Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.
(1) | Skema pendanaan yang bersumber dari APBN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a dapat berbentuk:
|
||||||||||||||||
(2) | Skema pendanaan dalam bentuk belanja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a termasuk pendanaan yang bersumber dari penerimaan negara bukan pajak. | ||||||||||||||||
(3) | Skema pendanaan dalam bentuk pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b termasuk pendanaan yang bersumber dari surat berharga negara. | ||||||||||||||||
(4) | Surat berharga negara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi:
|
||||||||||||||||
(5) | Skema pendanaan yang bersumber dari APBN dan sumber lain yang sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 terdiri atas:
|
||||||||||||||||
(6) | Skema pendanaan yang berasal dari sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b terdiri atas:
|
||||||||||||||||
(7) | Pelaksanaan skema pendanaan Ibu Kota Nusantara yang bersumber dari APBN dalam bentuk surat berharga negara melalui SUN sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. | ||||||||||||||||
(8) | Dalam rangka mendukung pembiayaan kreatif (creative financing) sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a angka 3 huruf c) dan ayat (6) huruf a angka 2, Menteri dapat memberikan Dukungan Pemerintah berupa fasilitas penyiapan dan pelaksanaan transaksi. | ||||||||||||||||
(9) | Dalam hal pembangunan Ibu Kota Nusantara dilakukan melalui penugasan badan usaha yang sebagian atau seluruh modalnya dimiliki oleh negara sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a angka 3 huruf a), Pemerintah dapat memberikan:
|
||||||||||||||||
(10) | Sumber pembiayaan kreatif (creative financing) sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a angka 3 huruf c) dan ayat (6) huruf a angka 2 ditetapkan oleh Menteri setelah berkoordinasi dengan Kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional, Kementerian/Lembaga, dan/atau Otorita Ibu Kota Nusantara. | ||||||||||||||||
(11) | Pemberian jaminan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (9) huruf a angka 3 dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
|
||||||||||||||||
(12) | Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian jaminan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (11) diatur dalam Peraturan Menteri. |
(1) | Untuk mendukung pembangunan Ibu Kota Negara yang dilakukan oleh Otorita Ibu Kota Nusantara sebagai penyelenggara Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara, Otorita Ibu Kota Nusantara dapat menerbitkan obligasi dan/atau sukuk Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara. |
(2) | Penerbitan obligasi dan/atau sukuk Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan persetujuan Menteri dan mendasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Persiapan, pembangunan, dan pemindahan Ibu Kota Negara ditetapkan sebagai program prioritas nasional paling singkat 10 (sepuluh) tahun dalam rencana kerja pemerintah sejak tahun 2022 atau paling singkat sampai dengan selesainya tahap 3 (tiga) penahapan pembangunan Ibu Kota Nusantara sebagaimana ditetapkan dalam Rencana Induk Ibu Kota Nusantara. |
(2) | Pendanaan pengadaan tanah untuk persiapan dan pembangunan di Ibu Kota Nusantara dapat dilakukan oleh satuan kerja di lingkungan Kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara yang melaksanakan tugas dan fungsi manajemen aset negara yang berkaitan dengan proyek strategis nasional. |
(1) | Dalam pelaksanaan tugas dan fungsi pemerintahan, Otorita Ibu Kota Nusantara dapat memungut penerimaan negara bukan pajak. |
(2) | Ketentuan mengenai penetapan jenis dan tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak, perencanaan, pelaksanaan, pertanggungjawaban, pengawasan dan pemeriksaan penerimaan negara bukan pajak mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penerimaan negara bukan pajak sepanjang tidak diatur secara khusus dalam Peraturan Pemerintah ini. |
(3) | Pelaksanaan penerimaan negara bukan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
|
(4) | Persetujuan penggunaan dana penerimaan negara bukan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf f dapat diberikan sampai dengan sebesar 100% (seratus persen) dari penerimaan negara bukan pajak yang diterima. |
(5) | Dalam hal terdapat penerimaan negara bukan pajak yang belum digunakan, penerimaan negara bukan pajak dimaksud dapat digunakan pada tahun anggaran berikutnya mengikuti mekanisme APBN. |
(6) | Pengawasan penerimaan negara bukan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Menteri dan organ Otorita Ibu Kota Nusantara yang menjalankan fungsi sebagai aparat pengawas internal. |
(7) | Dalam rangka pelaksanaan penerimaan negara bukan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Otorita Ibu Kota Nusantara dapat menunjuk dan/atau bekerja sama dengan mitra instansi pengelola penerimaan negara bukan pajak. |
(8) | Pengawasan penerimaan negara bukan pajak Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilakukan terhadap pengelolaan penerimaan negara bukan pajak yang dilakukan oleh instansi pengelola penerimaan negara bukan pajak, mitra instansi pengelola penerimaan negara bukan pajak Ibu Kota Nusantara, dan/atau wajib bayar. |
(9) | Menteri dan organ Otorita Ibu Kota Nusantara yang menjalankan fungsi sebagai aparat pengawas internal sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat melibatkan pihak lain dalam melakukan pengawasan penerimaan negara bukan pajak Ibu Kota Nusantara. |
(10) | Ketentuan teknis mengenai pengelolaan penerimaan negara bukan pajak diatur lebih lanjut oleh Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara setelah mendapat pertimbangan dari Menteri. |
(1) | Pemerintah dapat mengalokasikan belanja Kementerian/Lembaga atau Otorita Ibu Kota Nusantara untuk pembiayaan proyek/kegiatan APBN yang bersumber dari penerbitan SBSN. |
(2) | Alokasi belanja Kementerian/Lembaga untuk pembiayaan proyek/kegiatan APBN yang bersumber dari penerbitan SBSN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk dalam rangka pendanaan untuk persiapan, pembangunan, dan pemindahan Ibu Kota Negara, serta penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara. |
(3) | Proses pengusulan, pengalokasian, dan pelaksanaan anggaran proyek/kegiatan APBN yang bersumber dari penerbitan SBSN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pembiayaan proyek melalui penerbitan SBSN. |
(1) | Pengalokasian belanja Kementerian/Lembaga atau Otorita Ibu Kota Nusantara untuk pendanaan proyek/kegiatan APBN yang bersumber dari penerbitan SBSN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dalam hal untuk proyek/kegiatan baru di tahun anggaran berjalan, dapat dilakukan melalui:
|
(2) | Proyek/kegiatan baru yang dapat diusulkan alokasinya pada tahun anggaran berjalan sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1 ) :
|
(3) | Pelaksanaan belanja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c dapat berupa penundaan atau perpanjangan waktu pelaksanaan proyek/kegiatan pada Kementerian/Lembaga bersangkutan atau Otorita Ibu Kota Nusantara. |
(4) | Pengalokasian belanja Kementerian/Lembaga atau Otorita Ibu Kota Nusantara untuk proyek/kegiatan baru di tahun anggaran berjalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara setelah perubahan daftar prioritas proyek SBSN untuk tahun anggaran berkenaan ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(5) | Dalam rangka pendanaan proyek/kegiatan baru di tahun anggaran berjalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri dapat menyesuaikan nilai batas maksimal penerbitan SBSN untuk pembiayaan proyek pada tahun anggaran bersangkutan. |
(6) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengalokasian dan pelaksanaan anggaran proyek/kegiatan APBN yang bersumber dari SBSN termasuk dalam rangka persiapan, pembangunan, dan pemindahan Ibu Kota Negara, serta penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara diatur dalam Peraturan Menteri. |
(1) | Pendanaan APBN yang bersumber dari SBSN untuk persiapan, pembangunan, dan pemindahan Ibu Kota Negara, serta penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara, dapat diintegrasikan dengan pendanaan daerah, badan usaha milik negara, swasta, KPBU IKN, dan/atau sumber dana lainnya. |
(2) | Menteri dapat melakukan Penerusan SBSN kepada pemerintah daerah atau badan usaha milik negara, dalam rangka dukungan bagi pendanaan untuk persiapan, pembangunan, dan pemindahan Ibu Kota Negara, serta penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara. |
(3) | Pengalokasian anggaran proyek/kegiatan dalam APBN untuk Penerusan SBSN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara setelah terlebih dahulu dilakukannya penilaian atas kesiapan pelaksanaan proyek/kegiatan dan penetapan daftar prioritas proyek SBSN oleh Kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional. |
(4) | Penilaian atas kesiapan pelaksanaan proyek/kegiatan dalam rangka Penerusan SBSN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan berdasarkan penyampaian usulan proyek/kegiatan oleh pemerintah daerah atau badan usaha milik negara kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional. |
(5) | Dalam hal Penerusan SBSN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan mekanisme investasi Pemerintah melalui badan usaha milik negara yang ditunjuk oleh Menteri, pengalokasian anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai investasi Pemerintah. |
(6) | Ketentuan lebih lanjut mengenai integrasi SBSN dengan pendanaan daerah, badan usaha milik negara, swasta, KPBU IKN, dan/atau sumber dana lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan Penerusan SBSN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Menteri. |
(1) | Dalam rangka persiapan, pembangunan, pemindahan Ibu Kota Negara, serta penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara, PJPK dapat melakukan kerja sama dengan Badan Usaha dalam rangka Penyediaan Infrastruktur. |
(2) | Kerja sama pemerintah dan Badan Usaha dalam rangka Penyediaan Infrastruktur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
|
(3) | Penyediaan infrastruktur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan dengan ketentuan;
|
(1) | Infrastruktur Ibu Kota Nusantara yang dapat dikerjasamakan dengan Badan Usaha dalam rangka Penyediaan Infrastruktur berdasarkan Peraturan Pemerintah ini mencakup Infrastruktur Ibu Kota Nusantara yang tercantum dalam Rencana Induk Ibu Kota Nusantara dan Perincian Rencana Induk Ibu Kota Nusantara. |
(2) | Infrastruktur Ibu Kota Nusantara yang dapat dikerjasamakan dengan Badan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan penahapan pembangunan, yang memuat paling sedikit:
|
(1) | Dalam pelaksanaan Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha atau KPBU IKN, menteri, kepala Lembaga, direksi badan usaha milik negara, dan/atau Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara sesuai tugas dan fungsinya bertindak sebagai PJPK. |
(2) | Dalam hal terjadi peralihan kegiatan persiapan dan/atau pembangunan Ibu Kota Negara yang sebelumnya dilaksanakan oleh Kementerian/Lembaga menjadi dilakukan oleh Otorita Ibu Kota Nusantara dilakukan perubahan PJPK sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(3) | Dalam bertindak sebagai PJPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menteri, kepala Lembaga, direksi badan usaha milik negara, dan/atau Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara bertugas dan bertanggung jawab sebagai penyedia dan/atau penyelenggara Infrastruktur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Perencanaan KPBU IKN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf a dilaksanakan oleh PJPK dan/atau menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional. |
(2) | Perencanaan KPBU IKN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui kegiatan paling sedikit:
|
(3) | Dalam melakukan identifikasi KPBU IKN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, PJPK dapat melakukan Konsultasi Publik. |
(4) | Identifikasi KPBU IKN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, dilakukan dengan mempertimbangkan paling sedikit:
|
(1) | Hasil identifikasi KPBU IKN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) dituangkan dalam dokumen identifikasi. |
(2) | Penatausahaan dokumen hasil kegiatan perencanaan KPBU IKN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) dilakukan berbasis elektronik secara bertahap. |
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai proses/mekanisme perencanaan KPBU IKN termasuk tetapi tidak terbatas pada penetapan daftar rencana KPBU IKN diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional setelah mendapatkan rekomendasi dari Menteri. |
(1) | Penyiapan KPBU IKN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf b dilakukan oleh PJPK dengan menyusun dokumen yang memuat antara lain;
|
(2) | Penyiapan KPBU IKN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat difasilitasi oleh Menteri atau badan usaha atau lembaga/organisasi internasional berdasarkan kesepakatan dengan Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara. |
(3) | Penyiapan KPBU IKN yang difasilitasi oleh Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan salah satu bentuk Dukungan Pemerintah. |
(4) | Penyiapan KPBU IKN yang difasilitasi oleh Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) perlu memperhatikan kesinambungan fiskal nasional. |
(1) | Penatausahaan dokumen penyiapan KPBU IKN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) dilakukan berbasis elektronik secara bertahap. |
(2) | Ketentuan lebih lanjut mengenai:
|
(1) | Transaksi KPBU IKN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf c, dilakukan oleh PJPK dengan kegiatan paling sedikit:
|
(2) | Pengadaan Badan Usaha Pelaksana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dilaksanakan setelah PJPK menyelesaikan penyusunan dokumen kegiatan lingkungan hidup, penetapan lokasi dan pengadaan lahan, pengajuan penjaminan serta Dukungan Pemerintah dan izin pemanfaatan BMN dan/atau BMD, kecuali ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan. |
(3) | Perjanjian KPBU IKN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, ditandatangani oleh PJPK dengan Badan Usaha Pelaksana. |
(1) | Pemenuhan pembiayaan Penyediaan Infrastruktur oleh Badan Usaha Pelaksana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) huruf c, dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
|
||||||||||||||||||||||
(2) | Dalam rangka mempercepat pemenuhan pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) huruf c, Badan Usaha Pelaksana dapat menggunakan sumber pembiayaan yang berasal dari perusahaan yang bergerak di bidang pembiayaan infrastruktur dan/atau lembaga yang bergerak di bidang pengelolaan investasi Pemerintah sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. | ||||||||||||||||||||||
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai:
|
(1) | Dalam hal perolehan pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) huruf c terpenuhi, Badan Usaha Pelaksana dan PJPK melaksanakan tahapan perjanjian KPBU IKN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf d. |
(2) | Pada masa konstruksi Penyediaan Infrastruktur oleh Badan Usaha Pelaksana, Badan Usaha Pelaksana menyerahkan laporan hasil konstruksi Penyediaan Infrastruktur yang paling sedikit memuat perkembangan dan informasi nilai wajar konstruksi Penyediaan Infrastruktur oleh Badan Usaha Pelaksana kepada PJPK setiap semester dan/atau saat diperlukan PJPK. |
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai proses/mekanisme pelaksanaan perjanjian KPBU IKN sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional setelah berkoordinasi dengan Lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kebijakan pengadaan barang/jasa pemerintah, dan setelah mendapat rekomendasi dari Menteri. |
(1) | Dalam hal jangka waktu perjanjian KPBU IKN telah berakhir, Badan Usaha Pelaksana menyerahkan aset KPBU IKN kepada PJPK atau ditentukan lain berdasarkan Peraturan Menteri. |
(2) | Penyerahan aset KPBU IKN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam perjanjian KPBU IKN paling sedikit memuat:
|
(1) | PJPK menetapkan bentuk pengembalian investasi yang meliputi penutupan biaya modal, biaya operasional, dan keuntungan yang wajar Badan Usaha Pelaksana. |
(2) | Pengembalian investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas Penyediaan Infrastruktur dapat dilakukan melalui skema:
|
(1) | Untuk pengembalian investasi Badan Usaha Pelaksana yang bersumber dari pembayaran oleh pengguna dalam bentuk tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) huruf a, PJPK menetapkan tarif awal atas Penyediaan Infrastruktur. |
(2) | Tarif awal dan penyesuaiannya ditetapkan untuk memastikan pengembalian investasi yang meliputi:
|
(1) | Dalam hal berdasarkan pertimbangan PJPK, tarif awal dan penyesuaiannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) belum dapat ditetapkan untuk mengembalikan seluruh investasi Badan Usaha Pelaksana, tarif dapat ditentukan berdasarkan tingkat kemampuan pengguna. |
(2) | Untuk tarif yang ditentukan berdasarkan kemampuan pengguna sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Badan Usaha Pelaksana dapat diberikan Dukungan Pemerintah sehingga Badan Usaha Pelaksana dapat memperoleh pengembalian investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2). |
(3) | Dalam hal KPBU IKN dengan skema pengembalian investasi bersumber dari pembayaran oleh pengguna dalam bentuk tarif diprakarsai oleh PJPK, dapat diberikan Dukungan Pemerintah yang bersumber dari APBN dalam bentuk dukungan sebagian konstruksi, Dukungan Kelayakan, dan/atau dukungan penjaminan infrastruktur. |
(1) | Untuk pengembalian investasi Badan Usaha Pelaksana yang bersumber dari Availability Payment sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) huruf b, PJPK menganggarkan dana Availability Payment untuk Penyediaan Infrastruktur yang dilakukan oleh Badan Usaha Pelaksana pada masa operasi selama jangka waktu yang diatur dalam Perjanjian Kerja Sama dengan memperhatikan kapasitas fiskal PJPK. |
(2) | Penganggaran dana Availability Payment sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan memperhitungkan:
|
(1) | Dalam hal dibutuhkan untuk memastikan kelayakan proyek, proyek KPBU IKN dengan skema pengembalian investasi yang bersumber dari Availability Payment, dapat diberikan dukungan yang bersumber dari APBN. |
(2) | Bentuk dukungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk tetapi tidak terbatas pada penjaminan infrastruktur, dukungan sebagian konstruksi, dan/atau Dukungan Kelayakan. |
(1) | PJPK melakukan pembayaran Availability Payment kepada Badan Usaha Pelaksana apabila telah terpenuhinya kondisi sebagai berikut:
|
(2) | Ketentuan lebih lanjut mengenai Availability Payment diatur dalam Peraturan Menteri. |
(1) | PJPK memprakarsai Penyediaan Infrastruktur yang akan dikerjasamakan dengan badan usaha melalui skema Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha atau KPBU IKN. |
(2) | Dikecualikan dari ketentuan pada ayat {1), badan usaha dapat mengajukan prakarsa Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha atau KPBU IKN kepada PJPK. |
(3) | Penyediaan Infrastruktur yang dapat diprakarsai badan usaha yaitu yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
|
(4) | Badan usaha pemrakarsa wajib menyusun studi kelayakan atas Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha atau KPBU IKN yang diusulkan. |
(1) | Badan usaha pemrakarsa Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha atau KPBU IKN dapat diberikan alternatif kompensasi sebagai berikut:
|
(2) | Pemberian kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dicantumkan dalam persetujuan PJPK. |
(3) | Dalam hal badan usaha pemrakarsa telah mendapatkan kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), seluruh studi kelayakan dan dokumen pendukungnya, termasuk hak kekayaan intelektual yang menyertainya beralih menjadi milik PJPK. |
(4) | PJPK dapat mengubah atau melakukan penambahan terhadap studi kelayakan dan dokumen pendukungnya. |
(1) | Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha atau KPBU IKN yang diprakarsai badan usaha dapat diberikan jaminan Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(2) | Skema pengembalian investasi Badan Usaha Pelaksana untuk Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha atau KPBU IKN yang diprakarsai badan usaha dapat bersumber dari pembayaran oleh pengguna dalam bentuk tarif atau bersumber dari Availability Payment sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
1) | fasilitas penyiapan dan pelaksanaan transaksi KPBU IKN; |
2) | Dukungan Kelayakan; |
3) | insentif perpajakan; |
4) | penjaminan Pemerintah; dan/atau |
5) | Pemanfaatan BMN. |
(1) | Penjaminan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 huruf b angka 4) dilaksanakan melalui rangkaian proses penjaminan infrastruktur yang dilakukan dengan mekanisme satu pelaksana oleh badan usaha penjaminan infrastruktur (single window policy). |
(2) | Ketentuan lebih lanjut mengenai:
|
(1) | Dalam rangka mempercepat Penyediaan Infrastruktur di Ibu Kota Nusantara, perusahaan yang bergerak di bidang pembiayaan infrastruktur dan lembaga yang bergerak di bidang pengelolaan investasi Pemerintah sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan dapat bertindak sebagai penyedia pembiayaan infrastruktur. |
(2) | Ketentuan lebih lanjut mengenai penyediaan pembiayaan infrastruktur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri setelah berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional dan Lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kebijakan pengadaan barang/jasa pemerintah. |
(1) | Dalam rangka pendanaan untuk penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara, Otorita Ibu Kota Nusantara dapat melakukan pemungutan Pajak Khusus IKN dan/atau Pungutan Khusus IKN di Ibu Kota Nusantara. |
(2) | Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah pengalihan kedudukan, fungsi, dan peran Ibu Kota Negara dari Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta ke Ibu Kota Nusantara ditetapkan dengan Keputusan Presiden. |
(3) | Pajak daerah dan retribusi daerah yang diatur dalam peraturan perundang-undangan berlaku secara mutatis mutandis sebagai Pajak Khusus IKN dan Pungutan Khusus IKN di Ibu Kota Nusantara. |
(4) | Dasar pelaksanaan pemungutan Pajak Khusus IKN dan/atau Pungutan Khusus IKN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Otorita Ibu Kota Nusantara setelah mendapat persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. |
1. | Makanan dan/atau Minuman; |
2. | Tenaga Listrik; |
3. | Jasa Perhotelan; |
4. | Jasa Parkir; dan |
5. | Jasa Kesenian dan Hiburan. |
1. | untuk kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor pertama, ditetapkan paling tinggi 2% (dua persen); |
2. | untuk kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor kedua dan seterusnya, dapat ditetapkan secara progresif paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen); dan |
3. | untuk kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor yang digunakan untuk angkutan umum, angkutan karyawan, angkutan sekolah, ambulans, pemadam kebakaran, sosial keagamaan, lembaga sosial dan keagamaan, Pemerintah, dan Otorita Ibu Kota Nusantara, ditetapkan paling tinggi 0,5% (nol koma lima persen). |
1. | ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen); dan |
2. | khusus untuk bahan bakar kendaraan umum, tarif Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor dapat ditetapkan paling tinggi 50% (lima puluh persen) dari tarif Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor untuk kendaraan pribadi. |
1. | ditetapkan paling tinggi sebesar 0,5% (nol koma lima persen); dan |
2. | untuk lahan yang berupa lahan produksi pangan dan ternak ditetapkan lebih rendah dari tarif untuk lahan lainnya. |
a. | Objek, yaitu penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu atas:
|
||||||||||
b. | Subjek, yaitu konsumen barang dan jasa tertentu; | ||||||||||
c. | Wajib pajak, yaitu orang pribadi atau Badan yang melakukan penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu; dan | ||||||||||
d. | Tarif, yaitu:
|
(1) | Dalam rangka pengenaan Pajak Khusus IKN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 sampai dengan Pasal 56, Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara menyampaikan Rancangan Peraturan Otorita Ibu Kota Nusantara kepada Menteri dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri untuk dilakukan reviu. |
(2) | Rancangan Peraturan Otorita Ibu Kota Nusantara yang telah direviu oleh Menteri dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri, disampaikan oleh Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk mendapatkan persetujuan. |
(3) | Setelah mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara menetapkan Peraturan Otorita Ibu Kota Nusantara dalam rangka pengenaan Pajak Khusus IKN. |
(4) | Jenis Pajak Khusus IKN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 sampai dengan Pasal 56 dapat tidak dipungut, dalam hal:
|
(1) | Jenis Pungutan Khusus IKN yang dapat dipungut oleh Otorita Ibu Kota Nusantara mengacu pada peraturan perundang-undangan mengenai retribusi daerah. |
(2) | Pungutan Khusus IKN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan pelayanan yang diberikan oleh Otorita Ibu Kota Nusantara, yang terdiri atas:
|
(3) | Objek Pungutan Khusus IKN adalah penyediaan dan/atau pelayanan barang dan/atau jasa serta pemberian perizinan tertentu yang diberikan oleh Otorita Ibu Kota Nusantara kepada Wajib Pungutan Khusus IKN. |
(1) | Bentuk pelayanan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (2) huruf a berupa:
|
(2) | Bentuk pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat tidak dikenakan Pungutan Khusus IKN dalam hal:
|
(3) | Bentuk pelayanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (2) huruf b berupa:
|
(4) | Bentuk pelayanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (2) huruf c berupa:
|
(5) | Pungutan Khusus IKN atas persetujuan bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a merupakan pungutan atas penerbitan persetujuan bangunan gedung oleh Otorita Ibu Kota Nusantara. |
(6) | Pungutan Khusus IKN atas penggunaan tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b merupakan dana kompensasi penggunaan tenaga kerja asing atas pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan sesuai wilayah kerja tenaga kerja asing. |
(7) | Pungutan Khusus IKN atas pengelolaan pertambangan rakyat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c merupakan pungutan berupa iuran pertambangan rakyat kepada pemegang izin pertambangan rakyat yang dapat dipungut oleh Otorita Ibu Kota Nusantara. |
(8) | Penambahan bentuk layanan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), dan ayat (4), ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. |
(1) | Tarif Pungutan Khusus IKN merupakan nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besarnya Pungutan Khusus IKN yang terutang. |
(2) | Tarif Pungutan Khusus IKN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditentukan seragam atau bervariasi menurut bentuk layanan sesuai dengan prinsip dan sasaran penetapan tarif Pungutan Khusus IKN. |
(3) | Tarif Pungutan Khusus IKN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Ketentuan lain yang terkait dengan Pajak Khusus dan Pungutan Khusus IKN yang tidak diatur dalam Peraturan Pemerintah ini, pengaturannya mengacu pada peraturan perundang-undangan mengenai pajak daerah dan retribusi daerah. |
(2) | Termasuk ketentuan terkait Pajak Khusus dan Pungutan Khusus IKN yang mengacu pada peraturan perundang-undangan mengenai pajak daerah dan retribusi daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
|
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemungutan Pajak Khusus IKN dan/atau Pungutan Khusus IKN diatur dengan Peraturan Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara. |
(1) | Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara dapat memberikan keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok dan/atau sanksi Pajak Khusus IKN dan/atau Pungutan Khusus IKN. |
(2) | Keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan kondisi Wajib Pajak Khusus IKN, Wajib Pungutan Khusus IKN, dan/atau Objek Pajak Khusus IKN serta bentuk pelayanan Pungutan Khusus IKN. |
(1) | Skema pendanaan dalam bentuk belanja dan/atau pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dapat berupa:
|
(2) | Skema pendanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk dukungan pendanaan/pembiayaan internasional yang merupakan skema untuk mewadahi pemberian dana antara lain dari bilateral/lembaga multilateral yang hendak berpartisipasi dalam pengembangan Ibu Kota Nusantara yang hijau dan cerdas yang dapat melalui hibah dan/atau pemberian dana talangan. |
(3) | Tata cara penerimaan hibah dan pengadaan pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Dalam rangka penyusunan rencana kerja dan anggaran Otorita Ibu Kota Nusantara, Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara berpedoman pada peraturan pemerintah mengenai penyusunan rencana kerja dan anggaran Kementerian/Lembaga sepanjang tidak diatur lain dalam Peraturan Pemerintah ini. |
(2) | Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara menyusun rencana kerja dan anggaran yang terdiri atas rencana pendapatan dan belanja. |
(3) | Pendapatan Otorita Ibu Kota Nusantara meliputi penerimaan negara bukan pajak dan/atau sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan/atau Pajak Khusus IKN dan/atau Pungutan Khusus IKN. |
(4) | Rencana pendapatan dalam rencana kerja dan anggaran Ibu Kota Nusantara merupakan perkiraan pendapatan Otorita Ibu Kota Nusantara yang disusun secara realistis dan optimal. |
(5) | Rencana pendapatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari rencana kerja dan anggaran Otorita Ibu Kota Nusantara yang ditelaah oleh Menteri. |
(1) | Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara selaku PA/Pengguna Barang menyusun rencana kerja dan anggaran Ibu Kota Nusantara dengan memperhatikan paling sedikit:
|
(2) | Penyusunan rencana kerja dan anggaran Otorita Ibu Kota Nusantara harus menggunakan pendekatan:
|
(3) | Penyusunan rencana kerja dan anggaran Otorita Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan instrumen:
|
(1) | Struktur rencana kerja dan anggaran Otorita Ibu Kota Nusantara memuat:
|
(2) | Rincian anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a paling sedikit disusun menurut:
|
(3) | Informasi kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b memuat paling sedikit:
|
(1) | Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara menyampaikan rencana kerja dan anggaran Otorita Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) kepada Menteri untuk dilakukan penelaahan. |
(2) | Penelaahan rencana kerja dan anggaran Otorita Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh:
|
(3) | Rencana kerja dan anggaran Otorita Ibu Kota Nusantara hasil penelaahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihimpun bersama dengan rencana kerja dan anggaran Kementerian/Lembaga untuk digunakan sebagai bahan penyusunan Rancangan Undang-Undang mengenai APBN beserta nota keuangan dan dokumen pendukungnya. |
(4) | Berdasarkan hasil kesepakatan pembahasan Rancangan Undang-Undang mengenai APBN beserta nota keuangan dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Menteri menyampaikan alokasi anggaran hasil kesepakatan kepada Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara dan pimpinan Kementerian/Lembaga lainnya. |
(5) | Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara melakukan penyesuaian rencana kerja dan anggaran Ibu Kota Nusantara berdasarkan alokasi anggaran hasil kesepakatan pembahasan Rancangan Undang-Undang mengenai APBN beserta nota keuangan dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. |
(6) | Menteri bersama menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional melakukan penelaahan rencana kerja dan anggaran Otorita Ibu Kota Nusantara berdasarkan alokasi anggaran dengan Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara. |
(7) | Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara selaku Pengguna Anggaran wajib menyusun dan bertanggung jawab terhadap rencana kerja dan anggaran atas bagian anggaran yang dikuasainya. |
(8) | Dalam rangka penyusunan rencana kerja dan anggaran Otorita Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud pada ayat (7), Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara menugaskan organ Otorita Ibu Kota Nusantara yang menjalankan fungsi sebagai aparat pengawas internal. |
(1) | Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara melakukan evaluasi kinerja atas pelaksanaan rencana kerja dan anggaran Otorita Ibu Kota Nusantara tahun sebelumnya dan tahun anggaran berjalan. |
(2) | Hasil evaluasi kinerja atas pelaksanaan rencana kerja dan anggaran Otorita Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara dan Kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional. |
(1) | Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara menyusun dokumen pelaksanaan anggaran Bagian Anggaran Otorita Ibu Kota Nusantara mengacu pada rencana kerja dan anggaran Otorita Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (6) dan peraturan presiden mengenai rincian APBN. |
(2) | Dokumen pelaksanaan anggaran Otorita Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diuraikan sasaran yang hendak dicapai, fungsi, program dan rincian kegiatan, anggaran yang disediakan untuk mencapai sasaran tersebut, dan rencana penarikan dana serta pendapatan yang diperkirakan. |
(3) | Menteri mengesahkan dokumen pelaksanaan anggaran Otorita Ibu Kota Nusantara paling lambat tanggal 31 Desember menjelang awal tahun anggaran. |
(4) | Dokumen pelaksanaan anggaran yang telah disahkan oleh Menteri, sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menjadi dasar bagi penarikan dana yang bersumber dari APBN oleh Otorita Ibu Kota Nusantara. |
(1) | Dalam hal diperlukan perubahan rencana kerja dan anggaran Otorita Ibu Kota Nusantara, perubahan diajukan oleh Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara kepada Menteri untuk mendapatkan pengesahan. | ||||||||||||
(2) | Perubahan rencana kerja dan anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan:
|
||||||||||||
(3) | Pengajuan perubahan anggaran rencana kerja dan anggaran Otorita Ibu Kota Nusantara berpedoman pada peraturan perundang-undangan mengenai tata cara perubahan rencana kerja dan anggaran. |
(1) | Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara bertindak sebagai PA atas bagian anggaran yang disediakan untuk pelaksanaan tugas dan fungsi Otorita Ibu Kota Nusantara dalam pelaksanaan persiapan, pembangunan, dan pemindahan Ibu Kota Negara, serta penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara, |
(2) | Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara mengatur lebih lanjut pelaksanaan anggaran atas bagian anggaran yang menjadi tanggung jawabnya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang keuangan negara. |
(3) | Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara selaku PA berwenang:
|
(4) | Kewenangan PA untuk menetapkan pejabat perbendaharaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dapat dilimpahkan kepada KPA. |
(1) | Pengangkatan Bendahara Penerimaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 dan Pasal 81 dilakukan setelah memenuhi kriteria yang ditetapkan oleh Menteri selaku Bendahara Umum Negara. |
(2) | Mekanisme pengangkatan Bendahara Penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Pengangkatan Bendahara Pengeluaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 dan Pasal 84 dilakukan setelah memenuhi kriteria yang ditetapkan oleh Menteri selaku Bendahara Umum Negara. |
(2) | Mekanisme Pengangkatan Bendahara Pengeluaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Dalam rangka meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelaksanaan anggaran belanja, kepala Satuan Kerja pada Otorita Ibu Kota Nusantara dapat mengangkat Bendahara Pengeluaran Pembantu. |
(2) | Mekanisme pengangkatan Bendahara Pengeluaran Pembantu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Bendahara Penerimaan dan Bendahara Pengeluaran merupakan pejabat fungsional. |
(2) | Pejabat/pegawai yang akan diangkat sebagai Bendahara Penerimaan, Bendahara Pengeluaran, dan Bendahara Pengeluaran Pembantu harus memiliki sertifikat bendahara yang diterbitkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk, |
(1) | KPA, PPK, PPSPM, Bendahara Penerimaan, Bendahara Pengeluaran, dan Bendahara Pengeluaran Pembantu pada Otorita Ibu Kota Nusantara dijabat oleh pegawai negeri sipil, Prajurit TNI, dan/atau Anggota Polri. |
(2) | Dalam hal kepala Satuan Kerja pada Otorita Ibu Kota Nusantara berstatus bukan pegawai negeri sipil, Prajurit TNI, dan/atau Anggota Polri, Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara selaku PA dapat menunjuk pejabat lain yang berstatus pegawai negeri sipil, Prajurit TNI, dan/atau Anggota Polri sebagai KPA. |
(3) | Mekanisme penunjukan KPA, PPK, PPSPM, Bendahara Penerimaan, Bendahara Pengeluaran, dan Bendahara Pengeluaran Pembantu pada Otorita Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Dalam rangka efektivitas pelaksanaan persiapan, pembangunan, dan pemindahan Ibu Kota Negara, serta penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara, KPA, PPK, dan PPSPM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 dapat dijabat oleh bukan pegawai negeri sipil, Prajurit TNI, dan/atau Anggota Polri. |
(2) | Penunjukan KPA, PPK, PPSPM yang dijabat oleh bukan pegawai negeri sipil, Prajurit TNI, dan/atau Anggota Polri sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
|
(1) | Pendapatan Otorita Ibu Kota Nusantara dapat berupa penerimaan kas dari:
|
(2) | Pendapatan Otorita Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperlakukan sebagai penerimaan negara bukan pajak. |
(1) | Otorita Ibu Kota Nusantara dapat memperoleh hibah berupa:
|
(2) | Tata cara penerimaan hibah yang direncanakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penerimaan hibah. |
(3) | Hibah langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat berupa perolehan:
|
(4) | Mekanisme administrasi dan pertanggungjawaban penerimaan, penggunaan uang kas, perolehan barang dan jasa, dan/atau surat berharga dari hibah langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penerimaan hibah. |
(1) | Pendapatan Otorita Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 dapat digunakan untuk belanja sesuai dengan persetujuan penggunaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4). |
(2) | Pencairan atas penggunaan dana penerimaan negara bukan pajak untuk belanja Otorita Ibu Kota Nusantara dilakukan dengan memperhatikan batas maksimum pencairan yang dihitung berdasarkan proporsi pengeluaran terhadap penerimaan. |
(3) | Penggunaan dana penerimaan negara bukan pajak untuk membiayai belanja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat melampaui pagu dana penerimaan negara bukan pajak dalam daftar isian pelaksanaan anggaran Satuan Kerja yang bersangkutan. |
(4) | Pembayaran dan penatausahaan belanja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara terpisah dengan belanja yang bersumber selain dari penerimaan negara bukan pajak. |
(5) | Dalam perhitungan batas maksimum pencairan dana, setoran penerimaan negara bukan pajak yang belum digunakan sampai dengan akhir tahun anggaran, dapat dipergunakan untuk membiayai kegiatan tahun anggaran berikutnya setelah diterimanya daftar isian pelaksanaan anggaran. |
(1) | Anggaran belanja untuk kebutuhan Otorita Ibu Kota Nusantara dapat dibiayai dari sumber dana hibah berupa:
|
(2) | Pelaksanaan anggaran belanja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penerimaan hibah. |
(1) | Otorita Ibu Kota Nusantara menyelenggarakan akuntansi dan menyusun laporan keuangan atas transaksi pelaksanaan APBN dan kejadian keuangan yang menjadi tugas dan kewenangan Otorita Ibu Kota Nusantara. |
(2) | Laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun berdasarkan standar akuntansi pemerintahan. |
(3) | Laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Menteri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(4) | Laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikonsolidasi dalam kerangka sistem akuntansi Pemerintah Pusat untuk pertanggungjawaban APBN dan laporan keuangan Pemerintah Pusat. |
(5) | Laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diaudit oleh pemeriksa eksternal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | BMN meliputi:
|
(2) | Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas:
|
(1) | Menteri selaku Bendahara Umum Negara adalah Pengelola Barang. |
(2) | Menteri bertanggung jawab dan berwenang:
|
(3) | Menteri dapat melimpahkan tanggung jawab dan kewenangan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara. |
(4) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab dan kewenangan tertentu yang dapat dilimpahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan tata cara pelimpahannya diatur dalam Peraturan Menteri. |
(1) | Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara merupakan Pengguna Barang di Ibu Kota Nusantara atas BMN yang berada dalam penguasaannya. |
(2) | Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara bertanggung jawab dan berwenang:
|
(3) | Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara dapat melimpahkan sebagian tanggung jawab dan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Kuasa Pengguna Barang. |
(4) | Tanggung jawab dan kewenangan yang dapat dilimpahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan tata cara pelimpahannya diatur oleh Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan BMN. |
(5) | Kuasa Pengguna Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bertanggung jawab dan berwenang:
|
(1) | Menteri/Pimpinan Lembaga adalah Pengguna Barang. |
(2) | Menteri/Pimpinan Lembaga bertanggung jawab dan berwenang:
|
(1) | Menteri/Pimpinan Lembaga dapat menjadi Pengguna Barang untuk BMN yang berada pada Ibu Kota Nusantara dengan ketentuan:
|
||||||||||||||||||
(2) | Penetapan Menteri/Pimpinan Lembaga sebagai Pengguna Barang pada Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Menteri selaku Pengelola Barang atau pejabat yang ditunjuk. |
(1) | Pengelolaan BMN di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan/atau provinsi lainnya meliputi:
|
(2) | Tata cara pemberesan dan pengalihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, Pemanfaatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dan Pemindahtanganan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h mengikuti ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini. |
(3) | Tata cara perencanaan kebutuhan dan penganggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, pengadaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, Penggunaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, pengamanan dan pemeliharaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f, penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g, pemusnahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf i, penghapusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf j, penatausahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf k, dan pembinaan, pengawasan dan pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf 1 dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan BMN. |
(4) | Pengelolaan BMN di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan/atau provinsi lainnya dilaksanakan oleh Menteri dan Menteri/Pimpinan Lembaga sesuai dengan tugas dan kewenangannya. |
(1) | BMN di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan/atau provinsi lainnya yang terkait dengan pemindahan Ibu Kota Negara wajib dialihkan pengelolaannya kepada Menteri. |
(2) | Pengalihan pengelolaan BMN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk optimalisasi pengelolaan BMN dalam rangka pemindahan Ibu Kota Negara. |
(3) | BMN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi BMN:
|
(1) | Menteri menyusun dan menetapkan rencana Pemanfaatan BMN di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan/atau provinsi lainnya yang terkait dengan pemindahan Ibu Kota Negara. |
(2) | Rencana Pemanfaatan BMN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk tetapi tidak terbatas pada:
|
(3) | Terhadap rencana Pemanfaatan BMN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan evaluasi secara periodik dan dapat dilakukan penyesuaian jika diperlukan. |
(4) | Rencana Pemanfaatan BMN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi masukan dalam penataan ulang Penggunaan BMN di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan/atau provinsi lainnya. |
(1) | Menteri/Pimpinan Lembaga melakukan inventarisasi atas BMN yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (3). |
(2) | Berdasarkan inventarisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri/Pimpinan Lembaga menyusun dan menyampaikan daftar usulan BMN yang akan dialihkan berikut dokumen pendukung kepada Menteri. |
(1) | Menteri melakukan penelitian dan verifikasi terhadap BMN dalam daftar usulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 ayat (2). |
(2) | Berdasarkan hasil penelitian dan verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri menetapkan daftar BMN yang harus dialihkan oleh Menteri/Pimpinan Lembaga. |
(3) | Daftar BMN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjadi dasar bagi Kementerian/Lembaga dalam penyusunan perencanaan Penggunaan, pemeliharaan, dan penghapusan BMN di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan/atau provinsi lainnya. |
(4) | Berdasarkan hasil penelitian dan verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam hal BMN yang diusulkan tidak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (3), BMN tetap dilakukan pengelolaan oleh Menteri/Pimpinan Lembaga sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan BMN. |
(1) | Pengalihan BMN oleh Menteri/Pimpinan Lembaga kepada Menteri dilakukan paling lambat 6 (enam) bulan sejak selesainya:
|
(2) | Jangka waktu pengalihan BMN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang dengan persetujuan Menteri. |
(3) | Jangka waktu pengalihan BMN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan mempertimbangkan:
|
(4) | Sebelum dilakukan pengalihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri/Pimpinan Lembaga menyelesaikan pemberesan atas BMN selain tanah dan/atau bangunan yang terkait dengan BMN yang menjadi objek pengalihan. |
(5) | Pengalihan BMN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam berita acara serah terima. |
(6) | Berdasarkan berita acara serah terima sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Menteri/Pimpinan Lembaga melakukan penghapusan BMN berupa tanah dan/atau bangunan yang telah dialihkan kepada Menteri dari daftar BMN pada Pengguna Barang. |
(7) | Pelaksanaan pengalihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menjadi pertimbangan Menteri dalam melakukan evaluasi kinerja pengelolaan BMN masing-masing Kementerian/Lembaga. |
(1) | Pemberesan atas BMN selain tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 ayat (4) dilakukan melalui:
|
(2) | Tata cara pemberesan atas BMN selain tanah dan/atau bangunan melalui Penggunaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, alih status Penggunaan BMN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, Pemanfaatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, Pemindahtanganan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, pemusnahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e, dan penghapusan BMN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f, dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan BMN. |
(3) | Tata cara pemberesan atas BMN selain tanah dan/atau bangunan melalui skema lainnya yang ditetapkan oleh Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g mengikuti ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini. |
(1) | BMN yang telah dialihkan kepada Menteri dilakukan pengamanan dan pemeliharaan. |
(2) | Pengamanan dan pemeliharaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebankan pada APBN. |
(3) | Untuk pelaksanaan pengamanan dan pemeliharaan BMN sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat ditunjuk Pihak Lain. |
(1) | Pemanfaatan BMN dilakukan oleh Menteri selaku Pengelola Barang. |
(2) | Menteri dapat menunjuk:
|
(3) | Pemilihan mitra Pemanfaatan BMN dapat dilakukan melalui penunjukan langsung atau tender. |
(4) | Penunjukan langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan terhadap badan usaha yang seluruh atau sebagian modalnya dimiliki oleh negara. |
(5) | Tender sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan BMN. |
(6) | Pembayaran imbal hasil Pemanfaatan BMN dapat berupa:
|
(7) | Mitra Pemanfaatan BMN dilarang menjaminkan, menggadaikan, dan/atau memindah tangankan BMN yang menjadi objek Pemanfaatan. |
(8) | Dalam hal BMN dilakukan Pemanfaatan dengan Pihak Lain, biaya pengamanan dan pemeliharaan menjadi tanggung jawab Pihak Lain yang menjadi mitra pemanfaatan. |
(1) | Bentuk Pemanfaatan BMN meliputi:
|
(2) | Pemanfaatan BMN berupa Sewa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan Kerja Sama Pemanfaatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan mengikuti ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini. |
(3) | Tata cara pinjam pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, bangun guna serah/bangun serah guna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, Kerja Sama Penyediaan Infrastruktur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e, kerja sama terbatas untuk pembiayaan Infrastruktur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f, dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan BMN. |
(1) | BMN dapat disewakan kepada Pihak Lain dengan jangka waktu Sewa paling lama 30 (tiga puluh) tahun dan dapat diperpanjang dengan persetujuan Menteri selaku Pengelola Barang. |
(2) | Formula tarif/besaran Sewa ditetapkan oleh Menteri. |
(3) | Sewa dilaksanakan berdasarkan perjanjian. |
(4) | Pembayaran uang Sewa dapat dilakukan secara:
|
(5) | Dalam hal pembayaran uang Sewa dilakukan sekaligus sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a:
|
(6) | Dalam hal pembayaran uang Sewa dilakukan secara bertahap sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b:
|
(7) | Percepatan pembayaran Sewa yang dilakukan secara bertahap sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf c dapat dilakukan dengan mempertimbangkan nilai waktu uang (time value of money). |
(8) | Dalam pelaksanaan Sewa, mitra Sewa dapat melakukan perubahan struktur BMN berupa bangunan, atas persetujuan Pengelola Barang. |
(1) | Kerja Sama Pemanfaatan dilaksanakan dengan ketentuan:
|
(2) | Semua biaya persiapan Kerja Sama Pemanfaatan yang terjadi setelah ditetapkannya mitra Kerja Sama Pemanfaatan dan biaya pelaksanaan Kerja Sama Pemanfaatan menjadi beban mitra Kerja Sama Pemanfaatan. |
(3) | Untuk biaya persiapan Kerja Sama Pemanfaatan yang terjadi setelah ditetapkannya mitra Kerja Sama Pemanfaatan dan biaya pelaksanaan Kerja Sama Pemanfaatan dapat dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sepanjang dilaksanakan dalam bentuk pemberian dukungan berupa fasilitas penyiapan dan pelaksanaan Kerja Sama Pemanfaatan. |
(1) | Pemindah tanganan BMN dilakukan dengan cara:
|
(2) | Tata cara Pemindahtanganan BMN berupa Tukar Menukar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan Penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan mengikuti ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini. |
(3) | Tata cara hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, dan Penyertaan Modal Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan BMN. |
(1) | Pemindahtanganan BMN;
|
(2) | Usul untuk memperoleh persetujuan Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diajukan oleh Menteri. |
(3) | Pemilihan badan usaha dalam rangka Pemindahtanganan dapat dilakukan dengan cara:
|
(4) | Pemindahtanganan BMN tidak boleh dilakukan terhadap barang dengan kriteria:
|
(1) | Tukar menukar BMN dapat dilakukan dengan pihak:
|
(2) | Pemilihan mitra tukar menukar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan:
|
(3) | Objek tukar menukar dapat berupa:
|
(4) | Tukar menukar dilaksanakan oleh Pengelola Barang. |
(5) | Pelaksanaan serah terima BMN yang dilepas dan barang pengganti dituangkan dalam berita acara serah terima. |
(6) | Ketentuan mengenai tender sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b diatur dalam Peraturan Menteri. |
(1) | Penjualan BMN dilakukan dengan cara lelang, kecuali dalam hal tertentu. |
(2) | Pengecualian dalam hal tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
(1) | Penentuan nilai dalam rangka Penjualan BMN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 120 dilakukan dengan memperhitungkan faktor penyesuaian. |
(2) | Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan batasan terendah sebagai dasar penetapan:
|
(1) | Menteri dalam melakukan pengelolaan BMN di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan/atau provinsi lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 ayat (2) dapat:
|
||||||
(2) | Dalam hal kerja sama utilisasi dilakukan dengan Badan Layanan Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Badan Layanan Umum harus menyetorkan ke Kas Negara atas hasil:
|
||||||
(3) | Badan usaha dan Pihak Lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus membayar pembagian pendapatan (revenue sharing) hasil kerja sama utilisasi ke Kas Negara. |
(1) | Dalam rangka pemindahan Ibu Kota Negara, BMN berupa rumah negara dialihkan pengelolaannya kepada Menteri selaku Pengelola Barang. |
(2) | Ketentuan pengalihan BMN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 sampai dengan Pasal 112 mutatis mutandis berlaku untuk pengalihan BMN berupa rumah negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
(3) | Dalam pengelolaan BMN berupa rumah negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri dapat:
|
(1) | Menteri dapat memberikan dukungan berupa fasilitas penyiapan dan pelaksanaan Pemanfaatan BMN dan/atau Pemindahtanganan BMN. |
(2) | Ketentuan Pemanfaatan dan Pemindahtanganan BMN sepanjang tidak diatur dalam Peraturan Pemerintah ini mengikuti peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan BMN. |
(1) | Pengelolaan BMN di Ibu Kota Nusantara meliputi:
|
(2) | Tata cara perencanaan kebutuhan dan penganggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, perolehan BMN dari pengalihan BMD dan ADP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, Penggunaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, dan Pemanfaatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dilakukan mengikuti ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini. |
