Undang-Undang Nomor : 11 TAHUN 2020
Cipta Kerja
Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 11 TAHUN 2020
TENTANG
CIPTA KERJA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
- bahwa untuk mewujudkan tujuan pembentukan Pemerintah Negara Indonesia dan mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara perlu melakukan berbagai upaya untuk memenuhi hak warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan melalui cipta kerja;
- bahwa dengan cipta kerja diharapkan mampu menyerap tenaga kerja Indonesia yang seluas-luasnya di tengah persaingan yang semakin kompetitif dan tuntutan globalisasi ekonomi;
- bahwa untuk mendukung cipta kerja diperlukan penyesuaian berbagai aspek pengaturan yang berkaitan dengan kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah, peningkatan ekosistem investasi, dan percepatan proyek strategis nasional, termasuk peningkatan perlindungan dan kesejahteraan pekerja;
- bahwa pengaturan yang berkaitan dengan kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah, peningkatan ekosistem investasi, dan percepatan proyek strategis nasional, termasuk peningkatan perlindungan dan kesejahteraan pekerja yang tersebar di berbagai Undang-Undang sektor saat ini belum dapat memenuhi kebutuhan hukum untuk percepatan cipta kerja sehingga perlu dilakukan perubahan;
- bahwa upaya perubahan pengaturan yang berkaitan kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah, peningkatan ekosistem investasi, dan percepatan proyek strategis nasional, termasuk peningkatan perlindungan dan kesejahteraan pekerja dilakukan melalui perubahan Undang-Undang sektor yang belum mendukung terwujudnya sinkronisasi dalam menjamin percepatan cipta kerja, sehingga diperlukan terobosan hukum yang dapat menyelesaikan berbagai permasalahan dalam beberapa Undang-Undang ke dalam satu Undang-Undang secara komprehensif;
- bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, perlu membentuk Undang-Undang tentang Cipta Kerja;
- Pasal 4, Pasal 5 ayat (1), Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal 20, Pasal 22D ayat (2), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
- Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi Dalam Rangka Demokrasi Ekonomi;
- Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG CIPTA KERJA.
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
- Cipta Kerja adalah upaya penciptaan kerja melalui usaha kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah, peningkatan ekosistem investasi dan kemudahan berusaha, dan investasi Pemerintah Pusat dan percepatan proyek strategis nasional.
- Koperasi adalah koperasi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Perkoperasian.
- Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah yang selanjutnya disingkat UMK-M adalah usaha mikro, usaha kecil, dan usaha menengah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
- Perizinan Berusaha adalah legalitas yang diberikan kepada Pelaku Usaha untuk memulai dan menjalankan usaha dan/atau kegiatannya.
- Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
- Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
- Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
- Pelaku Usaha adalah orang perseorangan atau badan usaha yang melakukan usaha dan/atau kegiatan pada bidang tertentu.
- Badan Usaha adalah badan usaha berbentuk badan hukum atau tidak berbentuk badan hukum yang didirikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan melakukan usaha dan/atau kegiatan pada bidang tertentu.
- Rencana Detail Tata Ruang yang selanjutnya disingkat RDTR adalah rencana secara terperinci tentang tata ruang wilayah kabupaten/kota yang dilengkapi dengan peraturan zonasi kabupaten/kota.
- Persetujuan Bangunan Gedung adalah perizinan yang diberikan kepada pemilik bangunan gedung untuk membangun baru, mengubah, memperluas, mengurangi, dan/atau merawat bangunan gedung sesuai dengan standar teknis Bangunan Gedung.
- Hari adalah hari kerja sesuai dengan yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
BAB II
ASAS, TUJUAN, DAN RUANG LINGKUP
(1) | Undang-Undang ini diselenggarakan berdasarkan asas:
|
(2) | Selain berdasarkan asas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelenggaraan Cipta Kerja dilaksanakan berdasarkan asas lain sesuai dengan bidang hukum yang diatur dalam undang-undang yang bersangkutan. |
Undang-Undang ini dibentuk dengan tujuan untuk:
- menciptakan dan meningkatkan lapangan kerja dengan memberikan kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan terhadap koperasi dan UMK-M serta industri dan perdagangan nasional sebagai upaya untuk dapat menyerap tenaga kerja Indonesia yang seluas-luasnya dengan tetap memperhatikan keseimbangan dan kemajuan antardaerah dalam kesatuan ekonomi nasional;
- menjamin setiap warga negara memperoleh pekerjaan, serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja;
- melakukan penyesuaian berbagai aspek pengaturan yang berkaitan dengan keberpihakan, penguatan, dan perlindungan bagi koperasi dan UMK-M serta industri nasional; dan
- melakukan penyesuaian berbagai aspek pengaturan yang berkaitan dengan peningkatan ekosistem investasi, kemudahan dan percepatan proyek strategis nasional yang berorientasi pada kepentingan nasional yang berlandaskan pada ilmu pengetahuan dan teknologi nasional dengan berpedoman pada haluan ideologi Pancasila.
Dalam rangka mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, ruang lingkup Undang-Undang ini mengatur kebijakan strategis Cipta Kerja yang meliputi:
- peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha;
- ketenagakerjaan;
- kemudahan, pelindungan, serta pemberdayaan koperasi dan UMK-M;
- kemudahan berusaha;
- dukungan riset dan inovasi;
- pengadaan tanah;
- kawasan ekonomi;
- investasi Pemerintah Pusat dan percepatan proyek strategis nasional;
- pelaksanaan administrasi pemerintahan; dan
- pengenaan sanksi.
Ruang lingkup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 meliputi bidang hukum yang diatur dalam undang-undang terkait.
BAB III
PENINGKATAN EKOSISTEM INVESTASI DAN KEGIATAN BERUSAHA
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 6
Peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a meliputi:
- penerapan Perizinan Berusaha berbasis risiko;
- penyederhanaan persyaratan dasar Perizinan Berusaha;
- penyederhanaan Perizinan Berusaha sektor; dan
- penyederhanaan persyaratan investasi.
Bagian Kedua
Penerapan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko
Paragraf 1
Umum
Pasal 7
(1) | Perizinan Berusaha berbasis risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a dilakukan berdasarkan penetapan tingkat risiko dan peringkat skala usaha kegiatan usaha. |
(2) | Penetapan tingkat risiko dan peringkat skala usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh berdasarkan penilaian tingkat bahaya dan potensi terjadinya bahaya. |
(3) | Penilaian tingkat bahaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan terhadap aspek:
|
(4) | Untuk kegiatan tertentu, penilaian tingkat bahaya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat mencakup aspek lainnya sesuai dengan sifat kegiatan usaha. |
(5) | Penilaian tingkat bahaya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) dilakukan dengan memperhitungkan:
|
(6) | Penilaian potensi terjadinya bahaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
|
(7) | Berdasarkan penilaian tingkat bahaya sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), serta penilaian potensi terjadinya bahaya sebagaimana dimaksud pada ayat (6), tingkat risiko dan peringkat skala usaha kegiatan usaha ditetapkan menjadi:
|
Paragraf 2
Perizinan Berusaha Kegiatan Usaha Berisiko Rendah
Pasal 8
(1) | Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha berisiko rendah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (7) huruf a berupa pemberian nomor induk berusaha yang merupakan legalitas pelaksanaan kegiatan berusaha. |
(2) | Nomor induk berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bukti registrasi/pendaftaran Pelaku Usaha untuk melakukan kegiatan usaha dan sebagai identitas bagi Pelaku Usaha dalam pelaksanaan kegiatan usahanya. |
Paragraf 3
Perizinan Berusaha Kegiatan Usaha Berisiko Menengah
Pasal 9
(1) | Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha berisiko menengah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (7) huruf b meliputi:
|
(2) | Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha berisiko menengah rendah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berupa pemberian:
|
(3) | Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha berisiko menengah tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berupa pemberian:
|
(4) | Sertifikat standar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b merupakan pernyataan Pelaku Usaha untuk memenuhi standar usaha dalam rangka melakukan kegiatan usaha. |
(5) | Sertifikat standar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b merupakan sertifikat standar usaha yang diterbitkan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya berdasarkan hasil verifikasi pemenuhan standar pelaksanaan kegiatan usaha oleh Pelaku Usaha. |
(6) | Dalam hal kegiatan usaha berisiko menengah memerlukan standardisasi produk sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan ayat (3) huruf b, Pemerintah Pusat menerbitkan sertifikat standar produk berdasarkan hasil verifikasi pemenuhan standar yang wajib dipenuhi oleh Pelaku Usaha sebelum melakukan kegiatan komersialisasi produk. |
Paragraf 4
Perizinan Berusaha Kegiatan Usaha Berisiko Tinggi
Pasal 10
(1) | Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha berisiko tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (7) huruf c berupa pemberian:
|
(2) | Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan persetujuan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah untuk pelaksanaan kegiatan usaha yang wajib dipenuhi oleh Pelaku Usaha sebelum melaksanakan kegiatan usahanya. |
(3) | Dalam hal kegiatan usaha berisiko tinggi memerlukan pemenuhan standar usaha dan standar produk, Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah menerbitkan sertifikat standar usaha dan sertifikat standar produk berdasarkan hasil verifikasi pemenuhan standar. |
Paragraf 5
Pengawasan
Pengawasan terhadap setiap kegiatan usaha dilakukan dengan pengaturan frekuensi pelaksanaan berdasarkan tingkat risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (7) dan mempertimbangkan tingkat kepatuhan Pelaku Usaha.
Paragraf 6
Peraturan Pelaksanaan
Pasal 12
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha berbasis risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 10, serta tata cara pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketiga
Penyederhanaan Persyaratan Dasar Perizinan Berusaha
Paragraf 1
Umum
Pasal 13
Penyederhanaan persyaratan dasar Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b meliputi:
- kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang;
- persetujuan lingkungan; dan
- Persetujuan Bangunan Gedung dan sertifikat laik fungsi.
Paragraf 2
Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang
Pasal 14
(1) | Kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf a merupakan kesesuaian rencana lokasi kegiatan dan/atau usahanya dengan RDTR. |
(2) | Pemerintah Daerah wajib menyusun dan menyediakan RDTR dalam bentuk digital dan sesuai standar. |
(3) | Penyediaan RDTR dalam bentuk digital sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan sesuai dengan standar dan dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat untuk mendapatkan informasi mengenai kesesuaian rencana lokasi kegiatan dan/atau usahanya dengan RDTR. |
(4) | Pemerintah Pusat wajib mengintegrasikan RDTR dalam bentuk digital sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ke dalam sistem Perizinan Berusaha secara elektronik. |
(5) | Dalam hal Pelaku Usaha mendapatkan informasi rencana lokasi kegiatan usahanya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) telah sesuai dengan RDTR, Pelaku Usaha mengajukan permohonan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang untuk kegiatan usahanya melalui sistem Perizinan Berusaha secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dengan mengisi koordinat lokasi yang diinginkan untuk memperoleh konfirmasi kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang. |
(6) | Setelah memperoleh konfirmasi kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Pelaku Usaha mengajukan permohonan Perizinan Berusaha. |
(1) | Dalam hal Pemerintah Daerah belum menyusun dan menyediakan RDTR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), Pelaku Usaha mengajukan permohonan persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang untuk kegiatan usahanya kepada Pemerintah Pusat melalui sistem Perizinan Berusaha secara elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(2) | Pemerintah Pusat memberikan persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan rencana tata ruang. |
(3) | Rencana tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:
|
Dalam rangka penyederhanaan persyaratan dasar Perizinan Berusaha serta untuk memberikan kepastian dan kemudahan bagi Pelaku Usaha dalam memperoleh kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang, Undang-Undang ini mengubah, menghapus, dan/atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam:
- Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725);
- Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4739) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5490);
- Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 294, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5603); dan
- Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5214).
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725) diubah sebagai berikut:
1. | Ketentuan Pasal 1 angka 7, angka 8, dan angka 32 diubah sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
|
||||||||||||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 6
|
||||||||||||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 8 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 8
|
||||||||||||||||||||
4. | Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 9
|
||||||||||||||||||||
5. | Ketentuan Pasal 10 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 10 Wewenang Pemerintah Daerah provinsi dilaksanakan sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dalam penyelenggaraan penataan ruang meliputi:
|
||||||||||||||||||||
6. | Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 11 Wewenang Pemerintah Daerah kabupaten/kota dilaksanakan sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dalam penyelenggaraan penataan ruang meliputi:
|
||||||||||||||||||||
7. | Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 14
|
||||||||||||||||||||
8. | Di antara Pasal 14 dan Pasal 15 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 14A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 14A
|
||||||||||||||||||||
9. | Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 17
|
||||||||||||||||||||
10. | Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 18
|
||||||||||||||||||||
11. | Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 20
|
||||||||||||||||||||
12. | Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 22
|
||||||||||||||||||||
13. | Ketentuan Pasal 23 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 23
|
||||||||||||||||||||
14. | Pasal 24 dihapus. | ||||||||||||||||||||
15. | Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 25
|
||||||||||||||||||||
16. | Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 26
|
||||||||||||||||||||
17. | Pasal 27 dihapus. | ||||||||||||||||||||
18. | Di antara Pasal 34 dan Pasal 35 ditambah 1 (satu) pasal, yakni Pasal 34A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 34A
|
||||||||||||||||||||
19. | Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 35 Pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan melalui:
|
||||||||||||||||||||
20. | Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 37
|
||||||||||||||||||||
21. | Ketentuan Pasal 48 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 48
|
||||||||||||||||||||
22. | Pasal 49 dihapus. | ||||||||||||||||||||
23. | Pasal 50 dihapus. | ||||||||||||||||||||
24. | Pasal 51 dihapus. | ||||||||||||||||||||
25. | Pasal 52 dihapus. | ||||||||||||||||||||
26. | Pasal 53 dihapus. | ||||||||||||||||||||
27. | Pasal 54 dihapus. | ||||||||||||||||||||
28. | Ketentuan Pasal 60 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 60 Dalam penataan ruang, setiap orang berhak untuk:
|
||||||||||||||||||||
29. | Ketentuan Pasal 61 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 61 Dalam pemanfaatan ruang, setiap orang wajib:
|
||||||||||||||||||||
30. | Ketentuan Pasal 62 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 62 Setiap orang yang tidak menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan yang mengakibatkan perubahan fungsi ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 dikenai sanksi administratif. |
||||||||||||||||||||
31. | Ketentuan Pasal 65 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 65
|
||||||||||||||||||||
32. | Ketentuan Pasal 69 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 69
|
||||||||||||||||||||
33. | Ketentuan Pasal 70 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 70
|
||||||||||||||||||||
34. | Ketentuan Pasal 71 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 71 Setiap orang yang tidak mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 huruf c yang mengakibatkan perubahan fungsi ruang dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). |
||||||||||||||||||||
35. | Pasal 72 dihapus. | ||||||||||||||||||||
36. | Ketentuan Pasal 74 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 74
|
||||||||||||||||||||
37. | Ketentuan Pasal 75 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 75
|
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4739) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5490) diubah sebagai berikut:
1. | Ketentuan Pasal 1 angka 14, angka 40, dan angka 41 diubah, di antara angka 14 dan angka 15 disisipkan satu angka yakni angka 14A, serta angka 17, angka 18, dan angka 18A dihapus sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 7
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
3. | Di antara Pasal 7 dan 8 disisipkan 3 (tiga) pasal yakni Pasal 7A, Pasal 7B, dan Pasal 7C sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 7A
Pasal 7B
Pasal 7C Ketentuan lebih lanjut mengenai Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 7A, dan Pasal 7B diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
4. | Pasal 8 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
5. | Pasal 9 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
6. | Pasal 10 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
7. | Pasal 11 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
8. | Pasal 12 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
9. | Pasal 13 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
10. | Pasal 14 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
11. | Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 16
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
12. | Di antara Pasal 16 dan Pasal 17 disisipkan satu pasal yakni Pasal 16A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 16A Setiap Orang yang memanfaatkan ruang dari Perairan Pesisir yang tidak memiliki Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan di laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2), dikenai sanksi administratif. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
13. | Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 17
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
14. | Di antara Pasal 17 dan Pasal 18 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 17A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 17A
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
15. | Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 18 Dalam hal pemegang Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan di laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) tidak merealisasikan kegiatannya dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan di laut diterbitkan, pemegang Perizinan Berusaha dikenai sanksi administratif berupa pencabutan perizinan berusahanya. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
16. | Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 19
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
17. | Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 20
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
18. | Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 22
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
19. | Ketentuan Pasal 22A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 22A
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
20. | Ketentuan Pasal 22B diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 22B Orang perseorangan warga Negara Indonesia atau korporasi yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia dan koperasi yang dibentuk oleh Masyarakat yang mengajukan pemanfaatan laut wajib memenuhi Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan di laut dari Pemerintah Pusat. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
21. | Ketentuan Pasal 22C diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 22C Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan di laut diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
22. | Ketentuan Pasal 26A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 26A Dalam rangka penanaman modal asing, pemanfaatan pulau-pulau kecil dan pemanfaatan perairan di sekitarnya harus memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
23. | Di antara Pasal 26A dan Pasal 27 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 26B yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 26B Setiap Orang yang tidak memiliki Perizinan Berusaha dalam memanfaatkan pulau-pulau kecil dan pemanfaatan perairan disekitarnya dalam rangka penanaman modal asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26A dikenai sanksi administratif. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
24. | Ketentuan Pasal 50 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 50 Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya memberikan dan mencabut Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan di laut di wilayah Perairan Pesisir. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
25. | Ketentuan Pasal 51 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 51
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
26. | Ketentuan Pasal 60 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 60
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
27. | Ketentuan Pasal 71 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 71 Pemanfaatan ruang perairan dan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil yang tidak memenuhi Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan di laut yang diberikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) dan Pasal 19 ayat (1) dikenai sanksi administratif. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
28. | Di antara Pasal 71 dan Pasal 72 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 71A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 71A
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
29. | Di antara Pasal 73 dan Pasal 74 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 73A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 73A Setiap Orang yang memanfaatkan pulau kecil dan perairan di sekitarnya dalam rangka penanaman modal asing yang tidak memiliki Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26A yang mengakibatkan perubahan fungsi ruang dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
30. | Ketentuan Pasal 75 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 75 Setiap Orang yang memanfaatkan ruang dari perairan yang tidak memiliki Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan di laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) yang mengakibatkan perubahan fungsi ruang dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
31. | Pasal 75A dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
32. | Ketentuan Pasal 78A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 78A Kawasan konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang telah ditetapkan melalui peraturan perundang-undangan sebelum Undang-Undang tentang Cipta Kerja ini berlaku adalah menjadi kewenangan Pemerintah Pusat. |
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 294, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5603) diubah sebagai berikut:
1. | Ketentuan Pasal 1 angka 9 dan angka 12 diubah sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut: Pasal 1
|
||||||||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 32
|
||||||||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 42 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 42
|
||||||||||||||||
4. | Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 43
|
||||||||||||||||
5. | Di antara Pasal 43 dan Pasal 44 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 43A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 43A
|
||||||||||||||||
6. | Ketentuan Pasal 47 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 47
|
||||||||||||||||
7. | Di antara Pasal 47 dan Pasal 48 ditambah 1 (satu) pasal yakni Pasal 47A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 47A
|
||||||||||||||||
8. | Ketentuan Pasal 48 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 48 Setiap orang yang melakukan pemanfaatan sumber daya kelautan sesuai dengan rencana tata ruang dan/atau rencana zonasi dapat diberi insentif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
||||||||||||||||
9. | Ketentuan Pasal 49 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 49 Setiap orang yang melakukan pemanfaatan ruang Laut secara menetap yang tidak memiliki Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan di Laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (3) dikenai sanksi administratif. |
||||||||||||||||
10. | Di antara Pasal 49 dan Pasal 50 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 49A dan Pasal 49B yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 49A
|
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5214) diubah sebagai berikut:
1. | Ketentuan Pasal 1 angka 14 dan angka 15 diubah serta angka 13 dihapus sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
|
||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 7
|
||||||||||
3. | Pasal 12 dihapus. | ||||||||||
4. | Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 13
|
||||||||||
5. | Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 17
|
||||||||||
6. | Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 18
|
||||||||||
7. | Di antara Pasal 22 dan Pasal 23 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 22A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 22A
|
||||||||||
8. | Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 28
|
||||||||||
9. | Ketentuan Pasal 55 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 55
|
||||||||||
10. | Pasal 56 dihapus. |
Paragraf 3
Persetujuan Lingkungan
Pasal 21
Dalam rangka memberikan kemudahan bagi setiap orang dalam memperoleh persetujuan lingkungan, Undang-Undang ini mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan terkait Perizinan Berusaha yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059).
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059) diubah sebagai berikut:
1. | Ketentuan Pasal 1 angka 11, angka 12, angka 35, angka 36, angka 37, dan angka 38 diubah sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut: Pasal 1
|
||||||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 20
|
||||||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 24
|
||||||||||||||
4. | Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 25
|
||||||||||||||
5. | Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 26
|
||||||||||||||
6. | Ketentuan Pasal 27 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 27 Dalam menyusun dokumen Amdal, pemrakarsa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dapat menunjuk pihak lain. |
||||||||||||||
7. | Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 28
|
||||||||||||||
8. | Pasal 29 dihapus. | ||||||||||||||
9. | Pasal 30 dihapus. | ||||||||||||||
10. | Pasal 31 dihapus. | ||||||||||||||
11. | Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 32
|
||||||||||||||
12. | Ketentuan Pasal 34 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 34
|
||||||||||||||
13. | Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 35
|
||||||||||||||
14. | Pasal 36 dihapus. | ||||||||||||||
15. | Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 37
|
||||||||||||||
16. | Pasal 38 dihapus. | ||||||||||||||
17. | Ketentuan Pasal 39 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 39
|
||||||||||||||
18. | Pasal 40 dihapus. | ||||||||||||||
19. | Ketentuan Pasal 55 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 55
|
||||||||||||||
20. | Ketentuan Pasal 59 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 59
|
||||||||||||||
21. | Ketentuan Pasal 61 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 61
|
||||||||||||||
22. | Di antara Pasal 61 dan Pasal 62 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 61A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 61A
yang merupakan bagian dari kegiatan usaha, pengelolaan tersebut dinyatakan dalam Amdal atau UKL-UPL. |
||||||||||||||
23. | Ketentuan Pasal 63 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 63
|
||||||||||||||
24. | Ketentuan Pasal 69 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 69
|
||||||||||||||
25. | Ketentuan Pasal 71 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 71
|
||||||||||||||
26. | Ketentuan Pasal 72 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 72 Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat wajib melakukan pengawasan ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap Perizinan Berusaha, atau persetujuan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah. |
||||||||||||||
27. | Ketentuan Pasal 73 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 73 Menteri dapat melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang Perizinan Berusaha atau persetujuan Pemerintah Daerah diterbitkan oleh Pemerintah Daerah jika Menteri menganggap terjadi pelanggaran yang serius di bidang pelindungan dan pengelolaan lingkungan hidup berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. |
||||||||||||||
28. | Ketentuan Pasal 76 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 76
|
||||||||||||||
29. | Ketentuan Pasal 77 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 77 Menteri dapat menerapkan sanksi administratif terhadap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dalam hal Menteri menganggap Pemerintah Daerah secara sengaja tidak menerapkan sanksi administratif terhadap pelanggaran yang serius di bidang pelindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. |
||||||||||||||
30. | Pasal 79 dihapus. | ||||||||||||||
31. | Ketentuan Pasal 82 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 82
|
||||||||||||||
32. | Di antara Pasal 82 dan Pasal 83 disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal 82A, Pasal 82B, dan Pasal 82C sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 82A
Pasal 82B
Pasal 82C
|
||||||||||||||
33. | Ketentuan Pasal 88 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 88 Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi dari usaha dan/atau kegiatannya. |
||||||||||||||
34. | Pasal 93 dihapus. | ||||||||||||||
35. | Pasal 102 dihapus. | ||||||||||||||
36. | Ketentuan Pasal 109 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 109 Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki:
|
||||||||||||||
37. | Pasal 110 dihapus. | ||||||||||||||
38. | Ketentuan Pasal 111 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 111 Pejabat pemberi persetujuan lingkungan yang menerbitkan persetujuan lingkungan tanpa dilengkapi dengan Amdal atau UKL-UPL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). |
||||||||||||||
39. | Ketentuan Pasal 112 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 112 Setiap pejabat berwenang yang dengan sengaja tidak melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap peraturan perundang-undangan dan Perizinan Berusaha, atau persetujuan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 yang mengakibatkan terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan yang mengakibatkan hilangnya nyawa manusia dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). |
Paragraf 4
Persetujuan Bangunan Gedung dan Sertifikat Laik Fungsi
Untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat, terutama Pelaku Usaha dalam memperoleh Persetujuan Bangunan Gedung dan sertifikat laik fungsi bangunan, Undang-Undang ini mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam:
- Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4247); dan
- Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2017 tentang Arsitek (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 179, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6108).
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4247) diubah sebagai berikut:
1. | Ketentuan Pasal 1 angka 11, angka 14, dan angka 15 diubah dan disisipkan 3 (tiga) angka baru, yakni angka 16, angka 17, dan angka 18 sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut: Pasal 1
|
||||||||||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 5
|
||||||||||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 6
|
||||||||||||||||||
4. | Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 7
|
||||||||||||||||||
5. | Pasal 8 dihapus. | ||||||||||||||||||
6. | Pasal 9 dihapus. | ||||||||||||||||||
7. | Pasal 10 dihapus. | ||||||||||||||||||
8. | Pasal 11 dihapus. | ||||||||||||||||||
9. | Pasal 12 dihapus. | ||||||||||||||||||
10. | Pasal 13 dihapus. | ||||||||||||||||||
11. | Pasal 14 dihapus. | ||||||||||||||||||
12. | Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 15
|
||||||||||||||||||
13. | Pasal 16 dihapus. | ||||||||||||||||||
14. | Pasal 17 dihapus. | ||||||||||||||||||
15. | Pasal 18 dihapus. | ||||||||||||||||||
16. | Pasal 19 dihapus. | ||||||||||||||||||
17. | Pasal 20 dihapus. | ||||||||||||||||||
18. | Pasal 21 dihapus. | ||||||||||||||||||
19. | Pasal 22 dihapus. | ||||||||||||||||||
20. | Pasal 23 dihapus. | ||||||||||||||||||
21. | Pasal 24 dihapus. | ||||||||||||||||||
22. | Pasal 25 dihapus. | ||||||||||||||||||
23. | Pasal 26 dihapus. | ||||||||||||||||||
24. | Pasal 27 dihapus. | ||||||||||||||||||
25. | Pasal 28 dihapus. | ||||||||||||||||||
26. | Pasal 29 dihapus. | ||||||||||||||||||
27. | Pasal 30 dihapus. | ||||||||||||||||||
28. | Pasal 31 dihapus. | ||||||||||||||||||
29. | Pasal 32 dihapus. | ||||||||||||||||||
30. | Pasal 33 dihapus. | ||||||||||||||||||
31. | Ketentuan Pasal 34 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 34
|
||||||||||||||||||
32. | Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 35
|
||||||||||||||||||
33. | Pasal 36 dihapus. | ||||||||||||||||||
34. |
Di antara Pasal 36 dan Pasal 37 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 36A dan Pasal 36B yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 36A
Pasal 36B
|
||||||||||||||||||
35. | Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 37
|
||||||||||||||||||
36. | Di antara pasal 37 dan Pasal 38 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 37A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 37A Ketentuan lebih lanjut mengenai perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan pemanfaatan bangunan gedung diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||||||||
37. | Ketentuan Pasal 39 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 39
|
||||||||||||||||||
38. | Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 40
|
||||||||||||||||||
39. | Ketentuan Pasal 41 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 41
|
||||||||||||||||||
40. | Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 43
|
||||||||||||||||||
41. | Ketentuan Pasal 44 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 44 Setiap pemilik bangunan gedung, Penyedia Jasa Konstruksi, Profesi Ahli, Penilik, pengkaji teknis, dan/atau pengguna bangunan gedung pemilik dan/atau pengguna yang tidak memenuhi kewajiban pemenuhan fungsi, dan/atau persyaratan, dan/atau penyelenggaraan bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini dikenai sanksi administratif. |
||||||||||||||||||
42. | Ketentuan Pasal 45 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 45
|
||||||||||||||||||
43. | Ketentuan Pasal 46 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 46
|
||||||||||||||||||
44. |
Di antara Pasal 47 dan Pasal 48 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 47A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 47A
|
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang 6 Tahun 2017 tentang Arsitek (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 179, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6108) diubah sebagai berikut:
1. | Ketentuan Pasal 1 angka 3 diubah, serta disisipkan 1 (satu) angka, yakni angka 14 sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
|
||||||||
2. | Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 5
|
||||||||
3. | Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 6 Untuk melakukan Praktik Arsitek, seseorang wajib memiliki Surat Tanda Registrasi Arsitek. |
||||||||
4. |
Di antara Pasal 6 dan Pasal 7 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 6A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 6A Dalam hal penyelenggaraan kegiatan untuk menghasilkan karya Arsitektur berupa bangunan gedung sederhana dan bangunan gedung adat, penyelenggaraan kegiatan tidak wajib dilakukan oleh Arsitek. |
||||||||
5. | Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 13 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penerbitan dan pencabutan Surat Tanda Registrasi Arsitek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 12 diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||
6. | Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 14
|
||||||||
7. | Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 19
|
||||||||
8. | Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 28 Organisasi Profesi bertugas:
|
||||||||
9. | Ketentuan Pasal 34 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 34
|
||||||||
10. | Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 35
|
||||||||
11. | Pasal 36 dihapus. | ||||||||
12. | Pasal 37 dihapus. | ||||||||
13. | Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 38
|
||||||||
14. | Pasal 39 dihapus. | ||||||||
15. | Pasal 40 dihapus. | ||||||||
16. | Pasal 41 dihapus. |
Bagian Keempat
Penyederhanaan Perizinan Berusaha Sektor serta Kemudahan dan Persyaratan
Investasi
Paragraf 1
Umum
Pasal 26
Perizinan Berusaha terdiri atas sektor:
- kelautan dan perikanan;
- pertanian;
- kehutanan;
- energi dan sumber daya mineral;
- ketenaganukliran;
- perindustrian;
- perdagangan, metrologi legal, jaminan produk halal, dan standardisasi penilaian kesesuaian;
- pekerjaan umum dan perumahan rakyat;
- transportasi;
- kesehatan, obat dan makanan;
- pendidikan dan kebudayaan;
- pariwisata;
- keagamaan;
- pos, telekomunikasi, dan penyiaran; dan
- pertahanan dan keamanan.
Paragraf 2
Kelautan dan Perikanan
Pasal 27
Untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat terutama Pelaku Usaha dalam mendapatkan Perizinan Berusaha dan kemudahan persyaratan investasi dari sektor kelautan dan perikanan, beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4433) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 154, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5073) diubah sebagai berikut:
1. | Ketentuan Pasal 1 angka 11, angka 24, angka 25, dan angka 26 diubah serta angka 16, angka 17, dan angka 18 dihapus sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
|
||||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 7
|
||||||||||||
3. | Di antara Pasal 20 dan Pasal 21 disisipkan 1 (satu) pasal baru, yakni Pasal 20A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 20A
|
||||||||||||
4. | Ketentuan Pasal 25A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 25A
|
||||||||||||
5. | Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 26
|
||||||||||||
6. | Ketentuan Pasal 27 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 27
|
||||||||||||
7. |
Di antara Pasal 27 dan Pasal 28 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 27A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 27A
|
||||||||||||
8. | Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 28
|
||||||||||||
9. | Ketentuan Pasal 28A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 28A Setiap orang dilarang:
|
||||||||||||
10. | Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 30
|
||||||||||||
11. | Ketentuan Pasal 31 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 31
|
||||||||||||
12. | Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 32 Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||
13. | Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 33
|
||||||||||||
14. | Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 35
|
||||||||||||
15. | Ketentuan Pasal 35A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 35A
|
||||||||||||
16. | Ketentuan Pasal 36 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 36
|
||||||||||||
17. | Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 38
|
||||||||||||
18. | Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 40 Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan membangun, mengimpor, memodifikasi kapal, pendaftaran, pengukuran kapal perikanan, pemberian tanda pengenal kapal perikanan, serta penggunaan 2 (dua) jenis alat penangkapan ikan secara bergantian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38, dan Pasal 39 diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||
19. | Ketentuan Pasal 41 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 41
|
||||||||||||
20. | Ketentuan Pasal 42 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 42
|
||||||||||||
21. | Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 43 Setiap kapal perikanan yang melakukan kegiatan perikanan wajib memenuhi standar laik operasi kapal perikanan dari pengawas perikanan tanpa dikenai biaya. |
||||||||||||
22. | Ketentuan Pasal 44 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 44
|
||||||||||||
23. | Ketentuan Pasal 45 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 45 Dalam hal kapal perikanan berada dan/atau berpangkalan di luar pelabuhan perikanan, persetujuan berlayar diterbitkan oleh syahbandar setempat setelah memenuhi standar laik operasi dari pengawas perikanan yang ditugaskan pada pelabuhan setempat. |
||||||||||||
24. | Ketentuan Pasal 49 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 49 Setiap orang asing yang mendapat Perizinan Berusaha untuk melakukan penangkapan ikan di ZEEI dikenai pungutan perikanan. |
||||||||||||
25. | Ketentuan Pasal 89 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 89 Setiap orang yang melakukan penanganan dan pengolahan ikan yang tidak memenuhi dan tidak menerapkan persyaratan kelayakan pengolahan ikan, sistem jaminan mutu, dan keamanan hasil perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) yang menimbulkan korban terhadap kesehatan manusia dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah). |
||||||||||||
26. | Ketentuan Pasal 92 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 92 Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia melakukan usaha perikanan yang tidak memenuhi Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan denda paling banyak Rpl.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah). |
||||||||||||
27. | Ketentuan Pasal 93 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 93
|
||||||||||||
28. | Ketentuan Pasal 94 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 94 Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal pengangkut ikan yang berbendera Indonesia atau berbendera asing di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia yang melakukan pengangkutan ikan atau kegiatan yang terkait yang tidak memiliki Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah). |
||||||||||||
29. | Ketentuan Pasal 94A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 94A Setiap orang yang memalsukan dokumen Perizinan Berusaha, menggunakan Perizinan Berusaha palsu, menggunakan Perizinan Berusaha milik kapal lain atau orang lain, dan/atau menggandakan Perizinan Berusaha untuk digunakan oleh kapal lain dan/atau kapal milik sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28A dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). |
||||||||||||
30. | Pasal 95 dihapus. | ||||||||||||
31. | Pasal 96 dihapus. | ||||||||||||
32. | Ketentuan Pasal 97 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 97
|
||||||||||||
33. | Ketentuan Pasal 98 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 98 Nakhoda kapal perikanan yang tidak memiliki persetujuan berlayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). |
||||||||||||
34. | Ketentuan Pasal 100B diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 100B Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 12, Pasal 14 ayat (4), Pasal 16 ayat (1), Pasal 21, Pasal 23 ayat (1), Pasal 26 ayat (1), Pasal 38, Pasal 42 ayat (3), atau Pasal 55 ayat (1) yang dilakukan oleh Nelayan Kecil dan/atau Pembudi Daya-Ikan Kecil dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah). |
||||||||||||
35. | Ketentuan Pasal 100C diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 100C Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf f, huruf g, huruf h, huruf i, huruf j, huruf k, huruf 1, atau huruf m dilakukan oleh Nelayan Kecil dan/atau Pembudidaya Ikan Kecil dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). |
||||||||||||
36. | Ketentuan Pasal 101 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 101 Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (1), Pasal 85, Pasal 86, Pasal 87, Pasal 88, Pasal 90, Pasal 91, Pasal 93 atau Pasal 94 dilakukan oleh Korporasi, tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya dan terhadap korporasi dipidana denda dengan tambahan pemberatan 1/3 (sepertiga) dari pidana denda yang dijatuhkan. |
Untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat terutama Pelaku Usaha dalam mendapatkan Perizinan Berusaha dari sektor pertanian, Undang-Undang ini mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam:
- Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 308, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5613);
- Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 241, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4043);
- Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2019 tentang Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 201, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6412);
- Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5433);
- Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2010 tentang Hortikultura (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5170); dan
- Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5015) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 338, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5619).
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 308, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5613) diubah sebagai berikut:
1. | Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 14
|
||||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 15 Perusahaan Perkebunan yang melakukan kegiatan kemitraan atau inti plasma dilarang memindahkan hak atas tanah Usaha Perkebunan yang mengakibatkan terjadinya satuan usaha yang kurang dari luas minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14. |
||||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 16
|
||||||||||||
4. | Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 17
|
||||||||||||
5. | Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 18
|
||||||||||||
6. | Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 24
|
||||||||||||
7. | Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 30
|
||||||||||||
8. | Pasal 31 dihapus. | ||||||||||||
9. | Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 35
|
||||||||||||
10. | Ketentuan Pasal 39 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 39 Pelaku Usaha Perkebunan dapat melakukan Usaha Perkebunan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal. |
||||||||||||
11. | Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 40 Pengalihan kepemilikan Perusahaan Perkebunan kepada penanam modal asing dapat dilakukan setelah memperoleh persetujuan Pemerintah Pusat. |
||||||||||||
12. | Ketentuan Pasal 42 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 42
|
||||||||||||
13. | Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 43 Kegiatan usaha Pengolahan Hasil Perkebunan dapat didirikan pada wilayah Perkebunan swadaya masyarakat yang belum ada usaha Pengolahan Hasil Perkebunan setelah memperoleh hak atas tanah dan Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. |
||||||||||||
14. | Pasal 45 dihapus. | ||||||||||||
15. | Ketentuan Pasal 47 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 47
|
||||||||||||
16. | Ketentuan Pasal 48 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 48
|
||||||||||||
17. | Pasal 49 dihapus. | ||||||||||||
18. | Pasal 50 dihapus. | ||||||||||||
19. | Ketentuan Pasal 58 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 58
|
||||||||||||
20. | Ketentuan Pasal 60 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 60
|
||||||||||||
21. | Ketentuan Pasal 67 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 67
|
||||||||||||
22. | Pasal 68 dihapus. | ||||||||||||
23. | Ketentuan Pasal 70 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 70
|
||||||||||||
24. | Ketentuan Pasal 74 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 74
|
||||||||||||
25. | Ketentuan Pasal 75 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 75
|
||||||||||||
26. | Ketentuan Pasal 93 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 93
|
||||||||||||
27. | Ketentuan Pasal 95 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 95
|
||||||||||||
28. | Ketentuan Pasal 96 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 96
|
||||||||||||
29. | Ketentuan Pasal 97 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 97
|
||||||||||||
30. | Ketentuan Pasal 99 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 99
|
||||||||||||
31. | Ketentuan Pasal 103 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 103 Setiap pejabat yang menerbitkan Perizinan Berusaha terkait Perkebunan di atas Tanah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). |
||||||||||||
32. | Pasal 105 dihapus. | ||||||||||||
33. | Pasal 109 dihapus. |
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 241, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4043) diubah sebagai berikut:
1. | Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 11
|
||||||||
2. | Ketentuan Pasal 29 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 29
|
||||||||
3. | Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 40
|
||||||||
4. | Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 43
|
||||||||
5. | Ketentuan Pasal 63 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 63
|
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2019 tentang Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 201, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6412) diubah sebagai berikut:
1. | Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 19
|
||||||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 22
|
||||||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 32
|
||||||||||||||
4. | Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 43 Pengeluaran Tanaman, Benih Tanaman, Benih Hewan, Bibit Hewan, dan hewan dari wilayah Negara Republik Indonesia oleh Setiap Orang dapat dilakukan jika keperluan dalam negeri telah terpenuhi setelah mendapat Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. |
||||||||||||||
5. | Ketentuan Pasal 44 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 44
|
||||||||||||||
6. | Ketentuan Pasal 86 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 86
|
||||||||||||||
7. | Ketentuan Pasal 102 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 102
|
||||||||||||||
8. | Ketentuan Pasal 108 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 108
|
||||||||||||||
9. | Pasal 111 dihapus. |
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5433) diubah sebagai berikut:
1. | Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 15
|
||||||
2. | Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 30
|
||||||
3. | Pasal 101 dihapus. |
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2010 tentang Hortikultura (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5170) diubah sebagai berikut:
1. | Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 15
|
||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 33
|
||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 35
|
||||||||||
4. | Di antara Pasal 35 dan Pasal 36 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 35A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 35A
|
||||||||||
5. | Pasal 48 dihapus. | ||||||||||
6. | Ketentuan Pasal 49 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 49
|
||||||||||
7. | Pasal 51 dihapus. | ||||||||||
8. | Ketentuan Pasal 52 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 52
|
||||||||||
9. | Ketentuan Pasal 54 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 54
|
||||||||||
10. | Ketentuan Pasal 56 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 56
|
||||||||||
11. | Ketentuan Pasal 57 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 57
|
||||||||||
12. | Pasal 63 dihapus. | ||||||||||
13. | Ketentuan Pasal 68 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 68 Ketentuan lebih lanjut mengenai usaha budi daya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65, tata cara pendataan dan pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66, serta izin khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||
14. | Ketentuan Pasal 73 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 73
|
||||||||||
15. | Ketentuan Pasal 88 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 88
|
||||||||||
16. | Ketentuan Pasal 90 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 90 Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya dalam meningkatkan pemasaran hortikultura memberikan informasi pasar. |
||||||||||
17. | Ketentuan Pasal 92 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 92
|
||||||||||
18. | Ketentuan Pasal 100 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 100
|
||||||||||
19. | Ketentuan Pasal 101 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 101 Pelaku usaha hortikultura menengah dan besar wajib memberikan kesempatan pemagangan dan alih teknologi. |
||||||||||
20. | Ketentuan Pasal 122 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 122
|
||||||||||
21. | Pasal 126 dihapus. | ||||||||||
22. | Pasal 131 dihapus. |
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5015) sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 338, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5619) diubah sebagai berikut:
1. | Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 6
|
||||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 13
|
||||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 15
|
||||||||||||
4. | Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 16
|
||||||||||||
5. | Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 22
|
||||||||||||
6. | Ketentuan Pasal 29 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 29
|
||||||||||||
7. | Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 30
|
||||||||||||
8. | Ketentuan Pasal 36B diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 36B
|
||||||||||||
9. | Ketentuan Pasal 36C diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 36C
|
||||||||||||
10. | Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 37 Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat membina dan memfasilitasi berkembangnya industri pengolahan Produk Hewan. |
||||||||||||
11. | Ketentuan Pasal 52 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 52
|
||||||||||||
12. | Ketentuan Pasal 54 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 54
|
||||||||||||
13. | Ketentuan Pasal 59 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 59
|
||||||||||||
14. | Ketentuan Pasal 60 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 60
|
||||||||||||
15. | Ketentuan Pasal 62 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 62
|
||||||||||||
16. | Ketentuan Pasal 69 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 69
|
||||||||||||
17. | Ketentuan Pasal 72 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 72
|
||||||||||||
18. | Ketentuan Pasal 85 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 85
|
||||||||||||
19. | Ketentuan Pasal 88 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 88 Setiap orang yang memproduksi dan/atau mengedarkan alat dan mesin yang belum diuji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3) yang mengakibatkan kerusakan fungsi lingkungan atau membahayakan nyawa orang, dipidana dengan pidana kurungan paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 11 (sebelas) bulan dan denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). |
Paragraf 4
Untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat terutama Pelaku Usaha dalam mendapatkan Perizinan Berusaha dan kemudahan persyaratan investasi dari sektor Kehutanan, Undang-Undang ini mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan dalam:
- Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4374); dan
- Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5432).
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4374) diubah sebagai berikut:
1. | Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 15
|
||||||||||||||||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 18
|
||||||||||||||||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 19
|
||||||||||||||||||||||||
4. | Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 26
|
||||||||||||||||||||||||
5. | Ketentuan Pasal 27 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 27 Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) dapat diberikan kepada:
|
||||||||||||||||||||||||
6. | Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 28
|
||||||||||||||||||||||||
7. | Ketentuan Pasal 29 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 29 Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dapat diberikan kepada:
|
||||||||||||||||||||||||
8. | Di antara Pasal 29 dan Pasal 30 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 29A dan Pasal 29B sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 29A
Pasal 29B Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha pemanfaatan hutan dan kegiatan perhutanan sosial diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||||||||||||||
9. | Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 30 Dalam rangka pemberdayaan ekonomi masyarakat, setiap badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan badan usaha milik swasta yang memperoleh Perizinan Berusaha pemanfaatan hutan, wajib bekerja sama dengan koperasi masyarakat setempat. |
||||||||||||||||||||||||
10. | Ketentuan Pasal 31 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 31
|
||||||||||||||||||||||||
11. | Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 32 Pemegang Perizinan Berusaha wajib untuk menjaga, memelihara, dan melestarikan hutan yang dikelolanya. |
||||||||||||||||||||||||
12. | Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 33
|
||||||||||||||||||||||||
13. | Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 35
|
||||||||||||||||||||||||
14. | Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 38
|
||||||||||||||||||||||||
15. | Ketentuan Pasal 48 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 48
|
||||||||||||||||||||||||
16. | Ketentuan Pasal 49 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 49
|
||||||||||||||||||||||||
17. | Ketentuan Pasal 50 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 50
|
||||||||||||||||||||||||
18. | Di antara Pasal 50 dan Pasal 51 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 50A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 50A
|
||||||||||||||||||||||||
19. | Ketentuan Pasal 78 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 78
|
||||||||||||||||||||||||
20. | Ketentuan Pasal 80 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 80
|
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5432) diubah sebagai berikut:
1. | Ketentuan Pasal 1 angka 3, angka 5, angka 23, dan angka 24 diubah sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
|
||||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 7 Pencegahan perusakan hutan dilakukan oleh masyarakat, badan hukum, dan/atau korporasi yang memperoleh Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan hutan. |
||||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 12 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 12 Setiap orang dilarang:
|
||||||||||||
4. | Di antara Pasal 12 dan Pasal 13 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 12A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 12A
|
||||||||||||
5. | Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 17
|
||||||||||||
6. | Di antara Pasal 17 dan Pasal 18 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 17A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 17A
|
||||||||||||
7. | Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 18
|
||||||||||||
8. | Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 24 Setiap orang dilarang:
|
||||||||||||
9. | Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 28 Setiap pejabat dilarang:
|
||||||||||||
10. | Pasal 53 dihapus. | ||||||||||||
11. | Pasal 54 dihapus. | ||||||||||||
12. | Ketentuan Pasal 82 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 82
|
||||||||||||
13. | Ketentuan Pasal 83 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 83
|
||||||||||||
14. | Ketentuan Pasal 84 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 84
|
||||||||||||
15. | Ketentuan Pasal 85 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 85
|
||||||||||||
16. | Ketentuan Pasal 92 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 92
|
||||||||||||
17. | Ketentuan Pasal 93 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 93
|
||||||||||||
18. | Ketentuan Pasal 96 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 96
|
||||||||||||
19. | Ketentuan Pasal 105 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 105 Setiap pejabat yang:
|
||||||||||||
20. | Di antara Pasal 110 dan Pasal 111 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 110A dan Pasal 110B sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 110A
|
||||||||||||
21. | Pasal 111 dihapus. | ||||||||||||
22. | Pasal 112 dihapus. |
Paragraf 5
Energi Dan Sumber Daya Mineral
Pasal 38
Untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat terutama Pelaku Usaha dalam mendapatkan Perizinan Berusaha dari sektor Energi dan Sumber Daya Mineral, Undang-Undang ini mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam:
- Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6525);
- Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 136, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4152);
- Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 217, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5585); dan
- Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5052).
