Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 48/PMK.03/2021
Tata Cara Pendaftaran, Pelaporan, Dan Pendataan Objek Pajak Pajak Bumi Dan Bangunan
Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.
PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 48/PMK.03/2021
TENTANG
TATA CARA PENDAFTARAN, PELAPORAN, DAN PENDATAAN OBJEK PAJAK
PAJAK BUMI DAN BANGUNAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
- bahwa untuk meningkatkan kepastian hukum dan memberikan peraturan pelaksanaan serta meningkatkan pelayanan kepada Wajib Pajak mengenai pendaftaran, pelaporan, dan pendataan Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan, perlu mengganti ketentuan mengenai tata cara pendaftaran dan pendataan Objek Pajak dan Subjek Pajak atau Wajib Pajak Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 254/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Pendaftaran dan Pendataan Objek Pajak dan Subjek Pajak atau Wajib Pajak Pajak Bumi dan Bangunan;
- bahwa dengan beralihnya kewenangan pemungutan dan pengelolaan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan ke Pemerintah Daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, kewenangan Direktorat Jenderal Pajak terkait Pajak Bumi dan Bangunan mengelola Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Perkebunan, Perhutanan, Pertambangan, dan Sektor Lainnya;
- bahwa untuk mendukung program kemudahan dalam berusaha (ease of doing business) oleh Pemerintah Indonesia, diperlukan penyederhanaan dalam rangka pendaftaran dan pelaporan Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan oleh Wajib Pajak;
- bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 9 ayat (3) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata Cara Pendaftaran, Pelaporan, dan Pendataan Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan;
Mengingat :
- Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
- Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3312) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3569);
- Peraturan Presiden Nomor 57 Tahun 2020 tentang Kementerian Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 98);
- Peraturan Menteri Keuangan Nomor 217/PMK.01/2018 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 1862) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 229/PMK.01/2019 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 217/PMK.01/2018 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan (Berita Negara Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 1745);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PENDAFTARAN, PELAPORAN, DAN PENDATAAN OBJEK PAJAK PAJAK BUMI DAN BANGUNAN.
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
- Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan yang selanjutnya disebut Undang-Undang PBB adalah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan.
- Pajak Bumi dan Bangunan yang selanjutnya disingkat PBB adalah Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang PBB selain PBB Perdesaan dan Perkotaan.
- Wajib Pajak PBB yang selanjutnya disebut Wajib Pajak adalah subjek pajak yang dikenakan kewajiban membayar PBB.
- Objek Pajak PBB yang selanjutnya disebut Objek Pajak adalah bumi dan/atau bangunan yang merupakan objek pajak PBB Sektor Perkebunan, PBB Sektor Perhutanan, PBB Sektor Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, PBB Sektor Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi, PBB Sektor Pertambangan Mineral atau Batubara, dan PBB Sektor Lainnya.
- Surat Pemberitahuan Objek Pajak yang selanjutnya disingkat SPOP adalah surat yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk melaporkan data Objek Pajak menurut ketentuan Undang-Undang PBB yang dilampiri dengan lampiran SPOP yang merupakan bagian tidak terpisahkan dengan SPOP.
- SPOP Elektronik adalah SPOP dalam bentuk dokumen elektronik.
- Pendaftaran adalah kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak atau Direktorat Jenderal Pajak untuk mendaftarkan Objek Pajak yang belum terdaftar dalam sistem administrasi perpajakan Direktorat Jenderal Pajak.
- Pelaporan adalah kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak untuk melaporkan data Objek Pajak kepada Direktorat Jenderal Pajak.
- Pendataan adalah kegiatan yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk memperoleh, melengkapi, dan menatausahakan data Objek Pajak dan/atau Wajib Pajak, termasuk informasi geografis Objek Pajak untuk keperluan administrasi perpajakan.
- Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan mencari, menghimpun, dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti, yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban PBB dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan PBB.
- Penelitian PBB yang selanjutnya disebut Penelitian adalah serangkaian kegiatan pengujian pemenuhan kewajiban PBB berdasarkan keterangan lain yang diperoleh dan/atau dimiliki Direktur Jenderal Pajak atau berdasarkan permohonan Wajib Pajak.
- Kantor Pelayanan Pajak yang selanjutnya disingkat KPP adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Pajak yang mengadministrasikan PBB, yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak.
