Undang-Undang Nomor : 7 Tahun 1994
Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia)
Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 7 TAHUN 1994
TENTANG
PENGESAHAN AGREEMENT ESTABLISHING THE WORLD TRADE
ORGANIZATION (PERSETUJUAN PEMBENTUKAN ORGANISASI
PERDAGANGAN DUNIA)
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
- bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata materiel dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1994 dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat dan berkedaulatan rakyat dalam suasana perikehidupan bangsa yang aman, tenteram, tertib, dan dinamis dalam lingkungan pergaulan dunia yang merdeka, adil, bersahabat, tertib dan damai;
- bahwa dalam pelaksanaan pembangunan nasional, khususnya di bidang ekonomi, diperlukan upaya-upaya untuk antara lain terus meningkatkan, memperluas, memantapkan dan mengamankan pasar bagi segala produk baik barang maupun jasa, termasuk aspek investasi dan hak atas kekayaan intelektual yang berkaitan dengan perdagangan, serta meningkatkan kemampuan daya saing terutama dalam perdagangan internasional;
- bahwa seiring dengan cita-cita sebagaimana disebutkan huruf a dan b di atas, Indonesia selalu berusaha menegakkan prinsip-prinsip pokok yang dikandung dalam General Agreement on Tariff and Trade/GATT 1947 (Persetujuan Umum mengenai Tarif dan Perdagangan Tahun 1947), berikut persetujuan susulan yang telah dihasilkan sebelum perundingan Putaran Uruguay;
- bahwa dari rangkaian perundingan Putaran Uruguay yang dimulai sejak Tahun 1986, telah dihasilkan Agreement Establishing The World Trade organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia) yang selanjutnya akan mengadministrasikan, mengawasi dan memberikan kepastian bagi pelaksanaan seluruh persetujuan General Agreement on Tariff and Trade/GATT serta hasil perundingan Putaran Uruguay;
- bahwa dalam Pertemuan Tingkat Menteri peserta Putaran Uruguay pada tanggal 15 April 1994 di Marrakesh, Maroko, Pemerintah Indonesia telah ikut serta menandatangani Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia) beserta seluruh persetujuan yang dijadikan Lampiran 1, 2 dan 3 sebagai bagian Persetujuan tersebut;
- bahwa sesuai dengan pertimbangan-pertimbangan di atas, dipandang perlu mengesahkan Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia) dengan Undang-Undang;
Mengingat :
Pasal 5 ayat (1), Pasal 11, dan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;
Dengan Persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG PENGESAHAN AGREEMENT ESTABLISHING THE WORLD TRADE ORGANIZATION (PERSETUJUAN PEMBENTUKAN ORGANISASI PERDAGANGAN DUNIA).
Mengesahkan Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia) beserta Lampiran 1, 2 dan 3 Persetujuan tersebut, yang salinan naskah aslinya dalam bahasa Inggris serta terjemahannya dalam bahasa Indonesia dilampirkan, sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.
