Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.
(1) | Apabila Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan, sedangkan hal itu menjadi kewajibannya, maka hal tersebut disamakan dengan Keputusan Tata Usaha Negara. |
(2) | Jika suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan yang dimohon, sedangkan jangka waktu sebagaimana ditentukan data peraturan perundang-undangan dimaksud telah lewat, maka Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tersebut dianggap telah menolak mengeluarkan keputusan yang dimaksud. |
(3) | Dalam hal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menentukan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat(2), maka setelah lewat jangka waktu empat bulan sejak diterimanya permohonan, Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan. |
(1) | Pengadilan Tata Usaha Negara berkedudukan di kotamadya atau ibukota kabupaten, dan daerah hukumnya meliputi wilayah kotamadya atau kabupaten. |
(2) | Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara berkedudukan di ibukota propinsi, dan daerah hukumnya meliputi wilayah propinsi. |
(1) | Pembinaan teknis peradilan bagi Pengadilan dilakukan oleh Mahkamah Agung. |
(2) | Pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan Pengadilan dilakukan oleh Departemen Kehakiman |
(3) | Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) tidak boleh mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memutus sengketa Tata Usaha Negara. |
(1) | Susunan Pengadilan terdiri atas Pimpinan, Hakim Anggota, Panitera, dan Sekretaris. |
(2) | Pimpinan Pengadilan terdiri atas seorang Ketua dan seorang Wakil Ketua. |
(3) | Hakim anggota pada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara adalah Hakim Tinggi. |
(1) | Hakim adalah pejabat yang melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman. |
(2) | Syarat dan tata cara pengangkatan, pemberhentian, serta pelaksanaan tugas Hakim ditetapkan dalam Undang-undang ini. |
(1) | Pembinaan dan pengawasan umum terhadap Hakim sebagai pegawai negeri, dilakukan oleh Menteri Kehakiman. |
(2) | Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), tidak boleh mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memutus sengketa Tata Usaha Negara. |
(1) | Untuk dapat diangkat menjadi Hakim pada Pengadilan Tata Usaha Negara, seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
|
(2) | Untuk dapat diangkat menjadi Ketua atau Wakil Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara diperlukan pengalaman sekurang-kurangnya sepuluh tahun sebagai Hakim pada Pengadilan Tata Usaha Negara. |
(1) | Untuk dapat diangkat menjadi Hakim pada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
|
(2) | Untuk dapat diangkat menjadi Ketua Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara diperlukan pengalaman sekurang-kurangnya sepuluh tahun sebagai Hakim pada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara atau sekurang-kurangnya lima tahun bagi Hakim pada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara yang pernah menjabat Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara. |
(3) | Untuk dapat diangkat menjadi Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara diperlukan pengalaman sekurang-kurangnya delapan tahun sebagai Hakim pada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara atau sekurang-kurangnya tiga tahun bagi Hakim pada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara yang pernah menjabat Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara. |
(1) | Hakim diangkat dan diberhentikan oleh Presiden selaku Kepala Negara atas usul Menteri Kehakiman berdasarkan persetujuan Ketua Mahkamah Agung. |
(2) | Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Kehakiman berdasarkan persetujuan Ketua Mahkamah Agung. |
(1) | Sebelum memangku jabatannya, Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim Pengadilan wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agama atau kepercayaan; bunyi sumpah atau janji itu adalah sebagai berikut: "Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya untuk memperoleh jabatan saya ini, langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara apa pun juga, tidak memberikan atau menjanjikan barang sesuatu kepada siapa pun juga". "Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatan ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapa pun juga suatu janji atau pemberian". "Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan setia kepada dan akan mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, dasar negara, dan ideologi nasional: Undang-Undang Dasar 1945, dan segala undang-undang, serta peraturan lain yang berlaku bagi negara Republik Indonesia". "Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menjalankan jabatan saya ini dengan jujur, seksama dan dengan tidak membeda-bedakan orang dan akan berlaku dalam melaksanakan kewajiban saya ini sebaik-baiknya dan seadil-adilnya seperti layaknya bagi seorang Ketua/Wakil Ketua/Hakim yang berbudi baik dan jujur dalam menegakkan hukum dan keadilan". |
(2) | Wakil Ketua dan Hakim pada Pengadilan Tata Usaha Negara diambil sumpah atau janjinya oleh Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara. |
(3) | Wakil Ketua dan Hakim pada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara serta Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara diambil sumpah atau janjinya oleh Ketua Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. |
(4) | Ketua Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara diambil sumpah atau janjinya oleh Ketua Mahkamah Agung |
(1) | Kecuali ditentukan lain oleh atau berdasarkan undang-undang, Hakim tidak boleh merangkap menjadi:
|
(2) | Hakim tidak boleh merangkap menjadi penasihat hukum. |
(3) | Jabatan yang tidak boleh dirangkap oleh Hakim selain jabatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. |
(1) | Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena:
|
(2) | Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim yang meninggal dunia dengan sendirinya diberhentikan dengan hormat dari jabatannya oleh Presiden selaku Kepala Negara. |
(1) | Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatannya dengan alasan:
|
(2) | Pengusulan pemberhentian tidak dengan hormat dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b sampai dengan huruf e dilakukan setelah yang bersangkutan diberi kesempatan untuk membela diri di hadapan Majelis Kehormatan Hakim. |
(3) | Pembentukan, susunan, dan tata cara Majelis Kehormatan Hakim serta tata cara pembelaan diri ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung bersama-sama Menteri Kehakiman. |
(1) | Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim sebelum diberhentikan tidak dengan hormat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1), dapat diberhentikan sementara dari jabatannya oleh Presiden selaku Kepala Negara atas usul Menteri Kehakiman berdasarkan persetujuan Ketua Mahkamah Agung. |
(2) | Terhadap pengusulan pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), berlaku juga ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2). |
(1) | Apabila terhadap seorang Hakim ada perintah penangkapan yang diikuti dengan penahanan, dengan sendirinya Hakim tersebut diberhentikan sementara dari jabatannya. |
(2) | Apabila seorang Hakim dituntut di muka Pengadilan Negeri dalam perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tanpa ditahan, maka ia dapat diberhentikan sementara dari jabatannya. |
(1) | Kedudukan protokol Hakim diatur dengan Keputusan Presiden. |
(2) | Tunjangan dan ketentuan lainnya bagi Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim diatur dengan Keputusan Presiden. |
(1) | Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim dapat ditangkap atau ditahan hanya atas perintah Jaksa Agung setelah mendapat persetujuan dari Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Kehakiman. |
(2) | Dalam hal:
|
(1) | Kecuali ditentukan lain oleh atau berdasarkan undang-undang, Panitera tidak boleh merangkap menjadi wali, pengampu, dan pejabat yang berkaitan dengan perkara yang di dalamnya ia bertindak sebagai Panitera. |
(2) | Panitera tidak boleh merangkap menjadi penasihat hukum. |
(3) | Jabatan yang tidak boleh dirangkap oleh Panitera selain jabatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dan ayat (2) diatur lebih lanjut oleh Menteri Kehakiman berdasarkan persetujuan Ketua Mahkamah Agung. |
(1) | Sekretaris Pengadilan bertugas menyelenggarakan administrasi umum Pengadilan. |
(2) | Tugas serta tanggung jawab, susunan organisasi, dan tata kerja sekretariat diatur lebih lanjut oleh Menteri Kehakiman. |
(1) | Dalam hal suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara diberi wewenang oleh atau berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk menyelesaikan secara administratif sengketa Tata Usaha Negara tertentu, maka batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/administratif yang tersedia. |
(2) | Pengadilan baru berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) jika seluruh upaya administratif yang bersangkutan telah digunakan. |
(1) | Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus sengketa Tata Usaha Negara di tingkat banding. |
(2) | Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara juga bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus di tingkat pertama dan terakhir sengketa ke Kewenangan mengadili antara Pengadilan Tata Usaha Negara di dalam daerah hukumnya. |
(3) | Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan di tingkat pertama sengketa Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48. |
(4) | Terhadap putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat diajukan permohonan kasasi. |
(1) | Ketua Pengadilan melakukan pengawasan atas pelaksanaan tugas dan tingkah laku Hakim, Panitera, dan Sekretaris di daerah hukumnya. |
(2) | Selain tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Ketua Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara di daerah hukumnya melakukan pengawasan terhadap jalannya peradilan di tingkat Pengadilan Tata Usaha Negara dan menjaga agar peradilan diselenggarakan dengan saksama dan sewajarnya. |
(3) | Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) Ketua Pengadilan dapat memberikan petunjuk, teguran, dan peringatan yang dipandang perlu. |
(4) | Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) tidak boleh mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memutus sengketa Tata Usaha Negara. |
(1) | Seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada Pengadilan yang berwenang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau rehabilitasi. |
(2) | Alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah:
|
(1) | Gugatan sengketa Tata Usaha Negara diajukan kepada Pengadilan yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan tergugat. |
(2) | Apabila tergugat lebih dari satu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dan berkedudukan tidak dalam satu daerah hukum Pengadilan, gugatan diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan salah satu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. |
