Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 89/PMK.04/2022
Tata Cara Pengenaan Tarif Bea Masuk Atas Barang Impor Berdasarkan Persetujuan Perdagangan Preferensial Antara Pemerintah Republik Indonesia Dan Pemerintah Republik Mozambik
Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.
PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 89/PMK.04/2022
TENTANG
TATA CARA PENGENAAN TARIF BEA MASUK ATAS BARANG IMPOR
BERDASARKAN PERSETUJUAN PERDAGANGAN PREFERENSIAL
ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
DAN PEMERINTAH REPUBLIK MOZAMBIK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
- bahwa untuk memajukan perekonomian nasional melalui kerja sama perdagangan internasional, Pemerintah Indonesia telah mengesahkan Persetujuan Perdagangan Preferensial antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Mozambik dengan Peraturan Presiden Nomor 90 Tahun 2021 tentang Pengesahan Persetujuan Perdagangan Preferensial antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Mozambik (Preferential Trade Agreement between the Government of the Republic of Indonesia and the Government of the Republic of Mozambique);
- bahwa untuk melaksanakan kerja sama perdagangan internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan untuk memberikan kepastian hukum dalam memberikan pelayanan kegiatan kepabeanan atas impor barang dari Republik Mozambik, perlu mengatur tata cara pengenaan tarif bea masuk atas barang impor berdasarkan Persetujuan Perdagangan Preferensial antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Mozambik;
- bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata Cara Pengenaan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor Berdasarkan Persetujuan Perdagangan Preferensial antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Mozambik;
Mengingat :
- Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
- Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3612) sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4661);
- Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916);
- Peraturan Presiden Nomor 57 Tahun 2020 tentang Kementerian Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 98);
- Peraturan Presiden Nomor 90 Tahun 2021 tentang Pengesahan Persetujuan Perdagangan Preferensial antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Mozambik (Preferential Trade Agreement between the Government of the Republic of Indonesia and the Government of the Republic of Mozambique) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 229);
- Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.01/2021 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 1031);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PENGENAAN TARIF BEA MASUK ATAS BARANG IMPOR BERDASARKAN PERSETUJUAN PERDAGANGAN PREFERENSIAL ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK MOZAMBIK.
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. | Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-Undang Kepabeanan. |
2. | Kawasan yang Ditetapkan Sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas yang selanjutnya disebut Kawasan Bebas adalah suatu kawasan yang berada dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terpisah dari Daerah Pabean sehingga bebas dari pengenaan bea masuk, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dan cukai. |
3. | Kawasan Ekonomi Khusus yang selanjutnya disingkat KEK adalah kawasan dengan batas tertentu dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditetapkan untuk menyelenggarakan fungsi perekonomian dan memperoleh fasilitas tertentu. |
4. | Tempat Penimbunan Berikat yang selanjutnya disingkat TPB adalah bangunan, tempat, atau kawasan, yang memenuhi persyaratan tertentu yang digunakan untuk menimbun barang dengan tujuan tertentu dengan mendapatkan penangguhan bea masuk. |
5. | Pusat Logistik Berikat yang selanjutnya disingkat PLB adalah TPB untuk menimbun barang asal luar Daerah Pabean dan/atau barang yang berasal dari tempat lain dalam Daerah Pabean, dapat disertai dengan 1 (satu) atau lebih kegiatan sederhana dalam jangka waktu tertentu untuk dikeluarkan kembali. |
6. | Tempat Lain Dalam Daerah Pabean yang selanjutnya disingkat TLDDP adalah Daerah Pabean selain Kawasan Bebas dan TPB. |
