Home
/
Data Center
/
Peraturan
/
16 Tahun 2025
PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 16 TAHUN 2025

TENTANG

KEBIJAKAN DAN PENGATURAN IMPOR

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :
 
a. bahwa untuk mendukung pelaksanaan kegiatan perdagangan luar negeri melalui pengendalian di bidang impor, perlu mengatur kembali kebijakan dan pengaturan impor;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, serta untuk melaksanakan  ketentuan Pasal 3 ayat (3), Pasal 4 ayat (3), Pasal 6 ayat (9), Pasal 7 ayat (6), Pasal 9 ayat (3), dan Pasal 12 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Perdagangan dan Pasal 101 ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kawasan Ekonomi Khusus, perlu menetapkan Peraturan Menteri Perdagangan tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor;

Mengingat:
 
1. Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3564);
3. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3612) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4661);
4. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 61 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2024 Nomor 225, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6994);
5. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 45, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5512) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2009 tentang Tempat Penimbunan Berikat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 61, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4998) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 85 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2009 tentang Tempat Penimbunan Berikat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 279, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5768);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 83 Tahun 2010 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemerintah Kepada Dewan Kawasan Sabang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 143, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5175);
8. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Perindustrian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6640) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Perindustrian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 119, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6891);
9. Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Perdagangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6641);
10. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kawasan Ekonomi Khusus (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6652);
11. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6653);
12. Peraturan Presiden Nomor 168 Tahun 2024 tentang Kementerian Perdagangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2024 Nomor 364);
13. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 6 Tahun 2025 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Perdagangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2025 Nomor 53);


MEMUTUSKAN:

Menetapkan :

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN TENTANG KEBIJAKAN DAN PENGATURAN IMPOR.


BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
 
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Perdagangan adalah tatanan kegiatan yang terkait dengan transaksi barang dan/atau jasa di dalam negeri dan melampaui batas wilayah negara dengan tujuan pengalihan hak atas barang dan/atau jasa untuk memperoleh imbalan atau kompensasi.
2. Perdagangan Luar Negeri adalah Perdagangan yang mencakup kegiatan ekspor dan/atau impor atas barang dan/atau Perdagangan jasa yang melampaui batas wilayah negara.
3. Barang adalah setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, baik dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, dan dapat diperdagangkan, dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha.
4. Barang Dibatasi Impor adalah Barang yang diatur impornya berdasarkan ketentuan dalam Peraturan Menteri ini.
5. Barang Dilarang Impor adalah Barang yang dilarang impornya berdasarkan ketentuan peraturan perundang- undangan yang mengatur mengenai barang dilarang Impor.
6. Barang Bebas Impor adalah Barang yang tidak termasuk dalam Barang Dibatasi Impor dan Barang Dilarang Impor.
7. Bahan Baku adalah bahan mentah, Barang setengah jadi, atau Barang jadi yang dapat diolah menjadi Barang setengah jadi atau Barang jadi yang mempunyai nilai ekonomi yang lebih tinggi.
8. Bahan Penolong adalah bahan yang digunakan sebagai pelengkap dalam proses produksi untuk menghasilkan produk yang fungsinya sempurna.
9. Impor adalah kegiatan memasukkan Barang ke dalam daerah pabean.
10. Importir adalah orang perseorangan, lembaga, atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum, yang melakukan Impor.
11. Pelaku Usaha adalah orang perseorangan atau badan usaha yang melakukan usaha dan/atau kegiatan pada bidang tertentu.
12. Perizinan Berusaha adalah legalitas yang diberikan kepada Pelaku Usaha untuk memulai dan menjalankan usaha dan/atau kegiatannya.
13. Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha adalah legalitas yang diberikan kepada Pelaku Usaha untuk menunjang kegiatan usaha.
14. Nomor Induk Berusaha yang selanjutnya disingkat NIB adalah bukti registrasi/pendaftaran Pelaku Usaha untuk melakukan kegiatan usaha dan sebagai identitas bagi Pelaku Usaha dalam pelaksanaan kegiatan usahanya.
15. Angka Pengenal Importir yang selanjutnya disingkat API adalah tanda pengenal sebagai Importir.
16. API Umum yang selanjutnya disebut API-U adalah tanda pengenal sebagai Importir yang hanya diberikan kepada badan usaha yang melakukan Impor Barang tertentu untuk tujuan diperdagangkan atau dipindahtangankan.
17. API Produsen yang selanjutnya disebut API-P adalah tanda pengenal sebagai Importir yang hanya diberikan kepada badan usaha yang melakukan Impor Barang tertentu untuk dipergunakan sendiri sebagai barang modal, Bahan Baku, Bahan Penolong, dan/atau bahan untuk mendukung proses produksi.
18. Importir Terdaftar adalah Perizinan Berusaha di bidang Impor berupa bukti pendaftaran Importir pemilik NIB yang berlaku sebagai API-U.
19. Importir Produsen adalah Perizinan Berusaha di bidang Impor berupa bukti pendaftaran Importir pemilik NIB yang berlaku sebagai API-P.
20. Persetujuan Impor adalah Perizinan Berusaha di bidang Impor berupa persetujuan dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan untuk melakukan Impor.
21. Surat Keterangan adalah dokumen yang menerangkan persetujuan dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan terhadap pengecualian kebijakan dan pengaturan Impor atau Impor untuk tujuan tertentu.
22. Barang Komplementer adalah Barang manufaktur yang diimpor oleh perusahaan pemilik NIB yang berlaku sebagai API-P dengan tujuan untuk melengkapi lini produk, yang berasal dari dan dihasilkan oleh perusahaan di luar negeri yang memiliki hubungan istimewa dengan perusahaan pemilik NIB yang berlaku sebagai API-P.
23. Barang untuk Keperluan Tes Pasar adalah Barang manufaktur yang diimpor dan belum dapat diproduksi oleh perusahaan pemilik NIB yang berlaku sebagai API-P dengan tujuan untuk mengetahui reaksi pasar dan digunakan dalam rangka pengembangan usahanya dalam jangka waktu tertentu.
24. Barang untuk Pelayanan Purna Jual adalah Barang manufaktur yang diimpor oleh perusahaan pemilik NIB yang berlaku sebagai API-P dengan tujuan untuk menjamin ketersediaan suku cadang, produk pengganti, dan penggantian produk yang terkait dengan produk utamanya.
25. Neraca Komoditas adalah data dan informasi yang memuat situasi konsumsi dan produksi komoditas tertentu untuk kebutuhan penduduk dan keperluan industri dalam kurun waktu tertentu yang ditetapkan dan berlaku secara nasional.
26. Pemberitahuan Pabean Impor adalah pernyataan yang dibuat oleh Pelaku Usaha dalam rangka melaksanakan kewajiban pabean Impor dalam bentuk dan syarat yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan.
27. Verifikasi atau Penelusuran Teknis adalah pemeriksaan dan/atau pemastian Barang yang dilakukan oleh surveyor.
28. Laporan Surveyor adalah dokumen tertulis yang merupakan hasil kegiatan Verifikasi atau Penelusuran Teknis dari surveyor yang menyatakan kesesuaian Barang yang diimpor.
29. Tanda Tangan Elektronik adalah tanda tangan yang terdiri atas informasi elektronik yang dilekatkan, terasosiasi, atau terkait dengan informasi elektronik lainnya yang digunakan sebagai alat verifikasi dan autentikasi.
30. Sistem Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik (Online Single Submission) yang selanjutnya disebut Sistem OSS adalah sistem elektronik terintegrasi yang dikelola dan diselenggarakan oleh lembaga Online Single Submission untuk penyelenggaraan Perizinan Berusaha berbasis risiko.
31. Sistem Indonesia National Single Window yang selanjutnya disingkat SINSW adalah sistem elektronik yang mengintegrasikan sistem dan/atau informasi berkaitan dengan proses penanganan dokumen kepabeanan, dokumen kekarantinaan, dokumen perizinan, dokumen kepelabuhanan/kebandarudaraan, dan dokumen lain, yang terkait dengan ekspor dan/atau Impor, yang menjamin keamanan data dan informasi serta memadukan alur dan proses informasi antar sistem internal secara otomatis.
32. Sistem INATRADE adalah sistem pelayanan terpadu Perdagangan pada Kementerian Perdagangan yang dilakukan secara online melalui portal http://inatrade.kemendag.go.id.
33. Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat tertentu di zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-Undang Kepabeanan.
34. Kawasan Pabean adalah kawasan dengan batas-batas tertentu di pelabuhan laut, bandar udara, atau tempat lain yang ditetapkan untuk lalu lintas barang yang sepenuhnya berada di bawah pengawasan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
35. Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas yang selanjutnya disingkat KPBPB adalah suatu kawasan yang berada dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terpisah dari Daerah Pabean sehingga bebas dari pengenaan bea masuk, pajak pertambahan nilai, pajak penjualan atas barang mewah, dan cukai.
36. Kawasan Ekonomi Khusus yang selanjutnya disingkat KEK adalah kawasan dengan batas tertentu dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditetapkan untuk menyelenggarakan fungsi perekonomian dan memperoleh fasilitas tertentu.
37. Tempat Penimbunan Berikat yang selanjutnya disingkat TPB adalah bangunan, tempat, atau kawasan yang memenuhi persyaratan tertentu yang digunakan untuk menimbun Barang dengan tujuan tertentu dengan mendapatkan penangguhan bea masuk.
38. Kawasan Berikat adalah TPB untuk menimbun Barang Impor dan/atau Barang yang berasal dari tempat lain dalam Daerah Pabean guna diolah atau digabungkan sebelum diekspor atau diimpor untuk dipakai.
39. Pusat Logistik Berikat adalah TPB untuk menimbun Barang asal luar Daerah Pabean dan/atau Barang yang berasal dari tempat lain dalam Daerah Pabean, dapat disertai 1 (satu) atau lebih kegiatan sederhana dalam jangka waktu tertentu untuk dikeluarkan kembali.
40. Gudang Berikat adalah TPB untuk menimbun Barang Impor, dapat disertai 1 (satu) atau lebih kegiatan berupa pengemasan/pengemasan kembali, penyortiran, penggabungan (kitting), pengepakan, penyetelan, pemotongan, atas barang-barang tertentu dalam jangka waktu tertentu untuk dikeluarkan kembali.
41. Tempat Penyelenggaraan Pameran Berikat adalah TPB untuk menimbun Barang Impor dalam jangka waktu tertentu, dengan atau tanpa Barang dari dalam Daerah Pabean untuk dipamerkan.
42. Toko Bebas Bea adalah TPB untuk menimbun Barang asal Impor dan/atau Barang asal Daerah Pabean untuk dijual kepada orang tertentu.
43. Tempat Lelang Berikat adalah TPB untuk menimbun Barang Impor dalam jangka waktu tertentu untuk dijual secara lelang.
44. Kawasan Daur Ulang Berikat adalah TPB untuk menimbun Barang Impor dalam jangka waktu tertentu yang di dalamnya dilakukan kegiatan daur ulang limbah asal Impor dan/atau asal Daerah Pabean sehingga menjadi produk yang mempunyai nilai tambah serta nilai ekonomi yang lebih tinggi.
45. Dewan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas yang selanjutnya disebut Dewan Kawasan adalah dewan yang dibentuk untuk menetapkan kebijakan umum, membina, mengawasi, dan mengoordinasikan kegiatan Badan Pengusahaan KPBPB.
46. Dewan Nasional adalah dewan yang dibentuk di tingkat nasional untuk menyelenggarakan KEK.
47. Surveyor adalah perusahaan survei yang mendapat otorisasi untuk melakukan Verifikasi atau Penelusuran Teknis atas Impor.
48. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Perdagangan.
49. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Kementerian Perdagangan.


BAB II
IMPOR BARANG UNTUK KEGIATAN USAHA ATAU TIDAK
UNTUK KEGIATAN USAHA

 Pasal 2
 
(1) Impor Barang dapat dilakukan:
a. untuk kegiatan usaha; atau
b. tidak untuk kegiatan usaha.
(2) Untuk kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berupa kegiatan dalam bidang perekonomian yang terkait dengan:
a. transaksi Barang Impor yang dilakukan oleh Importir dengan tujuan pengalihan hak kepemilikan, pemakaian, atau penggunaan atas Barang untuk memperoleh imbalan atau kompensasi; atau
b. penggunaan Barang Impor yang dilakukan oleh Importir sebagai Barang modal, Bahan Baku, Bahan Penolong, dan/atau bahan untuk mendukung proses produksi atau kegiatan usahanya.
(3) Tidak untuk kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berupa kegiatan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (2).


BAB III
PERSYARATAN IMPOR UNTUK KEGIATAN USAHA

Pasal 3
 
(1) Importir wajib memiliki NIB yang berlaku sebagai API.
(2) NIB yang berlaku sebagai API sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. API-U; dan
b. API-P.
(3) Importir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat memilih NIB yang berlaku sebagai API-U atau NIB yang berlaku sebagai API-P.
(4) NIB yang berlaku sebagai API sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dimiliki oleh kantor pusat badan usaha.
(5) NIB yang berlaku sebagai API sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dimiliki oleh kantor pusat badan usaha dapat digunakan oleh seluruh kantor cabang pemilik API apabila memiliki kegiatan usaha sejenis.


Pasal 4

(1) Terhadap Impor atas Barang tertentu, Importir wajib memiliki Perizinan Berusaha di bidang Impor Barang tertentu dari Menteri sebelum Barang masuk ke dalam Daerah Pabean yang dibuktikan dengan dokumen pabean berupa manifes (BC 1.1).
(2) Penerbitan Perizinan Berusaha di bidang Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Menteri.
(3) Menteri memberikan mandat penerbitan Perizinan Berusaha di bidang Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Direktur Jenderal.
(4) Perizinan Berusaha di bidang Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. Importir Terdaftar;
b. Importir Produsen; dan/atau
c. Persetujuan Impor.
(5) Perizinan Berusaha di bidang Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha sektor Perdagangan Luar Negeri.
(6) Perizinan Berusaha di bidang Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (4) yang telah diterbitkan digunakan sebagai:
a. dokumen pelengkap pabean yang pemeriksaannya dilakukan di Kawasan Pabean; atau
b. dokumen persyaratan Impor yang pemeriksaannya dilakukan setelah melalui Kawasan Pabean (post border).
(7) Terhadap Perizinan Berusaha di bidang Impor berupa:
a. Importir Terdaftar sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a; atau
b. Importir Produsen sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b,
dapat dilakukan perubahan.
(8) Terhadap Perizinan Berusaha di bidang Impor berupa Persetujuan Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c dapat dilakukan perubahan dan/atau perpanjangan.
(9) Dalam hal Importir hanya dapat memiliki 1 (satu) Persetujuan Impor dan Importir telah memiliki perpanjangan Persetujuan Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (8), Importir dapat memiliki Persetujuan Impor baru pada periode perpanjangan Persetujuan Impor.
(10) Importir dapat memiliki 1 (satu) atau lebih Perizinan Berusaha di bidang Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (4) terhadap Barang tertentu.
(11) Perizinan Berusaha di bidang Impor berupa Importir Terdaftar dan Importir Produsen sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a dan huruf b berlaku untuk lebih dari 1 (satu) kali penyampaian Pemberitahuan Pabean Impor.
(12) Perizinan Berusaha di bidang Impor berupa Persetujuan Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c terhadap Barang tertentu berlaku untuk 1 (satu) kali penyampaian Pemberitahuan Pabean Impor atau lebih dari 1 (satu) kali penyampaian Pemberitahuan Pabean Impor.
(13) Ketentuan lebih lanjut mengenai Impor atas Barang tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.


Pasal 5

(1) Terhadap Impor atas Barang tertentu dikenai kewajiban Verifikasi atau Penelusuran Teknis.
(2) Kriteria Barang tertentu yang dikenai kewajiban Verifikasi atau Penelusuran Teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Barang yang berpotensi mengganggu keamanan negara;
b. Barang yang berpotensi mengganggu keamanan, kesehatan, keselamatan, dan lingkungan;
c. Barang yang berpotensi mengganggu moral masyarakat;
d. Barang kebutuhan pokok;
e. Barang modal yang diimpor dalam keadaan tidak baru; dan/atau
f. Barang kebutuhan industri strategis untuk kepentingan nasional.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Impor atas Barang tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.


Pasal 6
 
Ketentuan mengenai:
a. NIB yang berlaku sebagai API sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3;
b. Perizinan Berusaha di bidang Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4; dan
c. Verifikasi atau Penelusuran Teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5,
dikecualikan terhadap Impor Barang tertentu yang tujuannya diangkut terus atau diangkut lanjut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan yang seluruh barangnya untuk tujuan ekspor.


BAB IV
NOMOR INDUK BERUSAHA YANG BERLAKU SEBAGAI
ANGKA PENGENAL IMPORTIR

Pasal 7

(1) NIB yang berlaku sebagai API-U sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a hanya diberikan kepada badan usaha yang melakukan Impor Barang untuk tujuan diperdagangkan atau dipindahtangankan.
(2) NIB yang berlaku sebagai API-P sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b hanya diberikan kepada badan usaha yang melakukan Impor Barang untuk dipergunakan sendiri sebagai Barang modal, Bahan Baku, Bahan Penolong, dan/atau bahan untuk mendukung proses produksi.
(3) Barang yang diimpor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilarang untuk diperdagangkan atau dipindahtangankan kepada pihak lain.
(4) Ketentuan larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikecualikan terhadap:
a. Barang berupa Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong sisa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. Barang modal yang diimpor dalam keadaan baru oleh API-P apabila telah dipergunakan dalam jangka waktu paling singkat 2 (dua) tahun;
c. Barang yang diimpor sebagai Barang Komplementer, Barang untuk Keperluan Tes Pasar, dan/atau Barang untuk Pelayanan Purna Jual;
d. Barang yang diperdagangkan atau dipindahtangankan oleh Pelaku Usaha berupa badan usaha pemegang:
1. Izin usaha pengolahan minyak dan gas bumi; dan
2. Izin usaha niaga minyak dan gas bumi,
yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral; dan/atau
e. Barang modal, Bahan Baku, Bahan Penolong, dan/atau bahan untuk mendukung proses produksi asal Impor kemudian diekspor kembali dengan jumlah paling banyak sesuai dengan Pemberitahuan Pabean Impor.
(5) Ekspor kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf e dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai kebijakan dan pengaturan ekspor.


Pasal 8

(1) NIB yang berlaku sebagai API sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 hanya dapat dilakukan perubahan terhadap NIB yang berlaku sebagai API-U menjadi NIB yang berlaku sebagai API-P.
(2) Perubahan terhadap NIB yang berlaku sebagai API sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dalam hal:
a. Importir tidak memiliki Perizinan Berusaha di bidang Impor berupa Persetujuan Impor dan/atau Laporan Surveyor yang masih berlaku; atau
b. Importir yang memiliki Perizinan Berusaha di bidang Impor berupa Persetujuan Impor yang masih berlaku dan/atau Laporan Surveyor tidak sedang merealisasikan impornya.
(3) Terhadap perubahan NIB yang berlaku sebagai API-U menjadi NIB yang berlaku sebagai API-P sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Importir pemilik NIB yang berlaku sebagai API-U harus menyampaikan pernyataan secara elektronik melalui Sistem OSS yang berisi paling sedikit:
a. alasan perubahan NIB yang berlaku sebagai API; dan
b. tidak sedang merealisasikan impornya, dalam hal Importir memiliki Perizinan Berusaha di bidang
Impor berupa Persetujuan Impor dan/atau Laporan Surveyor yang masih berlaku.
(4) Terhadap perubahan NIB yang berlaku sebagai API-U menjadi NIB yang berlaku sebagai API-P sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan verifikasi oleh lembaga pemerintah yang bertugas melaksanakan koordinasi kebijakan dan pelayanan di bidang penanaman modal.
(5) Barang yang telah diimpor oleh Importir pemilik NIB yang berlaku sebagai API-U sebelum melakukan perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperdagangkan atau dipindahtangankan.
(6) Dalam hal terjadi perubahan jenis NIB yang berlaku sebagai API sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Perizinan Berusaha di bidang Impor yang telah diterbitkan dilakukan pencabutan dan dinyatakan tidak berlaku secara elektronik dan otomatis melalui Sistem INATRADE yang diteruskan ke SINSW berdasarkan notifikasi perubahan NIB yang berlaku sebagai API secara elektronik dari Sistem OSS.
(7) Ketentuan perubahan NIB yang berlaku sebagai API sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dikecualikan terhadap Importir yang tidak memiliki Perizinan Berusaha di bidang Impor dan/atau Laporan Surveyor.


