1. |
Di antara ayat (1) dan ayat (2) Pasal 3 disisipkan 1 (satu) ayat yakni ayat (1a) sehingga Pasal 3 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 3
(1) |
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) untuk transaksi tertentu, yaitu:
- pengeluaran dari Kawasan Bebas oleh pengusaha atas Barang Kena Pajak yang berhubungan dengan kegiatan usahanya ke tempat lain dalam Daerah Pabean yang dalam jangka waktu tertentu akan dimasukkan kembali ke Kawasan Bebas berupa mesin dan/atau peralatan untuk:
- kepentingan produksi atau pengerjaan proyek infrastruktur;
- keperluan perbaikan, pengerjaan, pengujian, atau kalibrasi; dan/atau
- keperluan peragaan atau demonstrasi;
- pengeluaran kembali dari Kawasan Bebas oleh pengusaha atas Barang Kena Pajak asal tempat lain dalam Daerah Pabean yang berhubungan dengan kegiatan usahanya berupa mesin dan/atau peralatan untuk:
- kepentingan produksi atau pengerjaan proyek infrastruktur;
- keperluan perbaikan, pengerjaan pengujian, atau kalibrasi; dan/atau
- keperluan peragaan atau demonstrasi;
- pengeluaran Barang Kena Pajak untuk kegiatan usaha eksplorasi hulu minyak dan gas bumi serta panas bumi yang atas impornya Pajak Pertambahan Nilai yang terutang tidak dipungut, dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai ditanggung Pemerintah sebagaimana ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang pengeluaran Barang Kena Pajak tersebut tidak untuk tujuan pengalihan hak;
- pengeluaran Barang Kena Pajak, yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan atas impor dan/atau penyerahannya tidak dipungut atau dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai;
- pengeluaran Barang Kena Pajak yang telah dilunasi Pajak Pertambahan Nilainya dengan menggunakan stiker lunas Pajak Pertambahan Nilai; dan
- pengeluaran Barang Kena Pajak berupa pengemas yang dipakai berulang-ulang (returnable package).
|
(1a) |
Mesin dan/atau peralatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 1 dan huruf b angka 1 yaitu:
a. |
mesin untuk kepentingan produksi terdiri dari:
1. |
mesin pabrik; dan |
2. |
peralatan yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari mesin pabrik sebagaimana dimaksud pada angka 1, baik dalam keadaan terpasang maupun terlepas, tidak termasuk suku cadang. |
|
b. |
peralatan untuk pengerjaan proyek infrastruktur seperti crane, excavator, buldozer, forklift dan peralatan lain yang sejenisnya. |
|
(2) |
Batas waktu pemasukan kembali Barang Kena Pajak ke Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal Pemberitahuan Pabean. |
(3) |
Batas waktu pengeluaran kembali Barang Kena Pajak dari Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal Pemberitahuan Pabean. |
(4) |
Apabila sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak dimasukkan kembali ke Kawasan Bebas, Pajak Pertambahan Nilai terutang wajib dilunasi oleh pengusaha di tempat lain dalam Daerah Pabean yang menerima atau mengeluarkan Barang Kena Pajak dengan menggunakan Surat Setoran Pajak sebagaimana diatur dalam ketentuan perundang-undangan perpajakan. |
(5) |
Apabila sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak dikeluarkan kembali dari Kawasan Bebas, Pajak Pertambahan Nilai yang terutang wajib dilunasi pada saat pengeluaran Barang Kena Pajak tersebut dari Kawasan Bebas oleh Orang yang mengeluarkan Barang Kena Pajak tersebut dari Kawasan Bebas dengan menggunakan Surat Setoran Pajak sebagaimana diatur dalam ketentuan perundang-undangan perpajakan. |
(6) |
Pengusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, dihitung sejak saat Barang Kena Pajak dikeluarkan dari Kawasan Bebas sampai dengan tanggal pembayaran atau tanggal diterbitkannya surat ketetapan pajak. |
(7) |
Pajak Pertambahan Nilai yang telah disetor sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak dapat dikreditkan sebagai Pajak Masukan. |
|
|
|
2. |
Ketentuan ayat (5) dan ayat (6) Pasal 10 diubah, sehingga Pasal 10 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 10
(1) |
Pemasukan Barang Kena Pajak dari tempat lain dalam Daerah Pabean ke Kawasan Bebas melalui pelabuhan atau bandar udara yang ditunjuk, tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. |
(2) |
Pemasukan Barang Kena Pajak dari Tempat Penimbunan Berikat atau Kawasan Ekonomi Khusus ke Kawasan Bebas melalui pelabuhan atau bandar udara yang ditunjuk, tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. |
(3) |
Penyerahan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari tempat lain dalam Daerah Pabean ke Kawasan Bebas, tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai. |
(4) |
