Undang-Undang Nomor : 32 Tahun 2009
Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 32 TAHUN 2009
TENTANG
PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
- bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi setiap warga negara Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28H Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
- bahwa pembangunan ekonomi nasional sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diselenggarakan berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan;
- bahwa semangat otonomi daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia telah membawa perubahan hubungan dan kewenangan antara Pemerintah dan pemerintah daerah, termasuk di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
- bahwa kualitas lingkungan hidup yang semakin menurun telah mengancam kelangsungan perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya sehingga perlu dilakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang sungguh-sungguh dan konsisten oleh semua pemangku kepentingan;
- bahwa pemanasan global yang semakin meningkat mengakibatkan perubahan iklim sehingga memperparah penurunan kualitas lingkungan hidup karena itu perlu dilakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
- bahwa agar lebih menjamin kepastian hukum dan memberikan perlindungan terhadap hak setiap orang untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari perlindungan terhadap keseluruhan ekosistem, perlu dilakukan pembaruan terhadap Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup;
- bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f, perlu membentuk Undang-Undang tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup;
Mengingat :
Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28H ayat (1), serta Pasal 33 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP.
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
- Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.
- Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum.
- Pembangunan berkelanjutan adalah upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan.
- Rencana perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang selanjutnya disingkat RPPLH adalah perencanaan tertulis yang memuat potensi, masalah lingkungan hidup, serta upaya perlindungan dan pengelolaannya dalam kurun waktu tertentu.
- Ekosistem adalah tatanan unsur lingkungan hidup yang merupakan kesatuan utuh menyeluruh dan saling mempengaruhi dalam membentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktivitas lingkungan hidup.
- Pelestarian fungsi lingkungan hidup adalah rangkaian upaya untuk memelihara kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.
- Daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia, makhluk hidup lain, dan keseimbangan antarkeduanya.
- Daya tampung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain yang masuk atau dimasukkan ke dalamnya.
- Sumber daya alam adalah unsur lingkungan hidup yang terdiri atas sumber daya hayati dan nonhayati yang secara keseluruhan membentuk kesatuan ekosistem.
- Kajian lingkungan hidup strategis, yang selanjutnya disingkat KLHS, adalah rangkaian analisis yang sistematis, menyeluruh, dan partisipatif untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau program.
- Analisis mengenai dampak lingkungan hidup, yang selanjutnya disebut Amdal, adalah kajian mengenai dampak penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.
- Upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup, yang selanjutnya disebut UKL-UPL, adalah pengelolaan dan pemantauan terhadap usaha dan/atau kegiatan yang tidak berdampak penting terhadap lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.
- Baku mutu lingkungan hidup adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam suatu sumber daya tertentu sebagai unsur lingkungan hidup.
- Pencemaran lingkungan hidup adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan.
- Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup adalah ukuran batas perubahan sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup yang dapat ditenggang oleh lingkungan hidup untuk dapat tetap melestarikan fungsinya.
- Perusakan lingkungan hidup adalah tindakan orang yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup sehingga melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.
- Kerusakan lingkungan hidup adalah perubahan langsung dan/atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup yang melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.
- Konservasi sumber daya alam adalah pengelolaan sumber daya alam untuk menjamin pemanfaatannya secara bijaksana serta kesinambungan ketersediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai serta keanekaragamannya.
- Perubahan iklim adalah berubahnya iklim yang diakibatkan langsung atau tidak langsung oleh aktivitas manusia sehingga menyebabkan perubahan komposisi atmosfer secara global dan selain itu juga berupa perubahan variabilitas iklim alamiah yang teramati pada kurun waktu yang dapat dibandingkan.
- Limbah adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan.
- Bahan berbahaya dan beracun yang selanjutnya disingkat B3 adalah zat, energi, dan/atau komponen lain yang karena sifat, konsentrasi, dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan/atau merusak lingkungan hidup, dan/atau membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, serta kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lain.
- Limbah bahan berbahaya dan beracun, yang selanjutnya disebut Limbah B3, adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan yang mengandung B3.
- Pengelolaan limbah B3 adalah kegiatan yang meliputi pengurangan, penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan, dan/atau penimbunan.
- Dumping (pembuangan) adalah kegiatan membuang, menempatkan, dan/atau memasukkan limbah dan/atau bahan dalam jumlah, konsentrasi, waktu, dan lokasi tertentu dengan persyaratan tertentu ke media lingkungan hidup tertentu.
- Sengketa lingkungan hidup adalah perselisihan antara dua pihak atau lebih yang timbul dari kegiatan yang berpotensi dan/atau telah berdampak pada lingkungan hidup.
- Dampak lingkungan hidup adalah pengaruh perubahan pada lingkungan hidup yang diakibatkan oleh suatu usaha dan/atau kegiatan.
- Organisasi lingkungan hidup adalah kelompok orang yang terorganisasi dan terbentuk atas kehendak sendiri yang tujuan dan kegiatannya berkaitan dengan lingkungan hidup.
- Audit lingkungan hidup adalah evaluasi yang dilakukan untuk menilai ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap persyaratan hukum dan kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah.