7. | Importir adalah orang perseorangan atau badan hukum yang melakukan kegiatan memasukkan barang ke dalam Daerah Pabean. |
8. | Penyelenggara/Pengusaha TPB adalah:
|
9. | Penyelenggara/Pengusaha PLB adalah:
|
10. | Badan Usaha/Pelaku Usaha KEK adalah:
|
11. | Tarif Preferensi adalah tarif bea masuk berdasarkan. Persetujuan Perdagangan Preferensial antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Mozambik yang besarannya ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai penetapan tarif bea masuk dalam rangka Persetujuan Perdagangan Preferensial antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Mozambik. |
12. | PPFTZ dengan Kode 01 yang selanjutnya disebut PPFTZ-01 adalah pemberitahuan pabean untuk pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari Kawasan Bebas dari dan ke luar Daerah Pabean, dan pengeluaran barang dari Kawasan Bebas ke TLDDP. |
13. | Pemberitahuan Pabean Kawasan Ekonomi Khusus yang selanjutnya disingkat PPKEK adalah pemberitahuan pabean untuk kegiatan pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari KEK. |
14. | Harmonized Commodity Description and Coding System yang selanjutnya disebut Harmonized System (HS) adalah standar internasional atas sistem penamaan dan penomoran yang digunakan untuk pengklasifikasian produk perdagangan dan turunannya yang dikelola oleh World Customs Organization (WCO). |
15. | Penelitian Ulang adalah penelitian kembali atas tarif dan/atau nilai pabean yang diberitahukan dalam dokumen pemberitahuan pabean impor dan penelitian kembali atas tarif, harga, jenis, dan/atau jumlah barang yang diberitahukan dalam dokumen pemberitahuan pabean ekspor melalui pengujian dengan data, informasi dan dokumen lain terkait. |
16. | Audit Kepabeanan adalah kegiatan pemeriksaan laporan keuangan, buku, catatan, dan dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan, surat yang berkaitan dengan kegiatan usaha termasuk data elektronik, surat yang berkaitan dengan kegiatan di bidang kepabeanan, dan/atau sediaan barang dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang, kepabeanan. |
17. | Kantor Pabean adalah kantor dalam lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tempat dipenuhinya kewajiban pabean sesuai dengan Undang-Undang Kepabeanan. |
18. | Sistem Komputer Pelayanan yang selanjutnya disingkat SKP adalah sistem komputer yang digunakan oleh Kantor Pabean dalam rangka pengawasan dan pelayanan kepabeanan. |
19. | Ketentuan Asal Barang (Rules of Origin) yang selanjutnya disebut Ketentuan Asal Barang adalah ketentuan khusus yang ditetapkan berdasarkan Persetujuan Perdagangan Preferensial antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Mozambik untuk menentukan negara asal barang. |
20. | Negara Anggota adalah negara yang menandatangani Persetujuan Perdagangan Preferensial antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Mozambik. |
21. | Bahan Originating adalah bahan yang memenuhi Ketentuan Asal Barang berdasarkan Persetujuan Perdagangan Preferensial antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Mozambik. |
22. | Barang Originating adalah barang yang memenuhi Ketentuan Asal Barang berdasarkan Persetujuan Perdagangan Preferensial antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Mozambik. |
23. | Bahan Non-Originating adalah bahan yang berasal dari luar Negara Anggota atau bahan yang tidak memenuhi Ketentuan Asal Barang berdasarkan Persetujuan Perdagangan Preferensial antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Mozambik. |
24. | Aturan Khusus Produk (Product Specific Rules) yang selanjutnya disebut PSR adalah aturan yang merinci mengenai:
|
25. | Instansi Penerbit Surat Keterangan Asal yang selanjutnya disebut Instansi Penerbit SKA adalah instansi pemerintah atau institusi yang ditunjuk pemerintah di Negara Anggota pengekspor yang diberi kewenangan untuk menerbitkan SKA Form IM atas barang yang akan diekspor. |
26. | Surat Keterangan Asal (Certificate of Origin) Persetujuan Perdagangan Preferensial antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Mozambik yang selanjutnya disebut SKA Form IM adalah dokumen pelengkap pabean yang diterbitkan oleh Instansi Penerbit SKA yang akan digunakan sebagai dasar pemberian Tarif Preferensi. |