Penyerahan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari Tempat Penimbunan Berikat atau Kawasan Ekonomi Khusus ke Kawasan Bebas, tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai. |
(5) |
Penyerahan Jasa Kena Pajak dari tempat lain dalam Daerah Pabean ke Kawasan Bebas yang penyerahannya dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak yang bertempat tinggal atau berkedudukan di tempat lain dalam Daerah Pabean, terutang dan dipungut Pajak Pertambahan Nilai. |
(6) |
Penyerahan Jasa Kena Pajak dari Tempat Penimbunan Berikat atau Kawasan Ekonomi Khusus ke Kawasan Bebas yang penyerahannya dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak yang bertempat tinggal atau berkedudukan di Tempat Penimbunan Berikat atau Kawasan Ekonomi Khusus, terutang dan dipungut Pajak Pertambahan Nilai. |
(7) |
Penyerahan Jasa Kena Pajak tertentu dari tempat lain dalam Daerah Pabean ke Kawasan Bebas, tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai. |
(8) |
Penyerahan Jasa Kena Pajak tertentu dari Tempat Penimbunan Berikat atau Kawasan Ekonomi Khusus ke Kawasan Bebas, tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai. |
(9) |
Jasa Kena Pajak tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dan ayat (8) adalah Jasa Kena Pajak yang batasan kegiatan dan jenisnya diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai. |
(10) |
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (7), dan ayat (8), juga berlaku untuk pemasukan Barang Kena Pajak dan penyerahan Jasa Kena Pajak yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai. |
(11) |
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku untuk pemasukan Barang Kena Pajak yang telah dilunasi Pajak Pertambahan Nilai dengan menggunakan stiker lunas Pajak Pertambahan Nilai, dan Bahan Bakar Minyak bersubsidi. |
|
|
|
3. |
Ketentuan ayat (3) Pasal 11 diubah, serta di antara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 1 (satu) ayat yakni ayat (1a) sehingga Pasal 11 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 11
(1) |
Atas pemasukan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) wajib dibuatkan Faktur Pajak yang diisi lengkap sesuai dengan ketentuan Pasal 13 ayat (5) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai. |
(1a) |
Keterangan berupa jenis barang yang dicantumkan pada Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diisi dengan nama Barang Kena Pajak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya atau sesungguhnya berikut kode Pos Tarif sesuai Buku Tarif Kepabeanan Indonesia (BTKI). |
(2) |
Termasuk dalam pengertian Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai. |
(3) |
Saat pembuatan Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selain pada saat terutang juga dapat menggunakan saat lain, yaitu pada saat pengiriman Barang Kena Pajak ke Kawasan Bebas yaitu tanggal Bill of Lading, Airway Bill, atau Delivery Order. |
(4) |
Atas penyerahan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3), ayat (4), ayat (7), dan ayat (8), wajib dibuatkan Faktur Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
(5) |
Atas penyerahan Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (5) dan ayat (6) wajib dibuatkan Faktur Pajak sesuai peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
(6) |
Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (4) harus diberi cap “PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TIDAK DIPUNGUT BERDASARKAN PP NOMOR 10 TAHUN 2012” oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan. |
(7) |
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku atas pemasukan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b dan pemasukan kembali Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a. |
|
|
|
4. |
Ketentuan ayat (1), ayat (2), ayat (5), ayat (6), ayat (8), dan ayat (9) Pasal 12 diubah, serta ditambahkan 1 (satu) ayat yakni ayat (10) dan di antara ayat (1) dan ayat (9) disisipkan 11 (sebelas) ayat yakni ayat (1a), ayat (1b), ayat (1c), ayat (2a), ayat (2b), ayat (2c), ayat (2d), ayat (6b), ayat (6e), ayat (8a), dan ayat (8b) sehingga Pasal 12 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 12
(1) |
Fasilitas Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah tidak dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) diberikan sepanjang:
- Barang Kena Pajak Berwujud tersebut benar-benar telah masuk di Kawasan Bebas yang dibuktikan dengan dokumen yang telah diberikan Endorsement oleh pejabat/pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan; dan
- pihak pembeli Barang Kena Pajak adalah pengusaha yang telah mendapatkan izin usaha dari Badan Pengusahaan Kawasan.