- Ekoregion adalah wilayah geografis yang memiliki kesamaan ciri iklim, tanah, air, flora, dan fauna asli, serta pola interaksi manusia dengan alam yang menggambarkan integritas sistem alam dan lingkungan hidup.
- Kearifan lokal adalah nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat untuk antara lain melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari.
- Masyarakat hukum adat adalah kelompok masyarakat yang secara turun temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum.
- Setiap orang adalah orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.
- Instrumen ekonomi lingkungan hidup adalah seperangkat kebijakan ekonomi untuk mendorong Pemerintah, pemerintah daerah, atau setiap orang ke arah pelestarian fungsi lingkungan hidup.
- Ancaman serius adalah ancaman yang berdampak luas terhadap lingkungan hidup dan menimbulkan keresahan masyarakat.
- Izin lingkungan adalah izin yang diberikan kepada setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang wajib amdal atau UKL-UPL dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagai prasyarat untuk memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan.
- Izin usaha dan/atau kegiatan adalah izin yang diterbitkan oleh instansi teknis untuk melakukan usaha dan/atau kegiatan.
- Pemerintah pusat, yang selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
- Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintah daerah.
- Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
BAB II
ASAS, TUJUAN, DAN RUANG LINGKUP
Bagian Kesatu
Asas
Pasal 2
- tanggung jawab negara;
- kelestarian dan keberlanjutan;
- keserasian dan keseimbangan;
- keterpaduan;
- manfaat;
- kehati-hatian;
- keadilan;
- ekoregion;
- keanekaragaman hayati;
- pencemar membayar;
- partisipatif;
- kearifan lokal;
- tata kelola pemerintahan yang baik; dan
- otonomi daerah.
Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup bertujuan:
- melindungi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dari pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup;
- menjamin keselamatan, kesehatan, dan kehidupan manusia;
- menjamin kelangsungan kehidupan makhluk hidup dan kelestarian ekosistem;
- menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup;
- mencapai keserasian, keselarasan, dan keseimbangan lingkungan hidup;
- menjamin terpenuhinya keadilan generasi masa kini dan generasi masa depan;
- menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan hidup sebagai bagian dari hak asasi manusia;
- mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana;
- mewujudkan pembangunan berkelanjutan; dan
- mengantisipasi isu lingkungan global.
Bagian Ketiga
Ruang Lingkup
Pasal 4
Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup meliputi:
- perencanaan;
- pemanfaatan;
- pengendalian;
- pemeliharaan;
- pengawasan; dan
- penegakan hukum
Perencanaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dilaksanakan melalui tahapan:
- inventarisasi lingkungan hidup;
- penetapan wilayah ekoregion; dan
- penyusunan RPPLH.
Bagian Kesatu
Inventarisasi Lingkungan Hidup
Pasal 6
(1) | Inventarisasi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a terdiri atas inventarisasi lingkungan hidup:
|
(2) | Inventarisasi lingkungan hidup dilaksanakan untuk memperoleh data dan informasi mengenai sumber daya alam yang meliputi:
|
Bagian Kedua
Penetapan Wilayah Ekoregion
Pasal 7
(1) | Inventarisasi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a dan huruf b menjadi dasar dalam penetapan wilayah ekoregion dan dilaksanakan oleh Menteri setelah berkoordinasi dengan instansi terkait. |
(2) | Penetapan wilayah ekoregion sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan mempertimbangkan kesamaan:
|
Inventarisasi lingkungan hidup di tingkat wilayah ekoregion sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c dilakukan untuk menentukan daya dukung dan daya tampung serta cadangan sumber daya alam.
Bagian Ketiga
Penyusunan Rencana Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Pasal 9
(1) | RPPLH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c terdiri atas:
|
(2) | RPPLH nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a disusun berdasarkan inventarisasi nasional. |
(3) | RPPLH provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b disusun berdasarkan:
|
(4) | RPPLH kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c disusun berdasarkan:
|
(1) | RPPLH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 disusun oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. |
(2) | Penyusunan RPPLH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memperhatikan:
|
(3) | RPPLH diatur dengan:
|
(4) | RPPLH memuat rencana tentang:
|
(5) | RPPLH menjadi dasar penyusunan dan dimuat dalam rencana pembangunan jangka panjang dan rencana pembangunan jangka menengah. |
Ketentuan lebih lanjut mengenai inventarisasi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, penetapan ekoregion sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan Pasal 8, serta RPPLH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal 10 diatur dalam Peraturan Pemerintah.
(1) | Pemanfaatan sumber daya alam dilakukan berdasarkan RPPLH. |
(2) | Dalam hal RPPLH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum tersusun, pemanfaatan sumber daya alam dilaksanakan berdasarkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup dengan memperhatikan:
|
(3) | Daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh:
|
(4) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam peraturan pemerintah. |
BAB V
PENGENDALIAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 13
(1) | Pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dilaksanakan dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup. |
(2) | Pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
(3) | Pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan sesuai dengan kewenangan, peran, dan tanggung jawab masing-masing. |
Bagian Kedua
Pencegahan
Pasal 14
- KLHS;
- tata ruang;
- baku mutu lingkungan hidup;
- kriteria baku kerusakan lingkungan hidup;
- amdal;
- UKL-UPL;
- perizinan;
- instrumen ekonomi lingkungan hidup;
- peraturan perundang-undangan berbasis lingkungan hidup;
- anggaran berbasis lingkungan hidup;
- analisis risiko lingkungan hidup;
- audit lingkungan hidup; dan
- instrumen lain sesuai dengan kebutuhan dan/atau perkembangan ilmu pengetahuan.