27. | Overleaf Notes adalah halaman sebalik SKA Form IM yang berisi ketentuan mengenai pengisian SKA Form IM dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari SKA Form IM. |
28. | Dokumen Pelengkap Pabean adalah semua dokumen yang digunakan sebagai pelengkap pemberitahuan pabean, misalnya invoice, packing list, bill of lading/airway bill, manifest, dan dokumen lainnya yang dipersyaratkan. |
29. | Surat Keterangan Asal Elektronik Form D yang selanjutnya disebut e-Form D adalah SKA Form D yang disusun sesuai dengan e-ATIGA Form D Process Specification and Message Implementation Guideline, dan dikirim secara elektronik antar Negara Anggota. |
30. | Invoice dari Pihak Ketiga yang selanjutnya disebut Third Party Invoice adalah invoice yang diterbitkan oleh perusahaan lain yang berlokasi di negara selain Negara Anggota atau yang berlokasi di negara yang sama dengan negara tempat diterbitkannya SKA Form IM. |
31. | Surat Keterangan Asal Back-to-Back yang selanjutnya disebut SKA Back-to-Back adalah SKA Form IM yang diterbitkan oleh Negara Anggota pengekspor kedua berdasarkan SKA yang diterbitkan oleh Negara Anggota pengekspor pertama. |
32. | Tanggal Pengapalan atau Tanggal Eksportasi adalah tanggal bill of lading untuk moda pengangkutan laut, tanggal airway bill untuk moda pengangkutan udara, atau tanggal dokumen pengangkutan darat untuk moda pengangkutan darat. |
33. | Permintaan Retroactive Check adalah permintaan yang dilakukan oleh pejabat bea dan cukai kepada Instansi Penerbit SKA untuk mendapatkan informasi mengenai pemenuhan Ketentuan Asal Barang dan/atau keabsahan SKA Form IM. |
34. | Verification Visit adalah kegiatan yang dilakukan oleh pejabat bea dan cukai di Negara Anggota penerbit SKA Form IM untuk memperoleh data atau informasi mengenai pemenuhan Ketentuan Asal Barang dan/atau keabsahan SKA Form IM. |
35. | Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan. |
36. | Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Bea dan Cukai. |
37. | Pejabat Bea dan Cukai adalah pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang ditunjuk dalam jabatan tertentu untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan Undang-Undang Kepabeanan. |
BAB II
TARIF PREFERENSI
DAN KETENTUAN ASAL BARANG
(RULES OF ORIGIN)
Bagian Kesatu
Tarif Preferensi
Pasal 2
(1) | Barang impor dapat dikenakan Tarif Preferensi yang besarnya dapat berbeda dari tarif bea masuk yang berlaku umum (Most Favoured Nation/MFN). | ||||||||||
(2) | Besaran tarif bea masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan dalam Peraturan Menteri mengenai penetapan tarif bea masuk dalam rangka Persetujuan Perdagangan Preferensial antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Mozambik. | ||||||||||
(3) | Tarif Preferensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan terhadap:
|
||||||||||
(4) | Pengusaha di Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d angka 3, harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
|
(1) | Ketentuan Asal Barang terdiri dari:
|
(2) | Rincian lebih lanjut mengenai Ketentuan Asal Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran huruf A yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
Bagian Kedua
Kriteria Asal Barang
(Origin Criteria)
Pasal 4
(1) | Kriteria asal barang (origin criteria) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a, meliputi:
|
(2) | Kriteria asal barang (origin criteria) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, meliputi:
|
(3) | Dalam hal klasifikasi barang termasuk dalam daftar PSR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, kriteria asal barang (origin criteria) harus ditetapkan berdasarkan daftar PSR dimaksud walaupun kriteria yang terdapat pada ayat (2) huruf a telah terpenuhi. |
Bagian Ketiga
Kriteria Pengiriman
(Consignment Criteria)
Pasal 5
(1) | Kriteria pengiriman (consignment criteria) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b, meliputi:
|
(2) | Barang impor dapat dikirim melalui 1 (satu) atau lebih negara selain Negara Anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b untuk tujuan transit dan/atau transhipment, dengan ketentuan sebagai berikut:
|