BAB V
KONFIRMASI STATUS WAJIB PAJAK

Pasal 9

(1) Setiap penerbitan Perizinan Berusaha di bidang Impor harus dilakukan konfirmasi status wajib pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(2) Konfirmasi status wajib pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk memperoleh keterangan status wajib pajak.
(3) Keterangan status wajib pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memuat status valid digunakan sebagai salah satu persyaratan pemberian Perizinan Berusaha di bidang Impor.


BAB VI
HAK AKSES

Pasal 10

(1) Untuk mengajukan permohonan Perizinan Berusaha di bidang Impor dan Surat Keterangan, Importir harus memiliki hak akses.
(2) Hak akses sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh dengan melakukan registrasi melalui SINSW dan mengunggah hasil pindai dokumen asli paling sedikit berupa:
a. nomor pokok wajib pajak atau nomor induk kependudukan, untuk Importir yang merupakan orang perseorangan;
b. nomor pokok wajib pajak, untuk Importir yang merupakan badan usaha milik negara dan yayasan;
c. NIB dan nomor pokok wajib pajak, untuk Importir yang merupakan koperasi dan badan usaha;
d. nomor pokok wajib pajak, untuk Importir yang tidak mendapatkan NIB;
e. paspor, untuk warga negara asing yang merupakan pejabat pada badan internasional yang bertugas di Indonesia dan/atau pejabat pada kantor perwakilan negara asing di Indonesia; atau
f. nomor pokok wajib pajak bendahara satuan kerja, untuk pemerintah.
(3) Dalam hal dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah tersedia secara elektronik pada kementerian atau lembaga pemerintah nonkementerian yang telah terintegrasi dengan SINSW, Importir tidak mengunggah dokumen persyaratan ke SINSW.


BAB VII
PERIZINAN BERUSAHA

Bagian Kesatu
Permohonan dan Penerbitan Perizinan Berusaha

Pasal 11

(1) Untuk memperoleh Perizinan Berusaha di bidang Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4), Importir harus mengajukan permohonan lengkap secara elektronik kepada Menteri melalui SINSW yang diteruskan ke Sistem INATRADE.
(2) Dalam hal permohonan Perizinan Berusaha di bidang Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak lengkap, permohonan tidak diteruskan ke Sistem INATRADE.
(3) Pengajuan permohonan Perizinan Berusaha di bidang Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mengunggah hasil pindai dokumen asli persyaratan Perizinan Berusaha di bidang Impor.
(4) Dalam hal dokumen persyaratan Perizinan Berusaha di bidang Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (3) telah tersedia secara elektronik pada kementerian atau lembaga pemerintah nonkementerian yang telah terintegrasi dengan SINSW, Importir tidak mengunggah dokumen persyaratan ke SINSW.
(5) Dokumen persyaratan Perizinan Berusaha di bidang Impor secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berupa:
a. hasil pindai dokumen asli;
b. elemen data; dan/atau
c. status pengakuan/penetapan Pelaku Usaha.
(6) Importir bertanggung jawab terhadap kebenaran dan kesesuaian:
a. dokumen persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3);
b. data dan/atau informasi terkait dokumen persyaratan yang tersedia secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (4); dan
c. data dan/atau informasi lain yang terkait dengan pengajuan permohonan Perizinan Berusaha di bidang Impor,
dengan memberikan persetujuan dalam bentuk pernyataan tanggung jawab atas kebenaran dokumen persyaratan, data, dan/atau informasi secara elektronik melalui SINSW pada saat melakukan pengajuan permohonan Perizinan Berusaha di bidang Impor.
(7) Apabila dokumen persyaratan, data, dan/atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) terbukti tidak benar, Importir dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 12

(1) Terhadap permohonan Perizinan Berusaha di bidang Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dilakukan pemeriksaan administratif terkait kelengkapan dan kesesuaian dengan persyaratan oleh anggota tim yang memiliki hak akses untuk melakukan pemeriksaan administratif paling lama 15 (lima belas) hari kerja terhitung sejak permohonan diterima oleh Sistem INATRADE.
(2) Apabila permohonan Perizinan Berusaha di bidang Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dinyatakan lengkap sesuai dengan persyaratan, Direktur Jenderal atas nama Menteri menerbitkan Perizinan Berusaha di bidang Impor secara elektronik melalui Sistem INATRADE yang diteruskan ke SINSW dengan mencantumkan kode quick response (QR), yang tidak memerlukan cap dan tanda tangan basah dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak tanggal permohonan diterima secara lengkap sesuai dengan persyaratan oleh anggota tim sebagai pejabat fungsional yang memiliki hak akses untuk memulai pemrosesan Perizinan Berusaha di bidang Impor.
(3) Apabila permohonan Perizinan Berusaha di bidang Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dinyatakan lengkap sesuai dengan persyaratan, namun Perizinan Berusaha di bidang Impor belum diterbitkan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilakukan penerbitan Perizinan Berusaha di bidang Impor secara elektronik dan otomatis melalui Sistem INATRADE yang diteruskan ke SINSW.
(4) Apabila permohonan Perizinan Berusaha di bidang Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dinyatakan tidak sesuai dengan persyaratan, dilakukan penolakan secara elektronik melalui SINSW paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak tanggal permohonan diterima oleh anggota tim sebagai pejabat fungsional yang memiliki hak akses untuk memulai pemrosesan Perizinan Berusaha di bidang Impor.


Pasal 13

(1) Perizinan Berusaha di bidang Impor berupa Importir Terdaftar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4) huruf a atau Importir Produsen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4) huruf b memuat elemen data dan/atau keterangan paling sedikit mengenai:
a. nomor Importir Terdaftar atau Importir Produsen dan tanggal terbit;
b. NIB dan identitas Importir; dan
c. masa berlaku.
(2) Identitas Importir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b memuat elemen data dan/atau keterangan mengenai:
a. nama perusahaan; dan
b. alamat perusahaan.
(3) Masa berlaku sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terdiri dari:
a. tanggal awal dan tanggal akhir Importir Terdaftar atau Importir Produsen; atau
b. tanggal awal dan keterangan berlaku selama perusahaan yang bersangkutan menjalankan kegiatan usaha di bidang Impor.


Pasal 14

(1) Perizinan Berusaha di bidang Impor berupa Persetujuan Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4) huruf c memuat elemen data dan/atau keterangan antara lain mengenai:
a. nomor Persetujuan Impor dan tanggal terbit;
b. NIB dan identitas Importir;
c. pos tarif/ harmonized system;
d. nomor seri Barang;
e. jenis/uraian Barang;
f. jumlah Barang dan satuan Barang;
g. negara asal; dan
h. masa berlaku berupa tanggal awal dan tanggal akhir.
(2) Selain elemen data dan/atau keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terhadap pengeluaran Barang dari KPBPB ke tempat lain dalam Daerah Pabean pada Persetujuan Impor harus mencantumkan pelabuhan muat di KPBPB.
(3) Identitas Importir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b memuat elemen data dan/atau keterangan mengenai:
a. nama perusahaan; dan
b. alamat perusahaan.


Pasal 15

(1) Penerbitan Perizinan Berusaha di bidang Impor berupa Persetujuan Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4) huruf c untuk Barang tertentu yang telah ditetapkan Neraca Komoditas dilakukan oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri berdasarkan Neraca Komoditas.
(2) Pemanfaatan Neraca Komoditas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Neraca Komoditas.
(3) Dalam hal Neraca Komoditas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum ditetapkan, penerbitan Persetujuan Impor oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri dilakukan berdasarkan Peraturan Menteri ini.


Pasal 16

(1) Dalam hal perlu dilakukan pengendalian Impor, Menteri dapat meminta Direktur Jenderal melaporkan terlebih dahulu proses penerbitan permohonan Persetujuan Impor sebelum diproses dan/atau diterbitkan.
(2) Pelaksanaan Service Level Agreement (SLA) penerbitan Perizinan Berusaha di bidang Impor berupa Persetujuan Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4) huruf c memperhatikan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memperhatikan kepentingan nasional.


Bagian Kedua
Permohonan dan Penerbitan Perubahan Perizinan Berusaha

Pasal 17

(1) Apabila terdapat perubahan data pada Perizinan Berusaha di bidang Impor berupa Importir Terdaftar, Importir Produsen, atau Persetujuan Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4), Importir harus mengajukan permohonan perubahan Perizinan Berusaha di bidang Impor secara lengkap sesuai dengan persyaratan perubahan Perizinan Berusaha di bidang Impor.
(2) Data pada Perizinan Berusaha di bidang Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. NIB dan identitas Importir;
b. pos tarif/ harmonized system;
c. jenis/uraian Barang;
d. jumlah Barang dan satuan Barang;
e. negara asal;
f. negara muat;
g. pelabuhan tujuan;
h. keterangan /spesifikasi Barang;
i. pelabuhan muat; dan/atau 
j. pelabuhan muat di KPBPB.
(3) Identitas Importir sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a memuat elemen data dan/atau keterangan mengenai:
a. nama perusahaan; dan
b. alamat perusahaan.
(4) Perubahan pos tarif/harmonized system dan/atau satuan Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan huruf d terhadap suatu nomor seri Barang dalam Persetujuan Impor hanya dapat dilakukan selama:
a. belum dilakukan realisasi Impor atau tidak sedang dilakukan realisasi Impor yang dibuktikan dengan nomor pendaftaran; dan/atau
b. belum diterbitkan Laporan Surveyor.
(5) Permohonan perubahan Perizinan Berusaha di bidang Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara elektronik kepada Menteri melalui SINSW yang diteruskan ke Sistem INATRADE dengan mengunggah hasil pindai dokumen asli persyaratan perubahan Perizinan Berusaha di bidang Impor.
(6) Dalam hal permohonan perubahan Perizinan Berusaha di bidang Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak lengkap, permohonan tidak diteruskan ke Sistem INATRADE.
(7) Dalam hal dokumen persyaratan perubahan Perizinan Berusaha di bidang Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (5) telah tersedia secara elektronik pada kementerian atau lembaga pemerintah nonkementerian yang telah terintegrasi dengan SINSW, Importir tidak mengunggah dokumen persyaratan ke SINSW.
(8) Dokumen persyaratan perubahan Perizinan Berusaha di bidang Impor secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (7) berupa:
a. hasil pindai dokumen asli;
b. elemen data; dan/atau
c. status pengakuan/penetapan Pelaku Usaha.
(9) Importir bertanggung jawab terhadap kebenaran dan kesesuaian:
a. dokumen persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (5);
b. data dan/atau informasi terkait dokumen persyaratan yang tersedia secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (7); dan
c. data dan/atau informasi lain yang terkait dengan pengajuan permohonan perubahan Perizinan Berusaha di bidang Impor,
dengan memberikan persetujuan dalam bentuk pernyataan tanggung jawab atas kebenaran dokumen persyaratan, data dan/atau informasi secara elektronik melalui SINSW pada saat melakukan pengajuan permohonan perubahan Perizinan Berusaha di bidang Impor.
(10) Apabila dokumen persyaratan, data dan/atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (9) terbukti tidak benar, Importir dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 18

(1) Dalam hal perubahan Persetujuan Impor dilakukan setelah pemeriksaan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan atas Persetujuan Impor dan/atau Laporan Surveyor yang telah digunakan sebagai dokumen pelengkap Pabean, selain persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 Importir harus melampirkan persyaratan perubahan Persetujuan Impor berupa:
a. dokumen Pemberitahuan Pabean Impor;
b. Surat Penetapan Barang Larangan/Pembatasan (SPBL); dan
c. Laporan Surveyor, dalam hal Impor Barang tertentu dipersyaratkan Laporan Surveyor.
(2) Terhadap persyaratan berupa dokumen Pemberitahuan Pabean Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, Importir harus mencantumkan nomor pengajuan Pemberitahuan Pabean Impor.


Pasal 19

(1) Terhadap permohonan perubahan Perizinan Berusaha di bidang Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) dilakukan pemeriksaan administratif terkait kelengkapan dan kesesuaian dengan persyaratan oleh anggota tim yang memiliki hak akses untuk melakukan pemeriksaan administratif paling lama 15 (lima belas) hari kerja terhitung sejak permohonan diterima oleh Sistem INATRADE.
(2) Apabila permohonan perubahan Perizinan Berusaha di bidang Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) dinyatakan lengkap sesuai dengan persyaratan, Direktur Jenderal atas nama Menteri menerbitkan Perizinan Berusaha di bidang Impor perubahan secara elektronik melalui Sistem INATRADE yang diteruskan ke SINSW dengan menggunakan Tanda Tangan Elektronik, dan mencantumkan kode quick response (QR), yang tidak memerlukan cap dan tanda tangan basah dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak tanggal permohonan diterima secara lengkap sesuai dengan persyaratan oleh anggota tim sebagai pejabat fungsional yang memiliki hak akses untuk memulai pemrosesan perubahan Perizinan Berusaha.
(3) Apabila permohonan perubahan Perizinan Berusaha di bidang Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) dinyatakan lengkap sesuai dengan persyaratan, namun Perizinan Berusaha di bidang Impor perubahan belum diterbitkan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan penerbitan Perizinan Berusaha di bidang Impor perubahan secara elektronik dan otomatis melalui Sistem INATRADE yang diteruskan ke SINSW.
(4) Apabila permohonan perubahan Perizinan Berusaha di bidang Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) dinyatakan tidak sesuai dengan persyaratan, dilakukan penolakan secara elektronik melalui SINSW paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak tanggal permohonan diterima oleh anggota tim sebagai pejabat fungsional yang memiliki hak akses untuk memulai pemrosesan perubahan Perizinan Berusaha di bidang Impor.
(5) Masa berlaku Perizinan Berusaha di bidang Impor perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) yang dilakukan terhadap pos tarif/ harmonized system, jenis/uraian Barang, jumlah Barang dan satuan Barang, merupakan sisa masa berlaku Perizinan Berusaha di bidang Impor.
(6) Masa berlaku Perizinan Berusaha di bidang Impor perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) berupa:
a. tanggal awal, berlaku sejak tanggal terbit Perizinan Berusaha di bidang Impor perubahan; dan
b. tanggal akhir, sama dengan tanggal akhir yang tercantum pada Perizinan Berusaha di bidang Impor yang telah diterbitkan.
(7) Selain pos tarif/harmonized system, jenis/uraian Barang, jumlah Barang dan satuan Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (5), masa berlaku Perizinan Berusaha di bidang Impor perubahan berupa tanggal awal dan tanggal akhir, sesuai dengan masa berlaku Perizinan Berusaha di bidang Impor yang telah diterbitkan.
(8) Dalam hal perubahan Persetujuan Impor dilakukan setelah pemeriksaan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan atas Persetujuan Impor dan/atau Laporan Surveyor yang telah digunakan sebagai dokumen pelengkap Pabean, masa berlaku perubahan Perizinan Berusaha di bidang Impor berupa tanggal awal dan tanggal akhir sesuai dengan masa berlaku:
a. Perizinan Berusaha di bidang Impor yang telah diterbitkan; atau
b. Perizinan Berusaha di bidang Impor perubahan yang terakhir telah diterbitkan, dalam hal Perizinan Berusaha di bidang Impor telah dilakukan perubahan.


Pasal 20

(1) Dalam hal perlu dilakukan pengendalian Impor, Menteri dapat meminta Direktur Jenderal melaporkan terlebih dahulu proses penerbitan permohonan perubahan Perizinan Berusaha di bidang Impor sebelum diproses dan/atau diterbitkan.
(2) Pelaksanaan Service Level Agreement (SLA) penerbitan perubahan Persetujuan Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4) huruf c memperhatikan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memperhatikan kepentingan nasional.
Bagian Ketiga Permohonan dan Penerbitan Perpanjangan Perizinan Berusaha di Bidang Impor


Pasal 21

(1) Apabila masa berlaku Perizinan Berusaha di Bidang Impor berupa Persetujuan Impor akan berakhir, Importir dapat mengajukan permohonan perpanjangan Persetujuan Impor secara lengkap sesuai dengan persyaratan perpanjangan Persetujuan Impor.
(2) Pengajuan permohonan perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan paling cepat 30 (tiga puluh) hari dan paling lambat 2 (dua) hari kerja sebelum masa berlaku Persetujuan Impor berakhir sesuai dengan ketentuan dan persyaratan perpanjangan Persetujuan Impor.
(3) Permohonan perpanjangan Persetujuan Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disampaikan secara elektronik kepada Menteri melalui SINSW yang diteruskan ke Sistem INATRADE dengan mengunggah hasil pindai dokumen asli persyaratan perpanjangan Persetujuan Impor.
(4) Dalam hal permohonan perpanjangan Persetujuan Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak lengkap, permohonan tidak diteruskan ke Sistem INATRADE.
(5) Dalam hal dokumen persyaratan perpanjangan Persetujuan Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (3) telah tersedia secara elektronik pada kementerian atau lembaga pemerintah nonkementerian yang telah terintegrasi dengan SINSW, Importir tidak mengunggah dokumen persyaratan ke SINSW.
(6) Dokumen persyaratan perpanjangan Persetujuan Impor secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (5) berupa:
a. hasil pindai dokumen asli;
b. elemen data; dan/atau
c. status pengakuan/penetapan Pelaku Usaha.
(7) Importir bertanggung jawab terhadap kebenaran dan kesesuaian:
a. dokumen persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3);
b. data dan/atau informasi terkait dokumen persyaratan yang tersedia secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (5); dan
c. data dan/atau informasi lain yang terkait dengan pengajuan permohonan perpanjangan Persetujuan Impor,
dengan memberikan persetujuan dalam bentuk pernyataan tanggung jawab atas kebenaran dokumen persyaratan, data dan/atau informasi secara elektronik melalui SINSW pada saat melakukan pengajuan permohonan perpanjangan Persetujuan Impor.
(8) Apabila dokumen persyaratan serta data dan/atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) terbukti tidak benar, Importir dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 22

(1) Terhadap permohonan perpanjangan Persetujuan Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dilakukan pemeriksaan administratif terkait kelengkapan dan kesesuaian dengan persyaratan oleh anggota tim yang memiliki hak akses untuk melakukan pemeriksaan administratif paling lama 15 (lima belas) hari kerja terhitung sejak permohonan diterima oleh Sistem INATRADE.
(2) Apabila permohonan perpanjangan Persetujuan Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dinyatakan lengkap sesuai dengan persyaratan, Direktur Jenderal atas nama Menteri menerbitkan Persetujuan Impor perpanjangan secara elektronik melalui Sistem INATRADE yang diteruskan ke SINSW dengan menggunakan Tanda Tangan Elektronik, dan mencantumkan kode quick response (QR), yang tidak memerlukan cap dan tanda tangan basah dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja atau sebelum masa berlaku Persetujuan Impor berakhir terhitung sejak tanggal permohonan diterima secara lengkap sesuai dengan persyaratan oleh anggota tim sebagai pejabat fungsional yang memiliki hak akses untuk memulai pemrosesan perpanjangan Persetujuan Impor.
(3) Apabila permohonan perpanjangan Persetujuan Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dinyatakan lengkap sesuai dengan persyaratan, namun Persetujuan Impor perpanjangan belum diterbitkan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilakukan penerbitan Persetujuan Impor perpanjangan secara elektronik dan otomatis melalui Sistem INATRADE yang diteruskan ke SINSW.
(4) Apabila permohonan perpanjangan Persetujuan Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dinyatakan tidak sesuai dengan persyaratan, dilakukan penolakan secara elektronik melalui SINSW paling lama 5 (lima) hari kerja atau sebelum masa berlaku Persetujuan Impor berakhir terhitung sejak tanggal permohonan diterima oleh anggota tim sebagai pejabat fungsional yang memiliki hak akses untuk memulai pemrosesan perpanjangan Persetujuan Impor.
(5) Apabila permohonan perpanjangan Persetujuan Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dinyatakan lengkap sesuai dengan persyaratan, namun sampai dengan masa berlaku Persetujuan Impor berakhir dan perpanjangan Persetujuan Impor belum diterbitkan, dilakukan penerbitan perpanjangan Persetujuan Impor secara elektronik dan otomatis melalui Sistem INATRADE yang diteruskan ke SINSW.
(6) Masa berlaku Persetujuan Impor perpanjangan berupa tanggal awal terhitung setelah berakhirnya masa berlaku Persetujuan Impor.
(7) Perpanjangan Persetujuan Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) hanya dapat diberikan terhadap Barang yang telah dimuat pada alat angkut sebelum masa berlaku Persetujuan Impor berakhir dan mengalami keterlambatan kedatangan yang diakibatkan oleh keadaan tertentu berupa:
a. keadaan kahar;
b. bencana kemanusiaan;
c. bencana alam;
d. gangguan teknis alat angkut; dan/atau
e. keadaan lain yang mengakibatkan keterlambatan kedatangan.
(8) Barang yang telah dimuat pada alat angkut sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dibuktikan dengan dokumen paling sedikit meliputi Bill of Lading (B/L) atau Airway Bill (AWB) terhadap Barang yang telah dimuat pada alat angkut.