Undang-Undang ini mulai berlaku pada saat berlakunya secara efektif Persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 2 Nopember 1994
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd
SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 2 Nopember 1994
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
ttd
MOERDIONO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1994 NOMOR 57
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 7 TAHUN 1994
TENTANG
PENGESAHAN AGREEMENT ESTABLISHING THE WORLD
TRADE ORGANIZATION
(PERSETUJUAN PEMBENTUKAN ORGANISASI PERDAGANGAN DUNIA)
I. | LATAR BELAKANG Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor II/MPR/1993 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara antara lain menegaskan prinsip politik luar negeri yang bebas aktif yang makin mampu menunjang kepentingan nasional dan diarahkan untuk turut mewujudkan tatanan dunia baru berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, serta ditujukan untuk lebih meningkatkan kerja sama internasional, dengan lebih memantapkan dan meningkatkan peranan Gerakan Non-Blok. Garis-Garis Besar Haluan Negara juga menggariskan bahwa perkembangan dunia yang mengandung peluang yang menunjang dan mempercepat pelaksanaan pembangunan nasional perlu dimanfaatkan sebaik-baiknya dengan mendorong ekspor, khususnya komoditi non-migas, peningkatan daya saing dan penerobosan serta perluasan pasar luar negeri. Bertolak dari prinsip-prinsip tersebut, adalah semestinya apabila segala perkembangan, perubahan dan kecenderungan global lainnya yang diperkirakan akan dapat mempengaruhi stabilitas nasional serta pencapaian tujuan nasional, perlu diikuti dengan seksama sehingga secara dini dapat diambil langkah-langkah yang tepat dan cepat dalam mengatasinya. Dengan sikap seperti itu, kebijakan pembangunan nasional yang bertumpu pada pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional, dapat tetap dipelihara. Dalam rangka menghadapi perkembangan dan perubahan, serta memanfaatkan peluang yang ada tersebut, Indonesia terus berusaha ikut serta dalam upaya meningkatkan kerja sama antar negara, terutama untuk mempercepat terwujudnya sistem perdagangan internasional yang terbuka, adil, dan tertib serta bebas dari hambatan serta pembatasan yang selama ini dinilai tidak menguntungkan perkembangan perdagangan internasional tersebut. Dalam skala nasional, masalah yang timbul di bidang ekonomi tidak sederhana. Perubahan orientasi perekonomian nasional ke arah pasar ekspor, membawa berbagai konsekuensi termasuk di dalamnya kebutuhan peningkatan kegiatan perdagangan luar negeri, khususnya di bidang produk non-migas. Tidak kalah pentingnya adalah kebutuhan untuk makin memantapkan berbagai sarana dan prasarana penunjang ekspor, serta keterkaitan yang saling menguntungkan antara produsen dan konsumen. Sementara itu, kebijaksanaan peningkatan ekspor non-migas yang diarahkan untuk menunjang pelaksanaan pembangunan nasional pada dasarnya juga menghadapi berbagai hambatan dan tantangan yang memerlukan perhatian secara menyeluruh. Hambatan dan tantangan tersebut dapat berupa ketidakpastian pasar maupun persaingan antar negara yang semakin meningkat tajam. Secara umum, ketidakpastian perkembangan ekonomi dunia juga dilatarbelakangi oleh perubahan-perubahan yang terus terjadi secara cepat, baik dalam kehidupan politik, ekonomi, sosial budaya, maupun pertahanan keamanan. Dalam kerangka hubungan ekonomi dan perdagangan internasional, keberhasilan Indonesia meningkatkan ekspor dan pembangunan nasional juga akan tergantung pada perkembangan tatanan ekonomi dunia serta kemantapan sistem perdagangan internasional di samping kemampuan penyesuaian ekonomi nasional terhadap perkembangan yang ada. Salah satu faktor yang sangat mempengaruhi perekonomian dunia, adalah tatanan atau sistem yang merupakan dasar dalam hubungan perdagangan antar negara. Tatanan dimaksud