Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.
KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR KEP - 02/PJ./1995
TENTANG
PETUNJUK PELAKSANAAN PEMOTONGAN, PENYETORAN, DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21
DAN PASAL 26 SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN, JASA, DAN KEGIATAN ORANG PRIBADI
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan :
BAB II
PEMOTONG PAJAK DAN PENERIMA PENGHASILAN YANG DIPOTONG PAJAK
Pasal 2
(1) | Pemotong Pajak PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26, yang selanjutnya disingkat Pemotong Pajak adalah :
|
(2) | Dalam pengertian pemberi kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a termasuk juga badan atau organisasi internasional yang tidak dikecualikan sebagai Pemotong Pajak berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan. |
(3) | Perusahaan dan badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, e, dan g termasuk badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah, perusahaan swasta dengan nama dan dalam bentuk apapun, dan badan atau organisasi internasional dalam bentuk apapun yang tidak dikecualikan sebagai Pemotong Pajak berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan. |
Penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 berdasarkan Keputusan ini adalah orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf b sampai dengan huruf h serta orang pribadi lainnya yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan dari Pemotong Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.
Tidak termasuk dalam pengertian penerima penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 adalah :
BAB III
PENGHASILAN YANG DIPOTONG PAJAK
(1) |
Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah :
|
||||||||||||||||||||||||||
(2) | Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk pula penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan lainnya dengan nama apapun yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak. | ||||||||||||||||||||||||||
(3) | Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 26 adalah imbalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diterima atau diperoleh orang pribadi dengan status Wajib Pajak luar negeri sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan. |
Untuk keperluan penghitungan PPh Pasal 21 atau PPh Pasal 26, penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam mata uang asing dihitung berdasarkan nilai kurs yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan secara berkala.
Tidak termasuk dalam pengertian penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah :
BAB IV
PENGURANGAN YANG DIPERBOLEHKAN
Pasal 8
(1) | Untuk menentukan besarnya penghasilan neto pegawai tetap, maka penghasilan bruto dikurangi dengan :
|
||||||||||||||||||
(2) | Untuk menentukan besarnya penghasilan neto penerima pensiun, penghasilan bruto berupa uang pensiun dikurangi biaya pensiun yaitu biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara uang pensiun yang besarnya 5% (lima persen) dari penghasilan bruto berupa uang pensiun setinggi-tingginya Rp. 216.000,00 (dua ratus enam belas ribu rupiah) setahun atau Rp. 18.000,00 (delapan belas ribu rupiah) sebulan. | ||||||||||||||||||
(3) |
Untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak dari seorang pegawai, penghasilan netonya dikurangi dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yang besarnya adalah sebagai berikut :
|
||||||||||||||||||
(4) | Dalam hal karyawati kawin, PTKP yang dikurangkan adalah hanya untuk dirinya sendiri, dan dalam hal tidak kawin pengurangan PTKP selain untuk dirinya sendiri ditambah dengan PTKP untuk keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c. | ||||||||||||||||||
(5) | Bagi karyawati yang menunjukkan keterangan tertulis dari pemerintah daerah setempat (serendah-rendahnya kecamatan) bahwa suaminya tidak menerima atau memperoleh penghasilan, diberikan tambahan PTKP sebesar Rp. 864.000,00 (delapan ratus enam puluh empat ribu rupiah) setahun atau Rp. 72.000,00 (tujuh puluh dua ribu rupiah) sebulan dan ditambah PTKP untuk keluarganya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c. | ||||||||||||||||||
(6) | Besarnya PTKP ditentukan berdasarkan keadaan pada awal tahun takwim. Adapun bagi pegawai yang baru datang dan menetap di Indonesia dalam bagian tahun takwim, besarnya PTKP tersebut berdasarkan keadaan pada awal bulan dari bagian tahun takwim yang bersangkutan. | ||||||||||||||||||
(7) | Pengurangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap penghasilan-penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf c, huruf d, dan huruf e. | ||||||||||||||||||
