Peraturan Daerah Nomor : 168 TAHUN 2012

Kategori : Lainnya

Petunjuk Pelaksanaan Pemungutan Pajak Kendaraan Bermotor


PERATURAN GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA
NOMOR 168 TAHUN 2012

TENTANG

PETUNJUK PELAKSANAAN PEMUNGUTAN PAJAK KENDARAAN BERMOTOR

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA,


Menimbang :

  1. bahwa berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2010 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pajak Kendaraan Bermotor, telah ditetapkan pajak kendaraan bermotor sebagai pajak daerah;
  2. bahwa dalam rangka pemungutan pajak kendaraan bermotor terdapat beberapa ketentuan baru sebagai perluasan basis pajak kendaraan bermotor sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, sehingga Peraturan Gubernur Nomor 90 Tahun 2005 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemungutan Pajak Kendaraan Bermotor sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Gubernur Nomor 126 Tahun 2008 perlu dilakukan penyempurnaan;
  3. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b serta untuk meningkatkan pelayanan dan pedoman pemungutan pajak kendaraan bermotor, perlu menetapkan Peraturan Gubernur tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemungutan Pajak Kendaraan Bermotor;

Mengingat :

  1. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000;
  2. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak;
  3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008;
  4. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia;
  5. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
  6. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
  7. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan;
  8. Peraturan Pemerintah Nomor 91 Tahun 2010 tentang Jenis Pajak Daerah yang Dipungut Berdasarkan Penetapan Kepala Daerah atau Dibayar Sendiri oleh Wajib Pajak;
  9. Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2008 tentang Organisasi Perangkat Daerah;
  10. Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2010 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah;
  11. Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pajak Kendaraan Bermotor;
  12. Peraturan Gubernur Nomor 34 Tahun 2009 tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas Pelayanan Pajak;
  13. Peraturan Gubernur Nomor 75 Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Pembayaran Pendapatan Asli Daerah Melalui Bank;
  14. Peraturan Gubernur Nomor 30 Tahun 2011 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelayanan Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor;


MEMUTUSKAN :


Menetapkan :

PERATURAN GUBERNUR TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PEMUNGUTAN PAJAK KENDARAAN BERMOTOR.


BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1


Dalam Peraturan Gubernur ini yang dimaksud dengan :
  1. Daerah adalah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
  2. Pemerintah Daerah adalah Gubernur dan Perangkat Daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah.
  3. Gubernur adalah Kepala Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
  4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
  5. Badan Pengelola Keuangan Daerah yang selanjutnya disingkat BPKD adalah Badan Pengelola Keuangan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
  6. Kepala Badan Pengelola Keuangan Daerah yang selanjutnya disingkat Kepala BPKD adalah Kepala Badan Pengelola Keuangan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
  7. Dinas Pelayanan Pajak yang selanjutnya disingkat DPP adalah Dinas Pelayanan Pajak Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
  8. Kepala Dinas Pelayanan Pajak adalah Kepala Dinas Pelayanan Pajak Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
  9. Dinas Perhubungan adalah Dinas Perhubungan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
  10. Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil adalah Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
  11. Dinas Komunikasi, Informatika dan Kehumasan adalah Dinas Komunikasi Informatika dan Kehumasan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
  12. Polisi Lalu Lintas adalah polisi pada Direktorat Lalu Lintas Kepolisian Daerah pada Kantor Bersama Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
  13. Unit Pelayanan Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut Unit Pelayanan PKB dan BBN-KB adalah Unit Pelayanan Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor Dinas Pelayanan Pajak.
  14. Kepala Unit Pelayanan Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut Kepala Pelayanan Unit PKB dan BBN-KB adalah Kepala Unit Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor Dinas Pelayanan Pajak Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
  15. PT Jasa Raharja adalah Badan Usaha Milik Negara yang menyelenggarakan Program Asuransi Sosial untuk memberikan perlindungan terhadap korban kecelakaan penumpang Angkutan Umum dan Lalu Lintas Jalan.
  16. Sistem Informasi Pajak Daerah yang selanjutnya disebut Sisinforda adalah Sistem Informasi Pajak Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
  17. Unit Pelayanan Kas Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap yang selanjutnya disebut Unit Pelayanan Samsat adalah Unit Pelayanan Kas BPKD yang berada pada Kantor Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap.
  18. Bank adalah Bank DKI atau Bank lain yang ditunjuk.
  19. Pajak Daerah yang selanjutnya disebut Pajak adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
  20. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
  21. Pajak Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat PKB adalah pajak yang dipungut atas kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor.
  22. PKB Baru adalah proses pelayanan yang meliputi kendaraan bermotor baru, kendaraan bermotor yang berasal dari dump Tentara Nasional Indonesia/Kepolisian Republik Indonesia, kendaraan bermotor yang berasal dari lelang negara, kendaraan bermotor korps diplomatik/korps konsulat, kendaraan bermotor badan/lembaga internasional, kendaraan berdasarkan putusan pengadilan dan kendaraan bermotor yang berasal dari luar daerah.
  23. PKB Perpanjangan adalah proses pelayanan yang meliputi pengesahan Surat Tanda Nomor Kendaraan setiap tahun, perpanjangan Surat Tanda Nomor Kendaraan setiap 5 (lima) tahun dan mutasi data kendaraan bermotor (tukar nama, pindah ke luar daerah, pindah alamat, ubah bentuk, ganti mesin, ganti warna, ganti nomor kendaraan dan tukar nama yang berasal dari kendaraan bermotor perorangan dinas milik negara.
  24. Surat Ketetapan Kewajiban Pembayaran yang selanjutnya disingkat SKKP adalah Surat yang digunakan untuk menetapkan besarnya biaya administrasi Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK), biaya Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (TNKB), besarnya jumlah PKB dan BBN-KB yang terutang serta Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (SWDKLLJ).
  25. Tanda Bukti Pelunasan Kewajiban Pembayaran yang selanjutnya disingkat TBPKP adalah tanda bukti setoran pelunasan kewajiban pembayaran administrasi TNKB, STNK, PKB, BBN-KB dan SWDKLLJ yang telah divalidasi.
  26. Sistem Admininistrasi Manunggal Satu Atap yang selanjutnya disebut SAMSAT adalah Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
  27. Kendaraan Bermotor adalah semua kendaraan beroda beserta gandengannya yang digunakan di semua jenis jalan darat, dan digerakkan oleh peralatan teknik berupa motor atau peralatan lainnya yang berfungsi untuk mengubah suatu sumber daya energi tertentu menjadi tenaga gerak kendaraan bermotor yang bersangkutan, termasuk alat-alat berat dan alat-alat besar yang dalam operasinya menggunakan roda dan motor dan tidak melekat secara permanen serta kendaraan bermotor yang dioperasikan di air.
  28. Kendaraan Bermotor Umum adalah setiap kendaraan yang digunakan untuk angkutan barang dan/atau orang dengan dipungut bayaran.
  29. Kendaraan Bermotor Pribadi adalah setiap kendaraan bermotor yang dimiliki/dikuasai/dipergunakan untuk kepentingan orang pribadi, badan, Lembaga Negara dan yang dimiliki/dikuasai oleh Pemerintah Pusat Daerah.
  30. Kendaraan Bermotor Alat-alat Berat atau alat-alat besar adalah alat-alat yang dapat bergerak/berpindah tempat dan tidak melekat secara permanen, antara lain ; penggilas jalan, loader, forklift, dump truck, tractor head, bulldozer, derek, craine dan sejenisnya.
  31. Kepemilikan adalah hubungan hukum antara orang/pribadi atau Badan dengan kendaraan bermotor yang namanya tercantum di dalam bukti kepemilikan atau dokumen yang sah termasuk Buku Kepemilikan Kendaraan Bermotor, termasuk penguasaan kendaraan bermotor yang melebihi 12 (dua belas) bulan, kecuali karena perjanjian sewa termasuk leasing.
  32. Penguasaan adalah penggunaan dan/atau penguasaan fisik kendaraan bermotor oleh orang/pribadi atau Badan dengan bukti penguasaan yang sah menurut ketentuan perundangan yang berlaku.
  33. Tarif Progresif adalah tarif pajak kendaraan bermotor dengan persentase yang naik atau lebih tinggi dengan semakin bertambahnya jumlah kendaraan bermotor yang dimiliki dan/atau dikuasai oleh orang pribadi berdasarkan nama dan/atau alamat yang sama.
  34. Nilai Jual Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat NJKB adalah Nilai Jual Kendaraan Bermotor yang dijadikan sebagai salah satu Dasar Pengenaan Pajak yang dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu yang ditetapkan dalam peraturan yang berlaku.
  35. Harga Pasaran Umum yang selanjutnya disingkat HPU adalah dari harga rata-rata yang diperoleh dari pasaran umum antara lain, Agen Tunggal Pemegang Merk (ATPM) atau Asosiasi Penjual Kendaraan Bermotor.
  36. Surat Pendaftaran Objek Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat SPOPD, adalah surat yang digunakan Wajib Pajak untuk mendaftarkan diri dan melaporkan objek pajak atau usahanya ke Dinas Pelayanan Pajak
  37. Surat Pendaftaran dan Pendataan Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat SPPKB adalah surat yang berfungsi sebagai permohonan STNK, Pendaftaran Kendaraan Bermotor, Dasar Penetapan Pajak dan permohonan penetapan SWDKLLJ.
  38. Surat Pendaftaran dan Pendataan Kendaraan Bermotor Pengesahan yang selanjutnya disebut SPPKB Pengesahan adalah surat yang berfungsi sebagai permohonan pengesahan STNK tahunan atau 5 (lima) tahunan yang menjelaskan identitas kendaraan bermotor dan data kepemilikan.
  39. Surat Setoran Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SSPD adalah Bukti Pembayaran atau Penyetoran Pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke Kas Daerah melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Kepala Daerah.
  40. Surat Ketetapan Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat SKPD adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak yang terutang.
  41. Surat Tagihan Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat STPD adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
  42. Sanksi Administrasi berupa bunga, kenaikan dan/atau denda adalah tanggungan atau pembebanan diluar pokok pajak terutang sebagai akibat pelanggaran administrasi perpajakan.
  43. Penagihan Pajak adalah Serangkaian Tindakan agar penanggung pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan cara menegur, memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan surat paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan dan menjual barang yang telah disita.
  44. Surat Teguran, Surat Peringatan atau Surat Lain yang sejenis adalah Surat yang diterbitkan oleh pejabat untuk menegur atau memperingatkan wajib pajak untuk melunasi utang pajaknya.
  45. Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, Surat Ketetapan Pajak Daerah, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil, Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar, atau terhadap pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga yang diajukan oleh Wajib Pajak.
  46. Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan yang membetulkan kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan dalam penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan daerah yang terdapat dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, Surat Ketetapan Pajak Daerah, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil, Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar, Surat Tagihan Pajak Daerah, Surat Keputusan Pembetulan, atau Surat Keputusan Keberatan.
  47. Kekhilafan adalah keadaan tidak sadar atau lupa dari diri Wajib Pajak atau pada kondisi tertentu sulit untuk menentukan pilihan dalam memenuhi kewajiban PKB pada waktunya.
  48. Bukan karena kesalahannya adalah keadaan di luar diri Wajib Pajak atau sebab lain di luar kekuasaan wajib pajak.
  49. Buku Pemilik Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat BPKB adalah tanda bukti kepemilikan yang sah suatu kendaraan bermotor dan merupakan sumber identifikasi dari kendaraan bermotor tersebut berasal usul, riwayat maupun data yang menyangkut pemilik, domisili dan fisik dari pada kendaran tersebut.
  50. Nomor Indentifikasi Kendaraan yang selanjutnya disingkat NIK adalah surat sertifikat yang memuat data identifikasi dari nama perusahaan perakit, alamat, merk, jenis, nomor mesin dan nomor rangka kendaraan bermotor.
  51. Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat STNK adalah surat yang diterbitkan oleh Kepolisian Republik Indonesia sebagai bukti registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor yang berisikan identitas kepemilikan, identitas kendaraan bermotor dan masa berlaku.
  52. Tanda Nomor Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat TNKB adalah tanda registrasi pendaftaran yang antara lain berisi kode wilayah pendaftaran, nomor pendaftaran kendaraan bermotor dan masa berlaku.
  53. Jenis Kendaraan Bermotor adalah jenis kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Umum.
  54. Isi Silinder adalah isi ruang yang berbentuk bulat torak pada mesin kendaraan bermotor yang ikut menentukan besarnya kekuatan mesin.
  55. Tenaga Kuda/Horse Power adalah ukuran daya kemampuan mesin.
  56. Koefisien adalah angka yang ditentukan dalam menunjukan pengaruh terhadap tingkat kerusakan jalan dan pencemaran lingkungan oleh kendaraan bermotor.
  57. Tahun Pembuatan adalah tahun perakitan dan/atau tahun yang ditetapkan berdasarkan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor oleh pihak yang berwenang.
  58. Harga Kosong (off the road) adalah harga kendaraan bermotor di wilayah Pabean Republik Indonesia yang antara lain dari pabrikan/agen penjualan termasuk Pajak Pertambahan Nilai.
  59. Harga Isi (on the road) adalah harga kendaraan bermotor di wilayah Pabean Republik Indonesia yang antara lain dari pabrikan/agen penjualan termasuk Pajak Pertambahan Nilai, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Pajak Kendaraan Bermotor.

BAB II
PEMUNGUTAN PKB

Bagian Kesatu
Sistem Pemungutan

Pasal 2


PKB terutang ditetapkan oleh Kepala Dinas Pelayanan Pajak dengan menerbitkan SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan.


Bagian Kedua
Objek Pajak

Pasal 3


(1) Objek pajak PKB adalah kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor.
(2) Termasuk dalam pengertian kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah :
  1. kendaraan bermotor beserta gandengannya, yang dioperasikan disemua jenis jalan daratan;dan
  2. kendaraan bermotor yang dioperasikan di air dengan ukuran isi kotor GT 5 (lima Gross Tonnage) sampai dengan GT 7 (tujuh Gross Tonnage).
(3) Dikecualikan dari objek pajak kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah :
a. kereta api;
b. kendaraan bermotor yang semata-mata digunakan untuk keperluan pertahanan dan keamanan negara, seperti :
  1. truck dan bus pengangkut personil TNI dan Polri;
  2. kendaraan bermotor TNI dan Polri yang digunakan untuk sistem telekomunikasi pertahanan dan keamanan negara;
  3. kendaraan bermotor TNI dan Polri anti teror;
  4. kendaraan bermotor TNI dan Polri untuk keperluan operasional lalu lintas (mobil patroli dan sejenisnya) keamanan negara;
  5. mobil tahanan untuk keamanan negara antara lain seperti mobil tahanan Kejaksaan, Lembaga Pemasyarakatan, Kepolisian/TNI, Satpol PP; dan
  6. kendaraan tempur lainnya.
c. kendaraan bermotor yang dimiliki dan/atau dikuasai kedutaan, konsulat, perwakilan negara asing dengan azas timbal balik, dan lembaga-lembaga internasional yang memperoleh pembebasan pajak dari pemerintah; dan
d. kendaraan bermotor yang dimiliki dan/atau dikuasai oleh pabrikan atau importir yang semata-mata disediakan untuk keperluan pameran dan tidak untuk dijual.