(3) | Tata cara pengadaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, pengamanan dan pemeliharaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f, penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g, Pemindahtanganan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h, pemusnahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf i, penghapusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf j, penatausahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf k, dan pembinaan, pengawasan dan pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf 1 dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan BMN. |
(1) | Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara menyusun perencanaan kebutuhan BMN. |
(2) | Dalam rangka persiapan, pembangunan, dan pemindahan Ibu Kota Negara, perencanaan kebutuhan BMN disusun dengan memperhatikan termasuk tetapi tidak terbatas pada Rencana Induk Ibu Kota Nusantara dan Perincian Rencana Induk Ibu Kota Nusantara, standar barang, dan standar kebutuhan. |
(3) | Perencanaan kebutuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan salah satu dasar bagi Otorita Ibu Kota Nusantara dalam pengusulan penyediaan anggaran untuk kebutuhan baru dan angka dasar serta penyusunan rencana kerja dan anggaran. |
(1) | Pelaksanaan pengalokasian Penggunaan BMN oleh Otorita Ibu Kota Nusantara untuk kepentingan penyelenggaraan tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga dilaksanakan dengan mempertimbangkan standar barang dan standar kebutuhan, |
(2) | Standar barang dan standar kebutuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara setelah berkoordinasi dengan Menteri/Pimpinan Lembaga teknis terkait dan setelah memperoleh persetujuan dari Menteri. |
(1) | BMD yang berada di Ibu Kota Nusantara dialihkan kepada Pemerintah Pusat. |
(2) | Pengalihan BMD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui Pemindahtanganan dalam bentuk hibah untuk kepentingan umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan BMD. |
(3) | Pemindahtanganan BMD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan paling lambat sebelum pengalihan kedudukan, fungsi, dan peran Ibu Kota Negara dari Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta ke Ibu Kota Nusantara sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara. |
(1) | ADP dapat dialihkan statusnya menjadi BMN. |
(2) | Pengalihan status ADP menjadi BMN dilaksanakan berdasarkan persetujuan Menteri. |
(1) | Penggunaan BMN di Ibu Kota Nusantara dilakukan oleh:
|
(2) | Otorita Ibu Kota Nusantara menyediakan BMN berupa tanah dan/atau bangunan untuk kepentingan penyelenggaraan pemerintahan Kementerian/Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c. |
(3) | Penggunaan BMN mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan BMN. |
(1) | BMN berupa rumah negara beserta tanahnya di wilayah Ibu Kota Nusantara ditetapkan sebagai rumah negara golongan I dan rumah negara golongan II. |
(2) | BMN berupa rumah negara beserta tanahnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dipindah tangankan. |
(3) | Rumah negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dialihkan statusnya menjadi rumah negara golongan III. |
(4) | Biaya pengamanan dan pemeliharaan BMN berupa rumah negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi beban Otorita Ibu Kota Nusantara. |
(5) | Pejabat negara yang bekerja di wilayah Ibu Kota Nusantara disediakan fasilitas berupa rumah negara. |
(6) | Pegawai negeri sipil/Prajurit TNI/Anggota Polri yang bekerja di wilayah Ibu Kota Nusantara dapat disediakan fasilitas berupa rumah negara. |
(7) | Dalam hal pejabat negara atau pegawai negeri sipil/Prajurit TNI/Anggota Polri yang ditugaskan pindah ke Ibu Kota Nusantara belum mendapatkan fasilitas berupa rumah negara sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6), pejabat negara atau pegawai negeri sipil/Prajurit TNI/Anggota Polri tersebut dapat diberikan tunjangan atau kompensasi perumahan/hunian untuk jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun. |
(8) | Tunjangan atau kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dibebankan pada daftar isian pelaksanaan anggaran Kementerian/Lembaga. |
(9) | Ketentuan mengenai fasilitas rumah negara bagi pegawai negeri sipil/Prajurit TNI/Anggota Polri sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan pemberian tunjangan atau kompensasi perumahan/hunian sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diatur dalam Peraturan Menteri. |
(1) | Bentuk Pemanfaatan BMN meliputi:
|
(2) | Tata cara Kerja Sama Penyediaan Infrastruktur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dilakukan mengikuti ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini. |
(3) | Tata cara Sewa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, pinjam pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, Kerja Sama Pemanfaatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, bangun guna serah/bangun serah guna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, dan kerja sama terbatas untuk pembiayaan Infrastruktur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f, dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan BMN. |
(1) | Kerja Sama Penyediaan Infrastruktur atas BMN dilaksanakan terhadap BMN berupa tanah dan/atau bangunan atau selain tanah dan/atau bangunan. |
(2) | Kerja sama Penyediaan Infrastruktur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Otorita Ibu Kota Nusantara dengan persetujuan Menteri. |
a. | pengelolaan BMN di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan/atau provinsi lainnya dalam rangka persiapan, pembangunan, dan pemindahan Ibu Kota Negara; dan |
b. | pengelolaan BMN di Ibu Kota Nusantara, |
(1) | Pengelolaan ADP dilaksanakan berdasarkan asas fungsional, kepastian hukum, transparansi, efisiensi, akuntabilitas, dan kepastian nilai. |
(2) | Pengelolaan ADP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
(1) | Menteri adalah Pengelola ADP. |
(2) | Pengelola ADP bertanggung jawab dan berwenang untuk:
|
(3) | Pengelola ADP dapat melimpahkan tanggung jawab dan kewenangan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Pengguna/Kuasa Pengguna ADP. |
(4) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab dan kewenangan tertentu yang dapat dilimpahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan tata cara pelimpahannya diatur dalam Peraturan Menteri. |
(1) | Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara adalah Pengguna ADP. |
(2) | Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berwenang dan bertanggung jawab:
|
(3) | Pengguna ADP dapat melimpahkan tanggung jawab dan kewenangan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Kuasa Pengguna ADP. |
(4) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab dan kewenangan tertentu yang dapat dilimpahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan tata cara pelimpahannya diatur dengan Peraturan Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara. |
(1) | Kuasa Pengguna ADP ditunjuk dan/atau ditetapkan oleh Pengguna ADP. |
(2) | Kuasa Pengguna ADP bertanggung jawab dan berwenang:
|
(1) | Pengguna ADP menyusun rencana Pengelolaan ADP dan menyampaikannya kepada Pengelola ADP. |
(2) | Penyusunan rencana Pengelolaan ADP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan Rencana Induk Ibu Kota Nusantara dan Perincian Rencana Induk Ibu Kota Nusantara. |
(3) | Rencana Pengelolaan ADP paling sedikit meliputi:
|
(4) | Pengguna ADP dapat menetapkan perubahan atas rencana Pengelolaan ADP. |
(1) | Pengguna ADP dapat memberikan/menetapkan pemberian alokasi lahan ADP selama jangka waktu tertentu berdasarkan permohonan dari calon Pemegang ADP. |
(2) | Jangka waktu pemberian alokasi lahan ADP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 30 (tiga puluh) tahun dan dapat diperpanjang. |
(3) | Jangka waktu pemberian alokasi lahan ADP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat lebih dari 30 (tiga puluh) tahun dan dapat diperpanjang untuk:
|
(4) | Peruntukan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a ditetapkan oleh Pengguna ADP. |
(1) | Pihak yang dapat menjadi Pemegang ADP meliputi:
|
||||
(2) | Pihak yang dapat menjadi Pemegang ADP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan untuk mendapatkan hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan. | ||||
(3) | Perwakilan negara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan perwakilan resmi dari negara yang memiliki hubungan diplomatik dengan Negara Republik Indonesia. | ||||
(4) | Pemberian alokasi lahan kepada perwakilan negara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus mendapatkan rekomendasi dari Kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang luar negeri. | ||||
(5) | Organisasi internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d merupakan organisasi multilateral yang secara resmi diikuti oleh Indonesia sebagai anggotanya. | ||||
(6) | Pemberian alokasi lahan kepada organisasi internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus terlebih dahulu mendapatkan rekomendasi dari Kementerian/Lembaga yang menyelenggarakan:
|
||||
(7) | Badan hukum asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e merupakan badan hukum yang:
|
||||
(8) | Orang asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f merupakan Warga Negara Asing yang:
|
||||
(9) | Pengguna ADP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h dapat menjadi Pemegang ADP setelah mendapat persetujuan dari Pengelola ADP. |
(1) | Pengalokasian lahan dapat diberikan atas ADP yang:
|
(2) | Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ADP yang belum terbit hak pengelolaan lahan dapat diberikan alokasi penggunaan dengan kondisi sepanjang pemberian alokasi lahan ADP dilakukan berdasarkan penugasan pemerintah yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden. |
(3) | ADP yang sudah ditetapkan pemberian alokasi lahannya tidak dapat diberikan alokasi lahan yang baru di lokasi yang sama sebelum alokasi lahan yang ada berakhir, dilepas, atau dibatalkan. |
(1) | Pemberian pengalokasian lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 149 dilakukan dalam bentuk:
|
(2) | Pemberian pengalokasian lahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Pengguna ADP kepada Pemegang ADP setelah Pemegang ADP memenuhi kewajiban yang dipersyaratkan dalam persetujuan pemberian alokasi lahan. |
(3) | Penetapan alokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan dengan ketentuan:
|
(4) | Persil alokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diberikan dengan ketentuan:
|
(1) | Pemberian alokasi lahan ADP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 149 dilakukan setelah Pemegang ADP melakukan pembayaran kontribusi sesuai tarif yang ditetapkan oleh Pengguna ADP. |
(2) | Kontribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penerimaan negara bukan pajak yang dikelola sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(3) | Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pembayaran kontribusi tidak diperlukan sepanjang:
|
(1) | Dalam rangka pelaksanaan pengalokasian ADP, di atas hak pengelolaan atas tanah ADP dapat diberikan hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan. |
(2) | Pemberian hak atas tanah di atas hak pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan atas tanah yang sudah mendapatkan pengalokasian lahan dari Pengguna ADP. |
(3) | Pemberian hak atas tanah di atas hak pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan permohonan Pemegang ADP sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan, setelah mendapatkan persetujuan dari Pengguna ADP. |
(4) | Dalam hal di atas hak atas tanah alokasi lahan ADP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) didirikan rumah susun, Pemegang ADP dapat mengajukan permohonan penerbitan tanda bukti kepemilikan atas satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan dan rumah susun. |
(1) | Hak atas tanah yang diberikan atas alokasi lahan yang berada dalam penguasaan Pemegang ADP dapat dibebani hak tanggungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(2) | Pembebanan hak tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus melalui persetujuan Pengguna ADP. |
(3) | Pembebanan hak tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh melebihi batas waktu:
|
(4) | Pemegang ADP menginformasikan berakhirnya pembebanan hak tanggungan kepada Pengguna ADP. |
(5) | Kreditur yang melakukan eksekusi atas hak tanggungan wajib menginformasikan pelaksanaannya kepada Pengguna ADP. |
(6) | Dalam hal pelaksanaan eksekusi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) mengakibatkan terjadinya pengalihan alokasi lahan kepada pihak lain, kreditur mengajukan persetujuan pengalihan alokasi lahan kepada Pengguna ADP. |
(7) | Pengalihan alokasi lahan kepada pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (6) hanya dapat dilakukan kepada pihak yang memenuhi syarat sebagai Pemegang ADP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 150 ayat (1). |
(1) | Alokasi lahan ADP tidak dapat dialihkan kepada pihak lain. | ||||
(2) | Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), alokasi lahan dapat dialihkan berdasarkan persetujuan Pengguna ADP untuk:
|
||||
(3) | Pengalihan alokasi lahan kepada pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan kepada pihak yang memenuhi syarat sebagai Pemegang ADP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 150 ayat (1). | ||||
(4) | Pengalihan alokasi lahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan terhadap tanah yang:
|
||||