- Nomor Objek Pajak yang selanjutnya disingkat NOP adalah nomor identitas Objek Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
- Surat Keterangan Terdaftar Objek Pajak PBB yang selanjutnya disingkat SKT PBB adalah surat keterangan yang diterbitkan oleh Kepala KPP sebagai pemberitahuan bahwa Objek Pajak dan Wajib Pajak telah terdaftar dalam sistem administrasi perpajakan Direktorat Jenderal Pajak.
- Nomor Pokok Wajib Pajak yang selanjutnya disingkat NPWP adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.
- Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun takwim, yaitu dari 1 Januari sampai dengan 31 Desember.
BAB II
PENDAFTARAN OBJEK PAJAK
Pasal 2
(1) | Setiap Wajib Pajak wajib melakukan Pendaftaran pada Direktorat Jenderal Pajak melalui KPP paling lama 1 (satu) bulan setelah saat terpenuhinya persyaratan subjektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang PBB untuk diberikan SKT PBB. |
(2) | Saat terpenuhinya persyaratan subjektif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
(3) | KPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
|
(4) | KPP Pratama yang wilayah kerjanya meliputi letak Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, merupakan KPP tempat Objek Pajak terdaftar untuk Objek Pajak yang meliputi:
|
(5) | KPP Pratama yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, merupakan KPP tempat Objek Pajak terdaftar untuk objek pajak PBB Sektor Lainnya untuk perikanan tangkap atau pembudidayaan ikan. |
(6) | KPP Minyak dan Gas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c, merupakan KPP tempat Objek Pajak terdaftar untuk Objek Pajak yang meliputi:
|
(7) | KPP yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d, merupakan KPP tempat Objek Pajak terdaftar untuk Objek Pajak selain Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4), ayat (5), dan ayat (6). |
(8) | SKT PBB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat identitas Objek Pajak berupa NOP. |
(9) | SKT PBB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
(1) | Pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilakukan dengan mengajukan permohonan secara elektronik atau tertulis. |
(2) | Permohonan secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan melalui saluran tertentu meliputi:
|
(3) | Permohonan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan:
|
(4) | Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
(1) | Permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dilampiri dokumen Wajib Pajak dan dokumen Objek Pajak. |
(2) | Dokumen Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
|
(3) | Dokumen Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
|
(1) | Berdasarkan permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Kepala KPP melakukan penelitian administrasi. |
(2) | Berdasarkan penelitian administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala KPP menerbitkan keputusan berupa:
|
(3) | Dalam hal Kepala KPP tidak menerbitkan keputusan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), permohonan dianggap dikabulkan dan Kepala KPP menerbitkan SKT PBB paling lama 1 (satu) hari kerja setelah jangka waktu pemberian keputusan berakhir. |
(1) | Dalam hal Wajib Pajak tidak melaksanakan kewajiban Pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), Kepala KPP melakukan Pemeriksaan atau penelitian administrasi. |
(2) | Berdasarkan hasil Pemeriksaan atau penelitian administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala KPP menerbitkan SKT PBB berdasarkan kewenangan secara jabatan. |
(3) | SKT PBB sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikirimkan kepada Wajib Pajak paling lama 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak tanggal penerbitan SKT PBB. |
(1) | Kepala KPP berdasarkan permohonan Wajib Pajak atau berdasarkan kewenangan secara jabatan dapat melakukan perubahan data yang tercantum dalam SKT PBB. |
(2) | Perubahan data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
(3) | Permohonan perubahan data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara elektronik atau tertulis ke KPP tempat Objek Pajak terdaftar. |
(4) | Permohonan secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan melalui saluran tertentu meliputi:
|
(5) | Permohonan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan:
|
(6) | Permohonan perubahan data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
(7) | Terhadap perubahan data sebagaimana dimaksud pada ayat (1), KPP melakukan pencetakan kembali SKT PBB. |
(8) | SKT PBB sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dikirimkan kepada Wajib Pajak paling lama 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak tanggal pencetakan kembali SKT PBB. |
(9) | SKT PBB yang telah diterbitkan sebelumnya dinyatakan tidak berlaku setelah terdapat pencetakan kembali SKT PBB sebagaimana dimaksud pada ayat (7). |