(3) | Dalam hal tempat kedudukan tergugat tidak berada dalam daerah hukum Pengadilan tempat kediaman penggugat, maka gugatan dapat diajukan ke Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat untuk selanjutnya diteruskan kepada Pengadilan yang bersangkutan. |
(4) | Dalam hal-hal tertentu sesuai dengan sifat sengketa Tata Usaha Negara yang bersangkutan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah, gugatan dapat diajukan kepada Pengadilan yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat. |
(5) | Apabila penggugat dan tergugat berkedudukan atau berada di luar negeri, gugatan diajukan kepada Pengadilan di Jakarta. |
(6) | Apabila tergugat berkedudukan di dalam negeri dan penggugat di luar negeri, gugatan diajukan kepada Pengadilan di tempat kedudukan tergugat. |
(1) | Gugatan harus memuat:
|
(2) | Apabila gugatan dibuat dan ditandatangani oleh seorang kuasa penggugat, maka gugatan harus disertai surat kuasa yang sah. |
(3) | Gugatan sedapat mungkin juga disertai Keputusan Tata Usaha Negara. yang disengketakan oleh penggugat. |
(1) | Para pihak yang bersengketa masing-masing dapat didampingi atau diwakili oleh seorang atau beberapa orang kuasa. |
(2) | Pemberian kuasa dapat dilakukan dengan surat kuasa khusus atau dapat dilakukan secara lisan di persidangan. |
(3) | Surat kuasa yang dibuat di luar negeri bentuknya harus memenuhi persyaratan di negara yang bersangkutan dan diketahui oleh Perwakilan Republik Indonesia di negara tersebut, serta kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh penerjemah resmi. |
(1) | Untuk mengajukan gugatan, penggugat membayar uang muka biaya perkara, yang besarnya ditaksir oleh Panitera Pengadilan. |
(2) | Setelah penggugat membayar uang muka biaya perkara, gugatan dicatat dalam daftar perkara oleh Panitera Pengadilan. |
(3) | Selambat-lambatnya dalam jangka waktu tiga puluh hari sesudah gugatan dicatat, Hakim menentukan hari, jam, dan tempat persidangan, dan menyuruh memanggil kedua belah pihak untuk hadir pada waktu dan tempat yang ditentukan. |
(4) | Surat panggilan kepada tergugat disertai sehelai salinan gugatan dengan pemberitahuan bahwa gugatan itu dapat dijawab dengan tertulis. |
(1) | Penggugat dapat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan untuk bersengketa dengan cuma-cuma. |
(2) | Permohonan diajukan pada waktu penggugat mengajukan gugatannya disertai dengan surat keterangan tidak maupun dari kepala desa atau lurah di tempat kediaman pemohon. |
(3) | Dalam keterangan tersebut harus dinyatakan bahwa pemohon itu betul-betul tidak mampu membayar biaya perkara. |
(1) | Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 harus diperiksa dan ditetapkan oleh Pengadilan sebelum pokok sengketa diperiksa. |
(2) | Penetapan ini diambil di tingkat pertama dan terakhir. |
(3) | Penetapan Pengadilan yang telah mengabulkan permohonan penggugat untuk bersengketa dengan cuma-cuma di tingkat pertama, juga berlaku di tingkat banding dan kasasi. |
(1) | Dalam rapat permusyawaratan, Ketua Pengadilan berwenang memutuskan dengan suatu penetapan yang dilengkapi dengan pertimbangan-pertimbangan bahwa gugatan yang diajukan itu dinyatakan tidak diterima atau tidak berdasar, dalam hal:
|
(2) |
|
(3) |
|
(4) | Perlawanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diperiksa dan diputus oleh Pengadilan dengan acara singkat. |
(5) | Dalam hal perlawanan tersebut dibenarkan oleh Pengadilan, maka penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) gugur demi hukum dan pokok gugatan akan diperiksa, diputus dan diselesaikan menurut acara biasa. |
(6) | Terhadap putusan mengenai perlawanan itu tidak dapat digunakan upaya hukum. |
(1) | Sebelum pemeriksaan pokok sengketa dimulai, Hakim wajib mengadakan pemeriksaan persiapan untuk melengkapi gugatan yang kurang jelas. |
(2) | Dalam pemeriksaan persiapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Hakim:
|
(3) | Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a penggugat belum menyempurnakan gugatan, maka Hakim menyatakan dengan putusan bahwa gugatan tidak dapat diterima. |
(4) | Terhadap putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak dapat digunakan upaya hukum, tetapi dapat diajukan gugatan baru. |
(1) | Dalam menentukan hari sidang, Hakim harus mempertimbangkan jauh dekatnya tempat tinggal kedua belah pihak dari tempat persidangan. |
(2) | Jangka waktu antara pemanggilan dan hari sidang tidak boleh kurang dari enam hari, kecuali dalam hal sengketa tersebut harus diperiksa dengan acara cepat sebagaimana diatur dalam Bagian Kedua Paragraf 2. |
(1) | Dalam hal salah satu pihak berkedudukan atau berada di luar wilayah Republik Indonesia, Ketua Pengadilan yang bersangkutan melakukan pemanggilan dengan cara meneruskan surat penetapan hari sidang beserta salinan gugatan tersebut kepada Departemen Luar Negeri Republik Indonesia. |
(2) | Departemen Luar Negeri segera menyampaikan surat penetapan hari sidang beserta salinan gugatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) melalui Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri dan lain wilayah tempat yang bersangkutan berkedudukan atau berada. |
(3) | Petugas Perwakilan Republik Indonesia dalam jangka waktu tujuh hari sejak dilakukan pemanggilan tersebut, wajib memberi laporan kepada Pengadilan yang bersangkutan. |
(1) | Gugatan tidak menunda atau menghalangi dilaksanakannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara serta tindakan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang digugat. |
(2) | Penggugat dapat mengajukan permohonan agar pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara itu ditunda selama pemeriksaan sengketa Tata Usaha Negara sedang berjalan, sampai ada putusan Pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap. |
(3) | Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat diajukan sekaligus dalam gugatan dan dapat diputus terlebih dahulu dari pokok sengketanya. |
(4) | Permohonan penundaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2):
|
(1) | Pengadilan memeriksa dan memutus sengketa Tata Usaha Negara dengan tiga orang Hakim. |
(2) | Pengadilan bersidang pada hari yang ditentukan dalam surat panggilan. |
(3) | Pemeriksaan sengketa Tata Usaha Negara dalam persidangan dipimpin oleh Hakim Ketua Sidang. |
(4) | Hakim Ketua Sidang wajib menjaga supaya tata tertib dalam persidangan tetap ditaati setiap orang dan segala perintahnya dilaksanakan dengan baik. |
(1) | Dalam ruang sidang setiap orang wajib menunjukkan sikap, perbuatan, tingkah laku, dan ucapan yang menjunjung tinggi wibawa, martabat, dan kehormatan Pengadilan dengan menaati tata tertib persidangan. |
(2) | Setiap orang yang tidak menaati tata tertib persidangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), setelah mendapat peringatan dari dan atas perintah Hakim Ketua Sidang, dikeluarkan dari ruang sidang. |
(3) | Tindakan Hakim Ketua Sidang terhadap pelanggaran tata tertib sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), tidak mengurangi kemungkinan dilakukan penuntutan, jika pelanggaran itu merupakan tindak pidana. |
(1) | Untuk keperluan pemeriksaan, Hakim Ketua Sidang membuka sidang dan menyatakannya terbuka untuk umum. |
(2) | Apabila Majelis Hakim memandang bahwa sengketa yang disidangkan menyangkut ketertiban umum atau keselamatan negara, persidangan dapat dinyatakan tertutup untuk umum. |
(3) | Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat menyebabkan batalnya putusan demi hukum. |
(1) | Dalam hal penggugat atau kuasanya tidak hadir di persidangan pada hari pertama dan pada hari yang ditentukan dalam panggilan yang kedua tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan, meskipun setiap kali dipanggil dengan patut, gugatan dinyatakan gugur dan penggugat harus membayar biaya perkara. |
(2) | Dalam hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) penggugat berhak memasukkan gugatannya sekali lagi sesudah membayar uang muka biaya perkara. |
(1) | Dalam hal tergugat atau kuasanya tidak hadir di persidangan dua kali sidang berturut-turut dan/atau tidak menanggapi gugatan tanpa alasan yang dapat dipertanggung jawabkan meskipun setiap kali telah dipanggil dengan patut, maka Hakim Ketua Sidang dengan Surat penetapan meminta atasan tergugat memerintahkan tergugat hadir dan/atau menanggapi gugatan. |
(2) | Dalam hal setelah lewat dua bulan sesudah dikirimkan dengan Surat tercatat penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak diterima berita, baik dari atasan tergugat maupun dari tergugat, maka Hakim Ketua Sidang menetapkan hari sidang berikutnya dan pemeriksaan sengketa dilanjutkan menurut acara biasa, tanpa hadirnya tergugat. |
(3) | Putusan terhadap pokok gugatan dapat dijatuhkan hanya setelah pemeriksaan mengenai segi pembuktiannya dilakukan secara tuntas. |
(1) | Dalam hal terdapat lebih dari seorang tergugat dan seorang atau lebih di antara mereka atau kuasanya tidak hadir di persidangan tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan, pemeriksaan sengketa itu dapat ditunda sampai hari sidang yang ditentukan Hakim Ketua Sidang. |
(2) | Penundaan sidang itu diberitahukan kepada pihak yang hadir, sedang terhadap pihak yang tidak hadir oleh Hakim Ketua Sidang diperintahkan untuk dipanggil sekali lagi. |
(3) | Apabila pada hari penundaan sidang sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tergugat atau kuasanya masih ada yang tidak hadir, sidang dilanjutkan tanpa kehadirannya. |
(1) | Pemeriksaan sengketa dimulai dengan membacakan isi gugatan dan surat yang memuat jawabannya oleh Hakim Ketua Sidang, dan jika tidak ada surat jawaban, pihak tergugat diberi kesempatan untuk mengajukan jawabannya. |
(2) | Hakim Ketua Sidang memberikan kesempatan kepada kedua belah pihak untuk menjelaskan seperlunya hal yang diajukan oleh mereka masing-masing. |
(1) | Penggugat dapat mengubah alasan yang mendasari gugatan hanya sampai dengan replik, asal disertai alasan yang cukup serta tidak merugikan kepentingan tergugat, dan hal tersebut harus saksikan oleh Hakim. |
(2) | Tergugat dapat mengubah alasan yang mendasari jawabannya hanya sampai dengan duplik, asal disertai alasan yang cukup serta tidak merugikan kepentingan penggugat dan hal tersebut harus dipertimbangkan dengan saksama oleh Hakim. |
(1) | Penggugat dapat sewaktu-waktu mencabut gugatannya sebelum tergugat memberikan jawaban. |
(2) | Apabila tergugat sudah memberikan jawaban atas gugatan itu, pencabutan gugatan, oleh penggugat akan dikabulkan oleh Pengadilan hanya apabila disetujui tergugat. |
(1) | Eksepsi tentang Kewenangan absolut Pengadilan dapat diajukan setiap waktu selama pemeriksaan, dan meskipun tidak ada eksepsi tentang Kewenangan absolut Pengadilan apabila Hakim mengetahui hal itu, ia karena jabatannya wajib menyatakan bahwa Pengadilan tidak berwenang mengadili sengketa yang bersangkutan. |
(2) | Eksepsi tentang Kewenangan relatif Pengadilan diajukan sebelum disampaikan jawaban atas pokok sengketa, dan eksepsi tersebut harus diputus sebelum pokok sengketa diperiksa. |