Paragraf 1
Kajian Lingkungan Hidup Strategis
Pasal 15
(1) | Pemerintah dan pemerintah daerah wajib membuat KLHS untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau program. |
(2) | Pemerintah dan pemerintah daerah wajib melaksanakan KLHS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ke dalam penyusunan atau evaluasi:
|
(3) | KLHS dilaksanakan dengan mekanisme:
|
KLHS memuat kajian antara lain:
- kapasitas daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup untuk pembangunan;
- perkiraan mengenai dampak dan risiko lingkungan hidup;
- kinerja layanan/jasa ekosistem;
- efisiensi pemanfaatan sumber daya alam;
- tingkat kerentanan dan kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim; dan
- tingkat ketahanan dan potensi keanekaragaman hayati.
(1) | Hasil KLHS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3) menjadi dasar bagi kebijakan, rencana, dan/atau program pembangunan dalam suatu wilayah. |
(2) | Apabila hasil KLHS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyatakan bahwa daya dukung dan daya tampung sudah terlampaui,
|
(1) | KLHS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dilaksanakan dengan melibatkan masyarakat dan pemangku kepentingan. |
(2) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelenggaraan KLHS diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
(1) | Untuk menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup dan keselamatan masyarakat, setiap perencanaan tata ruang wilayah wajib didasarkan pada KLHS. |
(2) | Perencanaan tata ruang wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. |
Paragraf 3
Baku Mutu Lingkungan Hidup
Pasal 20
(1) | Penentuan terjadinya pencemaran lingkungan hidup diukur melalui baku mutu lingkungan hidup. |
(2) | Baku mutu lingkungan hidup meliputi:
|
(3) | Setiap orang diperbolehkan untuk membuang limbah ke media lingkungan hidup dengan persyaratan:
|
(4) | Ketentuan lebih lanjut mengenai baku mutu lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, huruf c, huruf d, dan huruf g diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
(5) | Ketentuan lebih lanjut mengenai baku mutu lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, huruf e, dan huruf f diatur dalam peraturan menteri. |
Paragraf 4
Kriteria Baku Kerusakan Lingkungan Hidup
Pasal 21
(1) | Untuk menentukan terjadinya kerusakan lingkungan hidup, ditetapkan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. |
(2) | Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup meliputi kriteria baku kerusakan ekosistem dan kriteria baku kerusakan akibat perubahan iklim. |
(3) | Kriteria baku kerusakan ekosistem meliputi:
|
(4) | Kriteria baku kerusakan akibat perubahan iklim didasarkan pada parameter antara lain:
|
(5) | Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria baku kerusakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. |
(1) | Setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki amdal. |
(2) | Dampak penting ditentukan berdasarkan kriteria:
|
(1) | Kriteria usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting yang wajib dilengkapi dengan amdal terdiri atas:
|
(2) | Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan amdal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan Menteri. |
Dokumen amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 merupakan dasar penetapan keputusan kelayakan lingkungan hidup.
Dokumen amdal memuat:
- pengkajian mengenai dampak rencana usaha dan/atau kegiatan;
- evaluasi kegiatan di sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan;
- saran masukan serta tanggapan masyarakat terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan;
- prakiraan terhadap besaran dampak serta sifat penting dampak yang terjadi jika rencana usaha dan/atau kegiatan tersebut dilaksanakan;
- evaluasi secara holistik terhadap dampak yang terjadi untuk menentukan kelayakan atau ketidaklayakan lingkungan hidup; dan
- rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup.
(1) | Dokumen amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 disusun oleh pemrakarsa dengan melibatkan masyarakat. |
(2) | Pelibatan masyarakat harus dilakukan berdasarkan prinsip pemberian informasi yang transparan dan lengkap serta diberitahukan sebelum kegiatan dilaksanakan. |
(3) | Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
(4) | Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengajukan keberatan terhadap dokumen amdal. |
Dalam menyusun dokumen amdal, pemrakarsa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dapat meminta bantuan kepada pihak lain.
(1) | Penyusun amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dan Pasal 27 wajib memiliki sertifikat kompetensi penyusun amdal. |
(2) | Kriteria untuk memperoleh sertifikat kompetensi penyusun amdal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
(3) | Sertifikat kompetensi penyusun amdal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh lembaga sertifikasi kompetensi penyusun amdal yang ditetapkan oleh Menteri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(4) | Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikasi dan kriteria kompetensi penyusun amdal diatur dengan peraturan Menteri. |
(1) | Dokumen amdal dinilai oleh Komisi Penilai Amdal yang dibentuk oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. |
(2) | Komisi Penilai Amdal wajib memiliki lisensi dari Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. |
(3) | Persyaratan dan tatacara lisensi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri. |
(1) | Keanggotaan Komisi Penilai Amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 terdiri atas wakil dari unsur:
|
(2) | Dalam melaksanakan tugasnya, Komisi Penilai Amdal dibantu oleh tim teknis yang terdiri atas pakar independen yang melakukan kajian teknis dan sekretariat yang dibentuk untuk itu. |
(3) | Pakar independen dan sekretariat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. |
Berdasarkan hasil penilaian Komisi Penilai Amdal, Menteri, gubernur, atau bupati/walikota menetapkan keputusan kelayakan atau ketidaklayakan lingkungan hidup sesuai dengan kewenangannya.
