Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.
(1) | Pemanfaatan Rumah Susun dilaksanakan sesuai dengan fungsi hunian atau fungsi campuran. |
(2) | Fungsi campuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan campuran antara fungsi hunian dan bukan hunian. |
(3) | Fungsi campuran dapat dikembangkan dalam satu bangunan Rumah Susun atau berbeda bangunan Rumah Susun dalam satu Tanah Bersama. |
(1) | Setiap Orang yang menempati, menghuni, atau memiliki Sarusun wajib memanfaatkan Sarusun sesuai dengan fungsinya. |
(2) | Pemanfaatan Rumah Susun dapat berubah dari fungsi hunian ke fungsi campuran karena perubahan rencana tata ruang wilayah. |
(3) | Perubahan fungsi yang diakibatkan oleh perubahan rencana tata ruang wilayah menjadi dasar mengganti sejumlah Rumah Susun dan/atau memukimkan kembali Pemilik yang dialihfungsikan. |
(4) | Pihak yang melakukan perubahan fungsi Rumah Susun sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib menjamin hak kepemilikan Sarusun. |
(5) | Perubahan fungsi Rumah Susun karena perubahan rencana tata ruang wilayah wajib mendapatkan PBG dari bupati/wali kota, khusus untuk Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta mendapatkan izin gubernur. |
(1) | Pelaku Pembangunan Rumah Susun Komersial wajib menyediakan Rumah Susun Umum dengan luas paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari total luas lantai Rumah Susun Komersial yang dibangun. |
(2) | Rumah Susun Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berada dalam satu kawasan atau tidak dalam satu kawasan. |
(3) | Rumah Susun Umum yang berada dalam satu kawasan dengan Rumah Susun Komersial dapat berupa:
|
(4) | Rumah Susun Umum yang lokasinya tidak berada dalam satu kawasan dengan Rumah Susun Komersial harus dalam satu kabupaten/kota, atau provinsi untuk Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. |
(1) | Pelaku Pembangunan dalam melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), membuat surat pernyataan kesanggupan untuk melaksanakan pembangunan Rumah Susun Umum. |
(2) | Surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan bersamaan dengan permohonan PBG. |
(3) | Kewajiban melaksanakan pembangunan Rumah Susun Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dapat dikonversi dalam bentuk dana untuk Pembangunan Rumah Susun Umum. |
(4) | Dalam hal pelaksanaan pembangunan Rumah Susun Umum dikonversi dalam bentuk dana sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pelaku Pembangunan wajib mengajukan perhitungan konversi kepada badan percepatan penyelenggaraan perumahan. |
(5) | Dana hasil konversi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib diserahkan kepada badan percepatan penyelenggaraan perumahan. |
(6) | Perhitungan konversi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan dana kelola atau hibah yang dihitung berdasarkan rumus perhitungan konversi. |
(7) | Dalam hal Pelaku Pembangunan tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Dana hasil konversi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (5) dikelola oleh badan percepatan penyelenggaraan perumahan. |
(2) | Dana hasil konversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebelum diterbitkannya PBG. |
(3) | Kewajiban penyerahan dana hasil konversi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lambat dilakukan sejak PBG diterbitkan sampai dengan diterbitkannya sertifikat laik fungsi. |
(4) | Pengembalian Dana Konversi berbentuk dana kelola dilaksanakan paling lama 5 (lima) tahun sejak pemenuhan kewajiban diberikan kepada badan percepatan penyelenggaraan perumahan. |
(5) | Pengelolaan dana hasil konversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimanfaatkan untuk pembangunan Rumah Susun Umum pada kabupaten/kota yang sama, khusus untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta pada provinsi yang sama. |
(1) | Perhitungan Dana Konversi sebagai kewajiban Pelaku Pembangunan untuk membangun 20% (dua puluh persen) Rumah Susun Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dilakukan dengan mempertimbangkan:
|
(2) | Penghitungan Dana Konversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan rumus perhitungan konversi yang ditetapkan oleh Menteri. |
(3) | Besaran jumlah faktor pengali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dan dana imbal jasa pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e ditetapkan oleh Menteri. |
(4) | Penetapan jumlah besaran hasil perhitungan Dana Konversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh badan percepatan penyelenggaraan perumahan. |
(1) | Pemerintah Daerah kabupaten/kota menetapkan zonasi dan lokasi pembangunan Rumah Susun Umum sesuai dengan ketentuan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota, khusus untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta ditetapkan oleh Pemerintah Daerah provinsi. |
(2) | Penetapan zonasi dan lokasi pembangunan Rumah Susun Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki akses terhadap sistem transportasi publik dan dukungan pelayanan utilitas umum. |
(3) | Penetapan zonasi dan lokasi pembangunan Rumah Susun Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh bupati/wali kota, khusus untuk Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta oleh gubernur. |
(1) | Pembangunan Rumah Susun Umum yang menjadi kewajiban Pelaku Pembangunan Rumah Susun Komersial dapat dikerjasamakan dengan Pelaku Pembangunan lain tanpa mengalihkan tanggung jawab Pelaku Pembangunan Rumah Susun Komersial. |
(2) | Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan perjanjian kerja sama dengan akta otentik. |
(3) | Perjanjian kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dilampirkan pada saat Pelaku Pembangunan Rumah Susun Komersial mengajukan permohonan PBG kepada Pemerintah Daerah. |
(1) | Pembangunan Rumah Susun Umum dan Rumah Susun Komersial yang direncanakan dalam satu kesatuan sistem pembangunan pada satu bidang tanah dapat dilaksanakan secara bertahap. |
(2) | Pembangunan secara bertahap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dari mulai perencanaan sampai pada penyelesaian pembangunan Rumah Susun wajib dilaksanakan paling lama 3 (tiga) tahun. |
(1) | Pembangunan Rumah Susun Umum dan Rumah Susun Komersial dapat dibangun di atas tanah:
|
(2) | Pembangunan Rumah Susun Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya. |
(3) | Rumah Susun Umum yang dibangun dengan menggunakan dana anggaran pendapatan dan belanja negara/daerah merupakan barang milik negara/daerah. |
(4) | Dalam hal pembangunan Rumah Susun Umum dilakukan oleh Pelaku Pembangunan selain Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah di atas tanah hak pengelolaan atau tanah hak pakai berdasarkan kerja sama pemanfaatan. |
(5) | Dalam hal pembangunan Rumah Susun Umum atau Rumah Susun Komersial dibangun di atas tanah hak guna bangunan atau hak pakai di atas hak pengelolaan, Pelaku Pembangunan wajib menyelesaikan status hak guna bangunan atau hak pakai di atas hak pengelolaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan sebelum menjual Sarusun. |
(1) | Pelaku Pembangunan harus membangun Rumah Susun dan lingkungannya sesuai dengan izin rencana fungsi dan pemanfaatannya. |
(2) | Izin rencana fungsi dan pemanfaatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan Pertelaan. |
(3) | Izin rencana fungsi dan pemanfaatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi bagian dalam proses PBG yang diterbitkan bupati/wali kota, khusus untuk Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta harus mendapatkan izin gubernur. |
(1) | Pengubahan rencana fungsi dan pemanfaatan dapat mengakibatkan pengubahan NPP. |
(2) | Dalam hal terjadi pengubahan rencana fungsi dan pemanfaatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada saat proses pembangunan atau telah terbangun Rumah Susun, harus dilakukan permohonan kembali PBG. |
(1) | Pelaku Pembangunan dalam membangun Rumah Susun harus mengikuti standar pembangunan Rumah Susun. |
(2) | Standar pembangunan Rumah Susun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
(3) | Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a meliputi:
|
(4) | Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b meliputi:
|
(5) | Persyaratan ekologis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c mencakup keserasian dan keseimbangan fungsi lingkungan. |