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6525) diubah sebagai berikut:
1. | Di antara Pasal 128 dan 129 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 128A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 128A
|
||||||
2. | Ketentuan Pasal 162 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 162 Setiap orang yang merintangi atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan dari pemegang IUP, IUPK, IPR atau SIPB yang telah memenuhi syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86F huruf b dan Pasal 136 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). |
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 136, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4152) diubah sebagai berikut:
1. | Ketentuan Pasal 1 angka 21 dan angka 22 diubah, dan angka 23 dihapus sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
|
||||||||
2. | Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 4
|
||||||||
3. | Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 5
|
||||||||
4. | Ketentuan Pasal 23 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 23
|
||||||||
5. | Di antara Pasal 23 dan Pasal 24 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 23A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 23A
|
||||||||
6. | Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 25
|
||||||||
7. | Ketentuan Pasal 52 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 52 Setiap orang yang melakukan Eksplorasi dan/atau Eksploitasi tanpa memiliki Perizinan Berusaha atau Kontrak Kerja Sama dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling tinggi Rp60.000.000.000,00 (enam puluh miliar rupiah). |
||||||||
8. | Ketentuan Pasal 53 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 53 Jika tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23A mengakibatkan timbulnya korban/kerusakan terhadap kesehatan, keselamatan, dan/atau lingkungan, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling tinggi Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah). |
||||||||
9. | Ketentuan Pasal 55 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 55 Setiap orang yang menyalahgunakan Pengangkutan dan/atau Niaga Bahan Bakar Minyak, bahan bakar gas, dan/atau liquefied petroleum gas yang disubsidi Pemerintah dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling tinggi Rp60.000.000.000,00 (enam puluh miliar rupiah). |
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 217, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5585) diubah sebagai berikut:
1. | Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 4
|
||||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 5
|
||||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 6 Kewenangan Pemerintah Pusat dalam penyelenggaraan Panas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) meliputi:
|
||||||||||||
4. | Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 7 Kewenangan Pemerintah Daerah provinsi dalam penyelenggaraan Panas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat meliputi:
|
||||||||||||
5. | Ketentuan Pasal 8 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 8 Kewenangan Pemerintah Daerah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan Panas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat, meliputi:
|
||||||||||||
6. | Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 11
|
||||||||||||
7. | Pasal 12 dihapus. | ||||||||||||
8. | Pasal 13 dihapus. | ||||||||||||
9. | Pasal 14 dihapus. | ||||||||||||
10. | Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 15 Ketentuan lebih lanjut mengenai norma, standar, prosedur dan kriteria pengusahaan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, termasuk harga energi Panas Bumi, diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||
11. | Ketentuan Pasal 23 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 23
|
||||||||||||
12. | Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 24 Dalam hal kegiatan pengusahaan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Tidak Langsung berada di Kawasan Hutan, pemegang Perizinan Berusaha terkait Panas Bumi wajib memenuhi Perizinan Berusaha di bidang kehutanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
||||||||||||
13. | Pasal 25 dihapus. | ||||||||||||
14. | Ketentuan Pasal 36 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 36
|
||||||||||||
15. | Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 37 Pemerintah Pusat dapat membatalkan Perizinan Berusaha di bidang Panas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf d jika :
|
||||||||||||
16. | Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 38
|
||||||||||||
17. | Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 40
|
||||||||||||
18. | Ketentuan Pasal 42 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 42
|
||||||||||||
19. | Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 43
|
||||||||||||
20. | Ketentuan Pasal 46 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 46 Setiap Orang dilarang menghalangi atau merintangi pengusahaan Panas Bumi yang telah memegang Perizinan Berusaha terkait Panas Bumi dan telah menyelesaikan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42. |
||||||||||||
21. | Ketentuan Pasal 47 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 47 Pelaku usaha Pemanfaatan Langsung berhak melakukan pengusahaan Panas Bumi sesuai dengan Perizinan Berusaha yang diberikan. |
||||||||||||
22. | Ketentuan Pasal 48 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 48 Pelaku usaha Pemanfaatan Langsung wajib:
|
||||||||||||
23. | Ketentuan Pasal 49 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 49 Pelaku usaha Pemanfaatan Langsung wajib memenuhi kewajiban berupa:
|
||||||||||||
24. | Ketentuan Pasal 50 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 50
|
||||||||||||
25. | Ketentuan Pasal 56 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 56
|
||||||||||||
26. | Ketentuan Pasal 59 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 59
|
||||||||||||
27. | Pasal 60 dihapus. | ||||||||||||
28. | Ketentuan Pasal 67 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 67 Setiap Orang yang dengan sengaja melakukan pengusahaan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Langsung tanpa Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) yang mengakibatkan timbulnya korban/kerusakan kesehatan, keselamatan, dan/atau lingkungan dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah). |
||||||||||||
29. | Ketentuan Pasal 68 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 68 Setiap Orang yang memiliki Perizinan Berusaha terkait Pemanfaatan Langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) yang dengan sengaja melakukan pengusahaan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Langsung tidak pada lokasi yang ditetapkan dalam Perizinan Berusaha yang mengakibatkan timbulnya korban/kerusakan kesehatan, keselamatan, dan/atau lingkungan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Rp7.000.000.000,00 (tujuh miliar rupiah). |
||||||||||||
30. | Ketentuan Pasal 69 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 69 Setiap Orang yang dengan sengaja melakukan pengusahaan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Langsung yang tidak sesuai dengan peruntukannya, yang mengakibatkan timbulnya korban/kerusakan terhadap kesehatan, keselamatan, dan/atau lingkungan dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). |
||||||||||||
31. | Ketentuan Pasal 70 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 70 Badan Usaha pemilik Perizinan Berusaha di bidang Panas Bumi yang dengan sengaja melakukan Eksplorasi, Eksploitasi, dan/atau pemanfaatan bukan pada Wilayah Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) dipidana dengan denda paling banyak Rp70.000.000.000,00 (tujuh puluh miliar rupiah). |
||||||||||||
32. | Ketentuan Pasal 71 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 71 Badan Usaha yang dengan sengaja melakukan pengusahaan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Tidak Langsung tanpa Perizinan Berusaha di bidang Panas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) yang mengakibatkan timbulnya korban/kerusakan terhadap kesehatan, keselamatan, dan/atau lingkungan dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah). |
||||||||||||
33. | Ketentuan Pasal 72 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 72 Badan Usaha pemilik Perizinan Berusaha di bidang Panas Bumi yang dengan sengaja menggunakan Perizinan Berusaha di bidang Panas Bumi tidak sesuai dengan peruntukannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah). |
||||||||||||
34. | Ketentuan Pasal 73 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 73 Setiap Orang yang dengan sengaja menghalangi atau merintangi pengusahaan Panas Bumi terhadap pemegang Perizinan Berusaha di bidang Panas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun atau pidana denda paling banyak Rp70.000.000.000,00 (tujuh puluh miliar rupiah). |
||||||||||||
35. | Pasal 74 dihapus. |
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5052) diubah sebagai berikut:
1. | Ketentuan Pasal 1 angka 10, angka 12, angka 15, dan angka 16 diubah, serta angka 11 dihapus sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
|
||||||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 3 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 3
|
||||||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 4
|
||||||||||||||
4. | Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 5
|
||||||||||||||
5. | Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 7
|
||||||||||||||
6. | Ketentuan Pasal 10 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 10
|
||||||||||||||
7. | Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 11
|
||||||||||||||
8. | Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 13
|
||||||||||||||
9. | Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 16
|
||||||||||||||
10. | Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 18 Usaha penyediaan tenaga listrik dan usaha penunjang tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dilaksanakan setelah mendapatkan Perizinan Berusaha. |
||||||||||||||
11. | Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 19
|
||||||||||||||
12. | Pasal 20 dihapus. | ||||||||||||||
13. | Ketentuan Pasal 21 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 21
|
||||||||||||||
14. | Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 22 Perizinan Berusaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) huruf b diwajibkan untuk pembangkit tenaga listrik dengan kapasitas tertentu yang diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||||
15. | Ketentuan Pasal 23 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 23
|
||||||||||||||
16. | Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 24 Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum dan usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan sendiri diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||||
17. | Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 25 Penetapan Perizinan Berusaha industri penunjang tenaga listrik untuk industri dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perindustrian. |
||||||||||||||
18. | Ketentuan Pasal 27 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 27
|
||||||||||||||
19. | Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 28 Pemegang Perizinan Berusaha untuk kegiatan penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum wajib:
|
||||||||||||||
20. | Ketentuan Pasal 29 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 29
|
||||||||||||||
21. | Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 30
|
||||||||||||||
22. | Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 32
|
||||||||||||||
23. | Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 33
|
||||||||||||||
24. | Ketentuan Pasal 34 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 34
|
||||||||||||||
25. | Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 35 Pemegang Perizinan Berusaha untuk kegiatan penyediaan tenaga listrik dilarang menerapkan tarif tenaga listrik untuk konsumen yang tidak sesuai dengan penetapan Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34. |
||||||||||||||
26. | Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 37 Jual beli tenaga listrik lintas negara dilakukan oleh pemegang Perizinan Berusaha untuk kegiatan penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum berdasarkan Perizinan Berusaha. |
||||||||||||||
27. | Ketentuan Pasal 44 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 44
|
||||||||||||||
28. | Ketentuan Pasal 45 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 45
|
||||||||||||||
29. | Ketentuan Pasal 46 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 46
|
||||||||||||||
30. | Ketentuan Pasal 48 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 48
|
||||||||||||||
31. | Ketentuan Pasal 49 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 49
|
||||||||||||||
32. | Ketentuan Pasal 50 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 50
|
||||||||||||||
33. | Di antara Pasal 50 dan Pasal 51 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 51A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 51A Setiap orang yang mendirikan bangunan atau membiarkan bangunan dan/atau menanam kembali tanaman yang telah:
|
||||||||||||||
34. | Pasal 52 dihapus. | ||||||||||||||
35. | Ketentuan Pasal 54 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 54
|
Paragraf 6
Ketenaganukliran
Pasal 43
Untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat terutama Pelaku Usaha dalam mendapatkan Perizinan Berusaha dari sektor Ketenaganukliran, beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3676) diubah:
1. | Di antara Pasal 2 dan Pasal 3 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 2A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 2A Pemerintah Pusat berwenang memberikan Perizinan Berusaha terkait ketenaganukliran. |
||||||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 4
|
||||||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 9
|
||||||||||||||
4. | Di antara Pasal 9 dan Pasal 10 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 9A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 9A
|
||||||||||||||
5. | Pasal 10 dihapus. | ||||||||||||||
6. | Penjelasan Pasal 14 diubah sebagaimana tercantum dalam penjelasan. | ||||||||||||||
7. | Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 17
|
||||||||||||||
8. | Pasal 18 dihapus. | ||||||||||||||
9. | Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 20
|
||||||||||||||
10. | Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 25
|
||||||||||||||
11. | Ketentuan Pasal 41 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 41
|
Paragraf 7
Perindustrian
Pasal 44
Untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat terutama pelaku usaha dalam mendapatkan Perizinan Berusaha dan kemudahan persyaratan investasi dari sektor Perindustrian, beberapa ketentuan dalam Undang-Undang 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5492) diubah sebagai berikut:
1. | Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 15 Pembangunan sumber daya Industri meliputi:
|
||||||||||||||||||
2. | Di antara Pasal 48 dan Pasal 49 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 48A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 48A
|
||||||||||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 50 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 50
|
||||||||||||||||||
4. | Ketentuan Pasal 53 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 53
|
||||||||||||||||||
5. | Ketentuan Pasal 57 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 57
|
||||||||||||||||||
6. | Ketentuan Pasal 59 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 59
|
||||||||||||||||||
7. | Ketentuan Pasal 84 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 84
|
||||||||||||||||||
8. | Ketentuan Pasal 101 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 101
|
||||||||||||||||||
9. | Pasal 102 dihapus. | ||||||||||||||||||
10. | Ketentuan Pasal 104 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 104 Setiap Perusahaan Industri yang memenuhi Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 ayat (3) dapat melakukan perluasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
||||||||||||||||||
11. | Ketentuan Pasal 105 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 105
|
||||||||||||||||||
12 | Di antara Pasal 105 dan Pasal 106 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 105A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 105A Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha Kawasan Industri yang berada di kawasan ekonomi khusus dilakukan sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang kawasan ekonomi khusus yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. |
||||||||||||||||||
13. | Ketentuan Pasal 106 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 106
|
||||||||||||||||||
14. | Ketentuan Pasal 108 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 108 Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101, Pasal 104, Pasal 105 dan kewajiban berlokasi di Kawasan Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 serta tata cara pengenaan sanksi administratif dan besaran denda administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 107 diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||||||||
15. | Ketentuan Pasal 115 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 115
|
||||||||||||||||||
16. | Ketentuan Pasal 117 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 117
|
Paragraf 8
Perdagangan, Metrologi Legal, Jaminan Produk Halal, dan Standardisasi dan
Penilaian Kesesuaian
Pasal 45
Untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat terutama Pelaku Usaha dalam mendapatkan Perizinan Berusaha dari sektor perdagangan, metrologi legal, jaminan produk halal, dan standardisasi dan penilaian kesesuaian, Undang-Undang ini mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam:
- Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 45, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5512);
- Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3193); dan
- Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 295, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5604).
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 45, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5512) diubah sebagai berikut:
1. | Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 6
|
||||||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 11 Ketentuan lebih lanjut mengenai Distribusi Barang diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 14
|
||||||||||||||
4. | Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 15
|
||||||||||||||
5. | Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 17
|
||||||||||||||
6. | Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 24
|
||||||||||||||
7. | Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 30
|
||||||||||||||
8. | Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 33
|
||||||||||||||
9. | Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 37
|
||||||||||||||
10. | Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 38
|
||||||||||||||
11. | Ketentuan Pasal 42 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 42
|
||||||||||||||
12. | Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 43
|
||||||||||||||
13. | Ketentuan Pasal 45 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 45
|
||||||||||||||
14. | Ketentuan Pasal 46 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 46
|
||||||||||||||
15. | Ketentuan Pasal 47 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 47
|
||||||||||||||
16. | Pasal 49 dihapus. | ||||||||||||||
17. | Ketentuan Pasal 51 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 51
|
||||||||||||||
18. | Ketentuan Pasal 52 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 52
|
||||||||||||||
19. | Ketentuan Pasal 53 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 53
|
||||||||||||||
20. | Ketentuan Pasal 57 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 57
|
||||||||||||||
21. | Ketentuan Pasal 60 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 60
|
||||||||||||||
22. | Ketentuan Pasal 61 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 61
|
||||||||||||||
23. | Ketentuan Pasal 63 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 63 Penyedia Jasa yang memperdagangkan Jasa yang tidak dilengkapi dengan sertifikat kesesuaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (4) dikenai sanksi administratif. |
||||||||||||||
24. | Ketentuan Pasal 65 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 65
|
||||||||||||||
25. | Ketentuan Pasal 74 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 74
|
||||||||||||||
26. | Ketentuan Pasal 77 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 77
|
||||||||||||||
27. | Di antara Pasal 77 dan Pasal 78 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 77A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 77A
|
||||||||||||||
28. |
Ketentuan Pasal 81 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 81 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelenggaraan, kemudahan dan keikutsertaan dalam Promosi Dagang dalam rangka kegiatan pencitraan Indonesia diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||||
29. | Ketentuan Pasal 98 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 98
|
||||||||||||||
30. | Ketentuan Pasal 99 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 99 Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (1) mempunyai wewenang melakukan:
|
||||||||||||||
31. | Ketentuan Pasal 100 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 100
|
||||||||||||||
32. | Ketentuan Pasal 102 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 102 Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pengawasan kegiatan Perdagangan dan pengawasan terhadap Barang yang ditetapkan sebagai Barang dalam pengawasan diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||||
33. | Ketentuan Pasal 104 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 104
|
||||||||||||||
34. | Ketentuan Pasal 106 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 106
|
||||||||||||||
35. | Ketentuan Pasal 109 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 109 Produsen atau Importir yang memperdagangkan Barang terkait dengan keamanan, keselamatan, kesehatan, dan/atau lingkungan hidup yang tidak didaftarkan kepada Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) yang mengakibatkan timbulnya korban/kerusakan terhadap keamanan, keselamatan, kesehatan, dan/atau lingkungan hidup dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). |
||||||||||||||
36. | Ketentuan Pasal 116 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 116 Setiap Pelaku Usaha yang menyelenggarakan pameran dagang dengan mengikutsertakan peserta dan/atau produk yang dipromosikan berasal dari luar negeri yang tidak mendapatkan Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). |
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3193) diubah:
1. | Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 13 Pemerintah Pusat mengatur tentang:
|
||||
2. | Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 17
|
||||
3. | Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 18 Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||
4. | Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 24 Ketentuan lebih lanjut mengenai barang dalam keadaan terbungkus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dan Pasal 23 diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 295, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5604) diubah sebagai berikut:
1. | Di antara Pasal 4 dan Pasal 5 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 4A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 4A
|
||||||||||||
2. | Penjelasan Pasal 7 diubah sebagaimana tercantum dalam Penjelasan. | ||||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 10 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 10
|
||||||||||||
4. | Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 13
|
||||||||||||
5. | Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 14
|
||||||||||||
6. | Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 16 Ketentuan lebih lanjut mengenai LPH dan Auditor Halal diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||
7. | Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 22
|
||||||||||||
8. | Ketentuan Pasal 27 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 27
|
||||||||||||
9. | Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 28
|
||||||||||||
10. | Ketentuan Pasal 29 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 29
|
||||||||||||
11. | Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 30
|
||||||||||||
12. | Ketentuan Pasal 31 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 31
|
||||||||||||
13. | Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 32
|
||||||||||||
14. | Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 33
|
||||||||||||
15. | Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 35 Sertifikat Halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) diterbitkan oleh BPJPH paling lama 1 (satu) hari kerja terhitung sejak fatwa kehalalan Produk. |
||||||||||||
16. | Di antara Pasal 35 dan Pasal 36 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 35A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 35A Apabila LPH tidak dapat memenuhi batas waktu yang telah ditetapkan dalam proses sertifikasi halal, LPH tersebut akan dievaluasi dan/atau dikenai sanksi administratif. |
||||||||||||
17. | Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 40 Ketentuan lebih lanjut mengenai Label Halal diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||
18. | Ketentuan Pasal 41 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 41
|
||||||||||||
19. | Ketentuan Pasal 42 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 42
|
||||||||||||
20. | Ketentuan Pasal 44 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 44
|
||||||||||||
21. | Ketentuan Pasal 48 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 48
|
||||||||||||
22. | Ketentuan Pasal 53 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 53
|
||||||||||||
23. | Ketentuan Pasal 55 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 55 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara peran serta masyarakat dan pemberian penghargaan diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||
24. | Ketentuan Pasal 56 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 56 Pelaku Usaha yang tidak menjaga kehalalan Produk yang telah memperoleh Sertifikat Halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). |
Paragraf 9
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
Pasal 49
Untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat terutama Pelaku Usaha dalam mendapatkan Perizinan Berusaha dan kemudahan persyaratan investasi dari sektor pekerjaan umum dan perumahan rakyat, Undang-Undang ini mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam:
- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5158);
- Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5252);
- Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6018); dan
- Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 190, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6405).
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5158) diubah sebagai berikut:
1. | Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 26
|
||||||||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 29 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 29
|
||||||||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 33
|
||||||||||||||||
4. | Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 35 Pembangunan perumahan skala besar dengan hunian berimbang meliputi rumah sederhana, rumah menengah, dan rumah mewah. |
||||||||||||||||
5. | Ketentuan Pasal 36 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 36
|
||||||||||||||||
6. | Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 40
|
||||||||||||||||
7. | Ketentuan Pasal 42 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 42
|
||||||||||||||||
8. | Ketentuan Pasal 53 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 53
|
||||||||||||||||
9. | Ketentuan Pasal 55 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 55
|
||||||||||||||||
10. | Ketentuan Pasal 107 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 107
|
||||||||||||||||
11. | Ketentuan Pasal 109 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 109
|
||||||||||||||||
12. | Ketentuan Pasal 114 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 114
|
||||||||||||||||
13. | Di antara BAB IX dan BAB X disisipkan 1 (satu) BAB, yakni BAB IXA sehingga berbunyi sebagai berikut: BAB IXA
Pasal 117B
|
||||||||||||||||
14. | Ketentuan Pasal 134 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 134 Setiap orang dilarang menyelenggarakan pembangunan perumahan yang tidak sesuai dengan kriteria, spesifikasi, persyaratan, prasana, sarana, utilitas umum yang diperjanjikan, dan standar. |
||||||||||||||||
15. | Ketentuan Pasal 150 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 150
|
||||||||||||||||
16. | Ketentuan Pasal 151 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 151 Setiap orang yang menyelenggarakan pembangunan perumahan yang membangun perumahan tidak sesuai dengan kriteria, spesifikasi, persyaratan, prasarana, sarana, dan utilitas umum yang diperjanjikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134 yang mengakibatkan timbulnya korban/kerusakan terhadap kesehatan, keselamatan, dan/atau lingkungan dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). |
||||||||||||||||
17. | Ketentuan Pasal 153 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 153
|
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5252) diubah sebagai berikut:
1. | Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 16
|
||||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 24
|
||||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 26
|
||||||||||||
4. | Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 28 Dalam melakukan pembangunan rumah susun, pelaku pembangunan harus memenuhi ketentuan administratif yang meliputi:
|
||||||||||||
5. | Ketentuan Pasal 29 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 29
|
||||||||||||
6. | Pasal 30 dihapus. | ||||||||||||
7. | Ketentuan Pasal 31 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 31
|
||||||||||||
8. | Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 32 Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha terkait rencana fungsi dan pemanfaatan serta pengubahannya diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||
9. | Pasal 33 dihapus. | ||||||||||||
10. | Ketentuan Pasal 39 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 39
|
||||||||||||
11. | Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 40
|
||||||||||||
12. | Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 43
|
||||||||||||
13. | Ketentuan Pasal 54 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 54
|
||||||||||||
14. | Ketentuan Pasal 56 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 56
|
||||||||||||
15. | Ketentuan Pasal 67 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 67
|
||||||||||||
16. | Pasal 72 dihapus. | ||||||||||||
17. | Pasal 73 dihapus. | ||||||||||||
18. | Ketentuan Pasal 107 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 107 Setiap orang yang menyelenggarakan rumah susun tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2), Pasal 22 ayat (3), Pasal 25 ayat (1), Pasal 26 ayat (1), Pasal 39 ayat (1), Pasal 40 ayat (1), Pasal 51 ayat (3), Pasal 52, Pasal 59 ayat (1), Pasal 61 ayat (1), Pasal 66, Pasal 74 ayat (1), Pasal 98, Pasal 100, atau Pasal 101 dikenai sanksi administratif. |
||||||||||||
19. | Ketentuan Pasal 108 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 108
|
||||||||||||
20. | Pasal 110 dihapus. | ||||||||||||
21. | Pasal 112 dihapus. | ||||||||||||
22. | Ketentuan Pasal 113 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 113 Setiap orang yang:
|
||||||||||||
23. | Ketentuan Pasal 114 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 114 Setiap pejabat yang:
|
||||||||||||
24. | Ketentuan Pasal 117 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 117
|
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6018) diubah sebagai berikut:
1. | Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 5
|
||||||||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 6
|
||||||||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 7 Kewenangan Pemerintah Daerah provinsi dilaksanakan sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat pada sub-urusan Jasa Konstruksi meliputi:
|
||||||||||||||||
4. | Ketentuan Pasal 8 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 8 Kewenangan Pemerintah Daerah kabupaten/kota dilaksanakan sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat pada sub-urusan Jasa Konstruksi meliputi:
|
||||||||||||||||
5. | Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 9 Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 8, Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dapat melibatkan masyarakat Jasa Konstruksi. |
||||||||||||||||
6. | Ketentuan Pasal 10 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 10 Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab dan kewenangan serta Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 9 diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||||||
7. | Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 20
|
||||||||||||||||
8. | Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 26
|
||||||||||||||||
9. | Ketentuan Pasal 27 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 27 Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) diberikan oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat kepada usaha orang perseorangan yang berdomisili di wilayahnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
||||||||||||||||
10. | Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 28 Perizinan Berusaha sebagaimana dimasud dalam Pasal 26 ayat (1) diberikan oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat kepada badan usaha yang berdomisili di wilayahnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
||||||||||||||||
11. | Ketentuan Pasal 29 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 29
|
||||||||||||||||
12. | Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 30
|
||||||||||||||||
13. | Pasal 31 dihapus. | ||||||||||||||||
14. | Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 33
|
||||||||||||||||
15. | Ketentuan Pasal 34 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 34
|
||||||||||||||||
16. | Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 35 Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian Perizinan Berusaha, tata cara kerja sama operasi, dan penggunaan lebih banyak tenaga kerja Indonesia, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, dan pemberian Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||||||
17. | Pasal 36 dihapus. | ||||||||||||||||
18. | Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 38
|
||||||||||||||||
19. | Pasal 42 dihapus. | ||||||||||||||||
20. | Ketentuan Pasal 44 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 44 Pengguna Jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (2) dilarang menggunakan Penyedia Jasa yang terafiliasi pada pembangunan untuk kepentingan umum tanpa melalui tender, seleksi, atau katalog elektronik. |
||||||||||||||||
21. | Pasal 57 dihapus. | ||||||||||||||||
22. | Pasal 58 dihapus. | ||||||||||||||||
23. | Ketentuan Pasal 59 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 59
|
||||||||||||||||
24. | Ketentuan Pasal 69 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 69
|
||||||||||||||||
25. | Ketentuan Pasal 72 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 72
|
||||||||||||||||
26. | Pasal 74 dihapus. | ||||||||||||||||
27. | Ketentuan Pasal 84 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 84
|
||||||||||||||||
28. | Ketentuan Pasal 89 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 89 Setiap usaha orang perseorangan dan badan usaha yang tidak memiliki Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa:
|
||||||||||||||||
29. | Pasal 92 dihapus. | ||||||||||||||||
30. | Ketentuan Pasal 96 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 96
|
||||||||||||||||
31. | Ketentuan Pasal 99 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 99
|
||||||||||||||||
32. | Pasal 101 dihapus. | ||||||||||||||||
33. | Ketentuan Pasal 102 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 102 Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89, Pasal 90, Pasal 91, Pasal 93, Pasal 94, Pasal 95, Pasal 96, Pasal 97, Pasal 98, Pasal 99, dan Pasal 100 diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 190, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6405) diubah sebagai berikut:
1. | Ketentuan Pasal 8 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 8
|
||||||||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 9
|
||||||||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 12 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 12 Tugas dan wewenang Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) meliputi tugas dan wewenang Pemerintah Daerah provinsi dan/atau Pemerintah Daerah kabupaten/ kota sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. |
||||||||||||||||
4. | Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 17 Pemerintah desa atau yang disebut dengan nama lain sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat memiliki tugas:
|
||||||||||||||||
5. | Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 19
|
||||||||||||||||
6. | Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 40
|
||||||||||||||||
7. | Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 43
|
||||||||||||||||
8. | Ketentuan Pasal 44 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 44
|
||||||||||||||||
9. | Ketentuan Pasal 45 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 45
|
||||||||||||||||
10. | Ketentuan Pasal 49 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 49
|
||||||||||||||||
11. | Ketentuan Pasal 50 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 50 Perizinan Berusaha penggunaan Sumber Daya Air untuk kebutuhan usaha dengan menggunakan Air dan Daya Air sebagai materi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1) huruf b yang menghasilkan produk berupa Air minum untuk kebutuhan pokok sehari-hari diberikan kepada badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan usaha milik desa penyelenggara Sistem Penyediaan Air Minum. |
||||||||||||||||
12. | Ketentuan Pasal 51 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 51
|
||||||||||||||||
13. | Ketentuan Pasal 52 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 52
|
||||||||||||||||
14. | Ketentuan Pasal 56 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 56
|
||||||||||||||||
15. | Ketentuan Pasal 70 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 70 Setiap Orang yang dengan sengaja:
|
||||||||||||||||
16. | Ketentuan Pasal 73 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 73 Setiap Orang yang karena kelalaiannya:
|
Paragraf 10
Transportasi
Pasal 54
Untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat terutama Pelaku Usaha dalam mendapatkan Perizinan Berusaha dan kemudahan persyaratan investasi di sektor Transportasi, Undang-Undang ini mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam:
- Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5025);
- Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 65, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4722);
- Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4849); dan
- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4956).
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5025) diubah sebagai berikut:
1. | Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 19
|
||||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 36 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 36 Setiap Kendaraan Bermotor Umum dalam trayek wajib singgah di Terminal yang sudah ditentukan, kecuali ditetapkan lain dalam trayek yang telah disetujui dalam Perizinan Berusaha. |
||||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 38
|
||||||||||||
4. | Ketentuan Pasal 39 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 39
|
||||||||||||
5. | Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 40
|
||||||||||||
6. | Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 43
|
||||||||||||
7. | Ketentuan Pasal 50 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 50
|
||||||||||||
8. | Ketentuan Pasal 53 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 53
|
||||||||||||
9. | Ketentuan Pasal 60 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 60
|
||||||||||||
10. | Ketentuan Pasal 78 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 78
|
||||||||||||
11. | Ketentuan Pasal 99 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 99
|
||||||||||||
12. | Pasal 100 dihapus. | ||||||||||||
13. | Pasal 101 dihapus. | ||||||||||||
14. | Ketentuan Pasal 126 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 126 Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum angkutan orang dilarang:
|
||||||||||||
15. | Ketentuan Pasal 162 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 162
|
||||||||||||
16. | Ketentuan Pasal 165 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 165
|
||||||||||||
17. | Ketentuan Pasal 170 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 170
|
||||||||||||
18. | Ketentuan Pasal 173 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 173
|
||||||||||||
19. | Pasal 174 dihapus. | ||||||||||||
20. | Pasal 175 dihapus. | ||||||||||||
21. | Pasal 176 dihapus. | ||||||||||||
22. | Pasal 177 dihapus. | ||||||||||||
23. | Pasal 178 dihapus. | ||||||||||||
24. | Ketentuan Pasal 179 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 179
|
||||||||||||
25. | Pasal 180 dihapus. | ||||||||||||
26.. | Ketentuan Pasal 185 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 185
|
||||||||||||
27. | Ketentuan Pasal 199 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 199
|
||||||||||||
28 | Ketentuan Pasal 220 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 220
|
||||||||||||
29. | Ketentuan Pasal 222 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 222
|
||||||||||||
30. | Pasal 308 dihapus. |
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 65, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4722) diubah sebagai berikut:
1. | Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 24
|
||||||||
2. | Di antara Pasal 24 dan Pasal 25 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 24A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 24A Badan Usaha yang menyelenggarakan prasarana perkeretaapian umum yang tidak memenuhi Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) dikenai sanksi administratif. |
||||||||
3. | Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 28 Penyelenggara Sarana Perkeretaapian yang mengoperasikan sarana perkeretaapian tidak memenuhi standar kelaikan operasi sarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dikenai sanksi administratif. |
||||||||
4. | Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 32
|
||||||||
5. | Di antara Pasal 32 dan Pasal 33 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 32A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 32A Badan Usaha yang menyelenggarakan sarana perkeretaapian umum yang tidak memenuhi Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dikenai sanksi administratif. |
||||||||
6. | Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 33
|
||||||||
7. | Di antara Pasal 33 dan Pasal 34 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 33A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 33A Penyelenggara perkeretaapian khusus yang tidak memenuhi Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2), dikenai sanksi administratif. |
||||||||
8. | Ketentuan Pasal 77 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 77 Setiap badan hukum atau lembaga yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 dikenai sanksi administratif. |
||||||||
9. | Di antara Pasal 80 dan Pasal 81 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 80A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 80A Petugas prasarana perkeretaapian yang mengoperasikan Prasarana Perkeretaapian tidak memiliki sertifikat kecakapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (1) dikenai sanksi administratif. |
||||||||
10. | Ketentuan Pasal 82 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 82 Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 dikenai sanksi administratif. |
||||||||
11. | Ketentuan Pasal 107 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 107 Setiap badan hukum atau lembaga yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 dikenai sanksi administratif. |
||||||||
12. | Ketentuan Pasal 112 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 112 Apabila penyelenggara sarana perkeretaapian dalam melaksanakan pemeriksaan tidak menggunakan tenaga yang memiliki kualifikasi keahlian dan tidak sesuai dengan tata cara yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111, dikenai sanksi administratif. |
||||||||
13. | Di antara Pasal 116 dan Pasal 117 disisipkan 2 (dua) pasal yakni Pasal 116A dan Pasal 116B sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 116A Awak Sarana Perkeretaapian yang mengoperasikan sarana Perkeretaapian tidak memiliki sertifikat kecakapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) dikenai sanksi administratif. Pasal 116B Penyelenggara Sarana Perkeretaapian yang mengoperasikan Sarana Perkeretaapian dengan Awak Sarana Perkeretaapian yang tidak memiliki sertifikat tanda kecakapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) dikenai sanksi administratif. |
||||||||
14. | Ketentuan Pasal 135 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 135 Penyelenggara Sarana Perkeretaapian yang tidak menyediakan angkutan dengan kereta api lain atau moda transportasi lain sampai stasiun tujuan atau tidak memberi ganti rugi senilai harga karcis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134 ayat (4) dikenai sanksi administratif. |
||||||||
15. | Ketentuan Pasal 168 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 168 Penyelenggara Sarana Perkeretaapian yang tidak mengasuransikan tanggung jawabnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 167 ayat (1) dikenai sanksi administratif. |
||||||||
16. | Di antara Pasal 185 dan Pasal 186 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 185A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 185A
|
||||||||
17. | Ketentuan Pasal 188 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 188 Badan Usaha yang menyelenggarakan prasarana perkeretaapian umum yang tidak memiliki Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) yang mengakibatkan timbulnya korban terhadap manusia dan/atau kerusakan terhadap kesehatan, keselamatan, dan/atau lingkungan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun atau pidana denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). |
||||||||
18. | Ketentuan Pasal 190 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 190 Badan Usaha yang menyelenggarakan sarana perkeretaapian umum yang tidak memenuhi Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) yang mengakibatkan timbulnya korban terhadap manusia dan/atau kerusakan terhadap kesehatan, keselamatan, dan/atau lingkungan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun atau pidana denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). |
||||||||
19. | Ketentuan Pasal 191 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 191 Jika tindakan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33A mengakibatkan timbulnya kecelakaan kereta api dan/atau kerugian bagi harta benda, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan 6 (enam) bulan dan pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). |
||||||||
20. | Ketentuan Pasal 195 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 195 Petugas prasarana perkeretaapian yang mengoperasikan Prasarana Perkeretaapian tidak memiliki sertifikat kecakapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (1) yang mengakibatkan terjadinya kecelakaan dan/atau menimbulkan korban dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun. |
||||||||
21. | Ketentuan Pasal 196 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 196
|
||||||||
22. | Ketentuan Pasal 203 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 203
|
||||||||
23. | Ketentuan Pasal 204 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 204
|
||||||||
24. | Ketentuan Pasal 210 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 210
|
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4849) diubah sebagai berikut:
1. | Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 5
|
||||||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 9
|
||||||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 13
|
||||||||||||||
4. | Di antara Pasal 14 dan Pasal 15 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 14A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 14A
|
||||||||||||||
5. | Ketentuan Pasal 27 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 27 Untuk melakukan kegiatan angkutan di perairan, orang perseorangan warga negara Indonesia atau Badan Usaha wajib memenuhi Perizinan Berusaha. |
||||||||||||||
6. | Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 28
|
||||||||||||||
7. | Pasal 30 dihapus. | ||||||||||||||
8. | Ketentuan Pasal 31 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 31
|
||||||||||||||
9. | Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 32
|
||||||||||||||
10. | Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 33 Badan Usaha yang didirikan khusus untuk usaha jasa terkait dengan angkutan di perairan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1), wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. |
||||||||||||||
11. | Ketentuan Pasal 34 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 34 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan Perizinan Berusaha jasa terkait dengan angkutan di perairan diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||||
12. | Ketentuan Pasal 51 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 51
|
||||||||||||||
13. | Ketentuan Pasal 52 diubah sehinga berbunyi sebagai berikut: Pasal 52
|
||||||||||||||
14. | Ketentuan Pasal 59 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 59
|
||||||||||||||
15. | Ketentuan Pasal 90 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 90
|
||||||||||||||
16. | Ketentuan Pasal 91 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 91
|
||||||||||||||
17. | Ketentuan Pasal 96 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 96
|
||||||||||||||
18. | Ketentuan Pasal 97 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 97
|
||||||||||||||
19. | Ketentuan Pasal 98 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 98
|
||||||||||||||
20. | Ketentuan Pasal 99 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 99 Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis kegiatan pengusahaan di pelabuhan serta Perizinan Berusaha terkait pembangunan dan pengoperasian pelabuhan diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||||
21. | Pasal 103 dihapus. | ||||||||||||||
22. | Ketentuan Pasal 104 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 104
|
||||||||||||||
23. | Ketentuan Pasal 106 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 106 Terminal khusus yang sudah tidak dioperasikan sesuai dengan Perizinan Berusaha yang telah diberikan dapat diserahkan kepada Pemerintah Pusat atau dikembalikan seperti keadaan semula atau diusulkan untuk perubahan status menjadi terminal khusus untuk menunjang usaha pokok yang lain atau menjadi pelabuhan. |
||||||||||||||
24. | Pasal 107 dihapus. | ||||||||||||||
25. | Ketentuan Pasal 111 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 111
|
||||||||||||||
26. | Ketentuan Pasal 124 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 124 Setiap pengadaan, pembangunan, dan pengerjaan kapal termasuk perlengkapannya serta pengoperasian kapal di perairan Indonesia harus memenuhi persyaratan keselamatan kapal yang sesuai dengan ketentuan standar internasional. |
||||||||||||||
27. | Ketentuan Pasal 125 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 125
|
||||||||||||||
28. | Ketentuan Pasal 126 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 126
|
||||||||||||||
29. | Ketentuan Pasal 127 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 127
|
||||||||||||||
30. | Ketentuan Pasal 129 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 129
|
||||||||||||||
31. | Ketentuan Pasal 130 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 130
|
||||||||||||||
32. | Ketentuan Pasal 133 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 133 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengesahan gambar dan pembangunan kapal serta pemeriksaan dan sertifikasi keselamatan kapal diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||||
33. | Penjelasan Pasal 154 diubah sebagaimana tercantum dalam Penjelasan. | ||||||||||||||
34. | Ketentuan Pasal 155 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 155
|
||||||||||||||
35. | Ketentuan Pasal 157 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 157
|
||||||||||||||
36. | Ketentuan Pasal 158 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 158
|
||||||||||||||
37. | Ketentuan Pasal 159 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 159
|
||||||||||||||
38. | Ketentuan Pasal 163 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 163
|
||||||||||||||
39. | Ketentuan Pasal 168 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 168 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengukuran dan penerbitan surat ukur, tata cara, persyaratan, dan dokumentasi pendaftaran kapal serta tata cara dan persyaratan penerbitan Surat Tanda Kebangsaan Kapal diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||||
40. | Ketentuan Pasal 169 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 169
|
||||||||||||||
41. | Ketentuan Pasal 170 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 170
|
||||||||||||||
42. | Ketentuan Pasal 171 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 171
|
||||||||||||||
43. | Ketentuan Pasal 197 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 197
|
||||||||||||||
44. | Ketentuan Pasal 204 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 204
|
||||||||||||||
45. | Ketentuan Pasal 213 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 213
|
||||||||||||||
46. | Ketentuan Pasal 225 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 225
|
||||||||||||||
47. | Ketentuan Pasal 243 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 243
|
||||||||||||||
48. | Ketentuan Pasal 273 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 273
|
||||||||||||||
49. | Ketentuan Pasal 288 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 288 Setiap orang yang mengoperasikan kapal pada angkutan sungai dan danau tanpa memenuhi Perizinan Berusaha untuk trayek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (4) yang menimbulkan kecelakaan kapal, korban manusia, atau kerugian harta benda dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). |
||||||||||||||
50. | Ketentuan Pasal 289 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 289 Setiap orang yang mengoperasikan kapal pada angkutan penyeberangan tanpa memenuhi Perizinan Berusaha terkait persetujuan pengoperasian kapal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (6) yang menimbulkan kecelakaan kapal, korban manusia, atau kerugian harta benda dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). |
||||||||||||||
51. | Ketentuan Pasal 290 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 290 Setiap orang yang menyelenggarakan usaha jasa terkait dengan angkutan di perairan tanpa memenuhi Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 yang menimbulkan korban manusia atau kerugian harta benda dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). |
||||||||||||||
52. | Ketentuan Pasal 291 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 291 Setiap orang yang tidak melaksanakan kewajibannya untuk mengangkut penumpang dan/atau barang terutama angkutan pos sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) yang mengakibatkan timbulnya kerugian pihak lain dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah). |
||||||||||||||
53. | Ketentuan Pasal 292 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 292 Setiap orang yang tidak mengasuransikan tanggung jawabnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3) yang mengakibatkan timbulnya kerugian pihak lain dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan dan denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). |
||||||||||||||
54. | Ketentuan Pasal 293 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 293 Setiap orang yang tidak memberikan fasilitas khusus dan kemudahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) yang menimbulkan kecelakaan dan/atau korban manusia dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan dan denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). |
||||||||||||||
55. | Ketentuan Pasal 294 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 294
|
||||||||||||||
56. | Ketentuan Pasal 295 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 295 Setiap orang yang mengangkut barang berbahaya dan barang khusus yang tidak menyampaikan pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 yang mengakibatkan timbulnya korban dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan dan denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). |
||||||||||||||
57. | Ketentuan Pasal 296 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 296 Setiap orang yang tidak mengasuransikan tanggung jawabnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 yang mengakibatkan timbulnya kerugian pihak lain dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah). |
||||||||||||||
58. | Ketentuan Pasal 297 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 297
|
||||||||||||||
59. | Ketentuan Pasal 298 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 298 Setiap orang yang tidak memberikan jaminan atas pelaksanaan tanggung jawab ganti rugi dalam melaksanakan kegiatan di pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 ayat (3) yang mengakibatkan timbulnya korban dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan dan denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). |
||||||||||||||
60. | Ketentuan Pasal 299 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 299 Setiap orang yang membangun dan mengoperasikan terminal khusus tanpa memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 ayat (2) yang mengakibatkan timbulnya korban/kerusakan kesehatan, keselamatan, dan/atau lingkungan dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). |
||||||||||||||
61. | Ketentuan Pasal 307 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 307 Setiap orang yang mengoperasikan kapal tanpa dilengkapi dengan perangkat komunikasi radio dan kelengkapannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 131 ayat (2) yang mengakibatkan timbulnya kecelakaan kapal, korban manusia, atau kerugian barang dan harta benda dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). |
||||||||||||||
62. | Ketentuan Pasal 308 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 308 Setiap orang yang mengoperasikan kapal tidak dilengkapi dengan peralatan meteorologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 132 ayat (1) yang mengakibatkan timbulnya kecelakaan kapal, korban manusia, atau kerugian barang dan harta benda dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). |
||||||||||||||
63. | Ketentuan Pasal 310 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 310 Setiap orang yang mempekerjakan Awak Kapal tanpa memenuhi persyaratan kualifikasi dan kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 135 yang mengakibatkan timbulnya korban atau kerugian harta benda dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). |
||||||||||||||
64. | Ketentuan Pasal 313 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 313 Setiap orang yang menggunakan peti kemas sebagai bagian dari alat angkut tanpa memenuhi persyaratan kelaikan peti kemas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 149 ayat (1) yang mengakibatkan timbulnya korban atau kerugian harta benda dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). |
||||||||||||||
65. | Ketentuan Pasal 314 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 314 Setiap orang yang tidak memasang tanda pendaftaran pada kapal yang telah terdaftar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158 ayat (5) yang mengakibatkan timbulnya korban atau kerugian harta benda dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). |
||||||||||||||
66. | Ketentuan Pasal 321 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 321 Pemilik kapal yang tidak menyingkirkan kerangka kapal dan/atau muatannya yang mengganggu keselamatan dan keamanan pelayaran dalam batas waktu yang ditetapkan pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 203 ayat (1) yang mengakibatkan timbulnya korban/kecelakaan kapal dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). |
||||||||||||||
67. | Ketentuan Pasal 322 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 322 Nakhoda yang melakukan kegiatan perbaikan, percobaan berlayar, kegiatan alih muat di kolam pelabuhan, menunda, dan bongkar muat barang berbahaya tanpa persetujuan dari Syahbandar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 216 ayat (1) yang mengakibatkan timbulnya korban atau terjadinya kecelakaan kapal dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). |
||||||||||||||
68. | Ketentuan Pasal 336 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 336
|
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4956) diubah sebagai berikut:
1. | Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 13
|
||||||||||||
2. | Pasal 14 dihapus. | ||||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 15 Pesawat udara, mesin pesawat udara, atau baling-baling pesawat terbang yang dibuat berdasarkan rancang bangun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 untuk diproduksi harus memiliki sertifikat tipe. |
||||||||||||
4. | Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 16
|
||||||||||||
5. | Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 17 Setiap perubahan terhadap rancang bangun pesawat udara, mesin pesawat udara, atau baling-baling pesawat terbang yang telah mendapat sertifikat tipe sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 harus mendapat persetujuan dari Pemerintah Pusat. |
||||||||||||
6. | Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 18 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur mendapatkan persetujuan rancang bangun, kegiatan rancang bangun, perubahan rancang bangun pesawat udara, sertifikat validasi tipe, dan sertifikat tipe diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||
7. | Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 19
|
||||||||||||
8. | Pasal 20 dihapus. | ||||||||||||
9. | Pasal 21 dihapus. | ||||||||||||
10. | Pasal 22 dihapus. | ||||||||||||
11. | Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 26 Pesawat udara yang telah didaftarkan dan memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 diterbitkan sertifikat pendaftaran. |
||||||||||||
12. | Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 30 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pendaftaran dan penghapusan tanda pendaftaran dan tanda kebangsaan Indonesia serta kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||
13. | Pasal 31 dihapus. | ||||||||||||
14. | Pasal 32 dihapus. | ||||||||||||
15. | Pasal 33 dihapus. | ||||||||||||
16. | Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 37 Sertifikat kelaikudaraan standar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 terdiri atas:
|
||||||||||||
17. | Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 40 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur untuk memperoleh sertifikat kelaikudaraan dan kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||
18. | Ketentuan Pasal 41 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 41
|
||||||||||||
19. | Pasal 42 dihapus. | ||||||||||||
20. | Pasal 43 dihapus. | ||||||||||||
21. | Ketentuan Pasal 45 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 45 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur memperoleh sertifikat operator pesawat udara atau sertifikat pengoperasian pesawat udara dan kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||
22. | Ketentuan Pasal 46 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 46
|
||||||||||||
23. | Ketentuan Pasal 47 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 47 Perawatan pesawat udara, mesin pesawat udara, serta baling-baling pesawat terbang dan komponennya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 hanya dapat dilakukan oleh:
|
||||||||||||
24. | Pasal 48 dihapus. | ||||||||||||
25. | Ketentuan Pasal 49 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 49 Sertifikat organisasi perawatan pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 huruf b dapat diberikan kepada organisasi perawatan pesawat udara di luar negeri yang memenuhi persyaratan setelah memiliki sertifikat organisasi perawatan pesawat udara yang diterbitkan oleh otoritas penerbangan negara yang bersangkutan. |
||||||||||||
26. | Ketentuan Pasal 50 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 50 Setiap orang yang melanggar ketentuan perawatan pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dikenai sanksi administratif. |
||||||||||||
27. | Ketentuan Pasal 51 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 51 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara, prosedur, dan pemberian sertifikat organisasi perawatan pesawat udara dan lisensi ahli perawatan pesawat udara dan kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||
28. | Ketentuan Pasal 58 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 58
|
||||||||||||
29. | Ketentuan Pasal 60 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 60 Lisensi personel pesawat udara yang diberikan oleh negara lain dapat diakui melalui pengesahan oleh Pemerintah Pusat. |
||||||||||||
30. | Ketentuan Pasal 61 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 61 Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, tata cara dan prosedur memperoleh lisensi, atau sertifikat kompetensi dan lembaga pendidikan dan/atau sertifikat pelatihan diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||
31. | Ketentuan Pasal 63 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 63
|
||||||||||||
32. | Pasal 64 dihapus. | ||||||||||||
33. | Ketentuan Pasal 66 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 66 Ketentuan lebih lanjut mengenai proses dan biaya sertifikasi diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||
34. | Ketentuan Pasal 67 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 67
|
||||||||||||
35. | Ketentuan Pasal 84 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 84 Angkutan udara niaga dalam negeri hanya dapat dilakukan oleh badan usaha angkutan udara nasional yang telah memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. |
||||||||||||
36. | Ketentuan Pasal 85 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 85
|
||||||||||||
37. | Ketentuan Pasal 91 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 91
|
||||||||||||
38. | Ketentuan Pasal 93 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 93
|
||||||||||||
39. | Ketentuan Pasal 94 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 94
|
||||||||||||
40. | Ketentuan Pasal 95 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 95
|
||||||||||||
41. | Ketentuan Pasal 96 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 96 Ketentuan lebih lanjut mengenai angkutan udara niaga, kerja sama angkutan udara, dan sanksi administratif termasuk prosedur dan tata cara pengenaan, diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||
42. | Ketentuan Pasal 97 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 97
|
||||||||||||
43. | Pasal 99 dihapus. | ||||||||||||
44. | Ketentuan Pasal 100 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 100 Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayanan badan usaha angkutan udara niaga berjadwal diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||
45. | Ketentuan Pasal 109 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 109 Kegiatan angkutan udara niaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 dilakukan oleh badan usaha di bidang angkutan udara niaga nasional setelah memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. |
||||||||||||
46. | Pasal 110 dihapus. | ||||||||||||
47. | Pasal 111 dihapus. | ||||||||||||
48. | Ketentuan Pasal 112 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 112 Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 berlaku selama pemegang Perizinan Berusaha masih menjalankan kegiatan angkutan udara secara nyata dengan terus menerus mengoperasikan pesawat udara sesuai dengan Perizinan Berusaha yang diberikan. |
||||||||||||
49. | Ketentuan Pasal 113 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 113
|
||||||||||||
50. | Ketentuan Pasal 114 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 114 Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, tata cara, dan prosedur memperoleh Perizinan Berusaha terkait angkutan udara niaga diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||
51. | Ketentuan Pasal 118 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 118
|
||||||||||||
52. | Ketentuan Pasal 119 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 119
|
||||||||||||
53. | Ketentuan Pasal 120 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 120 Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban pemegang Perizinan Berusaha, persyaratan, dan sanksi administratif termasuk prosedur dan tata cara pengenaan sanksi diatur, dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||
54. | Ketentuan Pasal 130 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 130 Ketentuan lebih lanjut mengenai tarif angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri kelas ekonomi dan angkutan udara perintis serta sanksi administratif, termasuk prosedur dan tata cara pengenaan sanksi diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||
55. | Pasal 131 dihapus. | ||||||||||||
56. | Pasal 132 dihapus. | ||||||||||||
57. | Pasal 133 dihapus. | ||||||||||||
58. | Ketentuan Pasal 137 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 137 Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 ayat (5) diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||
59. | Ketentuan Pasal 138 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 138
|
||||||||||||
60. | Ketentuan Pasal 139 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 139 Ketentuan lebih lanjut mengenai pengangkutan barang khusus dan barang berbahaya serta kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||
61. | Ketentuan Pasal 205 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 205
|
||||||||||||
62. | Pasal 215 dihapus. | ||||||||||||
63 | Ketentuan Pasal 218 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 218 Ketentuan lebih lanjut mengenai keselamatan dan keamanan penerbangan, pelayanan jasa bandar udara, serta tata cara dan prosedur untuk memperoleh sertifikat bandar udara atau register bandar udara dan kriteria, jenis, besaran denda, serta tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||
64. | Ketentuan Pasal 219 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 219
|
||||||||||||
65. | Ketentuan Pasal 221 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 221 Ketentuan lebih lanjut mengenai pengoperasian fasilitas bandar udara serta kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||
66. | Ketentuan Pasal 222 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 222
|
||||||||||||
67. | Ketentuan Pasal 224 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 224 Lisensi personel bandar udara yang diberikan oleh negara lain dinyatakan sah melalui pengesahan atau validasi oleh Pemerintah Pusat. |
||||||||||||
68. | Ketentuan Pasal 225 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 225 Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, tata cara dan prosedur memperoleh lisensi, lembaga pendidikan dan/atau pelatihan, serta kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||
69. | Ketentuan Pasal 233 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 233
|
||||||||||||
70. | Ketentuan Pasal 237 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 237 Pemerintah Pusat mengembangkan usaha kebandarudaraan melalui penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal. |
||||||||||||
71. | Ketentuan Pasal 238 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 238 Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan pengusahaan di bandar udara, serta kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||
72. | Ketentuan Pasal 242 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 242 Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab atas kerugian serta kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||
73. | Ketentuan Pasal 247 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 247
|
||||||||||||
74. | Ketentuan Pasal 249 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 249 Bandar udara khusus dilarang melayani penerbangan langsung dari dan/atau ke luar negeri kecuali dalam keadaan tertentu dan bersifat sementara setelah memperoleh persetujuan dari Pemerintah Pusat. |
||||||||||||
75. | Ketentuan Pasal 250 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 250 Bandar udara khusus dilarang digunakan untuk kepentingan umum, kecuali dalam keadaan tertentu dengan persetujuan dari Pemerintah Pusat. |
||||||||||||
76. | Ketentuan Pasal 252 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 252 Ketentuan lebih lanjut mengenai persetujuan pembangunan dan pengoperasian bandar udara khusus serta perubahan status menjadi bandar udara yang dapat melayani kepentingan umum diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||
77. | Ketentuan Pasal 253 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 253 Tempat pendaratan dan lepas landas helikopter terdiri atas:
|
||||||||||||
78. | Ketentuan Pasal 254 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 254
|
||||||||||||
79. | Ketentuan Pasal 255 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 255 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pemberian persetujuan pembangunan dan pengoperasian tempat pendaratan dan lepas landas helikopter (heliport) diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||
80. | Ketentuan Pasal 275 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 275
|
||||||||||||
81. | Ketentuan Pasal 277 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 277 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pembentukan dan sertifikasi lembaga penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan serta biaya pelayanan jasa navigasi penerbangan diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||
82. | Ketentuan Pasal 292 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 292
|
||||||||||||
83. | Ketentuan Pasal 294 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 294 Lisensi personel navigasi penerbangan yang diberikan oleh negara lain dinyatakan sah melalui pengesahan atau validasi oleh Pemerintah Pusat. |
||||||||||||
84. | Ketentuan Pasal 295 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 295 Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, tata cara dan prosedur memperoleh lisensi, kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||
85. | Ketentuan Pasal 317 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 317 Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem manajemen keselamatan penyedia jasa penerbangan, kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||
86. | Ketentuan Pasal 389 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 389 Setiap personel di bidang penerbangan yang telah memiliki sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 388 dapat diberi lisensi oleh Pemerintah Pusat setelah memenuhi persyaratan. |
||||||||||||
87. | Ketentuan Pasal 392 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 392 Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikat kompetensi dan lisensi serta penyusunan program pelatihan diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||
88. | Ketentuan Pasal 418 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 418 Setiap orang yang melakukan kegiatan angkutan udara niaga tidak berjadwal luar negeri tanpa persetujuan terbang dari Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah). |
||||||||||||
89. | Ketentuan Pasal 423 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 423
|
||||||||||||
90. | Ketentuan Pasal 428 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 428
|
Paragraf 11
Kesehatan, Obat, dan Makanan
Untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat terutama Pelaku Usaha dalam mendapatkan Perizinan Berusaha dari sektor Kesehatan, Obat, dan Makanan, Undang-Undang ini mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam:
- Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063);
- Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5072);
- Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 10 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3671);
- Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 143, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5062); dan
- Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 227, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5360).