adalah General Agreement on Tariffs and Trade/GATT (Persetujuan Umum mengenai Tarif dan Perdagangan). Persetujuan tersebut terwujud dalam tahun 1947, dan Indonesia telah ikut serta dalam persetujuan tersebut sejak tanggal 24 Pebruari 1950. Manfaat dari keikutsertaan Indonesia dalam persetujuan tersebut pada dasarnya bukan saja memungkinkan terbukanya peluang pasar internasional yang lebih luas, tetapi juga menyediakan kerangka perlindungan multilateral yang lebih baik bagi kepentingan nasional dalam perdagangan internasional, khususnya dalam menghadapi mitra dagang. Untuk itu konsekuensi yang antara lain perlu ditindak lanjuti adalah kebutuhan untuk menyempurnakan atau mempersiapkan peraturan perundangan yang diperlukan. Tidak kurang pentingnya adalah penyiapan, penumbuhan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia, khususnya pemahaman di kalangan pelaku ekonomi dan aparatur penyelenggara, terhadap keseluruhan persetujuan serta berbagai hambatan dan tantangan yang melingkupinya. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
II. | PERSETUJUAN UMUM MENGENAI TARIF DAN PERDAGANGAN General Agreement on Tariffs and Trade/GATT (Persetujuan Umum mengenai Tarif dan Perdagangan) merupakan perjanjian perdagangan multilateral dengan tujuan menciptakan perdagangan bebas, adil, dan membantu menciptakan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan guna mewujudkan kesejahteraan umat manusia. Hingga saat ini Persetujuan tersebut telah diikuti oleh lebih dari 125 negara. Dari segi tujuan, GATT dimaksudkan sebagai upaya untuk memperjuangkan terciptanya perdagangan bebas, adil dan menstabilkan sistem perdagangan internasional, dan memperjuangkan penurunan tarif bea masuk serta meniadakan hambatan-hambatan perdagangan lainnya. Sebagai tatanan multilateral yang memuat prinsip-prinsip perdagangan internasional, GATT menetapkan kaidah bahwa hubungan perdagangan antar negara dilakukan tanpa diskriminasi (non discrimination). Hal ini berarti, suatu negara yang tergabung dalam GATT tidak diperkenankan untuk memberikan perlakuan khusus bagi negara tertentu. Setiap negara harus memberikan perlakuan yang sama dan timbal balik dalam hubungan perdagangan internasional. GATT berfungsi sebagai forum konsultasi negara-negara anggota dalam membahas dan menyelesaikan masalah-masalah yang timbul di bidang perdagangan internasional, GATT juga berfungsi sebagai forum penyelesaian sengketa di bidang perdagangan antara negara-negara peserta. GATT juga merupakan forum untuk mengajukan keberatan dari suatu negara yang merasa dirugikan atau mendapat perlakuan yang tidak adil dari negara peserta yang lain di bidang perdagangan. Prinsipnya, masalah-masalah yang timbul diselesaikan secara bilateral antara negara-negara yang terlibat dalam persengketaan dagang melalui konsultasi dan konsiliasi, serta hasilnya dibertahukan kepada GATT. Untuk mewujudkan jaminan agar perdagangan antar negara dapat berjalan baik, GATT mengatur ketentuan mengenai pengikatan tarif bea masuk (tariff binding) yang diberlakukan negara-negara peserta. Di samping itu, GATT juga menetapkan ketentuan-ketentuan untuk mendorong kegiatan perdagangan berdasarkan prinsip persaingan yang jujur, dan menolak beberapa praktek seperti dumping dan pemberian subsidi terhadap produk ekspor. Prinsip-prinsip yang tertuang dalam GATT tidak melarang tindakan proteksi terhadap industri domestik, tetapi proteksi demikian hanya boleh dilakukan melalui proteksi tarif dan bukan melalui tindakan seperti larangan impor atau kuota impor. GATT melarang pembatasan perdagangan yang bersifat kuantitatif, seperti misalnya penerapan kuota impor maupun ekspor. Meskipun demikian, pengecualian atas larangan tersebut dimungkinkan sepanjang pembatasan tersebut merupakan tindakan pengamanan guna mengatasi antara lain kesulitan neraca pembayaran. Dalam pelaksanaannya, pembatasan tersebut hanya dapat berlangsung