Dalam hal pengiriman barang impor dilakukan melalui 1 (satu) atau lebih negara selain Negara Anggota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2), Importir, Penyelenggara/Pengusaha TPB, Penyelenggara/Pengusaha PLB, pengusaha di Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf d angka 3, atau Badan Usaha/Pelaku Usaha KEK harus menyerahkan dokumen berupa:
a. | through bill of lading/airway bill yang diterbitkan di Negara Anggota pengekspor; atau |
b. | sertifikat atau informasi lainnya yang diberikan oleh, otoritas pabean di negara selain Negara Anggota atau entitas relevan lainnya yang membuktikan pemenuhan ketentuan dalam Pasal 5 ayat (2), |
Bagian Keempat
Ketentuan Prosedural
(Procedural Provisions)
Pasal 7
(1) | Ketentuan prosedural (procedural provisions) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c terkait dengan penerbitan SKA Form IM, berlaku ketentuan sebagai berikut:
|
||||||
(2) | Instansi Penerbit SKA dapat menerbitkan SKA Form IM lebih dari 5 (lima) hari setelah Tanggal Pengapalan atau Tanggal Eksportasi, namun tidak melebihi jangka waktu 1 (satu) tahun sejak Tanggal Pengapalan atau Tanggal Eksportasi dengan memberikan tanda ( √ ) atau ( X ) pada kolom angka 13 SKA Form IM kotak "Issued Retroactively”. | ||||||
(3) | Dalam hal SKA Form IM hilang atau rusak, dapat digunakan SKA Form IM pengganti dengan ketentuan sebagai berikut:
|
||||||
(4) | Dalam hal terdapat kesalahan pada saat pengisian SKA Form IM, berlaku ketentuan sebagai berikut:
|
||||||
(5) | Dalam hal pada bill of lading atau dokumen pengangkutan lainnya terdapat tanggal penerbitan dan tanggal dimuatnya barang ke sarana pengangkut, Tanggal Pengapalan atau Tanggal Eksportasi ditentukan pada saat tanggal dimuatnya barang ke sarana pengangkut. |
(1) | Perusahaan lain yang berlokasi di negara selain Negara Anggota atau perusahaan lain yang berlokasi di negara yang sama dengan negara tempat diterbitkannya SKA Form IM, dapat menerbitkan Third Party Invoice. |
(2) | SKA Form IM yang menggunakan Third Party Invoice sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memenuhi, ketentuan sebagai berikut:
|
(1) | Untuk dapat menggunakan Tarif Preferensi sebagaimana, dimaksud dalam Pasal 2, Importir wajib:
|
||||||||||
(2) | Untuk Importir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang termasuk dalam kategori jalur merah, penyerahan lembar asli SKA Form IM ke Kantor Pabean dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
|
||||||||||
(3) | Untuk Importir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang termasuk dalam kategori jalur hijau, penyerahan lembar asli SKA Form IM ke Kantor Pabean dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
|
||||||||||
(4) | Untuk Importir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang telah ditetapkan sebagai mitra utama kepabeanan atau Authorized Economic Operator (AEO), lembar asli SKA Form IM wajib diserahkan kepada Pejabat Bea dan Cukai di Kantor Pabean paling lambat 5 (lima) hari kerja terhitung sejak Pemberitahuan Impor Barang (PIB) mendapatkan Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB). | ||||||||||
(5) | Untuk dapat menggunakan Tarif Preferensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Penyelenggara/Pengusaha TPB wajib:
|
||||||||||
(6) | Untuk dapat menggunakan Tarif Preferensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Penyelenggara/Pengusaha PLB wajib:
|
||||||||||
(7) | Untuk dapat menggunakan Tarif Preferensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, pengusaha di Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf d angka 3, wajib:
|
||||||||||
(8) | Untuk dapat menggunakan Tarif Preferensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Badan Usaha/Pelaku Usaha KEK wajib:
|
||||||||||
(9) | Importir, Penyelenggara/Pengusaha TPB, Penyelenggara/Pengusaha PLB, pengusaha di Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf d angka 3, atau Badan Usaha/Pelaku Usaha KEK, menyerahkan Dokumen Pelengkap Pabean sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan. | ||||||||||
(10) | Dalam hal penyerahan dokumen secara elektronik telah tersedia dalam SKP, Dokumen Pelengkap Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (9) dapat diserahkan secara elektronik. | ||||||||||
