negara maju.

Ketiga, pengetatan likuiditas dan kenaikan suku bunga acuan sehingga terjadi volatilitas pasar keuangan global, capital outflow, nilai tukar melemah, serta peningkatan biaya utang meningkat.

Keempat, rasio utang di banyak negara sangat tinggi sehingga berpotensi terjadi krisis utang global. Kelima, potensi terjadi stagflasi karena pertumbuhan ekonomi global melemah dan angka pengangguran tinggi.

“Bisnis ekspor berbasis komoditas tidak sustainable karena rentan terhadap gejolak harga internasional,” ujarnya.

Memang tak bisa disangkal, ekonomi nasional secara perlahan telah menapaki tangga pemulihan dari pandemi Covid-19.

Hanya saja, perlu juga dipertimbangkan strategi untuk menjaga pemerataan pemulihan itu sendiri, sehingga seluruh jenis pajak mampu menampilkan performa kompak.

Lebih penting dari itu, penguatan struktur pajak juga wajib dilakukan agar negara tak hanya bergantung pada faktor musiman dalam mendulang penerimaan.