(3) | Eksepsi lain yang tidak mengenai Kewenangan Pengadilan hanya dapat diputus bersama dengan pokok sengketa. |
(1) | Seorang Hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah, atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai, dengan salah seorang Hakim Anggota atau Panitera. |
(2) | Seorang Hakim atau Panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semanda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai dengan tergugat, penggugat atau penasihat hukum. |
(3) | Hakim atau Panitera sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) harus diganti, dan apabila tidak diganti atau tidak mengundurkan diri sedangkan sengketa telah diputus, maka sengketa tersebut wajib segera diadili ulang dengan susunan yang lain. |
(1) | Seorang Hakim atau Panitera wajib mengundurkan diri apabila ia berkepentingan langsung atau tidak langsung atas suatu sengketa. |
(2) | Pengunduran diri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan atas kehendak Hakim atau Panitera, atau atas permintaan salah satu atau pihak-pihak yang bersengketa. |
(3) | Apabila ada keraguan atau perbedaan pendapat mengenai hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) maka pejabat Pengadilan yang berwenang yang menetapkan. |
(4) | Hakim atau Panitera sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) harus diganti dan apabila tidak diganti atau tidak mengundurkan diri sedangkan sengketa telah diputus, maka sengketa tersebut wajib segera diadili ulang dengan susunan yang lain. |
(1) | Selama pemeriksaan berlangsung, setiap orang yang berkepentingan dalam sengketa pihak lain yang sedang diperiksa oleh Pengadilan, baik atas prakarsa sendiri dengan mengajukan permohonan, maupun atas prakarsa Hakim, dapat masuk dalam sengketa Tata Usaha Negara, dan bertindak sebagai:
|
(2) | Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dikabulkan atau ditolak oleh Pengadilan dengan putusan yang dicantumkan dalam berita acara sidang. |
(3) | Permohonan banding terhadap putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat diajukan tersendiri, tetapi harus bersama-sama dengan permohonan banding terhadap putusan akhir dalam pokok sengketa. |
(1) | Apabila dalam persidangan seorang kuasa melakukan tindakan yang melampaui batas wewenangnya, pemberi kuasa dapat mengajukan sangkalan secara tertulis disertai tuntutan agar tindakan kuasa tersebut dinyatakan batal oleh Pengadilan. |
(2) | Apabila sangkalan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikabulkan, maka Hakim wajib menetapkan dalam putusan yang dimuat dalam berita acara sidang bahwa tindakan kuasa itu dinyatakan batal dan selanjutnya dihapus dari berita acara pemeriksaan. |
(3) | Putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat(2) dibacakan dan/atau diberitahukan kepada para pihak yang bersangkutan. |
(1) | Untuk kepentingan pemeriksaan dan apabila Hakim Ketua Sidang memandang perlu ia dapat memerintahkan pemeriksaan terhadap surat yang dipegang oleh Pejabat Tata Usaha Negara, atau pejabat lain yang menyimpan surat, atau meminta penjelasan dan keterangan tentang sesuatu yang bersangkutan dengan sengketa. |
(2) | Selain hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Hakim Ketua Sidang dapat memerintahkan pula supaya surat tersebut diperlihatkan kepada Pengadilan dalam persidangan yang akan ditentukan untuk keperluan itu. |
(3) | Apabila surat itu merupakan bagian dari sebuah daftar, sebelum diperlihatkan oleh penyimpannya, dibuat salinan surat itu sebagai ganti yang asli selama surat yang asli belum diterima kembali dari Pengadilan. |
(4) | Jika pemeriksaan tentang benarnya suatu surat menimbulkan persangkaan terhadap orang yang masih hidup bahwa surat itu dipalsukan olehnya, Hakim Ketua Sidang dapat mengirimkan surat yang bersangkutan ini kepada penyidik yang berwenang, dan pemeriksaan sengketa Tata Usaha Negara dapat ditunda dahulu sampai putusan perkara pidananya dijatuhkan. |
(1) | atas permintaan salah satu pihak, atau karena jabatannya, Hakim Ketua Sidang dapat memerintahkan seorang saksi untuk didengar dalam persidangan. |
(2) | Apabila saksi tidak datang tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan meskipun telah dipanggil dengan patut dan Hakim cukup mempunyai alasan untuk menyangka bahwa saksi sengaja tidak datang, Hakim Ketua Sidang dapat memberi perintah supaya Saksi dibawa oleh polisi kepersidangan |
(3) | Seorang saksi yang tidak bertempat tinggal di daerah hukum Pengadilan yang bersangkutan tidak diwajibkan datang di Pengadilan tersebut, tetapi pemeriksaan saksi itu dapat diserahkan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman saksi. |
(1) | Saksi dipanggil ke persidangan seorang demi seorang. |
(2) | Hakim Ketua Sidang menanyakan kepada saksi nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kewarganegaraan, tempat tinggal, agama atau kepercayaannya, pekerjaan, derajat hubungan keluarga, dan hubungan kerja dengan penggugat atau tergugat. |
(3) | Sebelum memberi keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agama atau kepercayaannya. |
(1) | Orang yang dapat minta pengunduran diri dari kewajiban untuk memberikan kesaksian ialah:
|
(2) | Ada atau tidak adanya dasar kewajiban untuk merahasiakan segala sesuatu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, diserahkan kepada pertimbangan Hakim. |
(1) | Pertanyaan yang diajukan kepada saksi oleh salah satu pihak disampaikan melalui Hakim Ketua Sidang. |
(2) | Apabila pertanyaan tersebut menurut pertimbangan Hakim Ketua Sidang tidak ada kaitannya dengan sengketa, pertanyaan itu ditolak. |
(1) | Apabila penggugat atau saksi tidak paham bahasa Indonesia, Hakim Ketua Sidang dapat mengangkat seorang ahli alih bahasa. |
(2) | Sebelum melaksanakan tugasnya ahli alih bahasa tersebut wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agama atau kepercayaannya untuk mengalihkan bahasa yang dipahami oleh penggugat atau saksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ke dalam bahasa Indonesia dan sebaliknya dengan sebaik-baiknya. |
(3) | Orang yang menjadi saksi dalam sengketa tidak boleh ditunjuk sebagai ahli alih bahasa dalam sengketa tersebut. |
(1) | Dalam hal penggugat atau saksi bisu, dan/atau tuli dan tidak dapat menulis, Hakim Ketua Sidang dapat mengangkat orang yang pandai bergaul dengan penggugat atau saksi sebagai juru bahasa. |
(2) | Sebelum melaksanakan tugasnya juru bahasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agama atau kepercayaannya. |
(3) | Dalam hal penggugat atau saksi bisu dan/atau tuli tetapi pandai menulis, Hakim Ketua Sidang dapat menyuruh menuliskan pertanyaan atau teguran kepadanya, dan menyuruh menyampaikan tulisan itu kepada penggugat atau saksi tersebut dengan perintah agar ia menuliskan jawabannya, kemudian segala pertanyaan dan jawaban harus dibacakan. |
(1) | Saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji dan di dengar dalam persidangan Pengadilan dengan dihadiri oleh para pihak yang bersengketa. |
(2) | Apabila yang bersengketa telah dipanggil secara patut, tetapi tidak datang tanpa alasan yang dapat dipertanggung jawabkan, maka saksi dapat di dengar keterangannya tanpa hadirnya pihak yang bersengketa. |
(3) | Dalam hal saksi yang akan didengar tidak dapat hadir di persidangan karena halangan yang dapat dibenarkan oleh hukum, Hakim dibantu oleh Panitera datang di tempat kediaman saksi untuk mengambil sumpah atau janjinya dan mendengar saksi tersebut. |
(1) | Apabila suatu sengketa tidak dapat diselesaikan pada suatu hari persidangan, pemeriksaan dilanjutkan pada hari persidangan berikutnya. |
(2) | Lanjutan sidang harus diberitahukan kepada kedua belah pihak, dan bagi mereka pemberitahuan ini disamakan dengan panggilan. |
(3) | Dalam hal salah satu pihak yang datang pada hari persidangan pertama ternyata tidak datang pada hari persidangan selanjutnya Hakim Ketua Sidang menyuruh memberitahukan kepada pihak tersebut waktu, hari, dan tanggal persidangan berikutnya. |
(4) | Dalam hal pihak sebagaimana dalam ayat (3) tetap tidak hadir tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan sekalipun ia telah diberi tahu secara patut, maka pemeriksaan dapat dilanjutkan tanpa kehadirannya. |
(1) | Dalam hal pemeriksaan sengketa sudah diselesaikan, kedua belah pihak diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapat yang terakhir berupa kesimpulan masing-masing. |
(2) | Setelah kedua belah pihak mengemukakan kesimpulan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka Hakim Ketua Sidang menyatakan bahwa sidang ditunda untuk memberikan kesempatan kepada Majelis Hakim bermusyawarah dalam ruangan tertutup untuk mempertimbangkan segala sesuatu guna putusan sengketa tersebut. |
(3) | Putusan dalam musyawarah majelis yang dipimpin oleh Hakim Ketua Majelis merupakan hasil permufakatan bulat, kecuali jika setelah diusahakan dengan sungguh-sungguh tidak dapat dicapai permufakatan bulat, putusan diambil dengan suara terbanyak. |
(4) | Apabila musyawarah majelis sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak dapat menghasilkan putusan, permusyawaratan ditunda sampai musyawarah majelis berikutnya. |
(5) | Apabila dalam musyawarah majelis berikutnya tidak dapat diambil suara terbanyak, maka suara terakhir Hakim Ketua Majelis yang menentukan. |
(6) | Putusan Pengadilan dapat dijatuhkan pada hari itu juga dalam sidang yang terbuka untuk umum, atau ditunda pada hari lain yang harus diberitahukan kepada kedua belah pihak. |
(7) | Putusan Pengadilan dapat berupa:
|
(8) | Dalam hal gugatan dikabulkan, maka dalam putusan Pengadilan tersebut dapat ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara. |
(9) | Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (8) berupa:
|
(10) | Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (9) dapat disertai pembebanan ganti rugi. |
(11) | Dalam hal putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (8) menyangkut kepegawaian, maka di samping kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (9) dan ayat (10), dapat disertai pemberian rehabilitasi. |
(1) | Apabila terdapat kepentingan penggugat yang cukup mendesak yang harus dapat disimpulkan dari alasan-alasan permohonannya, penggugat dalam gugatannya dapat memohon kepada Pengadilan supaya pemeriksaan sengketa dipercepat. |
(2) | Ketua Pengadilan dalam jangka waktu empat belas hari setelah diterimanya permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat(1) mengeluarkan penetapan tentang dikabulkan atau tidak dikabulkannya permohonan tersebut. |
(3) | Terhadap penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat digunakan upaya hukum. |
(1) | Pemeriksaan dengan acara cepat dilakukan dengan Hakim Tunggal. |
(2) | Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (1) dikabulkan, Ketua Pengadilan dalam jangka waktu tujuh hari setelah dikeluarkannya penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2)menentukan hari, tempat, dan waktu sidang tanpa melalui prosedur pemeriksaan persiapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63. |
(3) | Tenggang waktu untuk jawaban dan pembuktian bagi kedua belah pihak, masing-masing ditentukan tidak melebihi empat belas hari. |
