Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 111/PMK.03/2009
Tata Cara Pengurangan Atau Penghapusan Sanksi Administrasi Pajak Bumi Dan Bangunan Dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan, Dan Pengurangan Atau Pembatalan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi Dan Bangunan, Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi Dan Bangunan, Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan, Atau Surat Tagihan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan, Yang Tidak Benar
Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.
PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 111/PMK.03/2009
TENTANG
TATA CARA PENGURANGAN ATAU PENGHAPUSAN SANKSI ADMINISTRASI PAJAK
BUMI DAN BANGUNAN DAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN
BANGUNAN, DAN PENGURANGAN ATAU PEMBATALAN SURAT PEMBERITAHUAN
PAJAK TERUTANG, SURAT KETETAPAN PAJAK PAJAK BUMI DAN BANGUNAN,
SURAT TAGIHAN PAJAK PAJAK BUMI DAN BANGUNAN, SURAT KETETAPAN BEA
PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN, ATAU SURAT TAGIHAN BEA
PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN, YANG TIDAK BENAR
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
- bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 dan ketentuan Pasal 27A Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 menyatakan bahwa terhadap ketentuan yang tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 berlaku ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009;
- bahwa berdasarkan pada pertimbangan huruf a, dan dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 36 ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 dan ketentuan Pasal 23 Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Perpajakan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata Cara Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi Pajak Bumi dan Bangunan dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dan Pengurangan atau Pembatalan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi Dan Bangunan, Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan, Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, atau Surat Tagihan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, yang Tidak Benar;
Mengingat :
- Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
- Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3312) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3569);
- Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3688), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3988);
- Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Perpajakan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4797);
- Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PENGURANGAN ATAU PENGHAPUSAN SANKSI ADMINISTRASI PAJAK BUMI DAN BANGUNAN DAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN, DAN PENGURANGAN ATAU PEMBATALAN SURAT PEMBERITAHUAN PAJAK TERUTANG, SURAT KETETAPAN PAJAK PAJAK BUMI DAN BANGUNAN, SURAT TAGIHAN PAJAK PAJAK BUMI DAN BANGUNAN, SURAT KETETAPAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN, ATAU SURAT TAGIHAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN, YANG TIDAK BENAR.
Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini, yang dimaksud dengan:
- Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan yang selanjutnya disebut dengan Undang-Undang PBB adalah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994.
- Undang-Undang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang selanjutnya disebut dengan Undang-Undang BPHTB adalah Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000.
- Surat Pemberitahuan Pajak Terutang yang selanjutnya disebut dengan SPPT adalah Surat yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk memberitahukan besarnya PBB yang terutang kepada Wajib Pajak.
- Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan yang selanjutnya disebut dengan SKP PBB adalah Surat Ketetapan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang PBB.
- Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan yang selanjutnya disebut dengan STP PBB adalah Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4) Undang-Undang PBB.
- Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar yang selanjutnya disebut dengan SKBKB adalah Surat ketetapan yang menentukan besarnya jumlah BPHTB yang terutang, jumlah kekurangan pembayaran pokok BPHTB, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah yang masih harus dibayar.
- Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan yang selanjutnya disebut dengan SKBKBT adalah Surat ketetapan yang menentukan tambahan atas jumlah BPHTB yang telah ditetapkan.
- Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar yang selanjutnya disebut dengan SKBLB adalah Surat ketetapan yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran BPHTB karena jumlah BPHTB yang telah dibayar lebih besar daripada BPHTB yang seharusnya terutang.
- Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Nihil yang selanjutnya disebut dengan SKBN adalah Surat ketetapan yang menentukan jumlah BPHTB yang terutang sama besarnya dengan jumlah BPHTB yang dibayar.
- Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang selanjutnya disebut dengan STB adalah Surat untuk melakukan tagihan BPHTB dan/atau sanksi administrasi berupa bunga dan/atau denda.
- Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang selanjutnya disebut KPP Pratama adalah Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang menerbitkan SPPT, SKP PBB, STP PBB, SKBKB, SKBKBT, SKBLB, SKBN, dan/atau STB.
Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat:
- mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi PBB dan BPHTB berupa bunga, denda, dan kenaikan yang dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahan Wajib Pajak; dan/atau
- mengurangkan atau membatalkan SPPT, SKP PBB, STP PBB, SKBKB, SKBKBT, SKBLB, SKBN, atau STB, yang tidak benar.