Bagian Ketiga
Subjek Pajak dan Wajib Pajak

Pasal 4


(1) Subjek Pajak PKB adalah orang pribadi atau badan yang memiliki dan/atau menguasai kendaraan bermotor.
(2) Wajib Pajak PKB adalah orang pribadi atau badan yang memiliki kendaraan bermotor.
(3) Dalam hal Wajib Pajak Badan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kewajiban perpajakan diwakili oleh pengurus atau kuasa Badan tersebut.
(4) Lembaga Pendanaan seperti Leasing atau Bank, dapat menjadi Wajib Pajak, apabila :
  1. Kendaraan bermotor berada dalam kepemilikan lembaga pendanaan dan belum diserahkan kepada subjek pajak yang menguasai kendaraan bermotor; dan
  2. PKB yang terutang tidak dibayar oleh subjek pajak/pihak debitur yang menguasai kendaraan bermotor.


Bagian Keempat
Saat Terutang Pajak
        
Pasal 5


(1) PKB yang terutang terjadi pada saat kepemilikan atau penguasaan kendaraan bermotor.
(2) Saat kepemilikan atau penguasaan kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan ketentuan sebagai berikut :
  1. jual beli, terjadi pada tanggal yang tercantum dalam faktur atau invoice atau kuitansi;
  2. sewa beli melalui lembaga keuangan (leasing/bank) penguasaan kendaraan bermotor terjadi pada saat tanggal penandatanganan perjanjian;
  3. hadiah, terjadi pada tanggal yang tercantum dalam akta notaris/surat keterangan pemberian hadiah;
  4. hibah/warisan, terjadi pada tanggal yang tercantum dalam akta notaris;
  5. eks kedutaan, konsuler, eks lembaga internasional, terjadi pada tanggal yang tercantum dalam risalah lelang/atau keterangan dari kedutaan, konsuler dan lembaga internasional;
  6. eks lelang atau penghapusan atau dum termasuk kendaraan bermotor milik Pemerintah Pusat/Daerah, TNI dan Polri, terjadi pada tanggal yang tercantum dalam risalah lelang atau penghapusan atau dum; atau
  7. mutasi dari luar Daerah, terjadi pada saat tanggal pencabutan dokumen kendaraan bermotor yang diterbitkan oleh instansi berwenang daerah asal kendaraan bermotor.


Bagian Kelima
Masa Pajak

Pasal 6


(1) PKB dikenakan untuk masa pajak 12 (dua belas) bulan berturut-turut terhitung mulai saat pendaftaran kendaraan bermotor.
(2) PKB terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilunasi sekaligus dimuka.


BAB III
DASAR PENGENAAN PAJAK, TARIF PAJAK
DAN TARIF PAJAK PROGRESIF

Bagian Kesatu
Dasar Pengenaan Pajak

Pasal 7


(1) Dasar Pengenaan Pajak adalah NJKB yang dinyatakan dalam suatu tabel yang ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri setelah mendapat pertimbangan dari Menteri Keuangan.
(2) Dalam hal NJKB tidak tercantum dalam tabel yang ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka NJKB dapat ditetapkan oleh Gubernur.
(3) Penetapan NJKB sebagaimana dimaksud pada ayat (2), di usulkan oleh Gubernur kepada Menteri Dalam Negeri sebagai bahan perhitungan penetapan NJKB tahun berikutnya.


Pasal 8


(1) Penetapan NJKB oleh Gubernur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) dilakukan berdasarkan permohonan penetapan NJKB seperti dari ATPM, importir atau pabrikan/produsen Kendaraan Bermotor.
(2) Permohonan penetapan NJKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat secara tertulis kepada Gubernur melalui Kepala Dinas Pelayanan Pajak dan diajukan selambat-lambatnya 30 (tiga) puluh hari sebelum kendaraan bermotor yang diajukan penetapan NJKB di jual atau dipasarkan kepada masyarakat.
(3) Permohonan penetapan NJKB sebagaimana dimaksud pada ayat (2), sekurang-kurangnya menyebutkan:
  1. merek/tipe kendaraan;
  2. isi silinder; dan
  3. tahun Pembuatan.
(4) Berdasarkan permohonan penetapan NJKB sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kepala Dinas Pelayanan Pajak menetapkan NJKB dengan terlebih dahulu dilakukan pembahasan oleh Tim Penilaian dan Perhitungan NJKB yang dibentuk oleh Gubernur.
(5) Tim Penilaian dan Perhitungan NJKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan pembahasan sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam 1 (satu) minggu.
(6) Hasil pembahasan Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (2), sebagai dasar penetapan NJKB oleh Kepala Dinas Pelayanan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
(7) Untuk percepatan dan efisiensi penerimaan PKB, maka penetapan NJKB sebagaimana tersebut pada ayat (6), dapat dijadikan pedoman perhitungan PKB dan BBN-KB yang terutang, dengan terlebih dahulu ditetapkan dalam Keputusan Kepala Dinas Pelayanan Pajak.
(8) Keputusan Penetapan NJKB oleh Kepala Dinas Pelayanan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (7), merupakan dasar usulan penetapan NJKB oleh Gubernur.
(9) Usulan penetapan NJKB sebagaimana dimaksud pada ayat (8) disampaikan kepada Gubernur dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan atau per semester.
(10) Ketentuan lebih lanjut yang bersifat teknis mengenai tata cara perhitungan dan penetapan NJKB diatur dengan Peraturan Kepala Dinas Pelayanan Pajak.


Bagian Kedua
Tarif Pajak

Pasal 9


Tarif PKB ditetapkan sebagai berikut :
  1. kepemilikan atau penguasaan kendaraan bermotor pertama oleh orang pribadi/badan sebesar 1,50% (satu koma lima nol persen);
  2. kepemilikan atau penguasaan kendaraan bermotor oleh Pemerintah Pusat/Daerah, TNI dan Polri, sebesar 0,50% (nol koma lima nol persen);
  3. angkutan umum, ambulan, mobil jenazah dan pemadam kebakaran, sebesar 0,50% (nol koma lima nol persen);
  4. kendaraan bermotor yang digunakan kegiatan sosial keagamaan, lembaga sosial dan keagamaan sebesar 0,50% (nol koma lima nol persen); dan
  5. Alat-alat berat dan Alat-alat besar, sebesar 0,20% (nol koma dua nol persen).


Bagian Ketiga
Pajak Progresif
    
Pasal 10


(1) Pajak Progresif kendaraan bermotor dikenakan terhadap kendaraan bermotor kedua dan seterusnya yang dimiliki dan/atau dikuasai oleh orang pribadi berdasarkan nama dan/atau alamat yang sama.
(2) Pajak Progresif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikenakan untuk kendaraan bermotor yang sejenis.
(3) Dikecualikan dari pengenaan Pajak Progresif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) :
  1. Kendaraan bermotor yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat/Daerah, TNI dan POLRI;
  2. Kendaraan bermotor yang dimiliki oleh badan usaha;
  3. Kendaraan bermotor angkutan umum penumpang atau barang sesuai dengan izin dari Dinas Perhubungan yang dimiliki oleh perorangan;
  4. Kendaraan bermotor pemadam kebakaran, ambulance dan mobil jenazah; dan
  5. Kendaraan bermotor alat-alat berat dan alat-alat besar.


Pasal 11


Tarif Pajak Progresif, ditetapkan sebagai berikut :
  1. untuk kepemilikan atau penguasaan kendaraan bermotor Kedua, sebesar 2% (dua persen);
  2. untuk kepemilikan atau penguasaan kendaraan bermotor Ketiga, sebesar 2,50% (dua koma lima nol persen); dan
  3. untuk kepemilikan atau penguasaan kendaraan bermotor Keempat dan seterusnya, sebesar 4% (empat persen).


Bagian Keempat
Cara Penghitungan PKB

Pasal 12


(1) Besarnya pokok PKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dengan Dasar Pengenaan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.
(2) Besarnya tarif Pajak Progresif yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dengan Dasar Pengenaan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.


BAB IV
PENDAFTARAN DAN PELAPORAN

Bagian Kesatu
Pendaftaran

Pasal 13


(1) Setiap orang pribadi atau Badan yang memiliki dan/atau menguasai kendaraan bermotor baru atau bukan baru (bekas pakai), wajib melakukan pendaftaran kendaraan bermotor pada Dinas Pelayanan Pajak dalam hal ini Unit Pelayanan PKB dan BBN-KB pada Kantor Bersama Samsat (KB Samsat) dengan menggunakan SPOPD atau SPPKB atau SPPKB Pengesahan.
(2) SPOPD atau SPPKB atau SPPKB Pengesahan harus diisi dengan jelas, lengkap dan benar serta ditandatangani oleh Wajib Pajak atau Penanggung Pajak.
(3) Pendaftaran kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan ketentuan sebagai berikut :
a. pendaftaran kendaraan bermotor meliputi pendaftaran kendaraan bermotor karena:
  1. jual beli;
  2. hadiah;
  3. hibah/warisan;
  4. eks korps diplomatik konsuler dan badan internasional;
  5. penghapusan/dump TNI/POLRI/Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah; atau
  6. mutasi dari luar Daerah.
b. pendaftaran kendaraan bermotor perubahan TNKB;
c. pendaftaran kendaraan bermotor perubahan bentuk;dan
d. pendaftaran kendaraan bermotor perubahan mesin.
(4) Pendaftaran kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dilakukan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak :
  1. terjadinya pemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor baru;
  2. tanggal faktur kendaraan;
  3. hari setelah perubahan bentuk, fungsi maupun penggantian mesin dari karoseri/bengkel resmi untuk setiap kendaraan bermotor yang mengalami perubahan bentuk fungsi maupun penggantian mesin;
  4. terjadinya pemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor karena lelang yang belum memenuhi kewajiban pendaftaran BBN I;
  5. terjadinya pemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor karena penghapusan/dum TNI/POLRI/Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah; atau
  6. tanggal fiskal antar Daerah bagi kendaraan bermotor pindah dari luar Daerah.
(5) Pendaftaran kendaraan bermotor bukan baru (bekas pakai) dilakukan selambat-lambatnya pada tanggal berakhirnya masa berlaku pajak atau pengesahan STNK.
(6) Pendaftaran kendaraan bermotor terhadap perubahan TNKB sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, dilakukan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum dilakukan perubahan TNKB.
(7) Pendaftaran kendaraan bermotor terhadap perubahan bentuk sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c dan perubahan mesin sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d, dilakukan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah perubahan bentuk atau mesin.


Bagian Kedua
Persyaratan Pendaftaran

Pasal 14


Pendaftaran kendaraan bermotor baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1), wajib melampirkan persyaratan untuk:
a. Kendaraan bermotor milik Orang pribadi, melampirkan :
  1. fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau identitas lainnya dan menunjukkan aslinya;
  2. fotokopi Kartu Keluarga (KK);
  3. faktur kendaraan bermotor; dan
  4. PIUD yang dilampiri dengan contoh A/CKD kecuali untuk sepeda motor.
b. Kendaraan bermotor milik Badan, melampirkan :
  1. fotokopi atau salinan akta pendirian;
  2. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) Badan Hukum;
  3. surat kuasa dengan menggunakan kop surat badan hukum yang bermeterai cukup dan ditandatangani oleh pimpinan dari badan hukum serta dibubuhi cap badan hukum yang bersangkutan;
  4. fotokopi identitas penerima kuasa;
  5. faktur kendaraan bermotor; dan
  6. Pemberitahuan Import Barang (PIB) yang dilampiri Form A/CBU atau Form C/CBU (khusus untuk kendaraan built up) kecuali untuk sepeda motor
c. Kendaraan bermotor milik Pemerintah Pusat/Daerah/TNI/POLRI, melampirkan :
  1. surat keterangan dengan menggunakan kop surat Pemerintah Pusat/Daerah/TNI/POLRI dari pejabat yang berwenang serta dibubuhi cap dari instansi yang bersangkutan, yang menjelaskan kepemilikan kendaraan bermotor;
  2. surat tugas atau kuasa bermeterai cukup dan ditandatangani oleh pejabat yang berwenang serta dibubuhi cap instansi yang bersangkutan;
  3. fotokopi identitas penerima kuasa;
  4. faktur kendaraan bermotor; dan
  5. Pemberitahuan Impor Barang (PIB) yang dilampiri dengan contoh A/CKD kecuali untuk sepeda motor.


Pasal 15


Selain harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, pendaftaran kendaraan bermotor baru harus dilengkapi dokumen-dokumen sebagai berikut :
a. Karena jual beli, menambahkan lampiran :
  1. kuitansi pembelian bermeterai cukup;
  2. sertifikat uji tipe atau tanda bukti lulus uji tipe, atau buku tanda bukti lulus uji berkala, dan NIK;
  3. surat keterangan yang dibuat pada kop surat dari perusahaan karoseri yang berbadan hukum untuk kendaraan bermotor yang berubah bentuk;
  4. surat keterangan dari Dinas Perhubungan bagi kendaraan bermotor angkutan umum; dan
  5. surat pelepasan hak atau hasil lelang dalam hal kepemilikan atau penguasaan diperoleh dari pelelangan oleh badan hukum atau perusahaan.
b. Karena hadiah, menambahkan lampiran :
  1. surat bukti pemberian hadiah;
  2. sertifikat uji tipe atau tanda bukti lulus uji tipe, atau buku tanda bukti lulus uji berkala, dan Nomor Identifikasi Kendaraan (NIK);dan
  3. surat pernyataan/keterangan bermeterai cukup dari pemberi hadiah, apabila pemberi hadiah adalah Yayasan, Lembaga/Badan Usaha, Surat Pernyataan dibuat di atas kop surat, dicap dan ditandatangani oleh pimpinan.
c. Karena hibah/warisan, menambahkan lampiran :
  1. akte hibah/waris dari Notaris;
  2. surat keterangan kematian dari Pejabat yang berwenang atau Kelurahan, jika pemberi hibah/waris telah meninggal dunia;
  3. surat persetujuan hibah/waris dari ahli waris lainnya yang diketahui oleh Lurah setempat;
  4. STNK asli;
  5. BPKB asli; dan
  6. khusus kendaraan bermotor yang belum melunasi bea masuknya, wajib melampirkan formulir C dari Bea Cukai, pengecualian dari syarat ini diatur oleh Direktorat Jenderal Bea Cukai.
d. Eks Kedutaan, Konsulat Jenderal, perwakilan negara asing dan eks Lembaga Internasional, menambahkan lampiran :
  1. STNK Corps Diplomatic (CD)/Corps Consulat (CC) yang lama;
  2. aplikasi pembelian/kuitansi pembelian/penetapan lelang; dan
  3. formulir B untuk kendaraan bermotor built up.
e. Eks penghapusan/dum, eks lelang negara (termasuk TNI/Polri) menambahkan lampiran :
  1. surat keputusan lelang Negara/Daerah dan kuitansi pembelian;
  2. STNK asli;
  3. BPKB asli; dan
  4. daftar kolektif kendaraan bermotor yang telah dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang.
f. Karena pindah/mutasi dari luar daerah :
1. kepemilikan Orang pribadi, menambahkan lampiran :
a) fiskal atau tanda lunas pajak dari Daerah asal;
b) STNK asli;
c) BPKB asli; dan
d) surat keputusan lelang Negara/Daerah dan kuitansi pembelian.
2. untuk badan, menambahkan lampiran :
a) fotokopi akta pendirian;
b) kuitansi pembelian;
c) fiskal atau tanda lunas pajak dari Daerah asal;
d) STNK asli;
e) BPKB asli; dan
f) surat keputusan lelang Negara/Daerah atau lelang swasta.
g. Perubahan jenis, fungsi, dan mesin kendaraan bermotor :
  1. surat keterangan perubahan jenis, fungsi dan mesin dari kepolisian setempat;
  2. surat keterangan perubahan jenis, fungsi dan mesin dari Agen Tunggal Pemegang Merk (ATPM); dan
  3. surat keterangan perubahan jenis dan fungsi dari Karoseri.