(1) | Kepala KPP berdasarkan permohonan Wajib Pajak atau berdasarkan kewenangan secara jabatan dapat melakukan pencabutan SKT PBB terhadap Objek Pajak yang sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang PBB. |
(2) | Permohonan pencabutan SKT PBB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan ke KPP tempat Objek Pajak terdaftar. |
(3) | Permohonan pencabutan SKT PBB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara elektronik atau tertulis, serta dilampiri dengan dokumen yang disyaratkan. |
(4) | Dokumen yang disyaratkan sebagai lampiran permohonan pencabutan SKT PBB sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan dokumen izin usaha, hak guna usaha, penugasan, kontrak, kuasa, perjanjian dan/atau izin, yang sudah berakhir dan tidak dilakukan perpanjangan masa berlakunya. |
(5) | Permohonan secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan melalui saluran tertentu meliputi:
|
(6) | Permohonan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan:
|
(7) | Permohonan pencabutan SKT PBB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
(8) | Pencabutan SKT PBB berdasarkan kewenangan secara jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Kepala KPP berdasarkan data dan/atau informasi perpajakan yang dimiliki atau diperoleh Direktorat Jenderal Pajak. |
(9) | Pencabutan SKT PBB atas permohonan Wajib Pajak atau berdasarkan kewenangan secara jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan hasil Pemeriksaan atau penelitian administrasi. |
(10) | Berdasarkan hasil Pemeriksaan atau penelitian administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (9), Kepala KPP menerbitkan keputusan berupa:
|
(11) | Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (10) diterbitkan paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal permohonan Wajib Pajak diterima secara lengkap. |
(12) | Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (11) terlampaui dan Kepala KPP tidak menerbitkan keputusan, permohonan Wajib Pajak dianggap dikabulkan. |
(13) | Kepala KPP harus menerbitkan surat keputusan pencabutan SKT PBB paling lama 1 (satu) bulan setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (11) berakhir. |
(14) | Surat keputusan pencabutan SKT PBB sebagaimana dimaksud pada ayat (10) huruf a dan surat penolakan pencabutan SKT PBB sebagaimana dimaksud pada ayat (10) huruf b, dibuat dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
(1) | Selain memperhatikan persyaratan subjektif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), pencabutan SKT PBB dapat dilakukan jika Wajib Pajak tidak:
|
(2) | Tindakan penegakan hukum di bidang perpajakan PBB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan:
|
(3) | Upaya hukum di bidang perpajakan PBB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan:
|
(1) | Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan surat pemberitahuan pajak terutang dan/atau surat ketetapan pajak untuk Tahun Pajak sebelum Wajib Pajak diberikan atau diterbitkan SKT PBB, apabila diperoleh data dan/atau informasi yang menunjukkan adanya kewajiban perpajakan PBB yang belum dipenuhi Wajib Pajak. |
(2) | Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan surat pemberitahuan pajak terutang, surat ketetapan pajak dan/atau surat tagihan pajak sebelum dan/atau setelah pencabutan SKT PBB, apabila setelah pencabutan SKT PBB diperoleh data dan/atau informasi yang menunjukkan adanya kewajiban perpajakan PBB yang belum dipenuhi Wajib Pajak. |
(3) | Surat pemberitahuan pajak terutang dan/atau surat ketetapan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diterbitkan dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun setelah saat berakhirnya Tahun Pajak. |
BAB III
PELAPORAN OBJEK PAJAK YANG TELAH TERDAFTAR
Pasal 11
(1) | Wajib Pajak wajib melakukan Pelaporan atas Objek Pajak yang telah terdaftar dengan menggunakan SPOP yang disampaikan oleh Direktorat Jenderal Pajak. |
(2) | Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk setiap Tahun Pajak. |
(3) | Tanggal penyampaian SPOP oleh Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tanggal diterimanya SPOP oleh Wajib Pajak, meliputi:
|
(1) | SPOP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) merupakan SPOP Elektronik. |
(2) | Direktorat Jenderal Pajak menyampaikan SPOP Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Wajib Pajak secara elektronik melalui saluran tertentu meliputi:
|
(3) | Direktorat Jenderal Pajak menyampaikan pemberitahuan penyampaian SPOP Elektronik kepada Wajib Pajak. |
(4) | Wajib Pajak wajib menyampaikan SPOP Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Direktorat Jenderal Pajak secara elektronik dengan cara mengunggah melalui saluran tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2). |
(5) | Tanggal penyampaian SPOP Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan tanggal yang tercantum dalam bukti penerimaan elektronik. |