(5) | Dalam hal pengalihan alokasi lahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan atas alokasi lahan yang telah diberi hak atas tanah, hak atas tanah tersebut dialihkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan. |
(1) | Alokasi lahan yang telah diberikan kepada Pemegang ADP dapat dilepaskan berdasarkan:
|
(2) | Pelepasan alokasi lahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan atas:
|
(1) | Pelepasan alokasi lahan karena permohonan dari Pemegang ADP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158 ayat (1) huruf a dilaksanakan berdasarkan persetujuan Pengguna ADP. |
(2) | Pemegang ADP yang tidak lagi memenuhi syarat sebagai Pemegang ADP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 150 ayat (1) wajib melepaskan alokasi lahan yang berada dalam penguasaannya dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun. |
(3) | Pelepasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat dilakukan dalam rangka:
|
(4) | Pelepasan kepada pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a hanya dapat dilakukan:
|
(5) | Pengembalian kepada Pengguna ADP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dapat dilakukan terhadap alokasi lahan yang:
|
(6) | Pelepasan alokasi lahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya dapat dilakukan terhadap tanah yang tidak dibebani hak tanggungan. |
(7) | Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (6), pelepasan alokasi lahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan terhadap tanah yang dibebani hak tanggungan sepanjang pelepasan dilakukan dalam rangka pelaksanaan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. |
(8) | Dalam hal pelepasan alokasi lahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan atas alokasi lahan yang telah diberi hak atas tanah, hak atas tanah alokasi lahan tersebut dilepaskan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan. |
(9) | Pelepasan alokasi lahan oleh Pemegang ADP sebagaimana dimaksud pada ayat (7) tidak mengakibatkan beralihnya kewajiban yang harus dipenuhi oleh Pemegang ADP sebagai akibat pembebanan hak tanggungan kepada Pengguna ADP. |
(1) | Pelepasan alokasi lahan karena pencabutan alokasi lahan dari Pemegang ADP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158 ayat (1) huruf b dilakukan karena:
|
(2) | Pelepasan alokasi lahan berupa pencabutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan penetapan dari Pengguna ADP. |
(3) | Pembatalan alokasi lahan ADP berupa pencabutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak serta merta mengakibatkan gugurnya kewajiban Pemegang ADP kepada Pengguna ADP. |
(4) | Pencabutan alokasi lahan oleh Pengguna ADP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengakibatkan dihapuskannya kewajiban yang masih harus dipenuhi oleh Pemegang ADP yang timbul sebagai akibat pemberian alokasi lahan. |
(5) | Pencabutan alokasi lahan oleh Pengguna ADP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengakibatkan beralihnya kewajiban yang harus dipenuhi oleh Pemegang ADP kepada Pengguna ADP sebagai akibat pembebanan hak tanggungan. |
(1) | Pelepasan alokasi lahan karena pembatalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158 ayat (1) huruf c ditetapkan oleh Pengguna ADP. |
(2) | Dalam hal Pemegang ADP tidak melaksanakan pembangunan atau pengembangan di atas alokasi lahan yang diberikan dalam batas waktu yang telah ditentukan, Pengguna ADP dapat membatalkan alokasi Penggunaan ADP yang diberikan. |
(3) | Dalam hal atas ADP yang akan dibatalkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah diterbitkan hak atas tanah, Pengguna ADP menyampaikan pembatalan tersebut kepada kantor pertanahan setempat untuk dilakukan pencabutan hak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan. |
(4) | Pembatalan alokasi lahan ADP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mengakibatkan beralihnya kewajiban yang harus dipenuhi oleh Pemegang ADP yang timbul dari perikatan yang menimbulkan pembebanan hak tanggungan dari Pemegang ADP kepada Pengguna ADP. |
(1) | Pengguna ADP dapat menyelenggarakan secara mandiri atas ADP yang berada dalam penguasaannya melalui pembangunan dan/atau pengembangan area kawasan dalam bentuk Penggunaan ADP. |
(2) | Penyelenggaraan secara mandiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dimaksudkan untuk:
|
(3) | ADP yang dapat dilakukan penggunaan oleh Pengguna ADP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah tanah yang dapat diberikan alokasi lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151. |
(4) | Pelaksanaan Penggunaan ADP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mekanisme pemberian alokasi lahan kepada Pengguna ADP. |
(5) | Dalam rangka penyelenggaraan secara mandiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pengguna ADP dapat:
|
(6) | Aset hasil pembangunan dan/atau pengembangan ADP sebagaimana dimaksud pada ayat (5) merupakan BMN. |
(1) | Dalam rangka Pemanfaatan ADP, Pengguna ADP dapat melakukan pendayagunaan dan/atau optimalisasi atas ADP yang berada dalam penguasaannya melalui kerja sama dengan Mitra ADP. |
(2) | ADP yang dapat dilakukan Pemanfaatan ADP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah tanah yang dapat diberikan alokasi lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151. |
(3) | Pelaksanaan Pemanfaatan ADP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mekanisme pemberian alokasi lahan kepada Pengguna ADP. |
(4) | Kerja sama dengan Mitra ADP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dalam bentuk Pemanfaatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 ayat (1) dan/atau Pemanfaatan dalam bentuk lainnya yang diatur oleh Pengguna ADP. |
(5) | Aset hasil Pemanfaatan ADP merupakan BMN setelah diserahkan kepada Pengguna ADP sesuai perjanjian. |
(1) | Pengguna ADP, Pemegang ADP, dan Mitra ADP wajib melakukan pengamanan ADP yang berada dalam penguasaannya. |
(2) | Pengamanan ADP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengamanan administrasi, pengamanan fisik, dan pengamanan hukum. |
(1) | ADP berupa tanah harus diterbitkan sertipikat atas nama Pemerintah Republik Indonesia cq. Otorita Ibu Kota Nusantara. |
(2) | Penerbitan sertipikat atas tanah ADP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam bentuk pemberian hak pengelolaan. |
(1) | Sertipikat hak pengelolaan atas tanah ADP dan dokumen lainnya terkait Pengalokasian, Penggunaan, dan Pemanfaatan ADP wajib disimpan dengan tertib dan aman. |
(2) | Penyimpanan sertipikat hak pengelolaan atas tanah ADP dilakukan oleh Pengguna ADP. |
(1) | Hak pengelolaan atas tanah ADP tidak dapat dibebani hak tanggungan. |
(2) | Hak pengelolaan atas tanah ADP dilarang:
|
(1) | Pengguna ADP, Pemegang ADP, atau Mitra ADP bertanggung jawab atas pemeliharaan ADP yang berada di bawah penguasaannya. |
(2) | Biaya pemeliharaan ADP dibebankan pada anggaran Otorita Ibu Kota Nusantara. |
(3) | Dalam hal ADP dilakukan Pengalokasian dan/atau Pemanfaatan kepada pihak lain, biaya pemeliharaan menjadi tanggung jawab sepenuhnya dari Pemegang ADP atau Mitra ADP. |
(1) | ADP tidak dapat dihapuskan, kecuali:
|
(2) | Penghapusan ADP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan persetujuan Pengelola ADP atas permohonan dari Pengguna ADP. |
(1) | Pengguna ADP melakukan penatausahaan ADP. |
(2) | Penatausahaan ADP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
(3) | Pengguna/Kuasa Pengguna ADP menyusun daftar ADP yang berada dalam pengelolaannya. |
(4) | Pengguna ADP melakukan inventarisasi atas ADP paling sedikit 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun. |
(5) | Pengguna ADP menyusun laporan ADP sebagai bahan penyusunan laporan keuangan Otorita Ibu Kota Nusantara. |
(6) | Pengguna ADP menyampaikan laporan ADP yang telah disusun kepada Pengelola ADP sebagai bahan penyusunan laporan keuangan Pemerintah Pusat. |
(7) | Penyajian ADP dalam laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) mengikuti standar akuntansi pemerintahan. |
(1) | Pengguna ADP melakukan pemantauan dan penertiban terhadap pengelolaan ADP. |
(2) | Pengguna ADP dapat meminta aparat pengawasan intern Pemerintah untuk melakukan audit tindak lanjut hasil pemantauan dan penertiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
(3) | Pengguna ADP menindaklanjuti hasil audit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Pengelola ADP melakukan pemantauan dan investigasi atas Pengelolaan ADP yang dilakukan oleh Pengguna ADP, dalam rangka penertiban Pengelolaan ADP sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(2) | Pemantauan dan investigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditindaklanjuti oleh Pengelola ADP dengan meminta aparat pengawasan intern Pemerintah untuk melakukan audit atas pelaksanaan Pengelolaan ADP. |
(3) | Hasil audit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Pengelola ADP untuk ditindaklanjuti sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Setiap kerugian negara/daerah akibat kelalaian, penyalahgunaan, atau pelanggaran hukum atas Pengelolaan ADP diselesaikan melalui tuntutan ganti rugi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(2) | Setiap pihak yang mengakibatkan kerugian negara/daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikenakan sanksi administratif dan/atau sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Pengguna ADP dapat memungut kontribusi atas:
|
a. | Perencanaan ADP; |
b. | pengalokasian lahan ADP; |
c. | Penggunaan ADP; |
d. | Pemanfaatan ADP; dan |
e. | pengamanan dan pemeliharaan ADP, |
a. | Penghapusan ADP; |
b. | Penatausahaan ADP; dan |
c. | pengawasan dan pengendalian ADP, |
(1) | Otorita Ibu Kota Nusantara mulai beroperasi paling lambat pada akhir tahun 2022. |
(2) | Kementerian/Lembaga melaksanakan kegiatan persiapan dan/atau pembangunan Ibu Kota Nusantara sesuai tugas dan fungsinya masing-masing dengan berpedoman pada Rencana Induk Ibu Kota Nusantara, sampai dengan dimulainya operasional Otorita Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
(3) | Dimulai pada tahun 2023, kegiatan persiapan dan/atau pembangunan Ibu Kota Nusantara yang sebelumnya dilaksanakan oleh Kementerian/Lembaga dapat dialihkan kepada Otorita Ibu Kota Nusantara atau tetap dapat dilanjutkan oleh Kementerian/Lembaga tersebut. |
(4) | Dalam hal terdapat pengalihan sebagaimana dimaksud pada ayat (3):
|
(1) | Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Timur, Pemerintah Daerah Kabupaten Kutai Kartanegara, dan Pemerintah Daerah Kabupaten Penajam Paser Utara, tetap melaksanakan urusan pemerintahan daerah di wilayah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali kewenangan dan perizinan terkait kegiatan persiapan, pembangunan, dan pemindahan Ibu Kota Negara, sampai dengan tanggal ditetapkannya pemindahan Ibu Kota Negara dari Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta ke Ibu Kota Nusantara dengan Keputusan Presiden. |
(2) | Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Timur, Pemerintah Daerah Kabupaten Kutai Kartanegara, dan Pemerintah Daerah Kabupaten Penajam Paser Utara, tetap melakukan pemungutan pajak dan retribusi daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan sampai dengan penetapan pemindahan Ibu Kota Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
(3) | Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Timur, Pemerintah Daerah Kabupaten Kutai Kartanegara, dan Pemerintah Daerah Kabupaten Penajam Paser Utara, tetap memperoleh alokasi transfer ke daerah sampai dengan penetapan pemindahan Ibu Kota Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(4) | Setelah penetapan pemindahan Ibu Kota Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan penyesuaian terhadap alokasi transfer ke daerah Provinsi Kalimantan Timur, Kabupaten Kutai Kartanegara, dan Kabupaten Penajam Paser Utara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Terhadap pelaksanaan pendanaan, pengelolaan anggaran Otorita Ibu Kota Nusantara, dan tata kelola BMN, dilakukan pengawasan dan evaluasi. |
(2) | Pengawasan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pemantauan, evaluasi, dan pengendalian. |
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengawasan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Menteri dan Peraturan Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara sesuai kewenangannya. |
(1) | Pendanaan dan pengelolaan anggaran untuk persiapan, pembangunan, dan pemindahan Ibu Kota Negara, serta penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara secara mandiri dapat dilakukan oleh lembaga/badan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(2) | Pembangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada tanah yang berstatus BMN dan ADP. |
(3) | Bangunan yang didirikan di atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan sarana prasarana yang terkait dengan bangunan tersebut, dicatat sebagai barang milik lembaga/badan negara yang bersangkutan. |
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 18 April 2022 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. JOKO WIDODO |
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara mengatur mengenai Ibu Kota Negara bernama Nusantara yang memiliki visi sebagai kota dunia untuk semua yang dibangun dan dikelola dengan tujuan untuk menjadi kota berkelanjutan di dunia, penggerak ekonomi Indonesia di masa depan, dan simbol identitas nasional yang merepresentasikan keberagaman bangsa Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara dibentuk Ibu Kota Nusantara sebagai Ibu Kota Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Otorita Ibu Kota Nusantara sebagai lembaga setingkat Kementerian yang menyelenggarakan Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara. Otorita Ibu Kota Nusantara berkedudukan sebagai pengguna anggaran/pengguna barang yang mengelola pendapatan dan belanja Ibu Kota Nusantara.