Pasal 16


(1) Pendaftaran kendaraan bermotor bukan baru (bekas pakai) atau pendaftaran perpanjangan/daftar ulang kepemilikan dan/atau penguasaan :
a. Orang pribadi, wajib melampirkan :
  1. fotokopi KTP dengan menunjukkan KTP aslinya;
  2. fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dengan menunjukkan aslinya, khusus untuk kendaraan bermotor dengan Nilai Jual Kendaraan Bermotor (NJKB) di atas Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah), kecuali pemilik kendaraan yang masih menjadi tanggungan orang tua/perwalian/pengampuan wajib melampirkan NPWP atas nama orang tua/perwalian/pengampuan;
  3. fotokopi STNK dan aslinya;
  4. fotokopi BPKB dengan menunjukkan aslinya; dan
  5. surat keterangan dari perusahaan leasing (asli) untuk kendaraan bermotor dengan cara sewa beli.
b. Badan wajib melampirkan :
  1. fotokopi KTP Direksi dengan menunjukkan KTP aslinya;
  2. surat kuasa dengan menggunakan kop surat yang bermeterai cukup dan ditandatangani oleh direksi/pengurus serta dibubuhi cap Badan Usaha yang bersangkutan bilamana pendaftaran atau pelaporan dikuasakan;
  3. Akta Pendirian atau perubahan;
  4. fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dengan menunjukkan aslinya;
  5. fotokopi STNK dan aslinya;
  6. fotokopi BPKB dengan menunjukkan aslinya;
  7. surat keterangan dari perusahaan leasing (asli) untuk kendaraan bermotor dengan cara sewa beli; dan
  8. surat keterangan domisili perusahaan dari Kelurahan kecuali untuk Kawasan Berikat atau sejenisnya.
(2) Pendaftaran kendaraan bermotor perpanjangan/daftar ulang milik Instansi Pemerintah, TNI dan POLRI, wajib melampirkan :
  1. surat keterangan dari pejabat yang berwenang dan ditandatangani serta dibubuhi cap instansi yang bersangkutan;
  2. foto kopi STNK dan aslinya; dan
  3. foto kopi BPKB dengan menunjukkan aslinya.
(3) Pendaftaran kendaraan bermotor perpanjangan/daftar ulang karena perubahan TNKB :
a. Orang pribadi, wajib melampirkan :
  1. fotokopi KTP dengan menunjukkan KTP aslinya;
  2. fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dengan menunjukkan aslinya, khusus untuk kendaraan bermotor dengan Nilai Jual Kendaraan Bermotor (NJKB) di atas Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah), kecuali pemilik kendaraan yang masih menjadi tanggungan orang tua/perwalian/pengampuan wajib melampirkan NPWP atas nama orang tua/perwalian/pengampuan;
  3. fotokopi STNK lama dengan menunjukkan aslinya;
  4. persetujuan tertulis TNKB baru dari Kepolisian;
  5. bukti pembayaran pajak tahun terakhir; dan
  6. fotokopi BPKB dengan menunjukkan aslinya.
b. Badan, wajib melampirkan :
  1. fotokopi KTP Direksi/Pengurus dengan menunjukkan KTP aslinya;
  2. surat kuasa dengan menggunakan kop surat yang bermeterai cukup dan ditandatangani oleh direksi/pimpinan serta dibubuhi cap Badan Usaha yang bersangkutan bilamana pendaftaran atau pelaporan dikuasakan;
  3. Akta Pendirian atau perubahan;
  4. fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dengan menunjukkan aslinya;
  5. fotokopi STNK lama dengan menunjukkan aslinya;
  6. persetujuan tertulis TNKB baru dari Kepolisian;
  7. bukti pembayaran pajak tahun terakhir;
  8. fotokopi BPKB dengan menunjukkan aslinya; dan
  9. surat keterangan domisili perusahaan dari Kelurahan kecuali untuk Kawasan Berikat atau sejenisnya.
(4) Pendaftaran untuk perubahan bentuk dan/atau mesin :
a. Orang pribadi, wajib melampirkan :
  1. fotokopi KTP dengan menunjukkan KTP aslinya;
  2. fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dengan menunjukkan aslinya, khusus untuk kendaraan bermotor dengan Nilai Jual Kendaraan Bermotor (NJKB) di atas Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah), kecuali pemilik kendaraan yang masih menjadi tanggungan orang tua/ perwalian/pengampuan wajib melampirkan NPWP atas nama orang tua/perwalian/pengampuan;
  3. fotokopi STNK lama dengan menunjukkan aslinya;
  4. surat keterangan dari perusahan karoseri untuk perubahan bentuk atau surat keterangan dari bengkel resmi yang memiliki NPWP untuk perubahan mesin;
  5. bukti pembayaran pajak tahun terakhir; dan
  6. foto kopi BPKB dengan menunjukkan aslinya.
b. Badan, wajib melampirkan :
  1. fotokopi KTP Direksi/Pengurus dengan menunjukkan KTP aslinya;
  2. surat kuasa dengan menggunakan kop surat yang bermeterai cukup dan ditandatangani oleh direksi/pimpinan serta dibubuhi cap Badan Usaha yang bersangkutan bilamana pendaftaran atau pelaporan dikuasakan;
  3. Akta Pendirian atau perubahan;
  4. fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dengan menunjukkan aslinya;
  5. fotokopi STNK lama dengan menunjukkan aslinya;
  6. surat keterangan dari perusahan karoseri untuk perubahan bentuk atau surat keterangan dari bengkel resmi yang memiliki NPWP untuk perubahan mesin;
  7. bukti pembayaran pajak tahun terakhir;
  8. fotokopi BPKB dengan menunjukkan aslinya; dan
  9. surat keterangan domisili perusahaan dari Kelurahan kecuali untuk Kawasan Berikat Nasional (KBN) atau sejenisnya.
(5) Terhadap pendaftaran perpanjangan/daftar ulang kendaraan bermotor bukan baru (bekas pakai) yang dilakukan setelah jatuh tempo masa pajak sebagaimana tercantum dalam SKPD atau STNK, dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan yang dihitung sejak berakhirnya masa pajak.


Pasal 17


Terhadap kendaraan bermotor yang pindah ke luar daerah, wajib melampirkan persyaratan sebagai berikut :
a. Kepemilikan Orang pribadi, melampirkan :
  1. surat permohonan mutasi/pindah ke luar daerah secara tertulis disertai alasan yang jelas, menyebutkan daerah tujuan dan bermaterai cukup;
  2. surat keterangan permintaan pindah ke luar daerah dari Instansi yang berwenang/BPKD daerah yang dituju;
  3. identitas pemohon;
  4. fotokopi Kartu Keluarga (KK); dan
  5. surat pernyataan bermeterai cukup yang menyatakan bahwa pajak kendaraan bermotor pada tahun berkenan telah dilunasi atau tidak terutang pajak.
b. Kepemilikan Badan, melampirkan:
  1. surat permohonan mutasi/pindah ke luar daerah secara tertulis disertai alasan yang jelas, menyebutkan daerah tujuan dan bermeterai cukup yang dibuat pada kop surat, ditandatangani oleh pimpinan yang berwenang dan di stempel;
  2. surat keterangan permintaan pindah ke luar daerah dari Instansi yang berwenang/BPKD daerah yang dituju;
  3. identitas pemohon; dan
  4. surat pernyataan bermeterai cukup yang menyatakan bahwa pajak kendaraan bermotor pada tahun berkenan telah dilunasi atau tidak terutang pajak.


Bagian Ketiga
Pelaporan

Pasal 18


(1) Setiap kendaraan bermotor yang telah terdaftar pada Kantor Bersama Samsat dan dilepas/diserahkan hak kepemilikan atau penguasaannya karena jual beli/hibah/waris/hadiah/penghapusan/dump kepada pihak lain, harus dilaporkan atas pelepasan/penyerahan hak dimaksud pada Unit Pelayanan PKB dan BBN-KB.
(2) Pelaporan atas pelepasan/penyerahan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menggunakan surat pemberitahuan atau surat keterangan pelepasan/penyerahan hak yang tersedia pada Unit Pelayanan PKB dan BBN-KB.
(3) Pelaporan atas pelepasan/penyerahan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), disampaikan dalam jangka waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak terjadinya pelepasan/penyerahan hak.
(4) Surat pemberitahuan atau surat keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya memuat :
  1. merk/tipe kendaraan;
  2. tahun pembuatan kendaraan;
  3. TNKB; dan
  4. nama dan alamat penjual.
(5) Penyampaian pelaporan atas pelepasan/penyerahan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (3), disampaikan pada Unit Pelayanan PKB dan BBN-KB dengan melampirkan :
  1. fotokopi KTP;
  2. fotokopi KK; dan
  3. foto kopi kuitansi penjualan (bila ada).
(6) Berdasarkan surat pemberitahuan atas pelepasan hak kepemilikan atau penguasaan kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kepala Unit Pelayanan PKB dan BBN-KB melakukan pemblokiran kendaraan bermotor yang telah dilepas haknya atas penguasaannya


Pasal 19


(1) Untuk menghindari pengenaan tarif pajak progresif, Wajib Pajak atau Penanggung Pajak, yang belum atau tidak melaporkan pelepasan atau penyerahan hak kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor dapat meminta informasi data kepemilikan kendaraan bermotor pada Unit Pelayanan PKB dan BBN-KB di Kantor Bersama Samsat sebelum melakukan pendaftaran.
(2) Berdasarkan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wajib Pajak mengisi dan menyampaikan surat pemberitahuan atau keterangan yang tersedia pada Unit Pelayanan PKB dan BBN-KB di Kantor Bersama Samsat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2), sebagai penyesuaian data urutan kepemilikan atau penguasaan kendaraan bermotor yang dimiliki Wajib Pajak.


Pasal 20


Bentuk formulir SPOPD atau SPPKB atau SPPKB Pengesahan atau surat pendaftaran sejenisnya, surat pemberitahuan atau keterangan pelaporan sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Peraturan Gubernur ini.


BAB V
KETETAPAN PAJAK

Pasal 21


(1) Berdasarkan formulir SPOPD atau SPPKB atau SPPKB Pengesahan atau Surat Pendaftaran sejenisnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1), Kepala Unit Pelayanan PKB dan BBN-KB melakukan penelitian dan perhitungan PKB yang terutang dengan menerbitkan SSPD atau SKKP atau dokumen lain yang dipersamakan.
(2) SSPD atau SKKP atau dokumen lain yang dipersamakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), mencantumkan jumlah PKB yang terutang, SWDKLLJ, biaya administrasi STNK, dan biaya administrasi TNKB, serta sanksi administrasi berupa bunga yang harus dibayar oleh Wajib Pajak.
(3) PKB yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dihitung sekaligus dimuka untuk masa 12 (dua belas) bulan.
(4) Berdasarkan bukti pembayaran PKB dalam SSPD atau SKKP atau dokumen lain yang dipersamakan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), selanjutnya diterbitkan SKPD.
(5) Bentuk dan tata cara penerbitan SSPD atau SKKP atau dokumen lain yang dipersamakan dan SKPD ditetapkan dengan Keputusan Kepala Dinas Pelayanan Pajak.


BAB VI
TATA CARA PEMBAYARAN DAN PENUNDAAN
PEMBAYARAN

Bagian Kesatu
Tata Cara Pembayaran

Pasal 22


(1) Berdasarkan SSPD atau SKKP atau dokumen lain yang dipersamakan yang terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1), Wajib Pajak atau Penanggung Pajak membayar atau melunasi PKB yang terutang secara tunai pada Unit Pelayanan Kas BPKD yang berada di Kantor Samsat atau bank atau tempat lain yang ditunjuk Gubernur.
(2) Pembayaran PKB yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterbitkannya SSPD atau SKKP atau dokumen lain yang dipersamakan.
(3) Apabila jatuh tempo pembayaran PKB jatuh pada hari libur, maka pembayaran dilakukan pada hari kerja berikutnya.
(4) Apabila pembayaran pajak dilakukan setelah tanggal jatuh tempo pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan, untuk jangka waktu paling lama 15 (lima belas) bulan sejak diterbitkannya SSPD atau SKKP atau dokumen lain yang dipersamakan dan ditagih dengan STPD.


Pasal 23


(1) Pembayaran PKB dapat dilakukan dengan cash cheque atau giro bilyet pada :
  1. Unit Pelayanan Kas Samsat;
  2. Bank; atau
  3. tempat lain yang ditunjuk seperti Gerai Pajak yang di dalamnya terdapat bank.
(2) Pembayaran melalui cash cheque dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 1 (satu) hari atau melalui giro bilyet dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) hari sebelum tanggal jatuh tempo pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2).
(3) Pembayaran melalui cash cheque atau giro bilyet sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Pembayaran melalui cash cheque :
  1. SSPD atau SKKP atau dokumen lain yang dipersamakan yang akan dibayar melalui cash cheque disampaikan kepada petugas Unit Pelayanan Kas Samsat yang berada di Kantor Samsat atau petugas Bank atau petugas bank pada Gerai Pajak;
  2. Untuk petugas Unit Pelayanan Kas Samsat yang berada di Kantor Samsat sebelum memberikan validasi pembayaran pada SSPD atau SKKP atau dokumen lain yang dipersamakan, terlebih dahulu harus melakukan konfirmasi kepada Bank DKI atau bank lain yang ditunjuk untuk mengetahui ketersediaan dana atas sejumlah nilai cash cheque tersebut;
  3. Apabila berdasarkan konfirmasi dari pihak Bank terdapat ketersediaan dana sesuai dengan nominal yang tertera dalam SSPD atau SKKP atau dokumen lain yang dipersamakan, maka petugas Unit Pelayanan Kas Samsat Penerima Pembayaran memvalidasi SSPD atau SKKP atau dokumen lain yang dipersamakan dimaksud dan menyerahkannya kepada Wajib Pajak;
  4. Berdasarkan SSPD atau SKKP atau dokumen lain yang dipersamakan yang telah dibayar dan telah divalidasi oleh petugas Unit Pelayanan Kas Samsat atau petugas bank atau petugas bank pada Gerai Pajak, Wajib Pajak menyerahkan SSPD atau SKKP atau dokumen lain yang dipersamakan kepada Unit Pelayanan PKB dan BBN-KB untuk diterbitkan SKPD; dan
  5. SKPD diserahkan kepada Wajib Pajak atau Penanggung Pajak.
b. Pembayaran melalui giro bilyet :
  1. SSPD atau SKKP atau dokumen lain yang dipersamakan yang akan dibayar melalui giro bilyet disampaikan kepada bank DKI atau bank lain yang ditunjuk Gubernur;
  2. Petugas bank hanya dapat memvalidasi SSPD atau SKKP atau dokumen lain yang dipersamakan, setelah dana giro bilyet benar-benar diterima oleh bank;
  3. Berdasarkan SSPD atau SKKP atau dokumen lain yang dipersamakan yang telah dilunasi dan divalidasi oleh bank, Wajib Pajak menyerahkan SSPD atau SKKP atau dokumen lain yang dipersamakan tersebut kepada Unit Pelayanan PKB dan BBN-KB untuk diterbitkan SKPD;
  4. Petugas Unit Pelayanan PKB dan BBN-KB melakukan konfirmasi pembayaran SSPD atau SKKP atau dokumen lain yang dipersamakan yang validasi oleh bank untuk memastikan kebenaran pembayaran pada bank sebelum diterbitkan SKPD; dan
  5. SKPD diserahkan kepada Wajib Pajak atau Penanggung Pajak.
(4) Ketentuan lebih lanjut yang bersifat teknis mengenai Tata cara pembayaran PKB melalui cash cheque dan giro bilyet diatur dengan Peraturan Kepala Dinas Pelayanan Pajak.


Bagian Kedua
Tata Cara Penundaan Pembayaran

Pasal 24


(1) Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan penundaan pembayaran PKB terutang dalam SSPD atau SKKP atau dokumen lain yang dipersamakan kepada Kepala Unit PKB dan BBN-KB.
(2) Penundaan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hanya diberikan dalam hal kendaraan bermotor yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat/Daerah, TNI dan Polri belum dianggarkan dalam APBN/APBD tahun berkenan.
(3) Penundaan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) se bulan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengajuan permohonan, persyaratan dan penerbitan keputusan penundaan pembayaran PKB, diatur dengan Peraturan Kepala Dinas Pelayanan Pajak.


BAB VII
PENAGIHAN PAJAK

Bagian Kesatu
STPD

Pasal 25


(1) Kepala Unit Pelayanan PKB dan BBN-KB menerbitkan STPD, apabila:
  1. PKB yang terutang dalam SSPD atau SKKP atau dokumen lain yang dipersamakan atau SKPD tidak atau kurang dibayar;
  2. Wajib pajak tidak mendaftarkan kendaraan bermotor setelah berakhirnya masa pajak atau tahun pajak sebagaimana yang tercantum dalam SKPD; atau
  3. Wajib Pajak dikenakan sanksi administrasi berupa bunga atau denda.
(2) Jumlah kekurangan pajak terutang dalam STPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk paling lama 15 (lima belas) bulan, sejak saat terutang pajak sampai dengan diterbitkan STPD.
(3) Ketentuan lebih lanjut yang bersifat teknis mengenai tata cara penerbitan STPD ditetapkan oleh Kepala Dinas Pelayanan Pajak.


Bagian Kedua
Surat Peringatan atau Surat Teguran atau Surat sejenisnya
 
Pasal 26


(1) Kepala Unit Pelayanan PKB dan BBN-KB, melakukan penagihan pajak dengan menerbitkan Surat Peringatan atau Surat Teguran, atau surat sejenisnya apabila :
  1. PKB terutang dalam SSPD atau SKKP atau dokumen lain yang dipersamakan atau SKPD, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan dan Putusan Banding, Surat Keputusan Penundaan Pembayaran dan STPD yang tidak atau kurang dibayar; atau
  2. Wajib Pajak tidak atau belum mendaftarkan kendaraan bermotor setelah berakhirnya masa atau tahun pajak.
(2) Pelaksanaan penagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan ketentuan sebagai berikut :
a. terlebih dahulu menerbitkan dan menyampaikan surat teguran, atau surat peringatan atau surat lain yang sejenis kepada Wajib Pajak atau Penanggung Pajak, dalam jangka waktu sekurang-kurangnya 21 (dua puluh satu) hari kerja setelah berakhirnya masa pajak atau tahun pajak, dengan rincian penyampaian surat penagihan yang disertai dengan tanda terima, dengan ketentuan sebagai berikut :
  1. surat peringatan atau surat teguran atau surat lain yang sejenis, untuk yang kesatu dengan berjangka waktu 7 (tujuh hari) sejak diterimanya oleh Wajib Pajak;
  2. apabila Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban membayar utang pajak maka diterbitkan surat peringatan atau surat teguran atau surat lain yang sejenis untuk yang kedua dengan berjangka waktu 7 (tujuh hari) sejak diterimanya oleh Wajib Pajak; dan
  3. apabila Wajib Pajak tidak juga memenuhi kewajiban membayar utang pajak maka diterbitkan surat peringatan atau surat teguran atau surat lain yang sejenis untuk yang ketiga dengan berjangka waktu 7 (tujuh hari) sejak diterimanya oleh Wajib Pajak.
b. Penyampaian surat peringatan atau surat teguran atau surat lain yang sejenis dilakukan oleh petugas Unit Pelayanan PKB dan BBN-KB atau dapat melalui Pos.
(3) Dalam hal wajib pajak setelah diberikan surat teguran atau surat peringatan atau surat lain yang sejenis melakukan pembayaran PKB yang terutang selanjutnya dilakukan pencatatan pembayaran dalam administrasi pembukuan penagihan pajak.
(4) Apabila Wajib Pajak setelah diberikannya surat  peringatan atau surat teguran atau surat lain yang sejenis sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Wajib Pajak tidak melakukan pembayaran PKB yang terutang, maka kepada Wajib Pajak dilakukan Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.
(5) Pelaksanaan Penagihan dengan Surat Paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.
(6) Bentuk dan tata cara penyampaian surat peringatan atau surat teguran, atau surat lain yang sejenis, diatur dengan Peraturan Kepala Dinas Pelayanan Pajak.


Bagian Ketiga
Surat Perintah Penagihan
Seketika dan Sekaligus

Pasal 27


(1) Penagihan pajak dapat dilakukan seketika dan sekaligus tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) atau tanggal berakhirnya jatuh tempo surat peringatan atau surat teguran atau surat lain yang sejenisnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, dengan terlebih dahulu menerbitkan dan menyampaikan Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus.
(2) Penagihan pajak seketika dan sekaligus dilakukan, apabila:
  1. Wajib Pajak atau Penanggung Pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya atau berniat untuk itu;
  2. Wajib Pajak atau Penanggung Pajak memindahkan barang yang dimiliki atau dikuasai dalam rangka menghentikan atau mengecilkan kegiatan perusahaan, atau pekerjaan yang dilakukan di Indonesia;
  3. terdapat tanda-tanda bahwa Wajib Pajak atau Penanggung Pajak akan membubarkan badan usahanya, atau menggabungkan usahanya, atau memekarkan usahanya, atau memindahtangankan perusahaan yang dimiliki atau dikuasainya, atau melakukan perubahan bentuk lainnya;
  4. Badan usaha akan dibubarkan oleh Negara; atau
  5. terjadi penyitaan atas barang Wajib Pajak atau Penanggung Pajak oleh pihak ketiga, atau terdapat tanda-tanda kepailitan.
(3) Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sekurang-kurangnya memuat :
a. Nama Wajib Pajak atau nama Penanggung Pajak;
b. identifikasi kendaraan bermotor, seperti :
  1. TNKB;
  2. merk/tipe kendaraan;
  3. isi silinder;
  4. tahun pembuatan; dan
  5. nomor rangka/mesin.
c. besarnya PKB terutang;
d. perintah untuk membayar; dan
e. jangka waktu pelunasan PKB.
(4) Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus diterbitkan dan disampaikan kepada Wajib Pajak, sebelum penerbitan Surat Paksa.
(5) Dalam pelaksanaan Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus, Petugas Dinas Pelayanan Pajak dapat menerima pembayaran jumlah PKB yang terutang berikut sanksi administrasi berupa bunga atau denda sebesar 2% (dua persen) dengan menerbitkan tanda terima pembayaran PKB.
(6) Pembayaran PKB terutang oleh petugas Dinas Pelayanan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5), wajib disetorkan ke Unit Pelayanan Kas Samsat yang berada di Kantor Samsat atau Bank DKI atau bank lain yang ditunjuk Gubernur, dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) x 24 (dua puluh empat) jam, dan apabila jangka waktu tersebut tidak memungkinkan karena telah melampaui jam kerja, maka penyetoran pembayaran dilakukan pada hari kerja berikutnya.
(7) SKPD dan STNK harus diambil sendiri oleh Wajib Pajak atau kuasanya berdasarkan surat kuasa dari Wajib Pajak.
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penagihan seketika dan sekaligus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Bagian Keempat
Surat Paksa

Pasal 28


(1) Kepala Dinas Pelayanan Pajak atau pejabat yang ditunjuk dapat menerbitkan Surat Paksa, apabila PKB yang terutang berdasarkan SSPD atau SKKP atau dokumen lain yang dipersamakan atau SKPD, Surat Keputusan Penundaan atau Angsuran Pembayaran, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Surat Putusan Banding tidak dilunasi oleh Wajib Pajak atau Penanggung Pajak.
(2) Penagihan pajak dengan Surat Paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan apabila kepada Wajib Pajak telah disampaikan :
  1. STPD;
  2. Surat peringatan atau surat teguran atau surat lain yang sejenis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26; dan
  3. Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27.
(3) Penagihan pajak dengan Surat Paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan dalam jangka waktu sekurang-kurangnya 21 (dua puluh satu) hari kerja sejak surat peringatan atau surat teguran atau surat lain yang sejenisnya atau Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus diterima oleh Wajib Pajak atau Penanggung Pajak.
(4) Pelaksanaan penagihan pajak dengan Surat Paksa dilakukan oleh Jurusita Pajak.


Pasal 29


(1) Surat Paksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) sekurang-kurangnya memuat :
a. Nama Wajib Pajak atau Penanggung Pajak;
b. dasar penagihan pajak;
c. identifikasi kendaraan bermotor, antara lain:
  1. TNKB;
  2. merk/tipe kendaraan;
  3. isi silinder;
  4. tahun Pembuatan; dan
  5. nomor rangka/mesin.
d. besarnya PKB terutang beserta sanksi administrasi;
e. jangka waktu pelunasan PKB;
f. jangka waktu surat paksa;
g. tanggal surat paksa ditandatangani; dan
h. nama dan jabatan penandatangan surat paksa oleh Jurusita Pajak.
(2) Sebelum penerbitan Surat Paksa, Dinas Pelayanan Pajak sekurang-kurangnya telah melakukan kegiatan, antara lain:
  1. penelitian dan pemeriksaan data PKB yang terutang untuk memastikan kebenaran jumlah nilai PKB;
  2. pemeriksaan dan pengawasan atas keberadaan Wajib Pajak dan/atau keberadaan kendaraan bermotor yang dimiliki dan/atau dikuasai Wajib Pajak;
  3. penelitian, pemeriksaan dan pengawasan atas keberadaan kendaraan bermotor yang disita oleh lembaga pendanaan keuangan (leasing/bank);
  4. data tunggakan PKB;
  5. data dokumen surat peringatan atau surat teguran atau surat lain yang sejenis beserta tanda terima yang ditandatangani atau diparaf oleh Wajib Pajak; dan
  6. data dokumen Surat Perintah Penagihan Pajak Seketika dan Sekaligus.
(3) Pelaksanaan kegiatan penelitian, pemeriksaan dan pengawasan dalam rangka pelaksanaan penagihan pajak dengan surat paksa, sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilakukan oleh Kepala Unit Pelayanan PKB dan BBN-KB.
(4) Dalam hal tertentu, pelaksanaan kegiatan penelitian, pemeriksaan dan pengawasan dalam rangka pelaksanaan penagihan pajak dengan surat paksa, sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan huruf c, dapat dilakukan oleh Jurusita Pajak berdasarkan penugasan dari Kepala Dinas Pelayanan Pajak.
(5) Untuk melaksanakan penagihan pajak dengan surat paksa dapat dibentuk Tim Pencairan Tunggakan PKB dan BBN-KB yang ditetapkan dengan Keputusan Kepala Dinas Pelayanan Pajak.


