Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.
31 Desember 1991
SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR SE - 21/PJ.31/1991
TENTANG
PETUNJUK PELAKSANAAN KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 628/KMK.04/1991 MENGENAI NORMA PENGHITUNGAN KHUSUS PENGHASILAN NETTO DAN PPh PASAL 25 FOREIGN DRILLING COMPANY
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
Sebagaimana diketahui, bahwa telah diterbitkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 628/KMK.04/1991 tentang Norma Penghitungan Khusus Penghasilan Netto bagi Wajib Pajak Badan yang melakukan Kegiatan Usaha di Bidang Pengeboran Minyak dan Gas Bumi serta Angsuran Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan oleh Wajib Pajak sendiri, sebagai pengganti Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 398/KMK.00/1988.
Materi pokok yang diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan tersebut mencakup 3 (tiga) hal, yaitu :
Beberapa hal yang perlu disampaikan sehubungan dengan pelaksanaan keputusan Menteri Keuangan tersebut sepanjang mengenai penerapan Norma Penghitungan Khusus Penghasilan Netto dan PPh Pasal 25 dari Foreign Drilling Company (FDC) adalah sebagai berikut :
1.1. | Pertamina, Kontraktor Bagi Hasil (KBH) atau Kontraktor Kontrak Karya (KK), melakukan kontrak pengeboran dengan Perusahaan Pengeboran Nasional (National Drilling Company/NDC) untuk melaksanakan suatu kegiatan pengeboran minyak dan gas bumi pada suatu lokasi tertentu. Perusahaan Pengeboran Nasional (NDC) yang dimaksud dapat berupa Badan Hukum yang didirikan di Indonesia yang seluruh sahamnya dimiliki pemodal dalam negeri (PMDN atau non-PMDN) ataupun yang sebagian sahamnya dimiliki oleh pemodal luar negeri (PMA). |
1.2. |
NDC dapat melaksanakan sendiri kontrak tersebut pada butir 1.1, atau dapat melaksanakan dengan bekerjasama dengan suatu perusahaan pengeboran asing (FDC). Oleh karena melaksanakan pengeboran minyak dan gas bumi tersebut, perusahaan asing yang dimaksud mempunyai Bentuk Usaha Tetap (BUT) di Indonesia. |
1.3. |
Kerjasama tersebut pada butir 1.2. dilaksanakan atas dasar perjanjian tertulis antara kedua belah pihak dimana disepakati hak dan kewajiban antara pihak, termasuk penghasilan yang menjadi hak dari masing-masing pihak. Bentuk kerjasama tersebut bervariasi tergantung kemampuan teknologi NDC, namun kenyataan sampai sekarang ini sebagian besar pekerjaan pengeboran masih ditangani oleh FDC. |
a.1. | NDC hanya memegang peranan kecil saja dalam pelaksanaan pengeboran, dan oleh karena itu hanya memperoleh penghasilan berupa fee atau komisi dari BUT-FDC. |
a.2. | NDC dan BUT-FDC mempunyai peranan yang hampir seimbang dalam pelaksanaan pengeboran. |
Dalam semua bentuk kerjasama tersebut, tanggung jawab tetap berada pada NDC, sedangkan BUT-FDC bertanggung jawab kepada NDC.
Bentuk kerjasama yang pertama, baik a.1. maupun a.2. adalah merupakan Joint Operation (JO) yang didaftar sebagai Wajib Pajak non-subyek PPh Badan pada KPP Badan dan Orang Asing. JO melakukan pencatatan kegiatan usahanya sehingga dapat diketahui penghasilan bruto (gross revenue) baik yang diperoleh NDC maupun BUT-FDC. NDC menghitung penghasilan netto berdasarkan pembukuan dan melaporkan penghasilan tersebut dalam SPT Tahunan PPh, sedangkan BUT-FDC menghitung penghasilan netto dengan menerapkan Norma Penghitungan Khusus sebesar 15% dari penghasilan bruto yang menjadi haknya, sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 628/KMK.04/1991. JO berkewajiban memotong PPh Pasal 21 apabila membayarkan penghasilan kepada pegawai baik tetap maupun tidak tetap, berupa gaji, honorarium dan sebagainya, serta memotong PPh Pasal 23 dan atau Pasal 26, apabila membayarkan penghasilan yang merupakan obyek pemotongan PPh Pasal 23 dan atau Pasal 26. JO dalam melaksanakan pemotongan PPh Pasal 21 harus menerapkan Norma Penghitungan Khusus Penghasilan Kena Pajak sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor : 627/KMK.04/1991. Baik PERTAMINA maupun Kontraktor KBH/KK tidak perlu memotong PPh Pasal 23 atas imbalan yang dibayarkan untuk jasa pengeboran kepada kontraktor pengeboran, baik NDC maupun Jo. Apabila kontraktor drilling hanya semata-mata melakukan jasa pengeboran, maka jasa tersebut bukan merupakan obyek PPh Pasal 23, tetapi kontraktor drilling dapat juga melakukan jasa teknik (seperti melakukan analisa data seismik). Dengan demikian bila Pertamina maupun Kontraktor Kontrak Bagi Hasil/Kontrak Karya membayarkan imbalan atas jasa teknik (misalnya berupa : survey geofisika, analisa data seismik dan sebagainya), maka atas pembayaran jasa dimaksud wajib dipotong PPh Pasal 23/26.
3.1. | Yang dimaksud dengan penghasilan bruto meliputi penghasilan bruto (gross revenue) dari jenis-jenis penghasilan yang tercantum dalam kontrak pengeboran minyak dan gas bumi yang bersangkutan, yang penghitungan- nya didasarkan pada tarif harian (daily rates) yang menjadi hak dari BUT-FDC, dengan mengingat hal-hal sebagai berikut :
|
Reimbursable Cost dan Handling Charge tersebut diperlakukan sebagai non taxable revenue hanya sepanjang jumlah seluruhnya tidak melebihi 10% dari penghasilan bruto yang berupa Drilling Fee.
|
|
3.2. | Selain penghasilan yang diterima atau diperoleh dari kegiatan usahanya di bidang pengeboran minyak dan gas bumi, BUT-FDC dapat menerima atau memperoleh penghasilan lain seperti :
|
Demikian harap dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.