(1) | Pemerintah dan pemerintah daerah membantu penyusunan amdal bagi usaha dan/atau kegiatan golongan ekonomi lemah yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup. |
(2) | Bantuan penyusunan amdal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa fasilitasi, biaya, dan/atau penyusunan amdal. |
(3) | Kriteria mengenai usaha dan/atau kegiatan golongan ekonomi lemah diatur dengan peraturan perundang-undangan. |
Ketentuan lebih lanjut mengenai amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 sampai dengan Pasal 32 diatur dalam Peraturan Pemerintah.
(1) | Setiap usaha dan/atau kegiatan yang tidak termasuk dalam kriteria wajib amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) wajib memiliki UKL-UPL. |
(2) | Gubernur atau bupati/walikota menetapkan jenis usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan UKL-UPL. |
(1) | Usaha dan/atau kegiatan yang tidak wajib dilengkapi UKL-UPL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2) wajib membuat surat pernyataan kesanggupan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup. |
(2) | Penetapan jenis usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan kriteria:
|
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai UKL-UPL dan surat pernyataan kesanggupan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup diatur dengan peraturan Menteri. |
(1) | Setiap usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki amdal atau UKL-UPL wajib memiliki izin lingkungan. |
(2) | Izin lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan berdasarkan keputusan kelayakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 atau rekomendasi UKL-UPL. |
(3) | Izin lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mencantumkan persyaratan yang dimuat dalam keputusan kelayakan lingkungan hidup atau rekomendasi UKL-UPL. |
(4) | Izin lingkungan diterbitkan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. |
(1) | Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya wajib menolak permohonan izin lingkungan apabila permohonan izin tidak dilengkapi dengan amdal atau UKL-UPL. |
(2) | Izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (4) dapat dibatalkan apabila:
|
Selain ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2), izin lingkungan dapat dibatalkan melalui keputusan pengadilan tata usaha negara.
(1) | Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya wajib mengumumkan setiap permohonan dan keputusan izin lingkungan. |
(2) | Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara yang mudah diketahui oleh masyarakat. |
(1) | Izin lingkungan merupakan persyaratan untuk memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan. |
(2) | Dalam hal izin lingkungan dicabut, izin usaha dan/atau kegiatan dibatalkan. |
(3) | Dalam hal usaha dan/atau kegiatan mengalami perubahan, penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib memperbarui izin lingkungan. |
Ketentuan lebih lanjut mengenai izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 sampai dengan Pasal 40 diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Paragraf 8
Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup
Pasal 42
(1) | Dalam rangka melestarikan fungsi lingkungan hidup, Pemerintah dan pemerintah daerah wajib mengembangkan dan menerapkan instrumen ekonomi lingkungan hidup. |
(2) | Instrumen ekonomi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
(1) | Instrumen perencanaan pembangunan dan kegiatan ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) huruf a meliputi:
|
(2) | Instrumen pendanaan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) huruf b meliputi:
|
(3) | Insentif dan/atau disinsentif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) huruf c antara lain diterapkan dalam bentuk:
|
(4) | Ketentuan lebih lanjut mengenai instrumen ekonomi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 dan Pasal 43 ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
Paragraf 9
Peraturan Perundang-undangan Berbasis Lingkungan Hidup
Pasal 44
Setiap penyusunan peraturan perundang-undangan pada tingkat nasional dan daerah wajib memperhatikan perlindungan fungsi lingkungan hidup dan prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
Paragraf 10
Anggaran Berbasis Lingkungan Hidup
Pasal 45
(1) | Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia serta pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah wajib mengalokasikan anggaran yang memadai untuk membiayai:
|
(2) | Pemerintah wajib mengalokasikan anggaran dana alokasi khusus lingkungan hidup yang memadai untuk diberikan kepada daerah yang memiliki kinerja perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang baik. |
Selain ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45, dalam rangka pemulihan kondisi lingkungan hidup yang kualitasnya telah mengalami pencemaran dan/atau kerusakan pada saat Undang-Undang ini ditetapkan, Pemerintah dan pemerintah daerah wajib mengalokasikan anggaran untuk pemulihan lingkungan hidup.
Paragraf 11
Analisis Risiko Lingkungan Hidup
Pasal 47
(1) | Setiap usaha dan/atau kegiatan yang berpotensi menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan hidup, ancaman terhadap ekosistem dan kehidupan, dan/atau kesehatan dan keselamatan manusia wajib melakukan analisis risiko lingkungan hidup. |
(2) | Analisis risiko lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai analisis risiko lingkungan hidup diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
Paragraf 12
Audit Lingkungan Hidup
Pasal 48
Pemerintah mendorong penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk melakukan audit lingkungan hidup dalam rangka meningkatkan kinerja lingkungan hidup.