Pasal 23

Petunjuk teknis permohonan penerbitan Perizinan Berusaha di bidang Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1), penerbitan perubahan Perizinan Berusaha di bidang Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1), dan/atau penerbitan perpanjangan Perizinan Berusaha di bidang Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) ditetapkan oleh Direktur Jenderal.


Bagian Keempat
Penelitian Elemen Data dan /atau Keterangan Perizinan Berusaha

Pasal 24

(1) Terhadap elemen data dan/atau keterangan dalam Importir Terdaftar atau Importir Produsen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) dan perubahan Importir Terdaftar atau Importir Produsen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) dilakukan penelitian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan, antara dokumen Importir Terdaftar atau Importir Produsen dan dokumen:
a. pemberitahuan Impor Barang;
b. pemberitahuan pabean untuk pemasukan Barang dari luar Daerah Pabean ke KPBPB, KEK, TPB; atau
c. pemberitahuan pabean untuk pengeluaran Barang dari KPBPB, KEK, TPB ke tempat lain dalam Daerah Pabean,
paling sedikit mengenai nomor dan tanggal terbit Importir Terdaftar atau Importir Produsen.
(2) Terhadap elemen data dan/atau keterangan masa berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf c dilakukan penelitian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan untuk memastikan pada saat pengajuan Pemberitahuan Impor Barang, Perizinan Berusaha di bidang Impor berupa Importir Terdaftar atau Importir Produsen masih berlaku.
(3) Masa berlaku Perizinan Berusaha di bidang Impor berupa Importir Terdaftar atau Importir Produsen sebagaimana dimaksud pada ayat (2), berupa tanggal awal harus:
a. sebelum tanggal dokumen manifest BC 1.1; atau
b. sama dengan tanggal dokumen manifest BC 1.1.
(4) Masa berlaku Perizinan Berusaha di bidang Impor berupa Importir Terdaftar atau Importir Produsen sebagaimana dimaksud pada ayat (2), berupa tanggal akhir harus:
a. setelah tanggal dokumen manifest BC 1.1; atau
b. sama dengan tanggal dokumen manifest BC 1.1.


Pasal 25

(1) Terhadap elemen data dan/atau keterangan dalam Persetujuan Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) dan perubahan Persetujuan Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) dilakukan penelitian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, antara dokumen Persetujuan Impor dan dokumen pemberitahuan Impor Barang paling sedikit mengenai:
a. nomor, tanggal terbit, dan tanggal akhir Persetujuan Impor;
b. pos tarif/ harmonized system;
c. jumlah Barang dan satuan Barang; dan
d. pelabuhan tujuan.
(2) Terhadap pemasukan Barang dari luar Daerah Pabean ke KPBPB dan pengeluaran Barang dari KPBPB ke tempat lain dalam Daerah Pabean, penelitian atas elemen data dan/atau keterangan dalam Persetujuan Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) dan perubahan Persetujuan Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) dilakukan:
a. antara dokumen Persetujuan Impor dan dokumen pemberitahuan pabean untuk pemasukan Barang dari luar Daerah Pabean ke KPBPB, paling sedikit mengenai:
1. nomor, tanggal terbit, dan tanggal akhir Persetujuan Impor;
2. pos tarif/ harmonized system;
3. jumlah Barang dan satuan Barang; dan
4. pelabuhan tujuan,
dalam hal dokumen Persetujuan Impor diwajibkan pada saat pemasukan ke KPBPB dari luar Daerah Pabean; atau
b. antara dokumen Persetujuan Impor dan dokumen pemberitahuan pabean untuk pengeluaran Barang dari KPBPB ke tempat lain dalam Daerah Pabean, paling sedikit mengenai:
1. nomor, tanggal terbit, dan tanggal akhir Persetujuan Impor;
2. pos tarif/ harmonized system;
3. jumlah Barang dan satuan Barang; dan
4. pelabuhan muat di KPBPB.
(3) Terhadap pemasukan Barang dari luar Daerah Pabean ke KEK atau pengeluaran Barang dari KEK ke tempat lain dalam Daerah Pabean, penelitian atas elemen data dan/atau keterangan dalam Persetujuan Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) dan perubahan Persetujuan Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) dilakukan:
a. antara dokumen Persetujuan Impor dan dokumen pemberitahuan pabean untuk pemasukan Barang dari luar Daerah Pabean ke KEK, paling sedikit mengenai:
1. nomor, tanggal terbit, dan tanggal akhir Persetujuan Impor;
2. pos tarif/ harmonized system;
3. jumlah Barang dan satuan Barang; dan
4. pelabuhan tujuan,
dalam hal dokumen Persetujuan Impor diwajibkan dipenuhi pada saat pemasukan ke KEK; atau
b. antara dokumen Persetujuan Impor dan dokumen pemberitahuan pabean untuk pengeluaran Barang  
dari KEK ke tempat lain dalam Daerah Pabean, paling sedikit mengenai:
1. nomor, tanggal terbit, dan tanggal akhir Persetujuan Impor;
2. pos tarif/ harmonized system; dan
3. jumlah Barang dan satuan Barang.
(4) Terhadap pemasukan Barang dari luar Daerah Pabean ke TPB atau pengeluaran Barang dari TPB ke tempat lain dalam Daerah Pabean,  penelitian atas elemen data dan/atau keterangan sebagaimana dimaksud dalam dalam Persetujuan Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) dan perubahan Persetujuan Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) dilakukan:
a. antara dokumen Persetujuan Impor dan dokumen Pemberitahuan Pabean Impor pada saat pemasukan ke TPB, paling sedikit mengenai:
1. nomor, tanggal terbit, dan tanggal akhir Persetujuan Impor;
2. pos tarif/ harmonized system;
3. jumlah Barang dan satuan Barang; dan
4. pelabuhan tujuan,
dalam hal dokumen Persetujuan Impor diwajibkan dipenuhi pada saat pemasukan ke TPB; atau
b. antara dokumen Persetujuan Impor dan dokumen Pemberitahuan Pabean Impor pada saat pengeluaran Barang dari TPB ke tempat lain dalam Daerah Pabean, paling sedikit mengenai:
1. nomor, tanggal terbit, dan tanggal akhir Persetujuan Impor;
2. pos tarif/ harmonized system; dan
3. jumlah Barang dan satuan Barang.
(5) Terhadap elemen data dan/atau keterangan masa berlaku Persetujuan Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf h dan perpanjangan Persetujuan Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dilakukan penelitian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan untuk memastikan pada saat pengajuan:
a. pemberitahuan Impor Barang;
b. pemberitahuan pabean untuk pemasukan Barang ke KPBPB;
c. pemberitahuan pabean untuk pemasukan Barang ke KEK;
d. Pemberitahuan Pabean Impor Barang ke TPB;
e. pemberitahuan pabean untuk pengeluaran Barang dari KPBPB ke tempat lain dalam Daerah Pabean;
f. pemberitahuan pabean untuk pengeluaran Barang dari KEK ke tempat lain dalam Daerah Pabean; atau
g. Pemberitahuan Pabean Impor pada saat pengeluaran Barang TPB ke tempat lain dalam Daerah Pabean,
Persetujuan Impor masih berlaku.
(5) Masa berlaku Persetujuan Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf h berupa tanggal awal harus:
a. sebelum tanggal dokumen manifest BC 1.1; atau
b. sama dengan tanggal dokumen manifest BC 1.1.
(6) Masa berlaku Persetujuan Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf h berupa tanggal akhir harus:
a. setelah tanggal dokumen manifest BC 1.1; atau
b. sama dengan tanggal dokumen manifest BC 1.1.
(6) Terhadap elemen data dan/atau keterangan jumlah Barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf f dilakukan penelitian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan untuk memastikan pada saat pengajuan pemberitahuan Impor Barang alokasi jumlah Barang masih memenuhi.
(7) Sisa alokasi jumlah Barang yang diizinkan tercantum dalam SINSW.
(8) Satuan Barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf f dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan.
(9) Dalam hal satuan Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (8) belum ditetapkan, satuan Barang sebagaimana dimaksud dalam 14 ayat (1) huruf f sesuai dengan ketentuan internasional.
(10) Selain elemen data dan/atau keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Pasal 14, dan Pasal 17 dilakukan penelitian atas nomor pokok wajib pajak Importir berdasarkan data dan/atau keterangan yang telah tersedia secara elektronik di SINSW yang berasal dari Sistem OSS.
(11) Selain penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (6), terhadap elemen data dan/atau keterangan berupa nomor seri Barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf d dan jenis/uraian Barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf e dilakukan penelitian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Bagian Kelima
Penghentian Sementara Penerbitan, Perubahan, atau Perpanjangan Perizinan Berusaha

Pasal 26
 
(1) Dalam hal:
a. perlu dilakukan penghitungan teknis dan/atau verifikasi dalam proses penerbitan, perubahan, atau perpanjangan Persetujuan Impor;
b.  perlu dilakukan pemeriksaan atas dugaan pelanggaran terhadap kebijakan dan pengaturan Impor Barang tertentu yang dilakukan pengawasan kegiatan Perdagangan setelah melalui Kawasan Pabean (post border) oleh direktorat jenderal yang membidangi perlindungan konsumen dan tertib niaga; atau
c. terjadi gangguan yang menyebabkan SINSW dan/atau Sistem INATRADE tidak berfungsi,
proses penerbitan, perubahan, atau perpanjangan Persetujuan Impor dihentikan sementara, dalam hal Service Level Agreement (SLA) sudah berjalan.
(2) Penghitungan teknis dan/atau verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan oleh tim teknis Perdagangan yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri.
(3) Penghitungan teknis dan/atau verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dalam hal:
a. diperlukan pengecekan administrasi lebih lanjut ke kementerian atau lembaga pemerintah nonkementerian terkait;
b. terdapat usulan atau rekomendasi pemeriksaan lebih lanjut dari kementerian atau lembaga pemerintah nonkementerian terkait; dan/atau
c. terdapat kondisi khusus lainnya yang diperlukan dalam rangka penanganan pemenuhan ataupun pengendalian kebutuhan dan pasokan di dalam negeri.
(4) Petunjuk teknis mengenai mekanisme penghentian sementara dan mekanisme penghitungan teknis dan/atau verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Direktur Jenderal.


Bagian Keenam
Pembatalan Proses Penerbitan, Perubahan, atau Perpanjangan Perizinan Berusaha

Pasal 27

(1) Importir dapat melakukan pembatalan yang disertai dengan alasan pembatalan terhadap proses:
a. penerbitan Perizinan Berusaha di bidang Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11;
b. perubahan Perizinan Berusaha di bidang Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17; dan/atau
c. perpanjangan Perizinan Berusaha di bidang Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21,
secara elektronik kepada Menteri melalui SINSW yang diteruskan ke Sistem INATRADE.
(2) Importir bertanggung jawab terhadap pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan memberikan persetujuan dalam bentuk pernyataan tanggung jawab atas permohonan pembatalan secara elektronik melalui SINSW pada saat melakukan pembatalan.
(3) Pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan sebelum permohonan:
a. penerbitan Perizinan Berusaha di bidang Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12;
b. perubahan Perizinan Berusaha di bidang Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19; dan/atau
c. perpanjangan Perizinan Berusaha di bidang Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22,
diterbitkan oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri.


Bagian Ketujuh
Pembatalan dan Pencabutan Perizinan Berusaha di Bidang Impor yang Telah Diterbitkan

Pasal 28

(1) Pembatalan dapat dilakukan terhadap:
a. Perizinan Berusaha di bidang Impor yang telah diterbitkan; dan
b. belum dilakukan realisasi Impor atau tidak sedang dilakukan realisasi Impor.
(2) Pencabutan dapat dilakukan terhadap:
a. Perizinan Berusaha di bidang Impor yang telah diterbitkan; dan
b. telah dilakukan realisasi Impor atau sedang dilakukan realisasi Impor.
(3) Pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pencabutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan apabila terdapat kesalahan:
a. wewenang;
b. prosedur; dan/atau
c. substansi.
(4) Terhadap pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pencabutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan pemberitahuan kepada Importir pemilik Barang.
(5) Pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pencabutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan secara elektronik melalui Sistem INATRADE yang diteruskan ke SINSW.
(6) Dalam hal terdapat Barang yang masih dalam proses pengapalan atau pengangkutan, pencabutan Perizinan Berusaha di bidang Impor dilakukan setelah Barang tersebut diselesaikan proses kepabeanannya.
(7) Importir sebagaimana dimaksud pada ayat (4) menyampaikan surat pernyataan tidak akan melakukan proses pengapalan selain Barang yang telah dikapalkan sebagaimana dimaksud pada ayat (6).
(8) Pembatalan Perizinan Berusaha di bidang Impor yang telah diterbitkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan terhadap Barang Impor yang belum dikapalkan.


BAB VIII
VERIFIKASI ATAU PENELUSURAN TEKNIS

Pasal 29

(1) Verifikasi atau Penelusuran Teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dilakukan oleh Surveyor yang telah ditetapkan oleh Menteri.
(2) Pengajuan permohonan Verifikasi atau Penelusuran Teknis terhadap Impor Barang dilakukan secara elektronik oleh Importir kepada Surveyor melalui sistem yang dimiliki Surveyor.
(3) Verifikasi atau Penelusuran Teknis terhadap Impor Barang dilakukan di:
a. negara asal Barang;
b. negara muat; atau
c. pelabuhan muat, di luar negeri.
(4) Pelaksanaan Verifikasi atau Penelusuran Teknis terhadap Impor Barang selain dilakukan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dapat dilakukan di TPB, KPBPB, atau KEK dalam hal Barang diberlakukan ketentuan kebijakan dan pengaturan Impor pada saat pengeluaran Barang asal luar Daerah Pabean dari TPB, KPBPB, atau KEK ke tempat lain dalam Daerah Pabean.
(5) Verifikasi atau Penelusuran Teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(6) Hasil Verifikasi atau Penelusuran Teknis oleh Surveyor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam bentuk Laporan Surveyor yang digunakan sebagai:
a. dokumen pelengkap pabean yang pemeriksaannya dilakukan di Kawasan Pabean; atau
b. dokumen persyaratan Impor yang pemeriksaannya dilakukan setelah melalui Kawasan Pabean (post border).
(7) Laporan Surveyor sebagaimana dimaksud pada ayat (6) hanya dapat dipergunakan untuk 1 (satu) kali pengapalan dan 1 (satu) dokumen Pemberitahuan Pabean Impor.
(8) Dalam hal pelaksanaan Verifikasi atau Penelusuran Teknis terhadap Impor untuk Barang tertentu dilakukan di TPB, KPBPB, atau KEK sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Laporan Surveyor sebagaimana dimaksud pada ayat (6) hanya dapat dipergunakan untuk 1 (satu) kali pengeluaran Barang tertentu dari TPB, KPBPB, atau KEK ke tempat lain dalam Daerah Pabean dan 1 (satu) dokumen Pemberitahuan Pabean Impor.
(9) Laporan Surveyor sebagaimana dimaksud pada ayat (6) disampaikan oleh Surveyor secara elektronik melalui Sistem INATRADE yang diteruskan ke SINSW.
(10) Laporan Surveyor sebagaimana dimaksud pada ayat (6) memuat elemen data dan/atau keterangan paling sedikit berupa:
a. nomor dan tanggal terbit Laporan Surveyor;
b. pos tarif/ harmonized system;
c. jumlah dan satuan Barang; dan
d. pelabuhan tujuan, kecuali Laporan Surveyor yang diterbitkan di KPBPB, KEK, atau TPB.


Pasal 30

(1) Dalam hal Laporan Surveyor belum digunakan sebagai dokumen pelengkap pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (6) huruf a, Surveyor dapat melakukan perubahan atas Laporan Surveyor.
(2) Dalam hal Laporan Surveyor telah digunakan sebagai dokumen pelengkap pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (6) huruf a dan berdasarkan hasil pemeriksaaan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan harus dilakukan perubahan, perubahan Laporan Surveyor dapat dilakukan apabila Barang masih berada di Kawasan Pabean.
(3) Dalam hal Impor atas Barang tertentu wajib memiliki Perizinan Berusaha di bidang Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4), perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) hanya dapat dilakukan apabila perubahan Laporan Surveyor memenuhi ketentuan Perizinan Berusaha di bidang Impor yang telah diterbitkan.
(4) Dalam hal Laporan Surveyor belum digunakan sebagai dokumen pelengkap pabean sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 29 ayat (6) huruf a, Surveyor dapat melakukan pembatalan atas Laporan Surveyor.
(5) Perubahan Laporan Surveyor sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), atau pembatalan Laporan Surveyor sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan berdasarkan permohonan Importir melalui sistem yang dimiliki oleh Surveyor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2).
(6) Perubahan Laporan Surveyor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2) memuat elemen data dan/atau keterangan yang mengalami perubahan.


Pasal 31
 
Terhadap elemen data dan/atau keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (10), dilakukan penelitian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan antara Laporan Surveyor dan dokumen Pemberitahuan Pabean Impor paling sedikit mengenai:
a. nomor dan tanggal terbit Laporan Surveyor;
b. pos tarif/ harmonized system; dan
c. pelabuhan tujuan, kecuali Laporan Surveyor yang diterbitkan di KPBPB, KEK, atau TPB.


BAB IX
TEMPAT PEMASUKAN BARANG IMPOR

Pasal 32

(1) Terhadap Impor atas Barang tertentu, Menteri dapat menentukan tempat pemasukan Barang Impor.
(2) Tempat pemasukan Barang Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pelabuhan tujuan.


BAB X
IMPOR BARANG DALAM KEADAAN TIDAK BARU

Pasal 33

(1) Importir wajib mengimpor Barang dalam keadaan baru.
(2) Dalam hal tertentu, Menteri dapat menetapkan Barang yang diimpor dalam keadaan tidak baru berdasarkan:
a. peraturan perundang-undangan;
b. kewenangan Menteri; dan/atau
c. usulan atau pertimbangan teknis dari instansi pemerintah lainnya.


BAB XI
PEMASUKAN DAN PENGELUARAN BARANG KE DAN DARI KAWASAN PERDAGANGAN BEBAS DAN PELABUHAN BEBAS, IMPOR DAN PENGELUARAN BARANG KE DAN DARI  KAWASAN EKONOMI KHUSUS, DAN TEMPAT PENIMBUNAN BERIKAT, SERTA IMPOR BARANG DALAM RANGKA FASILITAS KEMUDAHAN IMPOR TUJUAN EKSPOR PEMBEBASAN

Bagian Kesatu
Pemasukan Barang ke KPBPB dan Pengeluaran Barang dari KPBPB

Pasal 34

(1) Pemasukan Barang ke KPBPB dari luar Daerah Pabean belum diberlakukan kebijakan dan pengaturan Impor, kecuali atas pemasukan Barang untuk kepentingan perlindungan konsumen atas Barang yang diedarkan di KPBPB dan Barang terkait dengan keamanan, keselamatan, kesehatan, dan lingkungan hidup.
(2) Ketentuan kebijakan dan pengaturan Impor diberlakukan atas pengeluaran Barang asal luar Daerah Pabean dari KPBPB ke tempat lain dalam Daerah Pabean.
(3) Ketentuan pemberlakuan kebijakan dan pengaturan Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak termasuk pelabuhan tujuan.
(4) Ketentuan kebijakan dan pengaturan Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan berdasarkan penetapan Dewan Kawasan.
(5) Ketentuan kebijakan dan pengaturan Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikecualikan terhadap:
a. pengeluaran kembali Barang asal tempat lain dalam Daerah Pabean ke tempat lain dalam Daerah Pabean;
b. pengeluaran Barang yang sepenuhnya diperoleh di KPBPB ke tempat lain dalam Daerah Pabean;
c. pengeluaran Barang hasil produksi di KPBPB ke tempat lain dalam Daerah Pabean; dan/atau
d. Barang dari luar Daerah Pabean yang pada saat pemasukan ke KPBPB telah dilakukan pemenuhan ketentuan kebijakan dan pengaturan Impor.
(6) Barang hasil produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf c dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(7) Perizinan Berusaha di bidang Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4) terhadap Barang untuk kepentingan perlindungan konsumen atas Barang yang diedarkan di KPBPB dan Barang terkait dengan keamanan, keselamatan, kesehatan, dan lingkungan hidup untuk kegiatan usaha yang dilakukan di wilayah KPBPB diterbitkan oleh Kepala Badan Pengusahaan KPBPB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan yang mengatur mengenai penyelenggaraan KPBPB dan dilaksanakan sesuai dengan peraturan Menteri yang mengatur mengenai kebijakan dan pengaturan Impor Barang tertentu.
(8) Perizinan Berusaha di bidang Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4) untuk pengeluaran Barang asal luar Daerah Pabean dari KPBPB ke tempat lain dalam Daerah Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterbitkan oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri.
(9) Perizinan Berusaha di bidang Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dapat diajukan oleh:
a. Pelaku Usaha di KPBPB; atau
b. Pelaku Usaha di tempat lain dalam Daerah Pabean yang memiliki Barang atau yang menerima Barang.
(10) Penerbitan Perizinan Berusaha di bidang Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dilakukan melalui sistem pelayanan berbasis elektronik yang disediakan oleh Badan Pengusahaan KPBPB yang terintegrasi dengan SINSW untuk diteruskan ke Sistem INATRADE.
(11) Dalam hal Badan Pengusahaan KPBPB belum memiliki sistem pelayanan berbasis elektronik yang terintegrasi dengan SINSW, penerbitan Perizinan Berusaha di bidang Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (7) difasilitasi melalui SINSW.
(12) Ketentuan mengenai larangan diberlakukan terhadap pemasukan Barang dari luar Daerah Pabean ke KPBPB.
(13) Barang untuk kepentingan perlindungan konsumen atas Barang yang diedarkan di KPBPB dan Barang terkait dengan keamanan, keselamatan, kesehatan, dan lingkungan hidup diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri yang mengatur kebijakan dan pengaturan Impor Barang tertentu.