(6) | Pelaksanaan standar pembangunan Rumah Susun dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Pendayagunaan tanah wakaf dalam rangka pembangunan Rumah Susun Umum dilakukan sesuai rencana tata ruang wilayah. |
(2) | Pendayagunaan tanah wakaf dilakukan oleh Nazhir dengan melakukan pengelolaan dan pengembangan tanah wakaf secara produktif sesuai dengan tujuan, fungsi, dan peruntukannya, dengan persetujuan Badan Wakaf Indonesia. |
(3) | Pendayagunaan tanah wakaf dengan cara sewa atau kerja sama pemanfaatan dilakukan sesuai dengan ikrar wakaf. |
(4) | Pelaksanaan sewa atau kerja sama pemanfaatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan sesuai dengan prinsip syariah dan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(5) | Pelaksanaan pendayagunaan tanah wakaf dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Pendayagunaan tanah wakaf dengan cara sewa atau kerja sama pemanfaatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3) dilakukan dengan perjanjian tertulis di hadapan pejabat yang berwenang. |
(2) | Perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melibatkan Badan Wakaf Indonesia dan disampaikan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama. |
(3) | Perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:
|
(4) | Perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki sistematika yang meliputi:
|
(5) | Penetapan tarif sewa atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf g dilakukan oleh pemerintah untuk menjamin keterjangkauan harga jual Sarusun umum bagi MBR. |
(6) | Perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dicatat dalam sertifikat dan buku tanah wakaf pada kantor pertanahan. |
(1) | Pelaku Pembangunan yang membangun Rumah Susun Umum milik dan Rumah Susun Komersial milik wajib memisahkan Rumah Susun atas Sarusun, Benda Bersama, Bagian Bersama, dan Tanah Bersama. |
(2) | Pemisahan Rumah Susun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk memberikan kejelasan atas:
|
(1) | Pelaku Pembangunan yang membangun Rumah Susun Umum milik di atas barang milik negara/daerah berupa tanah atau tanah wakaf dengan cara sewa, wajib memisahkan Rumah Susun atas Sarusun, Bagian Bersama, dan Benda Bersama. |
(2) | Pemisahan Rumah Susun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk memberikan kejelasan atas:
|
(1) | Pelaku Pembangunan membuat pemisahan Rumah Susun yang wajib dituangkan dalam bentuk gambar dan uraian menjadi dasar untuk menetapkan NPP, SHM Sarusun atau SKBG Sarusun, dan perjanjian pengikatan jual beli. |
(2) | Gambar dan uraian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Pertelaan yang dibuat sebelum pelaksanaan pembangunan Rumah Susun dan wajib diserahkan kepada Pemerintah Daerah. |
(3) | Pertelaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disahkan oleh bupati/wali kota atau gubernur untuk Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. |
(4) | Permohonan pengesahan Pertelaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan setelah Rumah Susun selesai dibangun. |
(5) | Dalam hal terjadi perubahan fisik, fungsi ruang, dan fungsi bangunan pada saat pelaksanaan pembangunan Rumah Susun yang mengakibatkan perubahan PBG dan perubahan atas besaran Sarusun, Benda Bersama, Bagian Bersama, dan Tanah Bersama, harus dilakukan pengesahan perubahan Pertelaan. |
(6) | Perubahan Pertelaan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan pengesahan kembali oleh bupati/wali kota atau gubernur untuk Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. |
(7) | Pertelaan atau perubahan Pertelaan dituangkan dalam bentuk akta pemisahan yang disahkan oleh bupati/wali kota atau gubernur untuk Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta setelah diterbitkan sertifikat laik fungsi. |
(1) | Rencana pembangunan Rumah Susun dalam 1 (satu) kawasan dapat dilakukan secara keseluruhan atau bertahap. |
(2) | Dalam hal pembangunan Rumah Susun yang dilaksanakan secara bertahap sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penerbitan sertifikat kepemilikan Sarusun dilakukan secara bertahap. |
(3) | Perhitungan NPP terhadap pembangunan Rumah Susun secara bertahap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dihitung untuk keseluruhan unit Sarusun berdasarkan dokumen rencana teknis yang sudah ditetapkan. |
(1) | Akta pemisahan menjadi tanda bukti pemisahan Rumah Susun atas Sarusun, Bagian Bersama, Benda Bersama, dan Tanah Bersama. |
(2) | Akta pemisahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat oleh Pelaku Pembangunan, yang menjadi dasar untuk menerbitkan SHM Sarusun. |
(3) | Dalam hal bukti kepemilikan berbentuk SKBG Sarusun, akta pemisahan menjadi tanda bukti pemisahan Rumah Susun atas Sarusun, Bagian Bersama, dan Benda Bersama. |
(1) | Pelaku Pembangunan wajib memiliki permohonan sertifikat laik fungsi kepada bupati/wali kota, khusus Provinsi Daerah Khusus lbukota Jakarta kepada gubernur setelah menyelesaikan seluruh atau sebagian pembangunan Rumah Susun sepanjang tidak bertentangan dengan PBG. |
(2) | Pemerintah Daerah menerbitkan sertifikat laik fungsi setelah melakukan pemeriksaan kelaikan fungsi bangunan Rumah Susun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan |
(1) | Pelaku Pembangunan wajib melengkapi lingkungan Rumah Susun dengan prasarana, sarana, dan utilitas umum. |
(2) | Prasarana, sarana, dan utilitas umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mempertimbangkan:
|
(3) | Prasarana, sarana, dan utilitas umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi standar pelayanan minimal. |
(4) | Standar pelayanan minimal prasarana, sarana, dan utilitas umum merupakan acuan dalam perencanaan program pencapaian target standar pelayanan minimal yang dilakukan secara bertahap oleh Pemerintah Daerah. |
(5) | Standar pelayanan minimal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan target standar pelayanan minimal yang meliputi:
|
(1) | Indikator kinerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (5) huruf b meliputi:
|
(2) | Cakupan ketersediaan prasarana, sarana, dan utilitas umum merupakan tingkat pelayanan secara kuantitas yang perlu disediakan. |
(3) | Cakupan layanan prasarana, sarana, dan utilitas umum merupakan lingkup layanan di lingkungan kawasan Rumah Susun. |
(1) | Penguasaan Sarusun pada Rumah Susun Khusus dapat dilakukan dengan cara:
|
(2) | Penguasaan Sarusun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan prioritas kebutuhan khusus. |
(3) | Penguasaan Sarusun hanya sah apabila mendapat persetujuan pemilik bangunan Rumah Susun. |
(4) | Tata cara pinjam pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan sewa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b untuk Sarusun pada Rumah Susun Khusus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan barang milik negara/daerah. |
(1) | Penguasaan Sarusun pada Rumah Susun Khusus dilakukan dengan perjanjian tertulis. |
(2) | Perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi:
|
(3) | Perjanjian tertulis untuk penguasaan Sarusun pada Rumah Susun Khusus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Setiap Orang yang menguasai Sarusun pada Rumah Susun Khusus mempunyai hak dan kewajiban. |
(2) | Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi:
|
(3) | Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi:
|
(1) | SHM Sarusun merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan yang terdiri atas:
|
(2) | Bentuk SHM Sarusun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Pelaku Pembangunan mengajukan permohonan penerbitan SHM Sarusun kepada instansi pemerintah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanahan. |
(2) | Permohonan penerbitan SHM Sarusun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit harus melampirkan dokumen sebagai berikut:
|
(3) | SHM Sarusun diterbitkan terlebih dahulu atas nama Pelaku Pembangunan. |
(4) | Dalam hal Sarusun telah terjual, Pelaku Pembangunan mengajukan pencatatan peralihan SHM Sarusun menjadi atas nama Pemilik kepada instansi pemerintah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanahan. |
(5) | Sertifikat hak atas tanah yang di atasnya telah terbit SHM Sarusun atas nama Pemilik disimpan di instansi pemerintah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanahan sebagai warkah. |