(1) | Menteri mewajibkan audit lingkungan hidup kepada:
|
(2) | Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib melaksanakan audit lingkungan hidup. |
(3) | Pelaksanaan audit lingkungan hidup terhadap kegiatan tertentu yang berisiko tinggi dilakukan secara berkala. |
(1) | Apabila penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1), Menteri dapat melaksanakan atau menugasi pihak ketiga yang independen untuk melaksanakan audit lingkungan hidup atas beban biaya penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan. |
(2) | Menteri mengumumkan hasil audit lingkungan hidup. |
(1) | Audit lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 dan Pasal 49 dilaksanakan oleh auditor lingkungan hidup. |
(2) | Auditor lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memiliki sertifikat kompetensi auditor lingkungan hidup. |
(3) | Kriteria untuk memperoleh sertifikat kompetensi auditor lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi kemampuan:
|
(4) | Sertifikat kompetensi auditor lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterbitkan oleh lembaga sertifikasi kompetensi auditor lingkungan hidup sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
Ketentuan lebih lanjut mengenai audit lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 sampai dengan Pasal 51 diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Ketiga
Penanggulangan
Pasal 53
(1) | Setiap orang yang melakukan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup wajib melakukan penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. |
(2) | Penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan:
|
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
Bagian Keempat
Pemulihan
Pasal 54
(1) | Setiap orang yang melakukan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup wajib melakukan pemulihan fungsi lingkungan hidup. |
(2) | Pemulihan fungsi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tahapan:
|
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemulihan fungsi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
(1) | Pemegang izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) wajib menyediakan dana penjaminan untuk pemulihan fungsi lingkungan hidup. |
(2) | Dana penjaminan disimpan di bank pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. |
(3) | Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya dapat menetapkan pihak ketiga untuk melakukan pemulihan fungsi lingkungan hidup dengan menggunakan dana penjaminan. |
(4) | Ketentuan lebih lanjut mengenai dana penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 sampai dengan Pasal 55 diatur dalam Peraturan Pemerintah.
(1) | Pemeliharaan lingkungan hidup dilakukan melalui upaya:
|
(2) | Konservasi sumber daya alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi kegiatan:
|
(3) | Pencadangan sumber daya alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan sumber daya alam yang tidak dapat dikelola dalam jangka waktu tertentu. |
(4) | Pelestarian fungsi atmosfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi:
|
(5) | Ketentuan lebih lanjut mengenai konservasi dan pencadangan sumber daya alam serta pelestarian fungsi atmosfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. |
BAB VII
PENGELOLAAN BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN
SERTA LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN
Bagian Kesatu
Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun
Pasal 58
(1) | Setiap orang yang memasukkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, menghasilkan, mengangkut, mengedarkan, menyimpan, memanfaatkan, membuang, mengolah, dan/atau menimbun B3 wajib melakukan pengelolaan B3. |
(2) | Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
Bagian Kedua
Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun
Pasal 59
(1) | Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 wajib melakukan pengelolaan limbah B3 yang dihasilkannya. |
(2) | Dalam hal B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) telah kedaluwarsa, pengelolaannya mengikuti ketentuan pengelolaan limbah B3. |
(3) | Dalam hal setiap orang tidak mampu melakukan sendiri pengelolaan limbah B3, pengelolaannya diserahkan kepada pihak lain. |
(4) | Pengelolaan limbah B3 wajib mendapat izin dari Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. |
(5) | Menteri, gubernur, atau bupati/walikota wajib mencantumkan persyaratan lingkungan hidup yang harus dipenuhi dan kewajiban yang harus dipatuhi pengelola limbah B3 dalam izin. |
(6) | Keputusan pemberian izin wajib diumumkan. |
(7) | Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan limbah B3 diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
Setiap orang dilarang melakukan dumping limbah dan/atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin.
(1) | Dumping sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 hanya dapat dilakukan dengan izin dari Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. |
(2) | Dumping sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan di lokasi yang telah ditentukan. |
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan dumping limbah atau bahan diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
BAB VIII
(1) | Pemerintah dan pemerintah daerah mengembangkan sistem informasi lingkungan hidup untuk mendukung pelaksanaan dan pengembangan kebijakan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. |
(2) | Sistem informasi lingkungan hidup dilakukan secara terpadu dan terkoordinasi dan wajib dipublikasikan kepada masyarakat. |
(3) | Sistem informasi lingkungan hidup paling sedikit memuat informasi mengenai status lingkungan hidup, peta rawan lingkungan hidup, dan informasi lingkungan hidup lain. |
(4) | Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem informasi lingkungan hidup diatur dengan Peraturan Menteri. |
BAB IX
TUGAS DAN WEWENANG PEMERINTAH DAN PEMERINTAH DAERAH
Pasal 63
(1) | Dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, Pemerintah bertugas dan berwenang:
|
(2) | Dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, pemerintah provinsi bertugas dan berwenang:
|
(3) | Dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, pemerintah kabupaten/kota bertugas dan berwenang:
|
Tugas dan wewenang Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam pasal 63 ayat (1) dilaksanakan dan/atau dikoordinasikan oleh Menteri.