(8) | Pengurangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) tidak berlaku terhadap penghasilan Wajib Pajak luar negeri. Penghasilan yang dikenakan pemotongan PPh Pasal 26 bagi Wajib Pajak luar negeri adalah penghasilan bruto. |
(1) | Penghasilan bruto yang diterima pegawai harian, pegawai mingguan, pemagang, dan pegawai tidak tetap lainnya berupa upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan, dan upah saku harian yang besarnya tidak lebih dari Rp. 14.400.000 (empat belas ribu empat ratus rupiah) sehari, tidak dipotong PPh Pasal 21. |
(2) | Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterapkan atas penghasilan bruto dalam satu bulan takwim yang jumlahnya tidak melebihi Rp. 144.000,00 (seratus empat puluh empat ribu rupiah) dan tidak dibayarkan secara bulanan. |
(3) | Dalam hal penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam satu bulan takwim jumlahnya melebihi Rp. 144.000,00 (seratus empat puluh empat ribu rupiah), maka besarnya PTKP yang dapat dikurangkan untuk satu hari adalah sesuai dengan jumlah PTKP sebenarnya dari penerima penghasilan yang bersangkutan dibagi dengan 360. |
(4) | Dalam hal penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibayarkan secara bulanan, maka PTKP yang dapat dikurangkan adalah PTKP sebenarnya dari penerima penghasilan yang bersangkutan. |
(5) | Atas penghasilan yang dibayarkan kepada pegawai tetap yang dihitung berdasarkan upah harian, dilakukan pengurangan PTKP yang sebenarnya sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ayat (3). |
(6) | Atas penghasilan berupa beasiswa, dilakukan pengurangan PTKP yang sebenarnya sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ayat (3). |
(7) | Atas Penghasilan yang dibayarkan atau terutang kepada tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris dikenakan pemotongan PPh Pasal 21 berdasarkan perkiraan penghasilan neto. |
(8) | Perkiraan penghasilan neto sebagaimana dimaksud pada ayat (7) adalah sebesar 40% (empat puluh persen) dari penghasilan bruto berupa honorarium atau imbalan lain dengan nama apapun. |
BAB V
TARIF DAN PENERAPANNYA
Pasal 10
(1) | Tarif berdasarkan Pasal 17 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak dari :
|
(2) | Besarnya Penghasilan Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) :
|
Tarif berdasarkan Pasal 17 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 diterapkan atas penghasilan bruto berupa :
Tarif sebesar 15% (lima belas persen) diterapkan atas perkiraan penghasilan neto yang dibayarkan atau terutang kepada tenaga ahli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (7) dan ayat (8).
(1) | Tarif sebesar 10% (sepuluh persen) diterapkan atas upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan, dan uang saku harian yang jumlahnya melebihi Rp. 14.400,00 (empat belas ribu empat ratus rupiah) sehari, tetapi tidak melebihi Rp. 144.000,00 (seratus empat puluh empat ribu rupiah) dalam satu bulan takwim dan atau tidak dibayarkan secara bulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2). |
(2) | Untuk mendapatkan jumlah upah harian atau uang saku harian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku ketentuan sebagai berikut :
|
(3) | Dalam hal penerima penghasilan berupa upah, uang saku, dan komisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pegawai tetap, maka atas seluruh penghasilan yang diterima atau diperoleh dari pemberi kerja yang bersangkutan termasuk upah, uang saku, dan komisi dikenakan PPh Pasal 21 dengan menerapkan Tarif Pasal 17 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 atas Penghasilan Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 ayat (1) |
(1) | Tarif sebesar 15% (lima belas persen) dan bersifat final diterapkan atas penghasilan bruto berupa uang pesangon, uang tebusan pensiun, tunjangan hari tua atau tabungan hari tua yang dibayarkan sekaligus, dan hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun. |
(2) | Tarif sebesar 10% (sepuluh persen) dan bersifat final diterapkan atas komisi yang diterima atau diperoleh petugas dinas luar asuransi dan petugas penjaja barang dagangan, sepanjang petugas tersebut bukan pegawai tetap. |
(1) | Tarif PPh Pasal 26 sebesar 20% (dua puluh persen) dan bersifat final diterapkan terhadap penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh sebagai imbalan atas pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status Wajib Pajak luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3). |
(2) | PPh Pasal 26 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak bersifat final dalam hal orang pribadi sebagai Wajib Pajak luar negeri tersebut berubah status menjadi Wajib Pajak dalam negeri. |
Untuk keperluan penerapan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Penghasilan Kena Pajak dibulatkan ke bawah hingga ribuan rupiah penuh.