(11) | Lembar asli SKA Form IM sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan ayat (8) meliputi:
|
||||||||||
(12) | SKA Form IM sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan ayat (8) harus masih berlaku pada saat:
|
(1) | SKA Form IM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dapat disampaikan secara elektronik oleh Instansi Penerbit SKA kepada Kantor Pabean sesuai dengan:
|
(2) | Dalam hal SKA Form IM disampaikan secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemenuhan kewajiban penyerahan lembar asli SKA Form IM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, dikecualikan untuk Importir, Penyelenggara/Pengusaha TPB, Penyelenggara/Pengusaha PLB, pengusaha di Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf d angka 3, atau Badan Usaha/Pelaku Usaha KEK. |
(3) | Tata cara importasi dan penelitian atas penggunaan SKA Form IM yang disampaikan secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan:
|
BAB III
PENELITIAN DAN PENGENAAN TARIF PREFERENSI
Bagian Kesatu
Penelitian SKA Form IM
Pasal 11
(1) | Pejabat Bea dan Cukai di Kantor Pabean melakukan penelitian terhadap SKA Form IM dalam rangka pengenaan Tarif Preferensi. |
(2) | Pejabat Bea dan Cukai dapat meminta informasi kepada Importir, Penyelenggara/Pengusaha TPB, Penyelenggara/Pengusaha PLB, pengusaha di Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf d angka 3, atau Badan Usaha/Pelaku Usaha KEK, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan. |
(3) | Terhadap pengenaan Tarif Preferensi atas barang yang diimpor dengan menggunakan SKA Form IM sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dilakukan Penelitian Ulang atau Audit Kepabeanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan. |
(1) | Penelitian terhadap SKA Form IM untuk pengenaan Tarif Preferensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, meliputi:
|
||||||||||||||||
(2) | Dalam hal hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c menunjukkan bahwa barang impor tidak memenuhi 1 (satu) atau lebih ketentuan dalam Ketentuan Asal Barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), SKA Form IM ditolak dan atas barang impor dimaksud dikenakan tarif bea masuk yang berlaku umum (Most Favoured Nation/MFN). | ||||||||||||||||
(3) | Dalam hal hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d sampai dengan huruf g menunjukkan:
|
||||||||||||||||
(4) | SKA Form IM diragukan keabsahan dan kebenaran isinya, jika berdasarkan hasil penelitian terdapat:
|
||||||||||||||||
(5) | Dalam hal SKA Form IM terdiri dari beberapa jenis barang, penolakan terhadap salah satu jenis barang tidak membatalkan pengenaan Tarif Preferensi atas jenis barang lain yang memenuhi Ketentuan Asal Barang. |
(1) | SKA Form IM tetap sah dalam hal terdapat perbedaan yang bersifat minor (minor discrepancies). |
(2) | Perbedaan yang bersifat minor (minor discrepancies) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
Bagian Kedua
Retroactive Check dan Verification Visit
Pasal 14
(1) | Terhadap SKA Form IM yang diragukan keabsahan dan kebenaran isinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (4), dilakukan Permintaan Retroactive Check kepada Instansi Penerbit SKA. |
(2) | Permintaan Retroactive Check selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara acak (random). |
(3) | Atas barang impor yang dilakukan Permintaan Retroactive Check sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dikenakan tarif bea masuk yang berlaku umum (Most Favoured Nation/MFN). |
(4) | Permintaan Retroactive Check sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dilampiri dengan copy atau pindaian SKA Form IM, dengan menyebutkan alasan, dan disertai dengan:
|
(5) | Permintaan Retroactive Check sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disampaikan oleh:
|
(6) | SKA Form IM ditolak dan Tarif Preferensi tidak diberikan jika jawaban atas Permintaan Retroactive Check tidak disampaikan dalam jangka waktu paling lambat 45 (empat puluh lima) hari setelah tanggal diterimanya Permintaan Retroactive Check, dan/atau tidak mencukupi untuk membuktikan pemenuhan Ketentuan Asal Barang dan/atau keabsahan SKA Form IM. |