(1) | Alat bukti ialah:
|
(2) | Keadaan yang telah diketahui oleh umum tidak perlu dibuktikan |
(1) | Keterangan ahli adalah pendapat orang yang diberikan di bawah sumpah dalam persidangan tentang hal yang ia ketahui menurut pengalaman dan pengetahuannya. |
(2) | Seseorang yang tidak boleh didengar sebagai saksi berdasarkan Pasal 88 tidak boleh memberikan keterangan ahli. |
(1) | Atas permintaan kedua belah pihak atau salah satu pihak atau karena jabatannya Hakim Ketua Sidang dapat menunjuk seseorang atau beberapa orang ahli. |
(2) | Seorang ahli dalam persidangan harus memberi keterangan baik dengan surat maupun dengan lisan, yang dikuatkan dengan sumpah atau janji menurut kebenaran sepanjang pengetahuannya yang sebaik-baiknya. |
(1) | Putusan Pengadilan harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. |
(2) | Apabila salah satu pihak atau kedua belah pihak tidak hadir pada waktu putusan Pengadilan diucapkan, atas perintah Hakim Ketua Sidang salinan putusan itu disampaikan dengan surat tercatat kepada yang bersangkutan. |
(3) | Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berakibat putusan Pengadilan tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum. |
(1) | Putusan Pengadilan harus memuat:
|
(2) | Tidak dipenuhinya salah satu ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat menyebabkan batalnya putusan Pengadilan. |
(3) | Selambat-lambatnya tiga puluh hari sesudah putusan Pengadilan diucapkan, putusan itu harus ditandatangani oleh Hakim yang memutus dan Panitera yang turut bersidang. |
(4) | Apabila Hakim Ketua Majelis atau dalam hal pemeriksaan dengan acara cepat Hakim Ketua Sidang berhalangan menandatangani, maka putusan Pengadilan ditandatangani oleh Ketua Pengadilan dengan menyatakan berhalangannya Hakim Ketua Majelis atau Hakim Ketua Sidang tersebut. |
(5) | Apabila Hakim Anggota Majelis berhalangan menandatangani, maka putusan Pengadilan ditandatangani oleh Hakim Ketua Majelis dengan menyatakan berhalangannya Hakim Anggota Majelis tersebut. |
(1) | Putusan Pengadilan yang bukan putusan akhir meskipun diucapkan dalam sidang, tidak dibuat sebagai putusan tersendiri melainkan hanya dicantumkan dalam berita acara sidang. |
(2) | Pihak yang berkepentingan langsung dengan putusan Pengadilan dapat meminta supaya diberikan kepadanya salinan resmi putusan itu dengan membayar biaya salinan. |
(1) | Pada setiap pemeriksaan, Panitera harus membuat berita acara sidang yang memuat segala sesuatu yang terjadi dalam sidang. |
(2) | Berita acara sidang ditandatangani oleh Hakim Ketua Sidang dan Panitera; apabila salah seorang dari mereka berhalangan, maka hal itu dinyatakan dalam berita acara tersebut. |
(3) | Apabila Hakim Ketua Sidang dan panitera berhalangan menandatangani, maka berita acara ditandatangani oleh Ketua Pengadilan dengan menyatakan berhalangannya Hakim Ketua Sidang dan Panitera tersebut. |
(1) | Salinan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dikirimkan kepada para pihak dengan surat tercatat oleh Panitera Pengadilan setempat atas perintah Ketua Pengadilan yang mengadilinya dalam tingkat pertama selambat-lambatnya dalam waktu empat belas hari. |
(2) | Dalam hal empat bulan setelah putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikirimkan tergugat tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf a, maka Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi. |
(3) | Dalam hal tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf b dan huruf c, dan kemudian setelah tiga bulan ternyata kewajiban tersebut tidak dilaksanakannya, maka penggugat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), agar Pengadilan memerintahkan tergugat melaksanakan putusan Pengadilan tersebut. |
(4) | Jika tergugat masih tetap tidak mau melaksanakannya, Ketua Pengadilan mengajukan hal ini kepada instansi atasannya menurut jenjang jabatan. |
(5) | Instansi atasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), dalam waktu dua bulan setelah menerima pemberitahuan dari Ketua Pengadilan harus sudah memerintahkan pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) melaksanakan putusan Pengadilan tersebut. |
(6) | Dalam hal instansi atasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), tidak mengindahkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5), maka Ketua Pengadilan mengajukan hal ini kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintah tertinggi untuk memerintahkan pejabat tersebut melaksanakan putusan Pengadilan tersebut. |
(1) | Sepanjang mengenai kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (11) apabila tergugat tidak dapat atau tidak dapat dengan sempurna melaksanakan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap disebabkan oleh berubahnya keadaan yang terjadi setelah putusan Pengadilan dijatuhkan dan/atau memperoleh kekautan hukum tetap, ia wajib memberitahukan hal itu kepada Ketua Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) dan penggugat. |
(2) | Dalam waktu tiga puluh hari setelah menerima pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) penggugat dapat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan yang telah mengirimkan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tersebut agar tergugat dibebani kewajiban membayar sejumlah uang atau kompensasi lain yang diinginkannya. |
(3) | Ketua Pengadilan setelah menerima permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) memerintahkan memanggil kedua belah pihak untuk mengusahakan tercapainya persetujuan tentang jumlah uang atau kompensasi lain yang harus dibebankan kepada tergugat. |
(4) | Apabila setelah diusahakan untuk mencapai persetujuan tetapi tidak dapat diperoleh kata sepakat mengenai jumlah uang atau kompensasi lain tersebut, Ketua Pengadilan dengan penetapan yang disertai pertimbangan yang cukup menentukan jumlah uang atau kompensasi lain yang dimaksud. |
(5) | Penetapan Ketua Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dapat diajukan baik oleh penggugat maupun oleh tergugat kepada Mahkamah Agung untuk ditetapkan kembali. |
(6) | Putusan Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam ayat (5), wajib ditaati kedua belah pihak. |
(1) | Dalam hal putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) berisi kewajiban bagi tergugat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9), ayat (10), dan ayat (11), pihak ketiga yang belum pernah ikut serta atau diikutsertakan selama waktu pemeriksaan sengketa yang bersangkutan menurut ketentuan Pasal 83 dan ia khawatir kepentingannya akan dirugikan dengan dilaksanakannya putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap itu dapat mengajukan gugatan perlawanan terhadap pelaksanaan putusan Pengadilan tersebut kepada Pengadilan yang mengadili sengketa itu pada tingkat pertama. |
(2) | Gugatan perlawanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), hanya dapat diajukan pada saat sebelum putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap itu dilaksanakan dengan memuat alasan-alasan tentang permohonannya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56; terhadap permohonan perlawanan itu berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 dan Pasal 63. |
(3) | Gugatan perlawanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dengan sendirinya mengakibatkan ditundanya pelaksanaan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tersebut. |
(1) | Salinan putusan Pengadilan yang berisi kewajiban membayar ganti rugi dikirimkan kepada penggugat dan tergugat dalam waktu tiga hari setelah putusan Pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap. |
(2) | Salinan putusan Pengadilan yang berisi kewajiban membayar ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dikirimkan pula oleh Pengadilan kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang dibebani kewajiban membayar ganti rugi tersebut dalam waktu tiga hari setelah putusan Pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap. |
(3) | Besarnya ganti rugi beserta tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (10) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. |
(1) | Dalam hal gugatan yang berkaitan dengan bidang kepegawaian dikabulkan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (11), salinan putusan Pengadilan yang berisi kewajiban tentang rehabilitasi dikirimkan kepada penggugat dan tergugat dalam waktu tiga hari setelah putusan itu memperoleh kekuatan hukum tetap. |
(2) | Salinan putusan Pengadilan yang berisi kewajiban tentang rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dikirimkan pula oleh Pengadilan kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang dibebani kewajiban melaksanakan rehabilitasi tersebut dalam waktu tiga hari setelah putusan itu memperoleh kekuatan hukum tetap. |
(1) | Permohonan pemeriksaan banding diajukan secara tertulis oleh pemohon atau kuasanya yang khusus dikuasakan untuk itu kepada Pengadilan Tata Usaha Negara yang menjatuhkan putusan tersebut dalam tenggang waktu empat belas hari setelah putusan Pengadilan itu diberitahukan kepadanya secara sah. |
(2) | Permohonan pemeriksaan banding disertai pembayaran uang muka biaya perkara banding lebih dahulu, yang besarnya ditaksir oleh Panitera. |
(1) | Permohonan pemeriksaan banding dicatat oleh Panitera dalam daftar perkara. |
(2) | Panitera memberitahukan hal tersebut kepada pihak terbanding. |
(1) | Selambat-lambatnya tiga puluh hari sesudah permohonan pemeriksaan banding dicatat, Panitera memberitahukan kepada kedua belah pihak bahwa mereka dapat melihat berkas perkara di kantor Pengadilan Tata Usaha Negara dalam tenggang waktu tiga puluh hari setelah mereka menerima pemberitahuan tersebut. |
(2) | Salinan putusan, berita acara, dan surat lain yang bersangkutan harus dikirimkan kepada Panitera Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara selambat-lambatnya enam puluh hari sesudah pernyataan permohonan pemeriksaan banding. |
(3) | Para pihak dapat menyerahkan memori banding dan/atau kontra memori banding serta surat keterangan dan bukti kepada Panitera Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dengan ketentuan bahwa salinan memori dan/atau kontra memori diberikan kepada pihak lainnya dengan perantaraan Penitera Pengadilan. |
(1) | Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara memeriksa dan memutus perkara banding dengan sekurang-kurangnya tiga orang Hakim. |
(2) | Apabila Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara berpendapat bahwa pemeriksaan Pengadilan Tata Usaha Negara kurang lengkap, maka Pengadilan Tinggi tersebut dapat mengadakan sidang sendiri untuk mengadakan pemeriksaan tambahan atau memerintahkan Pengadilan Tata Usaha Negara yang bersangkutan melaksanakan pemeriksaan tambahan itu. |
(3) | Terhadap putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang menyatakan tidak berwenang memeriksa perkara yang diajukan kepadanya, sedang Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara berpendapat lain, Pengadilan Tinggi tersebut dapat memeriksa dan memutus sendiri perkara itu atau memerintahkan Pengadilan Tata Usaha Negara yang bersangkutan memeriksa dan memutusnya. |