Pasal 35

(1) Ketentuan mengenai larangan diberlakukan terhadap pemasukan Barang dari luar Daerah Pabean ke KPBPB Sabang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan yang mengatur mengenai Barang Dilarang Impor.
(2) Pemasukan Barang ke KPBPB Sabang dari luar Daerah Pabean tidak diberlakukan kebijakan dan pengaturan Impor.
(3) Pemasukan Barang ke KPBPB Sabang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan oleh Pelaku Usaha yang telah mendapat Perizinan Berusaha dari Badan Pengusahaan Kawasan Sabang.
(4) Ketentuan kebijakan dan pengaturan Impor diberlakukan atas pengeluaran Barang dari KPBPB Sabang ke tempat lain dalam Daerah Pabean.


Bagian Kedua
Impor Barang ke Kawasan Ekonomi Khusus dan Pengeluaran Barang dari Kawasan Ekonomi Khusus

Pasal 36
 
(1) Impor Barang ke KEK belum diberlakukan kebijakan dan pengaturan Impor.
(2) Untuk kepentingan nasional yang mencakup keamanan, keselamatan, kesehatan, dan lingkungan hidup di KEK, Menteri dapat menetapkan berlakunya kebijakan dan pengaturan Impor Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara selektif setelah berkoordinasi dengan Dewan Nasional.
(3) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang penyelenggaraan KEK.
(4) Kegiatan usaha di KEK sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang penyelenggaraan KEK.
(5) Ketentuan kebijakan dan pengaturan Impor diberlakukan atas pengeluaran Barang Impor untuk dipakai dari KEK ke tempat lain dalam Daerah Pabean.
(6) Ketentuan pemberlakuan kebijakan dan pengaturan Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak termasuk pelabuhan tujuan.
(7) Ketentuan kebijakan dan pengaturan Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dikecualikan terhadap:
a. pengeluaran Barang hasil produksi di KEK ke tempat lain dalam Daerah Pabean;
b. Barang dari luar Daerah Pabean yang pada saat Impor ke KEK telah dilakukan pemenuhan ketentuan kebijakan dan pengaturan Impor;
c. pengeluaran Barang yang sepenuhnya diperoleh di KEK ke tempat lain dalam Daerah Pabean;
d. Barang sisa proses produksi atau Barang sisa dari hasil perusakan di KEK;
e. Barang sisa dari kegiatan usaha berupa waste /scrap di KEK; dan / atau
f. pemindahtanganan Barang modal dari KEK ke tempat lain dalam Daerah Pabean yang pada saat pemasukan ke KEK dalam keadaan baru, apabila telah dipergunakan dalam jangka waktu paling singkat 2 (dua) tahun.
(8) Barang hasil produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf a berupa Barang hasil pengolahan, perakitan, atau pemasangan Barang dan bahan.
(9) Perizinan Berusaha di bidang Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4) untuk Impor Barang dari luar Daerah Pabean ke KEK, diterbitkan oleh Administrator KEK sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan yang mengatur mengenai penyelenggaraan KEK dan dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Menteri yang mengatur mengenai kebijakan dan pengaturan Impor Barang tertentu.
(10) Perizinan Berusaha di bidang Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (9) dapat diajukan oleh:
a. Pelaku Usaha di KEK; atau
b. Importir.
(11) Perizinan Berusaha di bidang Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4) untuk pengeluaran Barang asal luar Daerah Pabean dari KEK ke tempat lain dalam Daerah Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diterbitkan oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri.
(12) Perizinan Berusaha di bidang Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (11) dapat diajukan oleh:
a. Pelaku Usaha di KEK; atau
b. Pelaku Usaha di tempat lain dalam Daerah Pabean yang memiliki Barang atau yang menerima Barang.
(13) Sekretariat Jenderal Dewan Nasional KEK menyampaikan laporan kepada Direktur Jenderal atas Barang yang diberikan Perizinan Berusaha di bidang Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (9) melalui SINSW yang terintegrasi dengan Sistem INATRADE.
(14) Sekretariat Jenderal Dewan Nasional KEK menyampaikan notifikasi atau pemberitahuan terhadap Barang yang dikenakan Perizinan Berusaha di bidang Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (9) yang perlu dinotifikasikan atau diberitahukan sesuai kesepakatan internasional atau ketentuan peraturan perundang- undangan kepada kementerian atau lembaga terkait dan menembuskan notifikasi atau pemberitahuan tersebut kepada Direktur Jenderal.
(15) Dalam hal Administrator KEK belum memenuhi kesiapan dalam penerbitan Perizinan Berusaha di bidang Impor Barang ke KEK, penerbitan Perizinan Berusaha di bidang Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (9) dilaksanakan oleh Sekretaris Jenderal Dewan Nasional KEK.
(16) Kesiapan Administrator KEK sebagaimana dimaksud pada ayat (15) ditetapkan oleh Dewan Nasional KEK.
(17) Ketentuan mengenai larangan diberlakukan terhadap Impor Barang dari luar Daerah Pabean ke KEK.


Bagian Ketiga
Impor Barang ke Tempat Penimbunan Berikat dan Pengeluaran Barang dari Tempat Penimbunan Berikat

Pasal 37

(1) Ketentuan pemberlakuan kebijakan dan pengaturan Impor dikecualikan terhadap pemasukan Barang Impor ke TPB.
(2) TPB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berbentuk:
a. Kawasan Berikat;
b. Pusat Logistik Berikat;
c. Gudang Berikat;
d. Tempat Penyelenggaraan Pameran Berikat;
e. Toko Bebas Bea;
f. Tempat Lelang Berikat; atau
g. Kawasan Daur Ulang Berikat.
(3) Ketentuan pemberlakuan kebijakan dan pengaturan Impor berlaku atas pengeluaran Barang Impor dari TPB ke tempat lain dalam Daerah Pabean tujuan diimpor untuk dipakai.
(4) Ketentuan pemberlakuan kebijakan dan pengaturan Impor atas pengeluaran Barang dari TPB ke tempat lain dalam Daerah Pabean tujuan diimpor untuk dipakai dikecualikan terhadap:
a. Barang hasil produksi di Kawasan Berikat;
b. Barang sisa proses produksi, Barang sisa pengemas, atau Barang sisa dari hasil perusakan di Kawasan Berikat;
c. Barang contoh dari Kawasan Berikat;
d. Barang sisa dari hasil perusakan di Gudang Berikat;
e. Barang sisa dari kegiatan sederhana berupa waste /scrap di Pusat Logistik Berikat dan/atau Gudang Berikat;
f. Barang sampel yang diberikan secara cuma-cuma dan tidak dapat diperjualbelikan serta dikemas secara khusus dalam jumlah yang lebih sedikit dari produk komersial terkecil untuk keperluan pameran di Tempat Penyelenggaraan Pameran Berikat;
g. penjualan Barang Impor kepada orang tertentu dengan batasan tertentu di Toko Bebas Bea sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan;
h. Barang yang saat pemasukannya sudah memenuhi ketentuan pembatasan Impor;
i. pengeluaran Barang Impor dari Pusat Logistik Berikat Bahan Pokok ke tempat lain dalam Daerah Pabean kepada pemilik kartu identitas lintas batas dengan batasan tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan/atau
j. pemindahtanganan Barang modal dari Kawasan Berikat ke tempat lain dalam Daerah Pabean yang pada saat pemasukan dalam keadaan baru, apabila telah dipergunakan dalam jangka waktu paling singkat 2 (dua) tahun.
(5) Ketentuan pemberlakuan kebijakan dan pengaturan Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak termasuk pelabuhan tujuan.
(6) Untuk kepentingan perekonomian nasional, Menteri dapat menetapkan secara selektif berlakunya ketentuan kebijakan dan pengaturan Impor atas pemasukan Barang Impor ke TPB sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(7) Perizinan Berusaha di bidang Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4) untuk:
a. pemasukan Barang dari luar Daerah Pabean ke dalam TPB; atau
b. pengeluaran Barang asal luar Daerah Pabean dari TPB ke tempat lain dalam Daerah Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
diterbitkan oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri.
(8) Perizinan Berusaha di bidang Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf a diajukan oleh:
a. Pelaku Usaha TPB; atau
b. Importir.
(9) Perizinan Berusaha di bidang Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf b diajukan oleh:
a. Pelaku Usaha TPB;
b. Importir; atau
c. Pelaku Usaha di tempat lain dalam Daerah Pabean yang memiliki Barang atau yang menerima Barang.
(10) Ketentuan mengenai larangan diberlakukan terhadap pemasukan Barang Impor ke TPB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Barang Dilarang Impor.


Bagian Keempat
Impor Barang Dalam Rangka Fasilitas Kemudahan Impor Tujuan Ekspor Pembebasan

Pasal 38

(1) Ketentuan pemberlakuan kebijakan dan pengaturan Impor dikecualikan terhadap Impor Barang dan/atau bahan untuk diolah, dirakit, atau dipasang dengan tujuan ekspor dalam skema pembebasan pada kemudahan Impor tujuan ekspor.
(2) Untuk kepentingan perekonomian nasional, Menteri dapat menetapkan secara selektif berlakunya ketentuan kebijakan dan pengaturan Impor atas Impor Barang dan/atau bahan untuk diolah, dirakit, atau dipasang dengan tujuan ekspor dalam skema pembebasan pada kemudahan Impor tujuan ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Ketentuan mengenai larangan diberlakukan terhadap Impor Barang dan/atau bahan untuk diolah, dirakit, atau dipasang dengan tujuan ekspor dalam rangka kemudahan Impor tujuan ekspor sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Barang Dilarang Impor.


BAB XII
PENGECUALIAN IMPOR TIDAK DILAKUKAN UNTUK KEGIATAN USAHA

Bagian Kesatu
Impor atas Barang Bebas Impor Bagi Importir yang Tidak Dapat Memiliki Nomor Induk Berusaha yang Berlaku Sebagai Angka Pengenal Importir

Pasal 39

(1) Importir yang tidak dapat memiliki NIB yang berlaku sebagai API dapat melakukan Impor atas Barang Bebas Impor.
(2) Importir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan dari pemenuhan NIB yang berlaku sebagai API.
(3) Impor atas Barang Bebas Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan untuk kegiatan usaha.
(4) Impor atas Barang Bebas Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. Barang promosi;
b. Barang untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan;
c. Barang kiriman;
d. Barang sebagai hibah, hadiah atau pemberian untuk keperluan ibadah umum, amal, sosial, kebudayaan, atau untuk kepentingan penanggulangan bencana alam;
e. Barang yang merupakan obat-obatan dan peralatan kesehatan yang menggunakan anggaran pemerintah;
f. Barang contoh yang tidak untuk diperdagangkan;
g. Barang perwakilan negara asing beserta para pejabatnya yang bertugas di Indonesia yang diimpor sendiri oleh perwakilan negara asing beserta para pejabatnya dimaksud; dan
h. Barang untuk keperluan badan internasional beserta pejabatnya yang bertugas di Indonesia yang diimpor sendiri oleh badan internasional beserta para pejabatnya dimaksud.
(5) Impor atas Barang Bebas Impor dengan tujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dalam keadaan baru dilakukan tanpa Surat Keterangan Direktur Jenderal atas nama Menteri.


Pasal 40

(1) Importir yang tidak dapat memiliki NIB yang berlaku sebagai API dapat melakukan Impor atas Barang Bebas Impor dalam keadaan tidak baru.
(2) Terhadap Impor atas Barang Bebas Impor dalam keadaan tidak baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal atas nama Menteri dapat menerbitkan Surat Keterangan.
(3) Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran I huruf A angka Romawi I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.


Bagian Kedua
Impor atas Barang Dibatasi Impor Bagi Importir yang Tidak Dapat Memiliki Nomor Induk Berusaha yang Berlaku Sebagai Angka Pengenal Importir

Pasal 41

(1) Importir yang tidak dapat memiliki NIB yang berlaku sebagai API dapat melakukan Impor atas Barang Dibatasi Impor.
(2) Importir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan dari:
a. NIB yang berlaku sebagai API;
b. Perizinan Berusaha di bidang Impor;
c. Verifikasi atau Penelusuran Teknis; dan/atau
d. ketentuan pembatasan pelabuhan tujuan.
(3) Impor atas Barang Dibatasi Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan untuk kegiatan usaha.
(4) Impor atas Barang Dibatasi Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan terhadap Barang dalam keadaan baru dan/atau Barang dalam keadaan tidak baru.
(5) Terhadap Impor atas Barang Dibatasi Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal atas nama Menteri dapat menerbitkan Surat Keterangan.
(6) Ketentuan mengenai Impor atas Barang Dibatasi Impor dalam keadaan baru sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri yang mengatur mengenai kebijakan dan pengaturan Impor Barang tertentu.
(7) Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang diimpor dalam keadaan tidak baru tercantum dalam Lampiran I huruf A angka Romawi I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.


Bagian Ketiga
Impor atas Barang Bebas Impor dan Barang Dibatasi Impor Bagi Importir yang Tidak Dapat Memiliki Nomor Induk Berusaha yang Berlaku Sebagai Angka Pengenal Importir

Pasal 42

(1) Importir yang tidak dapat memiliki NIB yang berlaku sebagai API dapat melakukan Impor atas:
a. Barang Bebas Impor; dan /atau
b. Barang Dibatasi Impor.
(2) Importir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan dari:
a. NIB yang berlaku sebagai API;
b. Perizinan Berusaha di bidang Impor;
c. Verifikasi atau Penelusuran Teknis; dan/atau
d. ketentuan pembatasan pelabuhan tujuan.
(3) Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan untuk kegiatan usaha.
(4) Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. Barang kiriman pekerja migran Indonesia;
b. Barang kiriman pribadi;
c. Barang pribadi penumpang;
d. Barang pribadi awak sarana pengangkut;
e. Barang pelintas batas;
f. Barang pindahan warga negara Indonesia dan warga negara asing; dan
g. Barang kiriman jemaah haji melalui penyelenggara pos.
(5) Impor Barang pelintas batas sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf e dilaksanakan berdasarkan perjanjian bilateral sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(6) Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang kepabeanan.
(7) Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diimpor dalam keadaan baru dan/atau keadaan tidak baru.
(8) Barang Dibatasi Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak dapat dilakukan terhadap Impor Barang berupa:
a. intan kasar;
b. prekursor non farmasi;
c. nitrocellulose (NC);
d. bahan peledak;
e. bahan perusak lapisan ozon (BPO);
f. Barang berbasis sistem pendingin;
g. bahan berbahaya;
h. hidrofluorokarbon (HFC);
i. baterai lithium tidak baru; dan
j. limbah non bahan berbahaya dan beracun.
(9) Ketentuan mengenai Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (8) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri yang mengatur mengenai kebijakan dan pengaturan Impor Barang tertentu.
(10) Selain Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (8) untuk Impor Barang kiriman pribadi, Barang pindahan Warga Negara Indonesia dan Warga Negara Asing tidak dapat dilakukan untuk kendaraan bermotor.
(11) Pemasukan Barang bawaan pribadi penumpang berupa telepon seluler, komputer genggam (handheld), dan komputer tablet dari luar Daerah Pabean ke dalam KPBPB paling banyak 2 (dua) unit per orang untuk 1 (satu) kali kedatangan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun.
(12) Pemasukan Barang kiriman pribadi berupa telepon seluler, komputer genggam (handheld), dan komputer tablet dari luar Daerah Pabean ke dalam KPBPB paling banyak 2 (dua) unit per pengiriman.


Bagian Keempat
Impor Barang oleh Instansi Pemerintah/Lembaga Negara Lainnya

Pasal 43

(1) Impor Barang keperluan instansi pemerintah/lembaga negara lainnya dapat dilakukan oleh Importir berupa:
a. instansi pemerintah/lembaga negara lainnya;
b. instansi pemerintah/lembaga negara lainnya untuk keperluan kepala negara;
c. Importir yang ditunjuk oleh instansi pemerintah/lembaga negara lainnya; atau
d. Importir yang ditunjuk oleh instansi pemerintah/lembaga negara lainnya untuk keperluan kepala negara.
(2) Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan atas:
a. Barang Bebas Impor; dan /atau
b. Barang Dibatasi Impor.
(3) Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diimpor dalam keadaan baru dan/atau keadaan tidak baru.
(4) Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan dari:
a. NIB yang berlaku sebagai API;
b. Perizinan Berusaha di bidang Impor;
c. Verifikasi atau Penelusuran Teknis; dan/atau
d. ketentuan pembatasan pelabuhan tujuan.
(5) Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan untuk kegiatan usaha.
(6) Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang kepabeanan.
(7) Impor Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dilakukan untuk Barang Dilarang Impor.
(8) Impor atas Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan tanpa Surat Keterangan Direktur Jenderal atas nama Menteri.
(9) Terhadap Impor atas Barang Dibatasi Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b berupa Barang berbasis sistem pendingin dan elektronik berbasis sistem pendingin dapat dilakukan dengan tetap memenuhi ketentuan Verifikasi atau Penelusuran Teknis.
(10) Permohonan Verifikasi atau Penelusuran Teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (9) kepada Surveyor dilakukan oleh Importir sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(11) Verifikasi atau Penelusuran Teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (9) dapat dilakukan di Kawasan Pabean di pelabuhan tujuan atau Kawasan Pabean lainnya.
(12) Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dilakukan oleh Importir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan huruf d harus dilengkapi dengan surat keterangan yang ditandatangani oleh pimpinan unit instansi pemerintah/lembaga negara setingkat pimpinan tinggi madya yang memuat informasi atau keterangan paling sedikit mengenai:
a. nama Importir yang ditunjuk;
b. pos tarif/ harmonized system;
c. jenis/uraian Barang;
d. jumlah Barang dan satuan Barang;
e. negara asal;
f. pelabuhan tujuan;
g. pernyataan tidak menyalahgunakan Barang yang diimpor untuk kepentingan diluar instansi pemerintah/lembaga negara lainnya; dan
h. pernyataan tanggung jawab mutlak atas Barang yang diimpornya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Bagian Kelima
Barang untuk Keperluan Olahraga

Pasal 44
 
(1) Impor Barang untuk keperluan olahraga dapat dilakukan oleh Importir berupa:
a. induk organisasi cabang olahraga tingkat nasional, komite olahraga nasional, komite olimpiade Indonesia, komite paralimpiade Indonesia, penyelenggara kegiatan olahraga, atau peserta kegiatan olahraga; atau
b. Importir yang ditunjuk oleh induk organisasi cabang olahraga tingkat nasional, komite olahraga nasional, komite olimpiade Indonesia, komite paralimpiade Indonesia, penyelenggara kegiatan olahraga, atau peserta kegiatan olahraga.
(2) Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan atas:
a. Barang Bebas Impor; dan /atau
b. Barang Dibatasi Impor.
(3) Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diimpor dalam keadaan baru dan/atau keadaan tidak baru.
(4) Importir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan dari:
a. NIB yang berlaku sebagai API;
b. Perizinan Berusaha di bidang Impor;
c. Verifikasi atau Penelusuran Teknis; dan/atau
d. ketentuan pembatasan pelabuhan tujuan.
(5) Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan untuk kegiatan usaha.
(6) Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang kepabeanan.
(7) Impor Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dilakukan untuk Barang Dilarang Impor.
(8) Impor atas Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dalam keadaan baru dapat dilakukan tanpa Surat Keterangan Direktur Jenderal atas nama Menteri.
(9) Impor atas Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dalam keadaan tidak baru dan ayat (2) huruf b dalam keadaan baru dan/atau keadaan tidak baru, dapat dilakukan oleh Importir setelah mendapat Surat Keterangan Direktur Jenderal atas nama Menteri.
(10) Untuk mendapatkan Surat Keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (9), Importir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a mengajukan permohonan dengan melampirkan persyaratan berupa rekomendasi dari kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pemuda dan olahraga yang memuat informasi paling sedikit berupa:
a. jumlah Barang dan jenis Barang yang akan diimpor serta peruntukan/tujuan; dan
b. masa berlaku rekomendasi.
(11) Untuk mendapatkan Surat Keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (9), Importir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b mengajukan permohonan dengan melampirkan persyaratan berupa:
a. rekomendasi dari kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pemuda dan olahraga kepada induk organisasi cabang olahraga tingkat nasional, komite olahraga nasional, komite olimpiade Indonesia, komite paralimpiade Indonesia, penyelenggara kegiatan olahraga, atau peserta kegiatan olahraga, yang memuat informasi paling sedikit berupa:
1) jumlah Barang dan jenis Barang yang akan diimpor serta peruntukan/tujuan; dan
2) masa berlaku rekomendasi, dan
b. surat penunjukan kepada Importir dari induk organisasi cabang olahraga tingkat nasional, komite olahraga nasional, komite olimpiade Indonesia, komite paralimpiade Indonesia, penyelenggara kegiatan olahraga, atau peserta kegiatan olahraga yang merupakan pemilik barang yang diimpor dalam rangka Impor Barang untuk kegiatan atau event olahraga.
(12) Surat Keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (9) untuk Impor Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku:
a. paling lama 1 (satu) tahun; dan
b. untuk 1 (satu) atau lebih penyampaian Pemberitahuan Pabean Impor.
(13) Importir dapat memiliki 1 (satu) atau lebih Surat Keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (9) untuk Impor Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang masih berlaku dalam 1 (satu) periode.
(14) Surat Keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (9) tidak dapat dilakukan perubahan dan/atau perpanjangan.
(15) Terhadap Impor atas Barang Dibatasi Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b berupa Barang berbasis sistem pendingin dan elektronik berbasis sistem pendingin dapat dilakukan dengan tetap memenuhi ketentuan Verifikasi atau Penelusuran Teknis.
(16) Permohonan Verifikasi atau Penelusuran Teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (15) kepada Surveyor dilakukan oleh Importir sebagaimana dimaksud pada ayat (1).