(1) | SHM Sarusun diterbitkan oleh instansi pemerintah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanahan. |
(2) | Peralihan dan pembebanan hak dilakukan oleh pejabat yang berwenang dan dicatat kembali pada buku SHM Sarusun yang disimpan di instansi pemerintah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanahan. |
(1) | Hak kepemilikan atas Sarusun merupakan hak milik atas Sarusun yang terpisah dengan hak bersama atas Bagian Bersama, Benda Bersama, dan Tanah Bersama. |
(2) | Hak kepemilikan atas Sarusun berlaku sejak terjadinya peralihan hak di hadapan pejabat yang berwenang. |
(3) | Dalam hal sertifikat hak atas Tanah Bersama menjadi jaminan utang, penerbitan SHM Sarusun diberikan catatan pembebanan. |
(1) | SHM Sarusun dapat dialihkan dengan cara jual beli, pewarisan, atau cara lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(2) | Peralihan SHM Sarusun dengan cara jual beli dilakukan di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah. |
(3) | Permohonan peralihan hak dengan cara jual beli ditujukan kepada instansi pemerintah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanahan paling sedikit harus melampirkan dokumen:
|
(4) | Peralihan SHM Sarusun dengan cara pewarisan paling sedikit harus melampirkan:
|
(5) | Peralihan SHM Sarusun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | SHM Sarusun dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(2) | Pembebanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah. |
(3) | Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) didaftarkan pada instansi pemerintah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanahan. |
(1) | Dalam hal hak atas Tanah Bersama yang di atasnya dibangun Rumah Susun akan berakhir jangka waktunya atau telah berakhir jangka waktunya, seluruh Pemilik melalui PPPSRS mengajukan perpanjangan atau pembaharuan hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(2) | Perpanjangan atau pembaharuan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicatat atas nama seluruh Pemilik. |
(3) | Penerbitan perpanjangan atau pembaharuan hak atas tanah dicatat pada instansi pemerintah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanahan. |
(1) | SKBG Sarusun merupakan surat tanda bukti kepemilikan atas Sarusun di atas barang milik negara/daerah berupa tanah atau tanah wakaf dengan cara sewa. |
(2) | SKBG Sarusun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan yang terdiri atas:
|
(3) | Jangka waktu berlakunya SKBG Sarusun yang berdiri di atas barang milik negara/daerah berupa tanah atau tanah wakaf tidak melebihi jangka waktu sewa atas tanah. |
(4) | Dalam hal Rumah Susun dibangun oleh mitra di atas tanah wakaf, setelah berakhirnya jangka waktu sewa atas tanah dan tidak diperpanjang, pengalihan Rumah Susun dilakukan berdasarkan perjanjian sewa atas tanah. |
(1) | Salinan buku bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) huruf a merupakan salinan buku bangunan gedung untuk Sarusun. |
(2) | Buku bangunan gedung dan salinan buku bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh instansi teknis yang membidangi urusan bangunan gedung, setelah diterbitkan sertifikat laik fungsi. |
(3) | Salinan buku bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berisi riwayat status Sarusun yang paling sedikit terdiri atas:
|
(1) | Gambar denah lantai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) huruf c merupakan penampang horizontal dari gambar terbangun (as built drawing) bangunan gedung yang menunjukkan letak Sarusun yang dimiliki terhadap Sarusun lain di lantai yang sama. |
(2) | Gambar denah lantai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan gambar potongan vertikal Rumah Susun yang menunjukkan tinggi Sarusun dan letak lantai Sarusun yang dimiliki. |
(1) | Pertelaan mengenai besarnya bagian hak atas Bagian Bersama dan Benda Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) huruf d merupakan uraian yang meliputi:
|
(2) | NPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b untuk penerbitan SKBG Sarusun menunjukkan perbandingan antara Sarusun terhadap hak atas Bagian Bersama dan Benda Bersama yang dihitung berdasarkan nilai Sarusun yang bersangkutan terhadap jumlah nilai Rumah Susun secara keseluruhan pada waktu Pelaku pembangunan pertama kali memperhitungkan biaya pembangunan secara keseluruhan untuk menentukan harga jual. |
(1) | Penerbitan pertama kali SKBG Sarusun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 huruf a dilakukan atas permohonan Pelaku Pembangunan berdasarkan akta pemisahan. |
(2) | Permohonan penerbitan pertama kali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit melampirkan dokumen sebagai berikut:
|
(3) | SKBG Sarusun diterbitkan atas nama Pelaku Pembangunan oleh instansi yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang bangunan gedung pada kabupaten/kota, atau provinsi untuk Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. |
(1) | SKBG Sarusun yang diterbitkan atas nama Pelaku Pembangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (3) dilakukan peralihan hak pada buku bangunan gedung menjadi atas nama Pemilik setelah Sarusun terjual. |
(2) | Peralihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh instansi yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang bangunan gedung pada kabupaten/kota, atau provinsi untuk Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. |
(3) | Peralihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan pembebanan hak yang dilakukan oleh pejabat yang berwenang pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum. |
(4) | Peralihan dan pembebanan hak dicatatkan kembali pada SKBG Sarusun yang disimpan oleh instansi yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang bangunan gedung pada kabupaten/kota, atau provinsi untuk Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. |
(1) | Peralihan hak SKBG Sarusun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 huruf b dapat dilakukan dengan cara jual beli, pewarisan, atau cara lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(2) | Peralihan hak SKBG Sarusun dengan cara jual beli dilakukan di hadapan notaris. |
(3) | Permohonan peralihan hak dengan cara jual beli ditujukan kepada instansi yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang bangunan gedung pada kabupaten/kota, atau provinsi untuk Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, paling sedikit harus melampirkan dokumen:
|
(4) | Peralihan hak SKBG Sarusun dengan cara pewarisan paling sedikit harus melampirkan dokumen:
|
(1) | Pembebanan hak SKBG Sarusun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 huruf c dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani fidusia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(2) | Pembebanan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan akta notaris yang didaftarkan pada instansi kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum. |
(3) | Akta notaris sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan pencatatan oleh instansi teknis yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang bangunan gedung pada kabupaten/kota atau provinsi untuk Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. |
(1) | Perubahan SKBG Sarusun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 huruf e dilakukan terhadap bangunan Rumah Susun yang berubah bentuk dan mengakibatkan perubahan NPP. |
(2) | Dalam hal perubahan NPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1), PPPSRS wajib melakukan perhitungan kembali NPP. |
(3) | Hasil perhitungan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipergunakan sebagai dasar dalam membuat perubahan akta pemisahan. |
(4) | Perubahan akta pemisahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus disahkan kembali oleh bupati/wali kota atau gubernur untuk Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. |
(5) | Pengesahan perubahan akta pemisahan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dicatatkan kembali pada instansi teknis yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang bangunan gedung pada kabupaten/kota atau provinsi untuk Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. |
(1) | Pembatalan SKBG Sarusun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 huruf f dilakukan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. |