(1) | Dalam hal saluran tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) mengalami gangguan dan/atau terjadi keadaan kahar, Direktorat Jenderal Pajak melalui KPP tempat Objek Pajak terdaftar dan/atau Wajib Pajak menyampaikan SPOP tidak secara elektronik. |
(2) | Penyampaian SPOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
(3) | Tanggal penyampaian SPOP yang dilakukan tidak secara elektronik oleh Wajib Pajak merupakan:
|
(1) | SPOP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dan Pasal 13 ayat (1) wajib diisi dengan jelas, benar, dan lengkap serta ditandatangani oleh Wajib Pajak atau kuasa Wajib Pajak dan disampaikan kepada Direktorat Jenderal Pajak melalui KPP tempat Objek Pajak terdaftar paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal diterimanya SPOP. |
(2) | Jelas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berarti bahwa pengisian data dalam SPOP tidak menimbulkan salah tafsir yang dapat merugikan negara maupun Wajib Pajak sendiri. |
(3) | Benar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berarti bahwa semua data yang dilaporkan harus sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. |
(4) | Lengkap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berarti bahwa SPOP memuat semua unsur yang harus dilaporkan dan dilampiri dokumen pendukung isian SPOP. |
(5) | Dalam hal yang menjadi Wajib Pajak merupakan badan, SPOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh pengurus atau direksi. |
(6) | Dalam hal SPOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh kuasa Wajib Pajak, SPOP harus dilampiri dengan surat kuasa khusus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
(7) | Direktur Jenderal Pajak menentukan bentuk dan format SPOP. |
(1) | Dalam hal jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) tidak dapat dipenuhi, Wajib Pajak dapat menyampaikan surat pemberitahuan penundaan penyampaian SPOP ke KPP tempat Objek Pajak terdaftar. |
(2) | Surat pemberitahuan penundaan penyampaian SPOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diterima oleh KPP tempat Objek Pajak terdaftar sebelum jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) berakhir. |
(3) | Penundaan penyampaian SPOP dilakukan paling lama 7 (tujuh) hari setelah jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) berakhir. |
(4) | Surat pemberitahuan penundaan penyampaian SPOP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuat dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
(1) | Dalam hal SPOP belum disampaikan kepada Direktorat Jenderal Pajak setelah jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1), dan Wajib Pajak tidak menyampaikan surat pemberitahuan penundaan penyampaian SPOP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1), Kepala KPP menerbitkan surat teguran dan menyampaikan kepada Wajib Pajak. |
(2) | Dalam hal SPOP belum disampaikan kepada Direktorat Jenderal Pajak setelah jangka waktu 7 (tujuh) hari sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3), Kepala KPP menerbitkan surat teguran dan menyampaikan kepada Wajib Pajak. |
(3) | Wajib Pajak wajib menyampaikan SPOP dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari setelah tanggal diterimanya surat teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2). |
(4) | Tanggal diterimanya surat teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan:
|
(5) | Dalam hal Wajib Pajak tidak menyampaikan SPOP dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), KPP dapat melakukan Penelitian atau membuat analisis risiko untuk usulan Pemeriksaan. |
(6) | Surat teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dibuat dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
(1) | Dokumen pendukung isian SPOP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4) untuk PBB Sektor Perkebunan, meliputi:
|
(2) | Dokumen pendukung isian SPOP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4) untuk PBB Sektor Perhutanan, meliputi:
|
(3) | Dokumen pendukung isian SPOP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4) untuk PBB Sektor Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, meliputi:
|
(4) | Dokumen pendukung isian SPOP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4) untuk PBB Sektor Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi, meliputi:
|
(5) | Dokumen pendukung isian SPOP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4) untuk PBB Sektor Pertambangan Mineral atau Batubara, meliputi:
|
(6) | Dokumen pendukung isian SPOP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4) untuk PBB Sektor Lainnya, meliputi:
|
(7) | Dokumen pendukung isian SPOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, ayat (2) huruf a, ayat (3) huruf a dan huruf b, ayat (4) huruf a dan huruf b, ayat (5) huruf a, dan ayat (6) huruf a, tidak harus dilampirkan pada SPOP jika sudah dilampirkan pada saat Pendaftaran atau sudah dilaporkan pada saat Pelaporan pada Tahun Pajak sebelumnya. |