PPh Pasal 21 dan Pasal 26, terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau pada akhir bulan terutangnya penghasilan yang bersangkutan.
Cara penghitungan pemotongan PPh Pasal 21 dan Pasal 26 dimuat dalam lampiran keputusan ini.
BAB VI
HAK DAN KEWAJIBAN PEMOTONG PAJAK
Pasal 19
(1) | Setiap Pemotong Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 wajib mendaftarkan diri ke Kantor Pelayanan Pajak atau Kantor Penyuluhan Pajak setempat. |
(2) | Kewajiban sebagai Pemotong Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga bagi organisasi internasional yang tidak dikecualikan berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 649/KMK.04/1994 tanggal 29 Desember 1994. |
(3) | Pemotong Pajak mengambil sendiri formulir-formulir yang diperlukan dalam rangka pemenuhan kewajiban perpajakannya pada Kantor Pelayanan Pajak atau Kantor Penyuluhan Pajak setempat. |
(1) | Pemotong Pajak wajib menghitung, memotong dan menyetor PPh Pasal 21 dan Pasal 26 yang terutang untuk setiap bulan takwim. |
(2) | Penyetoran pajak dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) ke bank persepsi atau Kantor Pos dan Giro, selambat-lambatnya pada tanggal 10 bulan takwim berikutnya. |
(3) | Pemotong Pajak wajib melaporkan penyetoran tersebut pada ayat (2) sekalipun nihil dengan menggunakan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa ke Kantor Pelayanan Pajak atau Kantor Penyuluhan Pajak setempat, selambat-lambatnya pada tanggal 20 bulan takwim berikutnya. |
(4) | Apabila dalam satu bulan takwim terjadi kelebihan penyetoran PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 26, maka kelebihan tersebut dapat diperhitungkan dengan PPh Pasal 21 dan Pasal 26 yang terutang pada bulan berikutnya dalam tahun takwim yang bersangkutan. |
(5) | Pemotong Pajak wajib memberikan Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 atau PPh Pasal 26 baik diminta maupun tidak pada saat dilakukannya pemotongan pajak kepada orang pribadi bukan sebagai pegawai tetap, penerima uang tebusan pensiun, penerima THT, penerima pesangon, dan penerima dana pensiun iuran pasti. |
(6) | Pemotong Pajak wajib memberikan bukti pemotongan PPh Pasal 21 tahunan kepada pegawai tetap, termasuk penerima pensiun bulanan, dengan menggunakan formulir yang ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak dalam waktu 2 (dua) bulan setelah tahun takwim berakhir. |
(7) | Apabila pegawai tetap berhenti bekerja atau pensiun pada bagian tahun takwim, maka bukti pemotongan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diberikan oleh pemberi kerja selambat-lambatnya 1 bulan setelah pegawai yang bersangkutan berhenti bekerja atau pensiun. |
(1) | Dalam Waktu 2 (dua) bulan setelah tahun takwim berakhir, Pemotong Pajak berkewajiban menghitung kembali jumlah PPh Pasal 21 yang terutang oleh pegawai tetap dan penerima pensiun bulanan menurut tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994. |
(2) | Jumlah penghasilan yang menjadi dasar penghitungan PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada kewajiban pajak subjektif yang melekat pada pegawai tetap yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (5) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994, dan penghitungannya sebagai berikut :
|
(3) | Apabila jumlah pajak yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) lebih besar dari jumlah pajak yang telah dipotong, kekurangannya dipotongkan dari pembayaran gaji pegawai yang bersangkutan untuk bulan pada waktu dilakukannya penghitungan kembali. |
(4) | Apabila jumlah pajak terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) lebih rendah dari jumlah pajak yang telah dipotong, kelebihannya diperhitungkan dengan pajak yang terutang atas gaji untuk bulan pada waktu dilakukan penghitungan kembali. |