BAB X
HAK, KEWAJIBAN, DAN LARANGAN
Bagian Kesatu
Hak
Pasal 65
(1) | Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia. |
(2) | Setiap orang berhak mendapatkan pendidikan lingkungan hidup, akses informasi, akses partisipasi, dan akses keadilan dalam memenuhi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. |
(3) | Setiap orang berhak mengajukan usul dan/atau keberatan terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan yang diperkirakan dapat menimbulkan dampak terhadap lingkungan hidup. |
(4) | Setiap orang berhak untuk berperan dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan. |
(5) | Setiap orang berhak melakukan pengaduan akibat dugaan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. |
(6) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri. |
Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.
Bagian Kedua
Kewajiban
Pasal 67
Setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mengendalikan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.
Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berkewajiban:
- memberikan informasi yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup secara benar, akurat, terbuka, dan tepat waktu;
- menjaga keberlanjutan fungsi lingkungan hidup; dan
- menaati ketentuan tentang baku mutu lingkungan hidup dan/atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.
Bagian Ketiga
Larangan
Pasal 69
(1) | Setiap orang dilarang:
|
(2) | Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h memperhatikan dengan sungguh-sungguh kearifan lokal di daerah masing-masing. |
BAB XI
PERAN MASYARAKAT
Pasal 70
(1) | Masyarakat memiliki hak dan kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan aktif dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. |
(2) | Peran masyarakat dapat berupa:
|
(3) | Peran masyarakat dilakukan untuk:
|
BAB XII
PENGAWASAN DAN SANKSI ADMINISTRATIF
Bagian Kesatu
Pengawasan
Pasal 71
(1) | Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya wajib melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan atas ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. |
(2) | Menteri, gubernur, atau bupati/walikota dapat mendelegasikan kewenangannya dalam melakukan pengawasan kepada pejabat/instansi teknis yang bertanggung jawab di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. |
(3) | Dalam melaksanakan pengawasan, Menteri, gubernur, atau bupati/walikota menetapkan pejabat pengawas lingkungan hidup yang merupakan pejabat fungsional. |
Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya wajib melakukan pengawasan ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap izin lingkungan.
Menteri dapat melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang izin lingkungannya diterbitkan oleh pemerintah daerah jika Pemerintah menganggap terjadi pelanggaran yang serius di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
(1) | Pejabat pengawas lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (3) berwenang:
|
(2) | Dalam melaksanakan tugasnya, pejabat pengawas lingkungan hidup dapat melakukan koordinasi dengan pejabat penyidik pegawai negeri sipil. |
(3) | Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dilarang menghalangi pelaksanaan tugas pejabat pengawas lingkungan hidup. |
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengangkatan pejabat pengawas lingkungan hidup dan tata cara pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (3), Pasal 73, dan Pasal 74 diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua
Sanksi Administratif
Pasal 76
(1) | Menteri, gubernur, atau bupati/walikota menerapkan sanksi administratif kepada penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan jika dalam pengawasan ditemukan pelanggaran terhadap izin lingkungan. |
(2) | Sanksi administratif terdiri atas:
|
Menteri dapat menerapkan sanksi administratif terhadap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan jika Pemerintah menganggap pemerintah daerah secara sengaja tidak menerapkan sanksi administratif terhadap pelanggaran yang serius di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 tidak membebaskan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dari tanggung jawab pemulihan dan pidana.
Pengenaan sanksi administratif berupa pembekuan atau pencabutan izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (2) huruf c dan huruf d dilakukan apabila penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan tidak melaksanakan paksaan pemerintah.
(1) | Paksaan pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (2) huruf b berupa:
|
(2) | Pengenaan paksaan pemerintah dapat dijatuhkan tanpa didahului teguran apabila pelanggaran yang dilakukan menimbulkan:
|
Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang tidak melaksanakan paksaan pemerintah dapat dikenai denda atas setiap keterlambatan pelaksanaan sanksi paksaan pemerintah.
(1) | Menteri, gubernur, atau bupati/walikota berwenang untuk memaksa penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk melakukan pemulihan lingkungan hidup akibat pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang dilakukannya. |
(2) | Menteri, gubernur, atau bupati/walikota berwenang atau dapat menunjuk pihak ketiga untuk melakukan pemulihan lingkungan hidup akibat pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang dilakukannya atas beban biaya penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan. |
Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi administratif diatur dalam Peraturan Pemerintah.