(4) | Panitera Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dalam waktu tiga puluh hari mengirimkan salinan putusan Pengadilan Tinggi beserta surat pemeriksaan dan surat lain kepada Pengadilan Tata Usaha Negara yang memutus dalam pemeriksaan tingkat pertama. |
(1) | Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 dan Pasal 79 berlaku juga bagi pemeriksaan di tingkat banding. |
(2) | Ketentuan tentang hubungan keluarga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (1) berlaku juga antara Hakim dan/atau Panitera di tingkat banding dengan Hakim atau Panitera di tingkat pertama yang telah memeriksa dan memutus perkara yang sama. |
(3) | Apabila seorang Hakim yang memutus di tingkat pertama kemudian menjadi Hakim pada Pengadilan Tinggi, maka Hakim tersebut dilarang memeriksa perkara yang sama di tingkat banding. |
(1) | Terhadap putusan tingkat terakhir Pengadilan dapat dimohonkan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung. |
(2) | Acara pemeriksaan kasasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. |
(1) | Terhadap putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permohonan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung. |
(2) | Acara pemeriksaan peninjauan kembali sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. |
(1) | Dalam hal Pengadilan memeriksa dan memutus perkara Tata Usaha Negara tertentu yang memerlukan keahlian khusus, maka Ketua Pengadilan dapat menunjuk seorang Hakim Ad Hoc sebagai Anggota Majelis. |
(2) | Untuk dapat ditunjuk sebagai Hakim Ad Hoc seseorang harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14ayat (1) kecuali huruf e dan huruf f. |
(3) | Larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf c tidak berlaku bagi Hakim Ad Hoc. |
(4) | Tata cara penunjukan Hakim Ad Hoc pada Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan peraturan Pemerintah. |
(1) | Panitera wajib membuat daftar semua perkara yang diterima di kepaniteraan. |
(2) | Dalam daftar perkara tersebut setiap perkara diberi nomor urut dan dibubuhi catatan singkat tentang isinya. |
(1) | Panitera bertanggung jawab atas pengurusan berkas perkara, putusan, dokumen, akta, buku daftar, biaya perkara, uang titipan pihak ketiga, surat-surat berharga, barang bukti, dan surat-surat lainnya yang disimpan di kepaniteraan. |
(2) | Semua daftar, catatan, risalah, berita acara, serta berkas perkara tidak boleh dibawa ke luar ruang kerja kepaniteraan, kecuali atas izin Ketua Pengadilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. |
(1) | Sengketa Tata Usaha Negara yang pada saat terbentuknya Pengadilan menurut Undang-undang ini belum diputus oleh Pengadilan di lingkungan Peradilan Umum tetap diperiksa dan diputus oleh Pengadilan di lingkungan Peradilan Umum. |
(2) | Sengketa Tata Usaha Negara yang pada saat terbentuknya Pengadilan menurut Undang-undang ini sudah diajukan kepada Pengadilan di lingkungan Peradilan Umum tetapi belum diperiksa, dilimpahkan kepada Pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara. |
(1) | Untuk pertama kali pada saat Undang-undang ini mulai berlaku Menteri Kehakiman setelah mendengar pendapat Ketua Mahkamah Agung mengatur pengisian jabatan Ketua, Wakil Ketua, Hakim, Panitera, Wakil Panitera, Panitera Muda, Panitera Pengganti, dan Wakil Sekretaris pada Pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara. |
(2) | Pengangkatan dalam jabatan Ketua, Wakil Ketua, Hakim, Panitera, Wakil Panitera, Panitera Muda, Panitera Pengganti, dan Wakil Sekretaris sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat menyimpang dari persyaratan yang ditentukan dalam Undang-undang ini. |
Disahkan Di Jakarta Pada Tanggal 29 Desember1986 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. SOEHARTO |
I. | UMUM
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
II. | PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Angka 1
Yang dimaksud dengan "urusan pemerintahan" ialah kegiatan yang bersifat eksekutif.
Angka 2
Yang dimaksud dengan "peraturan perundang-undangan ini ialah semua peraturan yang bersifat mengikat secara umum yang dikeluarkan oleh Badan Perwakilan Rakyat bersama Pemerintah baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah, serta semua Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah, yang juga bersifat mengikat secara umum.
Angka 3
Istilah "penetapan tertulis" terutama menunjuk kepada isi dan bukan kepada bentuk keputusan yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Keputusan itu memang diharuskan tertulis, namun yang disyaratkan tertulis bukanlah bentuk formalnya seperti surat keputusan pengangkatan dan sebagainya.
Persyaratan tertulis itu diharuskan untuk kemudahan segi pembuktian. Oleh karena itu sebuah memo atau nota dapat memenuhi syarat tertulis tersebut dan akan merupakan suatu Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara menurut Undang-undang ini apabila sudah jelas
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah Badan atau Pejabat di pusat dan daerah yang melakukan kegiatan yang bersifat eksekutif.
Tindakan hukum Tata Usaha Negara adalah perbuatan hukum Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersumber pada suatu ketentuan hukum Tata Usaha Negara yang dapat menimbulkan hak atau kewajiban pada orang lain.
Bersifat konkret, artinya objek yang diputuskan dalam Keputusan Tata Usaha Negara itu tidak abstrak, tetapi berwujud, tertentu atau dapat ditentukan, umpamanya keputusan mengenai sumah si A, Izin usaha bagi si B, pemberhentian si A sebagai pegawai negeri.
Bersifat individual artinya Keputusan Tata Usaha Negara itu tidak ditujukan untuk umum, tetapi tertentu baik alamat maupun hal yang dituju. Kalau yang dituju itu lebih dari seorang, tiap-tiap nama orang yang terkena keputusan itu disebutkan. Umpamanya, keputusan tentang perbuatan atau pelebaran jalan dengan lampiran yang menyebutkan nama-nama orang yang terkena keputusan tersebut.
Bersifat final artinya sudah definitif dan karenanya dapat menimbulkan akibat hukum. Keputusan yang masih memerlukan persetujuan instansi atasan atau instansi lain belum bersifat final karenanya belum dapat menimbulkan suatu hak atau kewajiban pada pihak yang bersangkutan. Umpamanya, keputusan pengangkatan seorang pegawai negeri memerlukan persetujuan dari Badan Administrasi Kepegawaian Negara.
Angka 4
Istilah "sengketa"yang dimaksudkan di sini mempunyai arti khusus sesuai dengan fungsi Peradilan Tata Usaha Negara yaitu menilai perbedaan pendapat mengenai penerapan hukum. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dalam mengambil keputusan pada dasarnya mengemban kepentingan umum dan masyarakat, tetapi dalam hal atau kasus tertentu dapat saja keputusan itu dirasakan mengakibatkan kerugian bagi orang atau badan hukum perdata tertentu; dalam asas Hukum Tata Usaha Negara kepada yang bersangkutan harus diberikan kesempatan untuk mengajukan gugatan Pengadilan.
Angka 5
Istilah "gugatan" yang dimaksudkan di sini mempunyai arti khusus sesuai dengan fungsi Peradilan Tata Usaha Negara.
Dalam Administrasi Negara Pemerintah banyak mengurusi hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat.
Tidak jarang dalam kasus tertentu Keputusan Tata Usaha Negara mengakibatkan kerugian bagi seseorang atau badan hukum perdata tertentu dan karenanya memerlukan koreksi serta pelurusan dalam segi penerapan hukumnya.
Untuk keperluan ini diciptakan lembaga "gugatan" terhadap Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.
Angka 6
Cukup jelas.
Angka 7
Cukup jelas.
Angka 8
Cukup jelas.
Pasal 2 Pasal ini mengatur pembatasan terhadap pengertian Keputusan Tata Usaha Negara yang termasuk dalam ruang lingkup kompetensi mengadili dari Pengadilan Tata Usaha Negara. Pembatasan ini diadakan oleh karena ada beberapa jenis keputusan yang karena sifat atau maksudnya memang tidak dapat digolongkan dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut Undang-undang ini.
Huruf a
Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata, umpamanya keputusan yang menyangkut masalah jual beli yang dilakukan antara instansi pemerintah dan perseorangan yang didasarkan pada ketentuan hukum perdata.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "pengaturan yang bersifat umum" ialah pengaturan yang memuat norma-norma hukum yang dituangkan dalam bentuk peraturan yang kekuatan berlakunya mengikat setiap orang.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan" ialah keputusan yang untuk dapat berlaku masih memerlukan persetujuan instansi atasan atau instansi lain.
Dalam kerangka pengawasan administratif yang bersifat preventif dan keseragaman kebijaksanaan sering kali peraturan yang menjadi dasar keputusan menentukan bahwa sebelum berlakunya Keputusan Tata Usaha Negara diperlukan persetujuan instansi atasan lebih dahulu.
Adakalanya peraturan dasar menentukan bahwa persetujuan instansi lain itu diperlukan karena instansi lain tersebut akan terlibat dalam akibat hukum yang akan ditimbulkan oleh keputusan itu.
Keputusan yang masih memerlukan persetujuan tetapi sudah menimbulkan kerugian dapat digugat di Pengadilan Negeri.
Huruf d
Keputusan Tata Usaha Negara berdasarkan ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Pidana ialah umapanya dalam perkara lalu lintas di mana terdakwa dipidana dengan suatu pidana bersyarat, yang mewajibkannya memikul biaya perawatan si korban selama dirawat di rumah sakit. Karena kewajiban itu merupakan syarat yang harus dipenuhi oleh terpidana, maka jaksa yang menurut Pasal 14 huruf d Kitab Undang-undang Hukum Pidana ditunjuk mengawasi dipenuhi atau tidaknya syarat yang dijatuhkan dalam pidana itu, lalu mengeluarkan perintah kepada terpidana agar segera mengirimkan bukti pembayaran biaya perawatan tersebut kepadanya.
Keputusan Tata Usaha Negara berdasarkan ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana ialah umpamanya kalau penuntut umum mengeluarkan surat perintah penahanan terhadap tersangka. Keputusan Tata Usaha Negara berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana ialah umpamanya perintah jaksa ekonomi untuk melakukan penyitaan barang-barang terdakwa dalam perkara tindak pidana ekonomi.
Penilaian dari segi penerapan hukumnya terhadap ketiga macam Keputusan Tata Usaha Negara tersebut dapat dilakukan hanya oleh Pengadilan di lingkungan Peradilan Umum.
Huruf e
Keputusan Tata Usaha Negara yang dimaksud pada huruf ini umpamanya:
Huruf f Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas
Pasal 3 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang menerima permohonan dianggap telah mengeluarkan keputusan yang berisi penolakan permohonan tersebut apabila tenggang waktu yang ditetapkan telah lewat dan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara itu bersikap diam, tidak melayani permohonan yang telah diterimanya.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 4 Yang dimaksud dengan "rakyat pencari keadilan" ialah setiap orang warga negara Indonesia atau bukan, dan badan hukum perdata yang mencari keadilan pada Peradilan Tata Usaha Negara.
Pasal 5 Cukup jelas.
Pasal 6 Cukup jelas.