Pasal 30


(1) Penagihan pajak dengan Surat Paksa oleh Jurusita Pajak didasarkan pada surat tugas dari Kepala Dinas Pelayanan Pajak.
(2) Surat Paksa diberitahukan atau disampaikan oleh Jurusita Pajak kepada Wajib Pajak atau Penanggung Pajak, dengan ketentuan sebagai berikut :
a. Jurusita Pajak memberitahukan kepada Wajib Pajak atau Penanggung Pajak, mengenai :
  1. maksud dan tujuan penyampaian surat paksa;
  2. menjelaskan tahapan-tahapan penagihan yang telah dilakukan oleh Dinas Pelayanan Pajak; dan
  3. menjelaskan hal lainnya yang diminta oleh Wajib Pajak atau Penanggung Pajak terkait dengan pemberitahuan surat paksa.
b. Jurusita Pajak harus:
  1. menunjukan surat tugas;
  2. menunjukan identitas diri jurusita seperti atribut/tanda pengenal;
  3. menyerahkan salinan Surat Paksa; dan
  4. menyampaikan salinan surat paksa kepada Wajib Pajak atau Penanggung Pajak yang disertai dengan tanda terima.
(3) Pemberitahuan atau penyampaian Surat Paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dituangkan dalam Berita Acara yang sekurang-kurangnya memuat :
  1. hari dan tanggal pemberitahuan dan penyampaian Surat Paksa;
  2. nama Jurusita Pajak;
  3. nama Penerima Surat Paksa; dan
  4. tempat/lokasi disampaikannya Surat Paksa atau pemberitahuan.
(4) Pemberitahuan atau penyampaian Surat Paksa kepada orang pribadi dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut :
  1. untuk Wajib Pajak atau Penanggung Pajak di tempat tinggal atau tempat usaha atau tempat lain yang diberitahukan oleh Wajib Pajak atau Penanggung Pajak; atau
  2. dalam hal Wajib Pajak atau Penanggung pajak tidak dapat dijumpai maka Surat Paksa diberitahukan atau disampaikan kepada seorang yang telah dewasa yang bertempat tinggal bersama ataupun yang bekerja di tempat usaha dengan Wajib Pajak atau Penanggung Pajak; atau
  3. apabila Wajib Pajak atau Penanggung Pajak telah meninggal dunia, maka Surat Paksa diberitahukan atau disampaikan kepada ahli waris atau pelaksana wasiat atau yang mengurus harta peninggalan.
(5) Surat Paksa terhadap Badan diberitahukan atau disampaikan Jurusita kepada :
  1. pengurus/direksi baik ditempat badan yang bersangkutan maupun di tempat tinggal pengurus/direksi atau di tempat lain yang memungkinkan sesuai dengan permintaan dari pengurus/direksi; atau
  2. pegawai tetap di tempat kedudukan atau tempat usaha dari badan yang bersangkutan.
(6) Dalam hal Wajib Pajak atau Penanggung Pajak menunjuk seorang kuasa melalui surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan kewajiban PKB terutang, maka Surat Paksa diberitahukan atau disampaikan kepada penerima kuasa dimaksud.
(7) Apabila pemberitahuan atau penyampaian surat paksa tidak dapat dilaksanakan karena sesuatu hal maka Surat Paksa dapat disampaikan melalui Camat/Lurah sesuai tempat kedudukan Wajib Pajak.
(8) Ketentuan lebih lanjut yang bersifat teknis mengenai pemberitahuan atau penyampaian Surat Paksa diatur dengan Peraturan Kepala Dinas Pelayanan Pajak.


Pasal 31


(1) Dalam hal Wajib Pajak atau Penanggung Pajak atau pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30, menolak untuk menerima Surat Paksa, maka Jurusita Pajak meninggalkan surat paksa dimaksud kepada Wajib Pajak atau Penanggung Pajak atau pihak-pihak tersebut dan mencatatnya dalam berita acara bahwa Wajib Pajak atau Penanggung Pajak atau pihak-pihak tidak mau menerima surat paksa.
(2) Pemberitahuan atau penyampaian Surat Paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dianggap telah diberitahukan atau disampaikan.


Pasal 32


(1) Wajib Pajak atau Penanggung Pajak dapat melunasi pembayaran PKB yang terutang dalam jangka waktu 3 (tiga) x 24 (dua puluh empat) jam, setelah Surat Paksa diberitahukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2), dan kepadanya tidak dilakukan pelaksanaan penyitaan.
(2) Pelunasan pembayaran PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dilakukan melalui :
  1. petugas pelayanan Kas Penerima pembayaran pajak pada Kantor Bersama SAMSAT; atau
  2. petugas Jurusita Pajak yang disertai dengan tanda terima.
(3) Petugas Jurusita Pajak yang menerima pelunasan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, wajib menyetorkan pelunasan PKB tersebut ke Unit Pelayanan Kas Samsat dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) x 24 (dua puluh empat) jam.


Bagian Kelima
Penyitaan

Pasal 33


(1) Apabila setelah diberitahukan Surat Paksa, Wajib Pajak atau Penanggung Pajak tidak melunasi PKB yang terutang dalam jangka waktu yang ditetapkan dalam Surat Paksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1), Kepala Dinas Pelayanan Pajak atau Pejabat yang ditunjuk selanjutnya menerbitkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan (SPMP).
(2) Penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan oleh Jurusita Pajak Daerah dalam jangka waktu sekurang-kurangnya 2 (dua) x 24 (dua puluh empat) jam, dan dituangkan dalam Berita Acara Pelaksanaan Sita yang ditandatangani oleh Jurusita dan Wajib Pajak atau Penanggung Pajak, serta sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi.
(3) Penyitaan tetap dilaksanakan tanpa dihadiri oleh Wajib Pajak atau Penanggung Pajak dengan syarat salah seorang saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), berasal dari pejabat Kelurahan setempat.
(4) Dalam hal pelaksanaan penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Wajib Pajak atau Penanggung Pajak melunasi PKB terutang, maka pelaksanaan penyitaan dapat dihentikan dengan menerbitkan Surat Pencabutan Sita oleh Kepala Dinas Pelayanan Pajak atau pejabat yang ditunjuk.
(5) Surat Pencabutan Sita sebagaimana dimaksud pada ayat (4), disampaikan oleh Jurusita kepada Wajib Pajak atau Penanggung Pajak, apabila :
  1. Wajib Pajak atau Penanggung Pajak telah melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak;
  2. berdasarkan putusan pengadilan atau putusan pengadilan pajak; atau
  3. ditetapkan lain dengan Keputusan Gubernur.


Pasal 34


(1) Penyitaan dilaksanakan terhadap barang milik Wajib Pajak atau Penanggung Pajak yang berada di tempat tinggal, tempat usaha, tempat kedudukan atau di tempat lain termasuk yang penguasaannya berada di pihak lain atau yang dijanjikan sebagai pelunasan PKB terutang yang dapat berupa :
  1. barang bergerak termasuk mobil, perhiasan, uang tunai, dan deposito berjangka, tabungan, saldo rekening, giro atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu, obligasi saham, atau surat berharga lainnya, piutang, dan penyertaan modal pada perusahaan lain; dan/atau
  2. barang tidak bergerak termasuk tanah, bangunan dan kapal dengan isi kotor tertentu.
(2) Penyitaan terhadap Wajib Pajak berupa Badan dapat dilaksanakan terhadap barang milik perusahaan, pengurus, kepala perwakilan, kepala cabang, penanggung jawab, pemilik modal, baik di tempat kedudukan Badan, di tempat tinggal mereka, atau di tempat lainnya.
(3) Penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan sampai dengan nilai barang yang disita diperkirakan cukup oleh Jurusita untuk melunasi PKB terutang dan biaya penagihan pajak.


Bagian Keenam
Pelelangan Barang Sitaan

Pasal 35


(1) Apabila setelah dilakukan penyitaan terhadap barang milik Wajib Pajak atau Penanggung Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, Wajib Pajak atau Penanggung Pajak tidak melunasi PKB yang terutang dan biaya penagihan pajak, Kepala Dinas Pelayanan Pajak atau pejabat yang ditunjuk berwenang melaksanakan penjualan barang-barang sitaan milik Wajib Pajak atau Penanggung Pajak secara lelang.
(2) Sebelum pelaksanaan penjualan barang-barang sitaan milik Wajib Pajak atau Penanggung Pajak secara lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Dinas Pelayanan Pajak atau pejabat yang ditunjuk mengajukan permohonan atau permintaan lelang kepada Kantor Lelang.
(3) Penjualan barang-barang milik Wajib Pajak atau Penanggung Pajak yang disita secara lelang sebagaimana dimaksud ayat (1) dilaksanakan paling lambat dalam waktu sekurang-kurangnya 14 (empat belas) hari setelah pengumuman lelang melalui media massa.
(4) Pengumuman lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan paling lambat dalam waktu sekurang-kurangnya 14 (empat belas) hari setelah penyitaan.
(5) Pelaksanaan penjualan secara lelang atas barang-barang milik Wajib Pajak atau Penanggung Pajak, bertempat di Badan Lelang milik Pemerintah Pusat atau Swasta.
(6) Pelaksanaan lelang tetap dilakukan walaupun keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak belum memperoleh keputusan keberatan.
(7) Lelang tetap dapat dilaksanakan tanpa dihadiri oleh Wajib Pajak atau Penanggung Pajak.
(8) Lelang tidak dilaksanakan apabila Wajib Pajak atau Penanggung Pajak telah melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak atau berdasarkan putusan pengadilan, atau putusan pengadilan pajak, atau objek lelang musnah.


Pasal 36


(1) Pengajuan keberatan oleh Wajib Pajak atau Penanggung Pajak tidak mengakibatkan penundaan pelaksanaan penagihan pajak dengan Surat Paksa.
(2) Pelaksanaan penagihan pajak dengan surat paksa tidak mengakibatkan penundaan hak Wajib Pajak mengajukan keberatan pajak.
(3) Ketentuan lebih lanjut yang bersifat teknis mengenai pelaksanaan penagihan pajak dengan surat paksa diatur sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.


BAB VIII
KEBERATAN DAN BANDING

Bagian Kesatu
Keberatan

Pasal 37


(1) Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan keberatan PKB kepada Kepala Dinas Pelayanan Pajak atau Kepala Unit Pelayanan PKB dan BBN-KB atas suatu SKPD.
(2) Pengajuan permohonan keberatan PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memenuhi persyaratan formal sebagai berikut :
  1. permohonan dibuat secara tertulis dan disertai alasan yang jelas serta ditandatangani oleh Wajib Pajak;
  2. permohonan diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterimanya SKPD, kecuali apabila Wajib Pajak dapat menunjukan jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan diluar kekuasaannya; dan
  3. Wajib Pajak telah melakukan pembayaran PKB sejumlah perkalian tarif pajak dengan NJKB menurut perhitungan Wajib Pajak dengan menggunakan SSPD atau SKKP atau formulir lain yang sejenisnya serta dilengkapi surat pernyataan kesanggupan membayar PKB tersebut dengan bermeterai cukup.
(3) Permohonan keberatan PKB yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tidak dianggap sebagai surat permohonan keberatan, sehingga tidak dapat dipertimbangkan.
(4) Terhadap surat permohonan keberatan yang tidak dapat dipertimbangkan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dijawab melalui surat biasa.
(5) Permohonan pengajuan keberatan PKB, tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan penagihan pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 38


(1) Permohonan pengajuan keberatan PKB selain memenuhi persyaratan formal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2), harus melampirkan persyaratan lainnya sekurang-kurangnya sebagai berikut :
a. fotokopi identitas diri;
b. akta pendirian untuk Wajib Pajak Badan; dan
c. fotokopi dokumen yang dijadikan dasar pengajuan keberatan :
  1. faktur;
  2. bukti pembanding untuk type/merk, tahun pembuatan dan isi silinder yang sama;
  3. fotokopi STNK dan BPKB dengan memperlihatkan aslinya; dan
  4. bukti keterangan hilang dari Kepolisian serta laporan perkembangan kehilangan dan laporan diketemukan kembali kendaraan, apabila keberatan dikarenakan kendaraan bermotor hilang.
(2) Permohonan keberatan PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disampaikan langsung ke Kepala Dinas Pelayanan Pajak atau Kepala Unit Pelayanan PKB dan BBN-KB atau dapat melalui pos.
(3) Bukti tanda terima pengiriman permohonan keberatan PKB melalui pos sebagaimana dimaksud pada ayat (2), merupakan tanda terima bukti penerimaan keberatan.


Pasal 39


(1) Berdasarkan permohonan keberatan PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, Kepala Dinas Pelayanan Pajak atau Pajabat yang ditunjuk atau Kepala Unit Pelayanan PKB dan BBN-KB menerima dan meneliti persyaratan permohonan keberatan dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja.
(2) Dalam hal permohonan tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1), maka permohonan ditolak dengan menerbitkan surat keputusan penolakan yang disertai dengan alasan penolakan.
(3) Dalam hal permohonan memenuhi persyaratan formal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2) dan persyaratan material sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1), maka permohonan keberatan diproses.
(4) Penyelesaian permohonan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dapat dilakukan melalui Tim Pertimbangan Keberatan Pajak Daerah yang dibentuk berdasarkan Keputusan Kepala Dinas Pelayanan Pajak.
(5) Tim pertimbangan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), hanya memberikan pertimbangan dari aspek dasar hukum, kemampuan Wajib Pajak, dan aspek lainnya sebagai bahan pertimbangan Kepala Dinas Pelayanan Pajak atau Pejabat yang ditunjuk atau Kepala Unit Pelayanan PKB dan BBN-KB dalam mengambil keputusan.


Pasal 40


(1) Dalam hal permohonan keberatan memerlukan pemeriksaan lapangan, maka Kepala Dinas Pelayanan Pajak atau Pejabat yang ditunjuk atau Kepala Unit Pelayanan PKB dan BBN-KB dapat meminta kepada Petugas Pemeriksa untuk melakukan pemeriksaan lapangan yang hasilnya dituangkan dalam Laporan Pemeriksaan Pajak Daerah (LPPD).
(2) Terhadap surat permohonan keberatan yang tidak memerlukan pemeriksaan lapangan, Kepala Dinas Pelayanan Pajak atau Pejabat yang ditunjuk atau Kepala Unit Pelayanan PKB dan BBN-KB dapat meminta penjelasan mengenai perhitungan pajak kepada pejabat yang menerbitkan surat ketetapan pajak dan hasilnya dituangkan dalam laporan penjelasan perhitungan pajak terutang.
(3) LPPD atau penjelasan perhitungan pajak terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), disampaikan kepada Kepala Dinas Pelayanan Pajak atau Pejabat yang ditunjuk atau Kepala Unit Pelayanan PKB dan BBN-KB paling lambat 2 (dua) bulan sejak pemeriksaan lapangan atau penjelasan perhitungan pajak yang terutang diterima.


Pasal 41


(1) Berdasarkan laporan hasil pemeriksaan atau penjelasan perhitungan pajak terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40, Kepala Dinas Pelayanan Pajak atau Pejabat yang ditunjuk atau Kepala Unit Pelayanan PKB dan BBN-KB selanjutnya membuat surat uraian keberatan pajak.
(2) Berdasarkan surat uraian keberatan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Dinas Pelayanan Pajak atau Pejabat yang ditunjuk atau Kepala Unit Pelayanan PKB dan BBN-KB membuat petikan surat keputusan keberatan pajak.
(3) Kepala Bidang Peraturan dan Penyuluhan atau Kepala Unit Pelayanan PKB dan BBN-KB melaporkan petikan surat keputusan keberatan pajak kepada Kepala Dinas Pelayanan Pajak secara periodik.