BAB XIII
PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 84
(1) | Penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan. |
(2) | Pilihan penyelesaian sengketa lingkungan hidup dilakukan secara sukarela oleh para pihak yang bersengketa. |
(3) | Gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dipilih dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa. |
Bagian Kedua
Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan
Pasal 85
(1) | Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan dilakukan untuk mencapai kesepakatan mengenai:
|
(2) | Penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak berlaku terhadap tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. |
(3) | Dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan dapat digunakan jasa mediator dan/atau arbiter untuk membantu menyelesaikan sengketa lingkungan hidup. |
(1) | Masyarakat dapat membentuk lembaga penyedia jasa penyelesaian sengketa lingkungan hidup yang bersifat bebas dan tidak berpihak. |
(2) | Pemerintah dan pemerintah daerah dapat memfasilitasi pembentukan lembaga penyedia jasa penyelesaian sengketa lingkungan hidup yang bersifat bebas dan tidak berpihak. |
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai lembaga penyedia jasa penyelesaian sengketa lingkungan hidup diatur dengan Peraturan Pemerintah. |
Bagian Ketiga
Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Melalui Pengadilan
Paragraf 1
Ganti Kerugian dan Pemulihan Lingkungan
Pasal 87
(1) | Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup wajib membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu. |
(2) | Setiap orang yang melakukan pemindahtanganan, pengubahan sifat dan bentuk usaha, dan/atau kegiatan dari suatu badan usaha yang melanggar hukum tidak melepaskan tanggung jawab hukum dan/atau kewajiban badan usaha tersebut. |
(3) | Pengadilan dapat menetapkan pembayaran uang paksa terhadap setiap hari keterlambatan atas pelaksanaan putusan pengadilan. |
(4) | Besarnya uang paksa diputuskan berdasarkan peraturan perundang-undangan. |
Paragraf 2
Tanggung Jawab Mutlak
Pasal 88
Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.
Paragraf 3
Tenggat Kedaluwarsa untuk Pengajuan Gugatan
Pasal 89
(1) | Tenggat kedaluwarsa untuk mengajukan gugatan ke pengadilan mengikuti tenggang waktu sebagaimana diatur dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan dihitung sejak diketahui adanya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. |
(2) | Ketentuan mengenai tenggat kedaluwarsa tidak berlaku terhadap pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang diakibatkan oleh usaha dan/atau kegiatan yang menggunakan dan/atau mengelola B3 serta menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3. |
Paragraf 4
Hak Gugat Pemerintah dan Pemerintah Daerah
Pasal 90
(1) | Instansi pemerintah dan pemerintah daerah yang bertanggung jawab di bidang lingkungan hidup berwenang mengajukan gugatan ganti rugi dan tindakan tertentu terhadap usaha dan/atau kegiatan yang menyebabkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang mengakibatkan kerugian lingkungan hidup. |
(2) | Ketentuan lebih lanjut mengenai kerugian lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri. |
Paragraf 5
Hak Gugat Masyarakat
Pasal 91
(1) | Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan kelompok untuk kepentingan dirinya sendiri dan/atau untuk kepentingan masyarakat apabila mengalami kerugian akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. |
(2) | Gugatan dapat diajukan apabila terdapat kesamaan fakta atau peristiwa, dasar hukum, serta jenis tuntutan di antara wakil kelompok dan anggota kelompoknya. |
(3) | Ketentuan mengenai hak gugat masyarakat dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. |
Paragraf 6
Hak Gugat Organisasi Lingkungan Hidup
Pasal 92
(1) | Dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup. |
(2) | Hak mengajukan gugatan terbatas pada tuntutan untuk melakukan tindakan tertentu tanpa adanya tuntutan ganti rugi, kecuali biaya atau pengeluaran riil. |
(3) | Organisasi lingkungan hidup dapat mengajukan gugatan apabila memenuhi persyaratan:
|
Paragraf 7
Gugatan Administratif
Pasal 93
(1) | Setiap orang dapat mengajukan gugatan terhadap keputusan tata usaha negara apabila:
|
(2) | Tata cara pengajuan gugatan terhadap keputusan tata usaha negara mengacu pada Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. |
BAB XIV
PENYIDIKAN DAN PEMBUKTIAN
Bagian Kesatu
Penyidikan
Pasal 94
(1) | Selain penyidik pejabat polisi Negara Republik Indonesia, pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup diberi wewenang sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana lingkungan hidup. |
(2) | Penyidik pejabat pegawai negeri sipil berwenang:
|
(3) | Dalam melakukan penangkapan dan penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf k, penyidik pejabat pegawai negeri sipil berkoordinasi dengan penyidik pejabat polisi Negara Republik Indonesia. |
(4) | Dalam hal penyidik pejabat pegawai negeri sipil melakukan penyidikan, penyidik pejabat pegawai negeri sipil memberitahukan kepada penyidik pejabat polisi Negara Republik Indonesia dan penyidik pejabat polisi Negara Republik Indonesia memberikan bantuan guna kelancaran penyidikan. |
(5) | Penyidik pejabat pegawai negeri sipil memberitahukan dimulainya penyidikan kepada penuntut umum dengan tembusan kepada penyidik pejabat polisi Negara Republik Indonesia. |
(6) | Hasil penyidikan yang telah dilakukan oleh penyidik pegawai negeri sipil disampaikan kepada penuntut umum. |
(1) | Dalam rangka penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana lingkungan hidup, dapat dilakukan penegakan hukum terpadu antara penyidik pegawai negeri sipil, kepolisian, dan kejaksaan di bawah koordinasi Menteri. |
(2) | Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan penegakan hukum terpadu diatur dengan peraturan perundang-undangan. |
Bagian Kedua
Pembuktian
Pasal 96
- Keterangan saksi;
- Keterangan ahli;
- Surat;
- Petunjuk;
- Keterangan terdakwa; dan/atau
- Alat bukti lain, termasuk alat bukti yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
BAB XV
KETENTUAN PIDANA
Pasal 97
(1) | Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). |
(2) | Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka dan/atau bahaya kesehatan manusia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah). |
(3) | Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka berat atau mati, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah). |
(1) | Setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). |
(2) | Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka dan/atau bahaya kesehatan manusia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah). |
(3) | Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka berat atau mati, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 9 (sembilan) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp9.000.000.000,00 (sembilan miliar rupiah). |
(1) | Setiap orang yang melanggar baku mutu air limbah, baku mutu emisi, atau baku mutu gangguan dipidana, dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). |
(2) | Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dikenakan apabila sanksi administratif yang telah dijatuhkan tidak dipatuhi atau pelanggaran dilakukan lebih dari satu kali. |
Setiap orang yang melepaskan dan/atau mengedarkan produk rekayasa genetik ke media lingkungan hidup yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atau izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf g, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Setiap orang yang melakukan pengelolaan limbah B3 tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 dan tidak melakukan pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Setiap orang yang melakukan dumping limbah dan/atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Setiap orang yang memasukkan limbah ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf c dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah).