Pasal 7 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Penentuan pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat ini adalah pelaksanaan Pasal 11 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, sesuai dengan perkembangan keadaan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 8 Cukup jelas.
Pasal 9 Usul pembentukan Pengadilan Tata Usaha Negara diajukan oleh Menteri Kehakiman berdasarkan persetujuan Ketua Mahkamah Agung.
Pasal 10 Cukup jelas.
Pasal 11 Cukup jelas.
Pasal 12 Cukup jelas.
Pasal 13 Ayat (1)
Hakim adalah pegawai negeri sehingga baginya berlaku Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 14 Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Sebelum seseorang bukan pegawai negeri diangkat oleh Presiden sebagai Hakim, menurut prosedur yang berlaku ia harus menjadi calon pegawai dahulu. Kemudian setelah ia diangkat menjadi pegawai negeri dan melewati pendidikan, ia diusulkan kepada Presiden agar diangkat sebagai Hakim.
Huruf f
Sarjana lain tersebut tidak perlu harus memiliki keahlian di bidang hukum Tata Usaha Negara, tetapi ia perlu memiliki keahlian di suatu bidang administrasi -negara, umpamanya bidang kepamongprajaan, bidang sosial, bidang agraria, bidang perpajakan.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 15 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "pengalaman" meliputi dua hal:
Pertama, pengalaman kerja memutus sejumlah perkara yang masalah hukumnya bervariasi.
Kedua, kepemimpinan yang diharapkan selalu mencerminkan sikap dan tingkah laku yang arif dan bijaksana karena setiap hari la memeriksa perkara yang rawan dan peka.
Untuk penilaian itu pengalaman kerja dan kepemimpinannya sebagai Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara serta sebagai Hakim pada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara di pelbagai kelas Pengadilan merupakan dasar penilaian yang sangat diperlukan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 16 Cukup jelas.
Pasal 17 Ayat (1)
Pada waktu pengambilan sumpah/janji diucapkan kata¬kata tertentu sesuai dengan agama masing-masing, misalnya untuk penganut agama Islam "Demi Allah" sebelum lafal sumpah dan untuk agama Kristen/Katolik kata "Kiranya Tuhan akan menolong saya" sesudah lafal sumpah.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 18 Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Larangan merangkap menjadi pengusaha yang berlaku bagi Hakim sama dengan ketentuan yang berlaku bagi pegawai negeri.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 19 Ayat (1)
Pemberhentian dengan hormat Hakim atas permintaan sendiri mencakup pengertian pengunduran diri dengan alasan bahwa Hakim yang bersangkutan tidak berhasil menegakkan hukum dalam lingkungan rumah tangganya sendiri.
Pada hakikatnya situasi, kondisi, suasana, dan keteraturan hidup di rumah tangga setiap Hakim merupakan salah satu faktor yang penting peranannya dalam usaha membantu meningkatkan citra dan wibawa seorang Hakim itu sendiri.
Yang dimaksud dengan "sakit jasmani atau rohani terus-menerus" ialah sakit yang menyebabkan si penderita tidak mampu lagi melakukan tugas kewajibannya dengan baik.
Yang dimaksud dengan "tidak cakap"ialah misalnya yang bersangkutan banyak melakukan kesalahan besar dalam menjalankan tugasnya.
Ayat (2)
Oleh karena Ketua dan Wakil Ketua adalah juga Hakim yang berwenang pengangkatannya berada di tangan Presiden selaku Kepala Negara, maka dalam hal ia meninggal dunia pemberhentiannya pun dilakukan oleh Presiden selaku Kepala Negara.
Pasal 20 Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "dipidana" ialah dengan pidana penjara sekurang-kurangnya tiga bulan.
Yang dimaksud dengan "melakukan perbuatan tercela" ialah apabila Hakim yang bersangkutan karena sikap, perbuatan, dan tindakannya baik di dalam maupun di luar Pengadilan merendahkan martabat Hakim.
Yang dimaksud dengan"tugas pekerjaan" ialah semua tugas yang dibebankan kepada yang bersangkutan.
Ayat (2)
Dalam hal pemberhentian tidak dengan hormat dengan alasan dipidana karena melakukan tindak pidana kejahatan, yang bersangkutan tidak diberi kesempatan untuk membela diri.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 21 Seorang Hakim tidak boleh diberhentikan dari kedudukannya sebagai pegawai negeri sebelum diberhentikan dari jabatannya sebagai Hakim karena jabatan Hakim bukan jabatan dalam bidang eksekutif.
Pasal 22 Cukup jelas.
Pasal 23 Cukup jelas.
Pasal 24 Cukup jelas.
Pasal 25 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pangkat dan gaji Hakim diatur tersendiri berdasarkan peraturan yang berlaku.
Yang dimaksud dengan ketentuan lain-lain adalah hal-hal yang antara lain, menyangkut kesejahteraan, seperti rumah dinas dan kendaraan dinas.
Pasal 26 Cukup jelas.
Pasal 27 Cukup jelas.
Pasal 28 Pengertian "sarjana muda hukum" di sini mencakup pula mereka yang telah mencapai tingkat pendidikan hukum derajat dengan sarjana muda dan dianggap cakap untuk jabatan itu.
Pasal 29 Cukup jelas.
Pasal 30 Cukup jelas.
Pasal 31 Cukup jelas.
Pasal 32 Cukup jelas.
Pasal 33 Cukup jelas.
Pasal 34 Cukup jelas.
Pasal 35 Cukup jelas.
Pasal 36 Ketentuan ini berlaku juga bagi Wakil Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti.
Pasal 37 Menteri Kehakiman mengangkat atau memberhentikan Panitera, Wakil Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti atas atau tanpa usul Ketua Pengadilan yang bersangkutan.
Pasal 38 Pada waktu pengambilan sumpah/janji diucapkan kata¬kata tertentu sesuai dengan agama masing-masing, misalnya untuk penganut agama Islam "Demi Allah" sebelum lafal sumpah, dan untuk agama Kristen/Katolik kata-kata "Kiranya Tuhan akan menolong saya" sesudah lafal sumpah.
Pasal 39 Cukup jelas.
Pasal 40 Cukup jelas.
Pasal 41 Pada waktu seseorang diangkat sebagai Panitera ia sekaligus diangkat sebagai Sekretaris Pengadilan.
Pasal 42 Pengertian "Sarjana Muda" di sini mencakup pula mereka yang telah mencapai tingkat pendidikan hukum atau administrasi sederajat dengan sarjana muda dan dianggap cakap untuk jabatan itu.
Pasal 43 Cukup jelas.
Pasal 44 Cukup jelas.
Pasal 45 Pada waktu pengambilan sumpah/janji diucapkan kata¬kata tertentu sesuai dengan agama masing-masing, misainya untuk penganut agama Islam "Demi Allah" sebelum lafal sumpah, dan untuk agama Kristen/Katolik kata-kata "Kiranya Tuhan akan menolong saya" sesudah lafal sumpah.
Pasal 46 Cukup jelas.
Pasal 47 Cukup jelas.
Pasal 48 Ayat (1)
Upaya administratif adalah suatu prosedur yang dapat ditempuh oleh seorang atau badan hukum perdata apabila ia tidak puas terhadap suatu Keputusan Tata Usaha Negara. Prosedur tersebut dilaksanakan di lingkungan pemerintahan sendiri dan terdiri atas dua bentuk.
Dalam hal penyelesaiannya itu harus dilakukan oleh instansi atasan atau instansi lain dari yang mengeluarkan keputusan yang bersangkutan, maka prosedur tersebut dinamakan "banding administratif.
Contoh banding administratif antara lain
Keputusan Majelis Pertimbangan Pajak berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam staatsblad 1912 Nr 29 (Regeling van het beroep in belastings zaken) jo. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1959 tentang perubahan "Regeling van het beroep in belastings zaken".
Keputusan badan Pertimbangan Kepegawaian berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil.
Keputusan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan dan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan dan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta.
Keputusan Gubernur berdasarkan Pasal 10 ayat (2) Undang-undang Gangguan Staatsblad 1926 Nr. 226.
Dalam hal penyelesaian Keputusan Tata Usaha Negara tersebut harus dilakukan sendiri oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan itu, maka prosedur yang ditempuh tersebut disebut "keberatan".
Contoh Pasal 25 Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan-ketentuan Umum Perpajakan.
Berbeda dengan prosedur di Peradilan Tata Usaha Negara, maka pada prosedur banding administratif atau prosedur keberatan dilakukan penilaian yang lengkap, baik dari segi penerapan hukum maupun dari segi kebijaksanaan oleh instansi yang memutus.
Dari ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan dapat dilihat apakah terhadap suatu Keputusan Tata Usaha Negara itu terbuka atau tidak terbuka kemungkinan untuk ditempuh suatu upaya administratif.
Ayat (2)
Apabila seluruh prosedur dan kesempatan tersebut pada penjelasan ayat (1) telah ditempuh, dan pihak yang bersangkutan masih tetap belum merasa puas, barulah persoalannya dapat digugat dan diajukan ke Pengadilan.
Pasal 49 Yang dimaksud dengan"kepentingan umum" adalah kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat bersama dan/atau kepentingan pembangunan, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 50 Cukup jelas.
Pasal 51 Cukup jelas.
Pasal 52 Cukup jelas.
Pasal 53 Ayat (1)
Sesuai dengan ketentuan Pasal I angka 4, maka hanya orang atau badan hukum perdata yang berkedudukan sebagai objek hukum saja yang dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara untuk menggugat Keputusan Tata Usaha Negara.
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara untuk menggugat Keputusan Tata Usaha Negara.
Selanjutnya hanya orang atau badan hukum perdata yang kepentingannya terkena oleh akibat hukum Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan dan karenanya yang bersangkutan merasa dirugikan dibolehkan menggugat Keputusan Tata Usaha Negara.
Gugatan yang diajukan disyaratkan dalam bentuk tertulis karena gugatan itu akan menjadi pegangan Pengadilan dan para pihak selama pemeriksaan.
Mereka yang tidak pandai baca tulis dapat mengutarakan keinginannya untuk menggugat kepada Panitera Pengadilan yang akan membantu merumuskan gugatannya dalam bentuk tertulis.
Berbeda dengan gugatan di muka Pengadilan perdata, maka apa yang dapat dituntut di muka Pengadilan Tata Usaha Negara ini terbatas pada. satu macam tuntutan pokok yang berupa tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang telah merugikan kepentingan penggugat itu dinyatakan batal atau tidak sah.
Tuntutan tambahan yang dibolehkan hanya berupa tuntutan ganti rugi dan hanya dalam sengketa kepegawaian sajalah dibolehkan adanya tuntutan tambahan lainnya yang berupa tuntutan rehabilitasi.