(8) | Dokumen pendukung isian SPOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, ayat (2) huruf a, ayat (3) huruf a dan huruf b, ayat (4) huruf a dan huruf b, ayat (5) huruf a, dan ayat (6) huruf a, tidak harus dilampirkan pada SPOP jika tidak ada perubahan. |
(9) | Dalam hal terdapat dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) yang belum dapat dilampirkan, SPOP dianggap lengkap sepanjang Wajib Pajak melampirkan pernyataan tertulis yang:
|
(10) | Surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (9) dibuat dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
(1) | Direktorat Jenderal Pajak melakukan penelitian formal terhadap SPOP yang disampaikan oleh Wajib Pajak, atas:
|
(2) | Dalam hal hasil penelitian formal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terpenuhi, Direktorat Jenderal Pajak menerbitkan bukti penerimaan. |
(3) | Dalam hal hasil penelitian formal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak terpenuhi, SPOP dianggap tidak disampaikan. |
(4) | Bukti penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
|
(5) | Direktorat Jenderal Pajak melalui KPP tempat Objek Pajak terdaftar menyampaikan surat pemberitahuan SPOP dianggap tidak disampaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan mengembalikan SPOP kepada Wajib Pajak, jika SPOP yang disampaikan oleh Wajib Pajak dikirim melalui pos, jasa ekspedisi, atau jasa kurir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf b dan huruf c. |
(1) | Direktorat Jenderal Pajak melalui KPP tempat Objek Pajak terdaftar melakukan penelitian material terhadap SPOP yang telah disampaikan oleh Wajib Pajak dan telah dilakukan penelitian formal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1). |
(2) | Dalam hal berdasarkan hasil penelitian material sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdapat indikasi kewajiban perpajakan dalam pengisian SPOP tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, Direktorat Jenderal Pajak melalui KPP tempat Objek Pajak terdaftar dapat meminta klarifikasi kepada Wajib Pajak. |
(3) | Klarifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan menerbitkan dan menyampaikan surat permintaan klarifikasi. |
(4) | Klarifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilanjutkan dengan melakukan peninjauan Objek Pajak. |
(5) | Berdasarkan surat permintaan klarifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Wajib Pajak menanggapi dengan:
|
(6) | Direktorat Jenderal Pajak melalui KPP tempat Objek Pajak terdaftar membuat laporan pelaksanaan klarifikasi berdasarkan hasil klarifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2). |
(7) | Laporan pelaksanaan klarifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat digunakan sebagai bahan Penelitian atau analisis risiko untuk usulan Pemeriksaan dalam hal:
|
(1) | Wajib Pajak dapat membetulkan SPOP yang telah disampaikan kepada Direktorat Jenderal Pajak melalui penyampaian SPOP pembetulan. |
(2) | SPOP pembetulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lama 15 (lima belas) hari setelah berakhirnya jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1). |
(3) | Dalam hal surat permintaan klarifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (3) disampaikan kepada Wajib Pajak setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berakhir, SPOP pembetulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (5) huruf b disampaikan paling lama 7 (tujuh) hari sejak tanggal diterimanya surat permintaan klarifikasi. |
(4) | Tanggal diterimanya surat permintaan klarifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan:
|
(1) | Wajib Pajak yang melakukan pembetulan SPOP harus menyampaikan SPOP pembetulan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) atau ayat (3). |
(2) | Dalam hal SPOP pembetulan disampaikan Wajib Pajak melewati jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), SPOP pembetulan dianggap tidak disampaikan. |
(3) | Direktorat Jenderal Pajak melalui KPP tempat Objek Pajak terdaftar menyampaikan surat pemberitahuan SPOP pembetulan dianggap tidak disampaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan mengembalikan SPOP pembetulan kepada Wajib Pajak, jika SPOP pembetulan yang disampaikan oleh Wajib Pajak dikirim melalui pos, jasa ekspedisi, atau jasa kurir. |
BAB IV
PENDATAAN OBJEK PAJAK YANG TELAH TERDAFTAR
Pasal 22
(1) | Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan Pendataan terhadap Objek Pajak yang telah terdaftar. |
(2) | Jenis Pendataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
(3) | Pendataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh petugas Pendataan. |
(4) | Hasil Pendataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan dalam bentuk laporan hasil Pendataan. |