dalam waktu yang terbatas, dan secara progresif harus dikurangi atau dihapuskan setelah teratasinya kesulitan dalam neraca pembayaran. GATT memungkinkan negara-negara peserta untuk memperoleh pengecualian dari suatu kewajiban tertentu apabila negara yang bersangkutan mengalami permasalahan dalam bidang ekonomi dan perdagangan. Untuk melindungi industri yang masih dalam tahap pertumbuhan, GATT mengijinkan suatu negara untuk melarang impor atau tidak memberlakukan konsesi tarif yang diberikannya dalam kerangka GATT untuk selama jangka waktu tertentu. Tindakan tersebut dapat dilakukan apabila negara yang bersangkutan tidak mempunyai pilihan lain dalam menghadapi lonjakan produk impor sehingga mengakibatkan kesulitan terhadap industri dalam negeri. Pengelompokan sejumlah negara dalam kerja sama regional guna menghapuskan hambatan perdagangan di antara mereka juga diperbolehkan, sepanjang masih sesuai dengan ketentuan GATT. Ketentuan GATT menyebutkan bahwa keberadaan kelompok regional diperbolehkan untuk meningkatkan perdagangan di antara negara-negara dalam kelompok tersebut, sejauh hal itu tidak menimbulkan hambatan perdagangan bagi negara-negara di luar kelompok regional tersebut. Dengan menyadari adanya perbedaan tingkat sosial ekonomi negara-negara peserta GATT yang tidak memungkinkan terlaksananya berbagai ketentuan dan disiplin yang telah diatur, GATT mengakui perlunya perlakuan khusus dan berbeda bagi negara-negara berkembang. Ketentuan GATT yang mengatur perlakuan khusus ini mengakui adanya negara berkembang yang memperoleh kondisi lebih menguntungkan dalam upaya mereka memasuki pasar dunia bagi produk-produknya. Negara-negara maju tidak boleh menerapkan hambatan terhadap ekspor komoditi primer dan produk lain yang merupakan kepentingan khusus negara-negara berkembang, dan khususnya negara-negara yang paling terbelakang. Negara-negara maju juga tidak boleh mengharapkan tindakan timbal balik dari negara-negara berkembang untuk mengurangi atau menghapuskan hambatan yang berupa tarif atau non-tarif. Selain itu ditegaskan pula prinsip mengenai perlakuan yang berbeda dan lebih menguntungkan, timbal balik serta keikutsertaan penuh negara berkembang, yang selanjutnya menjadi dasar bagi pemberian perlakuan khusus melalui Sistem Preferensi Umum (Generalized System of Preferences/GSP) oleh negara maju kepada negara berkembang, serta diperbolehkannya perlakuan perdagangan yang khusus bagi negara-negara berkembang yang paling terkebelakang. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
III. | PUTARAN PERUNDINGAN PERDAGANGAN MULTILATERAL Dalam kerangka GATT, perundingan-perundingan multilateral di bidang perdagangan dilakukan melalui putaran-putaran perundingan (round). Setelah tujuh tahun perundingan, pada tanggal 15 Desember 1993 GATT berhasil menyelesaikan putaran perundingan perdagangan multilateral Putaran Uruguay. Dalam sejarah GATT putaran perundingan tersebut merupakan yang kedelapan. Putaran-putaran perundingan multilateral yang berlangsung sebelum Putaran Uruguay berturut-turut adalah, Geneva Round (1947), Annecy Round (1949), Torguay Round (1950-1951), Geneva Round (1956), Dillon Round (1960-1961), Kennedy Round (1964-1967), dan Tokyo Round (1973-1979). Masalah yang dirundingkan sejak Geneva Round hingga Dillon Round pada dasarnya hanya menekankan pada upaya penurunan atau penghapusan hambatan tarif perdagangan. Pada Kennedy Round, cakupan pembahasan tidak hanya menyangkut upaya penurunan atau penghapusan tarif, tetapi juga penyusunan peraturan mengenai anti dumping. Selanjutnya pada perundingan Tokyo Round, selain dirundingkan masalah pengurangan atau pembebasan hambatan tarif dan non-tarif yang meliputi Subsidi dan Tindakan Pengimbang, Hambatan Teknis Perdagangan, Tata Cara Perijinan Impor, Pengadaan Barang dan Jasa oleh Pemerintah, dan Penilaian Pabean, juga dibahas dan disepakati sejumlah kerangka persetujuan di