Pasal 42


(1) Dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal surat permohonan keberatan diterima Kepala Dinas Pelayanan Pajak atau Pejabat yang ditunjuk atau Kepala Unit Pelayanan PKB dan BBN-KB, harus memberi jawaban atas permohonan keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak atau kuasanya, yang dituangkan dalam surat keputusan keberatan.
(2) Surat keputusan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat berupa :
  1. menerima seluruhnya;
  2. menerima sebagian;
  3. menolak; atau
  4. menambah besarnya pajak terutang.
(3) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terlampaui, dan Kepala Dinas Pelayanan Pajak atau Pejabat yang ditunjuk atau Kepala Unit Pelayanan PKB dan BBN-KB tidak memberikan keputusan, maka permohonan keberatan dianggap dikabulkan.
(4) Dalam hal keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah pajak berdasarkan surat keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan dan ditagih dengan STPD.
(5) Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan banding pada pengadilan pajak, maka sanksi administrasi berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) sebagaimana dimaksud pada ayat (4), tidak dikenakan.
(6) STPD sebagaimana dimaksud pada ayat (4), tidak diterbitkan apabila Wajib Pajak yang mengajukan banding sebagaimana dimaksud pada ayat (5), terlebih dahulu harus memberitahukan secara tertulis dengan meterai cukup paling lama 14 (empat belas) hari sejak diterimanya surat keputusan keberatan kepada Kepala Dinas Pelayanan Pajak atau Pejabat yang ditunjuk atau Kepala Unit Pelayanan PKB dan BBN-KB.
(7) Wajib Pajak yang mengajukan banding sebagaimana dimaksud pada ayat (6), harus menyampaikan bukti tanda terima pendaftaran banding dari pengadilan pajak sebagai bukti pendukung surat pemberitahuan dimaksud.
(8) Dalam hal wajib pajak tidak menyampaikan surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan tanda bukti pendaftaran banding sebagaimana dimaksud pada ayat (7), atas sanksi denda sebesar 50% (lima puluh persen) tetap ditagih dengan STPD.


Pasal 43


(1) Kepala Dinas Pelayanan Pajak dapat melimpahkan sebagian kewenangan penyelesaian permohonan keberatan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1), kepada Kepala Unit Pelayanan PKB dan BBN-KB.
(2) Batasan kewenangan penyelesaian keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Peraturan Kepala Dinas Pelayanan Pajak.


Bagian Kedua
Banding

Pasal 44


(1) Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding kepada Pengadilan Pajak, atas keputusan keberatan pajak.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia, dengan alasan yang jelas, dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak keputusan keberatan diterima, dengan dilampirkan salinan dari surat keputusan tersebut.
(3) Terhadap per satu keputusan keberatan, diajukan per satu surat banding.
(4) Pengajuan permohonan banding tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan penagihan pajak.
(5) Dalam hal permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda 100% (seratus persen) dari jumlah pajak berdasarkan putusan banding dikurangi dengan pembayaran pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.
(6) Dalam hal pengajuan permohonan banding, dapat diajukan pernyataan pencabutan kepada pengadilan pajak.


Pasal 45


Tata cara dan pelaksanaan banding dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.


BAB IX
PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK

Pasal 46


(1) Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran PKB berdasarkan perhitungan Wajib Pajak secara tertulis, kepada Kepala Dinas Pelayanan Pajak atau atau Kepala Unit Pelayanan PKB dan BBN-KB.
(2) Apabila PKB yang telah dilunasi karena keadaan kahar (force majeure), masa pajaknya tidak sampai 12 (dua belas) bulan dapat dilakukan restitusi atau kompensasi atas pajak yang telah dibayar untuk sisa masa pajak yang belum dilalui/dimanfaatkan.
(3) Permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sekurang-kurangnya menyebutkan :
  1. nama dan alamat Wajib Pajak;
  2. indentitas kendaraan bermotor;
  3. masa pajak;
  4. besarnya pembayaran PKB;
  5. perhitungan pajak menurut Wajib Pajak; dan
  6. besarnya kelebihan pembayaran pajak.
(4) Pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), melampirkan :
  1. fotokopi identitas diri/KTP;
  2. fotokopi bukti pembayaran PKB yang disertai aslinya;
  3. fotokopi Surat Keputusan Keberatan atau Surat Keputusan Banding dengan memperlihatkan aslinya; dan
  4. fotokopi STNK.
(5) Terhadap permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan kepada Wajib Pajak untuk mengetahui atas kebenaran permohonan tersebut, kecuali pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang didasarkan pada keputusan banding majelis hakim pengadilan.
(6) Dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak diterimanya permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Dinas Pelayanan Pajak atau Kepala Unit Pelayanan PKB dan BBN-KB, harus memberikan keputusan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dan menerbitkan SKPDLB dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan.
(7) Putusan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dapat berupa restitusi atau kompensasi.
(8) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (6), telah terlampaui dan Kepala Dinas Pelayanan Pajak atau Kepala Unit Pelayanan PKB dan BBN-KB tidak memberikan keputusan, maka permohonan pengembalian kelebihan pembayaran dianggap dikabulkan dan SKPDLB harus diterbitkan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan.
(9) Apabila Wajib Pajak mempunyai utang Pajak Daerah, kelebihan pembayaran PKB, langsung diperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu utang Pajak Daerah tersebut.
(10) Pengembalian kelebihan pembayaran PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dan ayat (9), dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan sejak diterbitkannya SKPDLB.
(11) Pengembalian kelebihan pembayaran PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (10), dilakukan oleh Kepala BPKD, berdasarkan permohonan permintaan dari Dinas Pelayanan Pajak.
(12) Apabila pengembalian kelebihan pembayaran PKB dilakukan setelah lewat jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (10), Kepala BPKD memberikan imbalan berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan atas keterlambatan pembayaran kelebihan pembayaran pajak yang dihitung sejak diterbitkannya SKPDLB.
(13) Ketentuan lebih lanjut yang bersifat teknis mengenai pemberian imbalan berupa bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (12), diatur dengan Peraturan Kepala Dinas Pelayanan Pajak.


BAB X
PEMBETULAN, PEMBATALAN,
PENGURANGAN KETETAPAN,
DAN PENGHAPUSAN ATAU
PENGURANGAN SANKSI ADMINISTRASI

Bagian Kesatu
Pembetulan

Pasal 47


(1) Kepala Dinas Pelayanan Pajak atau Kepala Unit Pelayanan PKB dan BBN-KB, karena jabatannya atau atas permohonan Wajib Pajak dapat membetulkan SSPD dan/atau SKPD yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan dalam penerapan Peraturan Daerah.
(2) Dalam hal pembetulan SSPD dan/atau SKPD dilakukan atas permohonan Wajib Pajak, surat permohonan disampaikan kepada Kepala Dinas Pelayanan Pajak atau Kepala Unit Pelayanan PKB dan BBN-KB, dalam jangka waktu 4 (empat) bulan setelah surat ketetapan pajak atau SSPD diterima, kecuali apabila Wajib Pajak dapat menunjukan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaan Wajib Pajak.
(3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dibuat secara tertulis dalam bahasa Indonesia yang baik, disertai alasan yang jelas, diberi tanggal, bulan, tahun, ditandatangani oleh Wajib Pajak atau kuasanya di atas meterai, dengan melampirkan persyaratan :
a. Kepemilikan Orang pribadi :
  1. melampirkan foto kopi KTP; dan
  2. SSPD dan/atau SKPD yang dimohonkan pembetulan.
b. Kepemilikan Badan :
  1. melampirkan fotokopi akta pendirian; dan
  2. SSPD dan/atau SKPD yang dimohonkan pembetulan.
(4) Penyelesaian permohonan pembetulan SSPD dan/atau SKPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak diterimanya surat permohonan.


Pasal 48


(1) Terhadap SSPD dan/atau SKPD yang akan dibetulkan baik karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak, terlebih dahulu dilakukan penelitian administrasi dan/atau peraturan perpajakan yang berlaku.
(2) Apabila dari hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ternyata terdapat kesalahan tulis, kesalahan, hitung dan/atau kekeliruan dalam penerapan Peraturan Daerah, maka SSPD dan/atau SKPD tersebut selanjutnya dilakukan pembetulan.
(3) Pembetulan SSPD dan/atau SKPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilakukan dengan menerbitkan SSPD dan/atau SKPD baru dan memberi tanda silang, paraf serta mencantumkan kata-kata "dibatalkan" pada SSPD dan/atau SKPD sebelumnya dan selanjutnya disimpan sebagai arsip dalam administrasi perpajakan.
(4) Penerbitan SSPD dan/atau SKPD baru didahului dengan menerbitkan Surat Keputusan Pembetulan dari Kepala Unit Pelayanan PKB dan BBN-KB.


Pasal 49


(1) SSPD dan/atau SKPD sebagaimana dimaksud dalam  Pasal 48 ayat (3), harus disampaikan kepada Wajib Pajak paling lambat 14 (empat belas) hari sejak diterbitkannya SSPD dan/atau SKPD tersebut.
(2) SSPD dan/atau SKPD pembetulan wajib dilunasi dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterbitkan.


Pasal 50


(1) Dalam hal permohonan wajib Pajak ditolak maka Kepala Dinas Pelayanan Pajak atau Kepala Unit Pelayanan PKB dan BBN-KB segera menerbitkan Surat Keputusan Penolakan Pembetulan Surat Ketetapan Pajak/SSPD.
(2) Kepala Unit Pelayanan PKB dan BBN-KB melaporkan secara berkala kepada Kepala Dinas Pelayanan Pajak atas pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
 

Bagian Kedua
Penghapusan atau Pengurangan Sanksi Administrasi

Pasal 51


(1) Kepala Dinas Pelayanan Pajak atau Kepala Unit Pelayanan PKB dan BBN-KB dapat menghapuskan atau mengurangkan sanksi administrasi berupa bunga yang terutang sesuai ketentuan menurut Peraturan Daerah, dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya.
(2) Penghapusan sanksi administrasi berupa bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan dalam hal sanksi administrasi dikenakan bukan karena kesalahan Wajib Pajak.
(3) Pengurangan sanksi administrasi berupa bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan terhadap kekhilafan Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban PKB.
(4) Pengurangan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), diberikan terhadap :
  1. sanksi administrasi akibat keterlambatan pembayaran PKB; dan
  2. sanksi administrasi yang tercantum dalam notice/SSPD atau SKPD yang telah diterbitkan.


Pasal 52


Penghapusan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (2), dilakukan dengan mengajukan permohonan secara tertulis dengan menyebutkan alasan yang jelas, dan permohonan diajukan kepada Kepala Dinas Pelayanan Pajak atau Kepala Unit Pelayanan PKB dan BBN-KB, dengan melampirkan persyaratan sebagai berikut :
  1. identitas diri;
  2. identifikasi kendaraan;
  3. fotokopi SSPD/SKPD dengan memperlihatkan aslinya; dan
  4. bukti atau dokumen lain yang mendukung permohonan penghapusan.


Pasal 53


(1) Pengurangan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada Pasal 51 ayat (3), dilakukan dengan mengajukan Permohonan secara tertulis disertai alasan yang jelas kepada Kepala Dinas Pelayanan Pajak atau Kepala Unit Pelayanan PKB dan BBN-KB, dengan ketentuan sebagai berikut :
a. Sanksi administrasi akibat keterlambatan pembayaran PKB :
1. Permohonan dibuat dalam bahasa Indonesia yang baik, diberi tanggal, bulan, tahun, ditandatangani oleh Wajib Pajak atau kuasanya di atas materai cukup, dengan ketentuan sebagai berikut :
a) untuk jumlah sanksi administrasi di atas Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) per SKPD, surat permohonan diajukan kepada Kepala Dinas Pelayanan Pajak; atau
b) untuk jumlah sanksi administrasi sampai dengan Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) per SKPD, surat permohonan diajukan kepada Kepala Unit PKB dan BBN-KB.
2. untuk pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud pada angka 1, harus melampirkan:
a. Kepemilikan Orang pribadi :
1) surat pernyataan khilaf yang dibuat diatas materai cukup dan ditandatangani oleh wajib Pajak, dengan menyebutkan alasan kekhilafan;
2) fotokopi KTP atau identitas diri; dan
3) SSPD yang akan dilakukan pembayaran.
b. Kepemilikan Badan :
1) Surat pernyataan khilaf yang dibuat diatas materai cukup dan ditandatangani oleh wajib Pajak, dengan menyebutkan alasan kekhilafan;
2) fotokopi Akta pendirian; dan
3) SSPD yang akan dilakukan pembayaran.
3. Permohonan sebagaimana dimaksud pada angka 1, diajukan paling lama 1 (satu) bulan sejak diterimanya SSPD atau SKPD; dan
4. Surat pernyataan kesanggupan kemampuan pembayaran sanksi administrasi dari Wajib Pajak bermaterai cukup.
b. Pengurangan sanksi administrasi pada SSPD atau SKPD yang telah diterbitkan :
1. Permohonan dibuat dalam bahasa Indonesia yang baik, diberi tanggal, bulan, tahun, ditandatangani oleh Wajib Pajak atau kuasanya di atas materai cukup, dengan ketentuan sebagai berikut :
a) untuk jumlah sanksi administrasi di atas Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) per SKPD, surat permohonan diajukan kepada Kepala Dinas Pelayanan Pajak; dan
b) untuk jumlah sanksi administrasi sampai dengan Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) per SKPD, surat permohonan diajukan kepada Kepala Unit PKB dan BBN-KB.
2. Permohonan sebagaimana dimaksud pada angka 1, harus melampirkan :
a) Kepemilikan Orang pribadi :
1) Surat pernyataan khilaf yang dibuat di atas materai cukup dan ditandatangani oleh wajib Pajak, dengan menyebutkan alasan kekhilafan;
2) fotokopi KTP atau identitas diri yang diakui;
3) Bukti pembayaran PKB yang terutang; dan
4) SSPD atau SKPD yang akan dilakukan pembayaran.
b) Kepemilikan Badan :
1) Surat pernyataan khilaf yang dibuat di atas materai cukup dan ditandatangani oleh wajib Pajak, dengan menyebutkan alasan kekhilafan;
2) fotokopi Akta pendirian;
3) Bukti pembayaran PKB yang terutang; dan
4) SSPD atau SKPD yang akan dilakukan pembayaran.
3. Jangka waktu pengajuan permohonan pengurangan sanksi administrasi, sebagaimana tersebut pada angka 2 huruf a) dan huruf b), diajukan paling lambat pada tanggal jatuh tempo pembayaran PKB dalam SSPD atau SKPD;
4. Surat pernyataan kesanggupan kemampuan pembayaran sanksi administrasi dari Wajib Pajak harus bermaterai cukup dan memenuhi kriteria kesulitan likuiditas yang dapat dibuktikan:
a) Kepemilikan Orang pribadi :
1) kendaraan mengalami force majeure berupa bencana alam, seperti kendaraan terendam banjir dan kendaraan terbakar;
2) kendaraan hilang yang dibuktikan surat keterangan kehilangan kendaraan bermotor dari Kepolisian;
3) kendaraan dalam keadaan disita oleh instansi yang berwenang, yang dibuktikan dengan surat penyitaan; atau
4) kendaraan rusak berat, yang dibuktikan dengan surat keterangan dari Bengkel yang memiliki Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) disertai bukti foto kendaraan.
b) Kepemilikan Badan, berupa Laporan Keuangan yang telah diaudit akuntan publik atau internal audit yang dapat diterima kewajarannya.