(2) | Pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan oleh instansi yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang bangunan gedung pada kabupaten/kota atau provinsi untuk Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Pembaharuan SKBG Sarusun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 huruf g dilakukan oleh pemilik SKBG Sarusun melalui PPPSRS. |
(2) | Pembaharuan SKBG Sarusun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah terlebih dahulu mengajukan permohonan baru perjanjian sewa atas tanah. |
(3) | Dalam hal permohonan baru perjanjian sewa atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk tanah barang milik negara/daerah dilakukan dengan memperhatikan kebutuhan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah. |
(4) | Permohonan baru perjanjian sewa atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan mempertimbangkan keandalan bangunan Rumah Susun. |
(5) | Permohonan baru perjanjian sewa barang milik negara/daerah berupa tanah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengelolaan barang milik negara/daerah. |
(1) | Sarusun umum yang memperoleh kemudahan dari pemerintah hanya dapat dimiliki atau disewa oleh MBR. |
(2) | Setiap Orang yang memiliki Sarusun umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat mengalihkan kepemilikannya kepada pihak lain dalam hal:
|
(3) | Pewarisan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a paling sedikit harus melampirkan:
|
(4) | Perikatan kepemilikan Rumah Susun setelah jangka waktu 20 (dua puluh) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b hanya dapat dilakukan oleh badan percepatan penyelenggaraan perumahan. |
(5) | Dalam hal Pemilik Rumah Susun Umum pindah domisili yang menyebabkan perpindahan tempat tinggal, Sarusun umum dapat dialihkan kepada badan percepatan penyelenggaraan perumahan. |
(1) | Kriteria masyarakat yang dapat diberikan kemudahan kepemilikan Sarusun umum berdasarkan batas penghasilan rumah tangga. |
(2) | Batas penghasilan rumah tangga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disesuaikan dengan lokasi perolehan Rumah. |
(3) | Batas penghasilan rumah tangga ditetapkan oleh Menteri. |
(1) | Masyarakat yang mengajukan kemudahan kepemilikan Sarusun umum harus memenuhi persyaratan antara lain:
|
(2) | Kemudahan kepemilikan Sarusun umum yang diberikan kepada masyarakat berupa:
|
(1) | PPPSRS berkewajiban mengurus kepentingan para Pemilik dan Penghuni yang berkaitan dengan pengelolaan kepemilikan Benda Bersama, Bagian Bersama, Tanah Bersama, dan penghunian. |
(2) | PPPSRS dalam melakukan pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat membentuk atau menunjuk pengelola. |
(3) | Pengelola yang dibentuk atau ditunjuk oleh PPPSRS harus berbadan hukum, terdaftar, dan memiliki izin usaha dari bupati/wali kota, khusus Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta dari gubernur. |
(1) | Pengelolaan Rumah Susun Umum sewa dan Rumah Susun Khusus dilaksanakan oleh kementerian/lembaga atau Pemerintah Daerah yang melakukan penatausahaan barang milik negara/daerah berupa bangunan Rumah Susun. |
(2) | Pengelolaan Rumah Susun Negara dilaksanakan oleh kementerian/lembaga. |
(3) | Kementerian/lembaga atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) mengenakan tarif sewa kepada Penghuni. |
(4) | Penetapan tarif sewa yang dikenakan kepada Penghuni sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Pengelolaan Rumah Susun Khusus dilakukan oleh institusi lain sesuai dengan kewenangannya setelah proses serah terima selesai dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan. |
(2) | Pengelolaan Rumah Susun Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Pengelola yang dibentuk atau ditunjuk oleh PPPSRS dan Pengelola yang dibentuk atau ditunjuk oleh kementerian/lembaga/Pemerintah Daerah/institusi dalam melaksanakan pengelolaan Rumah Susun dapat bekerja sama dengan orang perseorangan dan Badan Hukum. |
(2) | Pengelola sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam melakukan pengelolaan berhak menerima sejumlah biaya pengelolaan. |
(3) | Biaya pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibebankan kepada Pemilik atau Penghuni dengan mempertimbangkan biaya operasional, pemeliharaan, dan perawatan. |
(4) | Biaya pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dikelola secara tertib, efektif, efisien, transparan, dan bertanggung jawab. |
(1) | Biaya pengelolaan pada Rumah Susun Umum sewa, Rumah Susun Khusus, Rumah Susun Negara yang merupakan barang milik negara/daerah dibebankan kepada Penghuni setelah memperhitungkan biaya operasional dan biaya pemeliharaan. |
(2) | Biaya pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam tarif tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | PPPSRS dapat memanfaatkan Bagian Bersama, Benda Bersama, dan/atau Tanah Bersama pada Rumah Susun Umum milik dan Rumah Susun Komersial milik. |
(2) | Penerimaan yang diperoleh dari pemanfaatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikelola oleh PPPSRS. |
(3) | Penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PPPSRS. |
(1) | Kementerian/lembaga atau Pemerintah Daerah dapat memanfaatkan Bagian Bersama, Benda Bersama, dan/atau Tanah Bersama pada Rumah Susun Umum sewa, Rumah Susun Khusus, dan Rumah Susun Negara. |
(2) | Penerimaan yang diperoleh dari pemanfaatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Pelaku Pembangunan yang membangun Rumah Susun Umum milik dan Rumah Susun Komersial milik dalam masa transisi sebelum terbentuknya PPPSRS wajib mengelola Rumah Susun. |
(2) | Masa transisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 1 (satu) tahun sejak penyerahan pertama kali Sarusun kepada Pemilik. |
(3) | Pelaku Pembangunan dalam mengelola Rumah Susun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat bekerja sama dengan Badan Hukum di bidang pengelolaan Rumah Susun. |
(4) | Biaya pengelolaan Rumah Susun pada masa transisi ditanggung oleh Pelaku Pembangunan dan pemilik berdasarkan NPP setiap Sarusun. |
(5) | Pemilik sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dibuktikan dengan kepemilikan:
|
(6) | Dalam hal Pemilik belum memiliki bukti kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), biaya pengelolaan Rumah Susun ditanggung oleh Pelaku Pembangunan. |
(1) | Kewajiban Pelaku Pembangunan pada masa transisi paling sedikit sebagai berikut:
|
||||||||
(2) | Kewajiban Pemilik pada masa transisi paling sedikit sebagai berikut:
|
(1) | Penyerahan pertama kali Sarusun oleh Pelaku Pembangunan dilakukan dengan menyerahkan kunci setelah sertifikat laik fungsi diterbitkan. |
(2) | Penyerahan pertama kali Sarusun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan penyerahan dokumen sebagai berikut:
|
(1) | Pengelolaan Rumah Susun harus dilaksanakan oleh Pengelola yang berbadan hukum. |
(2) | Badan Hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendaftar dan mendapatkan Perizinan Berusaha dari bupati/wali kota, khusus untuk Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Perizinan Berusaha dari gubernur. |
(3) | Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan kepada Badan Hukum Pengelola Rumah Susun yang memiliki:
|
(4) | Kompetensi manajerial pengelolaan Rumah Susun sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dibuktikan dengan sertifikat yang dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang. |
(5) | Personel dengan kompetensi teknis bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b meliputi:
|
(1) | Pemilik Sarusun wajib membentuk PPPSRS. |
(2) | Sarusun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Sarusun umum milik dan Sarusun komersial milik. |
(3) | PPPSRS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab untuk mengurus kepentingan para Pemilik dan Penghuni yang berkaitan dengan pengelolaan kepemilikan Bagian Bersama, Benda Bersama, Tanah Bersama, dan penghunian. |
(4) | PPPSRS sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdiri atas pengurus dan pengawas. |
(5) | Pengurus PPPSRS sebagaimana dimaksud pada ayat (4) bertugas mengurus kepentingan para Pemilik dan Penghuni yang berkaitan dengan pengelolaan kepemilikan Bagian Bersama, Benda Bersama, Tanah Bersama, dan penghunian. |
(6) | Pengawas PPPSRS sebagaimana dimaksud pada ayat (4) bertugas melakukan pengawasan terhadap kinerja pengurus PPPSRS. |