Ayat (2)
Ketentuan-ketentuan dalam ayat ini
Alasan-alasan dimaksud pada angka 1 adalah
Pasal 54 Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "tempat kedudukan tergugat" adalah tempat kedudukan secara nyata atau tempat kedudukan menurut hukum.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Apabila tempat kedudukan tergugat berada di luar daerah hukum Pengadilan tempat kediaman penggugat, gugatan dapat disampaikan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara tempat kediaman penggugat untuk diteruskan kepada Pengadilan yang bersangkutan.
Tanggal diterimanya gugatan oleh Panitera Pengadilan tersebut dianggap sebagai tanggal diajukannya gugatan kepada Pengadilan yang berwenang.
Panitera Pengadilan tersebut berkewajiban memberikan petunjuk secukupnya kepada penggugat mengenai gugatan penggugat tersebut.
Setelah gugatan itu ditandatangani oleh penggugat, atau kuasanya, atau dibubuhi cap jempol penggugat yang tidak pandai baca tulis, dan dibayar uang muka biaya perkara, maka Panitera yang bersangkutan:
Cara pengajuan gugatan tersebut di atas tidak mengurangi kompetensi relatif Pengadilan yang berwenang untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan gugatan tersebut.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Penggugat yang berada di luar negeri dapat mengajukan gugatannya dengan surat atau menunjuk seseorang yang diberi kuasa yang berada di Indonesia.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 55 Bagi pihak yang namanya tersebut dalam Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat, maka tenggang waktu sembilan puluh hari itu dihitung sejak hari diterimanya Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat.
Dalam hal yang hendak digugat itu merupakan keputusan menurut ketentuan:
Dalam hal peraturan dasarnya menentukan bahwa suatu keputusan itu harus diumumkan, maka tenggang waktu sembilan puluh hari itu dihitung sejak hari pengumuman tersebut.
Pasal 56 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Dalam kenyataan Keputusan Tata Usaha Negara yang hendak diselenggarakan itu mungkin tidak ada dalam tangan penggugat. Dalam hal keputusan itu ada padanya, maka untuk kepentingan pembuktian ia seharusnya melampirkannya pada gugatan yang ia ajukan.
Tetapi baik penggugat yang tidak memiliki Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan maupun pihak ketiga yang terkena akibat hukum keputusan tersebut tentu tidak mungkin melampirkan pada gugatan terhadap keputusan yang hendak disengketakan itu.
Dalam rangka pemeriksaan persiapan, Hakim selalu dapat meminta kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan untuk mengirimkan kepada Pengadilan Keputusan Tata Usaha Negara yang sedang disengketakan itu.
Dengan kata "sedapat mungkin" tersebut ditampung semua kemungkinan termasuk apabila tidak ada keputusan yang dikeluarkan menurut ketentuan Pasal 3.
Pasal 57 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Surat kuasa dalam ayat ini dibuat sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku di negara tempat surat kuasa tersebut dibuat.
Pasal 58 Cukup jelas.
Pasal 59 Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "uang muka biaya perkara" ialah biaya yang dibayar lebih dahulu sebagai uang panjar oleh pihak penggugat terhadap perkiraan biaya perkara yang diperlukan dalam proses berperkara seperti biaya kepaniteraan, biaya meterai, biaya saksi, biaya ahli, biaya alih bahasa, biaya pemeriksaan di tempat lain dari ruang sidang dan biaya lain yang diperlukan bagi pemusatan sengketa atas perintah Hakim.
Uang muka biaya perkara tersebut akan diperhitungkan kembali kalau perkaranya sudah selesai. dalam hal penggugat kalah dalam perkara dan ternyata masih ada kelebihan uang muka biaya perkara, maka uang kelebihan tersebut akan dikembalikan kepadanya tetapi kalau ternyata uang muka biaya perkara tersebut tidak mencukupi, ia wajib membayar kekurangannya.
Sebaliknya dalam hal penggugat menang dalam perkara, uang muka biaya perkara dikembalikan seluruhnya kepadanya.
Uang muka biaya perkara yang harus dibebankan kepada penggugat tersebut di atas hendaknya ditetapkan serendah mungkin sehingga dapat dipikul oleh. penggugat yang bersangkutan selaku pencari keadilan.
Ketentuan. tentang pembayaran uang muka biaya perkara dalam pasal ini berlaku juga dalam hal gugatan yang diajukan menurut Pasal 54 ayat (3).
Ayat (2)
Setelah pembayaran uang muka biaya perkara dipenuhi, karena penggugat diberikan tanda bukti penerimaan yang berisi nomor register perkara serta jumlah uang muka biaya perkara yang telah dibayarkan.
Pembayaran biaya perkara diwajibkan bagi mereka yang mampu.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 60 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Menurut Undang-undang ini seseorang dianggap tidak mampu apabila penghasilannya sangat kecil sehingga ia tidak mampu membayar biaya perkara dan biaya pembelaan perkara di Pengadilan. Ketidakmampuan ini ditentukan oleh Ketua Pengadilan berdasarkan penilaian yang obyektif.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 61 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Dalam hal permohonan bersengketa dengan cuma¬cuma dikabulkan, Pengadilan mengeluarkan penetapan yang salinannya diberikan kepada pemohon dan biaya perkara ditanggung oleh negara.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 62 Ayat (1)
Huruf a
"Pokok gugatan" adalah fakta yang dijadikan dasar gugatan. Atas dasar fakta tersebut penggugat mendalilkan adanya suatu hubungan hukum tertentu dan oleh karenanya mengajukan tuntutannya.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 63 Ayat (1)
Ketentuan ini merupakan kekhususan dalam proses pemeriksaan sengketa Tata Usaha Negara. Kepada Hakim diberikan kemungkinan untuk mengadakan pemeriksaan persiapan sebelum memeriksa pokok sengketa. Dalam kesempatan ini Hakim dapat meminta penjelasan kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha . Negara yang bersangkutan demi lengkapnya data yang diperlukan untuk gugatan itu.
Wewenang Hakim ini untuk mengimbangi dan mengatasi kesulitan seseorang sebagai penggugat dalam mendapatkan informasi atau data yang diperlukan dari Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara mengingat bahwa penggugat dan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara kedudukannya tidak sama.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Karena tenggang waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a itu tidak bersifat memaksa, maka Hakim tentu akan berlaku bijaksana dengan tidak begitu saja menyatakan bahwa gugatan penggugat tidak dapat diterima kalau penggugat baru sekali diberi kesempatan untuk memperbaiki gugatannya.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 64 Cukup jelas.
Pasal 65 Cukup jelas.
Pasal 66 Cukup jelas.
Pasal 67 Berbeda dengan Hukum Acara Perdata maka dalam Hukum Acara Tata Usaha Negara Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara itu selalu berkedudukan sebagai pihak yang mempertahankan keputusan yang telah dikeluarkannya terhadap tuduhan penggugat bahwa keputusan yang digugat itu melawan hukum.
Akan tetapi selama hal itu belum diputus oleh Pengadilan, maka Keputusan Tata Usaha Negara itu harus dianggap menurut hukum.
Dan proses di muka Pengadilan Tata Usaha Negara memang dimaksudkan untuk menguji apakah dugaan bahwa Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu melawan hukum beralasan atau tidak. Itulah dasar hukum acara Tata Usaha Negara yang bertolak dari anggapan bahwa Keputusan Tata Usaha Negara itu selalu menurut hukum.
Dari segi perlindungan hukum, maka Hukum Acara Tata Usaha Negara yang merupakan sarana hukum untuk dalam keadaan konkret meniadakan anggapan tersebut. Oleh karena itu, pada asasnya selama hal tersebut belum diputuskan oleh Pengadilan, maka Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu tetap dianggap menurut hukum, dapat dilaksanakan.
Akan tetapi dalam keadaan tertentu, penggugat dapat mengajukan permohonan agar selama proses berjalan, Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu diperintahkan ditunda pelaksanaannya. Pengadilan akan mengabulkan permohonan penundaan pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara tersebut hanya apabila
Pasal 68 Cukup jelas.
Pasal 69 Cukup jelas.
Pasal 70 Cukup jelas.
Pasal 71 Cukup jelas.
Pasal 72 Cukup jelas.
Pasal 73 Cukup jelas.
Pasal 74 Cukup jelas.
Pasal 75 Perubahan gugatan diperkenankan hanya dalam arti menambah alasan yang menjadi dasar gugatan sampai dengan tingkat replik. Penggugat tidak boleh menambah tuntutannya yang akan merugikan tergugat di dalam pembelaannya. Jadi yang diperkenankan ialah perubahan yang bersifat mengurangi tuntutan semula. Sebagaimana halnya dengan penggugat, tergugat pun dapat mengubah alasan yang menjadi dasar jawabannya hanya sampai dengan tingkat duplik. Pembatasan ini dimaksudkan agar dapat diperoleh kejelasan tentang hal yang menjadi pokok sengketa antara para pihak.
Pasal 76 Cukup jelas.
Pasal 77 Cukup jelas.
Pasal 78 Cukup jelas.
Pasal 79 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "pejabat pengadilan yang berwenang" ialah pejabat yang hirarkis berkedudukan lebih tinggi dari pada Hakim yang bersangkutan, misalnya Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara apabila sengketa tersebut diperiksa oleh Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara, sedangkan apabila yang memeriksa sengketa tersebut Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara, maka pejabat yang hirarkinya berkedudukan lebih tinggi ialah Ketua Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 80 Ketentuan ini menunjukkan bahwa peranan Hakim Ketua Sidang dalam proses pemeriksaan sengketa Tata Usaha Negara adalah aktif dan menentukan serta memimpin jalannya persidangan agar pemeriksaan tidak berlarut-larut.
Oleh karena itu, cepat atau lambatnya penyelesaian sengketa tidak semata-mata bergantung pada kehendak para pihak, melainkan Hakim harus selalu memperhatikan kepentingan umum yang tidak boleh terlalu lama dihambat oleh sengketa itu.
Pasal 81 Para pihak dapat mempelajari berkas perkara sebelum, selama, atau sesudah pemeriksaan, dan pemutusan perkara.
Pasal 82 Cukup jelas.
Pasal 83 Ayat (1) dan Ayat (2)
Pasal ini mengatur kemungkinan bagi seseorang atau badan hukum perdata yang berada di luar pihak yang sedang berperkara untuk ikut serta atau diikutsertakan dalam proses pemeriksaan perkara yang sedang berjalan.
Masuknya pihak ketiga tersebut dalam hal sebagai berikut:
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 84 Cukup jelas.
Pasal 85 Cukup jelas.