(1) | Direktur Jenderal atau Pejabat Bea dan Cukai yang ditunjuk, dapat melakukan Verification Visit jika jawaban atas Permintaan Retroactive Check sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 diragukan kebenarannya dan/atau tidak mencukupi untuk membuktikan pemenuhan Ketentuan Asal Barang dan/atau keabsahan SKA Form IM. |
(2) | Dalam rangka pelaksanaan Verification Visit, Direktur Jenderal atau Pejabat Bea dan Cukai yang ditunjuk, menyampaikan pemberitahuan tertulis kepada:
|
(3) | Pemberitahuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencantumkan informasi antara lain:
|
(4) | Verification Visit dilaksanakan setelah mendapatkan persetujuan tertulis dari eksportir dan/atau produsen yang akan dikunjungi, dan/atau Instansi Penerbit SKA. |
(5) | Dalam hal Instansi Penerbit SKA mengajukan penundaan pelaksanaan Verification Visit, Instansi Penerbit SKA harus memberitahukan penundaan tersebut kepada Pejabat Bea dan Cukai dalam jangka waktu paling lambat 15 (lima belas) hari terhitung sejak tanggal diterimanya pemberitahuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2). |
(6) | Verification Visit harus dilaksanakan dalam jangka waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak tanggal diterimanya pemberitahuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) oleh Instansi Penerbit SKA atau dalam jangka waktu yang lebih lama, dalam hal Negara Anggota menyetujui. |
(7) | Hasil pelaksanaan Verification Visit sebagaimana dimaksud pada ayat (6) disampaikan secara tertulis kepada eksportir atau produsen, dan Instansi Penerbit SKA. |
(8) | Dalam hal dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterimanya hasil pelaksanaan Verification Visit sebagaimana dimaksud pada ayat (7), eksportir dan/atau produsen memberikan informasi tambahan, Pejabat Bea dan Cukai melakukan penelitian. |
(9) | SKA Form IM ditolak dan Tarif Preferensi tidak diberikan apabila:
|
(10) | Penetapan atas SKA Form IM sebagaimana dimaksud pada ayat (9), disampaikan secara tertulis kepada Instansi Penerbit SKA dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya informasi tambahan. |
(11) | Keseluruhan proses pelaksanaan Verification Visit, termasuk pelaksanaan kunjungan, hasil pelaksanaan dan/atau penetapan, dan penyampaian diterima atau ditolaknya SKA Form IM, harus dilakukan dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak hari pertama pelaksanaan Verification Visit. |
(12) | Pelaksanaan Verification Visit dapat melibatkan kementerian dan/atau lembaga terkait. |
(1) | Pihak yang terlibat dalam proses Permintaan Retroactive Check dan pelaksanaan Verification Visit harus menjaga kerahasiaan informasi. |
(2) | Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diungkapkan oleh instansi yang berwenang melakukan penelitian dan penindakan terkait Ketentuan Asal Barang. |
(1) | Dalam hal jawaban atas Permintaan Retroactive Check, SKA Form IM diduga palsu atau dipalsukan, Pejabat Bea dan Cukai melakukan penelitian lebih lanjut berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan. |
(2) | Terhadap Importir, Penyelenggara/Pengusaha TPB, Penyelenggara/Pengusaha PLB, pengusaha di Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf d angka 3, atau Badan Usaha/Pelaku Usaha KEK yang menggunakan SKA Form IM sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan pemutakhiran profil dan koordinasi dengan Negara Anggota penerbit SKA Form IM terkait dengan penyelesaian hal tersebut sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Persetujuan Perdagangan Preferensial antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Mozambik. |
(3) | Dalam hal hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menemukan bukti yang cukup adanya dugaan pelanggaran tindak pidana di bidang kepabeanan, Pejabat Bea dan Cukai melakukan penyidikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
Dalam hal hasil koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) menyatakan bahwa eksportir terlibat dalam hal pemalsuan SKA Form IM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1), terhadap importasi yang berasal dari eksportir yang bersangkutan tidak diberikan Tarif Preferensi selama 2 (dua) tahun terhitung sejak eksportir dinyatakan terlibat oleh Negara Anggota penerbit SKA Form IM.