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063) diubah sebagai berikut.
1. | Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 30
|
||||||||
2. | Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 35 Ketentuan lebih lanjut mengenai fasilitas pelayanan kesehatan dan Perizinan Berusaha diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||
3. | Ketentuan Pasal 60 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 60
|
||||||||
4. | Ketentuan Pasal 106 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 106
|
||||||||
5. | Ketentuan Pasal 111 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 111
|
||||||||
6. | Ketentuan Pasal 182 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 182
|
||||||||
7. | Ketentuan Pasal 183 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 183 Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 182 dalam melaksanakan tugasnya dapat mengangkat tenaga pengawas dengan tugas pokok untuk melakukan pengawasan terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan sumber daya di bidang kesehatan dan upaya kesehatan. |
||||||||
8. | Ketentuan Pasal 187 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 187 Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan dalam penyelenggaraan upaya di bidang kesehatan diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||
9. | Ketentuan Pasal 188 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 188 Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dapat mengambil tindakan administratif terhadap tenaga kesehatan dan fasilitas pelayanan kesehatan yang melanggar ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. |
||||||||
10. | Ketentuan Pasal 197 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 197 Setiap Orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1), dan ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah). |
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5072) diubah sebagai berikut:
1. | Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 17
|
||||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 24
|
||||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 25
|
||||||||||||
4. | Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 26
|
||||||||||||
5. | Ketentuan Pasal 27 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 27 Perizinan Berusaha terkait Rumah Sakit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dapat dicabut jika:
|
||||||||||||
6. | Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 28 Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha terkait Rumah Sakit diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||
7. | Ketentuan Pasal 29 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 29
|
||||||||||||
8. | Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 40
|
||||||||||||
9. | Ketentuan Pasal 54 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 54
|
||||||||||||
10. | Ketentuan Pasal 62 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 62 Setiap orang yang dengan sengaja menyelenggarakan Rumah Sakit tidak memiliki Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) yang mengakibatkan timbulnya korban/kerusakan terhadap kesehatan, keselamatan, dan/atau lingkungan dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp7.000.000.000,00 (tujuh miliar rupiah). |
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3671) diubah sebagai berikut:
1. | Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 5 Psikotropika hanya dapat diproduksi oleh industri farmasi yang telah memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. |
||||||||
2. | Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 9
|
||||||||
3. | Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 16
|
||||||||
4. | Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 18
|
||||||||
5. | Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 19 Pemerintah Pusat menyampaikan surat persetujuan impor terkait impor psikotropika kepada pemerintah negara pengekspor psikotropika. |
||||||||
6. | Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 20 Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan ekspor atau impor psikotropika diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||
7. | Ketentuan Pasal 21 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 21
|
||||||||
8. | Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 22
|
Beberapa ketentuan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 143, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5062) diubah sebagai berikut:
1. | Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 11
|
||||||||
2. | Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 15
|
||||||||
3. | Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 16
|
||||||||
4. | Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 18
|
||||||||
5. | Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 19
|
||||||||
6. | Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 22 Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara memperoleh Surat Persetujuan Impor dan Surat Persetujuan Ekspor diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||
7. | Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 24
|
||||||||
8. | Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 26
|
||||||||
9. | Ketentuan Pasal 36 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 36
|
||||||||
10. | Ketentuan Pasal 39 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 39
|
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 227, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5360) diubah sebagai berikut:
1. | Ketentuan Pasal 1 angka 7 diubah sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut: Pasal 1
|
||||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 14
|
||||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 15
|
||||||||||||
4. | Ketentuan Pasal 36 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 36
|
||||||||||||
5. | Ketentuan Pasal 39 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 39 Pemerintah Pusat menetapkan kebijakan dan peraturan Impor Pangan dalam rangka keberlanjutan usaha tani, peningkatan kesejahteraan petani, Nelayan, Pembudi Daya Ikan, serta Pelaku Usaha Pangan mikro dan kecil. |
||||||||||||
6. | Ketentuan Pasal 68 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 68
|
||||||||||||
7. | Ketentuan Pasal 72 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 72
|
||||||||||||
8. | Ketentuan Pasal 74 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 74
|
||||||||||||
9. | Ketentuan Pasal 77 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 77
|
||||||||||||
10. | Ketentuan Pasal 81 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 81
|
||||||||||||
11. | Pasal 87 dihapus. | ||||||||||||
12. | Ketentuan Pasal 88 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 88
|
||||||||||||
13. | Di antara Pasal 89 dan Pasal 90 disisipkan satu pasal, yakni Pasal 89A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 89A
|
||||||||||||
14. | Ketentuan Pasal 91 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 91
|
||||||||||||
15. | Ketentuan Pasal 133 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 133 Pelaku Usaha Pangan yang dengan sengaja menimbun atau menyimpan melebihi jumlah maksimal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 dengan maksud untuk memperoleh keuntungan yang mengakibatkan harga Pangan Pokok menjadi mahal atau melambung tinggi dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun atau denda paling banyak Rp150.000.000.000,00 (seratus lima puluh miliar rupiah). |
||||||||||||
16. | Ketentuan Pasal 134 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 134
|
||||||||||||
17. | Ketentuan Pasal 135 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 135
|
||||||||||||
18. | Ketentuan Pasal 139 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 139
|
||||||||||||
19. | Ketentuan Pasal 140 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 140
|
||||||||||||
20. | Ketentuan Pasal 141 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 141
|
||||||||||||
21. | Ketentuan Pasal 142 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 142
|
Paragraf 12
Pendidikan dan Kebudayaan
Pasal 65
(1) | Pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan dapat dilakukan melalui Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini. |
(2) | Ketentuan lebih lanjut pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
Untuk mempermudah pelaku usaha perfilman dalam melakukan kegiatan usaha, Undang-Undang ini mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan baru yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 141, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5060) diubah sebagai berikut:
1. | Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 14
|
||||||
2. | Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 17
|
||||||
3. | Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 22
|
||||||
4. | Ketentuan Pasal 78 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 78
|
||||||
5. | Pasal 79 dihapus. |
Paragraf 13
Kepariwisataan
Pasal 67
Untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat terutama Pelaku Usaha dalam mendapatkan Perizinan Berusaha dari sektor kepariwisataan, beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4966) diubah sebagai berikut:
1. | Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 14
|
||||||
2. | Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 15
|
||||||
3. | Pasal 16 dihapus. | ||||||
4. | Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 26
|
||||||
5. | Ketentuan Pasal 29 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 29
|
||||||
6. | Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 30
|
||||||
7. | Ketentuan Pasal 54 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 54
|
||||||
8. | Pasal 56 dihapus. | ||||||
9. | Pasal 64 dihapus. |
Untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat terutama Pelaku Usaha dalam mendapatkan Perizinan Berusaha dari sektor keagamaan, beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6388) diubah sebagai berikut:
1. | Ketentuan Pasal 1 angka 11 dan angka 19 diubah sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
|
||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 19
|
||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 20 Pemerintah Pusat melakukan pengawasan terhadap PIHK yang memberangkatkan warga negara Indonesia yang mendapatkan undangan visa haji mujamalah dari pemerintah Kerajaan Arab Saudi. |
||||||||||
4. | Ketentuan Pasal 58 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 58 Untuk mendapatkan Perizinan Berusaha menjadi PIHK, badan hukum harus memenuhi persyaratan:
|
||||||||||
5. | Ketentuan Pasal 59 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 59
|
||||||||||
6. | Ketentuan Pasal 61 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 61 Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan PIHK dan pembukaan kantor cabang PIHK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 dan Pasal 60 diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||
7. | Ketentuan Pasal 63 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 63
|
||||||||||
8. | Ketentuan Pasal 83 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 83
|
||||||||||
9. | Ketentuan Pasal 84 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 84 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengawasan dan evaluasi oleh Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||
10. | Ketentuan Pasal 85 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 85
|
||||||||||
11. | Ketentuan Pasal 89 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 89
|
||||||||||
12. | Ketentuan Pasal 90 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 90
|
||||||||||
13. | Ketentuan Pasal 91 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 91
|
||||||||||
14. | Ketentuan Pasal 92 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 92 Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha dan pembukaan kantor cabang PPIU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89, Pasal 90, dan Pasal 91 diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||
15. | Ketentuan Pasal 94 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 94
|
||||||||||
16. | Ketentuan Pasal 95 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 95
|
||||||||||
17. | Ketentuan Pasal 99 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 99
|
||||||||||
18. | Ketentuan Pasal 101 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 101
|
||||||||||
19. | Ketentuan Pasal 103 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 103 Pemerintah Pusat menetapkan standar akreditasi PPIU. |
||||||||||
20. | Ketentuan Pasal 104 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 104
|
||||||||||
21. | Ketentuan Pasal 106 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 106 Ketentuan lebih lanjut mengenai akreditasi terhadap PPIU diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||
22. | Di antara Pasal 118 dan Pasal 119 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 118A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 118A
|
||||||||||
23. | Di antara Pasal 119 dan Pasal 120 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 119A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 119A
|
||||||||||
24. | Ketentuan Pasal 125 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 125 Dalam hal PIHK yang melakukan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118A dalam waktu paling lama 5 (lima) hari tidak memulangkan Jemaah Haji Khusus ke tanah air, PIHK dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau pidana denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). |
||||||||||
25. | Ketentuan Pasal 126 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 126 Dalam hal PPIU yang melakukan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119A dalam waktu paling lama 5 (lima) hari tidak memulangkan Jemaah Umroh ke tanah air, PPIU dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau pidana denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). |
Paragraf 15
Pos, Telekomunikasi, dan Penyiaran
Pasal 69
Untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat terutama Pelaku Usaha dalam mendapatkan Perizinan Berusaha dan kemudahan persyaratan investasi dari sektor Pos, Telekomunikasi, dan Penyiaran, Undang-Undang ini mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam:
- Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2009 tentang Pos (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 146, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5065);
- Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 154, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3881); dan
- Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 139, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4252).
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2009 tentang Pos (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 146, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5065) diubah sebagai berikut:
1. | Ketentuan Pasal 10 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 10
|
||||||
2. | Ketentuan Pasal 12 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 12
|
||||||
3. | Pasal 13 dihapus. | ||||||
4. | Ketentuan Pasal 39 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 39
|
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 154, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3881) diubah:
1. | Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 11
|
||||||||||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 28
|
||||||||||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 30
|
||||||||||||||||||
4. | Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 32
|
||||||||||||||||||
5. | Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 33
|
||||||||||||||||||
6. | Ketentuan Pasal 34 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 34
|
||||||||||||||||||
7. | Di antara Pasal 34 dan Pasal 35 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 34A dan Pasal 34B sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 34A
Pasal 34B
|
||||||||||||||||||
8. | Ketentuan Pasal 45 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 45
|
||||||||||||||||||
9. | Pasal 46 dihapus. | ||||||||||||||||||
10. | Ketentuan Pasal 47 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 47 Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah). |
||||||||||||||||||
11. | Pasal 48 dihapus. |
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 139, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4252) diubah sebagai berikut:
1. | Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 16
|
||||||
2. | Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 25
|
||||||
3. | Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 33
|
||||||
4. | Pasal 34 dihapus. | ||||||
5. | Ketentuan Pasal 55 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 55
|
||||||
6. | Ketentuan Pasal 57 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 57
|
||||||
7. | Ketentuan Pasal 58 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 58
|
||||||
8. | Di antara Pasal 60 dan Pasal 61 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 60A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 60A
|
Paragraf 16
Pertahanan dan Keamanan
Pasal 73
Untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat terutama Pelaku Usaha dalam mendapatkan Perizinan Berusaha dari sektor Pertahanan dan Keamanan, Undang-Undang ini mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam:
- Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 183, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5343); dan
- Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4168).
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 183, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5343), diubah sebagai berikut:
1. | Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 11 Industri alat utama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a merupakan:
|
||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 21 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 21
|
||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 38
|
||||||||||
4. | Ketentuan Pasal 52 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 52
|
||||||||||
5. | Ketentuan Pasal 55 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 55 Setiap Orang yang mengekspor dan/atau melakukan transfer alat peralatan yang digunakan untuk pertahanan dan keamanan negara lain wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. |
||||||||||
6. | Ketentuan Pasal 56 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 56
|
||||||||||
7. | Ketentuan Pasal 66 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 66 Setiap Orang dilarang membocorkan informasi yang bersifat rahasia mengenai formulasi rancang bangun teknologi Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan bagi pertahanan dan keamanan. |
||||||||||
8. | Ketentuan Pasal 67 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 67 Setiap Orang dilarang memproduksi Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan tanpa memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. |
||||||||||
9. | Ketentuan Pasal 68 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 68 Setiap Orang dilarang menjual, mengekspor, dan/atau melakukan transfer Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan tanpa memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. |
||||||||||
10. | Ketentuan Pasal 69 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 69 Setiap Orang dilarang membeli dan/atau mengimpor Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan tanpa memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. |
||||||||||
11. | Di antara Pasal 69 dan 70 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 69A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 69A
|
||||||||||
12. | Ketentuan Pasal 72 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 72
|
||||||||||
13. | Ketentuan Pasal 73 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 73
|
||||||||||
14. | Ketentuan Pasal 74 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 74
|
||||||||||
15. | Ketentuan Pasal 75 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 75 Setiap orang yang membeli dan/atau mengimpor Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan tanpa memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 dan persetujuan dari Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada Pasal 69A dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah). |
Ketentuan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4168) diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 15
(1) | Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan Pasal 14, Kepolisian Negara Republik Indonesia secara umum berwenang:
|
(2) | Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan berwenang:
|
(3) | Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf d diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. |
Bagian Kelima
Penyederhanaan Persyaratan Investasi Pada Sektor Tertentu
Paragraf 1
Umum
Pasal 76
Untuk mempermudah masyarakat terutama Pelaku Usaha dalam melakukan investasi pada sektor tertentu yaitu penanaman modal, perbankan, dan perbankan syariah, Undang-Undang Cipta Kerja ini mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam:
- Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4724);
- Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); dan
- Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867).
Paragraf 2
Penanaman Modal
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4724) diubah sebagai berikut:
1. | Ketentuan Pasal 2 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 2 Ketentuan dalam Undang-Undang ini berlaku dan menjadi acuan utama bagi penanaman modal di semua sektor di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. |
||||||||
2. | Ketentuan Pasal 12 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 12
|
||||||||
3. | Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 13
|
||||||||
4. | Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 18
|
||||||||
5. | Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 25
|
Paragraf 3
Perbankan
Ketentuan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790) diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 22
(1) | Bank Umum dapat didirikan oleh:
|
(2) | Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan pendirian yang wajib dipenuhi pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan. |
Paragraf 4
Perbankan Syariah
Pasal 79
Ketentuan dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867) diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 9
(1) | Bank Umum Syariah hanya dapat didirikan dan/atau dimiliki oleh:
|
(2) | Bank Pembiayaan Rakyat Syariah hanya dapat didirikan dan/atau dimiliki oleh:
|
(3) | Maksimum kepemilikan Bank Umum Syariah oleh badan hukum asing ditentukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal. |
BAB IV
KETENAGAKERJAAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 80
Dalam rangka penguatan perlindungan kepada tenaga kerja dan meningkatkan peran dan kesejahteraan pekerja/buruh dalam mendukung ekosistem investasi, Undang-Undang ini mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam:
- Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279);
- Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4456);
- Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5256); dan
- Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 242, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6141).
Bagian Kedua
Ketenagakerjaan
Pasal 81
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) diubah sebagai berikut:
1. | Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 13
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 14
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 37
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
4. | Ketentuan Pasal 42 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 42
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
5. | Pasal 43 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
6. | Pasal 44 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
7. | Ketentuan Pasal 45 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 45
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
8. | Pasal 46 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
9. | Ketentuan Pasal 47 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 47
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
10. | Pasal 48 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
11. | Ketentuan Pasal 49 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 49 Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan tenaga kerja asing diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
12. | Ketentuan Pasal 56 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 56
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
13. | Ketentuan Pasal 57 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 57
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
14. | Ketentuan Pasal 58 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 58
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
15. | Ketentuan Pasal 59 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 59
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
16. | Ketentuan Pasal 61 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 61
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
17. | Di antara Pasal 61 dan Pasal 62 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 61A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 61A
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
18. | Pasal 64 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
19. | Pasal 65 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
20. | Ketentuan Pasal 66 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 66
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
21. | Ketentuan Pasal 77 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 77
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
22. | Ketentuan Pasal 78 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 78
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
23. | Ketentuan Pasal 79 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 79
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
24. | Ketentuan Pasal 88 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 88
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
25. | Di antara Pasal 88 dan Pasal 89 disisipkan 5 (lima) pasal, yakni Pasal 88A, Pasal 88B, Pasal 88C, Pasal 88D, dan Pasal 88E sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 88A
Pasal 88B
Pasal 88C
Pasal 88D
Pasal 88E
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
26. | Pasal 89 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
27. | Pasal 90 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
28. | Di antara Pasal 90 dan Pasal 91 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 90A dan Pasal 90B sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 90A Upah di atas upah minimum ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh di perusahaan. Pasal 90B
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
29. | Pasal 91 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
30. | Ketentuan Pasal 92 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 92
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
31. | Di antara Pasal 92 dan Pasal 93 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 92A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 92A Pengusaha melakukan peninjauan upah secara berkala dengan memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
32 | Ketentuan Pasal 94 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 94 Dalam hal komponen upah terdiri atas upah pokok dan tunjangan tetap, besarnya upah pokok paling sedikit 75% (tujuh puluh lima persen) dari jumlah upah pokok dan tunjangan tetap. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
33 | Ketentuan Pasal 95 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 95
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
34 | Pasal 96 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
35 | Pasal 97 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
36 | Ketentuan Pasal 98 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 98
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
37 | Ketentuan Pasal 151 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 151
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
38 | Di antara Pasal 151 dan Pasal 152 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 151A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 151A Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (2) tidak perlu dilakukan oleh pengusaha dalam hal:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
39 | Pasal 152 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
40 | Ketentuan Pasal 153 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 153
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
41. | Pasal 154 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
42. | Di antara Pasal 154 dan Pasal 155 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 154A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 154A
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
43. | Pasal 155 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
44. | Ketentuan Pasal 156 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 156
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
45. | Ketentuan Pasal 157 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 157
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
46. | Di antara Pasal 157 dan Pasal 158 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 157A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 157A
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
47. | Pasal 158 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
48. | Pasal 159 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
49. | Ketentuan Pasal 160 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 160
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
50. | Pasal 161 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
51. | Pasal 162 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
52. | Pasal 163 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
53. | Pasal 164 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
54. | Pasal 165 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
55. | Pasal 166 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
56. | Pasal 167 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
57. | Pasal 168 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
58. | Pasal 169 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
59. | Pasal 170 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
60. | Pasal 171 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
61. | Pasal 172 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
62. | Pasal 184 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
63. | Ketentuan Pasal 185 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 185
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
64. | Ketentuan Pasal 186 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 186
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
65. | Ketentuan Pasal 187 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 187
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
66. | Ketentuan Pasal 188 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 188
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
67. | Ketentuan Pasal 190 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 190
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
68. | Di antara Pasal 191 dan Pasal 192 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 191A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 191A Pada saat berlakunya Undang-Undang ini:
|
Bagian Ketiga
Jenis Program Jaminan Sosial
Pasal 82
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4456) diubah sebagai berikut:
1. | Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 18 Jenis program jaminan sosial meliputi:
|
||||||||||||||||||||||||||
2. | Di antara Pasal 46 dan Pasal 47 disisipkan 1 (satu) Bagian yakni Bagian Ketujuh Jaminan Kehilangan Pekerjaan sehingga berbunyi sebagai berikut: Bagian Ketujuh
Pasal 46B
Pasal 46C
Pasal 46D
Pasal 46E
|
Bagian Keempat
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
Pasal 83
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5256) diubah sebagai berikut:
1. | Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 6
|
||||
2. | Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 9
|
||||
3. | Ketentuan Pasal 42 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 42
|
Bagian Kelima
Pelindungan Pekerja Migran Indonesia
Pasal 84
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 242, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 6141) diubah sebagai berikut:
1. | Ketentuan Pasal 1 angka 9 dan angka 16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
|
||||||||
2. | Ketentuan Pasal 51 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 51
|
||||||||
3. | Ketentuan Pasal 53 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 53
|
||||||||
4. | Ketentuan Pasal 57 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 57
|
||||||||
5. | Di antara Pasal 89 dan Pasal 90 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 89A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 89A Pada saat berlakunya Undang-Undang tentang Cipta Kerja, pengertian atau makna SIP3MI dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia menyesuaikan dengan ketentuan mengenai Perizinan Berusaha. |
BAB V
KEMUDAHAN, PELINDUNGAN, DAN PEMBERDAYAAN KOPERASI, USAHA
MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 85
Untuk memberikan kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan Koperasi dan UMK-M, Undang-Undang ini mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam:
- Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3502);
- Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4866); dan
- Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4444).
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3502) diubah sebagai berikut:
1. | Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 6
|
||||||||||||
2. | Penjelasan Pasal 17 diubah sebagaimana tercantum dalam penjelasan. | ||||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 21 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 21
|
||||||||||||
4. | Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 22
|
||||||||||||
5. | Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 43
|
||||||||||||
6. | Di antara Pasal 44 dan Pasal 45 disisipan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 44A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 44A
|
Bagian Ketiga
Kriteria Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4866) diubah sebagai berikut:
1. | Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 6
|
||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 12 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 12
|
||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 21 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 21
|
||||||||||
4. | Pasal 25 dihapus. | ||||||||||
5. | Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 26 Kemitraan dilaksanakan dengan pola:
|
||||||||||
6. | Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 30
|
||||||||||
7. | Di antara Pasal 32 dan Pasal 33 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 32A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 32A Dalam pelaksanaan kemitraan dengan pola rantai pasok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf f, dapat dilakukan melalui kegiatan dari Usaha Mikro dan Kecil oleh Usaha Menengah dan Usaha Besar paling sedikit meliputi:
|
||||||||||
8. | Penjelasan Pasal 35 diubah sebagaimana tercantum dalam penjelasan. |
Bagian Keempat
Basis Data Tunggal
Pasal 88
(1) | Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah wajib menyelenggarakan sistem informasi dan pendataan UMK-M yang terintegrasi. |
(2) | Hasil pendataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai basis data tunggal UMK-M. |
(3) | Basis data tunggal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib digunakan sebagai pertimbangan untuk menentukan kebijakan mengenai UMK-M. |
(4) | Basis data tunggal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disajikan secara tepat waktu, akurat, dan tepat guna serta dapat diakses oleh masyarakat. |
(5) | Pemerintah Pusat melakukan pembaharuan sistem informasi dan basis data tunggal paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun. |
(6) | Basis data tunggal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibentuk dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak berlakunya Undang-Undang ini. |
(7) | Ketentuan lebih lanjut mengenai basis data tunggal UMK-M diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
Bagian Kelima
Pengelolaan Terpadu Usaha Mikro dan Kecil
Pasal 89
(1) | Pemerintah Pusat mendorong implementasi pengelolaan terpadu Usaha Mikro dan Kecil dalam penataan klaster melalui sinergi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan pemangku kepentingan terkait. |
(2) | Pengelolaan terpadu Usaha Mikro dan Kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kumpulan kelompok Usaha Mikro dan Kecil yang terkait dalam:
|
(3) | Saling melengkapi secara terintegrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dilaksanakan di lokasi klaster dengan tahap pendirian/legalisasi, pembiayaan, penyediaan bahan baku, proses produksi, kurasi, dan pemasaran produk Usaha Mikro dan Kecil melalui perdagangan elektronik/non elektronik. |
(4) | Penentuan lokasi Klaster Usaha Mikro dan Kecil disusun dalam program Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dengan memperhatikan pemetaan potensi, keunggulan daerah, dan strategi penentuan lokasi usaha. |
(5) | Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah melaksanakan pendampingan sebagai upaya pengembangan Usaha Mikro dan Kecil untuk memberi dukungan manejemen, sumber daya manusia, anggaran, serta sarana dan prasarana. |
(6) | Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam menyediakan dukungan sumber daya manusia, anggaran, serta sarana dan prasarana sebagaimana dimaksud pada ayat (5) wajib memberikan fasilitas yang meliputi:
|
(7) | Pemerintah Pusat mengoordinasikan pengelolaan terpadu Usaha Mikro dan Kecil dalam penataan klaster. |
(8) | Pemerintah Pusat melakukan evaluasi pengelolaan terpadu Usaha Mikro dan Kecil dalam penataan klaster. |
(9) | Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan terpadu Usaha Mikro dan Kecil diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
Bagian Keenam
Kemitraan
Pasal 90
(1) | Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya wajib memfasilitasi, mendukung, dan menstimulasi kegiatan kemitraan Usaha Menengah dan Usaha Besar dengan Koperasi, Usaha Mikro, dan Usaha Kecil yang bertujuan untuk meningkatkan kompetensi dan level usaha. |
(2) | Kemitraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup proses alih keterampilan di bidang produksi dan pengolahan, pemasaran, permodalan, sumber daya manusia, dan teknologi. |
(3) | Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memberikan insentif dan kemudahan berusaha dalam rangka kemitraan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(4) | Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap pelaksanaan kemitraan antara Usaha Menengah dan Usaha Besar dengan Koperasi, Usaha Mikro, dan Usaha Kecil. |
(5) | Pemerintah Pusat mengatur pemberian insentif kepada Usaha Menengah dan Usaha Besar yang melakukan kemitraan dengan Koperasi, Usaha Mikro, dan Usaha Kecil melalui inovasi dan pengembangan produk berorientasi ekspor, penyerapan tenaga kerja, penggunaan teknologi tepat guna dan ramah lingkungan, serta menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan. |
(6) | Ketentuan lebih lanjut mengenai kemitraan diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
Bagian Ketujuh
Kemudahan Perizinan Berusaha
Pasal 91
(1) | Dalam rangka kemudahan Perizinan Berusaha, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya wajib melakukan pembinaan dan pendaftaran bagi Usaha Mikro dan Kecil berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. |
(2) | Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara daring atau luring dengan melampirkan:
|
(3) | Pendaftaran secara daring sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberi nomor induk berusaha melalui sistem Perizinan Berusaha secara elektronik. |
(4) | Nomor induk berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan perizinan tunggal yang berlaku untuk semua kegiatan usaha. |
(5) | Perizinan tunggal sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi Perizinan Berusaha, Standar Nasional Indonesia, dan sertifikasi jaminan produk halal. |
(6) | Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat wajib melakukan pembinaan terhadap Perizinan Berusaha, pemenuhan standar, Standar Nasional Indonesia, dan sertifikasi jaminan produk halal. |
(7) | Dalam hal kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4) memiliki risiko menengah atau tinggi terhadap kesehatan, keamanan, dan keselamatan serta lingkungan selain melakukan registrasi untuk mendapatkan nomor induk berusaha, Usaha Mikro dan Kecil wajib memiliki sertifikat sertifikasi standar dan/atau izin. |
(8) | Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat memfasilitasi sertifikasi standar dan/atau izin sebagaimana dimaksud pada ayat (5). |
(9) | Ketentuan lebih lanjut mengenai perizinan tunggal sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan fasilitasi sertifikasi standar dan/atau izin sebagaimana dimaksud pada ayat (8) diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
Bagian Kedelapan
Kemudahan Fasilitasi Pembiayaan dan Insentif Fiskal
Pasal 92
(1) | Usaha Mikro dan Kecil diberi kemudahan/penyederhanaan administrasi perpajakan dalam rangka pengajuan fasilitas pembiayaan dari Pemerintah Pusat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
(2) | Usaha Mikro dan Kecil yang mengajukan Perizinan Berusaha dapat diberi insentif berupa tidak dikenai biaya atau diberi keringanan biaya. |
(3) | Usaha Mikro dan Kecil yang berorientasi ekspor dapat diberi insentif kepabeanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan. |
(4) | Usaha Mikro dan Kecil tertentu dapat diberi insentif Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Penghasilan. |
Kegiatan Usaha Mikro dan Kecil dapat dijadikan jaminan kredit program.
(1) | Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya mempermudah dan menyederhanakan proses untuk Usaha Mikro dan Kecil dalam hal pendaftaran dan pembiayaan hak kekayaan intelektual, kemudahan impor bahan baku dan bahan penolong industri apabila tidak dapat dipenuhi dari dalam negeri, dan/atau fasilitasi ekspor. |
(2) | Ketentuan lebih lanjut mengenai kemudahan dan penyederhanaan pendaftaran dan pembiayaan hak kekayaan intelektual, kemudahan impor bahan baku dan bahan penolong industri apabila tidak dapat dipenuhi dari dalam negeri, dan/atau fasilitasi ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
Bagian Kesembilan
Dana Alokasi Khusus, Bantuan dan Pendampingan Hukum, Pengadaan
Barang dan Jasa, dan Sistem/Aplikasi Pembukuan/Pencatatan Keuangan dan
Inkubasi
(1) | Pemerintah Pusat mengalokasikan Dana Alokasi Khusus untuk mendukung pendanaan bagi Pemerintah Daerah dalam rangka kegiatan pemberdayaan dan pengembangan Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah. |
(2) | Pengalokasian Dana Alokasi Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya wajib menyediakan layanan bantuan dan pendampingan hukum bagi Usaha Mikro dan Kecil.
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah wajib mengalokasikan paling sedikit 40% (empat puluh persen) produk/jasa Usaha Mikro dan Kecil serta Koperasi dari hasil produksi dalam negeri dalam pengadaan barang/jasa Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya wajib memberikan pelatihan dan pendampingan pemanfaataan sistem/aplikasi pembukuan/pencatatan keuangan yang memberi kemudahan bagi Usaha Mikro dan Kecil.
Penyelenggaraan inkubasi dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, perguruan tinggi, Dunia Usaha, dan/atau masyarakat.
Inkubasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 bertujuan untuk:
- menciptakan usaha baru;
- menguatkan dan mengembangkan kualitas Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah yang mempunyai nilai ekonomi dan berdaya saing tinggi; dan
- mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya manusia terdidik dalam menggerakkan perekonomian dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Sasaran pengembangan inkubasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 meliputi:
- penciptaan dan penumbuhan usaha baru serta penguatan kapasitas pelaku usaha pemula yang berdaya saing tinggi;
- penciptaan dan penumbuhan usaha baru yang mempunyai nilai ekonomi dan berdaya saing tinggi; dan
- peningkatan nilai tambah pengelolaan potensi ekonomi melalui pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan Dunia Usaha melakukan pedampingan untuk meningkatkan kapasitas Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah sehingga mampu mengakses:
- pembiayaan alternatif untuk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Pemula;
- pembiayaan dari dana kemitraan;
- bantuan hibah pemerintah;
- dana bergulir; dan
- tanggung jawab sosial perusahaan.
Bagian Kesepuluh
Partisipasi UMK dan Koperasi pada Infrastruktur Publik
Pasal 103
Di antara Pasal 53 dan Pasal 54 dalam Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4444) disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 53A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 53A
(1) | Jalan Tol antarkota harus dilengkapi dengan Tempat Istirahat, Pelayanan untuk kepentingan pengguna Jalan Tol, serta menyediakan tempat promosi dan pengembangan Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah. |
(2) | Pengusahaan tempat promosi dan pengembangan Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah, Tempat Istirahat dan Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mengalokasikan lahan pada Jalan Tol paling sedikit 30% (tiga puluh persen) dari total luas lahan area komersial untuk Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah, baik untuk Jalan Tol yang telah beroperasi maupun untuk Jalan Tol yang masih dalam tahap perencanaan dan konstruksi. |
(3) | Penyediaan tempat promosi dan pengembangan Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan partisipasi Usaha Mikro dan Kecil melalui pola kemitraan. |
(4) | Penanaman dan pemeliharaan tanaman di Tempat Istirahat dan Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah. |
(1) | Dalam rangka pemberdayaan Usaha Mikro dan Kecil, Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah dan/atau badan usaha swasta wajib mengalokasikan penyediaan tempat promosi, tempat usaha, dan/atau pengembangan Usaha Mikro dan Kecil pada infrastruktur publik yang mencakup:
|
(2) | Alokasi penyediaan tempat promosi dan pengembangan Usaha Mikro dan Kecil pada infrastruktur publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit 30% (tiga puluh persen) dari luas tempat perbelanjaan dan/atau promosi yang strategis pada infrastruktur publik yang bersangkutan. |
(3) | Ketentuan mengenai penyediaan tempat promosi dan pengembangan Usaha Mikro dan Kecil pada infrastruktur publik pada ayat (1) dan besaran alokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
BAB VI
KEMUDAHAN BERUSAHA
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 105
Untuk mempermudah pelaku usaha dalam melakukan investasi Undang-Undang ini mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam:
- Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5216);
- Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 176, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5922);
- Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 252, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5953);
- Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756);
- Staatsblad Tahun 1926 Nomor 226 juncto Staatsblad Tahun 1940 Nomor 450 tentang Undang-Undang Gangguan (Hinderordonnantie);
- Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
- Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5069);
- Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
- Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049);
- Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5870);
- Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1982 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3214);
- Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5495); dan
- Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 33, Tambahan Lembaran NegaraRepublik Indonesia Nomor 3817).