Bagian Keenam
Impor Barang Bebas Impor dan Barang Dibatasi Impor Bagi Importir yang Dapat Memiliki Nomor Induk Berusaha yang Berlaku Sebagai Angka Pengenal Importir

Pasal 45

(1) Importir yang dapat memiliki NIB yang berlaku sebagai API dapat melakukan Impor atas:
a. Barang Bebas Impor; dan /atau
b. Barang Dibatasi Impor.
(2) Impor atas Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan untuk kegiatan usaha.
(3) Importir yang akan melakukan Impor Barang Dibatasi Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dikecualikan dari:
a. Perizinan Berusaha di bidang Impor;
b. Verifikasi atau Penelusuran Teknis; dan/atau
c. ketentuan pembatasan pelabuhan tujuan.
(4) Impor atas Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan terhadap Barang dalam keadaan baru dan/atau Barang dalam keadaan tidak baru.
(5) Terhadap Impor atas Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal atas nama Menteri dapat menerbitkan Surat Keterangan.
(6) Ketentuan mengenai Impor atas Barang Dibatasi Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b yang diimpor dalam keadaan baru diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri yang mengatur mengenai kebijakan dan pengaturan Impor Barang tertentu.
(7) Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang merupakan Barang Bebas Impor dan Barang Dibatasi Impor yang diimpor dalam keadaan tidak baru tercantum dalam Lampiran I huruf A angka Romawi II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.


BAB XIII
PENGECUALIAN IMPOR DILAKUKAN UNTUK KEGIATAN USAHA TERHADAP BARANG BEBAS IMPOR DAN BARANG DIBATASI IMPOR BAGI IMPORTIR YANG DAPAT MEMILIKI NOMOR INDUK BERUSAHA YANG BERLAKU SEBAGAI ANGKA PENGENAL IMPORTIR

Pasal 46

(1) Importir yang dapat memiliki NIB yang berlaku sebagai API dapat melakukan Impor atas:
a. Barang Bebas Impor; dan /atau
b. Barang Dibatasi Impor.
(2) Impor atas Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk kegiatan usaha.
(3) Importir yang akan melakukan Impor Barang Dibatasi Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dikecualikan dari:
a. Perizinan Berusaha di bidang Impor;
b. Verifikasi atau Penelusuran Teknis; dan/atau
c. ketentuan pembatasan pelabuhan tujuan.
(4) Impor atas Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan terhadap Barang dalam keadaan baru dan/atau Barang dalam keadaan tidak baru.
(5) Terhadap Impor atas Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal atas nama Menteri dapat menerbitkan Surat Keterangan.
(6) Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran I huruf B yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.


BAB XIV
IMPOR SEMENTARA DAN IMPOR SEMENTARA DENGAN PENYELESAIAN TIDAK DIEKSPOR KEMBALI

Pasal 47
 
(1) Terhadap Barang Bebas Impor dan Barang Dibatasi Impor dalam rangka Impor sementara tidak diberlakukan ketentuan kebijakan dan pengaturan Impor.
(2) Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diimpor dalam keadaan baru dan/atau keadaan tidak baru.
(3) Barang yang diimpor dalam rangka Impor sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang kepabeanan.
(4) Pemenuhan ketentuan kebijakan dan pengaturan Impor sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ini dalam rangka penyelesaian Impor sementara dengan tidak diekspor kembali, hanya untuk pertimbangan:
a. Barang Impor sementara diperlukan untuk pengerjaan proyek pemerintah; atau
b. Barang Impor sementara dengan tujuan dihibahkan kepada pemerintah pusat.
(5) Impor sementara terhadap Barang dalam keadaan baru yang termasuk kategori Barang Dibatasi Impor dalam rangka penyelesaian dengan tidak diekspor kembali berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), wajib memenuhi ketentuan kebijakan dan pengaturan Impor sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ini.
(6) Impor sementara terhadap Barang dalam keadaan baru yang termasuk kategori Barang Bebas Impor dalam rangka penyelesaian dengan tidak diekspor kembali berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), tidak berlaku ketentuan kebijakan dan pengaturan Impor berupa kewajiban Perizinan Berusaha di bidang Impor dan/atau Verifikasi atau Penelusuran Teknis sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ini.
(7) Impor sementara terhadap Barang modal dalam keadaan tidak baru yang diselesaikan dengan tidak diekspor kembali berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai kebijakan dan pengaturan Impor Barang modal dalam keadaan tidak baru.
(8) Terhadap penyelesaian atas Impor sementara yang tidak diekspor kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (7), Importir wajib melampirkan dokumen persyaratan berupa:
a. Keputusan Menteri Keuangan mengenai izin Impor sementara; dan
b. surat keterangan dari instansi pemerintah pemilik proyek, dalam hal Barang Impor sementara diperlukan untuk pengerjaan proyek pemerintah atau surat keterangan dari pemberi hibah bantuan di luar negeri (gift certificate atau memorandum of understanding) yang menyatakan bahwa Barang Impor sementara tersebut dihibahkan kepada pemerintah pusat, dalam hal Barang Impor sementara dengan tujuan dihibahkan kepada pemerintah pusat.
(9) Impor sementara yang termasuk Barang dalam keadaan tidak baru diluar kategori Barang modal dalam keadaan tidak baru sebagaimana dimaksud pada ayat (7), tidak dapat diterbitkan Perizinan Berusaha di bidang Impor dan/atau Laporan Surveyor dalam rangka penyelesaian Impor sementara dengan tidak diekspor kembali berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
(10) Penyelesaian Impor sementara dengan tidak diekspor kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (5) sampai dengan ayat (9) dilaksanakan berdasarkan jenis dan kondisi Barang pada saat Barang dilakukan Impor sementara sesuai dengan keputusan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan mengenai izin Impor sementara.
(11) Pemenuhan ketentuan kebijakan dan pengaturan Impor berupa kewajiban Verifikasi atau Penelusuran Teknis Barang Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 terhadap penyelesaian Barang Impor sementara dengan tidak diekspor kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (7) dilakukan di dalam negeri.
(12) Barang Impor sementara yang akan dilakukan penyelesaian dengan tidak diekspor kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (5) sampai dengan ayat (9), dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan.


BAB XV
IMPOR KEMBALI BARANG EKSPOR

Pasal 48

(1) Terhadap Barang yang telah diekspor kemudian diimpor kembali, tidak diberlakukan kebijakan dan pengaturan Impor.
(2) Ketentuan Impor kembali atas Barang yang telah diekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan.


BAB XVI
IMPOR BARANG KOMPLEMENTER, BARANG KEPERLUAN TES PASAR, DAN/ATAU BARANG PELAYANAN PURNA JUAL

Bagian Kesatu
Impor Barang Komplementer, Barang Keperluan Tes Pasar, dan/atau Barang Pelayanan Purna Jual atas Barang Bebas Impor

Pasal 49

(1) Importir pemilik NIB yang berlaku sebagai API-P dapat melakukan Impor Barang:
a. sebagai Barang Komplementer;
b. untuk Keperluan Tes Pasar; dan/atau
c. untuk Pelayanan Purna Jual, atas Barang Bebas Impor.
(2) Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan setelah mendapat Surat Keterangan dari Direktur Jenderal atas nama Menteri.
(3) Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan kebijakan dan pengaturan Impor sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ini, kecuali ketentuan Pasal 7 ayat (2) dan ayat (3).
(4) Barang yang diimpor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperdagangkan dan/atau dipindahtangankan kepada pihak lain.
(5) Impor Barang manufaktur sebagai Barang Komplementer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan oleh Importir pemilik NIB yang berlaku sebagai API-P yang memiliki hubungan istimewa dengan perusahaan di luar negeri.
(6) Ketentuan mengenai:
a. daftar sektor, sub sektor, dan Barang yang dapat diimpor sebagaimana dimaksud pada ayat (1);
b. persyaratan Surat Keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2);
c. masa berlaku Surat Keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2); dan
d. bentuk hubungan istimewa sebagaimana dimaksud pada ayat (5),
tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.


Pasal 50
 
Impor Barang sebagai Barang Komplementer, Barang untuk Keperluan Tes Pasar, dan/atau Barang untuk Pelayanan Purna Jual yang merupakan Barang Bebas Impor yang dilakukan oleh perusahaan pemilik NIB yang berlaku sebagai API-P di KPBPB, KEK, dan TPB dikecualikan terhadap ketentuan Surat Keterangan dari Direktur Jenderal atas nama Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (2).


Bagian Kedua
Impor Barang Komplementer, Barang untuk Keperluan Tes Pasar, dan/atau Barang untuk Pelayanan Purna Jual atas Barang Dibatasi Impor

Pasal 51

(1) Importir pemilik NIB yang berlaku sebagai API-P dapat melakukan Impor Barang:
a. sebagai Barang Komplementer;
b. untuk Keperluan Tes Pasar; dan/atau
c. untuk Pelayanan Purna Jual, atas Barang Dibatasi Impor.
(2) Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan setelah mendapat Persetujuan Impor berupa:
a. Persetujuan Impor Barang sebagai Barang Komplementer;
b. Persetujuan Impor Barang untuk Keperluan Tes Pasar; dan/atau
c. Persetujuan Impor Barang untuk Pelayanan Purna Jual,
dari Direktur Jenderal atas nama Menteri.
(3) Selain Persetujuan Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang merupakan Barang Dibatasi Impor dapat dikenai kewajiban Verifikasi atau Penelusuran Teknis.
(4) Ketentuan mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam BAB VII berlaku secara mutatis mutandis terhadap penerbitan Persetujuan Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(5) Ketentuan mengenai Verifikasi atau Penelusuran Teknis sebagaimana dimaksud dalam BAB VIII berlaku secara mutatis mutandis terhadap Verifikasi atau Penelusuran Teknis Impor atas Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(6) Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan kebijakan dan pengaturan
Impor sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ini, kecuali ketentuan Pasal 7 ayat (2) dan ayat (3).
(7) Importir pemilik NIB yang berlaku sebagai API-P yang telah mendapatkan Persetujuan Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikecualikan dari kewajiban memiliki Persetujuan Impor untuk Barang yang telah dikenakan kebijakan dan pengaturan Impor atas Barang tertentu sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri yang mengatur mengenai kebijakan dan pengaturan Impor Barang tertentu.
(8) Barang yang diimpor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperdagangkan dan/atau dipindahtangankan kepada pihak lain.
(9) Impor Barang sebagai Barang Komplementer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan oleh Importir pemilik NIB yang berlaku sebagai API-P yang memiliki hubungan istimewa dengan perusahaan di luar negeri.


Pasal 52

(1) Ketentuan Persetujuan Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (2) dikecualikan terhadap Impor Barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) yang dilakukan oleh perusahaan pemilik NIB yang berlaku sebagai API-P di KPBPB, KEK, dan TPB atas Barang yang tidak termasuk Barang untuk kepentingan perlindungan konsumen dan Barang terkait dengan keamanan, keselamatan, kesehatan, dan lingkungan hidup.
(2) Ketentuan Persetujuan Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (2) berlaku terhadap Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) yang dilakukan oleh perusahaan pemilik NIB yang berlaku sebagai API-P di KPBPB, KEK, dan TPB atas Barang untuk kepentingan perlindungan konsumen dan Barang terkait dengan keamanan, keselamatan, kesehatan, dan lingkungan hidup.
(3) Ketentuan Persetujuan  Impor  sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dikecualikan berdasarkan:
a. penetapan Dewan Kawasan, untuk pemasukan Barang ke KPBPB; atau
b. penetapan Dewan Nasional, untuk Impor Barang ke KEK.
(4) Persetujuan Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk kegiatan usaha yang dilakukan di wilayah:
a. KPBPB diterbitkan oleh Kepala Badan Pengusahaan KPBPB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai penyelenggaraan KPBPB;
b. KEK diterbitkan oleh Administrator KEK sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai penyelenggaraan KEK; dan
c. TPB diterbitkan oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri,
sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri ini.
(5) Barang untuk kepentingan perlindungan konsumen dan Barang terkait dengan keamanan, keselamatan, kesehatan, dan lingkungan hidup selain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat diimpor atau dilakukan pemasukan ke KPBPB, KEK, dan TPB untuk tujuan Impor Barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1).
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai Barang untuk kepentingan perlindungan konsumen dan Barang terkait dengan keamanan, keselamatan, kesehatan, dan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri.


BAB XVII
SURAT KETERANGAN

Bagian Kesatu
Permohonan dan Penerbitan Surat Keterangan

Pasal 53

(1) Untuk memperoleh Surat Keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2), Pasal 41 ayat (5), Pasal 44 ayat (9), Pasal 45 ayat (5), Pasal 46 ayat (5), dan Pasal 49 ayat (2) Importir harus mengajukan permohonan lengkap secara elektronik kepada Menteri melalui SINSW yang diteruskan ke Sistem INATRADE.
(2) Penerbitan Surat Keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Menteri.
(3) Menteri memberikan mandat penerbitan Surat Keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Direktur Jenderal.
(4) Dalam hal permohonan Surat Keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak lengkap, permohonan tidak diteruskan ke Sistem INATRADE.


Pasal 54

(1) Pengajuan permohonan Surat Keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) dilakukan dengan mengunggah hasil pindai dokumen asli persyaratan Surat Keterangan.
(2) Dalam hal dokumen persyaratan Surat Keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah tersedia secara elektronik pada kementerian atau lembaga pemerintah nonkementerian yang telah terintegrasi dengan SINSW, Importir tidak mengunggah dokumen persyaratan ke SINSW.
(3) Dokumen persyaratan Surat Keterangan secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa:
a. hasil pindai dokumen asli;
b. elemen data; dan/atau
c. status pengakuan/penetapan Pelaku Usaha.
(4) Importir bertanggung jawab terhadap kebenaran dan kesesuaian:
a. dokumen persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1);
b. data dan/atau informasi terkait pertimbangan teknis dan/atau dokumen legalitas pendukung lainnya yang tersedia secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (2); dan
c. data dan/atau informasi lain yang terkait dengan pengajuan permohonan Surat Keterangan,
dengan memberikan persetujuan dalam bentuk pernyataan tanggung jawab atas kebenaran dokumen persyaratan, data, dan/atau informasi secara elektronik melalui SINSW pada saat melakukan pengajuan permohonan Surat Keterangan.


Pasal 55

(1) Dalam hal permohonan Surat Keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1) dinyatakan lengkap sesuai dengan persyaratan, Direktur Jenderal atas nama Menteri menerbitkan Surat Keterangan secara elektronik melalui Sistem INATRADE yang diteruskan ke SINSW dengan menggunakan Tanda Tangan Elektronik dan mencantumkan kode quick response (QR), yang tidak memerlukan cap dan tanda tangan basah terhitung sejak tanggal permohonan diterima secara lengkap sesuai dengan persyaratan oleh anggota tim sebagai pejabat fungsional yang memiliki hak akses untuk memulai pemrosesan Surat Keterangan.
(2) Dalam hal permohonan Surat Keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1) dinyatakan tidak sesuai dengan persyaratan, dilakukan penolakan secara elektronik melalui SINSW terhitung sejak permohonan diterima oleh anggota tim sebagai pejabat fungsional yang memiliki hak akses untuk memulai pemrosesan Surat Keterangan.
(3) Surat Keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diterbitkan 1 (satu) atau lebih dari 1 (satu) Surat Keterangan dalam satu waktu.
(4) Surat Keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat elemen data dan/atau keterangan paling sedikit berupa:
a. nomor dan tanggal terbit Surat Keterangan;
b. identitas Importir;
c. pos tarif/ harmonized system;
d. jenis/uraian Barang;
e. jumlah Barang dan satuan Barang;
f. masa berlaku; dan
g. keterangan/spesifikasi Barang.
(5) Identitas Importir sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b memuat elemen data atau keterangan paling sedikit berupa:
a. nama perusahaan; dan
b. alamat perusahaan.
(6) Surat Keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku untuk 1 (satu) kali penyampaian Pemberitahuan Pabean Impor atau lebih dari 1 (satu) kali penyampaian Pemberitahuan Pabean Impor.
(7) Surat Keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan sebagai:
a. dokumen pelengkap pabean yang diwajibkan dalam penyampaian Pemberitahuan Pabean Impor; atau
b. dokumen persyaratan Impor yang pemeriksaannya dilakukan setelah melalui Kawasan Pabean (post border).


Bagian Kedua
Permohonan dan Penerbitan Perubahan Surat Keterangan

Pasal 56

(1) Apabila terdapat perubahan data pada Surat Keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1), Importir harus mengajukan permohonan perubahan Surat Keterangan lengkap sesuai dengan persyaratan perubahan Surat Keterangan.
(2) Perubahan data pada Surat Keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain:
a. identitas Importir;
b. pos tarif/harmonized system;
c. jenis/uraian Barang; dan/atau
d. jumlah Barang dan satuan Barang.
(3) Identitas Importir sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a memuat elemen data atau keterangan paling sedikit berupa:
a. nama perusahaan; dan
b. alamat perusahaan.
(4) Perubahan pos tarif/ harmonized system, dan/atau satuan Barang dalam Surat Keterangan hanya dapat dilakukan selama belum dilakukan realisasi Impor atau tidak sedang dilakukan realisasi Impor.
(5) Permohonan perubahan Surat Keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara elektronik kepada Menteri melalui SINSW yang diteruskan ke Sistem INATRADE dengan mengunggah hasil pindai dokumen asli persyaratan perubahan Surat Keterangan.
(6) Dalam hal permohonan perubahan Surat Keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak lengkap, permohonan tidak diteruskan ke Sistem INATRADE.
(7) Dalam hal dokumen persyaratan perubahan Surat Keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) telah tersedia secara elektronik pada kementerian atau lembaga pemerintah nonkementerian yang telah terintegrasi dengan SINSW, Importir tidak mengunggah dokumen persyaratan ke SINSW.
(8) Dokumen persyaratan perubahan Surat Keterangan secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (7) berupa:
a. hasil pindai dokumen asli;
b. elemen data; dan/atau
c. status pengakuan/penetapan Pelaku Usaha.
(9) Importir bertanggung jawab terhadap kebenaran dan kesesuaian:
a. dokumen persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (5);
b. data dan/atau informasi terkait dokumen persyaratan yang tersedia secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (7); dan
c. data dan/atau informasi lain yang terkait dengan pengajuan permohonan perubahan Surat Keterangan,
dengan memberikan persetujuan dalam bentuk pernyataan tanggung jawab atas kebenaran dokumen persyaratan, data dan/atau informasi secara elektronik melalui SINSW pada saat melakukan pengajuan permohonan perubahan Surat Keterangan.
(10) Apabila dokumen persyaratan, data dan/atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (9) terbukti tidak benar, Importir dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 57

(1) Apabila permohonan perubahan Surat Keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) dinyatakan lengkap sesuai dengan persyaratan, Direktur Jenderal atas nama Menteri menerbitkan perubahan Surat Keterangan secara elektronik melalui Sistem INATRADE yang diteruskan ke SINSW dengan menggunakan Tanda Tangan Elektronik, dan mencantumkan kode quick response (QR), yang tidak memerlukan cap dan tanda tangan basah terhitung sejak tanggal permohonan diterima secara lengkap sesuai dengan persyaratan oleh anggota tim sebagai pejabat fungsional yang memiliki hak akses untuk memulai pemrosesan Surat Keterangan.
(2) Apabila permohonan perubahan Surat Keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) dinyatakan tidak sesuai dengan persyaratan, dilakukan penolakan secara elektronik melalui SINSW terhitung sejak permohonan diterima oleh anggota tim sebagai pejabat fungsional yang memiliki hak akses untuk memulai pemrosesan Surat Keterangan.
(3) Masa berlaku perubahan Surat Keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan sisa masa berlaku Surat Keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1).
(4) Masa berlaku perubahan Surat Keterangan berupa:
a. tanggal awal, berlaku sejak tanggal terbit perubahan Surat Keterangan; dan
b. tanggal akhir, sama dengan tanggal akhir yang tercantum pada Surat Keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) yang telah diterbitkan.
(5) Masa berlaku sebagaimana dimaksud pada ayat (4) hanya berlaku terhadap pos tarif/ harmonized system, jenis/uraian Barang, jumlah Barang dan satuan Barang, yang merupakan hasil perubahan.
(6) Selain pos tarif/ harmonized system, jenis/uraian Barang, jumlah Barang dan satuan Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (5), masa berlaku perubahan Surat Keterangan berupa tanggal awal dan tanggal akhir, sesuai dengan masa berlaku surat keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) yang telah diterbitkan.