bidang pertanian yang meliputi Pengaturan mengenai Daging Sapi dan Kerbau dan Pengaturan Internasional mengenai Produk-produk Susu serta Perdagangan Pesawat Terbang Sipil. Dibandingkan dengan putaran-putaran perundingan sebelumnya yang hanya membahas masalah hambatan perdagangan yang berupa tarif dan non-tarif, Putaran Uruguay membahas permasalahan dengan jangkauan yang lebih luas dan kompleks. Selain mencakup perdagangan barang, Persetujuan Putaran Uruguay juga mencakup perdagangan jasa, aspek-aspek dagang dari Hak Atas Kekayaan Intelektual, dan kebijakan investasi yang berkaitan dengan perdagangan. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
IV. | PERUNDINGAN PUTARAN URUGUAY
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
V. | PERSETUJUAN PEMBENTUKAN ORGANISASI PERDAGANGAN DUNIA Agreement Establishing World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia) mengatur mengenai fungsi, struktur keorganisasian serta mekanisme pengambilan keputusan dari organisasi tersebut, sebagai berikut:
Agreements on Trade in Goods (Persetujuan dalam Perdagangan Barang), yang terdiri atas:
Lampiran 3: Trade Policy Review Mechanism (Mekanisme Tinjauan Kebijakan Perdagangan); Lampiran 4: Plurilateral Trade Agreements (Persetujuan Perdagangan Plurilateral), yang terdiri atas: Lampiran 4 (a): Agreement on Trade in Civil Aircraft (Persetujuan mengenai Perdagangan Pesawat Terbang Sipil); Lampiran 4 (b): Agreement on Government Procurement (Persetujuan mengenai Pengadaan Barang dan Jasa oleh Pemerintah); Lampiran 4 (c): International Dairy Arrangement (Pengaturan Internasional mengenai Produk-produk Susu); Lampiran 4 (d): Arrangement Regarding Bovine Meat (Pengaturan mengenai Daging Sapi dan Kerbau). Namun demikian, dalam penandatanganan naskah akhir Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia), Indonesia belum ikut serta dalam Persetujuan Dagang Plurilateral yang menjadi Lampiran 4 Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia tersebut. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
VI. | BERLAKUNYA PERSETUJUAN Dengan penandatanganan persetujuan akhir yang memuat hasil-hasil Perundingan Perdagangan Multilateral Putaran Uruguay (Final Act Embodying The Results of The Uruguay Round of Multilateral Trade Negotiations) pada tanggal 15 April 1994 di Marrakesh, Maroko, negara peserta perundingan menyepakati bahwa Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (Agreement Establishing The World Trade Organization) beserta seluruh Lampirannya diharapkan akan dapat mulai diberlakukan pada tanggal 1 Januari 1995. Namun demikian, kepastian mengenai tanggal mulai berlaku efektifnya Persetujuan tersebut, akan ditetapkan lebih lanjut oleh sidang tingkat Menteri yang bertanggung jawab di bidang Perdagangan dari negara-negara penandatangan Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia yang akan diadakan selambat-lambatnya sebelum akhir tahun 1994. |
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Persetujuan yang disahkan dengan Undang-Undang ini adalah Persetujuan yang naskahnya ditandatangani Menteri Perdagangan atas nama Pemerintah Indonesia dalam sidang di Marrakesh, Moroko, tanggal 15 April 1994.
Apabila terjadi perbedaan penafsiran antara naskah terjemahan persetujuan dalam bahasa Indonesia dengan salinan naskah asli dalam bahasa Inggris, maka yang berlaku adalah salinan naskah aslinya dalam bahasa Inggris.
Pasal 2
Karena kepastian mengenai tanggal mulai berlakunya Persetujuan tersebut baru akan ditetapkan pada sidang tingkat Menteri yang bertanggung jawab di bidang Perdagangan yang masih akan berlangsung selambat-lambatnya sebelum akhir tahun 1994, maka pernyataan mulai berlakunya Undang-Undang ini juga disesuaikan dengan tanggal mulai berlaku efektifnya Persetujuan yang akan ditetapkan.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3564
Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.