|
(1a) |
Endorsement oleh pejabat/pegawai Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan secara elektronik (e-Endorsement). |
(1b) |
Endorsement secara elektronik (e-Endorsement) sebagaimana dimaksud pada ayat (1a) dilakukan dalam hal Direktorat Jenderal Pajak telah memiliki data elektronik yang diperlukan dalam rangka meyakini bahwa Barang Kena Pajak Berwujud sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a benar-benar telah masuk di Kawasan Bebas. |
(1e) |
Dalam hal Direktorat Jenderal Pajak belum memiliki data elektronik yang diperlukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1b), Endorsement dilakukan secara manual. |
(2) |
Dokumen yang harus disampaikan dalam rangka Endorsement secara manual sebagaimana dimaksud pada ayat (1c) adalah Pemberitahuan Pabean (PPFTZ-03) yang telah didaftarkan pada kantor pabean, yang dilampiri dengan:
- fotokopi Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB);
- fotokopi Faktur Pajak yang dibuat sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 11 dengan mencantumkan kode Pos Tarif sesuai Buku Tarif Kepabeanan Indonesia (BTKI);
- fotokopi Bill of Lading, Airway Bill, atau Delivery Order; dan
- fotokopi invoice.
|
(2a) |
Dalam hal terdapat:
- ketidaksesuaian antara dokumen Faktur Pajak dengan dokumen Bill of Lading, Airway Bill, atau Delivery Order, dan Invoice; dan/atau
- Faktur Pajak tidak mencantumkan kode Pos Tarif sesuai dengan Buku Tarif Kepabeanan Indonesia (BTKI),
pejabat/pegawai Direktorat Jenderal Pajak dapat meminta klarifikasi tertulis kepada Pengusaha yang melakukan pemasukan Barang Kena Pajak ke Kawasan Bebas untuk menjelaskan ketidaksesuaian dokumen sebagaimana dimaksud dalam ayat (2). |
(2b) |
Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan ke pejabat/pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang berwenang memberikan Endorsement paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB). |
(2c) |
Endorsement tidak diberikan oleh pejabat/pegawai Direktorat Jenderal Pajak dalam hal dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2):
- tidak disampaikan ke pejabat/pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang berwenang memberikan Endorsement;
- disampaikan ke pejabat/pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang berwenang memberikan Endorsement tetapi melebihi jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja sejak Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB); dan/atau
- Pengusaha Kena Pajak yang melakukan pemasukan Barang Kena Pajak ke Kawasan bebas yang tidak memberikan klarifikasi secara tertulis atas permintaan klarifikasi tertulis dari pejabat/pegawai Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2a).
|
(2d) |
Pejabat/pegawai Direktorat Jenderal Pajak dapat membatalkan hasil Endorsement yang semula memberikan fasilitas Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah tidak dipungut menjadi tidak memberikan fasilitas Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah tidak dipungut dalam hal ditemukan ketidaksesuaian dokumen Faktur Pajak, Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB), Bill of Lading, Airway Bill, atau Delivery Order dan invoice dengan keadaan yang sebenarnya atau sesungguhnya. |
(3) |
Dokumen yang harus disampaikan dalam rangka Endorsement sebagaimana dimaksud pada ayat (1c) untuk pemasukan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a dan huruf b adalah Pemberitahuan Pabean (PPFTZ-03) yang telah didaftarkan pada Kantor Pabean, yang dilampiri dengan:
- PPBTT yang telah disetujui oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat pengusaha di tempat lain dalam Daerah Pabean terdaftar beserta lampirannya; dan
- fotokopi Bill of Lading, Airway Bill, atau Delivery Order.