BAB IV
MONITORING DAN EVALUASI
Pasal 19
(1) | Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atau Kepala Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai melakukan monitoring dan/atau evaluasi terhadap pemanfaatan SKA Form IM di wilayah kerja masing-masing secara periodik. |
(2) | Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atau Kepala Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai menyampaikan hasil monitoring dan/atau evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada direktur yang melaksanakan tugas dan fungsi di bidang kerja sama kepabeanan internasional sebagai bahan evaluasi kebijakan pemanfaatan SKA Form IM. |
BAB V
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 20
(1) | Barang impor yang berasal dari Negara Anggota dengan nilai Free-on-Board (FOB) tidak melebihi USD200.00 (dua ratus United States Dollar), dapat dikenakan Tarif Preferensi tanpa harus melampirkan SKA Form IM. |
(2) | Pengenaan Tarif Preferensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan, sepanjang importasi tersebut:
|
(3) | Pengenaan Tarif Preferensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hanya diberikan terhadap barang impor yang menggunakan dokumen Pemberitahuan Impor Barang (PIB). |
(1) | Tarif Preferensi dapat diberikan atas barang yang dikirimkan oleh Negara Anggota pengekspor untuk tujuan pameran di Negara Anggota pengimpor dan terjual pada saat atau setelah pameran. |
(2) | Tarif Preferensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan pada saat penyerahan pemberitahuan pabean impor untuk dipakai, dengan ketentuan barang impor tujuan pameran:
|
(3) | SKA Form IM yang digunakan atas barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
|
Pasal 22
Penelitian Ketentuan Asal Barang untuk pengenaan Tarif Preferensi dilakukan terhadap:
a. | impor barang untuk dipakai dari TPB dan PLB; |
b. | pengeluaran barang dari Kawasan Bebas ke TLDDP; dan |
c. | pengeluaran barang dari KEK ke TLDDP |
Dalam hal SKA Form IM dibatalkan oleh Instansi Penerbit SKA, Tarif Preferensi tidak diberikan.
Tata cara penyerahan SKA Form IM beserta Dokumen Pelengkap Pabean selama pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Menteri mengenai tata cara penyerahan Surat Keterangan Asal beserta Dokumen Pelengkap Pabean Penelitian Surat Keterangan Asal dalam rangka pengenaan tarif bea masuk atas barang impor berdasarkan perjanjian atau kesepakatan internasional selama pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).
(1) | Dalam hal terjadi keadaan kahar (force majeure), Menteri dapat menetapkan prosedur pemberian Tarif Preferensi. |
(2) | Penetapan prosedur pemberian Tarif Preferensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilimpahkan kewenangannya kepada Direktur Jenderal untuk dan atas nama Menteri. |
(3) | Direktur Jenderal yang menerima pelimpahan wewenang dari Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2):
|
Petunjuk teknis mengenai tata cara pengenaan tarif bea masuk atas barang impor berdasarkan Persetujuan Perdagangan Preferensial antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Mozambik, dapat ditetapkan oleh Direktur Jenderal.
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 27
Ketentuan dalam Peraturan Menteri ini berlaku terhadap barang impor yang dokumen pemberitahuan pabeannya telah mendapat nomor dan tanggal pendaftaran dari Kantor Pabean tempat dipenuhinya kewajiban pabean terhitung sejak tanggal berlakunya Peraturan Menteri ini.
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal 6 Juni 2022.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 30 Mei 2022 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, ttd. SRI MULYANI INDRAWATI |
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 2 Juni 2022
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
YASONNA H. LAOLY
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2022 NOMOR 536
Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.