Bagian Kedua
Keimigrasian
Pasal 106
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5216) diubah sebagai berikut:
1. | Ketentuan Pasal 1 angka 14, angka 18, angka 21, dan angka 30 diubah sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
|
||||||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 38 Visa kunjungan diberikan kepada Orang Asing yang akan melakukan perjalanan ke Wilayah Indonesia dalam rangka kunjungan tugas pemerintahan, pendidikan, sosial budaya, pariwisata, prainvestasi, bisnis, keluarga, jurnalistik, atau singgah untuk meneruskan perjalanan ke negara lain. |
||||||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 39 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 39
|
||||||||||||||
4. | Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 40
|
||||||||||||||
5. | Ketentuan Pasal 46 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 46
|
||||||||||||||
6. | Ketentuan Pasal 54 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 54
|
||||||||||||||
7. | Ketentuan Pasal 63 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 63
|
||||||||||||||
8. | Ketentuan Pasal 71 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 71
|
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 176, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5922) diubah sebagai berikut:
1. | Ketentuan Pasal 3 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 3
|
||||||||
2. | Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 20
|
||||||||
3. | Ketentuan Pasal 82 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 82
|
||||||||
4. | Ketentuan Pasal 122 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 122
|
||||||||
5. | Ketentuan Pasal 123 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 123
|
||||||||
6. | Ketentuan Pasal 124 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 124
|
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 252, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5953) diubah sebagai berikut:
1. | Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 20 Merek tidak dapat didaftar jika:
|
||||||||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 23 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 23
|
||||||||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 25
|
Bagian Kelima
Perseroan Terbatas
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756) diubah sebagai berikut:
1. | Ketentuan Pasal 1 angka 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 7
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 32
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
4. | Ketentuan Pasal 153 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 153 Ketentuan mengenai biaya Perseroan sebagai badan hukum diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penerimaan negara bukan pajak. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
5. | Di antara Pasal 153 dan Pasal 154 disisipkan 10 (sepuluh) pasal, yakni Pasal 153A, Pasal 152B, Pasal 153C, Pasal 153D, Pasal 153E, Pasal 153F, Pasal 153G, Pasal 153H, Pasal 153I, dan Pasal 153J sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 153A
Pasal 153B
Pasal 153C
Pasal 153D
Pasal 153E
Pasal 153F
Pasal 153G
Pasal 153I
Pasal 153J
|
Bagian Keenam
Undang-Undang Gangguan
Pasal 110
Staatsblad Tahun 1926 Nomor 226 juncto Staatsblad Tahun 1940 Nomor 450 tentang Undang-Undang Gangguan (Hinderordonnantie) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Bagian Ketujuh
Perpajakan
Pasal 111
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893)
diubah sebagai berikut:
1. | Ketentuan Pasal 2 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 2
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 4
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 26
|
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5069) diubah sebagai berikut:
1. | Ketentuan Pasal 1A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 1A
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 4A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 4A
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 9
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
4. | Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 13
|
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999) diubah sebagai berikut:
1. | Ketentuan Pasal 8 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 8
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 9
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 11
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||
4. | Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 13
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||
5. | Pasal 13A dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||
6. | Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 14
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||
7. | Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 15
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||
8. | Ketentuan Pasal 17B diubah sehingga Pasal 17B berbunyi sebagai berikut: Pasal 17B
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||
9. | Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 19
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||
10. | Pasal 27A dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||
11. | Di antara Pasal 27A dan Pasal 28 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 27B sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 27B
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||
12. | Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 38 Setiap orang yang karena kealpaannya:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||
13. | Ketentuan Pasal 44B diubah sehingga Pasal 44B berbunyi sebagai berikut: Pasal 44B
|
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049) diubah sebagai berikut:
1. | Ketentuan Pasal 141 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 141 Jenis Retribusi Perizinan Tertentu meliputi:
|
||||||||||||||||||||||
2. | Pasal 144 dihapus. | ||||||||||||||||||||||
3. | Di antara Bab VII dan Bab VIII disisipkan 1 (satu) bab, yakni Bab VIIA sehingga berbunyi sebagai berikut: BAB VIIA |
||||||||||||||||||||||
4. | Di antara Pasal 156 dan Pasal 157 disisipkan 2 (dua) pasal yaitu Pasal 156A dan Pasal 156B sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 156A
Pasal 156B
|
||||||||||||||||||||||
5. | Di antara Pasal 157 ayat (5) dan ayat (6) disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (5a) sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 157
|
||||||||||||||||||||||
6. | Ketentuan Pasal 158 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 158
|
||||||||||||||||||||||
7. | Ketentuan Pasal 159 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 159
|
||||||||||||||||||||||
8. | Di antara Pasal 159 dan Pasal 160 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 159A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 159A Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara:
|
Bagian Kedelapan
Impor Komoditas Perikanan dan Komoditas Pergaraman
Pasal 115
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5870) diubah sebagai berikut:
1. | Ketentuan Pasal 1 angka 4 diubah sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
|
||||
2. | Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 37
|
||||
3. | Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 38
|
||||
4. | Di antara Pasal 38 dan Pasal 39 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 38A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 38A
|
||||
5. | Ketentuan Pasal 74 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 74 Setiap Orang yang melakukan impor Komoditas Perikanan dan Komoditas Pergaraman yang tidak sesuai dengan tempat pemasukan, jenis, waktu pemasukan, dan/atau standar mutu wajib yang ditetapkan oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 yang mengakibatkan timbulnya korban/kerusakan terhadap kesehatan, keselamatan, dan/atau lingkungan hidup dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah). |
Bagian Kesembilan
Wajib Daftar Perusahaan
Pasal 116
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan (Lembaran Negara Republik IndonesiaTahun 1982 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3214) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Bagian Kesepuluh
Badan Usaha Milik Desa
Pasal 117
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5495) diubah sebagai berikut:
1. | Ketentuan Pasal 1 angka 6 diubah sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
|
||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 87 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 87
|
Bagian Kesebelas
Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
Pasal 118
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3817) diubah sebagai berikut:
1. | Ketentuan Pasal 44 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 44
|
||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 45 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 45
|
||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 47 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 47
|
||||||||||
4. | Ketentuan Pasal 48 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 48 Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 41 Undang-Undang ini dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) atau pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun sebagai pengganti pidana denda. |
||||||||||
5. | Pasal 49 dihapus. |
BAB VII
DUKUNGAN RISET DAN INOVASI
Pasal 119
Untuk memberikan dukungan riset dan inovasi di bidang berusaha, Undang-Undang ini mengubah beberapa ketentuan yang diatur dalam:
- Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4297); dan
- Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan Dan Teknologi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 148, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 6374).
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4297) diubah menjadi sebagai berikut:
1. | Ketentuan judul BAB V diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: BAB V |
||||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 66 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 66
|
Ketentuan Pasal 48 dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 148, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 6374) diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 48
(1) | Untuk menjalankan Penelitian, Pengembangan, Pengkajian, dan Penerapan, serta Invensi dan Inovasi yang terintegrasi dibentuk badan riset dan inovasi nasional. |
(2) | Untuk menjalankan Penelitian, Pengembangan, Pengkajian, dan Penerapan, serta Invensi dan Inovasi yang terintegrasi di daerah, Pemerintah Daerah membentuk badan. |
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai badan riset dan inovasi nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Presiden. |
BAB VIII
PENGADAAN TANAH
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 122
Dalam rangka memberikan kemudahan dan kelancaran dalam pengadaan tanah untuk kepentingan penciptaan kerja, Undang-Undang ini mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam:
- Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5280); dan
- Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 149, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5068).
Bagian Kedua
Pengadaan Tanah bagi Pembangunan
Untuk Kepentingan Umum
Pasal 123
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5280) diubah menjadi sebagai berikut:
1. | Ketentuan Pasal 8 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 8
|
||||||||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 10 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 10
|
||||||||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 14
|
||||||||||||||||
4. | Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 19
|
||||||||||||||||
5. | Di antara Pasal 19 dan Pasal 20 disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal 19A, Pasal 19B, dan Pasal 19C sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 19A
Dalam hal Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum yang luasnya kurang dari 5 (lima) hektare dilakukan langsung antara Pihak yang Berhak dan Instansi yang memerlukan tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19A ayat (1), penetapan lokasi dilakukan oleh bupati/wali kota. Pasal 19C Setelah penetapan lokasi Pengadaan Tanah dilakukan, tidak diperlukan lagi persyaratan:
|
||||||||||||||||
6. | Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 24
|
||||||||||||||||
7. | Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 28
|
||||||||||||||||
8. | Ketentuan Pasal 34 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 34
|
||||||||||||||||
9. | Ketentuan Pasal 36 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 36
|
||||||||||||||||
10. | Penjelasan Pasal 40 diubah sebagaimana tercantum dalam Penjelasan. | ||||||||||||||||
11. | Ketentuan Pasal 42 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 42
|
||||||||||||||||
12. | Ketentuan Pasal 46 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 46
|
Bagian Ketiga
Pelindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
Pasal 124
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 149, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5068) diubah sebagai berikut:
1. | Ketentuan Pasal 44 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 44
|
||||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 73 diubah sehingga berbunyi sebagai berkut: Pasal 73 Setiap pejabat Pemerintah yang menerbitkan persetujuan pengalihfungsian Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). |
Bagian Keempat
Pertanahan
Paragraf 1
Bank Tanah
Pasal 125
(1) | Pemerintah Pusat membentuk badan bank tanah. |
(2) | Badan bank tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan badan khusus yang mengelola tanah. |
(3) | Kekayaan badan bank tanah merupakan kekayaan negara yang dipisahkan. |
(4) | Badan bank tanah berfungsi melaksanakan perencanaan, perolehan, pengadaan, pengelolaan, pemanfaatan, dan pendistribusian tanah. |
(1) | Badan bank tanah menjamin ketersediaan tanah dalam rangka ekonomi berkeadilan untuk:
|
(2) | Ketersediaan tanah untuk reforma agraria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f paling sedikit 30% (tiga puluh persen) dari tanah negara yang diperuntukkan bank tanah. |
Badan bank tanah dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat transparan, akuntabel, dan nonprofit.
Sumber kekayaan badan bank tanah dapat berasal dari:
- Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
- Pendapatan sendiri;
- Penyertaan modal negara; dan
- sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(1) | Tanah yang dikelola badan bank tanah diberikan hak pengelolaan. |
(2) | Hak atas tanah di atas hak pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberi hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai. |
(3) | Jangka waktu hak guna bangunan di atas hak pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan perpanjangan dan pembaharuan hak apabila sudah digunakan dan/atau dimanfaatkan sesuai dengan tujuan pemberian haknya. |
(4) | Dalam rangka mendukung investasi, pemegang hak pengelolaan badan bank tanah diberi kewenangan untuk:
|
(5) | Pemerintah Pusat melakukan pengawasan dan pengendalian atas penggunaan dan/atau pemanfaatan tanah di atas hak pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
Badan bank tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 125 terdiri atas:
- Komite;
- Dewan Pengawas; dan
- Badan Pelaksana.
(1) | Komite sebagaimana dimaksud dalam Pasal 130 huruf a diketuai oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanahan dan beranggotakan para menteri dan kepala yang terkait. |
(2) | Ketua dan anggota Komite ditetapkan dengan Keputusan Presiden berdasarkan usulan dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanahan. |
(1) | Dewan Pengawas berjumlah paling banyak 7 (tujuh) orang terdiri atas 4 (empat) orang unsur profesional dan 3 (tiga) orang yang dipilih oleh Pemerintah Pusat. |
(2) | Terhadap calon unsur profesional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan proses seleksi oleh Pemerintah Pusat yang selanjutnya disampaikan ke Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk dipilih dan disetujui. |
(3) | Calon unsur profesional yang diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2), paling sedikit berjumlah 2 (dua) kali jumlah yang dibutuhkan. |
(1) | Badan Pelaksana terdiri atas Kepala dan Deputi. |
(2) | Jumlah Deputi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Ketua Komite. |
(3) | Kepala dan Deputi diangkat dan diberhentikan oleh Ketua Komite. |
(4) | Pengangkatan dan pemberhentian Kepala dan Deputi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diusulkan oleh Dewan Pengawas. |
Ketentuan lebih lanjut mengenai Komite, Dewan Pengawas, dan Badan Pelaksana diatur dalam Peraturan Presiden.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan badan bank tanah diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Paragraf 2
Penguatan Hak Pengelolaan
Pasal 136
Hak pengelolaan merupakan hak menguasai dari negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang haknya.
(1) | Sebagian kewenangan hak menguasai dari negara berupa tanah dapat diberikan hak pengelolaan kepada:
|
(2) | Hak pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberikan kewenangan untuk:
|
(3) | Pemberian hak pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan atas tanah negara dengan keputusan pemberian hak di atas tanah negara. |
(4) | Hak pengelolaan dapat dilepaskan kepada pihak yang memenuhi syarat. |
(1) | Penyerahan pemanfaatan bagian tanah hak pengelolaan kepada pihak ketiga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 137 ayat (2) huruf b dilakukan dengan perjanjian pemanfaatan tanah. |
(2) | Di atas tanah hak pengelolaan yang pemanfaatannya diserahkan kepada pihak ketiga baik sebagian atau seluruhnya, dapat diberikan hak guna usaha, hak guna bangunan, dan/atau hak pakai sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(3) | Jangka waktu hak guna bangunan di atas hak pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan perpanjangan dan pembaharuan hak apabila sudah digunakan dan/atau dimanfaatkan sesuai dengan tujuan pemberian haknya. |
(4) | Pemerintah Pusat melakukan pengawasan dan pengendalian atas penggunaan dan/atau pemanfaatan tanah di atas hak pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(5) | Dalam hal hak atas tanah yang berada di atas hak pengelolaan telah berakhir, tanahnya kembali menjadi tanah hak pengelolaan. |
(1) | Dalam keadaan tertentu, Pemerintah Pusat dapat membatalkan dan/atau mencabut hak pengelolaan sebagian atau seluruhnya. |
(2) | Tata cara pembatalan hak pengelolaan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan-perundang-undangan. |
(1) | Dalam hal bagian bidang tanah hak pengelolaan diberikan dengan hak milik, bagian bidang tanah hak pengelolaan tersebut hapus dengan sendirinya. |
(2) | Hak milik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya diberikan untuk keperluan rumah umum dan keperluan transmigrasi. |
Dalam rangka pengendalian pemanfaatan hak atas tanah di atas hak pengelolaan, dalam waktu tertentu, dilakukan evaluasi pemanfaatan hak atas tanah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai hak pengelolaan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Paragraf 3
Satuan Rumah Susun untuk Orang Asing
Pasal 143
Hak milik atas satuan rumah susun merupakan hak kepemilikan atas satuan rumah susun yang bersifat perseorangan yang terpisah dengan hak bersama atas bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama.
(1) | Hak milik atas satuan rumah susun dapat diberikan kepada:
|
(2) | Hak milik atas satuan rumah susun dapat beralih atau dialihkan dan dijaminkan. |
(3) | Hak milik atas satuan rumah susun dapat dijaminkan dengan dibebani hak tanggungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Rumah susun dapat dibangun di atas Tanah:
|
(2) | Pemberian hak guna bangunan bagi rumah susun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diberikan sekaligus dengan perpanjangan haknya setelah mendapat sertifikat laik fungsi. |
(3) | Pemberian hak guna bangunan bagi rumah susun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat diberikan perpanjangan dan pembaharuan hak apabila sudah mendapat sertifikat laik fungsi. |
Paragraf 4
Pemberian Hak atas Tanah/Hak Pengelolaan
pada Ruang atas Tanah dan Ruang Bawah Tanah
Pasal 146
(1) | Tanah atau ruang yang terbentuk pada ruang atas dan/atau bawah tanah dan digunakan untuk kegiatan tertentu dapat diberikan hak guna bangunan, hak pakai, atau hak pengelolaan. |
(2) | Batas kepemilikan tanah pada ruang atas tanah oleh pemegang hak atas tanah diberikan sesuai dengan koefisien dasar bangunan, koefisien lantai bangunan, dan rencana tata ruang yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(3) | Batas kepemilikan tanah pada ruang bawah tanah oleh pemegang hak atas tanah diberikan sesuai dengan batas kedalaman pemanfaatan yang diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(4) | Penggunaan dan pemanfaatan tanah pada ruang atas dan/atau bawah tanah oleh pemegang hak yang berbeda dapat diberikan hak guna bangunan, hak pakai, atau hak pengelolaan. |
(5) | Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan tanah pada ruang atas tanah dan/atau ruang di bawah tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dalam Peraturan Presiden. |
Tanda bukti hak atas tanah, hak milik atas satuan rumah susun, hak pengelolaan, dan hak tanggungan, termasuk akta peralihan hak atas tanah dan dokumen lainnya yang berkaitan dengan tanah dapat berbentuk elektronik.
BAB IX
KAWASAN EKONOMI
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 148
Untuk menciptakan pekerjaan dan mempermudah Pelaku Usaha dalam melakukan investasi, Undang-Undang ini mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam:
- Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5066);
- Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 251, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4053) sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2007 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4775); dan
- Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 252, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4054).
Kawasan Ekonomi terdiri atas:
- Kawasan Ekonomi Khusus; dan
- Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas.
Bagian Kedua
Kawasan Ekonomi Khusus
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5066) diubah menjadi sebagai berikut:
1. | Ketentuan Pasal 1 angka 4, angka 5, angka 6, dan angka 7 diubah sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
|
||||||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 3 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 3
|
||||||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 4 Lokasi yang dapat diusulkan untuk menjadi KEK memenuhi kriteria:
|
||||||||||||||
4. | Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 5
|
||||||||||||||
5. | Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 6
|
||||||||||||||
6. | Di antara Pasal 8 dan Pasal 9 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 8A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 8A Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah wajib mendukung KEK yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan Pasal 8. |
||||||||||||||
7. | Ketentuan Pasal 10 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 10 Setelah KEK ditetapkan:
|
||||||||||||||
8. | Pasal 11 dihapus. | ||||||||||||||
9. | Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 13
|
||||||||||||||
10. | Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 16
|
||||||||||||||
11. | Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 17 Dewan Nasional bertugas:
|
||||||||||||||
12. | Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 19
|
||||||||||||||
13. | Pasal 20 dihapus. | ||||||||||||||
14. | Ketentuan Pasal 21 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 21 Dewan Kawasan bertugas:
|
||||||||||||||
15. | Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 22
|
||||||||||||||
16. | Ketentuan Pasal 23 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 23
|
||||||||||||||
17. | Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 24 Dalam melaksanakan pengawasan dan pengendalian pengoperasionalan KEK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c, Administrator berwenang untuk mendapatkan laporan atau penjelasan dari Badan Usaha dan/atau Pelaku Usaha mengenai kegiatannya. |
||||||||||||||
18. | Di antara Pasal 24 dan Pasal 25 disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal 24A, Pasal 24B, dan Pasal 24C sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 24A
Pasal 24B Ketentuan lebih lanjut mengenai Administrator sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23, Pasal 24, dan Pasal 24A diatur dalam Peraturan Pemerintah. Pasal 24C
|
||||||||||||||
19. | Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 25
|
||||||||||||||
20. | Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 26
|
||||||||||||||
21. | Ketentuan Pasal 27 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 27
|
||||||||||||||
22. | Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 30
|
||||||||||||||
23. | Pasal 31 dihapus. | ||||||||||||||
24. | Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 32
|
||||||||||||||
25. | Di antara Pasal 32 dan Pasal 33 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 32A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 32A
|
||||||||||||||
26. | Di antara Pasal 33 dan Pasal 34 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 33A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 33A
|
||||||||||||||
27. | Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 35
|
||||||||||||||
28. | Ketentuan Pasal 36 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 36
|
||||||||||||||
29. | Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 38
|
||||||||||||||
30. | Di antara Pasal 38 dan Pasal 39 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 38A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 38A Penetapan KEK yang menyelenggarakan kegiatan usaha yang terkait dengan perindustrian sekaligus sebagai penetapan kawasan industri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai Perindustrian. |
||||||||||||||
31. | Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 40
|
||||||||||||||
32. | Ketentuan Pasal 41 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 41 Pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing yang mempunyai jabatan sebagai direksi atau komisaris diberikan sekali dan berlaku selama tenaga kerja asing yang bersangkutan menjadi direksi atau komisaris. |
||||||||||||||
33. | Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 43
|
||||||||||||||
34. | Pasal 44 dihapus. | ||||||||||||||
35. | Pasal 45 dihapus. | ||||||||||||||
36. | Ketentuan Pasal 47 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 47 Pada perusahaan yang telah terbentuk serikat pekerja/serikat buruh dibuat perjanjian kerja bersama antara serikat pekerja/serikat buruh dan pengusaha. |
||||||||||||||
37. | Ketentuan Pasal 48 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 48
|
Bagian Ketiga
Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas
Paragraf 1
Umum
Pasal 151
(1) | Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 huruf b terdiri atas:
|
(2) | Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas:
|
Paragraf 2
Kawasan Perdagangan Bebas
dan Pelabuhan Bebas
Pasal 152
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 251, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4053) sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2007 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas menjadi Undang-Undang menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4775) diubah menjadi sebagai berikut:
1. | Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 6
|
||||||||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 7
|
||||||||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 10 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 10
|
||||||||||||||||
4. | Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 11
|
Paragraf 3
Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang
Pasal 153
Ketentuan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 252, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4054) diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 9
(1) | Barang-barang yang terkena ketentuan larangan dilarang dimasukkan ke Kawasan Sabang. |
(2) | Pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari Kawasan Sabang hanya dapat dilakukan oleh pengusaha yang telah mendapat Perizinan Berusaha dari Badan Pengusahaan Kawasan Sabang. |
(3) | Pengusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat memasukan barang ke Kawasan Sabang yang berhubungan dengan kegiatan usahanya. |
(4) | Pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari Kawasan Sabang melalui pelabuhan dan bandar Udara yang ditunjuk dan berada di bawah pengawasan pabean diberi pembebasan bea masuk, pembebasan pajak pertambahan nilai, dan pembebasan pajak penjualan atas barang mewah. |
(5) | Fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (4) termasuk juga pembebasan cukai sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di bidang cukai. |
(6) | Pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari Kawasan Sabang ke Daerah Pabean diberlakukan tata laksana kepabeanan di bidang impor dan ekspor dan ketentuan di bidang cukai. |
(7) | Pemasukan barang konsumsi dari luar Daerah Pabean untuk kebutuhan penduduk di Kawasan Sabang diberikan pembebasan bea masuk, pajak pertambahan nilai, dan pajak penjualan atas barang mewah. |
(8) | Jumlah dan jenis barang yang diberi fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (7) ditetapkan oleh Badan Pengusahaan Kawasan Sabang. |
BAB X
INVESTASI PEMERINTAH PUSAT DAN KEMUDAHAN
PROYEK STRATEGIS NASIONAL
Bagian Kesatu
Investasi Pemerintah Pusat
Paragraf 1
Umum
Pasal 154
(1) | Investasi Pemerintah Pusat dilakukan dalam rangka meningkatkan investasi dan penguatan perekonomian untuk mendukung kebijakan strategis penciptaan kerja. |
(2) | Maksud dan tujuan investasi Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
(3) | Investasi Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh:
|
(4) | Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara dan Lembaga dalam melaksanakan investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berwenang untuk:
|
(1) | Dalam melaksanakan investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 154 ayat (3) huruf a, Menteri Keuangan dapat menetapkan dan/atau menunjuk badan layanan umum, badan usaha milik negara, dan/atau badan hukum lainnya. |
(2) | Menteri Keuangan membentuk Rekening Investasi Bendahara Umum Negara untuk menampung dana investasi Pemerintah Pusat. |
(3) | Dana yang ditampung dalam Rekening Investasi Bendahara Umum Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat digunakan kembali secara langsung untuk mendapatkan manfaat ekonomi, manfaat sosial, dan/atau manfaat lainnya. |
(4) | Tata kelola investasi Pemerintah Pusat oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara sepanjang tidak diatur secara khusus berdasarkan Undang-Undang ini dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Dalam melaksanakan investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 154 ayat (3) huruf b, Pemerintah Pusat membentuk Lembaga. |
(2) | Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan badan hukum Indonesia yang sepenuhnya dimiliki oleh Pemerintah Indonesia. |
(3) | Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab kepada Presiden. |
(1) | Investasi Pemerintah Pusat yang dilakukan oleh Lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 154 ayat (3) huruf b dapat bersumber dari aset negara, aset badan usaha milik negara, dan/atau sumber lain yang sah. |
(2) | Aset negara dan aset badan usaha milik negara yang dijadikan investasi Pemerintah Pusat pada Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipindah tangankan menjadi aset Lembaga yang selanjutnya menjadi milik dan tanggung jawab Lembaga. |
(3) | Aset negara dan aset badan usaha milik negara yang dijadikan investasi Pemerintah Pusat pada Lembaga, dengan persetujuan Lembaga dapat dipindahtangankan secara langsung kepada perusahaan patungan yang dibentuk oleh Lembaga. |
(4) | Pemindahtanganan aset sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dilakukan dengan cara jual beli, dijadikan penyertaan modal, atau cara lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(5) | Aset negara yang dipindahtangankan menjadi aset Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau menjadi aset perusahaan patungan yang dibentuk oleh Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dalam sengketa dan tidak terdapat kepemilikan atas hak istimewa pihak manapun. |
(6) | Aset badan usaha milik negara yang dipindahtangankan menjadi aset Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau menjadi aset perusahaan patungan yang dibentuk oleh Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dalam sengketa, tidak sedang dilakukan sita pidana atau perdata, dan tidak terdapat kepemilikan atas hak istimewa pihak manapun kecuali disepakati oleh pemilik hak. |
(7) | Ketentuan mengenai pemindahtanganan aset badan usaha milik negara kepada Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau kepada perusahaan patungan yang dibentuk oleh Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) untuk Perusahaan Perseroan (Persero) atau ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang badan usaha milik negara untuk Perusahaan Umum (Perum). |
(8) | Ketentuan lebih lanjut mengenai pemindahtanganan aset negara kepada Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau kepada perusahaan patungan yang dibentuk oleh Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
(1) | Modal Lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 154 ayat (3) huruf b berasal dari penyertaan modal negara dan/atau sumber lainnya. |
(2) | Setiap perubahan penyertaan modal negara pada Lembaga, baik berupa pengurangan maupun penambahan modal yang berasal dari sumber sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. |
(3) | Lembaga dapat melaksanakan investasi, baik secara langsung maupun tidak langsung, melakukan kerja sama dengan pihak ketiga, atau melalui pembentukan entitas khusus yang berbentuk badan hukum Indonesia atau badan hukum asing. |
(4) | Keuntungan atau kerugian yang dialami Lembaga dalam melaksanakan investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan keuntungan atau kerugian Lembaga. |
(5) | Dalam hal Lembaga mengalami keuntungan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), sebagian keuntungan ditetapkan sebagai laba bagian Pemerintah Pusat untuk disetorkan ke kas negara, setelah dilakukan pencadangan untuk menutup/menanggung risiko kerugian dalam berinvestasi dan/atau melakukan akumulasi modal. |
(6) | Penyertaan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) yang menjadi kekayaan Lembaga dicatat dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat. |
(7) | Ketentuan lebih lanjut mengenai pencadangan untuk menutup/menanggung risiko kerugian dalam berinvestasi dan/atau melakukan akumulasi modal sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. |
(1) | Untuk meningkatkan nilai aset, Lembaga dapat melakukan pengelolaan aset melalui kerja sama dengan pihak ketiga. |
(2) | Kerja sama dengan pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Lembaga melalui:
|
(3) | Dalam hal kerja sama dilakukan melalui pembentukan perusahaan patungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, aset Lembaga dapat dipindahtangankan untuk dijadikan penyertaan modal dalam perusahaan patungan. |
(4) | Penyertaan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(5) | Aset yang dijadikan penyertaan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak boleh berada dalam keadaan:
|
(6) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengelolaan aset Lembaga diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. |
(1) | Aset Lembaga dapat berasal dari:
|
(2) | Aset Lembaga dapat dijaminkan dalam rangka penarikan pinjaman. |
(3) | Pihak manapun dilarang melakukan penyitaan aset Lembaga, kecuali atas aset yang telah dijaminkan dalam rangka pinjaman. |
(4) | Pengelolaan aset Lembaga sepenuhnya dilakukan oleh organ Lembaga berdasarkan prinsip tata kelola yang baik, akuntabel, dan transparan. |
Pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Lembaga dilakukan oleh akuntan publik yang terdaftar pada Badan Pemeriksa Keuangan dan Otoritas Jasa Keuangan.
(1) | Organ dan pegawai Lembaga bukan merupakan penyelengara negara, kecuali yang berasal dari pejabat negara yang bersifat ex-officio. |
(2) | Lembaga menetapkan sistem kepegawaian, sistem penggajian, penghargaan, program pensiun dan tunjangan hari tua, serta penghasilan lainnya bagi pegawai Lembaga. |
(3) | Lembaga tidak dapat dipailitkan, kecuali dapat dibuktikan dalam kondisi insolven. |
Menteri Keuangan, pejabat Kementerian Keuangan, dan organ dan pegawai Lembaga, tidak dapat dimintai pertanggungjawaban hukum atas kerugian investasi jika dapat membuktikan:
- kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;
- telah melakukan pengurusan dengan iktikad baik dan kehati-hatian sesuai dengan maksud dan tujuan investasi dan tata kelola;
- tidak memiliki benturan kepentingan, baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengelolaan investasi; dan
- tidak memperoleh keuntungan pribadi secara tidak sah.
(1) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata kelola Lembaga diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. |
(2) | Sepanjang diatur dalam Undang-Undang ini, ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengelolaan keuangan negara, kekayaan negara, dan/atau badan usaha milik negara tidak berlaku bagi Lembaga. |
Paragraf 2
Lembaga Pengelola Investasi
Pasal 165
(1) | Dalam rangka pengelolaan investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 154 ayat (3) huruf b, untuk pertama kali berdasarkan Undang-Undang ini dibentuk Lembaga Pengelola Investasi. |
(2) | Pembentukan Lembaga Pengelola Investasi dimaksudkan untuk meningkatkan dan mengoptimalisasi nilai aset secara jangka panjang dalam rangka mendukung pembangunan secara berkelanjutan. |
(3) | Organ Lembaga Pengelola Investasi terdiri atas:
|
(1) | Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 165 ayat (3) huruf a terdiri atas:
|
(2) | Anggota Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. |
(3) | Untuk memilih anggota Dewan Pengawas dari unsur profesional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, Presiden membentuk panitia seleksi. |
(4) | Panitia seleksi melakukan:
|
(5) | Penyampaian nama calon kepada Presiden dilakukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak pembentukan panitia seleksi. |
(6) | Presiden menyampaikan nama calon untuk dikonsultasikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak diterimanya daftar nama calon dari panitia seleksi. |
(7) | Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia menyelenggarakan sesi konsultasi dengan Presiden paling lama 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak diterimanya daftar nama calon dari Presiden. |
(8) | Presiden menetapkan dan mengangkat anggota Dewan Pengawas dari unsur profesional dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak konsultasi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) selesai dilaksanakan. |
(9) | Dalam hal sesi konsultasi tidak terlaksana sesuai jangka waktu yang ditentukan sebagaimana dimaksud pada ayat (7), Presiden menetapkan dan mengangkat anggota Dewan Pengawas dari unsur profesional dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (8). |
(10) | Ketentuan lebih lanjut mengenai seleksi anggota Dewan Pengawas dari unsur profesional diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
(11) | Sesama anggota Dewan Pengawas dilarang saling memiliki hubungan keluarga sampai derajat kedua atau besan dengan sesama anggota Dewan Pengawas dan/atau dengan anggota Dewan Direktur. |
(12) | Anggota Dewan Pengawas dari unsur profesional diangkat untuk masa jabatan 5 (lima) tahun dan hanya dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya. |
(13) | Dalam rangka pengangkatan anggota Dewan Pengawas dari unsur profesional untuk pertama kali, Presiden menetapkan masa jabatan 3 (tiga) anggota Dewan Pengawas sebagai berikut:
|
(14) | Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas melakukan pengawasan atas penyelenggaraan Lembaga Pengelola Investasi oleh Dewan Direktur. |
(15) | Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (14) Dewan Pengawas berwenang:
|
(16) | Untuk membantu Dewan Pengawas dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Dewan Pengawas dapat membentuk komite. |
(1) | Dewan Direktur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 165 ayat (3) huruf b berjumlah 5 (lima) orang dari unsur profesional. |
(2) | Anggota Dewan Direktur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh Dewan Pengawas. |
(3) | Sesama anggota Dewan Direktur dilarang saling memiliki hubungan keluarga sampai derajat kedua atau besan dengan sesama anggota Dewan Direktur dan/atau dengan anggota Dewan Pengawas. |
(4) | Anggota Dewan Direktur diangkat untuk masa jabatan 5 (lima) tahun dan hanya dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya. |
(5) | Dalam rangka pengangkatan anggota Dewan Direktur untuk pertama kali, Dewan Pengawas menetapkan masa jabatan 5 (lima) anggota Dewan Direktur sebagai berikut:
|
(6) | Dewan Direktur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas untuk menyelenggarakan pengurusan operasional Lembaga Pengelola Investasi. |
(7) | Dalam menjalankan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Dewan Direktur berwenang:
|
(8) | Dewan Direktur dapat mendelegasikan tugas dan/atau wewenang pelaksanaan operasional Lembaga Pengelola Investasi kepada pegawai Lembaga Pengelola Investasi dan/atau pihak lain yang khusus itunjuk untuk itu. |
(9) | Pembidangan setiap anggota Dewan Direktur ditetapkan oleh Dewan Direktur. |
Untuk dapat diangkat sebagai anggota Dewan Pengawas dari unsur profesional dan anggota Dewan Direktur, calon anggota Dewan Pengawas dari unsur profesional dan calon anggota Dewan Direktur harus memenuhi persyaratan:
- warga negara Indonesia;
- mampu melakukan perbuatan hukum;
- sehat jasmani dan rohani;
- berusia paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada saat pengangkatan pertama;
- bukan pengurus dan/atau anggota partai politik;
- memiliki pengalaman dan/atau keahlian di bidang investasi, ekonomi, keuangan, perbankan, hukum, dan/atau organisasi perusahaan;
- tidak pernah dipidana penjara karena melakukan tindak pidana kejahatan;
- tidak pernah dinyatakan pailit atau tidak pernah menjadi pengurus perusahaan yang menyebabkan perusahaan tersebut pailit; dan
- tidak dinyatakan sebagai orang perseorangan yang tercela di bidang investasi dan bidang lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan.
(1) | Dalam hal diperlukan, Lembaga Pengelola Investasi dapat membentuk Dewan Penasihat untuk memberikan saran dan bimbingan kepada Lembaga Pengelola Investasi dalam hal terkait investasi. |
(2) | Anggota Dewan Penasihat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh Dewan Pengawas. |
(1) | Modal awal Lembaga Pengelola Investasi dapat berupa:
|
(2) | Modal awal Lembaga Pengelola Investasi ditetapkan paling sedikit Rp 15.000.000.000.000,00 (lima belas triliun rupiah) berupa dana tunai. |
(3) | Dalam hal modal Lembaga Pengelola Investasi berkurang secara signifikan, Pemerintah dapat menambah kembali modal Lembaga Pengelola Investasi. |
(4) | Penyertaan modal awal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. |
(1) | Lembaga Pengelola Investasi yang dibentuk dengan Undang-Undang ini hanya dapat dibubarkan dengan Undang-Undang. |
(2) | Pembinaan Lembaga Pengelola Investasi dilaksanakan oleh Menteri Keuangan. |
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai Lembaga Pengelola Investasi diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
(1) | Lembaga Pengelola Investasi dapat melakukan transaksi baik langsung maupun tidak langsung dengan entitas yang dimilikinya. |
(2) | Perlakuan perpajakan atas transaksi yang melibatkan Lembaga Pengelola Investasi dan/atau entitas yang dimilikinya, termasuk transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. |
Bagian Kedua
Kemudahan Proyek Strategis Nasional
Pasal 173
(1) | Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat bertanggung jawab dalam menyediakan lahan dan Perizinan Berusaha bagi proyek strategis nasional dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah. |
(2) | Dalam hal pengadaan tanah belum dapat dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat, pengadaan tanah untuk proyek strategis nasional dapat dilakukan oleh badan usaha. |
(3) | Pengadaan tanah untuk proyek strategis nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan dengan mempertimbangkan prinsip kemampuan keuangan negara dan kesinambungan fiskal. |
(4) | Dalam hal pengadaan tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh badan usaha, mekanisme pengadaan tanah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengadaan tanah untuk kepentingan umum. |
(5) | Ketentuan lebih lanjut mengenai pengadaan tanah dan Perizinan Berusaha bagi proyek strategis nasional diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
BAB XI
PELAKSANAAN ADMINISTRASI PEMERINTAHAN UNTUK
MENDUKUNG CIPTA KERJA
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 174
Dengan berlakunya Undang-Undang ini, kewenangan menteri, kepala lembaga, atau Pemerintah Daerah yang telah ditetapkan dalam undang-undang untuk menjalankan atau membentuk peraturan perundang-undangan harus dimaknai sebagai pelaksanaan kewenangan Presiden.
Bagian Kedua
Administrasi Pemerintahan
Pasal 175
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 292, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5601) diubah menjadi sebagai berikut:
1. | Di antara Pasal 1 angka 19 dan Pasal 1 angka 20 disisipkan 1 (satu) angka baru, yakni angka 19a sehingga berbunyi: Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
|
||||||||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 24 Pejabat Pemerintahan yang menggunakan Diskresi harus memenuhi syarat:
|
||||||||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 38
|
||||||||||||||||
4. | Bagian kelima diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Bagian Kelima
|
||||||||||||||||
5. | Di antara Pasal 39 dan Pasal 40 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 39A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 39A
|
||||||||||||||||
6. | Ketentuan Pasal 53 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 53
|
Bagian Ketiga
Pemerintahan Daerah
Pasal 176
Beberapa ketentuan dalam Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679) diubah sebagai berikut:
1. | Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 16
|
||||||||||||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 250 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 250 Perda dan Perkada sebagaimana dimaksud dalam Pasal 249 ayat (1) dan ayat (3) dilarang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, asas materi muatan peraturan perundang-undangan, dan putusan pengadilan. |
||||||||||||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 251 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 251 Agar tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, asas materi muatan peraturan perundang- undangan, dan putusan pengadilan, penyusunan Perda dan Perkada berkoordinasi dengan kementerian yang membidangi urusan pemerintahan dalam negeri dan melibatkan ahli dan/atau instansi vertikal di daerah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pembentukan peraturan perundang-undangan. |
||||||||||||||||||||
4. | Ketentuan Pasal 252 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 252
|
||||||||||||||||||||
5. | Ketentuan Pasal 260 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 260
|
||||||||||||||||||||
6. | Di antara Pasal 292 dan Pasal 293 disisipkan 1 (satu) Pasal yakni Pasal 292A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 292A
|
||||||||||||||||||||
7. | Ketentuan Pasal 300 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 300
|
||||||||||||||||||||
8. | Ketentuan Pasal 349 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 349
|
||||||||||||||||||||
9. | Ketentuan Pasal 350 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 350
|
||||||||||||||||||||
10. | Di antara Pasal 402 dan 403 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 402A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 402A Pembagian urusan pemerintahan konkuren antara Pemerintah Pusat dan Daerah Provinsi serta Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana tercantum dalam Lampiran Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah harus dibaca dan dimaknai sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang tentang Cipta Kerja. |
BAB XII
PENGAWASAN DAN PEMBINAAN
Pasal 177
(1) | Pemerintah Pusat wajib melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap setiap pelaksanaan Perizinan Berusaha yang dilakukan oleh pemegang Perizinan Berusaha. |
(2) | Pelaksanaan pengawasan dan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Aparatur Sipil Negara sesuai dengan kewenangannya. |
(3) | Aparatur Sipil Negara dalam melaksanakan tugas pengawasan dan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat bekerja sama dengan profesi bersertifikat sesuai dengan bidang pengawasan dan pembinaan yang dilakukan. |
(4) | Dalam hal Aparatur Sipil Negara dan profesi bersertifikat dalam melaksanakan tugasnya menemukan pelanggaran terhadap ketentuan yang tertuang dalam setiap Perizinan Berusaha yang dilakukan oleh pemegang Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Aparatur Sipil Negara sesuai dengan kewenangannya dapat memberikan sanksi administratif kepada pemegang Perizinan Berusaha. |
(5) | Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat berupa:
|
(6) | Kewenangan Pemerintah Pusat dalam melaksanakan pengawasan dan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(7) | Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi administratif lainnya dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
Setiap pemegang Perizinan Berusaha yang dalam melaksanakan kegiatan/usahanya menimbulkan dampak kerusakan pada lingkungan hidup, selain dikenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 177 ayat (5), pemegang Perizinan Berusaha wajib memulihkan kerusakan lingkungan akibat dari kegiatan/usahanya.
(1) | Pemerintah Pusat wajib melakukan pengawasan terhadap Aparatur Sipil Negara dan/atau profesi bersertifikat yang melaksanakan tugas dan tanggung jawab pengawasan dan pembinaan. |
(2) | Aparatur Sipil Negara dan/atau profesi bersertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang tidak melaksanakan tugas dan fungsi pengawasan dan pembinaan terhadap pelaksanaan Perizinan Berusaha dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(3) | Kewenangan pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(4) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan pengawasan oleh Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
BAB XIII
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 180
(1) | Hak, izin, atau konsesi atas tanah dan/atau kawasan yang dengan sengaja tidak diusahakan atau ditelantarkan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak diberikan dicabut dan dikembalikan kepada negara. |
(2) | Dalam pelaksanaan pengembalian kepada negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Pusat dapat menetapkan hak, izin, atau konsesi tersebut sebagai aset Bank Tanah. |
(3) | Ketentuan lebih lanjut pencabutan hak, izin, atau konsesi dan penetapannya sebagai aset Bank Tanah diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
(1) | Pada saat berlakunya Undang-Undang ini, setiap peraturan perundang-undangan di bawah Undang- Undang yang berlaku dan bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang ini atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, atau bertentangan dengan putusan pengadilan harus dilakukan harmonisasi dan sinkronisasi yang dikoordinasikan oleh kementerian atau lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pembentukan peraturan perundang-undangan. |
(2) | Harmonisasi dan sinkronisasi yang berkaitan dengan peraturan daerah dan/atau peraturan kepala daerah, dilaksanakan oleh kementerian atau lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pembentukan peraturan perundang-undangan bersama dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri. |
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai harmonisasi dan sinkronisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
Dalam rangka pembentukan Peraturan Pemerintah, Pemerintah Pusat dapat berkonsultasi dengan:
- Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat dan alat kelengkapan DPR yang menangani bidang legislasi; dan/atau
- Pimpinan Dewan Perwakilan Daerah dan alat kelengkapan DPD yang menangani bidang legislasi.
Pemerintah Pusat harus melaporkan pelaksanaan Undang-Undang ini kepada:
- Dewan Perwakilan Rakyat melalui alat kelengkapan yang menangani bidang legislasi; dan/atau
- Dewan Perwakilan Daerah melalui alat kelengkapan yang menangani bidang legislasi paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini berlaku.
BAB XIV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 184
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
- Perizinan Berusaha atau izin sektor yang sudah terbit masih tetap berlaku sampai dengan berakhirnya Perizinan Berusaha;
- Perizinan Berusaha dan/atau izin sektor yang sudah terbit sebelum berlakunya Undang-Undang ini dapat berlaku sesuai dengan Undang-Undang ini; dan
- Perizinan Berusaha yang sedang dalam proses permohonan disesuaikan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
BAB XV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 185
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
- Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini wajib ditetapkan paling lama 3 (tiga) bulan; dan
- Semua peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang yang telah diubah oleh Undang-Undang ini dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini dan wajib disesuaikan paling lama 3 (tiga) bulan.