|
(4) |
Penyampaian lampiran dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) harus disertai dengan menunjukkan dokumen aslinya. |
(5) |
Dalam hal pengurusan Pemberitahuan Pabean dilakukan oleh pengusaha pengurusan jasa kepabeanan, dokumen yang harus disampaikan dalam rangka Endorsement sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) harus dilampiri dengan surat kuasa dari pengusaha yang melakukan pemasukan Barang Kena Pajak ke Kawasan Bebas. |
(6) |
Dalam hal Pemberitahuan Pabean tidak sesuai dengan dokumen-dokumen yang harus dilampirkan dalam rangka Endorsement, atas pemasukan Barang Kena Pajak tidak dapat diberikan fasilitas Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah tidak dipungut. |
(6a) |
Atas pemasukan Barang Kena Pajak yang tidak dapat diberikan fasilitas Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah tidak dipungut sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak tersebut wajib memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
(6b) |
Pengusaha Kena Pajak yang tidak melaksanakan kewajiban memungut, menyetor, dan melaporkan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (6a) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
(7) |
Dalam hal pemberitahuan untuk pemasukan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a dan huruf b tidak sesuai dengan dokumen-dokumen yang harus dilampirkan dalam rangka Endorsement sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), atas pemasukan Barang Kena Pajak tersebut tidak termasuk transaksi tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a dan huruf b. |
(8) |
Tata cara Endorsement oleh pejabat/pegawai Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1c) adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV Peraturan Menteri ini, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
(8a) |
Tata cara Endorsement oleh pejabat/pegawai Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dapat dilakukan secara elektronik melalui aplikasi atau sistem informasi yang disediakan atau ditentukan oleh Direktorat Jenderal Pajak. |
(8b) |
Pembatalan hasil Endorsement sebagaimana dimaksud pada ayat (2d) diberitahukan secara tertulis kepada pengusaha yang memasukkan Barang Kena Pajak ke Kawasan Bebas dan kepada Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak ke Kawasan Bebas sesuai contoh surat sebagaimana tercantum dalam Lampiran V Peraturan Menteri ini, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
(9) |
Penugasan pejabat/pegawai Direktorat Jenderal Pajak dalam rangka melakukan Endorsement sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak. |
(10) |
Atas permintaan tertulis dari Direktur Jenderal Pajak, Direktur Jenderal Bea dan Cukai dapat membantu tugas pengawasan dalam rangka pemberian Endorsement sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ini. |
|
|
|
5. |
Di antara Pasal 12 dan Pasal 13 disisipkan 4 (empat) pasal, yakni Pasal 12A, 12B, 12C, dan 12D sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 12A
(1) |
Dalam rangka pemberian fasilitas perpajakan berupa Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah tidak dipungut atas barang yang dimasukkan ke Kawasan Bebas dari tempat lain dalam Daerah Pabean, dapat dilakukan pemeriksaan fisik. |
(2) |
Pemeriksaan fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan:
- manajemen risiko;
- nota intelijen di bidang perpajakan; atau
- nota hasil intelijen di bidang kepabeanan dan cukai.
|
(3) |
Pemeriksaan fisik berdasarkan manajemen risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan secara bersama oleh Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. |
(4) |
Pemeriksaan fisik berdasarkan nota intelijen di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak. |
(5) |
Pemeriksaan fisik berdasarkan nota intelijen di bidang kepabeanan dan cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. |
(6) |
Pemeriksaan fisik berdasarkan manajemen risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan nota intelijen perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, dilakukan di tempat penyimpanan barang milik pengusaha. |
(7) |
Pemeriksaan fisik yang dilakukan berdasarkan manajemen risiko dan/atau nota intelijen di bidang perpajakan dilakukan dengan Pemeriksaan Tujuan Lain sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999). |
(8) |
Dalam melaksanakan pemeriksaan fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Direktorat Jenderal Pajak dapat meminta bantuan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. |
(9) |
Hasil pemeriksaan fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b dinyatakan pada laporan hasil pemeriksaan atas Pemberitahuan Pabean berupa PPFTZ-03. |
(10) |
Laporan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (9) ditandatangani oleh:
- pejabat/pegawai Direktorat Jenderal Pajak dan pejabat/pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dalam hal pemeriksaan fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a;
- pejabat/pegawai Direktorat Jenderal Pajak dalam hal pemeriksaan fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b.