(1) | Setiap Pemotong Pajak wajib mengisi, menandatangani, dan menyampaikan SPT Tahunan PPh Pasal 21 ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Pemotong Pajak terdaftar atau Kantor Penyuluhan Pajak setempat. |
(2) | Surat Pemberitahuan Tahunan PPh Pasal 21 harus disampaikan selambat-lambatnya tanggal 31 Maret tahun takwim berikutnya. |
(3) | Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku juga bagi Pemotong Pajak yang tahun pajak atau tahun bukunya tidak sama dengan tahun takwim. |
(4) | Pemotong Pajak dapat mengajukan permohonan untuk memperpanjang jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2). |
(5) | Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diajukan secara tertulis selambat-lambatnya tanggal 31 Maret tahun takwim berikutnya dengan menggunakan formulir yang ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak disertai surat pernyataan mengenai penghitungan sementara PPh Pasal 21 yang terutang untuk tahun takwim yang bersangkutan dan bukti pelunasan kekurangan pembayaran PPh Pasal 21 yang terutang. |
(6) | Surat Pemberitahuan Tahunan PPh Pasal 21 harus dilampiri dengan lampiran-lampiran yang ditentukan dalam Petunjuk Pengisian SPT tahunan PPh Pasal 21 untuk tahun pajak yang bersangkutan. |
(7) | Apabila terdapat pegawai berkebangsaan asing, maka SPT Tahunan PPh Pasal 21 yang bersangkutan harus dilampiri fotokopi surat ijin kerja yang dikeluarkan oleh Departemen Tenaga kerja atau instansi yang berwenang. |
(8) | Dalam hal jumlah PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 26 yang terutang dalam suatu tahun takwim lebih besar dari pada PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 26 yang telah disetor, maka kekurangannya harus disetor sebelum penyampaian SPT Tahunan PPh Pasal 21 selambat-lambatnya tanggal 25 Maret tahun takwim berikutnya. |
(9) | Dalam hal jumlah PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 26 yang terutang dalam suatu tahun takwim lebih kecil dari pada PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 26 yang telah disetor, maka kelebihan tersebut diperhitungkan dengan PPh Pasal 21 yang terutang untuk bulan pada waktu dilakukannya penghitungan tahunan, dan jika masih ada sisa kelebihan, maka diperhitungkan untuk bulan-bulan lainnya dalam tahun berikutnya. |
(10) | Dalam hal Pemotong Pajak adalah badan, SPT Tahunan PPh Pasal 21 harus ditandatangani oleh pengurus atau direksi. |
(11) | Dalam hal SPT Tahunan PPh Pasal 21 ditandatangani dan diisi oleh orang lain selain dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri Surat Kuasa Khusus. |
BAB VII
HAK DAN KEWAJIBAN PENERIMA PENGHASILAN YANG DIPOTONG PAJAK
(1) | Pada saat seseorang mulai bekerja atau mulai pensiun, untuk mendapatkan pengurangan PTKP, penerima penghasilan harus menyerahkan surat pernyataan kepada Pemotong Pajak sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 yang menyatakan jumlah tanggungan keluarga pada permulaan tahun takwim atau pada permulaan menjadi Subjek Pajak dalam negeri. |
(2) | Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga harus dilaksanakan dalam hal ada perubahan jumlah tanggungan keluarga menurut keadaan pada permulaan tahun takwim. |
Jumlah PPh Pasal 21 yang dipotong merupakan kredit pajak bagi penerima penghasilan yang dikenakan pemotongan untuk tahun pajak yang bersangkutan, kecuali PPh Pasal 21 yang bersifat final.
BAB VIII
KEBERATAN DAN BANDING
Pasal 25
Pemotong Pajak dan penerima penghasilan dapat mengajukan keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak dan permohonan banding kepada badan peradilan pajak sesuai ketentuan Pasal 25, Pasal 26, dan Pasal 27 Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 26
(1) | Keputusan ini dapat disebut "Petunjuk Pemotongan PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 26". |
(2) | Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1995. |
Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.