Bagian Ketiga
Penelitian Elemen Data dan /atau Keterangan Surat Keterangan

Pasal 58

(1) Terhadap elemen data dan/atau keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (4) dilakukan penelitian antara Surat Keterangan dan dokumen Pemberitahuan Pabean Impor paling sedikit mengenai:
a. nomor dan tanggal terbit Surat Keterangan;
b. pos tarif/ harmonized system; dan
c. jumlah Barang dan satuan Barang,
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Terhadap elemen data dan/atau keterangan berupa jenis/uraian Barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (4) huruf d dilakukan penelitian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Terhadap elemen data dan /atau keterangan berupa masa berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (4) huruf f dilakukan penelitian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan untuk memastikan pada saat pengajuan Pemberitahuan Pabean Impor, Surat Keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) masih berlaku.
(4) Selain penelitian terhadap elemen data dan/atau keterangan sebagaimana dimaksud padaayat (1), dilakukan penelitian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Selain penelitian terhadap elemen data dan/atau keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), dilakukan penelitian atas nomor pokok wajib pajak Importir berdasarkan data dan/atau keterangan yang telah tersedia secara elektronik di SINSW yang berasal dari Sistem OSS.
(6) Satuan Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan.
(7) Dalam hal satuan Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (6) belum ditetapkan, satuan Barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (4) huruf e sesuai dengan ketentuan internasional.


Bagian Keempat
Pembatalan Proses Penerbitan Surat Keterangan

Pasal 59

(1) Importir dapat melakukan pembatalan yang disertai dengan alasan pembatalan terhadap proses penerbitan Surat Keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) secara elektronik kepada Menteri melalui SINSW yang diteruskan ke Sistem INATRADE.
(2) Importir bertanggung jawab terhadap pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan persetujuan dalam bentuk pernyataan tanggung jawab atas permohonan pembatalan secara elektronik melalui SINSW pada saat melakukan pembatalan.
(3) Pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan sebelum permohonan Surat Keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) diterbitkan oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri.


Bagian Kelima
Pembatalan dan Pencabutan Surat Keterangan yang telah Diterbitkan

Pasal 60

(1) Pembatalan dapat dilakukan terhadap:
a. Surat Keterangan yang telah diterbitkan; dan
b. belum dilakukan realisasi Impor atau tidak sedang dilakukan realisasi Impor.
(2) Pencabutan dapat dilakukan terhadap:
a. Surat Keterangan yang telah diterbitkan; dan
b. telah dilakukan realisasi Impor atau sedang dilakukan realisasi Impor.
(3) Pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pencabutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan apabila terdapat kesalahan:
a. wewenang;
b. prosedur; dan/atau
c. substansi.
(4) Terhadap pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pencabutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan pemberitahuan kepada Importir pemilik Barang.
(5) Dalam hal terdapat Barang yang masih dalam proses pengapalan atau pengangkutan, pencabutan Surat Keterangan dilakukan setelah Barang tersebut diselesaikan proses kepabeanannya.
(6) Importir sebagaimana dimaksud pada ayat (4) menyampaikan surat pernyataan tidak akan melakukan proses pengapalan selain Barang yang telah dikapalkan sebagaimana dimaksud pada ayat (5).
(7) Pembatalan Surat Keterangan yang telah diterbitkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan terhadap Barang Impor yang belum dikapalkan.


BAB XVIII
KEWAJIBAN IMPORTIR

Bagian Kesatu
Laporan Realisasi Impor

Pasal 61

(1) Importir yang telah memiliki Perizinan Berusaha di bidang Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 19 ayat (2) dan ayat (3), dan/atau Pasal 22 ayat (2) dan ayat (3) wajib menyampaikan laporan realisasi Impor baik yang terealisasi maupun tidak terealisasi secara elektronik kepada Menteri.
(2) Laporan realisasi Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan setiap bulan paling lambat tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya melalui SINSW yang diteruskan ke Sistem INATRADE.
(3) Importir yang telah memiliki Laporan Surveyor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (6) dan telah merealisasikan impornya wajib menyampaikan laporan realisasi Impor secara elektronik kepada Menteri.
(4) Laporan realisasi Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah Laporan Surveyor digunakan sebagai:
a. dokumen pelengkap pabean yang pemeriksaannya dilakukan di Kawasan Pabean; atau
b. dokumen persyaratan Impor yang pemeriksaannya dilakukan setelah melalui Kawasan Pabean (post border).
(5) Terhadap Impor Barang yang dikenai kewajiban berupa:
a. Perizinan Berusaha di bidang Impor berupa Importir Terdaftar atau Importir Produsen dan Persetujuan Impor, serta Laporan Surveyor, Importir menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya terhadap Perizinan Berusaha di bidang Impor berupa Persetujuan Impor;
b. Perizinan Berusaha di bidang Impor berupa Importir Terdaftar atau Importir Produsen dan Persetujuan Impor, Importir menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya terhadap Perizinan Berusaha di bidang Impor berupa Persetujuan Impor;
c. Perizinan Berusaha di bidang Impor berupa Importir Terdaftar atau Importir Produsen dan Laporan Surveyor, Importir menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya terhadap Perizinan Berusaha berupa Importir Terdaftar atau Importir Produsen; dan
d. Perizinan Berusaha di bidang Impor berupa Persetujuan Impor dan Laporan Surveyor, Importir menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya terhadap Perizinan Berusaha berupa Persetujuan Impor.
(6) Terhadap Perizinan Berusaha di bidang Impor berupa Persetujuan Impor yang berlaku untuk 1 (satu) kali penyampaian Pemberitahuan Pabean Impor, dalam hal Importir telah melakukan Impor dan telah menyampaikan laporan realisasi Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Importir tidak menyampaikan laporan realisasi Impor pada bulan berikutnya.
(7) Laporan realisasi Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) meliputi elemen data dan/atau keterangan paling sedikit memuat:
a. jenis/uraian Barang;
b. pos tarif/ harmonized system;
c. jumlah Barang;
d. nilai Barang;
e. pelabuhan tujuan;
f. negara asal;
g. nomor dan tanggal Laporan Surveyor, untuk Impor Barang tertentu yang dikenai kewajiban Verifikasi atau Penelusuran Teknis; dan
h. nomor dan tanggal Pemberitahuan Pabean Impor.


Pasal 62

(1) Importir yang telah memiliki Surat Keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) wajib menyampaikan laporan realisasi Impor baik yang terealisasi maupun tidak terealisasi secara elektronik kepada Menteri.
(2) Laporan realisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan:
a. paling lama 15 (lima belas) hari kerja setelah masa berlaku Surat Keterangan berakhir, untuk Surat Keterangan yang berlaku 1 (satu) kali penyampaian Pemberitahuan Pabean Impor; dan
b. setiap bulan paling lambat tanggal 15 (lima belas) pada bulan berikutnya, untuk Surat Keterangan yang berlaku lebih dari 1 (satu) kali penyampaian Pemberitahuan Pabean Impor,
melalui SINSW yang diteruskan ke Sistem INATRADE.
(3) Terhadap Surat Keterangan yang berlaku untuk 1 (satu) kali penyampaian Pemberitahuan Pabean Impor, dalam hal Importir telah melakukan Impor dan telah menyampaikan laporan realisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Importir tidak menyampaikan laporan realisasi pada bulan berikutnya.
(4) Laporan realisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi elemen data dan/atau keterangan paling sedikit memuat:
a. jenis/uraian Barang;
b. pos tarif/ harmonized system;
c. jumlah Barang;
d. nilai Barang;
e. pelabuhan tujuan;
f. negara asal; dan
g. nomor dan tanggal Pemberitahuan Pabean Impor.


Bagian Kedua
Laporan Realisasi Distribusi

Pasal 63

(1) Terhadap Impor Barang tertentu, selain laporan realisasi Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1):
a. Importir pemilik NIB yang berlaku sebagai API-U wajib menyampaikan laporan realisasi distribusi Barang yang diimpor; atau
b. Importir pemilik NIB yang berlaku sebagai API-P wajib menyampaikan laporan realisasi distribusi Barang hasil olahan atau hasil produksi Barang yang diimpor,
baik yang terealisasi maupun tidak terealisasi secara elektronik kepada Menteri.
(2) Laporan realisasi distribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan setiap bulan paling lambat tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya melalui SINSW yang diteruskan ke Sistem INATRADE.
(3) Dalam hal laporan distribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah disampaikan oleh Importir melalui sistem nasional Neraca Komoditas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Neraca Komoditas, laporan distribusi diteruskan ke Sistem INATRADE.
(4) Laporan realisasi distribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi elemen data dan/atau keterangan paling sedikit memuat:
a. nomor dan tanggal kontrak penjualan atau pendistribusian;
b. nama dan alamat distributor atau konsumen;
c. tanggal pendistribusian;
d. volume atau jumlah pendistribusian; dan
e. harga Barang.


Pasal 64
 
Elemen data atau keterangan pada laporan realisasi yang telah disampaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (7) dan Pasal 62 ayat (4) dapat dilakukan perubahan yang disertai dengan pertimbangan perubahan.


BAB XIX
PENGAWASAN

Pasal 65

(1) Terhadap pelaksanaan kebijakan dan pengaturan Impor dalam penyelenggaraan Perdagangan Luar Negeri dilaksanakan pengawasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pelaksanaan pengawasan kegiatan Perdagangan.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap kepatuhan Importir dalam pelaksanaan kebijakan dan pengaturan Impor Barang tertentu berupa:
a. NIB yang berlaku sebagai API;
b. Perizinan Berusaha di bidang Impor;
c. Verifikasi atau Penelusuran Teknis; dan/atau
d. ketentuan pelabuhan tujuan.
(3) Pemeriksaan atas pelaksanaan kebijakan dan pengaturan Impor Barang tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan pengawasan kegiatan Perdagangan yang pemeriksaannya dilakukan oleh:
a. direktorat jenderal yang membidangi kepabeanan di Kawasan Pabean (border); dan
b. direktorat jenderal yang membidangi perlindungan konsumen dan tertib niaga setelah melalui Kawasan Pabean (post border).
(4) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dapat dilakukan dengan berkoordinasi dengan direktorat jenderal yang membidangi Perdagangan luar negeri.
(5) Dalam hal diperlukan, pengawasan kegiatan Perdagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dapat dilakukan di Kawasan Pabean bekerja sama dengan direktorat jenderal yang membidangi kepabeanan.


Pasal 66

(1) Dalam rangka penguatan pengawasan implementasi program strategis nasional pencegahan korupsi untuk jenis Barang tertentu, dilakukan pengawasan terhadap kewajiban pencantuman Perizinan Berusaha di bidang Impor dan/atau Laporan Surveyor dalam dokumen Pemberitahuan Pabean Impor.
(2) Importir harus memberitahukan jumlah atau volume Barang Impor tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam Pemberitahuan Pabean Impor dengan menggunakan jenis satuan Barang sebagaimana tercantum dalam Perizinan Berusaha di bidang Impor sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang kepabeanan.
(3) Jumlah atau volume Barang Impor tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak melebihi yang tercantum dalam Perizinan Berusaha di bidang Impor sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan.
(4) Importir yang tidak melakukan kewajiban pencantuman Perizinan Berusaha di bidang Impor dan/atau Laporan Surveyor dalam dokumen Pemberitahuan Pabean Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terhadap Barang tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dapat mengajukan dokumen Pemberitahuan Pabean Impor.
(5) Terhadap pengawasan kewajiban pencantuman Perizinan Berusaha di bidang Impor dan/atau Laporan Surveyor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pemeriksaaan atas pemenuhan Perizinan Berusaha di bidang Impor dalam dokumen Pemberitahuan Pabean Impor oleh direktorat jenderal yang membidangi perlindungan konsumen dan tertib niaga.
(6) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pelaksanaan pengawasan kegiatan perdagangan.


Pasal 67

(1) Menteri bersama dengan menteri atau kepala lembaga pemerintah nonkementerian terkait dapat melakukan evaluasi atas pelaksanaan kebijakan dan pengaturan Impor yang pemeriksaannya dilakukan di Kawasan Pabean atau setelah melalui Kawasan Pabean (post border).
(2) Pelaksanaan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan sewaktu-waktu dalam hal diperlukan.


BAB XX
SANKSI

Bagian Kesatu
Sanksi Administratif

Pasal 68

(1) Importir yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), Pasal 4 ayat (1), Pasal 7 ayat (3), Pasal 33 ayat (1), Pasal 47 ayat (5), Pasal 47 ayat (8), Pasal 61 ayat (1), Pasal 61 ayat (3), Pasal 62 ayat (1), dan Pasal 63 ayat (1), dikenai sanksi administratif.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
a. peringatan secara elektronik;
b. teguran tertulis;
c. pembekuan Perizinan Berusaha di bidang Impor;
d. pencabutan Perizinan Berusaha di bidang Impor;
e. pembekuan Surat Keterangan;
f. pencabutan Surat Keterangan;
g. rekomendasi pencabutan Laporan Surveyor;
h. penangguhan proses penerbitan, perubahan, perpanjangan Perizinan Berusaha di bidang Impor;
i. penangguhan proses penerbitan atau perubahan Surat Keterangan;
j. rekomendasi penangguhan pelayanan Verifikasi atau Penelusuran Teknis; dan/atau
k. rekomendasi pencabutan NIB yang berlaku sebagai API.
(3) Tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan 2 (dua) mekanisme:
a. secara bertahap; atau
b. secara tidak bertahap.


Bagian Kedua
Sanksi Tidak Melaksanakan Kewajiban Penyampaian Laporan Realisasi Impor dan Laporan Realisasi Distribusi

Pasal 69
 
(1) Importir yang tidak melaksanakan kewajiban laporan realisasi Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1) dan ayat (3), dan/atau laporan realisasi distribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa peringatan secara elektronik.
(2) Apabila Importir yang telah dikenai sanksi administratif berupa peringatan secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap tidak menyampaikan laporan realisasi Impor dan/atau laporan realisasi distribusi dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal peringatan secara elektronik dikenakan, Importir dikenai sanksi administratif berupa:
a. pembekuan Perizinan Berusaha di bidang Impor apabila pengenaan sanksi administratif dilakukan dalam masa berlaku Perizinan Berusaha di bidang Impor;
b. penangguhan penerbitan, perubahan, dan perpanjangan Perizinan Berusaha di bidang Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 19 ayat (2) dan ayat (3), dan Pasal 22 ayat (2) dan ayat (3).
c. penangguhan penerbitan Perizinan Berusaha di bidang Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) dan ayat (3) untuk penerbitan Perizinan Berusaha di    bidang Impor berikutnya, apabila pengenaan sanksi administratif dilakukan setelah masa berlaku Perizinan Berusaha di bidang Impor berakhir; dan/atau
d. rekomendasi penangguhan pelayanan Verifikasi atau Penelusuran Teknis, untuk Importir yang hanya memiliki Laporan Surveyor,
selama Importir belum melaksanakan kewajiban laporan realisasi Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1) dan ayat (3), dan/atau laporan realisasi distribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1).
(3) Penangguhan penerbitan Persetujuan Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, dilakukan terhadap jenis Persetujuan Impor komoditas yang sama.
(4) Rekomendasi penangguhan pelayanan Verifikasi atau Penelusuran Teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d dilakukan terhadap permohonan Verifikasi atau Penelusuran Teknis untuk kelompok komoditas yang sama.


Pasal 70

(1) Importir yang tidak melaksanakan kewajiban laporan realisasi Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1), dikenai sanksi administratif berupa peringatan secara elektronik.
(2) Apabila Importir yang telah dikenai sanksi administratif berupa peringatan secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap tidak menyampaikan laporan realisasi Impor yang telah terealisasi impornya dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal peringatan secara elektronik dikenakan, Importir dikenai sanksi administratif berupa:
a. pembekuan Surat Keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1), untuk Surat Keterangan yang berlaku lebih dari 1 (satu) kali penyampaian Pemberitahuan Pabean Impor, apabila pengenaan sanksi administratif dilakukan dalam masa berlaku Surat Keterangan;
b. penangguhan penerbitan Surat Keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) berikutnya selama Importir belum melaksanakan kewajiban laporan realisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1), untuk Surat Keterangan yang berlaku 1 (satu) kali penyampaian Pemberitahuan Pabean Impor; atau
c. penangguhan penerbitan Surat Keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) berikutnya selama Importir belum melaksanakan kewajiban laporan realisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1), untuk Surat Keterangan yang berlaku lebih dari 1 (satu) kali penyampaian Pemberitahuan Pabean Impor, apabila pengenaan sanksi administratif dilakukan setelah masa berlaku Surat Keterangan berakhir.
(3) Penangguhan penerbitan Surat Keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan huruf c, dilakukan terhadap jenis Surat Keterangan komoditas yang sama.


Pasal 71
 
Sanksi administratif berupa:
a. pembekuan Perizinan Berusaha di bidang Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (2) huruf a diaktifkan kembali, dalam hal Importir telah melaksanakan kewajiban laporan realisasi Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1) dan/atau laporan realisasi distribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1);
b. penangguhan penerbitan Perizinan Berusaha di bidang Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (2) huruf b dicabut, dalam hal Importir telah melaksanakan kewajiban laporan realisasi Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1) dan/atau laporan realisasi distribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1).
c. rekomendasi penangguhan pelayanan Verifikasi atau Penelusuran Teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (2) huruf d dicabut, dalam hal Importir telah melaksanakan kewajiban laporan realisasi Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (3);
d. pembekuan Surat Keterangan yang berlaku untuk lebih dari 1 (satu) kali penyampaian Pemberitahuan Pabean Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (2) huruf a diaktifkan kembali, dalam hal Importir telah melaksanakan kewajiban laporan realisasi Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1);
e. penangguhan penerbitan Surat Keterangan yang berlaku untuk 1 (satu) kali penyampaian Pemberitahuan Pabean Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (2) huruf b dicabut, dalam hal Importir telah melaksanakan kewajiban laporan realisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1); dan
f. penangguhan penerbitan Surat Keterangan yang berlaku untuk lebih dari 1 (satu) kali penyampaian Pemberitahuan Pabean Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (2) huruf c dicabut, dalam hal Importir telah melaksanakan kewajiban laporan realisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1).


Pasal 72

(1) Importir yang belum melaksanakan kewajiban laporan realisasi Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1), tidak dapat mengajukan kembali permohonan Persetujuan Impor sebelum melaksanakan kewajiban laporan realisasi Impor.
(2) Importir yang belum melaksanakan kewajiban laporan realisasi Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (3), tidak dapat mengajukan pelayanan Verifikasi atau Penelusuran Teknis sebelum melaksanakan kewajiban laporan realisasi Impor.
(3) Importir yang belum menyampaikan laporan realisasi Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1), Importir tidak dapat mengajukan kembali permohonan Surat Keterangan sebelum melaksanakan kewajiban laporan realisasi Impor.