(7) | Tata cara mengurus kepentingan para Pemilik dan Penghuni yang berkaitan dengan pengelolaan dan penghunian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PPPSRS. |
(1) | Sosialisasi kepenghunian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 huruf a dilakukan sebelum pembentukan PPPSRS. |
(2) | Materi yang disampaikan pada saat sosialisasi kepenghunian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit mengenai tata cara pembentukan PPPSRS, tata tertib penghunian, dan pengelolaan Rumah Susun. |
(3) | Sosialisasi kepenghunian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pelaku Pembangunan sejak Sarusun mulai dipasarkan kepada calon pembeli. |
(1) | Pendataan Pemilik dan/atau Penghuni sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 huruf b wajib dilakukan oleh Pelaku Pembangunan sesuai dengan prinsip kepemilikan atau kepenghunian yang sah. |
(2) | Kepemilikan atau kepenghunian yang sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan tanda bukti kepemilikan atau tanda bukti kepenghunian Sarusun. |
(3) | Pelaku Pembangunan wajib melakukan pembaruan data kepemilikan Sarusun dan disampaikan kepada panitia musyawarah untuk data penyelenggaraan musyawarah. |
(4) | Dalam hal belum terdapat bukti kepemilikan yang sah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), perjanjian pengikatan jual beli lunas dijadikan dasar untuk pendataan kepemilikan. |
(1) | Pembentukan panitia musyawarah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 huruf c dilakukan oleh Pemilik. |
(2) | Pelaku Pembangunan wajib memfasilitasi pembentukan panitia musyawarah. |
(3) | Panitia musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit terdiri atas ketua, sekretaris, bendahara, dan 4 (empat) anggota. |
(4) | Panitia musyawarah mempunyai tugas paling sedikit terdiri atas:
|
(1) | Pelaksanaan musyawarah dilakukan oleh panitia musyawarah dengan mengundang secara resmi seluruh Pemilik untuk menghadiri musyawarah dan wakil Pemerintah Daerah sebagai peninjau. |
(2) | Undangan musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sebelum penyelenggaraan musyawarah. |
(3) | Panitia musyawarah menyelenggarakan musyawarah sesuai jadwal kegiatan yang telah ditetapkan. |
(1) | Musyawarah pembentukan PPPSRS dilakukan untuk:
|
(2) | Mekanisme pengambilan keputusan pembentukan struktur organisasi dilakukan dengan musyawarah untuk mufakat. |
(3) | Mekanisme pengambilan keputusan pengesahan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga dengan musyawarah untuk mufakat. |
(3) | Dalam hal musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) tidak tercapai, pengambilan keputusan dilakukan dengan suara terbanyak berdasarkan jumlah kepemilikan Sarusun. |
(4) | Mekanisme pengambilan keputusan pemilihan pengurus dan pengawas PPPSRS dilakukan dengan suara terbanyak. |
(5) | Pengambilan keputusan pengurus PPPSRS sebagaimana dimaksud pada ayat (5), setiap Pemilik hanya memiliki 1 (satu) suara walaupun Pemilik memiliki lebih dari 1 (satu) Sarusun. |
(1) | Peserta musyawarah terdiri atas seluruh Pemilik. |
(2) | Pemilik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diwakilkan kepada perseorangan berdasarkan surat kuasa. |
(3) | Perseorangan yang menjadi wakil Pemilik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
|
(4) | Wakil Pemilik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a sampai dengan huruf d dibuktikan dengan dokumen kependudukan yang sah. |
(5) | Wakil Pemilik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e dibuktikan dengan akta pendirian untuk Pemilik yang Badan Hukum. |
(1) | Pengurus PPPSRS paling sedikit terdiri atas ketua, sekretaris, bendahara, dan bidang sesuai dengan kebutuhan terkait pengelolaan dan penghunian. |
(2) | Pengurus PPPSRS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertempat tinggal pada Rumah Susun. |
(3) | Pengawas paling sedikit 5 (lima) orang yang terdiri atas ketua, sekretaris, dan 3 (tiga) orang anggota dari Pemilik. |
(4) | Susunan pengurus PPPSRS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dirumuskan dalam akta pendirian, Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga serta disahkan dalam rapat umum PPPSRS. |
(5) | Jangka waktu kepengurusan PPPSRS selama 3 (tiga) tahun. |
(1) | PPPSRS beranggotakan Pemilik dan/atau Penghuni. |
(2) | Penghuni yang bukan Pemilik dilarang menduduki jabatan dalam struktur kepengurusan PPPSRS. |
(3) | Penghuni sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) merupakan Penghuni yang bertempat tinggal di Rumah Susun dan mendapat surat kuasa dari Pemilik. |
(1) | Pemilik dapat memberikan surat kuasa kepada Penghuni untuk menghadiri rapat PPPSRS. |
(2) | Surat kuasa dari Pemilik kepada Penghuni dapat diberikan dalam hal hunian, penentuan besaran iuran untuk keamanan, kebersihan, atau sosial kemasyarakatan. |
(1) | Setiap anggota PPPSRS memiliki hak suara yang berkaitan dengan:
|
(2) | Hak suara kepentingan penghunian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan hak suara untuk penetapan tata tertib, penentuan besaran iuran untuk keamanan, kebersihan, atau sosial kemasyarakatan. |
(3) | Hak suara kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan hak suara untuk memanfaatkan secara bersama terhadap Bagian Bersama, Benda Bersama, dan Tanah Bersama, serta kewajiban pembayaran biaya satuan Sarusun. |
(4) | Hak suara pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan hak suara untuk kegiatan operasional, pemeliharaan, dan perawatan terhadap Bagian Bersama, Benda Bersama, dan Tanah Bersama. |
(5) | Hak suara kepentingan penghunian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) setiap anggota PPPSRS berhak memberikan satu suara. |
(6) | Hak suara kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan hak suara pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) setiap anggota PPPSRS mempunyai hak yang sama berdasarkan NPP. |
(7) | Hak suara kepemilikan dan hak suara pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat dikuasakan kepada Penghuni secara tertulis. |
(1) | Pembentukan PPPSRS dilakukan dengan pembuatan akta pendirian disertai dengan penyusunan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga. |
(2) | PPPSRS yang telah mensahkan akta pendirian serta Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga melakukan pencatatan kepada Pemerintah Daerah kabupaten/kota, atau provinsi untuk Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta kepada Pemerintah Daerah provinsi. |
(1) | Pengurus PPPSRS dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak terbentuk PPPSRS dapat membentuk atau menunjuk Badan Hukum Pengelola Rumah Susun. |
(2) | Pelaku Pembangunan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan wajib menyerahkan pengelolaan Benda Bersama, Bagian Bersama, dan Tanah Bersama kepada PPPSRS yang dilakukan di hadapan notaris. |
(3) | Pelaku Pembangunan sebelum menyerahkan pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib melakukan audit keuangan oleh akuntan publik yang disepakati bersama pengurus PPPSRS. |
(4) | Pelaku Pembangunan wajib menyerahkan dokumen teknis kepada PPPSRS berupa:
|
(5) | Penyimpanan dan pemeliharaan dokumen teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (4) menjadi tanggung jawab PPPSRS. |
(1) | PPPSRS wajib melakukan pengawasan kinerja Pengelola secara berkala. |
(2) | Pengelola Rumah Susun wajib membuat laporan pengelolaan kepada PPPSRS secara berkala. |
(1) | Peningkatan kualitas wajib dilakukan oleh Pemilik terhadap Rumah Susun yang:
|
(2) | Peningkatan kualitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan rekomendasi teknis. |
(3) | Peningkatan kualitas Rumah Susun selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan atas prakarsa Pemilik |
(4) | Prakarsa peningkatan kualitas Rumah Susun sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan oleh:
|
(1) | Peningkatan kualitas Rumah Susun dilakukan dalam rangka melindungi hak kepemilikan Sarusun Setiap Orang baik Pemilik atau Penghuni dengan memperhatikan faktor sosial, budaya, dan ekonomi yang berkeadilan. |
(2) | Peningkatan kualitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan pembangunan kembali Rumah Susun. |
(3) | Pembangunan kembali Rumah Susun sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui:
|
(4) | Pembangunan kembali Rumah Susun sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus sesuai:
|
(1) | Pemrakarsa peningkatan kualitas Rumah Susun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 ayat (4) wajib:
|
(2) | Pemrakarsa peningkatan kualitas Rumah Susun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan pendataan terhadap Pemilik atau Penghuni. |
(3) | Pendataan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan untuk mengetahui kesesuaian jumlah Sarusun dengan kebutuhan hunian. |
(1) | Pelaksanaan peningkatan kualitas Rumah Susun Umum milik dilakukan oleh PPPSRS dapat bekerja sama dengan badan percepatan penyelenggaraan perumahan. |
(2) | Pelaksanaan peningkatan kualitas Rumah Susun Komersial dilakukan oleh PPPSRS dapat bekerja sama dengan Pelaku Pembangunan. |
(3) | Pelaksanaan peningkatan kualitas Rumah Susun Umum sewa dan Rumah Susun Khusus dilakukan oleh badan percepatan penyelenggaraan perumahan. |
(4) | Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan berdasarkan perjanjian tertulis yang dibuat di hadapan pejabat yang berwenang berdasarkan prinsip kesetaraan. |
(1) | Peningkatan kualitas Rumah Susun dilakukan berdasarkan:
|
(2) | Peningkatan kualitas Rumah Susun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh bupati/wali kota, khusus untuk Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta oleh gubernur. |
(3) | Penetapan peningkatan kualitas Rumah Susun sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit memuat:
|
(1) | Rekomendasi teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 ayat (1) huruf a diterbitkan berdasarkan:
|
(2) | Rekomendasi teknis berdasarkan hasil pemeriksaan kelaikan fungsi bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan oleh pengkaji teknis bangunan gedung. |
(3) | Rekomendasi teknis berdasarkan perubahan rencana tata ruang wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan pernyataan tertulis dalam bentuk keterangan rencana kota oleh instansi teknis yang membidangi urusan tata ruang. |
(1) | Pembongkaran, penataan, dan pembangunan dilakukan untuk peningkatan kualitas Rumah Susun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 ayat (1). |
(2) | Pembongkaran bangunan Rumah Susun dilakukan melalui kegiatan membongkar atau merobohkan seluruh atau sebagian bangunan Rumah Susun, komponen, bahan bangunan, dan/atau prasarana dan sarana. |
(3) | Tahap pembongkaran Rumah Susun sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
|
(4) | Pelaku Pembangunan melakukan pembongkaran setelah memenuhi perizinan dan menyediakan tempat hunian sementara yang layak bagi Pemilik atau Penghuni. |
(5) | Penyediaan tempat hunian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c merupakan rumah yang layak huni dengan persyaratan:
|
(6) | Penyediaan tempat hunian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c mempunyai luas paling sedikit sama dengan luas Sarusun yang akan dibongkar dan berada dalam kabupaten/kota yang sama, atau satu provinsi untuk Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. |
(1) | Pembongkaran yang dilakukan Pelaku Pembangunan diawasi oleh instansi teknis kabupaten/kota yang menangani urusan bangunan gedung, khusus untuk Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta oleh instansi teknis provinsi yang menangani urusan bangunan gedung. |
(2) | Pelaksanaan pembongkaran bangunan Rumah Susun dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Penataan dilakukan melalui perencanaan peningkatan kualitas Rumah Susun yang layak huni. |
(2) | Perencanaan peningkatan kualitas Rumah Susun dapat dilakukan oleh Setiap Orang yang memiliki keahlian di bidang perencanaan Rumah Susun. |
(3) | Perencanaan peningkatan kualitas Rumah Susun paling sedikit harus memenuhi persyaratan:
|
(4) | Perencanaan peningkatan kualitas Rumah Susun harus mendapatkan izin dari Pemerintah Daerah kabupaten/kota, atau provinsi untuk Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. |
(5) | Perencanaan peningkatan kualitas Rumah Susun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Perencanaan peningkatan kualitas Rumah Susun dilakukan sesuai dengan rencana fungsi dan pemanfaatan Rumah Susun. |
(2) | Rencana fungsi dan pemanfaatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan pengubahan setelah mendapatkan izin dari bupati/wali kota, khusus untuk Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta oleh gubernur. |
(3) | Dalam hal pengubahan rencana fungsi dan pemanfaatan Rumah Susun Umum dan Rumah Susun Komersial yang menyebabkan bertambahnya Sarusun harus disetujui oleh paling sedikit 60% (enam puluh persen) anggota PPPSRS. |
(4) | Persetujuan anggota PPPSRS sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dalam bentuk pernyataan tertulis. |
(5) | Pengubahan rencana fungsi dan pemanfaatan Rumah Susun sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Pemrakarsa bertanggung jawab terhadap penghunian kembali Pemilik dan Penghuni lama Rumah Susun yang telah selesai dilakukan peningkatan kualitas. |
(2) | Pemilik yang mengalami peningkatan kualitas memperoleh Sarusun hasil peningkatan kualitas sesuai dengan NPP yang dimiliki setelah dilakukan penyesuaian. |
(3) | Dalam hal penghunian kembali Rumah Susun kepada Pemilik lama, Pemilik tidak dikenai bea perolehan hak atas tanah dan bangunan. |
(1) | Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya melaksanakan pengendalian Penyelenggaraan Rumah Susun. |
(2) | Pengendalian Penyelenggaraan Rumah Susun dilakukan pada tahap:
|
(3) | Pengendalian Penyelenggaraan Rumah Susun sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui:
|
(1) | Pengendalian melalui perizinan, pemeriksaan, dan penertiban pada tahap perencanaan dilakukan terhadap kesesuaian dokumen rencana teknis dengan keterangan rencana kota/kabupaten. |
(2) | Dokumen rencana teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan:
|
(3) | Pengendalian melalui perizinan, pemeriksaan, dan penertiban pada tahap perencanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada proses penerbitan PBG dan pengesahan Pertelaan. |
(1) | Pengendalian melalui perizinan, pemeriksaan, dan penertiban pada tahap pembangunan dilakukan melalui pengecekan kesesuaian pelaksanaan pembangunan terhadap dokumen PBG dan penerbitan sertifikat laik fungsi. |
(2) | Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Pengendalian melalui perizinan, pemeriksaan, dan penertiban pada tahap pengelolaan dilakukan dengan penerbitan izin usaha pengelolaan. |
(2) | Izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikeluarkan oleh bupati/wali kota, khusus untuk Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta dikeluarkan oleh gubernur. |
(1) | Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah dapat memberikan insentif kepada Pelaku Pembangunan Rumah Susun Umum dan Rumah Susun Khusus serta memberikan bantuan dan kemudahan bagi MBR. |
(2) | Insentif yang diberikan kepada Pelaku Pembangunan dapat berupa:
|
(3) | Bantuan dan kemudahan yang diberikan kepada MBR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
|
(1) | Fasilitasi dalam pengadaan tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122 ayat (2) huruf a berupa pendayagunaan sebagian tanah negara bekas tanah terlantar, pemanfaatan barang milik negara/daerah berupa tanah, dan pendayagunaan tanah wakaf untuk penyediaan Rumah Susun Umum dan Rumah Susun Khusus. |
(2) | Pendayagunaan sebagian tanah negara bekas tanah terlantar dalam bentuk penyediaan data dan informasi tentang lokasi dan luasan tanah terlantar yang dilakukan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanahan. |
(3) | Penyediaan data dan informasi mengenai lokasi dan luasan tanah terlantar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipergunakan sebagai acuan pengurusan administrasi terhadap status penguasaan tanah. |
(4) | Pengurusan administrasi terhadap status penguasaan tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(5) | Pemanfaatan barang milik negara/daerah berupa tanah dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan barang milik negara/daerah. |
(6) | Pendayagunaan tanah wakaf dilakukan dengan cara sewa atau kerja sama pemanfaatan sesuai dengan ikrar wakaf. |
(1) | Fasilitasi dalam proses sertifikasi tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122 ayat (2) huruf b berupa:
|