Pasal 54


(1) Berdasarkan permohonan penghapusan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 dan pengurangan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53, Kepala Dinas Pelayanan Pajak atau Kepala Unit Pelayanan PKB dan BBN-KB, melakukan penelitian surat permohonan beserta lampirannya.
(2) Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Dinas Pelayanan Pajak atau Kepala Unit Pelayanan PKB dan BBN-KB dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak diterimanya permohonan, harus memberikan jawaban menerima atau menolak permohonan.
(3) Dalam hal permohonan diterima, jawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ditetapkan maka dalam bentuk keputusan penghapusan atau pengurangan sanksi administrasi.
(4) Berdasarkan surat keputusan penghapusan dan pengurangan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), selanjutnya dilakukan pembetulan atau pembatalan SSPD atau SKPD yang telah diterbitkan, dengan cara :
  1. menerbitkan SSPD atau SKPD baru yang sanksi administrasi dihapuskan atau dikurangkan;dan
  2. memberikan tanda silang atau kalimat pembatalan/pembetulan pada SSPD atau SKPD yang diterbitkan sebelumnya.
(5) Dalam hal permohonan ditolak, karena tidak atau belum terpenuhinya persyaratan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 dan Pasal 53, maka Kepala Dinas Pelayanan Pajak atau Kepala Unit Pelayanan PKB dan BBN-KB dalam jangka waktu 1 (satu) bulan harus menerbitkan surat penolakan penghapusan atau pengurangan sanksi administrasi.
(6) Ketentuan lebih lanjut yang bersifat teknis mengenai persyaratan permohonan penghapusan atau pengurangan sanksi administrasi serta kemampuan membayar diatur dengan Peraturan Kepala Dinas Pelayanan Pajak.


Bagian Ketiga
Pengurangan dan Pembatalan SKPD

Pasal 55


(1) Kepala Dinas Pelayanan Pajak atau Kepala Unit Pelayanan PKB dan BBN-KB, karena jabatannya atau atas permohonan Wajib Pajak dapat memberikan pengurangan dan pembatalan SKPD yang tidak benar dalam penerbitannya.
(2) Pengurangan dan pembatalan SKPD yang tidak benar sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat diberikan apabila terjadi :
  1. kesalahan dalam menetapkan tarif;
  2. kesalahan dalam menetapkan NJKB;
  3. kesalahan dalam menginput identifikasi kendaraan bermotor;
  4. kesalahan dalam menghitung dan menetapkan jumlah pajak yang terutang; atau
  5. kesalahan dalam menentukan saat pendaftaran, sehingga menimbulkan pajak terutang lebih besar atau pengenaan sanksi administrasi.
(3) Pengurangan dan pembatalan SKPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi jumlah pokok pajak beserta sanksi administrasi yang tercantum dalam SKPD.
(4) Tata cara pengajuan permohonan pengurangan dan pembatalan SKPD diatur dengan ketentuan sebagai berikut :
a. permohonan diajukan secara tertulis dari wajib pajak dibuat dalam bahasa Indonesia, dan ditandatangani oleh Wajib Pajak atau kuasanya, dengan melampirkan :
  1. surat ketetapan pajak yang diajukan permohonannya; dan
  2. dokumen yang mendukung diajukannya permohonan.
b. berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada huruf a, Kepala Unit Pelayanan PKB dan BBN-KB melakukan penelitian SKPD yang dimohon dan mempelajari data atau fakta yang menjadi alasan atau dasar pengurangan dan pembatalan SKPD;
c. apabila berdasarkan penelitian dan alasan atau dasar sebagaimana dimaksud pada huruf b, ternyata terdapat ketidakbenaran dalam penerbitan SKPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka terhadap SKPD tersebut dilakukan pengurangan dan pembatalan dengan cara menghitung ulang kembali;
d. perhitungan ulang kembali berisi jumlah pajak terutang beserta sanksi administrasi;
e. menerbitkan SKPD hasil pengurangan pokok pajak beserta sanksi administrasinya; dan
f. terhadap SKPD yang diterbitkan sebelumnya, dibatalkan dengan cara memberi tanda silang atau kalimat pembatalan.


Pasal 56


Ketentuan lebih lanjut yang bersifat teknis mengenai pelaksanaan Pembetulan, Pembatalan, Pengurangan Ketetapan atau Penghapusan atau Pengurangan Sanksi Administrasi diatur dengan Peraturan Kepala Dinas Pelayanan Pajak.


BAB XI
PENGHAPUSAN PIUTANG PAJAK DAN TATA CARA
PENGHAPUSAN PIUTANG PAJAK

Bagian Kesatu
Penghapusan Piutang Pajak

Pasal 57


(1) Gubernur karena jabatannya berwenang menghapuskan piutang Pajak Daerah yang sudah kadaluwarsa berdasarkan permohonan penghapusan piutang pajak dari Kepala Dinas Pelayanan Pajak.
(2) Penghapusan piutang Pajak Daerah meliputi pokok pajak dan sanksi administrasi berupa kenaikan, bunga dan denda.
(3) Penghapusan piutang Pajak Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan terhadap piutang pajak yang tidak dapat atau tidak mungkin ditagih lagi, karena hak untuk melakukan penagihan sudah kadaluwarsa setelah melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun, terhitung sejak saat terutangnya Pajak Daerah.
(4) Permohonan penghapusan piutang Pajak Daerah sekurang-kurangnya memuat :
a. Nama Wajib Pajak atau Penanggung Pajak:
  1. berupa Badan, yaitu nama wajib pajak atau penanggung pajak yang tercantum dalam akte pendirian; atau
  2. berupa orang pribadi yaitu nama yang tercantum dalam SKPD.
b. identifikasi kendaraan bermotor;
c. tahun pajak;
d. jumlah piutang pajak daerah beserta sanksi administrasi; dan
e. melampirkan foto kopi SKPD yang terutang.
(5) Gubernur dapat menghapuskan piutang pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dengan ketentuan sebagai berikut :
  1. menetapkan penghapusan piutang Pajak Daerah sampai dengan Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) per SKPD;
  2. menetapkan penghapusan piutang Pajak Daerah diatas Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) per SKPD setelah mendapat persetujuan DPRD.
(6) Ketentuan lebih lanjut yang bersifat teknis mengenai Penghapusan Piutang Pajak diatur dengan Peraturan Kepala Dinas Pelayanan Pajak.


Pasal 58


(1) Terhadap piutang pajak yang tidak dapat atau tidak mungkin ditagih lagi, akan tetapi belum Kedaluwarsa, dimasukan kedalam Daftar Cadangan Penghapusan Piutang Pajak Daerah, sampai terpenuhinya masa Kadaluwarsa.
(2) Piutang pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai :
  1. Wajib Pajak/Penanggung Pajak meninggal dunia yang dibuktikan dengan Surat Keterangan Kematian dari Instansi yang berwenang dan tidak meninggalkan harta kekayaan/warisan berdasarkan laporan hasil pemeriksaan Petugas Dinas Pelayanan Pajak; atau
  2. Wajib Pajak/Penanggung Pajak tidak mempunyai harta kekayaan lagi, berdasarkan laporan hasil pemeriksaan Petugas Dinas Pelayanan Pajak; atau
  3. Wajib Pajak/Penanggung Pajak yang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan, dan dari hasil penjualan hartanya tidak mencukupi untuk melunasi utang pajaknya; atau
  4. Wajib Pajak/Penanggung Pajak yang tidak ditemukan keberadaannya; atau
  5. Wajib Pajak/Penanggung Pajak meninggalkan Indonesia untuk selamanya; atau
  6. Wajib Pajak/Penanggung Pajak menangung musibah akibat, kondisi force majeure.
(3) Terhadap piutang pajak yang dicadangkan sebagai piutang pajak yang akan dihapuskan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak dilakukan lagi tindakan penagihan.


Bagian Kedua
Tata Cara Penghapusan Piutang Pajak

Pasal 59


(1) Setiap awal tahun takwim, Kepala Dinas Pelayanan Pajak dapat mengajukan permohonan penghapusan piutang pajak untuk masa tahun pajak sebelumnya kepada Gubernur.
(2) Permohonan penghapusan piutang pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan setelah Kepala Dinas Pelayanan Pajak memperoleh data Daftar Usulan Penghapusan Piutang Pajak Daerah dan Daftar Cadangan Penghapusan Piutang Pajak Daerah dari Kepala Unit Pelayanan PKB dan BBN-KB.
(3) Data Daftar Usulan Penghapusan Piutang Pajak Daerah dan Daftar Cadangan Penghapusan Piutang Pajak Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), selanjutnya dilakukan penelitian oleh Kepala Bidang Pengendalian dan Pembinaan Pajak Daerah yang meliputi:
  1. piutang pajak beserta sanksi administrasi yang tercantum dalam SKPD;
  2. upaya penagihan pajak telah dilakukan dengan cara menerbitkan STPD dan Surat Paksa;
  3. telah dilakukan pemeriksaan terhadap kendaraan bermotor yang dimiliki wajib pajak oleh Pemeriksa Dinas Pelayanan Pajak; dan
  4. laporan hasil pemeriksaan yang menjelaskan bahwa kendaraan bermotor dimaksud sudah tidak dimiliki lagi oleh wajib pajak atau kendaraan bermotor tersebut sudah tidak digunakan lagi karena rusak berat atau force majeure atau hilang.


Pasal 60


(1) Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (3), Kepala Bidang Pengendalian dan Pembinaan Pajak Daerah selanjutnya membuat :
  1. Daftar Usulan Penghapusan Piutang Pajak Daerah; dan
  2. Daftar Cadangan Penghapusan Piutang Pajak Daerah.
(2) Daftar Usulan Penghapusan Piutang Pajak Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, sekurang-kurang memuat :
a. Nama Wajib Pajak atau Penanggung Pajak:
  1. berupa Badan, yaitu nama waijb pajak atau penanggung pajak yang tercantum dalam akte pendirian; atau
  2. berupa Orang pribadi yaitu nama yang tercantum dalam SKPD.
b. identifikasi kendaraan bermotor;
c. tahun pajak;
d. jumlah piutang pajak daerah beserta sanksi administrasi; dan
e. melampirkan foto kopi SKPD yang terutang.
(3) Daftar Cadangan Usulan Penghapusan Piutang Pajak Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, sekurang-kurang memuat:
  1. piutang pajak yang diusulkan untuk dihapus disertai alasan yang jelas;
  2. piutang pajak yang dicadangkan untuk dihapus disertai alasan yang jelas; dan
  3. piutang pajak yang masih dapat ditagih.


Pasal 61


(1) Berdasarkan Daftar sebagaimana dalam Pasal 60 ayat (1) huruf a, Kepala Dinas Pelayanan Pajak selanjutnya menyampaikan permohonan penghapusan piutang Pajak Daerah kepada Gubernur.
(2) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetujui, Gubernur menetapkan Penghapusan Piutang Pajak Daerah dengan Keputusan Gubernur.
(3) Berdasarkan Keputusan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kepala Dinas Pelayanan Pajak menerbitkan petikan Keputusan Gubernur tentang Penghapusan Piutang Pajak Daerah per SKPD.
(4) Kepala Unit Pelayanan PKB dan BBN-KB selanjutnya mengadministrasikan dan menghapuskan piutang Pajak Daerah dari Daftar Piutang Pajak Daerah sesuai Petikan Keputusan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(5) Tindasan petikan Keputusan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (3), sekurang-kurangnya disampaikan kepada :
  1. Sekretaris Daerah;
  2. Kepala BPKD; dan
  3. Inspektur.


Pasal 62


(1) Dalam hal permohonan penghapusan piutang Pajak Daerah yang harus mendapat persetujuan DPRD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (5) huruf b, Gubernur selanjutnya menetapkan Penghapusan Piutang Pajak Daerah dengan Keputusan Gubernur.
(2) Berdasarkan Keputusan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Dinas Pelayanan Pajak menerbitkan petikan Keputusan Gubernur tentang Penghapusan Piutang Pajak Daerah per SKPD.
(3) Kepala Unit Pelayanan PKB dan BBN-KB selanjutnya mengadministrasikan dan menghapuskan piutang Pajak Daerah dari Daftar Piutang Pajak Daerah, sesuai Petikan Keputusan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Tindasan petikan Keputusan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (2), sekurang-kurangnya disampaikan kepada :
  1. DPRD
  2. Sekretaris Daerah;
  3. Kepala BPKD; dan
  4. Inspektur.