Skema pendanaan Ibu Kota Nusantara dapat bersumber dari APBN dan sumber lain yang sah antara lain berupa pemanfaatan BMN dan/atau pemanfaatan ADP, penggunaan skema Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha, dan keikutsertaan pihak lain termasuk penugasan badan usaha yang sebagian atau seluruh modalnya dimiliki oleh negara, penguatan peran badan hukum milik negara, dan pembiayaan kreatif (creative financing).
Selain itu skema pendanaan juga dapat berasal dari sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan antara lain berupa skema pendanaan yang berasal dari kontribusi swasta, pembiayaan kreatif (creative financing), dan Pajak Khusus IKN dan/atau Pungutan Khusus IKN yang ditetapkan dengan Peraturan Otorita Ibu Kota Nusantara setelah mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
Untuk mendukung pelaksanaan persiapan, pembangunan, dan pemindahan Ibu Kota Negara, serta penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara diperlukan pendanaan dengan memperhatikan kesinambungan fiskal. Pendanaan tersebut bersumber dari APBN dan/atau sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pengalokasian anggaran tersebut dilakukan dengan berpedoman pada Rencana Induk Ibu Kota Nusantara dan Perincian Rencana Induk Ibu Kota Nusantara dan/atau Rencana Pembangunan Jangka Menengah dan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai APBN dan/atau sumber lain yang sah.
Penatausahaan skema pendanaan yang berasal dari APBN dan/atau sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dilakukan dengan memperhatikan tata kelola yang baik (good corporate governance).
Berdasarkan pertimbangan di atas dan untuk melaksanakan beberapa amanat dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara, perlu ditetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pendanaan dan Pengelolaan Anggaran dalam rangka Persiapan, Pembangunan, dan Pemindahan Ibu Kota Negara serta Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara.
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Huruf a
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Penggunaan skema Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha berdasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur.
Angka 3
Huruf a)
Yang dimaksud dengan “badan usaha yang sebagian atau seluruh modalnya dimiliki oleh negara” antara lain badan usaha milik negara.
Huruf b)
Cukup jelas.
Huruf c)
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Pemberian dukungan untuk pembiayaan kreatif (creative financing) dilakukan secara selektif dengan memperhatikan antara lain kesinambungan fiskal.
Ayat (9)
Pemberian dukungan dilakukan antara lain dengan memperhatikan kesehatan keuangan badan usaha yang sebagian atau seluruh modalnya dimiliki oleh negara termasuk badan usaha milik negara.
Ayat (10)
Cukup jelas.
Ayat (11)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Otorita Ibu Kota Nusantara bertindak sebagai pihak terjamin dalam hal badan usaha yang sebagian atau seluruh modalnya dimiliki oleh negara termasuk badan usaha milik negara melakukan kerja sama dengan Otorita Ibu Kota Nusantara.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (12)
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “ketentuan peraturan perundang-undangan” termasuk ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan pemerintahan daerah yang berlaku secara mutatis mutandis antara lain persetujuan nilai bersih maksimal pembiayaan utang Otorita Ibu Kota Nusantara oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia pada saat pembahasan APBN.
Pasal 6
Huruf a
Yang dimaksud dengan “memperhatikan kesinambungan fiskal” antara lain adalah memperhatikan kemampuan keuangan negara.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “ketentuan peraturan perundang-undangan terkait” antara lain ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai APBN.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "penerimaan negara bukan pajak” adalah pungutan yang dibayar oleh orang pribadi atau badan dengan memperoleh manfaat langsung maupun tidak langsung atas layanan atau pemanfaatan sumber daya dan hak yang diperoleh negara, berdasarkan peraturan perundang-undangan, yang menjadi penerimaan Pemerintah Pusat di luar penerimaan perpajakan dan hibah dan dikelola dalam mekanisme APBN, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Ayat (10)
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “proyek/kegiatan baru” adalah permintaan tambahan proyek/kegiatan yang belum mendapatkan alokasi dalam APBN di tahun anggaran berjalan. Arahan Presiden tersebut dalam hal untuk persiapan, pembangunan, dan pemindahan Ibu Kota Negara, serta penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara adalah sepanjang sesuai dengan Rencana Induk Ibu Kota Nusantara. Ketentuan ini berlaku mutatis mutandis untuk sumber dana yang lain.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "pendanaan daerah" adalah pendanaan yang dilakukan oleh pemerintah daerah selain Ibu Kota Nusantara.
Yang dimaksud dengan "sumber dana lainnya” adalah seluruh sumber pendanaan yang dimungkinkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ayat (2)
Penerusan SBSN dapat dilakukan secara langsung oleh Pemerintah kepada pemerintah daerah melalui pinjaman daerah atau melalui pemberian pinjaman kepada badan usaha milik negara, atau melalui investasi Pemerintah yang dilakukan melalui badan usaha milik negara yang ditunjuk oleh Menteri sebagai operator investasi Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Penerusan SBSN kepada badan usaha milik negara termasuk kepada badan usaha milik negara yang pembinaannya dilakukan oleh Kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Ketentuan dalam ayat ini diperlukan sejalan dengan Pasal 36 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara yang mengatur terhitung sejak tahun 2023, kegiatan persiapan dan/atau pembangunan Ibu Kota Negara dapat dialihkan kepada Otorita Ibu Kota Nusantara atau tetap dilanjutkan oleh Kementerian dan/atau Lembaga.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Nilai wajar konstruksi Penyediaan Infrastruktur oleh Badan Usaha Pelaksana kepada PJPK merupakan transaksi pertukaran atas biaya konstruksi yang dikeluarkan oleh Badan Usaha Pelaksana dan biaya-biaya keuangan lainnya yang dapat dikapitalisasi selama masa konstruksi. Nilai wajar ini tercermin dari jenis kompensasi yang dipertukarkan antara PJPK dan Badan Usaha Pelaksana.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 28
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “aset” adalah aset dari Penyediaan Infrastruktur oleh Badan Usaha Pelaksana dan jika ada BMN yang digunakan sebelumnya dalam penyediaan Infrastruktur.
Pasal 29
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Bentuk lainnya dilaksanakan sesuai dengan tujuan dan prinsip-prinsip KPBU IKN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan Pasal 14 Peraturan Pemerintah ini.
Pengembalian investasi melalui skema bentuk lainnya dapat dilakukan dalam jangka panjang.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Studi kelayakan dan dokumen pendukung yang diserahkan oleh Badan Usaha pemrakarsa kepada P JPK sudah menjadi kewenangan PJPK.
Dalam hal PJPK akan melakukan perubahan termasuk penambahan terhadap studi kelayakan dan/atau dokumen pendukung, tidak diperlukan persetujuan dari Badan Usaha pemrakarsa.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Penyediaan pembiayaan infrastruktur dalam ketentuan ini termasuk skema lainnya selain Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha atau KPBU IKN.
Pasal 42
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia” adalah mendapat persetujuan dari alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang ditunjuk dan/atau diberi kewenangan untuk itu.
Pasal 43
Huruf a
Yang dimaksud dengan “Pajak Kendaraan Bermotor” adalah pajak atas kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Yang dimaksud dengan “Kendaraan Bermotor” adalah semua kendaraan beroda beserta gandengannya yang digunakan di semua jenis jalan darat atau kendaraan yang dioperasikan di air yang digerakkan oleh peralatan teknik berupa motor atau peralatan lainnya yang berfungsi untuk mengubah suatu sumber daya energi tertentu menjadi tenaga gerak kendaraan bermotor yang bersangkutan.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor” adalah pajak atas penyerahan hak milik kendaraan bermotor sebagai akibat perjanjian dua pihak atau perbuatan sepihak atau keadaan yang terjadi karena jual beli, tukar menukar, hibah, warisan, atau pemasukan ke dalam badan usaha sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “Pajak Alat Berat” adalah pajak atas kepemilikan dan/atau penguasaan alat berat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Yang dimaksud dengan “Alat Berat” adalah alat yang diciptakan untuk membantu pekerjaan konstruksi dan pekerjaan teknik sipil lainnya yang sifatnya berat apabila dikerjakan oleh tenaga manusia, beroperasi menggunakan motor dengan atau tanpa roda, tidak melekat secara permanen serta beroperasi pada area tertentu, termasuk tetapi tidak terbatas pada area konstruksi, perkebunan, kehutanan, dan pertambangan.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor” adalah pajak atas penggunaan bahan bakar Kendaraan Bermotor dan Alat Berat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Yang dimaksud dengan “Bahan Bakar Kendaraan Bermotor” adalah semua jenis bahan bakar cair atau gas yang digunakan untuk Kendaraan Bermotor dan Alat Berat..
Huruf e
Yang dimaksud dengan “Pajak Air Permukaan” adalah pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air permukaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Yang dimaksud dengan “Air Permukaan” adalah semua air yang terdapat pada permukaan tanah.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “Pajak Rokok” adalah pungutan atas cukai rokok yang dipungut oleh Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Huruf g
Yang dimaksud dengan “Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan” adalah pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Yang dimaksud dengan “Bumi” adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman.
Yang dimaksud dengan “Bangunan” adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap di atas permukaan Bumi dan di bawah permukaan Bumi.