(1) | Pendataan kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) huruf a dilakukan dengan cara mengolah data Objek Pajak yang dilaporkan oleh Wajib Pajak melalui SPOP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dan/atau mengolah data dan informasi yang terdapat dalam sistem informasi Direktorat Jenderal Pajak. |
(2) | Ruang lingkup Pendataan kantor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
(3) | Pengumpulan data sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a merupakan kegiatan yang meliputi:
|
(4) | Pemetaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilakukan melalui pengonversian peta Objek Pajak, yang meliputi:
|
(1) | Pendataan lapangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) huruf b dilakukan dengan cara melakukan peninjauan pada lokasi fisik Objek Pajak dan/atau lokasi lain di luar lokasi fisik Objek Pajak, atas data Objek Pajak yang seharusnya dilaporkan dalam SPOP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1). |
(2) | Ruang lingkup Pendataan lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
(3) | Pengumpulan data sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a merupakan kegiatan pengumpulan data Objek Pajak yang tidak atau belum dilaporkan dalam SPOP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1). |
(4) | Pemetaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilakukan melalui pengukuran Objek Pajak, yang meliputi:
|
(1) | Dalam hal Wajib Pajak, wakil dari Wajib Pajak, atau kuasa dari Wajib Pajak, menyatakan menolak untuk dilakukan Pendataan lapangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1), Wajib Pajak, wakil dari Wajib Pajak, atau kuasa dari Wajib Pajak, harus menandatangani surat pernyataan penolakan Pendataan. |
(2) | Dalam hal Wajib Pajak, wakil dari Wajib Pajak, atau kuasa dari Wajib Pajak, menolak menandatangani surat pernyataan penolakan Pendataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), petugas Pendataan membuat berita acara penolakan Pendataan yang ditandatangani oleh petugas Pendataan. |
(3) | Dalam hal Wajib Pajak, wakil dari Wajib Pajak, atau kuasa dari Wajib Pajak, menyatakan menolak untuk dilakukan Pendataan lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau menolak menandatangani surat pernyataan penolakan Pendataan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), petugas Pendataan tetap melakukan Pendataan berdasarkan data dan/atau informasi yang dimiliki dan/atau diperoleh Direktorat Jenderal Pajak. |
(4) | Pendataan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaporkan dalam bentuk laporan hasil Pendataan. |
(5) | Surat pernyataan penolakan Pendataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan berita acara penolakan Pendataan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dibuat dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
Laporan hasil Pendataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (4) dan Pasal 25 ayat (4) merupakan dokumen yang dapat digunakan sebagai:
- bahan penelitian material sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1); atau
- bahan Penelitian atau analisis risiko untuk usulan Pemeriksaan.
BAB V
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 27
(1) | Objek Pajak dan Wajib Pajak yang telah teradministrasikan dalam sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini, tidak diwajibkan melakukan Pendaftaran. |
(2) | Direktorat Jenderal Pajak melalui KPP tempat Objek Pajak terdaftar menerbitkan SKT PBB atas Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan kewenangan secara jabatan melalui kegiatan penelitian administrasi. |
(3) | SKT PBB yang diterbitkan berdasarkan kewenangan secara jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dibuat dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 28
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:
- Peraturan Menteri Keuangan Nomor 254/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Pendaftaran dan Pendataan Objek Pajak dan Subjek Pajak atau Wajib Pajak Pajak Bumi dan Bangunan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 2009), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku; dan
- Peraturan pelaksanaan dari Peraturan Menteri Keuangan Nomor 254/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Pendaftaran dan Pendataan Objek Pajak dan Subjek Pajak atau Wajib Pajak Pajak Bumi dan Bangunan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 2009), dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri ini dan/atau belum diatur dengan peraturan pelaksanaan yang baru berdasarkan Peraturan Menteri ini.
Peraturan Menteri ini mulai berlaku setelah 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 17 Mei 2021 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, ttd. SRI MULYANI INDRAWATI |
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 18 Mei 2021
DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
WIDODO EKATJAHJANA
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2021 NOMOR 519
Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.