Bagian Ketiga
Sanksi terkait Perizinan Berusaha di bidang Impor, Surat Keterangan, atau Laporan Surveyor

Pasal 73

(1) Dalam hal Importir dalam proses penyidikan atas tindak pidana yang berkaitan dengan penyalahgunaan:
a. dokumen Perizinan Berusaha di bidang Impor, Importir dikenai sanksi administratif berupa pembekuan Perizinan Berusaha di bidang Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 19 ayat (2) dan ayat (3), dan Pasal 22 ayat (2) dan ayat (3) yang menjadi objek penyidikan;
b. dokumen Perizinan Berusaha di bidang Impor yang masa berlakunya telah berakhir, Importir dikenai sanksi administratif berupa penangguhan penerbitan Perizinan Berusaha di bidang Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) dan ayat (3) yang menjadi objek penyidikan;
c. Surat Keterangan yang berlaku untuk lebih dari 1 (satu) kali penyampaian Pemberitahuan Pabean Impor, Importir dikenai sanksi administratif berupa pembekuan Surat Keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) yang menjadi objek penyidikan;
d. Surat Keterangan yang berlaku untuk lebih dari 1 (satu) kali penyampaian Pemberitahuan Pabean Impor atau Surat Keterangan yang berlaku untuk 1 (satu) kali penyampaian Pemberitahuan Pabean Impor yang masa berlakunya telah berakhir, Importir dikenai sanksi administratif berupa penangguhan penerbitan Surat Keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) yang menjadi objek penyidikan; atau
e. dokumen Laporan Surveyor, Importir dikenai sanksi administratif berupa rekomendasi penangguhan pelayanan Verifikasi atau Penelusuran Teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 untuk kelompok atau sub kelompok komoditas yang sama.
(2) Proses penyidikan atas tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan surat perintah dimulainya penyidikan oleh lembaga terkait.
(3) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan rekomendasi lembaga terkait.
(4) Sanksi administratif berupa pembekuan atau penangguhan permohonan Perizinan Berusaha di bidang Impor dan/atau Surat Keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sampai dengan huruf d dilakukan oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri secara elektronik melalui Sistem INATRADE yang akan diteruskan ke SINSW.
(5) Sanksi administratif berupa rekomendasi penangguhan pelayanan Verifikasi atau Penelusuran Teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e disampaikan oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri kepada Surveyor.


Pasal 74

(1) Sanksi administratif berupa:
a. pembekuan Perizinan Berusaha di bidang Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (1) huruf a diaktifkan kembali, dalam hal Importir:
1. telah dikeluarkan surat perintah penghentian penyidikan oleh penyidik; atau
2. terbukti tidak bersalah atau dibebaskan dari segala tuntutan hukum berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;
b. penangguhan penerbitan Perizinan Berusaha di bidang Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (1) huruf b dicabut, dalam hal Importir:
1. telah dikeluarkan surat perintah penghentian penyidikan oleh penyidik; atau
2. terbukti tidak bersalah atau dibebaskan dari segala tuntutan hukum berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;
c. pembekuan Surat Keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (1) huruf c diaktifkan kembali, dalam hal Importir:
1. telah dikeluarkan surat perintah penghentian penyidikan oleh penyidik; atau
2. terbukti tidak bersalah atau dibebaskan dari segala tuntutan hukum berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;
d. penangguhan penerbitan Surat Keterangan yang berlaku untuk lebih dari 1 (satu) kali penyampaian Pemberitahuan Pabean Impor atau untuk 1 (satu) kali penyampaian Pemberitahuan Pabean Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (1) huruf d dicabut, dalam hal Importir:
1. telah dikeluarkan surat perintah penghentian penyidikan oleh penyidik; atau
2. terbukti tidak bersalah atau dibebaskan dari segala tuntutan hukum berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;
e. rekomendasi penangguhan pelayanan Verifikasi atau Penelusuran Teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (1) huruf e dicabut, dalam hal Importir:
1. telah dikeluarkan surat perintah penghentian penyidikan oleh penyidik; atau
2. terbukti tidak bersalah atau dibebaskan dari segala tuntutan hukum berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
(2) Pengaktifan kembali pembekuan Perizinan Berusaha di bidang Impor atau Surat Keterangan, dan pencabutan penangguhan penerbitan Perizinan Berusaha di bidang Impor atau Surat Keterangan dilakukan oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri.
(3) Pencabutan penangguhan pelayanan Verifikasi atau Penelusuran Teknis oleh Surveyor dilakukan berdasarkan rekomendasi oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri.


Pasal 75

(1) Importir yang melanggar ketentuan berupa:
a. ditemukan ketidaksesuaian dokumen persyaratan dan data atau informasi permohonan Perizinan Berusaha di bidang Impor, perubahan Perizinan Berusaha di bidang Impor, perpanjangan Perizinan Berusaha di bidang Impor, Surat Keterangan, atau perubahan Surat Keterangan;
b. mengimpor Barang tertentu dengan jenis dan/atau jumlah yang tidak sesuai dengan data atau informasi yang tercantum dalam Perizinan Berusaha di bidang Impor atau Surat Keterangan; atau
c. mengimpor Barang tertentu yang tidak dilengkapi dengan Laporan Surveyor, dalam hal Impor Barang tertentu hanya dipersyaratkan Laporan Surveyor,
dikenai sanksi administratif.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa teguran tertulis.
(3) Teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenakan 1 (satu) kali.
(4) Teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atas pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b dikenakan terhadap jenis Perizinan Berusaha di bidang Impor atau Surat Keterangan yang sama.
(5) Teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atas pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan untuk kelompok atau sub kelompok komoditas yang sama.
(6) Teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Menteri melalui direktur jenderal yang membidangi perlindungan konsumen dan tertib niaga.


Pasal 76

(1) Dalam hal Importir melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (1) dan telah dikenai sanksi teguran tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) atau teguran tertulis berdasarkan peraturan perundang-undangan sebelum diberlakukannya Peraturan Menteri ini, Importir dikenai sanksi administratif berupa:
a. pembekuan Perizinan Berusaha di bidang Impor dan/atau Surat Keterangan yang masih berlaku;
b. penangguhan permohonan Perizinan Berusaha di bidang Impor atau Surat Keterangan; atau
c. rekomendasi penangguhan pelayanan Verifikasi atau Penelusuran Teknis, dalam hal Impor Barang tertentu hanya dipersyaratkan Laporan Surveyor.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan rekomendasi yang disampaikan oleh direktur jenderal yang membidangi perlindungan konsumen dan tertib niaga.
(3) Berdasarkan rekomendasi sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Direktur Jenderal atas nama Menteri melakukan pembekuan atau penangguhan permohonan Perizinan Berusaha di bidang Impor dan/atau Surat Keterangan secara elektronik melalui Sistem INATRADE yang akan diteruskan ke SINSW.
(4) Sanksi pembekuan atau penangguhan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenakan selama 3 (tiga) bulan.
(5) Dalam hal sisa masa berlaku Perizinan Berusaha di bidang Impor atau Surat Keterangan kurang dari 3 (tiga) bulan, Importir dikenai sanksi penangguhan permohonan Perizinan Berusaha di bidang Impor dan/atau Surat Keterangan berikutnya selama 3 (tiga) bulan.
(6) Penangguhan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) berlaku sejak Importir mengajukan permohonan Perizinan Berusaha di bidang Impor dan/atau Surat Keterangan.
(7) Sanksi pembekuan atau penangguhan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenakan terhadap jenis Perizinan Berusaha di bidang Impor atau Surat Keterangan yang sama.
(8) Berdasarkan rekomendasi sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Direktur Jenderal atas nama Menteri menyampaikan rekomendasi penangguhan pelayanan Verifikasi atau Penelusuran Teknis kepada Surveyor.
(9) Rekomendasi penangguhan pelayanan Verifikasi atau Penelusuran Teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (8) diberikan selama 3 (tiga) bulan sejak Surveyor menerima permohonan Verifikasi atau Penelusuran Teknis dari Importir.
(10) Sanksi rekomendasi penangguhan pelayanan Verifikasi atau Penelusuran Teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dilakukan terhadap kelompok atau sub kelompok komoditas yang sama.


Pasal 77
 
(1) Dalam hal Importir melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (1) dan telah dikenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1) atau sanksi administratif berdasarkan peraturan perundang-undangan sebelum diberlakukannya Peraturan Menteri ini, berupa:
a. pembekuan Perizinan Berusaha di bidang Impor dan/atau Surat Keterangan;
b. penangguhan permohonan Perizinan Berusaha di bidang Impor atau Surat Keterangan; atau
c. rekomendasi penangguhan pelayanan Verifikasi atau Penelusuran Teknis, dalam hal Impor Barang tertentu hanya dipersyaratkan Laporan Surveyor,
Importir dikenai sanksi administratif.
(2) Sanksi administratif berdasarkan peraturan perundang- undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak termasuk pembekuan Perizinan Berusaha di bidang Impor dan/atau Surat Keterangan yang disebabkan pelanggaran terhadap kewajiban laporan realisasi Impor dan/atau laporan realisasi distribusi.
(3) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. pencabutan Perizinan Berusaha di bidang Impor dan/atau Surat Keterangan;
b. penangguhan permohonan Perizinan Berusaha di bidang Impor atau Surat Keterangan; atau
c. rekomendasi penangguhan pelayanan Verifikasi atau Penelusuran Teknis, dalam hal Impor Barang tertentu hanya dipersyaratkan Laporan Surveyor.
(4) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan berdasarkan rekomendasi yang disampaikan oleh direktur jenderal yang membidangi perlindungan konsumen dan tertib niaga.
(5) Berdasarkan rekomendasi sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Direktur Jenderal atas nama Menteri melakukan pencabutan atau penangguhan permohonan Perizinan Berusaha di bidang Impor dan/atau Surat Keterangan secara elektronik melalui Sistem INATRADE yang akan diteruskan ke SINSW.
(6) Importir yang telah dikenai sanksi pencabutan Perizinan Berusaha di bidang Impor dan/atau Surat Keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak dapat mengajukan kembali permohonan Perizinan Berusaha di bidang Impor atau Surat Keterangan selama 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal pencabutan Perizinan Berusaha di bidang Impor dan/atau pencabutan Surat Keterangan.
(7) Penangguhan permohonan Perizinan Berusaha di bidang Impor atau Surat Keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dikenakan selama 1 (satu) tahun sejak Importir mengajukan permohonan Perizinan Berusaha di bidang Impor dan/atau Surat Keterangan.
(8) Sanksi pencabutan atau penangguhan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dikenakan terhadap jenis
Perizinan Berusaha di bidang Impor atau Surat Keterangan yang sama.
(9) Berdasarkan rekomendasi sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Direktur Jenderal atas nama Menteri menyampaikan rekomendasi penangguhan pelayanan Verifikasi atau Penelusuran Teknis kepada Surveyor.
(10) Rekomendasi penangguhan pelayanan Verifikasi atau Penelusuran Teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (9) diberikan selama 1 (satu) tahun sejak Surveyor menerima permohonan Verifikasi atau Penelusuran Teknis dari Importir.
(11) Sanksi rekomendasi penangguhan pelayanan Verifikasi atau Penelusuran Teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (9) dilakukan terhadap kelompok atau sub kelompok komoditas yang sama.


Pasal 78

(1) Dalam hal Importir melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (1) dan telah dikenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (3), dikenai sanksi administratif berupa rekomendasi pencabutan status NIB yang berlaku sebagai API.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan rekomendasi yang disampaikan oleh direktur jenderal yang membidangi perlindungan konsumen dan tertib niaga.
(3) Berdasarkan rekomendasi sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Direktur Jenderal atas nama Menteri menyampaikan rekomendasi pencabutan status NIB yang berlaku sebagai API kepada kepala lembaga pengelola dan penyelenggara sistem OSS.
(4) Importir yang telah dikenai sanksi pencabutan status NIB yang berlaku sebagai API oleh kepala lembaga pengelola dan penyelenggara sistem OSS, dapat mengajukan kembali status NIB yang berlaku sebagai API setelah jangka waktu 1 (satu) tahun sejak tanggal pencabutan status NIB yang berlaku sebagai API.


Bagian Keempat
Sanksi Lainnya

Pasal 79

(1) Importir yang melanggar ketentuan berupa:
a. mengimpor Barang tertentu yang tidak sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri ini;
b. memperdagangkan dan/atau memindahtangankan Barang tertentu yang telah diimpor kepada pihak lain, untuk Importir pemilik NIB yang berlaku sebagai API- P, kecuali terhadap:
1) Barang berupa Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong sisa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4) huruf a;
2) Barang modal yang diimpor dalam keadaan baru oleh API-P apabila telah dipergunakan dalam jangka waktu paling singkat 2 (dua) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4) huruf b;
3) Barang sebagai Barang Komplementer, Barang untuk Keperluan Tes Pasar, dan/atau Barang untuk Pelayanan Purna Jual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4) huruf c;
4) Barang yang diperdagangkan atau dipindahtangankan oleh Pelaku Usaha berupa badan usaha pemegang izin usaha pengolahan minyak dan gas bumi serta izin usaha niaga minyak dan gas bumi yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4) huruf d;
5) Barang modal, Bahan Baku, Bahan Penolong, dan/atau bahan untuk mendukung proses produksi asal Impor kemudian diekspor kembali dengan jumlah paling banyak sesuai dengan Pemberitahuan Pabean Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4) huruf e; atau
c. terbukti melakukan pelanggaran berdasarkan penilaian dan rekomendasi dari direktorat jenderal membidangi perlindungan konsumen dan tertib niaga,
dikenai sanksi administratif.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa teguran tertulis.
(3) Teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenakan 1 (satu) kali.
(4) Teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenakan terhadap Importir.
(5) Teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Menteri melalui direktur jenderal yang membidangi perlindungan konsumen dan tertib niaga.


Pasal 80

(1) Dalam hal Importir melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (1) dan telah dikenai sanksi teguran tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (2) atau teguran tertulis berdasarkan peraturan perundang-undangan sebelum diberlakukannya Peraturan Menteri ini, Importir dikenai sanksi administratif berupa:
a. pembekuan Perizinan Berusaha di bidang Impor dan/atau Surat Keterangan yang masih berlaku;
b. penangguhan permohonan Perizinan Berusaha di bidang Impor atau Surat Keterangan; atau
c. rekomendasi penangguhan pelayanan Verifikasi atau Penelusuran Teknis, dalam hal Impor Barang tertentu hanya dipersyaratkan Laporan Surveyor.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan rekomendasi yang disampaikan oleh direktur jenderal yang membidangi perlindungan konsumen dan tertib niaga.
(3) Berdasarkan rekomendasi sanksi sebagaimana dimaksud ayat (2), Direktur Jenderal atas nama Menteri melakukan pembekuan atau penangguhan permohonan Perizinan Berusaha di bidang Impor dan/atau Surat Keterangan secara elektronik melalui Sistem INATRADE yang akan diteruskan ke SINSW.
(4) Sanksi pembekuan atau penangguhan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenakan selama 3 (tiga) bulan.
(5) Dalam hal sisa masa berlaku Perizinan Berusaha di bidang Impor atau Surat Keterangan kurang dari 3 (tiga) bulan, Importir dikenai sanksi penangguhan permohonan Perizinan Berusaha di bidang Impor dan/atau Surat Keterangan berikutnya selama 3 (tiga) bulan.
(6) Penangguhan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) berlaku sejak Importir mengajukan permohonan Perizinan Berusaha di bidang Impor dan/atau Surat Keterangan.
(7) Sanksi pembekuan atau penangguhan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenakan terhadap jenis Perizinan Berusaha di bidang Impor atau Surat Keterangan yang sama.
(8) Berdasarkan rekomendasi sanksi sebagaimana dimaksud ayat (2), Direktur Jenderal atas nama Menteri menyampaikan rekomendasi penangguhan pelayanan Verifikasi atau Penelusuran Teknis kepada Surveyor.
(9) Rekomendasi penangguhan pelayanan Verifikasi atau Penelusuran Teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (8) diberikan selama 3 (tiga) bulan sejak Surveyor menerima permohonan Verifikasi atau Penelusuran Teknis dari Importir.
(10) Sanksi rekomendasi penangguhan pelayanan Verifikasi atau Penelusuran Teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dilakukan terhadap kelompok atau sub kelompok komoditas yang sama.


Pasal 81

(1) Dalam hal Importir melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (1) dan telah dikenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (1) atau sanksi administratif berdasarkan peraturan perundang-undangan sebelum diberlakukannya Peraturan Menteri ini, berupa:
a. pembekuan Perizinan Berusaha di bidang Impor dan/atau Surat Keterangan;
b. penangguhan permohonan Perizinan Berusaha di bidang Impor atau Surat Keterangan; atau
c. rekomendasi penangguhan pelayanan Verifikasi atau Penelusuran Teknis, dalam hal Impor Barang tertentu hanya dipersyaratkan Laporan Surveyor,
Importir dapat dikenai sanksi administratif.
(2) Sanksi administratif berdasarkan peraturan perundang- undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak termasuk pembekuan Perizinan Berusaha di bidang Impor dan/atau Surat Keterangan yang disebabkan pelanggaran terhadap kewajiban laporan realisasi Impor dan/atau laporan realisasi distribusi.
(3) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. pencabutan Perizinan Berusaha di bidang Impor dan/atau Surat Keterangan;
b. penangguhan permohonan Perizinan Berusaha di bidang Impor atau Surat Keterangan; atau
c. rekomendasi penangguhan pelayanan Verifikasi atau Penelusuran Teknis, dalam hal Impor Barang tertentu hanya dipersyaratkan Laporan Surveyor.
(4) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan berdasarkan rekomendasi yang disampaikan oleh direktur jenderal yang membidangi perlindungan konsumen dan tertib niaga.
(5) Berdasarkan rekomendasi sanksi sebagaimana dimaksud ayat (4), Direktur Jenderal atas nama Menteri melakukan pencabutan atau penangguhan permohonan Perizinan Berusaha di bidang Impor dan/atau Surat Keterangan secara elektronik melalui Sistem INATRADE yang akan diteruskan ke SINSW.
(6) Importir yang telah dikenai sanksi pencabutan Perizinan Berusaha di bidang Impor dan/atau Surat Keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak dapat mengajukan kembali permohonan Perizinan Berusaha di bidang Impor atau Surat Keterangan selama 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal pencabutan Perizinan Berusaha di bidang Impor dan/atau pencabutan Surat Keterangan.
(7) Penangguhan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dikenakan selama 1 (satu) tahun sejak Importir mengajukan permohonan Perizinan Berusaha di bidang Impor dan/atau Surat Keterangan.
(8) Sanksi pencabutan atau penangguhan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dikenakan terhadap jenis Perizinan Berusaha di bidang Impor atau Surat Keterangan yang sama.
(9) Berdasarkan rekomendasi sanksi sebagaimana dimaksud ayat (4), Direktur Jenderal atas nama Menteri menyampaikan rekomendasi penangguhan pelayanan Verifikasi atau Penelusuran Teknis kepada Surveyor.
(10) Rekomendasi penangguhan pelayanan Verifikasi atau Penelusuran Teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (9) diberikan selama 1 (satu) tahun sejak Surveyor menerima permohonan Verifikasi atau Penelusuran Teknis dari Importir.
(11) Sanksi administratif berupa rekomendasi penangguhan pelayanan Verifikasi atau Penelusuran Teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (9) dilakukan terhadap kelompok atau sub kelompok komoditas yang sama.


Pasal 82

(1)  Importir yang melanggar ketentuan larangan berupa memperdagangkan dan/atau memindahtangankan Barang Bebas Impor yang telah diimpor kepada pihak lain, kecuali terhadap:
a. Barang berupa Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong sisa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4) huruf a;
b. Barang modal yang diimpor dalam keadaan baru oleh API-P apabila telah dipergunakan dalam jangka waktu paling singkat 2 (dua) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4) huruf b;
c. Barang sebagai Barang Komplementer, Barang untuk Keperluan Tes Pasar, dan/atau Barang untuk Pelayanan Purna Jual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4) huruf c;
d. Barang yang diperdagangkan atau dipindahtangankan oleh Pelaku Usaha berupa badan usaha pemegang izin usaha pengolahan minyak dan gas bumi serta izin usaha niaga minyak dan gas bumi yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral sebagaimana dimaksud dalam Pasal Pasal 7 ayat (4) huruf d; atau
e. Barang modal, Bahan Baku, Bahan Penolong, dan/atau bahan untuk mendukung proses produksi asal Impor kemudian diekspor kembali dengan jumlah paling banyak sesuai dengan Pemberitahuan Pabean Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4) huruf e,
dikenai sanksi administratif.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa teguran tertulis.
(3) Teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenakan sebanyak 3 (tiga) kali.
(4) Teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Menteri melalui direktur jenderal yang membidangi perlindungan konsumen dan tertib niaga.