(2) | Pengukuran dan pemetaan dilakukan oleh instansi pemerintah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanahan dengan sumber dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. |
(3) | Pendaftaran Tanah Bersama dilakukan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan Pertelaan yang sudah disahkan. |
(4) | Sertifikasi Tanah Bersama diterbitkan oleh instansi pemerintah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanahan. |
(1) | Fasilitasi dalam perizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122 ayat (2) huruf c diberikan Pemerintah Daerah kepada Pelaku Pembangunan Rumah Susun Umum berupa:
|
(2) | Fasilitasi dalam perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan. |
(1) | Fasilitas kredit konstruksi dengan suku bunga rendah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122 ayat (2) huruf d diberikan oleh pemerintah kepada Pelaku Pembangunan yang membangun Rumah Susun Umum. |
(2) | Pemberian fasilitas kredit konstruksi dengan suku bunga rendah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Asuransi dan penjaminan kredit kepemilikan Rumah Susun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122 ayat (3) huruf c diberikan kepada MBR melalui:
|
(2) | Asuransi dan penjaminan kredit kepemilikan Rumah Susun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Sanksi administratif dapat berupa:
|
(2) | Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menghilangkan tanggung jawab pemulihan dan pidana. |
(1) | Pelaku Pembangunan yang tidak melengkapi lingkungan Rumah Susun dengan prasarana, sarana, dan utilitas umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa:
|
(2) | Tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sebagai berikut:
|
(1) | Setiap Orang yang tidak memanfaatkan Sarusun sesuai dengan fungsinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa:
|
(2) | Tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sebagai berikut:
|
(1) | Pihak yang melakukan perubahan fungsi Rumah Susun dengan tidak menjamin hak kepemilikan Sarusun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4) dikenai sanksi administratif berupa:
|
(2) | Tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sebagai berikut:
|
(1) | Pelaku Pembangunan Rumah Susun Komersial yang tidak menyediakan Rumah Susun Umum paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari total luas lantai Rumah Susun Komersial yang dibangun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa:
|
(2) | Tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sebagai berikut:
|
(1) | Pelaku Pembangunan yang tidak menyelesaikan pembangunan Rumah Susun secara bertahap dari mulai perencanaan sampai pada penyelesaian pembangunan Rumah Susun paling lama 3 (tiga) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) dikenai sanksi administratif berupa:
|
(2) | Tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sebagai berikut:
|
(1) | Pelaku Pembangunan yang tidak menyelesaikan status hak guna bangunan atau hak pakai di atas hak pengelolaan dalam hal pembangunan Rumah Susun Umum atau Rumah Susun Komersial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (5) dikenai sanksi administratif berupa:
|
(2) | Tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sebagai berikut:
|
(1) | Pelaku Pembangunan yang membangun Rumah Susun Umum milik dan Rumah Susun Komersial milik yang tidak memisahkan Rumah Susun atas Sarusun, Bagian Bersama, Benda Bersama, dan Tanah Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dan Pelaku Pembangunan yang membangun Rumah Susun Umum milik di atas barang milik negara/daerah berupa tanah atau tanah wakaf dengan cara disewa, yang tidak memisahkan Rumah Susun atas Sarusun, Bagian Bersama, dan Benda Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa:
|
(2) | Tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sebagai berikut:
|
(1) | Pelaku Pembangunan yang tidak menuangkan dalam bentuk gambar dan uraian pada saat membuat pemisahan Rumah Susun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa:
|
(2) | Tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sebagai berikut:
|
(1) | Pelaku Pembangunan yang tidak memiliki permohonan sertifikat laik fungsi kepada bupati/wali kota, khusus untuk Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta kepada gubernur setelah menyelesaikan seluruh atau sebagian pembangunan Rumah Susun sepanjang tidak bertentangan dengan PBG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa:
|
(2) | Tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sebagai berikut:
|
(1) | Pelaku Pembangunan yang membangun Rumah Susun Umum milik dan Rumah Susun Komersial milik yang tidak mengelola Rumah Susun dalam masa transisi sebelum terbentuknya PPPSRS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa:
|
(2) | Tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sebagai berikut:
|
(1) | Pemilik yang tidak membentuk PPPSRS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa:
|
(2) | Tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sebagai berikut:
|
(1) | Pemilik yang tidak melakukan peningkatan kualitas terhadap Rumah Susun yang tidak laik fungsi dan tidak dapat diperbaiki dan/atau dapat menimbulkan bahaya dalam pemanfaatan bangunan Rumah Susun dan/atau lingkungan Rumah Susun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa:
|
(2) | Tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sebagai berikut:
|
(1) | Pemrakarsa peningkatan kualitas Rumah Susun yang tidak melakukan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa peringatan tertulis. |
(2) | Tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sebagai berikut:
|
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 2 Februari 2021 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. JOKO WIDODO |
Pemenuhan hak atas rumah merupakan salah satu tanggung jawab Negara dalam kerangka melindungi segenap bangsa Indonesia.
Sebagai salah satu hak asasi, rumah mempunyai fungsi strategis sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga yang mendukung perikehidupan dan penghidupan. Ketersediaan rumah khususnya bagi MBR menjadi masalah nasional yang dampaknya sangat dirasakan oleh seluruh masyarakat terlebih lagi pada kawasan perkotaan yang cukup padat dengan lahan yang terbatas. Kebijakan pemerintah untuk menumbuhkembangkan norma-norma kehidupan perkotaan yang menunjang kehidupan masyarakat yang heterogen dan berorientasi pada kepentingan masyarakat dilakukan melalui pembangunan Rumah Susun.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun diharapkan dapat meminimalisir kesenjangan sosial yang terjadi di masyarakat dengan menciptakan peluang bagi MBR untuk memiliki Sarusun yang layak dan terjangkau. Peraturan Pemerintah ini memberikan kejelasan terhadap pembangunan Rumah Susun Umum melalui pemanfaatan Barang Milik Negara/Daerah berupa tanah dan pendayagunaan tanah wakaf dengan cara sewa. Berdasarkan hal tersebut maka asas pemisahan horizontal digunakan untuk kepemilikan satuan Rumah Susun dan bukti kepemilikan dengan Sertifikat Kepemilikan Bangunan Gedung. Disisi lain, bukti kepemilikan atas Sarusun dalam bentuk SHM. Sarusun memberikan kepastian akan kepemilikan individu dan kepemilikan bersama yang terdiri atas Bagian Bersama, Benda Bersama, dan Tanah Bersama. Aspek keadilan dengan memberikan kesempatan seluruh masyarakat dapat hidup berdampingan pada kawasan perkotaan melalui bentuk-bentuk penguasaan Sarusun terhadap Rumah Susun Umum, Rumah Susun Khusus, dan Rumah Susun Negara.
Rumah Susun Umum adalah salah satu bentuk Rumah Susun yang dalam proses pembangunan, pengelolaan Rumah Susun Umum masa transisi, dan penyerahan pertama kali membutuhkan pengawasan pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya. Kondisi ini akan memberikan rasa aman dan nyaman bagi pemilik atau penghuni yang akan membawa pada kerukunan, toleransi serta keharmonisan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Kesadaran bermasyarakat ini yang kemudian akan membentuk rasa memiliki terhadap Rumah Susun sehingga terjadi pengelolaan dengan baik yang akan berdampak positif terhadap umur konstruksi Rumah Susun. Tanggung jawab pengelolaan ini dibebankan kepada PPPSRS untuk membentuk atau menunjuk Badan Hukum yang mampu melakukan pengelolaan Rumah Susun. PPPSRS dibentuk oleh para pemilik Rumah Susun melalui mekanisme musyawarah yang demokratis, transparan serta akuntabel.