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta |
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 2 November 2020
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2020 NOMOR 245
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 11 TAHUN 2020
TENTANG
CIPTA KERJA
I. | UMUM Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan bahwa tujuan pembentukan Negara Republik Indonesia adalah mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, makmur, yang merata, baik materiel maupun spiritual. Sejalan dengan tujuan tersebut, Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 menentukan bahwa "Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan", oleh karena itu negara perlu melakukan berbagai upaya atau tindakan untuk memenuhi hak-hak warga negara untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak. Pemenuhan hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak pada prinsipnya merupakan salah satu aspek penting dalam pembangunan nasional yang dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Pemerintah Pusat telah melakukan berbagai upaya untuk menciptakan dan memperluas lapangan kerja dalam rangka penurunan jumlah pengangguran dan menampung pekerja baru serta mendorong pengembangan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dengan tujuan untuk meningkatkan perekonomian nasional yang akan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Meski tingkat pengangguran terbuka terus turun, Indonesia masih membutuhkan penciptaan kerja yang berkualitas karena:
Pemerintah Pusat telah berupaya untuk perluasan program jaminan dan bantuan sosial yang merupakan komitmen dalam rangka meningkatkan daya saing dan penguatan kualitas sumber daya manusia, serta untuk mempercepat penanggulangan kemiskinan dan ketimpangan pendapatan. Dengan demikian melalui dukungan jaminan dan bantuan sosial, total manfaat tidak hanya diterima oleh pekerja, namun juga dirasakan oleh keluarga pekerja. Terhadap hal tersebut Pemerintah Pusat perlu mengambil kebijakan strategis untuk menciptakan dan memperluas kerja melalui peningkatan investasi, mendorong pengembangan dan peningkatan kualitas Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Untuk dapat meningkatkan penciptaan dan perluasan kerja, diperlukan pertumbuhan ekonomi stabil dan konsisten naik setiap tahunnya. Namun upaya tersebut dihadapkan dengan kondisi saat ini, terutama yang menyangkut:
Indonesia masih menghadapi berbagai hambatan dan kemudahan dalam berusaha, termasuk untuk Koperasi dan UMK-M. Saat ini terjadi kompleksitas dan obesitas regulasi, dimana saat ini terdapat 4.451 peraturan Pemerintah Pusat dan 15.965 peraturan Pemerintah Daerah. Regulasi dan institusi menjadi hambatan paling utama disamping hambatan terhadap fiskal, infrastruktur dan sumber daya manusia. Regulasi tidak mendukung penciptaan dan pengembangan usaha bahkan cenderung membatasi. Dengan kondisi yang ada pada saat ini, pendapatan perkapita baru sebesar Rp4,6 juta per bulan. Dengan memperhitungkan potensi perekonomian dan sumber daya manusia ke depan, maka Indonesia akan dapat masuk ke dalam 5 besar ekonomi dunia pada Tahun 2045 dengan produk domestik bruto sebesar $7 triliun dolar Amerika Serikat dengan pendapatan perkapita sebesar Rp27 juta per bulan. Untuk itu diperlukan kebijakan dan langkah-langkah strategis Cipta Kerja yang memerlukan keterlibatan semua pihak yang terkait, dan terhadap hal tersebut perlu menyusun dan menetapkan Undang-Undang tentang Cipta Kerja dengan tujuan untuk menciptakan kerja yang seluas-luasnya bagi rakyat Indonesia secara merata di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia dalam rangka memenuhi hak atas penghidupan yang layak. Undang-Undang tentang Cipta Kerja mencakup yang terkait dengan:
Penciptaan lapangan kerja yang dilakukan melalui pengaturan terkait dengan peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha paling sedikit memuat pengaturan mengenai: penyederhanaan Perizinan Berusaha, persyaratan investasi, kemudahan berusaha, riset dan inovasi, pengadaan lahan, dan kawasan ekonomi. Penyederhanaan Perizinan Berusaha melalui penerapan Perizinan Berusaha berbasis risiko merupakan metode standar berdasarkan tingkat risiko suatu kegiatan usaha dalam menentukan jenis Perizinan Berusaha dan kualitas/frekuensi pengawasan. Perizinan Berusaha dan pengawasan merupakan instrumen Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam mengendalikan suatu kegiatan usaha. Penerapan pendekatan berbasis risiko memerlukan perubahan pola pikir (change management) dan penyesuaian tata kerja penyelenggaraan layanan Perizinan Berusaha (business process re-engineering) serta memerlukan pengaturan (re-design) proses bisnis Perizinan Berusaha di dalam sistem Perizinan Berusaha secara elektronik. Melalui penerapan konsep ini, pelaksanaan penerbitan Perizinan Berusaha dapat lebih efektif dan sederhana karena tidak seluruh kegiatan usaha wajib memiliki izin, di samping itu melalui penerapan konsep ini kegiatan pengawasan menjadi lebih terstruktur baik dari periode maupun substansi yang harus dilakukan pengawasan. Penciptaan lapangan kerja yang dilakukan melalui pengaturan terkait dengan peningkatan perlindungan dan kesejahteraan pekerja paling sedikit memuat pengaturan mengenai: perlindungan pekerja untuk pekerja dengan perjanjian waktu kerja tertentu, perlindungan hubungan kerja atas pekerjaan yang didasarkan alih daya, perlindungan kebutuhan layak kerja melalui upah minimum, perlindungan pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja, dan kemudahan perizinan bagi tenaga kerja asing yang memiliki keahlian tertentu yang masih diperlukan untuk proses produksi barang atau jasa. Penciptaan lapangan kerja yang dilakukan melalui pengaturan terkait dengan kemudahan, pemberdayaan, dan perlindungan UMK-M paling sedikit memuat pengaturan mengenai: kemudahan pendirian, rapat anggota, dan kegiatan usaha koperasi, dan kriteria UMK-M, basis data tunggal UMK-M, pengelolaan terpadu UMK-M, kemudahan Perizinan Berusaha UMK-M, kemitraan, insentif, dan pembiayaan UMK-M. Penciptaan lapangan kerja yang dilakukan melalui pengaturan terkait dengan peningkatan investasi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dan percepatan proyek strategis nasional paling sedikit memuat pengaturan mengenai: pelaksanaan investasi Pemerintah Pusat melalui pembentukan lembaga pengelola investasi dan penyediaan lahan dan perizinan untuk percepatan proyek strategis nasional. Dalam rangka mendukung kebijakan strategis Cipta Kerja tersebut diperlukan pengaturan mengenai penataan administrasi pemerintahan dan pengenaan sanksi. Untuk mendukung pelaksanaan kebijakan strategis penciptaan kerja beserta pengaturannya, diperlukan perubahan dan penyempurnaan berbagai Undang-Undang terkait. Perubahan Undang-Undang tersebut tidak dapat dilakukan melalui cara konvensional dengan cara mengubah satu persatu Undang-Undang seperti yang selama ini dilakukan, cara demikian tentu sangat tidak efektif dan efisien serta membutuhkan waktu yang lama. Ruang lingkup Undang-Undang ini meliputi: a. peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha; b. ketenagakerjaan; c. kemudahan, perlindungan, serta pemberdayaan Koperasi dan UMK-M; d. kemudahan berusaha; e. dukungan riset dan inovasi; f. pengadaan tanah; g- kawasan ekonomi; h. investasi Pemerintah Pusat dan percepatan proyek strategis nasional; i. pelaksanaan administrasi pemerintahan; dan j. pengenaan sanksi. |
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
II. | PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan "pemerataan hak" adalah bahwa penciptaan kerja untuk memenuhi hak warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi rakyat Indonesia dilakukan secara merata di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Huruf b Yang dimaksud dengan "kepastian hukum" adalah bahwa penciptaan kerja dilakukan sejalan dengan penciptaan iklim usaha kondusif yang dibentuk melalui sistem hukum yang menjamin konsistensi antara peraturan perundang-undangan dengan pelaksanaannya. Huruf c Yang dimaksud dengan "kemudahan berusaha" adalah bahwa penciptaan kerja yang didukung dengan proses berusaha yang sederhana, mudah, dan cepat akan mendorong peningkatan investasi, pemberdayaan usaha mikro, kecil, dan menengah untuk memperkuat perekonomian yang mampu membuka seluas-luasnya lapangan kerja bagi rakyat Indonesia. Huruf d Yang dimaksud dengan "kebersamaan" adalah bahwa penciptaan kerja dengan mendorong peran seluruh dunia usaha dan usaha mikro, kecil, dan menengah termasuk koperasi secara bersama-sama dalam kegiatannya untuk kesejahteraan rakyat. Huruf e Yang dimaksud dengan "kemandirian" adalah bahwa pemberdayaan usaha mikro, kecil, dan menengah termasuk koperasi dilakukan dengan tetap mendorong, menjaga, dan mengedepankan potensi dirinya. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "Perizinan Berusaha Berbasis Risiko" adalah pemberian Perizinan Berusaha dan pelaksanaan pengawasan berdasarkan tingkat risiko usaha dan/atau kegiatan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan "pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya" termasuk di dalamnya penggunaan frekuensi radio. Ayat (4) Yang dimaksud dengan "aspek lainnya" termasuk aspek keamanan atau pertahanan sesuai dengan kegiatan usaha. Ayat (5) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan "risiko volatilitas" yaitu risiko yang memiliki kecenderungan untuk mudah berubah. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Ayat (1) Huruf a Contoh kegiatan usaha berisiko menengah rendah antara lain wisata agro dan jasa manajemen hotel. Huruf b Contoh kegiatan usaha berisiko menengah tinggi antara lain industri mesin pendingin dan industri konstruksi berat siap pasang dari baja untuk bangunan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Angka 1 Pasal 1 Cukup jelas. Angka 2 Pasal 6 Cukup jelas. Angka 3 Pasal 8 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Kerja sama penataan ruang antarnegara melibatkan negara lain sehingga terdapat aspek hubungan antarnegara yang merupakan wewenang Pemerintah. Yang termasuk kerja sama penataan ruang antarnegara adalah kerja sama penataan ruang di kawasan perbatasan negara. Pemberian wewenang kepada Pemerintah dalam memfasilitasi kerja sama penataan ruang antarprovinsi dimaksudkan agar kerja sama penataan ruang memberikan manfaat yang optimal bagi seluruh provinsi yang bekerja sama. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Huruf a Penyebarluasan informasi dilakukan antara lain melalui media elektronik, media cetak, dan media komunikasi lain, sebagai bentuk perwujudan asas keterbukaan dalam penyelenggaraan penataan ruang. Huruf b Standar pelayanan minimal merupakan hak dan kewajiban penerima dan pemberi layanan yang disusun sebagai alat Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk menjamin akses dan mutu pelayanan dasar kepada masyarakat secara merata. Ayat (6) Cukup jelas. Angka 4 Pasal 9 Ayat (1) Penyelenggaraan penataan ruang oleh Pemerintah Pusat mencakup antara lain pengaturan, pembinaan, pengawasan penataan ruang lintas sektor, lintas wilayah dan lintas pemangku kepentingan yang dapat dilakukan dengan pendekatan partisipatif melalui komite atau forum. Ayat (2) Cukup jelas. Angka 5 Pasal 10 Cukup jelas. Angka 6 Pasal 11 Cukup jelas. Angka 7 Pasal 14 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Rencana rinci tata ruang merupakan penjabaran rencana umum tata ruang yang dapat berupa rencana tata ruang kawasan strategis yang penetapan kawasannya tercakup di dalam rencana tata ruang wilayah. Ayat (2) Rencana umum tata ruang dibedakan menurut wilayah administrasi pemerintahan karena kewenangan mengatur pemanfaatan ruang dibagi sesuai dengan pembagian administrasi pemerintahan. Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Secara administrasi pemerintahan, rencana tata ruang wilayah kabupaten dan rencana tata ruang wilayah kota memiliki kedudukan yang setara.
Ayat (3) Huruf a Rencana tata ruang pulau/kepulauan dan rencana tata ruang kawasan strategis nasional merupakan rencana rinci untuk Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Huruf b RDTR kabupaten/kota merupakan rencana rinci untuk rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota yang dilengkapi dengan peraturan zonasi kabupaten/kota. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Efektivitas penerapan rencana tata ruang sangat dipengaruhi oleh tingkat ketelitian atau kedalaman pengaturan dan skala peta dalam rencana tata ruang. Perencanaan tata ruang yang mencakup wilayah yang luas pada umumnya memiliki tingkat ketelitian atau kedalaman pengaturan dan skala peta yang tidak rinci. Oleh karena itu, dalam penerapannya masih diperlukan perencanaan yang lebih rinci. Apabila perencanaan tata ruang yang mencakup wilayah yang luasnya memungkinkan pengaturan dan penyediaan peta dengan tingkat ketelitian tinggi, rencana rinci tidak diperlukan. Ayat (6) Cukup jelas. Angka 8 Pasal 14A Cukup jelas. Angka 9 Pasal 17 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Dalam sistem wilayah, pusat permukiman adalah kawasan perkotaan yang merupakan pusat kegiatan sosial ekonomi masyarakat, baik pada kawasan perkotaan maupun pada kawasan perdesaan. Dalam sistem internal perkotaan, pusat permukiman adalah pusat pelayanan kegiatan perkotaan. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Penetapan proporsi luas kawasan hutan terhadap luas daerah aliran sungai dimaksudkan untuk menjaga keseimbangan tata air, karena sebagian besar wilayah Indonesia mempunyai curah dan intensitas hujan yang tinggi, serta mempunyai konfigurasi daratan yang bergelombang, berbukit dan bergunung yang peka akan gangguan keseimbangan tata air seperti banjir, erosi, sedimentasi, serta kekurangan air. Ayat (6) Keterkaitan antarwilayah merupakan wujud keterpaduan dan sinergi antarwilayah, yaitu wilayah nasional, wilayah provinsi, dan wilayah kabupaten/kota. Ayat (7) Rencana tata ruang untuk fungsi pertahanan dan keamanan karena sifatnya yang khusus memerlukan pengaturan tersendiri. Sifat khusus tersebut terkait dengan adanya kebutuhan untuk menjaga kerahasiaan sebagian informasi untuk kepentingan pertahanan dan keamanan negara.
Angka 10 Pasal 18 Ayat (1) Persetujuan substansi dari Pemerintah dimaksudkan agar peraturan daerah tentang rencana tata ruang mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan kebijakan nasional, sedangkan rencana rinci tata ruang mengacu pada rencana umum tata ruang. Selain itu, persetujuan tersebut dimaksudkan pula untuk menjamin kesesuaian muatan peraturan daerah, baik dengan ketentuan peraturan perundang-undangan maupun dengan pedoman bidang penataan ruang. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Angka 11 Pasal 20 Ayat (1) Huruf a Tujuan penataan ruang wilayah nasional mencerminkan keterpaduan pembangunan antarsektor, antarwilayah, dan antarpemangku kepentingan. Kebijakan dan strategi penataan ruang wilayah nasional merupakan landasan bagi pembangunan nasional yang memanfaatkan ruang. Huruf b Sistem perkotaan nasional dibentuk dari kawasan perkotaan dengan skala pelayanan yang berhierarki yang meliputi pusat kegiatan skala nasional, pusat kegiatan skala wilayah, dan pusat kegiatan skala lokal. Pusat kegiatan tersebut didukung dan dilengkapi dengan jaringan prasarana wilayah yang tingkat pelayanannya disesuaikan dengan hierarki kegiatan dan kebutuhan pelayanan. Huruf c Pola ruang wilayah nasional merupakan gambaran pemanfaatan ruang wilayah nasional, baik untuk pemanfaatan yang berfungsi lindung maupun budi daya yang bersifat strategis nasional, yang ditinjau dari berbagai sudut pandang akan lebih berdaya guna dan berhasil guna dalam mendukung pencapaian tujuan pembangunan nasional. Huruf d Yang termasuk kawasan strategis nasional adalah kawasan yang menurut peraturan perundang-undangan ditetapkan sebagai kawasan khusus. Huruf e Indikasi program utama merupakan petunjuk yang memuat usulan program utama, perkiraan pendanaan beserta sumbernya, instansi pelaksana, dan waktu pelaksanaan dalam rangka mewujudkan pemanfaatan ruang yang sesuai dengan rencana tata ruang. Indikasi program utama merupakan acuan utama dalam penyusunan program pemanfaatan ruang yang merupakan kunci dalam pencapaian tujuan penataan ruang, serta acuan sektor dalam menyusun rencana strategis beserta besaran investasi. Indikasi program utama lima tahunan disusun untuk jangka waktu rencana 20 (dua puluh) tahun. Huruf f Cukup jelas. Ayat (2) Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional menjadi acuan bagi instansi pemerintah tingkat pusat dan daerah serta masyarakat untuk mengarahkan lokasi dan memanfaatkan ruang dalam menyusun program pembangunan yang berkaitan dengan pemanfaatan ruang. Ayat (3) Rencana tata ruang disusun untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun dengan visi yang lebih jauh ke depan yang merupakan matra spasial dari rencana pembangunan jangka panjang. Ayat (4) Peninjauan kembali rencana tata ruang merupakan upaya untuk melihat kesesuaian antara rencana tata ruang dan kebutuhan pembangunan yang memperhatikan perkembangan lingkungan strategis dan dinamika internal, serta pelaksanaan pemanfaatan ruang.
Ayat (5) Peninjauan kembali dan revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dapat dilakukan lebih dari 1 (satu) dalam periode 5 (lima) tahun hanya apabila memenuhi syarat terjadinya perubahan lingkungan strategis. Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Termasuk kebijakan nasional yang bersifat strategis antara lain pengembangan infrastruktur, pengembangan wilayah, dan pengembangan ekonomi. Ayat (6) Cukup jelas. Angka 12 Pasal 22 Cukup jelas. Angka 13 Pasal 23 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Rencana struktur ruang wilayah provinsi merupakan arahan perwujudan sistem perkotaan dalam wilayah provinsi dan jaringan prasarana wilayah provinsi yang dikembangkan untuk mengintegrasikan wilayah provinsi selain untuk melayani kegiatan skala provinsi yang meliputi sistem jaringan transportasi, sistem jaringan energi dan kelistrikan, sistem jaringan telekomunikasi, dan sistem jaringan sumber daya air, termasuk seluruh daerah hulu bendungan/waduk dari daerah aliran sungai. Huruf c
Kawasan lindung provinsi adalah kawasan lindung yang secara ekologis merupakan satu ekosistem yang terletak lebih dari satu wilayah kabupaten/kota, kawasan lindung yang memberikan pelindungan terhadap kawasan bawahannya yang terletak di wilayah kabupaten/kota lain, dan kawasan-kawasan lindung lain yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan pengelolaannya merupakan kewenangan Pemerintah Daerah provinsi. Huruf d Indikasi program utama adalah petunjuk yang memuat usulan program utama, perkiraan pendanaan beserta sumbernya, instansi pelaksana, dan waktu pelaksanaan, dalam rangka mewujudkan pemanfaatan ruang yang sesuai dengan rencana tata ruang. Indikasi program utama merupakan acuan utama dalam penyusunan program pemanfaatan ruang yang merupakan kunci dalam pencapaian tujuan penataan ruang, serta acuan sektor dalam menyusun rencana strategis beserta besaran investasi. Indikasi program utama lima tahunan disusun untuk jangka waktu rencana 20 (dua puluh) tahun. Huruf e
Ayat (2) Rencana tata ruang wilayah provinsi menjadi acuan bagi instansi Pemerintah Daerah serta masyarakat untuk mengarahkan lokasi dan memanfaatkan ruang dalam menyusun program pembangunan yang berkaitan dengan pemanfaatan ruang di daerah yang bersangkutan. Selain itu, rencana tersebut menjadi dasar dalam memberikan rekomendasi pengarahan pemanfaatan ruang. Rencana tata ruang wilayah provinsi dan rencana pembangunan jangka panjang provinsi serta rencana pembangunan jangka menengah provinsi merupakan kebijakan daerah yang saling mengacu. Ayat (3) Rencana tata ruang disusun untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun dengan visi yang lebih jauh ke depan yang merupakan matra spasial dari rencana pembangunan jangka panjang daerah. Ayat (4) Peninjauan kembali rencana tata ruang merupakan upaya untuk melihat kesesuaian antara rencana tata ruang dan kebutuhan pembangunan yang memperhatikan perkembangan lingkungan strategis dan dinamika internal, serta pelaksanaan pemanfaatan ruang.
Ayat (5) Peninjauan kembali dan revisi dalam waktu kurang dari 5 (lima) tahun dilakukan apabila dinamika internal provinsi yang mempengaruhi pemanfaatan ruang provinsi secara mendasar diakibatkan terjadinya perubahan lingkungan strategis yang antara lain dikarenakan adanya bencana alam, perubahan batas teritorial, perubahan batas wilayah dan/atau perubahan kebijakan nasional yang bersifat strategis yang mempengaruhi pemanfaatan ruang provinsi dan/atau dinamika internal provinsi yang tidak mengubah kebijakan dan strategi pemanfaatan ruang wilayah nasional. Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Termasuk kebijakan nasional yang bersifat strategis antara lain pengembangan infrastruktur, pengembangan wilayah, dan pengembangan ekonomi. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Ayat (9) Cukup jelas. Angka 14 Pasal 24 Dihapus. Angka 15 Pasal 25 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Daya dukung dan daya tampung wilayah kabupaten diatur berdasarkan peraturan perundang-undangan yang penyusunannya dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Angka 16 Pasal 26 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Struktur ruang wilayah kabupaten merupakan gambaran sistem perkotaan wilayah kabupaten dan jaringan prasarana wilayah kabupaten yang dikembangkan untuk mengintegrasikan wilayah kabupaten selain untuk melayani kegiatan skala kabupaten yang meliputi sistem jaringan transportasi, sistem jaringan energi dan kelistrikan, sistem jaringan telekomunikasi, dan sistem jaringan sumber daya air, termasuk seluruh daerah hulu bendungan atau waduk dari daerah aliran sungai. Huruf c Pola ruang wilayah kabupaten merupakan gambaran pemanfaatan ruang wilayah kabupaten, baik untuk pemanfaatan yang berfungsi lindung maupun budi daya yang belum ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan rencana tata ruang wilayah provinsi. Pola ruang wilayah kabupaten dikembangkan dengan sepenuhnya memperhatikan pola ruang wilayah yang ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan rencana tata ruang wilayah provinsi. Rencana pola ruang wilayah kabupaten memuat rencana pola ruang yang ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan rencana tata ruang wilayah provinsi yang terkait dengan wilayah kabupaten yang bersangkutan. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Ayat (2) Rencana tata ruang wilayah kabupaten menjadi pedoman bagi Pemerintah Daerah untuk menetapkan lokasi kegiatan pembangunan dalam memanfaatkan ruang serta dalam menyusun program pembangunan yang berkaitan dengan pemanfaatan ruang di daerah tersebut dan sekaligus menjadi dasar dalam pemberian rekomendasi pengarahan pemanfaatan ruang, sehingga pemanfaatan ruang dalam pelaksanaan pembangunan selalu sesuai dengan rencana tata ruang wilayah kabupaten. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Peninjauan kembali rencana tata ruang merupakan upaya untuk melihat kesesuaian antara rencana tata ruang dan kebutuhan pembangunan yang memperhatikan perkembangan lingkungan strategis dan dinamika internal serta pelaksanaan pemanfaatan ruang.
Ayat (6) Peninjauan kembali dan revisi dalam waktu kurang dari 5 (lima) tahun atau lebih dari 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun dilakukan apabila strategi pemanfaatan ruang dan struktur ruang wilayah kabupaten yang bersangkutan menuntut adanya suatu perubahan yang mendasar sebagai akibat dari adanya perubahan lingkungan strategis. Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Termasuk kebijakan nasional yang bersifat strategis antara lain pengembangan infrastruktur, pengembangan wilayah, dan pengembangan ekonomi.
Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Ayat (9) Cukup jelas. Ayat (10) Cukup jelas. Angka 17 Pasal 27 Dihapus. Angka 18 Pasal 34A Yang dimaksud dengan rencana zonasi adalah rencana pengelolaan ruang laut yang telah ditetapkan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sebelum Undang-Undang ini berlaku. Angka 19 Pasal 35 Pengendalian pemanfaatan ruang dimaksudkan agar pemanfaatan ruang dilakukan sesuai dengan rencana tata ruang. Angka 20 Pasal 37 Cukup jelas. Angka 21 Pasal 48 Cukup jelas. Angka 22
Dihapus. Angka 23
Dihapus. Angka 24
Dihapus. Angka 25 Pasal 52 Dihapus. Angka 26 Pasal 53 Dihapus. Angka 27 Pasal 54 Dihapus. Angka 28 Pasal 60 Huruf a Masyarakat dapat mengetahui rencana tata ruang melalui Lembaran Negara atau Lembaran Daerah, pengumuman, dan/atau penyebarluasan oleh pemerintah. Huruf b Pertambahan nilai ruang dapat dilihat dari sudut pandang ekonomi, sosial, budaya, dan kualitas lingkungan yang dapat berupa dampak langsung terhadap peningkatan ekonomi masyarakat, sosial, budaya, dan kualitas lingkungan. Huruf c Yang dimaksud dengan "penggantian yang layak" adalah bahwa nilai atau besarnya penggantian tidak menurunkan tingkat kesejahteraan orang yang diberi penggantian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas.
Huruf a Menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan dimaksudkan sebagai kewajiban setiap orang untuk memiliki izin pemanfaatan ruang dari pejabat yang berwenang sebelum pelaksanaan pemanfaatan ruang. Huruf b Memanfaatkan ruang sesuai dengan rencana tata ruang dimaksudkan sebagai kewajiban setiap orang untuk melaksanakan pemanfaatan ruang sesuai dengan fungsi ruang. Huruf c Mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan izin pemanfaatan ruang dimaksudkan sebagai kewajiban setiap orang untuk memenuhi ketentuan amplop ruang dan kualitas ruang. Huruf d Pemberian akses dimaksudkan untuk menjamin agar masyarakat dapat mencapai kawasan yang dinyatakan dalam peraturan perundang-undangan sebagai milik umum. Kewajiban memberikan akses dilakukan apabila memenuhi syarat berikut:
Yang termasuk dalam kawasan yang dinyatakan sebagai milik umum, antara lain, adalah sumber air dan pesisir pantai.
Cukup jelas. Angka 31
Cukup jelas. Angka 32
Cukup jelas. Angka 33
Cukup jelas.
Angka 34
Cukup jelas. Angka 35
Dihapus. Angka 36
Cukup jelas. Angka 37
Cukup jelas. Pasal 18 Angka 1
Cukup jelas. Angka 2
Cukup jelas. Angka 3
Cukup jelas.
Cukup jelas. Pasal 7C Cukup jelas. Angka 4
Dihapus. Angka 5 Pasal 9 Dihapus. Angka 6
Dihapus. Angka 7
Dihapus. Angka 8
Dihapus. Angka 9
Dihapus. Angka 10
Dihapus. Angka 11
Cukup jelas. Angka 12
Cukup jelas. Angka 13
Cukup jelas. Angka 14
Ayat (1) Yang dimaksud dengan "kebijakan nasional yang bersifat strategis" antara lain proyek strategis nasional atau kegiatan strategis nasional lainnya yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Angka 15
Cukup jelas. Angka 16
Cukup jelas. Angka 17
Ayat (1) Yang dimaksud dengan "memfasilitasi", antara lain, dapat berupa kemudahan persyaratan dan pelayanan cepat. Ayat (2) Cukup jelas. Angka 18
Cukup jelas. Angka 19
Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Termasuk kebijakan nasional yang bersifat strategis antara lain pengembangan infrastruktur, pengembangan wilayah, dan pengembangan ekonomi. Angka 20
Cukup jelas. Angka 21
Cukup jelas. Angka 22
Cukup jelas. Angka 23
Cukup jelas. Angka 24
Cukup jelas. Angka 25
Cukup jelas. Angka 26
Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan "wilayah penangkapan ikan secara tradisional" adalah wilayah penangkapan ikan untuk kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan tradisional. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Cukup jelas. Huruf l Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Angka 27
Cukup jelas. Angka 28
Cukup jelas. Angka 29
Cukup jelas. Angka 30
Cukup jelas. Angka 31
Dihapus. Angka 32
Cukup jelas. Pasal 19 Angka 1 Pasal 1 Cukup jelas. Angka 2 Pasal 32 Cukup jelas. Angka 3 Pasal 42 Cukup jelas. Angka 4 Pasal 43 Ayat (1) Perencanaan ruang Laut merupakan suatu proses untuk menghasilkan rencana tata ruang Laut dan/atau rencana zonasi untuk menentukan struktur ruang Laut dan pola ruang Laut. Huruf a Perencanaan tata ruang laut nasional mencakup wilayah perairan dan wilayah yurisdiksi. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Rencana zonasi kawasan strategis nasional (KSN) merupakan rencana yang disusun untuk menentukan arahan pemanfaatan ruang kawasan strategis nasional.
Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Angka 5
Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Perencanaan ruang Laut menggunakan sifat komplementer antar hasil perencanaan ruang. Apabila dalam dokumen perencanaan ruang yang lebih rinci tidak terdapat alokasi ruang atau pola ruang untuk suatu kegiatan pemanfaatan ruang laut, maka menggunakan rencana tata ruang atau rencana zonasi Kawasan Antarwilayah. Angka 6 Pasal 47 Cukup jelas. Angka 7
Cukup jelas. Angka 8 Pasal 48 Cukup jelas. Angka 9
Cukup jelas. Angka 10
Cukup jelas. Pasal 49B Cukup jelas. Pasal 20 Angka 1
Cukup jelas. Angka 2
Cukup jelas. Angka 3
Dihapus. Angka 4
Ayat (1) Yang dimaksud dengan "pasang surut air laut" adalah naik turunnya posisi muka air laut yang disebabkan pengaruh gaya gravitasi bulan dan matahari. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan "garis pantai ditentukan dengan mengacu pada JKVN" adalah garis pantai dan JKVN membentuk suatu kesatuan, karena pengamatan pasang surut diperlukan dalam membangun JKVN dan JKVN diperlukan dalam menentukan garis pantai. Angka 5
Ayat (1) Yang dimaksud dengan "bertahap" adalah diselenggarakan secara berjenjang, wilayah demi wilayah, skala demi skala, atau berselang waktu sesuai dengan prioritas kepentingan. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "jangka waktu tertentu" adalah jangka waktu untuk memutakhirkan IG yang ditentukan berdasarkan kondisi, teknologi, kebutuhan, prioritas, dan anggaran yang tersedia. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Angka 6
Cukup jelas. Angka 7
Cukup jelas. Angka 8
Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan "daerah terlarang" adalah daerah yang oleh instansi yang berwenang dinyatakan terlarang pada kurun waktu tertentu. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Angka 9
Cukup jelas. Angka 10
Dihapus. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Angka 1
Cukup jelas. Angka 2 Pasal 20 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan "baku mutu air" adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada, dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya di dalam air. Huruf b
Huruf c
Huruf d Yang dimaksud dengan "baku mutu udara ambien" adalah ukuran batas atau kadar zat, energi, dan/atau komponen yang seharusnya ada, dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam udara ambien. Huruf e
Huruf f
Huruf g Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Angka 3
Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Yang dimaksud dengan "Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup" adalah keputusan yang menyatakan kelayakan lingkungan hidup dari suatu rencana usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan Amdal. Ayat (6) Cukup jelas. Angka 4
Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup dimaksudkan untuk menghindari, meminimalkan, memitigasi, dan/atau mengompensasikan dampak suatu usaha dan/atau kegiatan. Angka 5
Cukup jelas. Angka 6
Yang dimaksud dengan "pihak lain" antara lain lembaga penyusun amdal atau konsultan. Angka 7
Cukup jelas. Angka 8
Dihapus. Angka 9
Dihapus. Angka 10
Dihapus. Angka 11
Cukup jelas. Angka 12
Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan Lingkungan Hidup" adalah standar pengelolaan lingkungan hidup dan pemantauan lingkungan hidup dari penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang telah disahkan oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah bagi usaha dan/atau kegiatan yang wajib UKL-UPL. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Angka 13
Cukup jelas. Angka 14
Dihapus. Angka 15
Cukup jelas. Angka 16
Dihapus. Angka 17
Cukup jelas. Angka 18
Dihapus. Angka 19
Cukup jelas. Angka 20
Ayat (1) Pengelolaan limbah B3 merupakan rangkaian kegiatan yang mencakup pengurangan, penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, dan/atau pengolahan, termasuk penimbunan limbah B3. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan "pihak lain" adalah badan usaha yang melakukan pengelolaan Limbah B3 dan telah mendapatkan izin. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Angka 21
Cukup jelas. Angka 22
Cukup jelas. Angka 23
Cukup jelas. Angka 24
Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Kearifan lokal yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah melakukan pembakaran lahan dengan luas maksimal 2 (dua) hektar per kepala keluarga untuk ditanami tanaman jenis varietas lokal dan dikelilingi oleh sekat bakar sebagai pencegahan penjalaran api ke wilayah sekelilingnya. Angka 25
Cukup jelas. Angka 26
Cukup jelas. Angka 27
Cukup jelas. Angka 28
Cukup jelas. Angka 29
Cukup jelas. Angka 30
Dihapus. Angka 31
Cukup jelas. Angka 32
Cukup jelas. Pasal 82B Cukup jelas. Pasal 82C
Cukup jelas. Angka 33
Yang dimaksud dengan "bertanggung jawab mutlak (strict liability)" adalah unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti rugi. Ketentuan Pasal ini merupakan ketentuan khusus (lex spesialis) dalam gugatan mengenai perbuatan melawan hukum pada umumnya. Besarnya nilai ganti rugi yang dapat dibebankan terhadap pencemar atau perusak lingkungan hidup menurut Pasal ini dapat ditetapkan sampai batas tertentu. Angka 34
Dihapus. Angka 35
Dihapus. Angka 36
Cukup jelas. Angka 37
Dihapus. Angka 38
Cukup jelas. Angka 39
Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Angka 1 Pasal 1 Cukup jelas. Angka 2 Pasal 5 Cukup jelas. Angka 3 Pasal 6 Cukup jelas. Angka 4 Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan "bangunan gedung adat" adalah bangunan gedung yang didirikan berdasarkan kaidah-kaidah adat atau tradisi masyarakat sesuai budayanya, misalnya bangunan rumah adat. Ayat (4) Cukup jelas. Angka 5 Pasal 8 Dihapus. Angka 6 Pasal 9 Dihapus. Angka 7 Pasal 10 Dihapus. Angka 8 Pasal 11 Dihapus. Angka 9 Pasal 12 Dihapus. Angka 10 Pasal 13 Dihapus. Angka 11 Pasal 14 Dihapus. Angka 12 Pasal 15 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "dampak penting" adalah perubahan yang sangat mendasar pada suatu lingkungan yang diakibatkan oleh suatu kegiatan. Bangunan gedung yang menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan adalah bangunan gedung yang dapat menyebabkan:
Ayat (2) Cukup jelas Angka 13 Pasal 16 Dihapus. Angka 14 Pasal 17 Dihapus. Angka 15 Pasal 18 Dihapus. Angka 16 Pasal 19 Dihapus. Angka 17 Pasal 20 Dihapus. Angka 18 Pasal 21 Dihapus. Angka 19 Pasal 22 Dihapus. Angka 20 Pasal 23 Dihapus. Angka 21 Pasal 24 Dihapus. Angka 22 Pasal 25 Dihapus. Angka 23 Pasal 26 Dihapus. Angka 24 Pasal 27 Dihapus. Angka 25 Pasal 28 Dihapus. Angka 26 Pasal 29 Dihapus. Angka 27 Pasal 30 Dihapus. Angka 28 Pasal 31 Dihapus. Angka 29 Pasal 32 Dihapus. Angka 30 Pasal 33 Dihapus. Angka 31 Pasal 34 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Ketentuan mengenai Penyedia Jasa Konstruksi mengikuti peraturan perundang-undangan tentang jasa konstruksi. Ayat (4) Cukup jelas. Angka 32 Pasal 35 Ayat (1) Perencanaan pembangunan bangunan gedung adalah kegiatan penyusunan rencana teknis bangunan gedung sesuai dengan fungsi dan persyaratan teknis yang ditetapkan, sebagai pedoman dalam pelaksanaan dan pengawasan pembangunan. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Yang dimaksud dengan "perjanjian tertulis" adalah akta otentik yang memuat ketentuan mengenai hak dan kewajiban setiap pihak, jangka waktu berlakunya perjanjian, dan ketentuan lain yang dibuat dihadapan pejabat yang berwenang. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Yang dimaksud dengan "penyedia jasa perencana konstruksi" antara lain Arsitek, Ahli Struktur dan Ahli Mechanical, Electrical and Plumbing. Ayat (6) Yang dimaksud dengan "pengujian" antara lain berupa hasil uji laboratorium, simulasi, dan/atau analisis. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Prototipe telah menyesuaikan dengan kondisi geografis pada rencana lokasi bangunan gedung. Angka 33 Pasal 36 Dihapus. Angka 34 Pasal 36A Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan "sistem elektronik yang diselenggarakan oleh Pemerintah" merupakan Sistem Informasi Manajemen Bangunan Gedung yang diperuntukkan bagi bangunan gedung non-berusaha, dan pelayanan Perizinan Berusaha terintegrasi secara elektronik yang diperuntukkan bagi bangunan gedung berusaha. Pasal 36B Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas Huruf d Yang dimaksud dengan "pengujian" adalah pelaksanaan pengetesan instalasi mekanis dan elektrik bangunan gedung. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Angka 35 Pasal 37 Ayat (1) Yang dimaksud "laik fungsi" yaitu berfungsinya seluruh atau sebagian dari bangunan gedung yang dapat menjamin dipenuhinya persyaratan tata bangunan, serta persyaratan keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kemudahan bangunan gedung sesuai dengan fungsi yang ditetapkan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Angka 36 Pasal 37A Cukup jelas. Angka 37 Pasal 39 Ayat (1) Huruf a Bangunan gedung yang tidak laik fungsi dan tidak dapat diperbaiki lagi berarti akan membahayakan keselamatan pemilik dan/atau pengguna apabila bangunan gedung tersebut terus digunakan. Huruf b Yang dimaksud "menimbulkan bahaya" adalah ketika dalam pemanfaatan bangunan gedung dan/atau lingkungannya dapat membahayakan keselamatan masyarakat dan lingkungan. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Ayat (2) Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah menetapkan status bangunan gedung dapat dibongkar setelah mendapatkan hasil pengkajian teknis bangunan gedung yang dilaksanakan secara profesional, independen dan objektif. Ayat (3) Dikecualikan bagi rumah tinggal tunggal, khususnya rumah inti tumbuh dan rumah sederhana sehat. Kedalaman dan keluasan tingkatan pengkajian teknis sangat bergantung pada kompleksitas dan fungsi bangunan gedung. Ayat (4) Rencana teknis pembongkaran bangunan gedung termasuk gambar-gambar rencana, gambar detail, rencana kerja dan syarat-syarat pelaksanaan pembongkaran, jadwal pelaksanaan, serta rencana pengamanan lingkungan. Ayat (5) Cukup jelas. Angka 38 Pasal 40 Cukup jelas. Angka 39 Pasal 41 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Tidak dibenarkan memanfaatkan bangunan gedung yang tidak sesuai dengan fungsi yang telah ditetapkan. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Pemeriksaan secara berkala atas kelaikan fungsi bangunan gedung meliputi pemeriksaan terhadap pemenuhan persyaratan administratif dan teknis bangunan gedung sesuai dengan fungsinya, dengan tingkatan pemeriksaan berkala disesuaikan dengan jenis konstruksi, mekanikal dan elektrikal, serta kelengkapan bangunan gedung. Huruf e Perbaikan dilakukan terhadap seluruh, bagian, komponen, atau bahan bangunan gedung yang dinyatakan tidak laik fungsi dari hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh pengkaji teknis, sampai dengan dinyatakan telah laik fungsi. Huruf f Selain pemilik, pengguna juga dapat diwajibkan membongkar bangunan gedung dalam hal yang bersangkutan terikat dalam perjanjian menggunakan bangunan yang tidak laik fungsi. Ayat (3) Cukup jelas. Angka 40 Pasal 43 Ayat (1) Pembinaan dilakukan dalam rangka tata pemerintahan yang baik melalui kegiatan pengaturan, pemberdayaan, dan pengawasan sehingga setiap penyelenggaraan bangunan gedung dapat berlangsung tertib dan tercapai keandalan bangunan gedung yang sesuai dengan fungsinya, serta terwujudnya kepastian hukum. Ayat (2) Masyarakat yang terkait dengan bangunan gedung seperti masyarakat ahli, asosiasi profesi, asosiasi perusahaan, masyarakat pemilik dan pengguna bangunan gedung, dan aparat pemerintah. Ayat (3) Cukup jelas. Angka 41
Pengenaan sanksi tidak berarti membebaskan pemilik dan/atau pengguna bangunan gedung dari kewajibannya memenuhi ketentuan yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini. Angka 42
Cukup jelas. Angka 43
Cukup jelas. Angka 44
Cukup jelas. Pasal 25 Angka 1 Pasal 1 Cukup jelas. Angka 2
Cukup jelas. Angka 3
Cukup jelas. Angka 4
Cukup jelas. Angka 5
Cukup jelas. Angka 6
Cukup jelas. Angka 7
Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan "lembaga pendidikan, lembaga penelitian, dan/atau lembaga pengembangan" adalah lembaga Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan/atau swasta. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Angka 8
Cukup jelas. Angka 9
Cukup jelas. Angka 10
Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan "pengaturan" antara lain peraturan terkait penyelenggaraan profesi Arsitek. Ayat (4) Cukup jelas. Angka 11
Dihapus. Angka 12
Dihapus. Angka 13
Cukup jelas. Angka 14
Dihapus. Angka 15 Pasal 40 Dihapus. Angka 16
Dihapus. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Angka 1
Cukup jelas. Angka 2
Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Yang dimaksud dengan "sistem pemantauan kapal perikanan" adalah salah satu bentuk sistem pengawasan di bidang penangkapan ikan dengan menggunakan peralatan pemantauan kapal perikanan yang telah ditentukan, seperti sistem pemantauan kapal perikanan (vessel monitoring system/VMS). Huruf l
Huruf m
Huruf n Cukup jelas. Huruf o Cukup jelas. Huruf p Ada beberapa cara yang dapat ditempuh dalam melaksanakan rehabilitasi dan peningkatan sumber daya ikan dan lingkungannya, antara lain, dengan penanaman atau reboisasi hutan bakau, pemasangan terumbu karang buatan, pembuatan tempat berlindung atau berkembang biak ikan, peningkatan kesuburan perairan dengan jalan pemupukan atau penambahan jenis makanan, pembuatan saluran ruaya ikan, atau pengerukan dasar perairan. Huruf q Cukup jelas. Huruf r Yang dimaksud dengan "kawasan konservasi perairan" adalah kawasan perairan yang dilindungi, dikelola dengan sistem zonasi, untuk mewujudkan pengelolaan sumber daya ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan. Huruf s Penetapan wabah dan wilayah wabah penyakit ikan bertujuan agar masyarakat mengetahui bahwa dalam wilayah tersebut terjangkit wabah, dan ditetapkan langkah pencegahan terjadinya penyebaran wabah penyakit ikan dari 1 (satu) wilayah ke wilayah lainnya. Huruf t Cukup jelas. Huruf u Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Angka 3
Cukup jelas. Angka 4
Cukup jelas. Angka 5
Cukup jelas. Angka 6
Cukup jelas. Angka 7
Cukup jelas. Angka 8
Cukup jelas. Angka 9
Cukup jelas. Angka 10
Cukup jelas. Angka 11
Cukup jelas. Angka 12
Cukup jelas. Angka 13
Cukup jelas. Angka 14
Ayat (1) Dalam rangka pengendalian pemanfaatan sumber daya ikan, penataan dan pengendalian terhadap pengadaan kapal baru dan/atau bekas perlu dikendalikan agar sesuai dengan daya dukung sumber daya ikan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Angka 15 Pasal 35A
Angka 16
Cukup jelas. Angka 17
Ayat (1) Kewajiban menyimpan alat penangkapan ikan di dalam palka diberlakukan bagi setiap kapal perikanan berbendera asing yang melintasi perairan Indonesia, Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI), dan ZEEI. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Angka 18 Pasal 40
Angka 19 Pasal 41
Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Klasifikasi pelabuhan perikanan termasuk diantaranya pelabuhan perikanan samudera, pelabuhan perikanan nusantara dan pelabuhan perikanan pantai. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Untuk mendukung dan menjamin kelancaran operasional pelabuhan perikanan, ditetapkan batas-batas wilayah kerja dan pengoperasian dalam koordinat geografis. Huruf f Cukup jelas. Ayat (3)
Ayat (4)
Ayat (5) Cukup jelas. Angka 20 Pasal 42 Ayat (1)
Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Yang dimaksud dengan "log booK" adalah laporan harian nakhoda mengenai kegiatan penangkapan ikan atau pengangkutan ikan. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Cukup jelas. Huruf l Cukup jelas. Huruf m Cukup jelas. Huruf n Cukup jelas. Huruf o Cukup jelas. Huruf p Cukup jelas. Ayat (3)
Ayat (4) Syahbandar yang akan diangkat dimaksudkan pengusulannya terlebih dahulu dikoordinasikan dengan Menteri. Ayat (5)
Ayat (6)
Angka 21 Pasal 43 Cukup jelas. Angka 22 Pasal 44 Cukup jelas. Angka 23 Pasal 45 Kapal perikanan yang berlayar tidak dari pelabuhan perikanan termasuk dari pelabuhan yang dibangun pihak swasta hanya dimungkinkan apabila di tempat tersebut tidak ada pelabuhan perikanan. Angka 24 Pasal 49 Cukup jelas. Angka 25 Pasal 89 Cukup jelas. Angka 26 Pasal 92 Cukup jelas. Angka 27 Pasal 93 Cukup jelas. Angka 28
Cukup jelas. Angka 29 Pasal 94A
Angka 30 Pasal 95 Dihapus. Angka 31 Pasal 96 Dihapus. Angka 32 Pasal 97 Cukup jelas. Angka 33 Pasal 98 Cukup jelas. Angka 34 Pasal 100B Cukup jelas. Angka 35 Pasal 100C Cukup jelas. Angka 36 Pasal 101 Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Angka 1 Pasal 14
Angka 2 Pasal 15 Cukup jelas. Angka 3
Cukup jelas. Angka 4
Cukup jelas. Angka 5
Cukup jelas. Angka 6
Cukup jelas. Angka 7 Pasal 30 Cukup jelas. Angka 8
Dihapus. Angka 9
Cukup jelas. Angka 10
Cukup jelas. Angka 11
Cukup jelas. Angka 12
Cukup jelas. Angka 13
Cukup jelas. Angka 14
Dihapus. Angka 15
Ayat (1) Yang dimaksud dengan "skala tertentu" adalah Usaha Perkebunan yang dilakukan oleh Perusahaan Perkebunan sesuai dengan skala usaha yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. Ayat (2)
Ayat (3)
Angka 16 Pasal 48 Cukup jelas. Angka 17 Pasal 49 Dihapus. Angka 18 Pasal 50 Dihapus. Angka 19 Pasal 58 Ayat (1) Kewajiban memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar seluas 20% hanya ditujukan kepada pekebun yang mendapatkan lahan untuk perkebunan yang berasal dari areal penggunaan lain yang berada di luar hak guna usaha dan/atau yang berasal dari areal lahan dari pelepasan hutan. Kewajiban tersebut timbul atas lahan perkebunan yang bersumber dari lahan negara. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Angka 20
Cukup jelas.