Setiap orang yang memasukkan limbah B3 ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf d, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).
Setiap orang yang memasukkan B3 yang dilarang menurut peraturan perundang–undangan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).
Setiap orang yang melakukan pembakaran lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf h, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Setiap orang yang menyusun amdal tanpa memiliki sertifikat kompetensi penyusun amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf i, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
(1) | Pejabat pemberi izin lingkungan yang menerbitkan izin lingkungan tanpa dilengkapi dengan amdal atau UKL-UPL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). |
(2) | Pejabat pemberi izin usaha dan/atau kegiatan yang menerbitkan izin usaha dan/atau kegiatan tanpa dilengkapi dengan izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). |
Setiap pejabat berwenang yang dengan sengaja tidak melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap peraturan perundang-undangan dan izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 dan Pasal 72, yang mengakibatkan terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan yang mengakibatkan hilangnya nyawa manusia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Setiap orang yang memberikan informasi palsu, menyesatkan, menghilangkan informasi, merusak informasi, atau memberikan keterangan yang tidak benar yang diperlukan dalam kaitannya dengan pengawasan dan penegakan hukum yang berkaitan dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf j dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang tidak melaksanakan paksaan pemerintah dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi, atau menggagalkan pelaksanaan tugas pejabat pengawas lingkungan hidup dan/atau pejabat penyidik pegawai negeri sipil dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(1) | Apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada:
|
(2) | Apabila tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang, yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha, sanksi pidana dijatuhkan terhadap pemberi perintah atau pemimpin dalam tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut dilakukan secara sendiri atau bersama-sama. |
Jika tuntutan pidana diajukan kepada pemberi perintah atau pemimpin tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) huruf b, ancaman pidana yang dijatuhkan berupa pidana penjara dan denda diperberat dengan sepertiga.
Terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) huruf a, sanksi pidana dijatuhkan kepada badan usaha yang diwakili oleh pengurus yang berwenang mewakili di dalam dan di luar pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan selaku pelaku fungsional.
Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini, terhadap badan usaha dapat dikenakan pidana tambahan atau tindakan tata tertib berupa:
- perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana;
- penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau kegiatan;
- perbaikan akibat tindak pidana;
- pewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau
- penempatan perusahaan di bawah pengampuan paling lama 3 (tiga) tahun.
(1) | Dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, jaksa berkoordinasi dengan instansi yang bertanggung jawab di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup untuk melaksanakan eksekusi. |
(2) | Dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 huruf e, Pemerintah berwenang untuk mengelola badan usaha yang dijatuhi sanksi penempatan di bawah pengampuan untuk melaksanakan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. |
BAB XVI
(1) | Pada saat berlakunya Undang-Undang ini, dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun, setiap usaha dan/atau kegiatan yang telah memiliki izin usaha dan/atau kegiatan tetapi belum memiliki dokumen amdal wajib menyelesaikan audit lingkungan hidup. |
(2) | Pada saat berlakunya Undang-Undang ini, dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun, setiap usaha dan/atau kegiatan yang telah memiliki izin usaha dan/atau kegiatan tetapi belum memiliki UKL-UPL wajib membuat dokumen pengelolaan lingkungan hidup. |
(1) | Pada saat berlakunya Undang-Undang ini, dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun, setiap penyusun amdal wajib memiliki sertifikat kompetensi penyusun amdal. |
(2) | Pada saat berlakunya Undang-Undang ini, dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun, setiap auditor lingkungan hidup wajib memiliki sertifikat kompetensi auditor lingkungan hidup. |
Segala izin di bidang pengelolaan lingkungan hidup yang telah dikeluarkan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya wajib diintegrasikan ke dalam izin lingkungan paling lama 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini ditetapkan.
BAB XVII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 124
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3699) dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan Undang-Undang ini.
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3699) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Peraturan pelaksanaan yang diamanatkan dalam Undang-Undang ini ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diberlakukan.
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 3 Oktober 2009
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 3 Oktober 2009
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 140
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 32 TAHUN 2009
TENTANG
PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5059
Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.