BAB XII
PENGURANGAN, KERINGANAN DAN PEMBEBASAN PAJAK

Bagian Kesatu
Pengurangan

Pasal 63


(1) Atas permohonan Wajib Pajak Gubernur melalui Kepala Dinas Pelayanan Pajak atau Kepala Unit Pelayanan PKB dan BBN-KB, dapat memberikan pengurangan PKB yang terutang setinggi-tingginya 50% (lima puluh persen) dari pokok pajak.
(2) Pengurangan PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan terhadap kendaraan bermotor yang dipergunakan untuk kepentingan sosial dan keagamaan yang tidak bersifat komersil antara lain:
a. Kendaraan bermotor untuk kepentingan sosial, seperti :
  1. kendaraan bermotor ambulans;
  2. kendaraan bermotor pemadam kebakaran;
  3. kendaraan bermotor jenazah;
  4. kendaraan yang mengalami musibah; dan
  5. kendaraan yang digunakan untuk keperluan bencana alam, seperti kendaraan bermotor keperluan Palang Merah Indonesia (PMI).
b. Kendaraan bermotor untuk keperluan keagamaan, seperti :
  1. kendaraan bermotor yang dimiliki oleh Lembaga Keagamaan, antara lain: Majelis Ulama Indonesia (MUI), Persatuan Gereja Indonesia (PGI) dan Lembaga Keagamaan lainnya; atau
  2. kendaraan bermotor untuk keperluan Masjid, Gereja, Wihara dan sejenisnya.
(3) Permohonan diajukan secara tertulis yang dibuat dalam bahasa Indonesia, ditandatangani oleh wajib pajak atau kuasanya dan diajukan kepada Kepala Dinas Pelayanan Pajak atau Kepala Unit Pelayanan PKB dan BBN-KB, dengan melampirkan :
a. Kendaraan bermotor untuk kepentingan sosial, seperti :
1. kendaraan bermotor ambulans :
a) identitas pemilik dan akte pendirian badan/lembaga;
b) faktur kendaraan bermotor;
c) surat sertifikasi NIK;
d) surat pernyataan dari badan/lembaga yang bersangkutan bahwa kendaraan tersebut semata-mata digunakan sebagai ambulans;
e) surat keterangan sebagai kendaraan ambulans dari Instansi yang berwenang;
f) surat keterangan perubahan bentuk dari perusahaan karoseri yang memiliki Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP), Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan domisili dari Kelurahan setempat; dan
g) foto kendaraan bermotor dengan logo Institusi secara lengkap.
2. kendaraan bermotor pemadam kebakaran :
a) identitas pemilik dan akte pendirian badan/lembaga;
b) faktur kendaraan bermotor;
c) surat sertifikasi NIK;
d) surat pernyataan dari badan/lembaga yang bersangkutan bahwa kendaraan merupakan kendaraan bermotor pemadam kebakaran;
e) surat keterangan sebagai kendaraan bermotor pemadam kebakaran dari Instansi yang berwenang;
f) surat keterangan perubahan bentuk dari perusahaan karoseri yang memiliki Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP), Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan domisili dari Kelurahan setempat; dan
g) foto kendaraan bermotor dengan logo Institusi secara lengkap.
3. kendaraan bermotor jenazah :
a) identitas pemilik dan akte pendirian badan/lembaga;
b) faktur kendaraan bermotor;
c) surat sertifikasi NIK;
d) surat pernyataan dari badan/lembaga yang bersangkutan bahwa kendaraan merupakan kendaraan bermotor jenazah;
e) surat keterangan sebagai kendaraan bermotor jenazah dari Instansi yang berwenang;
f) surat keterangan perubahan bentuk dari perusahaan karoseri yang memiliki Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP), Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan domisili dari Kelurahan setempat;
g) foto kendaraan bermotor dengan logo Institusi secara lengkap; dan
h) kendaraan yang mengalami musibah, seperti kendaraan mengalami force majeure berupa bencana alam, seperti kendaraan terendam banjir dan kendaraan terbakar:
1) identitas pemilik dan akte pendirian badan/lembaga;
2) faktur kendaraan bermotor;
3) surat sertifikasi NIK;
4) surat keterangan sebagai kendaraan bermotor mengalami musibah dari Instansi yang berwenang; dan
5) foto kendaraan bermotor secara lengkap.
4. kendaraan yang digunakan untuk keperluan bencana alam, seperti kendaraan bermotor keperluan Palang Merah Indonesia (PMI) :
a) identitas pemilik dan akte pendirian badan/lembaga;
b) faktur kendaraan bermotor;
c) surat sertifikasi NIK;
d) surat pernyataan dari badan/lembaga yang bersangkutan;
e) surat keterangan sebagai kendaraan bermotor keperluan bencana alam dari Instansi yang berwenang;
f) surat keterangan perubahan bentuk dari perusahaan karoseri yang memiliki Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP), Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan domisili dari Kelurahan setempat; dan
g) foto kendaraan bermotor dengan logo Institusi secara lengkap.
b. Kendaraan bermotor untuk keperluan keagamaan, seperti :
1. kendaraan bermotor yang dimiliki oleh lnstitusi keagamaan, antara lain : Majelis Ulama Indonesia (MUI), Persatuan Gereja Indonesia (PGI) dan Institusi keagamaan lainnya :
a) identitas pemilik dan akte pendirian badan/lembaga;
b) faktur kendaraan bermotor;
c) surat sertifikasi NIK;
d) surat pernyataan dari badan/lembaga yang bersangkutan;
e) surat keterangan sebagai kendaraan bermotor keperluan bencana alam dari Instansi yang berwenang;
f) surat keterangan perubahan bentuk dari perusahaan karoseri yang memiliki Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP), Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan domisili dari Kelurahan setempat; dan
g) foto kendaraan bermotor dengan logo Institusi secara lengkap.
2. kendaraan bermotor untuk keperluan Masjid, Gereja, Wihara dan sejenisnya :
a) identitas pemilik dan akte pendirian badan/lembaga;
b) faktur kendaraan bermotor;
c) surat sertifikasi NIK;
d) surat pernyataan dari badan/lembaga yang bersangkutan;
e) surat keterangan sebagai kendaraan bermotor keperluan bencana alam dari Instansi yang berwenang;
f) surat keterangan perubahan bentuk dari perusahaan karoseri yang memiliki Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP), Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan domisili dari Kelurahan setempat; dan
g) foto kendaraan bermotor dengan logo Institusi secara lengkap.
(4) Pengajuan permohonan pengurangan pokok pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diajukan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak dimiliki atau dikuasai kendaraan bermotor, kecuali apabila Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya.
(5) Pengurangan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4), tidak dapat dianggap sebagai pengajuan pengurangan, sehingga tidak dipertimbangkan.
(6) Terhadap pengajuan pengurangan yang tidak dapat dipertimbangkan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), dijawab dengan surat biasa.
(7) Dalam hal pengajuan permohonan pengurangan sebagaimana dimaksud pada ayat (6), masih dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan kembali secara tertulis yang dibuat dalam bahasa Indonesia, ditandatangani oleh wajib pajak atau kuasanya dan diajukan kepada kepada Kepala Dinas Pelayanan Pajak atau Kepala Unit Pelayanan PKB dan BBN-KB, setelah melengkapi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4).
(8) Pengajuan pengurangan pajak tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan penagihan pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(9) Wajib Pajak yang telah mendapatkan pengurangan pajak tidak dapat mengajukan permohonan keringanan pajak.
10) Berdasarkan persyaratan permohonan pengurangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4), Kepala Dinas Pelayanan Pajak memberikan jawaban secara tertulis menolak atau menerima permohonan pengurangan pokok pajak.
11) Ketentuan lebih lanjut yang bersifat teknis mengenai tata cara pengurangan pajak diatur dengan Peraturan Kepala Dinas Pelayanan Pajak.


Pasal 64


(1) Atas permohonan Wajib Pajak, Gubernur melalui Kepala Dinas Pelayanan Pajak atau Kepala Unit Pelayanan PKB dan BBN-KB, dapat memberikan keringanan PKB yang terutang setinggi-tingginya 50% (lima puluh persen) dari pokok pajak.
(2) Pemberian keringanan PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan berdasarkan pertimbangan atau keadaan tertentu, seperti kondisi perekonomian sedang resesi atau bencana alam.
(3) Kondisi perekonomian sedang resesi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dinyatakan oleh Pemerintah dan dapat mempengaruhi perekonomian Daerah.
(4) Kendaraan bermotor yang dapat diberikan keringanan pada kondisi resesi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), hanya diberikan untuk kendaraan angkutan penumpang orang dan barang yang berkaitan dengan usaha/perekonomian.
(5) Dalam rangka pemberian keringanan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Gubernur dapat menerbitkan Keputusan Gubernur tentang kondisi dalam keadaan resesi.


Pasal 65


Pemberian keringanan PKB bagi kendaraan bermotor yang terkena musibah karena bencana alam atau kendaraan bermotor yang diadakan untuk keperluan bencana alam, dengan ketentuan sebagai berikut :
a. Kendaraan yang terkena bencana alam :
1. kendaraan rusak berat dan tidak dapat digunakan dijalan untuk jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak bencana alam terjadi;
2. mengajukan permohonan secara tertulis kepada Kepala Dinas Pelayanan Pajak dengan disertai alasan yang jelas dan melampirkan sekurang-kurangnya :
a) identitas diri;
b) indentitas kendaraan bermotor;
c) fotokopi SSPD/SKPD;
d) foto kendaraan yang terkena bencana alam; dan
e) bukti keterangan terjadinya bencana alam dari Instansi yang berwenang atau media informasi cetak atau bukti berupa media elektronik seperti video/rekaman gambar.
b. Kendaraan yang digunakan untuk keperluan bencana alam, mengajukan permohonan secara tertulis kepada Kepala Dinas Pelayanan Pajak dengan disertai alasan yang jelas dan melampirkan sekurang-kurangnya :
  1. identitas diri;
  2. indentitas kendaraan bermotor;
  3. fotokopi SSPD/SKPD;
  4. faktur pajak;
  5. surat keterangan dari pihak/instansi berwenang yang menerangkan bahwa kendaraan tersebut digunakan untuk keperluan bencana alam;
  6. surat pernyataan dari pemohon yang menyatakan bahwa kendaraan tersebut digunakan untuk keperluan bencana alam; dan
  7. foto kendaraan.


Pasal 66


Ketentuan lebih lanjut yang bersifat teknis mengenai tata cara pemberian keringanan diatur dengan Peraturan Kepala Dinas Pelayanan Pajak.


Bagian Kedua
Pembebasan

Pasal 67


(1) Gubernur karena jabatannya dapat memberikan pembebasan PKB kepada Wajib Pajak atau terhadap objek pajak tertentu, berdasarkan azas keadilan dan azas timbal balik (reciprocitas).
(2) Pemberian pembebasan pajak berdasarkan asas keadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat diberikan sebagian atau seluruhnya dari PKB yang terutang, terhadap :
a. Kendaraan bermotor karena hilang dan ditemukan kembali, dengan syarat :
  1. surat permohonan dibuat secara tertulis disertai dengan alasan yang jelas, bermaterai dan ditandatangani oleh Wajib Pajak atau kuasanya;
  2. identitas diri Wajib Pajak dan kuasanya;
  3. surat keterangan hilang dari Kepolisian;
  4. surat laporan kemajuan dari Kepolisian;
  5. surat keterangan kendaraan telah diketemukan kembali dari Kepolisian; dan
  6. fotokopi surat pencabutan blokir dari Kepolisian.
b. Kendaraan bermotor karena disita oleh pengadilan/sita lelang oleh pemerintah/sita oleh instansi penegak hukum, dengan syarat :
  1. surat permohonan dibuat secara tertulis disertai dengan alasan yang jelas, bermeterai dan ditandatangani oleh Wajib Pajak atau kuasanya;
  2. surat putusan pengadilan/putusan sita lelang oleh pemerintah/surat keterangan dari instansi penegak hukum yang dilengkapi dengan berita acara; dan
  3. identitas diri Wajib Pajak dan kuasanya.
(3) Pemberian pembebasan pajak berdasarkan azas timbal balik (reciprocilas) sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan kepada Lembaga atau Organisasi Internasional/lembaga internasional lainnya yang bertempat kedudukan di Indonesia dalam rangka kerja sama dan/atau memberikan bantuan teknis di bidang ekonomi, sosial dan kebudayaan kepada Indonesia berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan.
(4) Pemberian pembebasan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3), diatur dengan ketentuan sebagai berikut :
  1. Kendaraan bermotor untuk keperluan Kantor dari Badan/Lembaga/Organisasi Internasional yang digunakan di Indonesia;
  2. Kendaraan bermotor yang dipergunakan untuk keperluan pribadi dan kendaraan yang dipergunakan untuk keahliannya, termasuk kendaraan bermotor untuk keperluan anggota keluarga dari Pejabat yang berkerja pada Badan/Lembaga/Organisasi Internasional di Indonesia; dan
  3. Kendaraan bermotor untuk keperluan proyek dan non proyek dalam rangka kerja sama teknik yang dikirim melalui Badan/Lembaga/Organisasi Internasional.
(5) Kendaraan bermotor yang dapat diberikan pembebasan PKB kepada Badan/Lembaga/Organisasi Internasional atas pembelian kendaraan bermotor yang diproduksi di dalam negeri maupun dalam keadaan jadi (CBU) diatur dengan ketentuan sebagai berikut :
  1. Untuk keperluan kantor Badan/Lembaga/Organisasi Internasional, paling banyak 6 (enam) unit kendaraan bermotor CKD, dan untuk pejabat dari kantor Badan/Lembaga/Organisasi Internasional paling banyak 5 (lima) unit kendaraan bermotor CKD;
  2. Untuk keperluan atau perwakilan organisasi internasional di bawah PBB paling banyak 2 (dua) unit kendaraan bermotor CBU, dan untuk Badan/Lembaga/Organisasi Internasional paling banyak 1 (satu) unit kendaraan bermotor CBU;
  3. Untuk keperluan proyek dan non proyek dalam rangka kerja sama teknis atas pembelian kendaraan bermotor yang diproduksi di dalam negeri (CKD) sesuai kebutuhan dalam rangka kerja sama teknis sebagaimana tercantum dalam perjanjian kerja sama; dan
  4. Untuk keperluan proyek dan non proyek dalam rangka kerjasama teknis membutuhkan kendaraan bermotor dalam keadaan jadi (CBU) dengan ketentuan fasilitas pembebasan yang diberikan merupakan bagian fasilitas keperluan proyek dan non proyek sesuai kebutuhan dalam rangka kerja sama teknis sebagaimana tercantum dalam perjanjian kerja sama.
(6) Pemberian pembebasan Pajak Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (4), diberikan untuk Pejabat dari kantor Badan/Lembaga/Organisasi Internasional yang bertugas di Indonesia dengan masa tugas minimal 1 (satu) tahun.
(7) Ketentuan lebih lanjut yang bersifat teknis mengenai pembebasan pajak kendaraan bermotor berdasarkan azas timbal balik (reciprocitas) diatur dengan Peraturan Kepala Dinas Pelayanan Pajak.


BAB XIII
PEMERIKSAAN

Pasal 68


(1) Dalam rangka menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban pembayaran PKB, dilakukan pemeriksaan oleh petugas pemeriksa Dinas Pelayanan Pajak.
(2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dilakukan secara koordinatif dengan instansi terkait seperti Kepolisian dan Jasa Raharja.
(3) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dilaksanakan berdasarkan Surat Tugas dari Kepala Dinas Pelayanan Pajak.
(4) Wajib Pajak yang diperiksa wajib :
  1. memperlihatkan dan/atau meminjamkan BPKB;
  2. memperlihatkan dan/atau meminjamkan faktur pembelian atau dokumen yang menjadi dasar pajak terutang;
  3. memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruangan yang dianggap perlu seperti garasi, showroom dan tempat lain yang digunakan untuk menyimpan kendaraan bermotor; dan
  4. memberikan bantuan dan keterangan lain yang diperlukan.
(5) Ketentuan lebih lanjut yang bersifat teknis mengenai pemeriksaan diatur dengan Peraturan Kepala Dinas Pelayanan Pajak.


BAB XIV
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 69


Pada saat Peraturan Gubernur ini mulai berlaku :
  1. Peraturan Gubernur Nomor 90 Tahun 2005 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemungutan Pajak Kendaraan Bermotor; dan
  2. Peraturan Gubernur Nomor 126 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Gubernur Nomor 90 Tahun 2005 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemungutan Pajak Kendaraan Bermotor;
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.


Pasal 70


Peraturan Gubernur ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Gubernur ini dengan penempatannya dalam Berita Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.




  Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 1 Oktober 2012
GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS
IBUKOTA JAKARTA,

ttd

FAUZI BOWO

 

 

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 8 Oktober 2012
SEKRETARIS DAERAH PROVINSI
DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA,

ttd.

FADJAR PANJAITAN
NIP 195508261976011001



BERITA DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA TAHUN 2012 NOMOR 163