Pasal 86 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Menjadi saksi adalah salah satu kewajiban hukum setiap orang. Orang yang dipanggil menghadap sidang Pengadilan untuk menjadi saksi tetapi menolak kewajiban itu dapat dipaksa untuk dihadapkan di persidangan dengan bantuan polisi.
Ayat (3)
Ketentuan ini mengatur pendelegasian wewenang pemeriksaan saksi. Ketua Pengadilan yang mendelegasikan wewenang itu mencantumkan dalam penetapannya dengan jelas hal atau persoalan yang harus ditanyakan kepada saksi oleh Pengadilan yang diserahi delegasi wewenang tersebut.
Dari pemeriksaan saksi tersebut dibuat berita acara yang ditandatangani oleh Hakim dan Panitera Pengadilan yang kemudian dikirimkan kepada Pengadilan yang memberikan delegasi wewenang di atas.
Pasal 87 Ayat (1)
Saksi dipanggil ke dalam ruang sidang seorang demi seorang menurut urutan yang dipandang sebaik-baiknya oleh Hakim Ketua Sidang.
Saksi yang sudah diperiksa harus tetap di dalam ruang sidang kecuali jika Hakim Ketua Sidang menganggap perlu mendengar saksi yang lain di luar hadirnya saksi yang telah didengar itu misalnya apabila saksi lain yang akan diperiksa itu berkeberatan memberikan keterangan dengan tetap hadirnya saksi yang telah didengar.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Jika ada alasan kuat dan dapat dibenarkan oleh Hakim, yang bersengketa dapat minta agar sumpah itu dapat diucapkan menurut kebiasaan setempat misalnya di tempat ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaan yang harus mengucapkan sumpah.
Pasal 88 Cukup jelas.
Pasal 89 Ayat (1)
huruf a
Cukup jelas.
huruf b
Pekerjaan atau jabatan yang menentukan adanya kewajiban menyimpan rahasia ditentukan oleh peraturan perundang-undangan.
Martabat yang menentukan adanya kewajiban menyimpan rahasia misalnya kedudukan seorang pastor yang menerima pengakuan dosa, kedudukan seseorang tokoh pimpinan masyarakat yang banyak mengetahui rahasia anggota masyarakatnya.
Ayat (2)
Jika tidak ada ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur pekerjaan atau jabatan dimaksud, maka seperti yang ditentukan oleh ayat ini Hakim yang menentukan sah atau tidaknya alasan yang dikemukakan untuk pengunduran diri tersebut. Hakim pulalah yang menentukan sah atau tidaknya alasan yang dikemukakan untuk mengundurkan diri yang berkaitan dengan martabat.
Pasal 90 Cukup jelas.
Pasal 91 Cukup jelas.
Pasal 92 Cukup jelas.
Pasal 93 Biaya perjalanan pejabat yang dipanggil sebagai saksi di Pengadilan tidak dibebankan sebagai biaya perkara.
Pasal 94 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "halangan yang dapat dibenarkan oleh hukum"umpamanya ialah saksi sudah sangat tua, atau menderita penyakit yang tidak memungkinkan hadir di persidangan.
Pasal 95 Cukup jelas.
Pasal 96 Cukup jelas.
Pasal 97 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat ini dikaitkan dengan isi tuntutan penggugat.
Ayat (9)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Keputusan Tata Usaha Negara ini dikeluarkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat itu.
Ayat (10)
Cukup jelas.
Ayat (11)
Cukup jelas.
Pasal 98 Ayat (1)
Kepentingan penggugat dianggap cukup mendesak apabila kepentingan itu menyangkut Keputusan Tata Usaha Negara yang berisikan misalnya perintah pembongkaran bangunan atau rumah yang ditempati penggugat.
Sebagai kriteria dapat dipergunakan alasan-alasan pemohon, yang memang dapat diterima.
Yang dipercepat bukan hanya pemeriksaannya melainkan juga pemutusannya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 99 Cukup jelas.
Pasal 100 Cukup jelas.
Pasal 101 Cukup jelas.
Pasal 102 Ayat (1)
Termasuk keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh juru taksir.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 103 Cukup jelas.
Pasal 104 Cukup jelas.
Pasal 105 Cukup jelas.
Pasal 106 Cukup jelas.
Pasal 107 Pasal ini mengatur ketentuan dalam rangka usaha menemukan kebenaran materiel.
Berbeda dengan sistem hukum pembuktian dalam Hukum Acara Perdata, maka dengan memperhatikan segala sesuatu yang terjadi dalam pemeriksaan tanpa bergantung pada fakta dan hal yang diajukan oleh para pihak, Hakim Peradilan Tata Usaha Negara dapat menemukan sendiri:
Pasal 108 Cukup jelas.
Pasal 109 Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Pengertian Panitera di sini mencakup juga Wakil Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti yang membantu Hakim dalam persidangan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas
. Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 110 Cukup jelas.
Pasal 111 Cukup jelas.
Pasal 112 Dalam hal ada putusan Pengadilan yang bukan putusan akhir, penetapan tentang biaya perkaranya ditangguhkan, dan dicantumkan dalam amar putusan akhir Pengadilan.
Pasal 113 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Panitera hanya boleh memberikan salinan putusan Pengadilan apabila putusan tersebut telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Apabila diperlukan salinan bagi putusan Pengadilan yang belum memperoleh kekuatan hukum tetap, pada salinan tersebut harus dibubuhi keterangan"belum memperoleh kekuatan hukum tetap".
Pasal 114 Cukup jelas.
Pasal 115 Cukup jelas.
Pasal 116 Ayat (1)
Meskipun putusan Pengadilan- belum memperoleh kekuatan hukum tetap, para pihak yang berperkara dapat memperoleh salinan putusan yang dibubuhi catatan Panitera bahwa putusan tersebut belum memperoleh kekuatan hukum tetap.
Tenggang waktu empat belas hari dihitung sejak saat putusan Pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Tenggang waktu tiga bulan tidak bersifat memaksa; Ketua Pengadilan Tinggi tentu akan berlaku bijaksana sebelum menyurati atasan Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan mengenai apa yang dimaksud dalam ayat ini.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 117 Cukup jelas.
Pasal 118 Cukup jelas.
Pasal 119 Cukup jelas.
Pasal 120 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Besarnya ganti rugi ditentukan dengan memperhatikan keadaan yang nyata.
Pasal 121 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Putusan Pengadilan yang berisi kewajiban rehabilitasi hanya terdapat pada sengketa Tata Usaha Negara dalam bidang kepegawaian saja.
Rehebilitasi ini merupakan pemulihan hak penggugat dalam kemampuan kedudukan, harkat, dan martabatnya sebagai pegawai negeri seperti semula, sebelum ada keputusan yang disengketakan.
Dalam pemulihan hak tersebut termasuk juga hak-haknya yang ditimbulkan oleh kemampuan kedudukan, dan harkatnya sebagai pegawai negeri.
Dalam hal haknya menyangkut suatu jabatan dan pada waktu putusan Pengadilan jabatan tersebut ternyata telah terisi oleh pejabat lain, maka yang bersangkutan dapat diangkat dalam jabatan lain yang setingkat dengan jabatan semula. Akan tetapi apabila hal itu tidak mungkin, maka yang bersangkutan akan diangkat kembali pada kesempatan pertama setelah ada formasi dalam jabatan yang setingkat atau dapat ditempuh ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117.
Pasal 122 Cukup jelas.
Pasal 123 Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "empat belas hari" dalam ayat ini adalah empat betas hari menurut perhitungan tanggal kalender.
Ayat (2)
Penjelasan Pasal 59 ayat (1) dengan penyesuaian seperlunya berlaku sebagai penjelasan untuk ayat ini.
Pasal 124 Sesuai dengan prinsip peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan, maka terhadap putusan Pengadilan yang bukan putusan akhir tidak dapat diajukan permintaan pemeriksaan banding secara tersendiri.
Prinsip tersebut selalu berusaha menghindarkan dijatuhkannya putusan Pengadilan yang tidak merupakan putusan akhir.
Pasal 125 Cukup jelas.
Pasal 126 Cukup jelas.
Pasal 127 Cukup jelas.
Pasal 128 Cukup jelas.
Pasal 129 Cukup jelas.
Pasal 130 Cukup jelas.
Pasal 131 Cukup jelas.
Pasal 132 Cukup jelas.
Pasal 133 Cukup jelas.
Pasal 134 Cukup jelas.
Pasal 135 Cukup jelas.
Pasal 136 Pengertian "kepentingan umum" dalam pasal ini semata¬mata dilihat dari segi tentang perlu atau tidaknya suatu perkara didahulukan pemeriksaannya, misalnya karena perkara yang bersangkutan menarik perhatian masyarakat atau berkaitan dengan perkara lain sehingga dipandang perlu segera diperiksa.
Yang berwenang memutuskan bahwa suatu perkara menyangkut kepentingan umum dan karena itu harus didahulukan adalah Ketua Pengadilan.
Pasal 137 Menyelenggarakan administrasi perkara berarti mengatur dan membina kerja -sama, mengintegrasikan, dan menyinkronisasikan kegiatan dan tugas-tugas Wakil Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti dalam menyelenggarakan seluruh administrasi perkara di: Pengadilan.
Pasal 138 Cukup jelas.
Pasal 139 Cukup jelas.
Pasal 140 Cukup jelas.
Pasal 141 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
"Larangan membawa keluar" meliputi segala bentuk dan cara apapun juga yang memindahkan isi daftar, catatan, risalah, berita acara, serta berkas perkara keluar ruang kerja kepaniteraan, termasuk ruang kerja Wakil Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti.
Pasal 142 Cukup jelas.
Pasal 143 Sebelum di setiap tempat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dapat dibentuk Pengadilan Tata Usaha Negara, Menteri Kehakiman dengan persetujuan Ketua Mahkamah Agung mengambil langkah-langkah yang perlu untuk menjamin agar pelayanan bagi rakyat pencari keadilan di bidang Peradilan Tata Usaha Negara di tempat yang belum dilengkapi dengan Pengadilan Tata Usaha Negara dapat dilaksanakan sebaik-baiknya.
Pasal 144 Cukup jelas.
Pasal 145 Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara ini merupakan lingkungan Peradilan yang baru yang pembentukannya memerlukan perencanaan dan persiapan yang matang oleh Pemerintah, mengenai prasarana dan sarana baik materiil maupun person ii.
Oleh karena itu pembentukan Pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara tidak dapat dilakukan sekaligus tetapi secara bertahap.
Setelah Undang-undang ini diundangkan, dipandang perlu Pemerintah mengadakan persiapan seperlunya. Untuk mengakomodasikan hal tersebut maka penerapan Undang¬
undang ini secara bertahap dalam waktu selambat-lambatnya lima tahun sejak Undang-undang ini diundangkan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
|
Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.