(1) | Pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a dapat dilakukan terhadap sanksi administrasi yang tercantum dalam:
|
||||||||||||||
(2) | Pengurangan SPPT, SKP PBB, STP PBB, SKBKB, SKBKBT, SKBLB, SKBN, atau STB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b dapat dilakukan dalam hal:
|
||||||||||||||
(3) | Pembatalan SPPT, SKP PBB, STP PBB, SKBKB, SKBKBT, SKBLB, SKBN, atau STB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b dapat dilakukan apabila SPPT, SKP PBB, STP PBB, SKBKB, SKBKBT, SKBLB, SKBN, atau STB tersebut seharusnya tidak diterbitkan. |
(1) | Permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a harus memenuhi persyaratan:
|
||||||||
(2) | Permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dianggap bukan sebagai permohonan sehingga tidak dapat dipertimbangkan dan kepada Wajib Pajak atau kuasanya diberitahukan secara tertulis disertai alasan yang mendasari dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak permohonan tersebut diterima. |
(1) | Permohonan pengurangan SPPT, SKP PBB, STP PBB, SKBKB, SKBKBT, SKBLB, SKBN, atau STB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b harus memenuhi persyaratan:
|
||||||||
(2) | Wajib Pajak yang mengajukan keberatan kemudian mencabut keberatannya tersebut, tidak termasuk pengertian Wajib Pajak yang tidak mengajukan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dan huruf f. | ||||||||
(3) | Permohonan pengurangan SPPT, SKP PBB, STP PBB, SKBKB, SKBKBT, SKBLB, SKBN, atau STB yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dianggap bukan sebagai permohonan sehingga tidak dapat dipertimbangkan dan kepada Wajib Pajak atau kuasanya diberitahukan secara tertulis disertai alasan yang mendasari dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak permohonan tersebut diterima. |
(1) | Permohonan pembatalan SPPT, SKP PBB, STP PBB, SKBKB, SKBKBT, SKBLB, SKBN, atau STB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b diajukan secara perseorangan, kecuali untuk SPPT dapat juga diajukan secara kolektif. | ||||||||
(2) | Permohonan pembatalan yang diajukan secara perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan:
|
||||||||
(3) | Permohonan pembatalan untuk SPPT yang diajukan secara kolektif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan:
|
||||||||
(4) | Permohonan pembatalan SPPT, SKP PBB, STP PBB, SKBKB, SKBKBT, SKBLB, SKBN, atau STB secara perseorangan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dianggap bukan sebagai permohonan sehingga tidak dapat dipertimbangkan dan kepada Wajib Pajak atau kuasanya diberitahukan secara tertulis disertai alasan yang mendasari dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak permohonan tersebut diterima. | ||||||||
(5) | Permohonan pembatalan SPPT secara kolektif yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dianggap bukan sebagai permohonan sehingga tidak dapat dipertimbangkan dan kepada Kepala Desa/Lurah setempat diberitahukan secara tertulis disertai alasan yang mendasari dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak permohonan tersebut diterima. |
(1) | Permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a dan permohonan pengurangan atau pembatalan SPPT, SKP PBB, STP PBB, SKBKB, SKBKBT, SKBLB, SKBN, atau STB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b, dapat diajukan oleh Wajib Pajak paling banyak 2 (dua) kali. |
(2) | Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan kedua, permohonan tersebut harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal pengiriman Surat keputusan Direktur Jenderal Pajak atas permohonan yang pertama. |
(3) | Permohonan kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), Pasal 5 ayat (1), Pasal 6 ayat (2), atau Pasal 6 ayat (3). |
(4) | Permohonan kedua yang diajukan melampaui jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dianggap bukan sebagai permohonan sehingga tidak dapat dipertimbangkan dan kepada Wajib Pajak atau kuasanya diberitahukan secara tertulis disertai alasan yang mendasari dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak permohonan tersebut diterima. |
(1) | Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal permohonan diterima, harus memberi suatu keputusan atas permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2. |
(2) | Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah terlampaui dan Direktur Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, permohonan yang diajukan dianggap dikabulkan dan Direktur Jenderal Pajak harus menerbitkan keputusan sesuai dengan permohonan Wajib Pajak dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak jangka waktu dimaksud berakhir. |
(1) | Keputusan Direktur Jenderal Pajak atas:
|
(2) | Keputusan Direktur Jenderal Pajak atas permohonan pembatalan SPPT, SKP PBB, STP PBB, SKBKB, SKBKBT, SKBLB, SKBN, atau STB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b, dapat berupa mengabulkan atau menolak permohonan Wajib Pajak. |
(3) | Atas permintaan tertulis dari Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak harus memberikan keterangan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar untuk menolak atau mengabulkan sebagian permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau menolak permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2). |
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengajuan dan penyelesaian permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi PBB dan BPHTB, dan pengurangan atau pembatalan SPPT, SKP PBB, STP PBB, SKBKB, SKBKBT, SKBLB, SKBN, atau STB, yang tidak benar, diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 17 Juni 2009 MENTERI KEUANGAN, ttd. SRI MULYANI INDRAWATI |
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 17 Juni 2009
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,
ttd.
ANDI MATTALATTA
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 147
Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.