Angka 21
Ayat (1) Memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup di dalamnya termasuk mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup yang ditimbulkan oleh kegiatan usaha dari Pelaku Usaha Perkebunan. Dalam hal ini Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah provinsi, dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota wajib membina dan memfasilitasi pemeliharaan kelestarian fungsi lingkungan hidup tersebut, khususnya kepada Pekebun. Ayat (2) Cukup jelas. Angka 22
Dihapus. Angka 23 Pasal 70 Cukup jelas. Angka 24
Ayat (1) Hasil Perkebunan tertentu yang berbahan baku impor antara lain gula tebu. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Angka 25 Pasal 75 Cukup jelas. Angka 26
Cukup jelas. Angka 27
Cukup jelas.
Angka 28
Cukup jelas. Angka 29
Ayat (1) Yang dimaksud dengan "pembinaan teknis" adalah penerapan budi daya yang baik (good agricultural practices), penerapan pascapanen dan pengolahan yang baik (good handling practices) dan good manufacturing practices, dan penerapan pengembangan Perkebunan berkelanjutan. Ayat (2)
Ayat (3)
Angka 30 Pasal 99 Cukup jelas. Angka 31 Pasal 103 Cukup jelas. Angka 32 Pasal 105 Dihapus. Angka 33 Pasal 109 Dihapus. Pasal 30 Angka 1 Pasal 11 Ayat (1)
Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3)
Angka 2
Ayat (1) Apabila dalam jangka waktu 1 (satu) bulan setelah berakhirnya pengumuman, Kantor PVT belum menerima permohonan pemeriksaan tersebut, maka permohonan PVT dianggap ditarik kembali. Ayat (2)
Angka 3 Pasal 40 Ayat (1) Hak PVT pada dasarnya dapat beralih dari, atau dialihkan oleh pemegang hak PVT kepada perorangan atau badan hukum lain. Ayat (2)
Ayat (3)
Ayat (4)
Angka 4 Pasal 43 Ayat (1)
Ayat (2)
Ayat (3) Hal-hal yang diatur dalam Peraturan Pemerintah mengenai perjanjian lisensi meliputi hak dan kewajiban pemberi dan penerima lisensi termasuk bagian-bagian dari pelaksanaan hak PVT yang dilisensikan, jangka waktu serta bentuk perjanjian lisensi tersebut. Angka 5 Pasal 63 Cukup jelas. Pasal 31 Angka 1 Pasal 19 Cukup jelas. Angka 2 Pasal 22 Cukup jelas. Angka 3 Pasal 32 Cukup jelas. Angka 4 Pasal 43 Cukup jelas. Angka 5 Pasal 44 Cukup jelas. Angka 6 Pasal 86 Ayat (1)
Ayat (2)
Ayat (3)
Angka 7 Pasal 102 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2)
Ayat (3)
Ayat (4)
Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6)
Ayat (7)
Angka 8 Pasal 108 Cukup jelas. Angka 9 Pasal 111 Dihapus. Pasal 32 Angka 1 Pasal 15 Cukup jelas. Angka 2 Pasal 30 Ayat (1)
Ayat (2)
Ayat (3)
Angka 3 Pasal 101 Dihapus. Pasal 33 Angka 1 Pasal 15 Cukup jelas. Angka 2 Pasal 33 Cukup jelas. Angka 3 Pasal 35 Cukup jelas. Angka 4 Pasal 35A Cukup jelas. Angka 5 Pasal 48 Dihapus. Angka 6 Pasal 49 Ayat (1)
Ayat (2)
Angka 7 Pasal 51 Dihapus. Angka 8 Pasal 52 Cukup jelas. Angka 9 Pasal 54 Ayat (1)
Ayat (2)
Ayat (3)
Ayat (4)
Angka 10 Pasal 56 Ayat (1)
Ayat (2)
Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Yang dimaksud dengan "bentuk kemitraan lainnya" seperti kontrak budi daya, bagi hasil, kerja sama operasional, usaha patungan (joint venture), dan penyumberluaran (outsourcing). Kontrak budi daya merupakan perjanjian jual beli dengan pemesanan pada awal penanaman. Kerja sama operasional meliputi kerja sama pembiayaan, penyediaan sarana produksi, teknis budi daya, manajemen, sampai dengan pemasaran.
Ayat (4)
Angka 11 Pasal 57 Ayat (1)
Ayat (2)
Ayat (3)
Ayat (4)
Ayat (5)
Angka 12 Pasal 63 Dihapus. Angka 13 Pasal 68 Cukup jelas. Angka 14 Pasal 73 Cukup jelas. Angka 15 Pasal 88 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Ketentuan mengenai keamanan dan perlindungan terhadap kesehatan manusia, hewan, tumbuhan, dan lingkungan mengacu pada perjanjian internasional Sanitary and Phitosanitary dari Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Penetapan "pintu masuk" bagi impor produk hortikultura dimaksudkan untuk memudahkan pengawasan terkait dengan masuknya OPT Karantina, keamanan hayati, spesies asing yang invasif, dan keamanan pangan. Ayat (4) Cukup jelas. Angka 16 Pasal 90 Cukup jelas. Angka 17 Pasal 92 Cukup jelas. Angka 18 Pasal 100 Cukup jelas. Angka 19 Pasal 101 Cukup jelas. Angka 20 Pasal 122 Cukup jelas. Angka 21
Dihapus. Angka 22 Pasal 131
Angka 1 Pasal 6 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "dipertahankan keberadaan dan kemanfaatannya secara keberlanjutan", adalah upaya yang perlu dilakukan oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota untuk memasukkan kawasan penggembalaan umum dalam program pembangunan daerah. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan "kastrasi" adalah tindakan mencegah berfungsinya testis dengan jalan menghilangkannya atau menghambat fungsinya. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas.
Yang dimaksud dengan "penetapan lahan sebagai kawasan penggembalaan umum" yaitu upaya yang harus dilakukan oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota untuk menyediakan lahan penggembalaan umum, antara lain, misalnya tanah pangonan, tanah titisara atau tanah kas desa. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Angka 2 Pasal 13
Angka 3 Pasal 15 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan "mutu genetik" adalah ekspresi keunggulan sifat individu. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan "kekurangan Benih" yaitu ketidak cukupan jumlah Benih (semen atau embrio) Ternak bukan asli atau lokal (eksotik) yang digunakan untuk kebutuhan pemuliaan dalam rangka meningkatkan produktivitas dan/atau mutu genetik. Huruf d Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Angka 4 Pasal 16
Yang dimaksud dengan "Ternak lokal" adalah hasil persilangan antara Ternak asli luar negeri dan Ternak asli Indonesia, yang telah dikembangbiakkan di Indonesia sampai generasi kelima atau lebih yang teradaptasi pada lingkungan dan/atau manajemen setempat. Ayat (2) Ketentuan larangan terhadap pengeluaran Benih dan Bibit terbaik dimaksudkan untuk mempertahankan populasi dan mutu genetik Ternak asli dan lokal. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Angka 5 Pasal 22
Cukup jelas. Ayat (2) Cara pembuatan pakan yang baik, misalnya dalam hal proses produksi, dan pembuatan pakan harus menjamin pakan mengandung cemaran biologi, fisik, kimia di atas ambang batas maksimal yang diperbolehkan, serta memperhatikan dampak sosial akibat buangan bahan baku dan bahan ikutan yang digunakan. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Huruf a Yang dimaksud dengan "pakan yang tidak layak dikonsumsi" diantaranya yaitu pakan yang:
Huruf b
Huruf c
Ayat (5) Cukup jelas. Angka 6 Pasal 29 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "pihak tertentu", antara lain, Tentara Nasional Indonesia, kepolisian, lembaga kepabeanan, lembaga penelitian, dan lembaga pendidikan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan "tidak mengganggu ketertiban umum" antara lain adalah kegiatan budi daya Ternak dilakukan dengan memerhatikan kaidah agama dan/atau kepercayaan serta sistem nilai yang dianut oleh masyarakat setempat serta ketentuan peraturan perundang-undangan. Ayat (5) Cukup jelas. Angka 7 Pasal 30 Cukup jelas. Angka 8 Pasal 36B Cukup jelas. Angka 9 Pasal 36C Cukup jelas. Angka 10 Pasal 37 Yang dimaksud dengan "Industri pengolahan Produk Hewan" adalah industri yang melakukan kegiatan penanganan dan pemrosesan hasil hewan yang ditujukan untuk mencapai nilai tambah yang lebih tinggi, denganmemperhatikan aspek produk yang aman, sehat, utuh, dan halal bagi yang dipersyaratkan. Angka 11 Pasal 52 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2)
Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan "tidak memenuhi standar mutu", yaitu, antara lain, kedaluwarsa dan/atau telah rusak atau mengalami perubahan fisik, kimiawi, dan biologik. Ayat (3) Cukup jelas. Angka 12 Pasal 54 Cukup jelas. Angka 13 Pasal 59 Cukup jelas. Angka 14 Pasal 60 Ayat (1)
Ayat (2)
Ayat (3)
Angka 15 Pasal 62 Ayat (1) Kewajiban Pemerintah Daerah kabupaten/kota memiliki rumah potong hewan dimaksudkan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat dalam penyediaan pangan asal hewan yang aman, sehat, utuh dan/atau halal. Ayat (2)
Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Angka 16 Pasal 69 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "pelayanan kesehatan hewan" yaitu serangkaian tindakan yang diperlukan, antara lain, untuk:
Yang dimaksud dengan "pelayanan jasa laboratorium veteriner" adalah layanan jasa diagnostik dan/atau penelitian dan pengembangan dalam rangka pelayanan kesehatan hewan. Ayat (2) Kualifikasi Perizinan Berusaha antara lain meliputi:
Cukup jelas. Angka 17
Cukup jelas. Angka 18
Cukup jelas. Angka 19 Pasal 88 Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Angka 1 Pasal 15 Ayat (1)
Penunjukan kawasan hutan adalah kegiatan persiapan pengukuhan kawasan hutan yang dilakukan secara digital, antara lain berupa:
Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Ayat (2)
Ayat (3)
Ayat (4)
Ayat (5)
Angka 2 Pasal 18 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "penutupan hutan" atau forest coverage adalah penutupan lahan oleh vegetasi dengan komposisi dan kerapatan tertentu, sehingga dapat tercipta fungsi hutan antara lain iklim mikro, tata air, dan tempat hidup satwa sebagai satu ekosistem hutan. Ayat (2)
Ayat (3)
Angka 3 Pasal 19 Ayat (1)
Ayat (2) Cukup jelas. Angka 4 Pasal 26 Ayat (1)
Pemanfaatan jasa lingkungan pada hutan lindung adalah bentuk usaha yang memanfaatkan potensi jasa lingkungan dengan tidak merusak lingkungan dan mengurangi fungsi utamanya, seperti:
Pemungutan hasil hutan bukan kayu pada hutan lindung adalah segala bentuk kegiatan untuk mengambil hasil hutan bukan kayu dengan tidak merusak fungsi utama kawasan, seperti:
Usaha pemanfaatan dan pemungutan pada hutan lindung dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekaligus menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk menjaga dan meningkatkan fungsi lindung, sebagai amanah untuk mewujudkan keberlanjutan sumber daya alam dan lingkungan bagi generasi sekarang dan generasi yang akan datang. Ayat (2)
Angka 5 Pasal 27 Cukup jelas. Angka 6 Pasal 28 Cukup jelas. Angka 7 Pasal 29 Cukup jelas. Angka 8 Pasal 29A Cukup jelas. Pasal 29B Cukup jelas. Angka 9 Pasal 30 Kerja sama dengan koperasi masyarakat setempat dimaksudkan agar masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan merasakan dan mendapatkan manfaat hutan secara langsung, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup mereka, serta sekaligus dapat menumbuhkan rasa ikut memiliki. Dalam kerjasama tersebut kearifan tradisional dan nilai-nilai keutamaan, yang terkandung dalam budaya masyarakat dan sudah mengakar, dapat dijadikan aturan yang disepakati bersama. Kewajiban badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan badan usaha milik swastabekerja sama dengan koperasi bertujuan untuk memberdayakan koperasi masyarakat setempat agar secara bertahap dapat menjadi koperasi yang tangguh, mandiri, dan profesional. Koperasi masyarakat setempat yang telah menjadi koperasi tangguh, mandiri, dan profesional diperlakukan setara dengan badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan badan usaha milik swasta. Dalam hal koperasi masyarakat setempat belum terbentuk, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan badan usaha milik swasta turut mendorong segera terbentuknya koperasi tersebut. Angka 10 Pasal 31 Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "aspek kepastian usaha" antara lain:
Ayat (2)
Angka 11 Pasal 32 Khusus bagi pemegang Perizinan Berusaha berskala besar, kewajiban untuk menjaga, memelihara, dan melestarikan hutan tempat usahanya, mencakup juga pengertian untuk memberdayakan masyarakat di dalam dan di sekitar hutan tempat usahanya. Angka 12 Pasal 33 Ayat (1)
Ayat (2) Yang dimaksud dengan "pengolahan hasil hutan" adalah pengolahan hulu hasil hutan.
Cukup jelas. Angka 13 Pasal 35 Cukup jelas. Angka 14 Pasal 38 Ayat (1) Kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan yang dapat dilaksanakan di dalam kawasan hutan lindung dan hutan produksi ditetapkan secara selektif. Kegiatan-kegiatan yang dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan serius dan mengakibatkan hilangnya fungsi hutan yang bersangkutan dilarang. Ayat (2)
Ayat (3)
Ayat (4)
Angka 15 Pasal 48 Ayat (1)
Ayat (2)
Ayat (3)
Ayat (4)
Ayat (5)
Ayat (6)
Pasal 49 Cukup jelas. Angka 17 Pasal 50 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "orang" adalah subjek hukum baik orang pribadi, badan hukum, maupun badan usaha. Ayat (2)
Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan "pejabat yang berwenang" adalah pejabat pemerintah yang diberi wewenang oleh peraturan perundang-undangan dalam pemberian Perizinan Berusaha. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Ayat (3)
Angka 18 Pasal 50A Cukup jelas. Angka 19 Pasal 78 Cukup jelas. Angka 20 Pasal 80 Cukup jelas. Pasal 37 Angka 1 Pasal 1 Cukup jelas. Angka 2 Pasal 7 Yang dimaksud dengan "masyarakat" adalah masyarakat setempat, masyarakat hukum adat, dan masyarakat umum. Masyarakat setempat merupakan masyarakat yang tinggal di dalam dan/atau sekitar hutan yang merupakan kesatuan komunitas sosial berdasarkan mata pencaharian yang bergantung pada hutan, kesejarahan, keterikatan tempat tinggal, serta pengaturan tata tertib kehidupan bersama dalam wadah kelembagaan.Masyarakat hukum adat adalah masyarakat tradisional yang masih terkait dalam bentuk paguyuban, memiliki kelembagaan dalam bentuk pranata dan perangkat hukum adat yang masih ditaati, dan masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya yang keberadaannya dikukuhkan dengan Peraturan Daerah. Masyarakat umum adalah masyarakat di luar masyarakat setempat dan masyarakat hukum adat. Badan hukum yang dimaksud dalam Undang-Undang ini adalah badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, badan usaha milik swasta, dan koperasi. Angka 3 Pasal 12 Huruf a Yang dimaksud dengan "Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan hutan" adalah perizinan untuk memanfaatkan hutan dalam kawasan hutan produksi yang meliputi kegiatan berupa: pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu, pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, pemungutan hasil hutan kayu, dan/atau pemungutan hasil hutan bukan kayu. Huruf b
Huruf c
Huruf d Yang dimaksud dengan 'memuat" adalah memasukkan ke dalam alat angkut. Huruf e
Huruf f
Huruf g
Huruf h
Huruf i
Huruf j
Huruf k
Huruf l
Huruf m
Angka 4 Pasal 12A Cukup jelas. Angka 5 Pasal 17 Cukup jelas. Angka 6 Pasal 17A Cukup jelas. Angka 7 Pasal 18 Cukup jelas. Angka 8 Pasal 24 Huruf a
Huruf b
Huruf c
Angka 9 Pasal 28 Huruf a Cukup jelas. Huruf b
Huruf c Yang dimaksud dengan "melindungi" adalah kegiatan yang dapat menghambat berlangsungnya proses penyidikan terhadap pelaku yang telah diketahui sebagai daftar pencarian orang (DPO), seperti menyembunyikan pelaku. Huruf d
Huruf e
Huruf f
Huruf g
Huruf h
Angka 10 Pasal 53 Dihapus. Angka 11 Pasal 54 Dihapus. Angka 12 Pasal 82 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2)
Ayat (3)
Angka 13 Pasal 83 Cukup jelas. Angka 14 Pasal 84 Cukup jelas. Angka 15 Pasal 85 Cukup jelas. Angka 16 Pasal 92 Cukup jelas. Angka 17 Pasal 93 Cukup jelas. Angka 18 Pasal 96 Cukup jelas. Angka 19 Pasal 105 Cukup jelas. Angka 20 Pasal 110A Ayat (1)
Ayat (2)
Ayat (3)
Pasal 110B Ayat (1)
Huruf a Cukup jelas. Huruf b Contoh penghitungan pembayaran denda administratif pada usaha perkebunan kelapa sawit yang berada di dalam kawasan hutan, antara lain dilakukan berdasarkan kriteria sebagai berikut:
Rumus perhitungan denda pada kegiatan perkebunan kelapa sawit sebagai berikut:
Keterangan:
Huruf c Untuk memberikan efek eksekutorial sanksi administratif pada ayat (1) huruf a dan huruf b, perlu diatur sanksi paksaan oleh Pemerintah Pusat termasuk pemberlakuan paksa badan (gizelling) bagi orang yang tidak melaksanakan sanksi administratif. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3)
Angka 21 Pasal 111 Dihapus. Angka 22 Pasal 112 Dihapus. Pasal 38 Cukup jelas. Pasal 39 Angka 1 Pasal 128A Cukup jelas. Angka 2 Pasal 162 Cukup jelas. Pasal 40 Angka 1 Pasal 1 Cukup jelas. Angka 2 Pasal 4 Ayat (1) Berdasarkan jiwa Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Minyak dan Gas Bumi sebagai sumber daya alam strategis yang terkandung di dalam bumi Wilayah Hukum Pertambangan Indonesia merupakan kekayaan nasional yang dikuasai negara. Penguasaan oleh negara sebagaimana dimaksud di atas adalah agar kekayaan nasional tersebut dimanfaatkan bagi sebesar-besar kemakmuran seluruh rakyat Indonesia. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Angka 3 Pasal 5 Cukup jelas. Angka 4 Pasal 23 Cukup jelas. Angka 5 Pasal 23A Cukup jelas. Angka 6 Pasal 25 Cukup jelas. Angka 7 Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53 Cukup jelas. Angka 9 Pasal 55 Cukup jelas. Pasal 41 Angka 1 Pasal 4 Cukup jelas. Angka 2 Pasal 5 Cukup jelas. Angka 3 Pasal 6 Huruf a Pembuatan kebijakan nasional, antara lain berupa:
Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Pendorongan dilakukan dalam rangka untuk meningkatkan nilai tambah produksi kegiatan penyelenggaraan Panas Bumi. Angka 4 Pasal 7 Cukup jelas. Angka 5 Pasal 8 Cukup jelas. Angka 6 Pasal 11 Cukup jelas. Angka 7 Pasal 12 Dihapus. Angka 8 Pasal 13 Dihapus. Angka 9 Pasal 14 Dihapus. Angka 10 Pasal 15 Cukup jelas. Angka 11 Pasal 23 Cukup jelas. Angka 12 Pasal 24 Cukup jelas. Angka 13 Pasal 25 Dihapus. Angka 14 Pasal 36 Cukup jelas. Angka 15 Pasal 37 Cukup jelas. Angka 16 Pasal 38 Cukup jelas. Angka 17 Pasal 40 Cukup jelas. Angka 18 Pasal 42 Cukup jelas. Angka 19 Pasal 43 Cukup jelas. Angka 20 Pasal 46 Yang dimaksud dengan "menghalangi atau merintangi pengusahaan Panas Bumi" adalah segala bentuk tindakan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang dapat menimbulkan kerugian secara materiil. Angka 21 Pasal 47 Cukup jelas. Angka 22 Pasal 48 Cukup jelas. Angka 23 Pasal 49 Cukup jelas. Angka 24 Pasal 50 Cukup jelas. Angka 25 Pasal 56 Cukup jelas. Angka 26 Pasal 59 Cukup jelas. Angka 27 Pasal 60 Dihapus. Angka 28 Pasal 67 Cukup jelas. Angka 29 Pasal 68 Cukup jelas. Angka 30 Pasal 69 Cukup jelas. Angka 31 Pasal 70 Cukup jelas. Angka 32 Pasal 71 Cukup jelas. Angka 33 Pasal 72 Cukup jelas. Angka 34 Pasal 73 Cukup jelas. Angka 35 Pasal 74 Dihapus. Pasal 42 Angka 1 Pasal 1 Cukup jelas. Angka 2 Pasal 3 Ayat (1)
Ayat (2) Cukup jelas. Angka 3 Pasal 4 Ayat (1) Badan usaha milik negara dalam ketentuan ini adalah yang berusaha di bidang penyediaan tenaga listrik. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Angka 4
Cukup jelas. Angka 5
Ayat (1) Yang dimaksud dengan 'kebijakan energi nasional" adalah kebijakan energi nasional sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Energi. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Angka 6
Cukup jelas. Angka 7
Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Pemberian prioritas kepada badan usaha milik negara merupakan perwujudan penguasaan negara terhadap penyediaan tenaga listrik. Badan usaha milik negara adalah badan usaha yang semata-mata berusaha di bidang penyediaan tenaga listrik. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Angka 8
Ayat (1) Yang dimaksud dengan "kepentingan sendiri" adalah penyediaan tenaga listrik untuk digunakan sendiri dan tidak untuk diperjualbelikan. Ayat (2) Yang dimaksud dengan 'lembaga/badan usaha lainnya" adalahperwakilan lembaga asing atau badan usaha asing. Ayat (3) Cukup jelas. Angka 9 Pasal 16 Cukup jelas. Angka 10 Pasal 18 Cukup jelas. Angka 11 Pasal 19 Cukup jelas. Angka 12 Pasal 20 Dihapus. Angka 13 Pasal 21 Dalam penetapan Perizinan Berusaha, Pemerintah memperhatikan kemampuan dalam penyediaan tenaga listrik pemegang Perizinan Berusaha penyediaan tenaga listrik yang memiliki wilayah usaha setempat. Angka 14 Pasal 22 Cukup jelas. Angka 15 Pasal 23 Cukup jelas. Angka 16 Pasal 24 Cukup jelas. Angka 17 Pasal 25 Cukup jelas. Angka 18 Pasal 27 Cukup jelas. Angka 19 Pasal 28 Huruf a
Huruf b
Huruf c
Huruf d
Angka 20 Pasal 29 Ayat (1)
Ayat (2)
Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan 'instalasi tenaga listrik milik konsumen" adalah instalasi tenaga listrik setelah alat pengukur atau alat pembatas penggunaan tenaga listrik. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas.
Ayat (3)
Ayat (4)
Angka 21 Pasal 30 Ayat (1)
Ayat (2)
Ayat (3)
Ayat (4)
Ayat (5)
Ayat (6)
Angka 22 Pasal 32 Cukup jelas. Angka 23 Pasal 33 Ayat (1)
Ayat (2)
Angka 24 Pasal 34 Ayat (1) Tarif tenaga listrik untuk konsumen meliputi semua biaya yang berkaitan dengan pemakaian tenaga listrik oleh konsumen, antara lain, biaya beban (Rp/kVA) dan biaya pemakaian (Rp/kWh), biaya pemakaian daya reaktif (Rp/kVArh), dan/atau biaya kVA maksimum yang dibayar berdasarkan harga langganan (Rp/bulan) sesuai dengan batasan daya yang dipakai atau bentuk lainnya. Ayat (2)
Ayat (3)
Angka 25 Pasal 35 Cukup jelas. Angka 26 Pasal 37 Cukup jelas. Angka 27 Pasal 44 Cukup jelas. Angka 28 Pasal 45 Cukup jelas. Angka 29 Pasal 46 Cukup jelas. Angka 30 Pasal 48 Cukup jelas. Angka 31 Pasal 49 Cukup jelas. Angka 32 Pasal 50 Cukup jelas. Angka 33 Pasal 51A Cukup jelas. Angka 34 Pasal 52 Dihapus. Angka 35 Pasal 54 Cukup jelas. Pasal 43 Angka 1
Cukup jelas. Angka 2
Ayat (1) Yang di maksud dengan "Badan Pengawas" adalah lembaga pemerintah yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Ayat (2) Cukup jelas. Angka 3
Cukup jelas.
Angka 4
Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Kewajiban mengalihkan kepada negara atau badan usaha milik negara tidak berlaku bagi orang perseorangan atau badan usaha yang sudah memiliki izin sebelum Undang-Undang ini berlaku. Ayat (7) Cukup jelas. Angka 5
Dihapus. Angka 6
Ayat (1) Pengawasan ini perlu dilakukan mengingat bahwa tenaga nuklir itu selain bermanfaat juga mempunyai bahaya radiasi. Pengawasan ini dimaksudkan agar bahaya itu tidak terjadi. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "peraturan" yaitu bahwa pemerintah dalam melakukan pengawasan mengeluarkan peraturan di bidang keselamatan nuklir agar tujuan pengawasan tercapai. Angka 7 Pasal 17 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "hal tertentu" adalah pemanfaatan zat, alat, atau benda yang pancaran radiasi dan aktivitasnya lebih kecil daripada pancaran radiasi dan aktivitas yang seharusnya memiliki izin, antara lain, alat navigasi, jam, kaos lampu petromaks, dan pendeteksi asap. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "pembangunan" adalah termasuk penentuan tapak dan konstruksi instalasi nuklir. Ayat (3) Cukup jelas. Angka 8
Dihapus. Angka 9
Ayat (1) Inspeksi dilakukan dalam rangka pengawasan terhadap ditaatinya syarat-syarat dalam perizinan dan peraturan perundang-undangan di bidang keselamatan nuklir. Ayat (2) Cukup jelas. Angka 10
Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Penentuan tempat penyimpanan lestari limbah radioaktif tingkat tinggi perlu ditetapkan oleh Pemerintah Pusat karena menyangkut perubahan suatu daerah yang semula dapat dimanfaatkan menjadi suatu daerah yang sama sekali tidak dapat dimanfaatkan untuk kepentingan lain. Limbah radioaktif yang berasal dari luar negeri tidak diizinkan disimpan di wilayah hukum Republik Indonesia. Angka 11 Pasal 41 Cukup jelas. Pasal 44 Angka 1
Cukup jelas. Angka 2
Cukup jelas. Angka 3
Cukup jelas. Angka 4
Cukup jelas. Angka 5
Cukup jelas. Angka 6
Ayat (1) Yang dimaksud dengan "seluruh rangkaian" adalah kegiatan pengawasan di pabrik dan koordinasi pengawasan di pasar dengan kementerian dan lembaga pemerintah nonkementerian terkait. Ayat (2) Cukup jelas. Angka 7
Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Usaha patungan antara Pemerintah Pusat dan swasta melalui kepemilikan modal mayoritas oleh Pemerintah Pusat. Huruf c Yang dimaksud dengan "pembatasan kepemilikan" adalah tidak diperbolehkannya penanaman modal asing. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Penetapan jumlah produksi, distribusi, dan harga produk dilakukan dalam rangka memelihara kemantapan stabilitas ekonomi nasionalserta ketahanan nasional. Ayat (8) Cukup jelas. Ayat (9) Cukup jelas. Angka 8
Cukup jelas.
Angka 9
Dihapus. Angka 10
Cukup jelas. Angka 11
Cukup jelas. Angka 12
Cukup jelas. Angka 13
Ayat (1) Yang dimaksud dengan "Perusahaan Industri yang akan menjalankan Industri" adalah Industri baru atau yang melakukan perluasan pada lokasi yang berbeda. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Angka 14
Cukup jelas. Angka 15
Cukup jelas. Angka 16
Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Pengawasan dilakukan antara lain melalui audit, inspeksi, pengamatan intensif (surveillance), atau pemantauan (monitoring). Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 45 Cukup jelas. Pasal 46 Angka 1
Ayat (1) Yang dimaksud dengan "label berbahasa Indonesia" adalah setiap keterangan mengenai Barang yang berbentuk tulisan berbahasa Indonesia, kombinasi gambar dan tulisan berbahasa Indonesia, atau bentuk lain yang memuat informasi tentang Barang dan keterangan Pelaku Usaha, serta informasi lainnya yang disertakan pada Barang, dimasukkan ke dalam, ditempelkan/melekat pada Barang, tercetak pada Barang, dan/atau merupakan bagian kemasan Barang. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Angka 2
Cukup jelas. Angka 3
Ayat (1) Pengaturan tentang pengembangan, penataan, dan pembinaan yang setara dan berkeadilan terhadap Pasar rakyat, pusat perbelanjaan, toko swalayan, dan perkulakan dimaksudkan untuk menyederhanakan dan kepastian proses Perizinan Berusaha yang diajukan oleh Pelaku Usaha. Penyederhanaan juga mencakup pengintegrasian dengan persyaratan lain yang diperlukan dan dilakukan menggunakan sistem elektronik. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "tata ruang" adalah wujud struktur ruang dan pola ruang dengan memperhatikan jarak dan lokasi pendirian sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Penataan Ruang. Ayat (3) Cukup jelas. Angka 4
Cukup jelas. Angka 5
Cukup jelas. Angka 6
Cukup jelas. Angka 7
Cukup jelas. Angka 8
Cukup jelas. Angka 9
Cukup jelas. Angka 10
Cukup jelas. Angka 11
Cukup jelas. Angka 12
Cukup jelas. Angka 13
Ayat (1) Permohonan impor barang diajukan langsung kepada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan, dan persetujuan Pemerintah Pusat diberikan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan setelah ada rekomendasi dari kementerian lain jika diperlukan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Angka 14
Cukup jelas. Angka 15
Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "dalam hal tertentu" adalah dalam hal barang yang dibutuhkan oleh Pelaku Usaha berupa Barang modal bukan baru yang belum dapat dipenuhi dari sumber dalam negeri sehingga perlu diimpor dalam rangka proses produksi industri untuk tujuan pengembangan ekspor, peningkatan daya saing, efisiensi usaha, investasi dan relokasi industri, pembangunan infrastruktur, dan/atau diekspor kembali. Ayat (3) Cukup jelas. Angka 16
Dihapus. Angka 17
Cukup jelas. Angka 18
Cukup jelas. Angka 19 Pasal 53 Cukup jelas. Angka 20
Cukup jelas. Angka 21
Cukup jelas. Angka 22
Cukup jelas. Angka 23
Cukup jelas. Angka 24
Cukup jelas. Angka 25
Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan "pihak lain" adalah perguruan tinggi, dunia usaha, asosiasi usaha, dan pemangku kepentingan lainnya. Ayat (5) Cukup jelas. Angka 26
Cukup jelas. Angka 27
Cukup jelas. Angka 28
Cukup jelas. Angka 29
Cukup jelas. Angka 30
Cukup jelas. Angka 31
Cukup jelas. Angka 32
Cukup jelas. Angka 33
Cukup jelas. Angka 34
Cukup jelas. Angka 35
Cukup jelas. Angka 36
Cukup jelas. Pasal 47 Angka 1
Huruf a Jenis-jenis alat ukur, takar, timbang, dan perlengkapannya antara lain ialah meter air, meter gas, meter listrik, meter taxi, meter pulsa telpon, alat pengukur kelembaban (moisture tester) perlu ditunjuk tempat-tempat dan daerah-daerah di mana dilaksanakan tera dan tera ulang. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Angka 2
Ayat (1) Karena penggunaan alat ukur takar, timbang, dan perlengkapannya berada di bawah pengawasan instansi Pemerintah Pusat yang bertanggungjawab di bidang metrologi maka seharusnyalah pembuatan alat-alat tersebut dengan Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat supaya mudah mengawasi dan membina, sehingga alat-alat itu dibuat oleh orang-orang yang benar-benar mempunyai keahlian. Demikian pula untuk memperbaiki alat ukur, takar, timbang dan perlengkapannya misalnya memperbaiki timbangan perlu mendapat Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat, yaitu supaya mudah mengawasi dan membimbingnya. Ayat (2) Cukup jelas. Angka 3
Perizinan Berusaha diperlukan untuk menghindari masuk dan beredarnya alat ukur, takar, timbang dan perlengkapannya yang tidak memenuhi persyaratan, sebab jika ini terjadi akan menyulitkan dalam melaksanakan Undang-Undang ini. Angka 4
Cukup jelas. Pasal 48 Angka 1
Cukup jelas. Angka 2
Huruf a Kementerian dan/atau lembaga terkait antara lain kementerian dan/atau lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian, perdagangan, kesehatan, pertanian, standardisasi dan akreditasi, koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah, serta pengawasan obat dan makanan. Huruf b LPH bersifat mandiri. Huruf c Yang dimaksud dengan MUI termasuk MUI di provinsi dan MPU (Majelis Permusyawaratan Ulama) Aceh. Angka 3
Cukup jelas. Angka 4
Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "lembaga keagamaan Islam berbadan hukum" diantaranya organisasi bermasa Islam berbadan hukum dan yayasan Islam yang mengelola perguruan tinggi. Ayat (3) Cukup jelas. Angka 5
Cukup jelas. Angka 6
Cukup jelas. Angka 7
Cukup jelas. Angka 8
Cukup jelas. Angka 9
Cukup jelas. Angka 10 Pasal 29 Cukup jelas. Angka 11
Cukup jelas. Angka 12 Pasal 31 Cukup jelas. Angka 13
Cukup jelas. Angka 14
Cukup jelas. Angka 15
Cukup jelas. Angka 16
Cukup jelas. Angka 17
Cukup jelas. Angka 18
Cukup jelas. Angka 19
Cukup jelas. Angka 20
Cukup jelas. Angka 21
Cukup jelas. Angka 22
Cukup jelas. Angka 23
Cukup jelas. Angka 24
Cukup jelas. Pasal 49 Cukup jelas. Pasal 50 Angka 1
Cukup jelas. Angka 2
Cukup jelas. Angka 3
Ayat (1) Pemberian kemudahan Perizinan Berusaha bagi badan hukum yang mengajukan rencana pembangunan perumahan untuk MBR dimaksudkan untuk mendorong iklim berusaha bagi badan hukum di bidang perumahan dan permukiman sekaligus dalam upaya mewujudkan pemenuhan kebutuhan perumahan bagi MBR. Ayat (2) Cukup jelas. Angka 4 Pasal 35
Angka 5 Pasal 36
Angka 6 Pasal 40
Angka 7 Pasal 42
Yang dimaksud dengan "perjanjian pendahuluan jual beli" adalah kesepakatan melakukan jual beli rumah yang masih dalam proses pembangunan antara calon pembeli rumah dengan penyedia rumah yang diketahui oleh pejabat yang berwenang. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan "hal yang diperjanjikan" adalah kondisi rumah yang dibangun dan dijual kepada konsumen, yang dipasarkan melalui media promosi, meliputi lokasi rumah, kondisi tanah/kaveling, bentuk rumah, spesifikasi bangunan, harga rumah, prasarana, sarana, dana utilitas umum perumahan, fasilitas lain, waktu serah terima rumah, serta penyelesaian sengketa. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan "keterbangunan perumahan" adalah persentase telah terbangunnya rumah dari seluruh jumlah unit rumah serta ketersediaan prasarana, sarana, dan utilitas umum dalam suatu perumahan yang direncanakan. Ayat (3) Cukup jelas. Angka 8 Pasal 53
Pengendalian perumahan dimaksudkan untuk menjaga dan meningkatkan kualitas perumahan agar dapat berfungsi sebagaimana mestinya, sekaligus mencegah terjadinya penurunan kualitas dan terjadinya pemanfaatan yang tidak sesuai. Ayat (2) Huruf a Perizinan berusaha diberikan kepada pelaku usaha, sedangkan Persetujuan diberikan kepada non Pelaku Usaha. Huruf b Yang dimaksud dengan "penertiban" adalah cara pengendalian yang dilakukan melalui tindakan penegakan hukum bagi perumahan yang dalam pembangunan dan pemanfaatannya tidak sesuai dengan rencana atau ketentuan peraturan perundang-undangan. Huruf c Yang dimaksud dengan "penataan" adalah cara pengendalian yang dilakukan melalui perbaikan dalam penyelenggaraan agar sesuai dengan tujuan penyelenggaraan perumahan. Ayat (3) Cukup jelas. Angka 9 Pasal 55 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Pelaksanaan ketentuan ini hanya berlaku dalam kondisi normal, namun tidak berlaku dalam kondisi kahar, antara lain seperti: bencana alam, huru-hara, perang, dan pandemi. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Angka 10 Pasal 107
Angka 11 Pasal 109
Angka 12 Pasal 114
Angka 13 BAB IXA
Angka 14 Pasal 134
Angka 15 Pasal 150 Cukup jelas. Angka 16 Pasal 151
Angka 17 Pasal 153
Angka 1 Pasal 16 Cukup jelas. Angka 2 Pasal 24
Huruf a Yang dimaksud dengan "persyaratan administratif" adalah perizinan yang diperlukan sebagai syarat untuk melakukan pembangunan rumah susun. Huruf b Yang dimaksud dengan "persyaratan teknis" adalah persyaratan yang berkaitan dengan struktur bangunan, keamanan dan keselamatan bangunan, kesehatan lingkungan, kenyamanan, dan lain-lain yang berhubungan dengan rancang bangun, termasuk kelengkapan prasarana dan fasilitas lingkungan. Huruf c Yang dimaksud dengan "persyaratan ekologis" adalah persyaratan yang memenuhi analisis dampak lingkungan dalam hal pembangunan rumah susun.
Ayat (2) Cukup jelas. Angka 3 Pasal 26
Angka 4 Pasal 28
Angka 5 Pasal 29 Cukup jelas. Angka 6 Pasal 30
Angka 7 Pasal 31 Cukup jelas. Angka 8 Pasal 32
Angka 9 Pasal 33
Angka 10 Pasal 39 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "laik fungsi" adalah berfungsinya seluruh atau sebagian bangunan rumah susun yang dapat menjamin dipenuhinya persyaratan tata bangunan dan keandalan bangunan rumah susun sesuai dengan fungsi yang ditetapkan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Angka 11 Pasal 40
Yang dimaksud dengan "lingkungan rumah susun" adalah sebidang tanah dengan batas-batas yang jelas yang di atasnya dibangun rumah susun, termasuk prasarana, sarana, dan utilitas umum yang secara keseluruhan merupakan kesatuan tempat permukiman. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Angka 12 Pasal 43
Angka 13 Pasal 54
Angka 14 Pasal 56 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "pemeliharaan" adalah kegiatan menjaga keandalan bangunan gedung beserta prasarana dan sarananya agar selalu laik fungsi. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Angka 15 Pasal 67
Angka 16 Pasal 72
Angka 17 Pasal 73
Angka 18 Pasal 107
Angka 19 Pasal 108
Angka 20 Pasal 110
Angka 21 Pasal 112
Angka 22 Pasal 113 Cukup jelas. Angka 23 Pasal 114 Cukup jelas. Angka 24 Pasal 117 Cukup jelas. Pasal 52 Angka 1 Pasal 5
Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Yang dimaksud dengan "rantai pasok Jasa Konstruksi" adalah alur kegiatan produksi dan distribusi material, peralatan, dan teknologi yang digunakan dalam pelaksanaan Jasa Konstruksi. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Cukup jelas. Huruf l Cukup jelas. Huruf m Cukup jelas. Huruf n Cukup jelas. Huruf o Cukup jelas. Huruf p Cukup jelas. Huruf q Cukup jelas. Huruf r Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Pelatihan tenaga kerja konstruksi strategis dan percontohan antara lain pemberian pelatihan bagi penerapan teknologi, metode, dan standar kompetensi baru. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Standar remunerasi minimal ditetapkan dengan mempertimbangkan kompleksitas dari jenis layanan profesional, biaya, risiko, dan teknologi dari penyelenggaraan Jasa Konstruksi yang terkait dengan hasil layanan profesional, dan/atau harga pasar yang berlaku di provinsi tempat diselenggarakannya Jasa Konstruksi. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Cukup jelas. Ayat (5) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Teknologi prioritas meliputi:
Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Angka 2
Cukup jelas. Angka 3
Cukup jelas. Angka 4
Cukup jelas. Angka 5
Cukup jelas. Angka 6
Cukup jelas. Angka 7
Ayat (1) Kualifikasi usaha menentukan batasan kemampuan suatu usaha Jasa Konstruksi dalam melaksanakan Jasa Konstruksi pada saat yang bersamaan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Angka 8
Cukup jelas. Angka 9
Cukup jelas. Angka 10
Cukup jelas. Angka 11
Cukup jelas. Angka 12
Cukup jelas. Angka 13
Dihapus. Angka 14
Cukup jelas. Angka 15
Cukup jelas. Angka 16
Cukup jelas. Angka 17
Dihapus. Angka 18
Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Penyelenggaraan Usaha Jasa Konstruksi yang dikerjakan sendiri merupakan kegiatan yang pekerjaannya direncanakan, dikerjakan, dan/atau diawasi sendiri oleh pemerintah sebagai penanggung jawab anggaran, dan/atau kelompok masyarakat. Ayat (3) Cukup jelas. Angka 19
Dihapus. Angka 20 Pasal 44
Angka 21 Pasal 57
Angka 22 Pasal 58
Angka 23 Pasal 59
Angka 24 Pasal 69
Angka 25 Pasal 72 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "tanda daftar pengalaman profesional" adalah dokumen yang memuat dan menjelaskan pengalaman tenaga kerja konstruksi yang telah didaftarkan secara resmi kepada pemerintah. Ayat (3) Cukup jelas. Angka 26 Pasal 74
Angka 27 Pasal 84
Penyelenggaraan sebagian kewenangan Pemerintah Pusat antara lain registrasi badan usaha Jasa Konstruksi, akreditasi bagi asosiasi perusahaan Jasa Konstruksi dan asosiasi terkait rantai pasok Jasa Konstruksi, registrasi pengalaman badan usaha, registrasi penilai ahli, menetapkan penilai ahli yang teregistrasi dalam hal terjadi Kegagalan Bangunan, akreditasi bagi asosiasi profesi dan lisensi bagi lembaga sertifikasi profesi, registrasi tenaga kerja, registrasi pengalaman profesional tenaga kerja serta lembaga pendidikan dan pelatihan kerja di bidang konstruksi, penyetaraan tenaga kerja asing, membentuk lembaga sertifikasi profesi untuk melaksanakan tugas sertifikasi kompetensi kerja yang belum dapat dilakukan lembaga sertifikasi profesi yang dibentuk oleh asosiasi profesi/lembaga pendidikan dan pelatihan. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "lembaga" adalah pengembangan Jasa Konstruksi. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Asosiasi terkait rantai pasok konstruksi antara lain asosiasi terkait material dan peralatan konstruksi. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Pengaturan pembentukan lembaga antara lain tata cara pemilihan pengurus, masa bakti, tugas pokok dan fungsi, mekanisme kerja lembaga. Angka 28 Pasal 89
Angka 29 Pasal 92
Angka 30 Pasal 96
Angka 31 Pasal 99
Angka 32 Pasal 101
Angka 33 Pasal 102
Angka 1 Pasal 8
Angka 2 Pasal 9
Angka 3 Pasal 12 Cukup jelas. Angka 4 Pasal 17 Cukup jelas. Angka 5 Pasal 19 Cukup jelas. Angka 6 Pasal 40
Angka 7 Pasal 43 Cukup jelas. Angka 8 Pasal 44
Angka 9 Pasal 45
Angka 10 Pasal 49
Angka 11 Pasal 50 Cukup jelas. Angka 12 Pasal 51
Angka 13 Pasal 52 Cukup jelas. Angka 14 Pasal 56 Cukup jelas. Angka 15 Pasal 70
Angka 16 Pasal 73 Cukup jelas. Pasal 54 Cukup jelas. Pasal 55 Angka 1 Pasal 19 Cukup jelas. Angka 2 Pasal 36 Cukup jelas. Angka 3 Pasal 38
Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "fasilitas utama" adalah jalur keberangkatan, jalur kedatangan, ruang tunggu penumpang, tempat naik turun penumpang, tempat parkir kendaraan, papan informasi, kantor pengendali terminal, dan loket. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Angka 4 Pasal 39
Yang dimaksud dengan "lingkungan kerja terminal" adalah lingkungan yang berkaitan langsung dengan fasilitas terminal dan dibatasi dengan pagar. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan swasta termasuk usaha mikro, kecil, dan menengah. Angka 5 Pasal 40
Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan swasta termasuk usaha mikro, kecil, dan menengah. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Angka 6 Pasal 43
Yang dimaksud dengan "Parkir untuk umum" adalah tempat untuk memarkir kendaraan dengan dipungut biaya. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Angka 7 Pasal 50 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan swasta termasuk usaha mikro, kecil, dan menengah. Ayat (3) Cukup jelas. Angka 8 Pasal 53
Angka 9 Pasal 60
Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "mempunyai kualitas tertentu" adalah bengkel umum yang mampu melakukan jenis pekerjaan perawatan berkala, perbaikan kecil, perbaikan besar, serta perbaikan sasis dan bodi.
Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Angka 10 Pasal 78
Angka 11 Pasal 99
Yang dimaksud dengan "pembangunan pusat kegiatan, permukiman, dan infrastruktur" adalah pembangunan baru, perubahan penggunaan lahan, perubahan intensitas tata guna lahan dan/atau perluasan lantai bangunan dan/atau perubahan intensitas penggunaan, perubahan kerapatan guna lahan tertentu, penggunaan lahan tertentu, antara lain Terminal, Parkir untuk umum di luar Ruang Milik Jalan, tempat pengisian bahan bakar minyak, dan fasilitas umum lain. Analisis dampak lalu lintas dalam implementasinya dapat diintegrasikan dengan analisis mengenai dampak lingkungan. Ayat (2) Cukup jelas. Angka 12 Pasal 100 Dihapus. Angka 13 Pasal 101
Angka 14 Pasal 126
Angka 15 Pasal 162
Angka 16 Pasal 165
Yang dimaksud dengan "angkutan multimoda" adalah angkutan barang dengan menggunakan paling sedikit 2 (dua) moda angkutan yang berbeda atas dasar 1 (satu) kontrak yang menggunakan dokumen angkutan multimoda dari 1 (satu) tempat penerimaan barang oleh operator angkutan multimoda ke suatu tempat yang ditentukan untuk penyerahan barang tersebut.
Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Angka 17 Pasal 170
Yang dimaksud dengan "lokasi tertentu" adalah tempat pengawasan angkutan barang yang dilakukan secara efektif dan efisien. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Angka 18 Pasal 173
Angka 19 Pasal 174
Angka 20 Pasal 175
Angka 21 Pasal 176
Angka 22 Pasal 177
Angka 23 Pasal 178
Angka 24 Pasal 179
Angka 25 Pasal 180
Angka 26 Pasal 185
Yang dimaksud dengan "trayek atau lintas tertentu" adalah trayek angkutan penumpang umum orang yang secara finansial belum menguntungkan, termasuk trayek angkutan perintis. Ayat (2) Cukup jelas. Angka 27 Pasal 199 Cukup jelas. Angka 28 Pasal 220 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan "badan hukum" adalah badan (perkumpulan dan sebagainya) yang dalam hukum diakui sebagai subjek hukum yang dapat dilekatkan hak dan kewajiban hukum, seperti perseroan, yayasan, dan lembaga. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Angka 29 Pasal 222
Angka 30 Pasal 308
Angka 1 Pasal 24
Angka 2 Pasal 24A
Angka 3 Pasal 28 Cukup jelas. Angka 4 Pasal 32
Angka 5 Pasal 32A
Angka 6 Pasal 33
Angka 7 Pasal 33A
Angka 8 Pasal 77
Angka 9 Pasal 80A
Angka 10 Pasal 82
Angka 11 Pasal 107 Cukup jelas. Angka 12 Pasal 112
Angka 13 Pasal 116A
Pasal 116B
Angka 14 Pasal 135
Angka 15 Pasal 168
Angka 16 Pasal 185A
Cukup jelas. Angka 17 Pasal 188 Cukup jelas. Angka 18 Pasal 190 Cukup jelas. Angka 19 Pasal 191 Cukup jelas. Angka 20 Pasal 195 Cukup jelas. Angka 21 Pasal 196 Cukup jelas. Angka 22 Pasal 203
Angka 23 Pasal 204 Cukup jelas. Angka 24 Pasal 210 Cukup jelas. Pasal 57
Pasal 5 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "dikuasai oleh negara" yaitu bahwa negara mempunyai hak penguasaan atas penyelenggaraan pelayaran yang perwujudannya meliputi aspek pengaturan, pengendalian, dan pengawasan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Angka 2 Pasal 9 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "intramoda" meliputi angkutan laut dalam negeri, angkutan laut luar negeri, angkutan laut khusus, dan angkutan pelayaran-rakyat. Ayat (2)
Ayat (3) Yang dimaksud dengan "jaringan trayek" adalah kumpulan dari trayek yang menjadi satu kesatuan pelayanan angkutan penumpang dan/atau barang dari satu pelabuhan ke pelabuhan lainnya. Ayat (4) Penyusunan jaringan trayek tetap dan teratur dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum dan usaha kepada pengguna jasa dan penyedia jasa angkutan laut. Ayat (5) Cukup jelas. Angka 3
Ayat (1) Termasuk dalam kegiatan angkutan laut khusus antara lain kegiatan angkutan yang dilakukan oleh usaha bidang industri, pariwisata, pertambangan, pertanian serta kegiatan khusus seperti penelitian, pengerukan, kegiatan sosial, dan sebagainya, serta tidak melayani pihak lain dan tidak mengangkut barang umum. Ayat (2) Cukup jelas. Angka 4 Pasal 14A
Yang dimaksud dengan "belum tersedia" adalah jumlah dan jadwal saat diperlukan kapal berbendera Indonesia tersebut tidak tersedia atau belum mencukupi kebutuhan. Ayat (2) Cukup jelas. Angka 5 Pasal 27
Angka 6 Pasal 28
Angka 7 Pasal 30
Angka 8 Pasal 31
Angka 9 Pasal 32 Cukup jelas. Angka 10 Pasal 33
Angka 11 Pasal 34
Angka 12 Pasal 51 Cukup jelas. Angka 13 Pasal 52
Angka 14 Pasal 59 Cukup jelas. Angka 15 Pasal 90
Angka 16 Pasal 91
Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan "dalam keadaan tertentu" adalah apabila ternyata terdapat Badan Usaha Pelabuhan yang mampu memanfaatkan terminal dan fasilitas pelabuhan lainnya untuk melayani kegiatan yang memberikan manfaat komersial. Ayat (5) Cukup jelas. Angka 17 Pasal 96 Cukup jelas. Angka 18 Pasal 97 Cukup jelas. Angka 19 Pasal 98 Cukup jelas. Angka 20 Pasal 99 Cukup jelas. Angka 21 Pasal 103
Angka 22 Pasal 104
Angka 23 Pasal 106
Angka 24 Pasal 107 Dihapus. Angka 25 Pasal 111 Cukup jelas. Angka 26 Pasal 124
Angka 27 Pasal 125 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "perombakan" adalah perombakan konstruksi dan memerlukan pengesahan gambar dan perhitungan konstruksi karena mengubah fungsi, stabilitas, struktur, dan dimensi kapal. Ayat (3) Cukup jelas. Angka 28 Pasal 126 Ayat (1) Sertifikat keselamatan diberikan kepada semua jenis kapal ukuran GT 7 (tujuh Gross Tonnage) atau lebih kecuali:
Huruf a Jenis sertifikat kapal penumpang antara lain:
Huruf b Jenis-jenis sertifikat keselamatan kapal barang sesuai dengan SOLAS 1974 antara lain:
Huruf c Sertifikasi kelaikan dan pengawakan kapal penangkap ikan dilaksanakan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan. Angka 29 Pasal 127 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan "ketentuan standar internasional" adalah berpedoman antara lain: Safety of Life at Sea (SOLAS) Convention, 1978 beserta peraturan pelaksanaan. Ayat (4) Cukup jelas. Angka 30 Pasal 129 Cukup jelas. Angka 31 Pasal 130 Cukup jelas. Angka 32 Pasal 133 Cukup jelas. Angka 33 Pasal 154 Dalam rangka percepatan kemudahan berusaha, proses pengukuran, pendaftaran, dan penetapan kebangsaan kapal pada kapal penangkap ikan dilakukan secara terintegrasi melalui pelayanan 1 (satu) atap. Sarana dan Prasarana penyelenggaraan sistem 1 (satu) atap disediakan oleh Pemerintah Pusat. Angka 34 Pasal 155 Ayat (1) Pelaksanaan pengukuran kapal dapat dilakukan oleh kementerian yang menyelenggarakan pemerintahan di bidang perhubungan. Khusus untuk kapal perikanan, pelaksanaan pengukuran dapat dilakukan oleh kementerian yang menyelenggarakan pemerintahan di bidang perikanan berdasarkan kompetensi, standar, dan prosedur yang ditetapkan oleh kementerian yang menyelenggarakan pemerintahan di bidang perhubungan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Angka 35 Pasal 157 Cukup jelas. Angka 36 Pasal 158 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan "pendaftaran kapal" adalah pendaftaran hak milik atas kapal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ayat (4) Yang dimaksud dengan "grosse akta pendaftaran" adalah salinan resmi dari minut (asli dari akta pendaftaran).
Ayat (5) Yang dimaksud dengan "tanda pendaftaran" merupakan rangkaian angka dan huruf yang terdiri atas angka tahun pendaftaran, kode pengukuran dari tempat kapal didaftar, nomor urut akta pendaftaran, dan kode kategori kapal. Contoh :
Angka 37 Pasal 159 Cukup jelas. Angka 38 Pasal 163 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimakud dengan "perairan sungai dan danau" meliputi sungai, danau, waduk, kanal, terusan, dan rawa. Angka 39 Pasal 168 Cukup jelas. Angka 40 Pasal 169 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "kapal untuk jenis dan ukuran tertentu" adalah kapal barang dengan ukuran GT 500 (lima ratus Gross Tonnage) atau lebih dan kapal penumpang semua ukuran yang melakukan pelayaran internasional, sedangkan untuk kapal yang berlayar di dalam negeri jenis dan ukurannya akan ditetapkan tersendiri. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan "lembaga yang diberikan kewenangan oleh Pemerintah Pusat" adalah badan klasifikasi yang diakui Pemerintah. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Angka 41 Pasal 170 Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "ukuran tertentu" adalah kapal barang dengan ukuran GT 500 (lima ratus Gross Tonnage) atau lebih dan kapal penumpang semua ukuran yang melakukan pelayaran internasional, sedangkan untuk kapal yang berlayar di dalam negeri jenis dan ukurannya akan ditetapkan tersendiri. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Untuk kapal yang berlayar di dalam negeri pengaturan mengenai sertifikat ditetapkan tersendiri. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Angka 42 Pasal 171 Cukup jelas. Angka 43 Pasal 197 Cukup jelas. Angka 44 Pasal 204 Cukup jelas. Angka 45 Pasal 213 Cukup jelas. Angka 46 Pasal 225 Cukup jelas. Angka 47 Pasal 243 Cukup jelas. Angka 48 Pasal 273 Cukup jelas. Angka 49 Pasal 288 Cukup jelas. Angka 50 Pasal 289 Cukup jelas. Angka 51 Pasal 290 Cukup jelas. Angka 52 Cukup jelas. Angka 53 Pasal 292 Cukup jelas. Angka 54 Pasal 293 Cukup jelas. Angka 55 Pasal 294
Angka 56 Pasal 295
Angka 57 Pasal 296 Cukup jelas. Angka 58 Pasal 297
Angka 59 Pasal 298
Angka 60 Pasal 299 Cukup jelas. Angka 61
Pasal 307
Angka 62 Pasal 308
Angka 63 Pasal 310 Cukup jelas. Angka 64 Pasal 313
Angka 65 Pasal 314
Angka 66 Pasal 321
Angka 67 Pasal 322
Angka 68 Pasal 336
Angka 1 Pasal 13
Angka 2 Pasal 14 Dihapus. Angka 3 Pasal 15
Angka 4 Pasal 16
Angka 5 Pasal 17
Angka 6 Pasal 18
Angka 7 Pasal 19
Angka 8 Pasal 20
Angka 9 Pasal 21
Angka 10 Pasal 22 Dihapus. Angka 11 Pasal 26
Angka 12 Pasal 30
Angka 13 Pasal 31
Angka 14 Pasal 32
Angka 15 Pasal 33
Angka 16 Pasal 37
Angka 17
Pasal 40
Angka 18 Pasal 41
Angka 19 Pasal 42
Angka 20 Pasal 43
Angka 21 Pasal 45
Angka 22 Pasal 46
Angka 23 Pasal 47
Cukup jelas.
Cukup jelas. Huruf c Personel pemegang lisensi ahli perawatan pesawat udara yang dimaksud dalam ketentuan ini hanya dapat melakukan perawatan pesawat udara untuk perusahaan angkutan udara bukan niaga yang berkapasitas penumpang kurang dari 9 (sembilan) orang. Angka 24 Pasal 48
Angka 25 Pasal 49
Angka 26 Pasal 50
Angka 27 Pasal 51
Angka 28 Pasal 58 Ayat (1) Personel pesawat udara meliputi personel operasi pesawat udara, personel penunjang operasi pesawat udara, dan personel perawatan pesawat udara.
Personel penunjang operasi pesawat udara meliputi:
Ayat (2) Yang dimaksud dengan "sah" adalah dikeluarkan atau dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang. Angka 29 Pasal 60 Cukup jelas. Angka 30 Pasal 61
Angka 31 Pasal 63
Cukup jelas. Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "dalam waktu yang terbatas" adalah waktu pengoperasian pesawat udara asing dibatasi sampai dapat ditanggulanginya keadaan tertentu oleh pesawat udara Indonesia. Ayat (3) Yang dimaksud dengan "perjanjian antarnegara" adalah perjanjian pelimpahan kewenangan fungsi kelaikudaraan. Ayat (4) Yang dimaksud "persyaratan kelaikudaraan" adalah sesuai dengan ketentuan nasional dan internasional. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Angka 32 Pasal 64
Angka 33 Pasal 66
Angka 34 Pasal 67
Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "tanda identitas" adalah tanda pendaftaran. Angka 35 Pasal 84
Angka 36 Pasal 85
Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "keadaan tertentu" adalah adanya kebutuhan kapasitas angkutan udara pada rute tertentu yang tidak dapat dipenuhi oleh kapasitas angkutan udara niaga berjadwal yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan angkutan udara niaga tidak berjadwal, antara lain paket wisata, MICE (meeting, insentive travel, convention, and exhibition), angkutan udara haji, bantuan bencana alam, kegiatan kemanusiaan, dan kegiatan yang bersifat nasional dan internasional. Yang dimaksud dengan "bersifat sementara" adalah persetujuan yang diberikan terbatas untuk jangka waktu tertentu, paling lama 6 (enam) bulan dan hanya dapat diperpanjang untuk 1 (satu) kali pada rute yang sama. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Angka 37 Pasal 91
Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan "keadaan tertentu" adalah keadaan tidak terpenuhi atau tidak terlayaninya permintaan jasa angkutan udara oleh badan usaha angkutan udara niaga berjadwal pada rute tertentu. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Angka 38 Pasal 93
Angka 39 Pasal 94
Angka 40 Pasal 95
Angka 41 Pasal 96
Angka 42 Pasal 97
Huruf a Yang dimaksud dengan "pelayanan standar maksimum" (full services) antara lain, pemberian makan dan minum, makanan ringan, dan fasilitas ruang tunggu eksekutif (lounge) untuk kelas bisnis (business class) dan kelas utama (first class). Huruf b Yang dimaksud dengan "pelayanan standar menengah" (medium Services) antara lain, pemberian makanan ringan, dan fasilitas lain ruang tunggu eksekutif untuk penumpang kelas ekonomi tertentu. Huruf c Yang dimaksud dengan "pelayanan standar minimum" (no frills), antara lain, hanya ada 1 (satu) kelas pelayanan, tanpa pemberian makan dan minum, makanan ringan, fasilitas ruang tunggu eksekutif, dan dikenakan biaya untuk bagasi tercatat. Ayat (2) Cukup jelas. Angka 43 Pasal 99
Angka 44 Pasal 100
Angka 45 Pasal 109
Angka 46 Pasal 110
Angka 47 Pasal 111
Angka 48 Pasal 112
Angka 49 Pasal 113
Yang dimaksud dengan "dipindahtangankan" adalah perubahan kepemilikan sebagian atau seluruh saham badan usaha angkutan udara niaga berupa penggabungan (merger) atau pengambilalihan (akuisisi). Ayat (2) Cukup jelas. Angka 50 Pasal 114
Angka 51 Pasal 118
Angka 52 Pasal 119
Angka 53 Pasal 120
Angka 54 Pasal 130
Angka 55 Pasal 131
Angka 56 Pasal 132
Angka 57 Pasal 133
Angka 58 Pasal 137
Angka 59 Pasal 138
Angka 60 Pasal 139
Angka 61 Pasal 205
Angka 62 Pasal 215
Angka 63 Pasal 218
Angka 64 Pasal 219
Angka 65 Pasal 221
Angka 66 Pasal 222
Angka 67 Pasal 224
Angka 68 Pasal 225
Angka 69 Pasal 233
Angka 70 Pasal 237
Angka 71 Pasal 238
Angka 72 Pasal 242
Angka 73 Pasal 247
Angka 74 Pasal 249
Angka 75 Pasal 250
Angka 76 Pasal 252
Angka 77 Pasal 253.
Angka 78 Pasal 254
Yang dimaksud dengan "memenuhi ketentuan keselamatan dan keamanan", antara lain, memiliki buku pedoman pengoperasian tempat pendaratan dan lepas landas helikopter (heliport manual). Ayat (2) Cukup jelas. Angka 79 Pasal 255
Angka 80 Pasal 275
Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Yang dimaksud dengan "unit pelayanan navigasi penerbangan di bandar udara" terdiri atas pelayanan aerodrome oleh personel pemandu (aerodrome control), pelayanan komunikasi penerbangan (aeronautical flight information services), dan pelayanan aerodrome tanpa personel pemandu (un-attended). Huruf b Yang dimaksud dengan "unit pelayanan navigasi pendekatan" adalah unit pelayanan navigasi penerbangan pada kawasan pendekatan kedatangan (standard arrivai route) dan keberangkatan (standard instrument departure). Huruf c Yang dimaksud dengan "unit pelayanan navigasi penerbangan jelajah" adalah unit pelayanan lalu lintas penerbangan terkendali yang diberikan kepada pesawat udara yang mendapatkan persetujuan dari personel pemandu lalu lintas penerbangan (air traffic control clearance), pelayanan informasi penerbangan (flight information service), dan pelayanan kesiagaan (alerting service). Angka 81 Pasal 277
Angka 82 Pasal 292
Cukup jelas.
Ayat (2)
Angka 83 Pasal 294
Angka 84 Pasal 295
Angka 85 Pasal 317
Angka 86 Pasal 389
Angka 87 Pasal 392
Angka 88 Pasal 418
Angka 89 Pasal 423
Angka 90 Pasal 428
Cukup jelas. Pasal 60 Angka 1 Pasal 30
Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan "pelayanan kesehatan tingkat pertama" adalah pelayanan kesehatan yang diberikan oleh fasilitas pelayanan kesehatan dasar. Huruf b Yang dimaksud dengan "pelayanan kesehatan tingkat kedua" adalah pelayanan kesehatan yang diberikan oleh fasilitas pelayanan kesehatan spesialistik. Huruf c Yang dimaksud dengan "pelayanan kesehatan tingkat ketiga" adalah pelayanan kesehatan yang diberikan oleh fasilitas pelayanan kesehatan sub spesialistik. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Angka 2 Pasal 35
Angka 3 Pasal 60
Yang dimaksud dengan "alat dan teknologi" dalam ketentuan ini adalah yang tidak bertentangan dengan tindakan pengobatan tradisional yang dilakukan. Ayat (2) Cukup jelas.
Angka 4 Pasal 106
Yang dimaksud dengan "sediaan farmasi" adalah Obat, Bahan Obat, Obat Tradisional, dan Kosmetik. Termasuk dalam sediaan farmasi adalah suplemen kesehatan dan obat kuasi. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas.
Angka 5 Pasal 111 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "standar" antara lain terkait dengan pemberian tanda atau label yang berisi: a. Nama produk; b. Daftar bahan yang digunakan;
Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas.
Angka 6 Pasal 182
Angka 7 Pasal 183
Angka 8 Pasal 187
Angka 9 Pasal 188
Angka 10 Pasal 197
Angka 1 Pasal 17
Angka 2 Pasal 24 Ayat (1) Kemampuan pelayanan antara lain ditentukan oleh sumber daya manusia, bangunan, sarana, dan peralatan. Ayat (2) Cukup jelas. Angka 3 Pasal 25
Angka 4 Pasal 26
Angka 5 Pasal 27 Cukup jelas. Angka 6 Pasal 28
Angka 7 Pasal 29
Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan "standar pelayanan rumah sakit" adalah semua standar pelayanan yang berlaku di rumah sakit, antara lain Standar Prosedur Operasional, standar pelayanan medis, standar asuhan keperawatan. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Yang dimaksud dengan 'pasien tidak mampu/miskin" adalah pasien yang memenuhi persyaratan yang diatur dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Yang dimaksud dengan "penyelenggaraan rekam medis" dalam ayat ini adalah dilakukan sesuai dengan standar yang secara bertahap diupayakan mencapai standar internasional. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Cukup jelas. Huruf l Cukup jelas. Huruf m Cukup jelas. Huruf n Cukup jelas. Huruf o Rumah Sakit dibangun serta dilengkapi dengan sarana, prasarana dan peralatan yang dapat difungsikan serta dipelihara sedemikian rupa untuk mendapatkan keamanan, mencegah kebakaran/bencana dengan terjaminnya keamanan, kesehatan dan keselamatan pasien, petugas, pengunjung, dan lingkungan Rumah Sakit. Huruf p Cukup jelas. Huruf r Yang dimaksud dengan "peraturan internal Rumah Sakit" (hospital by laws) adalah peraturan organisasi Rumah Sakit (corporate by laws) dan peraturan staf medis Rumah Sakit (medical staff by law) yang disusun dalam rangka menyelenggarakan tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance) dan tata kelola klinis yang baik (good clinical governance). Dalam peraturan staf medis Rumah Sakit (medical staff by law) antara lain diatur kewenangan klinis (Clinical Privilege). Huruf s
Huruf t Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas.
Angka 8 Pasal 40
Angka 9 Pasal 54
Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan "pengawasan yang bersifat teknis medis" adalah audit medis. Yang dimaksud dengan "pengawasan yang bersifat teknis perumahsakitan" adalah audit kinerja rumah sakit. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Angka 10 Pasal 62
Angka 1 Pasal 5
Angka 2
Cukup jelas. Angka 3
Angka 4
Ayat (1) Surat persetujuan ekspor dari Pemerintah berisi keterangan tertulis antara lain mengenai nama, jenis, bentuk dan jumlah psikotropika yang disetujui untuk diekspor, nama dan alamat eksportir dan importir di negara pengimpor, jangka waktu pelaksanaan ekspor dan keterangan bahw ekspor tersebut untuk kepentingan pengobatan dan/atau ilmu pengetahuan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Angka 5
Angka 6
Angka 7
Angka 8
Angka 1
Ayat (1) Ketentuan ini membuka kemungkinan untuk memberikan Perizinan Berusaha kepada lebih dari satu industri farmasi yang berhak memproduksi obat Narkotika, tetapi dilakukan sangat selektif dengan maksud agar pengendalian dan pengawasan Narkotika dapat lebih mudah dilakukan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas.
Angka 2
Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "dalam keadaan tertentu" dalam ketentuan ini adalah apabila perusahaan besar farmasi milik negara dimaksud tidak dapat melaksanakan fungsinya dalam melakukan impor Narkotika karena bencana alam, kebakaran dan lain-lain. Ayat (3) Cukup jelas. Angka 3
Angka 4
Perusahaan Pedagang Besar Farmasi dalam ketentuan ini adalah BUMN maupun swasta. Ayat (2) Cukup jelas. Angka 5 Pasal 19
Angka 6
Angka 7 Pasal 24
Angka 8
Angka 9
Angka 10
Ayat (2)
Ayat (3)
Angka 1
Angka 2 Pasal 14
Angka 3
Ayat (2) Yang dimaksud dengan "untuk keperluan lain" adalah penggunaan kelebihan Produksi Pangan selain untuk konsumsi, antara lain, untuk pakan, bahan baku energi, industri dan/atau ekspor. Angka 4 Pasal 36
Angka 5
Angka 6
Ayat (2)
Ayat (3)
Ayat (4)
Ayat (5)
Ayat (6)
Angka 7
Angka 8
Angka 9
Salah satu persyaratan yang harus dipenuhi dalam Perizinan Berusaha adalah dari aspek Keamanan Pangan. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "bahan baku" adalah bahan utama yang dipakai dalam kegiatan atau proses Produksi Pangan, yang dapat berupa bahan mentah, bahan setengah jadi, atau bahan jadi. Ayat (3) Cukup jelas. Angka 10
Angka 11
Angka 12
Angka 13
Angka 14
Cukup jelas.
Yang dimaksud dengan "Pangan Olahan tertentu" adalah pangan olahan yang dibuat oleh industri rumah tangga Pangan, yaitu industri Pangan yang memiliki tempat usaha di tempat tinggal dengan peralatan pengolahan manual hingga semi otomatis. Ayat (3) Cukup jelas. Angka 15
Cukup jelas. Angka 16
Angka 17
Cukup jelas. Angka 18
Angka 19
Angka 20
Angka 21
Ayat (1)
Undang-Undang tersebut tidak diatur dalam Undang-Undang ini dan oleh karena itu tidak ada kewajiban bagi satuan Pendidikan tersebut termasuk satuan Pendidikan nonformal yang dikelola oleh masyarakat melakukan proses izin melalui sistem Perizinan Berusaha sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 66 Angka 1
Angka 2
Angka 3
Angka 4
Angka 5
Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan usaha "daya tarik wisata" adalah usaha yang kegiatannya mengelola daya tarik wisata alam, daya tarik wisata budaya, dan daya tarik wisata buatan/ binaan manusia. Huruf b Yang dimaksud dengan usaha "kawasan pariwisata" adalah usaha yang kegiatannya membangun dan/atau mengelola kawasan dengan luas tertentu untuk memenuhi kebutuhan pariwisata. Huruf c Yang dimaksud dengan usaha "jasa transportasi wisata" adalah usaha khusus yang menyediakan angkutan untuk kebutuhan dan kegiatan pariwisata, bukan angkutan transportasi reguler/umum. Huruf d
Huruf e
Huruf f
Huruf g
Huruf h
Huruf i
Huruf j
Huruf k
Huruf l
Huruf m
Ayat (2) Cukup jelas. Angka 2 Pasal 15
Angka 3
Angka 4
Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan "usaha pariwisata dengan kegiatan yang berisiko tinggi" meliputi, antara lain wisata selam, arung jeram, panjat tebing, permainan jet coaster, dan mengunjungi objek wisata tertentu, seperti melihat satwa liar di alam bebas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Cukup jelas. Huruf l Cukup jelas. Huruf m Cukup jelas. Huruf n Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Angka 5
Angka 6
Cukup jelas. Angka 7 Pasal 54
Angka 8
Angka 9
Angka 1
Angka 2
Cukup jelas. Angka 3
Angka 4
Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan "jaminan bank" adalah garansi bank atau deposito atas nama biro perjalanan wisata. Huruf d Cukup jelas. Angka 5
Angka 6
Angka 7
Angka 8
Angka 9
Angka 10
Angka 11
Angka 12
Angka 13
Angka 14 Pasal 92
Angka 15
Angka 16
Angka 17
Angka 18
Angka 19
Angka 20
Angka 21
Cukup jelas. Angka 22
Cukup jelas. Angka 23
Angka 24 Pasal 125
Angka 25
Cukup jelas. Pasal 70 Angka 1
Angka 2
Angka 3
Angka 4
Angka 1
Pemenuhan Perizinan Berusaha dalam penyelenggaraan telekomunikasi dimaksudkan sebagai upaya Pemerintah dalam rangka pembinaan untuk mendorong pertumbuhan penyelenggaraan telekomunikasi yang sehat. Pemerintah memublikasikan secara berkala atas daerah/wilayah yang terbuka untuk penyelenggaraan jaringan dan atau jasa telekomunikasi. Penyelenggaraan telekomunikasi wajib memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Perizinan Berusaha. Ayat (2) Cukup jelas. Angka 2
Formula sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini merupakan pola perhitungan untuk menetapkan besaran tarif. Formula tarif terdiri atas formula tarif awal dan formula tarif perubahan. Dalam menetapkan formula tarif awal, yang harus diperhatikan adalah komponen biaya, sedangkan untuk menetapkan formula besaran tarif perubahan diperhatikan juga antara lain faktor inflasi, kemampuan masyarakat, dan kesinambungan pembangunan telekomunikasi. Ayat (2) Cukup jelas. Angka 3
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mengatasi masalah kebutuhan jasa telekomunikasi di suatu daerah yang karena keadaan tertentu belum dapat dijangkau oleh jasa telekomunikasi. Oleh karena itu Undang-Undang ini memandang perlu untuk memberikan kemungkinan kepada penyelenggara telekomunikasi khusus yang sebenarnya hanya bergerak untuk kepentingan sendiri, dapat memberikan pelayanan jasa telekomunikasi kepada masyarakat yang bertempat tinggal di daerah tersebut. Ayat (2)
Ayat (3) Cukup jelas. Angka 4
Angka 5
Pemberian Perizinan Berusaha terkait penggunaan spektrum frekuensi radio didasarkan pada ketersediaan spektrum frekuensi radio dan hasil analisis teknis. Ayat (2)
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "gangguan yang merugikan" adalah jenis gangguan/inteferensi yang memberikan dampak merugikan terhadap penggunaan spektrum frekuensi radio yang mendapatkan proteksi dari Pemerintah Pusat. Ayat (4)
Ayat (5)
Ayat (6)
Ayat (7)
Ayat (8)
Ayat (9)
Angka 6
Ayat (2)
Angka 7
Pasal 34B
Yang dimaksud dengan "infrastruktur pasif" termasuk tetapi tidak terbatas pada gorong-gorong (ducting), tiang telekomunikasi (tower), tiang (pole), dan lain-lain yang dapat digunakan untuk penggelaran jaringan telekomunikasi. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "infrastruktur" dalam ketentuan ini adalah infrastruktur aktif. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Angka 8
Angka 9
Dihapus. Angka 10
Angka 11 Pasal 48
Angka 1
Angka 2
Angka 3
Angka 4
Dihapus. Angka 5
Angka 6
Angka 7
Angka 8
Penyelenggaraan penyiaran harus mengikuti perkembangan teknologi untuk meningkatkan efisiensi pemanfaatan spektrum frekuensi radio dan spektrum elektromagnetik lainnya, kualitas penerimaan dan pilihan program siaran radio dan televisi bagi masyarakat, efisiensi dalam operasional penyelenggaraan jasa penyiaran radio dan televisi dan pertumbuhan industri-industri yang terkait dengan bidang penyiaran. Ayat (2)
Ayat (3)
Cukup jelas. Pasal 74 Angka 1 Pasal 11
Angka 2
Angka 3
Angka 4
Angka 5
Angka 6 Pasal 56 Cukup jelas. Angka 7
Cukup jelas. Angka 8
Angka 9
Angka 10
Angka 11 Pasal 69A
Angka 12
Angka 13
Angka 14
Angka 15
Pasal 15
Huruf b
Huruf c
Huruf d Yang dimaksud dengan "aliran" adalah semua aliran atau paham yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa antara lain aliran kepercayaan yang bertentangan dengan falsafah dasar Negara Republik Indonesia. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Yang dimaksud dengan "Tindakan kepolisian" adalah upaya paksa dan/atau tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab guna mewujudkan tertib dan tegaknya hukum serta terbinanya ketenteraman masyarakat. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Keterangan dan barang bukti dimaksud adalah yang berkaitan baik dengan proses pidana maupun dalam rangka tugas kepolisian pada umumnya. Huruf j Yang dimaksud dengan "Pusat Informasi Kriminal Nasional" adalah sistem jaringan dari dokumentasi kriminal yang memuat baik data kejahatan dan pelanggaran maupun kecelakaan dan pelanggaran lalu lintas serta registrasi dan identifikasi lalu lintas. Huruf k Surat izin dan/atau surat keterangan yang dimaksud dikeluarkan atas dasar permintaan yang berkepentingan. Huruf l
Huruf m
ayat (2) Huruf a
Huruf b
Huruf c
Huruf d
Huruf e
Huruf f
Huruf g
Huruf h
Huruf i
Huruf j
Huruf k
Ayat (3)
Cukup jelas. Pasal 77 Angka 1
Angka 2
Ayat (1) Pelaksanaan kegiatan penanaman modal didasarkan atas kepentingan nasional yang mencakup antara lain pelindungan sumber daya alam, perlindungan, pengembangan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, pengawasan produksi dan distribusi, peningkatan kapasitas teknologi, partisipasi modal dalam negeri, serta kerja sama dengan badan usaha yang ditunjuk Pemerintah. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Persyaratan penanaman modal ditujukan untuk bidang usaha yang diprioritaskan oleh Pemerintah yang dituangkan dalam bentuk daftar prioritas investasi yang diatur dalam Peraturan Presiden yang meliputi antara lain:
Angka 3 Pasal 13
Dalam rangka perlindungan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah:
Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Angka 4 Pasal 18 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan "industri pionir" adalah industri yang memiliki keterkaitan yang luas, memberi nilai tambah dan eksternalitas yang tinggi, memperkenalkan teknologi baru, serta memiliki nilai strategis bagi perekonomian nasional. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 22
Cukup jelas. Huruf b Yang termasuk dalam pengertian badan hukum Indonesia antara lain adalah Negara Republik Indonesia, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, Koperasi, dan badan usaha milik swasta. Huruf c
Pasal 9
Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Badan hukum asing yang mendirikan Bank Umum Syariah terlebih dahulu harus memperoleh rekomendasi dari otoritas moneter negara asal. Rekomendasi dimaksud sekurang-kurangnya memuat keterangan badan hukum asing yang bersangkutan mempunyai reputasi yang baik dan tidak pernah melakukan perbuatan tercela di bidang Perbankan. Ayat (2)
Ayat (3)
Cukup jelas. Pasal 81 Angka 1
Yang dimaksud dengan "lembaga pelatihan kerja pemerintah" adalah lembaga pelatihan kerja yang dimiliki oleh pemerintah. Huruf b
Huruf c
Ayat (2)
Ayat (3)
Ayat (4)
Angka 2
Angka 3
Angka 4
Angka 5
Angka 6
Dihapus. Angka 7
Huruf a Tenaga kerja pendamping tenaga kerja asing tidak secara otomatis menggantikan atau menduduki jabatan tenaga kerja asing yang didampinginya. Pendampingan tersebut lebih dititiberatkan pada alih teknologi dan alih keahlian agar tenaga kerja pendamping tersebut dapat memiliki kemampuan sehingga pada waktunya diharapkan dapat mengganti tenaga kerja asing yang didampinginya. Huruf b
Huruf c
Ayat (2)
Angka 8
Angka 9
Ayat (2) Cukup jelas.
Cukup jelas. Angka 10
Angka 11
Angka 12
Angka 13
Angka 14
Angka 15
Ayat (1) Perjanjian kerja dalam ayat ini dicatatkan ke instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan. Ayat (2)
Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Angka 16
Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Keadaan atau kejadian tertentu seperti bencana alam, kerusuhan sosial, atau gangguan keamanan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Yang dimaksud hak-hak yang sesuai dengan peraturan perundang- undangan atau hak-hak yang telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama adalah hak-hak yang harus diberikan yang lebih baik dan menguntungkan pekerja/buruh yang bersangkutan. Angka 17
Angka 18
Angka 19
Angka 20
Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan "pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh" yaitu perusahaan alih daya yang baru memberikan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh minimal sama dengan hak-hak yang diberikan oleh perusahaan alih daya sebelumnya. Ayat (4)
Ayat (5)
Ayat (6)
Angka 21
Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu dapat diberlakukan ketentuan waktu kerja yang kurang atau lebih dari 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu atau 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Angka 22
Mempekerjakan lebih dari waktu kerja sedapat mungkin harus dihindarkan karena pekerja/buruh harus mempunyai waktu yang cukup untuk istirahat dan memulihkan kebugarannya. Namun, dalam hal-hal tertentu terdapat kebutuhan yang mendesak yang harus diselesaikan segera dan tidak dapat dihindari sehingga pekerja/buruh harus bekerja melebihi waktu kerja. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Angka 23 Pasal 79 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas.
Bagi perusahaan yang telah memberlakukan istirahat panjang tidak boleh mengurangi dari ketentuan yang sudah ada. Ayat (6) Cukup jelas. Angka 24 Pasal 88 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan "alasan tertentu" antara lain alasan karena pekerja/buruh sedang berhalangan, melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya, atau menjalankan hak waktu istirahatnya. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Yang dimaksud dengan "hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah" antara lain berupa denda, ganti rugi, pemotongan upah untuk pihak ketiga, uang muka upah, sewa rumah dan/atau sewa barang-barang milik perusahaan yang disewakan oleh pengusaha kepada pekerja/buruh, hutang atau cicilan hutang pekerja/buruh kepada pengusaha, atau kelebihan pembayaran upah.
Huruf g Yang dimaksud dengan "upah sebagai dasar perhitungan atau pembayaran hak dan kewajiban lainnya" antara lain upah untuk pembayaran pesangon atau upah untuk perhitungan pajak penghasilan. Ayat (4) Cukup jelas. Angka 25
Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Pengusaha dilarang tidak membayar upah bagi pekerja/buruh. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Pasal 88B Cukup jelas. Pasal 88C
Pasal 88D
Pasal 88E
Angka 26
Angka 27
Angka 28
Pasal 90B
Angka 29
Angka 30
Cukup jelas. Ayat (2) Penyusunan struktur dan skala upah dimaksudkan sebagai pedoman penetapan upah sehingga terdapat kepastian upah tiap pekerja/buruh serta mengurangi kesenjangan antara upah terendah dan tertinggi di perusahaan yang bersangkutan. Ayat (3) Cukup jelas. Angka 31
Angka 32
Angka 33
Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud "didahulukan pembayarannya" yaitu pembayaran upah pekerja/buruh didahulukan dari semua jenis kreditur termasuk kreditur separatis atau kreditur pemegang hak jaminan kebendaan, tagihan hak negara, kantor lelang dan badan umum yang dibentuk pemerintah. Ayat (3)
Angka 34
Angka 35
Angka 36
Angka 37
Yang dimaksud dengan mengupayakan adalah kegiatan-kegiatan yang positif yang pada akhirnya dapat menghindari terjadinya pemutusan hubungan kerja antara lain pengaturan waktu kerja, penghematan, pembenahan metode kerja, dan memberikan pembinaan kepada pekerja/buruh. Ayat (2)
Ayat (3)
Ayat (4)
Angka 38
Angka 39
Angka 40
Angka 41
Angka 42
Ayat (2) Perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atau mengatur lebih baik dari peraturan perundang-undangan. Angka 43
Angka 44
Angka 45 Pasal 157
Angka 46
Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "hak lainnya" yaitu hak-hak lain yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan dan perjanjian kerja bersama. Ayat (3) Yang dimaksud "sesuai tingkatannya" adalah penyelesaian perselisihan di tingkat bipartit atau mediasi/konsiliasi/arbitrase atau pengadilan hubungan industrial. Angka 47
Angka 48
Angka 49
Ayat (2)
Ayat (3)
Ayat (4)
Ayat (5)
Angka 50 Pasal 161
Angka 51
Angka 52
Angka 53
Angka 54 Pasal 165
Angka 55
Angka 56
Angka 57
Dihapus. Angka 58
Dihapus. Angka 59 Pasal 170
Angka 60
Angka 61
Angka 62 Pasal 184
Angka 63
Angka 64 Pasal 186
Angka 65
Angka 66
Angka 67
Cukup jelas. Angka 68
Cukup jelas. Angka 1
Angka 2
Pasal 46B
Pasal 46C
Pasal 46D
Pasal 46E
Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud "rekomposisi iuran" adalah rekomposisi iuran yang tidak berasal dari pekerja/buruh tanpa mengurangi manfaat program jaminan sosial lainnya yang menjadi hak pekerja/buruh. Huruf c Cukup jelas. Pasal 83 Angka 1
Cukup jelas. Angka 2
Cukup jelas. Angka 3
Cukup jelas. Pasal 84 Angka 1
Angka 2 Pasal 51
Angka 3
Angka 4
Cukup jelas. Angka 5
Cukup jelas. Pasal 86 Angka 1 Pasal 6
Persyaratan ini dimaksudkan untuk menjaga kelayakan usaha dan kehidupan Koperasi.
Ayat (2)
Angka 2 Pasal 17 Ayat (1)
Ayat (2)
Angka 3
Cukup jelas. Angka 4
Angka 5
Ayat (2)
Ayat (3)
Ayat (4)
Ayat (5)
Angka 6
Angka 1
Angka 2
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "menyederhanakan tata cara dan jenis perizinan" adalah memberikan kemudahan persyaratan dan tata cara perizinan serta informasi yang seluas-luasnya. Yang dimaksud dengan "sistem pelayanan terpadu satu pintu" adalah proses pengelolaan perizinan usaha yang dimulai dari tahap permohonan sampai dengan tahap terbitnya dokumen, dilakukan dalam satu tempat berdasarkan prinsip pelayanan sebagai berikut:
Huruf b Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Angka 3 Pasal 21
Angka 4
Angka 5
Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Yang dimaksud dengan "bentuk-bentuk kemitraan lain" seperti bagi hasil, kerja sama operasional, usaha patungan (joint venture), dan penyumberluaran (outsourcing).
Angka 7
Angka 8
Yang dimaksud "memiliki" adalah adanya peralihan kepemilikan secara yuridis atas badan usaha/perusahaan dan/atau aset atau kekayaan yang dimiliki Usaha Mikro, Kecil, dan/atau Menengah oleh Usaha Besar sebagai mitra usahanya dalam pelaksanaan hubungan kemitraan. Ayat (2) Yang dimaksud "menguasai" adalah adanya peralihan penguasaan secara yuridis atas kegiatan usaha yang dijalankan dan/atau aset atau kekayaan dimiliki Usaha Mikro, Kecil, dan/atau Menengah oleh Usaha Besar sebagai mitra usahanya dalam pelaksanaan hubungan kemitraan. Pasal 88 Cukup jelas. Pasal 89 Cukup jelas. Pasal 90 Cukup jelas. Pasal 91 Cukup jelas. Pasal 92 Ayat (1)
Ayat (2)
Ayat (3)
Ayat (4) Pelaku usaha mikro perlu diberikan dukungan antara lain melalui pemberian insentif Pajak Penghasilan agar dapat meningkatkan kapasitas dan skala usahanya untuk berkembang. Pasal 93 Cukup jelas. Pasal 94 Cukup jelas. Pasal 95 Cukup jelas. Pasal 96 Cukup jelas. Pasal 97 Cukup jelas. Pasal 98 Cukup jelas. Pasal 99 Cukup jelas. Pasal 100 Cukup jelas. Pasal 101 Cukup jelas. Pasal 102 Huruf a
Huruf b
Huruf c
Huruf d
Huruf e
Pasal 53A
Cukup jelas. Pasal 105 Cukup jelas. Pasal 106 Angka 1
Angka 2 Pasal 38 Visa kunjungan dalam penerapannya dapat diberikan untuk melakukan kegiatan, antara lain:
Angka 3
Huruf a Yang dimaksud dengan "Visa tinggal terbatas rumah kedua" adalah Visa yang diberikan kepada Orang Asing beserta keluarganya untuk tinggal menetap di Indonesia selama 5 (lima) tahun atau 10 (sepuluh) tahun setelah memenuhi persyaratan tertentu. Huruf b
Ayat (2)
Angka 4
Cukup jelas. Angka 5
Ayat (1)
Ayat (2)
Ayat (3)
Ayat (4)
Angka 6
Yang dimaksud dengan "rohaniwan" adalah pemuka agama yang diakui di Indonesia. Huruf b Yang dimaksud dengan "keluarga" adalah suami/istri, dan anak. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Ayat (2)
Ayat (3)
Ayat (4)
Angka 7
Angka 8 Pasal 71
Angka 1 Pasal 3
Cukup jelas. Ayat (2) Paten sederhana diberikan untuk Invensi yang berupa produk yang bukan sekadar berbeda ciri teknisnya, tetapi harus memiliki fungsi/kegunaan yang lebih praktis daripada Invensi sebelumnya yang disebabkan bentuk, konfigurasi, konstruksi, atau komponennya yang mencakup alat, barang, mesin, komposisi, formula, penggunaan, senyawa, atau sistem. Paten sederhana juga diberikan untuk Invensi yang berupa proses atau metode yang baru. Ayat (3) Cukup jelas. Angka 2 Pasal 20 Cukup jelas. Angka 3
Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Keadaan ini biasanya terjadi dalam pelaksanaan Paten yang merupakan hasil penyempurnaan atau pengembangan Invensi yang lebih dahulu telah dilindung Paten. Oleh karenanya pelaksanaan Paten yang baru tersebut berarti melaksanakan sebagian atau seluruh Invensi yang telah dilindungi Paten yang dimiliki oleh pihak lain. Jika Pemegang Paten terdahulu memberi Lisensi kepada Pemegang Paten berikutnya, yang memungkinkan terlaksananya Paten berikutnya tersebut, maka dalam hal ini tidak ada masalah pelanggaran Paten. Tetapi kalau Lisensi untuk itu tidak diberikan, semestinya Undang-Undang ini menyediakan jalan keluarnya. Ketentuan ini dimaksudkan agar Paten yang diberikan belakangan dapat dilaksanakan tanpa melanggar Paten yang terdahulu melalui pemberian Lisensi-wajib oleh Menteri. Ayat (2) Cukup jelas. Angka 4
Yang dimaksud dengan "satu Invensi" adalah Paten sederhana hanya diajukan untuk satu klaim mandiri produk atau satu klaim mandiri proses, tetapi dapat terdiri atas beberapa klaim turunan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Angka 5 Pasal 123
Angka 6
Angka 1
Yang dimaksud dengan "bertentangan dengan ketertiban umum" adalah tidak sejalan dengan peraturan yang ada dalam masyarakat yang sifatnya menyeluruh seperti menyinggung perasaan masyarakat atau golongan, menyinggung kesopanan atau etika umum masyarakat, dan menyinggung ketentraman masyarakat atau golongan. Huruf b
Huruf c
Huruf d Yang dimaksud dengan "memuat keterangan yang tidak sesuai dengan kualitas, manfaat, atau khasiat dari barang dan/atau jasa yang diproduksi" adalah mencantumkan keterangan yang tidak sesuai dengan kualitas, manfaat, khasiat, dan/atau risiko dari produk dimaksud. Contohnya: obat yang dapat menyembuhkan seribu satu penyakit, rokok yang aman bagi kesehatan. Huruf e Tanda dianggap tidak memiliki daya pembeda apabila tanda tersebut terlalu sederhana seperti satu tanda garis atau satu tanda titik, ataupun terlalu rumit sehingga tidak jelas. Huruf f
Huruf g
Angka 2
Angka 3
Cukup jelas. Ayat (2)
Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Yang dimaksud dengan "tanggal pendaftaran" adalah tanggal didaftarnya Merek. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Pasal 109 Angka 1
Angka 2 Pasal 7
Ayat (2)
Ayat (3)
Ayat (4)
Ayat (5)
Ayat (6)
Ayat (7)
Huruf a Yang dimaksud dengan "persero" adalah badan usaha milik negara yang berbentuk Perseroan yang modalnya terbagi dalam saham yang diatur dalam undang-undang tentang badan usaha milik negara. Huruf b
Huruf c
Huruf d
Huruf e
Ayat (8) Cukup jelas. Angka 3 Pasal 32 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Ketentuan pada ayat ini diperlukan untuk mengantisipasi perubahan keadaan perekonomian. Angka 4 Pasal 153 Cukup jelas. Angka 5 Pasal 153A Cukup jelas. Pasal 153B Ayat (1) Modal dasar perseroan untuk usaha mikro dan kecil berasal dari kekayaan pendiri yang dipisahkan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 153C Cukup jelas. Pasal 153D Cukup jelas. Pasal 153E Ayat (1)
Ayat (2)
Pasal 153F Cukup jelas. Pasal 153G Cukup jelas. Pasal 153H Cukup jelas. Pasal 153I Cukup jelas. Pasal 153J Cukup jelas. Pasal 110 Dihapus. Pasal 111 Angka 1 Pasal 2 Ayat (1) Huruf a Orang pribadi sebagai subjek pajak dapat bertempat tinggal atau berada di Indonesia ataupun di luar Indonesia. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan merupakan subjek pajak pengganti, menggantikan mereka yang berhak yaitu ahli waris. Penunjukan warisan yang belum terbagi sebagai subjek pajak pengganti dimaksudkan agar pengenaan pajak atas penghasilan yang berasal dari warisan tersebut tetap dapat dilaksanakan. Huruf b
Huruf c
Ayat (1a) Cukup jelas. Ayat (2) Subjek pajak dibedakan menjadi subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri. Subjek pajak orang pribadi dalam negeri menjadi Wajib Pajak apabila telah menerima atau memperoleh penghasilan yang besarnya melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak. Subjek pajak badan dalam negeri menjadi Wajib Pajak sejak saat didirikan, atau bertempat kedudukan di Indonesia. Subjek pajak luar negeri baik orang pribadi maupun badan sekaligus menjadi Wajib Pajak karena menerima dan/atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia atau menerima dan/atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia melalui bentuk usaha tetap di Indonesia. Dengan perkataan lain, Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang telah memenuhi kewajiban subjektif dan objektif. Sehubungan dengan pemilikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), Wajib Pajak orang pribadi yang menerima penghasilan di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) tidak wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP. Perbedaan yang penting antara Wajib Pajak dalam negeri dan Wajib Pajak luar negeri terletak dalam pemenuhan kewajiban pajaknya, antara lain:
Bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia, pemenuhan kewajiban perpajakannya dipersamakan dengan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak badan dalam negeri sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini dan Undang-Undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan. Ayat (3)
Pada prinsipnya orang pribadi yang menjadi subjek pajak dalam negeri adalah orang pribadi yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia. Termasuk dalam pengertian orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia adalah mereka yang mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia. Apakah seseorang mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia ditimbang menurut keadaan. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Warisan yang belum terbagi yang ditinggalkan oleh orang pribadi subjek pajak dalam negeri dianggap sebagai subjek pajak dalam negeri dalam pengertian Undang-Undang ini mengikuti status pewaris. Adapun untuk pelaksanaan pemenuhan kewajiban perpajakannya, warisan tersebut menggantikan kewajiban ahli waris yang berhak. Apabila warisan tersebut telah dibagi, kewajiban perpajakannya beralih kepada ahli waris. Ayat (4) Subjek pajak luar negeri adalah orang pribadi atau badan yang bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di luar Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia, baik melalui maupun tanpa melalui bentuk usaha tetap. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, tetapi berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan maka orang tersebut adalah subjek pajak luar negeri. Apabila penghasilan diterima atau diperoleh melalui bentuk usaha tetap maka terhadap orang pribadi atau badan tersebut dikenai pajak melalui bentuk usaha tetap. Orang pribadi atau badan tersebut, statusnya tetap sebagai subjek pajak luar negeri. Dengan demikian, bentuk usaha tetap tersebut menggantikan orang pribadi atau badan sebagai subjek pajak luar negeri dalam memenuhi kewajiban perpajakannya di Indonesia. Dalam hal penghasilan tersebut diterima atau diperoleh tanpa melalui bentuk usaha tetap maka pengenaan pajaknya dilakukan langsung kepada subjek pajak luar negeri tersebut. Ayat (5) Suatu bentuk usaha tetap mengandung pengertian adanya suatu tempat usaha (place of business) yaitu fasilitas yang dapat berupa tanah dan gedung termasuk juga mesin-mesin, peralatan, gudang dan komputer atau agen elektronik atau peralatan otomatis (automated equipment) yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan aktivitas usaha melalui internet. Tempat usaha tersebut bersifat permanen dan digunakan untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dari orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia. Ayat (6) Penentuan tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan penting untuk menetapkan Kantor Pelayanan Pajak mana yang mempunyai yurisdiksi pemajakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan tersebut. Angka 2
Undang-Undang ini menganut prinsip pemajakan atas penghasilan dalam pengertian yang luas, yaitu bahwa pajak dikenakan atas setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dari manapun asalnya yang dapat dipergunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan Wajib Pajak tersebut.
Dilihat dari penggunaannya, penghasilan dapat dipakai untuk konsumsi dan dapat pula ditabung untuk menambah kekayaan Wajib Pajak. Huruf a
Huruf b Dalam pengertian hadiah termasuk hadiah dari undian, pekerjaan, dan kegiatan seperti hadiah undian tabungan, hadiah dari pertandingan olahraga dan lain sebagainya. Huruf c
Huruf d
Huruf e
Huruf f
Huruf g
Dalam praktik sering dijumpai pembagian atau pembayaran dividen secara terselubung, misalnya dalam hal pemegang saham yang telah menyetor penuh modalnya dan memberikan pinjaman kepada perseroan dengan imbalan bunga yang melebihi kewajaran. Huruf h
Dalam pengertian sewa termasuk imbalan yang diterima atau diperoleh dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan penggunaan harta gerak atau harta tak gerak, misalnya sewa mobil, sewa kantor, sewa rumah, dan sewa gudang. Huruf j Penerimaan berupa pembayaran berkala, misalnya "alimentasi" atau tunjangan seumur hidup yang dibayar secara berulang-ulang dalam waktu tertentu. Huruf k
Huruf l
Huruf m
Huruf n
Huruf o
Huruf p
Huruf q
Huruf r
Huruf s
Ayat (1a)
Ayat (1b)
Ayat (1c)
Ayat (1d)
Ayat (2) Sesuai dengan ketentuan pada ayat (1), penghasilan-penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat ini merupakan objek pajak. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan antara lain:
Ayat (3) Huruf a Bantuan atau sumbangan bagi pihak yang menerima bukan merupakan objek pajak sepanjang diterima tidak dalam rangka hubungan kerja, hubungan usaha, hubungan kepemilikan, atau hubungan penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan. Zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan para penerima zakat yang berhak serta sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama lainnya yang diakui di Indonesia yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima sumbangan yang berhak diperlakukan sama seperti bantuan atau sumbangan. Yang dimaksud dengan "zakat" adalah zakat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai zakat. Huruf b
Huruf c
Pada prinsipnya harta, termasuk setoran tunai, yang diterima oleh badan merupakan tambahan kemampuan ekonomis bagi badan tersebut. Namun karena harta tersebut diterima sebagai pengganti saham atau penyertaan modal, maka berdasarkan ketentuan ini, harta yang diterima tersebut bukan merupakan objek pajak. Huruf d
Misalnya, seorang penduduk Indonesia menjadi pegawai pada suatu perwakilan diplomatik asing di Jakarta. Pegawai tersebut memperoleh kenikmatan menempati rumah yang disewa oleh perwakilan diplomatik tersebut atau kenikmatan-kenikmatan lainnya. Kenikmatan-kenikmatan tersebut merupakan penghasilan bagi pegawai tersebut sebab perwakilan diplomatik yang bersangkutan bukan merupakan Wajib Pajak. Huruf e
Huruf f
Huruf g
Huruf h
Huruf i
Huruf j
Huruf k
Huruf l
Huruf m
Untuk menjamin tercapainya tujuan pemberian fasilitas ini, maka lembaga atau badan yang menyelenggarakan pendidikan harus bersifat nirlaba. Pendidikan serta penelitian dan pengembangan yang diselenggarakan bersifat terbuka kepada siapa saja dan telah mendapat pengesahan dari instansi yang membidanginya. Huruf n
Bantuan atau santunan yang diberikan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) kepada Wajib Pajak tertentu adalah bantuan sosial yang diberikan khusus kepada Wajib Pajak atau anggota masyarakat yang tidak mampu atau sedang mendapat bencana alam atau tertimpa musibah. Huruf o
Huruf p
Angka 3
Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri dari Indonesia, Undang-Undang ini menganut dua sistem pengenaan pajak, yaitu pemenuhan sendiri kewajiban perpajakannya bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia dan pemotongan oleh pihak yang wajib membayar bagi Wajib Pajak luar negeri lainnya. Ayat (1) Pemotongan pajak berdasarkan ketentuan ini wajib dilakukan oleh badan pemerintah, subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya yang melakukan pembayaran kepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia dengan tarif sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto. Jenis-jenis penghasilan yang wajib dilakukan pemotongan dapat digolongkan dalam:
Sesuai dengan ketentuan ini, misalnya suatu badan subjek pajak dalam negeri membayarkan royalti sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) kepada Wajib Pajak luar negeri, subjek pajak dalam negeri tersebut berkewajiban untuk memotong Pajak Penghasilan sebesar 20% (dua puluh persen) dari Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Ayat (1a)
Ayat (1b)
Ayat (2)
Ayat (2a)
Ayat (3)
Ayat (4)
Apabila penghasilan setelah pajak sebesar Rp13.650.000.000,00 (tiga belas miliar enam ratus lima puluh juta rupiah) tersebut ditanamkan kembali di Indonesia sesuai dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan, atas penghasilan tersebut tidak dipotong pajak. Ayat (5)
Pasal 112 Angka 1
Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan "perjanjian" meliputi jual beli, tukar-menukar, jual beli dengan angsuran, atau perjanjian lain yang mengakibatkan penyerahan hak atas barang. Huruf b
Huruf c
Huruf d
Huruf e
Huruf f
Huruf g
Huruf h
Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan 'makelar" adalah makelar sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, yaitu pedagang perantara yang diangkat oleh Presiden atau oleh pejabat yang oleh Presiden dinyatakan berwenang untuk itu. Mereka menyelenggarakan perusahaan mereka dengan melakukan pekerjaan dengan mendapat upah atau provisi tertentu, atas amanat dan atas nama orang-orang lain yang dengan mereka tidak terdapat hubungan kerja. Huruf b
Huruf c
Huruf d
Huruf e
Angka 2 Pasal 4A Ayat (1) Dihapus. Ayat (2) Huruf a Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya meliputi:
Huruf b
Huruf c
Huruf d Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Jasa pelayanan kesehatan medis meliputi:
Huruf b Jasa pelayanan sosial meliputi:
Huruf c Jasa pengiriman surat dengan perangko meliputi jasa pengiriman surat dengan menggunakan perangko tempel dan menggunakan cara lain pengganti perangko tempel. Huruf d
Huruf e
Huruf f
Huruf g
Huruf h
Huruf i
Huruf j
Huruf k
Huruf l
Huruf m
Huruf n
Huruf o Yang dimaksud dengan "jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam" adalah jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam atau koin, yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta. Huruf p
Huruf q
Angka 3 Pasal 9 Ayat (1) Dihapus. Ayat (2) Pembeli Barang Kena Pajak, penerima Jasa Kena Pajak, pengimpor Barang Kena Pajak, pihak yang memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean, atau pihak yang memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean wajib membayar Pajak Pertambahan Nilai dan berhak menerima bukti pungutan pajak. Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar tersebut merupakan Pajak Masukan bagi pembeli Barang Kena Pajak, penerima Jasa Kena Pajak, pengimpor Barang Kena Pajak,pihak yang memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean, atau pihak yang memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean, yang berstatus sebagai Pengusaha Kena Pajak. Ayat (2a) Cukup jelas. Ayat (2b) Untuk keperluan mengkreditkan Pajak Masukan, Pengusaha Kena Pajak menggunakan Faktur Pajak yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5). Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Pajak Masukan yang dimaksud pada ayat ini adalah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan.
Pajak yang lebih dibayar tersebut dikompensasikan ke Masa Pajak Juni 2021.
Pajak yang lebih dibayar tersebut dikompensasikan ke Masa Pajak Juli 2021. Ayat (4a) Kelebihan Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak sesuai dengan ketentuan pada ayat (4) dikompensasikan pada Masa Pajak berikutnya. Ayat (4b) Cukup jelas. Ayat (4c)
Ayat (4d)
Ayat (4e)
Ayat (4f)
Ayat (5)
Pajak Keluaran = nihil Pajak Masukan yang dibayar atas perolehan:
Menurut ketentuan ini, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan denganPajak Keluaran sebesar Rp2.500.000,00 hanya sebesar Rp1.500.000,00. Ayat (6) Dalam hal Pajak Masukan untuk penyerahan yang terutang pajak tidak dapat diketahui dengan pasti, cara pengkreditan Pajak Masukan dihitung berdasarkan pedoman yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan, yang dimaksudkan untuk memberikan kemudahan dan kepastian kepada Pengusaha Kena Pajak.
Pajak Masukan yang dibayar atas perolehan Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak yang berkaitan dengan keseluruhan penyerahan sebesar Rp2.500.000,00, sedangkan Pajak Masukan yang berkaitan dengan penyerahan yang terutang pajak tidak dapat diketahui dengan pasti. Menurut ketentuan ini, Pajak Masukan sebesar Rp2.500.000,00 tidak seluruhnya dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran sebesar Rp3.500.000,00. Ayat (6a) Cukup jelas. Ayat (6b) Dihapus. Ayat (6c) Cukup jelas. Ayat (6d) Cukup jelas. Ayat (6e) Cukup jelas. Ayat (6f) Cukup jelas. Ayat (6g) Cukup jelas. Ayat (7) Dalam rangka menyederhanakan penghitungan Pajak Pertambahan Nilai yang harus disetor, Pengusaha Kena Pajak yang peredaran usahanya dalam 1 (satu) tahun tidak melebihi jumlah tertentu dapat menghitung besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dengan menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan. Ayat (7a)
Ayat (7b)
Ayat (8)
Huruf a Dihapus.
Yang dimaksud dengan pengeluaran yang langsung berhubungan dengan kegiatan usaha adalah pengeluaran untuk kegiatan produksi, distribusi, pemasaran, dan manajemen. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Dihapus. Huruf e Dihapus. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Dihapus. Huruf i Dihapus. Huruf j Dihapus. Ayat (9) Cukup jelas. Ayat (9a) Cukup jelas. Ayat (9b) Cukup jelas. Ayat (9c) Cukup jelas. Ayat (10) Dihapus. Ayat (11) Dihapus. Ayat (12) Dihapus. Ayat (13) Cukup jelas. Ayat (14) Cukup jelas. Angka 4
Pasal 13 Ayat (1) Dalam hal terjadi penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak, Pengusaha Kena Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak dan/atau menyerahkan Jasa Kena Pajak itu wajib memungut Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dan memberikan Faktur Pajak sebagai bukti pungutan pajak. Faktur Pajak tidak perlu dibuat secara khusus atau berbeda dengan faktur penjualan. Faktur Pajak dapat berupa faktur penjualan atau dokumen tertentu yang ditetapkan sebagai Faktur Pajak oleh Direktur Jenderal Pajak. Berdasarkan ketentuan ini, atas setiap penyerahan Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16D wajib dibuatkan Faktur Pajak. Ayat (1a)
Ayat (2)
Ayat (2a)
Ayat (3)
Ayat (4) Dihapus. Ayat (5) Faktur Pajak merupakan bukti pungutan pajak dan dapat digunakan sebagai sarana untuk mengkreditkan Pajak Masukan. Faktur Pajak harus diisi secara benar, lengkap, dan jelas serta ditandatangani oleh pihak yang ditunjuk oleh Pengusaha Kena Pajak untuk menandatanganinya. Namun, keterangan mengenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah hanya diisi apabila atas penyerahan Barang Kena Pajak terutang Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Faktur Pajak yang tidak diisi sesuai dengan ketentuan dalam ayat ini mengakibatkan Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum di dalamnya tidak dapat dikreditkan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 9 ayat (8) huruf f. Ayat (5a) Cukup jelas. Ayat (6) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Direktur Jenderal Pajak dapat menentukan dokumen yang biasa digunakan dalam dunia usaha yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak. Ketentuan ini diperlukan, antara lain, karena:
Ayat (7)
Ayat (8)
Ayat (9)
Pasal 113 Angka 1
Terhadap kekeliruan dalam pengisian Surat Pemberitahuan yang dibuat oleh Wajib Pajak, Wajib Pajak masih berhak untuk melakukan pembetulan atas kemauan sendiri, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum mulai melakukan tindakan pemeriksaan. Yang dimaksud dengan "mulai melakukan tindakan pemeriksaan" adalah pada saat Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Pajak disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak. Ayat (1a) Yang dimaksud dengan daluwarsa penetapan adalah jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1). Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (2a) Cukup jelas. Ayat (2b) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (3a) Cukup jelas. Ayat (4) Walaupun Direktur Jenderal Pajak telah melakukan pemeriksaan tetapi belum menerbitkan surat ketetapan pajak, kepada Wajib Pajak baik yang telah maupun yang belum membetulkan Surat Pemberitahuan masih diberikan kesempatan untuk mengungkapkan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan, yang dapat berupa Surat Pemberitahuan Tahunan atau Surat Pemberitahuan Masa untuk tahun atau masa yang diperiksa. Pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan tersebut dilakukan dalam laporan tersendiri dan harus mencerminkan keadaan yang sebenarnya sehingga dapat diketahui jumlah pajak yang sesungguhnya terutang. Namun, untuk membuktikan kebenaran laporan Wajib Pajak tersebut, proses pemeriksaan tetap dilanjutkan sampai selesai. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (5a) Cukup jelas. Ayat (6) Sehubungan dengan diterbitkannya surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali atas suatu Tahun Pajak yang mengakibatkan rugi fiskal yang berbeda dengan rugi fiskal yang telah dikompensasikan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan tahun berikutnya atau tahun-tahun berikutnya, akan dilakukan penyesuaian rugi fiskal sesuai dengan surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali dalam penghitungan Pajak Penghasilan tahun-tahun berikutnya, pembatasan jangka waktu 3 (tiga) bulan tersebut dimaksudkan untuk tertib administrasi tanpa menghilangkan hak Wajib Pajak atas kompensasi kerugian. Dalam hal Wajib Pajak membetulkan Surat Pemberitahuan lewat jangka waktu 3 (tiga) bulan atau Wajib Pajak tidak mengajukan pembetulan sebagai akibat adanya surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali Tahun Pajak sebelumnya atau beberapa Tahun Pajak sebelumnya, yang menyatakan rugi fiskal yang berbeda dengan rugi fiskal yang telah dikompensasikan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan, Direktur Jenderal Pajak akan memperhitungkannya dalam menetapkan kewajiban perpajakan Wajib Pajak. Untuk jelasnya diberikan contoh sebagai berikut:
Penghasilan Neto Rp200.000.000,00 Dengan demikian Penghasilan Kena Pajak dari Surat Pemberitahuan yang semula Rp50.000.000,00 (Rp200.000.000,00 - Rp150.000.000,00) setelah pembetulan menjadi Rp130.000.000,00 (Rp200.000.000,00 - Rp70.000.000,00)
Terhadap Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2020 dilakukan pemeriksaan dan pada tanggal 6 Januari 2023 diterbitkan surat ketetapan paiak yang menyatakan rugi fiskal sebesar Rp250.000.000,00.
Dengan demikian Penghasilan Kena Pajak dari Surat Pemberitahuan yang semula Rp 100.000.000,00 (Rp300.000.000,00 - Rp200.000.000,00) setelah pembetulan menjadi Rp50.000.000,00 (Rp300.000.000,00 - Rp250.000.000,00). Angka 2
Ayat (2)
Ayat (2a)
Ayat (2b)
Ayat (2c)
Ayat (3)
Ayat (3a)
Ayat (4)
Angka 3
Jika setelah diadakan penghitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang dengan jumlah kredit pajak menunjukkan jumlah selisih lebih (jumlah kredit pajak lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang) atau telah dilakukan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang, Wajib Pajak berhak untuk meminta kembali kelebihan pembayaran pajak, dengan catatan Wajib Pajak tersebut tidak mempunyai utang pajak. Ayat (1a)
Ayat (2) Untuk menjamin kepastian hukum bagi Wajib Pajak dan ketertiban administrasi, batas waktu pengembalian kelebihan pembayaran pajak ditetapkan paling lama 1 (satu) bulan:
Ayat (3)
Ayat (3a)
Ayat (4)
Angka 4
Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (2a) Cukup jelas. Ayat (2b) Cukup jelas. Ayat (3) Ayat ini mengatur sanksi administrasi dari suatu ketetapan pajak karena melanggar kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d. Sanksi administrasi berupa kenaikan merupakan suatu jumlah proporsional yang harus ditambahkan pada pokok pajak yang kurang dibayar. Ayat (3a) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Dihapus. Ayat (6) Cukup jelas. Angka 5
Angka 6
Cukup jelas. Ayat (2) Surat Tagihan Pajak menurut ayat ini disamakan kekuatan hukumnya dengan surat ketetapan pajak sehingga dalam hal penagihannya dapat juga dilakukan dengan Surat Paksa. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Dihapus. Ayat (5a) Cukup jelas. Ayat (5b) Cukup jelas. Ayat (5c) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Angka 7
Untuk menampung kemungkinan terjadinya suatu Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar yang ternyata telah ditetapkan lebih rendah atau pajak yang terutang dalam suatu Surat Ketetapan Pajak Nihil ditetapkan lebih rendah atau telah dilakukan pengembalian pajak yang tidak seharusnya sebagaimana telah ditetapkan dalam Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan merupakan koreksi atas surat ketetapan pajak sebelumnya. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan baru diterbitkan apabila sudah pernah diterbitkan surat ketetapan pajak. Pada prinsipnya untuk menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan perlu dilakukan pemeriksaan. Jika surat ketetapan pajak sebelumnya diterbitkan berdasarkan pemeriksaan, perlu dilakukan pemeriksaan ulang sebelum menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan. Dalam hal surat ketetapan pajak sebelumnya diterbitkan berdasarkan keterangan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf a, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan juga harus diterbitkan berdasarkan pemeriksaan, tetapi bukan pemeriksaan ulang. Yang dimaksud dengan "data baru" adalah data atau keterangan mengenai segala sesuatu yang diperlukan untuk menghitung besarnya jumlah pajak yang terutang yang oleh Wajib Pajak belum diberitahukan pada waktu penetapan semula, baik dalam Surat Pemberitahuan dan lampiran-lampirannya maupun dalam pembukuan perusahaan yang diserahkan pada waktu pemeriksaan.
Walaupun Wajib Pajak telah memberitahukan data dalam Surat Pemberitahuan atau mengungkapkannya pada waktu pemeriksaan, tetapi apabila memberitahukannya atau mengungkapkannya dengan cara sedemikian rupa sehingga membuat fiskus tidak mungkin menghitung besarnya jumlah pajak yang terutang secara benar sehingga jumlah pajak yang terutang ditetapkan kurang dari yang seharusnya, hal tersebut termasuk dalam pengertian data yang semula belum terungkap.
Barang-barang tersebut sebagian digunakan untuk kegiatan yang mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usahanya, seperti pengeluaran untuk kegiatan produksi, distribusi, pemasaran, dan manajemen, dan sebagian lainnya tidak mempunyai hubungan langsung. Seluruh faktur pajak tersebut dikreditkan sebagai Pajak Masukan oleh Pengusaha Kena Pajak pembeli. Ayat (2)
Ayat (3)
Ayat (4)
Ayat (5)
Angka 8
Yang dimaksud dengan "surat permohonan telah diterima secara lengkap" adalah Surat Pemberitahuan yang telah diisi lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3. Ayat (1a)
Ayat (2)
Ayat (3)
Ayat (4)
Ayat (5)
Ayat (6)
Ayat (7)
Angka 9
Angka 10
Angka 11
Angka 12
Cukup jelas. Angka 13 Pasal 44B
Ayat (2)
Ayat (3)
Angka 1
Cukup jelas. Angka 2
Dihapus. Angka 3
Angka 4
Pasal 156B
Angka 5
Penyampaian Rancangan Peraturan Daerah kepada Menteri Keuangan dimaksudkan dalam rangka mempermudah dan mempercepat proses koordinasi. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Dihapus. Ayat (4) Dihapus. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (5a) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Dihapus. Ayat (8) Cukup jelas. Ayat (9) Cukup jelas. Ayat (10) Cukup jelas. Angka 6
Angka 7
Cukup jelas. Angka 8
Angka 1
Cukup jelas. Angka 2
Angka 3
Yang dimaksud dengan "standar mutu wajib" adalah standar nasional Indonesia (SNI) yang diberlakukan secara wajib pada Komoditas Perikanan dan Komoditas Pergaraman. Ayat (2)
Angka 4
Angka 5
Dihapus. Pasal 117 Angka 1
Angka 2
Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Dalam rangka keterpaduan pembangunan daerah, BUM Desa dan unit usaha dibawahnya dalam menjalankan kegiatan usaha harus sesuai dengan rencana induk pembangunan daerah. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 118 Angka 1 Pasal 44 Ayat (1) 30 (tiga puluh) hari dihitung sejak diterimanya petikan putusan Komisi oleh pelaku usaha atau kuasa hukumnya. Ayat (2)
Ayat (3)
Ayat (4)
Ayat (5)
Angka 2
Angka 3 Pasal 47
Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Penghentian integrasi vertikal antara lain dilaksanakan dengan pembatalan perjanjian, pengalihan sebagian perusahaan kepada pelaku usaha lain, atau perubahan bentuk rangkaian produksinya. Huruf c Yang diperintahkan untuk dihentikan adalah kegiatan atau tindakan tertentu dan bukan kegiatan usaha pelaku usaha secara keseluruhan. Huruf d Cukup jelas. Huruf e
Huruf f Ganti rugi diberikan kepada pelaku usaha dan kepada pihak lain yang dirugikan. Huruf g Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Angka 4 Pasal 48 Cukup jelas. Angka 5 Pasal 49 Dihapus. Pasal 119 Cukup jelas. Pasal 120 Angka 1 BAB V Cukup jelas. Angka 2 Pasal 66 Cukup jelas. Pasal 121 Pasal 48 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "terintegrasi" adalah upaya mengarahkan dan menyinergikan antara lain dalam penyusunan perencanaan, program, anggaran, dan Sumber Daya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi bidang Penelitian, Pengembangan, Pengkajian, dan Penerapan untuk menghasilkan Invensi dan Inovasi sebagai landasan ilmiah dalam perumusan dan penetapan kebijakan pembangunan nasional. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 122 Cukup jelas. Pasal 123 Angka 1 Pasal 8 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Huruf a
Huruf b Mekanisme pinjam pakai kawasan hutan digunakan khusus untuk proyek-proyek yang sifatnya tidak permanen. Angka 2 Pasal 10 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan "bendungan" adalah bangunan yang berupa urukan tanah, urukan batu, beton, dan/atau pasangan batu yang dibangun selain untuk menahan dan menampung air juga untuk menahan dan menampung limbah tambang (tailing) atau lumpur sehingga terbentuk waduk. Huruf d Cukup jelas. Huruf e
Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Yang dimaksud dengan "sampah" adalah sampah sesuai dengan undang-undang yang mengatur pengelolaan sampah. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Yang dimaksud "fasilitas keselamatan umum" adalah semua fasilitas yang diperlukan untuk menanggulangi akibat suatu bencana, antara lain rumah sakit darurat, rumah penampungan darurat, serta tanggul penanggulangan bahaya banjir, lahar, dan longsor. Huruf k Cukup jelas. Huruf l Yang dimaksud dengan "fasilitas sosial" digunakan antara lain untuk kepentingan keagamaan atau beribadah. Huruf m Cukup jelas. Huruf n Yang dimaksud dengan "kantor Pemerintah/Pemerintah Daerah/desa" adalah sarana dan prasarana untuk menyelenggarakan fungsi pemerintahan, termasuk lembaga pemasyarakatan, rumah tahanan negara, dan unit pelaksana teknis lembaga pemasyarakatan lain. Huruf o Yang dimaksud dengan "perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah" adalah perumahan masyarakat yang dibangun di atas tanah Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah dan kepada penghuninya diberikan status rumah sewa. Huruf p Cukup jelas. Huruf q Cukup jelas. Huruf r Yang dimaksud dengan "pasar umum dan lapangan parkir umum" adalah pasar dan lapangan parkir yang direncanakan, dilaksanakan, dikelola, dan dimiliki oleh Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah dan pengelolaannya dapat dilakukan dengan bekerja sama dengan Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, atau Badan Usaha Swasta. Huruf s Cukup jelas. Huruf t Cukup jelas. Huruf u Cukup jelas. Huruf v Cukup jelas. Huruf w Cukup jelas. Huruf x Cukup jelas.
Angka 3 Pasal 14
Angka 4
Yang dimaksud dengan "pengelola dan pengguna Barang Milik Negara/Barang Milik Daerah" adalah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perbendaharaan negara. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "masyarakat yang terkena dampak" misalnya masyarakat yang berbatasan langsung dengan lokasi Pengadaan Tanah. Ayat (3)
Ayat (4)
Ayat (5)
Ayat (6)
Ayat (7)
Ayat (8)
Angka 5
Pasal 19C
Angka 6 Pasal 24
Angka 7 Pasal 28
Ayat (2)
Ayat (3)
Angka 8 Pasal 34
Angka 9
Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan "pemukiman kembali" adalah proses kegiatan penyediaan tanah pengganti kepada Pihak yang Berhak ke lokasi lain sesuai dengan kesepakatan dalam proses Pengadaan Tanah. Huruf d Yang dimaksud dengan 'Ganti Kerugian dalam bentuk kepemilikan saham" adalah penyertaan saham dalam kegiatan pembangunan untuk Kepentingan Umum terkait dan/atau pengelolaannya yang didasari kesepakatan antarpihak. Huruf e
Ayat (2) Cukup jelas. Angka 10 Pasal 40 Pemberian Ganti Kerugian pada prinsipnya harus diserahkan langsung kepada Pihak yang Berhak atas Ganti Kerugian. Apabila berhalangan, pihak yang Berhak karena hukum dapat memberikan kuasa kepada pihak lain atau ahli waris. Penerima kuasa hanya dapat menerima kuasa dari satu orang yang berhak atas Ganti Kerugian. Yang berhak antara lain:
Yang dimaksud dengan "pihak yang menguasai tanah negara dengan iktikad baik" adalah:
Pada ketentuannya, Ganti Kerugian diberikan kepada pemegang Hak atas Tanah. Untuk hak guna bangunan atau hak pakai yang berada di atas tanah yang bukan miliknya, Ganti Kerugian diberikan kepada pemegang hak guna bangunan atau hak pakai atas bangunan, tanaman, atau benda lain yang berkaitan dengan tanah yang dimiliki atau dipunyainya, sedangkan Ganti Kerugian atas tanahnya diberikan kepada pemegang hak milik atau hak pengelolaan. Ganti Kerugian atas tanah hak ulayat diberikan dalam bentuk tanah pengganti, pemukiman kembali, atau bentuk lain yang disepakati oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Pihak yang menguasai tanah negara yang dapat diberikan Ganti Kerugian adalah pemakai tanah negara yang sesuai dengan atau tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan. Misalnya, bekas pemegang hak yang telah habis jangka waktunya yang masih menggunakan atau memanfaatkan tanah yang bersangkutan, pihak yang menguasai tanah negara berdasarkan sewa-menyewa, atau pihak lain yang menggunakan atau memanfaatkan tanah negara bebas dengan tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan. Angka 11
Angka 12
Angka 1
Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "kepentingan umum" adalah kepentingan sebagian besar masyarakat yang meliputi kepentingan untuk pembuatan jalan umum, waduk, bendungan, irigasi, saluran air minum atau air bersih, drainase dan sanitasi, bangunan pengairan, pelabuhan, bandar udara, stasiun dan jalan kereta api, terminal, fasilitas keselamatan umum, cagar alam, serta pembangkit dan jaringan listrik. Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Angka 2
Cukup jelas. Pasal 126 Ayat (1)
Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Reforma agraria dalam kerangka bank tanah tidak termasuk tanah dalam kawasan hutan. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 127 Cukup jelas. Pasal 128 Cukup jelas. Pasal 129 Ayat (1)
Ayat (2)
Ayat (3)
Ayat (4) Cukup jelas.
Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 130 Cukup jelas. Pasal 131 Cukup jelas. Pasal 132 Cukup jelas. Pasal 133 Cukup jelas. Pasal 134 Cukup jelas. Pasal 135 Cukup jelas. Pasal 136 Cukup jelas. Pasal 137 Cukup jelas. Pasal 138 Cukup jelas. Pasal 139 Cukup jelas. Pasal 140 Cukup jelas. Pasal 141 Cukup jelas.
Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Kepemilikan satuan rumah susun oleh warga negara asing hanya diberikan di Kawasan Ekonomi Khusus, Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, Kawasan Industri, dan kawasan ekonomi lainnya. Huruf d Kepemilikan satuan rumah susun oleh badan hukum asing hanya diberikan di Kawasan Ekonomi Khusus, Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, Kawasan Industri, dan kawasan ekonomi lainnya. Huruf e Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 145
Pasal 1 Cukup jelas. Angka 2 Pasal 3 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan "logistik dan distribusi" adalah kegiatan usaha yang meliputi antara lain: kegiatan penyimpanan, perakitan, penyortiran, pengepakan, pendistribusian, perbaikan dan perekondisian permesinan dari dalam negeri dan dari luar negeri. Huruf c Yang dimaksud dengan "pengembangan teknologi" adalah kegiatan usaha yang meliputi antara lain: kegiatan riset dan teknologi, rancangan bangunan dan rekayasa, teknologi terapan, pengembangan perangkat lunak, serta jasa di bidang teknologi informasi. Huruf d Yang dimaksud dengan "pariwisata" adalah kegiatan usaha yang meliputi antara lain: kegiatan usaha pariwisata untuk mendukung penyelenggaraan hiburan dan rekreasi, pertemuan, perjalanan insentif dan pameran, serta kegiatan yang terkait. Huruf e Cukup jelas Huruf f Cukup jelas Huruf g Cukup jelas Huruf h Cukup jelas Ayat (2)
Ayat (3)
Ayat (4)
Ayat (5)
Ayat (6)
Ayat (7) Cukup jelas. Angka 3
Yang dimaksud dengan "kawasan lindung" adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan. Huruf b Yang dimaksud dengan "mempunyai batas yang jelas" adalah batas alam (sungai atau laut) atau batas buatan (pagar atau tembok). Huruf c Cukup jelas. Angka 4
Angka 5
Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Lokasi pengembangan yang diusulkan dapat merupakan area baru atau perluasan KEK yang sudah ada. Huruf b Yang dimaksud dengan "rencana tata ruang KEK" adalah rencana peruntukan ruang pada lokasi KEK. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Angka 6
Angka 7
Cukup jelas. Angka 8
Angka 9
Cukup jelas. Ayat (2) Materi dan syarat kerja sama meliputi antara lain jangka waktu kerja sama, pertanggungjawaban terhadap aset yang berasal dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan swasta, serta hak kepemilikan setelah masa kerja sama berakhir. Angka 10
Angka 11
Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Standar pengelolaan di KEK mengatur antara lain standar infrastruktur dan pelayanan Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Yang dimaksud dengan "permasalahan strategis" antara lain permasalahan yang tidak dapat diselesaikan oleh Dewan Kawasan atau menyangkut kebijakan nasional dan/atau daerah yang memengaruhi pelaksanaan pengelolaan dan pengembangan KEK. Huruf h Cukup jelas. Angka 12
Angka 13
Angka 14
Angka 15
Cukup jelas. Angka 16
Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan "pelayanan non perizinan" adalah segala bentuk kemudahan pelayanan fasilitas fiskal, fasilitas non-fiskal dan informasi mengenai penanaman modal, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Huruf c Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Angka 17
Angka 18
Pasal 24B
Pasal 24C
Yang dimaksud dengan "pola pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum", adalah pola pengelolaan keuangan yang memberikan fleksibilitas berupa keleluasaan untuk menerapkan praktik-praktik bisnis yang sehat untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Ayat (2) Cukup jelas. Angka 19
Angka 20 Pasal 26
Angka 21
Cukup jelas. Ayat (2) Pada wilayah yang tidak ditetapkan sebagai KEK, terdapat ketentuan mengenai pembatasan impor. Namun, ketentuan mengenai pembatasan impor tersebut tidak dapat diberlakukan bagi barang yang dimasukkan ke dalam KEK mengingat barang yang dimasukkan ke dalam KEK digunakan untuk pembangunan dan pengoperasian KEK. Apabila pembatasan impor diberlakukan di KEK maka dapat mengurangi daya saing KEK. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan "sistem elektronik yang terintegrasi secara nasional" adalah integrasi sistem secara nasional yang memungkinkan dilakukannya penyampaian data dan informasi secara tunggal, pemrosesan data dan informasi secara tunggal dan sinkron, dan penyampaian keputusan secara tunggal untuk pemberian perizinan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ayat (5) Cukup jelas.
Angka 22
Angka 23
Angka 24
Cukup jelas.
Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan "pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud serta Jasa Kena Pajak di KEK" adalah pemanfaatan baik yang berasal dari dalam KEK sendiri ataupun yang berasal dari KEK lainnya, Luar Daerah Pabean, Tempat Lain Dalam Daerah Pabean, Kawasan Bebas, dan Tempat Penimbunan Berikat Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Angka 25
Yang dimaksud dengan "barang konsumsi" mencakup antara lain:
Jenis dan jumlahnya diusulkan oleh Administror dan disetujui oleh Dewan Nasional. Ayat (2)
Angka 26 Pasal 33A
Ayat (2)
Angka 27 Pasal 35
Angka 28 Pasal 36
Angka 29 Pasal 38
Angka 30 Pasal 38A Cukup jelas. Angka 31 Pasal 40
Angka 32
Yang dimaksud dengan "jabatan direksi atau komisaris" adalah jabatan direksi atau komisaris yang tercantum dalam akta pendirian perusahaan atau perubahannya.
Angka 33
Yang dimaksud dengan "Lembaga Kerja Sama Tripartit Khusus" adalah Lembaga Kerja Sama Tripartit yang berada di KEK. Ayat (2) Cukup jelas. Angka 34
Angka 35
Angka 36
Angka 37
Cukup jelas. Pasal 152 Angka 1
Angka 2
Cukup jelas. Angka 3 Pasal 10
Angka 4
Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 154 Ayat (1) Dalam melakukan investasi, pemerintah melakukan pengelolaan dan penempatan sejumlah dana dan/atau aset untuk memperoleh manfaat ekonomi, sosial, dan/atau manfaat lainnya. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Huruf a
Huruf b
Huruf c
Huruf d
Huruf e
Huruf f
Cukup jelas. Pasal 156 Cukup jelas. Pasal 157 Ayat (1)
Ayat (2)
Ayat (3)
Ayat (4)
Ayat (5)
Ayat (6)
Ayat (7)
Ayat (8) Peraturan Pemerintah antara lain mengatur mengenai mekanisme pembukuan aset yang dipindah tangankan, penentuan aset yang dipindahtangankan dan nilai pasar wajar aset tersebut, dan prosedur pemindahtanganan. Ayat (1)
Ayat (2)
Ayat (3) Kerja sama dengan pihak ketiga dimaksud antara lain dilakukan dengan mitra investasi, badan usaha milik negara, badan atau lembaga pemerintah atau melalui penunjukan manajer investasi berbadan hukum Indonesia atau asing. Ayat (4) Modal dan kekayaan Lembaga merupakan milik Lembaga dan setiap kerugian yang dialami oleh Lembaga bukan merupakan kerugian negara. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Peraturan Pemerintah dimaksud mengatur antara lain pertimbangan untuk melakukan pencadangan dan penggunaan akumulasi modal untuk investasi kembali. Ayat (1)
Ayat (2)
Ayat (3) Pemindah tanganan aset Lembaga untuk dijadikan penyertaan modal dengan memperhatikan tujuan pemindah tanganan, penilaian atas aset dan memperhatikan praktik bisnis yang berlaku secara internasional dan dilakukan dengan prinsip usaha yang sehat. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Peraturan Pemerintah dalam ayat ini sekurang-kurangnya mengatur:
Pengaturan di dalam Peraturan Pemerintah didasarkan pada praktik internasional yang baik. Pasal 160 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b
Huruf c
Huruf d
Huruf e
Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Lembaga oleh akuntan publik dilakukan dengan mengikuti standar akuntasi yang diakui secara internasional sebagai standar akuntansi yang berlaku untuk badan hukum pengelola investasi sejenisnya.
Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan kondisi insolven adalah kondisi di mana Lembaga kekurangan modal yang berdampak pada kesulitan untuk melakukan kegiatan usaha dalam jangka panjang. Pasal 163
Peraturan Pemerintah dimaksud mengatur antara lain kebijakan investasi, keterbukaan informasi, benturan kepentingan, kerahasiaan informasi, pengadministrasian dari data dan informasi yang berkaitan dengan aset yang dikelola, audit internal, tanggung jawab sosial dan lingkungan serta manajemen risiko dengan memperhatikan praktik bisnis yang berlaku secara internasional. Ayat (2) Ketidakberlakuan peraturan perundang-undangan terkait yang mengatur pengelolaan keuangan negara/kekayaan negara/badan usaha milik negara bagi Lembaga, karena kegiatan pengelolaan aset dan investasi telah diatur secara khusus dalam undang-undang ini dan peraturan pelaksanaannya. Pasal 165
Lembaga Pengelola Investasi dapat disebut dengan nama lain seperti: Indonesian Sovereign Wealth Fund atau Indonesia Investment Authority. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 166
Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "badan usaha" antara lain Badan Usaha Milik Negara dan/atau Badan Usaha Milik Daerah. Ayat (3)
Ayat (4)
Ayat (5)
Cukup jelas. Pasal 175 Angka 1
Cukup jelas. Angka 2 Pasal 24 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan "alasan-alasan objektif" adalah alasan-alasan yang diambil berdasarkan fakta dan kondisi faktual, tidak memihak, dan rasional serta berdasarkan AUPB. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan "iktikad baik" adalah Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan didasarkan atas motif kejujuran dan berdasarkan AUPB. Angka 3 Pasal 38 Ayat (1) Prosedur penggunaan Keputusan Berbentuk Elektronis berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang informasi dan transaksi elektronik. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Angka 4
Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan "memerlukan perhatian khusus" adalah setiap usaha atau kegiatan yang dilakukan atau dikerjakan oleh Warga Masyarakat, dalam rangka menjaga ketertiban umum, maka Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan perlu memberikan perhatian dan pengawasan. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan "swasta" meliputi perorangan, korporasi yang berbadan hukum di Indonesia, dan asing. Huruf c Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Angka 5 Pasal 39A
Angka 6 Pasal 53
Angka 1 Pasal 16 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "praktik yang baik (good practices)" adalah sesuai standar atau ketentuan yang berlaku secara internasional". Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas.
Angka 2 Pasal 250
Angka 3 Pasal 251
Angka 4 Pasal 252
Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Pemotongan DAU dan/atau DBH bagi Daerah bersangkutan sebesar uang yang sudah dipungut oleh Daerah. Angka 5 Pasal 260
Angka 6 Pasal 292A
Angka 7 Pasal 300
Angka 8 Pasal 349
Yang dimaksud dengan "penyederhanaan jenis pelayanan publik" adalah menggabungkan beberapa jenis pelayanan publik yang diamanatkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan menjadi 1 (satu) jenis pelayanan yang di dalamnya menampung/memuat substansi pelayanan yang digabungkan tersebut. Yang dimaksud dengan "penyederhanaan prosedur pelayanan publik" adalah mengurangi dan/atau mengintegrasikan persyaratan atau langkah-langkah pemberian layanan, sehingga mempermudah proses pemberian layanan kepada masyarakat. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Angka 9 Pasal 350
Angka 10
Cukup jelas. Pasal 177 Cukup jelas. Pasal 178 Cukup jelas. Pasal 179 Cukup jelas. Pasal 180 Cukup jelas. Pasal 181 Cukup jelas. Pasal 182 Cukup jelas. Pasal 183 Cukup jelas. Pasal 184 Cukup jelas. Pasal 185 Cukup jelas. Pasal 186 Cukup jelas. |
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6573
Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.