|
Pasal 12B
(1) |
Terhadap barang asal tempat lain dalam Daerah Pabean yang dimasukkan ke Kawasan Bebas yang akan dilakukan pemeriksaan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12A ayat (1), pejabat melekatkan tanda pengaman saat pengeluaran barang dari Kawasan Pabean setelah mendapat Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB). |
(2) |
Pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pejabat sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai tata laksana pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari kawasan yang telah ditetapkan sebagai kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas dan pembebasan cukai. |
(3) |
Tanda pengaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan dan ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak. |
Pasal 12C
(1) |
Penerapan manajemen risiko dalam rangka melaksanakan Pasal 12A ayat (2) huruf a dilakukan berdasarkan profil risiko yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak. |
(2) |
Profil risiko yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan atas data dan/atau informasi yang tersedia dalam sistem informasi Direktorat Jenderal Pajak. |
(3) |
Dalam hal profil risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum tersedia, dapat digunakan metode acak (random) yang ditentukan oleh pengelola profil risiko. |
(4) |
Pengelola profil risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah:
- Kantor Pelayanan Pajak yang mengawasi pengusaha di Kawasan Bebas;
- Kantor Pelayanan Pajak yang mengawasi Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak ke Kawasan Bebas;
- Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi Kantor Pelayanan Pajak sebagaimana huruf a dan huruf b;
- Direktorat Intelijen Direktorat Jenderal Pajak; dan/atau
- Direktorat Penerimaan, Potensi dan Kepatuhan Direktorat Jenderal Pajak.
|
Pasal 12D
(1) |
Pemeriksaan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12A ayat (2) huruf a dan huruf b dilakukan sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai tata cara pemeriksaan kecuali diatur khusus dalam Peraturan Menteri ini. |
(2) |
Pemeriksaan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12A ayat (2) huruf a dan huruf b dilakukan dengan kriteria pencocokan data dan/atau alat keterangan. |
(3) |
Dalam melaksanakan pemeriksaan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12A ayat (2) huruf a dan huruf b, pejabat/pegawai Direktorat Jenderal Pajak berwenang:
- meminta keterangan lisan dan/atau tertulis dari pengusaha; dan/atau
- meminta keterangan dan/atau data yang diperlukan dari pihak ketiga yang mempunyai hubungan dengan pengusaha yang diperiksa.
|
(4) |
Pemeriksaan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12A ayat (2) huruf a dan huruf b dilakukan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja yang dihitung sejak tanggal surat pemberitahuan pemeriksaan fisik disampaikan kepada pengusaha atau kuasanya sampai dengan tanggal laporan hasil pemeriksaan fisik. |
(5) |
Setelah kegiatan pemeriksaan fisik dilakukan, harus dibuat laporan hasil pemeriksaan fisik yang tata cara pembuatannya dilakukan sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai tata cara pemeriksaan. |
(6) |
Laporan hasil pemeriksaan fisik paling sedikit harus berisi:
- pernyataan bahwa Barang Kena Pajak telah sesuai dengan dokumen Pemberitahuan Pabean, Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB), Faktur Pajak, Bill of Lading, Airway Bill, atau Delivery Order, dan Invoice; atau
- pernyataan bahwa Barang Kena Pajak tidak sesuai dengan dokumen Pemberitahuan Pabean, Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB), Faktur Pajak, Bill of Lading, Airway Bill, atau Delivery Order, dan Invoice.
|
(7) |
Dalam hal laporan hasil pemeriksaan fisik menyatakan bahwa terdapat ketidaksesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf b, fasilitas Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah tidak dipungut tidak dapat diberikan atas penyerahan Barang Kena Pajak dari tempat lain dalam Daerah Pabean ke Kawasan Bebas. |
|
|
|
6. |
Lampiran I, Lampiran II, Lampiran III, dan Lampiran IV diubah, sehingga menjadi sebagaimana tercantum dalam Lampiran Lampiran I, Lampiran II, Lampiran III, dan Lampiran IV serta menambah 1 (satu) Lampiran yakni Lampiran V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |