Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 518/KMK.04/2000

Kategori : BPHTB

Pemberian Pengurangan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan


KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 518/KMK.04/2000

TENTANG
 
PEMBERIAN PENGURANGAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,


Menimbang :

bahwa dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000, perlu menetapkan Keputusan Menteri Keuangan tentang Pemberian Pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan;


Mengingat :

  1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3688) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3988);
  2. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1998 tentang Penggabungan, Peleburan dan Pengambilalihan Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3741);
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 1998 tentang Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia untuk Pendirian Perusahaan Perseroan (Persero) di Bidang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 172, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3787);
  4. Keputusan Presiden Nomor 234/M Tahun 2000;


MEMUTUSKAN:


Menetapkan :

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA TENTANG PEMBERIAN PENGURANGAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN.



Pasal 1

  1. Kondisi tertentu Wajib Pajak yang ada hubungannya dengan Objek Pajak yaitu:
    1. Wajib Pajak orang pribadi yang memperoleh hak baru melalui program pemerintah di bidang pertanahan dan tidak mempunyai kemampuan secara ekonomis;
    2. Wajib Pajak orang pribadi menerima hibah dari orang pribadi yang mempunyai hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah;
    3. Wajib Pajak yang memperoleh hak baru selain Hak Pengelolaan;
  2. Kondisi Wajib Pajak yang ada hubungannya dengan sebab-sebab tertentu yaitu:
    1. Wajib Pajak yang memperoleh hak atas tanah melalui pembelian dari hasil ganti rugi pemerintah yang nilai ganti ruginya di bawah Nilai Jual Objek Pajak;
    2. Wajib Pajak yang memperoleh hak atas tanah sebagai pengganti atas tanah yang dibebaskan oleh pemerintah untuk kepentingan umum yang memerlukan persyaratan khusus;
    3. Wajib Pajak yang terkena dampak krisis ekonomi dan moneter yang berdampak luas pada kehidupan perekonomian nasional sehingga Wajib Pajak harus melakukan restrukturisasi usaha dan atau utang usaha sesuai dengan kebijaksanaan pemerintah;
    4. Wajib Pajak yang melakukan Penggabungan Usaha (merger) yang telah memperoleh keputusan persetujuan penggabungan usaha dari Direktur Jenderal Pajak.
    5. Wajib Pajak yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan yang tidak berfungsi lagi seperti semula disebabkan bencana alam atau sebab-sebab lainnya yang terjadi dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak penandatanganan akta, seperti kebakaran, banjir, tanah longsor, gempa bumi, gunung meletus.
    6. Wajib Pajak orang pribadi Veteran, PNS, TNI, POLRI, pensiunan PNS, purnawirawan TNI, purnawirawan POLRI atau janda/duda-nya yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan rumah dinas pemerintah.
  3. Tanah dan atau bangunan digunakan untuk kepentingan sosial atau pendidikan yang semata-mata tidak untuk mencari keuntungan antara lain untuk panti asuhan, panti jompo, rumah yatim piatu, sekolah yang tidak ditujukan mencari keuntungan, rumah sakit swasta milik institusi pelayanan sosial masyarakat.



Pasal 2

Besarnya pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan ditetapkan sebagai berikut:

  1. sebesar 50% (lima puluh persen) dari pajak yang terutang untuk Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf a angka 1, angka 2, huruf b angka 1, angka 2, angka 4, angka 5, dan angka 6, serta huruf c;
  2. sebesar 75% (tujuh puluh lima persen) dari pajak yang terutang untuk Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf b angka 3.
  3. sebesar perhitungan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan atas objek pajak selain tanah untuk Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf a angka 3;



Pasal 3

(1)

Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan atas nama Menteri Keuangan berwenang memberikan Keputusan Pemberian Pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf a dan huruf b angka 1, angka 2, angka 5, dan angka 6, serta huruf c dalam hal pajak yang terutang paling banyak Rp 2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah).

(2)

Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan berwenang memberikan Keputusan Pemberian Pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf a dan huruf b angka 1, angka 2, angka 5, dan angka 6, serta huruf c dalam hal pajak yang terutang paling banyak Rp 2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah).

(3)

Direktur Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan berwenang memberikan Keputusan Pemberian Pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf b angka 3 dan angka 4.



Pasal 4

(1)

Wajib Pajak mengajukan permohonan pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan yang wilayah kerjanya meliputi letak tanah dan atau bangunan dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf a, huruf b angka 1, angka 2, angka 5, dan angka 6, serta huruf c.

(2)

Dalam hal kewenangan memberikan Keputusan Pemberian Pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan berada pada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan meneruskan permohonan pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atasannya dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari sejak tanggal diterimanya surat permohonan.

(3)

Wajib Pajak mengajukan permohonan pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf b angka 3 dan angka 4.

(4)

Permohonan pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (3) diajukan paling lambat dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal pembayaran, secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan disertai alasan-alasan yang jelas.



Pasal 5

(1)

Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan atau Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atau Direktur Jenderal Pajak sesuai dengan kewenangannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, dalam waktu paling lama 3 (tiga ) bulan sejak tanggal diterimanya surat permohonan harus memberikan keputusan atas permohonan pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang diajukan Wajib Pajak.

(2)

Keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa mengabulkan atau menolak.

(3)

Apabila dalam waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) telah lewat dan Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan atau Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atau Direktur Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, permohonan pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang diajukan dianggap dikabulkan dengan mengacu kepada ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.



Pasal 6

Ketentuan yang diperlukan dalam pelaksanaan pemberian pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Menteri Keuangan ini diatur lebih lanjut dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.



Pasal 7

Pada saat Keputusan Menteri Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 181/KMK.04/1999 tentang Pemberian Pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dinyatakan tidak berlaku.



Pasal 8

Keputusan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2001.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.




Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 14 Desember 2000
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

 

ttd

 

PRIJADI PRAPTOSUHARDJO