Surat Dirjen Pajak Nomor : S - 961/PJ.342/2002

Kategori : PPh

Perlakuan Perpajakan PPh Pasal 26


 23 Desember 2002

SURAT DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR S - 961/PJ.342/2002

TENTANG 

PERLAKUAN PERPAJAKAN PPh PASAL 26

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Sehubungan dengan surat Saudara Nomor:xxx tanggal 17 Juni 2002 dan Nomor: xxx tanggal 30 April 2002 perihal tersebut di atas, dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut:


1. Saudara mengajukan pertanyaan berkaitan dengan transaksi klien Saudara dalam bidang Consultant Engineering Technical Services dengan salah satu perusahaan di Australia. Saudara menyampaikan dua hal, yaitu:
(i) dalam hal pekerjaan tersebut sepenuhnya dilakukan di Australia, dan
(ii) dalam hal pekerjaan dilakukan sebagian di Indonesia dan sebagian lagi dilakukan di Australia.
   
Pertanyaan Saudara adalah :
a. Bagaimana perlakuan pajak atas kedua kasus di atas? Apakah terutang PPh Pasal 26 atau tidak terutang sama sekali?
b. Jika terutang, apakah langsung dapat menggunakan tarif sesuai dengan tax treaty antara Indonesia-Australia? Berapa besar arif yang digunakan?
c. Apakah ada syarat-syarat yang harus dipenuhi jika menggunakan tarif sesuai dengan tax treaty antara Indonesia-Australia, misalnya dengan mengajukan Surat Keterangan Tarif PPh Pasal 26?
   
2. Dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (M) Indonesia-Australia, antara lain diatur sebagai berikut :
a. Pasal 7 ayat (1) bahwa: Laba suatu perusahaan yang merupakan penduduk dari salah satu negara hanya akan dikenakan pajak di negara itu, kecuali perusahaan tersebut melakukan kegiatan usahanya melalui suatu permanent establishment (BUT) yang berada di negara lainnya. Apabila perusahaan itu menjalankan usaha seperti tersebut di atas maka laba perusahaan itu dapat dikenakan pajak di Negara lainnya tetapi hanya atas bagian laba yang dianggap berasal dari :
a) bentuk usaha tetap tcrsebut;
b) penjualan atas barang-barang atau barang dagangan yang sama atau serupa jenisnya dengan yang dijual melalui bentuk usaha tetap itu; atau
c) kegiatan-kegiatan usaha lainnya, yang dijalankan di Negara lain itu yang sama atau serupa jenisnya dengan yang dilakukan melalui bentuk usaha tetap itu.
b. Pasal 5 ayat (2) berbunyi: Istilah BUT mencakup:
(j) pemberian jasa, termasuk jasa konsultasi, oleh perusahaan salah satu negara melalui pegawainya atau orang lain yang ditunjuk oleh perusahaan tersebut, apabila jasa dimaksud diberikan, untuk proyek yang sama atau berkaitan, di negara lainnya untuk masa atau masa-masa yang berjumah lebih dari 120 hari dalam 12 bulan.
   
3. Berdasarkan Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 antara lain mengatur bahwa atas penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 1, dengan nama dan dalam bentuk apapun yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak sebesar 15% (lima belas persen) dari perkiraan penghasilan neto oleh pihak yang wajib membayarkan.
   
4. Berdasarkan Pasal 26 ayat (1) huruf d Undang-Undang Pajak Pcnghasilan antara lain mengatur bahwa atas penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan dan kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apapun, yang dibayarkan oleh badan pemerintah, Subjek Pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada
   
  Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia, dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan dan bersifat final.
   
5. Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-170/PJ/2002  tanggal 28 Maret 2002 tentang Jenis Jasa Lain dan Perkiraan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 antara lain diatur bahwa :
a. Jenis jasa lain tersebut antara lain adalah jasa konsultan, kecuali konsultan konstruksi.
b. Besamya perkiraan penghasilan neto sehubungan dengan imbalan jasa konsultan, kecuali konsultan konstruksi adalah 50% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN.
c. Yang dimaksud dengan jumlah imbalan bruto untuk jasa lain selain jasa konstruksi dan jasa catering adalah jumlah imbalan yang dibayarkan hanya atas pemberian jasanya saja, kecuali apabila dalam kontrak/perjanjian tidak dapat dipisahkan antara pemberian jasa dengan material/ barang akan dikenakan atas seluruh nilai kontrak.
   
6. Dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-03/PJ.101/1996 tanggal 29 Maret 1996 tentang Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara lain diatur sebagai berikut :
a. Wajib Pajak luar negeri wajib menyerahkan asli Surat Keterangan Domisili (SKD) kepada pihak yang membayarkan penghasilan dan menyampaikan fotokopi SKD tersebut kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat pihak yang membayarkan penghasilan terdaftar. SKD asli tersebut menjadi dasar bagi pihak yang membayarkan penghasilan untuk menerapkan PPh Pasal 26 sesuai ketentuan yang ditegaskan dalam P3B yang berlaku antara Indonesia dengan negara tempat kedudukan Wajib Pajak luar negeri tersebut.
b. Surat Keterangan Domisili diterbitkan oleh Competent Authority atau wakilnya yang sah di negara treaty partner. Namun demikian, Surat Keterangan Domisili yang dibuat oleh pejabat pada Kantor Pajak tempat Wajib Pajak luar negeri yang bersangkutan terdaftar dapat diterima dan dipersamakan dengan Surat Keterangan Domisili yang dibuat Competent Authority.
c. Terhitung mulai tanggal pelaksanaan Surat Edaran ini maka pelaksanaan Surat Edaran Nomor SE-08/PJ.35/1993 tanggal 11 Maret 1993 tentang Surat Keterangan Bebas dan Surat Keterangan Tarif Pemotongan PPh Pasal 26 sehubungan dengan ketentuan dalam P3B dan Surat Edaran Nomor SE-22/PJ.35/1993 tanggal 31 Agustus 1993 tentang Penegasan Lebih Lanjut SE-08/PJ.35/1993 dinyatakan tidak berlaku.
   
7. Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut diatas, dengan ini ditegaskan hal-hal sebagai berikut :
a. Atas imbalan dibayarkan oleh PT. PRU sehubungan dengan jasa konsultan yang dilakukan oleh Perusahaan yang berkedudukan di Australia, dikenakan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 sebesar 15%x50% atau 7,5% (tujuh koma lima persen) dari jumlah bruto tidak termasuk PPN, jika kegiatan jasa tersebut berlangsung di Indonesia dan meliputi satu masa atau beberapa masa yang secara keseluruhan lebih dari 120 hari dalam jangka waktu dua belas bulan. Adapun pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 tersebut merupakan pembayaran pendahuluan pajak yang dapat dikreditkan/diperhitungkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun yang bersangkutan;
b. Sesuai dengan ketentuan P3B antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Australia, atas imbalan yang dibayarkan oleh PT. Porter Rekayasa Utama kepada perusahaan Australia tidak dikenakan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26, sepanjang jasa tersebut dilakukan di luar Indonesia atau sepanjang Perusahaan Australia tersebut tidak mempunyai BUT di Indonesia;
c. Untuk penerapan ketentuan P3B tersebut pada butir 6 di atas, Perusahaan Australia wajib menyerahkan asli Surat Keterangan Domisili (SKD) yang diterbitkan dan ditandatangani oleh pejabat Competent Authority di Australia, kepada PT.PRI sebagai pihak yang membayarkan penghasilan dan menyerahkan fotokopinya kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat PT. PRI terdaftar.
d. Apabila Perusahaan Australia tidak dapat menyerahkan Surat Keterangan Domisili (SKD) dimaksud, maka atas pembayaran imbalan jasa konsultan tersebut dikenakan pemotongan pajak di Indonesia dengan tarif 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto sesuai ketentuan Pasal 26 ayat (1) huruf d Undang-undang Pajak Penghasilan.
e. Ketentuan mengenai Surat Keterangan Tarif sudah tidak berlaku dan tidak diperlukan lagi sebagaimana dijelaskan dalam butir 6 tersebut di atas.

Demikian untuk dimaklumi.



A.n. Direktur Jenderal
Direktur,

ttd.

IGN Mayun Winangun
NIP 060041978


Tembusan :
1.    Direktur Jenderal Pajak;
2.    Direktur Pajak Penghasilan.