Huruf h
Yang dimaksud dengan “Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan” adalah pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau Bangunan sesuai peraturan perundang-undangan
Yang dimaksud dengan “Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan” adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau Bangunan oleh orang pribadi atau Badan.
Yang dimaksud dengan “Hak atas Tanah dan/atau Bangunan” adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta Bangunan di atasnya, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang di bidang pertanahan dan Bangunan.
Huruf i
Yang dimaksud dengan “Pajak Barang dan Jasa Tertentu” adalah pajak yang dibayarkan oleh konsumen akhir atas konsumsi barang dan/atau jasa tertentu.
Yang dimaksud dengan “Barang dan Jasa Tertentu” adalah barang dan jasa tertentu yang dijual dan/atau diserahkan kepada konsumen akhir.
Angka 1
Yang dimaksud dengan “Makanan dan/atau Minuman” adalah makanan dan/atau minuman yang disediakan, dijual dan/atau diserahkan, baik secara langsung maupun tidak langsung, atau melalui pesanan oleh restoran.
Restoran adalah fasilitas penyediaan layanan Makanan dan/atau Minuman dengan dipungut bayaran.
Angka 2
Yang dimaksud dengan “Tenaga Listrik” adalah tenaga atau energi yang dihasilkan oleh suatu pembangkit tenaga listrik yang didistribusikan untuk bermacam peralatan listrik.
Angka 3
Yang dimaksud dengan “Jasa Perhotelan” adalah jasa penyediaan akomodasi yang dapat dilengkapi dengan jasa pelayanan makan dan minum, kegiatan hiburan, dan/atau fasilitas lainnya.
Angka 4
Yang dimaksud dengan “Jasa Parkir” adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir di luar badan jalan dan/atau pelayanan memarkirkan kendaraan untuk ditempatkan di area parkir, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan Kendaraan Bermotor.
Angka 5
Yang dimaksud dengan “Jasa Kesenian dan Hiburan” adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan semua jenis tontonan, pertunjukan, permainan, ketangkasan, rekreasi, dan/atau keramaian untuk dinikmati.
Huruf j
Yang dimaksud dengan “Pajak Reklame” adalah pajak atas penyelenggaraan reklame sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Yang dimaksud dengan “Reklame” adalah benda, alat, perbuatan, atau media yang bentuk dan corak ragamnya dirancang untuk tujuan komersial memperkenalkan, menganjurkan, mempromosikan, atau menarik perhatian umum terhadap sesuatu.
Huruf k
Yang dimaksud dengan “Pajak Air Tanah” adalah pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Yang dimaksud dengan “Air Tanah” adalah air yang terdapat dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan tanah.
Huruf l
Yang dimaksud dengan "Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan” adalah pajak atas kegiatan pengambilan mineral bukan logam dan batuan dari sumber alam di dalam dan/atau permukaan bumi untuk dimanfaatkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Yang dimaksud dengan “Mineral Bukan Logam dan Batuan” adalah mineral bukan logam dan batuan sebagaimana dimaksud di dalam peraturan perundang-undangan di bidang mineral dan batubara.
Huruf m
Yang dimaksud dengan “Pajak Sarang Burung Walet” adalah pajak atas kegiatan pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Yang dimaksud dengan “Burung Walet” adalah satwa yang termasuk marga collocalia, yaitu collocalia fuchliap haga, collocalia maxina, collocalia esculanta, dan collocalia linchi.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Huruf a
Yang dimaksud dengan “kegiatan pengambilan mineral bukan logam dan batuan” meliputi asbes, batu tulis, batu setengah permata, batu kapur, batu apung, batu permata, bentonit, dolomit, feldspar; garam batu (halite), grafit, granit/andesit, gips, kalsit, kaolin, leusit, magnesit, mika, marmer, nitrat, obsidian, oker, pasir dan kerikil, pasir kuarsa, perlit, fosfat, talk, tanah serap (fullers earth), tanah diatom, tanah liat, tawas (alum), tras, yarosit, zeolit, basal, trakhit, belerang, mineral ikutan dalam suatu pertambangan mineral, dan mineral bukan logam dan batuan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Ayat (1)
Mekanisme reviu oleh Menteri dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri sejalan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan pemerintahan daerah yang diberlakukan secara mutatis mutandis.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Yang dimaksud dengan "potensinya kurang memadai" adalah potensi penerimaan dari suatu jenis Pajak yang nilainya terlalu kecil sehingga biaya operasional pemungutannya lebih besar dibandingkan dengan hasil pungutannya.
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 58
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan "pelayanan umum" adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Otorita Ibu Kota Nusantara untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Badan.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “penyediaan/pelayanan barang dan/atau jasa” adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Otorita Ibu Kota Nusantara yang dapat bersifat mencari keuntungan karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “perizinan tertentu” adalah kegiatan tertentu Otorita Ibu Kota Nusantara dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau Badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan ruang, serta penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Materi pengaturan dalam Peraturan Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara memperhatikan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pajak daerah dan retribusi daerah.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Ayat (1)
Huruf a
Penerimaan hibah meliputi penerimaan hibah yang berasal dari dalam negeri dan/atau luar negeri.
Hibah dalam ketentuan ini merupakan hibah sebagaimana dimaksud pada peraturan mengenai tata cara pengadaan pinjaman luar negeri dan penerimaan hibah.
Huruf b
Pengadaan pinjaman meliputi pengadaan pinjaman yang berasal dari luar negeri dan/atau dalam negeri.
Pinjaman dalam ketentuan ini merupakan pinjaman sebagaimana dimaksud pada peraturan mengenai tata cara pengadaan pinjaman luar negeri dan penerimaan hibah serta tata cara pengadaan dan penerusan pinjaman dalam negeri oleh Pemerintah.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan” adalah peraturan mengenai tata cara pengadaan pinjaman luar negeri dan penerimaan hibah serta tata cara pengadaan dan penerusan pinjaman dalam negeri oleh Pemerintah.
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
Cukup jelas.
Pasal 71
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Keterlibatan aparat pengawas internal antara lain dilakukan untuk melakukan reviu rencana kerja dan anggaran Ibu Kota Nusantara dalam rangka meningkatkan kualitas rencana kerja dan anggaran Ibu Kota Nusantara.
Pasal 72
Pasal 73
Pasal 74
Pasal 75
Pasal 76
Pasal 77
Pasal 78
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Pelimpahan kewenangan dimaksud ditetapkan sekaligus dalam penunjukan KPA
Pasal 79
Pasal 80
Pasal 81
Pasal 82
Ayat (1)
Cukup jelas.
Pasal 83
Pasal 84
Pasal 85
Ayat (1)
Cukup jelas.
Pasal 86
Pasal 87
Pasal 88
Pasal 89
Pasal 90
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Huruf e
Pasal 91
Pasal 92
Yang dimaksud dengan "hibah yang direncanakan, adalah hibah yang dilaksanakan melalui mekanisme perencanaan
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 93
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Dalam pelaksanaan pencairan dana penerimaan negara bukan pajak yang telah dihitung melalui Formula Maksimum Pencairan (MP) dimungkinkan terjadi sisa/saldo dana penerimaan negara bukan pajak yang belum sempat dicairkan karena tahun anggaran bersangkutan telah berakhir dan sudah memasuki tahun anggaran berikutnya. Sisa/ saldo tersebut tetap dapat dicairkan namun menunggu daftar isian pelaksanaan anggaran tahun anggaran berikutnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 94
Pasal 95
Pasal 96
Pasal 97
Pasal 98
Pasal 99
Pasal 100
Pasal 101
Pasal 102
Pasal 103
Pasal 104
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Pasal 105
Pasal 106
Pasal 107
Pasal 108
Pasal 109
Pasal 110
Pasal 111
Pasal 112
Pasal 113
Pasal 114
Pasal 115
Pasal 116
Pasal 117
Pasal 118
Pasal 119
Pasal 120
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 121
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "nilai limit" adalah harga minimal barang yang akan dilelang.
Pasal 122
Pasal 123
Pasal 124
Pasal 125
Yang dimaksud dengan "rumah negara" adalah BMN yang diperuntukkan sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan serta menunjang pelaksanaan tugas pejabat negara dan/atau aparatur sipil negara.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Pasal 126
Pasal 127
Pasal 128
Pasal 129
Ayat (1)
Pengalihan BMD kepada pemerintah pusat dilakukan oleh Pemerintah Daerah kepada Otorita lbu Kota Nusantara dan/atau Kementerian/lembaga selaku pengguna Anggaran/pengguna Barang.
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 131
Pasal 132
Pasal 133
Ayat (1)
Ayat (2)
Ayat (3)
Ayat (4)
Ayat (5)
Ayat (6)
Ayat (7)
Ayat (8)
Ayat (9)
Pasal 134
Pasal 135
Pasal 136
Pasal 137
Pasal 138
Pasal 139
Pasal 140
Pasal 141
Pasal 142
Pasal 143
Pasal 144
Pasal 145
Pasal 146
Pasal 147
Pasal 148
Pasal 149
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Huruf b
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 150
Pasal 151
Pasal 152
Pasal 153
Pasal 154
Pasal 155
Pasal 156
Pasal 157
Pasal 158
Pasal 159
Pasal 160
Pasal 161
Pasal 162
Pasal 163
Pasal 164
Pasal 165
Pasal 166
Pasal 167
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Pihak mana pun dilarang untuk melakukan pemblokiran dan/atau penyitaan terhadap ADP dan/atau hak pengelolaan tanah atas ADP, baik secara parsial maupun keseluruhan.
Pasal 168
Pasal 169
Pasal 170
Pasal 171
Pasal 172
Pasal 173
Pasal 174
Pasal 175
Pasal 176
Pasal 177
Pasal 178
Pasal 179
Pasal 180
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "kegiatan persiapan dan/ atau pembangunan Ibu Kota Negara yang sebelumnya dilaksanakan oleh Kementerian/Lembaga" adalah kegiatan persiapan dan/ atau pembangunan Ibu Kota Negara yang sebelum tahun 2023 telah dilaksanakan oleh Kementerian/Lembaga dengan bekerja sama dengan pihak lain berdasarkan perjanjian tahun jamak.
Kegiatan tersebut dapat tetap dilanjutkan oleh Kementerian/Lembaga yang bersangkutan setelah tahun 2023 dengan pertimbangan antara lain agar terjadi kesinambungan pelaksanaan kegiatan dimaksud untuk mendukung pencapaian target yang ditetapkan.
Ayat (4)
Huruf a
Ketentuan yang diatur antara lain mengenai pencatatan komitmen/perjanjian/kontrak, penyelesaian tagihan, revisi anggaran, pengalihan aset (BMN/konstruksi yang timbul dari perjanjian) dan kewajibannya, serta pelaporan keuangan.
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 181
Pasal 182
Pasal 183
Pasal 184
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Materi muatan yang diatur dalam Peraturan Menteri antara lain ketentuan mengenai tata cara pengawasan oleh aparat pengawasan intern Pemerintah yang merupakan organ dari Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara.
Materi muatan yang diatur dalam Peraturan Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara antara lain ketentuan mengenai tata cara pengawasan oleh aparat pengawasan intern Pemerintah yang merupakan organ dari Otorita Ibu Kota Nusantara.
Pasal 185
Pasal 186
Ayat (1)
perencanaan, pelaksanaan, penghapusan, dan pertanggungjawaban sesuai kebijakan akuntansi, pengadaan barang dan jasa, dan/atau pengelolaan aset terkait.
Yang termasuk lembaga/badan antara lain Bank Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 187
Pasal 188
a. | fasilitas perpajakan yang diberikan oleh Pemerintah Pusat berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dalam rangka persiapan, pembangunan, pemindahan Ibu Kota Negara, serta pengembangan Ibu Kota Nusantara dan/atau daerah mitra antara lain:
|
||||
b. | insentif atau fasilitas Pajak Khusus IKN yang mendasarkan pada peraturan perundang-undangan mengenai pajak daerah dan retribusi daerah khususnya dalam rangka Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara. |
Pasal 189
Pasal 190
Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.