Pengelolaan Rumah Susun dimulai setelah terbit sertifikat laik fungsi atas bangunan Rumah Susun, artinya masa pengelolaan Rumah Susun merupakan suatu rangkaian kegiatan yang dimulai saat pembangunan selesai sampai bangunan Rumah Susun akan dilakukan peningkatan kualitas. Cakupan kegiatan pengelolaan Rumah Susun meliputi kegiatan operasional, pemeliharaan, dan perawatan Rumah Susun. PPPSRS mempunyai tanggung jawab terhadap pengelolaan Rumah Susun yang memberikan jaminan keamanan konstruksi serta keandalan bangunan. Namun demikian, pada saat bangunan Rumah Susun mengalami penurunan kualitas yang berakibat membahayakan penghuni dan lingkungan maka perlu dilakukan peningkatan kualitas Rumah Susun. Peningkatan kualitas Rumah Susun dilakukan oleh pemrakarsa dengan pembangunan kembali Rumah Susun melalui kegiatan pembongkaran, penataan, dan pembangunan dengan memperhatikan faktor sosial, budaya dan ekonomi yang berkeadilan.
Pengaturan dalam Peraturan Pemerintah ini antara lain jenis dan pemanfaatan, Rumah Susun, penyediaan Rumah Susun Umum, pendayagunaan tanah wakaf untuk Rumah Susun Umum, pemisahan Rumah Susun, penguasaan Sarusun pada Rumah Susun Khusus, bentuk dan tata cara penerbitan SHM Sarusun, bentuk dan tata cara penerbitan SKBG Sarusun, penyewaan Sarusun pada Rumah Susun Negara, pengelolaan Rumah Susun, masa transisi dan tata cara penyerahan pertama kali, PPPSRS, peningkatan kualitas Rumah Susun, pengendalian penyelenggaraan Rumah Susun, dan bentuk dan tata cara pemberian insentif kepada Pelaku Pembangunan Rumah Susun Umum dan Rumah Susun Khusus serta bantuan dan kemudahan kepada MBR.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "fungsi bukan hunian" merupakan penunjang kehidupan bagi penghuni Rumah Susun.
Contoh: tempat usaha dan gedung pertemuan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 5Cukup jelas.
Pasal 6Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "wajib menyediakan Rumah Susun Umum" dibuktikan dengan dokumen rencana teknis bangunan gedung yang menggambarkan rencana pembangunan Rumah Susun Komersial dan Rumah Susun Umum.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan "satu bangunan Rumah Susun dalam satu Tanah Bersama" adalah satu bangunan Rumah Susun yang terdiri atas Rumah Susun Umum dan Rumah Susun Komersial yang dibangun di atas satu Tanah Bersama.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "berbeda bangunan Rumah Susun dalam satu Tanah Bersama" adalah Rumah Susun Umum dan Rumah Susun Komersial yang dibangun secara terpisah di atas satu Tanah Bersama.
Huruf c
Ayat (4)
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Ayat (1)
Ayat (2)
Ayat (3)
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan "kerja Sama pemanfaatan" adalah kerja sama antara Pelaku Pembangunan dengan Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah selaku pemilik tanah Barang Milik Negara/Daerah untuk memanfaatkan tanah tersebut dalam pembangunan Rumah Susun Umum.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "menjadi bagian" adalah satu kesatuan proses pengajuan PBG yang dilakukan oleh pelaku pembangunan.
Pasal 17
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "Nazhir" adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari Wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "akta pemisahan" adalah tanda bukti pemisahan Rumah Susun atas Sarusun, Bagian Bersama, Benda Bersama, dan Tanah Bersama dengan Pertelaan yang jelas dalam bentuk gambar, uraian, dan batas-batasnya dalam arah vertikal dan horizontal yang mengandung NPP.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (1)
Ayat (2)
Cukup jelas. Yang dimaksud dengan "kelaikan fungsi" adalah berfungsinya seluruh atau sebagian bangunan Rumah Susun yang dapat menjamin dipenuhinya persyaratan tata bangunan dan keandalan bangunan Rumah Susun sesuai dengan fungsi yang ditetapkan dalam PBG dan izin rencana fungsi dan pemanfaatan.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Ayat (3)
Ayat (4)
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Huruf a
Yang dimaksud dengan "mengalihkan hak penghunian" adalah memberikan hak penghunian kepada pihak lain tanpa izin dari pemilik.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan "warkah" adalah dokumen yang merupakan alat pembuktian data fisik dan data yuridis bidang tanah yang telah dipergunakan sebagai dasar pendaftaran bidang tanah tersebut.
Cukup jelas.
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "peralihan hak" adalah beralihnya kepemilikan Sarusun dari pelaku pembangunan kepada pembeli (pemilik).
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan "pewarisan" adalah peralihan hak yang terjadi karena hukum dengan meninggalnya pewaris.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "terjual" adalah pelunasan nilai Sarusun kepada pengembang dan/atau pelunasan kredit konstruksi yang dilakukan oleh pengembang terhadap bank.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "permohonan baru perjanjian sewa atas tanah" adalah pembaharuan perjanjian sewa atas tanah yang dilakukan antara pemilik tanah dengan PPPSRS yang sebelurnnya perjanjian sewa atas tanah telah dilakukan antara pemilik tanah dengan pelaku pembangunan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan "keandalan" adalah terpenuhinya persyaratan aspek keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kemudahan.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "institusi lain" antara lain, tinggi, lembaga pendidikan keagamaan berasrama dan penerima pembangunan Rumah Susun Khusus sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "Rumah Susun Umum milik" adalah Rumah Susun yang diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan rumah bagi MBR dan penguasaannya dengan cara dimiliki.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan "memfasilitasi terbentuknya PPPSRS" adalah memberikan kemudahan antara lain berupa menyediakan akomodasi, ruang rapat, perlengkapan rapat, konsumsi rapat.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 84Cukup jelas.
Pasal 85Cukup jelas.
Pasal 86Cukup jelas.
Pasal 87Cukup jelas.
Pasal 88Cukup jelas.
Pasal 89Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 90
Cukup jelas.
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud "menyelenggarakan musyawarah" adalah kegiatan yang diawali dengan perencanaan, persiapan sampai dengan pelaksanaan termasuk menyiapkan naskah dan/atau rancangan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga.
Pasal 92
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan "pengawas" adalah pemilik yang hadir dalam musyawarah dan bertempat tinggal di Rumah Susun.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan "rapat umum" adalah rapat yang dilakukan setelah terbentuknya PPPSRS atau peralihan kepengurusan PPPSRS di akhir periode.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "kepengurusan PPPSRS" adalah pemilik yang berdomisili di Rumah Susun tersebut.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "membentuk" adalah PPPSRS membentuk Badan Hukum pengelola Rumah Susun yang memiliki kompetensi teknis bangunan dan mampu melakukan pengelolaan Rumah Susun.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "rekomendasi teknis" adalah hasil pemeriksaan kelaikan fungsi Rumah Susun yang dilakukan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud "sosialisasi" adalah kegiatan yang dilakukan pelaku pembangunan untuk menyampaikan informasi kepada Pemilik atau Penghuni mengenai antara lain rencana pembongkaran, pemindahan tempat hunian sementara.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "dokumen rencana teknis" adalah gambar teknis bangunan gedung dan kelengkapannya yang mengikuti tahapan prarencana, pengembangan rencana dan penyusunan gambar kerja yang terdiri atas rencana arsitektur, rencana struktur, rencana utilitas, serta rencana spesifikasi teknis, rencana anggaran biaya, dan perhitungan teknis pendukung sesuai pedoman dan standar teknis yang berlaku.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.