Pasal 83

(1) Dalam hal:
a. Importir yang telah dikenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (5); dan /atau
b. Importir melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (1) dan telah dikenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (3),
dikenai sanksi berupa rekomendasi pencabutan status NIB yang berlaku sebagai API.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan rekomendasi yang disampaikan oleh direktur jenderal yang membidangi perlindungan konsumen dan tertib niaga.
(3) Sanksi administratif berupa rekomendasi pencabutan status NIB yang berlaku sebagai API sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri kepada kepala lembaga pengelola dan penyelenggara sistem OSS.
(4) Importir yang telah dikenai sanksi pencabutan status NIB yang berlaku sebagai API oleh kepala lembaga pengelola dan penyelenggara sistem OSS, dapat mengajukan kembali status NIB yang berlaku sebagai API setelah jangka waktu 1 (satu) tahun sejak tanggal pencabutan status NIB yang berlaku sebagai API.


Pasal 84

(1) Importir dikenai sanksi administratif dalam hal:
a. terbukti mengubah informasi yang tercantum dalam Perizinan Berusaha di bidang Impor, Surat Keterangan, atau Laporan Surveyor;
b. melakukan pelanggaran di bidang kepabeanan berdasarkan informasi dari direktorat jenderal yang membidangi kepabeanan;
c. terbukti melakukan pelanggaran berdasarkan penilaian dan rekomendasi dari instansi teknis terkait; atau
d. dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap atas tindak pidana yang berkaitan dengan penyalahgunaan NIB yang berlaku sebagai API, Perizinan Berusaha di bidang Impor, Laporan Surveyor, dan/atau Surat Keterangan.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)  dapat berupa:
a. penangguhan proses penerbitan Perizinan Berusaha di bidang Impor;
b. penangguhan proses penerbitan Surat Keterangan;
c. rekomendasi penangguhan pelayanan Verifikasi atau Penelusuran Teknis;
d. pencabutan Perizinan Berusaha di bidang Impor dan/atau Surat Keterangan;
e. rekomendasi pencabutan Laporan Surveyor; dan /atau
f. rekomendasi pencabutan status NIB yang berlaku sebagai API.
(3) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terhadap:
a. pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan berdasarkan rekomendasi yang disampaikan oleh direktur jenderal yang membidangi perlindungan konsumen dan tertib niaga;
b. pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan berdasarkan rekomendasi yang disampaikan oleh direktorat jenderal yang membidangi kepabeanan;
c. pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan berdasarkan rekomendasi yang disampaikan oleh instansi teknis terkait; atau
d. pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilakukan berdasarkan rekomendasi yang disampaikan oleh lembaga terkait.
(4) Dalam hal direktur jenderal yang membidangi perlindungan konsumen dan tertib niaga menyampaikan rekomendasi pemberian sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a berupa pencabutan Perizinan Berusaha di bidang Impor dan/atau Surat Keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d disertai dengan alasan pencabutan.
(5) Dalam hal rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk sanksi administratif berupa penangguhan proses penerbitan Perizinan Berusaha di bidang Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, Surat Keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, dan/atau pelayanan Verifikasi atau Penelusuran Teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c disertai dengan jangka waktu penangguhan.
(6) Dalam hal rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk sanksi administratif berupa pencabutan status NIB yang berlaku sebagai API sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf f, disertai dengan jangka waktu pengajuan kembali status NIB yang berlaku sebagai API.
(7) Sanksi penangguhan atau pencabutan Perizinan Berusaha di bidang Impor dan/atau Surat Keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf d dilakukan oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri secara elektronik melalui Sistem INATRADE yang akan diteruskan ke SINSW.
(8) Sanksi administratif berupa rekomendasi penangguhan pelayanan Verifikasi atau Penelusuran Teknis atau pencabutan Laporan Surveyor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dan huruf e disampaikan oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri kepada Surveyor.
(9) Sanksi administratif berupa rekomendasi pencabutan status NIB yang berlaku sebagai API sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf f disampaikan oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri kepada kepala lembaga pengelola dan penyelenggara Sistem OSS.


Pasal 85

(1) Pengenaan sanksi administratif berupa:
a. pembekuan Perizinan Berusaha di bidang Impor;
b. pencabutan Perizinan Berusaha di bidang Impor;
c. pembekuan Surat Keterangan;
d. pencabutan Surat Keterangan;
e. rekomendasi pencabutan Laporan Surveyor;
f. penangguhan proses penerbitan, perubahan, atau perpanjangan Perizinan Berusaha di bidang Impor;
g. penangguhan proses penerbitan atau perubahan Surat Keterangan;
h. rekomendasi penangguhan pelayanan Verifikasi atau Penelusuran Teknis; dan/atau
i. rekomendasi pencabutan NIB yang berlaku sebagai API,
dapat dilakukan secara tidak bertahap.
(2) Pengenaan sanksi secara tidak bertahap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan melalui rapat koordinasi antara direktorat jenderal yang membidangi perlindungan konsumen dan tertib niaga dengan direktorat jenderal yang membidangi perdagangan luar negeri.
(3) Rapat koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat melibatkan instansi terkait.


Pasal 86

(1) Peringatan, pembekuan, penangguhan, dan pengaktifan kembali:
a. Perizinan Berusaha di bidang Impor sebagaimana dimaksud dalam:
1. Pasal 69 ayat (1), ayat (2) huruf a dan huruf b;
2. Pasal 71 huruf a; dan
3. Pasal 71 huruf b; serta
b. Surat Keterangan sebagaimana dimaksud dalam:
1. Pasal 70 ayat (1), ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf c
2. Pasal 71 huruf d;
3. Pasal 71 huruf e; dan
4. Pasal 71 huruf f,
dilakukan secara elektronik dan otomatis oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri melalui Sistem INATRADE yang diteruskan ke SINSW.
(2) Penangguhan penerbitan, perubahan, dan perpanjangan Perizinan Berusaha di bidang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (2) huruf b dan/atau penangguhan penerbitan Perizinan Berusaha di bidang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (1) huruf b, serta pencabutan penangguhan penerbitan Perizinan Berusaha di bidang Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 huruf b dan Pasal 74 ayat (1) huruf b dilakukan secara elektronik dan otomatis oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri melalui Sistem INATRADE yang diteruskan ke SINSW.
(3) Penangguhan penerbitan Surat Keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (2) huruf b, Pasal 70 ayat (2) huruf c, dan Pasal 73 ayat (1) huruf d, serta pencabutan penangguhan penerbitan Surat Keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 huruf e, Pasal 71 huruf f, dan Pasal 74 ayat (1) huruf d dilakukan secara elektronik dan otomatis oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri melalui Sistem INATRADE yang diteruskan ke SINSW.
(4) Rekomendasi penangguhan pelayanan Verifikasi atau Penelusuran Teknis dan pencabutan rekomendasi penangguhan pelayanan Verifikasi atau Penelusuran Teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (2) huruf d, Pasal 71 huruf c, Pasal 73 ayat (1) huruf e, dan Pasal 74 ayat (1) huruf e, dilakukan secara elektronik dan otomatis oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri melalui Sistem INATRADE yang diteruskan ke sistem elektronik Surveyor dan ke SINSW.


Pasal 87

(1) Barang yang diimpor tidak sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri ini harus diekspor kembali, dimusnahkan, ditarik dari distribusi, atau dapat diperlakukan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Biaya atas pelaksanaan ekspor kembali, pemusnahan, atau penarikan dari distribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditanggung oleh Importir.
(3) Importir yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat mengajukan kembali permohonan Persetujuan Impor dan/atau pelayanan Verifikasi atau Penelusuran Teknis selama 1 (satu) tahun berdasarkan informasi dari direktorat jenderal yang membidangi kepabeanan dan direktorat jenderal yang membidangi perlindungan konsumen dan tertib niaga.


BAB XXI
GANGGUAN TERHADAP SISTEM INATRADE DAN/ATAU SISTEM INDONESIA NATIONAL SINGLE WINDOW

Pasal 88

(1) Dalam hal terjadi gangguan yang mengakibatkan Sistem INATRADE dan/atau SINSW tidak berfungsi:
a. pengajuan permohonan untuk mendapatkan:
1. Perizinan Berusaha di bidang Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1);
2. perubahan Perizinan Berusaha di bidang Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (5);
3. perpanjangan Perizinan Berusaha di bidang Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3);
4. Surat Keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1); atau
5. perubahan Surat Keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (5); dan/atau
b. penyampaian laporan:
1. realisasi Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1), Pasal 61 ayat (3), dan Pasal 62 ayat (1); atau
2. realisasi distribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1),
disampaikan kepada Menteri secara manual melalui Unit Pelayanan Terpadu Perdagangan I.
(2) Apabila permohonan penerbitan, perubahan, dan perpanjangan Perizinan Berusaha di bidang Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 1, angka 2, dan angka 3 dinyatakan lengkap sesuai dengan persyaratan, Direktur Jenderal atas nama Menteri menerbitkan:
a. Perizinan Berusaha di bidang Impor;
b. perubahan Perizinan Berusaha di bidang Impor; dan
c. perpanjangan Perizinan Berusaha di bidang Impor, paling lama 15 (lima belas) hari kerja terhitung sejak tanggal permohonan diterima oleh anggota tim sebagai pejabat fungsional yang memiliki hak akses untuk memulai pemrosesan Perizinan Berusaha di bidang Impor.
(3) Apabila permohonan penerbitan, perubahan, dan perpanjangan Perizinan Berusaha di bidang Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 1, angka 2, dan angka 3 dinyatakan tidak sesuai dengan persyaratan, Direktur Jenderal atas nama Menteri menerbitkan:
a. surat penolakan penerbitan Perizinan Berusaha di bidang Impor;
b. surat penolakan perubahan Perizinan Berusaha di bidang Impor; dan
c. surat penolakan perpanjangan Perizinan Berusaha di bidang Impor,
paling lama 15 (lima belas) hari kerja terhitung sejak tanggal permohonan diterima oleh anggota tim sebagai pejabat fungsional yang memiliki hak akses untuk memulai pemrosesan Perizinan Berusaha di bidang Impor.
(4) Apabila permohonan penerbitan dan perubahan Surat Keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 4 dan angka 5 dinyatakan lengkap sesuai dengan persyaratan, Direktur Jenderal atas nama Menteri menerbitkan Surat Keterangan.
(5) Apabila permohonan penerbitan dan perubahan Surat Keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 4 dan angka 5 dinyatakan tidak sesuai dengan persyaratan, Direktur Jenderal atas nama Menteri menerbitkan surat penolakan penerbitan Surat Keterangan.
(6) Penerbitan atau penolakan Perizinan Berusaha di bidang Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), serta penerbitan atau penolakan Surat Keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) disampaikan kepada Importir dengan tembusan kepada Kepala Lembaga National Single Window.


Pasal 89

(1) Dalam hal terjadi gangguan yang mengakibatkan Sistem INATRADE dan/atau SINSW tidak berfungsi, pengenaan sanksi administratif berupa:
a. peringatan, pembekuan, dan pencabutan Perizinan Berusaha di bidang Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1), Pasal 69 ayat (2) huruf a, Pasal 73 ayat (1) huruf a, Pasal 76 ayat (1) huruf a, Pasal 77 ayat (3) huruf a, Pasal 80 ayat (1) huruf a, Pasal 81 ayat (3) huruf a, dan Pasal 84 ayat (2) huruf d, serta pengaktifan kembali pembekuan Persetujuan Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 huruf a dan Pasal 74 ayat (1) huruf a;
b. peringatan, pembekuan, dan pencabutan Surat Keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1), Pasal 70 ayat (2) huruf  a, Pasal 73 ayat (1) huruf c, Pasal 76 ayat (1) huruf a,  Pasal 77 ayat (3) huruf a, Pasal 80 ayat (1) huruf a, Pasal 81 ayat (3) huruf a, dan Pasal 84 ayat (2) huruf d, serta pengaktifan kembali pembekuan Surat Keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 huruf d dan Pasal 74 ayat (1) huruf c;
c. penangguhan penerbitan, perubahan, dan perpanjangan Perizinan Berusaha di bidang Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (2) huruf b, Pasal 69 ayat (2) huruf c, Pasal 73 ayat (1) huruf b, Pasal 76 ayat (1) huruf b, Pasal 77 ayat (3) huruf b, Pasal 80 ayat (1) huruf b, Pasal 81 ayat (3) huruf b, dan Pasal 84 ayat (2) huruf a, serta pencabutan penangguhan penerbitan Perizinan Berusaha di bidang Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 huruf b dan Pasal 74 ayat (1) huruf b; dan
d. penangguhan penerbitan Surat Keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (2) huruf b, Pasal 70 ayat (2) huruf c, Pasal 73 ayat (1) huruf d, dan Pasal 71 huruf e, serta pencabutan penangguhan penerbitan surat keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 huruf e, Pasal 71 huruf f, dan Pasal 74 ayat (1) huruf d, dilakukan secara manual oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri.
(2) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Importir dengan tembusan kepada Kepala Lembaga National Single Window.
(3) Dalam hal terjadi gangguan yang mengakibatkan Sistem INATRADE dan/atau SINSW tidak berfungsi, pengenaan sanksi administratif berupa rekomendasi penangguhan pelayanan Verifikasi atau Penelusuran Teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (2) huruf d, Pasal 71 huruf c, Pasal 73 ayat (1) huruf e, Pasal 76 ayat (1) huruf c, Pasal 77 ayat (3) huruf c, Pasal 80 ayat (1) huruf c, Pasal 81 ayat (3) huruf c, dan Pasal 84 ayat (2) huruf c, serta pencabutan rekomendasi penangguhan pelayanan Verifikasi atau Penelusuran Teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 huruf c dan Pasal 74 ayat (1) huruf e, disampaikan secara manual oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri kepada Surveyor, dengan tembusan kepada Kepala Lembaga National Single Window.


BAB XXII
DIAGRAM ALIR

Pasal 90
 
Diagram alir penerbitan, perubahan, dan perpanjangan Perizinan Berusaha di bidang Impor sebagaimana dimaksud dalam BAB VII serta penerbitan dan perubahan Surat Keterangan sebagaimana dimaksud dalam BAB XVII tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.


BAB XXIII
KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 91

(1) Dalam hal Peraturan Menteri ini memberikan pilihan tidak mengatur, tidak lengkap, atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan, Menteri dapat melakukan diskresi untuk mengatasi persoalan konkret dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan terkait dengan kebijakan dan pengaturan Impor sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Importir dan/atau kementerian atau lembaga pemerintah nonkementerian dapat mengajukan permohonan diskresi secara elektronik kepada Menteri melalui SINSW.
(3) Menteri menerbitkan diskresi menggunakan cap dan tanda tangan basah serta diunggah melalui Sistem INATRADE yang diteruskan ke SINSW.


Pasal 92

(1) Kebijakan dan pengaturan Impor berupa Persetujuan Impor dan/atau Laporan Surveyor tidak diberlakukan terhadap selisih lebih berat dan/atau volume atas Impor Barang tertentu dalam bentuk curah berdasarkan hasil pemeriksaan direktorat jenderal yang membidangi kepabeanan.
(2) Selisih lebih berat dan/atau volume atas Impor Barang tertentu dalam bentuk curah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap Barang yang dilakukan pemeriksaan pabean tidak melebihi 0,50% (nol koma lima nol persen) dari berat dan/atau volume yang tercantum dalam Pemberitahuan Pabean Impor.


BAB XXIV
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 93
 
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:
a. Perizinan Berusaha di bidang Impor berupa Importir Terdaftar, Importir Produsen, Persetujuan Impor, dokumen berupa pengecualian, surat penjelasan, dan/atau Surat Keterangan yang telah diterbitkan oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai kebijakan dan pengaturan Impor sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini, dinyatakan masih tetap berlaku sampai dengan masa berlakunya berakhir;
b. Perizinan Berusaha di bidang Impor dan/atau Surat Keterangan sebagaimana dimaksud huruf a dapat dilakukan perubahan dan/atau perpanjangan sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Menteri ini;
c. Perizinan Berusaha di bidang Impor yang telah diterbitkan oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Impor sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini, berupa:
1. Persetujuan Impor Produk Kehutanan API-P dan API-U;
2. Persetujuan Impor Bahan Baku Plastik API-P dan API-U;
3. Persetujuan Impor Pupuk Bersubsidi API-P dan API-U;
4. Persetujuan Impor Bahan Bakar Lain - Bahan Bakar dan Campuran Bahan Bakar API-P dan API-U; dan
5. Persetujuan Impor Bahan Bakar Lain - Selain Bahan Bakar dan Selain Campuran Bahan Bakar API-P dan API-U,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku secara elektronik melalui Sistem INATRADE.
d. Importir yang telah mengajukan permohonan Persetujuan Impor berupa:
1. Persetujuan Impor Produk Kehutanan API-P dan API-U;
2. Persetujuan Impor Bahan Baku Plastik API-P dan API-U;
3. Persetujuan Impor Pupuk Bersubsidi API-P dan API-U;
4. Persetujuan Impor Bahan Bakar Lain - Bahan Bakar dan Campuran Bahan Bakar API-P dan API-U; dan
5. Persetujuan Impor Bahan Bakar Lain - Selain Bahan Bakar dan Selain Campuran Bahan Bakar API-P dan API-U,
sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini dan masih dalam proses penerbitan, dilakukan penolakan secara elektronik melalui Sistem INATRADE;
e. Importir yang telah mengajukan permohonan Perizinan Berusaha di bidang Impor berupa Importir Terdaftar, Importir Produsen, Persetujuan Impor, dan/atau Surat Keterangan sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini dan masih dalam proses penerbitan, tetap dilakukan pemrosesan sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Menteri ini;
f. Terhadap permohonan Perizinan Berusaha di Bidang Impor yang telah diterima secara elektronik oleh Sistem INATRADE sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini, dilakukan pemeriksaan administratif terkait kelengkapan dan kesesuaian dengan persyaratan oleh anggota tim yang memiliki hak akses untuk melakukan pemeriksaan administratif paling lama 15 (lima belas) hari kerja terhitung sejak Peraturan Menteri ini berlaku.
g. Dokumen lain berupa laporan hasil verifikasi, pertimbangan teknis, rekomendasi, dan/atau dokumen lain yang diterbitkan oleh kementerian, lembaga pemerintah nonkementerian, atau instansi terkait lainnya sebelum Peraturan Menteri ini berlaku yang diperlukan dalam penerbitan Perizinan Berusaha di bidang Impor atau penerbitan Surat Keterangan, dinyatakan tetap berlaku sampai dengan masa berlakunya berakhir sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Menteri ini;
h. Surat pengecualian, surat penjelasan, surat keterangan, pertimbangan teknis, rekomendasi, dan/atau dokumen lain yang diterbitkan oleh kementerian, lembaga pemerintah nonkementerian, atau instansi terkait lainnya sebelum Peraturan Menteri ini berlaku yang diperlukan dalam pelaksanaan Impor, dinyatakan masih tetap berlaku sampai dengan masa berlakunya berakhir;
i. Surveyor pelaksana Verifikasi atau Penelusuran Teknis Impor yang telah ditetapkan berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Impor sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini, dinyatakan tetap dapat melaksanakan tugasnya sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Menteri ini;
j. Laporan Surveyor yang telah diterbitkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Impor sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini, dinyatakan masih tetap berlaku sampai dengan Impor selesai; dan
k. Terhadap Barang Impor yang tiba di pelabuhan tujuan yang dibuktikan dengan dokumen pabean berupa manifes (BC.1.1), diberlakukan kebijakan dan pengaturan Impor sesuai dengan Peraturan Menteri ini.


BAB XXV
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 94
 
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, semua ketentuan yang merupakan pelaksanaan dari Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 36 Tahun 2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 981) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 8 Tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 36 Tahun 2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2024 Nomor 265), dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Menteri ini.


Pasal 95
 
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 36 Tahun 2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 981) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 8 Tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 36 Tahun 2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2024 Nomor 265), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.


Pasal 96
 
Peraturan Menteri ini mulai berlaku setelah 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.


 

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 Juni 2025
MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA,
 
ttd

BUDI SANTOSO
 
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 30 Juni 2025
DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM REPUBLIK INDONESIA,
 
ttd

DHAHANA PUTRA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2025 NOMOR 449

© Copyright 2025 PT INTEGRAL DATA PRIMA